Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“Pendekatan Dalam Kebijakan Publik”


Di Susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Analisis Kebijakan Pendidikan

Dosen Pengampu :
Dr. Edi Harapan M.Pd

Oleh Kelompok 1:
1. Agus Suherwan
Nim: 20196013550
2. Siti Hadiah
Nim: 20196013404
3. Rosidah
Nim: 20196013403

SEMESTER 2
MANAJEMEN PENDIDIKAN 8 BETUNG

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahuwata’ala


yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Pendekatan Dalam Kebijakan Publik” walau mungkin masih jauh dari kata
sempura.
Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak,
kami telah berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik dan sesuai dengan harapan, walaupun
didalam pembuatannya kami menghadapi kesulitan, karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang kami miliki. Oleh karena itu pada kesempatan ini, dengan segala hormat kami
sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Dr. H. Bukman Lian, M.M.,M.Si, Rektor Universitas PGRI Palembang
2. Dr. Edi Harapan, M.Pd, Dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam
penyusunan makalah ini.
3. Teman-teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian
makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan, oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat
menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini
dapat bermanfaat bagi teman-teman dan pihak yang berkepentingan.

Palembang, Maret 2020

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………….…..… I


Kata Pengantar …………………………………………………..…. Ii
Daftar Isi …………………………………………………..…. Iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................1
C. Tujuan Masalah....................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
PENDEKATAN DALAM KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pendekatan Dalam Kebijakan Publik ................................ 2
B. Pendekatan Deduktif ..........................................................5
C. Pendekatan Induktif............................................. ...............6
D. Sistem Politik ...................................................................... 7

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ……….................................. 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
      

Kebijakan Publik berasal dari kata Public Policy, model-model dalam


mempelajari kebijakan publik dan proses kebijakan publik. Pengertian Kebijakan Publik;
beranekaragam, para pakar berusaha mendefinisikan Kebijakan Publik melalui berbagai
sudut pandang. Satu persatu dalam pokok bahasan ini, pengertian-pengertian tersebut
akan dibahas satu per satu. Meskipun terdapat kesamaan dan perbedaan dalam berbagai
definisi, namun kesemuanya menunjukkan hubungan yang sangat erat antara politik dan
administrasi negara, meniadakan dikotomi politik administrasi yang tercermin pada
hubungan kwalitas antara kebijakan publik dan kepentingan publik. Mempelajari
kebijakan publik tidak akan terlepas dari pertumbuhan paradigma-paradigma ilmu
administrasi negara, karena tumbuh dan kembangnya ilmu kebijakan publik sangat
berkaitan dengan perkembangan ilmu administrasi Negara dalam hubungannya dengan
ilmu politik. Peran ilmu kebijakan publik dalam menjembatani kedua ilmu tersebut dapat
diperjelas dengan mempelajari paradigma-paradigma ilmu administrasi negara. Model-
model Kebijakan Publik; Mempelajari sesuatu akan lebih mudah apabila menggunakan
sebuah abstraksi dari realita. Demikian juga dalam makalah ini , kita akan mempelajari
Pendekatan Dalam Kebijakan Publik:1. Pendekatan Deduktif: Pilihan Publik; Kelas
sosial; Neo-Institusionalisme. 2. Pendekatan Induktif: Ekonomi Kesejahtera; Pluralisme
& Corporatisme; Statisme.3. Sistem Politik; Kelompok Elit; Proses Fungsional
Kelembagaan.

B.    Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah kami ini adalah :
1. Apakah pendekatan dalam kebijakan publik ?
2. Apakah pendekatan deduktif itu ?
3. Apakah pendekatan induktif itu ?
4. Bagaimana Sistem Politik ?

C.    Tujuan Pembuatan Makalah


Adapun yang menjadi tujuan kami adalah untuk mengetahui apa itu pendekatan
deduktif, induktif dan bagaiman sistem politik pada pendekatan kebijakan publik.
1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendekatan Dalam Kebijakan Publik


