Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT dan segala puji syukur hanya bagi-Nya
Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dalam
penyusunan makalah Proses Kebijakan Publik ini. Meskipun banyak hambatan yang
saya alami dalam proses pengerjaannya, tapi saya berhasil menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyampaikan terimakasih kepada
yang turut serta membantu dalam penyelasaian makalah ini. Kepada para orang tua
saya yang telah memberi support dan motivasi untuk pembuatan makalah ini. Tidak
lupa juga kami sampaikan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu dan membimbing , kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah
memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah
ini.
Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak
yang telah memberikan bantuan secara materil dan spiritual, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan dan
bermanfaat bagi pembaca. Saya selaku penulis makalah ini menyadari bahwa masih
banyak sekali kekurangan, maka dari itu kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk
perbaikan makalah ini.
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................3
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................4
2.1 Proses Kebijakan Publik......................................................................................4
2.1.1 Berbagai Proses Kebijakan...........................................................................4
2.2 Makna Kebijakan Publik sebagai Proses.............................................................5
2.3 Proses Teknokratis dan Demokratis....................................................................7
2.3.1 Model Teknokratis........................................................................................9
2.3.2 Model Demokratis......................................................................................10
BAB III PENUTUP.....................................................................................................13
3.1 Kesimpulan........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan publik merupakan segala hal yang diputuskan oleh pemerintah.
Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat
kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan Idealnya proses
pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah.
Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Kebijakan bisa dibilang merupakan
sebuah aturan dari pemerintah yang harus di ikuti oleh siapapun tanpa terkecuali,
kebijakan tersebut diberlakukan agar terciptanya suatu peraturan yang dapat membuat
masyarakat ikut patuh terhadap kebijakan yang sudah dibuat.
Kebijakan merupakan alat hukum administrasi dimana berbagai aktor,
organisasi, prosedur, dan teknik bekerja sama untuk menjalankan seluruh aktivitas
guna meraih tujuan yang diinginkan. Implementasi dapat dipahami sebagai proses,
output maupun sebagai hasil
Di dalam menyusun perencanaan kota pada umumnya di Indonesia seringkali
hanya melihat pada kegiatan – kegiatan formal saja. Pengambil kebijakan, dalam hal
ini Pemerintah menyusun rencana tata lahan, bangunan dan lingkungan hanya untuk
kegiatan formal, seperti kawasan perumahan, perdagangan, industri dan sebagainya.
Sehubungan dengan adanya sebuah kebijakan pasti tidak terlepas dari adanya sebuah
pro dan kontra yang terjadi, apalagi yang kita ketahui kebijakan pemerintah mengenai
para pedagang kaki lima yang semakin lama semakin banyak.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut :
1. Bagaimana Proses Kebijakan Publik
2. Bagaimana Makna Kebijakan Publik sebagai Proses
3. Apa itu Proses Teknokratis dan Demokratis
1.3 Tujuan Penulisan
Setelah mendiskusikan tema ini, kita dapat memperoleh beberapa tujuan sebagai
berikut :
1. Mengetahui Proses Kebijakan Publik
2. Mengetahui Makna Kebijakan Publik sebagai Proses
3. Mengetahui Apa itu Proses Teknokratis dan Demokratis

