Anda di halaman 1dari 19

DIMENSI – DIMENSI STUDI KEBIJAKAN PUBLIK

(PUBLIC POLICY SERVICE)


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengambilan Keputusan dan Analisis
Kebijakan Sekotor Pendidikan
Dosen Pengampu Dr. Husen Saeful Insan, M.M.Pd..
Dr. Supyan Sauri, M.M.Pd.

Disusun Oleh :

Muhammad Danil (41038103211001)


Mustafa Reza Raihan Sind (41038103211005)
Sutisna (41038103211013)

SEKOLAH PASCASARJANA ADMINISTRASI PENDIDIKAN


UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah yang Maha Esa karena atas rahmat dan
hidayat-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah sebagai tugas mata
kuliah Pengambilan Keputusan dan Analisis Kebijakan Sektor Pendidikan yang
berujudul Dimensi-dimensi Studi Kebijakan Publik (Public Policy Servcice).
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas yang diberikan sebagai bahan tugas
perkuliahan.

Semoga makalah ini, dapat bermanfaat dan mnjadi sumber pengetahuan


bagi pembaca. Apabila pembuatan makalah ini terdapat kekurangan pembaca
kiranya dapat memakluminya. Akhir kata dengan kerendahan hati, kritik dan
saran sangat penulis harapkan demi menyempurkan makalah ini. Sekian dan
terima kasih.

Penyusun

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................2
BAB II ISI.........................................................................................................................3
2.1 Studi Kebijakan Publik.........................................................................................3
2.2 Demokrasi dan Kebijakan Publik.........................................................................6
2.3 Beberapa Teori Kebijakan Publik......................................................................10
BAB III PENUTUP........................................................................................................14

ii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pergerakan perubahan dalam segi sosial, ekonomi, dan politik yang pesat baik
di tingkat lokal, nasional hingga global membutuhkan respon yang cepat. Hal ini
untuk menyiapkan dan memperhitungkan hal-hal yang akan terjadi terhadap
munculnya dampak yang tidak diinginkan. Mengacu pada tantangan yang
dihadapi oleh negara khususnya, maka dibutuhkan respon strategis yang
menjamin tercapainya hasil kebijakan yang berkualitas, dan mampu memberikan
manfaat kesejahteraan bagi masyarakat. Kualitas kebijakan pada akhirnya menjadi
keharusan, karena perubahan tata kelola tersebut memiliki dampak bagi
masyarakat.
Kebijakan publik pada dasarnya merupakan suatu otoritas atau kewenangan
karena diciptakan oleh sekelompok orang dengan kekuasaan yang sah dalam
sistem pemerintahan. Keputusan akhir yang telah ditetapkan bersifat mengikat
bagi para pejabat untuk melakukan tindakan kedepannya. Kebijakan publik
merupakan faktor penting dalam mencapai tata pemerintahan yang baik.
Dalam sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dan telah dilakukan
di masyarakat ada saat-saat sebuah kebijakan dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat, karena kebijakan tersebut mampu mengantisipasi permasalahan yang
ada dalam masyarakat, namun ada kalanya pemerintah membuat sebuah kebijakan
tidak dapat diterima oleh masyarakat dikarenakan kebijakan tersebut dipandang
tidak sesuai dan tidak memberikan solusi yang seharusnya, lebih parahnya
menambah permasalahan di masyarakat. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah
dalam menciptakan sebuah kebijakan harus menganalisis kondisi dalam
masyarakat sehingga kebijakan yang dibuat dapat diterima oleh masyarakat dan
kebijakan tersebut dapat menjadi solusi yang tepat bagi permasalahan dalam
masyarakat tersebut.
Pada dewasa ini kebijakan publik adalah satu di antara cabang ilmu yang
mengalami kemajuan cukup pesat searah dengan kebutuhan masyarakat terkhusus

