Anda di halaman 1dari 240

KULIAH ANALISIS KEBIJAKAN

Bambang kusbandrijo

Daftar Isi
Bab Satu : Pengantar Studi Analisis Kebijakan Publik
1. Studi Kebijakan Publik dan Analisis Kebijakan
Publik
2. Barang Publik
3. Kepentingan Pubik
4. Latihan
Bab Dua : Analisis Untuk Kebijakan dan Analisis Terhadap Kebijakan
1. Kontroversi
2. Peran Analis Kebijakan Publik
3. Keahlian Dasar Analis Kebijakan Publik
4. Latihan
Bab Tiga : Kerangka Analisis Kebijakan
1. Kerangka Analisis Kebijakan Publik
2. Model untuk Analisis Kebijakan
3. Latihan
Bab Empat : Tahapan Aktivitas Analisis Kebijakan Publik
1. Tahapan Analisis Kebijakan Publik
2. Latihan
Bab Lima : Metode Kuantitatif Analisis Kebijakan Publik
1. Cost Benefit Analysis
2. Analytical Hierarchy Process
3. Latihan
Bab Enam : Metode Kualitatif Analisis Kebijakan Publik
1. Participatory Impact Analysis
2. Studi Kasus
3. Latihan
Bab Tujuh : Model dan Tehnik Analisis Kebijakan
1. Analisis Agenda Setting
2. Analisis Formulasi Kebijakan
3. Analisis Implementasi
4. Analisis Monitoring Kebijakan
5. Latihan
Bab Delapan : Menyusun Naskah/Dokumen Keijakan
1. Policy Memo
2. Policy Paper
3. Policy Brief
4. Policy Poster
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dinamika perubahan sosial, ekonomi, politik yang sangat cepat baik di tingkat
lokal, nasional maupun global memerlukan respon yang cepat, sekaligus
menyiapkan antisipati terhadap munculnya dampak-dampak yang mungkin
muncul. Contoh terkini tentang perubahan tata kelola ekonomi politik regional
seperti terbentuknya kerjasama regional Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
misalnya, akan membawa tantangan baru bagi Indonesia. Indonesia harus
menghadapi kompetisi dengan negara lain di satu sisi, sekaligus memerlukan
prioritas strategi dalam negeri. Barang- barang dan jasa akan masuk Indonesia
tanpa hambatan tarif, mobilitas sektor produksi barang dan jasa akan semakin
cepat, persaingan antara tenaga lokal dengan tenaga asing, investasi asing akan
semakin luas pada sektor usaha strategis yang selama ini tidak diantisipasi dan
direspon secara serius.
Contoh tersebut hanya salah satu bentuk tantangan dari sekian banyak isu-isu
lain yang harus segera direspon baik oleh pemerintah maupun masyarakat
Indonesia secara umum. Beberapa isu penting yang mendesak untuk diselesaikan
dalam bentuk kebijakan misalnya kualitas lingkungan hidup, hak konsumen,
definisi hak milik, kontrol terhadap munculnya teknologi baru yang kurang
kompatibel dengan kondisi masyarakat, integrasi pasar dalam negeri kedalam
pasar global dan beberapa isu mendesak lainnya. Merujuk pada tantangan yang
dihadapi oleh Indonesia seperti ini, maka dibutuhkan respon strategis yang
menjamin tercapainya produk kebijakan yang berkualitas yang mampu
memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat. Kualitas kebijakan pada
akhirnya menjadi keharusan, karena perubahan tata kelola ekonomi tersebut
memiliki dampak bagi masyarakat. Kualitas kebijakan yang rendah dapat dikenali
melalui beberapa aspek, misalnya rendahnya tingkat kepatuhan yang
mengakibatkan biaya sosial kebijakan yang tinggi; prosedur yang berlebihan
dengan hasil yang tak terduga atau tumpang tindih dengan kebijakan lain, dan
ketidakjelasan urgensi keberadaan suatu kebijakan publik. Oleh karenanya,
kebijakan publik akan selalu memperoleh perhatian yang luas karena menyangkut
kepentingan orang banyak yang berdampak luas pada masyarakat.
Berangkat dari kondisi itulah modul ini disusun untuk memberikan
pemahaman dan keterampilan dasar kepada peserta pelatihan tentang cakupan
ilmu kebijakan publik dan perkembangannya melalui pembelajaran tentang
kebijakan publik dalam kehidupan bernegara, perkembangan ilmu kebijakan
publik, siklus kebijakan publik, aktor dalam kebijakan publik, agenda setting
(isu, masalah, dan agenda), serta praktek perumusan masalah kebijakan.
Penguasaan materi konsep dan studi kebijakan publik menjadi dasar yang penting
dalam mempelajari kebijakan publik. Penguasaan materi konsep dan studi
kebijakan publik ini selanjutnya menjadi bahan yang penting pula dalam
mempelajari materi-materi berikutnya, karena akan berkaitan erat dengan
konsep kebijakan publik.

B. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini memfasilitasi pemahaman pengetahuan dan keterampilan
peserta pelatihan tentang cakupan ilmu kebijakan publik dan
perkembangannya melalui pembelajaran tentang Kebijakan Publik dalam
Kehidupan bernegara, Perkembangan Ilmu Kebijakan Publik, Siklus
Kebijakan Publik, Aktor dalam Kebijakan Publik, Agenda Setting (isu,
masalah, dan agenda), serta Praktek Perumusan Masalah Kebijakan. Mata
Ajar disajikan secara interaktif, melalui kombinasi metode ceramah
interaktif, tanyajawab, dan diskusi. Keberhasilan peserta dinilai dari
kemampuannya dalam menjelaskan hubungan antara masalah publik dan
peran negara, serta mampu mengidentifikasi jenis-jenis studi kebijakan.
Modul ini terdiri dari 4 bab, untuk keberhasilan mempelajari modul ini,
peserta dapat melakukan berbagai kegiatan belajar, baik secara mandiri
maupun berkelompok serta dalam modul ini terdapat kumpulan studi kasus
yang dilampirkan pada akhir modul untuk melatih dan memperkaya ilmu
peserta. Selain itu untuk menambah wawasan mengenai mata ajar konsep
dan studi kebijakan publik, peserta dapat menggunakan referensi lain selain
dari modul ini setelah berkonsultasi dengan narasumber (tenaga
pengajar).

C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta memiliki pemahaman tentang
ilmu kebijakan publik dan perkembangannya serta kemampuannya dalam
merumuskan masalah kebijakan, yang dinilai dari kemampuan peserta
dalam:
a. Menjelaskan fenomena dalam masyarakat (sosial, politik, budaya
dan lainnya) dan hubungannya dengan kebijakan publik.
b. Menunjukkan hubungan antara berbagai fenomena dalam
masyarakat sebagai bahan penyusunan kebijakan.
c. Menyimpulkan konsep urusan/masalah publik dan privat (public vs
private affairs).
d. Mengidentifikasi urusan/masalah publik dan privat (public
vs private affairs).
e. Menyebutkan peran negara (kapan dan bagaimana) dalam
menyelesaikan permasalahan publik.
f. Menjelaskan konsep dan jenis studi kebijakan.
g. Mendemonstrasikan hubungan antara permasalahan publik dan jenis
kebijakan.

D. MATERI POKOK DAN SUB MATERI POKOK


Materi dan submateri pokok yang akan dibahas dalam modul ini yaitu:
1. Fenomena dalam Masyarakat, Peran Negara, dan Hubungan-
nya dengan Kebijakan Publik
a. Indikator Hasil Belajar
b. Definisi dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik
c. Sistem Kebijakan
d. Proses Kebijakan Publik
e. Analisis Kebijakan
f. Latihan
g. Rangkuman
2. Konsep, Jenis Studi Kebijakan, Serta Masalah Publik dan Privat
(Public vs Private)
a. Indikator Hasil Belajar
b. Jenis Kebijakan
c. Pengambilan Keputusan dalam Kebijakan Publik
d. Tantangan Kebijakan Publik
e. Latihan
f. Rangkuman
3. Penutup
a. Simpulan
b. Tindak Lanjut

A. DEFINISI DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN PUBLIK


Di tengah-tengah kelangkaan sumberdaya yang terbatas, dengan
berbagai masalah publik yang makin kompleks, pemerintah dituntut untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, agar tidak menimbulkan
implikasi yang tidak diinginkan. Oleh karena pemerintah dihadapkan pada
situasi keterbatasan sumber daya di satu sisi dan masalah-masalah publik
yang makin kompleks di sisi yang lain, maka pemerintah tidak mungkin
menyelesaikan masalah- masalah tersebut secara bersamaan. Pemerintah
harus menentukan pilihan penyelesaian masalah-masalah publik tersebut
berdasarkan
prioritas. Kebijakan publik secara sederhana merupakan bentuk pernyataan
formal dari pemerintah tentang pilihan terbaik dari berbagai alternatif
penyelesaian masalah publik. Sudah barang tentu pemerintah dituntut
memiliki kemampuan yang memadai agar mampu menyesuaikan diri dengan
dinamika perubahan lingkungan. Dalam hal ini peran kebijakan publik dan
perumus kebijakan publik menjadi sangat vital. Mengutip pendapat Dewey
(1927), kebijakan publik menitikberatkan pada “publik dan masalah-
masalahnya”. M.C. Lemay (2002) menyebut kebijakan sebagai a purposive
course of action followed by an actor or set of actors in dealing with
problems. Kebijakan publik dibuat sebagai reaksi atas masalah publik yang
muncul. Selanjutnya kemampuan menyelesaikan masalah-masalah publik
menjadi titik sentral dalam kebijakan publik.
Dalam berbagai literatur, kebijakan publik didefinisikan secara beragam,
karena dalam suatu disiplin ilmu terdapat perspektif atau cara pandang yang
bervariasi. Dari berbagai definisi, kebijakan publik memiliki lingkup
yang sangat luas. Hogwood dan Gunn (1984) menyebutkan 10
penggunaan istilah kebijakan, yang menunjukkan makna yang berbeda-
beda:
1. Kebijakan sebagai label untuk sebuah aktivitas, misal: kebijakan
pendidikan, kebijakan industri;
2. Kebijakan sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang
diharapkan, misal kebijakan tentang pelayanan publik yang berkualitas
dan terjangkau oleh seluruh masyarakat, kebijakan pengurangan angka
kemiskinan;
3. Kebijakan sebagai proposal spesifik, misal kebijakan
pengurangan subsidi bahan bakar minyak;
4. Kebijakan sebagai keputusan pemerintah, misal: Keppres,
keputusan menteri;
5. Kebijakan sebagai otorisasi formal, misal: keputusan DPR;
6. Kebijakan sebagai sebagai sebuah program, misal: program
pengarusutamaan gender;
7. Kebijakan sebagai sebuah keluaran (output), misal pengalihan subsidi
bahan bakar minyak untuk mendorong pengembangan usaha kecil;
8. Kebijakan sebagai sebuah hasil (outcome), misal: peningkatan nilai
investasi dan pendapatan pengusaha kecil sebagai implikasi
pengalihan subsidi bahan bakar minyak untuk usaha kecil;
9. Kebijakan sebagai sebagai teori atau model, misal: jika infrastruktur
fisik wilayah Indonesia Timur diperbaiki maka perkembangan sosial
ekonomi wilayah itu semakin meningkat; dan
10. Kebijakan sebagai sebuah proses, misal pembuatan kebijakan dimulai
sejak penetapan agenda, keputusan tentang tujuan, implementasi
sampai dengan evaluasi.

Mengikuti definisi Thomas Dye (1975) misalnya, hampir semua yang


diputuskan atau tidak diputuskan oleh pemerintah termasuk dalam definisi
sebagai kebijakan (Whatever governments choose to do or not to do).
Friedrich (2007) mengatakan bahwa kebijakan adalah keputusan yang
diusulkan oleh individu, kelompok atau pemerintah yang bertujuan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan. Sejalan dengan Friedrich, Sharkansky
(1970) mendefinisikan kebijakan sebagai tindakan pemerintah untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Definisi-definisi tersebut memandang
bahwa kebijakan publik merupakan instrumen untuk mencapai tujuan.
Selanjutnya definisi kebijakan publik juga bisa dilihat dari sisi aktor
pembuat kebijakan, yang menekankan pentingnya peran aktor dalam
membuat kebijakan. Anderson (1979) mendefinisikan kebijakan publik
sebagai serangkaian tindakan yang dipilih secara sengaja oleh seorang aktor
atau sekelompok aktor yang dimaksudkan untuk mengatasi suatu masalah.
Lester dan Stewart (1996) mengartikan kebijakan sebagai proses atau
rangkaian kegiatan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan publik.
Selanjutnya Somit dan Peterson (2003) mendefinisikan kebijakan publik
sebagai aksi pemerintah. Pada beberapa definisi tersebut, ada penekanan
peran penting beberapa aktor dan bukan aktor tunggal dalam dalam
pengambilan kebutusan. Kebijakan publik merupakan aksi kolektif dari
beberapa aktor. Aksi kolektif tersebut menjadi hal yang tidak mungkin
dihindari mengingat proses menghasilkan kebijakan publik itu tidaklah
sederhana. Seperti yang diyakini oleh Kay (2006), kebijakan publik
didapatkan dari proses yang cukup rumit, mengingat bahwa terdapat beragam
keputusan yang dihasilkan oleh beberapa aktor yang tersebar di seluruh
organisasi pemerintah dalam tingkatan yang berbeda.

B. SISTEM KEBIJAKAN
Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh lingkungan. Dunn (2004) menyebutkan 3 (tiga)
elemen kebijakan: pelaku/aktor kebijakan, lingkungan kebijakan dan
kebijakan publik. Kebijakan publik lahir karena tuntutan-tuntutan yang
merupakakan serangkaian pengaruh lingkungan, dan kemudian
ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Dalam waktu yang
bersamaan ada keterbatasan dan konstrain dari lingkungan yang akan
mempengaruhi pembuat kebijakan. Faktor lingkungan tersebut antara lain:
karakteristik sosial ekonomi, sumberdaya alam, iklim, topografi, demografi,
budaya dan sebagainya.
Gambar 2.1. Hubungan Tiga Elemen Sistem Kebijakan

Pelaku Kebijakan

Lingkungan Kebijakan Publik


Kebijakan

Sumber: Dunn, 2004.

Gambar 2.1 sekaligus menjelaskan bahwa, meskipun dari berbagai


definisi tentang kebijakan publik menyiratkan bahwa pemerintah yang paling
memiliki otoritas pembuatan kebijakan, akan tetapi pembuatan kebijakan
tidak berlaku di ruang hampa. Salah satu peran pokok pemerintah adalah
peran regulasi. Namun demikian, dalam lingkungan negara yang
demokratis, peran ini tentunya tidak selalu menjadi peran dominan
pemerintah. Seluruh aktor kebijakan, pemerintah dan non pemerintah secara
kolektif bisa memberikan kontribusinya.

C. PROSES KEBIJAKAN PUBLIK


Proses kebijakan terkait dengan kegiatan membuat pilihan- pilihan
kebijakan beserta tahapannya, yang mempertimbangkan berbagai faktor
dalam lingkungan kebijakan. Seperti yang ditulis oleh Harold Laswell,
pertimbangan tersebut berkenaan dengan who get what, when and how.
Dalam pandangan David Easton (Dye, 1972) ketika pemerintah membuat
kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasikan nilai-nilai
kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai
di dalamnya. Oleh karena itu, dalam setiap pembuatan kebijakan akan
bersinggungan dengan kepentingan publik yang kompleks.
Konsekuensinya pembuatan kebijakan akan selalu melibatkan publik.
Ketika globalisasi semakin meluas, aktor-aktor internasional pun tidak
dapat dilepaskan sebagai bagian yang penting dalam pembuatan
kebijakan publik (bahkan ketika isu yang dibahas adalah isu domestik).
Secara terperinci, Subarsono (2006) menjelaskan kerangka kerja
kebijakan, yang dalam realitasnya ditentukan oleh beberapa aspek sebagai
berikut.
(1) Tujuan yang akan dicapai. Ini mencakup kompleksitas tujuan yang
akan dicapai. Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka akan
sulit mencapai kinerja kebijakan yang diinginkan. Sebaliknya, apabila
tujuan kebijakan semakin sederhana, maka semakin mudah untuk
mencapainya.
(2) Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam
pembuatan kebijakan. Suatu kebijakan yang mengandung beberapa
preferensi nilai akan lebih sulit untuk dicapai dibandingkan dengan
suatu kebijakan yang hanya mengejar satu nilai saja.
(3) Sumberdaya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan
akan ditentukan oleh sumberdaya: finansial, material dan infrastruktur
lainnya.
(4) Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Kualitas
suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kualitas para aktor yang terlibat
dalam proses pembuatan dan penetapan kebijakan.
(5) Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan
sebagainya. Kinerja kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks sosial,
ekonomi, politik pada tempat atau wilayah kebijakan tersebut
diimplementasikan.
Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi
implementasi akan mempengaruhi kinerja kebijakan. Strategi tersebut
dapat bersifat top-down atau bottom up approach; otoriter atau
demokratis.
Selanjutnya, Dunn (2004) menjelaskan proses kebijakan publik sebagai
berikut: (1) penetapan agenda kebijakan (agenda setting), dengan
menentukan masalah publik apa yang akan diselesaikan;
(2) formulasi kebijakan, dengan menentukan kemungkinan kebijakan yang
akan digunakan dalam memecahkan masalah melalui proses forecasting
(konsekuensi dari masing-masing kemungkinan kebijakan ditentukan); (3)
adopsi kebijakan, menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para
eksekutif dan legislatif, yang sebelumnya dilakukan proses usulan atau
rekomendasi kebijakan; (4) implementasi kebijakan, tahapan dimana
kebijakan yang telah diadopsi tersebut dilaksanakan oleh organisasi atau unit
administratif tertentu dengan memobilisasi dana dan sumberdaya untuk
mendukung kelancaran implementasi. Pada tahap ini, proses pemantauan
(monitoring) kebijakan dilakukan; (5) evaluasi kebijakan, adalah tahap
melakukan penilaian kebijakan atau kebijakan yang telah diimplementasikan.
Shafritz dan Russel (1997) menjelaskan proses pembuatan kebijakan
sebagai sebuah siklus, dimulai dari (1) agenda setting dimana masalah-
masalah publik diindentifikasi menjadi masalah kebijakan, (2) memutuskan
untuk melakukan atau tidak melakukan kebijakan, (3) melaksanakan
kebijakan (implementasi), (4) evaluasi kebijakan (baik berupa program atau
kegiatan) beserta dampaknya, dan (5) melakukan umpan balik, yakni
memutuskan apakah kebijakan tersebut akan diteruskan, direvisi atau
dihentikan.
Proses kebijakan publik menurut Dunn (2004), pada praktiknya tidak
berbeda dengan yang disampaikan oleh Shafritz dan Russel (1997),
kecuali menetapkan pelaksanaan proses umpan balik untuk menentukan
kelanjutan kebijakan yang sudah ada. Dunn juga menekankan pentingnya
umpan balik, namun tidak secara eksplisit dalam satu tahapan khusus,
begitu pula dengan Anderson (1979) yang memberi istilah agenda setting
dengan formulasi masalah.
Dari perspektif demokrasi, kebijakan publik yang akan diimplementasikan
harus mendapatkan dukungan dari publik, yang bisa digali dengan berbagai
metode aspirasi, seperti dengar pendapat atau konsultasi publik, diskusi
kelompok terfokus, dan sebagainya. Informasi dari publik sangat penting
karena kemampuan wawasan, pengetahuan dan penguasaan pembuat
kebijakan tentang masalah-masalah publik kadangkala terbatas. Selain itu,
dapat diasumsikan bahwa keterlibatan publik yang lebih tinggi dalam proses
pembentukan kebijakan, semakin tinggi rasa memiliki dan dukungan publik
untuk kebijakan, sehingga mendorong penerapan dan penegakan kebijakan
yang efektif. Partisipasi pemangku kepentingan dan konsultasi publik ini
penting untuk meningkatkan transparansi, membangun kepercayaan publik
dan mengurangi risiko implementasi. Peran analis kebijakan adalah untuk
memastikan bahwa kebijakan yang dibuat akan memecahkan masalah publik.
Dengan kata lain, kebijakan publik dibuat untuk kepentingan publik yang
luas, bukan hanya untuk menjaga kepentingan para pembuat kebijakan atau
kelompok tertentu. Dunn (2004) menjelaskan keterkaitan hubungan antara
peran pembuat kebijakan dengan analis kebijakan dalam menghasilkan
informasi kebijakan (Gambar 2.1). Untuk menghasilkan informasi kebijakan
yang tepat yang mendorong terwujudnya kebijakan publik yang berkualitas,
maka diperlukan dukungan metode analisis kebijakan.

D. ANALISIS KEBIJAKAN
Kebijakan publik membahas soal bagaimana isu-isu dan persoalan publik
disusun (constructed) dan didefinisikan, dan bagaimana kesemuanya itu
diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik (Parsons, 2001). Oleh
karena itu, analisis diperlukan untuk mengetahui substansi kebijakan yang
mencakup informasi mengenai permasalahan yang ingin diselesaikan dan
dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari kebijakan yang
diimplementasikan (Dunn, 2004). Analisis kebijakan merupakan penerapan
berbagai metode penelitian yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok
analis kebijakan yang bertujuan untuk mendapatkan berbagai data dan
mengolahnya menjadi informasi yang relevan terhadap suatu kebijakan
(policy information) untuk selanjutnya digunakan membantu merumuskan
(formulation) suatu masalah publik yang rumit dan kompleks menjadi lebih
terstruktur (well-structured policy problem) sehingga memudahkan dalam
merumuskan dan memilih berbagai alternatif kebijakan (policy alternatives)
yang akan digunakan untuk memecahkan suatu masalah kebijakan untuk
direkomendasikan kepada pembuat kebijakan (policy maker).
Seorang analis kebijakan bekerja mengikuti tahapan proses perumusan
kebijakan, baik yang bersifat teknokratis maupun politis. Dalam proses
teknokratis, analis kebijakan menggunakan kemampuan metodologis dan
substansi kebijakan untuk mengolah data menjadi informasi kebijakan,
sehingga memudahkan dirinya untuk merumuskan beberapa alternatif pilihan
kebijakan. Pilihan- pilihan sebagai alternatif kebijakan tersebut selanjutnya
diusulkan kepada pembuat kebijakan sebagai rekomendasi kebijakan. Dalam
proses yang bersifat politis, analis kebijakan menggunakan informasi
kebijakan untuk menggalang dukungan dari para pemangku kepentingan
sehingga tahapan proses perumusan masalah, alternatif sampai dengan
rekomendasi kebijakan dapat berjalan lancar. Dalam proses ini seorang
analisis perlu memiliki kecakapan politik sehingga mampu menjalin
hubungan dengan aktor-aktor kebijakan baik di pemerintah maupun
institusi non pemerintah termasuk kelompok masyarakat sipil. Hal ini
penting untuk memastikan bahwa informasi kebijakan yang dihasilkan para
analis dapat dipahami oleh pemangku kepentingan dan untuk
menjadikannya sebagai basis informasi dalam proses pengambilan
keputusan. Meminjam istilah yang digunakan Parson (2001), maka dapat
disimpulkan bahwa seorang analis akan bekerja dalam dua kategori luas: (1)
Analisis proses kebijakan, yakni bagaimana cara mendefinisikan masalah,
menetapkan agenda, merumuskan kebijakan, mengambil keputusan, serta
mengimplementasikan dan mengevaluasi kebijakan; (2) Analisis dalam dan
untuk proses kebijakan, yang mencakup kajian penggunaaan teknis analisis,
riset, dan advokasi dalam pendefinisian masalah, pengambilan keputusan,
implementasi dan evaluasinya.
Informasi yang dibutuhkan dalam proses perumusan kebijakan adalah: (i)
apa masalah kebijakan; (ii) apa hasil-hasil yang diharapkan dari suatu
kebijakan di masa depan; (iii) apa pilihan kebijakan yang paling ideal untuk
menghasilkan hasil kebijakan yang diharapkan tersebut; (iv) apa hasil
kebijakan yang didapat setelah diimplementasikan; (v) bagaimana kinerja
suatu kebijakan, apakah kebijakan tersebut mampu memecahkan masalah
yang dirumuskan. Untuk dapat menghasilkan informasi kebijakan tersebut
tugas analis kebijakan adalah: (i) merumuskan masalah; (ii) membuat
forecasting; (iii) memberikan rekomendasi; (iv) melakukan monitoring, dan
(v) melakukan evaluasi.
Gambar 2.2. Hubungan antara Peran Pembuat Kebijakan dengan Analis
Kebijakan dalam Menghasilkan Informasi Kebijakan

Peran pembuat kebijakan (Policy Informasi kebijakan yang Peran analis kebijakan
Maker) dihasilkan (Policy Analyst)

Penyusunan Agenda Permasalahan kebijakan (Policy Perumusan Masalah


Problems)

Hasil yang diharapkan (Expected


Formulasi Kebijakan Peramalan
Outcomes)

Kebijakan yang dipilih (Prefered


Adopsi Kebijakan Rekomendasi
Policies)

Pengamatan hasil kebijakan


Implementasi Kebijakan Pengamatan
(Observed Policy Outcomes)

Kinerja kebijakan (Policy


Penilaian Kebijakan Penilaian
Performance)

Sumber: Diadaptasi dari Dunn (2004)

E. LATIHAN
1. Sebutkan definisi kebijakan publik yang pengertiannya bisa
juga dilihat dari sisi aktor pembuat kebijakan!
2. Gambarkan 3 elemen hubungan kebijakan publik!
3. Jelaskan proses kebijakan menurut Dunn!
4. Sebutkan informasi apa saja yang dibutuhkan dalam proses
perumusan kebijakan!

F. RANGKUMAN
Pembuatan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
lingkungan. Kebijakan publik lahir karena tuntutan- tuntutan yang
merupakakan serangkaian pengaruh lingkungan, dan kemudian
ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Transformasi ini dilakukan
oleh berbagai aktor negara, dimana negara menjadi aktor utama. Namun
demikian, dalam lingkungan Negara yang demokratis, peran ini tentunya
tidak selalu menjadi peran dominan pemerintah. Seluruh aktor kebijakan,
pemerintah dan non pemerintah secara kolektif bisa memberikan
kontribusinya.

KONSEP, JENIS STUDI KEBIJAKAN, SERTA MASALAH PUBLIK DAN PRIVAT


(PUBLIC VS PRIVATE AFFAIRS)

A. INDIKATOR HASIL BELAJAR


Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan dapat:
1. Menyimpulkan konsep urusan/masalah publik dan privat (public vs
private affairs).
2. Mengidentifikasi urusan/masalah publik dan privat (public vs
private affairs).
3. Mampu menjelaskan konsep dan jenis studi kebijakan.
4. Mampu mendemonstrasikan hubungan antara permasalahan publik
dan jenis kebijakan.

B. JENIS KEBIJAKAN
Untuk memahami instrumen kebijakan apakah yang dipakai oleh
pemerintah untuk memecahkan suatu masalah, maka perlu diketahui jenis
kebijakannya. Jenis kebijakan akan membantu pemahaman aktor kebijakan
termasuk masyarakat, mengapa suatu kebijakan lebih penting dari kebijakan
yang lain; siapa aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan pada
tahap mana peran seorang aktor lebih penting dibanding dengan yang lain.
Anderson (1979) membuat kategori jenis kebijakan sebagai berikut.
1. Kebijakan substantif dan kebijakan prosedural. Kebijakan substantif
adalah jenis kebijakan yang menyatakan apa yang akan dilakukan
pemerintah atas masalah tertentu, misalnya kebijakan pengurangan
angka kemiskinan melalui kebijakan beras miskin. Kebijakan
prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat
dijalankan. Kebijakan ini bersifat lebih teknis, tentang standard dan
prosedur (atau Standard Operating Procedure), kriteria warga
masyarakat yang berhak mendapat bantuan.
2. Kebijakan distributif, kebijakan regulatif dan kebijakan re- distributif.
Kebijakan distributif adalah kebijakan yang bertujuan untuk
mendistribusikan atau memberikan akses yang sama atas sumberdaya
tertentu, misalnya kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Kebijakan regulatif adalah kebijakan yang mengatur perilaku orang
atau masyarakat, misal kebijakan menggunakan sabuk pengaman jika
mengendarai atau menjadi penumpang dalam mobil. Kebijakan
redistributif adalah kebijakan yang mengatur pendistribusian
pendapatan atau kekayaan seseorang, untuk didistribusikan kembali
kepada kelompok yang perlu dilindungi untuk tujuan pemerataan,
misal kebijakan pajak progresif, kebijakan subsidi silang, kebijakan
subsidi BBM.
3. Kebijakan material dan kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah
kebijakan yang sengaja dibuat untuk memberikan keuntungan
sumberdaya yang konkrit pada kelompok tertentu, misal kebijakan
beras untuk orang miskin. Kebijakan simbolis adalah kebijakan yang
memberikan manfaat dan penghormatan simbolis pada kelompok
masyarakat tertentu, misalnya kebijakan libur Natal untuk orang
beragama Kristen/Katolik, libur Waisak untuk menghormati orang
beragama Budha, atau libur Idul Fitri untuk menghormati orang
beragama Islam.
4. Kebijakan yang berhubungan dengan barang publik (public goods)
dan barang privat (private goods). Kebijakan barang publik adalah
kebijakan yang mengatur tata kelola dan pelayanan barang-barang
publik, seperti kebijakan pengelolaan ruang publik/fasilitas umum,
jalan raya. Kebijakan barang privat adalah kebijakan yang mengatur
tata kelola dan pelayanan barang-barang privat, misalnya pengaturan
parkir, penataan pemilikan tanah.

C. PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEBIJAKAN PUBLIK


Kotak 3.1 memperlihatkan berbagai ragam sumber kebutuhan kebijakan
yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan permasalahan publik yang
semakin kompleks. Keberhasihan penetapan jenis intervensi atau jenis
pendekatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan/ permasalahan
tersebut sangat ditentukan dengan keberhasilan aktor kebijakan dalam
mengidentifikasi permasalahan publik. Isu dan masalah apa yang akan
mendapat perhatian besar dari masyarakat dan berbagai pihak (elite,
kelompok kepentingan, media massa). Fischer dkk (eds., 2007) mengutip
pendapat Hilgartner and Bosk menyebutkan bahwa tidak ada satu aktor
kebijakan (baik dari pemerintah, kelompok sosial, kelompok politik) yang
memiliki kapasitas untuk merespon dan menindaklanjuti semua isu/ masalah
yang muncul di setiap waktu.

Kotak 3.1. SUMBER KEBUTUHAN KEBIJAKAN

Peraturan Perundang-undangan.
Program Legislasi.
Dokumen Perencanaan (Rencana Pembangunan
Jangka Pendek, Menengah, Panjang, Rencana
Stratejik).
Isu-isu Aktual.
Sumber: LAN, 2012

Isu/masalah mendapat perhatian besar dengan berbagai alasan misalnya


menyangkut kepentingan orang banyak, mencapai titik kritis untuk segera
diselesaikan, berdampak luas pada masyarakat, berhubungan dengan nilai-
nilai yang berkembang pada masyarakat, misal demokrasi, keadilan,
keluarga, serta memiliki implikasi pada anggaran publik. Sumber masalah
atau ketidakpuasan tersebut bisa dari masalah lama yang belum menjadi
agenda publik sebelumnya, masalah yang benar-benar baru sebagai akibat
pembangunan, sisa persoalan kebijakan sebelumnya atau pun karena adanya
kegagalan dalam implementasi sebuah kebijakan.
Peran aktor kebijakan tidak berhenti pada kegiatan mengenali masalah
kebijakan, namun juga harus memperjuangkan isu/ masalah tersebut diantara
berbagai isu/masalah yang lain untuk masuk dalam tindakan publik (agenda-
setting) dan menjadi agenda pembahasan formal. Agenda adalah sekumpulan
masalah, penyebab atas masalah-masalah tersebut, simbol-simbol, dan
elemen lain dari masalah publik yang mendapat perhatian dari berbagai pihak
(legislatif dan eksekutif) (Fischer dkk (eds.), 2007). Agenda juga memuat
strategi bagaimana penyelesaian terbaik masalah/isu tersebut, bagaimana
pemerintah harus bertindak, apakah harus diserahkan pada pihak swasta,
organisasi non profit, atau kerja sama antar beberapa institusi tadi.

Kotak 3.2. Barang Publik dan Dilema Sosial

Siapa yang harus menyelesaikan masalah publik? Apakah harus


selalu pemerintah? Urusan-urusan apa yang dapat dikelola oleh pihak
swasta? Adalah beberapa pertanyaan yang selalu muncul ketika kita
berbicara mengenai kebijakan publik. Hal tersebut membawa
pertanyaan selanjutnya mengenai apakah masalah publik itu?
Kebijakan publik sangat terkait dengan pemenuhan kebutuhan
(barang/jasa) bagi masyarakat luas, kita kenal sebagai barang publik.
Bagaimana mengenali barang publik tersebut? Barang publik adalah
barang yang dikonsumsi oleh banyak orang secara bersama-sama
dan produsennya tidak mampu melakukan pencegahan terhadap
pihak lain untuk mengkonsumsinya.

Untuk pengadaan barang publik Corduneanu-Huci dkk (1976) menyebutkan keberadaan


dilema sosial sebagai penghambat
bagi individu atau kelompok sosial untuk bekerja sama
menyediakan barang publik. Jika orang lain sudah melakukan
sesuatu dan saya juga mendapatkan manfaat dari kegiatan
tersebut mengapa saya harus melakukan sesuatu? Alam
menyediakan barang/jasa secara gratis, mengapa saya harus membayar? Jika manfaat umum
lebih banyak daripada manfaat
terhadap individu/organisasi, mengapa saya yang harus
melakukan sesuatu. Dari sisi ekonomi, terdapat kesulitan untuk
menganalisis keberadaan barang ini, mekanisme jual beli tidak
dapat diterapkan (kegagalan pasar). Tragedy of the common, free
rider, exsternalities, prisoner’s dilema, dan juga the logic of
collective action adalah karakter lain yang muncul dalam barang
publik, natural monopoli, maupun barang milik umum. Hanya
pada barang privat mekanisme pasar dapat dijalankan secara
efektif.
Tanpa adanya pihak yang menyeimbangkan dilema tersebut,
permasalahan publik tidak akan pernah selesai. Pemerintah yang
memiliki anggaran (dari pajak) dianggap memiliki tanggung
jawab untuk pengadaan barang ini baik melalui pengadaan
langsung, kerja sama dengan pihak swasta (subsidi dan insentif
lain) maupun strategi lainnya.
Pertimbangan intervensi pemerintah dalam penyediaan barang
publik antara lain didasarkan pada pertimbangan:
1. Keadilan (equity) – sehingga orang dengan berbagai
perbedaan level memiliki akses yang sama terhadap barang/
jasa.
2. Kebutuhan (needs) bukan kemampuan untuk membayar.
3. Efisiensi (efficiency) – lebih mudah untuk menyediakan secara
kolektif dalam skala besar.
4. Mengurangi masalah the free-rider terkait dengan barang
publik murni.
Terdapat berbagai faktor dan variabel yang mempengaruhi
pengambilan keputusan dalam kebijakan publik, misalnya
lingkungan kebijakan, kualitas proposal kebijakan, interest aktor
kebijakan. Untuk mendapatkan sebuah isu atau kebijakan yang tepat’ dan ‘urgent’ aktor
kebijakan perlu secara rasional
mempertimbangkan berbagai faktor dan konsekuensinya. Namun
demikian dalam prakteknya, keberadaan berbagai faktor dan
variabel tersebut di atas dengan dinamikanya dan sensitifitasnya
pada situasi (tertentu) menyebabkan kondisi ‘rasional murni’ itu
jarang terjadi.
Proses perumusan atau pemilihan masalah (dan juga tahapan
lain dalam proses perumusan kebijakan publik) seringkali
‘irrasional’ karena keberadaan berbagai variabel dan faktor yang
secara dinamis memberikan kemungkinan yang berbeda terhadap
berbagai pihak yang terkait dengan keberadaan kebijakan publik
tersebut. Beberapa alasan irasionalitas dalam pemilihan isu/
masalah (dan juga proses pembuatan kebijakan): instruksi atau
perintah, persepsi, ‘pengalaman’, mental set, perbedaan penilaian,
‘solution minded’, informasi yang terbatas, kendala waktu,
kebingunan menentukan masalah dan penyebabnya, dan ‘tanda awal’ kesuksesan/kegagalan.

Model Bounded Rationality memperlihatkan adanya keterbatasan seorang


pengambil keputusuan (aktor kebijakan) untuk bertindak secara rasional
karena berbagai alasan misalnya keterbatasan kapasitas/kapabilitas,
satisfactory, perhatian dan bargaining. Bahkan dalam Garbage Can Model
yang dikenalkan oleh Kingdon (Lester dan Steward, 1996) menyebutkan
bahwa pengambilan keputusan dalam organisasi adalah bersifat random
(acak) dan un- systematic. Model ini memperkenalkan berbagai dinamika
yang terdiri atas—the policy stream (yang menunjukkan solusi terhadap
masalah), the politics stream (partisipan: sentimen publik, perubahan minat
pemerintah, perubahan minat politik, dan partisipan lain) dan the problem
stream (persepsi terhadap masalah), yang memunculkan berbagai
kemungkinan pilihan (peluang dalam pengambilan keputusan).

Tabel 3.1. Model Pengambilan Keputusan Dalam Kebijakan Publik

Model Rasional Model Model Garbage Can


Bounded
Rationality
Analisis secara Ada Pengambil keputusan
mendalam (secara keterbatasan dalam organisasi
logis dan step-by- pengambil bersifat acak dan
step) terhadap keputusan unsystematic
berbagai isu untuk
atau alternatif bertindak
kebijakan secara
dan konsekuensinya rasional
- Outcome - Memilih - Pengambilan
sangat alternatif/isu keputusan terkait
rasional pertama yang dengan pola atau
- Pengambil ‘memuaskan’ aliran berbagai
keputusan karena keputusan dalam
menggunakan menghemat organisasi maupun
sistem pilihan waktu dan keputusan individu
yang konsisten sumber daya - Pola pengambil
untuk memilih isu - Memahami keputusan dalam
atau alternatif konsepsi organisasi ditandai
terbaik dunia adalah dengan
- Pengambil sederhana ketidakteraturan
keputusan - Nyaman yang disebabkan
mampu mengambil karena pilihan
mengenali semua keputusan problematik antar
alternatif dengan ‘cepat’ alternatif/isu,
- Pengambil akan ketidakjelasan
keputusan mampu menghemat informasi dan
mengkalkulasi akivitas teknologi, dan juga
kemungkinan mental dinamika dukungan
keberhasilan/ - Menyadari yang selalu berubah
kegagalan tiap keterbatasan - Solusi tidak selalu
alternatif waktu, dimulai dengan
- Memiliki informasi, tahapan pasti
waktu, sumber daya identifikasi masalah
informasi dan dan juga - Masalah secara acak
sumberdaya ketidakpastia digunakan/diidentifi
yang cukup n kasi untuk
melengkapi solusi
dalam “Garbage
Can”
Sumber: Diadaptasi dari Nelson & Ǫuick (2005) dan Fischer dkk (eds, 2007)
Pengambilan keputusan adalah seni memilih keputusan yang paling
masuk akal, suatu keputusan yang tepat untuk konteks tertentu dan memiliki
pertimbangan nilai. Analisis adalah sebuah proses ilmiah yang secara
rasional dilakukan dengan berdasarkan pada fakta-fakta yang valid,
dilakukan penilaian/percobaan secara empiris. Nilai yang mendasari
keputusan dan analisis yang berdasar fakta sering memberikan argumentasi
‘keputusan’ yang berbeda.
Perbedaan antara pertimbangan nilai dan hasil analisis ini seringkali
menjadi isu yang penting dalam upaya menerapkan rasionalitas dalam
pengambilan keputusan. Kondisi ini memun- culkan pentingnya komunikasi
sebagai cara untuk menjembatani antara pengambil keputusan dengan analis
kebijakan dalam upaya menerapkan rasionalitas dalam pengambilan
keputusan. Komuni- kasi yang efektif akan memunculkan ‘kelayakan’
pengambilan keputusan yang mempertimbangkan aspek nilai sekaligus
masih dalam koridor analisis berdasar fakta-fakta yang relevan.

D. TANTANGAN KEBIJAKAN PUBLIK


Lingkungan dimana kebijakan publik dikembangkan bersifat dinamis,
kompleks, penuh ketidakpastian, dan sulit untuk diprediksi arah
perubahannya. Kondisi masyarakat yang yang memiliki kemudahan dalam
mendapakan informasi menyebabkan munculnya harapan yang semakin
tinggi, memiliki permasalahan yang semakin kompleks, dan menuntut peran
pemerintah yang semakin tinggi pula. Untuk mensikapi hal tersebut, berbagai
agenda perubahan sektor publik dilakukan untuk meningkatkan efisiensi,
efektivitas berbagai penyelenggaraan publik. New public management,
akuntabilitas, good governance, managerialism, sound-government,
reformasi birokrasi adalah berbagai upaya perbaikan pemenuhan tuntutan
masyarakat dan pembangunan.
Bagaimana dengan kebijakan publik? Apakah proses pembuatan kebijakan
sudah siap untuk mengimbangi tantangan lingkungan yang dinamis?
Berbagai upaya pembaharuan tersebut di atas diarahkan pada peningkatan
efisiensi dan efektivitas, hanya sedikit yang memberikan perhatian pada
proses kebijakan dan bagaimana pembuat keputusan dapat memenuhi
kebutuhan konstitutennya dalam lingkungan yang semakin komplek dan
unpredictable (Geurts T., 2015). Pembuatan kebijakan yang baik merupakan
salah satu indikator kehandalan sebuah pemerintahan. Tantangan kebijakan
publik adalah menciptakan sebuah lingkungan yang memungkinkan proses
kebijakan publik (pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan) dapat
berlangsung secara fleksibel, interaktif, adaptif, transparan dan akuntabel
serta sesuai dengan dinamika lingkungan yang sangat kompleks. Jika
lingkungan ini dapat diciptakan baik secara politik maupun teknis, tuntutan
akan partisipasi, tranparansi, keterbukaan, produktivitas serta actionable
policy dapat diwu- judkan.
Bagaimana menciptakan sebuah lingkungan kebijakan yang fleksibel dan
adaptif? Bagaimana fleksibilitas dan adaptabilitas dimensi politik dan teknis
perumusan kebijakan? Empat tantangan (Hallsworth dkk, 2001) yang
menjadi perhatian dalam menciptakan lingkungan proses perumusan
kebijakan yang kondusif meliputi:
1. Proses: Model Dominan Proses Pembuatan Kebijakan Tidak
Realistik.
Terdapat berbagai teori dan model yang memberikan gambaran mengenai
tahapan pembuatan kebijakan dengan berbagai variasinya. Tahapan tersebut
dalam kondisi nyata sering tumpang- tindih dan tidak dapat dipisahkan.
Terkadang masalah kebijakan dan solusi muncul secara bersamaan, evaluasi
dan implementasi dilakukan bersamaan, siklus kebijakan dimulai dari
implementasi atau evaluasi dan lain-lain. Kondisi ini seringkali
memunculkan permasalahan tersendiri yang berakibat pada kualitas
kebijakan yang tidak baik misalnya hubungan solusi/keputusan
kebijakan/kebijakan yang tidak jelas dengan masalah kebijakan.
Di satu sisi proses kebijakan harus dilakukan sesuai dengan standar
tertentu, namun juga akomodatif terhadap berbagai perubahan dan resiko
yang muncul. Kesadaran akan adanya phase transisi dan adanya keterkaitan
antar tahapan dalam kebijakan perlu menjadi perhatian dari semua pihak
untuk meningkatkan kualitas proses kebijakan. Bagaimana hubungan antara
proses utama pembuatan kebijakan, dinamika politik dan aspek legal
kebijakan memberikan ruang bagi proses kebijakan untuk semakin obyektif.
Dalam kondisi nyata kita juga sering menjumpai proses pembuatan
kebijakan yang mengabaikan hubungan antar tahap dalam siklus proses
kebijakan. Misalnya tahap pembuatan produk hukum yang langsung pada
tahap pembuatan rancangan kebijakan (draft kebijakan), tanpa adanya
tahapan lain yang mendasari mengapa kebijakan tersebut dibuat. Proses
komunikasi dan konsultasi kebijakan sebagai bagian dari tahapan pembuatan
kebijakan tidak dilakukan dengan baik. Berbagai fakta dapat dengan mudah
kita temukan bahwa proses kebijakan sering kali tidak menjadi perhatian
penting dalam perumusan kebijakan. Bahkan terdapat variasi proses
perumusan kebijakan antar kementrian/ lembaga dan pemerintah daerah,
masing-masing memiliki aturan dan prosedur tersendiri. Keterbatasan waktu,
beban kerja, pengaturan institusi yang tidak kondusif, hubungan antar
lembaga yang tidak harmonis adalah beberapa penyebab minimnya
kepedulian terhadap ‘perbaikan’ proses perumusan kebijakan. Pembenahan
terhadap proses pembuatan kebijakan ini paling tidak akan menawarkan
sebuah kebijakan yang ‘logis’ dimana permasalahan sudah dianalisis dengan
baik dan juga alternatif sudah diuji kelayakannya untuk diterapkan.
2. Tuntutan Kualitas Pembuatan Kebijakan Semakin Tinggi.
Bagaimana karakter proses kebijakan yang baik? Hallsworth, dkk.
(2001) menggambarkan model profesional dalam pembuatan kebijakan
dengan karakteristik sebagai berikut:
• Memperhatikan dan mempertimbangkan lingkungan kebijakan atau
dengan kata lain memperhatikan faktor- faktor eksternal dalam proses
pembuatan kebijakan (outward looking).
• Terbuka terhadap ide dan solusi yang baru (inovatif, kreatif
dan fleksibel).
• Menggunakan data-data dan fakta-fakta dari berbagai sumber dan
melibatkan stakeholders kunci dalam pembuatan kebijakan (evidence-
based).
• Selalu memperhatikan dampak kebijakan terhadap semua pihak yang
terkait baik secara langsung maupun tidak langsung (inclusive).
• Membangun sistem evaluasi dari awal proses kebijakan (evaluasi).
• Selalu melakukan review terhadap kebijakan untuk memastikan
keterkaitannya dengan masalah yang diselesaikan dan mengenali
masalah serta dampak sejak awal (review).
• Belajar dari pengalaman kebijakan yang berhasil dan yang gagal
(learns lessons).
Selain karakter di atas kebijakan publik yang baik harus juga memiliki
karakter forward looking (mengarah pada outcome dan
mempertimbangkan dampak jangka panjang), joined up (proses
perumusannya dikelola dengan baik, holistic view, berkoordinasi dengan
institusi yang lain), serta communication (dalam proses perumusan juga
mempertimbangkan strategi mengkomunikasikan kepada publik) (the First
Minister and Deputy First Minister, 2015).
Bagaimana kondisi kebijakan di Indonesia apakah sudah outward looking, forward
looking, inovatif? Kita masih sering menjumpai kebijakan yang berumur ‘sangat
pendek’, kebijakan yang sekedar menjelaskan atau imitasi dengan kebijakan
sebelumnya (kebijakan instansi lain), menimbulkan kontroversi karena
keberpihakannya pada kelompok tertentu. Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas
kebijakan kita masih perlu diperbaiki atau ditingkatkan. Dalam kondisi ini peran
Analis Kebijakan sangat vital untuk memperjuangkan terciptanya kebijakan publik
yang berkualitas.

3. Struktur
Keberadaan institusi yang bertanggung jawab terhadap kualitas kebijakan
publik juga menjadi perhatian untuk menjawab tantangan kebutuhan
kebijakan publik yang baik. Duplikasi kebijakan, tumpang-tindih, dan
ketidakjelasan adalah beberapa indikasi ketidakjelasan struktur yang
mendukung upaya pembuatan kebijakan yang baik. Disharmoni kebijakan
adalah wujud nyata

Kotak 3.3. Jenis 3an Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

(UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan)
Undang-undang dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945).
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR).
Undang-undang (UU)/Peraturan pemerintah Pengganti UU (Perpu).
Peraturan Pemerintah (PP).
Peraturan Presiden (Perpres).
Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi).
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/ Kota).

tantangan proses pembuatan kebijakan.


Geurts (2015) menyebutkan beberapa permasalahan terkait organisasi dan
struktur ini antara lain: keberadaan berbagai pihak dalam proses pembuatan
kebijakan menyebabkan kesulitan tersendiri untuk mengelola karena fungsi,
kepentingan, dan koalisinya yang berbeda; dan kecenderungan institusi untuk
menggunakan kebijakan/ solusi lama (rutin) yang menyebabkan frustasi dan
ketidakpercayaan.
Meskipun beberapa upaya sudah dilakukan untuk memperbaiki struktur
ini misalnya dengan keberadaan jabatan fungsional analis kebijakan,
pembentukan berbagai unit kerja yang secara khusus dibentuk untuk
mendukung upaya pembuatan kebijakan yang baik, kejelasan hirarki
perundang-undangan, namun berbagai strategi terkait dengan perbaikan
struktur yang mendukung upaya peningkatan kualitas proses perumusan
kebijakan juga harus selalu dilakukan.

4. Dinamika Politik
Dinamika dan aktivitas politik memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam pembuatan kebijakan. Proses politik memiliki sifat interaktif, dengan
mekanisme kerja yang sangat fleksibel, menggunakan barter untuk tujuan
kepentingan tertentu, dan juga menggunakan berbagai pertemuan informal
untuk saling mempengaruhi. Mekanisme politik yang cenderung polycentric,
komplek dan heterogen ini (dengan berbagai aktor dengan berbagai
kepentingan) memungkinkan munculnya variasi ‘komunikasi’ antar aktor
dan memunculkan ketidakpastian sangat tinggi karena tidak ada satu aktor
pun, termasuk pihak pemerintah, memiliki kontrol penuh dalam proses
pembuatan kebijakan. Proses pembuatan kebijakan menghadapi
kompleksitas yang sangat tinggi, karenanya kesadaran dan penerimaan akan
berbagai bentuk rationalitas keputusan, dengan berbagai kemungkinan
outcomes dan cara; akan
menimbulkan kolaborasi dan juga penghargaan atas kebebasan atau otonomi
dari berbagai aktor kebijakan.
Dalam prakteknya, masih sering terdapat aktor kebijakan yang tidak
dilibatkan atau diakomodasi dalam pembuatan kebijakan, atau sebaliknya
adanya dominasi aktor tertentu dalam prosesnya.

E. LATIHAN
1. Sebutkan kategori jenis kebijakan menurut Anderson!
2. Jelaskan mengapa perlu intervensi pemerintah dalam penyediaan
barang publik!
3. Sebutkan karakteristik yang menggambarkan model
professional menurut Hallsworth!

F. RANGKUMAN
Kebijakan memiliki berbagai jenis seperti; kebijakan substantif dan
kebijakan prosedural, kebijakan distributif, kebijakan regulatif dan kebijakan
re-distributif, kebijakan material dan kebijakan simbolis, dan kebijakan
yang berhubungan dengan barang publik (public goods) dan barang
privat (private goods). Berbagai jenis kebijakan tersebut dibuat dan
disesuaikan dengan jenis permasalahan yang timbul di masyarakat dan
pembangunan. Saat ini kondisi berbagai jenis kebijakan tersebut masih
perlu ditingkatkan untuk dapat dikatakan sebagai kebijakan yang
berkualitas yang memiliki karakter forward looking (mengarah pada outcome
dan mempertimbangkan dampak jangka panjang), joined up (proses
perumusannya dikelola dengan baik, holistic view, berkoordinasi dengan
institusi yang lain), serta communication (dalam proses perumusan juga
mempertimbangkan strategi mengkomunikasikan kepada publik).
A. SIMPULAN
Sesudah mempelajari modul ini dan berbagai referensi lainnya peserta
diklat diharapkan memiliki pemahaman tentang : ilmu kebijakan publik dan
perkembangannya serta kemampuannya dalam merumuskan masalah
kebijakan. Kemampuan tersebut dinilai dari kemampuan: menjelaskan
fenomena dalam masyarakat (sosial, politik, budaya dan lainnya) dan
hubungannya dengan kebijakan publik, menunjukkan hubungan antara
berbagai fenomena dalam masyarakat sebagai bahan penyusunan kebijakan,
menyimpulkan konsep urusan/masalah publik dan privat (public vs private
affairs), mengidentifikasi urusan/masalah publik dan privat (public vs private
affairs), menyebutkan peran negara (kapan dan bagaimana) dalam
menyelesaikan permasalahan publik, menyebutkan peran negara (kapan dan
bagaimana) dalam menyelesaikan permasalahan publik.

B. TINDAK LANJUT
Konsep dan studi kebijakan publik merupakan dasar ilmu tentang cakupan
ilmu kebijakan publik dan perkembangannya, dalam materi ini peserta
mendapatkan pembelajaran tentang kebijakan publik dalam kehidupan
bernegara, perkembangan ilmu kebijakan publik, siklus kebijakan publik,
aktor dalam kebijakan publik, agenda setting (isu, masalah, dan agenda),
serta praktek perumusan masalah kebijakan. Materi ini berkaitan erat dengan
mata ajar lainnya seperti metodologi kajian/penelitian, analisis pemangku
kepentingan, analisis kebijakan, dokumentasi saran kebijakan, konsultasi
publik, dan advokasi kebijakan yang akan dibahas lebih lanjut.

PENGERTIAN, JENIS-JENIS KEBIJAKAN PUBLIK DAN


MACAM-MACAM PENGGUNAAN ISTILAH “KEBIJAKAN” (POLICY)

Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu


menjelaskan pengertian, jenis-jenis, dan tingkat kebijakan publik.

Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah bahasa Inggris “Public Policy”. Kata
“policy” ada yang menerjemahkan menjadi “Kebijakan” (Samodra Wibawa, 1994;
Muhadjir Darwin, 18) dan ada juga yang menerjemahkan menjadi “kebijaksanaan” (Islamy,
2001; Abdul Wahap, 1990).
Meskipun belum ada “kesepakatan”, apakah policy diterjemahkan menjadi “Kebijakan”
ataukah “kebijaksanaan”, akan tetapi tampaknya kecenderungan yang akan datang untuk
policy digunakan istilah kebijakan maka dalam modul ini, untuk public policy
diterjemahkan menjadi “kebijakan publik”.

1. Pengertian Kebijakan Publik.


a. Thomas R. Dye
Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut : “Public Policy
is whatever the government choose to do or not to do” (Kebijakan publik adalah
apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu,
maka tentunya ada tujuannya, karena kebijakan publik merupakan “tindakan”
pemerintah. apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, inipun
merupakan kebijakan publik, yang tentunya ada tujuannya.
Sebagai contoh : becak dilarang beroperasi di wilayah DKI Jakarta, ber-tujuan
untuk kelancaran lalu lintas, karena becak dianggap menggangu kelancaran lalu-
lintas, di samping dianggap kurang manusiawi. Akan tetapi, dengan dihapuskan-
nya becak, kemudian muncul “ojek sepeda motor”. Meskipun “ojek sepeda motor”
ini bukan termasuk kendaraan angkutan umum, tetapi Pemerintah DKI Jakarta
tidak melakukan tindakan untuk melarangnya. Tidak adanya tindakan untuk
melarang “ojek” ini, dapat dikatakan kebijakan publik, yang dapat dikategorikan
sebagai “tidak melakukan sesuatu”.
b. James E. Anderson. Anderson mengatakan :
“Public Policies are those policies developed by governmental bodies and
official (Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh
badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah).
c. David Easton.
David Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai berikut :
“Public policy is the authoritative allocation of values for the whole
societ . y”. (kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai secara syah
kepada seluruh anggota masyarakat).
Kesimpulan:
a. Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan- tindakan
pemerintah.
b. Kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu
mempunyai tujuan tertentu.
c. Kebijakan Publik ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

2. Jenis-Jenis Kebijakan Publik.


James L. Anderson (1970) mengelompokkan jenis-jenis kebijakan publik sebagai
berikut :
a. Substantive and Procedural Policies. Substantive Policy.
Suatu kebijakan dilihat dari substansi masalah yang dihadapi oleh pemerintah.
Misalnya: kebijakan pendidikan, kebijakan ekonomi dan lain- lain.
Procedural Policy
Suatu kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlihat dalam perumusannya
(Policy Stakeholders).
Sebagai contoh: dalam pembuatan suatu kebijakan publik meskipun ada
Instansi/Organisasi Pemerintah yang secara fungsional berwenang
membuatnya, misalnya Undang- undang tentang Pendidikan, yang berwenang
membuat adalah Departemen Pendidikan Nasional, tetapi dalam pelaksanaan
pembuatannya, banyak instansi/organisasi lain yang terlibat, baik
instansi/organisasi pemerintah ataupun organisasi bukan pemerintah, yaitu
antara lain DPR,
Departemen Hukum & HAM, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan Presiden yang mengesahkan
Undang-undang tersebut. Instansi-instansi/organisasi-organisasi yang terlibat
tersebut disebut policy Stakeholders.
b. Distributive, Redistributive, and Regulatory Policies. Distributive Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pemberian pelayanan/ keuntungan kepada
individu-individu, kelompok-kelompok, atau perusahaan-perusahaan.
Contoh: kebijakan tentang “Tax Holiday”
Redistributive Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan,
atau hak-hak.
Contoh : kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan umum.
Regulatory Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pembatasan/ pelarangan terhadap
perbuatan/tindakan.
Contoh : kebijakan tentang larangan memiliki dan meng- gunakan senjata api.
c. Material Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian/ penyediaan sumber-
sumber material yang nyata bagi penerimanya.
Contoh : kebijakan pembuatan rumah sederhana.
d. Public Goods and Private Goods Policies. Public Goods
Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-
barang/pelayanan-pelayanan oleh pemerintah, untuk kepentingan orang
banyak.
Contoh: kebijakan tentang perlindungan keamanan, penyediaan jalan
umum.
Private Goods Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang- barang/pelayanan-
pelayanan oleh pihak swasta, untuk kepentingan individu-individu
(perorangan) di pasar bebas, dengan imbalan.
Contoh : kebijakan pengadaan barang-barang /pelayanan untuk keperluan
perorangan, misalnya tempat hiburan, hotel dan lain-lain.

3. Macam-macam penggunaan istilah “Kebijakan” (policy)


Hogwood and Gunn (1988) mengelompokkan penggunaan istilah kebijakan
(policy) sebagai berikut :
a. Kebijakan sebagai label untuk suatu Bidang Kegiatan Tertentu.
Dalam Konteks ini, kata kebijakan digunakan untuk menjelaskan bidang
kegiatan dimana pemerintah terlibat didalamnya, seperti kebijakan ekonomi
atau kebijakan luar negeri.
b. Kebijakan sebagai Ekspresi mengenai Tujuan Umum atau Keadaan Yang
dikehendaki
Disini kebijakan digunakan untuk menyatakan kehendak dan kondisi yang dituju.
Contohnya pernyataan tentang tujuan pembangunan dibidang SDM untuk
menunjukkan aparatur yang bersih.
c. Kebijakan sebagai Proposal di Bidang Tertentu.
Dalam konteks ini, kebijakan lebih berupa proposal, contoh: Usulan RUU
(Rancangan Undang-Undang) dibidang Keamanan dan Pertahanan atau RUU
tentang Kepegawaian. Didalam kebijakan tersebut dijelaskan tujuan dan cara
mencapai tujuan.
d. Kebijakan sebagai Keputusan yang dibuat oleh Pemerintah
Sebagai contoh adalah keputusan untuk melaksanakan perombakan terhadap
sistem administrasi negara. Keputusan tersebut masih perlu dituangkan
dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan.
e. Kebijakan sebagai Pengesahan Formal (formal Authorization)
Disini kebijakan tidak lagi dianggap sebagai usulan, namun keputusan yang sah.
Sebagai contoh UU Nomor 22/1999 yang merupakan keputusan yang sah dalam
rangka penyerahan sebagaian urusan pusat ke daerah.
f. Kebijakan sebagai Program
Yang dimaksud dengan kebijakan disini adalah program yang akan dilaksanakan.
Sebagai contoh, program peningkatan PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara),
yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan termasuk cara
pengorganisasian, pelaksanaan, serta pembiayaannya.
g. Kebijakan sebagai Output, atau apa yang dihasilkan
Yang dimaksud disini adalah output yang akan dihasilkan dari suatu
kegiatan. Sebagai contoh pelayanan yang murah dan cepat atau PNS
yang profesional, dll.
h. Kebijakan sebagai Outcome
Kebijakan disini digunakan untuk menyatakan dampak yang
diharapkan dari suatu kegiatan, seperti pemerintahan yang efisien.
i. Kebijakan sebagai Teori atau model
Kebijakan disini menggambarkan model dari suatu keadaan, dengan
asumsi tentang apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan apa
konsekwensi dari tindakan pemerintah tersebut. Sebagai contoh, kalau
pajak dinaikkan X%, maka revenue diperkirakan naik Y%, atau kalau
X dilakukan maka dampak yang timbul adalah Y.
j. Kebijakan sebagai Proses atau tahapan yang perlu dilaksanakan.

B. Latihan
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda mengenai Pengertian, Jenis, dan
Tingkat-tingkat Kebijakan Publik, cobalah latihan di bawah ini.
1. Menurut Thomas R. Dye, tidak melakukan sesuatu merupakan kebijakan
publik. Coba jelaskan dan berikan contohnya !
2. Jelaskan tentang Substantive and Procedural Policies dan berikan masing-masing
contohnya!
3. Jelaskan tentang Distributive, Redistributive and Regulatory Policies dan berikan
masing-masing contohnya!
4. Jelaskan tentang Public Goods and Private Goods Policies
dan berikan masing-masing contohnya!
Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut di atas, maka pelajari kembali
kegiatan pembelajaran tentang Pengertian, Jenis-jenis dan Tingkat-tingkat Kebijakan
Publik, terutama yang belum Ada pahami.

C. Rangkuman
Kebijakan publik adalah suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara yang
ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Kebijakan publik bertujuan untuk
memecahkan masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat.
Ada beberapa jenis kebijakan publik, yaitu Substantive and Procedural Policies,
Distributive, Redistributive and Regulatory Policies, Material Policies, Public
Goods and Private Goods Policies.

SISTEM, PROSES, DAN SIKLUS KEBIJAKAN PUBLIK

Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu


menjelaskan pengertian, sistem, proses dan siklus kebijakan publik.

1. Sistem Kebijakan Publik.


Yang dimaksud dengan sistem kebijakan publik, menurut Mustopadidjaja AR
(Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja AR. 1988), adalah keseluruhan pola
kelembagaan dalam pembuatan kebijakan publik yang melibatkan hubungan
diantara 4 elemen (unsur), yaitu masalah kebijakan publik, pembuatan kebijakan
publik, kebijakan publik dan dampaknya terhadap kelompok sasaran (target
groups).
Sebagai suatu sistem, maka dalam sistem kebijakan publik dikenal adanya unsur-
unsur : Input, Process, Output. Kebijakan publik adalah merupakan produk (output)
dari suatu input, yang diproses secara politis.
Adapun elemen-elemen (unsur-unsur) sistem kebijakan publik adalah :

a. Input : masalah Kebijakan Publik


Masalah Kebijakan Publik ini timbul karena adanya faktor lingkungan kebijakan
publik yaitu suatu keadaan yang melatar belakangi atau peristiwa yang
menyebabkan timbulnya “masalah kebijakan publik” tersebut, yang berupa
tuntutan- tuntutan, keinginan-keinginan masyarakat atau tantangan dan peluang,
yang diharapkan segera diatasi melalui suatu kebijakan publik. Masalah ini dapat
juga timbul justru karena dikeluarkannya suatu kebijakan publik yang baru.
Sebagai contoh : masalah kebijakan publik dapat timbul karena adanya dorongan
dari masyarakat. Misalnya, timbulnya INPRES SD, INPRES Pasar,
INPRES Puskesmas, karena adanya pandangan masyarakat (pada waktu itu)
tentang kurangnya pemerataan pembangunan.
Pembangunan dikatakan sudah berhasil, tetapi kurang merata. Masalah kebijakan
juga dapat timbul, justru adanya kebijakan pemerintah. Misalnya sebagai akibat
adanya kebijakan pemerintah DKI Jakarta, bahwa untuk beberapa jalan protokol,
kendaraan roda empat (kecuali taksi dan Bus Kota) diwajibkan berpenumpang
minimal tiga orang, yang kemudian terkenal dengan sebutan “three in one”
Kebijakan ini mengakibatkan timbulnya masalah “Jockey”, yaitu “orang- orang
yang dibayar” ikut mobil yang berpenumpang kurang dari tiga orang.
b. Process (proses): pembuatan Kebijakan Publik.
Proses pembuatan kebijakan publik itu bersifat politis, di mana dalam proses
tersebut terlibat berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada
yang saling bertentangan.
Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stake- holders, yaitu mereka-
mareka yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan publik. Policy
Stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah, dan
juga dari lingkungan masyarakat (bukan pemerintah), misalnya, partai politik,
kelompok-kelompok kepentingan, perusahaan dan sebagainya.
c. Output : Kebijakan Publik, yang berupa serangkaian tindakan yang
dimaksudkan untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu
seperti yang diinginkan oleh kebijakan publik.
d. Impacts (dampak), yaitu dampaknya terhadap kelompok sasaran (target
groups).
Kelompok sasaran (target groups) adalah orang-orang, kelompok-kelompok
orang, atau organisasi-organisasi, yang perilaku atau keadaannya ingin
dipengaruhi atau diubah oleh kebijakan publik tersebut.

2. Proses Kebijakan Publik.


Proses kebijakan publik ini meliputi tahap-tahap:
a. Perumusan kebijakan publik.
Tahap ini mulai dari perumusan masalah sampai dengan dipilihnya alternatif
untuk direkomendasikan dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
b. Implementasi kebijakan publik.
Setelah kebijakan publik disahkan oleh pejabat yang berwenang, maka
kemudian kebijakan publik tersebut diimplementasikan (dilaksanakan).
Mengenai implementasi kebijakan publik, Mustopadidjaja AR (Bintoro
Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja AR. 1988), mengemukakan bahwa dilihat
dari implementasinya, Ada tiga bentuk kebijakan publik, yaitu:
1) Kebijakan langsung, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh
pemerintah sendiri.
Misalnya : INPRES SD
2) Kebijakan tidak langsung, yaitu kebijakan yang pelak- sanaannya tidak
dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, dalam hal ini pemerintah hanya
mengatur saja.
Misalnya: kebijakan pemerintah tentang Investasi Asing.
3) Kebijakan campuran, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh
pemerintah dan bukan pemerintah (swasta).
Misalnya kebijakan Pemerintah DKI Jakarta tentang kebersihan, di mana
pelaksanaan kebersihan dapat dilakukan oleh Dinas Kebersihan atau oleh
swasta.
c. Monitoring kebijakan publik.
Monitoring kebijakan publik adalah proses kegiatan pengawasan terhadap
implementasi kebijakan yaitu, untuk memperoleh informasi tentang seberapa jauh
tujuan kebijakan itu tercapai. (Hogwood and Gunn, 1989).
d. Evaluasi kebijakan publik.
Evaluasi kebijakan publik ini bertujuan untuk menilai apakah perbedaan sebelum
dan setelah kebijakan itu diimplementasi- kan, yaitu perbandingan antara sebelum
dan sesudah diberlakukannya suatu kebijakan.
3. Siklus Kebijakan Publik.
Proses kebijakan publik ini dapat digambarkan sebagai suatu siklus
kebijakan publik seperti gambar dibawah ini.

B. Latihan
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda mengenai sistem proses dan siklus
kebijakan publik, cobalah latihan di bawah ini:
1. Jelaskan tentang elemen-elemen (unsur-unsur) dalam sistem kebijakan
publik!
2. Jelaskan tentang tiga bentuk kebijakan publik dilihat dari implementasinya!
3. Jelaskan tahap-tahap dalam proses kebijakan publik!
4. Gambarkan bagan siklus kebijakan publik!
C. Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut di atas, maka pelajari
kembali kegiatan pembelajaran tentang sistem, proses, dan siklus kebijakan publik,
terutama yang belum Anda pahami Rangkuman
Kebijakan publik dapat dilihat sebagai suatu sistem, yang terdiri dari elemen-elemen
(unsur-unsur): input : masalah kebijakan publik, proses : pembuatan kebijakan publik,
output, kebijakan publik dan dampak (impact) terhadap kelompok sasaran (target
groups).
Kebijakan publik dapat pula dilihat sebagai proses yang meliputi tahap-tahap:
perumusan masalah, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan publik.
Kebijakan publik dapat digambarkan sebagai siklus.

PERAN INFORMASI DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK

Setelah membaca Bab ini, peserta


Diklat diharapkan mampu menjelaskan
peran informasi dalam pembuatan
Pengertian Data dan Informasi
Seringkali orang mengartikan data dan informasi itu sama. Akan tetapi sebenarnya data
dan informasi itu berbeda. Mengenai perbedaan data dan informasi, Murdick et al
(Kumorotomo dan Agus Margono, 1994) mengemukakan bahwa data adalah fakta yang
sedang tidak digunakan dalam proses pembuatan keputusan, biasanya dicatat dan
diarsipkan dalam tanpa maksud untuk segera diambil kembali untuk pembuatan
keputusan. Sebaliknya informasi terdiri dari data yang telah diambil kembali, diolah dan
digunakan untuk memberi dukungan keterangan untuk pembuatan keputusan. Informasi
adalah data yang telah disusun sedemikian rupa, sehingga bermakna dan bermanfaat
untuk membuat keputusan. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa pemakaian
informasi itu penting, karena informasilah yang dipakai untuk menunjang pembuatan
keputusan.

Untuk membuat kebijakan diperlukan informasi yang berkualitas tinggi. Informasi


yang memiliki kualitas tinggi akan menentukan sekali efektivitas kebijakan publik.
Mengenai syarat-syarat informasi yang baik, Parker (Kumorotomo dan Agus
Margono, 1994) mengemukakan sebagai berikut :
a. Ketersediaan (availability).
Syarat pokok bagi suatu informasi adalah tersedianya informasi itu sendiri.
Informasi harus dapat diperoleh bagi yang hendak memanfaatkannya.
b. Mudah dipahami.
Informasi harus mudah dipahami oleh pembuat kebijakan.
c. Relevan.
lnformasi yang diperlukan harus benar-benar relevan dengan permasalahannya.
d. Bermanfaat.
Terkait dengan syarat relevansi, informasi harus bermanfaat bagi pembuat
kebijakan.
e. Tepat waktu.
Informasi harus tersedia tepat waktunya, terutama apabila pembuat kebijakan
ingin segera memecahkan masalah yang dihadapi oleh pemerintah.
f. Keandalan (Reliability).
g. Informasi harus diperoleh dari sumber-sumber yang dapat diandalkan
kebenarannya Akurat.
lnformasi seyogyanya bersih dari kesalahan, harus jelas dan secara tepat
mencerminkan makna yang terkandung dari data pendukungnya.
h. Konsisten.
Informasi tidak boleh mengandung kontradiksi dalam penyajiannya.

1. Pentingnya informasi dalam pembuatan kebijakan.


William N. Dunn (1994) memberikan definisi Analisis kebijakan publik sebagai
suatu disiplin llmu Sosial Terapan, yang meng- gunakan berbagai macam
metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan
informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan dalam lingkungan
politik tertentu untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan.
Dari pengertian Analisis Kebijakan Publik tersebut dapat dilihat bahwa untuk
memecahkan masalah-masalah kebijakan diperlukan informasi.
Dalam perumusan/pembuatan kebijakan, diperlukan informasi, dari data yang
telah diolah.
Misalnya pemerintah akan merumuskan/membuat kebijakan kependudukan,
maka untuk ini diperlukan informasi tentang pertumbuhan penduduk, persebaran
penduduk, kualitas dan struktur umur penduduk. Apabila pemerintah ingin
merumuskan/ membuat kebijakan ekonomi, maka diperlukan informasi tentang
sektor-sektor yang potensial dapat dimanfaatkan untuk meningkat kan taraf hidup
dan kesejahteraan masyarakat, misalnya: sektor- sektor Industri, Perdagangan,
Keuangan/Perbankan, Pertanian, dan lain-lain.
2. Informasi yang Relevan dengan Kebijakan.
Tugas seorang Analis Kebijakan (Policy Analist) adalah memberikan informasi
kepada pembuat kebijakan (Policy Maker) untuk membuat kebijakan. Dalam
kaitannya dengan penyediaan informasi ini, William N. Dunn (1994), mengemuka-
kan bahwa metodologi dalam analisis kebijakan dapat memberikan informasi
dengan menjawab lima bentuk pertanyaan, yaitu :
a. Masalah apakah yang dihadapi?
Jawaban pertanyaan ini memberikan informasi tentang masalah-masalah
kebijakan (policy problem).
Misalnya, apabila pertanyaan ini diajukan kepada Pemerintah DKI Jakarta, maka
jawabannya adalah masalah-masalah kemacetan lalu lintas, urbanisasi,
meningkatnya kriminalitas, perkelahian antar pelajar, dan lain-lain.
b. Kebijakan-kebijakan apa yang telah dibuat untuk memecahkan masalah-masalah
tersebut, baik pada masa sekarang maupun masa lalu; dan hasil-hasil apakah yang
telah dicapai?
Jawaban pertanyaan ini memberikan informasi tentang hasil- hasil kebijakan
(policy outcomes).
Misalnya, untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, Pemerintah DKI Jakarta telah
membuat kebijakan tentang Pajak Progresif, untuk pemilik mobil pribadi lebih
dari satu. Makin tambah jumlah mobil yang dimiliki, makin tinggi pajaknya.
Selain itu juga ada kebijakan “three in one” untuk beberapa jalan protokol.
Hasil-hasil kebijakan tersebut di atas tampaknya belum bisa mengatasi masalah
kemacetan lalu lintas.
c. Bagaimana nilai (tujuan yang dinginkan) dari hasil-hasil kebijakan tersebut dalam
memecahkan masalah?
Jawaban pertanyaan ini memberikan informasi tentang kinerja kebijakan (policy
performance).
Menurut William N. Dune (1994), Policy Performance adalah suatu tingkat (derajat)
sampai di mana hasil suatu kebijakan membantu pencapaian. suatu nilai (tujuan
yang diinginkan). Dalam kenyataannya banyak masalah seringkali “tidak dapat
dipecahkan”. Oleh karena itu, seringkali perlu dicari cara- cara pemecahan yang
baru, dirumuskan kembali masalahnya, dan kemungkinan suatu masalah itu “tidak
dapat dipecahkan”. Meskipun suatu masalah itu mungkin dapat dipecahkan atau
tidak dapat dipecahkan; informasi tentang hasil-hasil kebijakan tetap diperlukan,
terutama untuk meramalkan kebijakan yang akan datang. Misalnya di DKI Jakarta,
meskipun telah dibuat kebijakan-kebijakan untuk memecahkan masalah kemacetan
lalu lintas, tetapi tampaknya belum dapat memecahkan masalah tersebut Oleh
karena itu, perlu dipikirkan adanya kebijakan untuk memecahkan kemacetan lalu-
lintas.
d. Alternatif-alternatif kebijakan apakah yang tersedia untuk memecahkan masalah
tersebut, dan apakah kemungkinan di masa depan?
Jawaban pertanyaan ini memberikan informasi tentang kebijakan di masa depan
(policy futures).
Misalnya untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas di DKI Jakarta, memang ada
saran-saran untuk membatasi umur kendaraan yang boleh beroperasi, membuat
jalan di bawah tanah, di samping pembuatan jalan layang yang sudah ada.
e. Alternatif-alternatif tindakan apakah yang perlu dilakukan untuk memecahkan
masalah tersebut?
Jawaban pertanyaan ini memberikan informasi tentang tindakan-tindakan
kebijakan (policy actions/implementation).
Misalnya, sebelum ada krisis moneter, Pemerintah DKI Jakarta ada rencana untuk
membuat jalan di bawah tanah antara kawasan Blok M (Kebayoran Baru) dan
kawasan Kota (Glodok).

B. L a t i h a n
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda mengenai Peran informasi dalam
pembuatan kebijakan; cobalah latihan di bawah ini.
1. Coba jelaskan perbedaan data dan informasi!
2. Coba jelaskan tentang syarat-syarat informasi yang baik!
3. Coba jelaskan pentingnya informasi dalam pembuatan kebijakan!
4. Coba jelaskan tentang metodologi analisis kebijakan yang dapat memberikan
informasi untuk menjawab lima bentuk pertanyaan!
Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut diatas, maka pelajari kembali
kegiatan pembelajaran tentang Peran informasi dalam pembuatan kebijakan, terutama
yang belum anda pahami.

C. Rangkuman
Data adalah fakta yang sedang tidak digunakan dalam proses pembuatan keputusan,
sedangkan informasi adalah data yang telah diambil kembali, diolah dan digunakan
untuk pembuatan keputusan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
disebut sebagai informasi yang baik, yaitu : ketersediaan, mudah dipahami, relevan,
bermanfaat, tepat waktu, keandalan, akurat dan konsisten. Informasi ini penting, karena
untuk memecahkan masalah diperlukan informasi, terutama dalam perumusan masalah-
masalah kebijakan.
Metodologi dalam analisis kebijakan dapat memberikan informasi dengan menjawab lima
bentuk pertanyaan. Jawaban masalah- masalah kebijakan, kinerja kebijakan, kebijakan di
masa depan, dan tindakan/implementasi kebijakan.

AGENDA SETTING

Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu


menjelaskan pengertian agenda setting.