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses Kebijakan Publik
Proses kebijakan adalah proses yang meliputi kegiatan perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Dalam hal ini kita khususnya
membahas kebijakan publik, yaitu kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk
kepentingan public. Proses kebijakan melibatkan berbagai pihak terkait, antara lain:
para politisi, berbagai institusi pemerintah, para pengambil keputusan, kelompok
kepentingan dan pihak-pihak lain.
Untuk memahami proses kebijakan, kita perlu memahami berbagai konsep dasar
terkait proses kebijakan, penentuan agenda kebijakan dan perumusan kebijakan.
2.1.1 Berbagai Proses Kebijakan
Terdapat berbagai macam model proses kebijakan. Pada kesempatan ini, kita akan
membahas hanya tiga model.
1. model rasional. Model rasional menekankan bahwa proses kebijakan
merupakan proses yang rasional dan dilakukan oleh aktor-aktor yang memiliki
cara berpikir yang rasional. Menurut model ini, proses kebijakan meliputi
tahap-tahapan tertentu dan berjalan seperti sebuah siklus. Para aktornya dapat
secara jelas melihat tujuan dari kebijakan dan cara mencapai tujuan tersebut.
Sejak tahun 1950an, konsep ini telah berkembang dan menghasilkan berbagai
variasi, namun memiliki esensi yang sama 1
2. Incremental Model. Menurut model ini, proses pencarian informasi yang
diperlukan berlangsung terbatas, tidak seluruhnya sistematis, dan dikendalikan
oleh terlalu banyak pemain. Kadang cara mencapai tujuan tidak dapat terlihat
nyata. Terkadang pilihan dan alternatif kebijakan yang tersedia hanya bisa
dinilai dengan cara melihat sejauh mana manfaat kebijakan terdistribusi. 2
3. model "tong sampah" (Garbage Can). Model ini melihat bahwa suatu
kebijakan dapat dipicu dari tiga arah, yaitu dari masalah (problem stream),
kebijakan sebelumnya atau kebijakan terkait (policy stream) atau dari
1
(Laswell, H.D., The Decision Process: Seven Categories of Functional Analysis, University of
Maryland Press: 1956; Jenkins, W.I., Policy Analysis. A Political and Organisational
Perspective, Martin Robertson: 1978).

2
(Lindblom, C.E., The Science of Muddling Through, Public Administration Review 19 (2), p. 79-88).
kepentingan politis (political stream). Ketiga aliran ini dapat saja tercampur
dan seringkali tidak terduga arahnya. Akibatnya, baik masalah, para aktornya
mau pun solusi yang diperkirakan dapat berubah-ubah dengan cepat.3

2.2 Makna Kebijakan Publik sebagai Proses


Sebagai titik berangkat saya rasa perlu terlebih dhaulu menjelaskan arti kata
“proses” agar kita dapat memahami dengan baik. Kata proses punya makna berbagai
kegiatan yang terangkai atau tidak terpisah satu sama lain dalam rangka untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Makna ini menjadi penting ketika para pakar
menggunakan kata proses” sebagai salah satu kata, yang mengandung makna
tersebut.
James E. Anderson, misalnya, Menggunakan “proses” dalam bukunya Public
Polici Making (1979) Menulis bahwa Proses kebijakan dapat dipandang sebagai
sebuah pola tindakan yang berurutan yang meliputi sejumlah aktivitas fungsional.
Oleh karena itu tidak aneh kalau kemudian banyak yang menyebut bahwa
proses kebijakan itu terdiri dari berbagai kegiatan atau aktivitas yang berjalan secara
berurutan (bertahap) mulai dari perumusan sampai evaluasi kebijakan.
Parsons juga menjelaskan bahwa konsep proses pendekatan bertahap (stagist
approach) ini berasal dari konsep yang dikembangkan oleh Harold Lasswell,
misalnya lebih memfokuskan kajiannya pada adanya berbagai kativitas fungsional
dalam proses kebijakan.
 Tahap 1 : intelligence, yang mempertanyakan mengenai bagaimanakan caara
mengumpulkan dan memproses informasi sehingga pembuat kebijakan
tertarik perhatiannya kepada masalah kebijakan ?
 Tahap 2 : recommendation, bagaimanakan rekomendasi atau alternative
kebijakan untuk mengatasi masalah yang dibuat dan dipromosikan?
 Tahap 3 : prescription, bagaimanakah ketentuan atau aturan umum diadopsi
atau dilaksanakan, dan oleh siapa?
 Tahap 4 : invocation, siapakah yang berwenang menentukan bahwa perilaku
seseorang menyimpang dari aturan hukum dan menuntut dilaksanakannya
aturan hukum tersebut?
 Tahap 5 : application. Bagaimanakan caranya agar aturan atau hukum
tersebut benar benar dapa diaplikasikan atau dipaksakan berlakunya?
3
(Cohen, M., March, J., and Olsen, J., A Garbage Can Model of Organizational Choice, Administrative
Science Quarterly 17, 1972, p. 1-25; Kingdon, J.W., Agendas, Alternatives, and Public Policies,
HarperCollins College Publisher: 1983)