Ilmu pengetahuan tentang kebijakan merupakan sebuah disiplin yang dapat
dikategorikan relatif baru dalam ilmu sosial yang kemunculan awalnya lahir di daerah
Amerika Utara dan Eropa paska Perang Dunia II. Studi tersebut muncul sebagai bentuk
eksperimen pemahaman yang lebih canggih terkait hubungan antara pemerintah dan
masyarakat sipil. Oleh karena itu, disiplin ilmu kebijakan mengandung kekayaan atas
fenomena diskusi sebagai sebuah bentuk alamiah dari masyarakat sipil, peran negara dan
hak serta kewajiban masyarakat sipil ataupun pemerintah itu sendiri (Howlett & Ramesh,
1995: 2). Studi mengenai kebijakan fokus pada struktur formal dalam sebuah
pemerintahan yang mengandung detil dan prosedur saja, namun juga bagaimana
konstelasi deskriptif sebuah kajian, bagaimana ranah kebijakan dievaluasi, kemudian
persoalan kekuatan serta kelemahan itu sendiri secara komprehensif. Dalam konteks ini,
perkembangan dan perubahan studi yang ada pada akhirnya akan mampu membawa
pendekatan baru dalam mengkaji fenomena sosial yang muncul dalam masyarakat sipil
yang berkaitan dengan pemeritah.
Dalam pendekatan kebijakan, fokus yang dipandang penting bukanlah terhadap
bagaimana struktur pemerintahan atau kontemplasi sikap aktor-aktor politik atau bahkan
nilai normatif yang harus dilakukan pemerintah, melainkan apa yang aktual dilakukan
oleh pemerintah. Inilah yang dikenal dengan policy science yang menggantikan studi
politik tradisional karena kapabilitas studi kebijakan dalam mengintegrasikan teori politik
dan politik praktis tanpa terjebak pada hal-hal normatif sebagai studi yang legal (Howlett
& Ramesh, 1995: 3). Oleh karena itu, studi kebijakan memiliki tiga distingsi yakni
bersifat multidisipliner yang mampu menhindari kedangkalan ilmu, problem-solving atau
solutif yang dapat memecahkan problematika aktual dan bertindak secara normatif
eksplisit agar mampu mengkaji fenomena secara obyektif (Lasswell dalam Howlett &
Ramesh, 1995: 3). Namun kemudian, tiga komponen tersebut memiliki kelemahannya
masing-masing. Sifat multidisipliner membuah literatur yang digunakan dalam studi
kebijakan tidak berfokus. Kemudian banyak persoalan yang tidak bertemu dengan solusi
akibat kerumitan proses pengambilan kebijakan itu sendiri. Dan yang terakhir, adanya
prinsip atau nilai yang tidak tertolak dalam studi kebijakan menghambat sifat normatif

2
eksplisit tersebut (Lasswell dalam Howlett & Ramesh, 1995: 4). Oleh karena itu
diperlukan muncul studi Kebijakan Publik sebagai bentuk pengerucutan studi kebijakan
secara teoritik dan empirik.
Thomas Dye (dalam Howlett & Ramesh, 1995: 4) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai segala sesuatu yang negara pilih sebagai sikap untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu hal dengan beberapa karakter tertentu yakni pemerintah
sebagai aktor utama pengambil kebijakan, kemudian kebijakan publik tersebut pasti
mengandung pilihan yang bersifat fundamental sebagai bagian kepentingan pemerintah.
Sedangkan William Jenkins mendefinisikan kebijakan publik secara lebih presisi, yakni
sebagai sebuah pengaturan yang berkorelasi antara pengambilan keputusan oleh aktor
politik dengan penyeleksian tujuan dan maksud memperoleh kepentingan melalui sebuah
kondisi spesifik yang diengaruhi oleh prinsip tertentu melalui proses pembuatan
kebijakan publik (Jenkins dalam Howlett & Ramesh, 1995: 5). Keputusan disini tidak
harus tunggal dan tentunya dibatasi oleh opsi-opsi tertentu berdasarkan sumber daya
domestik yang ada dan dapat dievalusi untuk meregulasi keputusan yang lebih baik.
Sebagai sebuah fenomena yang komplek, kebijakan publik juga dideterminasi oleh rezim
politik yang berlaku sebagai bentuk relasi masyarakat dan sistem politik (Hall, 1986
dalam Howlett & Ramesh, 1995: 7). Oleh karenanya, dalam skala kausalitas, dalam
beberapa hal kebijakan publik diputuskan dengan melihat variabel dependen yang ada.
Menurut Theodore Lowi (dalam Howlett & Ramesh, 1995: ), hal tersebut logis terjadi
sebagai suatu analisis yang kausal atau saling mendeterminasi antara kebijakan dan
politik itu sendiri. Sehingga kemudian juga muncul cost dan benefit dalam proses black
box pengambilan keputusan (Wilson, 1974: 135-168 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 8).
Persoalannya, banyak literatur studi kebijakan publik yang justru muncul dari
pihak privat, sehingga saat ini kaum intelektual berupaya memperkaya literatur tersebut
melalui sistem penelitian universitas (Pal, 1992 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 9).
Selain itu, akademisi akan mampu mengevaluasi secara bebas nilai dan lebih kuat secara
metodologis. Namun tidak dapat dikesampingkan, bahwa peran aktual aktor think
tanks dalam proses pengambilan kebijakan tentu dominan, sehingga tetap harus
diperhitungkan. Dalam prosesnya, siklus kebijakan meliputi beberapa stages yakni
pengumpulan intelijen sebagai sumber data, lalu mempromosikan opsi alternatif yang
ada, kemudian preskripsi aksi tertentu terkait permasalahan, selanjutnya invokasi atau
menentukan seperangkat sanksi yang dibutuhkan, lalu kebijakan yang ada diaplikasikan
3
dan terakhir harus ada evaluasi terkait pelaksanaan kebijakan (Lasswell, 1956 dalam
Howlett & Ramesh, 1995: 10). Brewer (1970 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 10)
kemudian menyuguhkan versi lain dalam enam tahap yakni inisiasi, estimasi, seleksi,
implemantasi, evaluasi dan terminasi. Meskipun berbeda, tapi pendekatan yang diajukan
Brewer ini secara substansi sama dengan milik Lasswell, namun adanya distingsi dalam
ranah problem recognition mengarahkan pada kajian yang lebih luas melalui pengaitan
fase dan stages seperti (tabel 1 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 11). Hal yang menjadi
penting adalah upaya mereduksi kompleksitas dalam proses pengambilan kebijakan
sehingga mampu melimitasi kemungkinan kesalahan dalam tiap stage yang ada.
Sedangkan kerawanan muncul darikesalahan interpretasi yang mungkin saja dilakukan,
sehingga kerap kali alternatif  ad hoc muncul (Jenkins & Sabatier, 1993 dalam Howlett &
Ramesh, 1995: 12).

