NIM : F1B012064
Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan
publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang bergerak
dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling
membentuk. Menurut Dye (2005, 31), bagaimana sebuah kebijakan dibuat dapat diketahui
dengan mempertimbangkan sejumlah aktivitas atau proses yang terjadi didalam sistem
politik.
Proses kebijakan publik merupakan proses yg amat rumit dan kompleks. Oleh
karenanya untuk mengkajinya para ahli kemudian membagi proses kebijakan publik ke dalam
beberapa tahapan. Tujuannya untuk mempermudah pemahaman terhadap proses tersebut
(Charles Lindblom, 1986: 3). Pembagian tersebut amat bervariasi antara ahli yang satu
dengan ahli lainnya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan. Misalnya : ada yang
menambahkan perubahan atau penghentian kebijakan setelah evaluasi kebijakan.
Stage 6
Stage 1
Policy
Agenda Setting
Termination
Stage 2
Stage 5
Policy
Policy Change
Formulation
Stage 3
Stage 4
Policy
Policy Evaluation
Implementation
Pada tahun 1956 Lasswell memperkenalkan tujuh tahap model proses kebijakan yang
terdiri dari kecerdasan, promosi, rekomendasi, pemanggilan, aplikasi, pemutusan, dan
penilaian. Model ini telah sangat berhasil sebagai kerangka dasar bagi bidang studi kebijakan
dan menjadi titik awal dari berbagai tipologi proses kebijakan. Versi-versi yang
dikembangkan oleh Brewer dan Deleon (1983), Mei dan Wildavsky (1978), Anderson
(1975), dan Jenkins (1978) adalah salah satu yang paling banyak diadopsi. Saat ini,
perbedaan antara agenda setting, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan,
dan evaluasi (akhirnya mengarah ke terminasi) telah menjadi cara yang konvensional untuk
dapat menggambarkan kronologi proses kebijakan.
Perspektif tahapan Lasswell telah melampaui analisis formal dari lembaga tunggal
yang mendominasi bidang kajian tradisional administrasi publik yang berfokus pada
kontribusi dan interaksi yang berbeda dari aktor dan institusi dalam proses kebijakan.
Selanjutnya, perspektif tahapan telah membantu mengatasi bias ilmu politik di sisi masukan
(perilaku politik, sikap, organisasi kepentingan) dari sistem politik. Kombinasi antara model
input-output Easton dengan perspektif tahapan Lasswell kemudian berubah menjadi model
siklus. Perspektif siklus menekankan proses umpan balik (loop) antara output dan input dari
pembuatan kebijakan, yang menyebabkan proses kebijakan berlangsung terus-menerus.
Integrasi model input-output Easton juga berkontribusi lebih lanjut pada diferensiasi dari
proses kebijakan. Alih-alih berakhir dengan keputusan untukmengadopsi program tindakan
tertentu, fokus diperluas untuk mencakup pelaksanaan kebijakan dan khususnya reaksi dari
Hogwood dan Peters (1983) mengusulkan gagasan tentang suksesi kebijakan untuk
menggarisbawahi bahwa kebijakan baru berkembang dalam suatu lingkungan yang telah
dipadati dengan kebijakan yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, sebelum kebijakan
baru menjadi bagian utama dari lingkungan pembuatan kebijakan sistemik, sering kebijakan
lain bertindak sebagai hambatan utama bagi pengadopsian dan implementasi kebijakan baru
dalam ukuran tertentu. Pada saat yang sama, kebijakan membuat efek samping dan menjadi
penyebab masalah kebijakan berikutnya – lintas sektor (misalnya, konstruksi jalan yang
mengarah ke masalah lingkungan) serta dalam sektor-sektor (misalnya, subsidi untuk produk
pertanian menyebabkan overproduksi) – dan, karenanya, kebijakan baru itu sendiri
(―kebijakan menjadi penyebab dirinya sendiri,‖ Wildavsky 1979, 83-85).
Untuk mengetahuai tentang agenda setting kita harus mencari tahu apa itu masalah
kebijakan. Karena masalah kebijakan yang nantinya akan dibuat agenda setting. Masalah
kebijakan (lester dan stewart,2000) adalah kondisi yang menimbulkan ketidak puasan
masyarakat sehingga perlu dicari penyelesaianya. Sedangkan agenda setting adalah suatu
tahap diputuskanya masalah yang menjadi perhatian pemerintah untuk dibuat menjadi suatu
kebijakan (Ripley, 1985)
Agenda setting merupakan sebuah langkah awal dari keseluruhan tahapan kebijakan.
Sehingga agenda setting menjadi tahap yang sangat penting dalam analisis kebijakan. Agenda
setting adalah tahap penjelas tahapan kebijakan lainya. Didalam masalalah kebijakan dan
agenda setting ini nantinnya akan dapat diketahuai kearah mana kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah apakah berpihak kepada rakyat atau sebaliknya.Dalam penentuan kebijakan
public sangatlah dipengaruhi oleh factor lingkungan.
Hasil agenda setting adalah seleksi antara beragam masalah dan isu. Ini adalah proses
penataan masalah strategi kebijakan mengenai potensi dan instrumen yang membentuk
pengembangan kebijakan pada tahap berikutnya dari siklus kebijakan. Jika asumsi ini
diterima bahwa tidak semua permasalahan yang ada bisa menerima tingkat perhatian yang
sama dan beberapa tidak diakui sama sekali (Baumgartener dan Jones 1993, 10), pertanyaan
tentang mekanisme agenda setting muncul. Apa yang dianggap sebagai masalah kebijakan?
Bagaimana dan kapan masalah kebijakan menjadi agenda pemerintah? Dan mengapa masalah
lain dikecualikan dari agenda? Selain itu, siklus perhatian masalah, dan pasang surut solusi
berhubungan dengan masalah spesifik yang menjadi aspek relevan dari studi kebijakan yang
memiliki perhatian terhadap agenda setting.
Penelitian sistematis dalam agenda setting terlebih dahulu muncul sebagai bagian dari
kritik terhadap pluralisme dalam Amerika Serikat. Salah satu pendekatan klasik
mengemukakan bahwa perdebatan politik dan karenanya, agenda setting muncul dari konflik
antara dua aktor, dengan aktor politik yang kurang kuat yang ingin meningkatkan perhatian
pada masalah (ekspansi konflik) (Schattschneider, 1960). Yang lainnya menyarankan bahwa
agenda setting ialah hasil dari suatu proses penyaringan isu dan masalah, sehingga non-
keputusan (isu-isu dan masalah yang sengaja dikeluarkan dari agenda formal). Langkah
penting dalam proses agenda setting adalah memindahkan suatu masalah dari pengakuan –
sering dinyatakan oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan atau aktor yang terkena
dampak – ke agenda politik formal.