5
 Tahap 6 : appraisal, bagaimanakan pelaksanaan kebijakan, keberhasilan dan
kegagalannya hendak dinilai?
 Tahap 7 : termination, bagaimanakan aturan atau hukum yang asli tadi
hendak dihentikan atau dilanjutkan ?
Ketujuh fungsional tersebut menunjukan berbagai aktivitas yang berbeda dan
berurutan yang digambarkan seolah olah akan berjalan mulus tanpa rintangan mulai
dari awal hingga akhir.
Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini
kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan
sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling
menentukan dan saling membentuk. Menurut Dye (2005, 31), bagaimana sebuah
kebijakan dibuat dapat diketahui dengan mempertimbangkan sejumlah aktivitas atau
proses yang terjadi didalam sistem politik.
Proses kebijakan publik merupakan proses yg amat rumit dan kompleks. Oleh
karenanya untuk mengkajinya para ahli kemudian membagi proses kebijakan publik
ke dalam beberapa tahapan. Tujuannya untuk mempermudah pemahaman terhadap
proses tersebut 4Pembagian tersebut amat bervariasi antara ahli yang satu dengan ahli
lainnya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan. Misalnya : ada yang
menambahkan perubahan atau penghentian kebijakan setelah evaluasi kebijakan.
Pada tahun 1956 Lasswell memperkenalkan tujuh tahap model proses
kebijakan yang terdiri dari kecerdasan, promosi, rekomendasi, pemanggilan, aplikasi,
pemutusan, dan penilaian. Model ini telah sangat berhasil sebagai kerangka dasar
bagi bidang studi kebijakan dan menjadi titik awal dari berbagai tipologi proses
kebijakan. Versi-versi yang dikembangkan oleh Brewer dan Deleon (1983), Mei dan
Wildavsky (1978), Anderson (1975), dan Jenkins (1978) adalah salah satu yang
paling banyak diadopsi. Saat ini, perbedaan antara agenda setting, perumusan
kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi (akhirnya mengarah ke
terminasi) telah menjadi cara yang konvensional untuk dapat menggambarkan
kronologi proses kebijakan. Pemahaman Lasswell tentang model proses kebijakan
lebih bersifat preskriptif (menentukan) dan normatif daripada deskriptif dan analitis.
Sementara studi empiris tentang pengambilan keputusan dan perencanaan dalam
organisasi, yang dikenal sebagai teori perilaku pengambilan keputusan yang
dikemukakan oleh Simon (1947), telah berulang kali menunjukkan bahwa pembuatan
keputusan pada kenyataannya biasanya tidak mengikuti urutan tahap diskrit,
perspektif tahapan masih dianggap sebagai tipe ideal dalam perencanaan rasional dan
pengambilan keputusan. Menurut model rasional, pembuatan keputusan apapun harus
4
(Charles Lindblom, 1986: 3).
didasarkan pada analisis yang komprehensif terhadap masalah dan tujuan, diikuti oleh
koleksi inklusif dan analisis informasi dan mencari alternatif terbaik untuk mencapai
tujuan tersebut.
Semakin berkembangnya nilai demokrasi di masyarakat dimana mereka
semakin banyak menuntut agar “suara” mereka didengar dan dilibatkan dalam proses
pembuatan kebijakan public maka proses pembuatan kebijakan yang linear-
mekamistik dan “top-down” perlu diragukan kelayakan atau efektivitasnya. Artinya,
kita sedang membutuhkan sebuah pendekatan dalam proses pembuatan kebijakan
public yang lebih demokratis.

2.3 Proses Teknokratis dan Demokratis


Sebelum jauh, saya ingin mengajak anda untuk mencermati penggunaan
berbagai istilah (nomenclature) yang begitu banyak dipakai para pakar, peneliti, dan
praktisi kebijakan public yang membedakan antara proses teknokratis dan proses
demokratis agar anda tidak menjadi bingung karenanya. Istilah yang dipakai
sekaligus menunjukan karakteristik utama kedua proses tersebut.
Tabel istilah berikut akan diberikan uraian untuk menjelaskan arti yang
terkandung di dalamnya.
Istilah dalam Proses Teknokratis dan Demokratis
Proses Teknokratis Proses Demokratis
- Linear - Non – Linear
- Rational - Nonrational
- Simplistik - Messy, Complex
- Bureaucratic - Pluralistic
- Mechanistic - Interactive
- Pragmatic – Therapeutic - Deliberative
- Top Down - Bottom – Up
- Artifical - Fluid
- Engineering - Genuine
- Positivism - Postpositivism

Linear, Proses perumusan kebijakan public yang digambarkan seperti garis


lurus, bertahap, berurutan, mudah, dan mulus karena semua hal yang dibutuhkan telah
dirancang dan dipersiapkan engan seksama sebelumnya. Nonlinear punya arti
sebaliknya.