1
2

pada sektor publik. Kebijakan publik juga merupakan suatu studi yang memiliki
sifat multidisiplin dan membutuhkan kontribusi berbagai ilmu dalam realita
keseharian. Mempelajari kebijakan publik pada intinya merupakan usaha untuk
menggambarkan, menganalisis, dan mendeskripsikan secara tepat beberapa
penyebab dan akibat-akibat dari tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Dari
mempelajari kebijakan publik maka kita mendapatkan pemahaman mengenai isi
dari kebijakan publik yang pemerintah tetapkan, menilai dampak dari kekuatan-
kekuatan lingkungan, menganalisa dampak dari pengaturan macam-macam
lembaga, runtunan perkembangan politik, meneliti akibat kebijakan publik
terhadap sistem politik dan penilaian efek kebijakan terhadap negara.
Kajian mengenai kebijakan publik salah satu yang menarik di dalam ilmu
politik. Meski demikian, konsep yang berkenaan dengan kebijakan publik lebih
ditegaskan pada studi-studi tentang hal administrasi negara. Maksudnya kebijakan
publik dianggap tidak lain dari suatu proses pembuatan kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintahan dengan mempertimbangkan aspek-aspek. Secara umum,
kebijakan publik dapat diartikan sebagai suatu kebijakan atau keputusan yang
dibuat oleh pihak berwenang (dalam hal ini pemerintah) yang boleh jadi
melibatkan pihak yang terkait lainnya yang berhubungan tentang publik yang
secara gamblang proses pembuatannya selalu diawali dari perumusan sampai
dengan evaluasi. Dari sudut pandang politik, kebijakan publik boleh jadi dianggap
sebagai salah satu hasil dari perdebatan panjang yang terjadi di ranah negara
dengan aktor-aktor yang mempunyai berbagai macam kepentingan. Dengan
demikian, kebijakan publik tidak hanya dipelajari sebagai proses pembuatan
kebijakan, tetapi juga dinamika yang terjadi ketika kebijakan tersebut dibuat dan
diimplementasikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah disusun
dalam pertanyaan sebagai berikut.
a. Apa pentingnya studi kebijakan publik?
b. Bagaimana hubungan antara demokrasi dan kebijakan publik?
c. Apa saja teori-teori kebijakan publik?
3

d. Apa saja jenis-jenis kebijakan publik?


BAB II

ISI
2.1 Studi Kebijakan Publik
Analisis kebijakan publik walaupun merupakan bagian dari studi ilmu
administrasi negara, tetapi bersifat multidisipliner, karena banyak meminjam
teori, metode dan teknik dari studi ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu politik dan
ilmu psikologi. Studi kebijakan publik mulai berkembang pada awal tahun 1970-
an terutama dengan terbitnya tulisan Harold D. Laswell tentang Policy Sciences.
Fokus utama studi ini adalah pada penyusunan agenda kebijakan, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebiajakan.
Kebijakan Publik menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2005) adalah apapun
pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is
whatever goverments choose to do or not to do). Konsep tersbut sangat luas
karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah
ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik. Sebagai contoh, ketika
pemerintah mengetahui bahwa ada jalan raya yang rusak dan dia tidak membuat
kebijakan untuk memperbaikinya, berarti pemerintah sudah mengambil kebijakan.
Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa
(1) kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi
swasta; (2) kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak
dilakukan oleh badan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk tidak membuat
program baru atau tetap pada status quo, misalnya tidak menunaikan pajak adalah
sebuah kebijakan publik. James E. Anderson dalam Firman (2019)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-
badan dan aparat pemerintah. Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat
dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah.
Dalam pandangan David Easton ketika pemerintah membuat kebijakan publik,
ketika itu pula pemerintah mengalokasi nilai-nilai kepada masyarakat, karena
setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya (Dye sdalam
Subarsono, 2005). Ini berarti kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan

4
5

nilai-nilai, dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Ketika


kebijakan publik berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai hidup
dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi
ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan publik harus mampu
mengakomodasi nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat.
Lingkup kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai sektor atau
bidang pembangunan, seperti kebijakan publik dibidang pendidikan, pertanian,
kesehatan, transportasi, pertahanan, dan sebagainya. Di samping itu, dilihat dari
hierarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal,
seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi,
Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Keputusan Bupati/Walikota.
Studi kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting, yakni untuk pengembangan
ilmu pengetahuan, meningkatkan profesionalisme praktisi, dan untuk tujuan
politik (Dye dalam Subarsono, 2005).
(1) Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Dalam konteks ini, ilmuawan dapat menempatkan kebijakan publik sebagai
variabel terpengaruh (dependent variabel), sehingga berusaha menentukan
variabel pengaruhnya (independent variabel). Studi ini berusaha mencari
variabel-variabel yang dapat memengaruhi isi dari sebuah kebijakan publik.
Misalnya, studi untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi
dikeluarkannya undang-undang anti terorisme di Indonesia. Sebaliknya, studi
kebijakan publik dapat menempatkan kebijakan publik sebagai independent
variable, sehingga berusaha mengidentifikasi apa dampak dari kebijakan
menaikkan harga bahan bakar minyak yang dilakukan oleh pemeruntah.
(2) Membantu para praktisi dalam memecahkan masalah-masalah publik.
Dengan mempelajari kebijakan publik para praktisi akan memiliki dasar
teroitis tentang bagaimana membuat kebijakan publik yang baik dan
memperkecil kegagalan dari suatu kebijakan publik. Sehingga ke depan akan
lahir kebijakan publik yang lebih berkualitas yang dapat menopang tujuan
pembangunan.
6