Pertemuan dari sejumlah faktor dan variabel yang berinteraksi menentukan apakah isu
kebijakan menjadi topik utama dalam agenda kebijakan. Faktor-faktor ini mencakup kondisi-
kondisi material lingkungan kebijakan (seperti tingkat perkembangan ekonomi), dan aliran
dan siklus ide dan ideologi, yang penting dalam mengevaluasi masalah dan menghubungkan
mereka dengan solusi (proposal kebijakan). Dalam konteks itu, konstelasi kepentingan antara
aktor yang relevan, kapasitas lembaga yang bertanggungjawab untuk bertindak secara efektif,
dan siklus persepsi masalah publik serta solusi yang berhubungan dengan masalah yang
berbeda adalah sangat penting.
Untuk menelaah isi atau masalah kebijakan, menurut Ripley perlu dipahami terlebih
dahulu kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Contoh : Penaikan Harga Bahan Bakar
Minyak. Masalah kebijakan dalam penaikan harga BBM adalah dari segi naiknya harga
minyak mentah dunia yang berpengaruh pada perekonomian suatu Negara. Dengan naiknya
harga minyak mentah dunia, pemerintah memiliki permasalahan tentang BBM apakah
nantinya pemerintah akan menaikan atau akan tetap pada harga awal. Jika pemerintah
menaikan harga BBM masalah dari kebijakan akan luas dampaknya. Terutama dari segi
ekonomi mengingat daya beli masyarakat kita yang masih rendah. Sehingga masyarakat
miskin akan bertambah. Atau dari segi social, dengan biaya produksi yang tingggi para
pengusaha akan menekan biaya produksi, dan biasanya pengusaha dalam upay penekanaan
biaya produksi akan mem-PHK karyawan.
Dengan masalah yang vital dan menyangkut masyarakat banyak. Pemerintah dituntut
untuk bijak dalam mengambil kebijakan ini, karena masalah ini menyangkut masyarakat
banyak. Dan pemerintah itu sendiri.
b. Ciri-ciri Masalah
Contoh-contoh berikut ini akan membuat kita berhati-hati untuk tidak menerima
begitu saja masalah kebijakan, karena pemahaman atau akal sehat sehari-hari acapkali
menyesatkan ketika kita berurusan dengan hal-hal rumit seperti masalah-masalah kebijakan.
Uraian berikut ini menjelaskan beberapa ciri penting dari masalah kebijakan:
Terdapat banyak solusi untuk suatu masalah sebagaimana terdapat banyak definisi
terhadap masalah tersebut. ―Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang
konstan; dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan. Solusi terhadap masalah
dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang."
Sistem masalah (messes) bukan merupakan kesatuan mekanis: melainkan sistem yang
bertujuan (teleologis), di mana (1) tidak ada dua anggotanya yang sama persis di dalam
semua atau bahkan setiap sifat-sifat atau perilaku mereka; (2) sifat-sifat dan perilaku setiap
anggota mempunyai pengaruh pada sifat-sifat dan perilaku sistem secara keseluruhan; (3)
sifat-sifat dan perilaku setiap anggota, dan cara setiap anggota mempengaruhi sistem secara
8 | Teori Kebijakan Publik
keseluruhan, tergantung pada sifat-sifat dan perilaku paling tidak dari salah satu anggota
system; dan (4) dimungkinkan sub kelompok anggota mempunyai suatu pengaruh yang tidak
bebas atau tidak independen pada sistem secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa sistem
masalah—kejahatan, kemiskinan, pengangguran, inflasi, energi, polusi, kesehatan—tidak
dapat dipecah ke dalam rangkaian yang independen tanpa menimbutkan risiko menghasilkan
solusi yang tepat terhadap masalah yang salah.
Kunci karakteristik dari sistem permasalahan adalah bahwa seluruh sistem lebih besar—
yaitu, berbeda secara kualitatif—daripada sekedar jumlah dari bagian-bagiannya. Suatu
tumpukan batu dapat didefinisikan sebagai jumlah masing-masing batu tetapi tidak sebagai
suatu piramida.
Sementara itu, proses penyusunan agenda kebijakan menurut Anderson secara runtut
adalah:
a. Private Problems
b. Public Problems
Masalah publik diartikan sebagai masalah yang mempunyai akibat yang luas,
termasuk akibat-akibat yang mengenai orang -orangnyg terlibat secara tidak langsung.
c. Issues
Issues menurut John,adalah problema publik yang saling bertentangan satu sama lain
(controversial public problems). Issues dapat diartian juga sebagai per bedaan-perbedaan
pendapat di masyarakat trntang persepsi dan solusi (policy action) terhadap suatu masalah
publik. Issues kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksepakatan mengenai arah tindakan
yang aktual dan potensial,tetapi juga mencermknkan pertentangan pandangan mengenai sifat
masalah itu sendiri. Dengan begitu, isu kebijakan merupakan hadil perbebatan tentang
definisi,klasifikasi,eksplanasi dan evaluasi masalah (Dunn,1995:97). Issues kebijakan tadi
kemudian mengalir dan masuk dalam agenda pemerintah. Agenda pemerintah merupakan
sejumlah daftar masalah di mana para pejabat publik menaruh perhatian yang serius pada
waktu tertentu. Agenda pemerintah,menurut Cobb dan Elder dalam John (1984), dibedakan
menjadi 2 macam,yaitu agenda sistemik dan agenda institusional.
d. Systemic Agenda
Agenda sistemik merupakan semua isu yang pada umumnya dirasakan oleh para
anggota masyarakat politik yang patut mendapat perhatian publik dan isu tersebut memang
berada dalam yurisdiksi kewenangan pemerintah. Semakin besar suatu isu maka akan
mencapai status pada agenda sistemik dan kemudian pindah ke agenda formal atau
institusional. Pada dasarnya, proses ini akan terjadi bila suatu masalah memiliki beberapa
karakteristik, seperti spesifisitas,signifikansi sosial, relevansi temporal, kompleksitas, dan
kategoris diutamakan.
e. Institusional agenda
Setelah adanya proses agenda sistematis dalam isu kebijakan baru masuk ke agenda
institutional yang merupakan serangkaian masalah yang secara tegas membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat keputusan yang sah/otoritas.
Menurut Cobb dan Elder, tiga prasyarat yang dianggap diperlukan untukmasalah dalam
memperoleh status dalam agenda sistemik: (1) perhatian luas atau setidaknyakesadaran akan
masalah ini, (2) menjadi perhatian bersama dari sebagian ukuran darimasyarakat bahwa
beberapa jenis tindakan yang diperlukan menjadi obat masalah ini, dan
Proses penyusunan agenda yang sudah dipilah pemerintah dan dimasukan menjadi
isumerupakan sesuatu yang dapat dilaksanakan dengan mudah. Karena masalah publik
yangditangani pemerintah tak hanya meliputi satu aspek atau publik, sehingga proses
penangananmasalah tersebut menjadi suatu isu pemerintah dan kemudian dipecahkan
menjadi satukebijakan dapat memakan waktu yang lama. Untuk mempercepat proses
tersebut, peranmedia dibutuhkan untuk mendengungkan masalah public yang ada. Seperti
yang diketahuimedia berfungsi mengamati atas suatu permasalahan (Harold laswell dalam
Alwi Dahlan,2008) kemudian di publikasikan agar masalah public dapat memperoleh
perhatian masyarakat.
