Dosen Pengampu :
Dr. Edi Harapan M.Pd
Oleh Kelompok 1:
1. Agus Suherwan
Nim: 20196013550
2. Siti Hadiah
Nim: 20196013404
3. Rosidah
Nim: 20196013403
SEMESTER 2
MANAJEMEN PENDIDIKAN 8 BETUNG
1
KATA PENGANTAR
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................1
C. Tujuan Masalah....................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
PENDEKATAN DALAM KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pendekatan Dalam Kebijakan Publik ................................ 2
B. Pendekatan Deduktif ..........................................................5
C. Pendekatan Induktif............................................. ...............6
D. Sistem Politik ...................................................................... 7
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah kami ini adalah :
1. Apakah pendekatan dalam kebijakan publik ?
2. Apakah pendekatan deduktif itu ?
3. Apakah pendekatan induktif itu ?
4. Bagaimana Sistem Politik ?
2
eksplisit tersebut (Lasswell dalam Howlett & Ramesh, 1995: 4). Oleh karena itu
diperlukan muncul studi Kebijakan Publik sebagai bentuk pengerucutan studi kebijakan
secara teoritik dan empirik.
Thomas Dye (dalam Howlett & Ramesh, 1995: 4) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai segala sesuatu yang negara pilih sebagai sikap untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu hal dengan beberapa karakter tertentu yakni pemerintah
sebagai aktor utama pengambil kebijakan, kemudian kebijakan publik tersebut pasti
mengandung pilihan yang bersifat fundamental sebagai bagian kepentingan pemerintah.
Sedangkan William Jenkins mendefinisikan kebijakan publik secara lebih presisi, yakni
sebagai sebuah pengaturan yang berkorelasi antara pengambilan keputusan oleh aktor
politik dengan penyeleksian tujuan dan maksud memperoleh kepentingan melalui sebuah
kondisi spesifik yang diengaruhi oleh prinsip tertentu melalui proses pembuatan
kebijakan publik (Jenkins dalam Howlett & Ramesh, 1995: 5). Keputusan disini tidak
harus tunggal dan tentunya dibatasi oleh opsi-opsi tertentu berdasarkan sumber daya
domestik yang ada dan dapat dievalusi untuk meregulasi keputusan yang lebih baik.
Sebagai sebuah fenomena yang komplek, kebijakan publik juga dideterminasi oleh rezim
politik yang berlaku sebagai bentuk relasi masyarakat dan sistem politik (Hall, 1986
dalam Howlett & Ramesh, 1995: 7). Oleh karenanya, dalam skala kausalitas, dalam
beberapa hal kebijakan publik diputuskan dengan melihat variabel dependen yang ada.
Menurut Theodore Lowi (dalam Howlett & Ramesh, 1995: ), hal tersebut logis terjadi
sebagai suatu analisis yang kausal atau saling mendeterminasi antara kebijakan dan
politik itu sendiri. Sehingga kemudian juga muncul cost dan benefit dalam proses black
box pengambilan keputusan (Wilson, 1974: 135-168 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 8).
Persoalannya, banyak literatur studi kebijakan publik yang justru muncul dari
pihak privat, sehingga saat ini kaum intelektual berupaya memperkaya literatur tersebut
melalui sistem penelitian universitas (Pal, 1992 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 9).
Selain itu, akademisi akan mampu mengevaluasi secara bebas nilai dan lebih kuat secara
metodologis. Namun tidak dapat dikesampingkan, bahwa peran aktual aktor think
tanks dalam proses pengambilan kebijakan tentu dominan, sehingga tetap harus
diperhitungkan. Dalam prosesnya, siklus kebijakan meliputi beberapa stages yakni
pengumpulan intelijen sebagai sumber data, lalu mempromosikan opsi alternatif yang
ada, kemudian preskripsi aksi tertentu terkait permasalahan, selanjutnya invokasi atau
menentukan seperangkat sanksi yang dibutuhkan, lalu kebijakan yang ada diaplikasikan
3
dan terakhir harus ada evaluasi terkait pelaksanaan kebijakan (Lasswell, 1956 dalam
Howlett & Ramesh, 1995: 10). Brewer (1970 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 10)
kemudian menyuguhkan versi lain dalam enam tahap yakni inisiasi, estimasi, seleksi,
implemantasi, evaluasi dan terminasi. Meskipun berbeda, tapi pendekatan yang diajukan
Brewer ini secara substansi sama dengan milik Lasswell, namun adanya distingsi dalam
ranah problem recognition mengarahkan pada kajian yang lebih luas melalui pengaitan
fase dan stages seperti (tabel 1 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 11). Hal yang menjadi
penting adalah upaya mereduksi kompleksitas dalam proses pengambilan kebijakan
sehingga mampu melimitasi kemungkinan kesalahan dalam tiap stage yang ada.