Tabel 1.

Phase of Applied Problem-Solving Stages in Policy Cycle

Problem Recognition Agenda Setting

Proposal of Solution Policy Formulation

Choice of Solution Desicion Making

Putting Solution into Effect Policy Implementation

Monitoring Result Policy Evaluation

 
Setelah mengalami perkembangan yang cukup pesat, studi kebijakan publik
sampai kepada perkembangan proses pengambilan kebijakan melalui studi kasus, studi
komparatif dan mencapai kritik konseptual dalam disiplin tersebut. Kajian tersebut
muncul karena semakin meningkatnya kompleksitas aktor dan kepentingan dalam proses
pengambilan sebuah kebijakan, sehingga instrumen yang dicapai harus jelas dan
berkelanjutan. Analisis yang kemudian muncul lebih kepada ulasan determinasi dalam
kebijakan meliputi peran aktor yang terlibat, instrumen yang digunakan, diskursus yang
kemudian muncul di lingkungan struktur sosial (Howlett & Ramesh, 1995: 13).
Permasalahan kebijakan dan metodologi yang sering digunakan salah satunya
diperkenalkan adalah konseptualisasi baik itu secara studi kasus ataupun studi
komparatif.
4
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan
sebuah studi yang memiliki tingkat urgensi tinggi dalam rangka meregulasi situasi sosial
dalam sebuah negara, sekaligus menjadi penghubung yang efektif antara masyarakat
dengan negara melalui banyak cara. Dalam proses pengambilan kebijakan publik,
terdapat beberapa faktor yang diperhitungkan seperti aktor politik yang terlibat,
instrumen yang digunakan serta determinasi sumber daya yang ada dalam interseksi
kepentingan yang terjadi di black box keputusan. Dalam konteks kajian, kebijakan publik
dapat diperoleh melalui dua pendekatan besar yakni deduktif dan induktif. Deduktif dan
induktif merupakan pendekatan yang berupaya menjelaskan fenomena sosial dalam
pemahaman terminologi mono-kausal serta melebarkan pendekatan yang berbasis human
activity. Meskipun dalam setiap pendekatan terdapat kelemahan, namun menurut penulis
pendekatan yang ada dapat digunakan sesuai dengan situasi dan kapasitasnya masing-
masing secara tepat guna.