Jones menyatakan bahwa ―not all problems become public, not all public problems
became issues, and not all issues are acted on in government agenda.‖ ( tidak semua masalah
dapat menjadi masalah umum/public, dan tidak semua masalah public dapat menjadi issu,
dan tidak semua issu dapat menjadi agenda pemerintah).
Terdapat tiga kelas masalah kebijakan (Dunn, 1994:146), yaitu: masalah yang
sederhana (well-structured), masalah yang agak sederhana (moderately-structured) dan
masalah yang rumit (ill-structured). Struktur dari masing-masing kelas ini ditentukan oleh
tingkat kompleksitasnya, yaitu, derajat seberapa jauh suatu masalah merupakan sistem
permasalahan yang saling tergantung. Perbedaaan di antara masalah-masalah yang sederhana,
agak sederhana, dan run-it digambarkan dengan mempertimbangkan variasi di dalam elemen-
elemen mereka.
Table 5-1. Perbedaan dalam struktur dari tiga tipe masalah kebijakan
STRUKTUR MASALAH
ELEMEN Sederhana Agak Sederhana Rumit
Pengambilam ke- Satu atau beberapa Satu atau beberapa Banyak
putusan Tebatas Terbatas Tak terbatas
Alternatif Konsensus Konsensus Konflik
Kegunaan (nilai) Pasti atau berisiko Tidak pasti Tidak diketahui
Hasil Dapat dihitung Tak dapat dihitung Tak dapat
Probabilitas dihitung
a. Perspektif Elitis
Stewart menyatakan bahwa kaum elit beranggapan bahwa kekuatan atau pengaruh
yang dimiliki oleh elit dapat mendominasi atau mempengaruhi pembuatan keputusan publik.
Seperti yang diungkapkan oleh Thomas R Dye pada buku The Irony of Democracy
menjelaskan bahwa elit akan berusaha untuk mempertahankan sistem yang ada,
yakni kekuasaan di tangan elit - dengan segala hal yang dapat dilakukannya. Kaum elit yang
b. Perspektif Pluralis
Kaum pluralist beranggapan bahwa pihak yang memiliki kepentingan (interest group)
memiliki dominasi untuk menyusun agenda untuk pembuatan kebijakan. Mereka
beranggapan bahwa agenda setting merupakan proses yang terjadi akibat aktivitas-aktivitas
yang dilakukan oleh kelompok kepentingan yang dominan. Kelompok dominan tersebut akan
memberikan upaya dalam bentuk tekanan terhadap pemerintah agar keeinginannya terdapatdi
agenda setting, atau bahkan memberikan tekanan agar keinginannya sampai
diwujudkandalam sebuah kebijakan.
c. Subgovernment
Peran apa yang dapat dimainkan oleh pemerintah dalam proses penyusunan agenda
pemerintah (Agenda Setting)?
1. Let it happen (membiarkan hal itu terjadi):
a. Pemerintah cenderung berperan sebagai pihak yang pasif dalam penyusunan
agenda pemerintah.
b. Pemerintah hanya berusaha untuk menjaga saluran informasi – komunikasi dan
penyelesaian masalah publik berjalan secara alami, tanpa intervensi aktif dari
policy maker.
Cobb, Ross, dan Ross dalam Stewart mengidentifikasi tiga model yang berbeda dari
agenda setting. Model pertama adalah model inisiatif luar, yang sangat mirip dengan
modelasli diusulkan oleh Cobb dan Elder. Model kedua mereka adalah model mobilisasi,
dimanaisu-isu tersebut dimulai di dalam pemerintahan dan status agenda akhirnya tercapai.
Model kedua ini mirip dengan yang disarankan earlierby Davies. Model ketiga mereka
disebut model inisiatif dalam, yang menggambarkan sebuah proses di mana masalah muncul
dalam pemerintah tetapi tidak diperluas ke masyarakat umum. Pendukung isu itu diinginkan
untuk menjaga masalah dalam arena pemerintahan secara eksklusif.
Cobb & Elder (Anderson, 1979) mengklasifikasikan agenda kebijakan atas dua jenis, yaitu:
1. Agenda Sistemik (systemic agenda): terdiri atas semua isu yang dipandang secara
umum oleh anggota masyarakat sebagai masalah yang patut memperoleh perhatian
publik, mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap
jenjang pemerintahan masing-masing.
2. Agenda Pemerintah (governmental agenda): adalah serangkaian masalah yang secara
tegas mendapat perhatian aktif dan serius dari pembuat kebijakan, guna mendapatkan
penyelesaian melalui kebijakan publik yang otoritatif.
Apabila sejumlah masalah publik telah tampil sebagai agenda pemerintah, langkah
selanjutnya adalah kewajiban pembuat kebijakan untuk memprosesnya dalam beberapa fase
berikut (Jones, 1996):
1. Problem definition agenda → pada fase ini masalah publik dirumuskan dan mendapat
perhatian serius dari pembuat kebijakan.
Kondisi Nondecision-making
Peter Bachrach dan Morton Baratz (dalam Islamy, 2005) memberikan pendapat
mengenai tindakan untuk tidak membuat keputusan (nondecision-making) yang diambil oleh
para pembuat kebijakan merupakan suatu cara dengan mana tuntutan-tuntutan untuk
melakukan perubahan terhadap pengalokasian keuntungankeuntungan dan hak-hak istimewa
pada masyarakat dapat ditekan atau dihilangkan bahkan sebelum sempat disampaikan, atau
dibiarkan tetap tertutup; atau dimatikan sebelum hal tersebut memperoleh kekuatan untuk
bisa muncul dalam arena pembuatan kebijakan yang sesuai. Penolakan tersebut mungkin
dapat dilakukan dengan cara:
1. Menggunakan kekuatan (kekuasaan) tertentu, atau dengan kata lain menggunakan
tekanan;
2. Mungkin juga menggunakan nilai-nilai dalam masyarakat (ataupun para pembuat
kebijakan) untuk menolak pembuatan keputusan dan kebijakan tersebut; dan
3. Karena untuk mempertahakan status-quo sehingga pembuat keputusan tidak
merumuskan kebijakan dengan alasan untuk menghindari atau menghilangkan konflik
yang terjadi diantara para pembuat kebijakan.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah, bahwa pendapat Thomas Dye
mengenai definisi kebijakan publik yaitu bahwa membuat keputusan ataupun tidak membuat
keputusan pada dasarnya sama-sama membawa konsekuensi bagi masyarakat.
