Anda di halaman 1dari 65

Nama : Nalora Satiningrum

NIM : F1B012064

KEBIJAKAN PUBLIK SEBAGAI PROSES

Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan
publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang bergerak
dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling
membentuk. Menurut Dye (2005, 31), bagaimana sebuah kebijakan dibuat dapat diketahui
dengan mempertimbangkan sejumlah aktivitas atau proses yang terjadi didalam sistem
politik.

Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah pemerintahan.


Karenanya,kemampuan dan pemahaman yang memadai dari pembuat kebijakan terhadap
proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting bagi terwujudnya kebijakan publik
yangcepat, tepat danmemadai. Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan
kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik
terhadap kewenangan yang dimilikinya. Hal ini terkait dengan kenyataan sebagaimana
diungkapkan oleh Gerston (2002) bahwa kebijakan publik dibuatdan dilaksanakan pada
semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggungjawab para pembuatkebijakan akan
berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya (Gerston, 2002, 14). Selain itu
menurut Gerston, hal yang penting lainnya adalah bagaimana memberikan pemahaman
mengenai akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan adalah kepada masyarakat yang
dilayaninya (Gerston, 2002, 14). Dengan pemahaman yang seperti ini, akan dapat
memastikan pembuatan kebijakan publik yang mempertimbangkan berbagai aspek dan
dimensi yang terkait, sehingga pada akhirnya sebuah kebijakan publik dapat
dipertanggungjawabkan secara memadai.

Proses kebijakan publik merupakan proses yg amat rumit dan kompleks. Oleh
karenanya untuk mengkajinya para ahli kemudian membagi proses kebijakan publik ke dalam
beberapa tahapan. Tujuannya untuk mempermudah pemahaman terhadap proses tersebut
(Charles Lindblom, 1986: 3). Pembagian tersebut amat bervariasi antara ahli yang satu
dengan ahli lainnya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan. Misalnya : ada yang
menambahkan perubahan atau penghentian kebijakan setelah evaluasi kebijakan.

1 | Teori Kebijakan Publik


Lester dan Joseph, merumuskan 6 tahap dalam siklus pembuatan kebijakan. Langkah
pertama melakukan identifikasi permasalahan Pemerintah dan menyusun agenda, kedua
merumuskan kebijakan yang akan dibuat, ketiga menerapkan kebijakan yang akan
diputuskan, keempat melakukan evaluasi kebijakan, kelima menyusun penyempurnaan
kebijakan dan yang terakhir mengakhiri suatu kebijakan. Dari siklus tersebut jelas secara
berurut dengan sistematis Lester bersama Joseph merumuskan bagaimana siklus pembuatan
kebijakan seharusnya.

Stage 6
Stage 1
Policy
Agenda Setting
Termination

Stage 2
Stage 5
Policy
Policy Change
Formulation

Stage 3
Stage 4
Policy
Policy Evaluation
Implementation

Proses Pembuatan kebijakan sejak desain hingga implementasi dan evaluasinya,


perlu dipandang sebagai suatu siklus dari serangkaian kegiatan kebijakan yang merujuk pada
pola berulang yang ditunjukkan oleh prosedur-prosedur yang berkaitan dengan proses
kebijakan publik yang secara umum ditunjukkan seperti pada gambar di atas. Dalam ilmu
politik, siklus kebijakan adalah alat yang digunakan untuk menganalisis perkembangan item
kebijakan. Hal ini juga dapat disebut sebagai "pendekatan stagist", "tahapan heuristik" atau
"tahap pendekatan". Dengan demikian aturan praktis daripada kenyataan yang sebenarnya
tentang bagaimana kebijakan dibuat, tetapi telah berpengaruh dalam bagaimana para ilmuwan
politik memandang kebijakan secara umum.

2 | Teori Kebijakan Publik


Siklus Kebijakan – Sebuah Model Sederhana dari Proses Kebijakan

Pada tahun 1956 Lasswell memperkenalkan tujuh tahap model proses kebijakan yang
terdiri dari kecerdasan, promosi, rekomendasi, pemanggilan, aplikasi, pemutusan, dan
penilaian. Model ini telah sangat berhasil sebagai kerangka dasar bagi bidang studi kebijakan
dan menjadi titik awal dari berbagai tipologi proses kebijakan. Versi-versi yang
dikembangkan oleh Brewer dan Deleon (1983), Mei dan Wildavsky (1978), Anderson
(1975), dan Jenkins (1978) adalah salah satu yang paling banyak diadopsi. Saat ini,
perbedaan antara agenda setting, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan,
dan evaluasi (akhirnya mengarah ke terminasi) telah menjadi cara yang konvensional untuk
dapat menggambarkan kronologi proses kebijakan.

Pemahaman Lasswell tentang model proses kebijakan lebih bersifat preskriptif


(menentukan) dan normatif daripada deskriptif dan analitis. Sementara studi empiris tentang
pengambilan keputusan dan perencanaan dalam organisasi, yang dikenal sebagai teori
perilaku pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh Simon (1947), telah berulang kali
menunjukkan bahwa pembuatan keputusan pada kenyataannya biasanya tidak mengikuti
urutan tahap diskrit, perspektif tahapan masih dianggap sebagai tipe ideal dalam perencanaan
rasional dan pengambilan keputusan. Menurut model rasional, pembuatan keputusan apapun
harus didasarkan pada analisis yang komprehensif terhadap masalah dan tujuan, diikuti oleh
koleksi inklusif dan analisis informasi dan mencari alternatif terbaik untuk mencapai tujuan
tersebut. Ini meliputi analisis biaya dan manfaat dari opsi yang berbeda dan seleksi akhir dari
arah tindakan.

Perspektif tahapan Lasswell telah melampaui analisis formal dari lembaga tunggal
yang mendominasi bidang kajian tradisional administrasi publik yang berfokus pada
kontribusi dan interaksi yang berbeda dari aktor dan institusi dalam proses kebijakan.
Selanjutnya, perspektif tahapan telah membantu mengatasi bias ilmu politik di sisi masukan
(perilaku politik, sikap, organisasi kepentingan) dari sistem politik. Kombinasi antara model
input-output Easton dengan perspektif tahapan Lasswell kemudian berubah menjadi model
siklus. Perspektif siklus menekankan proses umpan balik (loop) antara output dan input dari
pembuatan kebijakan, yang menyebabkan proses kebijakan berlangsung terus-menerus.
Integrasi model input-output Easton juga berkontribusi lebih lanjut pada diferensiasi dari
proses kebijakan. Alih-alih berakhir dengan keputusan untukmengadopsi program tindakan
tertentu, fokus diperluas untuk mencakup pelaksanaan kebijakan dan khususnya reaksi dari

3 | Teori Kebijakan Publik


kelompok sasaran yang terkena (dampak) dan dampak yang lebih luas dari kebijakan di
dalam masing-masing sektor sosial (hasil).

Hogwood dan Peters (1983) mengusulkan gagasan tentang suksesi kebijakan untuk
menggarisbawahi bahwa kebijakan baru berkembang dalam suatu lingkungan yang telah
dipadati dengan kebijakan yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, sebelum kebijakan
baru menjadi bagian utama dari lingkungan pembuatan kebijakan sistemik, sering kebijakan
lain bertindak sebagai hambatan utama bagi pengadopsian dan implementasi kebijakan baru
dalam ukuran tertentu. Pada saat yang sama, kebijakan membuat efek samping dan menjadi
penyebab masalah kebijakan berikutnya – lintas sektor (misalnya, konstruksi jalan yang
mengarah ke masalah lingkungan) serta dalam sektor-sektor (misalnya, subsidi untuk produk
pertanian menyebabkan overproduksi) – dan, karenanya, kebijakan baru itu sendiri
(―kebijakan menjadi penyebab dirinya sendiri,‖ Wildavsky 1979, 83-85).

I. Penetapan Agenda Kebijakan (Agenda-Setting)

Untuk mengetahuai tentang agenda setting kita harus mencari tahu apa itu masalah
kebijakan. Karena masalah kebijakan yang nantinya akan dibuat agenda setting. Masalah
kebijakan (lester dan stewart,2000) adalah kondisi yang menimbulkan ketidak puasan
masyarakat sehingga perlu dicari penyelesaianya. Sedangkan agenda setting adalah suatu
tahap diputuskanya masalah yang menjadi perhatian pemerintah untuk dibuat menjadi suatu
kebijakan (Ripley, 1985)

Agenda setting merupakan sebuah langkah awal dari keseluruhan tahapan kebijakan.
Sehingga agenda setting menjadi tahap yang sangat penting dalam analisis kebijakan. Agenda
setting adalah tahap penjelas tahapan kebijakan lainya. Didalam masalalah kebijakan dan
agenda setting ini nantinnya akan dapat diketahuai kearah mana kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah apakah berpihak kepada rakyat atau sebaliknya.Dalam penentuan kebijakan
public sangatlah dipengaruhi oleh factor lingkungan.

A. Agenda Setting: Pengakuan Masalah dan Seleksi Isu

Pembuatan kebijakan mensyaratkan pengakuan dari masalah kebijakan. Soal


pengakuan itu sendiri membutuhkan masalah sosial yang telah didefinisikan sebagai sesuatu
yang memerlukan kebutuhan intervensi negara. Langkah kedua bahwa masalah yang diakui
sebenarnya dimasukkan ke dalam agenda untuk mempertimbangkan secara serius aksi publik

4 | Teori Kebijakan Publik


(agenda setting). Agenda tidak lebih dari ―daftar subjek atau masalah ynag pejabat-pejabat
pemerintahan, dan orang-orang di luar pemerintah yang erat berhubungan dengan orang-
orang pejabat-pejabat, menaruh perhatian serius pada waktu tertentu.‖ (Kingdom 1995, 3)

Hasil agenda setting adalah seleksi antara beragam masalah dan isu. Ini adalah proses
penataan masalah strategi kebijakan mengenai potensi dan instrumen yang membentuk
pengembangan kebijakan pada tahap berikutnya dari siklus kebijakan. Jika asumsi ini
diterima bahwa tidak semua permasalahan yang ada bisa menerima tingkat perhatian yang
sama dan beberapa tidak diakui sama sekali (Baumgartener dan Jones 1993, 10), pertanyaan
tentang mekanisme agenda setting muncul. Apa yang dianggap sebagai masalah kebijakan?
Bagaimana dan kapan masalah kebijakan menjadi agenda pemerintah? Dan mengapa masalah
lain dikecualikan dari agenda? Selain itu, siklus perhatian masalah, dan pasang surut solusi
berhubungan dengan masalah spesifik yang menjadi aspek relevan dari studi kebijakan yang
memiliki perhatian terhadap agenda setting.

Penelitian sistematis dalam agenda setting terlebih dahulu muncul sebagai bagian dari
kritik terhadap pluralisme dalam Amerika Serikat. Salah satu pendekatan klasik
mengemukakan bahwa perdebatan politik dan karenanya, agenda setting muncul dari konflik
antara dua aktor, dengan aktor politik yang kurang kuat yang ingin meningkatkan perhatian
pada masalah (ekspansi konflik) (Schattschneider, 1960). Yang lainnya menyarankan bahwa
agenda setting ialah hasil dari suatu proses penyaringan isu dan masalah, sehingga non-
keputusan (isu-isu dan masalah yang sengaja dikeluarkan dari agenda formal). Langkah
penting dalam proses agenda setting adalah memindahkan suatu masalah dari pengakuan –
sering dinyatakan oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan atau aktor yang terkena
dampak – ke agenda politik formal.

Pertemuan dari sejumlah faktor dan variabel yang berinteraksi menentukan apakah isu
kebijakan menjadi topik utama dalam agenda kebijakan. Faktor-faktor ini mencakup kondisi-
kondisi material lingkungan kebijakan (seperti tingkat perkembangan ekonomi), dan aliran
dan siklus ide dan ideologi, yang penting dalam mengevaluasi masalah dan menghubungkan
mereka dengan solusi (proposal kebijakan). Dalam konteks itu, konstelasi kepentingan antara
aktor yang relevan, kapasitas lembaga yang bertanggungjawab untuk bertindak secara efektif,
dan siklus persepsi masalah publik serta solusi yang berhubungan dengan masalah yang
berbeda adalah sangat penting.

5 | Teori Kebijakan Publik


Sementara model agenda setting sebelumnya berkonsentrasi pada aspek ekonomi dan
sosial sebagai variabel penjelas, pendekatan yang lebih baru menekankan peran gagasan,
yang dinyatakan dalam wacana publik dan profesional (misalnya, komunitas epistemis; Haas
1992), dalam membentuk persepsi masalah tertentu. Baumgartner dan Jones (1993, 6)
memperkenalkan gagasan monopoli kebijakan sebagai ―monopoli dalam pemahaman politik‖
dari masalah kebijakan tertentu dan pengaturan kelembagaan yang memperkuat ―citra
kebijakan‖ tertentu, mereka menyatakan bahwa agenda setting dan perubahan kebijakan
terjadi ketika ―monopoli kebijakan‖ menjadi semakin diperdebatkan dan sebelumnya (atau
setidaknya ―non-aktif‖) aktor yang tidak berkepentingan dimobilisasi. Mengubah gambar
kebijakan sering terkait dengan perubahan ―tempat‖ kelembagaan di mana masalah-masalah
diperdebatkan (Baumgartner dan Jones, 1993;2002).

1. Karakteristik Masalah Kebijakan

Untuk menelaah isi atau masalah kebijakan, menurut Ripley perlu dipahami terlebih
dahulu kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Contoh : Penaikan Harga Bahan Bakar
Minyak. Masalah kebijakan dalam penaikan harga BBM adalah dari segi naiknya harga
minyak mentah dunia yang berpengaruh pada perekonomian suatu Negara. Dengan naiknya
harga minyak mentah dunia, pemerintah memiliki permasalahan tentang BBM apakah
nantinya pemerintah akan menaikan atau akan tetap pada harga awal. Jika pemerintah
menaikan harga BBM masalah dari kebijakan akan luas dampaknya. Terutama dari segi
ekonomi mengingat daya beli masyarakat kita yang masih rendah. Sehingga masyarakat
miskin akan bertambah. Atau dari segi social, dengan biaya produksi yang tingggi para
pengusaha akan menekan biaya produksi, dan biasanya pengusaha dalam upay penekanaan
biaya produksi akan mem-PHK karyawan.

Dengan masalah yang vital dan menyangkut masyarakat banyak. Pemerintah dituntut
untuk bijak dalam mengambil kebijakan ini, karena masalah ini menyangkut masyarakat
banyak. Dan pemerintah itu sendiri.

a. Sifat Masalah-Masalah Kebijakan

Masalah-masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai, atau kesempatan-


kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan publik. Informasi
mengenai sifat, cakupan, dan kepelikan/keruwetan suatu masalah dihasilkan dengan
menerapkan prosedur analisis-kebijakan dalam memahami masalah. Perumusan masalah,

6 | Teori Kebijakan Publik


yang merupakan fase penelitian kebijakan di mana para analis menelaah berbagai formulasi
masalah yang saling berbeda dari para pelaku kebijakan, tidak dapat dipungkiri merupakan
kegiatan yang paling penting dari para analis kebijakan. Perumusan masalah merupakan
sistem petunjuk pokok atau mekanisme pendorong yang mempengaruhi keberhasilan semua
fase analisis kebijakan dewasa ini. Memahami masalah kebijakan adalah sangat penting,
karena para analis kebijakan kelihatannya lebih sering gagal karena mereka memecahkan
masalah yang salah daripada karena memperoleh solusi yang salah terhadap masalah yang
tepat.

b. Ciri-ciri Masalah

Contoh-contoh berikut ini akan membuat kita berhati-hati untuk tidak menerima
begitu saja masalah kebijakan, karena pemahaman atau akal sehat sehari-hari acapkali
menyesatkan ketika kita berurusan dengan hal-hal rumit seperti masalah-masalah kebijakan.
Uraian berikut ini menjelaskan beberapa ciri penting dari masalah kebijakan:

 Saling ketergantungan dari masalah kebijakan.

Masalah-masalah kebijakan di dalam satu bidang (misalnya, energi) kadang-kadang


mempengaruhi masalah-masalah kebijakan di dalam bidang lain (misalnypa, pelayanan
kesehatan dan pengangguran). Dalam kenyataan masalah-masalah kebijalan bukan
merupakan kesatuan yang berdiri sendiri; mereka merupakan bagian dari seluruh sistem
masalah yang paling baik diterangkan sebagaimesses, yaitu, suatu sistem kondisi ekstenal
yang menghasilkan ketidakpuasan di antara segmen-segmen masyarakat yang berbeda.
Sistem masalah atau messes sulit atau bahkan tidak mungkin dipecahkan dengan
menggunakan pendekatan analitis—yaitu, pendekatan yang memecahkan masalah ke dalam
elemen-elemen atau bagian-bagian yang menyusunnya—karena jarang masalah-masalah
dapat didefinisikan dan dipecahkan secara sendiri-sendiri. Kadang-kadang merupakan hal
yang mudah "untuk memecahkan sepuluh masalah yang saling terkait, daripada memecahkan
satu masalah secara sendiri. Sistem masalah yang saling tergantung mengharuskan suatu
pendekatan holistik, suatu pendekatan yang memandang bagian-bagian sebagai tak
terpisahkan dari keseluruhan sistem yang mengikatnya.

 Subyektivitas dari Masalah Kebijakan.

7 | Teori Kebijakan Publik


Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan,
diklasifikasikan, dijelaskan, dan dievaluasi secara selektif. Meskipun terdapatr suatu
anggapan bahwa masalah bersifat obyektif—misalnya, polusi udara dapat didefinisikan
sebagai tingkat gas dan partikel-partikel di dalam atmosfer—data yang sama mangenai polusi
dapat diinterpretasikan secara berbeda. Masalah kebijakan ―adalah suatu hasil pemikiran
yang dibuat pada suatu lingkungan tertentu; Masalah tersebut merupakan elemen dari suatu
situasi masalah yang diabstrakskan dari situasi tersebut oleh analis. Dengan begitu, apa yang
kita alami sesungguhnya adalah merupakan adalah suatu situasi masalah, bukan masalah itu
sendiri, seperti halnya atom atau sel, merupakan suatu konstruksi konseptual. Dalam analisis
kebijakan merupakan hal yang sangat penting untuk tidak mengacaukan antara situasi
masalah dengan masalah kebijakan, karena masalah adalah barang abstrak yang timbul
dengan mentransformasikan pengalaman ke dalam penilaian manusia.