A. U r a i a n
1. Isu-Isu Konseptual
Tahap yang paling kritis dalam proses kebijakan adalah agenda setting. Agenda
setting adalah suatu tahap sebelum perumusan kebijakan dilahirkan, yaitu bagaimana
isu-isu (issues) itu muncul pada agenda pemerintah yang perlu ditindaklanjuti berupa
tindakan-tindakan pemerintah. Banyak isu yang masuk ke pemerintah, yang
diharapkan agar pemerintah segera mengambil tindakan, ternyata pemerintah tidak
bertindak sesuai dengan keinginan masyarakat. (Howlett and Ramesh, 1995).
Seperti yang yang telah dibahas dalam sistem kebijakan, isu-isu atau masalah-masalah
itu dapat timbul karena keinginan atau desakan dari masyarakat. Tetapi dalam
kenyataannya, sebelum masalah-masalah tersebut dipertimbangkan untuk
dipecahkan, harus melalui suatu proses yang kompleks.
Pada dasarnya, agenda setting adalah tentang pengenalan masalah, yang dihadapi oleh
instansi-instansi pemerintah. Sedangkan Cob and Ross, Seperti dikutip oleh Howlett
and Ramesh (1995), mendefinisikan agenda setting sebagai “proses di mana keinginan-
keinginan dari berbagai kelompok dalam masyarakat diterjemahkan ke dalam butir-butir
kegiatan agar mendapat perhatian serius dari pejabat-pejabat pemerintah”. Sedangkan
mengenai pengertian agenda, John Kingdon (Howlett and Ramesh, 195), mengemukakan
bahwa “agenda setting adalah suatu daftar subyek atau masalah di mana para pejabat
pemerintah dari masyarakat diluar pemerintah yang ada kaitannya dengan pejabat
tersebut, memberikan perhatian pada masalah tersebut”.

2. Proses Agenda Setting.


Suatu agenda pemerintah tidak harus dipandang sebagai suatu daftar formal dari
perbagai masalah yang harus dibicarakan oleh pembuat kebijakan, tetapi agenda
pemerintah tersebut semata- mata menggambarkan masalah masalah atau isu-isu yang
dihadapi oleh pembuat kebijakan. (Islamy, 2001).
Cobb and Elder (Islamy 2001 Howlett and Ramesh 1995), membedakan antara
“Systemic Agenda” dan “Governmental Agenda”. Systemic Agenda (agenda sistemik)
terdiri atas isu- isu yang dipandang secara umum oleh anggota-anggota masyarakat
politik sebagai pantas mendapat perhatian dari pemerintah dan mencakup masalah-
masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap tingkat pemerintahan masing-masing.
Manurut Cobb and Elder, ada tiga prasyarat agar isu (policy Issue) itu dapat masuk
dalam agenda sistemik, yaitu:
Isu itu memperoleh perhatian yang luas atau sekurang- kurangnya menumbuhkan
kesadaran masyarakat.
a. Adanya persepsi atau pandangan masyarakat bahwa perlu dilakukan beberapa
tindakan untuk memecahkan masalah itu.
b. Adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu merupakan
kewajiban dan tanggungjawab yang sah dari pemerintah untuk memecahkannya.
Sedangkan “Governmental Agenda” (Agenda Pemerintah) adalah serangkaian
masalah yang secara eksplisit memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang aktif
dan serius dari pembuat kebijakan yang sah. Agenda pemerintah ini mempunyai sifat
yang khas dan terbatas jumlahnya.
Kemudian timbul pertanyaan, mengapa beberapa masalah masyarakat dapat masuk
agenda pemerintah, sedangkan beberapa masalah masyarakat lain tidak?
Menurut Cobb and Elder (Howlett and Ramesh, 1995), hal-hal tersebut dapat terjadi,
karena masalah-masalah dalam masyarakat begitu banyak sehingga para pembuat
kebijakan akan memilih dan merencanakan masalah-masalah mana yang menurut
mereka perlu mendapat prioritas utama untuk diperhatikan secara serius. Kalau
sebagian besar pembuat kebijakan sepaham bahwa prioritas perlu diberikan kepada
masalah-masalah tertentu, maka Policy issue tersebut segera dapat dimasukkan ke
dalam agenda pemerintah.
Anderson (Islamy, 2001), mengemukakan adanya beberapa faktor yang dapat
menyebabkan permasalahan masyarakat dapat masuk ke dalam agenda pemerintah,
yaitu:
a. Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok, maka
kelompok-kelompok tersebut akan mengadakan reaksi dan menuntut
adanya tindakan pemerintah, untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut.
Sebagai contoh, kelompok pengusaha kecil yang merasa terdesak oleh
pengusaha besar dan kuat (konglomerat).
b. Para pemimpin politik dapat menjadi faktor penting dalam penyusunan agenda
pemerintah. Para pemimpin politik, karena didorong adanya pertimbangan
politik dan karena memperhatikan kepentingan umum, selalu memperhatikan
masalah-masalah masyarakat dan mengusulkan upaya-upaya pemecahannya.
Sebagai contoh, karena adanya krisis moneter (krismon), yang mengakibatkan
banyak karyawan kena PHK dan pengangguran meningkat, maka para
pemimpin politik mendesak pemerintah untuk segera mengurangi dampak
krismon tersebut.
c. Timbulnya krisis atau peristiwa luar biasa dapat menyebabkan suatu masalah
masuk ke dalam agenda pemerintah.
Sebagai contoh, masalah-masalah ekonomi, politik. sosial dan keamanan yang
mengakibatkan bentrokan etnis dan agama, mengakibatkan pembuat kebijakan
segera memasukannya ke dalam agenda pemerintah.
d. Adanya gerakan-gerakan protes, termasuk tindakan kekerasan, merupakan
salah satu penyebab yang dapat menarik perhatian pembuat kebijakan dan
memasukannya ke dalam agenda pemerintah.
Sebagai contoh, adanya protes dari kelompok kelompok ter- tentu, termasuk
kelompok-kelompok mahasiswa terhadap penculikan para aktivis mahasiswa
maka pemerintah kemudian segera memasukan masalah tersebut ke dalam
agenda pemerintah.

Proses memasukkan masalah-masalah ke dalam agenda pemerintah bukanlah


pekerjaan ringan dan merupakan kegiatan yang kompleks, karena tidak semua
pembuat kebijakan menaruh perhatian yang sama terhadap masalah tersebut.
Terjadi konflik kepentingan-kepentingan di antara para aktor kebijakan, mengenai
dapat atau tidaknya masalah- masalah tersebut masuk kedalam agenda
pemerintah.

B. L a t i h a n
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda mengenai Agenda Setting, cobalah latihan di
bawah ini.
1. Coba jelaskan apa yang disebut dengan Agenda dan Agenda Setting!
2. Jelaskan tentang “Systemic Agenda” dan “Governmental Agenda”!
3. Mengapa isu-isu atau masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat tidak
semuanya masuk dalam agenda sistemik dan apa prasyarat agar dapat masuk ke
dalam agenda Sistemik?
4. Jelaskan beberapa faktor yang dapat menyebabkan permasalah- an masyarakat dapat
masuk ke dalam agenda pemerintah!
Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut di atas, maka pelajari kembali
kegiatan pembelajaran tentang Agenda Setting, terutama yang belum Anda pahami.

C. Rangkuman
Banyak isu atau masalah yang dihadapi oleh pemerintah masuk dalam agenda
pemerintah untuk kemudian dirumuskan per- masalahannya. Ada dua bentuk
agenda, yaitu: “Systemic Agenda” dan “Governmental Agenda”.
Ada beberapa prasyarat untuk dapat masuk ke dalam “Systemic Agenda”. Di samping
itu ada faktor-faktor yang menyebabkan permasalahan masyarakat untuk dapat
masuk ke dalam “Governmental Agenda”.

IMPLEMENTASI, MONITORING, DAN EVALUASI KEBIJAKAN


PUBLIK

Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu


menjelaskan implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan
publik.

A. U r a i a n
1. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses
kebijakan. Udji (Abdul Wahab, 1991) mengemukakan: “Implementasi kebijakan
merupakan sesuatu yang penting, bahkan mungkin lebih penting daripada
pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau
rencana yang tersimpan dalam arsip apabila tidak diimplementasikan”.
Meskipun implementasi kebijakan itu penting, akan tetapi baru beberapa dasa warsa
terakhir ini saja para ilmuwan sosial menaruh perhatian terhadap masalah
implementasi dalam proses kebijakan.
Sebagai akibat kurang adanya perhatian pada implementasi kebijakan adalah adanya
semacam “mata rantai yang hilang” antara tahap perumusan kebijakan dan evaluasi
kebijakan. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa kebanyakan pemerintah di dunia ini
baru mampu untuk mensahkan kebijakan dan belum sepenuhnya mampu untuk menjamin
bahwa kebijakan yang telah disahkan itu benar-benar akan menimbulkan dampak atau
perubahan yang diinginkan (Abdul Wahab, 2001).
Gejala inilah yang menurut Andrew Dunsire (Abdul Wahab, 2001), diuraikan sebagai
“implementation gap”, yaitu suatu keadaan di mana dalam suatu proses kebijakan selalu
akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pembuat
kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai (sebagai hasil dari implementasi kebijakan).
Besar kecilnya perbedaan tersebut akan tergantung pada “implementation capacity” dari
organisasi/aktor yang dipercaya untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Implemen- tation capacity ini adalah kemampuan suatu organisasi/aktor untuk
melaksanakan mengimplementasikan kebijakan agar tujuan yang telah ditetapkan tersebut
dapat dicapai (Abdul Wahab, 2001).
Dalam kenyataannya, kebijakan publik itu mengandung risiko untuk mengalami kegagalan.
Hogwood dan Gunn (1986), mengelompokkan kegagalan implementasi kebijakan tersebut
dalam dua kategori, yaitu: “non implementation” (tidak dapat diimplementasikan) dan
“unsuccessful implementation” (implementasi yang kurang berhasil).
Sebagai contoh suatu kebijakan yang dikategorikan sebagai kebijakan yang “non
implementation” adalah kebijakan Menteri Keuangan yang mengenakan pajak 5% untuk
penukaran rupiah ke US $, yang ternyata tiga hari kemudian kebijakan tersebut dicabut
kembali.
Sedangkan contoh kebijakan yang dikategorikan “unsuccessful implementation” adalah
implementasi kebijakan pemungutan retribusi pesawat TV (televisi), yang
pelaksanaannya ter- sendat-sendat.
Secara umum, tugas implementasi adalah mengembangkan suatu struktur hubungan
antara tujuan kebijakan publik yang telah ditetapkan dengan tindakan-tindakan
pemerintah untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut yang berupa hasil kebijakan
(policy outcomes). Untuk ini perlu diciptakan suatu sistem, yang diharapkan melalui
sistem ini, tujuan kebijakan dapat direalisasi- kan, yaitu dengan cara menterjemahkan
tujuan kebijakan yang luas itu ke dalam program-program kegiatan yang mengarah
pada tercapainya tujuan kebijakan. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan
kebijakan perlu diciptakan berbagai macam program. Oleh karena itu, suatu studi
tentang proses implementasi kebijakan akan meliputi pengkajian dan analisis
terhadap program-program kegiatan yang dirancang sebagai sarana untuk mencapai
tujuan- tujuan kebijakan.

2. Monitoring Kebijakan Publik


Seperti telah diuraikan pada Bab III, monitoring adalah proses kegiatan pengawasan
terhadap implementasi kebijakan yang meliputi keterkaitan antara implementasi dan
hasil-hasilnya (outcomes) (Hogwood and Gunn, 1989).
Monitoring bukan sekedar pengumpulan informasi, karena monitoring memerlukan
adanya keputusan-keputusan, tentang tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan,
apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan dari yang telah ditentukan (Hogwood
and Gunn, 1989).
William N.Dunn (1994), menjelaskan bahwa monitoring mempunyai beberapa
tujuan, yaitu: Compliance (kesesuaian/kepatuhan).
Menentukan apakah implementasi kebijakan tersebut sesuai dengan standard dan
prosedur yang telah ditentukan.
Misalnya, dalam INPRES Desa Tertinggal (IDT), setiap desa menerima dana IDT
sebesar Rp 20.000.000,00 (standard).
Monitoring adalah untuk mengetahui, apakah yang diserahkan benar-benar Rp
20.000.000,00 per desa.
a. Auditing (pemeriksaan).
Menentukan apakah sumber-sumber pelayanan kepada kelompok sasaran (target
groups) memang benar-benar sampai kepada mereka.
Misalnya, untuk menentukan apakah dana IDT sebesar Rp 20.000.000,00 itu
benar-benar sampai ke kelompok sasaran, yaitu kelompok-kelompok masyarakat
miskin.
b. Accounting (Akuntansi).
Menentukan perubahan sosial dan ekonomi apa saja yang terjadi setelah
implementasi sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh, untuk menentukan apakah setelah mene- rima dana IDT sebesar
Rp 20.000.000,00 benar-benar ada perubahan kondisi sosial dan ekonomi dari
kelompok sasaran, atau dengan kata lain mereka yang tadinya miskin, sekarang
tidak miskin lagi.
c. Explanation (Penjelasan)
Menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik berbeda dengan tujuan
kebijakan publik.
Sebagai contoh, misalnya menjelaskan mengapa setelah menerima dana IDT
sebesar Rp 20.000.000,00, masyarakat miskin tidak berkurang, atau mengapa
dana IDT tersebut yang mestinya digulirkan ke kelompok lainnya, ternyata tidak
dapat digulirkan..

3. Evaluasi Kebijakan Publik


David Mackmias, seperti dikutip oleh Howlett and Ramesh (1995), mendefinisikan
evaluasi kebijakan sebagai : “suatu pengkajian secara sistematik dan empiris
terhadap akibat- akibat dari suatu kebijakan dan program pemerintah yang sedang
berjalan dan kesesuaiannya dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh
kebijakan tersebut”.
Kesulitan dalam evaluasi kebijakan, antara lain adalah tujuan- tujuan dalam
kebijakan publik jarang di.lakukan (ditulis) secara cukup jelas, dalam arti seberapa
jauh tujuan-tujuan kebijakan
publik itu harus dicapai. Pengembangan ukuran-ukuran yang tepat dan dapat
diterima semua pihak sangat sulit dilakukan (Howlett dan Ramesh, 1995).
Selain daripada itu, evaluasi kebijakan, seperti pada tahap-tahap lainnya dalam
proses kebijakan, merupakan kegiatan politis. Evaluasi kebijakan selalu melibatkan
para birokrat (pejabat pemerintah), para politisi, dan juga seringkali melibatkan
pihak- pihak di luar pemerintah (Howlett and Ramesh, 1995).
Samodera Wibawa, et al (1994), mengemukakan bahwa evaluasi kebijakan
merupakan aktivitas ilmiah yang perlu dilakukan oleh para pembuat kebijakan di
dalam tubuh birokrasi pemerintah. Di tangan para aktor kebijakan ini, evaluasi
memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu memberikan masukan untuk
penyempurnaan suatu kebijakan.
Dengan melakukan evaluasi, pemerintah dapat meningkatkan efektivitas program-
program mereka, sehingga meningkatkan pula kepuasan masyarakat terhadap
kebijakan pemerintah.
Seperti diuraikan di muka, evaluasi merupakan proses politik. Evaluasi kebijakan pada
dasarnya harus dapat menjelaskan seberapa jauh kebijakan dan implementasinya telah
dapat mencapai tujuan. Hanya saja, hal ini bukan merupakan hal yang mudah:
Mengidentifikasi tujuan yang benar-benar ingin dicapai, bukanlah tugas yang mudah.
Banyak kebijakan/program yang mempunyai tujuan yang sangat luas, dan oleh
karenanya terasa tak mungkin tercapai. Akibatnya evaluator tidak dapat membuat
indikator efektivitas kebijakan/program tersebut. Mengapa suatu kebijakan/program
mempunyai tujuan yang kabur? Hal ini terjadi karena kebijakan adalah produk politik,
yang mengakomodasikan beraneka ragam kepentingan. Ada banyak tujuan formal dan
diumumkan kepada masyarakat, tetapi tujuan yang sesungguhnya tidak dapat diketahui
(Samodera Wibawa, et al, 1994).
Selain daripada itu, seringkali tidak disadari bahwa yang biasa disebut evaluasi oleh
birokrasi pemerintah, sebenarnya bukan evaluasi dalam arti yang benar. Para pejabat
evaluator sering tidak bersungguh-sungguh dalam menilai apakah kebijakan yang
mereka evaluasi itu efektif atau tidak. Hal ini terjadi karena yang mengevaluasi adalah
pejabat pemerintah.
Mereka mempunyai kepentingan untuk menunjukkan bahwa kebijakan program telah
berjalan dengan, baik. (Samodera. Wibawa, et al, 1994). Akibatnya, misalnya suatu
instansi pemerintah melakukan evaluasi kebijakan, tetapi dalam
kenyataannya hasilnya jarang dipublikasikan, sehingga masyarakat sulit
mengetahui hasil evaluasi kebijakan.
Howlett dan Ramesh (1995), mengemukakan tentang beberapa bentuk evaluasi
kebijakan, yaitu:
a. Administrative Evaluation (Evaluasi Administratif).
Evaluasi administratif pada umumnya dibatasi pada pengkajian tentang efisiensi
penyampaian pelayanan pemerintah dan penentuan, apakah penggunaan dana
oleh pemerintah sesuai dengan tujuan yang telah dicapai.
Ada beberapa bentuk evaluasi administratif (Howlett and Ramesh, 1995), yaitu:
1) Effort Evaluation.
Effort evaluation bertujuan untuk mengukur kuantitas inputs (masukan)
program, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Inputs itu
adalah personil, ruang kantor, komunikasi, transportasi, dan lain-lain, yang
dihitung berdasarkan biaya yang digunakan.
2) Performance Evaluation.
Performance evaluation mengkaji outputs program.
Contoh, outputs rumah sakit : tempat tidur yang tersedia, jumlah pasien.
3) Effectiveness Evaluation.
Effectiveness evaluation bertujuan untuk menilai apakah program telah
dilaksanakan, kemudian diadakan perbandingan kesesuaian antara
pelaksanaan program dengan tujuan kebijakan.
4) Process Evaluation.
Process evaluation mengkaji peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur
operasi organisasi yang digunakan dalam penyampaian program. Judicial
Evaluation (Evaluasi Yudisial).
Evaluasi yudisial mengadakan pengkajian apakah kebijakan yang dibuat
pemerintah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, apakah
tidak melanggar HAM dan hak- hak individu.
b. Political Evaluation (Evaluasi Politis).
Evaluasi politis masuk dalam proses kebijakan hanya pada waktu-waktu
tertentu. Misalnya, pemilihan umum.

B. Latihan
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda tentang Implementasi, Monitoring, dan
Evaluasi Kebijakan Publik, cobalah latihan di bawah ini.
1. Jelaskan tentang pentingnya implementasi kebijakan publik.
2. Jelaskan tentang kebijakan.
3. Jelaskan tentang implementation Gap.
4. Jelaskan tentang kebijakan yang tidak dapat diimplementasikan (non
implementation) dan berikan contohnya.
5. Jelaskan tentang kebijakan yang implementasinya kurang berhasil
(unsuccessful implementtation) dan berikan contohnya
6. Jelaskan pengertian monitoring kebijakan.
7. Jelaskan empat tujuan monitoring kebijakan.
8. Jelaskan pengertian evaluasi kebijakan.
9. Jelaskan kesulitan dalam evaluasi kebijakan.
10. Jelaskan, mengapa evaluasi dikatakan merupakan proses tentang bentuk-
bentuk evaluasi kebijakan.
Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut di atas, maka pelajari kembali
kegiatan pembelajaran tentang Implementasi, Monitoring, dan Evaluasi Kebijakan
Publik, terutama yang belum Anda pahami.

C. Rangkuman
Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan,
akan tetapi baru beberapa dasa warsa terakhir ini mendapat perhatian dari para ilmuwan
sosial.
Akibat kurangnya perhatian pada implementasi kebijakan ini menimbulkan adanya
implementation gap, yaitu kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang
diharapkan dengan apa yang senyatanya dicapai. Kebijakan publik mengandung resiko
untuk mengalami kegagalan. Kegagalan ini dikategorikan menjadi dua, yaitu non
implementation dan unsuccessful implementation.
Tugas implementasi adalah mengembangkan suatu struktur hubungan antara tujuan
kebijakan dengan tindakan pemerintah untuk merealisasikan tujuan-tujuan kebijakan.
Monitoring kebijakan merupakan kegiatan pengawasan terhadap implementasi
kebijakan. Ada empat tujuan monitoring, yaitu : Compliance (kesesuaian/kepatuhan),
Auditing (pemeriksaan), Accounting (akuntansi), dan Explanation (penjelasan).
Evaluasi kebijakan adalah suatu pengkajian secara sistematik dan empiris terhadap
akibat-akibat dari suatu kebijakan dan program pemerintah yang sedang berjalan dan
kesesuaiannya dengan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan tersebut.
Evaluasi kebijakan, seperti tahap-tahap lain dalam proses kebijakan, merupakan proses
politik, yang melibatkan para birokrat, politisi dan fihak-fihak di luar pemerintah.
Evaluasi merupakan kegiatan yang sulit, karena tujuan kebijakan itu sendiri sering
dirumuskan secara luas, sehingga sulit menyusun indikator-indikatornya.
Ada beberapa bentuk evaluasi kebijakan, yaitu Evaluasi Administratif, Evaluasi
Yudisial dan Evaluasi Politis.

BAB VII
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu


menjelaskan analisis kebijakan publik.

A. Uraian
1. Dimensi-dimensi Kebijakan Publik
Analisis Kebijakan Publik, sebagai usaha untuk mengadakan informasi dalam
pembuatan kebijakan, sebenarnya sudah ada semenjak manusia mengenal organisasi
dan mengetahui tentang pembuatan keputusan, mulai dari penggunaan cara yang
paling sederhana dan tradisional (berdasarkan mistik) sampai dengan penggunaan
cara-cara ilmiah, baik yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Namun sebagai disiplin
ilmu tersendiri, kegiatan ilmu kebijakan dimulai setelah Perang Dunia II, yakni
dengan diterbitkannya buku karya Harolld D. Lasswell dan Daniel Larner, yang
berjudul : “The Policy Science: Recent Development in Scope and Methods” pada
tahun 1951. Buku ini berorientasi praktis dan dianggap sebagai buku pertama yang
ditulis cukup sistematis yang menyumbang lahirnya “Ilmu Kebijakan” sebagai Ilmu
Sosial Terapan (Said Zainal Abidin, 1991).
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, para penulis masa kini lebih menyukai
untuk menggunakan istilah “Analisis Kebijakan” (Policy Analysis) daripada
menggunakan istilah “Ilmu Kebijakan” (Policy Science). (Ham and Hill, 1986).
Kebijakan Publik (Public Policy) meliputi dua dimensi: yakni proses kebijakan
(policy process) dan analisis kebijakan (policy analysis).
Dimensi pertama, proses kebijakan, mengkaji proses penyusunan kebijakan
mulai dari identifikasi dan perumusan masalah, implementasi kebijakan, monitoring
kebijakan serta evaluasi kebijakan.
Sedangkan dimensi kedua, analisis kebijakan, meliputi penerapan metode dan teknik
analisis yang bersifat multidisiplin dalam proses kebijakan.
Analisis kebijakan, tidak hanya berkaitan dengan satu disiplin ilmu saja, akan tetapi terkait
dengan berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu pendekatannya adalah multidisiplin,
yaitu penerapan dari berbagai metode dan teknik analisis dari berbagai disiplin ilmu.

2. Pengertian Analisis Kebijakan Publik


a. William N. Dunn.
Analisis kebijakan publik adalah suatu disiplin ilmu sosial, terapan, yang
menggunakan berbagai macam metodologi penelitian dan argumen untuk
menghasilkan dan mentrans- formasikan informasi yang relevan dengan kebijakan,
yang digunakan dalam lingkungan politik tertentu, untuk memecahkan masalah-
masalah kebijakan.
b. E. S. Quade.
Dalam arti luas, analisis kebijakan publik adalah suatu bentuk penelitian terapan untuk
memahami secara mendalam berbagai permasalahan sosial guna mendapatkan
pemecahan yang lebih baik.
a. Stuart S. Nagel.
Analisis kebijakan publik adalah penentuan dalam rangka hubungan antara
berbagai alternatif kebijakan dan tujuan- tujuan kebijakan; manakah di antara
berbagai alternatif kebijakan, keputusan, dan cara-cara lainnya yang terbaik untuk
mencapai sejumlah tujuan-tujuan tertentu.
Kesimpulan:
Analisis Kebijakan Publik adalah:
1) Penelitian untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan
permasalahan yang dihadapi.
2) Mencari dan mengkaji berbagai alternatif pemecahan masalah atau pencapaian
tujuan.
3) Tambahan dari William N. Dunn, keduanya dilakukan secara multidisiplin.
Tujuan dari analisis kebijakan adalah memberikan informasi kepada pembuat
kebijakan, yang dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah
masyarakat. Di samping itu, analisis kebijakan juga bertujuan untuk meningkatkan
kualitas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Aplikasi analisis kebijakan meliputi wilayah permasalahan yang sangat luas,
misalnya energi, pendidikan, hubungan internasional, kriminalitas, kesejahteraan
masyarakat, pengangguran, transportasi, lingkungan hidup, stabilitas keamanan,
kemiskinan, dan sebagainya. (Dunn, 1994). Faktor-faktor Strategis yang
Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan.
c. Faktor Politik
Faktor politik ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu kebijakan,
karena dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai
aktor kebijakan (policy actors), baik, aktor-aktor dari kalangan pemerintah
(Presiden, Menteri, Panglima TNI dan lain-lain), maupun dari kalangan bukan
pemerintah (Pengusaha, LSM, Asosiasi Profesi, ilmuwan; Media Massa dan
lain-lain).
d. Faktor Ekonomi/Finansial.
Faktor ekonomi/finansial pun perlu dipertimbangkan, terutama apabila
kebijakan tersebut akan menggunakan dana yang cukup besar atau akan
berpengaruh pada situasi ekonomi dalam negara.
e. Faktor Administratif/Organisatoris.
Dalam perumusan kebijakan perlu pula dipertimbangkan factor
adminitratif/organisatoris, yaitu apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu
benar-benar akan didukung oleh kemampuan administrative yang memadai,
atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.
f. Faktor Teknologi.
Dalam perumusan kebijakanpun perlu mempertimbangkan faktor teknologi, yaitu
apakah teknologi yang ada dapat mendukung, apabila kebijakan tersebut
kemudian diimplementasikan.
Faktor sosial, budaya, dan agama pun perlu dipertimbangkan, yaitu misalnya
apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya dan
agama atau yang sering disebut masalah SARA.
g. Faktor Pertahanan dan Keamanan.
Faktor pertahanan dan keamanan ini pun akan berpengaruh dalam perumusan
kebijakan, misalnya apakah kebijakan yang akan dikeluarkan ini tidak akan
mengganggu stabilitas keamanan negara.
Faktor-faktor tersebut di atas akan menjadi kriteria dalam menentukan feasibilitas
(kelayakan) dari alternatif-alternatif kebijakan yang akan dipilih dalam langkah-
langkah perumusan kebijakan.
3. Aspek-aspek dalam Analisis Kebijakan Publik.
Amir Santoso, dalam tulisannya pada Jurnal Ilmu Politik, menjelaskan tentang
adanya tiga aspek dalam analisis kebijakan publik, yaitu :
a. Analisis mengenai perumusan kebijakan:
Analisis perumusan kebijakan, misalnya hubungan antara
lembaga-lembaga/badan-badan pemerintah, di mana dalam kebijakan tersebut
dirumuskan hubungan antara badan badan eksekutif dan legislatif, selama proses
perumusan tersebut berlangsung.
Analisis ini mencoba menjawab pertanyaan, misalnya bagaimana kebijakan
dibuat. Mengapa pemerintah memiliki alternatif A dan bukan alternatif B,
sebagai kebijakannya. Siapa saja yang terlibat dalam perumusan tersebut dan
siapa yang paling dominan. Mengapa orang itu atau golongan itu yang paling
dominan. Analisis mengenai implementasi kebijakan.
Analisis implementasi kebijakan mencoba mempelajari sebab-sebab keberhasilan
atau kegagalan kebijakan publik melalui pembahasan mengenai faktor-faktor yang
mem- pengaruhi implementasi kebijakan, seperti masalah kepemimpinan dan
interaksi politik di antara pelaksana kebijakan. Aspek ini berkembang akibat
kesadaran di kalangan ilmuwan kebijakan bahwa implementasi suatu
kebijakan/program tidak hanya bersifat teknis dan administratif belaka.
Implementasi kebijakan ternyata melibatkan masalah-masalah politik, yang sering
merupakan faktor yang mempengaruhi implementasi suatu kebijakan/ program.
Pertanyaan yang hendak dijawab, antara lain adalah:
1) Bagaimana cara kebijakan diimplementasikan?
2) Siapa saja yang dilibatkan dalam proses implementasi tersebut?
3) Bagaimana interaksi antara orang-orang atau kelompok- kelompok yang terlibat
dalam implementasi kebijakan itu ?
4) Siapa yang secara formal diberi wewenang mengim- plementasikan kebijakan
dari siapa yang informal lebih berkuasa dan mengapa?
5) Bagaimana cara kerja birokrasi pusat dan daerah serta badan-badan lain yang
terlibat dalam implementasi kebijakan/program?
6) Bagaimana cara atasan mengawasi bawahan dan bagaimana
mengkoordinasikannya?
7) Bagaimana tanggapan target group terhadap kebijakan tersebut?

b. Analisis mengenai evaluasi kebijakan.


Evaluasi kebijakan mengkaji akibat-akibat suatu kebijakan atau mencari jawaban
atas pertanyaan “apa yang terjadi sebagai akibat dari implementasi suatu
kebijakan?”.
Analisis evaluasi kebijakan sering juga disebut analisis dampak kebijakan, yang
mengkaji akibat-akibat implemen- tasi suatu kebijakan dan membahas
“hubungan di antara cara yang digunakan dan hasil yang dicapai”. Misalnya,
apakah pelayanan terhadap penumpang kendaraan umum menjadi lebih baik
setelah dikeluarkan kebijakan mengenai perbaikan transportasi umum?

4. Macam-macam Analisis Kebijakan (Policy Analysis).


Gordon, Lewis, and Gunn (Wayne Parsons), mengemukakan adanya macam-
macam analisis kebijakan (Policy Analysis), seperti yang terlihat pada gambar di
bawah ini :

Analysis Analysis
of for
Policy Policy

1 2 3 4 5
Analysis Analysis Policy Informati Policy
of of on
Policy Policy Monitori for Advocac
Content ng Policyy
Determinat and
ion Evaluation
Analysis of Policy, meliputi :
a. Policy Determination, yaitu analisis yang berkaitan dengan bagaimana
kebijakan itu dibuat, mengapa dibuat, kapan dibuat, dan untuk siapa dibuat
(how, when, for whom).
b. Policy Content, yaitu terkait dengan deskripsi suatu kebijakan tertentu, dan
bagaimana kebijakan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan kebijakan-
kebijakan lain yang telah lalu.
Policy Monitoring and Evaluation, meliputi :
a. Policy Monitoring, yaitu mengkaji bagaimana kebijakan itu
diimplementasikan, dikaitkan dengan tujuan kebijakan.
b. Policy Evaluation, yaitu apa dampak kebijakan tersebut terhadap
permasalahan tertentu.
Analysis for Policy, meliputi :
a. Policy Advocacy, yaitu terkait dengan riset dan argumen yang bertujuan
untuk mempengaruhi policy agenda, baik diluar maupun didalam
pemerintah.
b. Information for Policy, yaitu suatu bentuk analisis yang ditujukan untuk
mendukung kegiatan pembuatan kebijakan dalam bentuk hasil penelitian.

B. Latihan
Untuk mengetahui tingkat pemahaman Anda mengenai analisis kebijakan
publik, maka coba jawablah pertanyaan di bawah ini.
1. Coba jelaskan tentang dua dimensi kebijakan publik!
2. Coba jelaskan penger-tian analisis kebijakan publik!
3. Coba jelaskan factor-faktor strategis yang mempengaruhi perumusan
kebijakan publik!
4. Coba jelaskan tiga aspek dalam analisis kebijakan publik!
Apabila Anda belum mampu menjawab pertanyaan di atas, maka pelajari kembali
pembelajaran tentang Analisis Kebijakan Publik, terutama yang belum Anda pahami.

C. Rangkuman
Ada dua dimensi kebijakan publik, yaitu proses kebijakan dan analisis kebijakan.
Analisis kebijakan merupakan penerapan metode dan teknik analisis yang bersifat
multidisiplin dalam proses kebijakan.
Dalam analisis kebijakan publik perlu diperhatikan adanya faktor- faktor strategis yang
berpengaruh dalam perumusan kebijakan, yaitu faktor-faktor politik, ekonomi/finansial,
administratif/organisatoris, teknologi, sosial, budaya, agama, dan pertahanan/keamanan.
Ada beberapa aspek dalam analisis kebijakan, yaitu analisis mengenai perumusan
kebijakan, implementasi kebijakan dan analisis mengenai evaluasi kebijakan.
PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK
Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu
memahami dan merumuskan kebijakan publik.

A. U r a i a n
1. Isu-Isu Konseptual
Apabila pemerintah mengetahui adanya masalah-masalah dalam masyarakat (public
problems) dan pemerintah ingin meng- atasinya, maka pembuat kebijakan perlu
memutuskan untuk melakukan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah
tersebut. Untuk itu, pembuat kebijakan harus memilih beberapa alternatif yang ada
untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk memperoleh alternatif-alternatif tersebut,
diperlukan adanya proses perumusan kebijakan. (Howlett and Ramesh, 1995).
Masalah-masalah kebijakan, publik tidak selalu siap ada dihadapan pembuat
kebijakan. Dalam kenyataannya, pembuat kebijakan harus melakukan identifikasi
masalah sebelum melakukan perumusan kebijakan.
Seringkali terjadi adanya ketidaksepakatan antara orang satu dengan orang yang
lain. Sesuatu yang dianggap sebagai “masalah” oleh seseorang mungkin dipandang
bukan “masalah” oleh orang lain, karena dianggap malah menguntungkan. Charles
O. Jones, seperti dikutip oleh Islamy (2001), mengemukakan “Peristiwa-peristiw,a
yang terjadi dalam masyarakat diartikan secara berbeda pada waktu yang berbeda.
Banyak masalah yang timbul sebagai akibat dari satu peristiwa yang sama”.
Mengenai pengertian “masalah”, David. G. Smith (Islamy, 2001), mengemukakan
“Untuk tujuan kebijakan, masalah dapat diartikan secara formal sebagai kondisi atau
situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan dalam
masyarakat, untuk itu perlu dicari cara-cara penanggulangannya”
Mengenai istilah “peristiwa”, Jones (Islamy, 2001) mengartikan- nya sebagai
kegiatan-kegiatan manusia atau alam yang dipandang mempunyai akibat pada
kehidupan manusia. Sedangkan mengenai masalah, Jones sependapat dengan Smith,
yaitu “Kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhi/ ditanggulangi)”.
Banyak kebutuhan atau ketidakpuasan yang ada dalam masyarakat, tetapi tidak
selalu hal itu langsung menjadi “public Problem”. Public problem adalah kebutuhan-
kebutuhan atau ketidakpuasan manusia yang tidak dapat dipenuhi atau diatasi secara
pribadi (privat).
Dalam kebijakan publik dikenal adanya apa yang disebut “public problem” dan
“private problem”. Pada hakekatnya yang dinamakan “public problem” adalah
masalah-masalah yang mempunyai akibat yang luas, termasuk akibat-akibat yang
mengenai orang-orang yang tak langsung terlibat.
Sedangkan “private problem” adalah masalah-masalah yang mempunyai akibat
terbatas atau hanya menyangkut satu atau sejumlah kecil orang terlibat secara
langsung.
2. Proses Perumusan Kebijakan Publik.
Setelah”public problem” masuk dalam agenda pemerintah, maka langkah
selanjutnya adalah proses perumusan kebijakan publik, Mustopadidjaja AR
(Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja AR, 1988) mengemukakan tentang
langkah- langkah perumusan kebijakan publik sebagai berikut:
a. Perumusan Masalah Kebijakan.
Perumusan masalah kebijakan ini adalah untuk menemukan dan memahami
hakikat masalah, kemudian merumuskannya dalam bentuk sebab-akibat. Untuk
ini harus jelas, mana faktor penyebab (Independent variable) dan mana faktor
akibat (dependent variable).
Disiplin yang terkait dalam tahap ini, misalnya metode penelitian, metode
kuantitatif dan teori-teori yang sesuai dengan substansi masalah.
Teknik analisis yang dapat digunakan, misalnya analisis masalah dengan
“pohon masalah” (problem tree) atau analisis masalah dengan “tulang ikan”
(fish bones).
Contoh analisis masalah dengan pohon masalah, tentang meningkatnya arus
urbanisasi di DKI Jakarta. Oleh karena itu perlu dicari penyebabnya.

Meningkatnya arus
urbanisasi di DKI
Jakarta

Mudahnya perpindahan Meningkatnya


penduduk dari luar DKI pembangunan Kota
Jakarta Jakarta

Kurangnya pembangunan Kurangnya dorongan


fasilitas di daerah-daerah perpindahan penduduk ke
daerah lain

a. Perumusan Tujuan/Sasaran.
Tujuan/sasaran adalah suatu akibat yang secara sadar ingin dicapai atau ingin
dihindari. Pada umumnya suatu kebijakan bertujuan untuk mencapai
kebaikan-kebaikan atau mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Teknik analisis tujuan/sasaran yang dapat di gunakan misalnya analisis sasaran,
sebagai kelanjutan analisis masalah dengan menggunakan pohon masalah.

Contoh Analisis Sasaran


Mengurangi arus
urbanisasi di DKI
Jakarta

1 3
Membatasi tinggal di DKI Membatasi Pembangunan
Jakarta di Jakarta

2 4
Membangun fasilitas di Mendorong perpindahan
daerah-daerah penduduk ke daerah lain

Catatan : 1, 2, 3, 4 adalah alternatif-alternatif yang dipilih.

b. Perumusan alternatif.
Alternatif adalah pilihan tentang cara atau alat yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan/sasaran. Alternatif ini dapat diperoleh dari hasil analisis
sasaran.
c. Perumusan Model.
Apabila diperlukan dapat dirumuskan suatu model analisis kebijakan, misalnya
flow chart, miniatur dan lain-lain.
d. . Perumusan Kriteria.
Kriteria ini dapat dipakai untuk mengukur/menilai
feasibilitas (kelayakan) dari tiap-tiap alternatif. Kriteria ini misalnya:
1) Politik;
2) Ekonomi/finansial;
3) Administratif/organisatoris;
4) Teknologi;
5) Sosial, budaya, dan agama;
6) Pertahanan dan Keamanan (Hankam)
e. Penilaian Alternatif.
Alternatif-alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan kriteria di atas.
7) Politik.
Alternatif mana yang paling banyak mendapat dukungan dari para aktor
kebijakan.
8) Ekonomi/finansial.
Alternatif mana yang paling banyak menggunakan dana.
9) Administratif/organisatoris.
Apakah secara administratif/organisatoris, alternatif tersebut dapat
dilaksanakan atau apakah ada organisasi- organisasi yang melaksanakan.
10) Teknologi.
Apakah untuk alternatif-alternatif tersebut didukung oleh tersedianya teknologi
yang diperlukan.
11) Sosial, budaya, dan agama.
Apakah alternatif-alternatif tersebut tidak menimbulkan gejolak sosial,
SARA, dan sebagainya.
12) Hankam.
Apakah alternatif-alternatif tersebut dari segi stabilitas keamanan cukup
feasible (layak).
Misalnya, hanya ada empat alternatif kebijakan yang akan diperhitungkan, yaitu
:
1) Membatasi kemungkinan untuk tinggal di Jakarta dengan tidak memberikan
KTP baru bagi mereka yang baru datang.
2) Membangun fasilitas yang lebih baik di daerah-daerah.
3) Membatasi pertumbuhan kota Jakarta dengan mem- batasi pertambahan
investasi baru.
4) Mendorong perpindahan penduduk ke wilayah lain dengan lebih
mempermudah transportasi laut ke dan dari wilayah-wilayah diluar Jakarta.
Dengan mengutamakan kriteria feasibilitas (kelayakan) politik, ekonomi,
keuangan, administratif, dan efektivitas (lebih banyak mencapai hasil, dalam hal ini
mengurangi urbanisasi), kita menilai keempat alternatif tersebut. Setiap alternatif
kita beri nilai secara relatif. Karena kriteria ada lima, Maka yang paling baik sekali
kita beri nilai 5, baik sekali diberi nilai 4, baik diberi nilai 3, sedang diberi nilai 2,
dan kurang baik diberi nilai 1. Hasil analisis sasaran menunjukkan ada empat
alternatif kebijakan yang akan diperhitungkan, yaitu :
Alternatif 1 :
Dari segi politik kurang baik, karena ini menimbulkan kesan pembatasan
kebebasan warga negara bertempat tinggal di negaranya sendiri.
Dari segi ekonomi terhitung sedang. Sekalipun dapat mencegah adanya
pengangguran, akan tetapi ini dapat mengurangi pengadaan tenaga kerja baru di
Jakarta, sementara di pedesaan tidak ada kesempatan kerja.
Dari segi keuangan, ini paling baik, karena tidak memerlukan biaya yang besar.
Dari segi administratif termasuk kurang baik. Biarpun kelihatannya tidak sulit
untuk tidak memberi KTP bagi pendatang baru, tetapi ini dapat mendorong
terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang mengarah pada KKN.
Dari segi efektifitas termasuk baik, karena dapat mengurangi minat tinggal di
Jakarta yang berdampak cukup baik pada pengurangan urbanisasi dalam jumlah
yang terbatas.

Alternatif 2 :
Dari segi politik paling baik sekali. Mengembangkan kemampuan daerah dan
mudah mendapat dukungan masyarakat dan kekuatan-kekuatan politik yang
ada.
Dari segi ekonomi paling baik sekali. Pembangunan daerah merupakan strategi
yang memang harus dilakukan untuk menghilangkan ketimpangan antar daerah
dan memperkuat basis perekonomian nasional, memperluas pasar dan daya beli
dalam negeri, serta pemanfaatan sumber daya nasional secara luas.
Dari segi keuangan kurang baik, karena pembangunan daerah cukup mahal dan
tidak memberikan keuntungan dengan segera.
Dari segi administratif masuk kategori sedang, karena pembangunan daerah
merupakan kegiatan yang cukup berat, walaupun ini tergantung pada kemampuan
penanganan oleh masing-masing daerah.
Dari segi efektivitas termasuk baik sekali untuk mengurangi urbanisasi, karena
dapat memberi dorongan untuk bertindak sendiri untuk merubah arah arus
urbanisasi.
Alternatif 3 :
Dari segi politik termasuk kurang baik, karena pembatasan pembangunan kota
Jakarta merupakan tindakan yang radikal. Itu bisa terjadi kalau dilakukan secara
tidak langsung melalui perluasan pembangunan daerah. Tetapi apabila dilakukan,
secara langsung merupakan tindakan yang sulit mendapat dukungan politik.
Dari segi ekonomi termasuk kurang baik, karena pembatasan pembangunan kota
dapat membatasi perkembangan ekonomi.
Dari segi keuangan termasuk kategori sedang, karena pembatasan pembangunan
kota Jakarta barangkali tidak mengeluarkan biaya, tetapi juga mengurangi
tambahan pemasukan baru.
Dari segi administratif termasuk sedang, pembatasan pembangunan kota Jakarta
tidak berarti tidak ada kegiatan, bahkan mungkin dapat menimbulkan berbagai
kegiatan administrasi baru. Dari segi efektivitas termasuk kategori baik.
Pembatasan pembangunan kota Jakarta barangkali mengurangi minat pendatang
baru, tetapi tidak mengurangi minat mereka yang sudah tinggal di Jakarta.

Alternatif 4 :
Dari segi politik termasuk yang paling baik sekali, karena dapat memperluas
wawasan politik masyarakat, dan lebih memungkinkan untuk mendapat
dukungan yang luas dari berbagai pihak.
Dari segi ekonomi termasuk baik sekali, karena dapat memperluas jangkauan
perekonomian dalam negeri melalui perluasan pemanfaatan sumber daya dan
perluasan pasar.
Dari segi keuangan termasuk kurang baik, karena adanya pengeluaran yang
cukup besar.
Dari segi administratif termasuk baik, karena akan menimbulkan kegiatan
administratif lebih banyak, perluasan hubungan dan memperlancar kegiatan
administrasi pembangunan.
Dari segi efektifitas termasuk baik, karena untuk mengurangi urbanisasi, secara
tidak langsung sangat bermanfaat.
Untuk memilih alternatif yang terbaik, sesuai dengan penilaian di atas, maka
setiap alternatif tersebut di atas dapat diproyeksikan dalam angka-angka seperti
tersebut dalam tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1

N Kriteria Po E Ke Ad Eft Jm
O. l k u m l
1. Membatasi 1 2 5 1 3 12
tinggal di-
Jakarta
2. Membangun 5 5 1 2 4 17
Daerah
3. Membatasi 1 1 2 2 3 9
Pemba-
ngunan-
Pembangun an
Jakarta
4. Membangun 5 5 1 2 3 16
Transpor tasi ke
Daerah lain.

Dalam tabel tersebut di atas terlihat bahwa pembangunan daerah merupakan


salah satu alternatif yang mempunyai angka tertinggi, yakni. 17, disusul oleh
alternatif pembangunan transportasi ke daerah lain dengan nilai 16.
Dalam penilaian untuk pemilihan lebih lanjut, angka-angka ini belum merupakan
angka final. Yang perlu dinilai adalah nilai bobot dari masing-masing kriteria itu
sendiri sesuai dengan pertimbangan dalam hubungan dengan tujuan yang lebih
tinggi ataupun yang lebih, mendesak. Pertimbangan itu bisa jadi berhubungan
dengan persatuan dan kesatuan nasional, kepentingan untuk segera meningkatkan
daya saing, yang mungkin diperkirakan makin mendesak, dan sebagainya.
Katakanlah misalnya prioritas kita pada peningkatan daya saing nasional yang
mendesak, sementara persatuan dan kesatuan nasional dipandang sudah cukup
mantap, maka kriteria itu dapat kita beri nilai bobot sebagai berikut:
Kriteria politik : 3
Kriteria ekonomi : 5
Kriteria keuangan : 2
Kriteria administrasi : 3
Kriteria efektifitas : 4
Kriteria ekonomi dipandang penting, sementara efektifitas merupakan sesuatu
yang ingin diusahakan. Jadi nilainya tidak boleh kurang dari empat. Kriteria
politik juga cukup penting, namun masih di bawah kriteria ekonomi, yang
langsung berkaitan dengan daya saing. Kriteria keuangan dipandang kurang
penting dibandingkan dengan kriteria administrasi, karena keperluan adanya
peningkatan kemampuan dalam pelayanan umum.
Dengan demikian nilai dalam tabel 1 berubah menjadi seperti dalam tabel 2
sebagai berikut:

No Kriteri Pol Ek Keu Ad Eft Jm


. a m l
Alt. Kebijakan
1. Membatasi 1 x 2 x 5 x 1 x 3 x 38
tinggal di- 3 5 2 3 4
Jakarta
2. Membangun 5 x 5 x 1 x 2 x 4 x 64
Daerah 3 5 2 3 4
3. Membatasi 1 x 1 x 2 x 2 x 3 x 30
Pemba- ngunan- 3 5 2 3 4
Pembangunan
Jakarta
4. Membangun 5 x 5 x 1 x 2 x 3 x 60
Transpor tasi ke 3 5 2 3 4
Daerah lain.
Pada tabel 2 tersebut di atas terlihat bahwa pembangunan daerah masih tetap
merupakan alternatif kebijakan yang terbaik, diikuti oleh alternatif keempat,
pembangunan transportasi ke daerah lain. Kondisi ini kelihatannya sama dengan
tabel 1. Tetapi keadaan ini tidak selalu demikian, tergantung prioritas yang
kita berikan terhadap kriteria-kriteria yang kita pakai.
Dengan demikian, pilihan kita jatuh pada alternatif ke-2, pembangunan daerah
dengan nilai akhir 64, diikuti alternatif ke-4.

B. Latihan
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda mengenai Perumusan Kebijakan Publik,
cobalah latihan di bawah ini.
1. Jelaskan pengertian “masalah” menurut David G. Smith!
2. Jelaskan pengertian “peristiwa” menurut Jones, yang terkait dengan perumusan
masalah kebijakan publik!
3. Jelaskan pengertian “Public problem” dan “private problem”!
4. Jelaskan langkah-langkah perumusan kebijakan publik!
Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut di atas, maka pelajari kembali
kegiatan pembelajaran tentang Perumusan Kebijakan Publik, terutama yang belum Anda
pahami.

C. Rangkuman
Tahap pertama proses kebijakan publik adalah perumusan kebijakan. Langkah pertama
dalam perumusan kebijakan adalah perumusan masalah kebijakan.
Dalam kebijakan publik dikenal apa yang di sebut “public problem” dan “private
problem”.
Langkah kedua dalam perumusan kebijakan adalah perumusan tujuan/sasaran.
Langkah ketiga adalah perumusan alternatif kebijakan. Alternatif ini dapat
dikembangkan dari hasil perumusan tujuan/ sasaran.
Langkah keempat adalah perumusan model.
Langkah kelima adalah menyusun kriteria yang meliputi kriteria politik,
ekonomi/finansial, administratif, teknologi, sosial-budaya- agama dan hankam.
Langkah keenam adalah penilaian alternatif.
Dan langkah terakhir (ketujuh) adalah perumusan rekomendasi.

A. Simpulan
Kemajuan suatu negara ditentukan oleh kebijakan publik yang dimilikinya. Oleh karena
itu untuk mengetahui kualitas suatu kebijakan publik, diperlukan kemampuan untuk
menganalisis kebijakan publik. Namun untuk melakukan analisis tersebut secara tepat,
terlebih dahulu perlu dipahami esensi kebijakan publik itu. Kebijakan publik itu sendiri
adalah suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara yang ditujukan untuk
kepentingan masyarakat. Tujuannya adalah untuk memecahkan masalah-masalah yang
ada di dalam masyarakat.
Untuk menghasilkan kebijakan publik yang baik, maka kebijakan publik perlu dilihat
sebagai suatu sistem, yang terdiri dari unsur input yakni masalah kebijakan publik,
proses yang berupa pembuatan kebijakan publik, dan output yakni kebijakan publik dan
dampak (impact) yang ditimbulkan terhadap kelompok sasaran (target group).
Disamping itu, kebijakan publik dapat pula dilihat sebagai proses yang meliputi tahap
perumusan masalah, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan publik.
Dalam tahap perumusan masalah, kebijakan publik memerlukan input yang berupa data
dan informasi. Pengelolaan data dan informasi kebijakan publik perlu dilaksanakan
dengan baik agar dapat secara akurat memecahkan permasalahan yang ada dalam
masyarakat. Selanjutnya, kebijakan publik memasuki tahapan implementasi, kemudian
monitoring dan terakhir adalah evaluasi. Implementasi adalah tindakan pemerintah
untuk merealisasikan tujuan-tujuan kebijakan. Monitoring merupakan kegiatan
pengawasan terhadap implementasi kebijakan, sedangkan evaluasi kebijakan adalah
suatu pencapaian secara sistematis atas kesesuaian tujuan kebijakan dengan fakta
empiris di lapangan.
Untuk melihat keberhasilan kebijakan publik, maka diperlukan analisis terhadap
keseluruhan sistem, proses dan tahapan kebijakan. Analisis ini bersifat multidisiplin yang
mencakup faktor-faktor politik, ekonomi, administratif, teknologi, sosial, budaya, dan
pertahanan keamanan.

Tindaklanjut
mengimplementasikan berbagai kebijakan publik yang terkait dengan sektor atau
bidang yang menjadi tugas pokoknya. Implementasi kebijakan-kebijakan tersebut
dapat berlangsung secara efektif apabila esensi kebijakan- kebijakan tersebut yang
meliputi sistem dan prosesnya dapat dipahami.
Oleh karena itu berbekal hasil-hasil belajar pada modul Analisis Kebijakan Publik ini,
peserta diharapkan mampu menerapkan kebijakan-kebijakan publik yang terkait dengan
sektor atau bidangnya masing-masing, dan secara proaktif melakukan analisis
terhadapnya terutama pada aspek implementasinya di lapangan, dan apabila terdapat
permasalahan dapat menyusun dan menyampaikan hasil analisisnya kepada atasannya
guna penyempurnaan kebijakan tersebut. Kesemua ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kinerja instansi masing-masing peserta.

Daftar Pustaka

Abdul Wahab, Solichin. (1990). Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, Jakarta:


Rineka Cipta.
Abdul Wahab, Solichin (2001). Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara, Edisi Kedua, Jakarta: Bumi Aksara.
Anderson, James E. (1976). Public Policy Making, New York: Holt, Rinrkart and Winston.
Abidin, Said Zainal (1997). 10 Langkah Analisis Perumusan dan Saran Kebijaksanaan
Publik, Jakarta: Lembaga Adminis- trasi Negara.
Dunn, William N. (1994). Public Policy Analysis: An Introduction,
Englewood Cliff. Prentice Hall, Inc.
Ham, Christopher and Michael Hill (1980). The Policy Process in The Modern Capitalist
State, Brighton, Sussex: Wheatsheaf Book, Ltd.
Hill, Michael (Ed.) (1997). The Policy Process, Harlow, Essex, England: Prentice-Hall, Inc.
Hogwood, Brian W. and Lewis A. Gunn (1985). Policy Analysis for the Real World,
Oxford: Oxford University Press.
Howlett, Michael and M. Rarnesh (1995). Studying Public Policy. Policy Cycles and Policy
Subsystems, Oxford: Oxford University Press.
Islamy, M. Irfan, (2001). Prinsip - prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta:
Bina Aksara.
Jones, Charles O. (1984). An Introduction to The Study of Public
Policy,Massachusetts: Duxbury Press.
Kumorotomo. Wahyudi. dan Subandio Agus Margono. (1994). Sistem Informasi
Manajemen dalam Organisasi-organisasi Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Lineberry, Robert L., and Ira Sharkansky. (1974). Urban Politics and Public Policy, New
York: Harper & Row, Publishers.
Linblom, Charles E. (1980). Proses Penetapan Kebijaksanaan,
terjemahan: Ardian SyMnsutlin, Jakarta: Erlangga.
Lembaga Administrasi Negara RI. (1997). Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia,
Jilid I dan II, Edisi Ketiga, Jakarta : PT. Toko Gunung Agung.
Mustopadidjaja AR. (1992). Studi Kebijaksanaan, Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI.
Parsons, Wayne. (1995). Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of
Policy Analysis. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing, Ltd.
Tjiptoherjanto, Priyono, dan Said Zainal Abidin. (1993). Reformasi Administrasi; Jakarta:
FE-UI.
Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustopadidjaja AR. (l999). Kebijaksanaan dan Administrasi
Pembangunan, Jakarta: LP3ES.
Wibawa Samodra, et. al., (1994). Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Wibawa, Samodra. (1994). Kebijakan Publik : Proses dan Analisis Jakarta: Intermedia.
Berpikir Kritis tentang Kebijakan Publik dan Penuangannya dalam Analisis
Dan Kecanggihan Analisis

Pertemuan ini didesain untuk membawa mahasiswa mengenal dan mulai belajar merasakan
dimensi-dimensi analisis kebijakan yang selama ini mungkin tidak terlalu diperhatikan oleh
orang pada umumnya. Untuk itu, kelas dibuka dengan menanyakan kepada mahasiswa
apa yang mereka pahami tentang analisis. Dalam opini banyak orang, ketika mendengar
kata ‘analisa’ atau ‘analisis’-termasuk analisis kebijakan-kata tersebut selalu diasosiasikan
dengan proses rumit dan kompleks untuk mengukur sesuatu. Pengukuran ini juga harus
dilakukan dengan alat ukur yang rumit dan kompleks pula. Semakin njlimet proses
pengukuran dan alat ukurnya, maka semakin reliable dan akurat hasil analisisnya. Namun,
untuk merangsang keberanian mahasiwa dalam melakukan analisis, dosen bisa meminta
mahasiswa untuk mengutarakan pemahaman mereka sendiri tentang analisis, tanpa harus
selalu mengacu pada definisi analisa yang ‘common – sensical’ tersebut.
Setelah menyaring pemahaman mahasiswa tentang ‘analisa’ dan memetakan
pendapat mereka tentang makna analisis, perkuliahan dilanjutkan dengan penyerapan
harapan mahasiswa dari matakuliah ini. Untuk itu, mahasiswa diminta untuk menuliskan
dalam selembar kertas berbagai hal yang mereka harapkan; baik yang sifatnya substantif,
metodologis maupun teknis.
Setelah mahasiswa selesai memberikan jawaban, dosen memaparkan makna
etimologis dari kata “Analisa” atau “Analisis”. Untuk itu, dosen bisa memulai dari
definisi istilah ‘analysis’ dari New Oxford American Dictionary, yang mendefinisikan analisis
sebagai: “detailed examination of the elements or structure of something, typically as a basis for discussion and
interpretation”. Menurut sumber yang sama, proses menganalisa juga melibatkan: “process of
separating something into its constituent; the identification and measurement of … elements; …”.
Dari definisi di atas, dosen mengajak mahasiswa untuk sampai pada kesimpulan
bahwa, secara sederhana; analisis meliputi kegiatan mencermati (examine); memecah
hal yang dianalisis dalam elemen-elemen pembentuknya yang lebih kecil, serta; kegiatan
mengindentifikasi dan mengukur. Nah, karena modul ini berbicara tentang analisis
kebijakan publik, berarti modul ini terkait dengan hal mencermati, memecah hal yang
dianalisis dalam elemen-elemen pembentuknya yang lebih kecil, serta mengidentifikasi
dan mengukur kebijakan publik.

A. Debriefing
Setelah memaparkan secara singkat makna etimologi dari analisis, dengan mengkait-kaitkan
pendapat mahasiswa yang sudah diajukan, dosen memaparkan kepada mahasiswa bahwa
analisa kebijakan, berdasarkan tujuannya, bisa didefinisikan juga sebagai aktivitas untuk
menciptakan pengetahuan ‘tentang’ dan ‘untuk’ proses pembuatan kebijakan.1 Di sini
dosen perlu mengingatkan mahasiswa bahwa tujuan dari aktivitas mencermati, memecah
yang dianalisis dalam elemen- elemen pembentuknya yang lebih kecil, serta
mengidentifikasi dan mengukur kebijakan publik adalah untuk mendapatkan
pengetahuan yang relevan bagi proses kebijakan. Pengetahuan yang relevan bagi
kebijakan ini, secara garis besar, meliputi sebab, akibat, dan kinerja kebijakan.
Pengetahuan ini kemudian, meski tidak selalu, dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan,
termasuk publik, sebagai input dan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
kebijakan.
Dosen perlu menekankan pada mahasiswa bahwa kecakapan melakukan analisis
tidak bisa didapatkan melalui proses pemahaman atas obyek kebijakan yang di analisis
semata. Kecakapan analisis tentang suatu kebijakan harus didukung oleh kemampuan
membangun pemahaman terhadap konteks kebijakan yang dianalisis, dan didukung
kemampuan untuk menuangkan pemahaman tersebut ke dalam naskah. Untuk membangun
pemahaman ini, diperlukan tidak hanya kapasitas kognitif, tetapi juga kepekaan serta
kejelian ketika menelaah suatu proses kebijakan. Kepekaan dan kejelian ini adalah aspek
psikomotoris dari seorang analis, dan aspek psikomotoris harus diasah melalui berbagai
latihan agar seseorang bisa menjadi analis yang bisa diandalkan.
Tujuan besar dari penyelenggaraan matakuliah ini adalah memberikan kemampuan
dasar bagi mahasiswa untuk melakukan analisis kebijakan. Karena itu, untuk
meningkatkan kepekaan dan kejelian mahasiswa dalam melakukan analisis kebijakan,
penyelenggara perkuliahan mau tidak mau harus mengandalkan penugasan dan latihan.
Karena itu, evaluasi pembelajaran (penilaian) akan lebih didasarkan pada kemampuan
untuk menuliskan karya.

Misi Sesi Perkuliahan

• Memperkenalkan kepada mahasiswa variasi derajat


komprehensivitas dan kecanggihan analisis
• Memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang
variasi derajat komprehensivitas dan kecanggihan
analisis sebagai konsekuensi dari pilihan posisi si analis
Substansi Sesi Perkuliahan

• Paradigma ilmu sosial dalam analisa kebijakan publik


• Kebijakan publik sebagai fenomena multidimensional
dan cakupan analisa kebijakan
Metode Sesi Perkuliahan

• Ceramah

A. Analisis Kebijakan dan Kompleksitas Fenomena Kebijakan


Pada pertemuan ke-2 ini, dosen mengajak mahasiswa untuk mengenal dan memahami
bagaimana seorang analis kebijakan melakukan analisis dengan tingkat kecanggihan dan
komprehensivitas tertentu, yang membedakan seorang analis dengan orang awam. Untuk
itu, dosen mengawali sesi ini dengan mengingatkan kepada mahasiswa tentang kebijakan
sebagai fenomena multidimensional. Hal ini tentu telah diketahui oleh mahasiswa dalam
matakuliah Kebijakan Publik. Dengan memperlihatkan bahwa fenomena kebijakan bisa
dipotret sebagai realita yang berbeda-beda, dosen bisa menunjukkan bahwa ada banyak
cara untuk melihat dan memperlakukan kebijakan sebagai sebuah obyek analisis.
Perbedaan perspektif melihat kebijakan dan kerangka analisis kebijakan akan
menghasilkan kesimpulan yang berbeda, meskipun obyek kebijakan yang dikaji sama.
Sebagai contoh, dosen bisa mengajak mahasiswa untuk melihat proses kebijakan
konversi bahan bakar minyak tanah ke bahan bakar gas. Dari satu perspektif, proses
kebijakan tersebut bisa dilihat sebagai sebuah sebuah proses yang digerakkan pada suatu
tujuan yang jelas, efisiensi fiskal melalui pengurangan beban subsidi negara di sektor
energi, dengan langkah-langkah yang didasari oleh perhitungan yang komprehensif,
misalnya:“Berapa jumlah rumah tangga yang harus disuplai subsidi bahan bakar
gas?”,“Siapa yang menyalurkan?,” “Bagaimana penyalurannya?”, “Dari mana
anggarannya akan diambil?”, dan seterusnya. Namun, dari perspektif yang lain, kebijakan
ini juga bisa dilihat sebagai sebuah proses yang bergerak ke arah dan tujuan yang belum
pasti dan proses kebijakan itu sendiri diisi oleh pertarungan berbagai kepentingan yang
nantinya akan menentukan arah dan hasil kebijakan. Misalnya, “Siapa yang diajak untuk
membuat keputusan kebijakan konversi ke bahan bakar gas tersebut?”, “Pihak mana
yang diuntungkan dan dirugikan?”, “Dampak sosial yang mungkin ditimbulkan dari
proses konversi tersebut?”, dan seterusnya.
Contoh serupa bisa kita dapatkan juga dalam kasus penggusuran yang ditampilkan
dalam Box II.1. Contoh Kasus: Kebijakan Penggusuran. Dari kacamata
pemerintah, sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan, langkah ini dianggap perlu
demi kebaikan masyarakat sendiri. Dalam kasus eksekusi tanah milik Perum Perumnas,
argumen dan logika yang digunakan untuk menjustifikasi penggusuran adalah demi
terciptanya keadilan dan terpenuhinya prinsip supremasi hukum, yang dalam kasus
tersebut menyatakan tanah tersebut adalah milik Perum Perumnas, dan karenanya
mereka berhak menggusur orang yang dianggap tidak berhak mendiami tanah tersebut.
Namun, dalam perspektif yang lain, seperti dikemukakan dalam artikel tersebut, ada
dampak dari kebijakan penggusuran tersebut yang sangat berpotensi memunculkan
permasalahan publik baru. Warga yang tergusur tentunya mengalami gangguan dalam
kehidupan sosial dan ekonominya. Bagi analis kebijakan, tentunya hal ini tidak bisa
dikesampingkan begitu saja, mengingat tujuan dari kebijakan publik adalah
menyelesaikanpermasalahan publik, bukan menciptakan masalah publik baru.

Box II.1. Contoh Kasus: Kebijakan Penggusuran

Sarapan Pagi Bersama : Tubagus Karbyanto

Penggusuran Adalah Teror Mencekam


Penggusuran adalah teror bagi masyarakat korban karena sendi kehidupan mereka
tercabut dari akarnya ungkap pemerhati masalah perkotaan Tubagus Karbyanto.
“Penggusuran adalah teror yang mencekam,” kata Tubagus saat dihubungi KCM,
Kamis (2/10).
Setidaknya lebih dari dua minggu ke belakang, warga Jakarta akrab dengan berita
penggusuran. Setelah ratusan warga Kampung Baru, Cengkareng kehilangan
tempat tinggal mereka karena lahan yang dipakai diambil pemiliknya Perum
Perumnas, giliran warga Kampung Sawah, Tanjung Duren bernasib naas. Kamis
pagi, 100 warga yang mendiami lahan di RW 05 dan RW 06, persis di samping
Mal Taman Anggrek kalah adu fisik dengan sekitar 3500 petugas tramtib berikut
polisi. Tempat tinggal mereka pun, rata dengan tanah.
……………….Menurut Tubagus yang juga Wakil Ketua Forum Warga Kota
(Fakta) ini, penggusuran seperti dijelaskan di atas akses masyarakat korban untuk
mendapatkan hak-hak hidup mereka betul-betul tertutup. “Mereka tidak bisa lagi
memikirkan pekerjaan mereka. Anak-anak pun tak lagi bisa sekolah. Mereka pun
cemas akan ancaman penggusuran-penggusuran selanjutnya,” kata Tubagus.

Sumber: http://www.kompas.com/utama/news/0310/03/072649.htm,
Benarkah penggusuran adalah sesuatu yang merugikan? Bukankah tujuan dari penggusuran
kepentingan orang banyak?
Dosen mengajak mahasiswa untuk melihat bahwa masing-masing perspektif mengedepankan
aspek tertentu dengan mengesampingkan aspek yang lain. Di atas, perspektif yang pertama
mengedepankan aspek teknis-administratif-ekonomis, dengan mengabaikan aspek sosio-politis.
Sebaliknya perspektif yang kedua lebih mengedepankan aspek sosio-politis, dan mendorong
upaya mencari solusi alternatif untuk permasalahan kepemilikan dan pemanfaatan lahan yang
menjadi pokok permasalahan kebijakan di atas. Pilihan perspektif seorang analis akan
berkonsekuensi pada model atau kerangka analisis yang digunakannya (Model kebijakan akan
dibahas pada Bab IV). Padahal, dua contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari berbagai
perspektif tentang kebijakan. Artinya, ada demikian banyak cara untuk memahami kebijakan
publik dan menganalisa kebijakan publik. Ini bisa kita lihat pada Bagan II.1. Peta Pemikiran
Analisis Kebijakan yang menunjukkan, setidaknya, empat perspektif kebijakan, yaitu kebijakan
sebagai fenomena politis, deliberatif, teknis, dan strategis.
Bagan II.1. Peta Pemikiran Analisis Kebijakan

Sumber: Nugroho, Riant, (2007), Analisis Kebijakan, Jakarta: Elex Media Komputiondo, hal.
158

Kondisi seperti di atas, di satu sisi, memberikan ruang yang leluasa bagi orang untuk
mengembangkan berbagai model dan metode analisis kebijakan. Namun, di sisi yang lain,
menempatkan analis kebijakan pada situasi yang dilematis untuk menentukan perspektif
mana yang
harus dipakai untuk menghasilkan analisis yang komprehensif.
Keinginan untuk menghasilkan sebuah analisis yang komprehensif, tidak jarang
membawa seorang analis untuk berupaya memperhitungkan semua faktor yang
mempengaruhi proses sebuah kebijakan. Harapannya, dengan memperhitungkan semua
faktor, si analis bisa menghasilkan informasi dan ramalan kebijakan yang akurat.
Sayangnya, keinginan seperti di atas jarang sekali menjadi kenyataan dalam praktek
analisis kebijakan. Salah-salah, analis yang bersangkutan, jika tidak hati-hati, bisa
terjebak dalam penggunaan nalar Rational-Comprehensive secara berlebihan, ketika dia terlalu
percaya diri pada rasionalitas dan kapasitasnya sebagai seorang teknokrat atau analis
kebijakan. Sebaliknya, analisis yang sifatnya hanya parsial, atau menyeluruh namun
hanya berpilar pada prinsip-prinsip normatif umum,kurang memiliki daya ramal dan
sedikit sekali utilitasnya bagi kebutuhan praktis kebijakan.
Dalam menentukan pilihan perspektif dan konsekuensi tuntutan derajat
komprehensivitas yang ditimbulkan, sebagai seorang analis, mahasiswa harus mengenal,
memahami, dan menghayati perspektif- perspektif dasar yang selama ini digunakan
untuk memahami, menjelaskan, dan memperlakukan kebijakan. Untuk itu, dosen
memperkenalkan dua mazhab pemikiran dalam studi kebijakan publik dan analisis
kebijakan publik. Kedua mazhab itu adalah Rational- Comprehensive dan Garbage – Can
Model. Kedua model dasar ini banyak dipakai untuk menjelaskan logika dalam proses
kebijakan publik. Perbedaan keduanya adalah pada keyakinan yang mereka letakkan di
atas rasionalitas, seperti tampak dalam Tabel II.I. Perbedaan Model- Model
Pengambilan Keputusan.

Tabel II.1.

Perbedaan Model-Model
Pengambilan Keputusan
PENDEKAT RATIONAL - MIXED- GARBAGE-CAN
AN COMPREHENSIVE SCANNING
POIN
PERBEDAA
N
Tidak ada solusi yang
Setiap permasalahan Setiap permasalahan benar-benar obyektif
Asumsi ontologis memiliki solusi berada dalam sebuah untuk setiap solusi, karena
obyektif konteks yang spesifik permasalahan dan
pengambilan keputusan
selalu terjadi dalam
sebuah konteks yang
spesifik
Selain keterbatasan nalar
manusia, konteks ini
Pendekatan yang membatasi kemungkinan Pilihan solusi yang
Asumsi rasional membawa untuk mendapatkan diambil didasarkan
epistemologis pada pilihan solusi informasi yang lengkap dan pada kebiasaan
obyektif melakukan pertimbangan daripada pemikiran
yang komprehensif,sehingga yang komprehensif
keputusan tidak pernah
didasarkan pada perhitungan
rasional yang komprehensif.
Hampir sepenuhnya Memberikan perhatian Terlalu hirau dengan
abai terhadap konteks, kepada konteks sembari konteks, sehingga dalam
Sikap misal selalu mengupayakan agar proses pengambilan keputusan
terhadap mengasumsikan bahwa pengambilan keputusan selalu, terlebih dahulu
konteks informasi yang dalam rasionalitas mengacu pada
dibutuhkan akan selalu teknokratis bisa pengalaman di masa
tersedia secara tidak dimaksimalkan lalu untuk situasi yang
terbatas dianggap hampir serupa
Logika Proses Teknokratis Politis Birokratis

Cakupan analisis Substansi Substansi dan proses Proses


Efektif dan efisien, Efektif dan efisien, namun Sesuai dengan keadaan
Keputusan yang dengan asumsi klaim juga harus bisa diterima oleh yang dihadapi, namun
diharapkan akan ilmiah dan obyektif tidak aktor-aktor yang terlibat dan juga tidak terlalu banyak
dihasilkan perlu ditundukkan pada ikut menciptakan situasi merubah kebiasaan yang
dinamika politik yang ada keputusan kebijakan selama ini terlembaga
dalam situasi keputusan
kebijakan
Sebagai bagian yang Sebagai bagian dari
Posisi analis Sebagai orang luar yang ikut mempengaruhi sistem yang
imparsial proses dan hasil mereproduksi
pengambilan keputusan ‘kebiasaan’
Teknik dan
metode analisis CBA, SWOT, Linear Game theory Game theory
yang biasa programming.
digunakan
Diantara kedua model tersebut, ada model yang berusaha mengambil jalan tengah,
yang disebut sebagai Model Mixed - Scanning. Ketiga model tersebut memiliki definisi-
nya sendiri tentang proses kebijakan. Model Garbage – Can melihat proses kebijakan yang
sedikit sekali melibatkan proses yang rasional, dalam artian ilmiah. Proses kebijakan
lebih digerakkan oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah pernah dilakukan di masa
sebelumnya atau ditempat lain.
Sebaliknya, Model Rational-Comprehensive mendefinisikan proses kebijakan sebagai
proses yang sepenuhnya rasional. Proses kebijakan meliputi aktivitas kalkulasi, proyeksi,
perencanaan, dan formulasi yang njlimet. Segala keputusan diambil berdasarkan informasi
yang lengkap dan perhitungan yang komprehensif.
Model Mixed-Scanning mencoba mengambil posisi di antara keduanya. Model ini
mengakui keterbatasan nalar manusia, dan melihat proses kebijakan tidak semata-mata
ditentukan oleh perhitungan rasional – efektif – efisien, tetapi juga perhitungan rasional
– politis, yang mengakibatkan proses kebijakan diwarnai oleh proses tawar- menawar
antar berbagai aktor dan kepentingan yang terlibat. Proses tawar-menawar ini juga
dianggap terjadi dalam sebuah konteks sosial yang spesifik, dengan nilai, norma, dan
kebiasaan yang mengkerangkai proses administratif dan politik yang terjadi.1
Dosen memaparkan bahwa penggunaan ketiga model itu dalam analisa kebijakan,
berimplikasi pada tuntutan komprehensivitas dan kepiawaian analisa yang berbeda dari
seorang analis. Tentunya, ini disebabkan oleh perbedaan asumsi yang dijadikan sebagai
dasar analisa dalam tiap model. Instrumen analisa yang dipakai dalam tiap model juga
berbeda-beda.
Bagan II.2.
DERAJAT KOMPREHENSIVITAS ANALISIS KEBIJAKAN
Misalnya, ada seorang analis yang melakukan analisis untuk pengambilan keputusan
kebijakan. Ketika dia memilih menggunakan Model Rational-Comprehensive, mau tidak mau,
analis tersebut dituntut untuk melihat dan memperhitungkan secara komprehensif segala
kemungkinan yang menjadi konsekuensi dari setiap alternatif pilihan kebijakan yang ada.
Sehingga, analisis kebijakan dalam model ini tidak hanya dilakukan untuk menganalisis
proses pengambilan keputusan kebijakan, tetapi juga sampai pada pembuatan formula dan
desain kebijakan.
Dalam model ini, pergeseran praktek dan realita kebijakan dari desain atau formula
yang sudah dirumuskan merupakan hal yang paling tidak diharapkan, meskipun bukan
berarti tidak diantisipasi. Biasanya desain dan formula kebijakan yang dibangun dengan
model ini telah menyiapkan desain atau formula contingency atau exit plan jika situasi
kebijakan berkembang ke arah yang tidak diantisipasi sebelumnya. Ini berarti, pilihan
untuk melakukan analisa dengan model ini memang menuntut seorang analis untuk
benar-benar melakukan analisis yang komprehensif.
Sebaliknya, analis yang bekerja dengan Model Garbage – Can atau Keranjang Sampah,
ketika melakukan analisis untuk pengambilan keputusan kebijakan, mungkin sekali
hanya dituntut untuk mengidentifikasi pengalaman-pengalaman yang mirip dengan
kondisi yang sekarang dianalisis. Kemudian mengidentifikasi keputusan apa yang
‘biasanya’ diambil dalam situasi yang dianggap serupa itu dan seberapa besar keputusan
itu berhasil. Formula dan desain kebijakan dirancang secara garis besar dan sangat
mungkin untuk mengalami perubahan seiring dengan perkembangan situasi yang dihadapi.
Namun pilihan atas model ini juga menghadirkan konsekuensi bahwa analis harus selalu
siap dengan perubahan situasi yang bisa terjadi seketika.
Dosen menegaskan kepada mahasiswa bahwa pilihan model dalam melakukan analisa
kebijakan bukanlah sebuah aktivitas yang tidak bermakna, tetapi merupakan suatu
pilihan yang selanjutnya menjadi kerangka acuan bagi seorang analis dalam membangun
analisanya. Baik buruknya analisa yang dilakukan, ikut ditentukan oleh konsistensi antara
model yang digunakan dan analisis yang dihasilkan dari suatu analisis.
Sementara Model Mixed – Scanning berusaha menawarkan fleksibilitas di antara
ketegangan dua model sebelumnya. Ini karena asumsi Model Mixed – Scanning melihat
bahwa meskipun proses kebijakan melibatkan konflik kepentingan dan tawar-menawar antar
aktor, seluruh aktor tersebut berbicara dalam suatu batas rasionalitas minimum.