B. Pendekatan Deduktif
(Pilihan Publik; Kelas sosial; Neo-Institusionalisme)

Pendekatan deduktif  adalah pendekatan yang menggunakan logika untuk menarik


satu atau lebih kesimpulan berdasarkan seperangkat premis yang diberikan.
Dalam pendekatan deduktif terdapat tiga sub-tipe pendekatan yang dapat
digunakan. Pertama adalah  public choice, yang mana mengasumsikan bahwa masyarakat
secara individual dapat menjadi penentu kebijakan melalui perannya sebagai pemilih dan
melakukan pilihan sesuai dengan kepentingan pribadi yang melekat pada diri masing-
masing guna mencapai keuntungan maksimal (McLean, 1987 dalam Howlett & Ramesh,
1995: 20). Dalam pendekatan ini dikatakan bahwa campur tangan pemerintah dalam
pilihan masyarakat harures dibatasi untuk merangsang pertumbuhan pasar di masyarakat.
Kelemahan dari teori tersebut adalah ketidakmampuan menghadirkan relaitas sosial,
prediksi, kejelasan seleksi karena simplifikasi yang berlebihan. Kedua adalah teori kelas,
dimana keanggotaan masyarakat didasarkan pada kemampuan perekonomian sehingga
muncul kelas-kelas sosial tertentu yang diinterpretasikan sebagai bentuk tekanan dari
kaum kapitalis terhadap kaum pekerja (Enderson, 1981: 111-140 dalam Howlett &
Ramesh, 1995: 24). Oleh karena itu, neo-Marxis kemudian memberikan alternatif
pentingnya pihak yang mampu menengahi kaum kapitalis dan pekerja. Namun
permasalahan ekonomi sentris dan relasi antarsosial menjadi kesulitan tersendiri dalam
5
proses pemetaan dalam teori ini. Dan yang ketiga yaitu pendekatan neo-
institutionalism yang menekankan pada asumsi bahwa kemampuan masyarakat dan
individu memiliki batasan terkait dengan fenomen politik, sehingga dibutuhkan institusi
sebagai badan regulator persoalan interseksi pemerintahan, firma, simbol keagamaan dan
lainnya melalui birokrasi (Cammank, 1992: 398 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 26).
Secara empirikal, pendekatan ini yang mampu menjelaskan fenomena kebijakan yang
berkaitan antara domestik dan internasional.

C. Pendekatan Induktif
(Ekonomi Kesejahteraan; Pluralisme & Corporatisme; Statisme)

Pendekatan induktif menekanan pada pengamatan dahulu, lalu menarik


kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut. Metode ini sering disebut sebagai sebuah
pendekatan pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum (going from specific to
the general).
Pendekatan induktif sebagai metodologi utama yakni teori induktif yang bersifat
‘bottom up’ sekaligus juga seperti deduktif memiliki beberapa sub-tipe pendekatan. Yang
pertama adalah welfare economics dengan argumen utama bahwa negara memiliki
tanggung jawab untuk memperbaiki kondisi kegagalan pasar karena outcome masyarakat
secara optimal tidak akan menghasilkan apapun melalui regulasi individu saja (Stokey &
Zeckhauster, 1978 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 29). Pemerintah wajib bersikap tegas
dalam regulasi yang berkaitan dengan keamanan sosial melalui berbagai kebijakan seperti
penarikan pajak, hukum positif dan lainnya. Namun negara juga harus membatasi campur
tangan dalam hal transaksi ekonomi baik barang maupun jasa privat, tetapi wajib
menyediakan barang publik bagi masyarakat. Yang kedua yakni pluralism and
corporatism, yang menekankan pada pentingnya hirau pada kelompok kepentingan yang
ada karena sifatnya yang pluralis, tersebar dalam jumlah banyak dan tidak dapat
ditundukkan melalui monopoli keanggotaan (Howlett & Ramesh, 1995: 33). Kondisi
keanggotaan yang tumpang tindih menjadi senjata rekonsiliasi utama dalam pendekatan
ini, ditambah lagi ketidaksetaraan antara satu kelompok dengan yang lain terhadap akses
ke pemerintah. Sehingga pada intinya kebijakan publik merupakan hasil konstelasi antara
pemerintah dengan kelompok kepentingan. Dan pendekatan yang ketiga dalam sistem
induksi adalah statism yang memiliki asumsi dasar yaitu menempatkan negara atau

6
pemerintah dalam hal ini sebagai otoritas utama untuk menciptakan, mengorganisasi dan
meregulasi masyarakat, sehingga muncul dominasi negara dalam mengelola budaya dan
ekonomi bangsa pula (Skocpol, 1985: 43 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 38). Namun
jenis pendekatan ini kerap kali melahirkan ketidakpatuhan masyarakat karena merasa hak
individualnya terampas, dan kondisi ini tidak jarang berujung pada revolusi sehingga
stabilitas pemerintahan tidak terjaga.