 Sifat buatan dari masalah.

Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin ketika manusia membuat penilaian


mengenai keinginan untuk mengubah beberapa situasi masalah. Masalah kebijakan
merupakan hasil/produk penilaian subyektif manusia; masalah kebijakan itu juga bisa
diterima sebagai definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang obyektif; dan karenanya,
masalah kebijakan dipahami, dipertahankan, dan diubah secara sosial. Masalah tidak berada
di luar individu dan kelompok-kelompok yang mendefinisikan, yang berarti bahwa tidak ada
keadaan masyarakat yang "alamiah" di mana apa yang ada dalam masyarakat tersebut dengan
sendirinya merupakan masalah kebijakan.

 Dinamika masalah kebijakan.

Terdapat banyak solusi untuk suatu masalah sebagaimana terdapat banyak definisi
terhadap masalah tersebut. ―Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang
konstan; dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan. Solusi terhadap masalah
dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang."

Sistem masalah (messes) bukan merupakan kesatuan mekanis: melainkan sistem yang
bertujuan (teleologis), di mana (1) tidak ada dua anggotanya yang sama persis di dalam
semua atau bahkan setiap sifat-sifat atau perilaku mereka; (2) sifat-sifat dan perilaku setiap
anggota mempunyai pengaruh pada sifat-sifat dan perilaku sistem secara keseluruhan; (3)
sifat-sifat dan perilaku setiap anggota, dan cara setiap anggota mempengaruhi sistem secara
8 | Teori Kebijakan Publik
keseluruhan, tergantung pada sifat-sifat dan perilaku paling tidak dari salah satu anggota
system; dan (4) dimungkinkan sub kelompok anggota mempunyai suatu pengaruh yang tidak
bebas atau tidak independen pada sistem secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa sistem
masalah—kejahatan, kemiskinan, pengangguran, inflasi, energi, polusi, kesehatan—tidak
dapat dipecah ke dalam rangkaian yang independen tanpa menimbutkan risiko menghasilkan
solusi yang tepat terhadap masalah yang salah.

Kunci karakteristik dari sistem permasalahan adalah bahwa seluruh sistem lebih besar—
yaitu, berbeda secara kualitatif—daripada sekedar jumlah dari bagian-bagiannya. Suatu
tumpukan batu dapat didefinisikan sebagai jumlah masing-masing batu tetapi tidak sebagai
suatu piramida.

2. Proses Membentuk Agenda Kebijakan

Agenda setting merupakan kegiatan membuat masalah publik menjadi masalah


kebijakan. Agenda,menurut Jones diartikan sebagai suatu istilah yang pada umumnya
digunakan untuk menggambarkan suatu isu yang dinilai oleh publik perlu diambil suatu
tindakan.
Menurut Darwin, agenda adalah suatu kesepakatan umum,yang belum tentu tertulis tentang
adanya suatu masalah publik hang perlu menjadi perhatian bersama dan menuntut campur
tangan pemerintah untuk memecahkannya.

Sementara itu, proses penyusunan agenda kebijakan menurut Anderson secara runtut
adalah:

a. Private Problems

Penyusunan agenda kebijakan diawali dari suatu masalah (problems) yg muncul di


masyarakat. Masalah ini dapat diungkapkan oleh seseorang sebagai masalah pribadi (private
problem). Masalah private merupakan masalah-2 yg mempunyai akibat terbatas atau hanya
memyangkut satu ataunsejumlah kecil orang yg terlikbat langsung. Kemudian berkembang
lebih lanjut menjadi masalah publik (public problem).

b. Public Problems

Masalah publik diartikan sebagai masalah yang mempunyai akibat yang luas,
termasuk akibat-akibat yang mengenai orang -orangnyg terlibat secara tidak langsung.

9 | Teori Kebijakan Publik


Masalah publik tersebut kemungkinan akan berkembang menjadi isue kebijakan (policy
issues).

c. Issues

Issues menurut John,adalah problema publik yang saling bertentangan satu sama lain
(controversial public problems). Issues dapat diartian juga sebagai per bedaan-perbedaan
pendapat di masyarakat trntang persepsi dan solusi (policy action) terhadap suatu masalah
publik. Issues kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksepakatan mengenai arah tindakan
yang aktual dan potensial,tetapi juga mencermknkan pertentangan pandangan mengenai sifat
masalah itu sendiri. Dengan begitu, isu kebijakan merupakan hadil perbebatan tentang
definisi,klasifikasi,eksplanasi dan evaluasi masalah (Dunn,1995:97). Issues kebijakan tadi
kemudian mengalir dan masuk dalam agenda pemerintah. Agenda pemerintah merupakan
sejumlah daftar masalah di mana para pejabat publik menaruh perhatian yang serius pada
waktu tertentu. Agenda pemerintah,menurut Cobb dan Elder dalam John (1984), dibedakan
menjadi 2 macam,yaitu agenda sistemik dan agenda institusional.

d. Systemic Agenda

Agenda sistemik merupakan semua isu yang pada umumnya dirasakan oleh para
anggota masyarakat politik yang patut mendapat perhatian publik dan isu tersebut memang
berada dalam yurisdiksi kewenangan pemerintah. Semakin besar suatu isu maka akan
mencapai status pada agenda sistemik dan kemudian pindah ke agenda formal atau
institusional. Pada dasarnya, proses ini akan terjadi bila suatu masalah memiliki beberapa
karakteristik, seperti spesifisitas,signifikansi sosial, relevansi temporal, kompleksitas, dan
kategoris diutamakan.

e. Institusional agenda

Setelah adanya proses agenda sistematis dalam isu kebijakan baru masuk ke agenda
institutional yang merupakan serangkaian masalah yang secara tegas membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat keputusan yang sah/otoritas.
Menurut Cobb dan Elder, tiga prasyarat yang dianggap diperlukan untukmasalah dalam
memperoleh status dalam agenda sistemik: (1) perhatian luas atau setidaknyakesadaran akan
masalah ini, (2) menjadi perhatian bersama dari sebagian ukuran darimasyarakat bahwa
beberapa jenis tindakan yang diperlukan menjadi obat masalah ini, dan

10 | Teori Kebijakan Publik


(3) persepsi bersama bahwa masalah ini merupakan masalah yang tepat untuk beberapa satua
n pemerintah dan jatuh dalam batas-batas kewenangannya. Sedangkan proses agenda setting
terdiri dari tiga tahap menurut Davies, (1) inisiasi, (2) difusi, dan (3) pengolahan. Pada
tahapinisiasi, masalah publik menciptakan permintaan untuk tindakan. Pada tahap difusi,
tuntutanini dialihkan ke isu-isu bagi pemerintah. Pada tahap pengolahan, masalah diubah
menjadiagenda. Davies juga berpendapat bahwa banyak isu yang dimulai dalam pemerintah
sendiridaripada asumsi umum bahwa masalah muncul dalam masyarakat umum dan bekerja
dengancara mereka ke dalam agenda pemerintah.

Proses penyusunan agenda yang sudah dipilah pemerintah dan dimasukan menjadi
isumerupakan sesuatu yang dapat dilaksanakan dengan mudah. Karena masalah publik
yangditangani pemerintah tak hanya meliputi satu aspek atau publik, sehingga proses
penangananmasalah tersebut menjadi suatu isu pemerintah dan kemudian dipecahkan
menjadi satukebijakan dapat memakan waktu yang lama. Untuk mempercepat proses
tersebut, peranmedia dibutuhkan untuk mendengungkan masalah public yang ada. Seperti
yang diketahuimedia berfungsi mengamati atas suatu permasalahan (Harold laswell dalam
Alwi Dahlan,2008) kemudian di publikasikan agar masalah public dapat memperoleh
perhatian masyarakat.

B. Tipologi Isu Kebijakan & Perumus Agenda Kebijakan

Jika masalah-masalah kebijakan benar-benar merupakan keseluruhan dari sistem


masalah-masalah, itu berarti bahwa isu-isu kebijakan pasti sama kompleksnya. Isu-isu
kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksetujuan mengenai serangkaian aksi yang aktual
atau potensial; tetapi juga mencerminkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sifat
dari masalah-masalah itu sendiri.

Kompleksitas isu-isu kebijakan dapat diperlihatkan dengan mempertimbangkan


jenjang organisasi di mana isu-isu itu diformulasikan. Isu-isu kebijakan dapat diklasifikasikan
sesuai dengan hirarki dari tipe: utama, sekunder, fungsional, dan minor. Isu-isu utama (major
issues) secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam atau di antara
jurisdiksi/wewenang federal, negara bagian, dan lokal. Isu-isu utama secara khusus meliputi
pertanyaan tentang misi suatu instansi, yaitu pertanyaan mengenai sifat dan tujuan organisasi-
organisasi pemerintah. Isu seperti apakah Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat
harus berusaha menghilangkan kondisi yang menimbulkan kemiskinan adalah pertanyaan

11 | Teori Kebijakan Publik


mengenai misi lembaga. Isu-isu sekunder (secondary issues) adalah isu yang terletak pada
tingkat instansi pelaksana program-program di pemerintahan federal, negara bagian, dan
lokal. Isu-isu yang kedua ini dapat berisi isu prioritas-prioritas program dan definisi
kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak. Isu mengenai bagaimana mendefinisikan
kemiskinan keluarga adalah isu yang kedua. Sebaliknya, isu-isu fungsional (functional
issues), terletak di antara tingkat program dan proyek, dan memasukkan pertanyaan-
pertanyaan seperti anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya. Terakhir, isu-isu
minor (minor issues), adalah isu-isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek-
proyek yang spesifik. Isu-isu minor meliputi personal, staff, keuntungan bekerja, waktu
liburan, jam kerja, dan petunjuk pelaksanaan serta peraturan.

Jones menyatakan bahwa ―not all problems become public, not all public problems
became issues, and not all issues are acted on in government agenda.‖ ( tidak semua masalah
dapat menjadi masalah umum/public, dan tidak semua masalah public dapat menjadi issu,
dan tidak semua issu dapat menjadi agenda pemerintah).

Apabila menginginkan suatu kebijakan publik mampu memecahkan masalah publik


(public problem), masalah publik harus dirumuskan menjadi masalah kebijakan (policy
problems). Menurut Tomas Dye, tahapan mendefinisikan masalah itu disebut Agenda Setting.
Kondisi masyarakat yang tidak didefinisikan sebagai masalah dan alternatif solusi tidak
pernah diusulkan, tidak akan pernah menjadi isu kebijakan (policy issues). Kegiatan
menjadikan masalah publik (public problems) menjadi masalah kebijakan (policy problems)
sering disebut dengan penyusunan (agenda setting). Agenda setting adalah sebuah fase dan
proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Karena dalam proses inilah
ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda
publik dipertarungkan.

Penyusunan agenda pemerintah (agenda setting) dimulai dari kegiatan fungsional,


meliputi Persepsi, Definisi, Agregasi, Organisasi dan Representasi; yang bermuara pada
terusungnya suatu masalah publik dan atau suatu isu publik menjadi suatu masalah yang oleh
pemerintah (pembuat kebijakan) dianggap penting untuk dicari jalan keluarnya melalui
kebijakan publik. Produk riil dari proses penyusunan agenda pemerintah adalah
terakomodasinya kepentingan publik (masalah publik) menjadi opini publik, kemudian
menjadi tuntutan publik, untuk selanjutnya menjadi masalah prioritas yang akan dicarikan
penyelesaiannya.

12 | Teori Kebijakan Publik


1. Tipologi Masalah Kebijakan

Terdapat tiga kelas masalah kebijakan (Dunn, 1994:146), yaitu: masalah yang
sederhana (well-structured), masalah yang agak sederhana (moderately-structured) dan
masalah yang rumit (ill-structured). Struktur dari masing-masing kelas ini ditentukan oleh
tingkat kompleksitasnya, yaitu, derajat seberapa jauh suatu masalah merupakan sistem
permasalahan yang saling tergantung. Perbedaaan di antara masalah-masalah yang sederhana,
agak sederhana, dan run-it digambarkan dengan mempertimbangkan variasi di dalam elemen-
elemen mereka.

Table 5-1. Perbedaan dalam struktur dari tiga tipe masalah kebijakan
STRUKTUR MASALAH
ELEMEN Sederhana Agak Sederhana Rumit
Pengambilam ke- Satu atau beberapa Satu atau beberapa Banyak
putusan Tebatas Terbatas Tak terbatas
Alternatif Konsensus Konsensus Konflik
Kegunaan (nilai) Pasti atau berisiko Tidak pasti Tidak diketahui
Hasil Dapat dihitung Tak dapat dihitung Tak dapat
Probabilitas dihitung

Masalah yang sederhana (well-structured problems) adalah masalah yang melibatkan


satu atau beberapa pembuat keputusan dan seperangkat kecil alternatif-alternatif kebijakan.
Kegunaan (nilai) mencerminkan konsensus pada tujuan-tujuan jangka pendek yang secara
jelas diurutkan dalam tatanan pilihan pembuat keputusan. Hasil dari masing-masing alternatif
diketahui dengan keyakinan yang tinggi (secara deterministik) atau di dalam margin
kesalahan yang rnasih dapat diterima (risiko). Prototipe masalah yang sederhana adalah
masalah keputusan yang dikomputerkan secara penuh, di mana semua konsekuensi dari
semua alternatif kebijakan diprogram. Masalah-masalah operasional yang secara relatif lebih
rendah di dalam instansi pemerintah memberi gambaran mengenai masalah yang sederhana.
Sebagai contoh, masalah mengganti kendaraan secara relatif adalah masalah yang sederhana
yang meliputi pencarian titik optimum pada kendaraan lama yang harus dijual untuk yang
baru, diambil ke dalam perhitungan biaya perbaikan rata-rata bagi kendaraan lama dan
pembelian dan harga depriasi bagi kendaraan yang baru.

13 | Teori Kebijakan Publik


Masalah yang agak sederhana (Moderately structured problems) adalah masalah-
masalah yang melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan sejumlah alternatif yang
secara relatif terbatas. Kegunaan (nilai) juga mencerminkan konsensus pada tuiuan-tujuan
jangka pendek yang diurutkan secara jelas. Meskipun demikian, hasi1 dari alternatif-alternatif
itu belum tentu meyakinkan (deterministik) ataupun diperhitungkan di dalam margin
kesalahan yang diterima (risiko); hasil-hasil itu tidak meyakinkan/tidak tentu, yang berarti
bahwa probabilitas kesalahan tidak dapat diperkirakan sama sekali. Contoh dari masalah yang
agak sederhana adalah simulasi atau permainan kehijakan, suatu ilustrasi yang disebut dengan
"dilema tahanan." Dalam pernainan ini dua tahanan ditahan dalam ruang tahanan, sel yang
terpusat, di mana masing-masing tahanan diinterograsi oleh penuntut, yang harus
memperoleh pengakuan dari salah seorang atau kedua tahanan itu untuk menetapkan
hukuman. Penuntut yang telah mempunyai cukup bukti untuk menghukum masing-masing
tahanan yang melakukan kejahatan ringan itu, mengatakan kepada setiap tahanan, jika tidak
ada yang mengaku maka mereka akan dituduh melakukan kejahatan yang ringan dengan
tuntutan hukuman yang juga ringan; jika keduanya mengaku melakukan kejahatan yang lebih
serius, keduanya akan menerima pengurangan hukuman; tetapi jika hanya salah seorang yang
mengaku, tertuduh yang mengaku akan menerima hukuman percobaan, sementara yang lain
akan menerima hukuman maksimum. Pilihan "optimal" bagi masing-masing tahanan, dengan
asumsi bahwa masing-masing tidak mengetahui keputusan yang diambil pihak lain, adalah
untuk mengaku. Dengan begitu masing-masing akan menerima keputusan lima tahun
hukuman, karena keduanya kclihatannya berusaha untuk meminimalkan hukuman mereka.
Contoh ini tidak hanya menggambarkan kesulitan membuat pilihan ketika hasilnya tidak pasti
tetapi juga memperlihatkan bahwa pilihan individu yang "rasional" dapat memberi kontribusi
terhadap irasionalitas kolektif dalam kelompok-kelompok kecil, birokrasi pemerintah dan
masyarakat secara keseluruhan.

Masalah yang rumit (Ill-structured problems) adalah masalah-masalah yang


mengikutsertakan banyak pembuat keputusan yang utilitas (nilai)nya tidak diketahui atau
tidak mungkin untuk diurutkan secara konsisten. Jika masalah-masalah yang sederhana dan
agak sederhana mencerminkan korsensus, maka karakteristik utama dari masalah-masalah
yang rumit adalah konflik di antara tujuan-tujuan yang saling bersaing. Alternatif-alternatif
keebijakan dan hasilnya dapat juga tidak diketahui, karena tidak mungkin memperkirakan
risiko dan ketidakpastian. Masalah pilihan tidak untuk menentukan hubungan-hubungan
deterministik yang diketahui, tetapi lebih untuk mendefinisikan sifat masalah. Contoh

14 | Teori Kebijakan Publik


masalah yang rumit adalah masalah keputusan intransitif secara penuh, yaitu, suatu masalah
di mana tidak mungkin untuk memilih alternatif kebijakan tunggal yang disukai oleh semua
orang. Sementara masalah yang sederhana atau agak sederhana mengandung urutan-urutan
pilihan yang transitif-yaitu, jika alternatif A1 lebih disukai daripada alternatif A2, dan
alternatif A2 lebih disukai daripada alternatif A3, maka alternatif A1 lebih disukai daripada
alternatif A3—masalah yang rumit mempunyai urutan pilihan yang intransitif.

Kebanyakan masalah kebijakan yang paling penting cenderung rumit (ill-structured).