B. Pilihan Seorang Analis


Lebih lanjut, dosen memaparkan bahwa yang mempengaruhi pilihan posisi seorang
analis bukan sekedar keunggulan dan kelemahan masing-masing model. Seringkali, dalam
memilih model, analis juga harus mempertimbangkan faktor waktu yang tersedia, akses
terhadap sumber data, dan faktor-faktor lainnya. Tentunya kita tidak bisa mengabaikan
faktor-faktor teknis ini dalam pilihan model analisis.
Namun, terlepas dari itu semua, penting untuk dipahami oleh seorang analis bahwa
kecanggihan analisis sebetulnya tetap menjadi poin utama yang dituntut dari seorang
analis. Kecanggihan seorang analis ini akan berujung pada reliabilitas dan akurasi
analisis yang dihasilkan. Kecanggihan inilah yang kemudian harus dikompromikan
dengan faktor-faktor teknis yang seringkali harus dipertimbangkan oleh seorang analis
dalam menentukan pilihan posisinya.
Dalam menentukan pilihan posisi ini, seorang analis harus sanggup memahami dan
memproyeksikan konsekuensi yang muncul dari tiap pilihan posisi yang dihadapinya.
Konsistensi seorang analis dengan pilihan posisi yang diambilnya, dengan segala
konsekuensinya, merupakan poin utama penilaian baik buruknya seorang analis, selain
kecanggihan analisa yang dihasilkan. Ini mengingat bahwa situasi yang mempengaruhi
pilihan seorang analis tidak pernah sama.
Untuk bisa memahami dan memproyeksikan konsekuensi dari tiap pilihan posisi,
seorang analis memerlukan kemampuan untuk berpikir kritis. Kritisisme ini terutama
ditujukan pada berbagai pilihan perspektif dan model kebijakan yang ada. Dari situ si
analis akan bisa meraba keunggulan dan kelemahan dari masing-masing perspektif dan
model kebijakan; serta konsekuensinya dalam analisis yang akan dilakukan.
Pada kesempatan ini, dosen bisa merangsang kemampuan berpikir kritis mahasiswa,
dengan mengajak mereka untuk mengkritisi logika model-model kebijakan Rational-
Comprehensive dan Garbage-Can yang sudah dipaparkan sebelumnya.

C. MENGKRITISI LOGIKA RATIONAL-COMPREHENSIVE


Untuk memicu kritisisme mahasiswa, dosen menggunakan simulasi yang akan
berguna sebagai bahan refleksi bagi mahasiswa. Simulasi ini berkaitan dengan masalah
komprehensivitas pengetahuan, mengingat klaim logika Rational-Comprehensive menyatakan
bahwa proses kebijakan yang baik adalah proses yang sepenuhnya dikendalikan oleh
rasionalitas obyektif manusia.
Dalam simulasi ini, pertama, mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok.
Selanjutnya, mahasiswa diminta untuk mengomentari suatu isu kebijakan tertentu. Dosen
bisa mengusahakan satu contoh isu kebijakan yang kontroversial yang sedang hangat menjadi
pembicaraan masyarakat. Setelah itu, komentar mahasiswa dikumpulkan, dan bersama-
sama, masing-masing kelompok diminta untuk mengisi kolom yang tersedia seperti dalam
Tabel II.2. Matriks Isian Simulasi.
Tabel II.2. Matriks Isian Simulasi

YANG YANG
MEREKA MEREK
TAHU A TIDAK
TAHU
YANG SAYA Terbuka bagi Diskusi Titik Buta Mereka
TAHU
YANG Titik Buta Saya Titik Buta Semua
SAYA Pihak
TIDAK
TAHU
Masing-masing kelompok, memasukan komentar dari kelompok lain yang sama
dengan komentarnya dalam kolom Terbuka Bagi Diskusi. Sementara komentar kelompok
lain yang berbeda dengan komentar kelompoknya, di masukkan dalam kolom Titik Buta
Saya. Komentar dari kelompok yang bersangkutan, yang tidak disinggung oleh kelompok
lain, dimasukkan dalam kolom Titik Buta Mereka.
Kita akan menemukan komentar-komentar dalam kolom Terbuka Bagi Diskusi.
Komentar yang ada dalam kolom ini bisa disebut sebagai inter-subyektivitas yang ada di
antara para mahasiswa tersebut, terkait dengan isu yang dikomentari. Atau dalam bahasa
penganut perspektif obyektivis, disebut sebagai pengetahuan yang obyektif.
Dari simulasi tersebut, dosen bisa mengajukan pertanyaan, “Apa yang membuat
seseorang memberikan komentar yang berbeda?”. Jika informasi tentang isu kebijakan
yang digunakan dalam simulasi ini relatif sedikit dimiliki oleh mahasiswa,opini
mahasiswa akan banyak terkumpul di kolom kuadran Titik Buta Saya dan Titik Buta
Mereka. Artinya semakin kecil inter-subyektivitas yang muncul.
Karena seluruh mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Analisis Kebijakan Publik pasti
sudah pernah membahas masalah klaim obyektivitas ilmu dalam mata kuliah Ilmu Sosial
Dasar, dosen bisa mengajukan pertanyaan, “Apakah obyektivitas bisa menyelesaikan
masalah?”. Melalui simulai di atas, sebetulnya akan nampak bahwa obyektivitas menjadi
tidak relevan ketika pengetahuan tidak lengkap, baik pengetahuan yang kita miliki maupun
dimiliki orang lain. Sebetulnya, obyektif atau tidak itu ditentukan oleh apa yang kita
ketahui dan orang lain ketahui. Orang Afrika dan orang Siberia memiliki obyektivitas
atas gajah kalau keduanya sama-sama mengenal dan memahami gajah, baik secara
konseptual maupun simbolik. Tapi, obyektivitas itu tidak akan terbentuk jika salah
satunya tidak atau belum pernah mengenal gajah. Dus, apa bedanya obyektivitas dengan
inter-subyektivitas?
Dengan inspirasi dari simulasi yang dilakukan sebelumnya, dosen meminta
komentar mahasiswa tentang subyektivitas. Pertanyaan, “Apakah subyektivitas itu
selamanya buruk?”. Setelah mahasiswa memberikan komentar mereka, dosen bisa mulai
memaparkan bahwa realitas, atau apa yang kita anggap sebagai realitas, sangat mungkin
hanyalah sebuah fenomena yang kita maknai secara intersubyektif.
Dari situ, dosen bisa mulai memaparkan tentang pentingnya seorang analis untuk
mengambil dan menentukan posisinya dalam menganalisis. Poin penting yang perlu
diutarakan oleh dosen di sini adalah, dengan menentukan posisinya seorang analis bisa
mendefinisikan apa yang dia tahu dan apa yang dia tidak tahu. Karena banyak hal yang
dia tidak tahu, maka penting bagi si analis untuk selalu membuka pikirannya terhadap
pendapat orang lain.
Pada sesi sebelumnya, mahasiswa telah diminta untuk membaca tulisan Eugene,
(Bardach, Eugene, 2005, Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths toward
Problem Solving,NY: CQ Press). Pada Bab I ada dua sub-bab yang masing-masing berjudul
“Sentuh Dulu Basisnya” dan “Menggunakan Sepatu Orang Lain”. Dalam dua tulisan itu,
poin yang dikemukakan oleh Bardach adalah, seorang analis yang cukup canggih
sekalipun perlu mendengarkan masukan dari orang lain, terutama aktor- aktor lain yang
terlibat dalam area kebijakan yang sama. Karena bisa jadi dari mereka akan ada masukan
yang berharga untuk menghasilkan analisa kebijakan yang lebih berkualitas. Setidaknya,
ketika analis yang bersangkutan diminta untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan dari
analisis yang dilakukannya, si analis bisa mengurangi potensi resistensi dari aktor-aktor
kebijakan yang lain. Di sini, terlihat bahwa Bardach menyadari pentingnya aspek politik
dalam analisa kebijakan, selain aspek teknokratis, meskipun buku tersebut ditulis dari
posisi dan lebih menggambarkan analisis yang dilakukan seorang analis profesional.
Posisi apa yang penting untuk diambil, serta konsekuensi apa saja selain,
komprehensivitas dan kecanggihan analisis, yang harus dipertimbangkan dalam
menentukan posisi akan menjadi fokus pembahasan di sesi berikutnya. Berangkat dari
pemahaman yang didapatkan pada sesi ini, pada dua sesi berikutnya dosen akan
mengajak mahasiswa untuk menghayati bagaimana dari pemahaman tersebut kepiawaian
melakukan analisis bisa dibangun. Selain itu, mahasiswa juga akan diajak untuk
menghayati posisinya sebagai analis dan konsekuensi dari pilihan posisinya.

D. Tugas Akhir Sesi


Sebelum kelas ditutup, mahasiswa diminta mempersiapkan diri untuk sesi berikutnya,
dengan membaca dan me-review dua literatur yang akan digunakan sebagai acuan dan
perbandingan untuk sesi berikutnya.
• Bardach, 5ugene, (k005), Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths toward
Problem Solving,NY: CQ Press.
• Michael Howlett dan M. Ramesh, (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles and
Policy Subsystem, Oxford University Press, Chap. 7, Public Policy Decision-Making – Beyond
Rationalism, Incrementalism and Irrationalism.

Daftar Pustaka
Bardach, Eugene, (2005), Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths toward Problem
Solving, NY
Hogwood dan Gunn,(1989), Policy Analysis for the Real World, Oxford University Press
Howlett, Michael dan Ramesh, M. (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, Oxford University Press
Nugroho, Riant, (2007), Analisis Kebijakan, Elex Media Komputindo: Jakarta
Stone, Deborah(1997), Policy Paradox: the Art of Political Decision Making,W&W
Norton & Company, New York; pertama kali dipublikasikan 1988 dengan judul Policy
Paradox and Political Reason

Bab
Kontroversi Analisis untuk Kebijakan dan Analisis terhadap
Kebijakan
Misi Sesi Perkuliahan

• Menjelaskan tentang sikap dan nilai dalam analisa kebijakan


• Mengungkap asumsi-asumsi dibalik mainstream teori
kebijakan publik
Substansi Sesi Perkuliahan

• Pengaruh nilai dan sikap dalam kerangka analisa kebijakan


• Macam-macam analis dan analisa kebijakan
• Menjelaskan variasi “frame" atau kerangka analisa
kebijakan berdasarkan variasi setting institusional,
orientasi akademik, kepentingan kebijakan dan relasi
terhadap proses kebijakan
Metode Sesi Perkuliahan

Pilihan Dilematis Bagi Seorang Analis


Pada pertemuan ini, mahasiswa akan diajak untuk menyelami salah satu perdebatan
utama dalam kajian Analisa Kebijakan Publik, yaitu perdebatan tentang obyektivitas VS
subyektivitas analisa kebijakan dan pilihan posisi seorang analis kebijakan. Untuk itu, dosen
mengawali sesi ini dengan sedikit mengulang kembali materi sesi sebelumnya, tentang
perspektif-perspektif dasar Rational-Comprehensive, Garbage-Can, dan Mixed-Scanning yang
banyak digunakan dalam kajian kebijakan publik. Dosen mengajak mahasiswa untuk
mencermati bahwa dalam masing- masing perspektif analisa dan si analis diasumsikan
mengambil posisi tertentu terhadap obyek kebijakan yang dikajinya.

Sederhananya, kita bisa mengasumsikan bahwa perspektif rational-comprehensive


mewakili perspektif yang mengasumsikan bahwa analisis kebijakan harus bersifat obyektif
dan analis harus mengambil jarak dan bersikap netral dari obyek kebijakan yang
dikajinya. Analisis yang obyektif ditentukan dari sejauh mana analisis tersebut dilakukan
sesuai dengan kaidah teknokratis dan prosedur yang ada. Karena itu, perspektif ini juga
disebut perspektif Teknokratis-Administratif.
Sementara, Garbage-Can kita asumsikan sebagai perspektif yang mewakili
asumsisubyektivitas analisis dan keterlibatan kepentingan analis dengan obyek kebijakan
yang dikajinya adalah sebuah keniscayaan. Tarik- menarik kepentingan dalam proses
kebijakaan juga menjadi sebuah keniscayaan yang lain, karena ada beragam aktor yang
terlibat dalam proses kebijakan. Proses kebijakan tidak selalu didasari oleh suatu tujuan
yang jelas dan terdefinisi dengan baik, tetapi bisa juga didasari untuk menemukan
kompromi di antara berbagai kepentingan yang terlibat.
Terakhir, Mixed-Scanning mewakili perspektif yang melihat bahwa proses
kebijakan merupakan proses yang meliputi dimensi teknis-administratif dan politis, serta
mencari cara yang paling tepat untuk memadukan keduanya. Dalam perspektif ini,
proses kebijakan dilihat sebagai proses untuk mengidentifikasi berbagai alternatif yang
berpotensi menghasilkan di antara berbagai kepentingan yang terlibat dalam proses
kebijakan, dilanjutkan dengan menentukan alternatif mana yang dianggap paling
rasional dan efektif.
Di kutub teknokratis – administratif, analisis kebijakan diklaim sebagai kegiatan
memilah-milah dan mengukur suatu kebijakan untuk menghasilkan informasi dan
pengetahuan yang sifatnya obyektif. Di sini, diasumsikan bahwa analisis dan
pengetahuan yang dihasilkannya bersifat obyektif, bebas nilai, dan tidak melayani
kepentingan apapun. Tarik-menarik kepentingan politik, yang sangat kental mewarnai
proses kebijakan, dianggap sebagai distorsi bagi upaya analisis; yang sayangnya;
kemudian cenderung diabaikan dalam kebanyakan analisis yang dilakukan dengan
perspektif ini.
Di kutub politis, konflik kepentingan dalam proses kebijakan dipandang sebagai sebuah
keniscayaan, termasuk dalam analisis yang menyertai proses tersebut. Tentunya ini
membuat analisis yang dilakukan menjadi tidak obyektif dari perspektif teknokratis-
administratif. Di situ, analisis yang dihasilkan bisa jadi muncul bukan sekedar sebagai
pengetahuan yang bebas nilai atau tidak memihak, tetapi ditujukan agar bisa menjadi
argumen untuk mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan agar menguntungkan bagi
kepentingan tertentu.
Dosen memaparkan kepada mahasiswa bahwa, sebetulnya, kedua asumsi tersebut
muncul dari ketegangan antara paradigma obyektivis/ positivis dan subyektivis, yang
tentunya sudah dipahami oleh mahasiswa dalam berbagai mata kuliah metodologi yang telah
diikuti sebelumnya. Dalam paradigma yang pertama, analisa dan analis, dituntut untuk
berdiri mengatasi semua pertikaian dan silang – sengketa kepentingan dari aktor-aktor
kebijakan yang terlibat dalam proses kebijakan yang dianalisis. Di sini diasumsikan
bahwa rasionalitas manusia akan mampu menemukan sebuah jalan keluar yang secara
obyektif diakui kebenarannya dan bisa diterima oleh semua aktor yang terlibat dalam
suatu isu atau area kebijakan tertentu.
Sebaliknya, paradigma subyektivis melihat bahwa analisis kebijakan, niscaya,
berlangsung dalam sebuah konteks relasi berbagai aktor kebijakan yang memiliki
kepentingan yang beragam. Sebagai konsekuensinya, proses kebijakan maupun analisa
kebijakan tidak steril dari relasi kepentingan tersebut. Analisis yang dilakukan, mau tidak
mau, akan dihinggapi oleh subyektivitas. Karena itu, analisis di sini dilakukan bukan
untuk menghasilkan suatu pengetahuan yang obyektif, namun lebih diarahkan untuk
membangun inter-subyektivitas atau kesepahaman di antara relasi kepentingan terkait
dengan kebijakan yang dianalisis.Dosen bisa mengingatkan mahasiswa pada simulasi
tentang pemahaman kita dan orang lain di pertemuan sebelumnya!
Ujung dari ini semua adalah, bagaimanakah posisi si analis? Haruskah atas nama
obyektivitas, si analis tetap berpura-pura berdiri dalam menara obyektivitas, dengan resiko
besarnya potensi resistensi terhadap kesimpulan analisanya? Ataukah, dengan
mengorbankan obyektivitas, si analis harus mengakui posisi subyektifnya, dengan resiko
dicap tidak ilmiah? Kontras antara analisis yang mengacu pada obyektivisme dan inter-
subyektivis-me dapat dilihat di Tabel
III.1. Matriks Perbedaan Analisis Sebagai Kegiatan yang Obyektif dan
Analisis Sebagai Kegiatan yang Subyektif.

Tabel III.1. Matriks Perbedaan Analisis Sebagai Kegiatan Yang


Obyektif dan Analisis Sebagai Kegiatan yang Subyektif
ANALISIS ANALISIS
SEBAGAI SEBAGAI
KEGIATAN KEGIATA
YANG N YANG
OBYEKTIF SUBYEKT
IF
Asumsi Analis merasa Analis merasa
tentang posisi berada di luar menjadi bagian dari
analisis dengan realita yang realitas yang
realitas yang dianalisis dianalisis
dianalisis
Tipe analisis Analisis terhadap Analisis untuk
kebijakan kebijakan
Tipikal analis Ilmuwan, komentator, Politisi, policy maker,
wartawan teknokrat
Peran yang Memproduksi Memproduksi
dijalankan pengetahuan tentang kebijakan
Analis kebijakan
Pengetahuan, teori, Basis informasi
Output yang serta penyempurnaan untuk pembuatan
diharapkan metode analisis kebijakan, tawaran
kebijakan, orientasi rumusan kebijakan
pemerintah tertentu

Sebagaimana dipahami dalam simulasi pada pertemuan sebelumnya,kecenderungan


tidak lengkapnya informasi yang dimiliki oleh seseorang cenderung memunculkan
blindspot atau titik-buta. Begitu juga dalam analisa kebijakan,keterbatasan rasionalitas
dan pengetahuan para analis seringkali memunculkan berbagai titik- buta. Dalam
paradigma subyektivis, analisis dilakukan untuk menarik berbagai titik-buta ini ke
wilayah Terbuka Bagi Diskusi sehingga inter- subyektivitas bisa tercipta.
Lebih dari itu, begitu berharganya pengetahuan atau informasi yang dibutuhkan
untuk membuat kebijakan, seringkali dalam praktek kebijakan, informasi ini menjadi
komoditi politik. Penguasaan atas pengetahuan atau informasi menentukan nasib
kepentingan setiap aktor dalam proses kebijakan yang diikutinya. Dengan demikian,
muncul kecenderungan akan tidak pernah lengkapnya informasi dalam setiap proses
kebijakan. Hal ini tentunya membuat analis menghadapi kesulitan yang luar biasa untuk
menghimpun keseluruhan pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan
suatu analisa yang
obyektif dengan hasil yang memuaskan semua pihak.1

A. Kontroversi Analisa untuk Kebijakan dan Analisa terhadap Kebijakan:


Perdebatan Seputar Obyektivitas Analis
Dalam praktek analisa kebijakan, ketegangan antara dua kutub ini muncul dalam
ketegangan antara dua corak analisa, yaitu ‘analisa untuk kebijakan’ dan ‘analisa
terhadap kebijakan’. Secara sederhana, ‘analisa untuk kebijakan’ adalah analisa yang
ditujukan untuk memproduksi suatu produk yang secara spesifik menjadi bagian dari
proses kebijakan tertentu. Sementara, ‘analisis terhadap kebijakan’ lebih ditujukan untuk
memproduksi ‘pengetahuan’ tentang proses kebijakan. Pengetahuan yang dihasilkan di
sini bisa diambil dari suatu kebijakan tertentu secara spesifik, yang kemudian
diabstraksikan menjadi bagian dari pengetahuan tentang kebijakan secara umum.
Sebetulnya kedua corak analisa itu lebih bersifat saling melengkapi (komplementer)
daripada bersifat saling menggantikan, atau substitutif. Hubungan kedua corak analisa itu
bisa dicermati dalam Bagan III.1. Hubungan Antara Analisis untuk Kebijakan dan Analisis
terhadap Kebijakan. Dalam bagan tersebut, Hogwood dan Gunn memakai istilah policy
studies untuk analisa terhadap kebijakan, dan policy analysis bagi analisis untuk kebijakan.
Bagan III.1. Hubungan Antara Analisis Untuk Kebijakan Dan Analisis
Terhadap Kebijakan

Dosen meminta mahasiswa untuk memperhatikan bahwa dalam kolom advokasi


kebijakan, Hogwood dan Gunn menempatkan di bawahnya analis kebijakan yang (bisa)
sekaligus berperan sebagai aktor politik, dan sebaliknya, aktor politik yang (bisa)
berperan sebagai analis kebijakan. Di sini analisis dilakukan untuk melayani kebutuhan
dan permasalahan praktis yang memang menempatkan analis kebijakan ataupun aktor
politik yang bersangkutan dalam situasi di mana kebijakan yang dibuat harus bisa
mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dus, analisis semacam ini tidak akan dikritisi
jika tidak sepenuhnya mentaati kaidah keilmiahan, selama analisis yang dilakukan
menghasilkan kebijakan yang relevan dengan situasi yang dihadapi. Baik-tidaknya
analisis kebijakan dalam corak ini diukur dari efektif tidaknya kebijakan yang
dihasilkan dari analisis tersebut mengatasi permasalahan publik yang dihadapi.
Analisis yang dilakukan dalam corak analisis untuk kebijakan, tentunya
membutuhkan dasar teoritik. Dasar teoritik ini, sebagian besar, dihasilkan melalui analisis
terhadap kebijakan dalam policy studies. Di sini, proses pembangunan teori memang
tunduk pada kaidah- kaidah ilmiah, dan baik-buruknya analisis dalam corak ini dilihat
dari sejauh mana proses analisis dan teori yang dibangun memenuhi kaidah-kaidah
keilmiahan. Namun, ketika berada di tangan analis atau aktor politik yang melakukan
analisis dengan corak analisis untuk kebijakan, teori-teori ini akan diuji dalam dunia
nyata untuk membuktikan “kegunaannya” dalam situasi kebijakan yang spesifik. Bila
terbukti memiliki kegunaan dalam praktek nyata kebijakan, maka penerimaan terhadap
teori yang bersangkutan akan semakin besar. Namun, jika sebaliknya, teori yang
bersangkutan tidak-serta merta dinyatakan salah, namun hanya akan dipandang tidak
relevan dengan situasi kebijakan yang tengah dihadapi. Ini karena teori tersebut
merupakan hasil abstraksi dari fenomena praktek kebijakan tertentu, yang mungkin saja
berbeda dengan praktek kebijakan di mana teori tersebut kemudian digunakan.
Dosen menjelaskan kepada mahasiswa bahwa dalam segmen kedua mata kuliah ini,
mahasiswa bebas memilih salah satu di antara kedua corak analisa kebijakan tersebut.
Mahasiswa perlu diingatkan, sebelum menentukan pilihan, mahasiswa harus memahami
hal-hal yang sifatnya meta-analisis sebelum menyentuh persoalan tertentu. Kelatahan dan
ketidakkritisan akibat kurangnya pemahaman terhadap permasalahan meta – analisis ini
penting untuk dihindari mengingat kecenderungan setiap perspektif atau pendekatan untuk
memfokuskan perhatiannya pada suatu aspek tertentu dan abai dengan aspek yang lain.
Untuk itu, pertama, analis harus tahu apa yang diketahuinya dan apa yang mungkin
dihasilkan dari pengetahuannya melalui kecakapan dan instrumen analisis yang
dimilikinya.
Kedua, si analis harus memahami potensi karyanya dianalisis oleh orang lain dan
dikritik karena corak analisisnya, bukan karena substansinya. Dengan mengetahui lubang atau
kekurangan dari pengetahuan dan hasil analisanya, si analis bisa mengantisipasi adanya
kritik yang dilontarkan oleh orang lain atas corak analisis yang digunakannya.

A. Memahami Peran Analis dalam Dua Tradisi Analisis Kebijakan Publik


Agar mahasiswa memiliki pemahaman lebih, sebagai bahan pertimbangan, dosen
perlu memaparkan kontroversi seputar obyektivitas terkait dengan posisi dan corak analisa
yang dipilih oleh seorang analis. Dosen menjelaskan bahwa pilihan posisi dan corak
analisa seorang analis akan memunculkan konsekuensi tersendiri, salah satunya adalah
peran tertentu yang dituntut dari si analis. Analisis terhadap kebijakan menuntut
kepiawaian si analis untuk mengabstraksikan fenomena kebijakan.Sementara, analisis
untuk kebijakan menuntut kepiawaian si analis dalam menciptakan realitas kebijakan.
Karena aktivitasnya berbeda, maka hasil yang diharapkan juga berbeda.
Sayangnya, ada semacam arogansi dari para analis yang mengambil posisi sebagai
analis terhadap kebijakan. Mereka menuntut agar analis yang melakukan analisis untuk
kebijakan bersikap ‘obyektif ’ dalam ukuran “obyektif-nya” analis yang melakukan
analisis terhadap kebijakan. Padahal baik – buruknya analisis diukur dengan ukuran
yang berbeda untuk masing-masing posisi tersebut.
Sementara, dalam melakukan analisis dengan corak untuk kebijakan, seorang analis
mau tidak mau harus menentukan untuk siapa dan untuk apa kebijakan itu dibuat.
Hanya dengan dasar itu si analis bisa mengembangkan analisanya untuk menghasilkan
formula kebijakan yang diharapkan sesuai dengan tujuan kebijakan yang diinginkan.
Tuntutan peran semacam ini, niscaya, membuat si analis berada dalam posisi
berkepentingan dengan kebijakan yang dianalisisnya. Tuntutan semacam itu juga
membuat baik-buruknya kinerja si analis tidak bisa diukur dari seberapa obyektif analisis
yang dilakukan dan pengetahuan yang dihasilkan; melainkan seberapa jauh analisis yang
dilakukannya menghasilkan formula yang efektif untuk mencapai tujuan kebijakan yang
sudah digariskan.
Agar lebih mudah dipahami dan dihayati oleh mahasiswa, dosen bisa memberikan
pertanyaan sebagai berikut: “Apa perbedaan peran yang dituntut dari seorang ahli masak,
ketika dia bekerja untuk sebuah restoran dengan ketika dia bekerja sebagai kontestan
lomba menulis resep?”. Ilustrasi serupa juga bisa kita dapatkan dari berbagai sektor
kehidupan yang kita temui sehari-hari. Itu bisa kita lihat dalam Tabel III.2.Kontras Antara
Analisis untuk Kebijakan dan Analisis terhadap Kebijakan dalam Kehidupan Sehari-hari di
Berbagai Area Profesi.
Tabel III.2. Kontras Antara Analisis untuk Kebijakan dan Analisis
Terhadap Kebijakan dalam Kehidupan Sehari-hari di Berbagai Area
Profesi
BIDANG PADANAN PADANAN
KERJA ANALIS ANALIS
TERHADAP UNTUK
KEBIJAKAN KEBIJAKAN
Konstruksi Arsitek Tukang Batu
Keantariksaan Astronom Astronot
Kuliner Ahli Kuliner Chef
Seni Sineas Sutradara
Olah raga Komentator/Pakar Pelatih/Atlet
Olah Raga
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, seorang ahli masak yang sedang memasak
untuk pelanggan restoran adalah seorang ahli masak yang melayani orang yang
membutuhkan ‘realitas’ masakan-nya, terlepas dari cara mengolah dan resep yang dipakai
oleh si ahli masak. Sementara, seorang ahli masak yang sedang berusaha menyusun buku
masakan atau menyampaikan pelajaran dalam sebuah kursus memasak, adalah seorang ahli
masak yang melayani orang yang membutuhkan ‘ilmu’ memasaknya, terlepas dari
permasalahan apakah sesudahnya, mereka mencicipi hasil demonstrasi yang diperagakan
oleh si ahli memasak.
Bagan III.2.
Ilustrasi Analis Aktivitas untuk Memahami Fenomena Kebijakan
dari Perspektif Tertentu

Kondisi yang sangat mirip juga terjadi dalam analisis untuk kebijakan dan analisis
terhadap kebijakan. Ketika melakukan analisis untuk kebijakan, si analis sedang
melayani orang yang membutuhkan ‘produk’ kebijakan yang efektif, menurut kriteria
dari orang tersebut. Sementara, ketika melakukan analisis terhadap kebijakan, si analis
sedang melayani orang yang membutuhkan ‘ilmu’ untuk menganalisis, termasuk untuk
membuat, kebijakan yang efektif dan reliable.
Sederhananya, kalau kita umpamakan analisis seperti sebuah lensa kacamata, dalam
posisi melakukan analisis terhadap kebijakan, si analis berkutat dengan hal – ikhwal
membuat dan cara menggunakan lensa yang tepat dan terpercaya untuk kebijakan secara
umum. Sementara, dalam posisi melakukan analisis untuk kebijakan, si analis berkutat
dengan hal – ikhwal menggunakan lensa tersebut demi mendapatkan pandangan yang
jelas dan jernih. Hasil dari analisis yang pertama adalah ‘benda’ lensa dan cara
penggunaan yang baik, sedangkan dari analisis yang kedua, yang diharapkan adalah
sesuatu yang dilihat secara tepat dengan lensa tersebut, yang mungkin tidak akan terlihat
jika lensa yang digunakan berbeda. Lihat Bagan III.2. Ilustrasi Analis Aktivitas untuk
Memahami Fenomena Kebijakan dari Perspektif Tertentu.
Untuk menjadi seorang analis yang baik, kita harus sensitif dan tanggap terhadap
perbedaan tuntutan dan kebutuhan yang dilayani dari posisi yang diambil sebagai analis.
Karena, untuk memenuhi kebutuhan tersebut memerlukan pendekatan dan keahlian yang
berbeda.Misalnya, ketika sama-sama menggunakan instrumen Cost- Benefit Analysis -
CBA, analis dalam posisi melakukan analisis untuk kebijakan akan menggunakannya
dengan berfokus pada hasil analisis yang akurat dan reliable, sebab itu yang dibutuhkan
untuk membuat sebuah kebijakan yang efektif. Sementara, analis yang berada dalam
posisi melakukan analisis terhadap kebijakan akan menggunakan instrumen yang sama,
tetapi berfokus pada detil cara penggunaannya. Misalnya untuk melihat apakah
instrumen ini sudah digunakan secara benar ataukah CBA memberikan hasil yang benar-
benar akurat dan reliable, atau, bisa juga, melihat apakah CBA memiliki kelemahan-
kelemahan dan apa yang bisa dilakukan untuk menutup kelemahan tersebut.
Untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa, dosen bisa memberikon contoh
melalui ilustrasi kasus riil analisis kebijakan. Misalnya, mahasiswa bisa diajak
untukmelihat ekspresi analisis orang- orang JPP (saat itu masih JIP) UGM ketika berdiri
sebagai orang luar dan mengomentari proses Rancangan Undang-undang Keistimewaan-
RUUK Yogyakarta. Selanjutnya, kita bisa bandingkan ekspresi tersebut dengan ekspresi
dari orang-orang yang sama ketika mereka telah menjadi bagian dari lingkaran pembuat
kebijakan untuk kasus RUUK. Tentunya dalam posisi yang kedua kita mendapati adanya
kedekatan emosional yang ikut mewarnai ekspresi dari orang-orang JPP UGM,
dibandingkan sebelumnya ketika masih berdiri sebagai orang luar.

D. Kepiawaian Dasar yang Dibutuhkan oleh Seorang Analis


Dosen menjelaskan bahwa antara corak analisis untuk kebijakan dan analisis terhadap
kebijakan, distingsi utamanya terletak pada tujuan yang ingin dicapai melalui analisis
kebijakan. Yang pertama, analisis dilakukan untuk membangun sebuah kebijakan yang
dianggap relevan dengan situasi kebijakan yang dihadapi. Sementara, yang kedua, untuk
membangun pemahaman yang lebih komprehensif tentang realita kebijakan.
Untuk memberikan gambaran yang lebih tentang tuntutan peran yang harus dilakoni
seorang analis sesuai dengan pilihan corak analisanya, dosen mengajak mahasiswa untuk
mencermati Tabel III.3. Tabel tersebut memberikan deskripsi apa yang biasanya dilakukan
oleh analis ketika berada di posisi analis untuk kebijakan dan analis terhadap kebijakan.
Dalam tabel tersebut, dengan menggunakan formula 5-W-1-H Harold D. Laswell,
mahasiswa diajak untuk memahami posisi dan tuntutan yang harus dihadapi oleh
seorang analis, sesuai dengan pilihan corak analisis yang dilakukannya.
Dalam tabel itu aktivitas dan kepiawaian yang dituntut dari analis di masing-masing
posisi dideskripsikan menurut ‘Apa yang mereka lakukan?’, ‘Siapa yang melakukan?’,
‘Untuk siapa/apa analisis dilakukan?’, ‘Bagaimana itu dilakukan?’, dan ‘Sampai sejauh
mana analisis tersebut dilakukan?’.
Dosen juga menjelaskan bahwa di Tabel III.3., dalam masing- masing corak analisis
ditambahkan satu kategori, yang menempatkan posisi analis, sebagai bagian pengambil
keputusan kebijakan atau sebagai orang luar. Karena perbedaan posisi tersebut akan
berimplikasi pada perbedaan tuntutan peran yang harus dilakukan oleh seorang analis.
Namun, dosen perlu menambahkan bahwa kategorisasi yang terakhir ini menjadi agak
kabur batas-batasnya, karena dalam konteks governance yang sekarang ada, peran dan
pengaruh aktor-aktor non – negara semakin besar dalam proses kebijakan. Meskipun
demikian, kategorisasi ini tetap diberikan sekedar memberikan gambaran yang lebih
lengkap kepada mahasiswa.
Batas antara analis berada di dalam atau di luar lingkaran pembuatan kebijakan
yang jelas dan tangible, untuk saat ini, adalah posisi formal si analis atau kepentingan
yang dilayani oleh si analis. Misalnya, apakah si analis, selain sebagai analis, juga
menempati posisi sebagai pejabat publik atau bekerja untuk pejabat publik. Jika ‘ya’,
maka di situ si analis bisa disebut berposisi sebagai orang dalam. Tetapi jika tidak, kita
bisa mengatakan bahwa analis itu berada di luar lingkaran pembuat kebijakan.
Setelah mahasiswa mengenal apa yang diminta dari seorang analis dari posisi yang
dipilihnya, mahasiswa akan diajak untuk mengenal dan menghayati tipologi analis
kebijakan berdasarkan kapasitas dirinya. Ini berguna bagi mahasiswa untuk memahami
corak analis yang menjadi kecenderungan masing-masing tipe analis. Dari situ, sama
seperti di atas, sebagai analis, mahasiswa bisa mulai belajar untuk memaksimalkan
keunggulan dan menutup kelemahan yang timbul dari masing-masing tipe tersebut.
Lihat Tabel III.3. Kuadran Posisi Analis Kebijakan.
Tabel III.3.Kuadran
Posisi Analis
Kebijakan
Posisi
Analis
Analisis untuk Kebijakan Analisis terhadap Kebijakan
Orang Luar Orang Orang Luar Orang Dalam
Dalam
Agenda setting Agenda setting
dilakukan dalam dilakukan dalam Analisa agenda setting Analisa agenda setting
rangka advokasi rangka advokasi dilakukan dalam dilakukan dalam
What

kebijakan: policy kebijakan: policy rangka memahami rangka memahami


making atau policy making atau policy proses kebijakan proses kebijakan
change change
Individu ataupun Individu ataupun
institusi yang Individu ataupun institusi yang Individu ataupun
KRITERIA

memiliki atau institusi yang tidak memiliki atau institusi yang tidak
berhubungan secara langsung berhubungan secara langsung
langsung dengan memiliki otoritas langsung dengan memiliki otoritas
Who

otoritas dalam dalam penentuan otoritas dalam dalam penentuan


penentuan kebijakan kebijakan penentuan kebijakan
yang relevan kebijakan

Hirau pada persoalan Memperjuangkan Melakukan Berdasarkan


yang menyangkut kepentingan berdasarkan kebutuhan diri
Why

nama baik atau kelompok dorongan dari diri sendiri ataupun


kepentingan institusi sendiri atau insititusi dorongan dari pihak
yang relevan lain
Kepentingan
Untuk kepentingan Menjamin internal institusi.

For Whom
institusi dengan kepentingan Namun bisa juga Diketahui
mengatasnamakan kelompok tertentu dibuat aksesibel khalayak luas
publik terpenuhi untuk masyarakat
luas

Tabel III.3.Kuadran Posisi Analis Kebijakan

Posisi
Analis
Analisis untuk Kebijakan Analisis terhadap Kebijakan
Orang Luar Orang Dalam Orang Luar Orang Dalam
Issue search atau issue Membentuk basis
filtration; dukungan,
Melakukan aksi konsolidasi secara Hanya sebatas Menganalisa
nyata yang tidak informal, mencari informasi kemudian
keluar dari menginisiasi agenda yang dibutuhkan. dipublikasikan di
kewenangannya, secara frontal dengan Caranya, berbagai media
caranya dengan otoritas kebijakan. mengidentifikasi massa, jurnal, ataupun
sebatas menggunakan Misal, melalui dokumen-dokumen, kajian ilmiah lainnya,
sumberdaya yang pertemuan formal ataupun notulensi mengutamakan
dimiliki, atau; dengan otoritas kegiatan kedalaman analisa
How

Menyisipkan ke kebijakan,
dalam pertemuan menggunakan
informal atau networking,
networking. pewacanaan media
ataupun aksi massa
KRITERIA

Melaksanakan
rancangan ke Menggalang
dalam proses yang kesepakatan, Learning, evaluation Learning, evaluation
lebih konkrit mempengaruhi
To What Extent

(formulasi, pembuatan dan


implementasi dan dampak kebijakan
evaluasi),
mempengaruhi
pembuatan dan
dampak kebijakan
Tabel III.4.Matriks
Kapasitas Diri Analis
Yang Standa Jangka Pilihan
Tipe Akto menjadi inti r Sumber Waktu Sikap Konteks
Analis r dorongan kesukses Pokok Pengar terhadap Rujukan
motivasi an uh Analisa
Kebijakan

 Penel Kesempatan
iti untuk Kualitas Detil- Obyektif
Teknisi (tukang)

kamp melakukan kerja detil Jangk dan Manual


us kebijakan yang perintah a apolitis: analisa
 Skripsi, sebagai memuask dan panja analisa kebijakan
Tesis dan orientasi an pemaham ng sebagai Lihat Dunn
disertasi penelitian dirinya an tujuan akhir
(mahasis dan knowledg itu sendiri
wa) kolegany e)
a
 Politisi Kesempata Anti
 Wartawan n untuk diri Memuaska Keahlia analisis:
 Advoka sendiri n kliennya n Jangka analisis AdvokasiL
tor beriklan (ad secara komunik pendek sebagai ihat Fakih
Kebijak vancement) langsung asi dan sebuah
Politisi

an dan koordina tujuan


pengaruh si untuk
pribadinya pengaruh
pribadinya

Diterima
sebagai
 Think-tank Kesempata kebijakan- Pemaham Perspek Politis dan
 Litbang n untuk kebijakan an plus tif analitis: Argumen
Wiraswastawan

institusi menelusuri yang dapat keahlian seimba analisis sebuah


pilihan- di komunik ng sebagai kebijakan
(Entrepreneur)

pilihan implement asi dan : jangka tujuan Lihat


kebijakan a- sikan koordina panjang untuk Paper
(policy yang dapat si dan jangka mempengar position
preferences membawa pendek uhi
) akibat kebijakan
manfaat
 Gosip- Komentar-
gosip Sensasi, Dipercay Kabar komentar
(Sok tahu) Pretender
kebijak mengisi a, burung, Sang Opportu sambil lalu.
an waktu, membang berita at nis, Lihat
 Komenta respons un sekilas pend provokat (Maillist,
tor langsung diskursus ek if obrolan,
kebijak surat
an pembaca,
dll)

Untuk lebih memperjelas tipologi analis, berdasarkan pilihan posisinya, serta


konsekuensi yang ditimbulkan oleh pilihan tersebut, dosen mengajak mahasiswa untuk
membandingkan tipologi analis kebijakan dalam Tabel III.3., dengan tipologi yang
dibangun Arnold
J. Meltsner dalam Tabel III.4. Matriks Kapasitas Diri Analis. Dosen menjelaskan
bahwa tipologi yang digunakan dalam Tabel III.4 adalah tipologi Arnold J. Meltsner.
Sesungguhnya, selain tipologi yang dibangun oleh Meltsner masih banyak tipologi yang
lain, sehingga mahasiswa tidak perlu merasa canggung jika mereka ingin menggunakan
tipologi yang lain. Dalam membangun tipologinya, Meltsner telah melakukan penelitian
dengan mengambil sampel 116 analis kebijakan. Dalam penelitiannya tersebut, kapasitas
diri analis dipilah menjadi empat kategori yang merujuk pada nilai dan cara kerja
mereka dalam melakukan analisa.3 Kategori pemilahan dibuat berdasar pada indikator
“keterampilan politik” dan “keterampilan analisa”. Hasil pemilahan tersebut adalah
empat karakter analis berdasarkan skill yang dimiliki, yaitu Wirausahawan
(Enterpreneur), Teknisi/Tukang, Politisi serta Analis ‘Sok Tahu’ (Pretender).
Masing-masing tipologi analis tersebut bisa dijabarkan dalam Tabel
III.4. Matriks Kapasitas Diri Analis. Pemahaman akan kapasitas diri seorang analis ini juga
penting untuk sebagai pertimbangan pemilihan posisi dan model analisis, yang akan
dipaparkan pada sesi berikutnya, karena pilihan posisi dan model melibatkan tuntutan terkait
dengan komprehensivitas dan kecanggihan analisa yang dituntut dari si analis.

1. Wirausahawan
Enterpreneur adalah tipe gabungan teknisi dan politisi, dia seorang pragmatis namun juga
pendidik, manipulator sekaligus pembangun koalisi. Dia mengawinkan politik dan
lingkungan organisasinya. Lebih politis dan agresif daripada teknisi, tetapi secara teknis
berkompeten dan memiliki standar internal sekaligus kontrol kualitas. Prinsipnya dia tidak
dalam kontrol klien, jika klien tidak mendengarkan maka orang lain yang akan
mendengar karena analis ini lebih melihat kepentingan publik sebagai klien utamanya.
Kebanyakan tipe ini adalah para ahli analisis kebijakan yang berasal dari kalangan
akademisi ataupun birokrat. Analisis adalah kekuasaan, begitulah kira-kira motto seorang
analis wirausahawan. Analis jenis ini paham benar bahwa policy making dipenuhi oleh
banyak aktor besar, maka mereka mengembangkan kuasanya sendiri untuk memanfaatkan
semua pengaruh. Dia menyadari kekuatannya, yaitu membuat kebijakan dengan
mempengaruhi keputusan. Analis ini lebih menempatkan diri sebagai think-thank
kepentingan publik. Analis jenis ini rajin membangun taktik, baik di dalam maupun di luar
birokrasi. Singkatnya, seorang analis entrepreneur adalah analis yang ‘ideal’ karena tidak
hanya mahir melakukan analisa kebijakan, tapi secara diam-diam juga pandai dalam
membangun kekuatan politik
2. Teknisi
Seorang teknisi adalah peneliti akademis -seorang intelektual- dalam area birokrasi.
Bayangkan orang yang dikelilingi komputer, model-model teori, statistika, dan lain-lain
tetapi seperti ulat dalam kepompong. Dia hanya berkepentingan dengan riset atau
tindakan yang berhubungan dengan analisa kebijakan. Dia tahu politik tapi tidak banyak,
karena politik adalah sesuatu yang lain di luar kebijakan. Dia menerapkan standar untuk
dirinya sendiri, sehingga motto-nya ‘lebih baik menjadi benar daripada tepat waktu’. Tipe ini
biasanya adalah para akademisi dan peneliti yang dikontrak oleh biro pemerintah tertentu.
Motivasi utama dari analis tipe ini adalah kesempatannya untuk melakukan riset
yang berhubungan dengan kebijakan dalam sebuah lingkungan pembuatan kebijakan
(policy making). Sehingga kebanyakan dari para teknisi ini adalah para intelektual yang
berada di menara gading, dengan menjadi pengamat dan tidak terlibat dalam policy
making. Baginya akurasi pengamatan dan penjelasan lebih penting daripada proses goal-
nya kebijakan.
Seorang teknisi mampu menjadi gudang data, karena kemampuannya mengolah
beragam data statistik, worksheet, laporan pemerintah, dan semacamnya. Sehingga
mereka cenderung untuk
menempatkan analisa sebagai alat untuk menemukan kunci dalam memahami masalah
kebijakan atau solusi kebijakan. Substansi dari kebijakan lebih menarik bagi mereka
daripada proses didalamnya.

3. Politisi
Meski menyadari dirinya bukan birokrat, seorang analis politisi lebih berpikir ala
birokrat daripada seorang analis. Seorang analis politisi lebih memperhatikan dimana
dia duduk dan kepada siapa dia bekerja.Dia lebih khawatir penilaian yang buruk pada
kinerja pelayanannya daripada kualitas analisanya. Atribut kantor seorang analis politisi
lebih menonjolkan simbol yang menunjukkan dirinya sebagai seorang politisi daripada
sebagai gudang data. Meski mereka menyadari dirinya generalis, namun mereka tetap
melihat dirinya berbeda. Tipe ini biasanya adalah para politisi.
Analisis kebijakan kelihatan seperti menawarkan kesempatan bagi politisi untuk memperluas
wawasan dirinya. Seperti halnya rekayasa sosial,mereka melihat pengalaman sebagai
perluasan kesempatan dalam ranah sosial dan membantu mereka mempelajari tentang
beberapa aktivitas pemberdayaan komunitas. Kepercayaan diri dari analis politisi adalah
keyakinan akan kemampuannya merubah gagasan menjadi kenyataan. Mereka percaya bahwa
dirinya mampu mentransformasi penelitian ilmu sosial ke dalam kebijakan publik. Mereka
ingin berada didalam kegiatan kebijakan itu sendiri dan bekerja didalamnya. Akibatnya dia
lebih mengutamakan agenda klien daripada agendanya sendiri.

1. ‘Sok Tahu’ (pretender)


Kiranya untuk tipe analis seperti ini tidak perlu kita bahas secara lebih mendetil karena
kontribusinya pada analisa kebijakan sangatlah sedikit. Namun demikian, mungkin tipe
inilah yang paling banyak dan paling mudah kita temukan. Kita dapat menemukannya
hampir disetiap jalan, warung, café, dan dimanapun tentang gosip-gosip politik dibicarakan.
Analisa para pretender tidak dapat dipertanggungjawabkan sekaligus tidak memiliki efek
yang politis. Namun jangan salah, biasanya para pretender pula yang mampu menyebarkan
gosip kebijakan menjadi perhatian, yang sangat mungkin akan direspons secara serius oleh
para teknisi, politisi maupun enterpreneur.
Sekali lagi dosen mengingatkan mahasiswa bahwa kategorisasi diatas hanyalah
sebentuk penyaringan.Kalau kita cermati, Arnold J. Meltsner membangun tipologi-nya
hanya dengan menggunakan dua variabel analisa, yaitu kemampuan analisa dan
ketrampilan politiknya. Jika kita mau melakukan investigasi lain yang lebih serius, kitapun
dapat menerapkan standar nilai yang akan kita ukur. Dari fenomena tersebut, kita semakin
sadar dan mengakui bahwa setiap analis memiliki standar nilai yang berbeda.
Bagaimana dengan konteks Indonesia? Tentu kita memiliki tingkat rasionalitas berbeda
dan justru perlu memasukkan perangkat analisa yang berbeda pula. Boleh jadi kita tidak
perlu mengukur keseriusan sebuah kebijakan dari kedalaman nalar pikir policy maker,
melainkan seberapa kuat seorang “istri” atau, mungkin juga “penasehat spiritual” seorang
pembuat kebijakan mempengaruhinya. Artinya, masih terbuka lebar bagi kita untuk
mencari sendiri kriteria etika dan nilai yang tepat digunakan di Indonesia.

Penugasan
Di akhir pertemuan ini, mahasiswa yang telah diajak untuk mengenal tipologi analis
menurut kapasitas mereka. Diminta untuk mulai mempertimbangkan posisi dan corak
analisis apa yang akan dipilihnya dalam melakukan latihan analisis kebijakan di segmen
kedua dari perkuliahan ini. Untuk mengasah kepekaan mahasiswa dalam melakukan
positioning, mahasiswa diminta untuk:
• Memberikan kejelasan pilihan posisi dan alasan dia memilih posisi
tersebut;
• Mengidentifikasi kecenderungan bias yang mungkin bisa timbul dari posisi yang dipilihnya
tersebut. Sebagai ilustrasi, mahasiswa bisa merujuk pada Tabel III.5. Bias Khas
Tipe Analis Kebijakan;
Tabel III.5. Bias Khas Tipe Analis Kebijakan

Titik Pijak Kecenderungan Utama

Ilmuwan, Kelangsungan prosedur,


Administrator, dan terlaksananya perintah
Militer (komando)
Politisi Tercapainya tujuan
diri/kelompoknya
Pengusaha Keuntungan

Aktivis Perubahan tatanan

Mahasiswa diminta untuk mempersiapkan diri dengan membaca literatur tentang model
kebijakan dan modelling dalam analisa kebijakan:
Hupe, Peter J. dan Michael J. Hill, Three Action Levels of Governance: Reframing the Policy
Process Beyond the Stages Model, dalam Pieters,
B. Guy dan Jon Pierre, (2006), Handbook of Public Policy, Sage Publications
Daftar Pustaka
Hogwood, Brian W dan Lewis E. Gunn,(1989), Policy Analysis for the Real World, UK:
Oxford University Press
Meltsner, Arnold J, (1976), Policy analysts in the Beureaucracy, LA: University of
California Press
Stone, Deborah, (1997), Policy Paradox: the Art of Political Decision Making, New York:
W&W Norton & Company; pertama kali dipublikasikan 1988 dengan judul “Policy
Paradox andPolitical Reason”

MENGEMBANGKAN KERANGKA ANALISA KEBIJAKAN

Misi Sesi Perkuliahan

• Memperkenalkan konsep kerangka analisa kebijakan


kepada mahasiswa
• Memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang
konsep kerangka analisa kebijakan kepada mahasiswa
• Melatih mahasiswa untuk bisa membangun kerangka
analisa kebijakan sederhana.
Substansi Sesi Perkuliahan

• Konsep Kerangka Analisa Kebijakan


Metode Sesi Perkuliahan

• Ceramah

A. Model dalam Analisa Kebijakan Publik


Dalam dua pertemuan sebelumnya, mahasiswa telah diajak untuk menyelami
pentingnya positioning dan tanggung jawab seorang analis untuk menerima konsekuensi dari
pilihan posisi dan corak analisis-nya. Terlepas dari pilihan posisi dan corak analisis yang
diambil oleh seorang analis, diperlukan kerangka analisa untuk membingkai proses analisa
yang akan dilakukan. Untuk itu, sesi pertemuan IV ini dirancang untuk mengajak
mahasiswa mengenal dan berlatih membangun kerangka analisa kebijakan berdasarkan
pilihan posisi dan corak analisis masing-masing.
Dosen mengawali kuliah ini dengan mengingatkan mahasiswa bahwa kebijakan
adalah realitas yang kompleks dan bersifat
multidimensional. Kompleksitas ini harus dihadapi dengan baik oleh seorang analis. Dan
sebagai seorang analis, tugas utama yang harus dilakukan adalah menelaah dan
menuangkan kompleksitas tesebut dalam paparan yang sederhana sehingga mudah
dipahami.1
Dalam menyederhanakan kompleksitas realitas, seringkali seorang analis
menggunakan alat bantu. Kerangka analisis merupakan alat bantu bagi seorang analis
kebijakan.2 Alat bantu ini bisa bermacam- macam. Teori bisa dipahami sebagai suatu alat
bantu untuk memahami realitas. Namun, tidak berarti bahwa postulat-postulat yang tidak
mencapai status sebagai teori tidak bisa digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan
analisis.Postulat-postulat tersebut biasanya dikenal dengan nama model dan framework.3
Dosen memaparkan secara singkat perbedaan antara teori, model dan framework.
Untuk itu dosen bisa mengacu pada paparan Elinor Ostrom yang dikutip oleh Hupe dan
Hill dalam Pieters dan Hupe eds. (2006). Elinor Ostrom membedakan ketiga-nya
sebagai berikut:
• Sebuah framework membantu mengidentifikasi elemen-elemen yang dibutuhkan untuk
melakukan analisis yang sistematis, menyediakan daftar variabel-variabel, dan ‘bahasa
metaforis’ yang bisa digunakan untuk memperbandingkan berbagai teori.
• Teori memungkinkan analis untuk melakukan spesifikasi terkait elemen mana dari
framework yang relevan untuk permasalahan yang dihadapi dan membuat asumsi
umum tentang bagaimana elemen tersebut bekerja. Bisa dikatakan, teori berfokus pada
suatu framework dan membuat asumsi-asumsi spesifik yang dibutuhkan seorang analis
untuk mendiagnosa suatu fenomena, menjelaskan prosesnya, dan memprediksi
dampaknya. Ada sebagian teori yang cocok untuk digunakan dalam framework mana
saja.
• Model digunakan untuk membangun asumsi-asumsi yang sifatnya spesifik terkait
seperangkat parameter dan variabel tertentu secara spesifik.4

Setelah memaparkan perbedaan ketiga konsep tersebut, dosen melakukan klarifikasi


apa yang dimaksud dengan istilah ‘model’ dalam perkuliahan ini. Model dalam
perkuliahan ini lebih dimaknai sebagai framework. Klarifikasi ini penting dilakukan
mengingat, dari perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan bisa membangun modelnya
sendiri.

B. Memperkenalkan Model
Dosen menjelaskan kepada mahasiswa bahwa model adalah salah satu bentuk
penyederhanaan dari realitas dan proses penyederhaanaan realitas ini disebut sebagai
modelling. Dosen menjelaskan perihal model dan modelling kepada mahasiswa dengan
ilustrasi analis sebagai seorang petugas arsip yang harus menata dan mengklasifikasikan
berbagai dokumen. Dokumen dan literatur tersebut berserakan dan bercampur baur satu
sama lain. Si analis ini diminta untuk, tidak sekedar menata dengan menumpuk
dokumen dan literatur tersebut, tetapi dia harus mengelompokkannya dalam kelompok-
kelompok tertentu sehingga memudahkan orang lain untuk mengakses berbagai literatur
tersebut.
Dalam situasi semacam ini, orang yang diminta menata dokumen tidak akan bisa
berbuat banyak kecuali dia tahu atau sanggup membangun sendiri klasifikasi dan
pengelompokan untuk dokumen dan literatur tersebut. Atau dengan kata lain, memiliki
model sebagai panduan untuk mengelompokkan dan menata berbagai dokumen dan
literatur tersebut. Di sini, membuat model berarti merupakan langkah penyederhanaan
yang membantu penyelesaian pekerjaan. Setelah klasifikasi dan pengelompokan ini
diketahui barulah si analis bisa memulai pekerjaannya.
Membuat klasifikasi dan pengelompokan itulah yang di sini kita sebut dengan
modelling (penentuan model). Model disini diartikan
sebagai sebuah konsep untuk yang independen dari, tetapi paralel, dengan realitas yang
dibayangkan. Dalam contoh di atas, orang yang disuruh menata dokumen, membuat
model yang menggambarkan tatanan realitas yang dibayangkannya tentang susunan dan
klasifikasi dokumen-dokumen yang tersebar. Kemudian, dari bayangan konseptual
tersebut orang ini menciptakan realitas susunan dan klasifikasi dokumen sebagaimana
ada dalam bayangannya.
Dosen perlu memaparkan bahwa suatu kompleksitas yang sama bisa
disederhanakan dengan cara yang berbeda-beda.5 Setiap analis pada dasarnya bebas
menentukan cara penyederhanaannya sendiri, tanpa harus terikat dengan cara
penyederhanaan orang lain. Masing- masing cara penyederhanaan tersebut adalah model
tersendiri. Memang, dalam literatur kebijakan publik sudah dikenal berbagai model
analisis, namun bukan berarti sudah tertutup peluang untuk menawarkan model baru,
mengingat kompleksitas persoalan kebijakan yang dihadapi.
Setiap langkah penyederhanaan mengisyaratkan nalar (kerangka berpikir) tertentu.
Pada saat yang sama, langkah penyederhanaan tersebut sebetulnya abai terhadap
kerangka berpikir yang lain. Oleh karena itu, model yang dipakai untuk mengulas suatu
kebijakan juga memiliki kegunaan yang spesifik, dan belum tentu bisa diandalkan untuk
menjawab kepentingan lain. Jelasnya, karena suatu model adalah suatu penyederhanaan
yang dilakukan dengan mengabaikan sejumlah aspek, maka daya guna model tidak bisa
melampaui kegunaan yang dipersiapkan. Sebagai gambaran, suatu miniatur pesawat
yang merupakan penyederhanaan bentuk pesawat hanya berguna untuk mendeskripsikan
pesawat dari segi bentuk. Miniatur tidak bisa menjelaskan bagaimana pesawat bisa
terbang. Diperlukan model baru tersendiri untuk bisa menjelaskan bagaimana sebuah
pesawat, yang notabene adalah benda padat yang sangat berat, bisa melayang di udara.
Namun, model yang tepat untuk itu bukanlah miniatur.

Untuk memberikan ilustrasi tentang model, dosen memperlihatkan berbagai peta yang
bisa dibuat di suatu wilayah. Adapun tujuan dibuatnya peta berbeda-beda, dan
kegunaan peta tersebut hanya sebatas sesuai dengan tujuan pembuatnya. Untuk
memahami hal tersebut dosen bisa memberikan pemahaman kepadamahasiswa dengan
Tabel IV.I.Jenis Peta Menurut Informasi yang Disajikan dan Kegunaannya.

Tabel IV.I.

Jenis Peta Menurut Informasi yang Disajikan dan Kegunaannya


N Jenis Informasi Kegunaan
o peta yang
disajikan
Peta Yurisdiksi Membantu pejabat
1 administras (wilayah pemerintah
i administrasi mengetahui/mengkomuni
pemerintaha pemerintahan kasikan wilayah
n ) kekuasaan (daerah yang
menjadi
tanggungjawabnya)
Menginformasikan alur
mobilitas. Bagi infantri,
Kontur (tinggi- peta topografi
2 Peta rendah) memudahkan
topografi permukaan bumi menentukan rute
perjalanan. Bagi ahli tata
ruang peta topografi
memudahkan
mengetahui arah dan
volume aliran air
Peta Sumberdaya alam Mengetahui
3 sumberdaya yang terkandung di sumberdaya yang ada
suatu wilayah yang di suatu wilayah
bersangkutan
4 Peta Rute dan Mengetahui rute dan
jaringan moda moda transportasi
transporta transportasi yang tersedia
si
Pendukung Membantu menentukan
5 Peta /pemilih masing- strategi pemenangan
pemilih masing kontestan pemilu
pemilihan umum

Di dalam masing-masing peta masih ada peluang untuk mendetilkan informasi yang
disajikan berdasarkan kegunaannya. Peta yang sama bisa disusun secara berbeda,
tergantung dari kebutuhan penggunanya yang lebih spesifik. Sebagai contoh, dosen bisa
mengajak mahasiswa untuk mencermati peta Kota London dalam Bagan IV.I. Di
London ada peta transportasi yang dibedakan berdasarkan moda transportasi yang
bersangkutan.

Bagan IV.1. PETA LONDON

Peta A

Peta B

Perhatikan dua peta rute dan jalur kereta api dalam kereta tersebut! Jika seandainya
anda di London, sebagai seorang turis yang ingin bepergian, yang manakah di antara peta
A dan B, yang akan anda pilih sebagai pegangan? Namun, jika anda adalah seorang
kontraktor yang disewa perusahaan kereta api di London untuk merawat rel,peta
manakah yang anda pilih? Tentu saja turis lebih memilih peta B karena para turis hanya
memerlukan informasi tentang rute dan jalur kereta api. Mereka tidak berkepentingan
dengan kelokan dan detil jalur yang dilaluinya. Namun seorang kontraktor yang
berkepentingan untuk
merawat rel tidak hanya berkepentingan dengan rute dan jalurnya, tetapi juga dengan
kelokan dan jarak antar stasiun.
Ilustrasi ini memberikan gambaran yang semakin jelas bahwa suatu fenomena yang
kompleks disederhanakan menurut kepentingan dari orang yang akan menggunakan
informasi tentang fenomena tersebut. Ini juga membuktikan bahwa setiap analis,
sebetulnya bebas untuk membuat dan memilih modelnya sendiri, sesuai dengan
kebutuhannya.
Untuk memudahkan mahasiswa mendapatkan gambaran tentang bagaimana seorang
analis membangun dan memilih sendiri model yang akan dipakainya, dosen
mengingatkan mahasiswa pada ilustrasi serakan dokumen dan literatur di atas tadi. Di
sini mahasiswa diajak untuk membayangkan dokumen dan literatur itu sebagai teori-
teori sosial yang dikembangkan selama ini dan jikalau mahasiswa harus memetakan
serta menganalisis teori-teori tersebut, kira-kira apa yang mahasiswa lakukan untuk bisa
melaksanakan pekerjaan itu? Untuk melaksanakan pekerjaan itu, von Beyme dalam
Goodin dan Klingeman membuat peta teori seperti berikut ini.
Bagan IV.2.Peta Teori Menurut Klaus von Beyme

Sumber: von Beyme dalam Goodin dan Klingeman, (1996), hal 524.

Von Beyme tentunya mengacu pada kategorisasi orang lain, terutama untuk kategori
yang umum, seperti pemilahan berdasarkan pendekatan sistem – aktor dan level makro –
mikro. Namun, pilihan untuk menggunakan dan menggabungkan dua kategorisasi
tersebut sebagai sebuah model untuk mengklasifikasikan berbagai teori sosial yang
semula bertebaran, bisa kita asumsikan, lebih didorong oleh kebutuhan dia untuk
mengklasifikan dan menata berbagai teori tersebut.
Dosen perlu menegaskan bahwa poin utama dari ilustrasi tersebut adalah
bahwa seorang ilmuwan bisa merumuskan sendiri model yang akan digunakannya untuk
memvisualkan gagasannya. Di sini dosen juga bisa memberikan ilustrasi lain. Misalnya,
ketika hendak memaparkan bahwa konsep good governance sebetulnya jumbuh dengan konsep
democratic governance, kejumbuhan tersebut bisa disajikan sebagai model seperti dalam
Bagan IV.3.Visualisasi Kesejajaran Ide Good Governance dan Democratic
Governance.
Bagan IV.3.Contoh Visualisasi Kesejajaran Ide Good Governance Dan
Demokrasi

Dalam rangka untuk memberikan pemahaman lebih lanjut tentang model, dosen bisa
memberikan ilustrasi lain dengan penyederhanaan pola perpolitikan di Indonesia.
Mahasiswa diajak untuk mengingat dan memperhatikan bagaimana banyak ilmuwan
Indonesianis
melabeli pola perpolitikan di Indonesia dengan mengedepankan aspek tertentu dan
mengabaikan aspek lain. Yang menjelaskan pola perpolitikan dari segi elit
mengedepankan peran elit sebagi patron dan perpolitikan Indonesia dibayangkan sebagai
politik relasi patron-klien. Maka ada model patront – client dan politik Indonesia dilabeli
sebagai Politik Patronase. Selain model itu masih ada berbagai model lain seperti
ditampilkan dalam Tabel IV.2.Berbagai Model Definisi Perpolitikan Indonesia.

Tabel IV.2.

Berbagai Model Definisi Perpolitikan Indonesia


Aspek Jargon
N Ilmuwan Penting yang
o yang Dipakai
Diamati Untuk
Melabeli
1 Karl D. Jackson Peran politik Beaurocratic Polity
birokrasi dan
elemen negara
yang lain
2 Donald K. Peran elit Patrimonial State
Emmerson
3 J. H. Boeke Mode ekonomi Dual Society
4 Richard Peran ekonomi dan Bueaurocratic
Robinson, Arief politik birokrasi Capitalist State
Budiman dan elemen negara
yang lain
5 Ruth T. McVey Kecenderungan Beamtenstaat Politics
masyarakat
meromantisir peran
pegawai
6 Mohtar Mas’oed Peran politik Bureaucratic
birokrasi dan Authoritarian State
elemen negara lain

Jargon-jargon tersebut, sebetulnya, adalah model yang digunakan oleh ilmuwan yang
membuatnya untuk menjelaskan perpolitikan Indonesia. Selain Politik Patronase, kita juga
sering temukan istilah Negara Birokratik Otoritarian. Dosen juga menjelaskan pada
mahasiswa bahwa dari ilustrasi ini, kita tahu bahwa model tidak harus dihadirkan dalam
skema, tetapi bisa juga dalam jargon. Jargon ini mewakili serangkaian konsep yang
menyusun model tersebut, dan telah dielaborasi dalam karya dari ilmuwan yang
bersangkutan.
Dari paparan di atas, dosen bisa memberikan kesimpulan antara bahwa dalam
membangun model analis melakukan klasifikasi; kategorisasi; dan taksonomi. Dalam
melakukan itu semua analis digiring oleh nalar tertentu. Sehingga, penyederhanaan
kompleksitas realitas sebetulnya didasarkan pada preferensi subyektif si analis terhadap
suatu nilai, perilaku dan tindakan tertentu. Namun, sampai sejauh ini, bukankah kita
masih menggunakannya untuk melakukan analisis? Ini membuktikan bahwa meskipun
mengandung subyektivitas yang cukup kuat, model-model tersebut tidak berarti salah dan
tidak berguna. Sebaliknya, berbagai model yang sangat spesifik tersebut terbukti sangat
berguna bagi kita untuk menyederhanakan kompleksitas realitas kebijakan dan realitas
politik Indonesia.

C. Mengembangkan dan Menggunakan Model untuk Analisa Kebijakan


Setelah diperkenalkan dan diajak memahami konsep model, dosen mengajak
mahasiswa lebih mendalami praktek penggunaan dan pengembangan model untuk
analisis kebijakan. Di sini, dosen bisa memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk
mengembangkan modelnya sendiri.
Sebagai bagian dari usaha untuk mendorong mahasiswa membangun modelnya
sendiri, dosen memaparkan model berikut ini sebagai contoh dari model kebijakan yang
dikembangkan oleh seorang analis yang berkepentingan untuk menangkap berbagai
dimensi kebijakan secara lebih komprehensif. Di sini model yang dibangun merupakan
upaya untuk menyederhanakan realitas kebijakan yang multidimensional, tetapi tanpa
harus kehilangan kemampuan model tersebut untuk membantu si analis untuk memahami
berbagai dimensi secara komprehensif.
Salah satu bentuk penyederhanaan yang paling sering dilakukan untuk membangun
model analisa kebijakan adalah dengan menyederhanakan proses kebijakan sebagai sebuah
proses yang terdiri dari fase-fase atau bagian-bagian yang lebih kecil. Selain memecah
proses kebijakan ke dalam berbagai bagian yang lebih kecil, modelling juga mensyaratkan
adanya penjelasan yang rasional tentang relasi antar bagian tersebut dalam membentuk
sebuah proses kebijakan.

Dengan membagi kebijakan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, harapannya


kompleksitas kebijakan bisa dipahami dalam bentuk yang lebih sederhana. Dengan
demikian analisa juga lebih mudah dilakukan. Dengan membagi kebijakan ke dalam
bagian-bagian yang lebih kecil, analis juga bisa memfokuskan perhatiannya pada bagian
tertentu dari keseluruhan benda yang namanya kebijakan.
Penyederhanaan kebijakan dalam proses yang lebih kecil tentunya cukup familiar bagi
mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Analisa Kebijakan Publik. Terutama model stagist
yang membayangkan proses kebijakan sebagai proses yang terdiri dari berbagai aktivitas yang
lebih kecil yang berjalan dalam proses yang sekuensial. Model yang awalnya dipopulerkan
oleh Harold Laswell ini memang banyak dipakai dalam analisa kebijakan.

DIMENSI KEBIJAKAN

Namun demikian, mahasiswa perlu mengetahui dan memahami bahwa tidak semua model
harus dibuat berdasarkan urutan sekuensial, seperti dalam model yang selama ini kita kenal.8
Penyederhanaan kebijakan bisa dilakukan dengan membedah anatomi kebijakan seperti
terdapat dalam salah satu contoh model analisa kebijakan berikut ini, misalnya seperti
ditampilkan dalam Bagan IV.4.
Model ini melihat bahwa dalam kebijakan apapun pasti melekat tiga hal, pertama, substansi
atau persoalan yang hendak diatasi. Kedua, proses yang perlu dilakukan untuk mengatasinya.
Terakhir, konteks di mana upaya untuk mengatasi persoalan itu berlangsung. Dari modelling
sederhana ini bisa dihasilkan banyak sekali model-model turunannya.
Pada prakteknya, analis tidak selalu mengedepankan ketiga dimensi tersebut secara
berimbang dan proporsional. Lebih sering, analis mengedepankan salah satu dari
dimensi yang dianggapnya paling relevan dengan fenomena kebijakan yang
dianalisisnya.
Sembari mengingatkan pada kapasitas diri analis yang sudah disampaikan di sesi
sebelumnya, analis dengan tipe teknokrat biasanya cenderung terobsesi dengan substansi
dan mengasumsikan bahwa dimensi proses dan konteks tidak problematik.
Sementara, analis dengan tipe politisi biasanya cenderung berorientasi pada proses untuk
menyiasati konteks tertentu untuk mencapai substansi yang dia kehendaki. Berbeda dengan
teknokrat yang mengasumsikan bahwa proses kebijakan adalah proses yang berjalan
dengan logika birokratik ala Weberian. Analis model politisi melihat proses kebijakan
dijalankan dalam logika ‘everything is possible’ demi menyiasati konteks yang ada untuk
mencapai substansi yang diinginkannya.
Dalam rangka menghayati model di atas, dosen bertanya pada mahasiswa, “Dalam
melakukan analisis, dari tiga dimensi tersebut, dimensi apa yang ingin dikedepankan oleh
mahasiswa?” Perlu juga diingatkan bahwa masing-masing pilihan memiliki kegunaan dan
konsekuensi sendiri. Itu bisa kita petakan dalam Matriks IV.3.Beberapa Pilihan Orientasi
Analisis dan Konsekuensinya.
Tabel IV.3.Beberapa Pilihan Orientasi Analisis dan
Konsekuensinya

ORIE PERHA KEUNTU POTENS


NTAS TIAN NGAN I BIAS/
I UTA KERU
ANA MA GIAN
LISIS
Dalam hal akar
Substansi Akar Menjanjikan persoalan tidak
persoalan efektivitas dipahami berbagai
kebijakan pihak, proses
kebijakan yang
diperlukan bisa
mendapatkan
resistensi
Prosedur Tidak siap terhadap
teknokrasi Proses mudah perubahan situasi,
dan dikelola tidak kontekstual,
birokrasi tidak responssif
Konvers Proses kebijakan
i dari diserahkan Aktor yang terlibat
input kepada sistem merasa tidak
menjadi yang dibakukan bertanggung jawab
Proses output
dan
outcome
Kausalitas
Mengarah Terjebak dalam
pada pokok kerumitan
persoalan kausalitas
Menggiring
Konflik proses Merepotkan penentu
konsensus kebijakan
dan
memudahkan
tindak lanjut
Pelibat Mengantisipasi
an berbagai hal Bertele-tele
masyar yang tidak
akat sempat
dipikirkan
pemerintah
Situasi Relevan bagi Mengacaukan
Konteks khusus target group, aturan yang
dan menghasilkan dibakukan,
mendesak kehati- hatian terjebak dalam detail
yang pemerintah yang tidak selalu
ditemukan (policy maker) konsisten

Berkaca pada model di atas, dosen memaparkan bahwa dalam melakukan analisa
kebijakan seorang analis memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan model apa yang
akan digunakannya. Namun kebebasan ini harus disertai oleh kemampuan untuk
memahami dan mengelola konsekuensi yang muncul dari pilihannya tersebut.
Selanjutnya mahasiswa diajak untuk menghayati bagaimana melakukan modelling untuk
tiap dimensi kebijakan, sekaligus menyiasati konsekuensi yang muncul dari keputusan
untuk mengedepankan dimensi tertentu dan mengabaikan dimensi yang lain.
Dosen bisa memberikan penjelasan yang lebih empiris tentang perbedaan antara
framework, teori, dan model dari paparan tentang model anatomi kebijakan di atas. Model
tentang anatomi kebijakan yang terdiri dari 3 (tiga) dimensi di atas adalah contoh sebuah
framework. Ketika mahasiswa hendak berfokus pada salah satu elemen/dimensi dalam
model tersebut, mahasiswa bisa menggunakan berbagai ‘model’ dan teori untuk
mempertajam analisanya.
Selanjutnya, dosen memberikan pemaparan terkait langkah focusing dalam
melakukan analisa kebijakan berdasarkan ‘framework’ anatomi kebijakan di atas. Dengan
demikian paparan ini akan memberikan contoh bagaimana menggunakan atau
membangun ‘model’ dalam analisa yang berfokus pada dimensi substansi, proses, dan
konteks dari kebijakan.

D. Modelling untuk Menganalisis Substansi Kebijakan


Di sini dosen memaparkan bagaimana model untuk memfokuskan analisa pada dimensi
substansi kebijakan dibangun atau digunakan. Model dalam analisa substansi kebijakan
berangkat dari asumsi atau bayangan tentang hasil apa yang diinginkan dari sebuah
kebijakan. Salah satu substansi yang saat ini paling sering digunakan adalah asumsi
kebijakan berorientasi pada penyelesaian masalah.9
Dengan asumsi kebijakan yang berorientasi pada penyelesaian masalah, penting
bagi dosen untuk menjelaskan pada mahasiswa bahwa pada dasarnya kebijakan publik
adalah selalu kebijakan pemerintah. Sehingga kebijakan muncul ketika ada suatu hal
yang dianggap sebagai masalah oleh pemerintah. Berbagai isu yang beredar di publik
ditangkap sebagai masalah kebijakan i.e. menjadi masalahnya pemerintah didasarkan pada
asumsi tertentu yang digunakan pemerintah untuk mendefinisikan masalah kebijakan.
Peluang bagi munculnya model baru terbuka lebar karena tidak menutup kemungkinan
bahwa biang permasalahan dari seluruh permasalahan kebijakan adalah asumsi
pemerintah tentang masalah itu sendiri. Misalnya, kemiskinan yang seringkali dipahami
oleh pemerintah, semata, sebagai masalah kelangkaan uang. Memahami kemiskinan
dengan cara itu mendorong orang mengatasi masalah kemiskinan hanya dengan bagi-
bagi uang dan tidak pernah terpikir untuk mencari solusi lain.
Dosen bisa memberikan contoh lain terkait dengan kebijakan penanganan masalah
‘penyakit sosial’ yang seringkali ditayangkan di televisi, terutama menjelang dan pada
saat Bulan Puasa. Penyakit sosial seringkali dikenal dengan istilah atau jargon ‘PEKAT’.
Kebijakan penanganannya seringkali disebut ‘OPERASI PEKAT’. Kalau mahasiswa
perhatikan, dalam tayangan yang muncul itu selalu digambarkan aparat, sebagai
representasi negara, memburu anggota masyarakat yang dianggap sebagai wujud nyata dari
penyakit sosial itu, misalnya Pekerja Seks Komersial (PSK), Gelandangan, Pengemis,
Tunawisma dll. Biasanya, diakhir tayangan reportase selalu ada kata-kata, “Orang-orang yang
terjaring dalam Operasi Pekat itu akan didata kemudian dikirim ke tempat rehabilitasi untuk diberi bekal
kemampuan agar tidak kembali ke ‘dunia hitam’ lagi”.
Dari ilustrasi singkat itu, dosen memaparkan pada mahasiswa bahwa dalam
kebijakan penanganan penyakit masyarakat tersebut, logika substansi kebijakan yang
dipakai adalah sebuah model kausal yang memberikan gambaran konseptual tentang relasi
masalah dan faktor penyebab masalah. Dari situ, bisa didapatkan alternatif penyelesaian
masalah. Untuk kasus penyakit masyarakat itu model kausalnya adalah demikian: penyakit
sosial  karena kurang ketrampilan  menambah ketrampilan  mengatasi dan memutus
mata rantai penyakit sosial.
Dalam model kausal berlogika implikasi seperti di atas, penyakit sosial direduksi sebagai
permasalahan kurangnya ketrampilan. Kurangnya ketrampilan membuat orang tidak
kompetitif di dunia kerja, sehingga dengan dorongan kebutuhan ekonomi, untuk tetap bertahan
hidup sebagian orang tersebut harus menggeluti aktivitas ekonomi yang didefinisikan sebagai
gejala penyakit sosial. Karena itu, permasalahan penyakit sosial, dalam model ini, harus
diselesaikan dengan memberikan ketrampilan yang membuat orang-orang tersebut lebih kompetitif
dalam dunia kerja, seperti digambarkan dalam Bagan IV.5.
Bagan IV.5.
URUTAN ANALISIS SUBSTANSI KEBIJAKAN

Dosen memaparkan kepada mahasiswa bahwa model di atas bukanlah model satu-
satunya dan yang paling benar. Mahasiswa, ketika berlatih sebagai seorang analis, bisa
mereduksi penyakit sosial pada hal lain selain masalah kurangnya ketrampilan sebagai
bekal berkompetisi di dunia kerja. Contoh yang paling sederhana, mahasiswa bisa
membuat model yang didasarkan pada asumsi bahwa penyakit sosial adalah
permasalahan kelalaian pemerintah dalam mengatur kompetisi dalam dunia kerja atau
dalam mempersiapkan tenaga kerja.
Mahasiswa perlu diingatkan bahwa dalam membuat model baru, mahasiswa tidak
harus berangkat dari pembuatan model kausal yang sama sekali baru. Seringkali analis
mempertahankan sebagian dari model kausal yang sudah ada, namun melakukan
modifikasi di bagian yang lain. Namun, sebagai awalan, mahasiswa diajak untuk
mengenal pembuatan model dari level yang paling abstrak dan sederhana, karena belum
memerlukan pertimbangan detil teknis.
Dari kasus kebijakan penanganan penyakit sosial itu, dosen mengajak mahasiswa
untuk merenungkan bahwa sangat besar kemungkinan dalam berbagai kebijakan yang
diambil pemerintah selama ini, terjadi kesalahandalam mengangkat permasalahan.
Maka dari itu semakin terbuka peluang untuk membangun definisi permasalahan yang
baru. Kesalahan mungkin saja terjadi pada diri pemerintah, dan mengandaikan bahwa
kesalahan itu selalu kesalahan masyarakat dan masalah kebijakan sebagai masalahnya
masyarakat adalah sebuah kecerobohan.
Agar mahasiswa lebih menghayati proses modelling, dosen bisa mengajak mahasiswa
bersama-sama melakukan simulasi modeling. Ini bisa dilakukan, misalnya, dengan
meminta mahasiswa untuk menyampaikan pemahaman mereka tentang kemiskinan dan
dosen memetakan paparan yang disampaikan oleh mahasiswa. Dari situ dibayangkan
akan ditemukan berbagai cara memahami kemiskinan. Besar kemungkinan dari diskusi
kelas itu ditemukan keajegan, meskipun mahasiswa mendekati fenomena itu dengan
logika yang berbeda- beda.Cara memahami itulah yang disebut model analisis
kemiskinan. Terlepas dari persoalan mana yang benar, yang jelas masing-masing orang
berhak memaknai persoalan dengan nalarnya sendiri, sesuai dengan yang dianggapnya
penting.
Setelah mahasiswa mencoba membangun modelnya sendiri, dosen memberikan
pemaparan bahwa apa yang disebut model ini, bagi banyak kalangan yang bergelut dalam
analisis kebijakan juga biasa disebut heuristik.10 Karena sebetulnya model ini digunakan
bukan sebagai acuan yang bersifat preskriptif, tetapi sekedar sebagai pembayangan untuk
mempermudah seorang analis untuk memperhitungkan langkah- langkah yang perlu untuk
dia lakukan dalam melakukan analisis.
Dari situ dosen bisa mengatakan pada mahasiswa bahwa model analisis kebijakan
tidaklah harus dibuat dalam bentuk tahap-tahap. Klasifikasi dan pengelompokkan itu
juga bisa jadi berubah ketika di tengah-tengah usahanya merapikan dan
mengelompokkan literatur tersebut, si analis menemukan dokumen atau literatur yang
tidak bisa dimasukkan dalam klasifikasi yang ada. Dalam situasi tersebut, si analis mungkin
perlu membuat klasifikasi baru untuk dokumen dan literatur tersebut dan memodifikasi
model yang sudah ada. Itulah sebabnya mengapa model juga disebut heuristik, karena
meskipun menjadi pedoman bagi seorang analis dalam melakukan analisa, tetapi model
tidak sepenuhnya bersifat preskriptif dan bisa dimodifikasi atau diubah oleh si analis
bilamana perlu.