7
Rational, Proses perumusan kebijakan public dimana pembuat kebijakan harus
bisa mengumulkan, mengolah, dan menyajikan informasi yang berkualitas.
Simplistic, perumus kebijakan berusaha menyederhanakan proses kebijakan
yang begitu kompleks ke dalam tahap-tahap yang berurutan yang ditetapkan
sedemikian rupa untuk mencapai tujuan kebijakan. Sebaliknya, proses yang messy
dan complex melihat realitas politik itu tidak beraturan .
Bureaucratic, adalah proses perumusan kebijakan public di mana peran
birokrasi pemerintah sangat dominan. Sedangkan Pluralistic memandang perumusan
kebijakan sebagai proses kerja sama antar-stakeholder dan tidak sekedar
diintegrasikan.
Mechanistic, proses berjalan seperti sebuah esin yang berputar sesuai aturan
main dan prosedur tetap yang ada atau yang telah diterapkan sebelumnya. Proses
interactive melibatkan banyak factor (multi-stakeholder) yang memiliki berbagai
sumber yang bisa dipertukarkan sehingga menghasilkan kebijakan yang lebih baik.
Pragmatic-Therapeutic, proses pragmatis yang dimaksud untuk mengatasi
masalah kecil, sederhana, jangka pendek, dan instan. Proses deliberative
menghendaki proses dialogis yang intensif dan komprehensif untuk memecahkan
masalah public makro dan strategis.
Top-Down, proses yang semata mata ditetapkan oleh pemerintahan pusat
dengan tidak melibatkan institusi daerah. Sebaliknya Bottom-up ide yang dating dari
public atau masyarakat daerah kemudian ditangkap dan dimatangkan oleh
pemerintahan.
Artificial, proses yang didesain sedemikian rupa dan cermat dengan harapan
tanpa ada hambatan di tengah dan menghasilkan kebijakan yang baik. Fuild
sebaliknya menganggap proses perumusan adala hal yang alami, mengalir dan cair.
Engineering, proses yang penuh rekayasa dan menjadi kepentingan para
perekayasa. Sebaliknya Genuine rakyat terlibat penuh dalam merumuskan kebijakan
public.
Positivism, proses yang mengedepankan proses analis yang deterministic,
formal, rasional, logic, linear, dan preskriptif. Sedangkan Postpositivism proses yang
mengedepanan aspek nilai.
2.3.1 Model Teknokratis
Patton dan Savicky mengemukakan bahwa analisis kebijakan dapat dilakukan
sebelum dan sesudah kebijakan. Analisis kebijakan pascakebijakan biasanya
berbentuk deskriptif dan biasanya juga disebut ex-post (istilah dari Michael Carley,
1980), post-hoc (istilah dari Lineberry,1984), atau retrospective (istilah dari William
N. Dunn, 1987). Analisis kebijakan yang dilakukan sebelum kebijakan disebut ex
ante (istilah dari Carley, 1980), pre-hoc (istilah dari Lineberry, 1984), anticipatory
(istilah dari Teitz, 1971), atau prospective (istilah dari Dunn). Bentuk analisis ini
dibagi menjadi dua, yaitu prediktif dan preskriptif. Analisi prediktif merupakan pada
proyeksi kondisi masa mendatang sebagai hasil dari adopsi kebijakan. Analisis
preskriptif merujuk pada rekomendasi kebijakan. Rekomendasi kebijakan yang
bersifat umum dan tidak memberikan fokus tertentu disebut advis, sementara
rekomendasi yang menekan pembuat kebijakan agar memilih suatu kebijakan disebut
advis persuatif

a. Mendefinisikan, verifikasi, dan mendetailkan permasalahan kebijakan


Langkah ini sering kali sangat sulit karena tidak jarang tujuan atau
keinginan klien tidak jelas, atau tujuan yang hendak dicapai bersifat
konfliktual. Berkenaan dengan masalah ini, analis kebijakan tidak punya
pilihan lain selain harus melakukan verifikasi, mendefinisikan, dan
medetailkan permasalahan. Ada banyak pendekatan untuk identifikasi dan
definisi masalah. Dua metode yang banyak digunakan adalah, pertama,
pragmatic approach yang digunakan apabila analis kebijakan dihadapkan pada
pertentangan bagaimana seharusnya suatu isu kebijakan ditangani sehingga
pertimbangan dijatuhkan pada biaya yang paling rendah; kedua social-