Satah satu pelajaran dari ilmu politik, administrasi publik, dan disiplin lainnya adalah bahwa
masalah-masalah yang, sederhana atau agak sederhana jarang dijumpai dalam lingkungan
pemerintahan yang kompleks. Sebagai contoh, merupakan hal yang tidak realistis untuk
menganggap keberadaan satu atau beberapa pembuat keputusan dengan pilihan (manfaat)
yang sama, karena kebijakan-kebijakan publik adalah seperangkat keputusan yang saling
berhubungan yang dibuat dan dipengaruhi oleh para pelaku kebijakan di sepanjang periode
waktu yang panjang. Konsensus adalah jarang, karena pembuatan kebijakan publik
cenderung menimbulkan konflik di antara para pelaku kebijakan yang saling bersaing.
Akhirnya, merupakan hal yang hampir tidak mungkin atau jarang untuk dapat
mengindentifikasi seluruh alternatif pemecahan masalah, dan hal ini untuk sebagian karena
hambatan-hambatan pada perolehan informasi, dan juga karena kadang-kadang sulit untuk
mencapai formulasi permasalahan yang memuaskan. Alasan mengapa masalah yang rumit
adalah sangat penting bagi analisis kebijakan publik telah diringkaskan sejumlah ilmuwan
sosial.

2. Siapa yang Merumuskan Agenda Kebijakan?

Kingdon menyatakan bahwa terdapat tiga pihak yang memiliki pandangan


atau perspektif berbeda mengenai siapa yang berhak untuk menyusun agenda setting, yaitu 1)
Pandangan elit, 2) Pandangan kaum pluralist, dan 3) Pandangan pemerintah daerah.

a. Perspektif Elitis

Stewart menyatakan bahwa kaum elit beranggapan bahwa kekuatan atau pengaruh
yang dimiliki oleh elit dapat mendominasi atau mempengaruhi pembuatan keputusan publik.
Seperti yang diungkapkan oleh Thomas R Dye pada buku The Irony of Democracy
menjelaskan bahwa elit akan berusaha untuk mempertahankan sistem yang ada,
yakni kekuasaan di tangan elit - dengan segala hal yang dapat dilakukannya. Kaum elit yang

15 | Teori Kebijakan Publik


dimaksud di sini bukan hanya pihak yang memiliki jabatan politik saja, tetapi
juga pihak yang memiliki kekuasaan dalam bisnis (elit bisnis) dan juga kekuasaan dalam
militer (elit militer).

b. Perspektif Pluralis

Kaum pluralist beranggapan bahwa pihak yang memiliki kepentingan (interest group)
memiliki dominasi untuk menyusun agenda untuk pembuatan kebijakan. Mereka
beranggapan bahwa agenda setting merupakan proses yang terjadi akibat aktivitas-aktivitas
yang dilakukan oleh kelompok kepentingan yang dominan. Kelompok dominan tersebut akan
memberikan upaya dalam bentuk tekanan terhadap pemerintah agar keeinginannya terdapatdi
agenda setting, atau bahkan memberikan tekanan agar keinginannya sampai
diwujudkandalam sebuah kebijakan.

c. Subgovernment

Pandangan Subgovernment menganggap bahwa terdapat 3 aktor dalam


menetapkanagenda setting, yaitu: 1) Anggota kongres pada komite atau lembaga yang isunya
dipilih; 2)Birokrat yang bertanggung jawab untuk kebijakan tersebut; 3) kelompok-kelompok
yangmengalami isu yang di angkat. Douglas Cater menyatakan bahwa hubungan antara
ketigaaktor tersebut saling terikat, namun subgovernment bekerja dengan serangkaian
hubungan pertukaran, dimana penilaian yang menguntungkan bagi kelompok-kelompok klien
diperdagangkan untuk sumbangan kampanye untuk anggota kongres, informasi dari pejabat
instansi untuk anggota kongres diperdagangkan untuk apropriasi yang menguntungkan
keagen dari kongres, dan pertukaran personil terjadi antara klien kelompok dan lembaga.

Peran apa yang dapat dimainkan oleh pemerintah dalam proses penyusunan agenda
pemerintah (Agenda Setting)?
1. Let it happen (membiarkan hal itu terjadi):
a. Pemerintah cenderung berperan sebagai pihak yang pasif dalam penyusunan
agenda pemerintah.
b. Pemerintah hanya berusaha untuk menjaga saluran informasi – komunikasi dan
penyelesaian masalah publik berjalan secara alami, tanpa intervensi aktif dari
policy maker.

16 | Teori Kebijakan Publik


c. Kondisi ini terjadi juga karena pembuat kebijakan tak mampu menjangkau
individu atau kelompok yang terkena akibat dari suatu masalah karena terlalu
kompleks dan luasnya ruang lingkup masalah tersebut.
d. Masalah publik masuk menjadi agenda pemerintah bersifat pluralistik, tergantung
bagaimana publik menyampaikan sejumlah tuntutan (atau kuantitas tekanan pada
pembuat kebijakan).
e. Kelompok yang diuntungkan adalah yang memiliki akses informasi dan
karenanya secar aktif melakukan komunikasi politik dengan pembuat kebijakan.
f. Model ini tidak sesuai dengan prinsip pemerataan dan keadilan, karena
realitasnya adalah kelompok2 dalam masya. Tidak memiliki akses
informasikomunikasi yang sama.
g. Model ini tidak akan pernah menjangkau kepentingan kelompok yang lemah
(kelompok masya. yang biasanya tidak mampu melakukan akses
informasikomunikasi dengan pembuat kebijakan.
2. Encourage it to happen (mendorong supaya hal itu terjadi)
a. Pemerintah mengambil langkah aktif dengan tujuan membantu masyarakat
(terutama golongan lemah) untuk dapat menentukan dan mengartikulasikan
kepentingan dan masalah yang dihadapi.
b. Pemerintah membantu masyarakat (mendampingi secara aktif) dalam melakukan
diagnosa terhadap masalah yang dihadapi kelompok masya. tsb dengan bantuan
lembaga mediator, contohnya melalui LSM dalam melakukan pendampingan
untuk mengartikulasikan kepentingan masyarakat miskin, sebagai bentuk jemput
bola dari pem. agar dapat mengakomodasikan masalah yang dihadapi kaum
lemah menjadi agenda pemerintah.
3. Make it happen (membuat suatu hal terjadi)
a. Pemerintah berperan sangat aktif dalam mendefinisikan masalah publik,
memasukkanya menjadi Agenda Pemerintah, merumuskan alternatif pemecahan
mslh, sekaligus menentukan tujuan yang hendak dicapai.
b. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan tidak menunggu sistem bekerja secara
pasif, namun secara langsung melakukan intervensi terhadap sistem yang ada atau
mengarahkan beroperasinya sistem tersebut dengan menetapkan mekanisme
pendefinisian dan menetapkan prioritas masalah dalam pemerintah.

17 | Teori Kebijakan Publik


C. Model Penetapan Agenda Kebijakan

Cobb, Ross, dan Ross dalam Stewart mengidentifikasi tiga model yang berbeda dari
agenda setting. Model pertama adalah model inisiatif luar, yang sangat mirip dengan
modelasli diusulkan oleh Cobb dan Elder. Model kedua mereka adalah model mobilisasi,
dimanaisu-isu tersebut dimulai di dalam pemerintahan dan status agenda akhirnya tercapai.
Model kedua ini mirip dengan yang disarankan earlierby Davies. Model ketiga mereka
disebut model inisiatif dalam, yang menggambarkan sebuah proses di mana masalah muncul
dalam pemerintah tetapi tidak diperluas ke masyarakat umum. Pendukung isu itu diinginkan
untuk menjaga masalah dalam arena pemerintahan secara eksklusif.
Cobb & Elder (Anderson, 1979) mengklasifikasikan agenda kebijakan atas dua jenis, yaitu:
1. Agenda Sistemik (systemic agenda): terdiri atas semua isu yang dipandang secara
umum oleh anggota masyarakat sebagai masalah yang patut memperoleh perhatian
publik, mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap
jenjang pemerintahan masing-masing.
2. Agenda Pemerintah (governmental agenda): adalah serangkaian masalah yang secara
tegas mendapat perhatian aktif dan serius dari pembuat kebijakan, guna mendapatkan
penyelesaian melalui kebijakan publik yang otoritatif.

Kapan suatu isu kebijakan menjadi Systemic Agenda ?


 Issue itu memperoleh perhatian yang luas atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan
kesadaran masyarakat.
 Adanya persepsi dan pandangan atau pendapat publik yang luas, bahwa beberapa
tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan masalah itu.
 Adanya persepsi yang sama dari masyarakat, bahwa masalah itu adalah merupakan
suatu kewajiban dan tanggung jawab yang syah dari beberapa unit pemerintahan
(Cobb dan Elder dalam Jones 1984).

Apabila sejumlah masalah publik telah tampil sebagai agenda pemerintah, langkah
selanjutnya adalah kewajiban pembuat kebijakan untuk memprosesnya dalam beberapa fase
berikut (Jones, 1996):
1. Problem definition agenda → pada fase ini masalah publik dirumuskan dan mendapat
perhatian serius dari pembuat kebijakan.

18 | Teori Kebijakan Publik


2. Proposal agenda → pada fase ini masalah publik telah mencapai tingkat diusulkan
untuk menjadi kebijakan publik; jadi ada pergeseran dari perumusan masalah menuju
pemecahan masalah.
3. Bargaining agenda → pada fase ini usulan-usulan kebijakan ditawarkan untuk
memperoleh dukungan secara aktif dan serius.
4. Continuing agenda → pada fase ini suatu masalah didiskusikan dan dinilai secara
terus menerus (terikat dengan perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus
pula) sampai agenda ini dinyatakan gagal atau berhasil menjadi kebijakan publik.

Kondisi Nondecision-making
Peter Bachrach dan Morton Baratz (dalam Islamy, 2005) memberikan pendapat
mengenai tindakan untuk tidak membuat keputusan (nondecision-making) yang diambil oleh
para pembuat kebijakan merupakan suatu cara dengan mana tuntutan-tuntutan untuk
melakukan perubahan terhadap pengalokasian keuntungankeuntungan dan hak-hak istimewa
pada masyarakat dapat ditekan atau dihilangkan bahkan sebelum sempat disampaikan, atau
dibiarkan tetap tertutup; atau dimatikan sebelum hal tersebut memperoleh kekuatan untuk
bisa muncul dalam arena pembuatan kebijakan yang sesuai. Penolakan tersebut mungkin
dapat dilakukan dengan cara:
1. Menggunakan kekuatan (kekuasaan) tertentu, atau dengan kata lain menggunakan
tekanan;
2. Mungkin juga menggunakan nilai-nilai dalam masyarakat (ataupun para pembuat
kebijakan) untuk menolak pembuatan keputusan dan kebijakan tersebut; dan
3. Karena untuk mempertahakan status-quo sehingga pembuat keputusan tidak
merumuskan kebijakan dengan alasan untuk menghindari atau menghilangkan konflik
yang terjadi diantara para pembuat kebijakan.

Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah, bahwa pendapat Thomas Dye
mengenai definisi kebijakan publik yaitu bahwa membuat keputusan ataupun tidak membuat
keputusan pada dasarnya sama-sama membawa konsekuensi bagi masyarakat.

II. Perumusan Kebijakan Publik (Policy Formulation)

Selama tahap dari siklus kebijakan, dinyatakan masalah, proposal, dan tuntutan
berubah ke dalam program pemerintah. Formulasi kebijakan dan adopsi mencakup definisi
tujuan – apa yang harus dicapai dengan kebijakan – dan pertimbangan alternatif tindakan
yang berbeda. Beberapa penulis membedakan antara perumusan (alternatif untuk tindakan)
19 | Teori Kebijakan Publik
dan adopsi akhir (keputusan formal untuk mengambil kebijakan). Karena kebijakan tidak
akan selalu diformalkan ke program terpisah dan pemisahan yang jelas antara formulasi dan
pengambilan keputusan sangat sering mungkin terjadi, kita memperlakukan mereka sebagai
sub tahapan satu panggung dari siklus kebijakan.

Dalam upaya mencoba untuk memperhitungkan gaya, pola, dan hasil yang berbeda
dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, studi tentang tahap kerangka siklus
telah sangat berorientasi teori. Selama dua dekade terakhir ini, koneksi berbuah dengan teori
keputusan organisasi yang telah berkembang. Pada saat yang sama, studi perumusan
kebijakan telah lama sangat dipengaruhi oleh upaya untuk memperbaiki praktek dalam
pemerintah dengan memperkenalkan teknik dan alat perumusan keputusan yang lebih
rasional. Hal ini menjadi paling nyata selama masa kejayaan perencanaan politik dan
kebijakan reformasi di 1960-an dan 1970-an. Analisis kebijakan adalah bagian dari koalisi
reformasi yang terlibat dalam pengembangan alat-alat dan metode untuk mengidentifikasi
kebijakan yang efektif dan hemat biaya (Wittrock, Wegner, dan Wollmann 1991, 43-51;
Wollmann 1984).

Ilmuwan politik berpendapat (Lindblom 1968; Wildavsky 1979) bahwa pengambilan


keputusan tidak hanya terdiri dari pengumpulan informasi dan pengolahan (analisis), tetapi
terutama terdiri dari resolusi konflik dalam dan diantara aktor-aktor publik dan swasta dan
pemerintah departemen (interaksi). Dalam hal pola interaksi antar departemen, Mayntz dan
Scharpf (1975) berpendapat bahwa biasanya mengikuti jenis koordinasi negatif (berdasarkan
urutan partisipasi departemen yang berbeda setelah program kebijakan awal telah disusun)
bbukan dari usaha ambisius dan kompleks koordinasi positif (penyatuan solusi kebijakan
yang disarankan sebagai bagian dari penyusunan), sehingga mengarah ke proses khas
pembuatan kebijakan yang reaktif. Tujuan ilmu politik berbasis analisis kebijakan ialah untuk
menyarankan pengaturan kelembagaan yang akan mendukung pembuatan kebijakan yang
lebih aktif.

Pemerintah dan PNS lebih tinggi tidak sepenuhnya lepas dari masyarakat yang lebih
luas ketika merumuskan kebijakan; sebaliknya, mereka terus-menerus berinteraksi dengan
aktor-aktor sosial dan membentuk pola hubungan yang agak stabil (jaringan kebijakan).
Sedangkan keputusan akhir dari kebijakan tertentu tetap berada di wilayah lembaga yang
bertanggungjawab (terutama kabinet, menteri, DPR), keputusan ini didahului oleh proses
negosiasi pembentukan kebijakan lebih atau kurang informal, dengan menteri departemen

20 | Teori Kebijakan Publik


(dan unit dalam departemen), kelompok kepentingan terorganisir dan, tergantung pada sistem
politik, anggota parlemen terpilih dan rekan mereka sebagai pemain utama. Sejumlah
penelitian kebijakan dengan yakin berpendapat bahwa proses-proses dalam tahap awal
pembuatan keputusan sangat mempengaruhi hasil akhir dan sangat sering membentuk
kebijakan yang lebih besar daripada proses akhir dalam arena parlemen (Kenis dan
Schneider, 1991). Selain itu, penelitian ini menjadi argumen yang kuat dalam membantah
model rasional perumusan keputusan. Alih-alih pilihan rasional antara kebijakan alternatif,
hasil pengambilan keputusan dari tawar-menawar antara aktor-aktor yang beragam dalam
subsistem kebijakan yang – hasil yang ditentukan oleh sumber daya konstelasi dan kekuatan
(substensial dan kelembagaan) kepentingan aktor yang terlibat dan proses penyesuaian yang
saling menguntungkan partisan. Dengan demikian, membentuk gaya khas (Lindblom
1959,1979) dari pembentukan kebijakan semacam ini, terutama dalam alokasi anggaran
(Wildavsky 1964,1988).

A. Alternatif / Solusi Masalah Kebijakan

Formulasi kebijakan merupakan tahap proses kebijakan di mana program yang


bersangkutan dan diterima tindakan untuk menangani beberapa masalah publik tertentu
diidentifikasi dan disahkan menjadi hukum (Lester dan Stewart, 2000). Perumusan usulan
kebijakan publik adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang
perlu untuk menyelesaikan masalah. Perumusan kebijakan publik menyangkut upaya
menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untukmasalah-masalah yang
dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi (Anderson, 1976). Perumusan kebijakan sebagai
alternatif kebijakan/proses perumusan usulan kebijakan. Perumusan usulan kebijakan yang
baik dan komprehensif akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan para perumus kebijakan
dalam merumuskan masalah kebijakan yang terdiri dari tahap-tahap: identifikasi alternatif →
definisi dan rumuskan alternatif → penilaian alternatif → pemilihan alternatif ―yang paling
memungkinkan.‖
Untuk menghasilkan perumusan usulan kebijakan yangkomprehensif, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan:
 Jumlah dari masalah yang ditangani. Apakah usulankebijakan akan menyampaikan
seluruh masalah dalamsuatu lingkup masalah?ataukah hanya ditujukan
padacontohnya semata?

21 | Teori Kebijakan Publik


 Lingkup Analisis. Apakah lingkup analisis usulankebijakan akan melayani semua
aspek masalah? Ataukahhanya melayani aspek tertentu saja?
 Memperkirakan dampak. Apakah usulan kebijakan yangdiformulasi sudah diuji semua
dampaknya? Ataukahpengujian dibatasi pada dampak langsung dalam suatulingkup issu
saja?
 Kegiatan perumusan usulan: mengidentifikasi alternatif, mendefinisikan dan
merumuskan alternatif, menilai alternatif, dan memilih alternatif yang paling baik.

Alternatif kebijakan merupakan sejumlah alat atau cara yang dapat digunakan
untuk mencapai, langsung ataupun tidak langsung sejumlah tujuan dan sasaran yang
telahditentukan sebelumnya (Mustopadijaja). Menurut William N. Dunn, alternatif kebijakan
(policy alternatives) adalah arah tindakan yang secara potensial tersedia yang dapat memberi
sumbangan kepada pencapaian nilai dan karena itu kepada pemecahan masalah kebijakan.
Brewer dan De Leon menggambarkan alternatif kebijakan sebagai pilihan diantara alternatif-
alternatif kebijakan yang telah berhasil diusulkan bagi pemecahan masalah yang sudah
diperkirakan.

Pada prinsipnya, alternatif kebijakan adalah alat atau cara-cara dan juga merupakan
pilihan-pilihan yang dipergunakan dalam
perumusan kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sehingga dapat
dilaksanakan oleh aktor-aktor kebijakan publik.
Alternatif kebijakan dapat dikatakan sebagai tahapan politik dengan mengajukan berbagai
solusi potensial bagi masalah yang dihadapi pembuat kebijakan publik. Pilihan yang paling
mungkin diputuskan bukan untukmengambil tindakan khusus, melainkan untuk penemuan
penyelesaian masalah dengan jalan yang terbaik.