(3) Berguna untuk tujuan politik.


Suatu kebijakan publik yang dibuat melalui proses yang benar dengan dukungan
teori yang kuat memiliki posisi yang kuat terhadap kritik dari lawan-lawan politik.
Kebijakan publik tersebut dapat meyakinkan kepada lawan-lawan politik yang
tadinya kurang setuju. Kebijakan publik seperti itu tidak akan mudah dicabut
hanya karena alasan kepentingan sesaat dari lawan-lawan politik.
Dalam studi kebijakan publik terdapat dua pendekatan, yakni: Pertama dikenal
dengan istilah analisis kebijakan (policy analysis), dan kedua kebijakan publik
politik (political public policy) (Huges, 1994). Pada pendekatan pertama, studi
analisis kebijakan lebih terfokus pada studi pembuatan keputusan (decision
making) dan penetapan kebijakan (policy formation) dengan menggunakan mode-
model statistik dan matematika yang canggih. Sedangkan pada pendekatan kedua,
lebih menekankan pada hasil dan outcome dari kebijakan publik daripada
penggunaan metode statistik, dengan melihat interaksi politik sebagai faktor
penentu, dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan
lingkungan.
Pada pendekatan pertama, pendekatan kuantitatif digunakan dalam pembuatan
keputusan, dengan demikian, keputusan yang diambil benar-benar rasional
menurut pertimbangan untung rugi. Keputusan yang diambil adalah keputusan
yang memberikan manfaat bersih paling optimal.
Sayangnya, dalam kenyataan, pendekatan matematika seperti ini kurang realistis
dalam dunia kebijakan dan politik. Politik dan kebijakan terkadang kurang
rasional dalam beberapa hal. Patton dan Savicky (1986) mengatakan apabila
model rasional diikuti, banyak kebijakan rasional harus dikompromikan sebab
kebijakan tersebut secara politik tidak fisibel. Kebijakan yang rasional, logis, dan
teknis yang layak mungkin tidak dapat diimplementasikan sebab sistem politik
tidak menerimanya. Figur tersebut tidak selalu bebicara untuk dirinya sendiri dan
ide-ide yang baik tidak selalu berhasil. Para analis dan pembuat kebijakan selalu
7

dihadapkan pada konflik alternatif antara pertimbangan teknis dan politis yang
layak.

2.2 Demokrasi dan Kebijakan Publik


Secara harfiah, demokrasi berarti pemerintahan yang dilakukan dengan
menjadikan rakyat (demos) sebagai pemegang kekuasaan (kratos) tertinggi.
Secara formal, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di negara-negara berpenduduk kecil, demokrasi
bisa berjalan secara langsung, yaitu rakyat secara langsung menentukan hal baik
untuk pribadinya melalui mekanisme diskusi publik. Di negara-negara
berpenduduk besar, seperti Indonesia, rakyat diwakili oleh orangorang yang
duduk dalam perwakilan rakyat, dan mereka memastikan bahwa seluruh kerja
pemerintahan mengacu pada kepentingan rakyat. Berdasarkan sudut pandang ini,
demokrasi mengandaikan nilai-nilai moral tertentu dalam praktiknya, seperti nilai
kejujuran, keadilan, keterwakilan, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat
yang lebih tinggi, bukan pada kepentingan sebagian kecil kelompok ataupun
golongan yang ada di masyarakat.
Sejauh pengalaman di Indonesia pascareformasi pada tahun 1998 lalu,
demokrasi dilihat dengan hati yang mendua. Di satu sisi, banyak orang memuja
demokrasi sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang sesuai untuk
mengantarkan bangsa Indonesia menuju keadilan dan kemakmuran. Di sisi lain,
banyak juga orang mengutuk demokrasi karena membiarkan kekacauan terjadi
atas nama kebebasan berpendapat. Karena banyak kekacauan yang bersembunyi
di balik adagium kebebasan berpendapat, usaha-usaha konkret untuk membangun
keadilan dan kemakmuran di Indonesia terhambat.
Pada level ontologis, konsep demokrasi juga telah mengundang pro dan
kontra. Banyak orang mendukung nilai-nilai dasar demokrasi, seperti kebebasan
dan kesetaraan antarmanusia. Akan tetapi, banyak juga yang berpendapat bahwa
8