Selama tahap dari siklus kebijakan, dinyatakan masalah, proposal, dan tuntutan
berubah ke dalam program pemerintah. Formulasi kebijakan dan adopsi mencakup definisi
tujuan – apa yang harus dicapai dengan kebijakan – dan pertimbangan alternatif tindakan
yang berbeda. Beberapa penulis membedakan antara perumusan (alternatif untuk tindakan)
19 | Teori Kebijakan Publik
dan adopsi akhir (keputusan formal untuk mengambil kebijakan). Karena kebijakan tidak
akan selalu diformalkan ke program terpisah dan pemisahan yang jelas antara formulasi dan
pengambilan keputusan sangat sering mungkin terjadi, kita memperlakukan mereka sebagai
sub tahapan satu panggung dari siklus kebijakan.
Dalam upaya mencoba untuk memperhitungkan gaya, pola, dan hasil yang berbeda
dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, studi tentang tahap kerangka siklus
telah sangat berorientasi teori. Selama dua dekade terakhir ini, koneksi berbuah dengan teori
keputusan organisasi yang telah berkembang. Pada saat yang sama, studi perumusan
kebijakan telah lama sangat dipengaruhi oleh upaya untuk memperbaiki praktek dalam
pemerintah dengan memperkenalkan teknik dan alat perumusan keputusan yang lebih
rasional. Hal ini menjadi paling nyata selama masa kejayaan perencanaan politik dan
kebijakan reformasi di 1960-an dan 1970-an. Analisis kebijakan adalah bagian dari koalisi
reformasi yang terlibat dalam pengembangan alat-alat dan metode untuk mengidentifikasi
kebijakan yang efektif dan hemat biaya (Wittrock, Wegner, dan Wollmann 1991, 43-51;
Wollmann 1984).
Pemerintah dan PNS lebih tinggi tidak sepenuhnya lepas dari masyarakat yang lebih
luas ketika merumuskan kebijakan; sebaliknya, mereka terus-menerus berinteraksi dengan
aktor-aktor sosial dan membentuk pola hubungan yang agak stabil (jaringan kebijakan).
Sedangkan keputusan akhir dari kebijakan tertentu tetap berada di wilayah lembaga yang
bertanggungjawab (terutama kabinet, menteri, DPR), keputusan ini didahului oleh proses
negosiasi pembentukan kebijakan lebih atau kurang informal, dengan menteri departemen
Alternatif kebijakan merupakan sejumlah alat atau cara yang dapat digunakan
untuk mencapai, langsung ataupun tidak langsung sejumlah tujuan dan sasaran yang
telahditentukan sebelumnya (Mustopadijaja). Menurut William N. Dunn, alternatif kebijakan
(policy alternatives) adalah arah tindakan yang secara potensial tersedia yang dapat memberi
sumbangan kepada pencapaian nilai dan karena itu kepada pemecahan masalah kebijakan.
Brewer dan De Leon menggambarkan alternatif kebijakan sebagai pilihan diantara alternatif-
alternatif kebijakan yang telah berhasil diusulkan bagi pemecahan masalah yang sudah
diperkirakan.
Pada prinsipnya, alternatif kebijakan adalah alat atau cara-cara dan juga merupakan
pilihan-pilihan yang dipergunakan dalam
perumusan kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sehingga dapat
dilaksanakan oleh aktor-aktor kebijakan publik.
Alternatif kebijakan dapat dikatakan sebagai tahapan politik dengan mengajukan berbagai
solusi potensial bagi masalah yang dihadapi pembuat kebijakan publik. Pilihan yang paling
mungkin diputuskan bukan untukmengambil tindakan khusus, melainkan untuk penemuan
penyelesaian masalah dengan jalan yang terbaik.
Aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat di bagi menjadi kelompok
formal dan kelompok non formal. Kelompok formal biasanya terdiri dari aktor resmi yang
mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan seperti eksekutif, legislatif dan eksekutif.
Sedangkan pada aktor non formal terdiri dari masyarakat baik individu, kelompok
kepentingan maupun aktor partai politik.
Menurut Howlett dan Ramesh (1995:50-59) beberapa aktor atau organisasi yang
berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan, antara lain:
1. eksekutif dan legislatif yang dihasilkan melalui pemilihan umum (elected officials);
2. pejabat atau birokrat yang diangkat (appointed officials);
3. kelompok kepentingan (interest group);
4. organisasi peneliti; dan
5. media massa.
Selain lima hal tersebut, aspek lain yang berpengaruh dalam kebijakan publik antara lain:
1. bentuk organisasi negara;
2. struktur birokrasi;
3. organisasi kemasyarakatan;
4. kelompok bisnis.
Sesuai pendapat Lester dan Steward (2000) dalam Kusumanegara (2010:88-89), para aktor
perumus kebijakan terdiri dari:
1. agen pemerintah; yaitu terdiri dari para birokrat karier. Mereka adalah aktor yang
mengembangkan sebagian besar usulan kebijakan (inisiator kebijakan);
2. kantor kepresiden; yaitu presiden atau aparat eksekutif. Keterlibatan presiden dan
perumusan kebijakan ditunjukan dengan pembentukan komisi kepresidenan, task
forces dan komite antar organisasi;
Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang
berasal dari aktor negara maupun aktor non negara atau yang disebut oleh Anderson (2006:
46-67) sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non
pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat kebijakan resmi atau disebut pula
aktor resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan
kebijakan publik. Yang termasuk dalam aktor resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi),
presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif.
Pada pembahasan mengenai kebijakan publik, maka aktor mempunyai posisi yang
sangat strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan (institusi) kebijakan itu sendiri.
Interaksi aktor dan kelembagaan merupakan penentu proses perjalanan dan strategi yang
dilakukan oleh komunitas kebijakan dalam makna yang lebih luas. Menurut howlett dan
Ramesh dalam Madani (2011:36) menjelaskan bahwa pada prinsipnya aktor kebijakan adalah
mereka yang selalu dan harus terlibat dalam setiap proses analisa kebijakan publik, baik
berfungsi sebagai perumus maupun kelompok penekan yang senantiasa aktif dan proaktif di
dalam melakukan interaksi dan interelasi di dalam konteks analisis kebijakan publik.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Anderson dalam Madani (2011:37) bahwa aktor
kebijakan meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu mempunyai
konsern terhadap kebijakan. Aktor individu maupun kelompok yang turut serta dalam setiap
perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik. Berdasarkan pendapat ahli, maka
dapat disimpulkan bahwa aktor kebijakan yaitu seorang maupun sekelompok orang yang
terlibat dalam penentu kebijakan, baik pada proses perumusan, implementasi dan evaluasi
kebijakan publik. Aktor kebijakan ini dapat berasal dari pejabat pemerintah, masyarakat,
kaum buruh, maupun kelompok kepentingan.