Sedangkan kerawanan muncul darikesalahan interpretasi yang mungkin saja dilakukan,
sehingga kerap kali alternatif ad hoc muncul (Jenkins & Sabatier, 1993 dalam Howlett &
Ramesh, 1995: 12).
Tabel 1.
Setelah mengalami perkembangan yang cukup pesat, studi kebijakan publik
sampai kepada perkembangan proses pengambilan kebijakan melalui studi kasus, studi
komparatif dan mencapai kritik konseptual dalam disiplin tersebut. Kajian tersebut
muncul karena semakin meningkatnya kompleksitas aktor dan kepentingan dalam proses
pengambilan sebuah kebijakan, sehingga instrumen yang dicapai harus jelas dan
berkelanjutan. Analisis yang kemudian muncul lebih kepada ulasan determinasi dalam
kebijakan meliputi peran aktor yang terlibat, instrumen yang digunakan, diskursus yang
kemudian muncul di lingkungan struktur sosial (Howlett & Ramesh, 1995: 13).
Permasalahan kebijakan dan metodologi yang sering digunakan salah satunya
diperkenalkan adalah konseptualisasi baik itu secara studi kasus ataupun studi
komparatif.
4
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan
sebuah studi yang memiliki tingkat urgensi tinggi dalam rangka meregulasi situasi sosial
dalam sebuah negara, sekaligus menjadi penghubung yang efektif antara masyarakat
dengan negara melalui banyak cara. Dalam proses pengambilan kebijakan publik,
terdapat beberapa faktor yang diperhitungkan seperti aktor politik yang terlibat,
instrumen yang digunakan serta determinasi sumber daya yang ada dalam interseksi
kepentingan yang terjadi di black box keputusan. Dalam konteks kajian, kebijakan publik
dapat diperoleh melalui dua pendekatan besar yakni deduktif dan induktif. Deduktif dan
induktif merupakan pendekatan yang berupaya menjelaskan fenomena sosial dalam
pemahaman terminologi mono-kausal serta melebarkan pendekatan yang berbasis human
activity. Meskipun dalam setiap pendekatan terdapat kelemahan, namun menurut penulis
pendekatan yang ada dapat digunakan sesuai dengan situasi dan kapasitasnya masing-
masing secara tepat guna.
B. Pendekatan Deduktif
(Pilihan Publik; Kelas sosial; Neo-Institusionalisme)
C. Pendekatan Induktif
(Ekonomi Kesejahteraan; Pluralisme & Corporatisme; Statisme)
6
pemerintah dalam hal ini sebagai otoritas utama untuk menciptakan, mengorganisasi dan
meregulasi masyarakat, sehingga muncul dominasi negara dalam mengelola budaya dan
ekonomi bangsa pula (Skocpol, 1985: 43 dalam Howlett & Ramesh, 1995: 38). Namun
jenis pendekatan ini kerap kali melahirkan ketidakpatuhan masyarakat karena merasa hak
individualnya terampas, dan kondisi ini tidak jarang berujung pada revolusi sehingga
stabilitas pemerintahan tidak terjaga.