D. Sistem Politik
(Kelompok Elit; Proses Fungsional Kelembagaan)

Pendekatan elite melukiskan kekuasaan sebagian dimiliki oleh kelompok kecil orang
yang disebut elite. Gaetano Mosca (Surbakti 2010:94) melukiskan distribusi kekuasaan dalam
masyarakat seperti berikut. Dalam setiap masyarakat, terdapat dua kelas yang menonjol. Pertama
kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang , melaksanakan fungsi politik, memonopoli
kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan. Kedua,
kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa
dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum, semaunya dan paksaan
Asumsi yang mendasari model ini, dalam setiap masyarakat tidak pernah terdapat
distribusi kekuasaan secara merata. Mereka yang memiliki sumber kekuasaan memiliki
kekuasaan politik sedikit sekali, apabila dibandingakan dengan jumlah penduduk dalam
masyarakat selalu lebih sedikit daripada yang diperintah. Itu sebabnya, mengapa elite
politik dirumuskan sebagai sekolompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar
dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Asumsi ketiga, diantara elite
politik, terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-nilai, yang berarti
mempertahankan status sebagai elite politik. 23 Model elitisme secara terinci diuraikan
oleh dua ilmuwan (Surbakti, 2010:95) mereka membagi masyarakat menjadi dua bagian,
yakni sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan dan banyak orang yang tidak
memiliki kekuasaan yang berarti. Hanya sekelompok kecil orang yang mempunyai
kekuasaan itulah yang mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat atau hanya
sekolompok kecil orang yang membuat dan melaksanakan keputusan politik. Khalayak
(rakyat) banyak yang tidak menentukan kebijakan umum karena mereka tidak memiliki
kekuasaan. Sekelompok kecil orang yang membuat dan melaksanakan keputusan politik
bukanlah pencerminan dari khalayak yang diperintah. Elite politik itu diambil secara
proporsional dari lapisan atas masyarakat. Mobilitas nonelit untuk mencapai kedudukan
7
elite harus berjalan secara lambat sambil tetap memelihara stabilitas, yakni menghindari
perubahan yang revolusioner. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh elite politik
bukanlah cerminan aspirasi khalayak, juga bukan hasil tuntutan yang diajukan khalayak,
melainkan lebih merupakan cerminan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh kelompok
elite. Perubahan dalam kebijakan tidak akan dilakukan secara radikal, jadi khalayak yang
apatis sangat sedikit memengaruhi secara langsung elite yang memerintah. Yang terjadi
ialah golongan elite menentukan khalayak yang apatis. Kelompok elite jika ditelaah dari
segi sifat dan karakternya, sesungguhnya buaknlah kelompok yang homogen, tetapi
heterogen.
Kelompok elite politik dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yakni: a. Kelompok
elite yang dalam segala tindakan berorientasi pada kepentigan pribadi atau kelompok.
Elite tipe ini cenderung bersifat tertutup dalam arti 24 menolak golongan yang bukan elite
memasuki lingkungan elite. Di antara sesama elite, tipe ini mengembangkan kolaborasi
untuk mempertahankan keadaan yang ada. Oleh karena itu, pelapisan politik tidak hanya
berbentuk piramid dan hirarki, tetapi juga tidak tanggap atas aspirasi dan tuntutan
masyarakat. Elite ini disebut konservatif, maksudnya sikap dan perilaku yang cenderung
memelihara dan mempertahankan struktur masyarakat yang secara jelas
menguntungkannya. b. Elite politik liberal. Maksudnya sikap dan perilaku yang
membuka kesempatan seluas-luasnya bagi setia warga masyarakat untuk meningkatkan
status sosial. Elite ini cenderung bersifat terbuka terhadap golongan masyarakat yang
bukan elite untuk menjadi bagian dari lingkungan elite, sepanjang yang bersangkutan
mampu bersaing secara sehat untuk menjadi elite, dan menyesuaikan diri dengan
lingkunga elite. Adanya kesempatan yang sama dan persaingan yang sehat untuk menjadi
elite cenderung membuat pelapisa masyarakat ini bersifat pluralis. Elite politik ini
cenderung berorientasi pada kepentingan umum sehingga mereka juga akan bersikap
tanggap atas tuntutan masyarakat. c. Tipe pelawan elite. Tipe ini meliputi para pemimpin
yang berorientasi pada khalayak baik dengan cara menentang segala bentuk kemapanan