Terdapat sejumlah model perumusan kebijakan publik yang dikemukakan oleh para
ahli antara lain : Model Institusional, Model Elit–Massa, Model Kelompok, Model Sistem–
Politik, Model Rational-Comprehensive, Model Incremental, Model Mixed-Scanning.
Model-model ini bertujuan untuk menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang sangat
rumit, dan sekaligus mudah dimengerti. Untuk pemahaman lebih lanjut maka dapat
dijabarkan model tersebut sebagai berikut :
1. Model Institusional. Model ini merupakan model yang tradisional dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada
struktur organisasi pemerintah karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada
lembaga-lembaga pemerintah. Maka kebijakan publik secara otoritatif dirumuskan
dan dilaksanakan pada lembaga-lembaga pemerintah.
2. Model Elit Massa . Menurut Nicholas Henry (1975) dalam Setyodarmodjo
(2005:251) model ini memandang administrator-adminitrator pemerintahan tidaklah
tampil sebagai ―pelayan rakyat‖ melainkan lebih bertindak sebagai
―penguasa‖. Dalam model elit-massa ini, kekuasaan pemerintah berada ditangan
kaum elit. Kaum elitlah yang menentukan kebijakan publik, sedang pejabat
pemerintah atau para administrator hanya melaksanakan kebijakan yang ditentukan
oleh kaum elit. Dengan demikian masyarakat hanya tinggal menerima apa saja yang
dikehendaki pejabat.
3. Model Kelompok. Model ini menganut paham David B. Truman (1951) dalam Islamy
(2007:42) yang menyatakan bahwa interkasi kelompok-kelompok adalah merupakan
kenyataan politik. Individu-individu yang memiliki kepentingan yang sama
mengikatkan baik secara formal maupun informal kedalam kelompok kepentingan
(interest group) yang dapat mengajukan dan memaksakan kepentingan-
kepentingannya kepada pemerintah. Menurut teori kelompok, kebijakan publik adalah
merupakan perimbangan (equilibrium) yang dicapai sebagai hasi perjuangan
a. Faktor Politik.
Dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai faktor
kebijakan (policy aktor), baik aktor – aktor dari kalangan pemerintah (Presiden, menteri,
panglima TNI dan lain-lain), maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, media
massa, LSM dan lain-lain).
b. Faktor Ekonomi / Finansial.
Faktor ini perlu dipertimbangkan, terutama apabila kebijakan tersebut akan
menggunakan dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam
negara/daerah, seperti yang kita ketahui bersama, sejak diberlakukannya Otonomi Daerah
kepada Kabupaten/Kota di Indonesia, sejak saat itu pula semua daerah sudah berlomba-lomba
untuk membuat/memunculkan ide-ide baru dalam bentuk kebijakan tanpa memperhatikan
keuangan daerah, sehingga banyak pula daerah dalam pelaksanaan anggaran mengalami
defisit, dan jelas hal ini mempengaruhi terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan masyarakat.
c. Faktor Administrasi / Organisatoris.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik.
Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan
yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat
administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya
diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau
tujuan yang diinginkan.
Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan
implementasi kebijakan publik sebagai: ‖Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi
publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-
keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu
maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar
dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan‖.
Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran
ditetapkan terlebih dahulu yang dilakukan oleh formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap
implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan
untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.Implementasi kebijakan merupakan tahap
yang bersifat praktis dan berbeda dengan formulasi kebijakan sebagai tahap yang bersifat
teoritis. Anderson (1978:25) mengemukakan bahwa: ”Policy implementation is the
application by government`s administrative machinery to the problems.” Kemudian Edward
Proses implementasi kebijakan yang ideal akan mencakup elemen inti sebagai berikut:
Spesifikasi detail program, yaitu bagaimana dan dimana lembaga/organisasi program
seharusnya akan dieksekusi? Bagaimana hukum/program ditafsirkan?
Alokasi sumber daya, yaitu bagaimana anggaran didistribusikan? Personil yang mana
yang akan mengeksekusi program? Unit organisasi yang mana yang akan
bertanggungjawab untuk eksekusi?
Keputusan, yaitu bagaimana keputusan kasus tunggal dilakukan?
Deteksi tahap pelaksanaan sebagai missing link (Hargove, 1975) di dalam studi
kebijakan dapat dianggap sebagai salah satu inovasi konseptual yang paling penting dari
penelitian kebijakan pada 1970-an. Sebelumnya, pelaksanaan kabijakan ini tidak diakui
sebagai tahap yang terpisah di dalam atau elemen dari proses pembuatan kebijakan.
Proses implementasi program dalam sebuah kebijakan, tentunya ada aktor-aktor yang
terlibat. Aktor-aktor itu bisa berasal dari masyarakat sipil, pemerintahan,maupun pihak
swasta. Masyarakat sipil misalkan organisasi komunitas, organisasi inisering merancang
kebijakan politik yang berlabel masyarakat. Dengan sendirinyamasyarakat, baik itu individu
maupun kelompok terlibat dalam implementasi programyang telah legislasi. Kemudian, aktor
dari pemerintahannya seperti birokrasi yangmenjadi agen administrasi yang paling
Menurut Anderson dan Lester dan Stewart (Solahuddin K, 2009:100), dalam tahapan
implementasi terdapat berbagai aktor yang terlibat. Mereka bisa berasal dari kalangan
pemerintah maupun masyarakat, dan diidentifikasi dari kalangan birokrasi, legislatif, lembaga
peradilan, kelompok-kelompok penekan dan organisasi komunitas.
1. Birokrasi
Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi
seperti yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006:27): ‖Bureaucracies
are dominant in the implementation of programs and policies and have varying degrees of
importance in other stages of the policy process. In policy and program formulation and
legitimation activities, bureaucratic units play a large role, although they are not
dominant‖. Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam
implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan publik
dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun tidak dominan. Birokrasi sebagai aktor
adminitratif yang memiliki tanggungjawab dalam implementasi kebijakan. birokrasi
merupakan aktor yang memiliki wewenang dalam implementasi kebijakan publik karena
birokrasi merupakan lembaga yang diberi mandat dari legeslatif.
2. Organisasi Komunitas
Organisasi ini adalah target dari implementasi kebijakan itu sendiri. Organisasi
komunitas melakukan teknik implementasi kebijakan, yaitu untuk mengukur kesesuaian
peleksanaan kebijakan.
3. Badan Legislatif
Legeslatif bisa dikatakan sebagai aktor imlementasi kebijakan ketika mereka ikut
serta dalam membuat kebijakan yang bersifat spesifik dan detail. Hal ini untuk
mempengaruhi adminitrasi.
5. Kelompok Kepentingan
Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul.
Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi seperti
yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : ―Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke
tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia‖. Menurutnya, model
rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa
yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem.
Model Rasional (top down) ini lebih menekankan pada usaha untuk mengidentifikasi
fakto-faktor apa saja yang membuat suatu kebijakan bisa berjalan sukses di lapangan.
Menurut Parsons (2008), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Van Meter
Kelebihan:
Masyarakat hanya sebagai objek dari sebuah kebijakan sehingga peran pemerintah
lebih optimal dan masyarakat tidak ikut bekerja.
Kinerja pemrintah lebih optimal.
Kelemahan:
Seringkali pendekatan top down tidak tepat sasaran karena salah dalammerumuskan
solusi atas masalah publik.
Masyarakat tidak bisa berperan aktif dalam program.
Masyarakat tidak bisa melihat seberapa jauh program itu dilaksanakan.
Masyarakat menjadi kurang kreatif dengan ide-ide mereka.
Belum tentu kebijakan dalam pendekatan ini mampu menjawab keinginanmasyarakat.
Model instruksi/SOP yang serta kontrol prosedur yang terlalu ketat seringkali
membuat implementasi kebijakan gagal mencapai tujuan kebijakan.
Relevansi Implementasi
Kebijakan yang relevan dengan pendekatan ini yaitu kebijakan yang dapatmereduksi
masalah- masalah yang sifatnya kontroversial, berdampak luasterhadap kelangsungan
mayoritas masyarakat serta masalaha publik yang tidakdapat didesentralisasikan. Contoh:
kebijakan tentang subsidi BBM, kebijakan tentang ekspor impor,kebijakan tentang hubungan
luar negeri, kebijakan tentang ketahan pangan, dan lain-lain.
Pendekatan top down serupa dengan pendekatan command and control (Lester
Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up serupa dengan pendekatan the market
approach (Lester Stewart, 2000:108). Pendekatan top down atau command and
Kelebihan:
Peran masyarakat dapat optimal dalam memberikan ide-ide kepada pemerintah
Tujuan yang diinginkan oleh masyarakat dapat di terwujud dan berjalan
sesuaikeinginan masyarakat
Kelemahan:
Akan adanya perbedaan pendapatan dalam implementasi kebijakan antara pemerintah
sebagai pembuat kebijakan dengan masyarakat selaku pelaksanadan objek sasaran
program.
Dari segi waktu, pendekatan ini memakan waktu yang lebih lama
daripadaimplementasi dengan pendekatan top down, karena ketiadaan model
alurimplementasi kebijakan.
Relevansi implementasi
Kebijakan-kebijakan yang merujuk kelompok sasaran secara langsung sebagai target
perubahan, akan lebih cocok menggunakan pendekatan ini. Misalnya kebijakan yang
bertujuan memberikan layanan kesehatan, pendidikan,
peningkatan perekonomian di pedesaan, dan lain sebagainya, serta
mengharuskan implementor lapis terbawah berhadapan langsung dengan kelompok
sasarannya (misal dokter, perawat kesehatan di Puskesmas, guru, dan sebagainya). Contoh:
kebijakan pemberdayaan petani, kebijakan pemberdayaan UMKM, dan lain-lain.
Model sudut pandang Top-down yang rasional perspektif ini tak lama kemudian
mendapatkan kritik bertubi – tubi. Kritik pertama adalah bahwa pandangan ini masih terlalu
menitik beratkan pada sudut pandang pembuat kebijakan. Bahwa dengan menyediakan
prasyarat-prasyarat sukses sebuah implementasi yang telah dihitung dan dianalisis dengan
cermat oleh pembuat kebijakan dan pelaksana tingkat atas (high level bureaucrazy), maka
kebijakan dengan sendirinya akan lebih berhasil dalam implementasinya. Pendekatan ini
melupakan peran pelaksana tingkat bawah yang pada kenyataannya justru lebih banyak
berperan. Kritik kedua adalah bahwa pendekatan perspektif untuk persoalan implementasi
hanya akan dapat bersifat terbatas pada ruang dan waktu serta permasalahan yang serupa.
Padahal sebagaimana diketahui variasi masalah kebijakan yang luas, serta ruang dan waktu
pemerintahan yang berbeda, akan memebawa perbedaan pula dalam cara pemecahan
39 | Teori Kebijakan Publik
masalahnya. Oleh karena itu model Top-down kemudian diikuti oleh model sudut pandang
Bottom-up dan model Sintesis (Wayne Parson, 2008)
Sudut pandang Model Sintesis muncul sekitar tahun 1982 dengan tokohnya yang
popular Randall P. Ripley & Grace Franklin. Model Sintesis ini memadukan kedua model
sebelumnya (Top-down dan Bottom up) dengan tekanan utama yang bisa beragam, mulai
pada jaringan interaksi antar aktor pelaksana sampai pada pendekatan sosiologis, dan lain-
lain. Karenanya, dalam beberapa literature juga disebut sebagai teory atau model Hybrid.
Teori-teori hasil sintesis (hybrid theories) ini disempurnakan melalui pendekatan policy
subsystem, yaitu semua aktor terlibat secara interaktif satu sama lain dalam proses politik dan
kebijakan. Pada proses ini dibatasi oleh parameter yang relative stabil serta kejadian di luar
subsistem.
Kelebihan:
Pendekatan ini bisa diterapkan di berbagai masalah implementasi kebijakan
Berusaha mengkolaborasikan intervensi dari pemerintah dengan partisipasimasyarakat
secara aktif.
Kebijakan terdesentralisasi tapi pemerintah tetap memiliki andil utukmengendalikan
dan mengawasi.
Kelemahan:
Terkadang kebijakan yang diambil pemerintah tidak sesuai dengankarakteristik
wilayah sebagai sasaran kebijakan.
Jika implementor tidak mempunyai kapabilitas dalam implementasi kebijakan,maka
kebijakan tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan, baik oleh pemerintah sebagai
pembuat kebijakan maupun publik sebagai sasarankebijakan.
Relevansi implementasi
Kebijakan yang menekankan pada karakteristik wilayah dan daerah sasarankebijakan,
karena campuran antara pendekatan top down yang didesentralisasikandalam
implementasinya.Contoh: kebijakan terkait otonomi daerah, kebijakan tentang DAU dan
DAK,Kebijakan pengembangan sektor- sektor potensial daerah, dan lain-lain.
Karena sifat dari pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang begitu
kompleks, maka tidak ada satu instrumen yang dapat dijadikan solusi tunggal untuk
menyelesaikan semua masalah yang ada. Pemerintah dapat menerapkan berbagai jenis
instrumen sesuai dengan peruntukannya untuk menyelesaikan masalah – masalah kebijakan
yang berbeda. Berdasarkan taksonomi instrumen yang dilakukan oleh Michael Howlett dan
M. Ramesh (1995), terdapat sepuluh jenis instrumen kebijakan yang kemudian
dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu : instrumen sukarela (Voluntary Instruments),
instrumen campuran (Mixed Instruments), dan instrumen wajib (Compulsory Instruments).
Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi
setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan
instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga
menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis,
implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas
beberapa tahapan yakni:
1. Tahapan pengesahan peraturan perundangan
2. Pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana
3. Kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan
4. Dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak
5. Dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana
6. Upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan
1. Tahapan Intepretasi
Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang bersifat abstrak
dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan yang lebih bersifat manajerial dan
operasional. Dalam Nugroho (2006) disebutkan bahwa untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langka yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan
dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari
kebijkan publik tersebut. Kebijakan abstrak biasanya tertuang dalam bentuk peraturan
perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, bisa berbentuk perda ataupun
undang-undang. Kebijakan manajerial biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif
yang bisa berupa peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan
2. Tahapan Pengorganisasian
Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan pelaksana kebijakan (policy implementor) –
yang setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai berikut: instansi pemerintah (baik pusat
maupun daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen masyarakat. Setelah pelaksana
kebijakan ditetapkan; maka dilakukan penentuan prosedur tetap kebijakan yang berfungsi
sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi pelaksana dan sebagai pencegah terjadinya
kesalahpahaman saat para pelaksana tersebut menghadapi masalah. Prosedur tetap tersebut
terdiri atas prosedur operasi standar (SOP) atau standar pelayanan minimal (SPM). Langkah
berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber pembiayaan. Sumber
pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah (APBN/APBD) maupun sektor lain
(swasta atau masyarakat). Selain itu juga diperlukan penentuan peralatan dan fasilitas yang
diperlukan, sebab peralatan tersebut akan berperan penting dalam menentukan efektifitas dan
efisiensi
pelaksanaan kebijakan. Langkah selanjutnya – penetapan manajemen pelaksana kebijakan –
diwujudkan dalam penentuan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan, dalam hal ini
penentuan focal point pelaksana kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan implementasi
kebijakan segera disusun untuk memperjelas hitungan waktu dan sebagai salah satu alat
penentu efisiensi implementasi sebuah kebijakan.
3. Tahapan Implikasi
Tindakan dalam tahap ini adalah perwujudan masing-masing tahapan yang telah
dilaksanakan sebelumnya.
Menurut Hogwood dan Gun, bahwa kebijakan publik mengandung resiko untuk gagal.
Keduanya membagi dua pengertian tentang kegagalan kebijakan (policy failure), yaitu :
1. Tidak terimplementasikan (Non Implementation).
Suatu kebijakan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana dan pada akhirnya
berakibat pada implementasi yang tidak efektif dan sulit untuk dipenuhi.
2. Implementasi yang tidak berhasil (Unsucessfull Implementation).
Peter mengatakan, implementasi kebijakan yang gagal disebabkan oleh beberapa factor:
1. Kekurangan informasi sehingga menyebabkan gambaran gambaran yang kurang tepat
mengenai isi kebijakan yang sesungguhnya. Gambaran yang kurang jelas ini
berdampak buruk kepada objek kebijakan maupun kepada pelaksana dari isi kebijakan
yang akan dilaksanakan dan hasil dari kebijakan itu. Hal ini juga menghindari
kesalahpahaman dan agar menyamakan persepsi antara kedua belah pihak.
2. Isi kebijakan yang samar-samar dan tidak jelas atau tidak tegas. Implementasi
kebijakan bisa gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau
ketidaktepatan intern maupun ekstern kebijakan itu sendiri dan menunjukkan adanya
kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber
daya.
3. Tidak cukupnya dukungan dalam melaksanakan kebijakan. Implementasi kebijakan
akan sangat sulit apabila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan terhadap
kebijakan tersebut.
4. Pembagian potensi yang bersifat diferensiasi tugas dan wewenang para aktor
implementasi kebijakan. Hal ini terkait dengan pembagian potensi di antara para aktor
implementasi dan dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.
Selain itu, peran evaluasi dalam proses kebijakan jauh melampaui ruang lingkup studi
evaluasi ilmiah. Evaluasi kebijakan berlangsung rutin dan sebagai bagian proses dan
perdebatan politik. Oleh karena itu, evaluasi ilmiah telah dibedakan dari evaluasi administrasi
yang dilakukan atau diprakarsai oleh administrasi publik dan evaluasi politik yang dilakukan
oleh beragam aktor dalam arena politik, termasuk masyarakat luas dan media (Howlett dan
Ramesh, 2003).
Evaluasi dapat menyebabkan pola beragam dari pelajaran kebijakan, dengan implikasi
yang berbeda dalam hal mekanisme umpan balik dan potensi me-restart proses kebijakan.
Satu pola kebijakan sukses akan diperkuat, sebuah pola yang membentuk ide inti dari proyek
percontohan yang disebut (atau model percobaan), di mana ukuran tertentu terlebih dulu
diperkenalkan dalam (teritorial, substantif, atau temporal) konteks terbatas dan hanya
diperpanjang jika evaluasi mendukung. Namun, daripada meningkatkan berdasarkan bukti
pembuatan kebijakan, proyek percontohan dapat mewakili alat yang digunakan untuk tujuan
menghindari konflik; tindakan diperebutkan tidak akhirnya diadopsi tapi diambil sebagai
proyek percontohan dan ditunda sampai suasana politik sudah matang bagi tindakan yang
lebih tahan lama.
Evaluasi kebijakan publik memiliki tipe dan pendekatan yang beragam dan berbeda,
tergantung dari pada tujuan ataupun sudut pandang dari para evaluator yang akan melakukan
evaluasi. Dunn membagi pendekatan evaluasi menjadi tiga bagian antara lain :
1. Evaluasi Semu
Evaluasi semu (Pseudo Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-
metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai
hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil
tersebut terhadap individu. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang
Langkah-langkah tersebut dibuat agar suatu evaluasi dapat efektif dengan berjalan
secara sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak terlepas dari kemungkin
timbulnya masalah atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang
Tujuan dan lingkup analisis (riset) evaluasi menurut Carol H. Weiss (1972, p.4)
adalah : ―To measure the effects of a program against the goals it set out to accomplish as a
means of contributing to subsequent decision making about the program and improving
future programming. The effect emphasizes the outcomes of the program, rather than its
efficiecy, honesty, morale, or adherence to rule or standars. The comparison of effects with
goals stresses the use of explicit criteria for judging how well the program is doing‖.