nilai-nilai tersebut merusak tata sosial yang telah berabad-abad menyangga


masyarakat manusia (Harrison, 1993).
Sepanjang sejarah pemikiran manusia, konsep demokrasi pun terus
mengundang perdebatan. Para filsuf politik, mulai dari masa Yunani Kuno hingga
sekarang, tidak memiliki pendapat yang sama ketika berbicara tentang demokrasi.
Seperti dicatat oleh Harrison, Jeremy Bentham, filsuf utilitarian asal Inggris,
setuju dengan ide-ide dasar demokrasi, “In the first chapter it was remarked that
throughout most of human history democracy has not been thought to be of value.
Even the selected group of philosophers discussed in the succeeding historical
chapters turned out to be equivocal about it. Bentham approved of it, at least
towards the end of his life” (Harrison, 1993).
Jean-Jacques Rousseau, filsuf politik Prancis, menolak konsep dan
penerapan demokrasi, sebagaimana diterapkan di Indonesia sekarang ini. Baginya,
dalam demokrasi, rakyat harus berpartisipasi langsung dan tidak bisa diwakilkan.
Perwakilan politik, seperti pada DPR di Indonesia, hanya berujung pada
penyelewengan kehendak rakyat. Perwakilan rakyat menjadi aktor utama yang
menyelewengkan kehendak serta kepentingan rakyat. Karl Marx, filsuf politik
asal Jerman, juga memiliki versi demokrasinya, yakni demokrasi yang digerakkan
oleh kepentingan kaum pekerja serta diciptakan melalui revolusi politik dan
perjuangan kelas.
Pada masa Yunani Kuno, yang menggunakan demokrasi sebagai sistem
pemerintahannya, para filsuf pun masih berdebat tentang hakikat demokrasi, serta
cara-cara penerapannya. Plato dan Aristoteles tidak setuju menerapkan demokrasi
sebagai sistem pemerintahan. Bagi Plato, pemimpin dari sebuah masyarakat harus
seorang filsuf raja, yakni pimpinan yang hidup untuk mencari “yang baik” dan
menerapkannya dalam pola pemerintahan.
Menurut Harrison (1993), hal tersebut dikarenakan demokrasi memiliki
nilai-nilai dasar yang memiliki aspek universal, dalam arti diakui oleh banyak
orang sebagai nilai-nilai yang baik. Pada bagian ini, dengan berpijak pada
pemikiran Harrison, akan dijabarkan nilai-nilai dasar yang menopang paham
ataupun sistem politik demokratis yang berpijak pada tiga nilai dasar, yakni
9

pengetahuan yang memadai tentang hal-hal yang terjadi di masyarakat, otonomi


individu sekaligus otonomi masyarakat dalam membuat kebijakan publik, serta
kesetaraan antarmanusia sebagai subjek hukum yang memiliki harkat dan
martabat yang sama. Argumen ini merupakan pengembangan dari pemikiran Ros
Harrison dalam bukunya tentang demokrasi.
1. Nilai Pengetahuan
Nilai pertama sebagaimana dinyatakan oleh Harrison (1993) adalah nilai
pengetahuan. Semua kebijakan dalam masyarakat demokratis harus berpijak pada
pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan dan diterapkan dengan
pengetahuan yang menyeluruh tentang konteks yang ada. Artinya, tidak hanya
data yang cocok dengan realitas, tetapi juga penerapan kebijakan publik dalam
masyarakat demokratis harus dengan cara-cara yang tepat. Dapat juga dikatakan
bahwa masyarakat demokratis adalah masyarakat pengetahuan. Demokrasi tidak
dapat berfungsi jika pengetahuan tidak dikembangkan melalui penelitian yang
bermutu.
2. Nilai Otonomi
Menurut Harrison (1993), otonomi adalah nilai yang bersifat universal baik.
Dalam arti, manusia dengan berbagai latar belakangnya adalah manusia yang utuh
jika mampu menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dengan demikian, otonomi adalah
nilai yang baik karena membiarkan manusia mengatur dirinya sendiri.
Otonomi adalah salah satu nilai dasar dari demokrasi. Tanpa otonomi, tidak
akan ada demokrasi. Pada level individual, orangorang yang hidup di alam
demokrasi adalah individu-individu yang mengatur dirinya sendiri dan siap
bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya dalam hidup. Pada level
kolektif, masyarakat demokratis adalah masyarakat yang mengatur dirinya sendiri.
“Ide sentral dari demokrasi,” demikian tulis Harrison, “adalah tata kelola diri
sendiri, di dalam demokrasi rakyat mengatur dirinya sendiri.” Dalam masyarakat
demokratis, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kebijakan
publik, yaitu sebagai berikut.
10