D. Sistem Politik
(Kelompok Elit; Proses Fungsional Kelembagaan)
Pendekatan elite melukiskan kekuasaan sebagian dimiliki oleh kelompok kecil orang
yang disebut elite. Gaetano Mosca (Surbakti 2010:94) melukiskan distribusi kekuasaan dalam
masyarakat seperti berikut. Dalam setiap masyarakat, terdapat dua kelas yang menonjol. Pertama
kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang , melaksanakan fungsi politik, memonopoli
kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan. Kedua,
kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa
dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum, semaunya dan paksaan
Asumsi yang mendasari model ini, dalam setiap masyarakat tidak pernah terdapat
distribusi kekuasaan secara merata. Mereka yang memiliki sumber kekuasaan memiliki
kekuasaan politik sedikit sekali, apabila dibandingakan dengan jumlah penduduk dalam
masyarakat selalu lebih sedikit daripada yang diperintah. Itu sebabnya, mengapa elite
politik dirumuskan sebagai sekolompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar
dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Asumsi ketiga, diantara elite
politik, terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-nilai, yang berarti
mempertahankan status sebagai elite politik. 23 Model elitisme secara terinci diuraikan
oleh dua ilmuwan (Surbakti, 2010:95) mereka membagi masyarakat menjadi dua bagian,
yakni sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan dan banyak orang yang tidak
memiliki kekuasaan yang berarti. Hanya sekelompok kecil orang yang mempunyai
kekuasaan itulah yang mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat atau hanya
sekolompok kecil orang yang membuat dan melaksanakan keputusan politik. Khalayak
(rakyat) banyak yang tidak menentukan kebijakan umum karena mereka tidak memiliki
kekuasaan. Sekelompok kecil orang yang membuat dan melaksanakan keputusan politik
bukanlah pencerminan dari khalayak yang diperintah. Elite politik itu diambil secara
proporsional dari lapisan atas masyarakat. Mobilitas nonelit untuk mencapai kedudukan
7
elite harus berjalan secara lambat sambil tetap memelihara stabilitas, yakni menghindari
perubahan yang revolusioner. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh elite politik
bukanlah cerminan aspirasi khalayak, juga bukan hasil tuntutan yang diajukan khalayak,
melainkan lebih merupakan cerminan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh kelompok
elite. Perubahan dalam kebijakan tidak akan dilakukan secara radikal, jadi khalayak yang
apatis sangat sedikit memengaruhi secara langsung elite yang memerintah. Yang terjadi
ialah golongan elite menentukan khalayak yang apatis. Kelompok elite jika ditelaah dari
segi sifat dan karakternya, sesungguhnya buaknlah kelompok yang homogen, tetapi
heterogen.
Kelompok elite politik dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yakni: a. Kelompok
elite yang dalam segala tindakan berorientasi pada kepentigan pribadi atau kelompok.
Elite tipe ini cenderung bersifat tertutup dalam arti 24 menolak golongan yang bukan elite
memasuki lingkungan elite. Di antara sesama elite, tipe ini mengembangkan kolaborasi
untuk mempertahankan keadaan yang ada. Oleh karena itu, pelapisan politik tidak hanya
berbentuk piramid dan hirarki, tetapi juga tidak tanggap atas aspirasi dan tuntutan
masyarakat. Elite ini disebut konservatif, maksudnya sikap dan perilaku yang cenderung
memelihara dan mempertahankan struktur masyarakat yang secara jelas
menguntungkannya. b. Elite politik liberal. Maksudnya sikap dan perilaku yang
membuka kesempatan seluas-luasnya bagi setia warga masyarakat untuk meningkatkan
status sosial. Elite ini cenderung bersifat terbuka terhadap golongan masyarakat yang
bukan elite untuk menjadi bagian dari lingkungan elite, sepanjang yang bersangkutan
mampu bersaing secara sehat untuk menjadi elite, dan menyesuaikan diri dengan
lingkunga elite. Adanya kesempatan yang sama dan persaingan yang sehat untuk menjadi
elite cenderung membuat pelapisa masyarakat ini bersifat pluralis. Elite politik ini
cenderung berorientasi pada kepentingan umum sehingga mereka juga akan bersikap
tanggap atas tuntutan masyarakat. c. Tipe pelawan elite. Tipe ini meliputi para pemimpin
yang berorientasi pada khalayak baik dengan cara menentang segala bentuk kemapanan
maupun dengan cara menentang segala bentuk perubahan. Ciri-ciri kelompok ini, yakni
ektrim, tidak toleran, anti intelektualisme, beridentitas superioritas rasial tertentu, dan
menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasinya.