Weis secara tegas menyatakan bahwa tujuan analisis evaluasi lebih pada pengukuran
efek dan dampak sebuah program/kebijakan pada masyarakat, dibanding pengukuran atas
efisiensi, kejujuran pelaksanaan, dan lain-lain yang terkait dengan standar-standar
pelaksanaan. Tujuan kebijakan itu sendiri adalah untuk menghasilkan dampak/perubahan,
sehingga wajar jika untuk itulah evaluasi dilakukan. Adapun yang membedakan antara
54 | Teori Kebijakan Publik
analisis studi implementasi dengan analisis studi evaluasi dapat kita lihat yang dinyatakan
oleh Parsons :‖ … evaluation eximines ‗how public policy and the people who deliver it may
be appraised, audited, valued and controlled‖ while the study of implementation is about
―how policy is put into action and practice‖ (1995, p. 461).
Meskipun dilakukan secara sistematis, namun ada beberapa hal yang membedakan
analisi evaluasi dengan analisis akademik lainnya, yang menurut Weiss (p. 6-7)adalah :
1. Evaluasi ditujukan untuk pembuatan keputusan, untuk menganalisis problem
sebagaimana yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan oleh periset, sebab si
pembuat keputusanlah yang berkentingan terhadap hasil evaluasi.
2. Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam setting
akademik, karenanya pertanyaan-pertanyaan evaluasi diarahkan oleh program.
Peneliti tidak membangun asumsi dan hipotesisnya sendiri sebagaimana pada studi-
studi lain.
3. Evaluasi memberikan penilaian atas pencapaian tujuan, bukan mengevaluasi tujuan
Atau dari pernyataan Browne & Wildavsky : ―Evaluators are able to tell us a lot about
what happened – which objectives, whose objectives, were achieved – and a little about why
– the causal connections (Hill & Hupe, 12), yang merupakan wilayah analisis implementasi.
Karena meski tujuan dan dampak saling berinteraksi namun dampak tidak dapat dinilai
melalui seperangkat tujuan yang dirumuskan secara tegas.
E. Dimensi Evaluasi
Secara garis besar ada dua dimensi penting yang harus diperoleh informasinya dari
studi dievaluasi dalam kebijakan public. Dimensi tersebut adalah:
1. Evaluasi kinerja pencapaian tujuan Kebijakan, yakni mengevaluasi kinerja orang-
orang yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan. Darinya kita akan
memperoleh jawaban atau informasi mengenai kinerja implementasi, efektifitas dan
efisiensi, dlsb yang terkait.
2. Evaluasi kebijakan dan dampaknya, yakni mengevaluasi kebijakan itu sendiri serta
kandungan programnya. Darinya kita akan memperoleh informasi mengenai manfaat
(efek) kebijakan, dampak (outcome) kebijakan, kesesuaian kebijakan/program dengan
tujuan yang ingin dicapainya (kesesuaian antara sarana dan tujuan), dll
Menurut Palumbo dimensi kajian pada studi evaluasi mencakup keseluruhan siklus di
dalam proses kebijakan, dari saat penyusunan desain kebijakan, saat implementasi, hingga
saat selesai diimplementasikan. Kajian dalam studi evaluasi kebijakan meliputi dimensi-
dimensi:
F. Dampak Kebijakan/Program
Jarang terjadi kebijakan publik dipertahankan dalam bentuk yang sama sebagaimana
kebijakan itu pada awalnya ditetapkan. Sebaliknya, kebijakan publik secara konstan bisa
berkembang. Perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan yang ada tergantung pada beberapa
faktor.
Selain itu, terdapat pula model-model perubahan kebijakan yang bisa membantu para
analis untuk memahami mengapa perubahan-perubahan penting dalam kebijakan bisa terjadi
dalam sistem politik Barat, khususnya Amerika Serikat. Pertama, the Cylical Thesis. Model
ini menjelaskan bahwa perubahan kebijakan disebabkan adanya pergeseran secara terus-
menerus dalam keterlibatan nasional antara kepentingan public dan kepentingan swasta.
Kedua, the Evolutionary or Policy-Learning Thesis, memandang perubahan kebijakan
sebagai suatu fungsi dari tiga faktor berikut: interaksi dari ―advocacy coalitions‖ yang
bersaing dalam suatu subsistem/komunitas kebijakan, perubahan-perubahan eksternal
terhadap subsistem, akibat-akibat dari parameter system yang stabil. Ketiga, the Backlash or
Zigzag Thesis, berpandangan bahwa terdapat pola yang tidak menentu dalam sejarah
kebijakan publik AS.
Selama tahun 60-an berkembang perhatian yang besar terhadap analisis kebijakan
public tapi kebanyakan penulis dan penganalisis menghentikan pada langkah hanya sampai
ditahap evaluasi. Dan akhir-kahir ini mulai ada perhatian lebih serius mengenai konsep
terminasi yang secara khusus didorong oleh semangat untuk menghidupkan anggaran
seimbang dan pudarnya efektivitas berbagai peraturan.
Pada umumnya, terminasi bisa didekati dalam dua cara. Pendekatan pertama adalah
apa yang disebut terminasi ledakan besar atau the “big bang” termination. Pendekatan ini
biasanya terjadi dengan suatu keputusan otoritatif atau pukulan ynag menentukan dalam satu
titik waktu. Dengan tipe terminasi ini, oposisi tidak punya waktu untuk mengorganisir diri
menentang terminasi. Agaknya, terminasi adalah suatu isu pemetik dan tertutup yang terjadi
dengan suatu kekuatan yang menghancurkan. Terminasi seperti itu biasanya merupakan
produk dari suatu perjuangan politik yang melibatkan banyak pemeran serta. Ini merupakan
pendekatan yang paling umum terhadap terminasi. Contoh dari terminasi ini adalah proposal
untuk mengakhiri Departemen Energi selama pemerintahan Reagan pada awal tahun 1980-
an. Namun demikian, departemen itu tidak diterminasi.
Pendekatan kedua dinamakan pendekatan mengaduh yang panjang atau the “long
whimper” approach. Tipe terminasi ini muncul melalui suatu kemerosotan jangka panjang
dalam sumber-sumber dengan mana suatu kebijakan atau organisasi dipertahankan. Ini
Dunn, William N., 1999, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Nugroho, Riant, 2004, Kebijakan Publik “Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi”, Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Presindo.
Sumber lain:
http://administrasipublik.studentjournal.ub.ac.id/
http://ageconsearch.umn.edu/
http://digilib.unila.ac.id/
http://download.portalgaruda.org/
http://fatkhan-ashari-fisip11.web.unair.ac.id/
http://lib.ui.ac.id/
http://map.pasca.uns.ac.id/
http://pustaka.pu.go.id/
http://rochyati-w-t-fisip.web.unair.ac.id/
http://sap.ubhara.ac.id/
http://www.academia.edu/
http://www.lontar.ui.ac.id/
http://www.sumbarprov.go.id/
Search Keyword: proses kebijakan publik, siklus kebijakan publik, teori siklus
kebijakan publik, agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi
kebijakan, perubahan kebijakan, terminasi kebijaakan.