a. Isi dari kebijakan publik yang dibuat. Dalam masyarakat demokratis,


kebijakan publik harus dibuat dengan berpijak pada penelitian-penelitian
bermutu yang telah dilakukan sebelumnya.
b. Proses-proses dari pembuatan kebijakan publik. Proses tersebut harus terbuka
untuk publik dan dibuat melalui proses diskusi ataupun konsultasi dari
masyarakat sekitar, yang terdiri atas orang-orang yang otonom, yakni mampu
mengatur dirinya sendiri. Konsep demokrasi radikal, yaitu setiap orang diajak
ikut serta dalam proses-proses pembuatan kebijakan publik, berdiri di atas
fondasi dasar bahwa setiap orang adalah manusia yang otonom, yakni yang
mampu membuat keputusan dan mengontrol dirinya lalu bekerja sama untuk
membuat kebijakan publik yang baik untuk kepentingan bersama (Harrison,
1993).
Dalam filsafat politiknya, Hegel melihat adanya masalah dalam pandangan
ini. Baginya, hukum yang ada di masyarakat tidak pernah identik dengan
moralitas, yang berada dalam hati individu. Secara logika, ketika setiap orang
mampu menentukan dan mengatur dirinya sendiri, hal-hal yang dipikirkannya
tidak identik dengan hal hal yang terjadi di luar dirinya, yakni di masyarakat.
Moralitas yang ada di dalam diri manusia, tidak selalu bisa sejalan dengan hukum
yang berlaku di masyarakat. Jika hal ini terjadi, orang menjalankan sesuatu karena
hukum mengharuskannya, bukan karena kehendak dari dalam dirinya. Dengan
kata lain, ketika orang terlibat dalam hidup sosial, otonominya terancam sehingga
tidak lagi utuh, tetapi tinggal separuh karena harus bernegosiasi dengan orang dan
situasi sekitarnya. Oleh karena itu, demokrasi adalah demokrasi deliberatif, yakni
setiap kebijakan dibangun atas dasar diskusi rasional antara semua pihak yang
berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Dengan pola ini, otonomi setiap
individu bisa tetap terjaga walaupun status mutlaknya tidak bisa dipertahankan.
3. Nilai Kesetaraan
Menurut Harrison (1993), pada masa Yunani Kuno, kebebasan dan
kesetaraan adalah ciri utama dari demokrasi. Dengan kata lain, semakin besar
kebebasan dan kesetaraan dalam suatu masyarakat, semakin demokratislah
masyarakat tersebut.
11