E. Modelling untuk Menganalisis Proses Kebijakan


Dalam sub – bab ini, dosen bisa mengawali dengan memberikan pertanyaan kepada
mahasiswa mengenai pendapat mereka tentang beberapa literatur model kebijakan dan
analisa kebijakan yang sudah mereka baca terutama yang membahas model stagist.
Dosen bisa memberikan pertanyaan, “Apa ciri khas yang paling nampak dari model
stagist yang dibahas dalam literatur yang sudah mereka baca?”.
Tentu jawaban yang paling banyak muncul adalah kecenderungan model itu untuk
melihat proses kebijakan sebagai sebuah proses yang terdiri dari tahapan-tahapan yang
lebih kecil. Asumsinya, dengan membagi proses kebijakan dalam tahapan-tahapan yang
lebih kecil, analis, sebagaimana pembuat kebijakan, bisa secara lebih efisien dan
menghasilkan kebijakan yang lebih efektif.
Dengan mengingatkan kembali pada esensi analisa, yang berarti penyederhanaan,
dosen memberikan pemaparan bahwa model stagist ini adalah model yang
menyederhanakan proses kebijakan sebagai tahapan-tahapan. Ini merupakan salah satu
kelebihan dari model ini, yang membuatnya banyak dipakai oleh para analis kebijakan
hingga saat ini. Dengan membagi proses kebijakan dalam tahapan-tahapan yang lebih
kecil, analis bisa memilih pada bagian mana dari proses kebijakan dia ingin
memfokuskan analisisnya.
Tetapi, kelebihan itu juga menjadi sumber kelemahan model ini, yang membuat
banyak kritik diarahkan pada model ini. Banyak kalangan di lingkaran analis kebijakan
yang menyesalkan bahwa sebagian besar orang menggunakan model ini tanpa disertai
kritisisme. Akibatnya, model stagist ini, di tangan para analis yang kurang kritis tersebut,
cenderung menyederhanakan proses kebijakan dan analisa kebijakan sebagai sekedar hal
teknis - prosedural.
Apa yang disampaikan oleh dosen ini hendaknya menjadi warning bagi mahasiswa, agar
dalam sesi-sesi selanjutnya, yang akan membawa mereka dalam realitas praktis analisa
kebijakan, bisa menggunakan model stagist dengan lebih jeli dan kritis. Kekritisan dan
kejelian mutlak diperlukan dalam menggunakan model ini, karena jika kita tidak,
kitaberpotensi besar menjadi tidak peka terhadap dimensi kontekstual yang selalu menyertai
setiap realitas kebijakan.
Meskipun model stagist adalah model yang paling banyak dipakai, model ini bukan satu-
satunya model analisa yang mengedepankan dimensi proses. Disamping model stagist
masih ada model konflik, dengan banyak turunannya, yang melihat proses kebijakan
sebagai proses pertarungan kepentingan antar berbagai aktor kebijakan.11 Berbeda
dengan model stagist, yang secara implisit lebih menekankan dimensi teknis –
administratif dari proses kebijakan, model konflik ini lebih mengedepankan dimensi
politik dari proses tersebut. Analisis difokuskan pada konstelasi, sumberdaya, pola relasi
dan koalisi antar aktor yang berkepentingan dengan suatu proses kebijakan, serta konteks di
mana pertarungan itu berlangsung. Sehingga, analisis yang dilakukan dengan model ini
biasanya melihat di balik proses kebijakan formal yang biasa kita kenal. Naskah undang-
undang, peraturan, ketetapan, dan sebagainya, dianggap hanya sebagai penampilan
superfisial dari proses kebijakan. Proses yang sesungguhnya, meliputi konflik
kepentingan; tawar menawar; pembangunan koalisi yang tidak nampak dalam semua proses
formal tersebut, dan itulah yang perlu untuk dianalisa.
Keunggulan model ini adalah sensitifitasnya yang cukup tinggi terhadap dimensi
politik dari kebijakan, sehingga bisa memberikan gambaran yang, bagi sebagian besar
orang, lebih realistis daripada model stagist. Sementara, kekurangannya, proses kebijakan
cenderung menjadi sebuah proses yang open – ended; ditentukan oleh dinamika antar –
aktor, kebijakan juga cenderung terlihat hanya didasari oleh tujuan jangka pendek, dan
model ini juga cenderung overlook terhadap tahapan perencanaan dari kebijakan.
F. Modelling untuk Analisis Konteks Kebijakan

Bagan IV.6.
SIKLUS PENANGGULANGAN BENCANA

Pada bagian ini dosen memaparkan pada mahasiswa bahwa sebelumnya mahasiswa
diajak untuk membayangkan dan memahami analisa kebijakan dan pengembangan
model analisa kebijakan yang dilakukan dalam kondisi normal. Artinya, sebagian
besar situasi dan segala kemungkinan yang muncul sudah terantisipasi dan bisa
diproyeksikan secara konvensional. Namun selalu ada kemungkinan bahwa analisis
kebijakan harus dilakukan dan harus mengantisipasi situasi-situasi yang tidak
memungkinkan ditangani dengan cara-cara konvensional. Misalnya seperti dalam situasi
darurat akibat bencana.
Para pengambil kebijakan dan juga analis harus siap ketika dihadapkan pada situasi
seperti itu. Bagi analis, salah satu cara untuk mempersiapkan diri menghadapi situasi
seperti itu adalah dengan membangun model analisa kebijakan yang diasumsikan
digunakan untuk menganalisa kebijakan yang berlangsung dalam situasi abnormal.
Untuk situasi seperti itu, proses kebijakan normal tidak berlaku, sehingga perlu
dikembangkan double-track policy making. Model double-track policy making memuat pola
pembuatan kebijakan dalam kondisi normal dan kondisi tidak normal. Sehingga analis bisa
membuat analisa dalam dua alur, pertama, analisa yang didasarkan pada alur proses
kebijakan normal dan, kedua, analisa yang dibangun berdasarkan alur proses kebijakan
dalam situasi abnormal.
Tentunya, untuk itu analis harus memahami situasi dan proses kebijakan dalam
situasi abnormal, misalnya situasi bencana. Proses penanggulangan bencana bisa kita
lihat dalam Bagan IV.5.Siklus Penanggulangan Bencana. Dengan memahami siklus
tersebut, analis bisa memiliki gambaran tentang situasi yang menjadi kontekspembuatan
kebijakan dalam situasi abnormal dan bisa membangun analisis yang relevan.

G. Konsekuensi dan Ancaman Penggunaan Model


Sebelum mengakhiri kuliah, dosen perlu memaparkan sekaligus mengingatkan
kepada mahasiswa untuk memperhatikan konsekuensi- konsekuensi penggunaan model.
Seperti kita tahu, begitu gampangnya model menjelaskan sebuah kompleksitas persoalan,
justru kadang menjerumuskan pengguna model dalam belenggu kerangka nalar yang
diyakininya. Untuk itu dalam sebuah kebijakan, penggunaan model perlu sadar akan
beberapa kehati-hatian, sadar akan beberapa ancaman yang akan menciptakan bias
tertentu.

 Ancaman Pertama, Sesat Pikir (Fallacy) Pada Pemilihan Asumsi


Pemilihan asumsi menjadi sebuah awal dalam menentukan model, sehingga
memiliki pengaruh yang paling besar terhadap bagaimana model itu akan dibentuk.
Pemilihan asumsi menjadi alat filter mana yang dianggap penting dan mana yang
dianggap tidak. Jika kita sedang menganalisis relasi rakyat kecil – hutan dengan hutan
- pengusaha HPH, akan sangat berbeda dalam kacamata dan sudut pandang yang
berbeda. Boleh jadi ketika kita anggap manusia lemah lebih penting dibela daripada
mereka yang kuat, maka kita akan membela pemanfaatan hutan bagi rakyat kecil
daripada pengusaha. Namun apabila kita melihat dari kacamata alam kita akan
memilih untuk tidak mengijinkan kedua pihak merusak hutan. Karena apa yang penting
di mata manusia tidak penting dimata alam. Dalam sebuah kebijakan kemiskinan
misalnya, kita tidak bisa memberikan impact yang diinginkan oleh masyarakat, jika kita
tidak berpikir tentang apa yang dianggap penting oleh masyarat.

 Ancaman kedua,Pemerkosaan Realitas


Dalam penggunaan model kita sering terjebak pada keyakinan dan kehandalan
model yang kita gunakan. Model adalah kerangka agar kita tidak bias keluar dari
persoalan terlalu jauh, namun disatu sisi kadang kita juga terjebak tidak bisa keluar dari
kungkungan konsep dalam membaca realitas. Artinya realitas kita paksakan untuk
memenuhi konsepsi kita, sedangkan sebenarnya realitas itu bergerak dengan nalarnya
sendiri. Akibatnya persoalan atau tujuan yang ingin kita selesaikan tidak tepat.

 Ancaman ketiga, Terlalu optimis


Model kebijakan yang dianggap sudah menjelaskan kadang dianggap final dalam
memahami sebuah kompleksitas kebijakan, sehingga menutup ruang bagi perdebatan
dengan model lain. Model adalah eksplorasi dari sebuah konsepsi tertentu yang nantinya
akan digunakan dalam praktiknya oleh sebuah kebijakan. Optimisme yang berlebihan,
karena dibangun oleh asumsi rational-comprehensive, pada model justru akan
menjebakkan diri sebuah kebijakan yang tidak adaptif. Akibatnya kebijakan tidak
terdeteksi potensi kegagalannya, kecuali sesuatu yang memang sudah diramalkannya.

 Ancaman keempat, “Kesalahan Tipe ketiga”


Kesalahan tipe ketiga ini, adalah sebuah bentuk kesalahan yang terjadi karena
perumusan masalah pada tipe pertama dan tipe kedua (penentuan cause dan effect) sudah
mengalami kesalahan. Jadi ini menimbulkan sebuah kepastian kegagalan dampak
kebijakan, jika meta-masalah (meta problem) yang digunakan salah.13

H. Tugas dan Persiapan Sesi Selanjutnya


Untuk mempersiapkan mahasiswa mengikuti sesi berikutnya yang akan membahas
analisa agenda-setting kebijakan, Mahasiswa diminta untuk membaca dan membuat review
dari beberapa literatur yang relevan untuk sesi tersebut, yakni:
• Hogwood dan Gunn, Policy Analysis for the Real World, Chap.5;Chap.6, dan; Chap.7.
• Meltsner, Arnold J., (1976) Policy Analysts in the Bureaucracy, Chap. 3. Problem
Selection.
• Kingdon, John W., (l995), Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins
College Publishers, Chap 1.
• Toepatimasang, Roem dkk., Merubah Kebijakan Publik, Bab 3 dan Bab 4.

Daftar Pustaka
Bardach, Eugene, (2004), Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths toward Problem
Solving, CQ Press, NY
Cochran, Charles L. dan Eloise F. Malone, Public Policy: Perspective&Choices, McGraw
Hill Press
Hogwood, Brian W. dan Lewis E. Gunn, (1989)Policy Analysis for the Real World, Oxford
University Press
Howlett, Michael dan Ramesh, M. (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, Oxford University Press
Hupe, Peter J dan Hill, Michael J., The Three Action Levels of Governance: Reframing the
Policy Process Beyond the Stages Model dalam Pieters, B. Guy dan Jon Pierre eds., (2006),
Handbook of Publik Policy, Sage Publications
Nugroho Riant, (2006), Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang, Jakarta:
Elex Media Komputindo
von Beyme, Klaus, Political Theory: Empirical Political Theory dalam Goodin, Robert E.
dan Hans Dieter Klingeman,(1996), A New Handbook of Political Science, vol.2,
Oxford University Press
William N.,(2000), Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua, Gadjah Mada
University Press, diterbitkan pertama tahun 1999
METODOLOGI
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebuah kebijakan publik yang baik dan tepat merupakan suatu keharusan
dalam kehidupan bermasyarakat, berorganisasi dan bernegara. Oleh karena
itu, perlu disiapkan sumber daya manusia yang mampu untuk
mengidentifikasi isu/masalah dengan tepat, mengumpulkan data dan fakta
terkait masalah tersebut, mengidentifikasi alternatif kebijakan yang dapat
diterapkan, mengevaluasi biaya, risiko dan keuntungan yang akan
ditimbulkan, menyajikan saran dan informasi kebijakan dengan baik, serta
melakukan monitoring dan evaluasi penerapan kebijakan.
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang analis kebijakan
adalah kemampuan dalam menjelaskan berbagai pendekatan dalam
metodologi penelitian, serta mampu mengembangkan instrumen
penelitian/kajian. Modul ini ditulis dalam rangka memenuhi tuntutan
kompetensi tersebut. Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan tidak
hanya menguasai berbagai teori mengenai metodologi penelitian, tapi juga
mampu mempraktikkan kemampuannya tersebut dengan berbagai contoh
kasus yang telah disiapkan.
Modul ini adalah bagian dari serangkaian proses analisis kebijakan
yang saling berkaitan dan melengkapi. Karena itu peserta pelatihan calon
analis kebijakan juga harus dapat memahami modul lain agar memiliki
kemampuan yang komprehensif untuk menghasilkan sebuah kebijakan
yang baik dan tepat.
B. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini memfasilitasi pemahaman pengetahuan dan ketrampilan peserta
pelatihan tentang berbagai konsep dan cara dalam pelaksanaan penelitian
kebijakan melalui pembelajaran tentang Konsep Monitoring dan Evaluasi
Kebijakan (Ex-post evaluation), metode monitoring dan evaluasi kebijakan
(ex-post evaluation), konsep ex-ante public policy assessment, Metode-
metode ex-ante public policy assessment, logical framework, stakeholder
survey, metode pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif untuk analisis
kebijakan, use and abuse of data. Keberhasilan peserta dinilai dari
kemampuannya menjelaskan berbagai pendekatan dalam metodologi
penelitian, serta mampu mengembangkan instrumen penelitian/kajian.
Modul ini terdiri dari 5 (lima) Bab. Untuk keberhasilan mempelajari
modul ini, peserta dapat melakukan berbagai kegiatan belajar, baik secara
mandiri maupun berkelompok. Modul ini juga dilengkapi dengan simulasi
kasus yang dapat membantu dalam melatih dan mempertajam kemampuan
peserta. Selain itu, untuk menambah wawasan mengenai mata ajar
metodologi penelitian, peserta dapat menggunakan referensi lain selain dari
modul ini setelah berkonsultasi dengan narasumber (tenaga pengajar).

C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta memiliki kemampuan dalam
menjelaskan berbagai pendekatan dalam metodologi penelitian, serta mampu
mengembangkan instrumen penelitian/kajian, yang dinilai dari kemampuan
peserta dalam:
1. Menjelaskan berbagai pendekatan (positivist vs non- positivist) dalam
metodologi penelitian/kajian;
2. Menghubungkan teknik-teknik dalam pendekatan Positivist
dan Non-positivist;
3. Mendesain rancangan kajian/penelitian;
4. Mendemonstrasikan pemahaman mengenai konten, tahapan, dan
metode-metode dalam Disain Ex-ante Public Policy Assessment;
5. Mengembangkan logical framework dalam disain analis kebijakan;
6. Mendemonstrasikan pemahaman mengenai metode-metode
pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif dalam instrumen
pengumpulan data untuk analisis kebijakan;
7. Menganalisis kualitas data, mendeteksi penyalahgunaan data dalam
proses kebijakan publik;
8. Mendesain teknik pengumpulan data dari pendekatan
positivist atau non-positivist.

D. MATERI POKOK DAN SUB MATERI POKOK


Materi dan submateri pokok yang akan dibahas dalam modul ini adalah
sebagai berikut:
1. Pentingnya Data dan Berbagai Bentuk Data Dalam Analisis
Kebijakan
a. Indikator Hasil Belajar
b. Pentingnya data dalam analisis kebijakan: kemunculan
pendekatan Evidence Based Policy (EBP)
c. Pentingnya data dalam perumusan masalah kebijakan
d. Berbagai bentuk data
e. Latihan
f. Rangkuman
2. Berbagai Bentuk Data
a. Indikator Hasil Belajar
b. Berbagai bentuk data
c. Latihan
d. Rangkuman
3. Riset Kebijakan
a. Indikator Hasil Belajar
b. Riset kebijakan
c. Riset yang bersifat positivistik (kuantitatif) vs riset yang bersifat
naturalistik (kualitatif)
d. Design riset kuantitatif
e. Design riset kualitatif
f. Latihan
g. Rangkuman
4. Monitoring, Evaluasi dan Forecasting
a. Indikator Hasil Belajar
b. Monitoring, evaluasi dan forecasting
c. Latihan
d. Rangkuman
5. Penutup
a. Simpulan
b. Tindak lanjut
PENTINGNYA DATA DAN BERBAGAI BENTUK DATA DALAM ANALISIS
KEBIJAKAN

A. INDIKATOR HASIL BELAJAR


Setelah mempelajari Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu
menganalisis kualitas data dan mendeteksi penyalahgunaan data dalam
proses kebijakan publik.

B. PENTINGNYA DATA DALAM ANALISIS KEBIJAKAN:


KEMUNCULAN PENDEKATAN EVIDENCE BASED POLICY (EBP)
Data merupakan komponen penting dalam analisis kebijakan karena data
tersebut akan ditransformasikan menjadi informasi yang menjadi basis
pengambilan keputusan. Data yang digunakan dalam analisis kebijakan dapat
berupa angka atau kata-kata (narasi atau deskripsi tentang suatu kondisi).
Untuk dapat memperoleh data, seorang analis kebijakan perlu melakukan
riset. Riset di sini dapat dimaknai sebagai sebuah kegiatan merancang
kebutuhan data dan mengembangkan metode untuk dapat memperoleh data
yang dibutuhkan. Setelah itu data yang berhasil dikumpulkan tersebut
dianalisis untuk tujuan membantu analis dalam memahami masalah publik
yang dianalisisnya agar menjadi lebih jelas.
Data yang dikumpulkan dalam riset dapat berupa data primer maupun
sekunder. Data primer adalah jenis data yang dilihat dari cara
memperolehnya, data tersebut dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung
dari responden atau narasumber yang menjadi
unit analisis dalam penelitian. Sementara data sekunder adalah data yang
sudah tersedia yang proses pengumpulannya dilakukan oleh orang lain.
Wujud data sekunder dapat ditemukan dalam bentuk hasil penelitian maupun
data statistik yang dikumpulkan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga
penelitian. Agar dapat dibaca, maka data perlu diolah dengan cara
mengurutkan, mengklasifikasikan, membandingkan, dan sebagainya. Hasil
analisis data tersebut akan dapat membantu analis kebijakan dalam membuat
kesimpulan tentang suatu persoalan dan dalam memberikan rekomendasi
untuk memecahkan masalah kebijakan.
Karena pentingnya data dalam analisis kebijakan, maka para pakar
kemudian mengembangkan sebuah gagasan yang disebut sebagai Evidence-
Based Policy (EBP). Dengan menggunakan pendekatan ini, seorang analis
kebijakan diharapkan memiliki data yang memadai untuk mendukung proses
pengambilan keputusan, merancang pencapaian target dan tujuan
kebijakan/program serta membantu dalam implementasinya. Sebelum adanya
EBP, kebijakan publik dirumuskan berdasarkan pada opini atau insting para
pembuat kebijakan tentang bagaimana cara memecahkan persoalan publik.
Karena sifatnya yang demikian, kalaupun ada data yang dipakai sebagai alat
bantu dalam melakukan analisis kebijakan maka data tersebut sangat tidak
komprehensif atau hanya data yang mendukung opini pembuat kebijakan
semata-mata.
Secara historis, EBP kembali dipopulerkan oleh pemerintah Tony Blair
dari Partai Buruh di Inggris ketika mereka mengeluarkan white paper yang
disebut sebagai the Modernising Government pada bulan Maret 1999 yang
memproklamasikan komitmen pemerintah untuk memperbaiki kualitas
pembuatan kebijakan. Dalam white paper tersebut, gagasan tentang
memperbaiki kualitas perumusan kebijakan dijelaskan pokok-pokok
pemikirannya sebagai berikut (Cabinet Office dalam Wyatt, 2002: 15-17):
1. Bahwa perumusan kebijakan merupakan proses bagaimana
pemerintah menterjemahkan visi politik mereka menjadi berbagai
program dan tindakan yang direalisasikan dalam bentuk outcome
(hasil kebijakan), yaitu perubahan nyata yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Pemerintah tidak dapat menghasilan outcome kebijakan
sebagaimana diharapkan oleh masyarakat kalau kebijakan dan
program yang diimplementasikan salah atau tidak memadai.
2. Selama ini pemerintah kurang memperhatikan bagaimana proses
perumusan kebijakan semestinya dilakukan. Tidak ada upaya yang
serius untuk mengawal agar kebijakan dapat diimplementasikan secara
konsisten dan efektif di berbagai kementrian dan lembaga.
3. Untuk itu pemerintah Tony Blair akan memperbaiki proses perumusan
kebijakan di setiap kementrian/lembaga dengan cara meningkatkan
kemampuan dalam merumuskan opsi- opsi kebijakan,
mempertimbangkan untung-rugi opsi-opsi kebijakan yang ada, dan
menganalisis hubungan antara opsi- opsi yang tersedia tersebut dengan
upaya untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional.
4. Karena masyarakat terus berkembang, maka kebijakan publik juga
perlu dirancang agar memenuhi harapan masyarakat tersebut. Oleh
karena itu dalam statemennya lebih lanjut dikatakan….”we will improve
our use or evidence and research so that we understand better the
problems we are trying to adress”.
5. Secara lebih spesifik bagaimana upaya untuk mengunakan evidence
guna memperbaiki kualitas perumusan kebijakan dalam white paper
dikatakan: sangat jelas bahwa perumusan kebijakan harus didasarkan
atas dukungan data (evidence) yang memadai. Unsur utama evidence
adalah informasi. Kualitas perumusan kebijakan dengan demikian
sangat ditentukan oleh kualitas informasi yang diperoleh dari: para
ahli, berbagai penelitian yang sudah dilakukan baik oleh lembaga
nasional maupun internasional, data statistik, konsultasi dengan para
stakeholder, evaluasi dari kebijakan sebelumnya, riset-riset yang baru,
data sekunder, atau berbagai data yang diperoleh dari internet.
Sebagai sebuah pendekatan, EBP merupakan langkah terobosan sebagai
upaya untuk meningkatkan kualitas perumusan kebijakan. Namun demikian
para peserta diklat perlu mengetahui beberapa kelemahan EBP dan perlu
mengantisipasinya. Pertama, data yang digunakan untuk mendukung
proses perumusan merupakan hasil penelitian. Perlu diketahui bahwa
penelitian tidak selalu mampu mengungkapkan realitas kehidupan
masyarakat yang kompleks. Selain itu, hasil penelitian lebih banyak
merupakan studi kasus yang dilakukan pada suatu daerah atau peristiwa
tertentu. Dengan demikian, kesimpulan yang diperoleh dari penelitian
memiliki keterbatasan generalisasi. Sehingga analis kebijakan harus berhati-
hati dalam menggunakan data atau kesimpulan suatu penelitian yang
diperoleh dari studi kasus. Kedua, maksud baik pemerintah untuk
menggunakan hasil penelitian guna mendukung proses perumusan
kebijakan juga perlu diperhatikan oleh seorang analis kebijakan apakah
pemerintah tulus atau tidak dalam memanfaatkan data hasil penelitian
untuk mendukung proses perumusan suatu kebijakan. Menurut Nutley dan
Webb (2000) ada beberapa motif pemerintah ketika ingin memanfaatkan
hasil penelitian untuk mendukung proses perumusan kebijakan, yaitu: (i)
problem solving model; (ii) enlightment model; (iii) tactical model; (iv) political
model. Problem solving dan enlightment merupakan model yang secara tulus
memanfaatkan data untuk merumuskan masalah kebijakan dan opsi-opsi
kebijakan secara akurat. Sedang dalam tactical model dan political model,
data hasil penelitian yang digunakan dalam perumusan kebijakan akan
lebih banyak dipakai untuk mendukung posisi politik pemerintah yang
sudah ditetapkan sebelumnya. Data
yang ada sering dipakai sebagai dalih untuk menunda atau tidak
mengambil suatu keputusan yang dapat merugikan posisi politik
pemerintah.

C. PENTINGNYA DATA DALAM PERUMUSAN MASALAH KEBIJAKAN


Persoalan utama yang hendak dipecahkan oleh seorang analis kebijakan
adalah apa yang disebut sebagai policy problem (masalah kebijakan).
Masalah kebijakan bersumber dari public problem (masalah publik), yaitu
masalah-masalah yang muncul di tengah- tengah masyarakat yang mana
masyarakat secara sendiri-sendiri (individual) tidak akan mampu
memecahkannya karena adanya fenomena yang disebut sebagai free rider
problem. Fenomena free rider problem ini yang kemudian mendorong
munculnya persoalan publik, yaitu suatu persoalan yang hanya dapat
dipecahkan melalui aksi kolektif yang manifestasinya kemudian disebut
sebagai kebijakan publik.
Masalah publik yang sudah masuk dalam agenda pemerintah untuk
dipecahkan kemudian akan berubah menjadi masalah kebijakan, yaitu
masalah yang menuntut pemerintah untuk secara serius mencarikan
solusinya. Masalah kebijakan memiliki tiga bentuk (Dunn, 2003: 221) yaitu:
masalah yang sederhana dan terstruktur dengan baik (well structured),
masalah agak sederhana (moderatly structured) dan masalah yang rumit (ill-
structured).
Masalah kebijakan yang paling mudah dipecahkan adalah masalah
kebijakan yang sederhana karena bentuknya sudah terstruktur dengan baik.
Masalah yang demikian memberi ruang kepada analis kebijakan untuk dapat
merumuskan opsi-opsi kebijakan yang dapat diprediksi sejak awal, baik hasil
maupun resikonya dengan jelas. Sementara itu di ujung ekstrim yang lain,
masalah kebijakan yang rumit memiliki karakter yang tidak terstruktur yaitu
belum diketahui variabel-variabel yang menjadi penyebab munculnya
masalah tersebut dan kalaupun sudah
diketahui variabel-variabelnya. Analis kebijakan belum mengetahui
hubungan sebab dan akibat antar variabel yang sudah terindentifikasi
tersebut. Dengan karakter yang demikian maka opsi-opsi kebijakan yang
dirumuskan oleh analis kebijakan untuk memecahkan masalah kebijakan
yang ill-structured akan menjadi lebih sulit diprediksi hasilnya dan juga
resiko-resikonya.
Tugas seorang analis kebijakan adalah mentransformasikan masalah
kebijakan yang rumit (ill-structured) menjadi masalah kebijakan yang
sederhana (well structured). Untuk dapat melakukan transformasi masalah
tersebut, analis kebijakan menggunakan berbagai teknik perumusan masalah.
Dunn (2003:247) menyebut beberapa teknik yang dapat dipakai seorang
analis kebijakan untuk membantu melakukan penyederhanaan masalah
kebijakan tersebut, yaitu:
1. Analisis pembatasan masalah;
2. Analisis klasifikasi;
3. Analisis hierarkis;
4. Sinektika;
5. Brainstorming;
6. Analisis perspektif berganda;
7. Analisis asumsi;
8. Pemetaan argumentasi.
Semua teknik yang dapat dipakai analis untuk menyederhanakan masalah
kebijakan sebagaimana disebutkan di atas membutuhkan data, baik data yang
bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Berikut contoh penggunaan analisis
klasifikasi untuk membantu merumuskan masalah kebijakan dalam bidang
pengentasan kemiskinan. Tahapan penyederhanaan masalah dapat dilakukan
secara berurutan sebagai berikut, dari kompleks menjadi sederhana:
1. Data statistik yang dikeluarkan oleh BPS pada bulan September
2014 menyebutkan bahwa saat ini jumlah penduduk miskin di
Indonesia adalah 27,7 juta jiwa (10,96%
dari total penduduk Indonesia);
2. Siapa dan dimana orang miskin tersebut berada?. Analis kebijakan
dapat menyederhanakan masalahnya dengan memasukkan variabel
tempat tinggal, misalnya Desa vs Kota;
3. Berdasarakan data yang ada, jumlah penduduk miskin yang tinggal di
pedesaan adalah 17,371,090 jiwa (67% dari total jumlah penduduk
miskin di Indonesia), sementara yang tinggal di perkotaan adalah
10,356,690 jiwa (37% dari total jumlah penduduk miskin di
Indonesia);
4. Jika analisis tersebut dilanjutkan lagi, dengan informasi bahwa
70% penduduk miskin yang tinggal di pedesaan adalah
perempuan, maka masalah kebijakan yang harus dipecahkan
menjadi semakin jelas, yaitu: penduduk miskin perempuan yang
tinggal di pedesaan;
5. Dengan teknik analisis pembatasan masalah sebagaimana
digambarkan di atas maka seorang analis akan dapat merumuskan
dengan jelas apa masalah kebijakan yang harus dipecahkan. Setelah di
dapat informasi yang jelas bahwa masalah yang harus dipecahkan
adalah penduduk miskin perempuan yang tinggal di pedesaan maka
analis kebijakan dengan lebih mudah dapat menguraikan: apa
penyebab masalah tersebut muncul (apa variabel-variabel yang
penting), bagaimana hubungan sebab-akibat antar berbagai variabel
tersebut, dan pada akhirnya dengan lebih akurat dapat
mengidentifikasi opsi-opsi kebijakan/program untuk menyelesaikan
masalah kebijakan yang sudah terumuskan dengan jelas.
Mengapa data memiliki peran penting dalam perumusan masalah
kebijakan? Dengan data yang akurat sebagaimana dicontohkan dalam
ilustrasi di atas, para peserta pelatihan menjadi tahu bahwa analis kebijakan
akan terhindar dari apa yang disebut sebagai error the third tipe. Howard
Raiffa (dikutip dalam Dunn,
2003:231) menjelaskan yang dimaksud sebagai kesalahan tipe III sebagai
berikut:

“Salah satu paradigma yang paling populer dalam ... matematika


menerangkan kasus di mana seorang peneliti harus menerima atau
menolak apa yang dikenal sebagai hipotesis nol. Pada pelajaran awal
statistik mahasiswa belajar bawa dia harus terus menerus
menyeimbangkan antara membuat kesalahan tipe pertama (yaitu,
menolak hipotesis nol yang benar) dan kesalahan tipe kedua (yaitu
menerima hipotesis nol yang salah) … sementara para praktisi juga
terlalu sering membuat kesalahan tipe ketiga: memecahkan masalah
yang salah”.

Berbagai data yang dibutuhkan dalam pekerjaan melakukan analisis


kebijakan diperoleh melalui riset kebijakan.

D. BERBAGAI BENTUK DATA


Data yang dapat digunakan oleh seorang analis kebijakan melakukan
pekerjaannya dapat terdiri dari berbagai jenis sebagaimana diuraikan oleh
Purwanto dan Sulistyastuti (2007:20- 22).
1. Menurut sumbernya, data statistik dapat dibedakan menjadi dua:
a. Data internal (dikumpulkan oleh lembaga sendiri)
b. Data eksternal (diperoleh dari media massa, lembaga lain dan
buku-buku).
2. Menurut cara memperolehnya
c. Data primer (dikumpulkan secara langsung dari lapangan)
d. Data sekunder (diperoleh melalui penelitian terdahulu)
3. Menurut sifatnya
e. Data kualitatif (data berupa narasi, bukan angka)
f. Data kuantitatif (data berupa angka-angka). Data kuantitatif sendiri
dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Data diskrit (data hasil pengamatan)
2) Data kontinyu (data hasil pengukuran)
4. Menurut dimensi waktu:
g. Data runtut waktu (time-series data)
h. Data antara ruang (cross-sectional data)
i. Data panel (pooling data), data ini merupakan data gabungan
antara data time-series dan cross sectional.
5. Menurut skala pengukuran:
j. Data nominal (data yang memiliki skala terendah karena hanya
bersifat membedakan sehingga angka yang ada tidak memiliki
nilai kecuali membedakan antara kategori satu dengan yang lain.
Misalnya jenis kelamin: laki-laki diberi kode 1 dan perempuan
diberi kode 2).
k. Data ordinal (data-data berupa angka sudah dapat mengurutkan
fenomena yang diukur dari rendah sampai tinggi, namun belum
mampu menggambarkan jarak yang sesungguhnya antara satu
kategori dengan kategori yang lain. Contoh mengkategorikan
bobot responden menjadi tiga kategori, yaitu: 1= kurus, 2=sedang,
3=gemuk ).
l. Data interval (data yang memiliki semua karakter di atas, namun
belum memiliki nilai nol yang bersifat murni. Contoh suhu udara.
Jika dalam termometer dengan skala Celcius dinyatakan suhu
udara 0 derajat Celcius tidak berarti suhunya tidak ada, sebab jika
diukur dengan skala Fahrenheit maka akan diperoleh nilai 32
derajat).
m. Data rasio (data yang memiliki karakter di atas dan sudah memiliki
nilai nol murni. Contoh pendapatan. Jika seorang responden
menyatakan pendapatannya nol rupiah, berarti dia memang tidak
memiliki pendapatan sama sekali).
E. LATIHAN
1. Jelaskan kelemahan pendekatan Evidence Based Policy (EBP) beserta
cara mengantisipasinya!
2. Jelaskan pentingnya data dalam perumusan suatu masalah kebijakan!
3. Jelaskan jenis-jenis data menurut sifatnya!
4. Jelaskan jenis-jenis data dilihat dari skala pengukurannya!

F. RANGKUMAN
Data merupakan komponen penting dalam analisis kebijakan karena data
tersebut akan ditransformasikan menjadi informasi yang menjadi basis
pengambilan keputusan. Untuk dapat memperoleh data, seorang analis
kebijakan perlu melakukan riset. Setelah itu data yang berhasil dikumpulkan
tersebut dianalisis untuk tujuan membantu analis dalam memahami masalah
publik yang dianalisisnya agar menjadi lebih jelas. Karena pentingnya data
dalam analisis kebijakan, maka para pakar kemudian mengembangkan
sebuah gagasan yang disebut sebagai Evidence-Based Policy (EBP). Dengan
menggunakan pendekatan ini, seorang analis kebijakan diharapkan memiliki
data yang memadai untuk mendukung proses pengambilan keputusan,
merancang pencapaian target dan tujuan kebijakan/program serta membantu
dalam implementasinya.

RISET KEBIJAKAN
A. INDIKATOR HASIL BELAJAR
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan dapat:
1. Mampu menjelaskan berbagai pendekatan (positivist vs non- positivist) dalam
metodologi penelitian/kajian
2. Mampu menghubungkan teknik-teknik dalam pendekatan
positivist dan non-positivist

3. Mampu mengembangkan logical framework dalam disain analis kebijakan


4. Mampu mendemonstrasikan pemahaman mengenai metode- metode
pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif dalam instrumen pengumpulan
data untuk analisis kebijakan
5. Mampu mendesain teknik pengumpulan data dari pendekatan
positivist atau non-positivist.

B. RISET KEBIJAKAN
Riset merupakan kegiatan penerapkan metode scientific (ilmiah) untuk
memahami suatu fenomena alam maupun sosial. Metode ilmiah sendiri
merupakan prosedur yang harus dilakukan oleh seorang peneliti untuk dapat
menjelaskan suatu fenomena. Kerlinger (1990:17) mendefinisikan penelitian
ilmiah sebagai berikut:
Penelitian ilmiah adalah penyelidikan yang sistematis, terkontrol,
empiris dan kritis, tentang fenomena-fenomena alami, dengan dipandu
oleh teori dan hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang dikira
terdapat antara fenomena- fenomena itu.
Secara umum, metode sebuah penelitian yang bersifat ilmiah akan
dilakukan dengan tahapan: (i) merumuskan masalah yang hendak dijelaskan,
(ii) membangun hipotesis, (iii) melakukan eksperimen/observasi, (iv) uji
hipotesis, dan (v) penarikan kesimpulan dan generalisasi.
Sebuah riset dikatakan memiliki bobot ilmiah apabila memiliki ciri-ciri
sebagaimana dikatakan oleh Kerlinger (1990):
1. Observable (dapat diamati)
2. Repeatable (dapat diulang oleh orang lain dengan hasil yang sama)
3. Measurable (dapat diukur dengan indikator kuantitatif)
4. Testable (dapat diuji kebenarannya)
5. Predictable (dapat diramalkan hasilnya)
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai riset dapat dibedakan menjadi
riset yang bersifat dasar (basic research) atau sering juga disebut riset teoritis
(theoretical research) dan riset terapan (applied research). Riset dasar memiliki
tujuan utama untuk mengembangkan teori (theory building) terkait dengan
disiplin ilmu tertentu atau paling tidak dikaitkan dengan penemuan hal-hal
yang baru terkait dengan disiplin ilmu tertentu. Sementara itu riset terapan
bertujuan untuk memecahkan suatu persoalan tertentu (problem solving).
Dengan tujuan utama untuk mencari pemecahan atas suatu persoalan publik,
maka riset kebijakan lebih merupakan riset terapan.
Sebagai sebuah riset terapan, riset kebijakan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut (SIPRI dan WASCI, 2011:7):
1. Riset kebijakan dimaksudkan untuk merespon masalah publik tertentu;
2. Hasilnya dikaitkan dengan proses perumusan suatu kebijakan;
3. Pragmatis, menganalisis apa yang dapat diterapkan dan yang tidak;
4. Menjauhi hal-hal yang abstrak dan mengutamakan hal-hal yang mudah
dipahami atau dikomunikasikan;
5. Digunakan untuk mempengaruhi pengambil kebijakan. Dengan demikian
para peserta diklat harus paham bahwa penelitian kebijakan tidak ditujukan
semata-mata memuaskan rasa ingin tahu, akan tetapi untuk meyakinkan
agar pengambil kebijakan mengikuti saran seorang analis kebijakan.
Oleh karena itu elemen penting yang harus dipahami oleh seorang analis
kebijakan ketika melakukan riset kebijakan adalah (SIPRI dan WASCI, 2011:7):
1. Fokus pada persoalan publik yang kontemporer atau sedang menjadi perhatian
publik;
2. Dirancang sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan pengambil kebijakan;
3. Riset kebijakan membutuhkan tindakan yang cepat karena hanya tersedia
sedikit waktu untuk melakukan pengumpulan data, analisis dan menyusun
rekomendasi;
4. Pragmatis, rekomendasi harus merupakan hal yang dapat dikerjakan;
5. Tujuannya adalah untuk memperjelas persoalan publik yang rumit sehingga
dapat diselesaikan;
6. Jembatan antara dunia teori dengan dunia praktis.
Seorang analis kebijakan perlu memahami bahwa pekerjaan mereka
membutuhkan informasi, data, dan evidences (bukti-bukti) terkait dengan
masalah publik yang harus mereka pecahkan. Dengan demikian, sebuah data
bagi seorang analis kebijakan akan berubah posisinya apabila data tersebut
dikontekstualisasikan dengan masalah publik yang sedang mereka tangani.
Informasi pada dasarnya semua hal yang kita kumpulkan dari para
responden, narasumber, atau lembaga statistik yang kita duga memiliki
keterkaitan dengan persoalan publik yang sedang
dianalisis seorang analis kebijakan. Informasi tersebut dapat disebut
sebagai data apabila cara mengumpulkan informasi tersebut dipandu dengan
metode ilmiah sebagaimana kita diskusikan di depan. Dengan demikian data
adalah informasi yang memiliki keterkaitan atau relevansi dengan persoalan
publik yang sedang dianalisis oleh seorang analis kebijakan dan
dikumpulkan dengan metode ilmiah yang dapat diuji validitas dan
reliabilitasnya. Apabila ditelaah lebih lanjut, berbagai data yang disusun
secara lebih sistematis (dianalisis) sehingga mampu menjelaskan
penyebab munculnya suatu masalah, akibat yang ditimbulkan dari masalah
tersebut, hasil yang akan dicapai apabila dilakukan suatu
tindakan, inilah yang kemudian disebut sebagai evidence.
Seorang analis kebijakan dengan demikian harus memiliki ketrampilan
untuk membedakan tiga jenis ‘data’ tersebut untuk keperluan merumuskan
masalah kebijakan yang hendak dipecahkan, membuat opsi-opsi kebijakan
yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut dan memperkirakan
resiko atau biaya yang akan ditimbulkan sebagai akibat implementasi
kebijakan yang mereka sarankan.

C. RISET YANG BERSIFAT POSITIVISTIK (KUANTITATIF) VS RISET YANG


BERSIFAT NATURALISTIK (KUALITATIF)
Berdasarkan data yang dikumpulan, suatu riset dapat dibedakan menjadi
dua jenis yaitu penelitian yang bersifat kuantitatif dan yang bersifat
kualitatif. Penelitian yang bersifat kuantitatif juga disebut sebagai penelitian
positivistik. Disebut positivistik karena kemunculan metode penelitian ini
bersamaan dengan munculnya abad pencerahan (renaisance) di Eropa Barat
sebagai bentuk perlawanan logika berfikir yang negativistik di mana
masyarakat menjelaskan peristiwa atau kejadian-kejadian yang ada di sekitar
mereka dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat metafisis.
Dengan demikian positivistik merujuk pada suatu terminology ketika
manusia dapat menjelaskan peristiwa yang ada di sekitarnya dengan
penjelasan yang ilmiah dengan mencari hubungan kausalitas antara sebab dan
akibatnya. Karena sifatnya yang demikian, metode penelitian positivistik juga
sering kali disebut deteministik karena asumsi yang dipakai bahwa setiap
kejadian (akibat) pasti ada faktor yang menjadi penyebabnya. Dalam ilmu
sosial, aliran positivistik dipelopori oleh sosiolog Auguste Comte dengan
karyanya yang berjudul The Course of Positive Philosovy (1830-1842).
Secara umum, para ahli mengatakan bahwa asumsi yang mendasari metode
penelitian yang bersifat positivistik adalah:
1. Obyektif (terdapat pemisahan yang tegas antara peneliti dengan obyek
yang diteliti);
2. Kausalitas (ada hubungan sebab dan akibat);
3. Bersifat ilmiah: berbasis bukti empiris;
4. Bersifat deduktif (dimulai dengan teori, membangun hipotesis, merancang
instrumen pengukuran, pengamatan/ eksperimen, analisis data, dan penarikan
kesimpulan);
5. Metode penelitian yang dipakai bersifat terstruktur (sudah disiapkan sebelum
penelitian dilakukan);
6. Data yang dikumpulkan bersifat kuantitatif (realitas sosial yang diteliti
dikonversi menjadi data-data kuantitatif dengan menggunakan indikator-
indikator yang sudah terstandar);
7. Hasil penelitian bersifat replicable (dapat diulang dengan hasil yang sama);
8. Penelitian kuantitatif selama ini juga dikaitkan dengan dua metode
pengumpulan data (Creswell, 1994:11), yaitu: survey dan eksperimen.
Penelitian naturalistik atau kualitatif merupakan anti tesis dari metode
penelitian positivistik. Oleh karena itu penelitian kualitatif juga sering disebut
sebagai penelitian post-positivistik. Secara umum, penelitian kualitatif
memiliki berbagai asumsi sebagai berikut:
1. Subyektif. Realitas sosial bersifat subyektif dan bervariasi tergantung pada
perspektif orang yang terlibat dalam studi. Tidak seperti penelitian yang
positivistik, penelitian kualitatif berargumen bahwa sebagai bagian dari realitas
sosial, peneliti tidak mungkin dipisahkan dari obyek yang ditelitinya sehingga
tidak mungkin peneliti dapat sepenuhnya bersifat obyektif dalam melihat
realitas sosial yang ditelitinya;
2. Bersifat induktif. Peneliti mencoba menjelaskan realitas yang ditelitinya dalam
suatu konteks dan mencoba memberi makna dalam konteks yang lebih luas;
3. Kontekstual. Realitas sosial dipengaruhi oleh banyak faktor, peneliti berusaha
untuk mengungkapkan makna dibalik suatu fenomena yang ditelitinya;
4. Peneliti merupakan bagian dari pembuat realitas yang diamatinya, sehingga
peneliti dapat menggunakan metode yang dapat mengungkap ‘insider
knowledge’ dengan cara melakukan pengumpulan data dalam setting yang
bersifat natural;
5. Data yang dikumpulkan bersifat naratif hasil observasi maupun wawancara;
6. Penelitian kualitatif selama ini dikaitkan dengan beberapa metode
pengumpulan data (Creswell, 1994:12), yaitu: etnografi, grounded theory, studi
kasus, penelitian phenomenologi, dan penelitian naratif.

D. DESIGN RISET KUANTITATIF


Desain penelitian merupakan panduan yang dapat digunakan oleh peneliti
untuk dapat memahami realitas sosial yang ditelitinya. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan ketika seorang peneliti akan melakukan penelitian yang
bersifat positivistik, yaitu (Purwanto dan Sulistyastuti, 2007: 26):
1. Menentukan topik;
2. Merumuskan apa masalah yang akan diteliti;
3. Apa metode atau strategi penelitian yang akan digunakan dan teknik
pengumpulan data yang akan digunakan;
4. Membangun teori, hipotesis, dan model;
5. Menentukan bentuk dan skala pengukuran;
6. Bagaimana mengolah data dan alat statistik yang akan dipakai untuk menguji
hipotesis penelitian.
Sebagaimana telah disebutkan di bagian awal modul ini, design penelitian
yang bersifat positivistik tersebut perlu dikontekstuali- sasikan dengan tujuan
riset kebijakan yang bersifat problem solving. Untuk itu unsur-unsur dalam
design penelitian tersebut perlu disesuaikan dengan riset kebijakan.
1. Menentukan topik: topik riset kebijakan tentu sangat terkait dengan sektor di
mana seorang analis kebijakan bekerja, karena analis kebijakan akan
membantu perumus kebijakan di suatu kementrian/lembaga atau di suatu
SKPD/dinas apabila analis kebijakan bekerja di organisasi pemerintah daerah
baik provinsi maupun kabupaten/kota.
2. Merumuskan masalah penelitian: masalah penelitian menduduki posisi
strategis dalam kegiatan penelitian. Sebab seluruh energi yang dilakukan dalam
penelitian sebenarnya ingin menjawab pertanyaan yang dirumuskan dalam
design penelitian. Dalam kasus riset kebijakan, masalah penelitian sangat
terkait dengan masalah publik. Bagaimana dan kapan suatu persoalan publik
layak diangkat menjadi suatu masalah penelitian kebijakan dapat dibaca pada
modul 1.
3. Metode penelitian: dalam penelitian yang bersifat positivistik maka metode
penelitian yang dapat digunakan adalah survey atau eksperimental.
a. Metode penelitian survey adalah pengumpulan data yang instrumen
pokoknya adalah kuesioner sebagai panduan untuk wawancara.
Penelitian survey berbeda dengan sensus, karena dalam survey
responden yang dimintai pendapat mereka tentang suatu fenomena
dipilih dengan sampling. Sehingga dalam metode survey seorang
peneliti perlu memahami apa yang disebut sebagai populasi dan
sample. Akurasi kesimpulan yang dibuat dalam penelitian yang
menggunakan metode survey akan sangat dipengaruhi ketepatan
dalam melakukan sampling. Metode survey sendiri dapat dilakukan
dengan berbagai cara:
1) Wawancara tatap muka
2) Wawancara melalui telepon
3) Pengisian kuesioner yang dikirim melalui Pos
4) Pengisian kuesioner melalui komputer
5) Wawancara dengan online seperti chatting.
b. Metode penelitian eksperimental sering dipakai dalam riset kebijakan,
terutama dalam melakukan evaluasi atas implementasi kebijakan. Metode
eksperimen yang dapat dipakai adalah:
1) Pre-experimental design
2) True experimental design
3) Quasi experimental design
4. Membangun Teori, Hipotesis dan Model: sebagaimana telah dijelaskan di
bagian awal modul ini, bahwa dalam penelitian yang bersifat positivistik,
realitas sosial yang hendak dijelaskan tersebut dipahami sebagai suatu relasi
yang bersifat hubungan sebab dan akibat. Hubungan sebab-akibat tersebut
sebagian besar sudah diteorikan oleh para ahli sebelumnya, sehingga tugas
seorang peneliti pada dasarnya untuk membuktikan apakah teori-teori yang
sudah dirumuskan tersebut benar atau salah dalam kasus yang bersifat spesifik
(logika deduktif). Oleh karena itu, seorang analis kebijakan harus mampu
memilih teori yang akan digunakan untuk menjelaskan masalah publik yang
akan dijelaskannya. Setelah memilih teori, maka peneliti harus mampu
menurunkan teori tersebut menjadi:
a. Konsep;
b. Variabel;
c. Indikator.
5. Menentukan bentuk data dan skala pengukuran : data-data yang bersifat
kuantitatif, meskipun semuanya berupa angka akan tetapi masing-masing
memiliki karakteristik berbeda- beda. Karaktersitik tersebut disebut sebagai
skala pengukuran. Perbedaan skala pengukuran tersebut akan mempengaruhi
jenis operasi statistik (analisis data) yang akan diterapkan pada data-data yang
ada. Sebagaimana dijelaskan, skala pengukuran (diurutkan dari derajat rendah
sampai derajat tinggi) dapat dijelaskan yaitu: nominal, ordinal, interval, dan
ratio. Semakin tinggi derajat atau skala pengukuran suatu data maka akan
dapat diterapkan seluruh operasi statistik. Oleh karena itu idealnya riset
kebijakan sedapat mungkin menggunakan data yang memiliki skala pengukuran
yang bersifat interval atau rasio.
6. Analisis data: setelah terkumpul, berbagai data yang diperoleh dari survey
maupun eksperimen akan dianalisis. Secara umum analisis data kuantitatif
dapat bersifat:
a. Deskriptif
b. Eksplanatif
c. Inferensial

Untuk mempermudah analisis data, maka seorang analis kebijakan perlu mengusai
salah satu dari berbagai software pengolahan data statistik. Salah satunya adalah SPSS
(Statistical Package for the Social Science).

Kotak. 3.1. Kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan dalam


menggunakan data statistik

Seorang analis kebijakan tidak saja perlu memahami data statistik yang digunakan
dalam analisis kebijakan, namun juga perlu bersikap kritis terhadap data yang
ditemukan. Seorang analis harus dapat menilai apakah suatu data statistik valid dan
masuk akal, dan menghindari kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan dalam
menggunakan data statistik. Terdapat beberapa kesalahan yang sering dijumpai terkait
dengan penggunaan data statistik. Kesalahan semacam ini bisa saja tidak disengaja atau
disengaja (by designed).

1. Grafik yang keliru (misleading)


Kadang dijumpai grafik atau diagram yang mengandung informasi yang terdistorsi
(misleading) atau label yang keliru. Seringkali informasi yang ada pada
grafik/diagram tersebut tidak lengkap sehingga pembaca tidak dapat mengkritisi
informasi yang disampaikan.

2. Tidak menampilkan margin of error


Untuk menilai hasil statistik diperlukan ukuran presisi dari statistik yang
ditampilkan. Misalnya jika peneliti atau media tidak dapat menampilkan ukuran ini
dalam hasil survei, perlu dipertanyakan bagaimana akurasi hasil survei tersebut.

3. Tidak ada informasi ukuran sampelnya


Seringkali informasi dalam suatu headline atau tampilan gambar tidak seperti yang
terlihat ketika dibaca lebih detil ternyata sampel yang digunakan sangat kecil. Atau
dalam kasus lain bahkan tidak ada informasi tentang ukuran sampel yang
digunakan.

4. Sampel yang bias (Biased sample)


Salah satu penyalahgunaan statistik adalah menampilkan informasi yang bias
dengan menggunakan sampel yang bias yang menjamin hasilnya mengarah
pada kesimpulan tertentu. Biased sample bisa karena tidak disengaja atau
disengaja

5. Interpretasi yang salah tentang korelasi


Interpretasi yang keliru tentang korelasi sering dijumpai dengan menyamakannya
dengan sebab akibat. Padahal untuk menyimpulkan bahwa suatu variabel
mengakibatkan variabel lainnya memerlukan penelitian yang lebih dalam.

6. Angka yang salah


Kesalahan dalam menampilkan informasi kuantitatif bisa terjadi karena disengaja
atau disengaja (by designed). Karena itu, sebelum digunakan data kuantitatif yang
ditampilkan di suatu media atau sumber lainnya perlu dicek kembali. Pengecekan
matematis sederhana perlu dilakukan dalam informasi kuantitatif. Misalnya apakah
proporsi yang ditampilkan dalam pie chart jika dijumlahkan sama dengan 100%.
Kesalahan lain mungkin dilakukan karena menggunakan jenis statistik yang tidak
tepat.

7. Memilih hasil tertentu saja


Karena statistik sering digunakan untuk mendukung argumen tertentu, bisa saja
dijumpai penyalahgunaan statistik secara sengaja. Misalnya dengan hanya yang
memperlihatkan data secara selektif untuk mendapatkan pola tertentu atau hasil
yang signifikan (data fishing).

E. DESIGN RISET KUALITATIF


Berbeda dengan penelitian positivistik atau kuantitatif, penelitian
naturalistik atau kualitatif tidak memiliki bentuk design penelitian yang baku.
Dari berbagai literatur tentang metode penelitian kualitatif, para ahli
cenderung mengemukakan cara yang berbeda-beda tentang bagaimana
merancang design penelitian kualitatif dan melaksanakannya di lapangan.
Namun demikian, dalam pandangan Creswell (2007: 41) kita perlu membuat
design penelitian yang mirip dengan design penelitian kuantitatif sebelum
melaksanakan penelitian kualitatif. Meskipun dengan catatan bahwa
karena karakter persoalan dan pertanyaan penelitian kualitatif yang
sangat berbeda dengan penelitian kuantitatif maka peneliti harus siap untuk
melakukan perubahan design penelitian ketika rancangan penelitian yang
disiapkannya tidak sesuai dengan realitas yang ingin ditelitinya.
Meskipun tidak mudah, sebuah design penelitian kualitatif yang baik
menuruh Creswell (2007:45) adalah:
1. Peneliti menerapkan prosedur pengumpulan data yang ketat. Hal ini berarti
peneliti harus mampu mengumpulkan berbagai jenis data dan mampu
meringkasnya, misalnya dalam bentuk tabel;
2. Peneliti merancang penelitiannya dalam suatu framework yang sesuai dengan
karakteristik penelitian kualitatif, seperti: design penelitian yang dikembangkan
secara bertahap, upaya menampilkan realitas sosial yang jamak, dan peneliti
sebagai instrumen utama dalam pelaksanaan penelitian, serta pentingnya
memfokuskan perhatian pada pandangan partisipan penelitian;
3. Peneliti menggunakan salah satu pendekatan penelitian sebagaimana sering
digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu etnografi, grounded theory, studi
kasus, penelitian phenomenologi, dan penelitian naratif;
4. Peneliti memulai penelitiannya dengan satu fokus perhatian, kemudian setelah
itu dapat dikembangkan menjadi lebih luas. Sebagai contoh peneliti
misalnya ingin memahami mengapa sebagian besar rumah tangga yang
kepala rumah tangganya perempuan miskin. Setelah diperoleh pemahaman
yang mendalam peneliti dapat memperluas pertanyaan- pertanyaan
penelitian dengan membandingkannya dengan rumah tangga miskin yang
kepala rumah tangganya laki-laki, dan sebagainya;
5. Peneliti menggunakan berbagai level abstraksi dalam melakukan analisis data;
6. Penulisan laporan harus menggunakan bahasa yang persuasif sehingga
pembaca memiliki pengalaman yang sama dengan peneliti seolah-olah dibawa
ke tempat dan bertemu dengan orang-orang yang menjadi partisipan
penelitian;
7. Peneliti harus memegang teguh etika. Hal ini tidak hanya terkait dengan
perlunya rancangan penelitian mendapat persetujuan dari komite etik, akan
tetapi lebih dari itu peneliti harus tahu mana yang pantas dan tidak pantas
untuk diungkapkan manakala penelitian kualitatif memiliki keakraban yang
sangat mendalam dengan para partisipan penelitiannya.

Secara umum, Creswell (2007: 47-50) memberikan contoh berbagai design


penelitian kualitatif dengan struktur sebagai berikut:
1. Pengantar
a. Pernyataan masalah (termasuk literature review yang terkait dengan
masalah yang akan diteliti tersebut);
b. Tujuan penelitian;
c. Pertanyaan penelitian;
d. Keterbatasan penelitian.
2. Prosedur penelitian
a. Karakteristik penelitian kualitatif;
b. Strategi penelitian;
c. Peran peneliti;
d. Prosedur pengumpulan data;
e. Prosedur analisis data;
f. Strategi validasi data;
g. Struktur narasi;
h. Mengantisipasi isu etika;
i. Signifikasi studi;
j. Temuan awal hasil penelitian pendahuluan;
k. Hasil yang diharapkan;
l. Lampiran.
Meskipun telah ada desain yang bersifat umum sebagaimana digambarkan
diatas, akan tetapi tahapan penelitian yang harus dilakukan peneliti berbeda-
beda sesuai dengan pendekatan yang dipakai.
Sebagai gambaran, langkah-langkah yang harus dilakukan peneliti kualitatif
adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan naratif dilakukan dengan prosedur sebagai berikut (Creswell, 2007:
55-57):
a. Menentukan apakah persoalan penelitian atau pertanyaan penelitian yang
akan dijawab cocok dengan pendekatan naratif;
b. Pilih satu atau beberapa individu yang memiliki cerita atau pengalaman
hidup untuk diceritakan. Luangkan waktu yang memadai dan kumpulkan
berbagai informasi yang relevan;
c. Kumpulkan informasi tentang konteks cerita yang disampaikan oleh para
partisipan penelitian, seperti: pekerjaan mereka, keluarga, etnisitas, dll.
Serta konteks waktu di mana cerita itu terjadi (waktu dan tempat);
d. Analisis cerita partisipan penelitian dan ceritakan kembali dalam
framework yang dirancang peneliti sehingga cerita tersebut menjadi masuk
akal;
e. Bekerja sama dengan partisipan penelitian dengan secara aktif melibatkan
mereka dalam kegiatan riset yang sedang dilakukan.
2. Pendekatan phenomenologi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut
(Creswell, 2007: 60-62):
a. Peneliti menentukan apakah pertanyaan penelitian cocok dijawab dengan
pendekatan phenomenologi;
b. Peneliti melakukan pengumpulan data dari para partisipan penelitian
yang memiliki pengalaman terkait dengan fenomena yang hendak diteliti.
Biasanya pengumpulan data dilakukan dengan in-depth interview;
c. Pertanyaan yang disampaikan kepada para partisipan terkait dengan dua
hal, yaitu: pengalaman mereka dan konteks di mana mereka mengalami
pengalaman tersebut;
d. Analisis data dilakukan dengan mentranskrip hasil wawancara dan
menggarisbawahi hal-hal yang dianggap penting dari para partisipan
penelitian;
e. Berbagai statemen dan isu-isu yang dianggap penting akan ditulis dalam
uraian yang bersifat deskriptif (textual description) dan juga konteks
dimana peristiwa terjadi (structural description);
f. Berdasarkan dua deskripsi tersebut peneliti akan membuat esensinya atau
sering disebut sebagai the essential.
3. Pendekatan Etnografi dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut (Creswell, 2007: 70-71):
a. Menentukan apakah pendekatan etnografi cara yang
tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian;
b. Menentukan lokasi dan kelompok yang akan diteliti. Karena peneliti akan
berhadapan dengan banyak partisipan penelitian maka peneliti harus
memiliki key informants/participants;
c. Pilih tema yang penting untuk diteliti terkait dengan kelompok masyarakat
yang akan diteliti;
d. Kumpulkan data di mana anggota kelompok tinggal atau bekerja, hal ini
disebut sebagai fieldwork;
e. Analisis dilakukan dengan mendeskripsikan berbagai data yang diperoleh
melalui fieldwork tersebut.
4. Triangulasi (triangulation)
Triangulasi merupakan konsep mengkombinasikan teknik metodologi
yang berbeda-beda untuk mengatasi kelemahan- kelemahan yang ada
pada teknik tertentu. Beberapa jenis ukuran, atau teknik
pengumpulan data yang berbeda-beda digunakan untuk menganalisis
variabel yang sama. Dengan menggunakan indikator yang identik
untuk mengukur variabel yang sama, diharapkan hasil pengukuran lebih
baik. Data primer dapat juga dilengkapi dengan menggunakan data
sekunder. Penggunaan triangulasi menurut Neuman (1997) dapat
meningkatkan kehati-hatian dalam dalam pengumpulan data dan
analisis, membantu memahami kekayaan dan perbedaan konteks
sosial, dan memperkaya data. Misalnya metode survei dikombinasikan
dengan teknik pengumpulan data secara kualitatif.

Untuk mengevaluasi kualitas evidence, ketika melakukan pengumpulan


data analis dapat melihat bagaimana relevansi evidence tersebut dalam
menjawab pertanyaan penelitian dan sejauh mana akurasi dan kedalaman
evidence tersebut.

F. LATIHAN
1. Sebutkan elemen-elemen penting yang harus dipahami oleh seorang analis
kebijakan dalam melakukan riset kebijakan menurut SIPRI dan WASCI!
2. Jelaskan perbedaan riset kebijakan yang bersifat positivistik dengan riset
kebijakan yang bersifat naturalistik!
3. Jelaskan tahapan-tahapan yangdilakukan dalam design penelitian kuantitatif!
4. Sebutkan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam desain penelitian
kualitatif!
G. RANGKUMAN
Riset merupakan kegiatan penerapkan metode scientific (ilmiah) untuk
memahami suatu fenomena alam maupun sosial. Secara umum, metode
sebuah penelitian yang bersifat ilmiah akan dilakukan dengan tahapan: (i)
merumuskan masalah yang hendak dijelaskan, (ii) membangun hipotesis, (iii)
melakukan eksperimen/ observasi, (iv) uji hipotesis, dan (v) penarikan
kesimpulan dan generalisasi
Seorang analis kebijakan perlu memahami bahwa pekerjaan mereka
membutuhkan informasi, data, dan evidences (bukti-bukti) terkait dengan
masalah publik yang harus mereka pecahkan. Berdasarkan data yang
dikumpulan tersebut, suatu riset kemudian dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu penelitian yang bersifat kuantitatif dan yang bersifat kualitatif.
Penelitian yang bersifat kuantitatif juga disebut sebagai penelitian
positivistik yang merujuk pada suatu terminologi ketika manusia dapat
menjelaskan peristiwa yang ada di sekitarnya dengan penjelasan yang ilmiah
dengan mencari hubungan kausalitas antara sebab dan akibatnya. Design
penelitian yang bersifat positivistik perlu dikontekstualisasikan dengan tujuan
riset kebijakan yang bersifat problem solving. Sementara penelitian
naturalistik atau kualitatif merupakan anti tesis dari metode penelitian
positivistik. Oleh karena itu penelitian kualitatif juga sering disebut sebagai
penelitian post positivistik. Berbeda dengan penelitian positivistik atau
kuantitatif, penelitian naturalistik atau kualitatif tidak memiliki bentuk design
penelitian yang baku. Meskipun telah ada desain yang bersifat umum
sebagaimana digambarkan diatas, akan tetapi tahapan penelitian yang harus
dilakukan peneliti berbeda-beda sesuai dengan pendekatan yang dipakai.
CBA (Cost Benefit Analysis) atau Analisis Biaya Manfaat
Oleh Indra Fibiona
12/337230/PSP/04321

CBA (Cost Benefit Analysis) atau analisis biaya manfaat adalah pendekatan untuk
rekomendasi kebijakan yang memungkinkan analis membandingkan dan menganjurkan suatu
kebijakan dengan cara menghitung total biaya dalam bentuk uang dan total keuntungan dalam
bentuk uang (Dunn, 2003:447). Awal perkembangan analisis biaya manfaat (CBA) mulai
familiar ketika menjadi klausul dalam Undang – Undang Pengendalian Banjir AS (US Flood
Control Act) tahun 1936. CBA berkembang sebagai landasan teoritis ilmu ekonomi
kesejahteraan, terutama konsep ilmu kesejahteraan yang mengutamakan efisiensi (Pearce,
2008: 181). CBA saat ini merupakan teknik mapan yang banyak digunakan dalam
pemerintahan maupun organisasi internasional. Meskipun tertentu yang mendasari konsep
teknik berasal dari Eropa pada 1840-an, penggunaan CBA di lingkungan ekonomi merupakan
model implementasi yang tergolong baru. Implementasi CBA mulai berjalan ketika peraturan
yang ditetapkan oleh pemerintah AS yang membuat penggunaan CBA wajib di keadaan
tertentu di tahun 1930. Dua konsep dasar yang berasal dari Eropa adalah konsep surplus
konsumen dan konsep eksternalitas. Konsep surplus konsumen diperdebatkan oleh Jules
Dupuitin 1844, ketika ia menunjukkan bahwa pengguna jalan dan jembatan di Perancis
menikmati keuntungan melebihi jumlah korban yang mereka bayar untuk penggunaan. Pigou
mengembangkan secara efektif konsep eksternalitas dengan menyatakan bahwa ada
perbedaan antara swasta ekonomi produksi dan produk ekonomi masyarakat (mishan and
Quah :243).
CBA dilengkapi dengan pendekatan diskonto untuk menghitung pemasukan dan
pengeluaran di masa yang akan datang berdasarkan nilai sekarang dan tingkat diskonto
tertentu. Hal ini disebabkan oleh biaya dan manfaaat yang cenderung terakumulasi. dalam
realitas deskriptif, tingkat preferensi waktu dan taksiran biaya modal sangat bervariasi akibat
ketidaksempurnaan pasar-pasar modal. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan publik (sebagai
konsumen) lebih menyukai kondisi (Pearce, 2008: 121-122). Implementasi CBA dalam
pembuatan rekomendasi di sektor publik mempunyai ciri ciri antara lain berusaha untuk
mengukur semua biaya dan manfaat untuk masyarakat yang dihasilkan dari program pulik.
Analisis biaya manfaat secara tradisional merepresentasikan rasionalitas ekonomi karena
kriteria sebagian besar ditentukan dengan penggunaan efisiensi ekonomi secara global.
Analisis biaya manfaat tradisional juga menggunakan pasar (swasta) sebagai titik tolak untuk
merekomendasikan kebijakan publik. Analisis biaya manfaat kontemporer, atau disebut juga
analisis biaya manfaat sosial, dapat digunakan untuk mengukur redistribusi manfaat (Dunn,
2003: 448).

Melihat pada proses implementasinya, Analisis biaya manfaat (CBA) memiliki


keunggulan dalam penentuan program pemerintah, antara lain sebagai berikut.
a. Penggunaan sumber – sumber ekonomi secara efisien. Jika efisiensi terjamin,
pencapaian kesejahteraan masyarakat dari kebijakan publik yang diimplementasikan
lebih maksimal (Mangkoesoebroto,2001: 165-166).
b. Analisis biaya manfaat dalam pengitungan biaya maupun manfaat diukur dengan
mata uang sebagai unit nilai, sehingga memudahkan efisiensi (Dunn, 2003:448).
c. Sangat kompatibel dengan penghitungan biaya manfaat kebijakan / proyek dalam
skala besar atau makro khususnya yang mempengaruhi kinerja pembangunan daerah
secara keseluruhan (Sjafrizal, 2008 :170).
Sedangkan kelemahan CBA antara lain sebagai berikut.
a. Analisis ini membutuhkan waktu dan prosesnya yang sangat lama dan hanya bisa
diimplementasikan pada proyek/ kebijakan yang bersifat makro (Sjafrizal, 2008: 170).
b. Pemilihan kebijakan / proyek yang kurang menguntungkan bagi masyarakat. Hal
tersebut disebabkan oleh proses penghitungan manfaat secara kuantitatif, sedangkan
beberapa proyek atau kebijakan tidak dapat diukur manfaatnya secara kuantitatif
(Mangkoesobroto, 2001: 166).
c. Analaisis ini tidak memiliki fleksibilitas tinggi, karena semua penghitungan dilakukan
secara kuantitatif. Hal ini menimbulkan interpretasi jika analisis ini dilaksanakan
terlalu jauh, pemerintah tidak lagi dilaksanakan oleh wakil wakil rakyat yang
membawa aspirasi rakyat, melainkan seakan akan dilaksanakan oleh robot komputer
(Mangkoesoebroto, 2001: 167).

Langkah yang ditempuh dalam menganalisis efisiensi suatu proyek melalui analisis
biaya manfaat yaitu dengan jalan menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek yang
akan dilaksanakan. Tahap selanjutnya menghitung manfaat dan biaya dalam nilai uang, dan
diteruskan dengan menghitung masing-masing manfaat dan biaya dalam nilai uang sekarang.
Ada tiga metode untuk menganalisis manfaat dan biaya suatu proyek yaitu nilai bersih
sekarang antara lain (NPB = net present benefit), Internal Rate of Return (IRR) dan
perbandingan manfaat biaya (BCR = benefit-cost ratio). Pada proses implementasi analisis
kebijakan publik di Indonesia, CBA digunakan sebagai alat utama dalam membuat evaluasi
program atau proyek untuk kepentingan publik, seperti manajemen sumber daya alam dan
pengembangan sumber energi alternatif. Pada umumnya analisis ini terintegrasi dengan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk mengevaluasi dampak suatu
proyek atau program terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu, Analisis ini tidak hanya
melihat manfaat dan biaya individu, tetapi secara menyeluruh memperhitungkan manfaat dan
biaya sosial dan selanjutnya dapat disebut sebagai analisis manfaat dan biaya sosial
(Sugiyono, 2001).
NPB Nilai bersih suatu proyek merupakan seluruh nilai dari manfaat proyek
dikurangkan dengan biaya proyek pada tahun yang bersangkutan dan diperhitungkan dengan
tingkat diskonto yang berlaku. Rumus perhitungannya sebagai berikut

IRR (Internal Rate of Return) merupakan indikator tingkat efisiensi dari suatu investasi.
Suatu proyek/investasi dapat dilakukan apabila laju pengembaliannya (rate of return) lebih
besar dari pada laju pengembalian apabila melakukan investasi di tempat lain. Dalam metode
penghitungan ini, tingkat diskonto dicari sehingga menghasilkan nilai sekarang suatu proyek
sama dengan nol. Rumus yang digunakan sebagai berikut.
Metode Perbandingan Manfaat dan Biaya (BCR) merupakan metode yang sering digunakan
dalam mengevaluasi sebuah investasi atau sebagai tambahan untuk menvalidasi hasil evaluasi
yang telah dilakukan dengan metode lain. Metode ini sangat baik digunakan untuk sebuah
investasi dalam proyek-proyek pemerintah yang berdampak langsung terhadap masyarakat
luas. Proyek yang dilaksanakan dalam metode ini adalah proyek yang mempunyai angka
perbandingan lebih besar dari satu. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.

(Sugiyono, 2001)

Referensi
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan). Yogyakarta :
UGM Press.

Mangkoesoebroto, Guritno. 2001. Ekonomi Publik. Yogyakarta : BPFE.

Mishan, E. J. and Easton Quah. 2007. Cost Benefit Analysis, 5 th edition. Newyork :
Routledge.

Pearce, David W.. 2008.“Cost- Benefit Analysis” dalam Kuper, Adam, Jessica Kuper. 2008.
Ensiklopedi Ilmu- Ilmu Sosial. Jakarta:Rajawali.

Sjafrizal. 2008.Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta : Niaga Swadaya.

Sugiyono, Agus.2001. “Makalah Ekonomi Publik: Analisis Manfaat dan Biaya Sosial”.
Dalam situs http://sugiyono.webs.com/paper/p0103.pdf diakses tanggal 15
November 2012 pukul 19.30.

PENERAPAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)


DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMACETAN
DI JAKARTA

OLEH: ALIH AJI NUGROHO


STIA LAN JAKARTA

BAB I

PENDAHULUAN

Transportasi menurut ketentuan Undang-Undang No 14 Tahun 1992 adalah simpul dan atau ruang
kegiatan yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga dapat membentuk suatu kesatuan sistem
untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Alat transportasi sesuai kaidah
ekonomi dibedakan menjadi dua yaitu transportasi pribadi ( Private Goods) dan Transportasi umum (
Impure Public Goods). Menurut Jonathan Gruber dalam bukunya Public finance and Public Policy
(2007) sebagai berikut :
“ Goods that are pure public goods are characterized by two traits. Firs, they are non-rival in
consumption: that is, my consuming or making use of the good dos not in any way affect your
opportunity to consume the good. Second, They are non-excludable : even if I want to deny
you the opportunity to consume or acces the public good, there is no way I can do so….. most
of the goods we think of as public goods are really impure public goods, wich satify these two
conditions to some extent, but not fully”.

Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa Impure public goods adalah barang semi publik,
barang atau jasa yang ada persaingan untuk mendapatkan tetapi sedikit, dan tidak ada kepemilikan
sepihak dari barang tersebut akan tetapi tidak penuh. Untuk mendapatkan barang harus dengan
sedikit persaingan dan ada sedikit “kepemilikan” dalam barang tersebut. Dari pernyataan Gruber
dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahwa transportasi umum dapat dikategorikan sebagai
Impure public goods. Seseorang tidak ingin bersaing secara penuh dan tidak ada kepemilikan sepihak
dari perorangan untuk transportasi umum. Yang menyebabkan masalah pada public transportations
di Indonesia adalah cara pandang ekonomi masih menggunakan teori ekonomi neoklasik yang tidak
memperhatikan prinsip ekonomi kerakyatan. Dalam bukunya Alfred Marshall, Principles of Economic
(1890) menyebutkan prinsip ekonomi hanya bertujuan untuk mencapai efisiensi dan menemukan
keseimbangan yang optimal. Kajian tentang ilmu ekonomi sebagai sudut pandang pembuat kebijakan
hanya berdasar pada prinsip efisiensi riil. Kelemahan teori ekonomi Neo-Klasik adalah tidak
memperhatikan aspek social sebagai sebuah ekternalitas yang harus dimasukkan dalam mengkaji
masalah ekonomi public. Padahal teori Neoklasik sudah di tentang dan berusaha diruntuhkan oleh
ilmuan ekonomi modern. Diawali oleh Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment,
Interest, and mooney (1936) menyatakan bahwa pernanan ekonomi dan filosofis politik tidak dapat
dipisahkan. Politik dalam hal ini dapat disederhanakan menjadi social atau kerakyatan. Perjuangan
Keynes dilanjutkan oleh Gunnar Myrdal dengan bukunya The Political Element in Development of
Economic Theory (1975) bersama Galbraith dengan bukunya Economic and the Public Purpose (1971)
menyatakan fungsi ilmu ekonomi adalah menerangkan satu proses ekonomi dimana perorangan
memperoleh pelayanan.
Analisis dapat dimulai dari populasi kendaraan bermotor di Jakarta yang merunut data
jumlah populasinya tidak terkontrol. Dari data salah satu portal berita nasional Antara News
(6/01/2015) jumlah kendaraan bermotor hingga akhir 2014 di Jakarta sebanyak 17.523.967 unit
dengan rincian 13.084.372 unit sepeda motor, 3.226.009 unit mobil pribadi, 673.661 unit mobil
barang, 362.066 unit bus, dan 137.859 kendaraan khusus. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas
Polda Metro Jaya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta bertambah sebanyak 5.500 hingga 6.000
unit kendaraan perhari (data berdasarkan jumlah STNK yang dikeluarkan samsat). Dapat disimpulkan
dengan jumlah 13jt an unit dan bertambah 6.000 an unit perhari dalam setahun volume kendaraan
bermotor di Jakrata naik 12% pertahun, sungguh sebuah jumlah yang fantastis untuk kota
metropolitas yang kepadatan penduduknya sangat tinggi. Masih dari sumber data yang sama
pertummbuhan infrastruktur berupa jalan di Jakarta hanya 0,01 % pertahun. Pertumbuhan jalan
yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Sesuai dengan teori yang digunakan
diawal, pemerintah tidak ikut campur dalam mengontrol populasi jumlah kendaraan yang ada di
Jakarta, sepenuhnya dilepaskan pada mekanisme pasar. Demand yang tinggi dari penduduk Jakarta
akan kendaraan bermotor pribadi dibebaskan oleh pemerintah dengan Suplay dari pihak privat. Salah
satu kebijakan yang mendasari analisa tersebut adalah kebijakan pemerintah tentang mobil murah
dengan dalih Low Cost Green Car (LCGC). Dengan diberlakukan kebijakan tersebut demand akan
kendaran bermotor semakin meningkat dan meningkatkan jumlah pertumbuhan kendaraan
bermotor secara signifikan. Di lain sisi peningkatan pelayanan di bidang infrastruktur dan transportasi
umum tidak dibenahi. Sehingga masyarakat lebih nyaman bepergian menggunakan kendaraan
pribadi masing-masing dan kemacetanpun tidak terhindarkan. Pelayanan Bus Transjakarta yang
masih kurang dapat dilihat hanya dapat menjangkau daerah-daerah utama dan masih belum
tertibnya pengguna jalan yang masih menggunakan jalus Bus Transjakarta menyebabkan Bus tidak
bisa On Time. Disediakannya Communter line memberikan sedikit angin segar untuk mengurangi
pengguaan kendaraan pribadi. Masalahnya Commuter Line sama seperti Bus Transjakarta yang hanya
bisa menjangkau daerah-daerah utama. Tidak disediakan transportasi umum/khusus untuk
digunakan dari post-pos pemberhentian Busway dan Commuterline menyisakan masalah tersendiri
bagi penggunanya. Bus Kota dan Kopaja semakin hari semakin kehilangan kepercayaan dari
pengguna. Fasilitas yang tidak nyaman dan keamanan yang tidak terjamin merupakan alasan bagi
masyarakat untuk enggan menggunakannnya.
BAB II

MASALAH KEBIJAKAN

Sebelum memecahkan sebuah masalah, maka langkah yang harus dilakukan


terlebih dahulu adalah merumuskan masalah. Menurut Dunn perumusan masalah dapat
dipandang sebagai proses empat fase yang saling tergantung, yaitu pencarian masalah
(problem search), pendefinisian masalah (problem definition), spesifikasi masalah
(problem specification) dan pengenalan masalah (problem sensing).1

1. Situasi Masalah

Dari data yang telah penulis sampaikan di muka bahwa jumlah kendaraan
bermotor hingga akhir 2014 di Jakarta sebanyak 17.523.967 unit dengan rincian
13.084.372 unit sepeda motor, 3.226.009 unit mobil pribadi, 673.661 unit mobil barang,
362.066 unit bus, dan 137.859 kendaraan khusus. Berdasarkan data Direktorat Lalu
Lintas Polda Metro Jaya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta bertambah sebanyak
5.500 hingga 6.000 unit kendaraan perhari (data berdasarkan jumlah STNK yang
dikeluarkan samsat). Dapat disimpulkan dengan jumlah 13jt an unit dan bertambah
6.000 an unit perhari dalam setahun volume kendaraan bermotor di Jakrata naik 12%
pertahun, sungguh sebuah jumlah yang fantastis untuk kota metropolitan yang
kepadatan penduduknya sangat tinggi. Masih dari sumber data yang sama
pertummbuhan infrastruktur berupa jalan di Jakarta hanya 0,01 % pertahun.
Pertumbuhan jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan.
Itulah yang menjadi permasalahan yang menyebabkan kemacetan yang parah di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Masalah tersebut harus segera ditangani dengan kebijakan yang
tepat sasaran agar kemacetan di Jakarta bisa diatasi secara efektif dan efisien.

2. Meta Masalah

Berdasarkan situasi masalah di atas ditemukakan beberapa permasalahan pokok


yakni:
1
Dunn, William N, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (edisi kedua),Gajah Mada University
Press, Yogyakarta. Hal 226
a. Sistem transportasi umum belum baik : Busway, Commuterline, Kopaja,
Bemo, Taksi, dll .
b. Populasi transportasi privat terlalu banyak.
c. Masalah penataan wilayah perekonomian : Jakartasentris

3. Masalah Substansif

Berdasarkan situasi masalah dan meta masalah, maka ditemukan masalah


substantifnya adalah tidak seimbangnya pertumbuhan kendaraan bermotor dengan
pertumbuhan infrastruktur menyebabkan kemacetan yang parah.

4. Masalah Formal
Berdasarkan hasil penelusuran mulai dari situasi masalah, meta masalah, dan
masalah substantif, maka ditemukan masalah formalnya yakni pada bagaimana
formulasi kebijakan pemerintah menekan jumlah populasi kendaraan bermotor dan
membenahi sistem transportasi umum untuk mengatasi masalah kemacetan
lalulintas.

5. Tujuan Kebijakan
Bertolak dari pemahaman tentang situasi masalah, meta masalah, masalah
substantif dan masalah formal, maka dapat dirumuskan tujuan kebijakannya adalah
sebagai berikut:
1. Membuat formulasi yang dapat menganalisa akar permasalahan sehingga
Mengatasi kemacetan
2. Menekan penggunaan kendaraan pribadi
3. Memperbaiki sistem transportasi umum

BAB III

ALTERNATIF KEBIJAKAN
Langkah berikutnya yang harus dilakukan oleh seorang analisis kebijakan setelah
merumuskan masalah kebijakan ialah menetukan alternatif kebijakan. Melakukan
sebuah penentuan alternatif kebijakan bukan merupakan hal mudah, kerena pembuat
kebijakan dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yang berhubungan dengan
masalah yang dihadapi (Subasono,2005). Sehingga output alternatif kebijakan sangat
tergantung seorang analisis kebijakan yang melakukan analisis terhadap suatu kebijakan.
Dalam melakukan analisis, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, yakni:

1. Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang telah ditetapkan.


2. Menetapkan kriteria yang akan digunakan untuk mengevaluasi alternatif
kebijakan tersebut.
3. Melakukan evaluasi terhadap kriteria agar dapat memilih diantara alternatif
tersebut sebagai tindakan kebijakan (Dunn,2003)

Alternatif kebijakan (Policy Alternatives ) adalah arah tindakan yang secara potensial
tersedia yang dapat memberikan sumbangan kepada pencapaian nilai dan pemecahan
masalah kebijakan (Dunn, 2003).
Ada 2 Teknik pokok di dalam memformulasikan alternative kebijakan, yakni :
1. Memodifikasi solusi / Kebijakan yang berlaku
2. Melakukan feasible manipulation yaitu merumuskan alternatif kebijakan
dengan cara mencari atau dengan cara merekayasa berdasarkan input yang
diperoleh sehingga kita bisa menyusun alternatif dengan menyusun variabel
kebijakan dan menentukan tingkat rekayasa.
Penentuan beberapa alternative kebijakan didasarkan atas masukan-
masukan dari stakeholders yang ada dan atau berdasarkan pengalaman
kebijakan yang pernah dibuat sebelumnya terhadap permasalahan yang sama
atau hampir sama.

Berdasarkan dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijabarkan
pada bab sebelumnya, maka penyusun mengajukan empat alternative kebijakan yang
nantinya dievaluasi berdasarkan kriteria-kriteria yang relevan dengan kebijakan yang
akan dihasilkan. Adapun keempat alternatif kebijakan yang akan diajukan, sebagai
berikut:

1. Status Quo
Status quo merupakan salah satu alternatif kebijakan, dimana yang
dimaksud dengan status quo ialah tetap menerapkan kebijakan saat ini.. alternative
status quo dimaksudkan untuk membandingkan kebijakan yang sudah ada dengan
alternative kebijakan baru yang ditawarkan.
2. Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum
Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum harus segera
dilakukan dengan cara :
a. Transjakarta dan Commuterline dibebaskan tarif atau diminimalkan
biaya dengan menggunakan alokasi dana dari pajak kendaraan
bermotor.
b. Pajak kendaraan umum dan retribusi seperti Kopaja dan Bis Kota di
bebaskan agar tariff penggunaan kendaraan umum menjadi rendah
dan terjangkau masayarakat. Hal itu bisa memicu pemilik Kopaja dan
Bis kota melakukan perbaikan pelayanan.
c. Memberikan subsidi BBM pada kendaraan umum.
d. Setiap perusahaan atau industry yang karyawannya banyak wajib
memberikan fasilitas bis kantor yang menjemput para pegawai.

3. Untuk mengurangi laju pertumbuhan kendaraan bermotor


Kebijakan yang paling urgent untuk dilakukan adalah menekan laju
pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Untuk mengurangi laju
pertumbuhan kendaraan bermotor dapat dilakukan beberapa kebijakan,yaitu :
a. Mencabut kebijakan Low Cost Green Car atau mobil murah.
b. Meningkatkan pajak kendaraan bermotor.
c. Memperketat aturan tentang pembelian kendaraan bermotor.
d. Melarang atau meningkatkan pajak pembelian kendaraan bermotor
secara kredit.
e. Memperketat dan meningkatkan standart pengeluaran SIM.
4. Memindahkan Pusat Perekonomian/Pemerintahan
Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas yang sudah parah di ibu kota sudah
sepantasnya ada kebijakan memisahkan pusat pemerintahan dengan pusat
perekonomian. Selain menanggulangi kemacetan juga dapat menghasilkan pemerataan
pembangunan.

BAB IV
ALTERNATIF KEBIJAKAN TERPILIH

Setelah proses penentuan alternatif kebijakan dilaksanakan di mana terdapat


empat alternatif yang dianggap paling efektif dalam mewujudkan tujuan kebijakan,
maka selanjutnya adalah memilih alternatif kebijakan yang terbaik untuk kemudian
direkomendasikan kepada Pemerintah DKI Jakarta. Rekomendasi disini berarti proses
mengevaluasi atau menilai keempat opsi atau alternatif kebijakan tersebut untuk
menentukan mana tindakan kebijakan yang terbaik dan kontekstual untuk mengatasi
masalah kemacetan lalu lintas yang terjadi di DKI Jakarta
Adapun kriteria-kriteria yang dapat dipakai untuk mengukur kelayakan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Resiko politik
Resiko politik berkaitan dengan aspek-aspek politik yang mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan. Hal ini berkenaan dengan adanya tekanan dari legeslatif dan
kepala daerah sebagai pejabat politik yang mempunyai kepentingan. Selain itu risiko
politik juga mencakup dampak dari pelaksanaan kebijakan tersebut terhadap
kehidupan politik di daerah. Kriteria ini perlu dipertimbangkan agar kebijakan yang
dibuat tidak menimbulkan permasalahan ataupun pertentangan yang dapat
mengganggu jalannya pemerintahan.
2. Biaya
Kriteria biaya mencakup beban biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan
kebijakan. Berkaitan dengan biaya, policy maker perlu mempertimbangan kondisi
anggaran (APBD) apabila kebijakan tersebut diterapkan . Dalam hal ini, yang perlu
dipikirkan adalah apakah APBD mampu menopang kebijakan tersebut. Apakah
kebijakan tersebut mengurangi atau justru menambah beban pemerintah daerah.
Selain itu perlu dipikirkan juga pengaruh kebijakan terhadap pendapatan maupun
pengeluaran pemerintah kemudian.
3. Proses implementasi
Selain risiko pilitik dan biaya, salah satu kriteria yang perlu dipertimbangkan
adalah proses implementasi kebijakan tersebut. Pertimbangan ini mencakup
kemudahan-kemudahan dalam penerapan kebijakan dimaksud sehingga tidak
mengalami kendala baik itu kendala biaya, maupun kendala sosial khususnya dalam
lingkup internal pemerintah. Pertimbangan-pertimbangan terkait proses
implementasi mencakup siapa yang akan melaksanakan kebijakan tersebut, apakah
proses implementasinya mempengaruhi biaya, sarana apa yang dipakai untuk
mengimplementasikan kebijakan tersebut, dan apa dampak lanjut dari proses
implementasi tersebut.
4. Legalitas
Setiap kebijakan harus mempunyai dasar hukum yang jelas agar dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak berbenturan dengan kepentingan-kepentingan
dan tujuan-tujuan lain dari program-program pemerintah. Minimal aspek hukum
yang menjadi kriteria di sini sejalan dengan program pemerintah lainnya yang
berorientasi pada kesehateraan rakyat. Karena itu yang menjadi dasar pertimbangan
dalam kriteria ini adalah apakah kebijakan tersebut tidak berbenturan dengan
program pemerintah lainnya yang juga berorientas pada kesejahteraan rakyat,
apakah kebijakan tersebut sejalan dengan program pemerintah pusat, apakah
kebijakan tersebut sejalan dengan maksud Pancasila dan UUD 1945.
5. Pendekatan Stakeholder
Kriteria ini juga perlu dipertimbangkan karena kebijakan harus mendapat
persetujuan bersama sehingga masing-masing pihak memiliki rasa tanggung jawab
yang sama apabila kebijakan tersebut dilaksanakan. Kriteria ini penting mengingat
institusi pemerintah merupakan institusi yang multi staheholder dan multi intereset.
6. Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan kebijakan agar mencapai tujuan yang ingin dicapai
merupakan faktor penting yang harus diperhatikan untuk menentukan kebijakan
7. Keamanan
Maksud keamanan disini adalah ada tidaknya gejolak yang akan muncul
apabila kebijakan terpilih diimplementasikan.
Setelah menetapkan kriteria-kriteria yang dianggap relevan maka langkah
selanjutnya adalah mengevaluasi alternatif-alternatif kebijakan yang telah dipilih
berdasarkan kriteria-kriteria yang ada. Proses evaluasi ini dimaksudkan untuk
menguji apakan kriteria-kriteria tersebut layak untuk dieksekusi. Dalam proses
evaluasi perlu diuraikan aspek positif dan negatif dari masing-masing alternatif
kebijakan berdasarkan kirteria-kriteria yang ada.
Evaluasi terhadap alternatif kebijakan dilakukan satu per satu, sebagai berikut:

1. Status Quo
Memberlakukan kebijakan yang sudah ada.
2. Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum harus segera
dilakukan dengan cara :
e. Transjakarta dan Commuterline dibebaskan tarif atau diminimalkan biaya
dengan menggunakan alokasi dana dari pajak kendaraan bermotor.
f. Pajak kendaraan umum dan retribusi seperti Kopaja dan Bis Kota di
bebaskan agar tariff penggunaan kendaraan umum menjadi rendah dan
terjangkau masayarakat. Hal itu bisa memicu pemilik Kopaja dan Bis kota
melakukan perbaikan pelayanan.
g. Memberikan subsidi BBM pada kendaraan umum.
h. Setiap perusahaan atau industry yang karyawannya banyak wajib
memberikan fasilitas bis kantor yang menjemput para pegawai.
3. Kebijakan yang paling urgent untuk dilakukan adalah menekan laju pertumbuhan
jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Untuk mengurangi laju pertumbuhan
kendaraan bermotor dapat dilakukan beberapa kebijakan,yaitu :
a. Mencabut kebijakan Low Cost Green Car atau mobil murah.
b. Meningkatkan pajak kendaraan bermotor.
c. Memperketat aturan tentang pembelian kendaraan bermotor.
d. Melarang atau meningkatkan pajak pembelian kendaraan bermotor secara
kredit.
e. Memperketat dan meningkatkan standart pengeluaran SIM.
4. Memindahkan Pusat Pemerintahan / memisahkan pusat pemerintahan
dengan pusat ekonomi.
Kepadatan penduduk di Daerah Khusus Ibukota Jakarta sudah pada tahap
menghawatirkan. Hal ini terjadi karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan
sekaligus pusat perekonomian. Untuk mengurangi kepadatan ada alternative
kebijakan untuk memisahkan atau memindahkan ibu kota Negara.

Setelah proses evaluasi berdasarkan kriteria-kriteria yang relevan telah


ditetapkan terhadap kebijakan yang ada, maka untuk memudahkan analis memutuskan
alternatif mana yang terbaik untuk diusulkan maka perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut
yang mengacu pada evaluasi kuantitatif.
Secara umum istilah evaluasi disamakan dengan penafsiran (appraisal),
pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment). Dalam arti yang spesifik, evaluasi
berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan
(Dunn,2003) serta penentuan kebijakan dengan menggunakan analisis Metode
Analytical Hierarchy Analysis (AHP) dan Analytical Network Analysis (ANP) agar hasilnya
lebih akurat. Kedua metode ini dapat digunakan dalam analisis kebijakan publik karena
sama-sama merupakan multi criteria decision making (MCDM). Metode AHP/ANP, yang
diperkenalkan pertama kali oleh Thomas Saaty (1990), sangat membantu penetapan
alternatif terbaik secara obyektif dan rasional. Dengan demikian proses penetapan
alternatif kebijakan tidak lagi bersifat normatif dan intuitif, tetapi lebih berdasarkan
argumentasi rasional.
Menurut Saaty (1990) dan Johnson (1990) AHP dan ANP terdiri atas 4 langkah
berikut:

 Langkah 1: Merumuskan hirarki kebijakan dgmemilah atau men-dekomposisi-


kan unsur-unsur pokok masalah kebijakan.
 Langkah 2: Melakukan pairwise comparisons (perbandingan berpasangan)
terhadap alternatif kebijakan dan kriteria penilaian.
 Langkah 3: Menggunakan metode Nilai Eigen (eigenvalue) untuk menentukan
pengaruh relatif tiap kriteria dan alternatif kebijakan dalam pencapaian
tujuan kebijakan.
 Langkah 4: Meng-agregasi-kan nilai setiap Alternatif Kebijakan dengan bobot
relatif kriteria. Gunakan nilai agregat tersebut sebagai dasar penetapan
alternatif terbaik.
AHP dan ANP biasanya menggunakan data tingkat ordinal dengan menerapkan
Skala Saaty (1990) sebagai berikut

Skala Arti
1 Sama Penting (Equal importance)
3 Sedikit lebih penting (Moderate importance of one over another)
5 Lebih Penting
7 Sangat Penting (Strong Importance)
9 Mutlak sangat penting ( Absolutely very importance)
2,4,6,8 Nilai nilai tengah antara 2 nilai berdekatan
1/3-1/9 Nilai-nilai kebaikan (reciprocals).Bila aktifitas I bila dibandingkan dengan
akitfitas j. mendapat salah satu nilai 1 s/d 9 aktifitas j mendapat kebalikan nilai
tersebut bila dibandingkan denga i
Sumber:Saaty,T.L “Ratio scales derives from perturbations of consistent
judgment”Behaviormetrika.1990.No.28,PP 1-2
Di dalam mengevalusi alternatif kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya,
terlebih dahulu akan dibuat nilai skor masing-masing variabel (alternatif kebijakan),
adapun skor pengkategorian adalah sebagai berikut:
Skor 4 : Sangat Baik
Skor 3 : Baik
Skor 2 : Kurang Baik
Skor 1 : Buruk
Berdasarkan pemberian nilai scoring diatas, nilai terhadap masing-masing
kriteria yang relevan adalah sama yaitu: 4 nilai tertinggidan 1 nilai terendah. Adapun
untuk proses kategorisasi alternatif kebijakan digunakan interval=0,6 dan kategorinya
sebagai berikut:
1,0 s/d 1,7--------- Buruk
1,8 s/d 2,5--------- Kurang Baik
2,6 s/d 3,3--------- Baik
3,4 s/d 4,1--------- Sangat Baik
Setelah dibuat metode scoring sebagaimana diatas, maka langkah selanjutnya
yakni membuat table evaluasi table ini digunakan untuk memudahkan dalam proses
evaluasi sehingga bisa diketahui mana alternatif kebijakan yang terbaik.
Gambar Model Hirarki Proses Mengatasi Kemacetan DKI Jakarta

Politik Biaya Implementasi Legalitas Stakeholder Waktu Kemanan

Perbaikan Transportasi Memindahkan Pusat


Status Quo Menekan Populasi Kendaraan
Umum Pemerintahan
I. Penilaian Alternatif Tanpa Pembobotan (Skoring)

Tabel Evaluasi2
ALTERNATIF

Menekan laju
Perbaikan pertumbuhan Memisahkan Pusat
KRITERIA ∑
Status Quo pelayanan jumlah Pemerintahan
transportasi umum kendaraan dengan Ekonomi
bermotor

Politik 7 12 10 4 33
Biaya 10 7 13 1 31
Implementasi 5 13 9 1 28
Legalitas 6 11 10 3 30
StakeHolder 5 12 9 1 27
Waktu 6 9 12 1 28
Keamanan 6 13 12 4 35
∑ 212

ALTERNATIF

Memisahkan
Menekan laju
KRITERIA Pusat
Perbaikan pelayanan pertumbuhan
Status Quo Pemerintahan
transportasi umum jumlah kendaraan
dengan
bermotor
Ekonomi

Politik 0.184211 0.315789 0.263158 0.236842


Biaya 0.285714 0.200000 0.371429 0.142857
Implementasi 0.147059 0.382353 0.264706 0.205882
Legalitas 0.157895 0.289474 0.263158 0.289474
StakeHolder 0.142857 0.342857 0.257143 0.257143
Waktu 0.187500 0.281250 0.375000 0.156250
Keamanan 0.136364 0.295455 0.272727 0.295455

2
Data ini merupakan penilaian akumulasi dari 4 stakeholder. Data penilaian tiap
stakeholder terlampir.
II. Penilaian Pembobotan Tiap Kriteria3

Perbandingan antar kriteria

Kriteria K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 ∑ Bobot
K1 1.41 2.28 0.65 1.73 0.68 2.71 1.73 11.19 0.13
K2 2.28 1.41 0.76 2.08 0.82 1.41 2.65 11.42 0.13

K3 3.16 2.65 1.41 2.45 2.83 1.83 2.00 16.33 0.19

K4 1.22 1.80 1.10 1.41 1.50 2.29 1.58 10.91 0.13

K5 3.32 2.83 0.71 2.12 1.41 2.12 2.00 14.51 0.17

K6 1.77 1.41 1.83 3.00 1.50 1.41 1.73 12.66 0.15

K7 1.22 0.84 1.15 1.58 1.15 1.22 1.41 8.59 0.10

∑ 14.40 13.22 7.61 14.38 9.89 13.00 13.11 85.60 1.00

3
Data ini merupakan penilaian akumulasi dari 2 Ahli Analis. Data penilaian tiap stakeholder terlampir.
Akumulasi ini menggunakan rumus Geometric Mean : √x1+x2+…x n (Rumus saaty) dimana x adalah penilaian pakar n
Penilaian Pembobotan Tiap Kriteria yang Telah Dinormalisasi

Bobot yang ternormalisasi Eigen Faktor


Kriteria K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 ∑ Bobot
K1 0.10 0.17 0.08 0.12 0.07 0.21 0.13 0.88 0.13 0.13
K2 0.16 0.11 0.10 0.14 0.08 0.11 0.20 0.90 0.13 0.13
K3 0.22 0.20 0.19 0.17 0.29 0.14 0.15 1.36 0.19 0.19
K4 0.09 0.14 0.14 0.10 0.15 0.18 0.12 0.91 0.13 0.13
K5 0.23 0.21 0.09 0.15 0.14 0.16 0.15 1.14 0.16 0.16
K6 0.12 0.11 0.24 0.21 0.15 0.11 0.13 1.07 0.15 0.15
K7 0.09 0.06 0.15 0.11 0.12 0.09 0.11 0.73 0.10 0.10
∑ 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 7.00 1.00 1.00
III. Penilaian Alternatif dengan Pembobotan

ALTERNATIF Weighted
KRITERIA Bobot
Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Alternatif 4 A1 A2 A3 A4

0.131
Politik 0.18 0.32 0.26 0.24 0.02
0.04 0.03 0.03
0.133
Biaya 0.29 0.20 0.37 0.14 0.04
0.03 0.05 0.02
0.191
Implementasi 0.15 0.38 0.26 0.21 0.03
0.07 0.05 0.04
0.127
Legalitas 0.16 0.29 0.26 0.29 0.02
0.04 0.03 0.04
0.169
StakeHolder 0.14 0.34 0.26 0.26 0.02
0.06 0.04 0.04
0.148
Waktu 0.19 0.28 0.38 0.16 0.03
0.04 0.06 0.02
0.100
Keamanan 0.14 0.30 0.27 0.30 0.01
0.03 0.03 0.03
∑ 0.18 0.31 0.29 0.22
Data ini merupakan penilaian Alternatif dengan pembobotan. Data penilaian Alternatif dengan pembobotan tiap stakeholder terlampir.

Dengan demikian berdasarkan hasil penilaian yang menggunakan metode AHP, maka alternatif kebijakan terpilih adalah alternatif II yang menunjukkan
angka paling besar dan merupakan alternatif terpilih yang akan digunakan yakni perbaikan pelayanan transportasi umum.
BAB V

Rencana Implementasi

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan metode Analitik


Hierarki Proses (AHP) , maka dihasilkan alternatif kebijakan yang terbaik dari empat
pilihan alternative kebijakan yakni perbaikan pelayanan transportasi umum. Perbaikan
pelayanan transportasi umum dimaksudkan agar warga Jakarta banyak yang bepergian
menggunakan transportasi dapat mengatasi kemacetan yang terjadi di ibu kota.
Kebijakan ini dipilih berdasarkan pertimbangan dengan tujuh kriteria yaitu : dari segi
politik, biaya, kemudahan pengimplementasian, kemungkinan legalitas kebijakan,
pengakomodasian kepentingan stake holder, waktu menjalankan kebijakan, dan
keamanan apabila kebijakan tersebut dilaksanakan. Dari ketujuh kriteria yang ada
setelah melalui survey akhirnya dapat diketahui urutan hierarki untuk kriteria yaitu:

1. Implementasi
2. Peran dan pengamodasian stake holders
3. Waktu
4. Biaya
5. Politik
6. Legalitas
7. Keamanan

Sehingga kriteria yang paling mempengaruhi pemilihan kebijakan adalah bisa


tidaknya kebijakan itu diimplementasikan oleh pemerintah dan keamanan merupakan
kriteria paling rendah bobotnya.

Langkah- langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi


kemacetan adalah mengimplementasikan kebijakan altertanif Kebijakan tentang
perbaikan pelayanan transportasi umum. Kebijakan tentang perbaikan
pelayanan transportasi umum harus segera dilakukan dengan cara :
a. Transjakarta dan Commuterline dibebaskan tarif atau diminimalkan
biaya dengan menggunakan alokasi dana dari pajak kendaraan
bermotor.
b. Pajak kendaraan umum dan retribusi seperti Kopaja dan Bis Kota di
bebaskan agar tarif penggunaan kendaraan umum menjadi rendah dan
terjangkau masayarakat. Hal itu bisa memicu pemilik Kopaja dan Bis
kota melakukan perbaikan pelayanan.
c. Memberikan subsidi BBM pada kendaraan angkutan umum. Hal ini
diberlakukan agar biaya operasional kendaraan umum menurun
sehingga tariff yang diberlakukan menajdi rendah dan dapat memicu
minat warga menggunakan kendaraan umum.
d. Pemda DKI harus memberlakukan kebijakan yang menjadikan
kendaraan umum menjamin kenyamanan dan keamanan penumpang.
Kebijakan ini bisa dengan memperketat seleksi penerimaan sopir dan
awak bis.
e. Setiap perusahaan atau industri yang karyawannya banyak wajib
memberikan fasilitas bis kantor yang menjemput para pegawai.
Lampiran

ALTERNATIF

Menekan laju Memisahkan


Perbaikan
pertumbuhan Pusat
KRITERIA pelayanan ∑
Status Quo jumlah Pemerintahan
transportasi
kendaraan dengan
umum
bermotor Ekonomi

Politik 3 3 2 2 10
Biaya 2 2 4 2 10
Implementasi 2 3 3 3 11
Legalitas 2 3 3 3 11
StakeHolder 2 3 2 3 10
Waktu 3 2 4 1 10
Keamanan 2 4 3 4 13
Penilaian oleh
Stake holder 1
KRITERIA ALTERNATIF ∑
Menekan laju Memisahkan
Perbaikan
pertumbuha Pusat
Status pelayanan
n jumlah Pemerintaha
Quo transportasi
kendaraan n dengan
umum
bermotor Ekonomi

Politik 2 2 1 1 6

Biaya 2 1 3 1 7
Implementas
1 4 2 1 8
i
Legalitas 2 2 2 2 8

StakeHolder 1 2 2 2 7

Waktu 1 1 1 1 4

Keamanan 1 4 2 4 11
Penilaian dari
stake holder
2

KRITERIA ALTERNATIF ∑
Menekan laju Memisahkan
Perbaikan
pertumbuhan Pusat
pelayanan
Status Quo jumlah Pemerintahan
transportasi
kendaraan dengan
umum
bermotor Ekonomi

Politik 1 4 3 2 10
Biaya 2 2 2 1 7
Implementasi 1 3 2 2 8
Legalitas 1 3 3 3 10
StakeHolder 1 4 3 3 11
Waktu 1 3 3 2 9
Keamanan 1 3 3 1 8
Penilaian dari stake
holder 3

ALTERNATIF
Perbaikan
Menekan laju Memisahkan
pelayanan
pertumbuha Pusat
KRITERIA Status transportasi ∑
n jumlah Pemerintaha
Quo umum harus
kendaraan n dengan
segera
bermotor Ekonomi
dilakukan
Politik 1 3 4 4 12
Biaya 4 2 4 1 11
Implementas
1 3 2 1 7
i
Legalitas 1 3 2 3 9
StakeHolder 1 3 2 1 7
Waktu 1 3 4 1 9
Keamanan 2 2 4 4 12
Penilaian
stake holder
4
ntar kriteria
K2 K3 K4 K5 K6 K7 ∑
0 5.00 0.25 1.00 0.33 7.00 2.00 16.5
20 1.00 0.25 0.33 0.50 1.00 5.00 8.28
00 4.00 1.00 1.00 4.00 3.00 1.00 18.0
00 3.00 1.00 1.00 2.00 5.00 2.00 15.0
00 2.00 0.25 0.50 1.00 4.00 1.00 11.7
14 1.00 0.33 5.00 0.25 1.00 1.00 8.73
50 0.20 1.00 0.50 1.00 1.00 1.00 5.20
83.5

Perbandingan antar kriteria


Kriteria K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
K1 1.00 0.20 0.17 2.00 0.13 0.33 1.00
K2 5.00 1.00 0.33 4.00 0.17 1.00 2.00
K3 6.00 3.00 1.00 5.00 4.00 0.33 3.00
K4 0.50 0.25 0.20 1.00 0.25 0.25 0.50
K5 8.00 6.00 0.25 4.00 1.00 0.50 3.00
K6 3.00 1.00 3.00 4.00 2.00 1.00 2.00
K7 1.00 0.50 0.33 2.00 0.33 0.50 1.00

Penilaian
Kriteria dari
ahli 2

Tabel perbandingan kriteria akumulasi dengan pembobotan


Perbandingan antar kriteria
Kriteria K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
K1 1.41 2.28 0.65 1.73 0.68 2.71 1.73
K2 2.28 1.41 0.76 2.08 0.82 1.41 2.65
K3 3.16 2.65 1.41 2.45 2.83 1.83 2.00
K4 1.22 1.80 1.10 1.41 1.50 2.29 1.58
K5 3.32 2.83 0.71 2.12 1.41 2.12 2.00
K6 1.77 1.41 1.83 3.00 1.50 1.41 1.73
K7 1.22 0.84 1.15 1.58 1.15 1.22 1.41
∑ 14.40 13.22 7.61 14.38 9.89 13.00 13.11
ANALISIS DAMPAK IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN DAN PERSEPSI
MASYARAKAT TENTANG ASLIH
FUNGSI LAHAN TERHADAP
TINGKAT KESEJAHTERAAN PETANI
(Farhan Firdiansyah)

Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Diponegoro
Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Kotak Pos 1296 Website:
http://www.fisip.undip.ac.id email: fisip@undip.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengkaji tentang implementasi kebijakan Rencana Tata Ruang
Wilayah di Kabupaten Semarang. Kebijakan Pembangunan di Kabupaten Semarang dilakukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini menganilisis dampak yang
terjadi dari implementasi kebijakan pembangunan, mengetahui dampak yang ditimbulkan dari
pembangunan dan persepsi masyarakat sekitar yang merasakan dampak dari kebijakan
pembangunan tersebut. Peneliti memilih Desa Banyukuning, Kecamatan Bandungan, Kabupaten
Semarang sebagai studi kasus penelitian. Dimana akan diukur dampak yang terjadi dari
implementasi kebijakan terhadap konversi lahan yang berpengaruh terhadap tingkat
kesejahteraan petani serta mengetahui persepsi masyarakat tentang implementasi kebijakan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang.
Metode yang digunakan dalam peneitian ini adalah metode penelitian kombinasi dengan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan metode deskriptif. Dalam memperoleh data,
peneliti menggunakan alat penelitian wawancara dengan informan penelitian adalah Badan
Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten Semarang, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Semarang dan Pihak lain yang terlibat dalam implementasi kebijakan serta menyebar kuisioner
kepasa masyarakat dan dianalisis menggunakan skala likert serta menguji pengaruh dengan
analisis Chi-Square. Peneliti juga menggunakan data sekunder yang berasal dari Peraturan
Daerah terkait serta sumber kepustakaan lain seperti buku dan jurnal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan masih kurang baik dari segi
pengawasan. Hal tersebut dibuktikan dengan tingginya angka konversi lahan pertanian yang
terjadi karna pengawasan yang kurang intensif. Selain itu dari hasil penelitian dari masyarakat
bahwa konversi lahan yang dilakukan oleh pemilik lahan dilakukan dengan tujuan untuk dapat
meningkatkan taraf hidup serta kebutuhan akan lahan rumah bagi masyarakat dari adanya
pertumbuhan penduduk. Dari hal tersebut memperlihatkan angka kesejahteraan petani yang
menurun melalui penghitungan Nilai Tukar Petani. Oleh karna itu, pemerintah harus lebih
memperketat pengawasan guna tercapainya implementasi yang sesuai dengan tujuan
kebijakan.
Kata Kunci : Implementasi Kebijakan,
Persepsi Masyarakat, Konversi
Lahan, Kesejahteraan Petani
ANALYSIS OF THE IMPACT AND PUBLIC PERCEPTION ON LAND

CONVERSION POLICY TOWARDS FARMERS’ WELFARE

A. PENDAHULUAN
Kebijakan penataan ruang dan wilayah adalah salah satu kebijakan yang disusun
guna dapat mengelola daerah dengan memanfaatkan potensi daerah yang tersedia
guna meningkatkan kondisi daerah baik dari segi infrastruktur, ekonomi maupun social.
Penataan ruang dimaksudkan agar pembangunan yang dilakukan dapat berkelanjutan
sehingga dapat mempertahankan kondisi lingkungan dengan baik namun dapat
dimanfaatkan untuk meingkatkan kesejahteraan daerah. Dalam pencapaian sebuah
kebijakan dibutuhkan suatu proses implementasi yang baik sehingga kebijakan yang
ditetapkan dapat berjalan sesuai dengan tujuannya.
Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis,
dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi
implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui
bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Edward
mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan
implementasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur
birokrasi.
Kabupaten Semarang adalah salah satu daerah yang memiliki permasalahan cukup
besar dalam implementasi kebijakan penataan ruang dan wilayah. Sebagai salah satu
daerah yang memiliki luas wilayah pertanian cukup besar menjadi tantangan bagi
pemerintah Kabupaten Semarang dalam mempertahankan lahan pertanian yang ada
guna mendukung keberlanjutan kondisi lingkungan yang seimbang. Tantangan yang
dihadapi oleh pemerintah Kabupaten Semarang sendiri yang ditujukan sebagai daerah
penyangga Kota Semarang yang menjadi Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah adalah tuntutan
pembangunan yang dapat menyangga Kota Semarang dalam berbagai sektor khususnya
infrasturktur.
Selain tantangan tersebut, masalah lain yang dihadapi oleh pemerintah
kabupaten Semarang adalah pertumbuhan penduduk yang cukup pesat di Kabupaten
Semarang yang memicu kebutuhan lahan perumahan bagi masyarakat. Selain lahan bagi
perumahan, tantangan lain adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya
petani yang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakat Kabupaten Semarang.
Secara khusus yakni Kecamatan Bandungan yang memiliki lokasi yang ditunjuk dalam
Perda Nomor 6 Tahun 2011 Kabupaten Semarang Tentang Rencana
Tata Ruang dan Wilayah sebagai daerah penyangga (Resapan Air) Kawasan yang ada
dibawahnya.
Kebutuhan lahan bagi perumahan serta tuntuan ekonomi yang semakin meningkat
mendorong para petani pemilik lahan pertanian untuk mengkonversi lahannya menjadi
lahan non-pertanian. Dalam kurun waktu mulai tahun 2011-2014 terjadi konversi lahan
pertanian sebanyak 28,27 Ha yang dikonversi menjadi rumah dan bangunan lainnya. Hal
tersebut menjadi tantangan berat bagi pemerintah Kabupaten Semarang dalam proses
implementasi kebijakan penataan ruang dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Semarang Tahun 2011-2031.

TINJAUAN PUSTAKA DAN METODOLOGI


A.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini menggunakan beberapa pemikiran teoritis yang diperoleh melalui tinjauan
pustaka sebagai instrument analisis, yaitu:
a. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis dimana terdapat banyak
faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. faktor
faktor tersebut digunakan guna mengukur keberhasilan sebuah kebijakan dalam proses
implementasi. Adapun beberapa faktor yang dimaksud antara lain komunikasi, sumber
daya, disposisi serta struktur birokrasi.
b. Persepsi masyarakat
Persepsi masyarakat yang dimaksud adalah respon dari masyarakat terhadap sebuah
permasalahan terkait kebijakan. adapun beberapa indicator yang digunakan untuk
melihat bagaimana persepsi masyarakat tentang kebijakan yang ada antara lain
Kognisi, Afeksi serta Evaluasi. Intrumen ini digunakan untuk melihat bagaimana
tanggapan masyarakat akan proses implementasi kebijakan serta dampaknya bagi
masyarakat yang menjadi target kebijaka tersebut.

Metodologi
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kombinasi antara metode kualitatif serta
kuantif. Metode kualitatif digunakan untuk menganalisis proses implementasi dari pihak
pemerintah yang menjadi policy implementor. Sedangkan metode kuantitaif digunakan
untuk melihat bagaimana persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan ruang dan
wilayah Kabupaten Semarang khususnya masyarakat Desa Banyukuning, Bandungan.
Penelitan disini berfokus pada bagaimana proses implementasi serta dampak yang terjadi
dari adanya kebijakan penataan ruang serta melihat bagaimana persepsi masyarakat
sebagai target kebijakan dalam menilai proses implementasi kebijakan.
Data pada penelitian ini diperoleh dari sumber data primer dan data sekunder,
dengan teknik pengumpulan data yang digunakan melalui observasi, wawancara, kuisioner
dan studi pustaka/dokumen. Dalam langkah wawancara peneliti melakukan wawancara
mendalam dengan pihak terkait yakni pemerintah Kabupaten Semarang dalam proses
implementasi kebijakan serta memberikan kuisioner kepada masyarakat sebagai target
kebijakan tersebut. Peneliti juga mencari informasi pelengkap terkait pengunaan lahan
yang ada di Kecamatan Bandungan melalui internet maupun studi pustaka mengunakan
dokumen/arsip pemerintah yang terkait dengan kebijakan penataan ruang.
Teknik analisis data peniliti menggunakan metode deskriptif untuk menganilis
temuan yang didapatkan peneliti dilapangan. Selain itu juga penliti melakukan pengujian
chi-square guna melihat adanya pengaruh antara persepsi masyarakat terhadap konversi
lahan pertanian yang terjadi di Kematan Bandungan Khususnya Desa Banyukuning.

PEMBAHASAN
Implementasi Kebijakan Tata Ruang dan Wilayah
Menurut Edward implementasi kebijakan adalah suatu proses yang dinamis, dimana
terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi. Faktor
tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut
terhadap implementasi. Diantara faktor yang mempengaruhi sebuah proses implementasi
antara lain komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Maka penulis
menggunakan teori Edward III guna melihat proses implementasi kebijakan penataan ruang
dan wilayah yang berdasarkan Perda Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Semarang 2011-2031.
1. Komunikasi
Dalam pelaksanaan kebijakan penataan ruang dan wilayah Kabupaten Semarang,
instansi yang berkaitan adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas PU
serta SKPD terkait lainnya yang ada di wilayah Kabupaten Semarang. Dalam
pelaksanaan kebijakan tata ruang, maka unsur utama yang harus dilakukan adalah
mensosialisasikan kebijakan tersebut serta mensosialisasikan dalam hal peruntukan
lahan.
Dalam hal sosialisasi kebijakan, dinas yang memiliki tugas untuk melaksanakan
adalah Dinas Pekerjaan Umum. Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas PU adalah
dengan terjun langsung ke tingkat kecamatan, penyediaan website yang berisi
informasi mengenai rencana tata ruang serta penyedian alat peraga guna menjadi
sumber informasi alternative bagi masyarakat. Dalam hal sosialisasi yang dilakukan
sudah cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian terhadap tingkat
pengetahuan masyarakat mengenai adanya sosialisasi kebijakan penataan ruang dan
wilayah yakni sebanyak 82% responden menyatakan setuju dengan adanya sosialisasi
kebijakan tersebut.
2. Sumber Daya
Dalam hal sumber daya, khususnya yang berkaitan sengan anggaran pembangunan
masih kurang memadai untuk mendukung proses pembangunan yang ditetapkan
dalam kebijakan penataan ruang dan wilayah Kabupaten Semarang. Dari
permasalahan tersebut menjadi kendala bagi pemerintah Kabupaten Semarang
untuk dapat melakukan pembangunan secara maksimal. Defisit anggaran yang
selalu terjadi masih menjadi permasalahan cukup sulit bagi pemerintah. Hal
tersebut juga dinyatakan oleh salah satu pemerintah Desa yang menjadi obyek
penelitian yakni Desa Banyukuning, bahwa anggaran yang didapat dari pemerintah
daerah masih kurang mencukupi untuk melakukan pembangunan di tingkat desa itu
sendiri.
Selain permasalah sumber daya terkait anggaran, permasalahan yang dihadapi oleh
Pemda adalah minimnya sumber daya manusia yang memadai. Hal tersebut memicu
pemetaan pemanfaatan lahan yang kurang maksimal sehingga hambatan dalam
pendapatan APBD terhambat karna permasalahan sulitnya investasi yang masuk.
Investor kesulitan mendapatkan lahan yang sesuai dengan harapan investor.
Sehingga pembangunan yang terjadi masih besifat sntralistik dan tidak merata.
3. Disposisi
Unsur disposisi ini berkaitan dengan komitmen dari pelaksana kebijakan.
berdasarkan pernyataan yang disampaikan dari para pelaksana kebijakan penataan
ruang dan wilayah memang telah menyatakan komitmennya dengan baik.
Namun jika melihat realitas yang ada memang pada dasarnya, komitmen yang
disampaikan belum sesuai dengan keadaan di lapangan. Pengawasan yang masih
cenderung kurangterhadap setiap penggunaan lahan serta peruntukan lahan yang
tidak sesuai dengan peruntukannya menjadi salah satu bentuk penataan ruang
belum berjalan dengan maksimal. Tingginya angka konversi lahan yang terjadi di
Kecamatan Bandungan sebanyak 28,06 Ha lahan pertanian telah dikonversikan
menjadi lahan non-pertanian.
Berdasarkan data yang didapat oleh peneliti, sebanyak 22,82 Ha lahan pertanian di
Desa Banyukuning dialih fungsikan peruntukannya untuk lahan non-pertanian
seperti rumah dan bangunan seluan 22,76 Ha. Angka tersebut cukup tinggi melihat
perbandingan jumlah konversi lahan yang ada di Kecamatan Bandungan. Lemahnya
pengawasan dalam hal perijinan menjadi kendala yang mempengaruhi terhadap
tingkat konversi lahan pertanian.
4. Struktur Birokrasi
Dalam hal struktur birokrasi tentu berkaitan dengan koordinasi. Untuk pelaksanaan
kebijakan penataan ruang dan wilayah, Pemkab Semarang telah melakukan proses
koordinasi dalam menyusun perencanaan penataan ruang dan wilayah. Perencanaan
yang bersifat partisipatif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat serta SKPD
lainnya melalui musrenbang dan musrenbangdes.
Namun disisi lain minimnya sumber daya yang memadai memicu pengawasan serta
proses pelaksanaan masih jauh dari kata maksimal. Lemahnya pengawan terkait
permasalahan perijinan berkaitan dengan sumber daya manusia yang masih kurang
memadai dalam mendukung pengawasan proses implementasi
A.2 Persepsi Masyarakat
Menurut Bimo Walgito, persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian,
penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga
menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang intergrated dalam diri
individu. Persepsi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yakni kognisi (Internal) untuk
mengukur tingkat pemahaman masyarakat terhadap kebijakan, afeksi (Eksternal) untuk
megukur sikap atau kepentingan yang ada dimasyarakat dalam merespon permasalahan
kebijakan penataan ruang, serta evaluasi (Eksternal) untuk melihat dampak yang
dirasakan oleh masyarakat dari adanya implementasi kebijakan penataan ruang.
1. Faktor Internal
a. Pengetahuan Masyarakat Terhadap Kebijakan
Dalam tahap kognisi yang mengukur tingkat pengetahuan masyarakat terhadap
kebijakan terkait penataan ruang dan wilayah peneliti melihat bahwa masyarakat
menyatakan sudah mengetahui tentang adanya kebijakan penataan
ruang dan wilayah berdasarkan Perda Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011.
Namun yang menjadi masalah ialah hampir sebagian masyarakat menyatakan tidak
mengetahui tentang Perda Provinsi Jawa Tentang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung Provinsi Jawa Tengah. Hal tersebut terbukti dari hasil
penelitian terhadap tingkat pengetahuan masyarakat tentang Perda Pengelolaan
Kawasan Lindung sebanyak 62,5% responden menyatakan tidak mengetahui terkait
Perda tentang pengelolaan kawasan lindung.
Permasalahan mengenai kurangnya pengetahuan masyarakat terkait Perda
Pengelolaan kawasan lindung menjadi faktor yang mempengaruhi tingginya laju
konversi lahan di Desa Banyukuning. Hal tersebut dibuktikan dari hal uji chi- square
antara tingkat pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan kawasan lindung
dengan laju konversi lahan yakni dengan hasil sebesar 0,000. Maka dapat
disimpulkan adanya pengaruh antara tingkat pengetahuan masyarakat terhadap laju
konversi lahan.
b. Faktor Ekonomi Masyarakat
Berdasarkan hasil penelitian tentang persepsi masyarakat terkait faktor yang
mempengaruhi keputusan masyarakat pemilik lahan untuk mengkonversikan
lahannya adalah karena kondisi ekonomi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
responden menyatakan setuju dengan kondisi ekonomi yang mendorong konversi
lahan dengan persentase sebesar 78% responden menyatakan setuju. Hal tersebut
juga tebukti dari hasil uji chi-square untuk melihat pengaruh antara kondisi ekonomi
masyarakat dengan konversi lahan yakni dengan angka 0,000 yang lebih kecil dari (α
= 0,005).
2. Faktor Eksternal
a. Kebijakan Pemerintah
Berdasarkan hasil penelitian tentang persepsi masyarakat mengenai kebijakan
penataan ruang dan wilayah, skor yang didapat yakni sebesar 151 dengan persentase
75,5% responden menyatakan lemahnya pengawasan menjadi faktor pendorong
terkait masalah konversi lahan yang ada di Desa Banyukuning. Dengan persentase
72,5 % masyarakat menyatakan bahwa terjadinya alih fungsi lahan yang tidak sesuai
dianggap karna pengawasan dari pemerintah yang lemah dimana masyarakat masih
sering melakukan perubahan fungsi lahan secara sepihak tanpa takut untuk
terdeteksi oleh pemerintah.
b. Pembangunan Desa
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai pengaruh
pembangunan desa terhadap konversi lahan di Desa Banyukuning diperoleh hasil 157
dengan persentase 78,5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebutuhan lahan untuk
pembangunan Desa Banyukuning sangat berpengaruh akan konversi lahan pertanian
untuk membangun sarana dan pra sarana desa guna memenuhi kebutuhan maysrakat
sekitar. Hampir seluruh responden menyatakan bahwa terjadinya alih fungsi lahan
yang terjadi adalah untuk melakukan pembangunan desa di sektor non-pertanian
seperti sarana dan prasarana desa. Dari persentase responden sebesar 82,5%
menyetujui bahwa alih fungsi lahan yang terjadi dilakukan guna mendukung proses
pembangunan sarana dan prasarana desa Banyukuning.
3. Dampak Konversi Lahan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai pengaruh


konversi lahan terhadap kesejahteraan petani di Desa Banyukuning diperoleh hasil dengan
total skor 139 dengan persentase 69,5 % sehingga dapat disimpulkan bahawa masyarakat
setuju dengan adanya pengaruh dari konversi lahan pertanian terhadap tingkat
kesejahteraan petani yang diukur dari menurunnya pendapatan petani. Rincian dari hasil
penelitian yakni sebanyak 2 responden menyatakan sangat setuju, 24 responden
menyatakan setuju, 5 responden menyatakan netral serta 9 responden menyatakan tidak
setuju.

Selanjutnya peneliti melakukan uji chi square untuk melihat apakah ada hubungan
antara pekerjaan responden dengan dampak yang dialami responden terkait pendapatan
yang menurun. Dari hasil uji chi square di dapatkan hasil 0,001 yang artinya lebih kecil
dari (α= 0,005) maka dapat disimpulkan bahwa ada kaitan antara pekerjaan responden
yang mengalami alih fungsi lahan dengan menurunnya pendapatan mereka. Dari hasil
descriptive didapat bahwa 10 buruh tani dan 8 petani yang menyatakan setuju dengan
menurunnya pendapatan petani yang dipengaruhi dari konversi lahan yang terjadi di Desa
Banyukuning.

B. Penutup
Dari hasil penelitian terkait implementasi Perda RTRW terdapat beberapa masalah
utama yang menghambat proses implementasi antara lain Sumber Daya Manusia yang
kurang memadai untuk melakukan pemetaan pemanfaatan lahan. Dari minimnya SDM
yang memadai mengakibatkan pemetaan pemanfaatan ruang dan wilayah kurang
efektif sehingga banyak lahan produktif yang dapat dimanfaatkan untuk sektor non-
pertanian sehingga lahan yang tersedia tidak dapat bernilai guna baik dalam
mendukung pendapatan daerah yang mendukung untuk melakukan pembangunan di
sektor lainnya. Masalah tersebut terjadi karna kebanyakan investor yang ingin
menginvestasikan modal di Daerah tertentu terhambat karna lahan yang tersedia
tidak sesuai dengan yang diharapkan dari investor tersebut sehingga pemasukan bagi
pemerintah guna mendanai urusan pembangunan terhambat masalah keterbatasan
anggaran.

Selain masalah diatas, masalah yang terjadi dilapangan adalah pemanfaatan


lahan secara sepihak oleh pemilik lahan yang tidak memperhatikan regulasi tentang
pengelolaan kawasan daerah Provinsi Jawa Tengah. Masalah yang timbul karna
lemahnya regulasi yang ada dapat memicu pelanggaran yang sulit dicegah karna
pemilik lahan menganggap regulasi yang ada tidak terlalu memberatkan atau bahkan
masyarakat tidak mengetahui tentang adanya larangan pemanfaatan yang tidak
sesuai dengan kebijakan. Selain itu juga memang pengawasan dari pihak pemerintah
yang kurang sehingga pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kebijakan tidak
terdeteksi secara dini yang menyebabkan laju konversi lahan semakin tinggi.
Pemanfaatan lahan pertanian yang dikonversi menjadi non-pertanian oleh pemilik
lahan disebabkan karna dorongan ekonomi yang mendorong pemilik lahan untuk
dapat memanfaatkan sektor non-pertanian sebagai sumber pendapatan alternative
yang dianggap dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.

Daftar Pustaka BUKU


Abidin, Said Zainal. 2012. Kebijakan Publik “Edisi 2”. Salemba Humanika, Jakarta.

Setyadi, Iwan Tritenty. 2005. Evaluasi Implementasi Proyek Inovasi Manajemen


Perkotaan

Widodo, Joko. 2011. Analisis Kebjakan Publik. Malang: Bayumedia

Winarno, Budi. 2008. Teori dan Proses Kebijakan Publik. MedPress. Yogyakarta

Sugiyono. 2008. “Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R &D”.

Bandung:
Alfabeta
Creswell. John. W. 2010. Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. Jakarta: Pustaka Belajar.

DATA SEKUNDER
BPS Provinsi Jawa Tengah

Data Strategis Kebupaten Bandungan Tahun 2015

Kecamatan Bandungan Dalam Angka Tahun 2012 –

2015

STUDI KASUS

Studi Kasus berasal dari terjemahan dalam bahasa Inggris “A Case Study” atau
“Case Studies”. Kata “Kasus” diambil dari kata “Case” yang menurut Kamus Oxford
Advanced Learner’s Dictionary of Current English (1989; 173), diartikan sebagai 1).
“instance or example of the occurance of sth., 2). “actual state of affairs; situation”,
dan 3). “circumstances or special conditions relating to a person or thing”. Secara
berurutan artinya ialah 1). contoh kejadian sesuatu, 2). kondisi aktual dari keadaan
atau situasi, dan 3). lingkungan atau kondisi tertentu tentang orang atau sesuatu.

Studi kasus (case study) berciri kualitatif namun sebagian lagi tidak. Misalnya studi
kasus penyakit pada kedokteran, rekam medis lebih bercorak kuantitatif daripada
kualitatif. Sebagai pendekatan, kunci penelitian studi kasus memungkinkan untuk
menyelidiki suatu peristiwa, situasi, atau kondisi sosial tertentu dan untuk memberikan
wawasan dalam proses yang menjelaskan bagaimana peristiwa atau situasi tertentu terjadi
(Hodgetts & Stolte, 2012). Lebih lanjut Hodgetts & Stolte (2003) menjelaskan bahwa studi
kasus individu, kelompok, komunitas membantu untuk menunjukkan hal- hal penting yang
menjadi perhatian, proses sosial masyarakat dalam peristiwa yang konkret, pengalaman
pemangku kepentingan. Kasus dapat mengilustrasikan bagaimana masalah dapat diatasi
melalui penelitian.
Secara lebih teknis, meminjam Louis Smith, Stake menjelaskan kasus (case) yang
dimaksudkan sebagai a“bounded system”, sebuah sistem yang tidak berdiri sendiri. Sebab,
hakikatnya karena sulit memahami sebuah kasus tanpa memperhatikan kasus yang lain.
Ada bagian-bagian lain yang bekerja untuk sistem tersebut secara integratif dan terpola.
Karena tidak berdiri sendiri, maka sebuah kasus hanya bisa dipahami ketika peneliti juga
memahami kasus lain. Jika ada beberapa kasus di suatu lembaga atau organisasi, peneliti
Studi Kasus sebaiknya memilih satu kasus terpilih saja atas dasar prioritas. Tetapi jika ada
lebih dari satu kasus yang sama-sama menariknya sehingga penelitiannya menjadi Studi
Multi-Kasus, maka peneliti harus menguasai kesemuanya dengan baik untuk selanjutnya
membandingkannya satu dengan yang lain.
Menurut Endraswara (2012: 78), yang terakhir ini bisa disebut sebagai Studi Kasus
Kolektif (Collective Case Study). Walau kasus yang diteliti lebih dari satu (multi- kasus),
prosedurnya sama dengan studi kasus tunggal. Sebab, baik Studi Multi-Kasus
maupun Multi-Situs merupakan pengembangan dari metode Studi Kasus. Terkait dengan
pertanyaan yang lazim diajukan dalam metode Studi Kasus, karena hendak memahami
fenomena secara mendalam, bahkan mengeksplorasi dan mengelaborasinya, menurut Yin
(1994: 21) tidak cukup jika pertanyaan Studi Kasus hanya menanyakan “apa”, (what),
tetapi juga “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why). Pertanyaan “apa” dimaksudkan
untuk memperoleh pengetahuan deskriptif (descriptive knowledge), “bagaimana” (how)
untuk memperoleh pengetahuan eksplanatif (explanative knowledge), dan “mengapa”
(why) untuk memperoleh pengetahuan eksploratif (explorative knowledge). Yin
menekankan penggunaan pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”, karena kedua
pertanyaan tersebut dipandang sangat tepat untuk memperoleh pengetahuan yang
mendalam tentang gejala yang dikaji. Selain itu, bentuk pertanyaan akan menentukan
strategi yang digunakan untuk memperoleh data.
Penting untuk dipahami bahwa mendefinisikan studi kasus, tidak ada definisi tunggal
termasuk dalam ilmu sosial terdapat definisi yang luas dan terbagi dalam empat kategori
(Hentz, 2017). Teaching case tidak perlu menggambarkan individu, peristiwa atau proses
tertentu secara akurat, karena tujuan utamanya untuk meningkatkan pembelajaran.
Teaching case dapat berupa ilustrasi dan meskipun berasal dari pengamatan studi kasus
tidak selalu sesuai dengan metodologi penelitian tertentu.
Kriteria untuk mengembangkan kasus berasal dari single case, dan jauh berbeda dari
studi kasus untuk tujuan penelitian. Misalnya studi kasus gangguan psikologi klinis yang
didasarkan pada penelitian tertentu. Studi kasus ini dikembangkan menggunakan
kombinasi kriteria diagnostik dan observasi klinis. Case history digunakan untuk
peyimpanan catatan, tujuan utamanya bukan penelitian namun kasus-kasus ini bisa jadi
berguna sebagai data dalam penelitian. Case work digunakan untuk menggambarkan
manajemen perawatan kesehatan untuk pasien atau populasi. Case research/case study
research dimaksudkan dengan tujuan menyelidiki kegiatan atau proses kompleks yang
tidak mudah dipisahkan dari konteks sosial di mana hal itu terjadi. Kategori ini
mempertahankan penggunaan metodologi dalam penelitiannya untuk menyajikan temuan
yang akurat dan dapat diandalkan untuk mewakili data.
Merriam & Tisdell (2015) mendefinisikan studi kasus sebagai diskripsi dan analisis
mendalam dari bounded system.
Apakah Sudi Kasus Itu
a. Mengembangkan sebuah analisis mendalam dari sebuah kasus yang tunggal
atau ganda.
b. Studi / kajian mendalam terhadap kasus atau kasuskasus.
c. Biasa digunakan dalam ilmu politik, sosiologi, evaluasi, studi masyarakat urban,
dan ilmu sosial lainnya.

Apa Konsep Utamanya?


1. Pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu
kasus dalam konteksnya yang alamiah tanpa intervensi pihak luar.
2. Tren studi kasus ialah menyoroti sutau keputusan atau seperangkat keputusan,
mengapa keputusan itu diambil, bagaimana ia diterapkan, dan apa hasilnya
(Yin, 1981).
3. Studi kasus berlaku apabila suatu pertanyaan bagaimana (how) dan mengapa
(why) diajukan terhadap seperangkat peristiwa masa kini yang mustahil atau
setidaknya sulit dikontrol.

Kasus ialah suatu serangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara intensif, terinci
dan mendalam tentang suatu program, peristiwa, dan aktivitas, baik pada tingkat
perorangan, sekelompok orang, lembaga, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan
mendalam tentang peristiwa tersebut. Biasanya, peristiwa yang dipilih yang selanjutnya
disebut kasus adalah hal yang aktual (real-life events), yang sedang berlangsung, bukan
sesuatu yang sudah lewat.
Kasus (case) sendiri itu apa? Yang dimaksud kasus ialah kejadian atau peristiwa, bisa
sangat sederhana bisa pula kompleks. Karenanya, peneliti memilih salah satu saja yang
benar-benar spesifik. Peristiwanya itu sendiri tergolong “unik”. “Unik” artinya hanya
terjadi di situs atau lokus tertentu. Untuk menentukan “keunikan” sebuah kasus atau
peristiwa, Stake membuat rambu-rambu untuk menjadi pertimbangan peneliti yang
meliputi:
a) hakikat atau sifat kasus itu sendiri,
b) latar belakang terjadinya kasus,
c) seting fisik kasus tersebut,
d) konteks yang mengitarinya, meliputi faktor ekonomi, politik, hukum dan seni,
e) kasus-kasus lain yang dapat menjelaskan kasus tersebut,
f) informan yang menguasai kasus yang diteliti.
Herdiansyah (2015) menjelaskan penelitian studi kasus merupakan rancangan
penelitian yang bersifat komprehensif, intens, memerinci, dan mendalam, serta lebih
diarahkan sebagai upaya untuk menelaah masalah – masalah atau fenomena yang bersifat
kontemporer (berbatas waktu). Pertimbangan dalam mengabungkan kedua rancangan
penelitian tersebut mengacu pada pendapat Hanurawan (2016) yang menyatakan
penelitian studi kasus dapat digabung dengan model – model atau rancangan penelitian
yang lain, seperti etnografi dan fenomenologi. Pengabungan rancangan studi kasus dengan
rancangan fenomenologi dikarenakan penelitian ini memiliki hubungan dengan esensi
pengalaman seseorang terkait suatu fenomena.
Pada umumnya, studi kasus akan menjawab 1 atau lebih pertanyaan penelitian yang
diawali denga kata “how” or “why.” . Pertanyaan penelitian akan fokus pada sejumlah
kejadian yang sedang diteliti dan mencari hubungannya. Penelitian studi kasus (case
study) adalah salah satu bentuk penelitian kualitatif yang berbasis pada pemahaman dan
perilaku manusia berdasarkan pada opini manusia (Polit & Beck, 2004). Subjek dalam
penelitian dapat berupa individu, group, instansiatau pun masyarakat. Dalam proses
penelitian, terdapat beberapa langkah yang dibuat, yaitu, menentukan masalah , memilih
disain dan instrumen yang sesuai, mengumpulkan data, menganalisis data yang diperoleh
dan menyiapkan laporan hasil penelitian. Hasil akhir dari penelitian
adalah suatu gambaran yang luas dan dalam aka suatu fenomena tertentu. Upaya yang
dapat dilakukan oleh untuk mengembangkan kemampuan peneliti dalam membuat suatu
disain studi kasus dapat dimulai dengan membuat disain penelitian pemula. Masalah
penelitian yang diambil dapat berupa fenomena sederhana yang sering ditemui di
lingkungan sekitar. Dengan sering melatih kemampuan diri membuat suatu penelitian,
kemampuan peneliti diharapkan akan meningkat (NN&HH).

Pengertian Metode Studi Kasus


Metode studi kasus adalah suatu desain pembelajaran berbasis tingkat satuan
pendidikan metode ini berbentuk penjelasan tentang masalah, kejadian atau situasi
tertentu, kemudian mahasiswa ditugasi mencari alternatif pemecahannya kemudian
metode ini dapat juga digunakan untuk mengembangkan berpikir kritis dan menemukan
solusi baru dari sutu topik yang dipecahkan. (Yamin, 2007: 156).
Metode ini dapat dikembangkan atau diterapkan pada mahasiswa, manakala
mahasiswa memiliki pengetahuan awal tentang masalah. Di dalam kehidupan manusia
sebagai pribadi maupun makhluk sosial menemukan banyak kasus yang dihadapi, yang
perlu dipecahkan.
Metode studi kasus ini mendorong penetapan masalah, investigasi dan persuasi yang
harus dilakukan oleh mahasiswa. Oleh karena itu, satu dari elemen terpenting metode
studi kasus adalah termasuk didalamnya diskusi secara kolaboratif isu yang ada pada
kasus. Dengan cara itu, mahasiswa dapat mengidentifikasi apa yang mereka ketahui dan
apa yang perlu mereka ketahui dengan tujuan untuk memahami kasus dan menetapkan
masalah untuk diinvestigasi. Dengan adanya diskusi kolaboratif tersebut, mahasiswa tentu
berinteraksi dengan sesamanya (teman sekelompok) dalam melakukan langkah-langkah
pembelajaran studi kasus. Terlebih lagi saat mahasiswa melakukan kegiatan memecahkan
masalah dan mengambil keputusan, interaksi antar mahasiswa sangatlah dibutuhkan.

Berikut adalah beberapa-beberapa contoh peristiwa yang bisa diangkat menjadi


objek Penelitian Studi Kasus.
a. Misalnya, sebuah sekolah memperoleh banyak prestasi, di bidang akademik,
olah raga, kebersihan dan lingkungan sekolah, baik di tingkat lokal, provinsi
bahkan nasional. Prestasi-prestasi itu diraih ketika sekolah dipimpin oleh
seorang ibu yang diangkat dari salah seorang guru di sekolah tersebut. Selama
menjadi guru, prestasi ibu itu biasa-biasa saja dan praktis tidak ada yang
menonjol. Tetapi semua warga sekolah mengenal ibu itu sebagai sosok yang
tekun dan tidak suka menonjolkan diri. Model kepemimpinan ibu kepala
sekolah itu pantas dijadikan “kasus” untuk diteliti mengapa itu bisa terjadi. Jika
peneliti bisa menggali model kepemimpinan ibu kepala sekolah, akan bisa
diperoleh banyak pelajaran yang bermanfaat, tidak saja bagi peneliti itu sendiri
dan sekolah tetapi juga masyarakat luas. Contoh kasus di atas bisa diteliti oleh
mahasiswa bidang Manajemen Pendidikan.
b. Di sebuah kantor perusahaan swasta sering terjadi keributan karena uang dan
barang-barang milik karyawan sering hilang. Berkali-kali manajer perusahaan
memberi pengarahan dan mengingatkan jika tertangkap pelakunya akan diberi
sanksi, mulai dari sanksi ringan hingga berat, sampai pemecatan. Bahkan
pernah mengundang polisi untuk memberi pengarahan serupa. Peringatan
berkali-kali dari pimpinan perusahaan dan kepolisian tidak ada efeknya sama
sekali. Buktinya pencurian masih saja terus terjadi. Nah, suatu kali perusahaan
mengundang seorang da’i untuk berceramah di hari peringatan keagamaan.
Karena sebagian besar karyawan senang, sang da’i itu diundang lagi beberapa
kali. Dalam ceramahnya, da’i itu tidak lupa menyelipkan makna kejujuran dalam
hidup dan apa konsekwensinya di hadapan Tuhan jika seseorang tidak jujur.
Sejak itu pencurian mereda, bahkan akhirnya tidak ada sama sekali. Jelas sekali
bahwa sentuhan spiritualitas jauh lebih efektif daripada peringatan atau
ancaman dari pimpinan. Peristiwa tersebut bisa diangkat menjadi “kasus”
penelitian Studi Kasus.
c. Sebuah sekolah memiliki masukan (input) siswa yang sangat baik, umumnya
dari anak-anak keluarga kelas menengah ke atas. Prestasi demi prestasi pun
diraih oleh para siswa hampir di semua bidang. Di sekolah lain yang tidak jauh
lokasinya dari sekolah pertama masukannya biasa-biasa saja, dan dari siswa-
siswa kalangan masyarakat menengah ke bawah. Prestasi siswa di sekolah
kedua tersebut tidak kalah hebatnya dari yang pertama. Bahkan di beberapa
cabang olah raga prestasinya melebihi sekolah pertama. Prestasi sekolah kedua
bisa diangkat sebagai “kasus” untuk dikaji lebih mendalam melalui Studi Kasus.
d. Mahasiswa Jurusan Bahasa bisa meneliti kasus yang terjadi pada mahasiswa
internasional di sebuah perguruan tinggi dengan fenomena seperti berikut.
Mahasiswa dari negara Timur Tengah yang bahasa ibunya bahasa Arab jauh
lebih cepat belajar bahasa Indonesia dibanding mahasiswa yang bahasa ibunya
bahasa Inggris. Begitu juga mahasiswa yang berasal negara-negara bekas Uni
Soviet mengalami kesulitan luar biasa belajar bahasa Indonesia. Mahasiswa dari
Cina yang menguasai bahasa Arab dapat belajar dan menguasai bahasa
Indonesia lebih cepat daripada mahasiswa Cina yang tidak bisa bahasa
Arab.
Fenomena pembelajaran bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing bisa diangkat
menjadi “kasus” penelitian Studi Kasus.

Jenis – Jenis Studi Kasus


Terdapat 3 (tiga) macam tipe studi kasus, yaitu:

a. Studi kasus intrinsik (intrinsic case study), apabila kasus yang dipelajari secara
mendalam mengandung hal-hal yang menarik untuk dipelajari berasal dari
kasus itu sendiri, atau dapat dikatakan mengandung minat intrinsik (intrinsic
interest).
b. Studi kasus intrumental (intrumental case study), apabila kasus yang dipelajari
secara mendalam karena hasilnya akan dipergunakan untuk memperbaiki atau
menyempurnakan teori yang telah ada atau untuk menyusun teori baru. Hal ini
dapat dikatakan studi kasus instrumental, minat untuk mempelajarinya berada
di luar kasusnya atau minat eksternal (external interest).
c. Studi kasus kolektif (collective case study), apabila kasus yang dipelajari secara
mendalam merupakan beberapa (kelompok) kasus, walaupun masing-masing
kasus individual dalam kelompok itu dipelajari, dengan maksud untuk
mendapatkan karakteristik umum, karena setiap kasus mempunyai ciri
tersendiri yang bervariasi.

Kritik terhadap Studi Kasus


Pendekatan studi kasus tidak lepas dari kritik. Idowu (2016) menegaskan bahwa
mayoritas kritik terhadap metodologi dalam studi kasus. Kritik yang paling sering adalah
ketergantungan pada kasus tunggal yang menjadikannya tidak dapat digeneralisasi. Studi
sejumlah kecil kasus dalam studi kasus tidak dapat digunakan untuk membangun
keandalan temuan. Penelitian studi kasus dianggap mengandung bias terhadap verifikasi,
dengan kata lain studi kasus memiliki kecenderungan untuk mengkonfirmasi ide-ide yang
terbentuk sebelumnya oleh peneliti. Kritik tersebut diarahkan pada statistik dan bukan
generalisasi analitik yang menjadi dasar studi kasus, di mana dalam generalisasi analitik,
teori yang dikembangkan sebelumnya digunakan sebagai template untuk membandingkan
hasil empiris dari studi kasus.
Beberapa penelitian menggunakan judul studi kasus, contoh penelitian Budi (2006)
tentang studi kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di kota
Yogyakarta kurang dapat memberi-kan gambaran ‘bagaimana’ kekerasan dalam rumah
tangga itu terjadi, tidak menyebutkan desain studi kasus yang dimaksudkan, analisis data
dilakukan secara kuantitatif. Demikian pula dengan penelitian Nurmala, Anam & Suyono
(2006) tentang studi kasus perempuan lesbian (butchy) di Yogyakarta kurang dapat
memberikan kesimpulan bagaimana dina-mika psikologis perempuan lesbian yang
dimaksud, sumber data tunggal berasal dari wawancara, hasil penelitian belum merujuk
pada parameter penelitian. Satu artikel penelitian Novita & Siswati (2010) menggu-nakan
terminologi desain studi kasus tunggal dalam sebuah studi eksperimen pengaruh social
stories terhadap ketrampilan sosial anak. Demikian pula banyak peneli- tian yang
menggunakan ‘studi kasus’ di luar atrikel yang digunakan dalam pemba-hasan ini, untuk
menjelaskan terminologi konteks atau tempat, seperti studi kasus di PT. X, di sekolah A
tetapi di dalam laporan penelitian atau publikasi artikel berisi analisis kuantitatif.
Beberapa penelitian tersebut belum menggunakan studi kasus sebagai sebuah metode
dalam penelitian.

Ciri-ciri Studi Kasus yang Baik


a. Menyangkut sesuatu yang luar biasa, yang berkaitan dengan kepentingan
umum atau bahkan dengan kepentingan nasional.
b. Batas-batasnya dapat ditentukan dengan jelas, kelengkapan ini juga
ditunjukkan oleh kedalaman dan keluasan data yang digali peneliti, dan
kasusnya mampu diselesaikan oleh penelitinya dengan balk dan tepat
meskipun dihadang oleh berbagai keterbatasan.
c. Mampu mengantisipasi berbagai alternatif jawaban dan sudut pandang yang
berbeda-beda.
d. Keempat, studi kasus mampu menunjukkan bukti-bukti yang paling penting
saja, baik yang mendukung pandangan peneliti maupun yang tidak
mendasarkan pninsip selektifitas.
e. Hasilnya ditulis dengan gaya yang menarik sehingga mampu terkomunikasi
pada pembaca.

Selain hal tersebut studi kasus dalam studi kasus fokusnya terarah pada hal yang
khusus atau unik. Kenunikan pada kasus berkaitan dengan :
a) Hakikat (the nature) kasus
b) Latar belakang sejarah kasus
c) Latar (setting) fisik
d) Konteks dengan bidang lain; ekonomi, politik, hukum, dan estetika
e) Mempelajari kasus-kasus lain yang berkaitan dengan kasus yang dipelajari
f) Informan-informan yang dipilih adalah orang-orang yang mengetahui kasus ini

Kapan Studi Kasus Mulai


Digunakan?
Hingga saat ini Studi Kasus sudah berusia lebih dari 70 tahun. Sejak kemunculannya,
jenis penelitian ini memperoleh banyak kritik karena dianggap analisisnya lemah, tidak
objektif dan penuh bias, tidak seperti penelitian kuantitatif yang menggunakan statistik
sebagai alat analisis. Kritik semacam itu berlaku untuk semua jenis penelitian kualitatif.
Anehnya, walaupun memperoleh banyak kritik, Studi Kasus tetap digunakan bahkan
semakin meluas, khususnya untuk studi ilmu-ilmu sosial --- mulai dari psikologi, sosiologi,
ilmu politik, antropologi, sejarah, dan ekonomi hingga ilmu-ilmu terapan seperti
perencanaan kota, ilmu manajemen, pekerjaan sosial, dan pendidikan.
Selain itu, metodenya juga semakin diminati banyak peneliti untuk kepentingan
penyusunan karya ilmiah seperti tesis dan disertasi karena dapat mengeksplorasi dan
mengelaborasi suatu kasus secara mendalam dan komprehensif. Tulisan ini secara khusus
hanya membahas Studi Kasus yang digunakan dalam metode penelitian kualitatif. Sebab,
realitanya Studi Kasus juga dapat digunakan dalam metode penelitian kuantitatif, yakni Ex
Post Facto Research. Misalnya, peneliti Studi Kasus meneliti seorang tokoh atau pemimpin
yang jatuh dari kekuasaannya. Dia dipaksa mundur oleh rakyatnya, karena dinilai gagal
menjalankan amanah. Dari penelitian ini diharapkan dapat diambil pelajaran atau hikmah
untuk generasi yang akan datang agar tidak terulang. Karena peristiwanya sudah selesai,
maka penelitiannya disebut Ex Post Facto Research. Sebagaimana diketahui, Ex Post Facto
Research merupakan salah satu jenis penelitian Kuantitatif selain Penelitian Korelasional,
Survei, Polling Pendapat, dan Sensus.
Dari sisi cakupan wilayah kajiannya, Studi Kasus terbatas pada wilayah yang sempit
(mikro), karena mengkaji perilaku pada tingkat individu, kelompok, lembaga dan
organisasi. Kasusnya pun dibatasi pada pada jenis kasus tertentu, di tempat atau
lokus tertentu, dan dalam waktu tertentu. Karena wilayah cakupannya sempit, penelitian
Studi Kasus tidak dimaksudkan untuk mengambil kesimpulan secara umum atau
memperoleh generalisasi, karena itu tidak memerlukan populasi dan sampel. Namun
demikian, untuk kepentingan disertasi penelitian Studi Kasus diharapkan dapat
menghasilkan temuan yang dapat berlaku di tempat lain jika ciri-ciri dan kondisinya sama
atau mirip dengan tempat di mana penelitian dilakukan, yang lazim disebut sebagai
transferabilitas.
Tentu saja untuk dapat melakukan transferabilitas, temuan penelitian harus
diabstraksikan untuk menjadi konsep. Di sini peneliti perlu melakukan kontemplasi secara
serius dengan membaca kembali teori, hasil-hasil penelitian terdahulu, pendapat atau
pandangan para ahli sebagaimana ditulis pada bab kajian pustaka.
Walaupun cakupan atau wilayah kajiannya sempit, secara substantif penelitian Studi
Kasus sangat mendalam, dan diharapkan dari pemahaman yang mendalam itu dapat
diperoleh sebuah konsep atau teori tertentu untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Karena itu, unit analisis Studi Kasus ialah perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi,
bukan masyarakat secara luas. Adalah obsesi setiap peneliti untuk dapat menemukan hal-
hal baru dan dapat berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan, tidak terkecuali
peneliti Studi Kasus. Hal-hal yang dapat disumbangkan untuk ilmu pengetahuan berupa
konsep, proposisi, definisi, model, rumus, dalil, paradigma, teori dan lain-lain.

Bagaimana Studi Kasus Dilakukan?