9
criterion approach yang digunakan apabila analis kebijakan mencari ekspresi
tersembunyi dari permasalahan sosial yang harus diatasi.
Metode dasar yang dapat digunakan dalam mendefinisikan
permasalahan antara lain back-of-the-envelope calculations untuk
memperkirakan “ukuran” permasalahan, quick decission analysis untuk
mengidentifikasi atribut-atribut atau karakter-karakter pokok permasalahan,
creation of valid operational definitions untuk memastikan bahwa kita menilai
masalah yang hendak dinilai, political analysis untuk membuat kita tidak
mengabaikan faktorfaktor tang tidak dapat dikuantifikasikan, dan issue paper
atau first-cut analysis yang mengidentifikasi masalah yang diperlukan.

b. Menetapkan kriteria evaluasi alternative


Banyaknya variasi masalah yang ada dan harus diatasi oleh pemerintah
maka alternative kebijakan harus disediakan juga bervariasi.

c. Mengidentifikasi alternative kebijakan


Setiap masalah kebijakan perlu segera dicarikan alternative pemecahan
masalahnya.
d. Mengevaluasi alternative kebijakan
Untuk mengetahui sejauh mana satu alternative kebijakan memiliki
dampak yang diharapkan perlu dilakukan evaluasi terhadap alternative
kebijakan yang telah ditetapkan.
e. Membandingkan alternative kebijakan
Andaikata kita telah mampu mendefinisikan masalah dengan baik,
kemudian kita mencari alternative pemecahan masalah yang tepat,
membandingka alternative denga kriteria yang telah ditetapkan sehingga
nantinya akan menghasilkan alternative kebijakan yang baik.
f. Menilai dampak
Proses monitor dan menilai implementasi kebijakan perlu terus
menerus dilakukan untuk menjamin agar selama proses implementasi tidak
terjadi perubahan yang tidak diinginkan.

Secara singkat,, keenam langkah tersebut berjalan secara bertahap dan


berurutan mulai dari mengidentifikasi dan merumuskan maslah kebijakan,
menentukan kriteria untuk mengukur bobot masing –masing alternative.

2.3.2 Model Demokratis


Perumusan kebijakan melalui model demokratis dapat diartikan bahwa
pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari
Masyarakat . Suatu negara yang menganut sistem politik dan pemerintahan
demokrasi,niscaya menempatkan aspirasi rakyat sebagai titik sentral dalam setiap
perumusan keputusan, ketetapan atau kebijakan publik untuk melahirkan output
politik. Setiap hal yang berkaitan dengan kepentingan rakyat seharusnya dibahas dan
dibicarakan secara terbuka, agar menghasilkan output politik yang mampu menjamin
terwujudnya kebaikan bersama (probono publico). Terwujudnya derajad relativitas
'kebaikan bersama' tentu tidak dapat dilepaskan dari bagaimana proses dan substansi
masalah-masalah publik antara lain masalah kebutuhan dan kepentingan
umum/sebagian besar masyarakat dirumuskan secara dialogis, intensif dan produktif
meliputi pelbagai unsur di dalam masyarakat. Hal tersebut dilakukan dalam rangka
membicarakan secara terbuka berbagai problem, apsirasi dan harapan masyarakat
luas, masyarakat umum atau publik.
Demokrasi ibarat bola salju; ia hinggap di satu tempat dan bergerak ke tempat
lain: tak terbentung. Ia menyemai bulir-bulir pemikiran “untuk kebaikan rakyat b
anyak” dan menggelorakan makna kemerdekaan manusia di dalam lingkup
kehidupan nyata. Demokrasi bersemi di sana-sini, mengaliri urat nadi kehidupan
politik dan kenegaraan; mengoyak kemapanan dan kejumudan formula dan tata
hubungan politik yang pernah ada sebelumnya, sehingga tak ada negara atau
penguasa yang tidak menyatakan negaranya menganut sistem demokrasi 5

Dalam negara yang demokratis, kebijakan publik yang dibuat mencerminkan


aspirasi masyarakat. Sedangkan di negara yang belum demokratis, terjadi distorsi
5
(Gaffar, 1991).