Kelompok pelawan elite teridi atas dua sayap, yakni sayap kiri yang menuntut
perubahan secara radikal dan revolusioner dan sayap kanan 25 yang menentang pelbagai
perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Namun, kedua sayap ini memperlihatkan
8
diri sebagai pembawa suara rakyat dan menuntut agar rakyat dapat menguasai hukum,
lembaga-lembaga, prosedur, dan hak-hak individu. Pendekatan elite dalam melihat proses
purumusan kebijakan memiliki dua penilaian, yakni negatif dan positif. Pada pandangan
negatif dikemukakan bahwa pada akhirnya sistem politik, pemegang kekuasaan politiklah
yang akan menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selera dan keinginannya. Dalam
konteks ini, rakyat dianggap sebagai kelompok yang sengaja memanipulasi sedemikian
rupa agar tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Sedangkan pandangan positif
melihat bahwa seorang elite menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan
gagasan bahwa negara-bangsa ke kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan
pesaingnya. Pemimpin (elite) pasti mempunyai visi tentang kepemimpinannya, dan
kebijakan publik adalah bagian dari karyanya untuk mewujudkan visi tersebut menjadi
kenyataan.
Dapat disimpulkan kelompok elite adalah sekelompok orang yang memiliki
kekuasaan untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain untuk mengikuti tujuan
kelompoknya atau mencapai kepentingannya. Cara yang dilakukan oleh kelompok ini
yakni dengan mendistribusikan kekuasaan yang mereka miliki. Dalam memperjuangkan
kepentingan mereka masing-masing, kelompok-kelompok ini dapat menggunakan
strategi membentuk koalisi dengan kelompok-kelompok lain dan tetap mengamati politik
kebijakan bahwa koalisi-koalisi besar dapat digunakan untuk menundukkan koalisi kecil.
Kelompok-kelompok kepentingan 26 dalam kepentingan politik lebih memusatkan pada
lembaga legislatif, ketimbang cabang proses formulasi kebijakan. Interaksi antar individu
dalam kelompok untuk mencapai titik keseimbangan sehingga dapat menghasilkan suatu
keputusan yang dapat disepakati bersama. Untuk melihat bagimana individu-individu
atau kelompok dapat memepengaruhi kelompok lain dalam mencapai tujuannya, amak
akan digunakan suatu pendekatan, yakni pendekatan jaringan.
Pendekatan ini menitik beratkan pada pola kontak dan hubungan formal dan
informal yang membentuk agenda kebijakan dan pembuatan keputusan. Analisis jaringan
di dasarkan pada ide bahwa suatu kebijakan dibentuk dalam konteks relasi dan
dependensi. Seperti dicatat oleh David Knoke dan James Kuklinski (Parson, 2006:188)
analisis jaringan mengasumsikan bahwa pertama aktor berpartisipasi dalam sistem sosial
di mana aktor lainnya mempengaruhi keputusan orang lain, dan kedua bahwa level
struktur di dalam sistem sosial harus merupakan fokus penelitian.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebijakan publik dapat diperoleh melalui dua pendekatan besar yakni deduktif
dan induktif. Deduktif dan induktif merupakan pendekatan yang berupaya menjelaskan
fenomena sosial dalam pemahaman terminologi mono-kausal serta melebarkan
pendekatan yang berbasis human activity. Meskipun dalam setiap pendekatan terdapat
kelemahan, namun menurut penulis pendekatan yang ada dapat digunakan sesuai dengan
situasi dan kapasitasnya masing-masing secara tepat guna.
B. Saran
Dengan adanya pembuatan makalah ini penulis mengharapkan agar senantiasa
dapat dimanfaatkan dan sebagai literatur atau sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa
untuk mengetahui apa-apa saja pendekatan besar dalam kebijakan publik.
10
DAFTAR PUSTAKA
https://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MAPU5301-M1.pdf
http://resvia-a-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-134610-Kajian%20Kebijakan%20Publik-
Kebijakan%20Publik%20sebagai%20Ilmu%20Pengetahuan%20dan%20PendekatanPendekatan
%20dalam%20Analisis%20Kajian%20Studi.html, 28 Maret 2013
http://digilib.unila.ac.id/2252/15/BAB%20II.pdf
11