Seperti halnya jenis penelitian kualitatif lainnya, yakni fenomenologi, etnografi,
etnometodologi, grounded research dan studi teks, Studi Kasus juga dilakukan dalam latar
alamiah, holistik dan mendalam. Alamiah artinya kegiatan pemerolehan data dilakukan
dalam konteks kehidupan nyata (real-life events). Tidak perlu ada perlakuan- perlakuan
tertentu baik terhadap subjek penelitian maupun konteks di mana penelitian dilakukan.
Biarkan semuanya berlangsung secara alamiah. Holistik artinya peneliti harus bisa
memperoleh informasi yang akan menjadi data secara komprehensif sehingga tidak
meninggalkan informasi yang tersisa. Dari data akan diperoleh fakta atau realitas. Agar
memperoleh informasi yang komprehensif, peneliti tidak saja menggali informasi dari
partisipan dan informan utama melalui wawancara mendalam, tetapi juga orang-
orang di sekitar subjek penelitian, catatan-catatan harian mengenai kegiatan subjek atau
rekam jejak subjek.
Terkait itu, Yunus (2010: 264) menggambarkan objek yang diteliti dalam penelitian
Studi Kasus hanya mencitrakan dirinya sendiri secara mendalam/detail/lengkap untuk
memperoleh gambaran yang utuh dari objek (wholeness) dalam artian bahwa data yang
dikumpulkan dalam studi dipelajari sebagai suatu keseluruhan, utuh yang terintegrasi. Itu
sebabnya penelitian Studi Kasus bersifat eksploratif. Sifat objek kajian yang sangat khusus
menjadi bahan pertimbangan utama peneliti untuk mengelaborasinya dengan cara
mengeksplorasi secara mendalam. Peneliti tidak hanya memahami kasus dari luarnya saja,
tetapi juga dari dalam sebagai entitas yang utuh dan detail. Itu sebabnya salah satu teknik
pengumpulan datanya melalui wawancara mendalam. Untuk memahami lebih jauh tentang
subjek, peneliti Studi Kasus juga dapat memperoleh data melalui riwayat hidupnya.
Selain wawancara mendalam, ada lima teknik pengumpulan data penelitian Studi
Kasus, yakni dokumentasi, observasi langsung, observasi terlibat (participant observation),
dan artifak fisik. Masing-masing untuk saling melengkapi. Inilah kekuatan Studi Kasus
dibanding metode lain dalam penelitian kualitatif. Selama ini saya melihat mahasiswa yang
menggunakan Studi Kasus hanya mengandalkan wawancara saja sebagai cara untuk
mengumpulkan data, sehingga data kurang cukup atau kurang melimpah. Sedangkan
mendalam artinya peneliti tidak saja menangkap makna dari sesuatu yang tersurat, tetapi
juga yang tersirat. Dengan kata lain, peneliti Studi Kasus diharapkan dapat mengungkap
hal-hal mendalam yang tidak dapat diungkap oleh orang biasa. Di sini peneliti dituntut
untuk memiliki kepekaan teoretik mengenai topik atau tema yang diteliti. Misalnya,
mahasiswa Program Studi Manajemen Pendidikan sedang melakukan penelitian untuk
kepentingan penyusunan tesis/disertasi mengenai kepemimpinan seorang kepala sekolah.
Melalui wawancara mendalam, peneliti tidak begitu saja menerima informasi dari kepala
sekolah sebagai subjek penelitian, tetapi juga memaknai ucapan-ucapannya. Peneliti harus
bisa menangkap hal-hal yang tersirat dari setiap ujaran yang tersurat.
Dengan menggunakan payung paradigma fenomenologi, Studi Kasus memusatkan
perhatian pada satu objek tertentu yang diangkat sebagai sebuah kasus untuk dikaji secara
mendalam sehingga mampu membongkar realitas di balik fenomena. Dalam
pandangan paradigma fenomenologi, yang tampak atau kasat mata pada hakikatnya bukan
sesuatu yang riel (realitas). Itu hanya pantulan dari yang ada di dalam. Tugas peneliti
Studi Kasus ialah menggali sesuatu yang tidak tampak tersebut untuk menjadi
pengetahuan yang tampak. Karena itu dapat pula diartikan Studi Kasus sebagai proses
mengkaji atau memahami sebuah kasus dan sekaligus mencari hasilnya.
Sejauh pengamatan saya selama ini, dari tesis dan disertasi yang saya uji, para
mahasiswa masih gagal menangkap makna yang mendalam dari setiap kasus yang diangkat.
Padahal, justru itu inti dari penelitian Studi Kasus. Ketika ujian, umumnya mahasiswa
hanya bercerita panjang lebar tentang peristiwa yang diangkat menjadi kasus, dan tidak
mengambil intisari secara konseptual. Kegagalan tersebut terjadi karena beberapa hal.
Pertama, kurang memiliki kepekaan teoretik karena kurangnya bacaan atau literatur
terkait tema yang diangkat. Kedua, karena sedikitnya pengalaman melakukan penelitian.
Ketiga, karena alasan pragmatis, mahasiswa ingin cepat-cepat menyelesaikan studinya.

Mengapa Memilih Metode Studi


Kasus?
Menggunakan istilah “Studi Kasus” artinya ialah peneliti ingin menggali informasi
apa yang akhirnya bisa dipelajari atau ditarik dari sebuah kasus, baik kasus tunggal
maupun jamak. Stake (dalam Denzin dan Lincoln, eds. 1994; 236) menyebutnya “what can
be learned from a single case?. Agar sebuah kasus bisa digali maknanya peneliti harus
pandai-pandai memilah dan memilih kasus macam apa yang layak diangkat menjadi tema
penelitian. Bobot kualitas kasus harus menjadi pertimbangan utama. Dengan demikian,
tidak semua persoalan atau kasus baik pada tingkat perorangan, kelompok atau lembaga
bisa dijadikan bahan kajian Studi Kasus. Begitu juga tidak setiap pertanyaan bisa diangkat
menjadi pertanyaan penelitian (research questions). Ada syarat-syarat tertentu,
sebagaimana dijelaskan di muka, agar sebuah peristiwa layak diangkat menjadi “kasus”
penelitian Studi Kasus. Begitu juga ada syarat-syarat tertentu agar sebuah pertanyaan bisa
diangkat menjadi pertanyaan penelitian.
Salah satu hal penting untuk dipertimbangkan dalam memilih kasus ialah peneliti
yakin bahwa dari kasus tersebut akan dapat diperoleh pengetahuan lebih lanjut dan
mendalam secara ilmiah. Dalam hal ini Studi Kasus disebut sebagai Instrumental Case
Study. Selain itu, Studi Kasus bisa dipakai untuk memenuhi minat pribadi karena
ketertarikannya pada suatu persoalan tertentu, dan tidak untuk membangun teori
tertentu. Misalnya, tentang kenakalan remaja, penyalahgunaan obat, fenomena single
parents, dan sebagainya. Studi semacam ini disebut sebagai Studi Kasus Intrinsik (Intrinsic
Case Study). Di negara maju, Studi Kasus Intrinsik lazim digunakan oleh para profesional
atau anggota masyarakat biasa karena rasa ingin tahunya terhadap suatu persoalan yang
mereka hadapi secara lebih mendalam, lebih-lebih jika persoalan tersebut menjadi isu
hangat di masyarakat.

Beberapa Manfaat Penelitian Studi


Kasus
Menurut Lincoln dan Guba, sebagaimana dikutip Mulyana (2013: 201-202), keistimewaan
Studi Kasus meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Studi Kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni menyajikan
pandangan subjek yang diteliti.
2. Studi Kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami
pembaca dalam kehidupan sehari-hari (everyday real-life).
3. Studi Kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara
peneliti dengan subjek atau informan.
4. Studi Kasus memungkinkan pembaca untuk menemukan konsistensi internal
yang tidak hanya merupakan konsistensi gaya dan konsistensi faktual tetapi
juga keterpercayaan (trustworthiness).
5. Studi Kasus memberikan “uraian tebal” yang diperlukan bagi penilaian atas
transferabilitas.
6. Studi Kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi
pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.

Langkah-Langkah Penelitian Studi


Kasus
a) Pemilihan Tema, Topik dan Kasus. Pada tahap pertama ini peneliti harus yakin
bahwa dia akan memilih kasus tertentu yang merupakan bagian dari “body of
knowledge”nya bidang yang dipelajari. dalam pemilihan kasus hendaknya
dilakukan secara bertujuan (purposive) dan bukan secara rambang. Kasus dapat
dipilih oleh peneliti dengan menjadikan objek orang, lingkungan, program,
proses, dan masvarakat atau unit sosial. Ukuran dan kompleksitas objek studi
kasus haruslah masuk akal, sehingga dapat diselesaikan dengan batas waktu dan
sumbe-rsumber yang tersedia.
b) Pembacaan Literatur. Setelah kasus diperoleh, peneliti mengumpulkan literatur
atau bahan bacaan sebanyak-banyaknya berupa jurnal, majalah ilmiah, hasil-
hasil penelitian terdahulu, buku, majalah, surat kabar yang terkait dengan
kasus tersebut.
c) Perumusan Fokus dan Masalah Penelitian. Langkah sangat penting dalam setiap
penelitian ialah merumuskan fokus dan masalah. Fokus penelitian perlu dibuat
agar peneliti bisa berkonsentrasi pada satu titik yang menjadi pusat perhatian.
d) Pengumpulan data: terdapat beberapa teknik dalaM pengumpulan data, tetapi
yang lebih dipakai dalarn penelitian kasus adalah observasi, wawancara, dan
analisis dokumentasi. Peneliti sendiri merupakan instrumen kunci, sehingga dia
sendiri yang dapat mengukur ketepatan dan ketercukupan data serta kapan
pengumpulan data harus berakhir. Dia sendiri pula yang menentukan informan
yang tepat untuk diwawancarai, kapan dan di mana wawancara dilakukan.
e) Penyempurnaan Data. Data yang telah terkumpul perlu disempurnakan.
Bagaimana caranya peneliti mengetahui datanya kurang atau belum
sempurna? Caranya ialah dengan membaca keseluruhan data dengan merujuk
ke rumusan masalah yang diajukan. Jika rumusan masalah diyakini dapat
dijawab dengan data yang tersedia, maka data dianggap sempurna. Sebaliknya,
jika belum cukup untuk menjawab rumusan masalah, data dianggap belum
lengkap, sehingga peneliti wajib kembali ke lapangan untuk melengkapi data
dengan bertemu informan lagi. Itu sebabnya penelitian kualitatif berproses
secara siklus.
f) Pengolahan Data. Setelah data dianggap sempurna, peneliti melakukan
pengolahan data, yakni melakukan pengecekan kebenaran data, menyusun
data, melaksanakan penyandian (coding), mengklasifikasi data, mengoreksi
jawaban wawancara yang kurang jelas. Tahap ini dilakukan untuk memudahkan
tahap analisis.
g) Analisis Data. Setelah data berupa transkrip hasil wawancara dan observasi,
maupun gambar, foto, catatan harian subjek dan sebagainya dianggap lengkap
dan sempurna, peneliti melakukan analisis data. Analsis data Studi Kasus
dan
penelitian kualitatif pada umumnya hanya bisa dilakukan oleh peneliti sendiri,
bukan oleh pembimbing, teman, atau melalui jasa orang lain. Sebab, sebagai
instrumen kunci, hanya peneliti sendiri yang tahu secara mendalam semua
masalah yang diteliti. Analisis data merupakan tahap paling penting di setiap
penelitian dan sekaligus paling sulit. Sebab, dari tahap ini akan diperoleh
informasi penting berupa temuan penelitian. Kegagalan analisis data berarti
kegagalan penelitian secara keseluruhan. Kemampuan analisis data sangat
ditentukan oleh keluasan wawasan teoretik peneliti pada bidang yang diteliti,
pengalaman penelitian, bimbingan dosen, dan minat yang kuat peneliti untuk
menghasilkan penelitian yang berkualitas.
h) Proses Analisis Data. Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan
untuk memberikan makna atau memaknai data dengan mengatur,
mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan
mengkategorikannya menjadi bagian-bagian berdasarkan pengelompokan
tertentu sehingga diperoleh suatu temuan terhadap rumusan masalah yang
diajukan.
i) Dialog Teoretik. Untuk melahirkan temuan konseptual berupa “thesis
statement, setelah pertanyaan penelitian terjawab, peneliti Studi Kasus,
khususnya calon magister dan lebih-lebih doktor, melakukan langkah
selanjutnya, yaitu melakukan dialog temuan tersebut dengan teori yang telah
dibahas di bagian kajian pustaka, sehingga bagian kajian pustaka bulan sekadar
ornamen belaka. Tahap ini disebut Dialog Teoretik.
j) Triangulasi Temuan (Konfirmabilitas). Agar temuan tidak dianggap biasa,
peneliti perlu melakukan triangulasi temuan, atau yang sering disebut sebagai
konfirmabilitas, yakni dengan melaporkan temuan penelitian kepada informan
yang diwawancarai.
k) Simpulan Hasil Penelitian. Kesalahan umum yang sering terjadi pada bagain ini
ialah peneliti mengulang atau meringkas apa yang telah dikemukakan pada
bagian-bagian sebelumnya, tetapi membuat sintesis dari semua yang telah
dikemukakan sebelumnya. Pada bagian ini peneliti mencantumkan implikasi
teoretik.
l) Laporan Penelitian. Langkah paling akhir kegiatan penelitian ialah membuat
laporan penelitian. Laporan penelitian merupakan salah satu bentuk
pertanggungjawaban kegiatan penelitian yang dituangkan dalam bahasa tulis
untuk kepentingan umum. Menurut Yunus (2010: 417) ada beberapa versi
mengenai laporan penelitian, tetapi secara umum terdapat 3 syarat agar laporan
penelitian dapat dikategorikan sebagai karya ilmiah, yaitu: Objektif, Sistematik,
dan Mengikuti metode ilmiah.
Objektif artinya data yang diperoleh benar-benar dari subjek yang diteliti,
bukan dari peneliti dan pandangan peneliti. Sistematik artinya urut, yakni
pembahasan harus mengikuti alur penalaran yang runtut di mana sejak bagian
awal pembahasan hingga akhir menunjukkan keterkaitan logis dan merupakan
satu kesinambungan. Secara garis besar batang tubuh karya ilmiah terdiri atas
tiga bagian utama, yaitu bagian awal (prologue), bagian pembahasan (dialogue),
dan bagian akhir (epilogue). Bagian prologue merupakan bagian awal penelitian
yang menjelaskan latar belakang mengapa suatu penelitian dilaksanakan. Bagian
ini memuat latar belakang/konteks, fokus/rumusan masalah penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, lingkup penelitian, originalitas penelitian dan
definisi operasional istilah-istilah kunci. Bagian dialogue merupakan batang tubuh
utama penelitian karena merupakan proses penalaran yang dibangun atas dasar
kaidah-kaidah ilmiah. Secara umum bagian ini mengemukakan tiga hal, yakni:
1. Hal-hal yang dibutuhkan dalam pembahasan,
2. Proses pembahasan dan
3. Produk pembahasan.
Hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian terdiri atas tinjauan pustaka,
metode penelitian, dan deskripsi atau gambaran tentang lokus penelitian di mana
penelitian dilakukan.

Sedangkan mengikuti Metode ilmiah yang dimaksudkan ialah kegiatan


penelitian mengikuti langkah-langkah memperoleh pengetahuan ilmiah sesuai
yang telah disepakati oleh para ilmuwan. Memang juga terdapat beberapa versi
tentang langkah memperoleh pengetahuan ilmiah. Untuk penelitian Studi Kasus,
langkah-langkah berikut dapat digunakan sebagai pedoman, yakni:
a. Penentuan fokus kajian (focus of study), yang mencakup kegiatan memilih
masalah yang memenuhi syarat kelayakan dan kebermaknaan.
b. Pengembangan kepekaan teoretik dengan menelaah bahan pustaka yang
relevan dan hasil kajian sebelumnya.
c. Penentuan kasus atau bahan telaah, yang meliputi kegiatan memilih dari
mana dan dari siapa data diperoleh.
d. Pengembangan protokol pemerolehan dan pengolahan data, yang
mencakup kegiatan menetapkan piranti, langkah dan teknik pemerolehan
dan pengolahan data yang digunakan.
e. Pelaksanaan kegiatan pemerolehan data, yang terdiri atas kegiatan
mengumpulkan data lapangan atau melakukan pembacaan naskah yang
dikaji.
f. Pengolahan data perolehan, yang meliputi kegiatan penyandian (coding),
pengkategorian (categorizing), pembandingan (comparing), dan
pembahasan (discussing).
g. Negosiasi hasil kajian dengan subjek kajian, dan
h. Perumusan simpulan kajian, yang meliputi kegiatan penafsiran dan penyatu-
paduan (interpreting and integrating) temuan ke dalam bangunan
pengetahuan sebelumnya, serta saran bagi kajian berikutnya.

Kelebihan dan Kelemahan Studi


Kasus
Kelebihan Studi Kasus
a. Studi kasus mampu mengungkap hal-hal yang spesifik, unik dan hal-hal yang
amat mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi yang lain. Studi kasus
mampu mengungkap makna di balik fenomena dalam kondisi apa adanya atau
natural.
b. Studi kasus tidak sekedar memberi laporan faktual, tetapi juga memberi
nuansa, suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus
yang menjadi bahan studi yang tidak dapat ditangkap oleh penelitian kuantitatif
yang sangat ketat.
Kelemahan Studi Kasus.
Dari kacamata penelitian kuantitatif, studi kasus dipersoalkan dari segi validitas,
reliabilitas dan generalisasi. Namun studi kasus yang sifatnya unik dan kualitatif tidak
dapat diukur dengan parameter yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang
bertujuan untuk mencari generalisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Leni. 2012. Penerapan Metode Studi Kasus Dalam Upaya


Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Pada Mata Kuliah Hubungan
Internasional. Media Komunikasi Fis Vol. 11 .No 1 April 2: 1 – 15.

Azizaturrohmah, Siti Nur, April 2014, Pemahaman Etika Berdagang Pada


Pedagang Muslim Pasar Wonokromo Surabaya (Studi Kasus Pedagang Buah), Jurnal,
Jestt Vol. 1 No. 4.

Endraswara, Suwardi. 2012. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Gunawan, Imam. 2015. Studi Kasus (Case Study). Universitas Negeri Malang.

Hanrahmawan, Fitroh. 2010. Revitalisasi Manajemen Pelatihan Tenaga Kerja


(Studi Kasus Pada Balai Latihan Kerja Industri Makassar). Jurnal Administrasi Publik,
Volume 1 No. 1.

Iskandar , Budi Dan Agus Umar Hamdani. 2014. Desain Dan Pengujian Sistem
Informasi Jasa Pengiriman Barang Studi Kasus : Pt. Xyz. Jurnal Stmik Amikom
Yogyakarta.

Jasman Dan Rini Agustin, jan, Strategi Pemasaran Dalam Perspektif Ekonomi Islam
(Studi Kasus Pedagang Di Pasar Tradisional), Jurnal, KHOZANA, Vol. 1, No. 1, E-ISSN:
2614-8625.

Khurriyatuzzahroh, Sri, 2016, Analisis Persaingan Bisnis Pedagang Pasar Ditinjau


Dari Etika Bisnis Islam (Studi Kasus Di Pasar Juwana Baru Pasca Kebakaran), Skripsi,
Kudus: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri.

Mulyadi, Mohammad. 2011. Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Serta Pemikiran


Dasar Menggabungkannya. Jurnal Studi Komunikasi Dan Media.Vol. 15 No. 1 (Januari
– Juni).

Mulyana, Dedy. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu


Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.
Pambudi, Kukuh Setyo. 2017. Penelitian Studi Kasus Fenomenologi Persepsi
Keadilan Pelaku Pembunuhan Anggota Pki 1965. Jurnal Sains Psikologi, Jilid 6, Nomor
1, Maret, Hlm 22-30.
Pattinama, Marcus J. 2009. Pengentasan Kemiskinan Dengan Kearifan Lokal
(Studi Kasus Di Pulau Buru-Maluku Dan Surade-Jawa Barat). Makara, Sosial
Humaniora, Vol. 13, No. 1, Juli: 1-12.

Prihatsanti, Unika Dkk. 2018. Menggunakan Studi Kasus Sebagai Metode Ilmiah
Dalam Psikologi. Jurnal, Vol. 26, No. 2, 126 – 136.

Rachmawati, Tutik Dkk. 2015. Nilai Demokrasi Dalam Pelayanan Publik : Studi
Kasus Kantor Imigrasi Bandung. Jurnal Kebijakan Dan Administrasi Publik; Vol.19
No.2.

Rahardjo, Mudjia. 2017. Studi Kasus Dalam Penelitian Kualitatif: Konsep Dan
Prosedurnya. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Rahmat, Puput Saful. 2009. Penelitian Kualitatif. Jurnal Equiibrium,Vol. 5, N0 9,


1-8.
Setyanto, Alief Rakhman Dkk. 2015. Kajian Strategi Pemberdayaan Umkm

Dalam Menghadapi Perdagangan Bebas Kawasan Asean (Studi Kasus Kampung Batik
Laweyan). Jurnal Etikonomi Volume 14 (2), Oktober.

Suindrawati, 2015, Strategi Pemasaran Islami Dalam Meningkatkan Penjualan


(Studi Kasus Di Toko Jesy Busana Muslim Bapangan Mendenrejo Blora), Skripsi,
Semarang: Universitas Islam Negeri Walisongo.

Yuliawan, Teddi Prasetya & Fathul Himam. The Grasshopper Phenomenon:


Studi Kasus Terhadap Profesional Yang Sering Berpindah‐Pindah Pekerjaan. Jurnal
Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Volume 34, No. 1, 76 – 88

Yunus, Hadi Sabari. 2010. Metode Penelitian Wilayah Kontemporer.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ANALISIS KEBIJAKAN
PEMERINTAH DAN PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM UPAYA
PENANGGULANGAN ROB
(Studi Kasus Kota Tegal)

Oleh :
(Soni Hazam Ardiansyah1, Drs. Edi Santosa,S.U2, Dra. Wiwik Widayanti3)

Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Diponegoro
Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Kotak Pos 1269
Website: http://www.fisip.undip.ac.id/ Email: fisip@undip.ac.id

ABSTRAK
Secara topografis, kota Tegal terletak di daerah dataran rendah di wilayah
pesisir pantai utara Laut Jawa. Kondisi topografi ini yang menyebabkan wilayah kota
Tegal memiliki potensi kerentanan bencana yang disebabkan oleh air laut cukup tinggi.
Kota ini setiap tahun dihadapkan pada persoalan banjir rob. Menurut UU nomor 32
tahun 2009 Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan tingkat
kabupaten/kota. Pemerintah kota tegal mempunyai tugas untuk menetapkan kebijakan
yang tepat dalam rangka upaya penanggulangan rob. Paradigma pembangunan yang
secara perlahan-lahan telah bergeser pada upaya meningkatkan peranserta masyarakat
dalam berbagai tahapan kegiatan pembangunan. Prinsip dari pelaksanaan program
tersebut adalah menempatkan masyarakat selain sebagai obyek pembangunan adalah
juga sebagai subyek atau pelaku pembangunan yang diharapkan dapat
melanjutkan/mengembangkan program pembangunan tersebut serta dapat mengatasi
masalahnya sendiri terutama dalam peningkatan kualitas lingkungan permukimannya.
Dari hal tersebut perlu diketahui bagaimana partisipasi masyarakat kota tegal dalam
penanggulangan rob.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode gabungan kualitatif dan
kuantitatif (mixed methods design). Mixed methods design adalah suatu prosedur
mengumpulkan data, menganalisis dan ”mixing” kedua metode kualitatif dan kuantitatif
dalam suatu penelitian tunggal untuk memahami masalah penelitian. Dalam penelitian
ini akan menggunakan model pengambilan sampel secara bertujuan (purposive
sampling). Pengertian purposive sampling adalah sampel yang dipilih cermat yang
dianggap layak atau representatatif dalam memberikan informasi mengenai
permasalahan penelitian.
Strategi implementasi yang digunakan Pemerintah Kota Tegal dalam
penanggulangan rob adalah dengan melibatkan segenap instansi dan elemen terkait
masalah rob, yaitu dengan melibatkan SKPD, perangkat daerah, lembaga swadaya
masyarakat, tokok masyarakat dan masyarakat yang terkena dampak rob. Keterlibatan
segenap unsur dan elemen masyarakat Kota Tegal tersebut meliputi; tahap
perencanaan, pengorganisasian, implementasi dan evaluasi. Sebelum dilakukan

1
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FIFIP Universitas Diponegoro Angkatan 2009
2
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FIFIP Universitas Diponegoro
3
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FIFIP Universitas Diponegoro
penetapan kebijakan penanggulangan rob, kepada masyarakat, khususnya masyarakat
yang dijadikan sasaran program disosialisasikan terlebih dahulu mengenai rencana
tahapan-tahapan yang akan dilakukan Pemerintah Kota Tegal terhadap kawasan terkena
dampak rob, dengan harapan di samping masyarakat menjadi memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang komprehensif, juga dapat berpartisipasi secara aktif dalam tahap
implmentasi nantinya.
Secara umum tingkat partisipasi responden dalam proses penanggulangan rob
selama ini tergolong menengah ke atas. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses
perencanaan, penetapan dan implementasi kebijakan Rob oleh pemerintah Kota Tegal.
Hal ini juga disebabkan adanya usaha pelibatan masyarakat yang dilakukan oleh
pemerintah Kota Tegal.

Kata kunci: Analisisis Kebijakan, Pertisipasi Masyarakat

ABSTRACT
Topographically, Tegal city located in low-lying areas in the northern coastal
areas of Java Sea. This topographic conditions that led to the city of Tegal has the
potential vulnerability of disaster caused by sea water is quite high. The city is faced
with the question every year tidal flood. According to Law No. 32 of 2009 in the
protection and management of environmental, district / city government duty and
authority to determine level of district / city. Tegals city government has a duty to
establish appropriate policies in order to rob the response. Development paradigm has
gradually shifted its efforts on increasing public participation in various phases of
development activities. Principles of the implementation of the program is to put the
public other than as objects of development is also a subject or perpetrator of
development that is expected to continue / expand the development program and can
solve their own problems, especially in improving the quality of settlement
environment. Of it is to know how public participation in the prevention rob tegal city.
In this study the researchers used a combination of qualitative and quantitative
methods (mixed methods design). Mixed methods design is a procedure to collect data,
analyze and "mixing" both qualitative and quantitative methods in a single research
study to understand the problem. This research will use models aim sampling (purposive
sampling). Understanding of purposive sampling is carefully selected samples were
deemed worthy or representatatif in providing information on research problems.
Implementation strategies used by the Government in response to rob Tegal is by
involving all relevant agencies and elements rob problem, namely by engaging on
education, the local, non-governmental organizations, communities and society tokok
affected rob. The involvement of all elements and elements that comprise the city of
Tegal; stages of planning, organizing, implementation and evaluation. Prior to the
establishment of management policies rob, to the community, especially people who
were targeted socialized programs in advance of planned steps to be performed Tegal
City Government to the areas affected by flooding, in addition to the community in
hopes to have a comprehensive knowledge and understanding, as well can actively
participate in the later stages implmentasi.
In general, the respondents' participation in the management process is
classified as long rob upper middle. Community actively participate in the planning,
establishment and implementation of government policies by Rob Tegal. It is also due to
the efforts of community engagement undertaken by the City of Tegal.

Keywords: Policy Analysis , Public Participation

A. PENDAHULUAN
Salah satu tekanan yang akhir-akhir ini mengancam keberlangsungan wilayah

pesisir di seluruh belahan dunia adalah adanya kenaikan muka air laut. Secara umum,

kenaikan muka air laut merupakan dampak dari pemanasan global (global warming) yang

melanda seluruh belahan bumi ini. Berdasarkan laporan IPCC (International Panel On

Climate Change) bahwa rata - rata suhu permukaan global meningkat 0,3 - 0,6 0C sejak

akhir abad 19 dan sampai tahun 2100 suhu bumi diperkirakan akan naik sekitar 1,4 -

5,80C . Naiknya suhu permukaan global menyebabkan mencairnya es di kutub utara dan

selatan bumi sehingga terjadilah kenaikan muka laut (Sea Level Rise). Diperkirakan dari

tahun 1999-2100 mendatang kenaikan muka air laut sekitar 1,4-5,8 m.

Secara topografis, kota Tegal terletak di daerah dataran rendah di wilayah

pesisir pantai utara Laut Jawa. Kondisi topografi ini yang menyebabkan wilayah kota

Tegal memiliki potensi kerentanan bencana yang disebabkan oleh air laut cukup tinggi.

Kota ini setiap tahun dihadapkan pada persoalan banjir rob dan kekeringan. Khusus saat

musim hujan rob menjadi langganan di wilayah-wilayah tertentu. Daerah- daerah yang

terkena rob diantaranya Kelurahan Tegal Sari, Muarareja, Panggung, dan Kelurahan

Mintaragen. Ketinggian air bisa mencapai 50 cm.

Banjir Rob ini berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sekitar yang

terkena Rob maupun masyarakat luar yang akan menuju daerah tersebut. Genangan di

kawasan rob mempunyai ketinggian yang berbeda, tergantung pada kondisi alami dan
fisik kawasan. Pada umumnya, genangan rob semakin tinggi di kawasan dengan kondisi

topografi lebih rendah, lebih dekat dengan wilayah pantai, atau kondisi sungai dan

drainase tidak mampu menampung dan mengalirkan air dengan baik.

Dalam rangka meningkatkan pencegahan dan efektifitas penanganan bencana di

wilayah kota Tegal maka diperlukan prosedur tetap tata cara pelaksanaan pencegahan

dan penanganan bencana secara terpadu antara dinas/instansi terkait dimana

penanganan bencana khusunya Rob memerlukan koordinasi lintas sektoral yang terlihat

secara langsung maupun tidak langsung sehingga menimbulkan sense of belonging

sebagai bentuk kepedulian dari semua pihak (masyarakat, pemerintah dan sektor

swasta).

Masyarakat juga mempunyai peran untuk berpartisipasi aktif dalam rangka upaya

penggulanggan rob. Partisipasi masyarakat mencakup peran serta dalam proses

perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan penerimaan manfaat pembangunan dengan

mempertimbangkan otonomi dan kemandirian masyarakat. Partisipasi dalam arti luasnya

mencakup pula involvement dan empowerment. Partisipasi berentang mulai dari

pembuatan kebijakan, implementasinya sampai dengan kendali warga negara

terhadapnya.4 Partisipasi masyarakat untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang

berguna dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan yang berkaitan

dengan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut diatas menjadikan penulis ingin

mengetahui bagaimana kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat Kota Tegal

dalam penanggulangan Rob.

B. PEMBAHASAN
Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, jenis penelitian ini adalah

penelitian kuantitatif deskriptif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode


penelitian survai.Penelitian survai yaitu, penelitian yang mengambil sampel dari

satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang

pokok. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan, meringkas berbagai kondisi,

berbagai situasi, atau berbagai variable yang timbul di masyarakat, yang menjadi

obyek penelitian ini, berdasarkan apa yang terjadi. Kemudian mengangkat ke

permukaan karakter atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun variable

tersebut.

Rob di Kota Tegal merupakan fenomena yang telah terjadi cukup lama. Dalam

kaitan tentang rentang waktu kapan mulai terjadinya rob di Kota Tegal. Ketinggian Rob

di Kota Tegal dipengaruhi oleh fluktuasi cuaca seperti misalnya banjir 5 (lima) tahunan

dan ada banjir 10 (sepuluh) tahunan. bahwa kerugian dampak rob bagi masyarakat

adalah rumah, tambak dan halaman rumah mereka. Masyarakat yang terkena rob

terkadang dirugikan beberapa kali, contohnya adalah ketika rumah mereka sudah

ditinggikan agar tidak tergenangi rob, namun ternyata beberapa waktu kemudian rumah

tersebut terkena genangan lagi akibat dari ketinggian rob yang semakin meningkat

akibat fluktuasi tersebut.

Dalam usaha penanggulangan Rob Pemerintah Kota Tegal dalam jangka pendek

melakukan tindakan dengan melihat kondisi terkini di daerah terdampak. Pemerintah

melakukan tindakan segera terhadap wilayah-wilayah yang kondisinya buruk. Tidak ada

perencanaan secara mendalam untuk jangka pendek, hanya ada tindakan segera sesuai

dengan keadaan di lapangan. Tindakan jangka pendek sebagai contoh adalah pembuatan

talud., tanggul laut, peninggian jalan dan pembuatan pintu-pintu air. Sedangkan untuk

jangka panjang pemerintah melakukannya dengan membentuk sistem, ada kawasan yang

penanggulangannya harus secara sistemik. Hal itu dilakukan secara komprehensif.

Sebagai contoh adalah pembangunan kolam retensi


dan polder, yang mahal itu merupakan tindakan jangka panjang Pemerintah Kota Tegal.

Penggunaan alokasi anggaran Pemerintah Kota Tegal dalam penanggulangan Rob

seperti pembuatan talud, peninggian jalan, pintu-pintu air dianggarkan dari APBD 2.

Setiap tahun dianggarkan 4-12 Milyar. Jangka panjang seperti pembangunan polder dan

kolam retensi, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat karena biaya yang cukup

besar antara 13-64 milyar. Bantuan khusus dari pemerintah pusat akan mulai dicairkan

pada tahun 2014 untuk pembangunan kolam retensi di Mintaragen.

Program penanggugalangan rob di Kota Tegal dijelaskan dalam beberapa aspek

sebagai berikut:

1. Teknis dan Pembiayaan

Secara teknis Pemerintah Kota Tegal telah merencanakan pembangunan fisik

secara bertahap. Hal ini dilakukan karena dalam pembangunan tersebut membutuhkan

biaya yang cukup besar. Pembangunan dilakukan secara bertahap dalam jangka pendek,

jangka menengah dan jangka panjang. Dalam jangka pendek pemerintah melakukan

penataan drainase dengan biaya Rp. 17.181.000.000. penataan drainase ini dilakukan

pada tahap 1 yaitu tahun 2009-2014 dengan pembiayaan dari APBD Provinsi Jawa Tengah

dan APBD Kota Tegal. Selain itu dalam jangka pendek pemerintah melakukan peninggian

jalan dengan biaya Rp. 18.800.000.000. Peninggian Jalan ini dilakukan pada tahap 1

yaitu tahun 2009-2014 dengan pembiayaan dari APBD Provinsi Jawa Tengah dan APBD

Kota Tegal.

Untuk jangka menengah pemerintah membuat tanggul sungai dengan biaya Rp

41.230.000.000. Pembuatan tanggul sungai ini dilakukan pada tahap I yaitu tahun 2009-

2014 dan tahap II yaitu tahun 2014-2019. Pada tahap biaya dibutuhkan adalah

Rp.20.615.000.000 dan pada tahap II membutuhkan biaya Rp.20.615.000.000 dengan


pembiayaan dari APBD Provinsi Jawa Tengah dan APBD Kota Tegal. Selain itu Untuk

jangka menengah pemerintah juga membangun tanggul laut dengan biaya Rp

83.200.000.000. Pembuatan tanggul laut ini melalu 3 tahapan yaitu pada tahap I, II dan

III dengan biaya dari APBD Provinsi Jawa Tengah dan APBD Kota Tegal.

Dalam jangka panjang pemerintah kota Tegal akan membangun bendung karet.

Biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan ini sebesar Rp.45.000.000.000. Pembangunan

bendung karet ini dilakukan pada tahap III dan IV yaitu pada tahun 2020-2030 dengan

pembiayaanya direncanakan diambil dari APBN.

2. Sosial

Dalam aspek sosial, Pemerintah Kota Tegal berupaya untuk melakukan sosialisasi

memberikan pemahaman tentang apa yang yang akan dilakukan pemerintah di kawasan

mereka dalam rangka penanggulangan rob. Sosialisasi dilakukan pemerintah melalui

pemerintah kelurahan. Sosialisasi diberikan manakala pemerintah akan melaksanakan

pembangunan di kawasan tersebut. Selain untuk memberikan pemahaman kepada

masyarakat tentang pembangunan yang akan dilaksanakan, sosialisasi juga berfungsi

untuk memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpendapat tentang apa yang harus

dilakukan oleh pemerintah Kota Tegal dalam rangka penanggulangan Rob.

Partisipasi masyarakat daerah rob Kota Tegal selama ini pada proses perencanaan

pembangunan serta aplikasi di lapangan. Pada proses perencanaan, masyarakat ikut

bermusyawarah dengan Pemerintah Kota Tegal dalam forum Musyawarah Rencana

Pembangunan (MUSREMBANG). Selain perencanaan, masyarakat juga berpartisipasi

dalam mengaplikasikan pembangunan pintu-pintu air yang sudah dibangun oleh

pemerintah.
Dilibatkannya masyarakat terkena dampak rob dalam penanggulangan rob di Kota

Tegal, tiada lain agar capaian yang dihasilkan dari program penanggulangan rob dapat

maksimal, yang sekaligus sebagai bukti bahwa Pemerintah Kota Tegal telah berupaya

untuk menerima secara terbuka setiap aspirasi yang berkembang di masyarakat.

3. Aspek Lingkungan

Dalam aspek lingkungan pemerintah berupaya untuk menahan abrasi yang lebih parah

dengan menanam manggrove di pesisir pantai Kota Tegal. Pemeliharaan manggrove ini

melibatkan LSM lingkungan yang peduli akan lingkungan hidup. Namun sebenarnya fungsi

manggrove tidak secara langsung untu menanggulangi Rob. Namun untuk menahan

adanya abrasi di dareh Pantai. Selain itu Kantor Lingkungan Hidup kota tegal juga

berupaya untuk mengajak masyarakat untuk hidup disiplin dan sehat untuk ikut

berpartisipasi melalui kedisiplinan membuang sampah tidak sembarang karena akan

berakibat pada tersumbatnya saluran air.

4. Aspek Hukum

Dalam masalah penanggulangan rob di Kota Tegal Pemerintah Kota Tegal belum

mempunyai regulasi yang berupa Peraturan Daerah. Pemerintah Kota Tegal belum

mempunyai Peraturan Daerah yang khusus mengenai penanggulangan rob. Pemerintah

Kota Tegal tidak mempunyai Peraturan Daerah yang mengatur tentang rob. Dalam

implementasinya pemerintah menggunakan dokumen perencanaan sebagai output dari

perencanaan yang dilakukan dengan para stakeholder.

5. Aspek Kelembagaan

Dalam penanggulangan Rob di Kota Tegal secara kelembagaan pemerintah Kota

Tegal belum mempunyai satu lembaga khusus yang dibentuk untuk usaha
penanggulangan Rob. Sinergi antar SKPD hanya sebatas menjalankan fungsi masing-

masing sesuai dengan kebutuhan dalam penanggulangan Rob.

Sebagai contoh BP2T berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan lahan jika ada

lahan masyarakat yang akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dalam rangka

penanggulangan rob ini. PU bertugas secara teknis dalam pembangunan infrastruktur.

Dislatan, bertugas untuk memberikan penyuluhan kepada petani dan nelayan yang

terkena dampak penanggulangan rob

Dalam rangka mewujudkan Good Governance, pemerintah dalam menyelesaikan

suatu masalah dalam masyarakat perlu melibatkan peran stakeholder. Begitu pula

dengan penanggulangan rob di Kota Tegal, partisipasi stakeholder sangat berpengaruh

pada pencapaian hasil usaha penanggulangan rob tersebut. peran masyarakat sangatlah

penting, baik dari sisi infrastruktur maupun perilaku. Masyarakat harus menyesuaikan

bangunan rumahnya agar ditinggikan supaya tidak tenggelam terkena rob. Dalam hal ini

Pemerintah Kota Tegal tidak bisa membantu untuk masalah rumah pribadi mayarakat.

Dari sisi perilaku, masyarakat harus ikut berpartisipasi dengan cara tidak membuang

sampah sembarangan yang bisa membuat tersumbatnya saluran air.

Secara umum tingkat partisipasi Masyarakat dalam proses perencanaan

penanggulangan rob selama ini tergolong menengah ke atas. Tingginya partisipasi ini

dikarenakan obyek yang dibicarakannya merupakan sesuatu yang vital bagi responden,

karena menyangkut upaya perbaikan lingkungan dan kelangsungan kehidupannya di masa

depan.

Sebagian besar Masyarakat tergolong memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi

dalam proses penetapan kebijakan Pemerintah Kota Tegal dalam hal penanggulangan

rob. Tingginya partisipasi responden dalam proses penetapan


kebijakan tersebut, dikarenakan responden selaku sasaran program terkena dampak

memiliki kepedulian sosial yang tinggi, karena apabila tidak peduli dengan kondisi

sekitarnya, dikhawatirkan akan bisa mengganggu kelancaran usaha produksinya sehari-

hari, yang umumnya sangat berdekatan dengan alam. Sebagian besar responden

memiliki tingkat partisipasi yang sedang dalam proses implementasi kebijakan

penanggulangan rob teroglong, yaitu sebanyak 50,52 persen berkategori partisipasi

sedang, dan sejumlah 45,26 persen responden lainnya berkategori partisipasi yang

tinggi. Tingginya tingkat partisipasi responden dalam proses implementasi ini, dibuktikan

dengan tingginya kesediaan untuk menghadiri undang implementasi, tingginya kesediaan

untuk membantu, baik dana, tenaga juga konsumsi bagi kelangsungan pembangunan

infrastruktur penanggulangan rob. Fenomena ini semakin menegaskan bahwa kultur

masyarakat pantai yang agraris yang umumnya terbuka, ternyata di sisi lain juga

memiliki tingkat kepedulian yang tinggi apabila menyangkut kepentingan dan

keberlangsungan kehidupan sehari-harinya, dengan harapan agar masyarakat bisa hidup

secara lebih nyaman, aman dan lebih higienis.

Tingkat partisipasi Masyarakat dalam proses evaluasi dampak kebijakan tergolong

tinggi. Hal ini dikarenakan dengan mayoriras responden sudah sangat memahami

lingkungan tempat tinggalnya, maka apabila disuruh melakukan penilaian atau evaluasi

atas kebijakan Pemerintah Kota Tegal dalam penanggulangan rob, mayoritas responden

mampu merinci dan memverifikasinya secara jelas dan gamblang.

C. PENUTUP
Rob di Kota Tegal merupakan fenomena yang telah terjadi cukup lama. Dalam

kaitan tentang rentang waktu kapan mulai terjadinya rob di Kota Tegal. Ketinggian
Rob di Kota Tegal dipengaruhi oleh fluktuasi cuaca seperti misalnya banjir 5 (lima)

tahunan dan ada banjir 10 (sepuluh) tahunan.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa Strategi yang digunakan Pemerintah

Kota Tegal dalam penanggulangan rob adalah dengan melibatkan segenap instansi dan

elemen terkait masalah rob, yaitu dengan melibatkan SKPD, perangkat daerah, lembaga

swadaya masyarakat, tokok masyarakat dan masyarakat yang terkena dampak rob.

Keterlibatan segenap unsur dan elemen masyarakat Kota Tegal tersebut meliputi; tahap

perencanaan, pengorganisasian, implementasi dan evaluasi. Sebelum dilakukan

penetapan kebijakan penanggulangan rob, kepada masyarakat, khususnya masyarakat

yang dijadikan sasaran program disosialisasikan terlebih dahulu mengenai rencana

tahapan-tahapan yang akan dilakukan Pemerintah Kota Tegal terhadap kawasan terkena

dampak rob, dengan harapan di samping masyarakat menjadi memiliki pengetahuan dan

pemahaman yang komprehensif, juga dapat berpartisipasi secara aktif dalam tahap

implementasi nantinya.

Secara umum tingkat partisipasi Masyarakat dalam proses perencanaan

penanggulangan rob selama ini tergolong tinggi. Tingginya partisipasi ini dikarenakan

obyek yang dibicarakannya merupakan sesuatu yang vital bagi responden, karena

menyangkut upaya perbaikan lingkungan dan kelangsungan kehidupannya di masa depan.

Sebagian besar Masyarakat tergolong memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi

atas dalam proses penetapan kebijakan Pemerintah Kota Tegal dalam hal

penanggulangan rob. Tingginya partisipasi responden dalam proses penetapan kebijakan

tersebut, dikarenakan responden selaku sasaran program terkena dampak memiliki

kepedulian sosial yang tinggi, karena apabila tidak peduli dengan kondisi sekitarnya,

dikhawatirkan akan bisa mengganggu kelancaran usaha produksinya


sehari-hari, yang umumnya sangat berdekatan dengan alam. Sebagian besar responden

memiliki tingkat partisipasi yang sedang dalam proses implementasi kebijakan

penanggulangan rob teroglong, yaitu sebanyak 50,52 persen berkategori partisipasi

sedang, dan sejumlah 45,26 persen responden lainnya berkategori partisipasi yang

tinggi. Tingginya tingkat partisipasi responden dalam proses implementasi ini, dibuktikan

dengan tingginya kesediaan untuk menghadiri undang implementasi, tingginya kesediaan

untuk membantu, baik dana, tenaga juga konsumsi bagi kelangsungan pembangunan

infrastruktur penanggulangan rob. Fenomena ini semakin menegaskan bahwa kultur

masyarakat pantai yang agraris yang umumnya terbuka, ternyata di sisi lain juga

memiliki tingkat kepedulian yang tinggi apabila menyangkut kepentingan dan

keberlangsungan kehidupan sehari-harinya, dengan harapan agar masyarakat bisa hidup

secara lebih nyaman, aman dan lebih higienis.

Tingkat partisipasi Masyarakat dalam proses evaluasi dampak kebijakan tergolong

tinggi. Hal ini dikarenakan dengan mayoriras responden sudah sangat memahami

lingkungan tempat tinggalnya, maka apabila disuruh melakukan penilaian atau evaluasi

atas kebijakan Pemerintah Kota Tegal dalam penanggulangan rob, mayoritas responden

mampu merinci dan memverifikasinya secara jelas dan gamblang.

DAFTAR PUSTAKA
Buku

Dunn, William N.2000 (Ed.). Pengantar Analisis Kebijakan. Yogyakarta: Gajah Madha
University Press

Haris, syamsudin (Ed.).2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi,


Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI
Press

Hasibolan, Dheyna, Rhein Beresaby dkk.2007. Politik dan Lingkungan. Depok:


Penerbit Kokoesan
Muluk, Khairul.2006. Desentralisasi dan pemerintahan daerah. Malang: Bayumedia

Nasution,S.2009. Metode Penelitian.Jakarta:Bumi Aksara

Nugroho, Riant.2007. Analisis Kebijakan.Jakarta:Elex Media Komputindo Soekanto,

Soerjono.1982. Sosiologi Suatu Penganta.Jakarta:Rajawali Press

Soemarwoto, Otto.1996. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada


University Press

Sugiyanto dan Robert J. Kodoatie.2002. Banjir Beberapa Penyebab Dan Metode Pengendalianya
Dalam Prespektif Lingkungan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Suyanto,Bagong dan Sutinah.2004. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan


(Ed.).Jakarta:Kencana

Tarigan, Robinson.2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.

Usman, Sunyoto. 2002. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Winarmo, Budi.2008. Kebijakan Publik : Teori dan Proses.Yogyakarta:Medpress Yusuf, Yasin.2005.

Anatomi Banjir Kota Pantai Prespektif Geografi. Surakarta:

Pustaka Cakra

Jurnal, artikel
Santosa, Edi. Peluang dan Kendala Demokratisasi Pengelolaan SDA. hand out disampaikan pada
kuliah politik lingkungan, 4 Oktober 2011

Santosa, Edi. Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan PSP dan Sistem KelembagaanI.
Hand out disampaikan dalam Seminar Managemen kebijakan Pembangunan
Infrastruktur Kota Semarang. 2007

ANALISIS AGENDA SETTING KEBIJAKAN


Misi Sesi Perkuliahan:

• Mengasah ketrampilan mahasiswa dalam


menggunakan berbagai model dan teknik analisis
untuk ambil bagian dalam proses agenda – setting,
atau
• Mengasah ketrampilan mahasiswa dalan mengungkap
berbagai sisi penting dibalik fenomena agenda setting
Substansi sesi perkuliahan

• Agenda setting dalam proses kebijakan


• Analisis agenda setting
Metode Sesi Perkuliahan

• Ceramah
• Tutorial
A. Belajar Menganalisis Fenomena Agenda Setting Kebijakan
Pokok bahasan dalam pertemuanke-5 ini adalah analisis agenda setting. Dosen memulai sesi ini
dengan memberikan penjelasan singkat kepada mahasiswa bahwa pertemuan ini merupakan
pertemuan pertama untuk segmen kedua dalam mata kuliah AKP. Dalam segmen ini mahasiswa
diajak untuk berlatih dan mengaplikasikan pemahaman konseptual mereka tentang analisa
kebijakan publik dalam praktek analisa kebijakan.
Pada setiap sesi segmen II kuliah AKP ini, mahasiswa akan diminta untuk membuat analisa
proses kebijakan, sesuai dengan tema sesi, menurut corak analisa yang dipilihnya. Mahasiswa bisa
memilih corak analisis untuk kebijakan atau analisis terhadap kebijakan. Begitu
juga dalam sesi yang membahas analisis agenda – setting ini, ada dua corak yang bisa dipilih oleh
mahasiswa, yaitu analisis dengan corak analisis untuk agenda – setting dan analisis terhadap agenda –
setting.

Dosen mengawali pertemuan ini denganpemaparan tentang konsep agenda–setting dalam proses
kebijakan. Dilanjutkan dengan paparan singkat tentang beberapa konsep dan model yang biasa
digunakan untuk menganalisa agenda setting. Dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa ada perbedaan cara
memaknai, dan oleh karenanya ada cara yang berbeda- beda untuk melangsungkan proses agenda-setting
tersebut.1 Sehubungan dengan perbedaan tersebut, mahasiswa akan diminta untuk menentukan cara yang
dipilihnya dalam mempraktekkan analisis agenda-setting.
Untuk lebih memudahkan mahasiswa dalam mengasah ketrampilan menganalisis serta
sensitivitas terhadap kompleksitas analisa kebijakan, mahasiswa yang memilih melakukan analisis
untuk agenda – setting bisa memilih salah satu di antara dua pendekatan berikut ini, yaitu
pendekatan teknokratis dan politis. Sementara, mahasiswa yang memilih analisis terhadap agenda –
setting diajak untuk memfokuskan analisanya dalam upaya pengembangan teori tentang proses
kebijakan atau analisa kebijakan.

B. Agenda: Mahluk Apakah Itu?


Istilah agenda – setting mengandung dua kata kunci, yaitu ‘agenda’ dan ‘setting’ (aktivitas
penyiapannya). Dosen terlebih dahulu memicu ingatan mahasiswa tentang esensi dari agenda.
Agenda bisa dikatakan berisi berbagai hal atau kegiatan yang dianggap penting dan layak
mendapatkan prioritas dari si pemilik agenda. Karena itu agenda – setting bisa dikatakan
merupakan proses di mana si pemilik agenda tersebut menyusun berbagai hal dan kegiatan dalam
skala prioritas yang didasarkan pada kepentingan si pemilik agenda.
Menyusun agenda, di level individu sekalipun, tidaklah sesederhana yang kita bayangkan.
Seringkali ada berbagai alternatif
yang dihadapkan pada keterbatasan kemampuan untuk meraup seluruh alternatif tersebut. Untuk
itu, seseorang menjadi perlu untuk menyusun sebuah agenda, sebagai usaha mengkompromikan
kepentingannya dengan sumber daya yang dimilikinya.
Dosen kemudian mengajak mahasiswa untuk berimajinasi, bagaimana kompleksnya menyusun
agenda di level negara. Ada begitu banyak alternatif sementara sumberdaya dan energi yang
dimiliki oleh negara terbatas dan harus digunakan secermat mungkin dan dipertanggungjawabkan
kepada publik warga negara. Mengapa demikian? Karena, secara normatif, dalam rezim yang
demokratis, agendanya negara adalah agendanya publik.
Salah satu kompleksitas utama proses setting agenda publik adalah kompleksitas publik itu
sendiri. Yang namanya publik ini merupakan kumpulan berbagai kepentingan, yang seringkali tidak
konvergen satu sama lain; bahkan tidak jarang berkonflik satu sama lain. Dalam situasi demikian,
seringkali menjadi hal yang tidak penting bagi pihak yang lain. Sementara, tidak ada ukuran
tunggal yang dipakai semua orang untuk menentukan secara absolut bahwa satu hal lebih layak
dijadikan prioritas daripada yang lain. Karena itu, seringkali, pertarungan berbagai kepentingan
untuk mendapatkan prioritas dalam agenda publik seringkali merupakan pertarungan yang sengit, di
mana tiap kepentingan harus diperjuangkan untuk bisa masuk dalam agenda publik.2
Sungguhpun demikian, literatur analisis kebijakan publik mengajak kita menganalisis agenda
setting secara berbeda-beda. Ada yang membayangkan agenda setting sebagai pembuatan agenda kerja
policy-makers.3 Dalam konteks ini, policy-makers diasumsikan bersifat netral dan “mencari-cari” isu
yang harus ditangani karena posisinya sebagai pejabat.
Kalau mahasiswa memilih untuk mengandaikan dirinya sebagai seorang analis yang harus
memberikan rekomendasi tentang isu mana
yang paling layak mendapatkan prioritas pemerintah, agenda setting bisa dimaknai sebagai:
• Proses mengedepankan masalah untuk ditangani oleh pemerintah,4
• Proses seleksi permasalahan untuk ditangani oleh pemerintah,5
• Pencariandan penyaringan Isu.6

Ada pula yang membayangkan proses agenda-setting adalah proses mengikuti kehendak orang
kebanyakan. Policy-makers justru harus mengelola dinamika berbagai kekuatan politik yang ada
agar bisa mengerucut sebagai agenda kelembagaan yang ditangani pemerintah. Perbedaan antara kedua
kerangka pikir tersebut dipaparkan dalam Tabel V.1.
Tabel V.1.

Perbedaan Kerangka Pikir Teknokratis dan Politis


dalam Analisa Agenda – setting

N Poin Perbedaan Teknok Politis


o. ratis
1. “Pemilik” Agenda Pejabat atau analis Publik
2. Menempatkan diri di atas Menjadi bagian dari proses
Posisi agenda-setter dalam semua perbedaan pendapat mengelola, beradaptasi, dan
permasalahan yang dengan menggunakan menyesuaikan posisi
diagendakan pendekatan yang diklaim dengan hiruk pikuk isu
ilmiah, pasif menampung isu yang ada di publik, aktif
yang bertebaran mencari isu yang bertebaran
Purwo Santoso

3. Masalah yang dibahas tidak Semua masalah selalu


Asumsi epistemologis kontrovorsial, semua masalah kontroversial karena semua
bisa dimaknai secara sepihak pihak memiliki rumusan
oleh analis sendiri
4. Penanganan masalah yang Perebutan kepentingan dan adu
75

Kelangsungan Proses dihadapi pejabat (analis) kekuatan, bergerak secara


Berjalan linear dalam sirkular, di mana hampir
tahap-tahap yang sudah setiap saat aktor-aktor yang
terbakukan sebagai terlibat harus terus berupaya
prosedur membangun konsensus
5. Analis tidak merasa Analis tidak bisa keluar
Sikap analis terhadap proses terikat pada proses karena dari proses dan bahkan
dia hanya concern pada bisa merekayasa proses
substansi agenda yang tersebut
dianalisis
6.
Hal yang dipertaruhkan analis Akurasi rumusan dan Kesepahaman antar pihak
kejelasan cara tentang masalah yang
menangani masalah dihadapi
7. Cakupan analisis Substansi agenda Substansi agenda, proses, dan
instrumentasi
8. Keahlian mengaplikasikan Keahlian mengaplikasikan
prosedur
Kemampuan yang dituntut dari prosedur dan menentukan
seorang analis posisi dalam dinamika
politik yang terjadi dalam
proses agenda – setting
Dalam kerangka pikir ini, aktivitas analis dalam proses agenda- setting adalah aktivitas yang
bersifat aktif dan purposive. Agenda-setting adalah permasalahan menentukan prioritas bagi dirinya
sendiri dalam hubungannya dengan aktor-aktor lain yang terlibat dalam perebutan prioritas agenda.
Dalam situasi seperti itu, Agenda–setting, atau bisa diterjemahkan sebagai ‘pembuatan agenda’ bisa
dimaknai sebagai proses mengarahkan kebijakan melalui jendela-jendela kebijakan yang muncul
sebagai akibat dari dinamika politik yang terjadi dalam proses agenda – setting, (Kingdon, 1995,
Chap.1). Dalam hal ini, cakupan analisa si analis seringkali harus lebih dari sekedar substansi agenda,
tetapi juga mencakup dalam konteks seperti apa substansi agenda tersebut berada.
Dalam dua situasi tersebut, analisa yang dilakukan perlu terlebih dahulu mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhimasuknya suatu isu kedalam agenda publik. Tentunya kerangka
pikir yang digunakan ikut mempengaruhi proses identifikasi faktor dan kerangka penjelasan yang
menjelaskan hubungan antar faktor tersebut.
Bagi mahasiswa yang memilih corak analisis untuk kebijakan, mahasiswa masih diperbolehkan
memilih antara analisis dengan logika teknis–administratif dan analisis dengan logika politis.Dalam
logika teknis-administratif, agenda–setting dilihat sebagai agenda–nya pejabat yang mencari-cari sesuatu
untuk dikerjakan atas nama publik, seperti tercermin dalam definisi Jones, Meltsner, dan
Hogwood&Gunn. Sementara logika politis lebih mengedepankan dimensi politis dari proses
agenda setting. Proses ini dilihat sebagai prosespolitik yang melibatkan pertarungan wacana,
konflik kepentingan, pembangunan koalisi dan sebagainya, seperti tercermin dalam model yang
dikembangkan oleh Kingdon.
Setelah memberikan penjelasan tentang perbedaan mendasar antara kedua kerangka pikir tentang
proses agenda setting tersebut, dosen memberikan formulir yang harus diisi oleh mahasiswa. Dalam
formulir tersebut mahasiswa di minta untuk menentukan kerangka pikir mana yang akan dipilihnya
dan mengapa dia memilih kerangka pikir tersebut.
Bagi mahasiswa yang memilih analisis terhadap kebijakan, analisa difokuskan untuk upaya
pembangunan teori tentang agenda setting.
Dalam analisis dengan corak seperti ini, mahasiswa diminta untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi proses agenda – setting dalam kasus tertentu, dan menjelaskan relasi antar faktor tersebut
dalam fungsinya mempengaruhi proses agenda – setting yang terjadi.
Dalam latihan ini, ada output yang diharapkan untuk dihasilkan mahasiswa. Output ini
disesuaikan dengan apa yang diharapkan akan dihasilkan oleh seorang analis ketika dia melakukan
analisa. Untuk corak analisis untuk agenda–setting, mahasiswa diharapkan mampu menghasilkan
rekomendasi isu yang dianggap layak mendapatkan prioritas dalam agenda kebijakan. Tentunya
rekomendasi ini disertai dengan argument yang rasional. Sementara bagi mahasiswa yang memilih
corak analisis terhadap agenda–setting, mereka diminta bisa menghasilkan suatu penjelasan teoritik
tentang faktor apa yang mempengaruhi isu tertentu masuk dalam agenda kebijakan, sementara isu yang
lain tidak, disertai penjelasan bagaimana faktor tersebut mempengaruhi masuk atau tidaknya suatu
isu dalam agenda kebijakan.

C. Latihan ‘Analisis untuk Agenda - Setting’


Sebelum memaparkan beberapa contoh dan model analisis untuk agenda–setting, dosen bisa lebih
jauh memberikan pengertian pada mahasiswa, bahwa pada dasarnya, analisis agenda–setting dilakukan
untuk mencari ‘apa yang harus dikerjakan’ oleh para pembuat kebijakan. Karena itu, Hogwood dan
Gunn membagi proses agenda–setting dalam dua tahap, yaitu issue–search dan issue–filtration.7 Issue–
search terkait dengan proses pencarian isu untuk dimasukkan dalam agenda. Sementara issue–
filtration adalah proses memilah isu

Sebagaimana dalam model agenda-setting Hogwood& Gunn, dosen meminta mahasiswa untuk
secara acak mengumpulkan isu-isu yang bertebaran, terutama di media, baik televisi maupun
cetak.Setelah terkumpul berbagai isu, langkah selanjutnya, mahasiswa diminta untuk menyaring
berbagai isu tersebut. Dalam menyaring isu tersebut, mahasiswa bisa menggunakan kriteria yang
digunakan oleh Hogwood & Gunn, yaitu waktu, bobot politis, kebakuan sikap politik, dan arti
penting isu tersebut bagi organisasi.
Bagi mahasiswa yang melakukan analisis dalam corak analisis untuk kebijakan tetapi
didasarkan pada logika politis, selain hal di atas, mahasiswa juga harus menggunakan kriteria lain
untuk menyaring isu yang sudah dikumpulkan di atas. Mengingat proses agenda–setting adalah proses
memunculkan satu masalah sebagai masalahnya pemerintah, dan di sini, tugas seorang analis adalah
menyusun analisanya, didukung data dan proyeksi, dalam sebuah argumen untuk meyakinkan bahwa
permasalahan yang direkomendasikannya menyangkut kepentingan publik dan untuk itu harus
ditangani sebagai masalahnya pemerintah.
Untuk itu, selain kriteria permasalahan seperti yang dikemukakan Hogwood & Gunn, analisis
yang didasari pada logika politis perlu menambahkan kriteria arus politik dan ekspresi partisipasi.
Karena itu, mahasiswa diminta untuk menguji tiap isu yang dikumpulkannya dengan
mengidentifikasi arus politik dan ekspresi partisipasi yang muncul di seputar isu tersebut.
Agar analisis mahasiswa bisa lebih sensitif terhadap dimensi politis dari proses agenda setting,
dosen membimbing mahasiswa untuk melakukan analisis berdasarkan model yang dikembangkan
oleh Kingdon. Dosen membimbing mahasiswa untuk melakukan analisis terhadap tiga arus, arus
politik; kebijakan; dan problem, yang terkandung dalam isu-isu yang telah difiltrasi sebelumnya.
Dalam membimbing, dosen mengarahkan mahasiswa untuk menghasilkan sebuah rekomendasi isu
kebijakan, berdasarkan perhitungan terhadap arus politik, arus kebijakan, dan arus permasalahan
yang melatarbelakangi isu-isu tersebut. Secara singkat, dosen memaparkan model analisis agenda –
setting kebijakan menurut Kingdon, seperti digambarkan dalam Bagan V.1.Ringkasan Alur Proses
Agenda - Setting Menurut John W. Kingdon
BaganV.I.

Ringkasan Alur Proses Agenda - SettingMenurut John w.

Kingdon

Sumber: Kingdon, John W (1995).

Sebagai contoh bagaimana model Kingdon digunakan untuk menganalisa sebuah isu spesifik,
mahasiswa bisa merujuk pada Pemiluwati, Nurlela (2006), Tarik-menarik Kepentingan, Lingkungan Hidup
Terabaikan: Studi Kasus Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum di Provinsi Bangka Belitung, Thesis S2
PLOD, UGM.

Dalam menganalisis ketiga arus tersebut, sebagai parameter, mahasiswa bisa menggunakan
hal-hal yang membuat isu tertentu kalah dalam pertarungan politik masuk agenda kebijakan.
Setidaknya kita bisa mengidentifikasi 3 hal yang membuat suatu isu diabaikan dari agenda
kebijakan, yaitu:
• Suatu isu dianggap sebagai bagian dari rutinitas;
• Suatu isu tidak dianggap sebagai masalahnya pemerintah;
• Юitumpuk oleh isu lain.

Artinya, jika analisis terhadap suatu isu dengan melihat tiga arus yang dipaparkan oleh
Kingdon menunjukkan bahwa isu tersebut berada dalam salah satu atau beberapa situasi seperti di
atas, maka isu tersebut memiliki potensi yang lebih besar untuk gagal masuk dalam agenda
kebijakan.
Dalam melakukan analisa dengan corak politis, mahasiswa juga diminta untuk memasukan
pertimbangan dan argumentasi terkait dengan perangkat pemicu penciptaan isu dan upaya
menghindari agar isu yang direkomendasikan tidak begitu saja diabaikan oleh pemerintah. Misal,
jika satu mahasiswa merekomendasikan isu perbaikan tanggul-tanggul situ sebagai agenda kebijakan,
maka isu tersebut akan mendapatkan daya ungkit yang besar jika menggunakan kasus Situ Gintung
sebagai perangkat pemicu dan isu ini diangkat selama wacana jebolnya tanggul di Situ Gintung
masih hangat dalam ingatan publik.
Sekali lagi perlu diingatkan kepada mahasiswa, bahwa hasil akhir yang diharapkan dari latihan
ini adalah adanya sebuah dokumen rekomendasi isu. Dokumen rekomendasi isu ini, baik bercorak
teknokratis maupun politis, hendaknya tetap disertai oleh argumentasi yang kuat dan jelas.

D. Latihan untuk Kelompok: ‘Analisis Terhadap Agenda - Setting’


Dalam modul ini, analisis terhadap agenda – setting difokuskan pada upaya untuk pembangunan
teori. Ini sejalan dengan motif umum analisis terhadap kebijakan yang ditujukan lebih untuk
memproduksi pengetahuan tentang kebijakan. Jadi analisis dengan corak ini tidak terlalu
memberikan perhatian pada agenda yang dihasilkan, tetapi lebih pada pengetahuan tentang
bagaimana suatu agenda dihasilkan dan faktor apa saja yang mempengaruhi isu tertentu masuk
dalam agenda sementara yang lain tidak.
Analisis terhadap agenda–setting biasanya dilakukan dengan cara mengamati dan/atau
membandingkan beberapa kasus agenda–setting. Yang dicari di sini adalah pola-pola yang umum
terjadi dalam kasus- kasus tersebut. Pola-pola umum ini kemudian diabstraksikan ke level yang
lebih teoritis untuk menemukan hubungan kausal atau penjelasan bagaimana pola-pola umum itu
muncul dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Namun, analisis terhadap kebijakan, khususnya agenda setting, juga bisa dilakukan dengan cara
menggunakan suatu kerangka teori tertentu untuk menjelaskan sebuah kasus proses agenda – setting
tertentu. Misalnya dengan menggunakan teori kelas Marx, orang bisa menganalisis siapa dan
bagaimana sebuah proses agenda – setting kebijakan tertentu berlangsung.
Dalam sesi ini, dan dalam sesi-sesi berikutnya, mahasiswa yang memilih melakukan analisis
terhadap kebijakan diminta untuk memilih salah satu di antara begitu banyak teori politik untuk
membedah dan memberikan penjelasan tentang kasus konkrit proses agenda – setting kebijakan yang
terjadi.
Mengingat banyaknya teori politik yang tersedia dan beragamnya isu yang dianalisis, akan
sulit jika dosen memberikan bimbingan bagaimana menggunakan masing-masing teori tersebut
untuk menganalisa sebuah kebijakan. Karena itu, dalam melakukan bimbingan dosen hanya akan
memberikan bimbingandalam langkah- langkah untuk menggunakan berbagai teori tersebut dalam
menjawab pertanyaan “Siapa yang mempengaruhi proses agenda – setting?” dan “Bagaimana dia
mempengaruhi proses agenda setting?”.

Penting untuk diingatkan kepada mahasiswa, bahwa dalam melakukan latihan analisis di sesi
ini dan sesi-sesi selanjutnya, yang diutamakan bukan masalah ketepatan dari analisis. Yang lebih
diutamakan dalam penilaian untuk mata kuliah ini adalah koherensi logika yang dipakai dalam
melakukan analisis. Harapannya, mahasiswa bisa lebih fokus untuk berlatih mengasah kemampuan
analisa.

E. Persiapan untuk Sesi Selanjutnya


Sebagai persiapan untuk sesi selanjutnya, mahasiswa diminta untuk membaca dan membuat
review dari beberapa literatur yang digunakan sebagai rujukan. Literatur itu adalah sebagai berikut:
• Hogwood dan Gunn , (l984),Bab 8. Forecasting dan Bab 10. Options Analysis.
• Bardach, (k005), Bab I, Delapan Anak Tangga.
• Howlett dan Ramesh, (l995), Chapt.7. Public Policy Decision Making – Beyond Rationalism,
Incrementalism, and Irrationalism.
• Thomas, John Clayton, (l995), Public Participation in Public Decisions, San Fransisco: Jossey – Bass
Publishers.
• Vries, Michael S. de, (1999),Calculated Choice in Policy Making: the Theory and Practice of Impact
Assesment, NY: St. Martin Press., Chap.2. The Task is to Make a Well Thought Choice dan Chap.3.
Alternatives and Criteria.
• Kusworo, Hendrie Adji dan Юamanik, Janianton, Pengembangan SDM dalam Agenda Kebijakan
Kepariwisataan, dalam Santoso Purwo, et.al (ed.), (2004), “Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan
Publik,” Yogyakarta: FISIPOL UGM.
Sebagai bagian dari persiapan untuk mengikuti sesi berikutnya, dosen juga bisa meminta
mahasiswa untuk melakukan analisis pengambilan keputusan kebijakan, berangkat dari contoh kasus
aktual. Dalam modul ini, isu yang ditampilkan adalah isu Fatwa MUI yang mengharamkan rokok.
Namun, dosen bisa mencari isu lain yang mungkin dirasa lebih relevan.
Penugasan yang diberikan kepada mahasiswa berangkat dari isu tersebut. Di sini, mahasiswa
diminta untuk memilih corak analisis, analisis untuk pengambilan keputusan kebijakan atau analisis
terhadap pengambilan keputusan kebijakan. Sesuai dengan pilihannya, mahasiswa diminta:
Untuk Kelompok ‘Analisis untuk Agenda - setting’  Isu: Fatwa MUI Haram Rokok

• Menganalisis isu Eatwa MUI Haram Rokok dan mengisi tabel Matriks Prioritas, Decision Tree,
dan Combined & Flexible Methods dari Hogwood & GunnModel Rational-Comprehensive
• Melakukan analisis dan menunjukkan bagaimana pejabat negara ini merespons isu ‘rokok’ dalam
kerangka logika Garbage – Can Model Garbage-Can
• Melakukan analisis dengan salah satu tehnik pendekatan model rational
– comprehensive dan memproyeksikannya dalam sebuah lingkungan kebijakan lengkap dengan
aktor-aktornya, serta memproyeksikan bagaimana lingkungan tersebut akan merespons isu tersebut,
baik melalui resistensi ataupun dukungan Model Mixed – Scanning

Untuk Kelompok ‘Analisis terhadapAgenda - setting’  Isu: Fatwa MUI Haram Rokok

• Mahasiswa diminta untuk mencari artikel tentang pengaturan rokok dan menganalisis bagaimana
proses pertarungan wacana yang terjadi dan pola umum apa yang bisa diketemukan dari analisa
tersebut

Daftar Pustaka
Birkland, A. Thomas, Agenda setting in Public Policy, dalam Fischer, Frank et.al. (eds.), (2007),
Handbook of PublicPolicy: Theory, Politics, and Methods, Boca Raton: CRC Press, FL.
Hogwood, Brian W. dan Lewis E. Gunn, Policy Analysis for the Real World, UK: Oxford University
Press
Jones, Charless O.,(1977), An Introduction to the Study of Public Policy, California: Duxburry Press.
Kingdon, John W., (1995), Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins College
Publishers
Meltsner, Arnold J., (1976), Policy Analysts in the Bureaucracy,Sage Publications.
Pertemuan VI

ANALISIS FORMULASI
DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN (1)

Misi Sesi Perkuliahan

 Melatih mahasiswa untuk menggunakan berbagai


model dan tehnik analisa tersebut dalam praktek
analisa pengambilan keputusan
 Melatih mahasiswa dalam menggunakan berbagai
pendekatan, model dan tehnik analisa untuk
menjelaskan fenomena pengambilan keputusan
kebijakan
Substansi Sesi Perkuliahan

 Pengambilan keputusan kebijakan


 Analisis pengambilan keputusan kebijakan (CBA & SWOT)
Metode Sesi Perkuliahan

 Ceramah
 Tutorial

A. Analisis dan Pengambilan Keputusan Kebijakan


Dosen mengawali sesi ini dengan memaparkan pada mahasiswa bahwa proses pengambilan
keputusan adalah proses memilih salah satu yang terbaik di antara sekian alternatif.1 Dalam
mengambil keputusan tersebut, setidaknya ada dua dilema dan kompleksitas yang harus dijawab,
pertama, ‘Mana pilihan yang terbaik, di antara sekian alternatif ?’, kedua, ‘Bagaimana kita bisa mengetahui
pilihan yang terbaik?’.

Untuk menjawab dilema dan kompleksitas tersebut, orang telah mengembangkan berbagai
model dan teknik pengambilan keputusan. Model dan teknik pengambilan keputusan ini digunakan
untuk menganalisa, mencari informasi, terkait berbagai alternatif yang ada dan informasi tersebut
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Disadari atau tidak, dalam kehidupan keseharian
kita, seringkali kita mengaplikasikan berbagai model dan teknik pengambilan keputusan ini.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pengambilan keputusan bukanlah hal yang luar biasa.
Setiap hari, setiap orang dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya mengambil keputusan.
Dalam situasi tersebut, orang dihadapkan pada sekian alternatif, tetapi karena keterbatasan sumber
daya yang dimilikinya, seringkali orang harus memilih hanya satu atau beberapa saja dari sekian
banyak alternatif tersebut. Karenanya, sebelum mengambil keputusan, orang biasanya akan
mengumpulkan informasi untuk mengidentifikasi alternatif yang dianggapnya paling baik di antara
alternatif yang lain.
Situasi serupa juga terjadi dan dihadapi oleh negara dalam proses pengambilan keputusan
kebijakan. Ketika dihadapkan pada satu, atau bahkan beberapa permasalahan sekaligus, akan
selalu ada sekian banyak alternatif solusi untuk masing-masing permasalahan tersebut. Karena
terbatasnya sumber daya, negara atau pemerintah tidak bisa mengambil semua alternatif tersebut
menjadi keputusan kebijakan. Dalam situasi seperti ini, pembuat keputusan harus memilih salah
satu atau beberapa alternatif, yang dianggap tepat untuk mengatasi problem yang dihadapi, untuk
dijadikan sebagai keputusan kebijakan. Permasalahannya, rumusan tentangpermasalahan
yang dihadapi tidak selalu sama, sehingga tidak ada ukuran yang baku
untuk menentukan apakah suatu alternatif tepat untuk menjawab suatu permasalahan atau tidak.2
Kompleksitasnya tidak hanya sekedar rumusan masalah yang berbeda, lebih dari itu, ada sekian
banyak model dan teknik pengambilan keputusan yang tersedia dan sampai sekarang, tidak ada
kesepakatan, model dan teknik mana yang paling benar atau paling baik di antara sekian banyak
model.
Sebagian besar analisis pengambilan keputusan kebijakan dilakukan untuk menentukan dari sekian
alternatif permasalahan yang dihadapi, menentukan langkah-langkah yang perlu diambil untuk
merespons permasalahan tersebut, bagaimana langkah-langkah tersebut dilakukan; dipantau; dan
kemudian dievaluasi (analisis untuk pengambilan keputusan).3 Namun ada sebagian analisis yang lain
yang lebih difokuskan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan mengapa dan bagaimana proses
pengambilan keputusan berlangsung (analisis terhadap pengambilan keputusan).
Seperti dalam pertemuan V sebelumnya, dalam sesi ini mahasiswa akan diajak untuk berlatih
melakukan analisis pengambilan keputusan kebijakan dalam dua corak tersebut. Namun sebelumnya,
dosen akan terlebih dahulu memaparkan secara singkat makna dari proses pembuatan keputusan dan
beberapa model dasar proses pengambilan keputusan.
Pada pertemuan ini, mahasiswa juga akan diajak untuk berlatih menggunakan metode turunan
dari model pengambilan keputusan Rational - Comprehensive, yaitu Cost Benefit Analysis - CBA dan
Strength, Weakness, Opportunities, and Threat-SWOT Analysis. Namun, sebelum melakukan latihan
analisis, terlebih dahulu dosen akan memaparkan secara singkat konsep dan praktek pengambilan
keputusan kebijakan.