Cara Menentukan Alternatif atau Solusi Masalah Kebijakan

Tahap I : Mengidentifikasi Alternatif Kebijakan

 Masalah-masalah yang telah dengan jelas dirumuskandan dimasukkan dalam


agenda kebijakan akan disusun pilihan pemecahannya dengan mengidentifikasi
alternatif-alternatif yang berguna atau berhubungan dengan pemecahan masalah.
 Dalam situasi masalah yang sama, mungkin saja diidentifikasi alternatif yang
pernah dibuat, tetapi diperlukan juga kreativitas analis kebijakan untuk

22 | Teori Kebijakan Publik


menemukan alternatif-alternatif kebijakan yang baru dan diidentifikasi
karakteristiknya secara jelas.
 Identifikasi yang benar dan jelas untuk setiap alternatifkebijakan akan
mempermudah proses perumusanal ternatif kebijakan tersebut.

Tahap II : Pendefinisian dan Perumusan Alternatif

 Tujuan: Alternatif-alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan


nampak jelas pengertiannya.
 Pendefinisian alternatif ―jelas‖, artinya mudah menilai dan mempertimbangkan
aspek positif dan negatif dari setiap alternatif.
Menurut W.N. Dunn, cara rumuskan alternatif sebagai berikut:
 Didapat dari para ahli atau pejabat publik,
 Menggunakan metode ilmiah,
 Memanfaatkan kasus yang paralel dengan masalah yang akandianalisis, dan
 Menggunakan analogi

Tahap III : Penilaian Alternatif

 Menilai alternatif adalah kegiatan pemberian bobot (harga) padasetiap


alternatif, sehingga nampak jelas bahwasetiap alternatif mempunyai nilai bobot
kelebihan atau kekurangannya masing-masing, atau dapat diketahui konsekuensi
setiap alternatif (baik positif maupun negatif).
 Tujuan: Mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai tingkat efektivitas,
efisiensi,dan visibilitas setiap alternatif yang diajukan dalam mencapai apa yang
menjadi tujuan yang telah ditetapkan.
Kriteria penilaian menurut W.N. Dunn (1994):
 Technical Rationality, menyangkut pilihan yang melibatkanperbandingan antar
alternatif berdasarkan kemampuan darimasing-masing alternatif dalam
mempromosikan pemecahan yang efektif terhadap masalah publik yang dihadapi.
 Economic Rationality, menyangkut pilihan yang melibatkan perbandingan antar
alternatif berdasarkan kemampuan masing-masing alternatif dalam
mempromosikan pemecahan masalah publik secara efisien, yang biasanya
dihitung berdasarkan perbandingan antara biaya total (total cost) dengan manfaat
yang diperoleh (benefits) bagi masyarakat.

23 | Teori Kebijakan Publik


 Legal Rationality, berkenaan dengan penilaian alternatif berdasarkan kemampuan
dalam tingkat komformitas legal (sejalan tidaknya atau mendukung tidaknya)
terhadap aturan perundang-undangan yang ada.
 Social Rationality, berkaitan dengan perbandinganalternatif berdasarkan
kemampuannya dalam memelihara dan mempertahankan serta memperbaiki
instutusi-institusi sosial,atau dengan kata lain, apakah suatu alternatif
mempromosi institusionalisasi norma-norma atau nilai-nilai yang diakui
masyarakat.
 Substantive Rationality, adalah suatu bentuk gabungandari rasionalitas (multiple
forms of rationality) yang menyangkut kriteria-kriteria sebelumnya yaitu kriteria
teknis, ekonomis, hukum, dan sosial. Teknik ini memilih atau merekomendasikan
suatu alternatif kebijakan secara rasionaldengan sistem rangking, dimana total
skor yang paling sedikit akan dianggap sebagai yang paling baik.

Tahap IV : Pemilihan Alternatif

 Memilih alternatif yang ―memuaskan‖ atau ―yang paling mungkin dilaksanakan‖


setelah dilakukannya penilaian alternatif-alternatif oleh para analis kebijakan.
 Alternatif yang dipilih secara memuaskanakan menjadi usulan kebijakan (policy
proposal) yang dianggap dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif.

B. Aktor-aktor Yang Terlibat dalam Perumusan Kebijakan

Winarno dalam Madani (2011:41) berpandangan bahwa: Kelompok yang terlibat


dalam proses kebijakan publik adalah kelompok formal dan kelompok non formal. Kelompok
formal seperti badan –badan administrasi pemerintah yang meliputi: eksekutif, legislatif
maupun yudikatif. Sementara itu, kelompok non formal terdiri dari:
1. Kelompok kepentingan (interest groups), seperti kelompok buruh, dan kelompok
perusahaan;
2. Kelompok partai politik;
3. Warga negara individual;
Kelompok besar tersebut kemudian jika dianalisis secara lebih detail maka aktor
kebijakan yang sering kali terlibat dalam proses perundingan dan pengambilan kebijakan
internal birokrasi dapat berupa:

24 | Teori Kebijakan Publik


a. Mereka yang mempunyai kekuasaan tertentu (authoritative). Yang pertama adalah
relevan dengan konsep yang selalu melibatkan tiga oknum penting di dalamnya yaitu
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b. Mereka yang tergolong sebagai partisipan atau aktor tidak resmi. Kelompok yang
kedua adalah mereka yang secara serius seringkali terlibat di luar kelompok tersebut
baik secara langsung mendukung ataupun menolak hasil kebijakan yang ada. Pada
kelompok yang kedua inilah seringkali wujudnya dapat berupa kelompok
kepentingan, aktor partai politik, aktor para ahli dan sarjana atau enterpreneur serta
para intelektual yang ada.

Aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat di bagi menjadi kelompok
formal dan kelompok non formal. Kelompok formal biasanya terdiri dari aktor resmi yang
mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan seperti eksekutif, legislatif dan eksekutif.
Sedangkan pada aktor non formal terdiri dari masyarakat baik individu, kelompok
kepentingan maupun aktor partai politik.
Menurut Howlett dan Ramesh (1995:50-59) beberapa aktor atau organisasi yang
berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan, antara lain:
1. eksekutif dan legislatif yang dihasilkan melalui pemilihan umum (elected officials);
2. pejabat atau birokrat yang diangkat (appointed officials);
3. kelompok kepentingan (interest group);
4. organisasi peneliti; dan
5. media massa.
Selain lima hal tersebut, aspek lain yang berpengaruh dalam kebijakan publik antara lain:
1. bentuk organisasi negara;
2. struktur birokrasi;
3. organisasi kemasyarakatan;
4. kelompok bisnis.
Sesuai pendapat Lester dan Steward (2000) dalam Kusumanegara (2010:88-89), para aktor
perumus kebijakan terdiri dari:
1. agen pemerintah; yaitu terdiri dari para birokrat karier. Mereka adalah aktor yang
mengembangkan sebagian besar usulan kebijakan (inisiator kebijakan);
2. kantor kepresiden; yaitu presiden atau aparat eksekutif. Keterlibatan presiden dan
perumusan kebijakan ditunjukan dengan pembentukan komisi kepresidenan, task
forces dan komite antar organisasi;

25 | Teori Kebijakan Publik


3. Konggres (lembaga legislatif); lembaga ini berperan dalam melegislasi kebijakan
baru maupun merevisi kebijakan yang dianggap keliru. Dinegara-negara demokrasi,
peran legislatif dalam perumusan kebijakan didasarkan pada keberadaan mekanisme
check and balances dengan pihak eksekutif;
4. Kelompok kepentingan; dinegara demokrasi, kelompok kepentingan merupakan aktor
yang terlibat dalam perumusan kebijakan spesifik.

Sementara Winarno (2007:123) bahwa kelompok-kelompok yang terlibat dalam


proses perumusan kebijakan publik dibagi kedalam dua kelompok, yakni para pemeran serta
resmi dan para pemeranserta tidak resmi. Kelompok pemeranserta resmi adalah agen-agen
pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Sedangkan kelompok
pemeranserta tidak resmi meliputi: kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan
warganegara individu. Sedangkan Moore (1995:112) secara umum aktor yang terlibat dalam
permusan kebijakan publik yaitu, aktor publik, aktor privat dan aktor masyarakat (civil
society). Ketiga aktor ini sangat berperan dalam sebuah proses penyusunan kebijakan publik.

Selanjutnya Lidblom (1980) dalam Agustino (2008:41) aktor pembuat kebijakan,


dalam sistem pemerintahan demokratis, merupakan interaksi antara dua aktor besar, yaitu
Insede Government Actors (IGA) dan Outside Government Actors (OGA). Para aktor
pembuat kebijakan ini terlibat sejak kebijakan publik itu masih berupa issu dalam agenda
setting hingga proses pengambilan keputusan berlangsung. Yang termasuk dalam kategori
Insede Government Actors (IGA) adalah presiden, lembaga eksekutif (staf khusus
pemerintahan), para menteri dan aparatur birokrasi. Sedangkan yang termasuk dalam kategori
Outside Government Actors (OGA) diantaranya, lembaga legislatif, lembaga yudikatif,
militer, partai politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan serta media—massa.

Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang
berasal dari aktor negara maupun aktor non negara atau yang disebut oleh Anderson (2006:
46-67) sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non
pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat kebijakan resmi atau disebut pula
aktor resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan
kebijakan publik. Yang termasuk dalam aktor resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi),
presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif.

26 | Teori Kebijakan Publik


Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses
kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi
penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut oleh
Anderson sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) atau aktor tidak
resmi, karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan tetapi
mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan
mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi; memberikan tekanan; serta mencoba
untuk mempengaruhi (Anderson, 2006: 57-67). Mereka juga dapat menawarkan proposal
kebijakan yang telah mereka siapkan. Untuk memahaminya perlu memahami pula sifat-sifat
semua pemeran serta (participants), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang
atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta
saling mengawasi.

Interaksi Aktor-aktor dalam Perumusan Kebijakan Publik

Pada pembahasan mengenai kebijakan publik, maka aktor mempunyai posisi yang
sangat strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan (institusi) kebijakan itu sendiri.
Interaksi aktor dan kelembagaan merupakan penentu proses perjalanan dan strategi yang
dilakukan oleh komunitas kebijakan dalam makna yang lebih luas. Menurut howlett dan
Ramesh dalam Madani (2011:36) menjelaskan bahwa pada prinsipnya aktor kebijakan adalah
mereka yang selalu dan harus terlibat dalam setiap proses analisa kebijakan publik, baik
berfungsi sebagai perumus maupun kelompok penekan yang senantiasa aktif dan proaktif di
dalam melakukan interaksi dan interelasi di dalam konteks analisis kebijakan publik.

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Anderson dalam Madani (2011:37) bahwa aktor
kebijakan meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu mempunyai
konsern terhadap kebijakan. Aktor individu maupun kelompok yang turut serta dalam setiap
perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik. Berdasarkan pendapat ahli, maka
dapat disimpulkan bahwa aktor kebijakan yaitu seorang maupun sekelompok orang yang
terlibat dalam penentu kebijakan, baik pada proses perumusan, implementasi dan evaluasi
kebijakan publik. Aktor kebijakan ini dapat berasal dari pejabat pemerintah, masyarakat,
kaum buruh, maupun kelompok kepentingan.

Menurut Anderson dalam Madani (2011:41), menyatakan bahwa: Dengan


memperhatikan berbagai ragam dan pendekatan dalam memahai berbagai aktor yang terlibat

27 | Teori Kebijakan Publik


dalam proses kebijakan publik, maka konsep dan konteks aktor adalah sangat terkait dengan
macam dan tipologi kebijakan yang akan dianalisis. Dalam perspektif formulasi masalah
kebijakan publik, maka aktor yang terlibat secara garis besarnya dapat dipilah menjadi dua
kelompok besar yaitu kelompok dalam organisasi birokrasi (the official policy makers) dan
yang lain adalah keelompok di luar birokrasi (un-official policy maker).

C. Model-Model Perumusan Kebijakan

Terdapat sejumlah model perumusan kebijakan publik yang dikemukakan oleh para
ahli antara lain : Model Institusional, Model Elit–Massa, Model Kelompok, Model Sistem–
Politik, Model Rational-Comprehensive, Model Incremental, Model Mixed-Scanning.
Model-model ini bertujuan untuk menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang sangat
rumit, dan sekaligus mudah dimengerti. Untuk pemahaman lebih lanjut maka dapat
dijabarkan model tersebut sebagai berikut :

1. Model Institusional. Model ini merupakan model yang tradisional dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada
struktur organisasi pemerintah karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada
lembaga-lembaga pemerintah. Maka kebijakan publik secara otoritatif dirumuskan
dan dilaksanakan pada lembaga-lembaga pemerintah.
2. Model Elit Massa . Menurut Nicholas Henry (1975) dalam Setyodarmodjo
(2005:251) model ini memandang administrator-adminitrator pemerintahan tidaklah
tampil sebagai ―pelayan rakyat‖ melainkan lebih bertindak sebagai
―penguasa‖. Dalam model elit-massa ini, kekuasaan pemerintah berada ditangan
kaum elit. Kaum elitlah yang menentukan kebijakan publik, sedang pejabat
pemerintah atau para administrator hanya melaksanakan kebijakan yang ditentukan
oleh kaum elit. Dengan demikian masyarakat hanya tinggal menerima apa saja yang
dikehendaki pejabat.
3. Model Kelompok. Model ini menganut paham David B. Truman (1951) dalam Islamy
(2007:42) yang menyatakan bahwa interkasi kelompok-kelompok adalah merupakan
kenyataan politik. Individu-individu yang memiliki kepentingan yang sama
mengikatkan baik secara formal maupun informal kedalam kelompok kepentingan
(interest group) yang dapat mengajukan dan memaksakan kepentingan-
kepentingannya kepada pemerintah. Menurut teori kelompok, kebijakan publik adalah
merupakan perimbangan (equilibrium) yang dicapai sebagai hasi perjuangan

28 | Teori Kebijakan Publik


kelompok. Untuk menjaga perimbangan tersebut maka tugas/peranan sistem politik
adalah menengahi konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut.
4. Model Sistem Politik. Model ini sebenarnya merupakan pengembangan dari teori
sistem David Easton. Model ini didasarkan pada konsep-konsep teori informasi
(input, withinputs, outputs dan feedback) dan memandang kebijakan publik sebagai
respon suatu sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (sosial, politik,
ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada disekitarnya,
5. Model Rasional : Menggambarkan keadaan yang senyatanya terhadap yang terjadi
dalam pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, para pembuat kebijakan dilihat perannya
dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah
yang akan digunakan untuk:
 Menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan internal dan
eksternal.
 Memuaskan permintaan lingkungan.
 Memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan.
6. Komprehensif : Merupakan model yang terkenal dan juga paling luas dterima
dikalangan para pengkaji kebijakan publik. Pada dasarnya model ini terdiri dari
beberapa elemen yaitu :
 Pembuat keputusan dihadapkan kepada masalah tertentu.
 Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang mengarahkan pembuat
keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.
 Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
 Konsekwensi-konsekwensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap
pemilihan alternatif diteliti.
 Antara alternatif dengan konsekwensi yang menyertainya dapat dibandingkan
dengan alternatif lainnya.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan suatu keputusan rasional yaitu
keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan (intended
goal). Model Rational Comprehensive didasarkan atas teori ekonomi atau konsep
manusia ekonomi (consept of an economic man). Dalam model ini konsep rasionalitas
sama dengan konsep efisiensi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa suatu kebijakan
yang rasional itu adalah suatu kebijakan yang sangat efisien—dimana rasio antara

29 | Teori Kebijakan Publik


nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi
dibandingkan dengan alternative-alternatif yang lain.
7. Incramental : Model penambahan, yang berawal dari kritik terhadap model rasional
komprehensif akhirnya melahirkan model penambahan atau inkrementalisme. Dalam
aplikasinya, bahwa ia berusaha menutupi kekurangan yang ada dalam model tersebut
dengan jalan menghindari banyak masalah yang ditemui dalam model rasional
komprehensif. Model ini bersifat deskriptif, artinya bahwa model ini menggambarkan
secara aktual cara-cara yang dipakai para pejabat dalam membuat keputusan.
8. Mixed Scanning : Model ini merupakan upaya mengambungkan antara model rasional
dengan model incremental. Amitai Etzioni (1967) memperkenalkan teori sebagai
suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan pokok dan inkremental,
menetapkan proses-proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang
menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-
keputusan pokok dan menjalankannya seteleh keputusan itu tercapai. Pada dasarnya
model ini adalah model yang amat menyederhanakan masalah. (Nugroho, 2004:124) .

D. Faktor-Faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan

a. Faktor Politik.
Dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai faktor
kebijakan (policy aktor), baik aktor – aktor dari kalangan pemerintah (Presiden, menteri,
panglima TNI dan lain-lain), maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, media
massa, LSM dan lain-lain).
b. Faktor Ekonomi / Finansial.
Faktor ini perlu dipertimbangkan, terutama apabila kebijakan tersebut akan
menggunakan dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam
negara/daerah, seperti yang kita ketahui bersama, sejak diberlakukannya Otonomi Daerah
kepada Kabupaten/Kota di Indonesia, sejak saat itu pula semua daerah sudah berlomba-lomba
untuk membuat/memunculkan ide-ide baru dalam bentuk kebijakan tanpa memperhatikan
keuangan daerah, sehingga banyak pula daerah dalam pelaksanaan anggaran mengalami
defisit, dan jelas hal ini mempengaruhi terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan masyarakat.
c. Faktor Administrasi / Organisatoris.