11
yang menghambat penyaluran aspirasi masyarakat kepada pembuat kebijakan. Oleh
karena itu, perumusan kebijakan publik yang berlangsung secara demokratis, sangat
tergantung dari ada tidaknya “ruang publik”, atau “ruang dialog” dalam proses
pembuatan suatu kebijakan.
Kalau kita bicara soal pembentukan civil society (baca: masyarakat mandiri)
sebenarnya bicara soal proses emansipasi politik atau proses penyamaan kesempatan
warga negara dalam pelibatan politik, pelibatan ekonomi, perlakuan hukum dan lain-
lain. Mengapa? Karena masyarakat mandiri sering digambarkan sebagai masyarakat
yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, tidak dibentuk oleh negara. Ruang
kebebasan merupakan tempat terwujudnya civil society, yang merupakan ruang
penengah antara kekuasaan (pemerintah) dan rakyat umum. Jadi cukup jelas, bahwa
civil society senantiasa bercirikan kebebasan serta keterlepasan dari pembatasan-
pembatasan dari kekuasaan 6
Keputusan kebijakan public yang dihasilkan lewat proses demokratis seperti
ini terasa begitu nyaman dan disukai banyak pihak. Hal ini juga akan bisa
memunculkan rasa memiliki (sense of ownership) di antara policy subsystem
terhadap kebijakan public yang telah dirumuskan bersama, mendorong timbulnya
rasa ikut terlibat (sense of participation) dalam proses implementasi dan akhirnya
akan memunculkan rasa ikut bertanggung jawab (sense of accountability) atas
dampak yang ihasilkan dari pelaksanaan kebijakan tersebut.

6
(Madjid, 2000:142)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Melalui pendekatan sistem politik, proses pembuatan kebijakan publik tidak
dipandang secara terbatas dan sempit sebagai hasil output dari suatu proses teknis-
birokratis dan aministratif yang diartikulasi dan diagregasi dalam suatu proses yang
berlangsung dalam sistem politik sehingga melahirkan kebijakan publik sebagai
output. Sebab, dalam ranah suatu sistem politik yang demokratis dan terbuka, maka
proses pembuatan kebijakan publik tidak berlangsung dalam ruang-ruang hampa,
tertutup dan netral melainkan senantiasa dipengaruhi oleh berbagai faktor yang ada di
luarnya, seperti faktor politik, sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya.
Pembuatan kebijakan merupakan sebuah tahap dalam siklus
hidupkebijakan.siklus hidup atau tahap-tahap dari suatu kebijakan pada dasarnya
yaitudimulai dari perumusan masalah, identifikasi alternative solusi,
penilaianalternatif, seleksi alternatif, implementasi kebijakan dan kembali pada
perumusanmasalah. Dalam penyusunan kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu
dilakukanyakni: (1) membangun persepsi dikalangan stakeholdersbahwa sebuah
fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. (2) membuat batasan masalah.
(3)memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda
pemerintahan. Adapun proses pembuatan kebijakan tersebut adalah:
1. Perumusan masalah
2. Forecasting
3. Rekomendasi kebijakan
4. Monitoring kebijakan
5. Evaluasi kebijakan
Proses analisis kebijakan public adalah serangkaian aktivitas intelektualyang
dilakukan dalam proseskegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politistersebut
nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda,formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan
penilaiankebijakan.sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, dan
evaluasikebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual

13
DAFTAR PUSTAKA
https://kebijakankesehatanindonesia.net/%2023-agenda/2496-proses-pengambilan-
kebijakan
https://www.academia.edu/10127759/Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses
http://repository.ut.ac.id/4025/1/MIPK5302-M1.pdf
http://repository.ut.ac.id/5655/1/2013_63.pdf

Anda mungkin juga menyukai