B. Memahami Decision Making


Dalam memilih sekian alternatif yang kita hadapi ketika mengambil sebuah keputusan, kita
sadar bahwa setiap alternatif akan membawa konsekuensi yang berbeda-beda. Ketika dihadapkan
pada situasi harus menentukan dan memilih yang terbaik, seorang pengambil keputusan
membutuhkan informasi selengkap dan seakurat mungkin untuk bisa mengetahui spesifikasi dan
konsekuensi dari setiap alternatif yang ada, sehingga akhirnya mana pilihan yang terbaik bisa
nampak bagi si pengambil keputusan. Karena itu Brewer dan De Leon mendefinisikan
pengambilan keputusan kebijakan sebagai:

‘…penentuan pilihan di antara berbagai alternatif kebijakan yang telah ditawarkan, yang konsekuensi-nya
masing-masing telah diperkirakan. Bagian ini bisa dikatakan sebagai bagian dari proses kebijakan yang
watak politiknya paling jelas, karena dari sekian banyak potensi solusi suatu masalah, sebagian harus
ditolak dan satu atau beberapa yang lain dipilih dan digunakan. Jelas di sini pilihan yang harus diambil
tidaklah mudah dan keputusan untuk tidak melakukan apa-apa seringkali menjadi salah satu alternatif
solusi yang kuat’.4

Definisi Brewer dan De Leon tentang pengambilan keputusan di atas didasarkan pada asumsi
bahwa setiap alternatif telah diperkirakan konsekuensinya. Situasi demikian, sayangnya tidak selalu,
bahkan jarang sekali, ditemui dalam praktek nyata pengambilan keputusan kebijakan. Dalam hal tidak
ada informasi yang lengkap tentang konsekuensi dari setiap alternatif yang ada, pengambilan
keputusan didasarkan lebih pada perkiraan dan ramalan saja. Ini berarti memasukkan elemen
ketidakpastian dalam pengambilan keputusan kebijakan.5
Definisi pengambilan keputusan Brewer dan De Leon juga melihat bahwa fenomena proses
pengambilan keputusan adalah fenomena yang bersifat politik. Brewer dan De Leon melihat bahwa
dimensi politik dari fenomena ini disebabkan oleh adanya alternatif yang harus ditinggalkan dan
ada alternatif yang diambil sebagai keputusan kebijakan.
Dimensi politik dalam proses pengambilan keputusan terjadi sejak proses perumusan masalah.
Proses pengambilan keputusan melibatkan sejumlah kepentingan yang berbeda-beda dan masing-
masing mendefinisikan situasi permasalahan secara berbeda-beda. Ini berujung ada sekian banyak
rumusan masalah yang tidak selalu kongruen satu sama lain. Ujungnya, alternatif solusi yang
muncul dari berbagai rumusan masalah tersebut, bisa jadi menjadi solusi bagi satu pihak, tetapi
menjadi ancaman bagi pihak lain. Oleh sebab itu, proses pengambilan keputusan menjadi sebuah
proses yang kental dengan dimensi politik.
Dari paparan singkat di atas, dosen mengajak mahasiswa untuk memahami bahwa
kompleksitas proses pengambilan keputusan kebijakan coba dijawab dengan berbagai model
pengambilan keputusan kebijakan yang berusaha menjelaskan, dan digunakan untuk ‘merekayasa’,
fenomena dan proses pengambilan keputusan. Untuk itu, dosen mengajak mahasiswa untuk
mengingat kembali tiga model dasar kebijakan yang biasa dipakai baik untuk menjelaskan maupun
menganalisa pengambilan keputusan kebijakan, yang sebelumnya telah dibahas di Pertemuan II. Tiga
model dasar pengambilan keputusan itu adalah, Rational – Comprehensive; Mixed – Scanning; dan
Garbage – Can.
Perbedaan utama di antara ketiganya adalah pada penjelasan mereka tentang bagaimana proses
pengambilan keputusan berlangsung. Model Rational – Comprehensive melihat bahwa pengambilan
keputusan berlangsung sebagai proses yang sistematis dan didasarkan pada perhitungan rasional
dengan tujuan yang diasumsikan selalu jelas.7
Di kutub yang berlawanan, ada pendekatan Garbage – Can yang melihat bahwa proses
pengambilan keputusan lebih didasarkan pada nalar kebiasaan atau kelaziman, dan sedikit sekali
mempertimbangkan hal-hal terkait dengan efektivitas dan efisiensi keputusan. Ini disebabkan karena
model ini mengasumsikan bahwa realitas proses pengambilan keputusan lebih sering berada dalam
situasi di mana informasi tidak tersedia secara lengkap, tujuan pengambilan keputusan seringkali
kabur, waktu yang terbatas, dan masing-masing aktor yang terlibat memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Model Garbage – Can melihat bahwa dalam situasi demikian, tidak mungkin pengambil
keputusan melakukan pertimbangan yang menyeluruh dan cermat untuk semua alternatif yang ada.
Di antara keduanya, kita bisa temui ada pendekatan Mixed – Scanning yang berusaha
menjembatani dua kutub ekstrem yang diwakili oleh dua model dasar sebelumnya. Dalam model
Mixed – Scanning, dalam proses pengambilan keputusan para decision makers melakukan scanning
secara cepat untuk menjaring alternatif-alternatif yang “biasa” diambil dalam situasi-situasi kebijakan
yang relatif serupa. Selanjutnya, alternatif-alternatif yang terjaring dianalisis dengan logika rasional
untuk mendapatkan pilihan yang dianggap paling tepat dan sesuai dengan kebiasaan yang ada.
Analisis dengan logika rasional ini juga tidak mungkin mencakup seluruh informasi yang
dibutuhkan untuk mendapatkan keputusan yang ideal. Kedua langkah ini dilakukan untuk
menyiasati keterbatasan informasi, waktu, sumberdaya, dan perbedaan rumusan permasalahan di
antara aktor-aktor yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
Dalam masing-masing model dasar, ada banyak teknik dan metode analisis turunannya yang biasa
dipakai dalam analisa pengambilan keputusan kebijakan. Namun sebagai latihan, di sini, bagi
mahasiswa yang memilih corak analisis untuk pengambilan keputusan kebijakan, dosen mengajak
mahasiswa untuk hanya menggunakan analisis CBA dan SWOT. Sementara, bagi mahasiswa yang
memilih corak analisis terhadap kebijakan, dosen mengajak membimbing mahasiswa tersebut
membangun sebuah analitis teoritis pengambilan keputusan kebijakan dengan mengambil contoh kasus
yang sedang hangat di media massa, untuk dianalisis dengan menggunakan model Rational -
Comprehensive.

C. Latihan Analisa untuk Formulasi dan Pengambilan Keputusan Kebijakan: Cost –


Benefit Analysis
Dalam melakukan latihan analisa untuk kebijakan, dosen membimbing mahasiswa melakukan
analisa CBA untuk pengambilan keputusan kebijakan. Secara umum dalam analisis CBA, masing-
masing alternatif diperhitungkan berdasarkan variabel cost yang muncul sebagai konsekuensi dari
tiap alternatif dan variabel benefit yang berpotensi dihasilkan dari tiap alternatif. Kemudian
proyeksi biaya dan manfaat dari masing-masing alternatif diperbandingkan dan kemudian di pilih
alternatif yang paling sedikit menimbulkan biaya, namun mendatangkan manfaat paling besar.
Prinsip dari CBA adalah Pareto Improvements. Sebuah proyek dikatakan pareto
improvements jika proyek tersebut meningkatkan kualitas hidup (benefit) dari beberapa orang, tapi tanpa
harus membuat orang lain menanggung beban (cost) yang ditimbulkan dari peningkatan kualitas
hidup beberapa orang tersebut. Jelasnya, masyarakat harus dapat mencapai pareto improvements,
sebab mereka menolong orang lain, tapi juga tidak menyakiti yang lain. Namun demikian, dalam
masyarakat yang kompleks, setiap proyek atau kebijakan tidak mungkin memuaskan semua pihak.
Bahkan pasti akan membuat beberapa orang merugi.

Biasanya variabel cost dan benefit ini diukur dengan menggunakan uang sebagai alat ukur.
Namun, CBA sebetulnya tidak selalu menggunakan uang sebagai alat ukur. Karena itu, adalah
penting, sebelum melakukan analisis CBA, untuk mengetahui secara lebih spesifik permasalahan
apa yang ingin diatasi dengan pilihan kebijakan yang akan diambil, dan dalam satuan hitung apa
manfaat dan biaya yang muncul akan dihitung.
Dosen memaparkan bahwa langkah ini merupakan langkah krusial karena bagaimana
permasalahan didefinisikan akan menentukan alternatif apa yang muncul. Pada gilirannya,
keduanya akan menentukan keputusan apa yang akan diambil. Untuk memudahkan mahasiswa
memahami, dosen bisa menggunakan kasus penggusuran tanah yang sudah dibahas dipertemuan III
sebelumnya, dan menjelaskan bagaimana problem dalam kasus tersebut dipahami secara berbeda-
beda dan berkonsekuensi memunculkan kriteria dan alternatif yang berbeda pula.
Setelah permasalahan teridentifikasi secara lebih spesifik, analis bisa mulai membangun
kriteria yang berdasarkan permasalahan yang didefinisikan tersebut. Kriteria ini bisa dibangun
sebagai heuristik tentang solusi yang dianggap paling ideal bagi permasalahan yang ada. Kriteria ini
akan digunakan untuk mengukur berbagai alternatif yang ada dan menemukan alternatif yang
terbaik, yaitu yang paling mendekati gambaran ideal tersebut. Gambaran keputusan yang ideal
dalam CBA adalah keputusan yang memenuhi kriteria prinsip dari CBA adalah pareto improvements.
Sebuah proyek dikatakan pareto improvements jika proyek tersebut meningkatkan kualitas hidup dari
beberapa orang, tapi tidak membuat orang lain rugi. Jelasnya, masyarakat harus dapat mencapai
pareto improvements, sebab mereka menolong orang lain, tapi juga tidak menyakiti yang lainnya.
Namun demikian, dalam masyarakat yang kompleks, setiap proyek atau kebijakan tidak mungkin
memuaskan semua pihak. Bahkan pasti akan membuat beberapa orang merugi. Dalam keterbatasan
itu, maka sebuah proyek atau kebijakan dikatakan menciptakan Pareto improvement yang potensial jika
yang diuntungkan lebih banyak daripada yang dirugikan.
Dosen perlu mengingatkan bahwa dalam analisis CBA, kebanyakan orang cenderung memahami
cost dan benefit hanya dalam pengertian uang,tetapi, pada kenyataannya tidak selalu demikian. Cost
dan benefit ini bisa juga dinyatakan dalam term kualitatif dan apa yang diidentifikasi sebagai cost dan
benefit ditentukan oleh definisi permasalahan yang dihadapi. Untuk itu, dari kasus yang sama dosen
memberikan ilustrasi bagaimana cost dan benefit bisa dinyatakan dalam term kualitatif dan dimaknai
secara berbeda sebagai akibat dari definisi permasalahan yang berbeda.
Analisis dilanjutkan dengan mengidentifikasi langkah-langkah alternatif apa yang bisa diambil
untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam membangun perbandingan di antara berbagai alternatif
untuk mendapatkan pilihan paling tepat, CBA analysis menggunakan logika seperti yang biasa
digunakan dalam interaksi antara pembeli dan penjual.
Sederhananya, untuk tiap alternatif yang dipilih akan membawa implikasi adanya
pengorbanan atau biaya (cost) yang harus dikeluarkan, seperti orang membeli suatu barang atau
jasa yang harus membayar untuk mendapatkannya. Seperti juga seorang pembeli yang mengharapkan
barang atau jasa yang dibelinya akan mendatangkan manfaat bagi dirinya, begitu juga dengan para
pengambil keputusan. Para pengambil keputusan, diasumsikan, mengharapkan cost yang
dikeluarkan untuk tiap program akan memberikan manfaat sebesar mungkin bagi pencapaian
tujuan kebijakan secara keseluruhan. Untuk merangkum pemaparan di atas, dosen menjelaskan
prinsip-prinsip teknis pelaksanaan analisis CBA berikut ini:
1. Menentukan standar ukuran  biasanya yang dipakai adalah uang, tetapi tidak selamanya standar
ukuran yang dipakai adalah uang;
2. Menggunakan logika pembeli dan penjual untuk setiap aktivitas;
3. Keuntungan didefinisikan sebagai pilihan pasar (market choice);
4. Beberapa ukuran keuntungan mensyaratkan penilaian dalam bentuk angka kehidupan manusia
(Valuation of Human Life);
5. Analisa sebuah proyek harus melibatkan perbandingan antara ada proyek dengan tidak ada proyek
(With Versus Without Comparison);
6. Membutuhkan studi area tertentu;
7. Penghitungan ganda antara biaya dan keuntungan harus dihindari; dan
8. Perlu menghitung discounting (perbandingan antara nilai uang sekarang dengan nilai uang
masa depan)

Dalam paparan di atas, analisis CBA terdengar lebih berwatak teknokratis. Cost dan Benefit
lebih terdengar sebagai kata lain dari untung dan rugi seperti dalam kegiatan perdagangan semata.
Namun, sebenarnya CBA juga bisa digunakan dalam analisis yang lebih sensitif terhadap dimensi
politik dari proses pengambilan keputusan kebijakan.
Analisis CBA jenis ini biasanya diterjemahkan dalam term yang sifatnya kualitatif, karena
memang sulit untuk dikuantifikasi. Misalnya, ketika proyeksi suatu alternatif keputusan ternyata
memunculkan potensi besar menimbulkan konflik dengan kepentingan lain. Namun, pada saat yang
sama alternatif yang sama juga berpotensi besar menarik dukungan dari kelompok kepentingan yang
lain, dan kebetulan, kelompok tersebut memiliki sesuatu yang dibutuhkan demi tercapainya tujuan
kebijakan. Tentunya hasil analisa seperti ini tidak bisa begitu saja dinyatakan dalam term kuantitatif
sebagaimana lazimnya.
Untuk itu, bagi mahasiswa yang melakukan latihan analisis CBA yang dinyatakan dalam term
kualitatif, dosen perlu memberikan bimbingan cara melakukan pemberian skor - scoring. Jika dalam
analisis CBA yang dinyatakan dalam term kuantitatif, misalnya uang, data
perbandingan akan langsung nampak ketika analis selesai menghitung perkiraan biaya dan manfaat
yang diterima, dalam analisis CBA yang dinyatakan dalam term kualitatif, perkiraan cost dan benefit
yang dihasilkan harus dikonversi melalui proses scoring.
Box VI.2. Ilustrasi

Analisis CBA Sederhana untuk Pengambilan Keputusan

Seorang direktur penjualan sedang memutuskan apakah


akan menambah komputer atau tidak (perusahaannya
hanya mempunyai beberapa komputer dan pekerjanya
tidak paham dengan komputer). Direktur tersebut sadar
bahwa penambahan komputer akan dapat meningkatkan
kualitas pelayanan kepada pelanggan dan meningkatkan
jumlah pelanggan serta akan dapat mengurangi jumlah
pekerja. Selama ini keuntungan perusahaan dia adalah Rp
5 juta/bulan. Oleh sebab itu, dia meminta staffnya untuk
melakukan analisis dengan menggunakan CBA.

Biaya (dlm 1 bulan) Keuntungan (dlm 1


tahun)
Peralatan Rp 50 Pengurangan Rp 10
komputer yg juta;; jumlah pekerja juta
baru,meliputi: Rp 5 juta;; (estimasi)
10 jaringan Rp 5 juta
komputer, 3
printer,
Koneksi
dengan internet
Biaya Training: Rp 5 juta Peningkatan Rp 20
Biaya training efisiensi juta
utk usaha (estimasi)
8 orang
Biaya-- Rp 5 juta Peningkatan Rp 35
Biaya Lain: pelanggan juta
Waktu yg (estimasi
hilang Peningkatan Rp 35
selama pelayanan juta
masa (estimasi
training
(estimasi)
Total Rp 70 Total Rp 100
juta juta

Setelah melakukan analisis CBA seperti di atas, maka diperoleh hasil bahwa program
penambahan jumlah komputer justru menghasilkan keuntungan untuk perusahaan. Biaya
investasi yang dihabiskan dalam satu bulan pertama sudah bisa memberikan break event point
dan laba dalam jangka waktu satu tahun.
Proses scoring ini bisa dilakukan dengan mengacu pada gambaran keputusan ideal yang
memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan. Proses ini akan menghasilkan skor dari gambaran
keputusan ideal yang diharapkan. Selanjutnya, alternatif-alternatif lain dianalisis dan diukur
berdasarkan perbandingannya dengan skor ideal tersebut. Contoh sederhana dari sebuah analisis
CBA bisa dilihat dalam Tabel
VI.2. Ilustrasi Analisis CBA Sederhana untuk Pengambilan Keputusan. Tabel tersebut
memuat contoh Analisis CBA Dalam Pengambilan Keputusan Kebijakan di Sektor Bisnis.
Sembari mahasiswa menyimak ilustrasi tersebut, dosen memaparkan pada mahasiswa tentang
metode CBA dan penggunaannya dalam analisis pengambilan keputusan kebijakan. Seperti tercermin
dari namanya, teknik CBA menjadikan dua variabel sebagai alat ukurnya, yaitu cost dan benefit
yang mungkin ditimbulkan dari suatu kebijakan. Dalam tabel tersebut tersebut nampak bahwa
perhitungan CBA yang dilakukan memproyeksikan variabel beban biaya yang harus ditanggung dan
keuntungan yang diberikan dari alternatif keputusan/kebijakan untuk menambah komputer. Agar
mudah diukur dan diperbandingkan, proyeksi itu dinyatakan dalam bentuk kuantitatif, yang di sini
dinyatakan dalam bentuk uang, meskipun tidak menutup kemungkinan CBA dilakukan dengan
menggunakan standar ukuran selain uang.
Hasil analisis CBA seperti dalam ilustrasi, memberikan proyeksi kepada pengambil keputusan
tentang dampak yang mungkin muncul (keuntungan/kerugian). Ini menjadi informasi bagi si
pengambil keputusan dan membantunya untuk mendapatkan keputusan yang dianggap paling
baik/menguntungkan.
Perlu diingat, meksi hasil analisis CBA sudah bisa memberikan gambaran, namun hal tersebut
belum final. CBA tidak bisa memberikan keputusan tentang program yang diambil. Persoalan apakah
program tersebut kemudian dilaksanakan atau tidak, tetap berada di tangan direktur yang
berwenang mengambil keputusan. Selain itu, analisis CBA juga tidak memberikan gambaran
bagaimana tiap alternatif akan direalisasikan dalam implementasi. Ingat definisi decision atau
keputusan yang juga memasukkan unsur langkah-langkah pelaksanaan!
CBA digunakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik oleh invidu maupun instansi; baik
private maupun pemerintah. Hasil analisis dengan menggunakan CBA cukup dipercaya, karena CBA
memiliki kelebihan sebagai berikut:
• Юapat dibandingkan
• Transparan
• Memberikan proyeksi yang terukur secara relatif akurat, sehingga terutama sekali digunakan untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi (ketika satu pilihan dapat meningkatkan efisiensi, pilihan
tersebut harus diambil).

Namun, tidak berarti instrumen CBA ini sempurna. Di bawah ini adalah beberapa poin
kelemahan CBA, terutama ketika digunakan untuk melakukan pengambilan keputusan di sektor
publik:
• Penghitungan ekonomi untuk Public Good dengan menggunakan CBA sulit untuk dilakukan.
Sebagai contoh, berapakah harga udara yang kita hirup?
• Tidak dapat mengukur aspek multidimensional seperti keberlangsungan, partisipasi publik
dalam pembuatan keputusan dan nilai-nilai sosial yang lain.
• CBA juga hanya berfungsi untuk memberikan informasi kepada
pengambil keputusan, tapi tidak dengan sendirinya membuat keputusan.
• Eokus pada ⁵efisiensi’ sehingga melupakan ⁵equity’. Keduanya adalah dua kriteria yang berdiri sendiri-
sendiri dalam ekonomi kesejahteraan. Padahal aspek kesetaraan sangat penting karena kebijakan
publik merupakan fungsi utama pemerintah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar rakyat,
dimana seringkali prinsip-prinsip ini bertentangan dengan prinsip untung-rugi (logika dasar
CBA).
• 5fisiensi yang diharapkan diperoleh dengan CBA ini tidak jelas versi siapa? Apakah ditafsirkan
oleh pemerintah atau Masyarakat? Tua atau muda? Laki-laki atau perempuan?
Dosen perlu mengingatkan pada mahasiswa bahwa meskipun disadari bahwa CBA memiliki
banyak kelemahan, terutama ketika digunakan untuk melakukan analisa kebijakan sektor publik,
namun banyak analis dan pembuat kebijakan sektor publik tetap menggunakan instrumen ini, mengingat
instrumen ini memiliki kelebihan yang terlalu besar untuk diabaikan begitu saja.

D. Latihan Analisa untuk Formulasi dan Pengambilan Keputusan Kebijakan: SWOT


Analysis
SWOT Analysis mengedepankan pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan faktor
internal dan eksternal. Masing-masing faktor ini ditentukan oleh dua variabel utama, yaitu kekuatan
dan kelemahan sebagai faktor internal, serta kesempatan dan ancaman, sebagai faktor eksternal.
Dalam analisis SWOT, langkah pertama yang harus dilakukan sama dengan Analisis CBA,
yaitu mendefinisikan permasalahan. Namun definisi permasalahan dalam analisis SWOT biasanya
juga memasukkan variabel situasi keputusan. Misal, ‘Apakah keputusan yang diambil bersifat
mendesak atau tidak?’, atau ‘Apakah keputusan harus diambil dalam situasi keterbatasan informasi
atau tidak?’. Dalam analisis SWOT, ini semua bisa dilakukan dengan mengidentifikasi situasi
berdasarkan empat variabel utama SWOT.
Analisa untuk pengambilan keputusan dilakukan dengan menganalisa situasi internal
pengambil keputusan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang ada dan diproyeksikan
pada kesempatan dan ancaman yang dihadirkan oleh lingkungan eksternal yang dihadapi. Dari situ,
diharapkan akan dihasilkan gambaran tentang keputusan apa yang paling tepat, dalam arti
memaksimalkan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan kesempatan yang ada semaksimal
mungkin, sembari menutup kelemahan dan menetralisir, setidaknya menghindari, ancaman. Alur
SWOT ini dijabarkan dalam Bagan VII.1. Alur SWOT.
Bagan VI.1. Alur SWOT

Mengkaji Lingkungan

Analisis Internal Analisis Eksternal

Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman

KEPUTUSAN

Dalam membimbing mahasiswa untuk melakukan analisis dengan instrumen SWOT Analysis,
dosen mengajak mahasiswa untuk mengikuti langkah-langkah dasar yang umum digunakan dalam
SWOT Analysis, seperti yang dipaparkan di bawah ini.

• Langkah 1,”Scan” of the environment of the programme


Langkah ini memungkinkan untuk melakukan deteksi terhadap trend dan masalah umum yang
sekiranya akan mempengaruhi masa depan teritori dibawah pertimbangan. Dalam langkah 1 ini
digunakan socio- demographic, economic, political and physical indicators. Indikator kesenjangan regional
berguna untuk mengidentifikasi berbagai peluang dan ancaman yang ada. Namun demikian, langkah 1
ini jangan sampai menyita banyak energi sehingga dilakukan secara cepat dan sepintas (scan).

• Langkah 2, The preparation of an inventory of possible actions


Langkah ini dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai alternatif tindakan yang mungkin
untuk dilakukan. Masing-masing alternatif dirumuskan dalam term-term yang umum dalam
hubungan dengan masalah utama yang sudah teridentifikasi.
• Langkah 3,The external analysis of opportunities and threats
Langkah ini terdiri dari mendaftar parameter dari lingkungan yang tidak dalam kontrol langsung
pembuat kebijakan dan diasumsikan akan sangat mempengaruhi pembangunan sosio ekonomi.

• Langkah 4,Internal analysis of strengths and weaknesses


Langkah ini melibatkan pengidentifikasian faktor-faktor yang setidaknya berada di bawah
kontrol otoritas pembuat kebijakan, yang kemungkinan bisa mendorong atau, sebaliknya,
menghambat perkembangan.

• Langkah 5,Classification of possible actions


Langkah ini dilakukan dengan menyusun berbagai alternatif tindakan yang ada dalam skala
prioritas, yang didasarkan pada panduan strategis, yang dianggap paling berpeluang
menanggulangi permasalahan, dengan memfokuskan pada kekuatan sembari mengurangi, atau
bahkan menghilangkan kelemahan. Harapannya, dengan kekuatan yang semakin besar, dan
sebaliknya kelemahan semakin kecil, semakin besar kesempatan dan semakin kecil resiko yang
dihadirkan oleh lingkungan eksternal.

• Langkah 6,Evaluation of a strategy


Langkah ke-6 ini bersifat opsional. Langkah ini dilakukan jika dianggap perlu menimbang
relevansi sebuah strategi yang sudah diimplementasikan atau sedang direncanakan. Langkah ini bisa
didesain berdasarkan sebuah analisis ‘aktivitas portofolio’. Seperti sebuah perusahaan dengan
berbagai produk dan pasarnya, sebuah program sosial-ekonomi memuat sejumlah tindakan
intervensi, yang mana sebagian dibangun berdasarkan kekuatan dan kesempatan yang ada,
sementara sebagian yang lain dilakukan untuk mengkompensasikan kelemahan atau memberikan
peringatan akan adanya ancaman.
Dalam melakukan analisis SWOT, analis perlu membuat semacam peta intervensi yang
dibangun berdasarkan dua poros utama, yaitu (1) poros fisibilitas internal, mencakup kekuatan dan
kelemahan, dan (2) lingkungan eksternal, yang mencakup kesempatan dan ancaman. Peta itu bisa
digunakan untuk mempertimbangkan relevansi suatu strategi atau keputusan yang akan atau sudah
diambil.
Hasil pemetaan di atas akan memunculkan strategi-strategi seperti terdapat dalam Tabel VII.1.
• S-O Strategies  mengejar Opportunity yang sesuai dengan Strength
• W-O Strategies  mengatasi Weakness untuk mengejar Opportunity
• S-T Strategies  identifikasi cara yang dapat digunakan dalam rangka menggunakan Strength
untuk mengurangi external Threat
• W-T Strategies  menyusun rencana untuk mencegah kelemahan yang semakin besar akibat
ancaman dari luar.

Tabel VI.1. Strategi-strategi Dalam Swot Analysis


Strength Weakness
Opportunities S-O Strategies W-O Strategies
Threats S-T Strategies W-T Strategies

Analis menggunakan strategi-strategi itu berguna sebagai basis untuk menimbang relevansi
dari berbagai alternatif keputusan kebijakan yang akan diambil dan kompatibilitasnya dengan
situasi yang dihadapi.
Hal yang perlu diperhatikan dalam SWOT:
1. Analisis SWOT secara garis besar berupaya merumuskan langkah-langkah strategis dengan
mempertemukan variabel situasi eksternal dengan kondisi internal. Sebetulnya ada sekian
banyak kemungkinan langkah yang bisa dihasilkan dari pertemuan tersebut. Penentuan langkah
mana yang paling tepat akan bisa terjadi secara arbitrer jika analis tidak cermat. Untuk
menghindari ini, analis yang melakukan analisa dengan instrumen ini harus siap untuk
memperhitungan setiap alternatif langkah strategis yang dihasilkan dari SWOT Analysis, untuk
bisa mendapatkan pilihan yang benar-benar tepat.
2. Untuk itu, dalam melakukan analisis dengan instrumen SWOT, analis harus memiliki
kejelasan visi, karena pemaknaan peluang maupun ancaman hanya akan relevan dalam kerangka
pencapaian visi tersebut. Biasanya pemerintah daerah sulit mencapai kesepakatan tentang visi
tersebut, sehingga memunculkan ketidakjelasan, baik dalam penyusunan rencana strategis –
renstra maupun dalam melakukan analisis SWOT. Artinya, analisis SWOT sebagai bagian dari
Model Rational-Comprehensive mensyaratkan adanya rasionalitas tunggal.
3. Ada respons terhadap situasi normal maka pilihan seringkali didorong oleh motif optimalisasi
capaian – minimalisasi resiko (S – O Strategies). Tetapi dalam situasi yang tidak normal,
misal dalam konteks bencana, strategi itu menjadi tidak relevan. Dalam situasi demikian, maka
pilihan akan lebih didorong oleh motivasi kontrol terhadap kerusakan. Harus disadari bahwa
situasi cenderung berubah dengan cepat, sementara SWOT lebih banyak digunakan untuk
perencanaan jangka panjang, sehingga SWOT tidak memberikan pilihan untuk berganti strategi
sebagai bentuk adaptasi terhadap situasi yang berubah. Ini berujung pada kurangnya kapasitas
Analisis SWOT untuk menawarkan roadmap yang bersifat transformatif. Analisis SWOT masih
bersifat statis meskipun sudah lebih canggih dari CBA.
4. Analisis SWOT masih memiliki kelemahan yang dimiliki oleh CBA ketika harus berhadapan
dengan variabel-variabel yang intangible atau sulit untuk dikuantifikasi. Tentunya ini mempengaruhi
informasi yang dihasilkan dan, ujungnya, mempengaruhi keputusan yang diambil.

Setelah mahasiswa selesai dengan simulasi melakukan latihan analisis dengan instrumen CBA
dan SWOT,dosen mengajak mahasiswa untuk menindaklanjuti hasil analisanya dengan membuat
sebuah formula kebijakan. Mengapa demikian, karena dalam logika Rational – Comprehensive, setiap
keputusan yang diambil harus pula telah mempertimbangkan dan mengantisipasi segala kemungkinan
yang bakal muncul sebagai konsekuensi dari pilihan tersebut.
Untuk membimbing mahasiswa dalam berlatih membuat formulasi kebijakan ini, dosen
dapat menggunakan kerangka logikaProgram Kaukus Parlemen Bersih sebagai ilustrasi. Seperti dalam
kerangka logika tersebut, mahasiswa diminta untuk membuat sebuah kerangka logika, yang nantinya
akan digunakan sebagai kerangka kerja untuk mengimplementasikan keputusan kebijakan yang
diambil.
Dosen memaparkan bagaimana formulasi kebijakan dalam contoh kerangka logika tersebut
dipaparkan secara detil dan sistematis,mulai dari tujuan; keluaran; dan kegiatan. Untuk tiap-tiap
poin tersebut, instrumen verifikasi yang mencakup variabel indikator, verifikasi, dan asumsi.
Kerangka logika ini, selain berguna sebagai panduan dalam mengimplementasikan keputusan
kebijakan yang diambil, juga menjadi bagian dari instrumen monitoring dan evaluasi terhadap
kebijakan tersebut.
Sama seperti diperlihatkan dalam ilustrasi kerangka kerja program Kaukus Parlemen Bersih
tersebut, mahasiswa diminta untuk menguraikan tujuan kebijakan dalam poin-poin keluaran. Poin-
poin keluaran tersebut kemudian diterjemahkan dalam poin-poin kegiatan yang logikanya dilakukan
untuk menghasilkan keluaran yang diinginkan.
Dalam menyusun kerangka logika ini, dosen mengingatkan kepada mahasiswa, bahwa dalam
logika Rational – Comprehensive, semua tindakan, termasuk pengambilan keputusan, merupakan perbuatan
yang bertujuan. Sehingga dalam menguraikan keputusan kebijakan dalam kerangka kerja ini, selalu akan
terdapat hubungan kausal antar poin-poin yang ada dalam kerangka kerja tersebut. Karena itu, dalam
latihan membuat kerangka logika ini mahasiswa harus bisa memberikan penjelasan logis hubungan
antara poin tujuan; keluaran; kegiatan dan indikator; verikasi; dan asumsi yang muncul dalam kerangka
kerja yang dibuatnya.

E. Latihan Analisis terhadap Pengambilan Keputusan Kebijakan


Bagi mahasiswa yang memilih corak analisis terhadap kebijakan, dosen membimbing
mahasiswa tersebut dalam membangun sebuah penjelasan tentang bagaimana CBA dan SWOT
digunakan untuk menjelaskan kasus pengambilan keputusan kebijakan dari sebuah contoh kasus
pengambilan keputusan kebijakan. Analisis CBA dan SWOT di sini digunakan untuk mengukur
apakah proses pengambilan dan keputusan kebijakan yang dihasilkan sejalan dengan konsep
demokrasi sebagai ‘bertautnya kepentingan yang diperintah dengan yang memerintah’.11
Dosen membimbing mahasiswa untuk melakukan analisis terhadap kasus tersebut, untuk
mengetahui apa yang menjadi concern dan didefinisikan sebagai Cost – Benefit dalam kasus yang
dianalisis dengan CBA dan apa yang didefinisikan sebagai Strength – Weakness – Opportunity – dan
Threats bagi kasus yang diamati dengan SWOT Analysis.

Setelah variabel-variabel tersebut diidentifikasi dalam kasus yang dianalisis, mahasiswa


diminta untuk mengidentifikasi, kepentingan aktor manakah dalam proses pengambilan keputusan
yang paling mendapatkan keuntungan dari keputusan kebijakan yang dihasilkan. Dari situ,
mahasiswa bisa mengukur apakah keputusan yang dihasilkan oleh para pengambilan keputusan benar-
benar bersambung dengan kehendak publik. Ini dilakukan dengan melihat apakah yang didefinisikan
sebaga cost – benefit maupun strength – weakness – opportunity dan threat oleh para pengambil keputusan
sesuai dengan definisi publik terhadap variabel-variabel tersebut dalam kasus yang diamati.
Tentunya di antara para pengambil keputusan dan publik sendiri terdapat berbagai rumusan cost –
benefit dan strength – weakness – opportunity dan threat. Dalam analisis ini, mahasiswa juga diminta
untuk menjelaskan bagaimana proses pengambilan keputusan yang terjadi sampai pada rumusan
tentang masing-masing variabel tersebut, yang kemudian digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan dalam kasus yang diamati. Proses ini juga diukur dengan menggunakan konsep
demokrasi yang dikemukakan Dahl, yaitu melihat apakah ada kesempatan yang luas bagi berbagai
rumusan tentang cost – benefit dan strength – weakness – opportunity dan threat untuk saling berkompetisi
satu sama lain dalam sistem pengambilan keputusan yang menjadi konteks dari kasus yang diamati.
Dari analisis ini, mahasiswa diharapkan akan menghasilkan sebuah laporan analisis yang berisi
paparan tentang proses pengambilan keputusan kebijakan, dengan menggunakan teknik analisis
CBA dan SWOT, dan menyandingkannya dengan konsep demokrasi yang dikemukakan oleh
Dahl.

E. Persiapan untuk Sesi Berikutnya


Sebagai persiapan untuk sesi selanjutnya, dosen bisa meminta mahasiswa untuk membaca dan
mereview literatur tentang analisis pengambilan keputusan dengan Model Garbage-Can. Literatur
untuk itu adalah:
• Howlett, Michael dan Ramesh, M., (l995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, Oxford University Press, chap.7.
• Юunn, William N., k00k, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Samodra Wibawa et.al.(terj.), Gamma
Press, Chapter 5, Merumuskan Masalah-masalah Kebijakan.
• CohenM Ю, March J G, Olsen J P, (l97k), A Garbage-Can model of Organizational Choice,
Administrative Science Quarterly,17, hal. 1-25.
Untuk memastikan mahasiswa membaca, dosen bisa melakukan penugasan dengan meminta
mahasiswa untuk melakukan review terhadap literatur tersebut.

Daftar Pustaka
Dahl, Robert A., (1971),Polyarchy: Participation and Opposition, Yale University Press
Howlett, Michael dan Ramesh, M., (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, UK: Oxford University Press
Jones, Charles O., (1977), An Introduction to the Study of Public Policy 2nd Edition, Mass: Duxbury
Press
Kingdon, John W., (1995),Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins College
Publishers
Stone, Deborah, (1997), Policy Paradox: the Art of Political Decision Making, NY:W&W Norton &
Company, pertama kali dipublikasikan 1988 dengan judul “Policy Paradox andPolitical Reason”
Vries,Michiel S. de, (1999),Calculated Choice in Policy Making: the Theory and Practice of Impact
Assesment, London: MacMillan
Pertemuan VII

ANALISIS FORMULASI
DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN(2)

Misi Sesi Perkuliahan

• Memberikan mahasiswa keterampilan untuk melakukan


analisa pengambilan keputusan kebijakan berdasarkan
model Garbage – Can
• Melatih mahasiswa dalam menggunakan berbagai
pendekatan, model dan tehnik analisa untuk
menjelaskan fenomena pengambilan keputusan
kebijakan dengan model Garbage - Can
Substansi Sesi Perkuliahan

• Analisis Pengambilan Keputusan Kebijakan berangkat


dari model Garbage-Can
Metode Sesi Perkuliahan

• Ceramah
• Diskusi Kelas

A. Model Garbage-Can dalam Analisa Pengambilan Keputusan Kebijakan


Dosen mengawali pertemuan di sesi ini dengan mengajak mahasiswa untuk mengingat kembali
tema utama dari sesi sebelumnya, yaitu analisis pengambilan keputusan kebijakan. Pada sesi sebelumnya
mahasiswa telah diajak untuk memahami dan berlatih melakukan analisa dengan model rasional,
entah itu kemudian diklaim sebagai komprehensif ataupun terbatas (bounded-rationality).
Dalam sesi ini, topik utama yang dibahas masih sama dengan sesi sebelumnya, namun yang
memberikan perbedaan mendasar adalah model yang digunakan untuk melakukan analisa.Dosen
mengawali sesi ini dengan memberikan pemaparan singkat tentang model Garbage Can sebagai
sebuah model berpikir dalam pengambilan keputusan kebijakan.
Dalam sesi ini mahasiswa akan diminta untuk melakukan latihan analisa pengambilan
keputusan kebijakan. Seperti pada latihan di dua sesi sebelumnya, mahasiswa diminta untuk
memilih antara corak analisis untuk pengambilan keputusan kebijakan atau analisis terhadap
pengambilan keputusan kebijakan.

B. Memahami Model Garbage-Can dalam Analisa Pengambilan Keputusan


Model Garbage - Can, secara umum, sudah dipaparkan pada sesi sebelumnya. Pada sesi ini
dosen hanya akan memberikan beberapa detil menyangkut beberapa asumsi dasar yang menjadi
prasyarat bekerjanya model Garbage - Can dalam proses pengambilan keputusan kebijakan.
Pertama-tama, dosen menjelaskan kepada mahasiswa bahwa pada sesi sebelumnya, mahasiswa
melakukan analisa pengambilan keputusan kebijakan dalam sebuah situasi, di mana diasumsikan
ada kejelasan tujuan pengambilan keputusan kebijakan, ada kejelasan alternatif-alternatif
keputusan kebijakan, informasi tersedia secara lengkap, dan aktor-aktor yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan, setidaknya, memiliki kesepakatan akan tujuan dari pengambilan keputusan
tersebut. Ini bisa kita sebut sebagai situasi pengambilan keputusan yang ideal.
Sayangnya, sebagian besar praktek pengambilan keputusan kebijakanterjadi dalam situasi
yang jauh dari gambaran ideal tersebut. Situasi riil pengambilan keputusan kebijakan seringkali
menempatkan para pembuat keputusan dalam situasi di mana tidak seluruh alternatif keputusan bisa
diketahui, informasi yang tidak lengkap, dan aktor- aktor yang terlibat dalam proses tersebut memiliki
tingkat kesepakatan yang rendah tentang tujuan dari pengambilan keputusan yang dilakukan.1
Dalam situasi seperti ini, tentunya pendekatan Rational – Comprehensive tidak mungkin dilakukan,
karena prasyaratnya untuk itu tidak terpenuhi. Kalaupun dipaksakan, hasil analisis yang dilakukan
akan memiliki tingkat reliabilitas dan validitas yang rendah, karena sebagian besar pertimbangan
hanya akan didasarkan pada asumsi.
Pertama, mahasiswa perlu diingatkan bahwa model Garbage - Can ‘tidak’ mengandaikan bahwa
proses pengambilan keputusan kebijakan berjalan dalam proses yang acak, di mana pengambil
keputusan secara serampangan mengambil satu isu sebagai permasalahan dan kemudian
mencocokannya dengan satu solusi yang dipilih dengan cara yang sama. Model Garbage - Can sama
sekali tidak menggambarkan proses seperti itu.
Kedua, dalam model Garbage - Can, asumsi yang paling dasar adalah bahwa seluruh proses
pengambilan keputusan terjadi dalam sebuah konteks kelembagaan tertentu.2 Konteks kelembagaan
tersebut mencakup pula nilai, norma, kebiasaan, dan aturan-aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis,
yang tereproduksi terus-menerus dalam rutinitas keseharian.
Misalnya, dalam kehidupan keseharian kampus, kita bisa melihat bagaimana dosen,
mahasiswa, dan civitas akademika menjalankan rutinitas dan saling berinteraksi satu sama lain.
Dalam menjalankan rutinitas dan berinteraksi, masing-masing civitas akademika menjalankan peran
yang menghadirkan suatu tuntutan sikap dan pola perilaku tertentu. Kegagalan untuk memenuhi
tuntutan tersebut akan membuat pihak yang gagal tersebut dipandang sebagai pihak yang telah membuat
kesalahan, menyimpang, atau, minimal, berlaku tidak lazim.
Contoh di atas menunjukkan bahwa individu-individu yang menjadi bagian dari civitas
academica, dalam aktivitas dan interaksi kesehariannya, dikerangkai oleh sebuah tatanan yang
menjadi bagian dari sebuah lembaga. Tatanan ini menjadi bagian dari kesadaran rutinnya, sehingga
dalam nalar masing-masing individu muncul gambaran tentang apa yang seharusnya saya lakukan
dan apa yang seharusnya tidak saya lakukan. Kadang proses pelembagaan nilai dan norma
kebiasaan itu muncul dalam bentuk dibuatnya peraturan tertulis. Namun, ternyata, peraturan tidak
tertulis inilah yangmengkerangkai sebagian besar perilaku manusia, termasuk dalam proses
pengambilan keputusan kebijakan.
Realitasnya akan nampak jelas ketika, seperti seringkali ditemui, ada mahasiswa yang
mengajukan pertanyaan, ‘Apakah tidak menjadi masalah jika saya menghubungi Dosen Anu melalui sms atau
telepon?’ Padahal tidak ada aturan tertulis, yang boleh dirunut dari Kitab Suci agama manapun
sampai aturan tingkat RT, yang melarang mahasiswa untuk menghubungi dosen-nya melalui sms
maupun telepon. Namun mahasiswa sering merasa takut dianggap berlaku tidak sepantasnya jika
menghubungi dosen melalui sms atau telepon, jika hal itu memang sesuatu yang tidak lazim untuk
dilakukan. Karena itu, sebelum mengambil keputusan untuk menghubungi dosennya lewat sms
atau telepon, mahasiswa tersebut mencari informasi tentang ‘bagaimana hal itu biasa dilakukan’.
Selain itu, mahasiswa tersebut pasti juga akan mempertimbangkan cara alternatif lain untuk
menghubungi si dosen dengan media lain. Media lain ini merupakan alternatif pilihan bagi si
mahasiswa. Interaksi antara kebutuhan dan alternatif untuk menghubungi si dosen ini menghadirkan
choice opportunity (kesempatan – pilihan) bagi mahasiswa untuk mengambil keputusan dengan cara apa
dia akan menghubungi si dosen. Keputusan yang dihasilkan merupakan dinamika interaksi antara
problem; yaitu kebutuhan untuk menghubungi si dosen, solusi; menghubungi si dosen; partisipan; si
dosen dan si mahasiswa, dan choice – opportunity.
Bagan VII.1.

Alur Pengambilan Keputusan Model Garbage-Can

Dalam situasi seperti digambarkan diatas, simahasiswa tidak sekedar mencocokkan problem,
kebutuhan menghubungi dosen, dengan solusi, menghubungi lewat sms atau telepon. Namun, perilaku
itu terjadi dalam sebuah konteks kelembagaan tertentu. Upaya mencocokkan itu baru dimulai dan
relevan, jika konteks kelembagaan di mana suatu keputusan harus diambil telah diketahui. Jika tidak
ada konteks kelembagaan itu, maka model Garbage - Can ini, bahkan proses pengambilan keputusan
tersebut, menjadi sama sekali tidak relevan. Misal, dalam kondisi di mana tidak terpikir sama sekali
adanya kebutuhan untuk menghubungi dosen, dan tidak terpikir adanya cara yang dianggap lazim
bagi setiap mahasiswa untuk menghubungi dosen, keputusan menghubungi dosen menjadi
kehilangan tujuan dan relevansinya.
Dalam konteks kelembagaan tertentu seperti dicontohkan di atas, model Garbage – Can melihat
bahwa proses pengambilan keputusan adalah proses mencocokkan antara permasalahan, solusi,
partisipan dan choice - opportunity. Ini bisa digambarkan dengan ilustrasi orang memasukkan sampah;
berupa problem,berbagai alternatif solusi, serta energi yang dimiliki; ke dalam keranjang sampah;
yaitu konteks kelembaaan yang ada, dan berharap bahwa rangkaian problem dan solusinya, yang
sesuai dengan konteks kelembagaan dan energi yang dimiliki, akan muncul dari keranjang sampah
tersebut.
Berbeda dengan model Rational-Comprehensive yang mengasumsikan pengambilan keputusan
berorientasi pada penyelesaian masalah yang diasumsikan sudah terdefinisi secara jelas, dalam
model Garbage
- Can proses pengambilan keputusan tidak melulu berorientasi pada pemecahan masalah sebagai
tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dalam model Garbage-Can proses pengambilan keputusan
dan keputusan yang dihasilkan lebih ditentukan oleh dan berorientasi pada kombinasi yang
dianggap cocok di antara empat arus di atas.
Kombinasi keempat arus di atas, dengan menambahkan faktor waktu, di mana pengalaman
permasalahan dan solusi sebelumnya direproduksi terus-menerus, menciptakan apa yang disebut
sebagai logika kepantasan atau logic of appropriateness.4 Artinya, seperangkat nilai, norma, atau
aturan; bisa tertulis ataupun tidak; yang terlembaga dalam rutinitas keseharian dan selalu menjadi
acuan bagi sebagian besar orang ketika dihadapkan pada situasi yang dianggap mirip.
Setelah memaparkan relasi antara model Garbage - Can dan konteks kelembagaan dalam
proses pengambilan keputusan,dosen melanjutkan dengan pemaparan bagaimana konteks
kelembagaan mempengaruhi alternatif keputusan yang dimiliki oleh seorang pengambil keputusan.
Untuk itu, dosen memaparkan karakter institusi sebagai sesuatu yang bersifat constraining - membatasi,
namun juga sekaligus enabling –mendorong, dalam proses pengambilan keputusan.
Konteks kelembagaan mempengaruhi perilaku aktor-aktor yang terlibat didalamnya dengan
cara membatasi pilihan aktor-aktor tersebut. Namun pada saat yang bersamaan, konteks
kelembagaan ini juga menjalankan fungsi sebagai dasar yang memungkinkan aktor- aktor
didalamnya untuk mengambil perilaku dan tindakan tertentu yang kecil kemungkinan bisa
dilakukan oleh aktor-aktor lain di luar konteks kelembagaan tersebut. Prinsip yang sama juga
berlaku dalam proses pengambilan keputusan kebijakan.
Contoh sederhana, masih dari ilustrasi tentang mahasiswa di atas tadi, posisi sebagai
mahasiswa memang membatasi pilihan cara si mahasiswa untuk menghubungi si dosen. Artinya,
mahasiswa mau tidak mau dan cepat atau lambat harus menghubungi si dosen, sementara orang lain
yang bukan mahasiswa terbebas dari keharusan itu. Tetapi di sisi yang lain, posisi si mahasiswa
sebagai seorang mahasiswa, membuat dia memiliki akses dan legitimasi untuk menghubungi si
dosen, yang mungkin sekali tidak dimiliki oleh orang lain yang tidak berstatus mahasiswa.
Kasus-kasus yang cocok dengan gambaran pengambilan keputusan dalam model Garbage - Can
banyak kita temui dalam kerja birokrasi, baik pemerintah maupun privat. Di situ, jika kita cermati,
seringkali, di level birokrasi, suatu situasi atau permasalahan yang dihadapi akan direspons dengan
serangkaian langkah yang dalam logikanya lebih mengedepankan aspek prosedural daripada
substansi permasalahan yang dihadapi tersebut. Keputusan untuk merespons situasi atau
permasalahan tersebut lebih berfokus pada upaya bagaimana secara prosedural situasi atau
permasalahan tersebut harus direspons.
Misalnya, seorang kepala kantor atau manajer mendapatkan disposisi dari atasannya untuk
melakukan sesuatu. Disposisi ini menghadirkan sebuah problem atau situasi yang harus direspons
oleh kepala kantor atau manajer tersebut. Dalam merespons situasi atau problem tersebut, kepala
kantor atau manajer harus membuat keputusan. Menurut model Garbage - Can, si manajer atau
kepala kantor ini, dalam mengambil keputusan, cenderung akan lebih, atau hanya berpikir
bagaimana disposisi ini bisa segera dilaksanakan, apapun hasilnya, dan dilaksanakan sesuai dengan
koridor prosedur yang ada. Alternatif-alternatif yang dipertimbangkan biasanya lebih mengacu
pada kesesuaian masing-masing alternatif yang ada dengan prosedur yang sudah ditetapkan.
Model Garbage – Can memang secara spesifik melihat bahwa ‘kebiasaan’ mempengaruhi
proses pengambilan keputusan secara signifikan. Dalam analisis yang mengedepankan dimensi
administratif dari proses pengambilan keputusan, model ini memang sering dikatakan mengarah
pada konservatisme. Sementara, dalam analisis yang mengedepankan dimensi politis, model ini
dituduh condong pada konservatisme.5
Setelah selesai memberikan paparan singkat tentang model analisis Garbage-Can, dosen meminta
mahasiswa untuk berlatih melakukan analisa pengambilan keputusan kebijakan dengan
menggunakan model tersebut. Sembari mahasiswa mengerjakan latihan tersebut, dosen memberikan
‘tutorial’ tentang penggunaan model Garbage-Can dalam analisis pengambilan keputusan kebijakan.

C. Latihan Analisis untuk Pengambilan Keputusan Kebijakan dengan Model


Garbage-Can
Mengingat model Garbage - Can ini sangat beragam dan bisa digunakan untuk menganalisis
proses pengambilan keputusan kebijakan di sektor mana saja. Maka untuk latihan di sesi ini dosen
meminta mahasiswa untuk memfokuskan latihan analisanya pada proses pengambilan keputusan di
sektor birokrasi pemerintah.
Semula Cohen, March, dan Olsen membangun model ini sebagai hasil dari analisis terhadap
perilaku organisasi, terutama organisasi universitas. Namun ternyata model ini bisa digunakan untuk
menjelaskan dan menganalisis proses pengambilan keputusan.6 Maka untuk mahasiswa yang
memilih corak analisa untuk pengambilan keputusan kebijakan, dosen meminta mahasiswa
tersebut untuk membuat sebuah desain rekayasa kinerja atau perilaku birokrasi berdasarkan analisis
pengambilan keputusan model Garbage-Can.
Biasanya, selain aturan prosedural tertulis, perilaku dan kinerja birokrasi coba dikerangkai
dalam berbagai formulir isian atau borang yang harus diisi untuk menunjukkan proses dan hasil
kerjanya. Pengisian borang tersebut juga menjadi bagian dari prosedur kerja birokrasi. Agar latihan
ini bisa sedekat mungkin menggambarkan realitas proses pengambilan keputusan, dosen bisa meminta
mahasiswa untuk mengambil satu contoh kasus yang sedang hangat di publik untuk media latihan
ini. (Misal kasus Daftar Pemilih Tetap-DPT atau Bantuan Langsung Tunai-BLT).
Ada dua hal utama yang harus dilakukan oleh mahasiswa dalam latihan ini, pertama-tama,
mahasiswa diminta melakukan analisis dengan Garbage-Can untuk mengidentifikasi pola arus
problem, solusi, partisipan, dan pilihan peluang-choice of opportunity yang hadir di tiap-tiap kasus.
Dalam langkah ini, mahasiswa juga diminta untuk mengidentifikasi dinamika antar stream tersebut.
Langkah yang kedua, dari hasil identifikasi tersebut, mahasiswa diminta untuk membuat
sebuah rekomendasi keputusan kebijakan disertai argumentasi yang menjelaskan sekaligus
memberikan reasoning bagi alternatif yang direkomendasikan. Ini dilakukan dengan
mempertimbangkan dimensi kelembagaan, pilihan peluang, dan nalar kepantasan yang ada di
benak publik maupun para aktor-aktor kebijakan yang terlibat secara langsung dalam proses
kebijakan yang sedang dianalisis.
Dosen perlu memperingatkan pada mahasiswa, bahwa dalam analisis dengan menggunakan model
ini, mahasiswa harus juga memasukkan asumsi bahwa permasalahan kebijakan yang dianalisis tidak
dipahami secara sama oleh para aktor kebijakan yang terlibat. Karenanya, analisis yang dilakukan
juga harus mempertimbangkan dimensi politis dari proses pengambilan keputusan yang menjadi
obyek analisis.
Argumentasi ini hendaknya juga mencakup rancangan langkah- langkah untuk
menindaklanjuti keputusan yang ada berdasarkan analisis Garbage - Can yang telah dilakukan
sebelumnya.
D. Latihan Analisis terhadap Pengambilan Keputusan Kebijakan dengan Model
Garbage-Can
Bagi mahasiswa yang memilih melakukan analisa terhadap proses pengambilan keputusan
kebijakan, sama seperti kelompok analisis untuk pengambilan keputusan kebijakan, dosen meminta
mahasiswa dalam kelompok ini untuk memilih satu contoh kasus pengambilan keputusan kebijakan
tertentu, misal kebijakan menaikkan harga BBM oleh SBY tahun lalu. Selanjutnya dosen meminta
mahasiswa untuk melakukan analisis yang menunjukkan bahwa keputusan kebijakan itu dihasilkan
melalui sebuah proses yang sejalan dengan model agenda – setting.
Analisis semacam ini, dengan hasil yang menguatkan atau menyanggah asumsi model
Garbage - Can, akan berkontribusi pada akumulasi pengetahuan dalam studi analisa kebijakan,
khususnya analisa pengambilan keputusan kebijakan.
Dalam analisa jenis ini, langkah-langkah yang dilakukan oleh mahasiswa hampir sama dengan
apa yang dilakukan dalam langkah pertama analisis untuk pengambilan keputusan kebijakan.
Langkah pertama adalah mengamati dan memaparkan hasil pengamatannya tentang bagaimana
kondisi ketidakjelasan tujuan; ketidakpastian teknologi, dan fluiditas partisipan muncul dalam realitas
kasus yang diamati. Pengamatan ini penting mengingat model Garbage - Can mensyaratkan adanya
kondisi organized – anarchy yang dicerminkan oleh tiga situasi di atas.
Setelah itu, mahasiswa diminta untuk mengoperasionalisasikan konsep-konsep empat arus
yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam model Garbage - Can, yaitu arus problem,
solusi, partisipan, dan choice opportunity dalam kasus yang diamati. Di sini, dosen membimbing
mahasiswa untuk mengoperasionalisasikan konsep- konsep dalam model Garbage - Can dan
memproyeksikannya pada realitas kasus yang diamati dalam kerangka situasi organized anarchy hasil
pengamatan sebelumnya.
Setelah mengoperasionalkan konsep-konsep dasar tersebut, analisis mahasiswa diarahkan
untuk memotret interaksi dan dinamika dari keempat arus tersebut dalam kasus pengambilan
keputusan yang diamati. Potret yang dihasilkan diharapkan mampu memberikan penjelasan yang
argumentatif bagaimana proses interaksi keempat arus tersebut dalam situasi yang didefinisikan
menghasilkan keputusan kebijakan dalam kasus yang diamati.

E. Persiapan Sesi Berikutnya


Untuk mempersiapkan mahasiswa mengikuti sesi berikutnya, dengan tema analisa pengambilan
keputusan kebijakan, berangkat dari model Mixed – Scanning,mahasiswa di minta untuk membaca
beberapa literatur pokok. Literatur-literatur itu adalah sebagai berikut:
• 5tziony, Amitai, Mixed-Scanning: A “Third” Approach to Decision- Making; Source: Public
Administration Review, Vol. 27, No. 5 (Dec., 1967), pp. 385-392 Published by: Blackwell
Publishing on behalf of the American Society for Public Administration Stable, URL:
http://www.jstor.org/stable/973394 Accessed: 08/04/2010 02:05.
• Howlett, Michael dan Ramesh, M.,(l995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, UK: Oxford University Press.
• Lay, Cornelis; Pratikno; A.A.G.N. Юwipayana; Purwo Santoso; Haryanto; Wawan Mashudi; I.
Ketut P. Erawan; Marcus Priyo Gunanto; Andi Sandi, (2007), Rancangan Undang-undang
Keistimewaan Yogyakarta, Monograph on Politics & Government 1, Vol.2. no.1. Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIPOL UGM – Program Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah-
UGM.

Daftar Pustaka
Cohen, M. D., J.G. March, dan J.P. Olsen,(1972), A Garbage-Can model of Organizational Choice,
Administrative Science Quarterly,17, hal.1- 25.
Howlett, Michael dan Ramesh, M. (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, UK: Oxford University Press
March J G, Olsen J P, 1989, Redisco.ering Institutions: TheOrganizational Basis of Politics. NY: Free
Press
Pieters B. Guy, (2002) Governance: a Garbage-Can Perspective, Political Science Series, Institut for
Advanced Science: Vienna
Roones, Paul G., Institutionalism and Garbage-Can Reasoning, Notes Prepared for Workshop on
Theory and Methods for Studying Organizational Process: Institutional, Narative, and Related
Approaches, London School of Economics and Political Science, February 17 – 18, 2005
Pertemuan VIII

ANALISIS PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN (3)

Misi Sesi Perkuliahan

• Memberikan keterampilan bagi mahasiswa untuk


menggunakan model dan teknik analisa dalam
melakukan analisa untuk pengambilan keputusan
kebijakan dalam logika Mixed – Scanning
• Memberikan ketrampilan bagi mahasiswa untuk
menggunakan model dan teknik analisa untuk
mengungkap dan menjelaskan berbagai dimensi dan
fenomena pengambilan keputusan kebijakan dalam
logika Mixed - Scanning.
Substansi Sesi Perkuliahan

• Analisa pengambilan keputusan kebijakan berangkat


dari model Mixed - Scanning
Metode Sesi Perkuliahan

• Ceramah
• Tutorial

A. Model Mixed-Scanning: Keluar dari Perdebatan Model Rasional dan Garbage-Can


Pada dua sesi sebelumnya, mahasiswa telah mengenal dan berlatih melakukan analisa
pengambilan keputusan dengan model Rational
– Comprehensive dan Garbage – Can. Pada kesempatan ini, mahasiswa akan diajak menghayati dan
berlatih melakukan analisa pengambilan keputusan kebijakan dalam logika Mixed – Scanning.

Dalam sesi ini dosen memaparkan secara singkat kepada mahasiswa karakter utama dari model
Mixed – Scanning, dan apa yang membedakannya dari dua model yang lain. Penjelasan mengenai
perbedaan model Mixed – Scanning dan dua model sebelumnya dilakukan dengan menjelaskan
perbedaan asumsi-asumsi dasar yang digunakan oleh masing-masing model.
Untuk membuat mahasiswa lebih menghayati analisa pengambilan keputusan kebijakan dengan
logika Mixed-Scanning, dosen juga menggunakan ilustrasi proses perumusan Rancangan Undang-
undang Keistimewaan (RUUK) DIY. Di situ dosen menunjukkan bagaimana asumsi-asumsi dasar
dalam Model Mixed – Scanning diaplikasikan dalam praktek analisa untuk pengambilan keputusan
kebijakan.
Selanjutnya, mahasiswa dosen meminta mahasiswa untuk melakukan latihan analisa pengambilan
keputusan kebijakan dengan Model Mixed
- Scanning. Seperti biasa, dalam latihan ini mahasiswa bisa memilih dua corak analisa. Pertama, analisa
untuk pengambilan keputusan kebijakan. Kedua, analisa terhadap pengambilan keputusan kebijakan.
Bagi mahasiswa yang memilih untuk melakukan analisa untuk pengambilan keputusan
kebijakan, output yang diharapkan dari latihan ini adalah draft rancangan akademik untuk suatu
regulasi tertentu yang memaparkan prinsip dan wilayah pengaturan dari regulasi tersebut. Untuk
itu, pada sesi sebelumnya mahasiswa telah diminta untuk memilih sebuah contoh kasus atau isu
tertentu.
Bagi mahasiswa yang memilih melakukan analisa terhadap pengambilan keputusan, output
yang diharapkan dari latihan ini berupa paparan hasil penelitian yang menjelaskan fenomena kasus
pengambilan keputusan kebijakan tertentu dalam logika Mixed – Scanning.

B. Memahami Model Mixed-Scanning


Dosen memberikan pemahaman Model Pengambilan Keputusan dalam Logika Mixed-Scanning
kepada mahasiswa dengan memaparkan asumsi-asumsi dasar yang digunakan oleh model ini.
Selanjutnya, dosen mengkontraskan asumsi-asumsi dasar itu dengan asumsi dasar yang digunakan
dalam Model Rational – Comprehensive dan Model Garbage – Can.
Model Mixed-Scanning muncul sebagai upaya untuk menjembatani dua kutub ekstrim Model
Rational-Comprehensive dan Model Garbage-Can. Asumsi dasar yang digunakan dalam Model Mixed-
Scanning merupakan gabungan antara Model Rational-Comprehensive dan Model Garbage-Can.1 Secara
garis besar, komparasi antara ketiga model ini telah dilakukan dan dipaparkan pada Pertemuan VI
sebelumnya. Pada pertemuan ini, dosen hanya akan memaparkan karakteristik khas Model
Rational- Comprehensive dan perbedaannya dengan model lain, dilihat dari asumsi dasar yang
digunakan oleh masing-masing model.

Model Mixed-Scanning mengakui kebenaran asumsi Model Rational- Comprehensive yang


menyatakan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, manusia menggunakan perhitungan-
perhitungan rasional. Namun, Model Mixed-Scanning juga mengakui bahwa fenomena proses
pengambilan keputusan seringkali terjadi dalam situasi yang mendesak, di mana tidak ada cukup
waktu untuk melakukan perhitungan- perhitungan rasional secara komprehensif.2
Model Mixed-Scanning juga mengadopsi dan mengakui kebenaran asumsi Model Garbage – Can.
Model Mixed-Scanning melihat bahwa, dalam kenyataannya, fenomena proses pengambilan keputusan
terjadi tidak sebagai sebuah proses tunggal, tetapi sebagai bagian dari hiruk pikuk sebuah proses
besar yang sulit diurai ujung-pangkalnya. Dalam situasi tersebut ada berbagai masalah yang harus
direspons, solusi yang harus ditemukan permasalahannya, dan kepentingan yang harus diakomodasi.
Ini menggambarkan situasi organized anarchy, yang menjadi asumsi dasar Model Garbage – Can tentang
situasi proses pengambilan keputusan kebijakan.3
Model Mixed-Scanning menggabungkan dua model itu dengan membangun asumsinya sendiri
yang melihat bahwa proses pengambilan keputusan kebijakan, tidak didasari sepenuhnya oleh
perhitungan- perhitungan rasional; tetapi juga tidak sepenuhnya terjadi dalam situasi yang ‘anarkis’.
Masih ada kerangka rasionalitas yang membingkai hiruk pikuk tujuan, solusi, dan kepentingan yang
berputar dalam proses pengambilan keputusan kebijakan.
Perbedaannya dengan Model Rational-Comprehensive, Model Mixed- Scanning mengakui bahwa
setiap aktor kebijakan yang terlibat memiliki rasionalitasnya sendiri dan tidak bisa direduksi oleh
rasionalitas teknokratis seperti dalam Model Rational-Comprehensive. Rasionalitas, dalam pemahaman
Model Mixed-Scanning, bukanlah sesuatu yang bersifat mendaku kebenaran tunggal, melainkan
bagian dari komoditi yang dipertukarkan dengan rasionalitas yang lain dalam proses politik
pengambilan keputusan kebijakan.
Karenanya, formulasi kebijakan, dalam Model Mixed – Scanning tidak dipandang sebagai
sesuatu yang baku serta diaplikasikan secara kaku dalam keseluruhan proses kebijakan. Formula
kebijakan lebih dipandang sebagai sebuah bingkai untuk mengarahkan proses tawar menawar,
adaptasi, akomodasi, yang terjadi secara terus-menerus dalam proses kebijakan.
Artinya, upaya Model Mixed-Scanning menjembatani Model Rational-Comprehensive dan Model
Garbage-Can dilakukan dengan cara membangun kompromi antara substansi rasional dari proses
kebijakan dengan konteks anarkis yang meliputi proses kebijakan.

Setelah memaparkan Model Mixed-Scanning secara konseptual, dosen meminta mahasiswa untuk
berlatih melakukan analisis pengambilan keputusan kebijakan. Dalam latihan ini dosen
membimbing mahasiswa dengan cara memberikan ilustrasi sebuah kasus analisa pengambilan
keputusan kebijakan. Untuk keperluan itu, dosen bisa memakai kasus penyusunan Rancangan
Undang-undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta.

C. Berlatih Melakukan Analisis untuk Pengambilan Keputusan Kebijakan dalam


Logika Mixed-Scanning
Dalam latihan ini, sebelumnya mahasiswa telah diminta untuk memilih sebuah contoh kasus
kebijakan sebagai bahan analisa. Dihasilkan dengan instrumen analisis apapun, setiap kebijakan
mahasiswa diharapkan bisa menuangkannya dalam naskah akademik, dan bisa dijadikan dasar untuk
legal drafting terkait dengan kebijakan yang dianalisis. Tentunya di sini mahasiswa tidak diminta
untuk menuangkannya dalam sebuah naskah akademik, namun cukup sampai pada level prinsip-
prinsip dan asas-asas yang digunakan sebagai pedoman dalam penjabaran lebih lanjut dari konsep
akademik tersebut.
Untuk itu, sembari mahasiswa melakukan latihan, dosen memberikan tutorial melalui ilustrasi
sebuah analisa untuk pengambilan keputusan kebijakan dan menunjukkan langkah-langkah yang
harus ditempuh oleh mahasiswa dalam menganalisa kasus yang dipilihnya.
Dosen terlebih dahulu memberikan gambaran situasi dan latar belakang munculnya inisiatif
penyusunan RUUK tersebut. Sekaligus di sini dosen memaparkan bagaimana situasi dan latar
belakang tersebut menjadi konteks yang mempengaruhi proses dan hasil pengambilan keputusan.
Kebutuhan akan rumusan Undang-undang yang mengatur Keistimewaan Yogyakarta diawali
oleh kebutuhan Departemen Dalam Negeri terkait penataan dan monitoring penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Dalam situasi ini banyak kepentingan yang harus diperhitungan, pertama,
kepentingan Departement Dalam Negeri- DEPDAGRI sendiri; kedua, dari Sultan dan masyarakat
Yogyakarta; ketiga, presiden; dan publik Indonesia yang lain.
Dalam situasi penuh kontroversi ini, Depdagri memilih menggunakan analisa pengambilan
keputusan kebijakan dengan model Mixed-Scanning. Dalam situasi seperti ini, Model Rational –
Comprehensive tidak feasible untuk digunakan mengingat banyaknya kepentingan yang terlibat dan
konteks otonomi daerah yang membuat Depdagri tidak bisa memaksakan rasionalitasnya kepada
aktor lain.
Model Garbage – Can juga tidak memungkinkan karena mengingat derajat kontroversi dari isu
yang dihadapi membuat legitimasi menjadi kebutuhan mutlak. Untuk itu, tim perumus RUU
melakukan brainstorming untuk memetakan kajian dan rumusan tentang Keistimewaan Yogyakarta
yang selama ini telah dilakukan. Pemetaan tersebut menghasilkan peta kontroversi ide yang selama ini
terjadi dalam berbagai rumusan tentang Keistimewaan Yogyakarta. Dalam kasus ini ada dua kubu
utama yang terlibat dalam kontroversi ide tersebut, yaitu: Pejah – gesang nderek Sultan vs. mainstream
nasional tentang demokratisasi.
Artinya, di situ analis bisa melihat ide-ide apa yang sensitif dan aktor-aktor manasaja yang
merasa sensitif dengan ide-ide tersebut. Pemetaan ini membantu analis untuk menentukan posisi
di tengah-tengah kontroversi tersebut. Dengan demikian analis bisa menspesifikkan alternatif-
alterntatif kebijakan yang relatif lebih bisa diterima oleh semua pihak, dengan menghindari atau
memoles ulang ide-ide yang sensitif tersebut.
Tahap analisa di atas memberikan gambaran model Garbage-Can dalam kasus analisis kebijakan
untuk menyusun RUUK DIY. Namun, ketika konsekuensi pilihan posisi tersebut dijabarkan dalam
prinsip- prinsip dan asas-asas yang menjadi panduan bagi penyusunan substansi RUUK DIY, maka
model analisis yang digunakan menjadi lebih bersifat rasional/teknokratis, tanpa harus mengklaim
komprehensif.
Seperti sudah disampaikan di atas, mahasiswa yang memilih corak analisis untuk pengambilan
keputusan kebijakan diminta untuk merumuskan analisisnya dalam sebuah naskah akademik
sampai pada level perumusan prinsip dan asas yang muncul sebagai konsekuensi dari pilihan
posisinya.

D. Latihan Analisis terhadap Pengambilan Keputusan Kebijakan: Model Mixed-


Scanning
Untuk contoh analisis terhadap formulasi dan pengambilan keputusan kebijakan, dosen bisa
menggunakan berbagai tanggapan atau komentar terhadap naskah akademik RUUK Yogyakarta di
atas. Mahasiswa yang memilih melakukan analisa terhadap pengambilan keputusan kebijakan
melakukan hal yang sama khususnya terkait dengan kasus kebijakan yang dipilihnya.
Mahasiswa yang berlatih melakukan analisa dalam corak ini, diharapkan bisa memberikan
paparan tentang pola-pola yang secara ajeg terjadi dalam pengambilan keputusan dengan model
Mixed- Scanning dari kasus kebijakan yang diamatinya. Termasuk di situ, mahasiswa bisa
memaparkan bagaimana kasus pengambilan keputusan kebijakan yang dianalisis menggunakan model
Mixed-Scanning, seperti dicontohkan di atas, penentuan posisi perumus RUUK DIY dilakukan
dengan model Garbage-Can, sementara penjabaran posisi dalam prinsip dan asas substansi kebijakan
dijabarkan dengan model rasional. Mahasiswa diharapkan bisa melakukan pemilahan anatomi
serupa pada kasus kebijakan yang dianalisisnya.

E. Persiapan Sesi Berikutnya


Pada pertemuan berikutnya, mahasiswa akan diajak untuk melakukan analisa implementasi
kebijakan. Untuk mempersiapkan diri, mahasiswa diminta membaca beberapa literatur berikut ini:
• Grindle, Merilee S. ed., (l980), Politics and Policy Implementationin the Third World, Princeton
University Press, Chap. 1.
• Hill, Michael, (l997), The Policy Process in the Modern State, Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf,
chap. 6.

Daftar Pustaka
Etziony, Amitai, Mixed-Scanning: A “Third” Approach to Decision-Making; Source: Public
Administration Review, Vol. 27, No. 5 (Dec., 1967), pp. 385-392 Published by: Blackwell
Publishing on behalf of the American Society for Public Administration Stable, URL: http://
www.jstor.org/stable/973394 Accessed: 08/04/2010 02:05
Howlett, Michael dan Ramesh, M., (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, Oxford University Press
Lay, Cornelis; Pratikno; A.A.G.N. Dwipayana; Purwo Santoso; Haryanto; Wawan Mashudi; I.
Ketut P. Erawan; Marcus Priyo Gunanto; Andi Sandi, (2007), Rancangan Undang-undang
Keistimewaan Yogyakarta, Monograph on Politics & Government 1, Vol.2. no.1. Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIPOL UGM – Program Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah-
UGM
Pertemuan IX

ANALISA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Misi Sesi Perkuliahan

• Melatih mahasiswa untuk menggunakan berbagai


model dan teknik analisis dalam praktek implementasi
kebijakan
• Melatih mahasiswa untuk menggunakan berbagai teori,
model dan teknik analisis untuk menelaah, mencermati
dan menjelaskan fenomena proses implementasi
kebijakan
Substansi Sesi Perkuliahan

● Pendekatan top-down dan bottom-up untuk analisa


implementasi kebijakan.
Metode Sesi Perkuliahan

• Ceramah
• Diskusi kelas

A. Peran Analisa dalam Implementasi Kebijakan


Pada pertemuan ini, fokus pembahasan, diskusi, dan penugasan akan difokuskan pada analisa
implementasi kebijakan.Untuk itu dosen mengawali pertemuan ini dengan pemaparan tentang
konsep dan proses implementasi serta peran analisis dalam pembangunan konsep dan proses
implementasi tersebut.
Dosen mengawali pertemuan ini dengan memberikan pemaparan singkat tentang konsep
implementasi kebijakan, faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan, dan
pendekatan dalam melakukan implementasi kebijakan. Di sini dosen juga memberikan penjelasan
singkat bagaimana konsep-konsep tersebut digunakan dalam aktivitas analisis implementasi
kebijakan.
Dalam pemaparannya tentang konsep implementasi, dosen juga menjelaskan pada mahasiswa
distingsi antara istilah kebijakan dan program, serta kaitan antara keduanya. Ini akan
mempermudah mahasiswa memahami konsep implementasi kebijakan.
Setelah mahasiswa memahami kerangka konseptual dari implementasi kebijakan, dosen
menjelaskan beberapa model analisa implementasi kebijakan yang nantinya bisa digunakan mahasiswa
dalam latihan melakukan analisa kebijakan. Di sini dosen memperkenalkan model analisa
implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Michael
J. Hill1 dan Merilee S. Grindle2
Paparan konsep analisa implementasi kebijakan diikuti dengan latihan melakukan analisa.
Mahasiswa diminta untuk melakukan analisa implementasi kebijakan. Sama seperti pada latihan
analisa pada sesi-sesi sebelumnya, mahasiswa bisa memilih dua corak analisa, yaitu analisa untuk
implementasi kebijakan dan analisa terhadap implementasi kebijakan.
B. Memahami Proses Implementasi dan Fungsi Analisis dalam Proses Tersebut
Mengawali sesi ini, dosen memberikan pemaparan tentang proses implementasi kebijakan dan
fungsi analisis bagi proses tersebut.Secara umum, implementasi kebijakan adalah proses di mana
formula kebijakan ditransformasikan menjadi produk konkrit kebijakan. Dalam asumsi ideal yang
seringkali dipakai sebagai dasar untuk melakukan analisa, implementasi kebijakan adalah upaya untuk
mewujudkan tujuan kebijakan yang dinyatakan dalam formula kebijakan, sebagai policy statement, ke dalam
policy outcome, yang muncul sebagai akibat dari aktivitas pemerintah. Untuk mewujudkan
kesinambungan antara tujuan kebijakan dan outcome kebijakan perlu adanya sebuah ‘policy delivery
system’. Dalam sistem itu, kebijakan diterjemahkan dalam program-program, dan dalam masing-
masing program ada instrumen-instrumen yang didesain untuk memastikan bahwa implementasi
program-program tersebut secara simultan berkontribusi pada tercapainya tujuan kebijakan.
Karena itu, implementasi akan lebih baik jika dimaknai sebagai: proses administratif untuk
mengeksekusi keputusan-keputusan politis dengan mendayagunakan serangkaian instrumen
kebijakan untuk menghasilkan perubahan sosial ke arah yang dikehendaki, yang mencakup pula
serangkaian proses negosiasi antara implementor dengan sasaran kebijakan untuk memastikan
tercapainya misi kebijakan. Proses implementasi selama ini lebih banyak memberikan peran kepada
aktor-aktor negara, khususnya aparatus pemerintah. Hal ini membuat proses implementasi
kebijakan seringkali dimaknai sebagai proses administratif semata.7 Terjebak oleh mitos netralitas
birokrasi, proses implementasi dianggap sebagai proses yang steril dan terpisah dari hiruk pikuk
politik proses pengambilan keputusan dalam proses pembuatan kebijakan.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa selalu ada kesenjangan antara tujuan yang dinyatakan
dalam policy statement dengan outcome yang dihasilkan dari policy implementation membuat sebagian
analis mulai menelaah ‘missing-link’ dalam analisis implementasi kebijakan yang selama ini
dilakukan. Sejak saat itu, analisis implementasi kebijakan mulai bergerak lebih jauh lagi daripada
sekedar memandang proses implementasi kebijakan sebagai proses administratif semata. Di sini,
analis mulai mencoba menemukan dan memetakan bagaimana proses implementasi kebijakan
memiliki dinamikanya sendiri dan dinamika ini mempengaruhi outcome dari kebijakan yang
diimplementasikan.
Salah satu ahli kebijakan publik yang melihat dimensi lain, di samping dimensi teknis
administratif, dari proses implementasi ini adalah Grindle. Dinamika proses implementasi ini,
menurut Grindle, melibatkan, paling tidak dua variabel utama, yaitu policy content dan policy context.9
Policy content mempengaruhi proses implementasi karena policy content yang dihasilkan melalui proses
policy making menentukan apa yang harus di-deliver melalui sebuah kebijakan, perubahan apa yang
bakal muncul sebagai akibat dari kebijakan yang diimplementasikan, di mana kebijakan tersebut
diimplementasikan, dan siapa yang mengimplementasikan kebijakan tersebut.10
Sementara, policy context merepresentasikan lingkungan di mana suatu proses kebijakan, termasuk
implementasi, berlangsung. Grinddle mengidentifikasi elemen dari policy context ini meliputi:
kekuatan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat; karakteristik rezim dan institusi; dan
kepatuhan dan responsivitas. Elemen-elemen yang ada di dalam variabel policy context ini
merupakan hal-hal yang cenderung diabaikan ketika orang terlalu naïf dengan pendekatan
teknokratis- administratif, karena diasumsikan bahwa semua orang akan patuh dan tidak ada hal yang
kontroversial dengan policy content. Namun dalam kenyataannya, policy content yang tidak kompatibel
dengan konteks-nya bisa menuai resistensi yang membuyarkan seluruh keputusan kebijakan, bahkan
yang paling teknokratis sekalipun. Model ini mengajak para analis untuk memberikan perhatian yang
selayaknya pada dimensi policy context.
Sub-variabel yang ada di dalam variabel content kebijakan di atas menjadi faktor yang
menentukan ketika disadari bahwa implementasi kebijakan selalu terjadi dalam konteks sosial,
politik, dan ekonomi tertentu. Sehingga dalam proses dan analisa implementasi kebijakan, konteks
menjadi variabel kedua yang perlu diperhitungkan.11 Misalnya, ketika melakukan upaya administratif
untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, implementor juga, mau tidak mau, harus berinteraksi
dengan aktor kebijakan lain. Aktor-aktor lain ini ikut menentukan kinerja dan hasil dari kebijakan
yang diimplementasikan.