30 | Teori Kebijakan Publik


Apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh
kemampuan administrative yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan
melaksanakan kebijakan itu. Dalam kemampuan administrative termasuk kemampuan
Sumber Daya Aparatur yang melaksanakan kebijakan pemerintahan, kadang kala banyak
dipaksakan dengan Sumber Daya yang ada, misalnya dengan terbukanya aturan untuk
memperbolehkan daerah melakukan pemekaran daerah, maka dengan segala usaha dan upaya
yang ada Provinsi, Kabupaten/kota untuk melakukan pemekaran, bayangkan saja sekarang
saja untuk Indonesia keadaan tahun 2013 sudah ada 34 Provinsi dengan 497 Kabupaten/Kota,
tetapi pertanyaan yang timbul apakah Sumber Daya Aparatur yang mendukungnya sudah
sesuai dengan kompetensi (persyaratan) yang sudah ditetapkan oleh aturan tersendiri.
Kemudian apakah organisasi pemerintah daerah yang dibentuk sudah mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat dan mempunyai tugas pokok dan fungsi yang sesuai dengan
pembentukan organisasi (tidak tumpang tindih/overlaping). Apalagi sesuai konsep reformasi
birokrasi yang sedang diakbarkan mulai dari Pemerintah Pusat sampai kepada Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penataan kelembagaan tidak boleh adanya
tumpang tindih antara organisasi yang satu dan yang lainnya, seandainya ini terjadi harus
dilakukan evaluasi kembali.
d. Faktor Teknologi.
Apakah teknologi yang ada dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan, apabila
kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan. Secara kenyataan teknologi yang ada pada
prinsipnya dapat mendukung kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah, tetapi kadang kala
permasalahan adalah yang mempergunakan teknologynya (SDM) tidak siap dengan
teknology yang ada, contoh sederhana perangkat komputer / laptop hanya dipergunakan
kebanyakan untuk mengetik, dan kalau dilihat kepada program-program yang ada dalam
perangkat tersebut mampu mengimplementasikan untuk kegiatan-kegiatan/penciptaan lainnya
tergantung kepada kesiapan SDA nya.
e. Faktor Sosial, budaya dan Agama.
Apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya dan agama
atau yang sering disebut masalah SARA, seperti yang baru terjadi di Kota Padang dalam
rencana pembangunan Rumah Sakit SLAOM dan kegiatan ekonomi, dikritik oleh masyarakat
dan lembaga-lembaga masyarakat, karena akan berpengaruh tegaknya agama Islam. Hal ini
juga harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah, disatu sisi Pemerintah ingin memajukan
daerah dan meningkatkan ekonomi masyarakat dengan mendatangkan investor luar untuk
membangun daerah, dan disatu sisi masyarakat juga melakukan protes terhadap rencana
31 | Teori Kebijakan Publik
pembangunan tersebut, maka disinilah yang diperlukan sekali Sinergi antara masyarakat dan
pemerintah sehingga mempunyai pemahaman dan persepsi yang sama dalam membangun
daerahnya.
f. Faktor Pertahanan dan keamanan.
Apakah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
tidak akan mengganggu stabilitas keamanan negara/daerah, misalnya dalam pembangunan
gerbang batas negara/daerah yang kadang-kadang dapat menimbulkan konflik antar daerah
dan masyarakat, maka itu yang sangat diperlukan disini adalah melakukan sosialisasi dengan
berbagai pihak yang terkait dan koordinasi antara negara dengan negara atau antara daerah
yang berbatasan.

III. Implementasi Kebijakan Publik (Policy Implementation)

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik.
Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan
yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat
administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya
diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau
tujuan yang diinginkan.

Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan
implementasi kebijakan publik sebagai: ‖Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi
publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-
keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu
maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar
dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan‖.

Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran
ditetapkan terlebih dahulu yang dilakukan oleh formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap
implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan
untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.Implementasi kebijakan merupakan tahap
yang bersifat praktis dan berbeda dengan formulasi kebijakan sebagai tahap yang bersifat
teoritis. Anderson (1978:25) mengemukakan bahwa: ”Policy implementation is the
application by government`s administrative machinery to the problems.” Kemudian Edward

32 | Teori Kebijakan Publik


III (1980:1) menjelaskan bahwa: “policy implementation,… is the stage of policy making
between establishment of a policy…And the consequences of the policy for the people whom
it affects.”

Berdasakan penjelasan di atas, Tachjan (2006i:25) menyimpulkan bahwa


implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan
setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan
kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down,
maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro
menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses


kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan
dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya implementasi kebijakan
ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154) bahwa: ―The execution of
policies is as important if not more important than policy making. Policy will remain dreams
or blue prints jackets unless they are implemented”.

Proses implementasi kebijakan yang ideal akan mencakup elemen inti sebagai berikut:
 Spesifikasi detail program, yaitu bagaimana dan dimana lembaga/organisasi program
seharusnya akan dieksekusi? Bagaimana hukum/program ditafsirkan?
 Alokasi sumber daya, yaitu bagaimana anggaran didistribusikan? Personil yang mana
yang akan mengeksekusi program? Unit organisasi yang mana yang akan
bertanggungjawab untuk eksekusi?
 Keputusan, yaitu bagaimana keputusan kasus tunggal dilakukan?

Deteksi tahap pelaksanaan sebagai missing link (Hargove, 1975) di dalam studi
kebijakan dapat dianggap sebagai salah satu inovasi konseptual yang paling penting dari
penelitian kebijakan pada 1970-an. Sebelumnya, pelaksanaan kabijakan ini tidak diakui
sebagai tahap yang terpisah di dalam atau elemen dari proses pembuatan kebijakan.

Awalnya, implementasi dipandang dari perspektif yang kemudian disebut pendekatan


top-down. Pelaksanaan studi generasi pertama sehingga berbagi pemahaman hirarki, top-
down pemerintahan, setidaknya sebagai ukuran normatif bagi penelitian hasil implementasi.
Penelitian Implementasi tertarik dalam mengembangkan teori tentang pekerjaan apa. Salah
satu cara untuk melakukan ini adalah menilai efektivitas berbagai jenis instrumen kebijakan
33 | Teori Kebijakan Publik
berdasarkan teori tertentu tentang hubungan sebab dan akibat. Instrumen kebijakan telah telah
diklasifikasikan ke dalam peraturan, keuangan, informasi, dan alat kebijakan organisasi.

Perspektif bottom-up menyarankan sejumlah reorientasi analisis yang kemudian


diterima dalam penerapan yang lebih luas dan literatur kebijakan. Pertama, peran sentral
lembaga implementasi dan personil mereka dalam membentuk hasil kebijakan yang
sebenarnya telah mengakui; khususnya pola mengatasi tuntutan yang beragam dan
bertentangan yang sering dikaitkan dengan kebijakan adalah tema penelitian yang berulang.
Kedua, fokus pada kebijakan tunggal dianggap sebagai masukan ke dalam proses
pelengkapan implementasi, jika tidak diganti, oleh perspektif yang dianggap kebijakan
sebagai hasil dari pelaksanaan hasil dari interaksi pelaku yang berbeda dan program yang
berbeda.

Singkatnya, penelitian implementasi memainkan peran utama dalam memicu


penelitian kebijakan melangkah jauh dari suatu negara terpusat, yang terutama tertarik dalam
meningkatkan internal administrasi dan kapasitas pemerintah dan meningkatkan desain
program dan implementasi. Sejak akhir tahun 1980-an, penelitian kebijakan terutama tertarik
pada pola interaksi negara-masyarakat dan perhatiannya telah bergeser terhadap pengaturan
institusional bidang organisasi dalam masyarakat yang lebih luas (misalnya, kesehatan,
pendidikan, atau bagian ilmu). Jaringan kebijakan dan negosiasi mode koordinasi antara
aktor-aktor publik dan swasta tidak saja (analitis) dianggap sebagai pola meresap yang
mendasari pembuatan kebijakan-kontemporer, namun juga (normatif) dianggap sebagai cara
yang efektif dari pemerintahan yang mencerminkan kondisi modern masyarakat. Studi
pembuatan kebijakan semakin menurun mengikuti model tahap tradisional, namun
mancakup semua jenis aktor di bidang organisasi dan peraturan, dengan demikian
mengurangi kerangka siklus kebijakan.

A. Aktor-aktor yang Terlibat dalam Implementasi

Proses implementasi program dalam sebuah kebijakan, tentunya ada aktor-aktor yang
terlibat. Aktor-aktor itu bisa berasal dari masyarakat sipil, pemerintahan,maupun pihak
swasta. Masyarakat sipil misalkan organisasi komunitas, organisasi inisering merancang
kebijakan politik yang berlabel masyarakat. Dengan sendirinyamasyarakat, baik itu individu
maupun kelompok terlibat dalam implementasi programyang telah legislasi. Kemudian, aktor
dari pemerintahannya seperti birokrasi yangmenjadi agen administrasi yang paling

34 | Teori Kebijakan Publik


bertanggungjawab atas implementasi kebijakan. Serta badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif yang dalam implementasinya mereka menentukan berbagai peraturan yang spesifik
yang paling mendasar.

Menurut Anderson dan Lester dan Stewart (Solahuddin K, 2009:100), dalam tahapan
implementasi terdapat berbagai aktor yang terlibat. Mereka bisa berasal dari kalangan
pemerintah maupun masyarakat, dan diidentifikasi dari kalangan birokrasi, legislatif, lembaga
peradilan, kelompok-kelompok penekan dan organisasi komunitas.

1. Birokrasi

Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi
seperti yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006:27): ‖Bureaucracies
are dominant in the implementation of programs and policies and have varying degrees of
importance in other stages of the policy process. In policy and program formulation and
legitimation activities, bureaucratic units play a large role, although they are not
dominant‖. Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam
implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan publik
dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun tidak dominan. Birokrasi sebagai aktor
adminitratif yang memiliki tanggungjawab dalam implementasi kebijakan. birokrasi
merupakan aktor yang memiliki wewenang dalam implementasi kebijakan publik karena
birokrasi merupakan lembaga yang diberi mandat dari legeslatif.

2. Organisasi Komunitas

Organisasi ini adalah target dari implementasi kebijakan itu sendiri. Organisasi
komunitas melakukan teknik implementasi kebijakan, yaitu untuk mengukur kesesuaian
peleksanaan kebijakan.

3. Badan Legislatif

Legeslatif bisa dikatakan sebagai aktor imlementasi kebijakan ketika mereka ikut
serta dalam membuat kebijakan yang bersifat spesifik dan detail. Hal ini untuk
mempengaruhi adminitrasi.

35 | Teori Kebijakan Publik


4. Lembaga Peradilan

Lembaga peradilan, lembaga peradilan sebagai aktor implementasi kebijakan, didalam


kebijakan jika terjadi kesalahan adminitratif atau adanya pengaduan dari masyarakat yang
merugikan masyarakat yang menjadi perkara hukum.

5. Kelompok Kepentingan

Kelompok kepentingan adalah kelompok non-pemerintah yang memiliki kekuasaan


untuk mempengaruhi dan menekan kebijakan, dan orientasi dari kelompok ini adalah
keuntungan.

Dalam hubungannya dengan Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks,


menuntut adanya kerjasama banyak pihak. Kerjasama ini hanya mungkin terdapat dalam
birokrasi yang mempunyai struktur yang ideal dengan pembagian tugas yang jelas. Ketika
strukur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan
menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan. Dengan
demikian, maka peranan birokrasi sangat penting. Karena Birokrasi merupakan alat dalam
mencapai efesiensi yang setinggi-tingginya dalam administrasi Negara.Karena sebagai alat
maka mempunyai kewenangan dan kekuasaan. Atas dasar kewenangan dan kekuasaan inilah
segala kegiatan dilaksanakan. Karenanya, pelaksanaan politik Negara selalu tergantung pada
kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepada birokrasi.

B. Pendekatan dalam Implementasi Kebijakan

1. Pendekatan Top Down (Implementasi Sistem Rasional)

Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul.
Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi seperti
yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : ―Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke
tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia‖. Menurutnya, model
rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa
yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem.

Model Rasional (top down) ini lebih menekankan pada usaha untuk mengidentifikasi
fakto-faktor apa saja yang membuat suatu kebijakan bisa berjalan sukses di lapangan.
Menurut Parsons (2008), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Van Meter

36 | Teori Kebijakan Publik


dan van Horn menyatakan bahwa standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur
sehingga dapat terwujud. Apabila standar dan sasaran kebijakan tidak jelas, maka akan terjadi
multi tafsir dan akan mudah menimbulkan konflik di antara para pelaksana sebagai
implementor. Selain itu perlu implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik
sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human
resources). Dalam banyak kasus, selain sumber daya, implementasi sebuah program perlu
dukungan dan koordinasi dengan lembaga lain. Dengan demikian, diperlukan koordinasi dan
kerjasama antar lembaga untuk keberhasilan suatu program.

Kelebihan dan kelemahan pendekatan top-down

Kelebihan:
 Masyarakat hanya sebagai objek dari sebuah kebijakan sehingga peran pemerintah
lebih optimal dan masyarakat tidak ikut bekerja.
 Kinerja pemrintah lebih optimal.
Kelemahan:
 Seringkali pendekatan top down tidak tepat sasaran karena salah dalammerumuskan
solusi atas masalah publik.
 Masyarakat tidak bisa berperan aktif dalam program.
 Masyarakat tidak bisa melihat seberapa jauh program itu dilaksanakan.
 Masyarakat menjadi kurang kreatif dengan ide-ide mereka.
 Belum tentu kebijakan dalam pendekatan ini mampu menjawab keinginanmasyarakat.
 Model instruksi/SOP yang serta kontrol prosedur yang terlalu ketat seringkali
membuat implementasi kebijakan gagal mencapai tujuan kebijakan.

Relevansi Implementasi
Kebijakan yang relevan dengan pendekatan ini yaitu kebijakan yang dapatmereduksi
masalah- masalah yang sifatnya kontroversial, berdampak luasterhadap kelangsungan
mayoritas masyarakat serta masalaha publik yang tidakdapat didesentralisasikan. Contoh:
kebijakan tentang subsidi BBM, kebijakan tentang ekspor impor,kebijakan tentang hubungan
luar negeri, kebijakan tentang ketahan pangan, dan lain-lain.

Pendekatan top down serupa dengan pendekatan command and control (Lester
Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up serupa dengan pendekatan the market
approach (Lester Stewart, 2000:108). Pendekatan top down atau command and

37 | Teori Kebijakan Publik


control dilakukan secara tersentralisasi dimulai dari aktor di tingkat pusat dan keputusan-
keputusan diambil di tingkat pusat. Pendekatan top down bertolak dari perspektif bahwa
keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus
dilaksanakan oleh administratur atau birokrat yang berada pada level bawah (street level
bureaucrat)‖.

2. Pendekatan Bottom Up (Implementasi Kebijakan Bottom Up)

Bertolak belakang dengan pendekatan top down, pendekatan bottom up lebih


menyoroti implementasi kebijakan yang terformulasi dari inisiasi warga masyarakat.
Argumentasi yang diberikan adalah masalah dan persoalan yang terjadi pada level daerah
hanya dapat dimengerti secara baik oleh warga setempat. Sehingga pada tahap
implementasinya pun suatu kebijakan selalu melibatkan masyarakat secara partisipastif.

Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap


model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-
benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan
pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah
negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan
bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan
dalam penerapan kebijakan.

Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam


persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001),
implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini
memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan
social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk
mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.

Kelebihan dan kelemahan pendekatan bottom-up

Kelebihan:
 Peran masyarakat dapat optimal dalam memberikan ide-ide kepada pemerintah
 Tujuan yang diinginkan oleh masyarakat dapat di terwujud dan berjalan
sesuaikeinginan masyarakat

38 | Teori Kebijakan Publik


 Masyarakat akan lebih kreatif karena masyarakat bukan hanya sebagai objekdalam
kebijakan melainkan sebagai subjek dalam kebijakan.
 Memberikan keleluasaan (diskresi) pada implementor untuk menyesuaikan cara
pengimplementasian sesuai dengan kondisi, situasi dan kepentingankelompok sasaran
yang dihadapi.

Kelemahan:
 Akan adanya perbedaan pendapatan dalam implementasi kebijakan antara pemerintah
sebagai pembuat kebijakan dengan masyarakat selaku pelaksanadan objek sasaran
program.
 Dari segi waktu, pendekatan ini memakan waktu yang lebih lama
daripadaimplementasi dengan pendekatan top down, karena ketiadaan model
alurimplementasi kebijakan.

Relevansi implementasi
Kebijakan-kebijakan yang merujuk kelompok sasaran secara langsung sebagai target
perubahan, akan lebih cocok menggunakan pendekatan ini. Misalnya kebijakan yang
bertujuan memberikan layanan kesehatan, pendidikan,
peningkatan perekonomian di pedesaan, dan lain sebagainya, serta
mengharuskan implementor lapis terbawah berhadapan langsung dengan kelompok
sasarannya (misal dokter, perawat kesehatan di Puskesmas, guru, dan sebagainya). Contoh:
kebijakan pemberdayaan petani, kebijakan pemberdayaan UMKM, dan lain-lain.

3. Teori-Teori Hasil Sintesis (Hybrid Theories)

Model sudut pandang Top-down yang rasional perspektif ini tak lama kemudian
mendapatkan kritik bertubi – tubi. Kritik pertama adalah bahwa pandangan ini masih terlalu
menitik beratkan pada sudut pandang pembuat kebijakan. Bahwa dengan menyediakan
prasyarat-prasyarat sukses sebuah implementasi yang telah dihitung dan dianalisis dengan
cermat oleh pembuat kebijakan dan pelaksana tingkat atas (high level bureaucrazy), maka
kebijakan dengan sendirinya akan lebih berhasil dalam implementasinya. Pendekatan ini
melupakan peran pelaksana tingkat bawah yang pada kenyataannya justru lebih banyak
berperan. Kritik kedua adalah bahwa pendekatan perspektif untuk persoalan implementasi
hanya akan dapat bersifat terbatas pada ruang dan waktu serta permasalahan yang serupa.
Padahal sebagaimana diketahui variasi masalah kebijakan yang luas, serta ruang dan waktu
pemerintahan yang berbeda, akan memebawa perbedaan pula dalam cara pemecahan
39 | Teori Kebijakan Publik
masalahnya. Oleh karena itu model Top-down kemudian diikuti oleh model sudut pandang
Bottom-up dan model Sintesis (Wayne Parson, 2008)

Sudut pandang Model Sintesis muncul sekitar tahun 1982 dengan tokohnya yang
popular Randall P. Ripley & Grace Franklin. Model Sintesis ini memadukan kedua model
sebelumnya (Top-down dan Bottom up) dengan tekanan utama yang bisa beragam, mulai
pada jaringan interaksi antar aktor pelaksana sampai pada pendekatan sosiologis, dan lain-
lain. Karenanya, dalam beberapa literature juga disebut sebagai teory atau model Hybrid.
Teori-teori hasil sintesis (hybrid theories) ini disempurnakan melalui pendekatan policy
subsystem, yaitu semua aktor terlibat secara interaktif satu sama lain dalam proses politik dan
kebijakan. Pada proses ini dibatasi oleh parameter yang relative stabil serta kejadian di luar
subsistem.