Dalam sejarah perkembangan masyarakat manusia, dorongan untuk


menciptakan masyarakat demokratis sangat kuat. Hal ini terlihat dari semakin
besarnya tuntutan atas kesetaraan di berbagai bidang kehidupan, terutama bidang
politik. “Setiap kekuasaan penerus”, demikian tulis Harrison, “bertambah sebagai
tanda meningkatnya kesetaraan, membuat kelompok-kelompok yang berbeda
masyarakat memiliki kekuatan politik yang lebih setara” (Harrison, 1993).
Dengan status pengetahuan yang sahih dan nilai otonomi, kesetaraan adalah
fondasi ketiga dari demokrasi. Dengan kata lain, ketiga konsep ini adalah kondisi
bagi terciptanya demokrasi.
Di sisi lain, kesetaraan adalah suatu nilai politis. Sama seperti nilai politis
lainnya, makna dari kata kesetaraan pun terus berubah dan menjadi bagian dari
perdebatan politik di masyarakat. Ada beragam tafsiran tentang makna
sesungguhnya dari kesetaraan. Semua tafsiran tersebut mengklaim bahwa mereka
adalah fondasi yang terpenting dari demokrasi. Sebagaimana dinyatakan oleh
Harrison, kesetaraan memungkinkan terciptanya demokrasi dan demokrasi
memperbesar atmosfer kesetaraan di masyarakat.
Secara konseptual, kesetaraan adalah ide dasar dari demokrasi, bahkan sudah
inheren dalam konsep demokrasi. Di level penerapan, demokrasi pada akhirnya
menjelma menjadi vooting dan suara terbanyaklah yang menentukan keputusan
tertinggi. Dengan kata lain, demokrasi berakhir pada dominasi suara mayoritas
atas suara minoritas. Hal ini tidak terelakkan karena prosedur demokrasi niscaya
akan mengantarkan seluruh proses pembuatan keputusan pada situasi semacam
itu. Demokrasi tidak mendorong terciptanya kesetaraan, tetapi menciptakan
kesenjangan antara kepentingan mayoritas dan kepentingan minoritas. Hal inilah
yang disebut dengan demokrasi sebagai tirani mayoritas.
Lepas dari segala kekurangannya, demokrasi tetap merupakan bentuk
pemerintahan yang terbaik di antara berbagai bentuk pemerintahan lainnya, yang
lebih buruk karena demokrasi memiliki mekanisme pengecekan kekuasaan yang
paling tinggi sehingga tidak ada satu pun kekuasaan yang bisa diselewengkan
untuk waktu yang lama. Dengan mekanisme pengecekan, proses-proses yang adil
untuk mendirikan masyarakat yang cerdas, adil, dan makmur bisa dipastikan
12

berjalan. Proses-proses demokrasi dengan nilai-nilai dasarnya, seperti


pengetahuan yang mencukupi, kesetaraan, dan otonomi warga negara, cukup kuat
tertanam di masyarakat.
.
2.3 Beberapa Teori Kebijakan Publik
Pendidikan Teori dan proses kebijakan publik memiliki definisi yang tidak
hanya menekankan pada hal-hal yang diusulkan pemerintah, tetapi juga mencakup
arah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Perhatian para ilmuwan politik
terhadap studi kebijakan publik juga semakin besar. Menurut Anderson (1979),
adalah sah bagi seorang ilmuwan politik memberikan saran-saran kepada
pemerintah ataupun pemegang otoritas pembuat kebijakan agar kebijakan yang
dihasilkannya mampu memecahkan persoalan dengan baik.
Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara lebih
baik apabila konsep ini diperinci menjadi beberapa kategori, antara lain tuntutan
kebijakan, keputusan kebijakan, pernyataan kebijakan, hasil kebijakan, dan
dampak kebijakan. Dengan mengacu pada tahap-tahap kebijakan yang ditawarkan
Jones dan beberapa ahli lainnya, domain kebijakan publik meliputi penyusunan
agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi, dan penilaian
kebijakan. Kebijakan publik dibedakan menjadi analisis kebijakan, kebijakan
publik, dan anjuran kebijakan. Kebijakan publik secara garis besar mencakup
tahap-tahap perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi
kebijakan. Analisis kebijakan berhubungan dengan penyelidikan serta deskripsi
sebab dan konsekuensi kebijakan publik.
Dalam analisis kebijakan, dapat dianalisis pembentukan, substansi, dan
dampak dari kebijakan tertentu. Adapun anjuran kebijakan secara khusus
berhubungan dengan tindakan yang harus dilakukan oleh pemerintah dengan
menganjurkan kebijakan tertentu melalui diskusi, persuasi atau aktivitas politik.
Ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis kebijakan publik.
Pertama, fokus utamanya adalah penjelasan kebijakan, bukan anjuran kebijakan
yang “pantas”. Kedua, sebab dan konsekuensi dari kebijakan publik diselidiki dan
diteliti dengan menggunakan metodologi ilmiah. Ketiga, analisis dilakukan dalam
13