maupun dengan cara menentang segala bentuk perubahan. Ciri-ciri kelompok ini, yakni
ektrim, tidak toleran, anti intelektualisme, beridentitas superioritas rasial tertentu, dan
menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasinya.
Kelompok pelawan elite teridi atas dua sayap, yakni sayap kiri yang menuntut
perubahan secara radikal dan revolusioner dan sayap kanan 25 yang menentang pelbagai
perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Namun, kedua sayap ini memperlihatkan
8
diri sebagai pembawa suara rakyat dan menuntut agar rakyat dapat menguasai hukum,
lembaga-lembaga, prosedur, dan hak-hak individu. Pendekatan elite dalam melihat proses
purumusan kebijakan memiliki dua penilaian, yakni negatif dan positif. Pada pandangan
negatif dikemukakan bahwa pada akhirnya sistem politik, pemegang kekuasaan politiklah
yang akan menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selera dan keinginannya. Dalam
konteks ini, rakyat dianggap sebagai kelompok yang sengaja memanipulasi sedemikian
rupa agar tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Sedangkan pandangan positif
melihat bahwa seorang elite menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan
gagasan bahwa negara-bangsa ke kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan
pesaingnya. Pemimpin (elite) pasti mempunyai visi tentang kepemimpinannya, dan
kebijakan publik adalah bagian dari karyanya untuk mewujudkan visi tersebut menjadi
kenyataan.
Dapat disimpulkan kelompok elite adalah sekelompok orang yang memiliki
kekuasaan untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain untuk mengikuti tujuan
kelompoknya atau mencapai kepentingannya. Cara yang dilakukan oleh kelompok ini
yakni dengan mendistribusikan kekuasaan yang mereka miliki. Dalam memperjuangkan
kepentingan mereka masing-masing, kelompok-kelompok ini dapat menggunakan
strategi membentuk koalisi dengan kelompok-kelompok lain dan tetap mengamati politik
kebijakan bahwa koalisi-koalisi besar dapat digunakan untuk menundukkan koalisi kecil.
Kelompok-kelompok kepentingan 26 dalam kepentingan politik lebih memusatkan pada
lembaga legislatif, ketimbang cabang proses formulasi kebijakan. Interaksi antar individu
dalam kelompok untuk mencapai titik keseimbangan sehingga dapat menghasilkan suatu
keputusan yang dapat disepakati bersama. Untuk melihat bagimana individu-individu
atau kelompok dapat memepengaruhi kelompok lain dalam mencapai tujuannya, amak
akan digunakan suatu pendekatan, yakni pendekatan jaringan.
Pendekatan ini menitik beratkan pada pola kontak dan hubungan formal dan
informal yang membentuk agenda kebijakan dan pembuatan keputusan. Analisis jaringan
di dasarkan pada ide bahwa suatu kebijakan dibentuk dalam konteks relasi dan
dependensi. Seperti dicatat oleh David Knoke dan James Kuklinski (Parson, 2006:188)
analisis jaringan mengasumsikan bahwa pertama aktor berpartisipasi dalam sistem sosial
di mana aktor lainnya mempengaruhi keputusan orang lain, dan kedua bahwa level
struktur di dalam sistem sosial harus merupakan fokus penelitian.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kebijakan publik dapat diperoleh melalui dua pendekatan besar yakni deduktif
dan induktif. Deduktif dan induktif merupakan pendekatan yang berupaya menjelaskan
fenomena sosial dalam pemahaman terminologi mono-kausal serta melebarkan
pendekatan yang berbasis human activity. Meskipun dalam setiap pendekatan terdapat
kelemahan, namun menurut penulis pendekatan yang ada dapat digunakan sesuai dengan
situasi dan kapasitasnya masing-masing secara tepat guna.

B.     Saran
Dengan adanya pembuatan makalah ini penulis mengharapkan agar senantiasa
dapat dimanfaatkan dan sebagai literatur atau sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa
untuk mengetahui apa-apa saja pendekatan besar dalam kebijakan publik.

10
DAFTAR PUSTAKA

https://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MAPU5301-M1.pdf

http://resvia-a-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-134610-Kajian%20Kebijakan%20Publik-
Kebijakan%20Publik%20sebagai%20Ilmu%20Pengetahuan%20dan%20PendekatanPendekatan
%20dalam%20Analisis%20Kajian%20Studi.html, 28 Maret 2013

http://digilib.unila.ac.id/2252/15/BAB%20II.pdf

11

Anda mungkin juga menyukai