Kelebihan dan kelemahan pendekatan sintesa

Kelebihan:
 Pendekatan ini bisa diterapkan di berbagai masalah implementasi kebijakan
 Berusaha mengkolaborasikan intervensi dari pemerintah dengan partisipasimasyarakat
secara aktif.
 Kebijakan terdesentralisasi tapi pemerintah tetap memiliki andil utukmengendalikan
dan mengawasi.
Kelemahan:
 Terkadang kebijakan yang diambil pemerintah tidak sesuai dengankarakteristik
wilayah sebagai sasaran kebijakan.
 Jika implementor tidak mempunyai kapabilitas dalam implementasi kebijakan,maka
kebijakan tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan, baik oleh pemerintah sebagai
pembuat kebijakan maupun publik sebagai sasarankebijakan.

Relevansi implementasi
Kebijakan yang menekankan pada karakteristik wilayah dan daerah sasarankebijakan,
karena campuran antara pendekatan top down yang didesentralisasikandalam
implementasinya.Contoh: kebijakan terkait otonomi daerah, kebijakan tentang DAU dan
DAK,Kebijakan pengembangan sektor- sektor potensial daerah, dan lain-lain.

40 | Teori Kebijakan Publik


Model sintesa (hybrid) ini pada hakekatnya ingin menegaskan bahwa tidak ada model
perspektif yang bisa diterapkan pada setiap masalah implementasi. Tiap katagori kebijakan
memiliki kekhasan tersendiri, sehingga pendekatannya pun harus disesuaikan dengan kondisi
tersebut. Model sintesa ini sangat beragam mulai dari yang hanya mengemukakan variable
yang dianggap mempengaruhi implementasi. Kategori model sintesis ini sungguhnya
dilakukan hanya untuk memeprmudah pengkatagorian berbagai pendekatan studi
implementasi yang muncul belakangan.

C. Instrumen Implementasi Kebijakan

Karena sifat dari pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang begitu
kompleks, maka tidak ada satu instrumen yang dapat dijadikan solusi tunggal untuk
menyelesaikan semua masalah yang ada. Pemerintah dapat menerapkan berbagai jenis
instrumen sesuai dengan peruntukannya untuk menyelesaikan masalah – masalah kebijakan
yang berbeda. Berdasarkan taksonomi instrumen yang dilakukan oleh Michael Howlett dan
M. Ramesh (1995), terdapat sepuluh jenis instrumen kebijakan yang kemudian
dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu : instrumen sukarela (Voluntary Instruments),
instrumen campuran (Mixed Instruments), dan instrumen wajib (Compulsory Instruments).

Ringkasan spektrum instrumen kebijakan


Kategori Alat Ciri-ciri Pilihan Pilihan Keuntungan Kerugian
kebijakan pemerintah Rasional

Instrumen keluarga Menyediak Mengeluarkan gratifikasi Tidak ada Instrumen


sukarela dan an barang peran mereka emosional, biaya untuk lemah untuk
Tidak ada masyarakat dan baik berharap pemerintah, mengatasi
atau jasa tanpa secara tidak usaha kecuali masalah
keterlibatan imbalan langsung akan memilih ekonomi
pemerintah keuangan dengan dibalas untuk ; adil;
sedikit, memotong memberikan Terkadang
meninggalka kembali hibah atau membutuhka
n pasar, pada layanan subsidi n bantuan
keluarga, pemerintah, keuangan
atau atau
organisasi langsung
sukarela; dengan
efisiensi mempromosik
biaya, an mereka
menghormat organisasi Kebebasan kendala kepuasan Merata, Sebagian
i norma- sukarela pemaksaan anggaran dalam hemat biaya, besar tidak
norma negara pemerintah perbuatan fleksibel, berlaku
budaya; dan telah ditekan untuk respon cepat untuk
penggunaan kendala untuk agama, dari banyak
akan ekonomis memperluas etika, organisasi ekonomi dan

41 | Teori Kebijakan Publik


meningkat peran mereka; atau alasan pemerintah; sosial
karena lebih perluasan politik mempromosi masalah;
banyak kesejahteraan kan mungkin
privatisasi negara secara semangat menjadi
bertahap komunitas, birokrasi;
peran mereka solidaritas tidak
berkurang sosial, dan costefficient
peran serta jika
tergantung
pada
dana
pemerintah
Pasar organisasi Instrumen Kepentinga Efektif dan Tidak dapat
sukarela yang paling n diri efisien dalam secara
didukung penting, sendiri menyediakan memadai
oleh mengandalkan barang memberikan
kekuasaan pemerintah pribadi kolam
koersif secara luas; renang
pemerintah sering umum atau
disertai dengan umum
instrumen barang
lainnya barang; adil
(misalnya,
regulasi,
subsidi)
Instrumen informasi nasihat Tidak Membantu Sebuah titik Sebuah
Campuran dan nasihat hanya menawarkan orang awal yang instrumen
(MBIs) melibatkan imbalan atau membuat baik jika pasif,
Keterlibatan sedikit menjatuhkan pilihan solusi masyarakat
izin kegiatan sanksi; informasi masalah tidak
Pemerintah pemerintah konsultasi tidak pasti memiliki
diberbagai dari antara ; mudah kewajiban
tingkat, penyebaran pejabat untuk untuk
meninggalka informasi pemerintah mengubah menanggapi
n keputusan dan atau
akhir untuk perwakilan meninggalka
pelaku industri n; murah;
swasta; menjadi konsisten
menawarkan bentuk baru dengan
manfaat dari nasihat norma-norma
kedua demokrasi
instrumen liberal
sukarela dan Subsidi Semua Instrumen Voucher Lebih mudah Sulit untuk
wajib bentuk heterogen: memungkin untuk membangun
transfer hibah (dari kan pilihan menentukan dan
keuangan penerimaan relatif apakah membutuhka
untuk umum pajak bebas di preferensi n
menghargai pemerintah); pasar antara pembiayaan
sebuah pajak pemerintah dan
diinginkan insentif dan orang- persetujuan
Kegiatan (belanja tidak orang legislatif
(misalnya, langsung bertepatan; (kecuali
taksi pemerintah); fleksibel insentif
industri voucher untuk pajak);

42 | Teori Kebijakan Publik


taksi meningkatkan mengelola mahal dalam
melalui konsumsi (misalnya, pengumpula
peraturan barang dan insentif pajak n
yang jasa tidak dibatasi informasi;
memperbai pemerintah oleh waktu-lag;
ki yang ketersediaan mungkin
harga untuk diinginkan; dana dan berlebihan
melindungi pinjaman tidak perlu dan
persaingan dengan suku persetujuan menyebabka
dari bunga rendah anggaran); n durian
mengendar mendorong runtuh; sulit
ai inovasi; untuk
harga) murah dalam menghilangk
mengelola an; insentif
dan pajak tidak
menegakkan; adil
politik dapat
diterima
(manfaat
terkonsentras
i, biaya
tersebar)
Lelang hak membangu Kombinasi Orang Mudah untuk Dapat
milik n pasar regulasi dan dapat membangun; menyebabka
dengan instrumen menyesuaik fleksibel n spekulasi;
menciptaka pasar an untuk biaya
n perilaku mengatur penegakan
kelangkaan menanggap langit-langit; tinggi
buatan i membatasi (misalnya,
dan harga mengubah beberapa mereka tidak
yang keadaan penggunaan bisa
memungkin sumber daya membeli
kan untuk hak dipaksa
mekanisme mereka yang untuk
untuk tidak menipu);
pekerjaan alternatif; adil
pasar dibuat (misalnya,
Keputusan biaya
menurut tambahan
permintaan membeli
dan (artifisial hak,
terbatas) mengalokasi
pasokan; kan
meningkatka sumber daya
n sesuai
pendapatan; dengan
kepastian kemampuan
(hanya untuk
jumlah tetap membeli
Kegiatan yang
yang tidak diperlukan)
diinginkan
terjadi)
Pajak dan Pajak Retribusi dibebankan Mudah untuk Membutuhk
biaya sering adalah pada membangun; an informasi

43 | Teori Kebijakan Publik


digunakan regulasi menyediakan yang luas
sebagai kombinasi insentif untuk
insentif dan instrumen keuangan mengatur
negatif pasar; untuk tingkat yang
(atau pemerintah mengurangi benar
sanksi) menetapkan Kegiatan pajak atau
untuk biaya yang tidak biaya;
mengekang (pajak), diinginkan; sumber
tingkah kekuatan pasar retribusi informasi
laku yang menentukan mempromosi dapat disalah
tidak target kan inovasi gunakan
diinginkan aktivitas (misalnya, selama
; pemakai cari proses; tidak
biaya untuk efektif dalam
biasanya alternatif masa krisis;
digunakan yang lebih tidak
untuk murah); mengizinkan
kontrol fleksibel; perencanaan
negatif perlu (seperti
eksternalita penegakan bergantung
s kurang; pada
meningkatka keputusan
n pendapatan pribadi);
pemerintah mungkin
tinggi
biaya
administrasi
Instrumen undang- Cukup Pemerintah Kegagalan Memerlukan Mendistorsi
Wajib undang ketat dalam membutuhkan untuk sedikit sukarela atau
Petunjuk dan fokus atau melakukan informasi swasta
sangat (misalnya, mengatur nya kepada kegiatan,
instrumen aturan, kegiatan Hasil membangun; mempromosi
koersif, izin, tertentu penalti mudah untuk kan
menyisakan larangan, atau perilaku melarang inefisiensi
sedikit hukum pada bagian Kegiatan ekonomi
keleluasaan perintah, dari yang tidak (misalnya,
untuk dan individu dan diinginkan; pembatasan
menargetkan perintah lembaga administratif masuk ke
individu, eksekutif); melalui efisien dan dan keluar
kelompok, beberapa melanjutkan efektif; dari industri
atau undang- Proses memungkink mengurangi
organisasi undang, administrasi; an koordinasi kompetisi);
sebagian peraturan dan menghambat
besar ekonomi perencanaan; inovasi dan
administrati Harga prediktabilita kemajuan
f mengendalika s dan teknologi
fatwa; n untuk cocok untuk (misalnya,
mengatur memperbaiki tanggapan ada insentif
harga dan ketidakseimba langsung; untuk
standar luas ngan dirasakan politik mengurangi
barang dan dalam menarik jika perilaku di
jasa pasar; ingin bawah
kita peraturan tindakan ditentukan
konsumsi sosial yang cepat standar);
fokus pada dan pasti fleksibel

44 | Teori Kebijakan Publik


masalah yang (tidak
lebih luas, menganggap
memotong keadaan
industri dan individu,
lembaga; teknologi
lingkungan baru
perlindungan membutuhka
hibrida n
perubahan
peraturan);
ketidakpastia
n dalam
interpretasi;
tinggi
administrasi
dan
biaya
penegakan
perusahaan Milik Tren di pemerintah Alat Sulit untuk
publik negara, perusahaan memiliki kebijakan latihan
semi- publik kontrol atau ekonomi pengendalia
otonom; adalah untuk langsung yang efisien n efektif atas
beberapa meningkatkan pengelolaa (jika tidak perusahaan;
derajat privatisasi n menghasilka efisien
kepemilika untuk n sektor dalam
n publik mencegah swasta operasi
(antara kehilangan barang atau (tidak ada
pribadi uang besar jasa yang kebangkruta
perusahaan relevan); n);
dan membutuhka Sifat
biasa saja n informasi monopoli
birokratis lebih sedikit mungkin
lembaga); untuk lulus biaya
beberapa membangun; inefisiensi
derajat sederhana kepada
pemerintah administrasi konsumen
langsung pengaturan;
pengelolaa keuntungan
n bagi
pendanaan
masyarakat

ketentuan Dasar dan Langsung dana yang Informasi Fleksibel


langsung instrumen melakukan tersedia yang rendah (karena
yang paling tugas dari diperlukan resmi
banyak yang masyarakat untuk prosedur
digunakan bersangkutan, perbendaha membangun; operasional);
memberikan raan memungkink mempromosi
barang-barang an kapasitas kan politik
dan layanan bangunan; gangguan;
menghindari arahan kacau
masalah ; biaya tidak
dengan sadar
Ketentuan (tidak ada
langsung; kompetisi)

45 | Teori Kebijakan Publik


menginternal ; pengiriman
isasi antar
biaya program
transaksi mungkin
menderita
dan
konflik antar
lembaga
Source: Derived from Howlett and Ramesh (1995)

D. Tahapan dalam Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi
setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan
instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga
menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis,
implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas
beberapa tahapan yakni:
1. Tahapan pengesahan peraturan perundangan
2. Pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana
3. Kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan
4. Dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak
5. Dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana
6. Upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan

Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah


kebijakan:

1. Tahapan Intepretasi

Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang bersifat abstrak
dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan yang lebih bersifat manajerial dan
operasional. Dalam Nugroho (2006) disebutkan bahwa untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langka yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan
dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari
kebijkan publik tersebut. Kebijakan abstrak biasanya tertuang dalam bentuk peraturan
perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, bisa berbentuk perda ataupun
undang-undang. Kebijakan manajerial biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif
yang bisa berupa peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan

46 | Teori Kebijakan Publik


operasional berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa keputusan/peraturan menteri
ataupun keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan dalam tahap ini tidak hanya berupa proses
penjabaran dari kebijakan abstrak ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa proses
komunikasi dan sosialisasi kebijakan tersebut baik yang berbentuk abstrak maupun
operasional kepada para pemangku kepentingan.

2. Tahapan Pengorganisasian

Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan pelaksana kebijakan (policy implementor) –
yang setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai berikut: instansi pemerintah (baik pusat
maupun daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen masyarakat. Setelah pelaksana
kebijakan ditetapkan; maka dilakukan penentuan prosedur tetap kebijakan yang berfungsi
sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi pelaksana dan sebagai pencegah terjadinya
kesalahpahaman saat para pelaksana tersebut menghadapi masalah. Prosedur tetap tersebut
terdiri atas prosedur operasi standar (SOP) atau standar pelayanan minimal (SPM). Langkah
berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber pembiayaan. Sumber
pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah (APBN/APBD) maupun sektor lain
(swasta atau masyarakat). Selain itu juga diperlukan penentuan peralatan dan fasilitas yang
diperlukan, sebab peralatan tersebut akan berperan penting dalam menentukan efektifitas dan
efisiensi
pelaksanaan kebijakan. Langkah selanjutnya – penetapan manajemen pelaksana kebijakan –
diwujudkan dalam penentuan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan, dalam hal ini
penentuan focal point pelaksana kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan implementasi
kebijakan segera disusun untuk memperjelas hitungan waktu dan sebagai salah satu alat
penentu efisiensi implementasi sebuah kebijakan.

3. Tahapan Implikasi

Tindakan dalam tahap ini adalah perwujudan masing-masing tahapan yang telah
dilaksanakan sebelumnya.

4. Tabel Hubungan antara Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi

Faktor Edwards III Van Meter Grindle Mazmanian


dan Van Horn dan Sabatier

Komunikasi Komunikasi Standar dan ฀ Kejelasan dan


Sasaran konsistensi

47 | Teori Kebijakan Publik


Kebijakan tujuan
฀ Aturan
keputusan dari
Sumber Sumber Sumber daya ฀ Pelaksana ฀ Ketepatan
daya daya program alokasi
฀ Sumber yang sumber daya
disediakan ฀ Rekruitmen
agen
pelaksana
Disposisi Disposisi Karakteristik ฀ Karakteristik ฀ Dukungan
agen pelaksana lembaga dan publik
penguasa ฀ Sikap dan
฀ Kepatuhan sumber-sumber
dan daya yang dimiliki
tanggap konstituen
฀ Dukungan
Penguasa
฀ Komitmen
dan
leadership skill
implementor
Struktur Struktur Hubungan Letak Keterpaduan
birokrasi birokrasi antar pengambil hierarkis
organisasi keputusan

Kondisi ฀ Kepentingan ฀ Kesulitan


sosial, politik, kelompok teknis
dan ekonomi sasaran ฀ Keragaman
฀ Tipe manfaat perilaku
฀ Derajat ฀ Persentase
perubahan target
฀ Kekuasaan, group
kepentingan, ฀ Derajat
dan strategi perubahan
aktor ฀ Akses formal
pihak luar
฀ Kondisi
sosioekonomi
dan
teknologi

Menurut Hogwood dan Gun, bahwa kebijakan publik mengandung resiko untuk gagal.
Keduanya membagi dua pengertian tentang kegagalan kebijakan (policy failure), yaitu :
1. Tidak terimplementasikan (Non Implementation).
Suatu kebijakan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana dan pada akhirnya
berakibat pada implementasi yang tidak efektif dan sulit untuk dipenuhi.
2. Implementasi yang tidak berhasil (Unsucessfull Implementation).

48 | Teori Kebijakan Publik


Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan tertentu
telah dilaksanakan sesuai dengan rencana namun karena ada faktor eksternal akhirnya
kebijakan itu tidak berhasil untuk mencapai hasil yang dikehendaki. Kebijakan
memiliki resiko gagal karena faktor berikut :
a. Pelaksanaan buruk (Bad Excecution)
b. Kebijakan itu sendiri buruk (Bad Policy)
c. Kebijakan itu sendiri yang bernasib buruk (Bad Luck).