rangka mengembangkan teori-teori umum yang dapat diandalkan tentang


kebijakan publik dan pembentukannya sehingga dapat diterapkan di lembaga-
lembaga dan bidang-bidang kebijakan yang berbeda.
Analisis kebijakan publik sangat berguna dalam merumuskan ataupun
mengimplementasikan kebijakan publik. Teoriteori dalam analisis kebijakan
publik pada akhirnya dapat digunakan untuk mengembangkan kebijakan publik
yang baik pada masa yang akan datang..
2.4 Jenis-jenis Kebijakan Publik
Anderson (1979) mengelompokkan jenis-jenis kebijakan publik sebagai berikut :
a. Substantive and Procedural Policies.
- Substantive Policy.
Suatu kebijakan dilihat dari substansi masalah yang dihadapi oleh
pemerintah. Misalnya: kebijakan pendidikan, kebijakan ekonomi dan
lainlain.
- Procedural Policy
Suatu kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlihat dalam
perumusannya (Policy Stakeholders). Sebagai contoh: dalam pembuatan
suatu kebijakan publik meskipun ada Instansi/Organisasi Pemerintah yang
secara fungsional berwenang membuatnya, misalnya Undangundang
tentang Pendidikan, yang berwenang membuat adalah Departemen
Pendidikan Nasional, tetapi dalam pelaksanaan pembuatannya, banyak
instansi/organisasi lain yang terlibat, baik instansi/organisasi pemerintah
ataupun organisasi bukan pemerintah, yaitu antara lain DPR, Departemen
Hukum & HAM, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI), dan Presiden yang mengesahkan
Undang-undang tersebut. Instansi-instansi/organisasi-organisasi yang
terlibat tersebut disebut policy Stakeholders.
b. Distributive, Redistributive, and Regulatory
- Policies. Distributive Policy.
14

Suatu kebijakan yang mengatur tentang pemberian pelayanan/ keuntungan


kepada individu-individu, kelompok-kelompok, atau perusahaan-
perusahaan. Contoh: kebijakan tentang “Tax Holiday”
- Redistributive Policy.
Suatu kebijakan yangmengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan,
pemilikan, atau hak-hak. Contoh : kebijakan tentang pembebasan tanah
untuk kepentingan umum. Regulatory Policy. Suatu kebijakan yang
mengatur tentang pembatasan/pelarangan terhadap perbuatan/tindakan.
Contoh : kebijakan tentang larangan memiliki dan menggunakan senjata
api.
c. Material Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian/ penyediaan sumber-
sumber material yang nyata bagi penerimanya. Contoh: kebijakan pembuatan
rumah sederhana
d. Public Goods and Private Goods Policies.
- Public Goods Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan
barangbarang/pelayanan-pelayanan oleh pemerintah, untuk kepentingan
orang banyak. Contoh: kebijakan tentang perlindungan keamanan,
penyediaan jalan umum.
- Private Goods Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan
barangbarang/pelayanan-pelayanan oleh pihak swasta, untuk kepentingan
individu-individu (perorangan) di pasar bebas, dengan imbalan. Contoh:
kebijakan pengadaan barang-barang /pelayanan untuk keperluan
perorangan, misalnya tempat hiburan, hotel dan lain-lain.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas bahwa studi kebijakan publik merupakan
studi yang amat luas dan multisipliner. Secara praktik, kebijakan publik memiliki
andil dalam dunia administrasi. Dalam manajemen administrasi pendidikan
sendiri kebijakan publik dapat memberikan pengaruh yang besar. Bagaiamna pun
pendidikan sebagai bagian dari masyarakat akan terdamapak secara langsung dari
kebijakan yang tengah digulirkan.

3.2 Saran
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyarankan adanya kajian lebih
mendalam terkait dimensi kebijakan publik yang secara langsung bersinggungan
dengan praktik administrasi pendidikan. Hal dirasa dapat membuka pemahaman
baru terkait bagaimana pendidikan terdampak langsung terhadap kondisi
masyarakat akibat kebijakan yang bergulir.

15
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J (1979). Public Policy Making. (Second ed.). New York: Hal Renehart
and Winston
Dye, Thomas R. (1981). Understanding public policy. New Jersey: Prentice-Hal.
Firman, F. (2019). Partisipasi Masyarakat Dalam Kebijakan Publik Bidang
Pendidikan Di Kabupaten Jombang. Jurnal Pedagogi : Jurnal Penelitian Dan
Pendidikan, 1(1), 11-17. Retrieved from
https://jurnalpedagogi.org/index.php/pedagogi/article/view/9
Harrison, R. (1993). Democracy. London: Routledge.
Hughes, Owen E. (1994). Public Management And Administration, An
Introduction, London: Martin Press.
Patton, CV. & David S.W. (1986). Basic Methods of Policy Analysis and
Planning. USA: Prentice-Hal, Inc., Englewood Cliffs,N.J.07632.
Subarsono, AG (2005). Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

16

Anda mungkin juga menyukai