Peter mengatakan, implementasi kebijakan yang gagal disebabkan oleh beberapa factor:
1. Kekurangan informasi sehingga menyebabkan gambaran gambaran yang kurang tepat
mengenai isi kebijakan yang sesungguhnya. Gambaran yang kurang jelas ini
berdampak buruk kepada objek kebijakan maupun kepada pelaksana dari isi kebijakan
yang akan dilaksanakan dan hasil dari kebijakan itu. Hal ini juga menghindari
kesalahpahaman dan agar menyamakan persepsi antara kedua belah pihak.
2. Isi kebijakan yang samar-samar dan tidak jelas atau tidak tegas. Implementasi
kebijakan bisa gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau
ketidaktepatan intern maupun ekstern kebijakan itu sendiri dan menunjukkan adanya
kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber
daya.
3. Tidak cukupnya dukungan dalam melaksanakan kebijakan. Implementasi kebijakan
akan sangat sulit apabila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan terhadap
kebijakan tersebut.
4. Pembagian potensi yang bersifat diferensiasi tugas dan wewenang para aktor
implementasi kebijakan. Hal ini terkait dengan pembagian potensi di antara para aktor
implementasi dan dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.

IV. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)

Pembuatan kebijakan seharusnya berkontribusi untuk memecahkan masalah atau


paling tidak mengurangi beban masalah. Selama tahap evaluasi dari siklus kebijakan, hasil
kebijakan yang diharapkan bergerak ke pusat perhatian. Alasan normatif yang masuk akal
bahwa akhirnya pembuatan kebijakan harus dinilai terhadap tujuan dimaksud dan dampak
yang membentuk titik awal evaluasi kebijakan. Namun, evaluasi tidak hanya terkait dengan
tahap akhir dalam siklus kebijakan, yang baik berakhir dengan penghentian kebijakan atau
mendesain ulang berdasarkan persepsi masalah yang diubah dan agenda setting. Pada saat

49 | Teori Kebijakan Publik


yang sama, penelitian evaluasi membentuk sub disiplin terpisah dalam ilmu kebijakan yang
berfokus pada hasil yang diharapkan dan konsekuensi yang tidak diinginkan dari kebijakan.
Studi evaluasi tidak terbatas pada tahap tertentu dalam siklus kebijakan, melainkan perspektif
yang diterapkan untuk seluruh proses pembuatan kebijakan dan dari perspektif yang berbeda
dalam hal waktu (ex, ente, ex post).

Selain itu, peran evaluasi dalam proses kebijakan jauh melampaui ruang lingkup studi
evaluasi ilmiah. Evaluasi kebijakan berlangsung rutin dan sebagai bagian proses dan
perdebatan politik. Oleh karena itu, evaluasi ilmiah telah dibedakan dari evaluasi administrasi
yang dilakukan atau diprakarsai oleh administrasi publik dan evaluasi politik yang dilakukan
oleh beragam aktor dalam arena politik, termasuk masyarakat luas dan media (Howlett dan
Ramesh, 2003).

Evaluasi dapat menyebabkan pola beragam dari pelajaran kebijakan, dengan implikasi
yang berbeda dalam hal mekanisme umpan balik dan potensi me-restart proses kebijakan.
Satu pola kebijakan sukses akan diperkuat, sebuah pola yang membentuk ide inti dari proyek
percontohan yang disebut (atau model percobaan), di mana ukuran tertentu terlebih dulu
diperkenalkan dalam (teritorial, substantif, atau temporal) konteks terbatas dan hanya
diperpanjang jika evaluasi mendukung. Namun, daripada meningkatkan berdasarkan bukti
pembuatan kebijakan, proyek percontohan dapat mewakili alat yang digunakan untuk tujuan
menghindari konflik; tindakan diperebutkan tidak akhirnya diadopsi tapi diambil sebagai
proyek percontohan dan ditunda sampai suasana politik sudah matang bagi tindakan yang
lebih tahan lama.

A. Pendekatan Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan publik memiliki tipe dan pendekatan yang beragam dan berbeda,
tergantung dari pada tujuan ataupun sudut pandang dari para evaluator yang akan melakukan
evaluasi. Dunn membagi pendekatan evaluasi menjadi tiga bagian antara lain :
1. Evaluasi Semu
Evaluasi semu (Pseudo Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-
metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai
hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil
tersebut terhadap individu. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang

50 | Teori Kebijakan Publik


manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self evident) atau tidak
kontroversial.
2. Evaluasi Formal
Evaluasi formal merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi
mengevaluasi hal tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah dimumkan secara
formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi
formal adalah bahwa tujuandan target diumukan secara formal adalah merupakan ukuran
yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.
3. Evaluasi Keputusan Teoritis.
Evaluasi keputusan teoritis adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode
deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid
mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku
kebijakan. Asumsi dari evaluasi teoritis keputusan adalah bahwa tujuan dan sasaran dari
perilaku kebijakan baik yang dinyatakan secara formal maupun secara tersembunyi
merupakan ukuran yang layak terhadap manfaat atau nilai kebijakan dan program.

B. Tahapan dan Kendala Evaluasi Kebijakan

Evaluasi dalam pelaksanaanya memiliki tahapan atau langkah-langkah yang dapat


dilakukan agar dapat berjalan secara sistematis. Evaluasi dengan ilmiah merupakan evaluasi
yang mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menjalankan evaluasi kebijakan
dibandingkan dengan tipe evaluasi lain. Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi
praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan yaitu :
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi.
2. Analisis terhadap masalah.
3. Deskripsi dan standardisasi kegiatan.
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi.
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut
atau karena penyebab lain.
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.

Langkah-langkah tersebut dibuat agar suatu evaluasi dapat efektif dengan berjalan
secara sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak terlepas dari kemungkin
timbulnya masalah atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang

51 | Teori Kebijakan Publik


kompleks, sehingga kendala atau masalah tersebut dapat menghambat pelaksanaan evaluasi
tersebut. Anderson dalam Winarno mengidentifikasi enam masalah yang akan dihadapi
dalam proses evaluasi kebijakan, antara lain:
a. Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan. Bila tujuan-tujuan dari suatu kebijakan
tidak jelas atau tersebar, maka kesulitan yang timbul adalah menentukan sejauh mana
tujuan-tujuan tersebut telah dicapai. Ketidakjelasan biasanya berangkat dari proses
penetapan kebijakan.
b. Kausalitas. Terdapat kesulitan dalam melakukan penentuan kausalitas antara
tindakan-tindakan yang dilakukan terutama dalam masalah-masalah yang kompleks.
Sringkali ditemukan suatu perubahan terjadi , tetapi tidak disebabkan suatu tindakan
atau kebijakan.
c. Dampak kebijakan yang menyebar. Tindakan-tindakan kebijakan mungkin
mempengaruhi kelompok-kelompok lain selain kelompok-kelompok yang menjadi
sasaran kebijakan. Hal ini sebagai akibat dari eksternalitas atau dampak yang
melimpah yakni suatu dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan atau
kelompok selain mereka yang menjadi sasaran kebijakan.
d. Kesulitan-kesulitan dalam memperoleh data. Kekurangan data statistik dan informasi-
informasi lain yang relevan akan menghalangi para evaluator untuk melakukan
evaluasi kebijakan.
e. Resistensi pejabat. Para pejabat pelaksana program mempunyai kecenderungan untuk
tidak mendorong studi-studi evaluasi, menolak memberikan data, atau tidak
menyediakan dokumen yang lengkap.
f. Evaluasi mengurangi dampak. Berdasarkan alasan tertentu, suatu evaluasi kebijakan
yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik sebagai evaluasi yang tidak
meyakinkan. Hal inilah yang mendorong mengapa suatu evaluasi kebijakan yang
telah dilakukan tidak mendapat perhatian yang semsetinya bahkan diabaikan,
meskipun evaluasi tersebut benar.

C. Parameter Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan publik, dalam tahapan pelaksanaannya menggunakan


pengembangan beberapa indikator untuk menghindari timbulnya bias serta sebagai pedoman
ataupun arahan bagi evaluator. Kriteria-kriteria yang ditetapkan menjadi tolak ukur dalam
menentukan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan publik. Nugroho menjelaskan

52 | Teori Kebijakan Publik


bahwasannya evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja
kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui
tindakan publik. William N. Dunn mengemukakan beberapa kriteria rekomendasi kebijakan
yang sama dengan kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan terdiri atas:
1. Efektifitas (effectiveness). Berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil
(akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan.
Efektifitas, yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur
dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya.
2. Efisiensi (efficiency). Berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efektifitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari
rasionalitas ekonomi adalah merupakan hubungan antara efektifitas dan usaha, yang
terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter.
3. Kecukupan (adequacy). Berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas
memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan menumbuhkan adanya masalah.
Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan
dan hasil yang diharapkan.
4. Perataan (equity). Erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan
menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda
dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang
akibatnya (misalnya, unit pelayanan atau manfaat moneter) atau usaha (misalnya
biaya moneter) secara adil didistribusikan. Kebijakan yang dirancang untuk
mendistribusikan pendapatan, kesempatan pendidikan, atau pelayanan pendidikan
kadang-kadang didistribusikan atas dasar kriteria kesamaan. Kriteria kesamaan erat
berhubungan dengan konsepsi yang saling bersaing, yaitu keadilan atau kewajaran
dan terhadap konflik etis sekitar dasar yang memadai untuk mendistribusikan risoris
masyarakat.
5. Responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat
memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat
tertentu. kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan
semua kriteria lainnya – efektifitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan – masih gagal jika
belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan
dari adanya suatu kebijakan.
6. Ketepatan (appropriateness). Kriterian ketepatan secara dekat berhubungan dengan
rasionalitas, substantif, karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak
53 | Teori Kebijakan Publik
berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi dua atau lebih kriteria secara
bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan
kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.

Secara umum, Dunn mengggambarkan kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik


sebagai berikut :

Tipe Kriteria Pertanyaan


Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?
Efisiensi Seberapa banyak usaha yang diperlukan untuk mencapai hasil
yang diinginkan?
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan
masalah?
Perataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata
kepada kelompok-kelompok yang berbeda?
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau
nilai kelompok-kelompok tertentu?
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna
atau bernilai?
Sumber : William N. Dunn, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua,
Yogyakarta; Gadjah Mada University Press Hal. 610

D. Tujuan Evaluasi Kebijakan

Tujuan dan lingkup analisis (riset) evaluasi menurut Carol H. Weiss (1972, p.4)
adalah : ―To measure the effects of a program against the goals it set out to accomplish as a
means of contributing to subsequent decision making about the program and improving
future programming. The effect emphasizes the outcomes of the program, rather than its
efficiecy, honesty, morale, or adherence to rule or standars. The comparison of effects with
goals stresses the use of explicit criteria for judging how well the program is doing‖.

Weis secara tegas menyatakan bahwa tujuan analisis evaluasi lebih pada pengukuran
efek dan dampak sebuah program/kebijakan pada masyarakat, dibanding pengukuran atas
efisiensi, kejujuran pelaksanaan, dan lain-lain yang terkait dengan standar-standar
pelaksanaan. Tujuan kebijakan itu sendiri adalah untuk menghasilkan dampak/perubahan,
sehingga wajar jika untuk itulah evaluasi dilakukan. Adapun yang membedakan antara
54 | Teori Kebijakan Publik
analisis studi implementasi dengan analisis studi evaluasi dapat kita lihat yang dinyatakan
oleh Parsons :‖ … evaluation eximines ‗how public policy and the people who deliver it may
be appraised, audited, valued and controlled‖ while the study of implementation is about
―how policy is put into action and practice‖ (1995, p. 461).

Meskipun dilakukan secara sistematis, namun ada beberapa hal yang membedakan
analisi evaluasi dengan analisis akademik lainnya, yang menurut Weiss (p. 6-7)adalah :
1. Evaluasi ditujukan untuk pembuatan keputusan, untuk menganalisis problem
sebagaimana yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan oleh periset, sebab si
pembuat keputusanlah yang berkentingan terhadap hasil evaluasi.
2. Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam setting
akademik, karenanya pertanyaan-pertanyaan evaluasi diarahkan oleh program.
Peneliti tidak membangun asumsi dan hipotesisnya sendiri sebagaimana pada studi-
studi lain.
3. Evaluasi memberikan penilaian atas pencapaian tujuan, bukan mengevaluasi tujuan

Atau dari pernyataan Browne & Wildavsky : ―Evaluators are able to tell us a lot about
what happened – which objectives, whose objectives, were achieved – and a little about why
– the causal connections (Hill & Hupe, 12), yang merupakan wilayah analisis implementasi.
Karena meski tujuan dan dampak saling berinteraksi namun dampak tidak dapat dinilai
melalui seperangkat tujuan yang dirumuskan secara tegas.

Ada pun tujuan evaluasi antara lain:


1. Mengukur efek suatu program/kebijakan pada kehidupan masyarakat dengan
membandingkan kondisi antara sebelum dan sesudah adanya program tersebut.
Mengukur efek menunjuk pada perlunya metodologi penelitian. Sedang
membandingkan efek dengan tujuan mengharuskan penggunaan kriteria untuk
mengukur keberhasilan
2. Memperoleh informasi tentang kinerja implementasi kebijakan dan menilai
kesesuaian dan perubahan program dengan rencana
3. Memberikan umpan balik bagi manajemen dalam rangka perbaikan/ penyempurnaan
implementasi
4. Memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan untuk pembuatan keputusan lebih
lanjut mengenai program di masa datang sebagai bentuk pertanggung-jawaban publik/
memenuhi akuntabilitas publik.

55 | Teori Kebijakan Publik


Fungsi Evaluasi (William N. Dunn; Ripley)

Evaluasi kebijakan berfungsi untuk memenuhi akuntabilitas publik, karenanya


sebuah kajian evaluasi harus mampu memenuhi esensi akuntabilitas tersebut, yakni:
1. Memberikan Eksplanasi yang logis atas realitas pelaksanaan sebuah
program/kebijakan. Untuk itu dalam studi evaluasi perlu dilakukan penelitian/kajian
tentang hubungan kausal atau sebab akibat
2. Mengukur Kepatuhan, yakni mampu melihat kesesuaian antara pelaksanaan dengan
standar dan prosedur yang telah ditetapkan
3. Melakukan Auditing, untuk melihat apakah output kebijakan sampai pada sasaran
yang dituju? Apakah ada kebocoran dan penyimpangan pada penggunaan anggaran,
apakah ada penyimpangan tujuan program, dan pada pelaksanaan program
akunting untuk melihat dan mengukur akibat sosial ekonomi dari kebijakan. Misalnya
seberapa jauh program yang dimaksud mampu meningkatkan pendapatan masyarakat,
adakah dampak yang ditimbulkan telah sesuai dengan yang diharapkan, adakah
dampak yang tak diharapkan.

E. Dimensi Evaluasi

Secara garis besar ada dua dimensi penting yang harus diperoleh informasinya dari
studi dievaluasi dalam kebijakan public. Dimensi tersebut adalah:
1. Evaluasi kinerja pencapaian tujuan Kebijakan, yakni mengevaluasi kinerja orang-
orang yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan. Darinya kita akan
memperoleh jawaban atau informasi mengenai kinerja implementasi, efektifitas dan
efisiensi, dlsb yang terkait.
2. Evaluasi kebijakan dan dampaknya, yakni mengevaluasi kebijakan itu sendiri serta
kandungan programnya. Darinya kita akan memperoleh informasi mengenai manfaat
(efek) kebijakan, dampak (outcome) kebijakan, kesesuaian kebijakan/program dengan
tujuan yang ingin dicapainya (kesesuaian antara sarana dan tujuan), dll

Menurut Palumbo dimensi kajian pada studi evaluasi mencakup keseluruhan siklus di
dalam proses kebijakan, dari saat penyusunan desain kebijakan, saat implementasi, hingga
saat selesai diimplementasikan. Kajian dalam studi evaluasi kebijakan meliputi dimensi-
dimensi:

56 | Teori Kebijakan Publik


1. Evaluasi Proses pembuatan kebijakan atau sebelum kebijakan dilaksanakan. Pada
tahap ini menurut Palumbo diperlukan dua kali evaluasi. Pertama, evaluasi desain
kebijakan, untuk menilai apakah alternative-alternatif yang dipilih sudah merupakan
alternative yang paling hemat dengan mengukur hubungan antara biaya dengan
manfaat (cost-benefit analysis), dan lain-lain yang bersifat rasional dan terukur.
Kedua, evaluasi legitimasi kebijakan, untuk menilai derajad penerimaan suatu
kebijakan atau program oleh masyarakat/stakeholder/kelompok sasaran yang dituju
oleh kebijakan tersebut. Metode evaluasi diperoleh melalui jajak pendapat (pooling),
survery, dll.
2. Evaluasi Formatif yang dilakukan pada saat proses implementasi kebijakan sedang
berlangsung Tujuan evaluasi formatif ini utamanya adalah untuk mengetahui
seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan kondisi-kondisi apa yang dapat
diupayakan untuk meningkatkan keberhasilannya. Dalam istilah manajemen, evaluasi
formatif adalah monitoring terhadap pengaplikasian kebijakan. Evaluasi Formatif
banyak melibatkan ukuran-ukuran kuantitatif sebagai pengukuran kinerja
implementasi.
3. Evaluasi Sumatif yang dilakukan pada saat kebijakan telah diimplementasikan dan
memberikan dampak . Tujuan evaluasi Sumatif ini adalah untuk mengukur bagaimana
efektifitas kebijakan/program tersebut member dampak yang nyata pada problem
yang ditangani.

F. Dampak Kebijakan/Program

Ada 4 tipe utama dampak program :


1. Dampak pada kehidupan ekonomi : penghasilan, nilai tambah, dan sebagainya.
2. Dampak pada proses pembuatan kebijakan: apa yg akan dilakukan pada kebijakan
berikutnya.
3. Dampak pada sikap publik : dukungan pada pemerintah, pada program, dan
sebagainya.
4. Dampak pada kualitas kehidupan individu, kelompok dan masyarakt yg bersifat non
ekonomis.

a. Unit-unit sosial terdampak

Sebuah kebijakan/program dapat membawa dampak pada berbagai unit sosial.


Dampak individual : biologis (penyakit, cacat fisik dsb karena kebijakan teknologi nuklir

57 | Teori Kebijakan Publik


misalnya), psikologis (stress, depresi, emosi dsb), lingkungan hidup (tergusur, pindah rumah
dsb), ekonomis (naik turunnya penghasilan, harga, keuntungan dsb), sosial serta personal.
1. Dampak organisasional : langsung (terganggu atau terbantunya pencapaian tujuan
organisasi), tak langsung (peningkatan semangat kerja, disiplin)
2. Dampak pada masyarakat (meningkatnya kesejahteraan; dan sebagainya)
3. Dampak pada lembaga dan sistem sosial (meningkatnya kesadaran kolektif
masyarakat; menguatnya solidaritas sosial, dlsb)

b. Faktor-Faktor Kegagalan Dampak

Sebuah kebijakan/program bisa saja gagal memperoleh dampak yang diharapkan


meski proses implementasi berhasil mewujudkan output sebagaimana yang dituntut oleh
program tersebut, namun ternyata gagal mencapai outcomesnya; apalagi jika proses
implementasi gagal mewujudkan keduanya. Hal ini menurut Anderson bisa saja disebabkan
karena :
1. Sumber daya yang tidak memadai,
2. Cara implementasi yang tidak tepat (misalkan pilihan-pilihan tindakan yang kontra
produktif seperti studi banding atau membeli mobil bagi pejabat yang memakan
banyak biaya dengan tujuan meningkatkan kapasitas layanan),
3. Masalah publik sering disebabkan banyak faktor tetapi kebijakan yang dibuat hanya
mengatasi satu faktor saja,
4. Cara menanggapi kebijakan yang justru dapat mengurangi dampak yang diinginkan
(misalkan karena takut dianggap melanggar prosedur, maka implementers bertindak
sesuai ‗textbook‘ walau situasinya mungkin berbeda),
5. Tujuan-tujuan kebijakan tak sebanding bahkan bertentangan satu sama lain (misalnya
kebijakan untuk menumbuhkan industry dalam negeri yang memberi insentif pajak
dan kemudahan modal; tapi di sisi lain ada kebijakan kenaikan harga listrik dan
kenaikan harga sumber energy, dan lain-lain),
6. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dari masalahnya (yang ini sering terjadi di
Indonesia, terutama karena seringnya terjadi mark-up harga, ataupun karena bentuk-
bentuk kegiatan yang terkesan dicari-cari untuk penyerapan anggaran yang
seharusnya tidak dibutuhkan,
7. Banyak masalah publik yang tak mungkin dapat diselesaikan,
8. Timbulnya masalah baru sehingga mendorong pengalihan perhatian dan tindakan,
9. Sifat dari masalah yang akan dipecahkan (Anderson, 1996)

58 | Teori Kebijakan Publik


c. Implikasi Hasil Evaluasi Terhadap Program/Kebijakan

Hasil kajian evaluasi atas sebuah program/kebijakan akan berimplikasi pada


keberlangsungan program/kebijakan termaksud, yang menurut Weis (dalam Shafritz and
Hyde, 1987) adalah sebagai berikut:
1. Meneruskan atau mengakhiri program
2. Memperbaiki praktek & prosedur administrasinya
3. Menambah atau mengurangi strategi dan tehnik implementasi
4. Melembagakan program ke tempat lain
5. Mengalokasikan sumber daya ke program lain
6. Menolak atau menerima pendekatan/teori yang digunakan oleh Program/ kebijakan
sebagai asumsi.

V. Perubahan / Reformasi Kebijakan (Policy Change)

Perubahan kebijakan dan penghentian kebijakan merupakan tahap selanjutnya setelah


evaluasi kebijakan. Konsep perubahan kebijakan (policy change) merujuk pada penggantian
kebijakan yang sudah ada dengan satu atau lebih kebijakan yang lain. Perubahan kebijakan
ini meliputi pengambilan kebijakan baru dan merevisi kebijakan yang sudah ada.

Konsep perubahan kebijakan (policy change) merujuk pada penggantian kebijakan


yang sudah ada. Menurut Anderson, perubahan kebijakan mengambil tiga bentuk, yakni:
1. Perubahan inkremental pada kebijakan yang sudah ada. Sebagaimana perubahan yang
bersifat inkremental, maka kebijakan yang sudah ada menurut bentuk perubahan ini
tidak diubah seluruhnya, tetapi hanya beberapa bagian saja yang dilakukan perubahan.
2. Pembuatan undang-undang baru untuk kebijakan-kebijakan khusus.
3. Penggantian kebijakan yang besar sebagai akibat dari pemilihan umum kembali.
Dalam kasus yang ketiga ini, sering kita temukan arah program atau program
kebijakan itu sendiri diganti secara besar-besaran karena elit politik atau rezim yang
memerintah berganti.

Jarang terjadi kebijakan publik dipertahankan dalam bentuk yang sama sebagaimana
kebijakan itu pada awalnya ditetapkan. Sebaliknya, kebijakan publik secara konstan bisa
berkembang. Perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan yang ada tergantung pada beberapa
faktor.

59 | Teori Kebijakan Publik


Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perbaikan kebijakan meliputi:
1. Sejauh mana kebijakan awal dinilai mampu ―memecahkan‖ persoalan. Pada dasarnya
kebijakan publik dibentuk untuk memecahkan persoalan-persoalan pelik. Oleh karena
itu, evaluasi dilakukan untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dijalankan meraih
dampak yang diinginkan. Dalam hal ini memperbaiki kondisi sosial yang menjadi
sasaran program kebijakan tersebut.
2. Kemampuan dengan mana kebijakan-kebijakan semacam itu dikelola.
3. Kelemahan yang mungkin ada selama proses implementasi kebijakan berlangsung.
4. Perubahan terhadap kebijakan ditentukan kekuatan politik dan kesadaran dari
kelompok-kelompok di mana kebijakan tersebut ditujukan.

A. Alasan-alasan Perubahan Kebijakan

Persoalan-persoalan tersebut akan berubah sepanjang waktu, maupun kebijakan


konvensional tentang bagaimana manangani persoalan-persoalan ini. Dengan demikian,
kebijakan publik berkembang setelah perumusan dan implementasi awal untuk memulai
proses kebijakan secara berulang-ulang. Ada tiga alasan mengapa dilakukan perubahan
kebijakan.

Pertama, pemerintah selama bertahun-tahun secara perlahan memperluas kegiatannya


dalam bidang-bidang kebijakan tertentu, sehingga ada beberapa kegiatan yang secara reatif
baru yang dapat melibatkan pemerintah. Usulan-usulan untuk kebijakan-kebijakan baru
mungkin bisa jumbuh (overlapping), paling tidak pada bagian-bagiannya, dengan program-
program yang ada. Kedua, kebijakan itu sendiri mungkin menciptakan kondisi-kondisi yang
membutuhkan perubahan karena tidak memadainya akibat atau adanya akibat-akibat yang
bertentangan. Penilaian legislatif yang keliru mungkin menjadi alasan untuk mengubah
kebijakan agar bisa ―berjalan lebih baik‖. Ketiga, tingkat relatif pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan, dan implikasi keuangan dari komitmen kebijakan yang ada, masalah terminasi
kebijakan atau perubahan kebijakan dengan menggulirkan suatu program baru tanpa
memotong program lama adalah sangat tidak mungkin. Sekalipun pemerintah bisa
mengidentifikasi sejumlah kebijakan publik yang dalam pertimbagannya tidak ada
manfaatnya, boros, atau tidak layak, akan selalu muncul pendapat yang mengatakan bahwa
kebijakan itu bermanfaat dan berharga untuk di pertahankan. Mengubah kebijakan selalu
lebih mudah ketimbang menterminasikannya.

60 | Teori Kebijakan Publik


Perubahan terus menerus terjadi didalam proses kebijakan. Ini mungkin merupakan
akibat dari evaluasi kebijakan, tetapi kemungkinan besar merupakan konsekuensi dari
perubahan dalam lingkungan kebijakan, politik , dan pembelajaran birokratis, atau
perkembangan ide dan struktur organisasi. Ini berarti bahwa problem dan perubahan
kebijakan terjadi didalam ruang kebijakan yang sudah ada, yang mengakibatkan, seperti yang
ditunjukkan oleh Wildavsky, kebijakan seringkali menjadi penyebabnya sendiri, bukan
karena dimunculkan oleh problem baru (Wildavsky, 1979: 70). Kerenanya ―kebijakan baru‖
seringkali muncul dari kebijakan yang sudah ada atau tumpang tindih dengan program yang
sudah terbentuk. Perubahan kebijakan juga bisa jadi berasal dari kebijakan sebelumnya yang
mungkin telah mengubah kondisi, membuat kondisi menjadi lebih buruk, atau kebijakan itu
tidak memadai. Dalam kaitan ini, Hogwood dan Peters mengatakan bahwa variasi perubahan
dapat dipahami dalam term tipe perubahan yaitu inovasi kebijakan, suksesi kebijakan,
pemeliharaan kebijakan, dan terminasi kebijakan.

Perubahan, seperti diakui oleh pendekatan siklus kebijakan mengandung dimensi


organisasional. Perubahan kebijakan mungkin merupakan konsekuensi dari perubahan
organisasional, atau mungkin bahwa perubahan organisasional itu sendiri merupakan
perubahan dalam organisasi, melalui suksesi, inovasi, pemeliharaan dan terminasi. Dalam
model ini, perubahan organisasi dipengaruhi oleh persaingan antar perusahaan; persaingan
antar negara, dan meningkatnya kontrol negara; serta tuntutan akan kesetaraan dihadapan
hukum. Bentuk-bentuk perubahan organisasional dalam model ini dapat dilihat dalam
perubahan yang terjadi didalam masyarakat industri yang menginginkan lebih banyak
efisiensi rasional.

Perubahan kebijakan juga dapat dipahami dalam konteks pembelajaran kebijakan.


Pendekatan yang dikembangkan oleh Sabatier dan Jenkins-Smith menyatakan bahwa kunci
untuk memahami dan memprediksi perubahan kebijakan adalah dinamika keyakinan dan
pembelajaran kebijakan. Menurut model ini perubahan akan terjadi pada tingkat sekunder
dari aspek kebijakan. Berbagai model pendekatan perubahan kebijakan tersebut akan
menuntun kita dalam memahami kajian analisa kebijakan dalam perspektif perubahan
kebijakan yang akan sangat menentukan kontuinitas dalam pembuatan kebijakan, dimana
suatu kebijakan publik akan mengarah pada suksesi, inovasi, pemeliharaan dan terminasi
(penghentian).

61 | Teori Kebijakan Publik


B. Model-Model Perubahan Kebijakan

Menurut Peters, beberapa perubahan bisa mengambil bentuk sebagai berikut:


1. Linier. Bentuk perubahan ini mencakup penggantian secara langsung suatu kebijakan
oleh kebijakan lain, atau perubahan simpel terhadap suatu kebijakan yang ada;
2. Consolidation. Beberapa perubahan kebijakan mencakup penggabungan kebijkan-
kebijakan sebelumnya ke dalam suatu kebijakan baru;
3. Splitting. Beberapa badan/agensi (dan karenanya kebijakan-kebijakan akhir dari
badan-badan/agensi) dipecah-pecah ke dalam dua atau lebih komponen;
4. Nonliner. Beberapa kebijakan adalah kompleks dan mencakup unsur-unsur dari jenis
perubahan lain.

Selain itu, terdapat pula model-model perubahan kebijakan yang bisa membantu para
analis untuk memahami mengapa perubahan-perubahan penting dalam kebijakan bisa terjadi
dalam sistem politik Barat, khususnya Amerika Serikat. Pertama, the Cylical Thesis. Model
ini menjelaskan bahwa perubahan kebijakan disebabkan adanya pergeseran secara terus-
menerus dalam keterlibatan nasional antara kepentingan public dan kepentingan swasta.
Kedua, the Evolutionary or Policy-Learning Thesis, memandang perubahan kebijakan
sebagai suatu fungsi dari tiga faktor berikut: interaksi dari ―advocacy coalitions‖ yang
bersaing dalam suatu subsistem/komunitas kebijakan, perubahan-perubahan eksternal
terhadap subsistem, akibat-akibat dari parameter system yang stabil. Ketiga, the Backlash or
Zigzag Thesis, berpandangan bahwa terdapat pola yang tidak menentu dalam sejarah
kebijakan publik AS.

VI. Terminasi Kebijakan

Terminasi kebijakan menunjukkan pada proses penyelesaian kebijakan pemerintah,


terjadi manakala tujuan kebijakan mulai tiada, yang tidak duanya kebijakan jua program dan
lembaga pemerintah. Pandangan-pandangan mengenai terminasi merupakan hal yang baru
dalam administrasi publik.

Selama tahun 60-an berkembang perhatian yang besar terhadap analisis kebijakan
public tapi kebanyakan penulis dan penganalisis menghentikan pada langkah hanya sampai
ditahap evaluasi. Dan akhir-kahir ini mulai ada perhatian lebih serius mengenai konsep
terminasi yang secara khusus didorong oleh semangat untuk menghidupkan anggaran
seimbang dan pudarnya efektivitas berbagai peraturan.

62 | Teori Kebijakan Publik


Terdapat beberapa tipe terminasi, mencakup sebagai berikut:
1. Termiasi fungsional. Tipe terminasi ini menunjuk kepada suatu wilayah secara
keseluruhan (misalnya, pemeliharaan kesehatan). Tipe ini mencakup organisasi dan
kebijakan, dan ini merupakan fenomena yang sangat jarang. Privatisasi pengumpulan
sampah merupakan suatu contoh dari tipe terminasi.
2. Terminasi organisasi. Tipe terminasi ini menunjuk kepada eliminasi suatu organisasi
secara keseluruhan. Selama tahun 1980-an Departemen Energi dan Pendidikan tidak
berhasil ditarget oleh pemerintahan Reagan untuk dieliminasi. Namun demikian,
organisasi-organisasi pada umumnya akan direorganisasi, ketimbang dieliminasi sama
sekali.
3. Terminasi kebijakan. Tipe terminasi ini menunjuk kepada eliminasi suatu kebijakan
pada waktu teori yang mendasari atau pendekatan tidak lagi dibutuhkan atau
dipercayai benar.
4. Terminasi program. Tipe ini menunjuk kepada eliminasi tindakan-tindakan khusus
yang dirancang untuk mengimplementasikan suatu kebijakan. Ini merupakan tipe
terminasi yang paling umum, karena jumlah konstituen yang terbatas
mengkarakteristikkan program-program spesifik. Mengeliminasi suatu program
khusus dengan konstituensi yang secara relatif kecil adalah selalu mudah, ketimbang
eliminasi suatu kebijakan atau organisasi dengan konstituensi yang sangat besar.

Pada umumnya, terminasi bisa didekati dalam dua cara. Pendekatan pertama adalah
apa yang disebut terminasi ledakan besar atau the “big bang” termination. Pendekatan ini
biasanya terjadi dengan suatu keputusan otoritatif atau pukulan ynag menentukan dalam satu
titik waktu. Dengan tipe terminasi ini, oposisi tidak punya waktu untuk mengorganisir diri
menentang terminasi. Agaknya, terminasi adalah suatu isu pemetik dan tertutup yang terjadi
dengan suatu kekuatan yang menghancurkan. Terminasi seperti itu biasanya merupakan
produk dari suatu perjuangan politik yang melibatkan banyak pemeran serta. Ini merupakan
pendekatan yang paling umum terhadap terminasi. Contoh dari terminasi ini adalah proposal
untuk mengakhiri Departemen Energi selama pemerintahan Reagan pada awal tahun 1980-
an. Namun demikian, departemen itu tidak diterminasi.

Pendekatan kedua dinamakan pendekatan mengaduh yang panjang atau the “long
whimper” approach. Tipe terminasi ini muncul melalui suatu kemerosotan jangka panjang
dalam sumber-sumber dengan mana suatu kebijakan atau organisasi dipertahankan. Ini

63 | Teori Kebijakan Publik


merupakan penghapusan tahap demi tahap secara moderat dan hati-hati terhadap suatu
kebijakan, program, atau organisasi. Kadangkala, tipe terminasi ini juga disebut
“decrementalism,” dengan mana budget suatu organisasi dikurangi secara perlahan atau
posisinya yang secara perlahan dieliminasi. Pada akhirnya, organisasi atau program tidak bisa
lagi melakukan fungsinya secara efektif. Kelemahan pokok dari tipe eliminasi ini, dari
perspektif mereka yang berusaha mengakhiri program, adalah bahwa oposisi bisa
mengorganisir diri untuk melawan terminasi.

Kesulitan yang dihadapi dalam melakukan terminasi seperti:


1. Perlawaan dari para pejabat yang bersangkutan.
2. Kelemahan birokrasi yang menghalangi perubahan dan terminasi.
3. Penentangan dari para rekanan dan kelompok-kelompok penekan.
4. Sikap anggota kongres yang mengharapkan timbale baik dari dukungannya untuk
melanjutkan/memberikan otoritas kembali pada seluruh program yang akan dimulai.

Strategi yang disarankan yaitu memberikan rangsangan untuk terminasi. Misal :


dengan memperkenalkan sesuatu badan menggunakan sumber yang disimpannya untuk
membiayai program-progam yang lain dan memberikan peluang untuk lebih banyak
menggunakan matriks organisasi dalam melaksanakan program-program pemerintah. Strategi
ini dengan mengidentifikasi titik-titik rawan bagi terminasi khususnya waktu dan tempat
yang kondusif bagi terminasi sesuatu kebijakan. Untuk lebih bermakna seharusnya dilakukan
baik sebagai awal maupun akhir, yaitu: Di awal untuk mengoreksi kebijakan yang diprediksi
akan salah arah, sedangkan di akhir untuk menghentikan kegiatan program yang sudah tidak
bermanfaat.

64 | Teori Kebijakan Publik


DAFTAR PUSTAKA

Dunn, William N., 1999, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Nugroho, Riant, 2004, Kebijakan Publik “Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi”, Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Presindo.

Sumber lain:
http://administrasipublik.studentjournal.ub.ac.id/
http://ageconsearch.umn.edu/
http://digilib.unila.ac.id/
http://download.portalgaruda.org/
http://fatkhan-ashari-fisip11.web.unair.ac.id/
http://lib.ui.ac.id/
http://map.pasca.uns.ac.id/
http://pustaka.pu.go.id/
http://rochyati-w-t-fisip.web.unair.ac.id/
http://sap.ubhara.ac.id/
http://www.academia.edu/
http://www.lontar.ui.ac.id/
http://www.sumbarprov.go.id/

Search Keyword: proses kebijakan publik, siklus kebijakan publik, teori siklus
kebijakan publik, agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi
kebijakan, perubahan kebijakan, terminasi kebijaakan.

65 | Teori Kebijakan Publik

Anda mungkin juga menyukai