Interaksi ini, dengan derajat yang bervariasi, niscaya akan melibatkan proses-tawar menawar,
akomodasi dan konflik. Hal ini menunjukkan bagaimana proses implementasi juga merupakan proses
yang bersifat politis, disamping administratif. Dua karakter, politis dan administratif, dari proses
implementasi ini diperlihatkan oleh Grindle dalam Bagan IX.1.
Bagan IX.1.

PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SEBAGAI PROSES


ADMINISTRATIF DAN POLITIS

Sumber: Grindle, Marilee S., 1980, hal. 11

C. Pendekatan dalam Implementasi Kebijakan


Setelah memahami makna dan tujuan implementasi kebijakan, dosen mengajak mahasiswa
untuk mengingat kembali pendekatan yang digunakan dalam proses implementasi. Menurut
Hogwood dan Gunn ada dua perspektif umum dalam proses implementasi kebijakan, yaitu pendekatan
top – down dan pendektan bottom - up. Singkatnya, perspektif top-down melihat proses implementasi
sebagai sebuah proses yang ditentukan dari atas, berjalan dalam secara konsekuental dalam tahap-
tahap yang sudah ditentukan. Implementasi kebijakan dilakukan menurut prosedur dan petunjuk
yang ditetapkan dari atas. Dalam praktek kebijakan di Indonesia fenomena ini bisa kita temui
dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) yang biasanya menyertai setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik di level pusat maupun daerah. Contoh praktek
implementasi kebijakan yang bersifat top-down bisa kita lihat dalam Petunjuk Pelaksanaan- Juklak
dan Petunjuk Teknis-Juknis BOS.Kebalikan dari perspektif top- down, perspektif bottom-up melihat
proses implementasi sebagai sebuah proses yang inisiatif dan prakteknya dibangun dari bawah.
Prosesnya bukanlah sebuah proses yang bersifat konsekuental, namun berlangsung dalam proses tawar-
menawar yang terjadi terus menerus antar berbagai aktor kebijakan. Intinya, perspektif ini, alih-alih
menekankan pada ketepatan dan pedanticism-teknokratis, lebih mengandalkan pada inisiatif,
pengetahuan, dan kemampuan belajar dan beradaptasi dari masyarakat sebagai stakeholders dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan. Tabel
IX.1. memberikan gambaran lebih detil tentang perbedaan antara perspektif Top – Down dan Bottom –
Up.

Masih mengacu pada Hogwood dan Gunn, dosen memaparkan empat perspektif, yang bersama-
sama dengan dua pendekatan di atas, sering digunakan dalam proses maupun analisa implementasi
kebijakan.13 Perspektif yang pertama adalah Pendekatan Struktural. Analis yang menggunakan
pendekatan ini biasanya memfokuskan analisanya pada analisis organisasional modern. Di sini sebisa
mungkin desain kebijakan dan organisasional dianggap sebagai dua hal yang, kurang lebih, kongruen.
Perspektif yang kedua adalah Pendekatan Prosedural. Analis yang menggunakan perspektif ini
akan menekankan pada analisa terkait dengan proses dan prosedur yang tepat, termasuk tehnik-
tehnik yang tepat, untuk mengimplementasikan kebijakan. Jika prosedur implementasi sudah diatur
dalam formula kebijakan yang sudah disepakati, analisis yang menggunakan pendekatan ini akan
melihat apakah implementasi yang dilakukan sesuai dengan prosedur tersebut.
Tabel IX.1. Kontras Pendekatan Top – Down dan Bottom – Up
POIN TOP – DOWN BOTTOM –
N
PERBE UP
o
DAAN
1. Corak State promoted Society –
institusi mengandalkan promoted
kewenangan birokrasi mengandalkan
pemerintah dan dana. modal sosial dan
masyarakat cenderung jaringan dan
dipandang hanya sebagai cenderung
obyek kebijakan dihasilkan
sebagai produk
mandiri
masyarakat
2. Sifat Keputusan bersifat Keputusan
keputusan otoritatif merupakan hasil
dalam dari komitmen
implementa terhadap kebijakan
si bersifat
konsensual,
keputusan
kebijakan hanya
bersifat garis besar
3. Tujuan Tujuan kebijakan Tujuan kebijakan
kebijakan bersifat final dan tidak banyak
bisa ditawar mengandung
ambiguitas dan
harus selalu
diotorisasi melalui
proses negosiasi
untuk membangun
konsensus
4. Pemaknaa Implementasi direduksi Implementasi
n terhadap sekedar sebagai proses direduksi sebagai
implementa administratif proses politis
si yang secara terus
menerus
melibatkan
negosiasi.

Ketiga, Perspektif Behavioral. Pendekatan ini menekankan pada analisa tentang perilaku manusia
terhadap kebijakan. Ini terkait dengan sifat dasar kebijakan sebagai sebuah langkah intervensi.
Intervensi ini mau tidak mau akan menimbulkan perubahan, dan tidak semua orang senang dengan
perubahan. Analisa dengan pendekatan ini biasanya akan ditujukan untuk menciptakan sebuah
atmosfer kepercayaan, terutama melalui pengelolaan yang memperlihatkan kepedulian terhadap
kepentingan publik.
Terakhir, Perspektif Politik. Perspektif ini didasarkan pada asumsi sederhana: Implementasi sebuah
kebijakan bisa jadi telah direncanakan secara cermat menurut organisasi, prosedur dan manajemen
yang tepat, dan menghasilkan perilaku sebagaimana diharapkan, tetapi jika itu semua
mengabaikan realitas kekuasaan, misalnya; kemampuan kelompok-kelompok yang menentang
kebijakan tersebut untuk ‘mengganggu’ kebijakan tersebut, maka kebijakan itu bisa jadi akan
gagal. Analisis dengan pendekatan ini biasanya, meskipun tidak selalu, terkait dengan pola-pola
kekuasaan antar dan dalam organisasi.14
Dalam analisis implementasi kebijakan, perspektif dan pendekatan yang dipakai akan
mempengaruhi asumsi yang digunakan untuk membangun model implementasi dan pilihan
instrumen yang digunakan didalam model tersebut. Sebetulnya, keempat pendekatan di atas
merupakan representasi model berpikir, yang sebelumnya sudah diperkenalkan di pertemuan IV dari
mata kuliah ini. Hal ini semakin mempertegas dan memperkuat pemahaman mahasiswa tentang
pentingnya memahami model dan konsekuensi yang muncul dari pilihan model yang diambilnya
dalam menganalisis suatu kebijakan.
Menariknya, dalam praktek analisa implementasi kebijakan, analis bisa mengkombinasikan
keempat perspektif tersebut dalam membangun desain implementasi-nya. Sehingga desain
implementasi kebijakan yang dihasilkan bisa saja mengkombinasikan berbagai instrumen yang
muncul sebagai konsekuensi dari model dipilih.
Berikut ini adalah beberapa macam kelompok instrumen kebijakan yang diklasifikasikan oleh
Howlett dan Ramesh, seperti yang ditampilkan dalam Bagan IX.1. Spektrum Instrumen
Kebijakan. Di mana Howlett dan Ramesh mengklasifikan berbagai instrumen kebijakan
berdasarkan utilitas-nya dilihat dari level intervensi negara.
Bagan IX.1.

Spektrum Instrumen Kebijakan

Sumber: Howlett dan Ramesh (1995:82)


Dosen memaparkan bahwa dalam analisis untuk menentukan instrumen kebijakan yang akan
dipakai untuk meng-implementasi-kan, Howlett dan Ramesh melihat level intervensi negara sebagai
variabel determinan. Voluntary instrument banyak digunakan sebagai instrumen kebijakan ketika negara
tidak banyak melakukan intervensi dan warga, relatif memilikikebebasanuntukmelakukandiskresi.
Dalamsituasitertentu, seringkali pada level pengambilan keputusan, negara memutuskan untuk tidak
melakukan apa-apa, karena berasumsi bahwa problem publik terkait akan lebih efektif jika ditangani oleh
pasar atau oleh masyarakat sendiri.
Instrumen voluntary, biasanya memberikan sebuah kerangka untuk menggiring perilaku
masyarakat, dengan cara memberikan insentif bagi mereka yang mengikuti perilaku yang diinginkan
oleh kerangka tersebut. Sementara, bagi yang tidak patuh, dia tidak akan kehilangan apa-apa, tetapi
dia juga tidak mendapatkan insentif. Tetapi, fitur paling menonjol adalah adanya diskresi yang relatif
sangat besar yang ada di tangan warga tanpa intervensi negara. Instrumen-instrumen voluntary ini biasanya
banyak digunakan dalam implementasi kebijakan yang sifatnya bottom-up. Analisis untuk implementasi
kebijakan dengan voluntary instrument perlu menelaah terlebih dahulu tujuan yang ingin dicapai dari
kebijakan yang akan diimplementasikan. Selanjutnya, mengidentifikasi kiranya apa perilaku seperti
apa dari pihak masyarakat yang memungkinkan tercapainya tujuan kebijakan yang diinginkan. Dari
situ, analis bisa mulai mendesain voluntary instrument dan mekanisme insentif seperti apa untuk
mengkerangkai perilaku publik agar kondusif bagi tercapainya tujuan kebijakan yang
diimplementasikan. Perlu diingatkan, bahwa dalam menyusun mekanisme insentif perlu berpegang
pada prinsip bahwa melalui instrumen yang dihasilkan, publik ‘digiring’ berpikir bahwa dengan
melakukan hal tertentu, yang kondusif bagi tercapainya tujuan kebijakan, mereka akan mendapatkan
keuntungan lebih, daripada jika mereka tidak melakukan hal tersebut, meskipun untuk itu mereka
juga tidak akan mendapatkan hukuman.
Sebaliknya, instrumen yang bersifat memaksa – compulsory instrument, disebut juga directive –
instrument, adalah instrumen yang melibatkan intervensi negara yang cukup tinggi, karena instrumen
tersebut, agar memberikan hasil yang diinginkan, harus disertai oleh kekuatan pemaksa yang
efektif dan dianggap absah. Instrumen dalam kelompok ini memberikan ruang diskresi yang jauh
lebih sempit bagi warga, dan negara menentukan keputusan apa yang harus diambil oleh warganya,
dengan disertai ancaman sangsi bagi yang tidak patuh.
Jika mahasiswa melakukan analisis untuk implementasi kebijakan dengan menggunakan
compulsory instrument, maka analisis yang dilakukan haruslah menelaah instrumen-instrumen pemaksa
apa yang bisa digunakan oleh negara. Kegunaan pilihan-pilihan instrumen implementasi ini
ditimbang berdasarkan kegunaan dan kemungkinan pengadopsian instrumen tersebut untuk
menghasilkan dampak kebijakan yang diinginkan.
Ditengahnya, ada Mixed-instrument, yang mengkombinasikan karakter dari dua kelompok
instrumen sebelumnya. Instrumen-instrumen ini biasanya memberikan kesempatan pada negara untuk
melakukan intervensi dan mengarahkan warganya untuk sampai pada keputusan tertentu, tetapi
keputusan final tetap berada di tangan warganya.
Hal yang sama juga digunakan oleh Cleaves, yang menggunakan istilah sistem politik. Level
intervensi negara yang tinggi dalam Howlet dan Ramesh paralel dengan Sistem Politik Tertutup
Claeves. Sebaliknya, level intervensi negara rendah paralel dengan Sistem Politik Terbuka.
Setelah memaparkan berbagai pendekatan untuk menganalisa implementasi kebijakan, dosen
kembali membagi mahasiswa dalam kelompok berdasarkan corak analisanya. Kemudian, secara
bergantian dosen meminta mahasiswa untuk berlatih melakukan analisis atas suatu kasus aktual tertentu
dan melakukan bimbingan dalam latihan tersebut.

D. Berlatih Melakukan Analisis untuk Implementasi Kebijakan


Bagi mahasiswa yang memilih melakukan analisis untuk implementasi kebijakan, dosen
meminta mereka untuk mengambil satu contoh kasus keputusan kebijakan untuk diimplementasikan.
Dari contoh kasus tersebut, mahasiswa diminta untuk memerankan dirinya menjadi seorang analis
yang bekerja untuk membuat sebuah desain implementasi kebijakan.
Output yang diharapkan dari mahasiswa dalam latihan ini adalah dokumen rekomendasi strategi
implementasi kebijakan. Substansi dari rekomendasi tersebut harus memperlihatkan kemampuan
mahasiswa untuk merancang strategi implementasi kebijakan yang responsif terhadap konteks,
tanpa secara prinsipil mengkompromikan konten dari kebijakan yang diimplementasikan.
Dokumen tersebut memberikan contoh bagaimana dalam melakukan analisis untuk
implementasi kebijakan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendefinisikan substansi
permasalahan kebijakan yang harus ditangani. Menurut, Grindle, terkait dengan content atau substansi
kebijakan, setidaknya ada enam faktor yang harus diamati dalam melakukan analisa kebijakan.
Enam faktor itu adalah:

1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh substansi kebijakan yang akan diimplementasikan. Ketika kebijakan
dipahami sebagai sebuah intervensi terhadap suatu situasi yang telah ada sebelumnya, harus
disadari bahwa dalam situasi tersebut sudah ada sistem yang berjalan, lengkap dengan nilai dan
aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Aktor-aktor tersebut tentu saja memiliki kepentingan
dengan situasi yang ada pada saat itu. Jika keberadaan keputusan kebijakan yang akan
diimplementasikan ternyata berimplikasi negatif dengan kepentingannya, tentunya akan
muncul resistensi dari para aktor tersebut, dan bisa menggagalkan proses implementasi dan
tercapainya tujuan kebijakan.
2. Tipe manfaat yang diterima. Tipe manfaat dari kebijakan yang diterima juga berpengaruh
pada keberasilan proses implementasi dan pencapaian dampak kebijakan yang diinginkan.
Setelah kita menyadari bahwa dalam setting di mana kebijakan akan diimplementasikan terdapat
banyak aktor dengan kepentingannya masing-masing, tentu kita, sebagai analis, juga harus sadar
bahwa masing-masing aktor memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap kebijakan yang
akan diimplementasikan.
3. Derajat perubahan yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakan yang akan
diimplementasikan. Analis harus memahami derajat potensi perubahan yang ditimbulkan
sebagai akibat dari intervensi kebijakan terhadap situasi yang ada. Dalam banyak kasus,
substansi kebijakan yang memproyeksikan perubahan yang mendasar terhadap situasi yang ada,
cenderung mendapatkan resistensi yang lebih kuat, sehingga memiliki potensi yang lebih besar
untuk gagal. Analis harus mampu membaca kemungkinan ini untuk bisa membangun sebuah
desain implementasi kebijakan yang aplikabel.
4. Letak pengambilan keputusan. Analis harus memper- hitungkan konsekuensi dari isi
formula kebijakan terhadap letak pengambilan keputusan untuk implementasi kebijakan dan
siapa saja yang akan menjadi aktor kunci pengambilan keputusan pada proses implementasi.
Ingat, proses implementasi tidak hanya proses administratif yang tinggal menjalankan apa yang
sudah dinyatakan dalam formula, tetapi juga melibatkan proses tawar menawar, akomodasi, dan
konflik dengan aktor yang beragam.
5. Implementor program. Analis perlu memahami dan memperhitungkan konsekuensi dari
keputusan tentang siapa yang akan menjadi implementor program. Selain berkaitan dengan
masalah teknis, seperti kompetensi dari si implementor, untuk faktor ini seorang analis perlu
memahami bahwa di antara para implementor program, baik itu di kalangan agensi aparatus
pemerintah maupun kelompok-kelompok di masyarakat, seringkali terjadi tarik-menarik
kepentingan. Implementasi kebijakan bisa gagal, atau memberikan hasil yang tidak maksimal
karena adanya tarik menarik-kepentingan ini. Karenanya, dalam membangun desain
implementasi kebijakan, khususnya dalam merekomendasikan implementor program, seorang
analis perlu jeli dan peka dalam melihat relasi antar aktor kebijakan.
6. Sumber daya yang tersedia. Implementasi kebijakan mengimplikasikan adanya kebutuhan
akan resource. Tingkat kebutuhan akan resource seringkali juga dipengaruhi oleh pilihan
strategi dan instrumen implementasi kebijakan. Dalam kalkulasi rasional, pilihan strategi dan
instrument kebijakan biasanya juga harus dianalisa dalam relasinya dengan variabel
sumberdaya yang tersedia, disamping variabel efektivitas dari berbagai pilihan strategi dan
instrument implementasi yang tersedia.

Dari pengetahuan akan tujuan tersebut, si analis melakukan langkah kedua, yaitu
mengkontekstualisasikan tujuan tersebut dengan kondisi dan situasi konkrit di mana keputusan kebijakan tersebut akan
diimplementasikan. Menurut Grinddlle, dalam menganalisa konteks, analis perlu memperhitungan hal-
hal sebagai berikut:Pertama, kontekstualisasi tujuan kebijakan dalam setting yang lebih spesifik tersebut
akan memberikan gambaran tentang apa yang harus dilakukan agar tujuan kebijakan yang
dimaksudkan bisa tercapai melalui proses implementasi dalam setting tersebut. Ini penting untuk
dilakukan mengingat tujuan kebijakan ditetapkan cenderung dengan mengabaikan keragaman dan
kompleksitas yang ada di lapangan. Karena itu, dalam proses implementasinya, harus dilakukan
adjustment dengan situasi konkrit yang dihadapi.

Kedua, setelah memahami tujuan kebijakan, situasi dan konteks spesifik di mana kebijakan itu
akan diimplementasikan, langkah selanjutnya adalah menentukan alternatif-alternatif implementasi
kebijakan. Kalibrasi antara tujuan kebijakan dan situasi konkrit akan menghasilkan asumsi. Asumsi
ini akan menjadi dasar bagi analis dalam membangun model kausal. Berdasarkan asumsi dan model
kausal tersebut, seorang analis bisa mulai menginventarisir berbagai alternatif instrumen implementasi
yang dianggap relevan (Lihat Bagan IX.1).
Bagan IX.2.

Pilihan-Pilihan Kritis Dalam Proses Implementasi Kebijakan

Dalam menginventarisir dan memilih alternatif instrumen implementasi ini ada beberapa hal
yang harus diperhatikan. Yang paling utama adalah anatomi dan dampak dari desain implementasi
kebijakan yang dihasilkan dari sebuah analisis untuk kebijakan. Hal ini dibahas oleh Grindle seperti
dalam Bagan IX.2. Melalui bagan tersebut, dosen menekankan sekali lagi bagaimana dalam
melakukan analisis untuk implementasi kebijakan, analisa terhadap content dan context kebijakansecara
signifikan mempengaruhi desain implementasi yang dihasilkan.
Dalam anatomi pengambilan keputusan kebijakan yang digambarkan dalam Bagan IX.2.,
setidaknya analisis untuk implementasi kebijakan harus dilakukan di tiga level. Level pertama
adalah analisis tentang konsekuensi content kebijakan terhadap upaya implementasi secara umum.
Level yang kedua adalah konsekuensi strategi implementasi terhadap upaya delivery program yang
muncul sebagai penerjemahan dari isi kebijakan. Level yang ketiga terkait analisis terhadap respons
yang mungkin muncul dari berbagai aktor kebijakan yang terlibat terhadap pilihan strategi delivery
program yang diambil.

E. Analisa terhadap Implementasi Kebijakan


Bagi mahasiswa yang memilih untuk melakukan analisis terhadap implementasi kebijakan,
dosen membimbing mereka untuk berlatih menggunakan dan mengembangkan teori politik, kususnya
terkait dengan penjelasan fenomena implementasi kebijakan. Dalam latihan ini dosen meminta agar
mereka mengambil satu kasus implementasi kebijakan tertentu, misalnya: Kasus Implementasi
Program Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di suatu tempat tertentu atau bisa juga kasus
lain (usahakan kasus yang sedang hangat di media massa).
Dalam melakukan analisa dengan corak, ini mahasiswa bisa menggunakan berbagai teori, baik
dari teori manajerial; yang merepresentasikan perspektif teknokratis – administratif dari proses
implementasi kebijakan; sampai teori-teori politik seperti Teori Negara Otoritarian Birokrat – nya
O’Donnel atau Teori Neo – patrimonial – nya Dwight King, untuk melihat dan menjelaskan proses
implementasi kebijakan dalam kasus yang dianalisis.
Dengan menggunakan teori tersebut sebagai kerangka analisa, mahasiswa diminta untuk
mengurai, menjelaskan, kemudian mengabstraksikan proses implementasi dalam kasus yang
diamati. Dalam laporan hasil analisa yang akan dibuat oleh mahasiswa nanti, uraian mahasiswa
harus memuat kesimpulan tentang faktor apa saja yang mempengaruhi proses implementasi
kebijakan yang diamati; dalam pengertian kesesuaian antara tujuan dan outcome yang dihasilkan dari
proses implementasi dan bagaimana faktor tersebut bekerja mempengaruhi proses implementasi
yang diamati.

Daftar Pustaka

Grindle, Merilee S. ed., (1980), Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton
University Press
Hogwood, Brian W. dan Lewis E. Gunn, Policy Analysis for the Real World, Oxford University Press
Hill, Michael, 1997, The Policy Process in the Modern State, Prentice Hall/ Harvester Wheatsheaf
Santoso, Purwo, (2002), Modul Kuliah Kebijakan Pemerintahan dan Implementasinya, Program
Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik, Yogyakarta: Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi
Daerah, UGM.
Pertemuan X

ANALISIS MONITORING KEBIJAKAN

MisiSesi Perkuliahan

• Memberikan ketrampilan bagi mahasiswa untuk


mengaplikasikan pemahamannya tentang berbagai
model dan metode analisis kebijakan dalam analisis
monitoring kebijakan.
• Memberikan ketrampilan bagi mahasiswa untuk
mengaplikasikan pemahamannya tentang berbagai
model dan metode analisis kebijakan untuk menelaah
berbagai dimensi dari fenomena monitoring kebijakan
Substansi Sesi Perkuliahan

• Monitoring Kebijakan
• Analisis untuk Monitoring Kebijakan dan Analisis
terhadap Monitoring Kebijakan
Metode Sesi Perkuliahan

• ceramah

A. Memahami Monitoring Kebijakan


Tema utama yang dibahas dalam pertemuan ini adalah analisis monitoring kebijakan. Dalam
sesi pertemuan ini dosen mengawali dengan memberikan pemaparan singkat tentang konsep dan
praktek monitoring kebijakan. Pada kesempatan itu, dosen juga memaparkan kepada mahasiswa tentang
fungsi dan tujuan analisis bagi keseluruhan proses monitoring.
Setelah memberikan pemaparan tentang konsep monitoring kebijakan dan analisis monitoring
kebijakan, dosen meminta mahasiswa untuk berlatih melakukan analisis monitoring kebijakan. Dalam
latihan ini, sama seperti sesi-sesi sebelumnya, mahasiswa diperbolehkan untuk
memilih dua corak analisa, yaitu analisa untuk monitoring kebijakan dan analisa terhadap monitoring
kebijakan. Dalam melakukan latihan analisa, mahasiswa diminta untuk mempersiapkan diri dengan
memilih satu contoh kasus kebijakan untuk dijadikan sebagai obyek analisis.
Dalam pemaparan tentang proses monitoring kebijakan, dosen mengawali dengan penjelasan
tentang makna istilah ‘monitoring’ dan tujuan melakukan ‘monitoring’ secara umum. Setelah itu,
barulah dosen memberikan pemaparan tentang proses monitoring sebagai bagian dari proses kebijakan
publik.
Dalam penggunaan sehari-hari, kita biasa mendengar istilah ‘monitoring’ banyak digunakan
dengan makna ‘mengawasi, memeriksa, atau mengobservasi’. Dalam konteks penggunaan seperti itu,
proses monitoring, biasanya, menjadi bagian dari sebuah aktivitas yang lebih besar, yang dilakukan
untuk mencapai suatu tujuan. Aktivitas monitoring dilakukan sebagai fungsi pengawasan dan observasi
untuk memastikan bahwa aktivitas yang dilakukan benar-benar membawa pada tujuan yang sudah
ditetapkan sebelumnya.
Menyambung pemaparan dan pembahasan materi pada sesi- sesi sebelumnya, terutama terkait
proses formulasi dan implementasi kebijakan, mahasiswa telah memahami bahwa proses kebijakan,
setidaknya dalam pengertian teknokratis, dipahami sebagai proses yang terencana dan dirancang
secara sistematis untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Karenanya, dalam proses kebijakan, perlu
disertakan fungsi monitoring, yang berguna untuk memastikan bahwa program dan kegiatan yang
dilakukan benar-benar, pertama, dijalankan sesuai dengan rencana dan rancangan yang sudah dibuat
dan, kedua, membawa pada tercapainya tujuan yang diinginkan.
Di sini dosen perlu memperingatkan mahasiswa, bahwa definisi proses monitoring yang
dipaparkan di atas diambil dari model kebijakan teknokratis yang mengasumsikan bahwa tujuan
kebijakan dan langkah- langkah untuk mencapainya sudah terdefinisi secara jelas dalam formula
kebijakan. Meskipun, dalam prakteknya, proses kebijakan lebih sering terjadi dalam konteks
‘organized anarchy’, di mana tujuan dan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut hanya
dipahami secara kabur oleh masing-masing aktor yang terlibat. Sehingga apa yang
diimplementasikan seringkali berbeda atau ‘tidak nyambung’ dengan apa yang diinginkan oleh
pembuat kebijakan. Tentunya, ini akan berdampak pada kinerja dan relevansi monitoring yang
dilakukan dan informasi yang dihasilkan.2
Namun, kenyataan tersebut di atas tidak berarti fungsi monitoring menjadi fungsi yang tidak
relevan sama sekali. Malahan, berangkat dari kenyataan bahwa seringkali muncul perbedaan
pemahaman terhadap kebijakan di level formulasi dan level implementasi.Fungsi monitoring menjadi
semakin diperlukan untuk memastikan bahwa perbedaan pemahaman itu tidak berdampak negatif
terhadap proses kebijakan dan pencapaian tujuan secara keseluruhan.
Selain memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan proses formulasi dan implementasi
kebijakan, kinerja monitoring kebijakan juga menjadi poin krusial bagi proses evaluasi kebijakan.
Melalui monitoring yang berkelanjutan, kinerja kebijakan dan output-nya bisa dievaluasi berdasarkan
informasi yang akurat dan reliabel, yang berarti menunjang obyektivitas evaluasi terhadap
kebijakan yang bersangkutan. Secara teknis, evaluasi menentukan penilaian performa suatu kebijakan
dan keberlanjutan dari kebijakan tersebut.
Merujuk pada pembahasan pada pertemuan sebelumnya, telah dipaparkan bahwa proses
kebijakan yang bersifat top - down cenderung melihat proses kebijakan sebagai proses yang tujuannya
telah ditetapkan sejak awal secara jelas dan definitif. Sementara proses kebijakan yang bersifat
bottom – up, tujuan kebijakan harus selalu dinegosiasikan dan kesepakatan harus selalu dibangun
kembali sepanjang proses kebijakan masih berlangsung. Sehingga perubahan rumusan dan formula
kebijakan bisa berubah-ubah sesuai dengan dinamika interaksi antara aktor-aktor yang terlibat dan
konteks mengingatkan kepada mahasiswa bahwa pemaparan tentang monitoring kebijakan di atas
memang lebih relevan digunakan pada proses kebijakan yang bersifat top - down dan cenderung
menggunakan asumsi teknokratis, dan kurang relevan jika digunakan pada proses kebijakan yang
bersifat bottom – up.
Mengingat proses kebijakan yang dibangun dengan model kebijakan yang berbeda
membutuhkan dan memunculkan desain serta instrumentasi monitoring yang berbeda, maka analisa
monitoring kebijakan memegang fungsi yang krusial. Analisa monitoring dibutuhkan untuk
memproduksi informasi, pengetahuan, dan mengembangkan metode monitoring kebijakan yang
sangat diperlukan agar desain dan instrumentasi monitoring suatu kebijakan bisa kompatibel dengan
proses kebijakan secara keseluruhan.
Selain lensa teknokratis, monitoring kebijakan juga bisa dibaca dari lensa politis. Seperti telah
diketahui sebelumnya, proses kebijakan tentunya melibatkan berbagai aktor dan kepentingan yang
berbeda- beda. Bagi aktor-aktor kebijakan ini, baik yang berkepentingan dengan diinisiasi atau di-
drop-nya suatu kebijakan, proses dan hasil monitoring tentunya menjadi sebuah arena dan instrumen
politik untuk memaksimalkan kepentingan mereka dalam proses kebijakan yang berlangsung.
Secara kasat mata, praktek ini banyak dilakukan oleh kalangan NGO/LSM dalam melakukan
advokasi kebijakan. Misalnya, apa yang dilakukan oleh LSM IDEA yang melakukan advokasi
anggaran partisipatif. Untuk mendesakkan agendanya tentu LSM ini akan menempuh cara, salah
satunya, adalah dengan meng-highlight tidak efektif-nya dan tidak efisien-nya kinerja anggaran
konvensional. Bukti-bukti untuk itu, tentu saja memerlukan upaya monitoring. Dalam hal ini,
monitoring kebijakan memiliki makna lebih dari sekedar kegiatan yang bersifat teknis administratif,
namun juga bersifat politis.
Pemerintah juga melakukan monitoring yang dijalankan dengan logika politik, misalnya proses
monitoring, baik yang bersifat politis maupun teknis administratif, yang dijalankan sebagai bagian dari
pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah, termasuk di dalamnya melaksanakan fungsi pengawasan
yang melekat dari DPR. Selain DPR, pada tiap-tiap instansi pemerintah biasanya ada bagian
inspektorat yang tugas dan fungsi utamanya adalah melakukan monitoring terhadap pelaksanaan
kegiatan dari instansi yang terkait. Patut diingat bahwa instansi-instansi inilah yang biasanya
menjalankan fungsi implementasi dari kebijakan, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
bagian inspektorat ini, juga, melakukan fungsi monitoring kebijakan. Fungsi monitoring di sini,
termasuk yang melekat pada DPR; dengan metode dan instrumen tertentu, bertujuan memastikan
bahwa proses kebijakan, kegiatan yang dilaksanakan, dan dana yang digunakan, dipakai
sebagaimana direncanakan dan membawa pada tujuan yang ingin dicapai.
Sampai di situ, fungsi monitoring yang dilakukan, bisa dikatakan masih bersifat teknis-
administratif. Namun, perlu dicatat bahwa hasil monitoring yang dilakukan akan mempengaruhi hasil
evaluasi kebijakan. Pada gilirannya, hasil evaluasi kebijakan akan mempengaruhi keputusan apakah
sebuah kebijakan akan dilanjutkan ataukah dihentikan. Tentunya, dari pertemuan sebelumnya,
mahasiswa telah memahami bahwa proses sebuah isu menjadi kebijakan merupakan sebuah proses
politik yang sangat panjang. Tentunya, proses pengambilan keputusan tentang penghentian atau
meneruskan sebuah kebijakan juga mengandung tensi politik yang sama. Karena itu, tidak
mengherankan proses dan fungsi monitoring kebijakan juga memiliki muatan politis yang tinggi.
Sekedar tambahan dan sebagai pengantar untuk sesi berikutnya, dosen memaparkan pada
mahasiswa bahwa perbedaan utama antara monitoring dan evaluasi terletak pada logika penilaian
terhadap proses kebijakan yang berlansung. Monitoring kebijakan lebih didasarkan pada logika
praktis – pragmatis, terkait detil pelaksanaan prinsip dan desain kebijakan yang sudah digariskan.
Sementara, evaluasi kebijakan lebih didasarkan pada logika strategis, terkait dengan dampak yang
ditimbulkan oleh suatu kebijakan.5
Dari kacamata teknis-administratif, proses monitoring memiliki beberapa fungsi fundamental
dalam praktek kebijakan negara, yaitu:
• Penajaman dan atau pengalihan prioritas dan alokasi anggaran dan belanja pemerintah kepada
program dan kebijakan yang dimaksud. Atau dengan kata lain, sejauh mana alokasi dan prioritas
anggaran dapat difokuskan kepada sasaran dan target kebijakan secara akurat.
• Memastikan belanja pemerintah sudah sesuai atau sudah taat azas
dengan rencana aksi yang telah dibuat.

Selain fungsi fundamental yang bersifat teknis administratif tersebut, mahasiswa juga perlu
diingatkan bahwa dalam rezim yang demokratis, proses monitoring juga diharapkan untuk mampu
memenuhi fungsi partisipatif yang menjadi perwujudan dari kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi
representatif, fungsi monitoring juga menjadisebuah fungsi yang bersifat representatif, sehingga,
seharusnya DPR maupun DPRD mengkonsilidasikan fungsi-fungsi yang ada di masyarakat,
memetakan kekuatan-kekuatan di masyarakat, kemudian memberikan akses untuk ikut melakukan
fungsi monitoring kebijakan negara.
Tetapi dalam prakteknya, kita jarang menemukan adanya metode dan instrumentasi yang
digunakan secara tepat guna oleh pemerintah untuk menjalankan pengawasan dalam logika besar
seperti itu. Pengawasan cenderung dilakukan secara parsial dan lebih berorientasi pada masalah teknis.
Dari pemahaman akan kecenderungan tersebut, dosen mengingatkan kepada mahasiswa
bahwa dalam melakukan analisis monitoring kebijakan perlu selalu mengkaitkan model kebijakan dan
logika dasar masalah – solusi dan implementasi kebijakan yang dianalisis dengan desain
monitoring yang dibangun.
Setelah memberikan pemaparan tentang monitoring kebijakan, seperti sesi-sesi sebelumnya, dosen
meminta mahasiswa untuk berlatih melakukan analisis. Dalam latihan ini, mahasiswa dibagi dalam
dua kelompok berdasarkan pilihan corak analisis yang mereka pilih, antara analisis untuk kebijakan
dan analisis terhadap kebijakan.
B. Berlatih Melakukan Analisis untuk Monitoring Kebijakan
Dalam melakukan latihan analisis untuk monitoring kebijakan ini, mahasiswa diminta untuk
memilih sebuah kasus kebijakan untuk dijadikan sebagai bahan analisisnya. Dari latihan ini,
mahasiswa diharapkan bisa menghasilkan desain monitoring kebijakan terkait dengan contoh kasus
yang dianalisisnya. Desain monitoring kebijakan yang dihasilkan oleh mahasiswa, setidaknya memuat
tiga elemen, yaitu: instrumen-monitoring, pelaksanaan monitoring, dan temuan monitoring.
Desain monitoring yang diharapkan dari mahasiswa juga harus mencakup dua level monitoring.
Pertama, desain monitoring yang dibuat oleh mahasiswa harus mencakup monitoring terhadap
implementasi dari program dan kegiatan yang menjadi penjabaran dari formula kebijakan. Kedua,
desain tersebut juga harus bisa digunakan untuk me
– monitoring dampak dari program dan kegiatan tersebut.
Dalam membimbing mahasiswa untuk melakukan latihan analisis untuk monitoring kebijakan ini,
dosen mengajak mahasiswa untuk mengacu pada pembahasan di sesi sebelumnya, tentang
formulasi dan implementasi kebijakan. Jadi, sebisa mungkinanalisis untuk monitoring kebijakan
yang dibuat pada sesi ini didasarkan pada desain implementasi yang telah dihasilkan dari latihan analisis
yang dilakukan oleh mahasiswa di sesi sebelumnya. Karena itu, bisa dikatakan bahwa, inti dari
tahap ini adalah menerjemahkan rancangan implementasi tersebut dengan ke dalam instrumen
monitoring.
Untuk itu, dosen memberikan contoh kasus kebijakan pengentasan kemiskinan. Untuk membuat
instrumen monitoring kebijakan, mahasiswa harus memahami lebih dahulu desain implementasi dan
instrumentasi kebijakan pengentasan kemiskinan. Untuk tiap-tiap program didalam rancangan
rancangan implementasi dan instrumentasi tersebut, mahasiswa membuat poin verifikasi, untuk apa
dilakukan; dengan cara apa; dengan instrumen apa; oleh siapa; dan seberapa jauh implementasi program
tersebut memunculkan output yang diinginkan.
Seperti sudah dipaparkan di atas, untuk membangun desain monitoring kebijakan yang relevan
dengan kasus kebijakan yang dianalisis, analis harus memperhatikan model implementasi dari
kebijakan yang dianalisis. Dari pertemuan sebelumnya, mahasiswa telah diajak untuk mengenal
dan memahami dua model utama implementasi kebijakan, yaitu model top - down dan model bottom
– up. Masing-masing model menuntut desain monitoring dengan spesifikasi yang berbeda.
Jika mahasiswa melihat kasus kebijakan yang dianalisis dalam merupakan sebuah kebijakan
yang dirumuskan dalam logika implementasi Top - down, dosen mengajak mereka untuk melihat
bahwa monitoring merupakan turunan dari logika instrumentasi kebijakan yang termuat dalam desain
implementasi kebijakan. Dalam model ini fungsi utama dari proses monitoring adalah mengawasi dan
memastikan bahwa formula kebijakan dan desain implementasi kebijakan diwujudkan secara
konkrit. Sebagai contoh mahasiswa bisa diajak untuk melihat bagaimana logika kerja Program
Kaukus Parlemen Bersih bisa digunakan sebagai instrumen untuk melakukan monitoring kebijakan
seperti ini.

Tabel X.1.

Contoh Poin Verifikasi untuk Analisis Implementasi Kebijakan: Tingkat dan


Kualitas Partisipasi
Eleme
N n Keteran
o Partisi gan
pasi
Telah berjalan dalam 2 tahap: tahap
diagnosa dan analisa serta tahap
perumusan. Pada tahap diagnosa dan
1. Tahapan analisa kemiskinan, bagian diagnosa
kemiskinan berjalan dengan baik,
sementara bagian evaluasi atau review
kebijakan tidak memuaskan. Pada tahap
perumusan, kerja-bersama,
pembagian tugas, pertemuan dan diskusi yang
intensif telah terjadi.
Partisipasi dalam arti joint decision making
Intensitas terjadi dalam arena tim penulis. Di dalam
– seberapa arena inilah dasar-dasar dokumen ditentukan
2. “dalam” seperti kerangka konsep, data dan analisa.
tingkat Fokus rencana aksi serta konsistensi dan
partisipasi koherensi dokumen ini diolah dan
ditetapkan. Pembaca kritis ikut serta
memberi pengaruh. Di luar tim penulis,
partisipasi yang terjadi lebih pada sharing of
information dan konsultasi
Yang secara penuh terlibat adalah departemen
atau lembaga pemerintah dan non-pemerintah
yang diwakili oleh perseorangan dalam tim
Keluas penulis. Mereka berasal dari departemen dan
3. an – lembaga di tingkat pemerintah pusat, kalangan
siapa swasta dan organisasi non-pemerintah (LSM
saja dan perguruan tinggi). Lembaga keuangan
yang internasional (Bank Dunia) juga ikut
terlibat berpengaruh. Yang missing adalah peran dari
perwakilan pemerintah daerah dan wakil partai
politik/ legislatif
Dokumen pasca Mei 2004 telah berubah
dibandingkan versi dokumen sebelumnya: (i)
menggunakan pendekatan hak-hak dasar; (ii)
4. Dampa data dan analisa lebih kuat; (iii) rencana aksi
k telah ada dengan substansi yang lebih tajam dan
spesifik; serta
(iv) analisa gender lebih kuat. Akan tetapi,
kerangka makro ekonominya merupakan
kelanjutan kebijakan fiskal dan moneter yang
konservatif.

Untuk itu, bagi mahasiswa yang memilih melakukan analisis untuk monitoring kebijakan dalam
logika top - down, harus diupayakan agar analis yang mereka lakukan akan memunculkan aktivitas-
aktivitas berikut ini dalam desain monitoring yang mereka hasilkan:
1. Mengawasi ketersediaan dan sampainya delivery kebijakan pada
target group.

2. Mengawasi dan mencatat dampak dari kebijakan yang di-delivery serta mengukur kesesuaian
dengan formula kebijakan yang sudah ditetapkan.
3. Selain fungsi utama tersebut, proses monitoring juga berfungsi untuk mendeteksi dan memberikan
informasi jikalau muncul situasi- situasi yang, bisa jadi, memunculkan kebutuhan untuk
mengubah atau mengadaptasi formulasi atau desain implementasi kebijakan yang diawasi.

Bagi mahasiswa yang melihat kasus kebijakan yang dianalisisnya dalam logika implementasi
Bottom – up, perlu diingatkan bahwa dalam logika implementasi bottom – up tidak ada logika
instrumentasi yang digunakan sebagai basis untuk melakukan proses monitoring, karena desain dan
formulasi kebijakan bersifat cair dan ditentukan oleh kondisi kontekstual di mana proses kebijakan
itu terjadi. Dalam konteks demikian, analis perlu menyadari bahwa proses monitoring didasarkan pada
nilai yang muncul diantara aktor kebijakan yang terlibat dalam proses kebijakan bottom – up tersebut.
Karenanya, desain monitoring dalam logika bottom up, lebih mengacu pada terpenuhinya nilai yang
pemaknaan dan definisinya ditentukan sendiri oleh publik yang menjadi obyek kebijakan.
Sebagai contoh, mahasiswa bisa diajak melihat kasus Kebijakan Otonomi Khusus di Papua.
Desain monitoring untuk kebijakan semacam itu tidak hanya melibatkan logika instrumentasi
kebijakan yang sudah ditetapkan dalam formula dan desain implementasi kebijakan Otsus Papua
dari pemerintah pusat. Desain monitoring untuk kebijakan otonomi khusus Papua juga melibatkan logika
bottom up yang lebih didasarkan pada persepsi masyarakat Papua yang menjadi obyek dari
kebijakan tersebut, misal: terkait dengan masalah penghormatan dan pengakuan terhadap kedaulatan
hukum adat Papua, desain dan instrumen monitoring untuk kebijakan pengakuan dan penghormatan
terhadap hukum adat ini tidak bisa ditentukan dari pemerintah pusat, karena pemerintah pusat tidak
memiliki justifikasi dan legitimasi untuk menentukan ukuran baik dan buruk pelaksanaan hukum adat
masyarakat Papua. Justifikasi untuk menentukan ukuran tersebut ada di masyarakat Papua itu sendiri,
sebagai subyek dan obyek hukum adat Papua.
Dosen menegaskan kepada mahasiswa bahwa poin verifikasi dalam contoh di atas adalah
contoh dalam instrumen monitoring yang paling sederhana. Dosen bisa memberikan contoh yang
lebih kompleks dengan kasus Kebijakan Untuk Meningkatkan Kualitas Kebijakan Melalui
Partisipasi, seperti ditampilkan dalam Tabel X.1. Dalam contoh ini, poin yang diverifikasi berpusat
pada pelaksanaan partisipasi dalam proses kebijakan secara umum. Untuk itu, tahapan,
intensitas,cakupan, dan dampak yang ditimbulkan dalam praktek proses kebijakan menjadi poin
verifikasi yang krusial bagi kebijakan ini.
Monitoring dalam logika politik itu mensyaratkan ada infrastruktur, kalau tidak ada sulit
ditunjukkan. Monitoring terjebak dalam logika yang teknokratis-administratif.
Berikut ini adalah contoh beberapa mekanisme monitoring yang dikembangkan di Indonesia:
1. Mekanisme gugus tugas
Biasanya, untuk menyusun suatu dokumen pembangunan (seperti Repelita atau Propenas)
pemerintah akan menugaskan sejumlah teknokrat, entah di Bappenas atau di departemen
sektoral, mungkin juga dibantu oleh orang dari universitas. Langkah ini dirubah dengan
memberikan pendekatan yang “lebih partisipatif ” dalam menyusun dokumen-dokumen ini. Cara
yang dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk gugus tugas-gugus tugas untuk
menyusun dokumen PRSP.
2. Mekanisme satuan kerja finalisasi
Belajar dari pengalaman penyusunan SKPN periode sebelumnya, Menko Kesra dan Bappenas
akhirnya memutuskan membentuk tim yang lebih kecil, meskipun tetap bersifat multipihak dan
berasal dari para anggota gugus tugas.
Mereka dipilih antara lain dengan pertimbangan: (i) representasi berbagai departemen dan
lembaga non-pemerintah; (ii) pernah terlibat dan aktif dalam kerja-kerja gugus tugas
sebelumnya; (iii) mewakili keahlian yang diperlukan untuk menyusun dokumen seperti dari
BPS untuk data, Depkes untuk bidang kesehatan dan “Kikis” untuk memperkuat suara orang
miskin, serta perwakilan kelompok swasta seperti representasi dari Kadin. Tim ini disebut
Satuan Kerja finalisasi.

C. Latihan Analisis terhadap Monitoring Kebijakan


Bagi mahasiswa yang memilih melakukan analisis terhadap monitoring kebijakan, dosen
menugaskan mereka untuk mencermati kasus monitoring kebijakan. Di sini, bisa dosen yang
memberikan beberapa contoh kasus, atau, bisa juga mahasiswa yang diminta untuk memilih contoh
kasusnya sendiri.
Dari contoh kasus tersebut, dosen meminta mahasiswa untuk mengkaji dan mendefinisikan,
pendekatan apa yang digunakan dalam proses kebijakan yang di monitoring, apakah bottom-up
ataukah top-down. Dari situ, analisis dilanjutkan dengan mengkaji instrumen monitoring yang
digunakan dan melakukan assessment apakah instrumen tersebut memiliki koherensi dengan pendekatan
yang digunakan. Selain koherensi instrument, mahasiswa juga diminta untuk mengkaji koherensi
substansi antara tujuan kebijakan dengan poin-poin verifikasi yang digunakan dalam instrumen
monitoring.
Dosen meminta mahasiswa untuk menyajikan kajian tersebut dalam sebuah paparan, yang
memperlihatkan ada/tidak-nya koherensi antara desain kebijakan dengan instrumen monitoring yang
digunakan. Dalam paper tersebut, mahasiswa juga harus memberikan poin- poin yang patut
diperhatikan dalam membangun sebuah instrument monitoring yang koheren dengan desain
kebijakan-nya. Ini merupakan bentuk abstraksi dari temuan-temuan mereka dalam latihan melakukan
analisis terhadap monitoring kebijakan.

D. Persiapan Sesi Berikutnya


Pada pertemuan XI, akan dibahas masalah evaluasi kebijakan. Untuk mempersiapkan diri,
sebelum mengikuti pertemuan tersebut mahasiswa diminta untuk membaca:
• Bovens, Mark, et.al. The Politics of Policy Evaluation, dalam Moran, M. et.al. (eds.), (2008),The Oxford
Handbook of Public Policy, UK: Oxford University Press,Chap. 15.hal. 317-333.
• Evert Vedung, Evaluation Research, dalam dalam Pieters, B. Guy dan Jon Pierre eds., (2006),
Handbook of Publik Policy, Sage Publications.
• Hogwood & Gunn, (1989), Policy Analysis for the Real World, Oxford University Press, chap. 12
Evaluation.

Dari hasil pembacaan tiga literatur tersebut, mahasiswa diminta untuk membuat review singkat
serta memberikan paparan tentang fungsi dari analisis dalam evaluasi kebijakan.
Daftar Pustaka
Cohen, March, Olsen, (1972), A Garbage-Can Model of Organizational Choice, Administrative Science
Quarterly vol. 17
Hogwood & Gunn, (1989), Policy Analysis for the Real World, UK; Oxford University Press
Nugroho, Riant, (2007), Analisa Kebijakan Publik, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Palumbo, Dennis J dan Harder, Marvin A. eds., (1981),Implementing Public Policy, Lexington Books
EVALUASI KEBIJAKAN

Misi Sesi Perkuliahan

• Memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang


konsep evaluasi kebijakan
• Memberikan ketrampilan bagi mahasiswa untuk
melakukan evaluasi kebijakan, baik dalam corak
evaluasi untuk kebijakan maupun evaluasi terhadap
kebijakan
Substansi Sesi Perkuliahan

• Evaluasi Kebijakan
Metode Sesi Perkuliahan

• Ceramah
A. Analisis dan Evaluasi Kebijakan
Pada pertemuan ini mahasiswa diajak untuk menyelami dan menghayati praktek evaluasi
kebijakan, sebagai bagian dari analisis kebijakan, melalui aktivitas latihan. Dosen mengawali
pertemuan ini dengan menjelaskan bahwa aktivitas evaluasi kebijakan merupakan kelanjutan dari
aktivitas monitoring kebijakan, yang telah dibahas pada pertemuan sebelumnya.
Jika aktivitas monitoring didefinisikan sebagai aktivitas untuk menjaga agar proses kebijakan
tidak melenceng dari desain yang sudah digariskan, maka aktivitas evaluasi lebih didefinisikan
sebagai aktivitas untuk menilai efektivitas kebijakan dalam mencapai tujuan kebijakan yang
dikehendaki.
Dosen menjelaskan kepada mahasiswa, bahwa, biasanya; kesulitan terbesar dalam melakukan
evaluasi kebijakan adalah memastikan dampak yang dihasilkan kebijakan bukan karena kebetulan
atau diibaratkan menang lotere. Kesulitan ini terkait erat dengan problem- problem metodologis
yang dihadapi dalam pengambilan keputusan kebijakan, yaitu:
1. Keragaman dimensi dari berbagai tujuan kebijakan
2. Informasi yang sangat tidak lengkap
3. Keragaman alternatif untuk bisa menentukan dampak-dampak yang ditimbulkan dari tiap
alternatif
4. Keterbatasan yang beragam dan, bisa jadi, saling berkonflik satu sama lain
5. Kebutuhan akan kesederhanaan dalam menggambarkan dan mempresentasikan kesimpulan di
tengah-tengah kompleksitas- kompleksitas di atas1

Ini berpengaruh terhadap penentuan kriteria apa yang digunakan untuk melakukan evaluasi.2
Misalnya, kalau pemerintah ingin kebijakan untuk mengatasi kemiskinan, apakah cukup hanya
dengan membagi- bagikan uang kepada orang miskin? Kemudian, ketika ada orang kaya, apakah
kayanya orang tersebut karena sesuatu hal yang dilakukan pemerintah?
Kita juga bisa melihat gambaran proses evaluasi program pemerintah yang lazim dijalankan.
Misalnya pemerintah membuat proyek “A”, evaluasinya hanyalah soal berapa dana yang telah
dianggarkan, pelaksananya diberikan kepada PT “X” yang telah menang tender, capaiannya atau
output-nya. Namun, bagaimana dampak dari proyek “A” tersebut tidak pernah dibicarakan. Padahal hal
paling fundamental dari evaluasi kebijakan itu adalah mencermati apakah kebijakan tersebut bisa
menghasilkan dampak yang diharapkan atau tidak. Ketika proses pelacakan berbagai output dan
reaksi antar output itu tidak sama, maka kita tidak bisa menentukan outcome-nya dengan baik.
Persoalan paling serius jika seseorang ingin mengevaluasi kebijakan dengan cara teknokratis
adalah memastikan bahwa dampak kebijakan itu betul-betul berasal dari kebijakan yang dibuat.
Pemerintah biasanya melakukan simplifikasi ketika melakukan evaluasi. Simplifikasi itu adalah
kecenderungan mereka untuk kesulitan membedakan antara output, outcome dan impact.
Sebagai ilustrasi, dosen bisa memaparkan secara singkat tentang kebijakan publik yang
menjanjikan kelancaran transportasi. Keberhasilan kebijakan tersebut tentunya membutuhkan
prasyarat tertentu, yaitu memastikan bahwa ada sekian banyak hal yang harus disiapkan dengan
baik. Dampak kelancaran transportasi tersebut memerlukan sejumlah output yang harus dibuat oleh
pemerintah. Misalnya, pertama, kelancaran transportasi itu memerlukan jalan, maka perlu dibuat
jalan-jalan yang baik. Kedua, kendaraan bermotor yang melintas harus dipastikan dalam kondisi
prima. Jangan sampai kendaraannya bobrok semua, sehingga kendaraan banyak yang macet dan
justru mogoknya kendaraan tersebut menjadi penyebab kemacetan. Belum lagi keperluan
membangun sekian banyak jembatan penghubung, rambu-rambu lalu-lintas, penertiban pengendara,
dan lain-lain. Artinya, ada sekian banyak output yang harus dibuat sehingga kalau semua output yang
dibuat tersebut baik dan saling menunjang satu sama lain, maka baru bisa diperoleh dampak
kelancaran lalu-lintas. Keharusan untuk memperhitungkan seluruh aspek serta hubungan kausal
antar aspek tersebut dan output suatu kebijakan dalam menghasilkan outcome, tentunya membuat proses
analisis dan desain kebijakan menjadi suatu pekerjaan yang sangat berat dan rumit. Hal yang paling
mudah diukur dan dievaluasi justru proses output kebijakan. Kalau misalnya pemerintah itu
mengagendakan membangun jalan atau jembatan, memperbaiki trotoar dan seterusnya, yang paling
bisa diukur adalah apakah hal tersebut sudah dilakukan atau belum, uangnya sudah dihabiskan atau
belum. Padahal tujuan kebijakan tadi adalah kelancaran lalu-lintas. Kalau misalnya, dari sekian banyak
pembangunan jembatan tadi ada dua jembatan penghubung antar kota yang tidak diperbaiki dan
rusak berat, maka seluruh upaya pemerintah yang telah dilakukan untuk menghasilkan kelancaran
lalu-lintas akan sia-sia. Artinya, dampak kebijakan itu tidak tercapai hanya gara-gara ada satu output
penting yang tidak dilaksanakan.Persoalan evaluasi menjadi rumit manakala pengukuran terhadap
dampak kebijakan sulit dilakukan.
Pemerintah seringkali kesulitan untuk membedakan antara output dan outcome. Hal ini terjadi karena
ketika pemerintah memahami proses yang dianalisis, yang diperhatikan itu hanya proses di dalam tubuh
pemerintah itu sendiri. Ini cara pandang yang disebut sebagai state centric. Pemerintah ketika
menganalisis proses, yang dianalisis adalah proses pembukuan, proses penganggaran, proses
pengorganisasian dan seterusnya, sementara proses yang terjadi di masyarakat nyaris tak tersentuh.
Contoh sederhana dari cara pandang state-centric tersebut adalah kebijakan pemerintah di sebuah
kabupaten di Jawa Tengah untuk membangun pemerintahan berbasis IT. Konsep pemerintahan
berbasis IT ini prosesnya di pemerintah baik semua dan disetujui secara umum. Ketika pemerintah
ingin membangun sistem berbasis IT, maka output yang dilakukan adalah membeli komputer,
menyiapkan programmer, melakukan training pejabat dan lain-lain. Hanya saja, ada satu aspek
vital yang tidak pernah diperhitungkan: perilaku masyarakat. Karena bekerjanya sistem IT itu
adalah sambungan antara sarana yang dibuat pemerintah dengan perilaku masyarakat.Ketika
perilaku masyarakat tidak berubah, maka, bisa disimpulkan bahwa dampak/outcome yang diharapkan
tidak tercapai.
Saya ingin menegaskan bahwa cara pandang teknokratis itu punya kelemahan bahwa dia bekerja
mulai dari input, proses, dan produk. Akan tetapi, ketika dia mulai bekerja di gambar kuning, itu dia
tidak seksama, tidak memperhatikan proses-proses sosial di luar pemerintahan yang seringkali
justru bisa mementahkan keadaan.
Dosen mengingatkan mahasiswa pada instrumentasi kebijakan (kewenangan, informasi,
uang dan organisasi) yang dibahas dan digunakan pada sesi Implementasi Kebijakan, dan
menjelaskan bahwaberbagai instrumen kebijakan itu sebenarnya adalah alat untuk menyiasati
bekerjanya proses-proses sosial. Ketika kita melakukan evaluasi, maka sangat penting
menganalisis berbagai proses sosial yang berlaku, salah satu caranya adalah dengan
menggunakan empat instrumen kebijakan tadi. Pemahaman tentang perilaku masyarakat
menjadi sangat penting justru karena ada resistensi masyarakat. Ketidaksukaan masyarakat
terhadap kebijakan yang hendak dicapai itu bisa ditangkap ketika kita mengamati proses-
proses partisipasi masyarakat. Ada yang berpartisipasi positif (mendukung), namun ada yang
partisipasi negatif (melawan).
Partisipasi atau respons masyarakat itu sebenarnya tidak harus dikontraskan dengan
pendekatan teknokratis yang acapkali abai terhadap hal ini. Namun, partisipasi menjadi
penting untuk disoroti karena proses kebijakan, sejauh yang kita cermati sampai saat ini,
cenderung dipahami hanya sebagai prosesnya pemerintah sendiri atau tidak sensitif konteks.
Orang yang paham tentang konteks itu disebut dengan partisipan. Artinya, kalau anda adalah
analis yang ingin lebih arif dalam mengevaluasi kebijakan, maka justru dengan penghayatan
proses-proses partisipatif melalui instrumen teknokratis yang telah disiapkan, akan memperbesar
harapan terwujudnya outcome. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana proses kebijakan itu
bisa menjangkau konteks yang selalu dinamis, sehingga proses aksi-reaksi yang berlangsung
antara pemerintah dan partisipan bisa membuahkan outcomeyang diinginkan.
Sebuah ilustrasi lain adalah mengenai Proyek Rumah Susun Sederhana Sewa
(Rusunawa). Pemerintah, melalui Menpera, menganggarkan Rp 500 milyar dengan subsidi Rp
300 milyar pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 sebesar Rp 750 milyar dengan subsidi
Rp 800 milyar. 4Fakta yang mendasari pelaksanaan program ini
adalah penduduk perkotaan, terutama yang berpenghasilan rendah(di bawah Rp 1,3 juta per bulan)
masih merupakan jumlah terbesar, yaitu kurang lebih 65% dari total jumlah penduduk
perkotaan. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup pesat, sebesar 4,2% sepanjang
tahun 1990 – 2000, mempunyai dampak langsung terhadap kebutuhan sekitar 800.000 rumah
baru setiap tahun, belum termasuk kesenjangan (backlog) sebelumnya.5 Skema yang
dikembangkan dari program ini adalah:6

• Pada masyarakat yang berpenghasilan lebih dari Rp 1,3 juta per bulan diharapkan dapat
mengikuti mekanisme pasar, artinya dapat mengembalikan semua biaya investasi
penyelenggaraan rusun dan rusunawa tanpa bantuan subsidi Pemerintah.
• Bagi masyarakat yang berpenghasilan lebih rendah (Rp 500.000
– Rp 850.000) dan (Rp 850.000 – Rp 1.300.000) Pemerintah merencanakan tidak
membebani untuk pengembalian lahan, perlu dikembangkan tarif kombinasi yang dapat
menampung masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.
• Pada kelompok miskin, yang berpenghasilan sampai dengan Rp
350.000 dan (Rp 350.000 – Rp 500.000) setiap bulannya, diterapkan tarif sewa yang relatif
sangat murah dengan bantuan subsidi dari Pemerintah atau subsidi silang.

Sumber: http//www.pu.go.id/Ditjen_mukim/htm-lampau/lkkry_rsn_rsnw.

html
Program ini sendiri merupakan bagian dari proyek Program Pembangunan Nasional jangka
panjang untuk mengatasi permasalahan kemiskinan. Pemerintah menggunakan pilihan instrumen
uang (treasure) untuk membuat rumah bagi orang miskin. 7 Persoalan yang berpotensi muncul
adalah, ketika misalnya rumah susun tersebut sudah dibangun dan ditempati, jangan-jangan
orang yang tinggal di Rusunawa itu justru mencurahkan seluruh gajinya untuk membayar
rumah. Artinya, pemerintah ingin membantu orang miskin dengan rusunawa, tetapi malah
berakibat memaksa orang miskin over-konsumsi kemudian hutangnya malah bertambah lebih
banyak. Sehingga kemudian rumah itu justru malah menjadi alat pemiskinan. Tapi ketika
dipertanggungjawabkan oleh pemerintah, sudah ada sekian banyak rumah dibangun. Dan itu
yang dibanggakan oleh pemerintah.Padahal bagi pengguna rumah itu, esensinya adalah alat
pemiskinan.
Gampangnya, miskin atau tidak miskinnya seseorang bisa diukur dari berapa besar
tabungan yang dimiliki oleh orang tersebut.Jika seseorang ternyata seluruh penghasilannya
hanya cukup untuk bayar sewa rumah dan tidak bisa menabung, orang tersebut bisa dikatakan
lebih miskin ketika dia tinggal di Rusunawa, daripada ketika dia masih menempati rumahnya
yang terdahulu. Meskipun rumahnya yang terdahulu lebih sederhana dan penghasilannya
relatif tetap, orang tersebut mungkin masih bisa menabung karena prosentase penghasilan yang
terserap ke dalam pos tempat tinggal lebih kecil. Itu artinya ada proses sosial,ekonomi, dan
kultural disana yang memunculkan outcome dan impact yang tidak diantisipasi dalam desain
kebijakan Rusunawa. Hadirnya rumah justru berlawanan dengan outcome yang diharapkan.
Ini terjadi karena masyarakat, ketika diberi rumah melalui Program Rusunawa, diharapkan
berperilaku sama dengan yang membuat kebijakan. Kalau yang membuat kebijakan itu orang
kaya, kecil sekali potensinya mereka bisa memahami nalar pikiran dan tindakan dari orang
miskin.Kalau pembuat kebijakan tidak sanggup memahami nalar mereka yang akan dikenai
kebijakan, atas dasar apa proses-proses decision-making itu menjanjikan outcome seperti yang
diharapkan?
Ketika tujuan kebijakan semata-mata ditentukan oleh orang- orangnya pemerintah; yang
notabene orang kaya, instrumennya dibuat oleh orang pemerintah dan dilaksanakan oleh orang
pemerintah juga, maka ketika pemerintah itu melakukan monitoring, yang dimonitoring hanyalah
output-nya saja. Output ini digariskan oleh orangnya pemerintah, bukan outcome-nya, yang diukur
berdasarkan apa yang dirasakan oleh mereka yang terkena dampak kebijakan. Ketika rusunawa
itu berhasil dibangun, kecil kemungkinan pemerintah melakukan verifikasi perubahan kualitas
hidup yang ada disana.
Kemungkinan yang lain, bisa jadi rumah yang menjadi output kebijakan pemerintah itu
berhasil dibangun, tapi karena rumahnya itu terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah rumah
yang dibutuhkan orang miskin, maka memang ada beberapa orang miskin yang tinggal di rumah
bagus, tetapi tetap saja lebih banyak orang miskin yang tidak tertampung.
Memang banyak persoalan mengenai rusunawa ini hanya karena pangkal persoalan
kemiskinan itu tidak disentuh. Dalam kasus ini, kemiskinan direduksi sebagai miskin itu
karena tidak memiliki rumah. Maka untuk menghapus kemiskinan, buatkan saja rumah.
Sementara proses pemiskinan secara keseluruhan tidak dipahami. Ingat bahaya atau
jebakan yang mungkin diakibatkan dari penggunaan model dalam analisa
kebijakan!

Selesai dengan pemaparan singkat tentang konsep evaluasi kebijakan, dosen kemudian
meminta mahasiswa untuk melakukan latihan melakukan evaluasi kebijakan. Sama seperti sesi-
sesi sebelumnya, di sini mahasiswa bisa memilih dua corak analisa, yaitu analisa untuk evaluasi
kebijakan atau analisa terhadap evaluasi kebijakan.
B. Berlatih Melakukan Analisi untuk Evaluasi Kebijakan
Ilustrasi di atas sebetulnya menunjukkan betapa evaluasi kebijakan bisa dimaknai secara
beragam dan pemaknaan atas hasil kebijakan merupakan sesuatu yang dikontestasikan.8 Bagi
pemerintah, yang dianggap keberhasilan adalah masyarakat miskin punya rumah, that’s all.
Bagi pandangan yang mengkritisi, bagaimana jika punya rumah tetapi kesulitan untuk
membayar rumah tersebut, yang kemudian malah menjerumuskan masyarakat miskin semakin
jauh dalam jerat kemiskinan. Perbedaan hasil evaluasi tersebut tentunya disebabkan, terutama
sekali, oleh perbedaan masing-masing memahami tujuan utama dari kebijakan yang
dievaluasi. Karenanya, penetapan atau kesepakatan atas tujuan kebijakan merupakan sebuah
prasyarat bagi keberhasilan evaluasi kebijakan.
Sehingga kalau anda melakukan evaluasi, dan anda melacak dampak kebijakan, pada
dasarnya anda membandingkan antara output yang ditetapkan dengan outcome yang dijanjikan.
Dan diantara itu ada rentetan panjang. Mengevaluasi itu membandingkan antara input, dalam
hal ini rencana-rencana yang telah ditetapkan, dengan outcome yang dijanjikan. Dan kalau
proses mengalirnya anak panah itu tidak dianalisis, bisa jadi memang ada perubahan sejalan
dengan yang diharapkan. Tapi tidak tertutup kemungkinan, efek itu bukan efeknya kebijakan
pemerintah. Ibaratnya pemerintah menang lotere, padahal dia ga tidak melakukan apa-apa.
Outcome ini saling terkait dari berbagai hal, bisa dibilang sebagai bereaksinya berbagai
instrumen, baik secara simultan maupun secara berantai, seperti digambarkan di Bagan XI.1.
Elemen-elemen Desain Kebijakan.9 Instrumen yang dibuat pemerintah itu ada 4, maka
bereaksinya 4 hal (instrumen kebijakan) itu di dalam kehidupan sosial-politik masyarakat itulah
yang harus diungkap. Masuknya uang ke masyarakat jangan-jangan malah justru memunculkan
praktek suap. Ketika ada suatu krisis, masyarakat diberi uang oleh pemerintah dengan konsep
jaring pengaman sosial, artinya masyarakat itu punya kemampuan untuk mengelola dirinya sendiri
termasuk untuk keluar dari krisis sendiri.

Bagan XI.1. Elemen-Elemen Desain Kebijakan

Sumber: Schneider, Anne L. dan Helen Ingram, Policy Design, dalam Nagel, Stuart S. ed.,
(1990), Policy Theory and Policy Evaluation: Concept, Knowledge, Causes, and Norms,
Greenwood Press
Bagi yang merancang proses kebijakan, baik dari “dalam” maupun dari “luar”, perlu
merancang evaluasi untuk program yang sudah ada. Kerangka atau persiapan apa yang perlu
dipersiapkan untuk mengevaluasi? Kalau anda adalah orang luar yang mengadvokasi untuk
mengubah pemerintah, cara anda mengevaluasi dan menyampaikan ide evaluasi itu ketika
berhadapan dengan pemerintah seperti apa? Begitu juga sebaliknya, kalau anda adalah
orangnya pemerintah dan anda ingin memastikan bahwa intervensi kebijakan itu betul-betul
menghasilkan outcome, apa saja yang perlu anda siapkan?
Kalau anda adalah orang dari luar dan ingin mengecek yang dilakukan pemerintah itu
sesuai dengan harapan anda, anda bisa memulai dengan membayangkan apa yang
dibayangkan oleh pemerintah sebagai tujuan dari kebijakan yang dianalisis. Karena, bisa jadi,
apa yang dibayangkan pemerintah sebagai tujuan dari kebijakan tersebut justru adalah hal yang
anda hindari, atau bisa juga sebaliknya.
Langkah ini penting untuk dilakukan karena, bisa jadi, sumber masalah pemerintah adalah
pemerintah salah mendefinisikan tujuan, sehingga langkah pertama adalah memeriksa agenda
atau misi pemerintah. Itu artinya partisipasi anda justru paling penting, bukan hanya partisipasi
dalam pelaksanaan tapi juga partisipasi dalam memaknai tujuan. Dan proses-proses itu disebut
sebagai proses advokasi: kalau berbeda, maka sejauh mana upaya anda bisa meng-counter langkah
pemerintah. Tapi kalau sama, seberapa jauh itu bisa dijaga konsistensinya.

C. Berlatih Melakukan Analisis terhadap Evaluasi Kebijakan


Bagi mahasiswa yang melakukan analisis terhadap kebijakan, nilailah apa yang dilakukan
pemerintah. Kriterianya harus ditetapkan dengan jelas. Kalau kuadran II dan IV itu kan tidak
mengagendakan perubahan, jadi cukup melihat rancangannya pemerintah. Jangan- jangan
pemerintah itu dari awal sudah salah menentukan tujuannya, jangan-jangan pemerintah itu
punya persoalan di dalam merumuskan dan memutuskan kebijakannya itu, bisa jadi
pemerintah itu ceroboh mengelola proses-proses sosial di masyarakat, jangan-janganoutputnya itu
terlalu sedikit atau, jangan-jangan, output-nya tidak ada yang vital. Kuadran ini yang penting
adalah kecermatan anda dalam menentukan kriteria dan kemudian mengkontraskan dengan
realitas yang anda amati. Kriteria evaluasi itu harus jelas, ukurannya itu adalah tujuan
kebijakan atau ide yang menurut anda penting untuk dicapai.

 Model Kebijakan Partisipatif


Dalam bab ini ingin dikemukakan kerangka teoritik yang tersedia dalam literatur
kebijakan publik, yang nantinya diharapkan bisa memberi inspirasi dalam perumusan
mekanisme kebijakan publik yang partisipatif. Sebelum sampai disitu perlu disampaikan
secara lebih eksplisit bahwa selama ini kebijakan publik di daerah (maupun di tingkat
nasional) mengacu pada model, yang penulis juluki dengan sebutan model ‘kebijakan sebagai
keputusan otoritatif negara’. Pokok gagasan ini sudah tersampaikan secara tersirat dalam
assessment kritis yang disampaikan di atas, dan tidak ada gunanya dielaborasi lagi.
Dalam literatur kebijakan publik penulis mengidentifikasi adanya dua model kebijakan
yang kiranya konstruktif untuk mengkerangkai pemikiran tentang mekanisme pembuatan
kebijakan publik: yakni model ‘kebijakan sebagai perjuangan kepentingan masyarakat’ dan
model ‘kebijakan sebagai proses social marketing’. Keduanya akan dipaparkan sebagai
berikut.10

Kebijakan sebagai perjuangan kepentingan masyarakat.

Kalau kita tidak berpikir birokratis-yuridis semata, maka proses kebijakan publik tidak
harus mengandalkan peran aktif pejabat negara. Ini tidak berarti bahwa negara
dikesampingkan dalam proses kebijakan. Bahwa dalam negara ada aktor-aktor yang telibat
dalam proses penentuan isi kebijakan, itu tidak dibantah. Hanya saja, titik strategis yang
diutamakan dalam memahami proses kebijakan adalah proses politik, bukan proses birokratis.
Proses politik yang dimaksudkan adalah proses politik yang digerakkan oleh partisipasi politik
masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.
Bagan X.2. Kebijakan Publik sebagai Proses Politik Berbasis Kekuatan
Masyarakat

Proses kebijakan, dari kacamata


penganjur gagasan ini (misalnya teori sistem), dilihat sebagai proses tuntut-menutut dan
dukung- mendukung gagasan kebijakan yang harus dipikirkan oleh pejabat pemerintah. Dalam
konteks ini, peran pengambil kebijakan keputusan dibayangkan hanya sebatas merespons
tuntutan dan dukungan yang disampaikan oleh masyarakat. Dalam proses ini institusi-institusi
politik yang ada telah menyediakan arena untuk mengagregasikan berbagai kepentingan yang
ada dalam masyarakat. Penentuan daftar skala prioritas, tawar-menawar antara berbagai pihak
yang terkait bisa dilakukan secara mandiri oleh masyarakat dengan mengacu pada aturan main
dan prosedur yang ada.
Adanya kapasitas kelembagaan inilah yang memungkinkan benturan berbagai
kepentingan masyarakat bisa diatasi. Masyarakat sendiri menyadari betapa pentingnya
menghormati prosedur-prosedur yang telah ada untuk memungkinkan proses kebijakan publik
bisa berlangsung dan mengenai sasaran. Dalam situasi yang demikian, maka mereka yang tidak
sepakat dengan isi kebijakan akan bersedia mematuhi keputusan kebijakan. Ini berarti
berjalannya kebijakan tidak lagi harus mengandalkan legalitas keputusan pemerintah,
melainkan justru legitimasi proses pengambilan kebijakan. Kalau model yang disebutkan dalam
pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa pengambilan kebijakan bersifat pro-aktif yang
didominasi pejabat negara ujung- ujungnya mengandalkan legalitas perundang-undangan,
dalam model ini diasumsikan bahwa peran pro-aktif masyarakat dan tegaknya lembaga-
lembaga kemasyarakatan (termasuk hukum) menjadikan pengambil kebijakan tidak haus
legalitas. Dalam nuansa ini, kebijakan disadari betul tidak identik dengan produk legislasi.
Kebijakan tidak harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Bahwa kebijakan akan merugikan pihak-pihak tertentu dan menguntungkan pihak-pihak
lain, dari kacamata society centric ini dianggap tidak bermasalah. Keputusan pemerintah yang
tidak memuaskan akan menggerakkan pihak yang tidak puas ini untuk memperjuangkan
kepentingannya. Dengan demikian, maka proses kebijakan akan terus-menerus mengalir
dalam bentuk tuntutan/dukungan masyarakat yang senantiasa direspons secara mekanistik
oleh para pejabat negara.

Kebijakan sebagai prosessocial marketing


Kedua cara penyederhanaan tentang proses kebijakan tersebut di atas sama-sama masuk akal.
Penyederhanaan cara memahami proses kebijakan ini bisa disebut sebagai model proses
kebijakan. Jelasnya, dari pembahasan tersebut di atas tersirat adanya dua model dasar
(menyederhanakan cara memahami) proses kebijakan.
Model yang pertama mengandaikan ekspresi keputusan otoritatif para pejabat negara bisa
dilakukan dengan mengandalkan kekuatan negara (dalam hal ini kapasitas instrumental
birokrasi pemerintah), sedangkan model yang satunya lagi justru mengandaikan kuatnya basis
institusional masyarakat untuk mewadahi partisipasi politiknya. Model yang pertama dengan
mudah dipraktikkan di negara yang pemerintahnya dominan atau kapasitas kelembagaan
politik masyarakatnya lemah. Mengingat model ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan
kewenangan oleh para pejabat negara, maka advokasi kebijakan menjadi suatu keniscayaan.
Model yang kedua sebetulnya disarikan dari pengalaman negara-negara industri maju
yang telah lama mengembangkan liberalisme sebagai pilar pemerintahannya. Kesadaran akan
hak-hak politik masyarakat telah menjadi sandaran bagi tegaknya hukum, dan proses
kebijakan memang bisa disederhanakan sebagai proses merespons tuntutan dan dukungan
masyarakat. Kalau model ini mau dijadikan basis (acuan praktis) untuk pengelolaan proses
kebijakan, maka prasyarat-prasyarat bagi berjalannya model ini harus dipenuhi. Prasyarat
tersebut adalah bahwa proses kebijakan berlangsung dengan dukungan kapasitas kelembagaan yang
memadai. Proses artikulasi dan agregasi kepentingan, misalnya, dijalankan oleh partai-partai
politik. Artinya, model kedua mensyaratkan kuatnya basis politik kepartaian. Prasyarat
semacam ini tampaknya tidak dengan mudah bisa dipenuhi oleh masyarakat Indonesia saat
ini. Ini juga berarti bahwa, peran aktif dan pro-aktif pemerintah, memang tidak bisa
dihindarkan.
Sehubungan dengan hal itu, maka model pertama bisa dijadikan acuan dengan sejumlah
modifikasi.

Bagan X.3. Perspektif Social Marketing

PUBLIC
HEARING
RUMUSKAN
DAN EVALUASI
ALTERNATIF- PUTUSKAN,
ALTERNATIF KOMUNIKASIKAN,
PIMPIN

Perspektif Social marketing


KONSULTASIKAN,
LIBATKAN, IMPLEMENTASI
KETERLIBATAN STAKEHOLDERS
AKOMODASIKAN KEBIJAKAN
Pendidikan thd policy makers ttg. Kebutuhan stake holders dan efek kebij.
Pendidikan thd. stakeholders ttg. issue kebijakan

DEFINISI
MASALAH MONITOR DAN
DAN SETTING SESUAIKAN
AGENDA

REDISAIN
KEBIJAKAN

Sumber: J.A. Altman, 1994

Alternatif model yang mengkombinasikan kedua model tersebut di atas ditawarkan oleh
J.A. Altman. Dia menyebutnya sebagai model social marketing, dimana pejabat negara dituntut
untuk aktif dalam proses kebijakan, namun keaktivan tersebut tidak mereduksi arti penting
kesepakatan (consent) dari masyarakat. Gagasan Altman ini disajikan dalam bagan. Ada
sejumlah butir gagasan yang penting untuk dicatat dari tawaran Altman ini.
Pertama, berlangsungnya proses kebijakan yang memenuhi kedua tuntutan tersebut di atas,
mensyaratkan agar, baik pejabat negara maupun masyarakat, menjalani pendidikan kebijakan.
Tentu saja materi pendidikan bagi pejabat negara berbeda dengan materi pendidikan bagi
masyarakat. Poin tersembunyi yang perlu diungkapkan adalah bahwa adanya kesediaan bagi
pejabat negara mapun masyarakat untuk saling belajar (membuka mata dan telinga)
merupakan kunci bagi kelancaran proses kebijakan.
Kedua, kebijakan pada dasarnya bukan proses birokratik ataupun proses politik belaka,
namun juga proses belajar. Poin ini penting untuk dikedepankan, karena betatapun tenaga ahli
telah bekerja sekuat tenaga untuk kesuksesan kebijakan, nuansa trial and error dalam proses
kebijakan tidak akan hilang. Kebijakan publik adalah proses eksperimentasi nasib sejumlah
orang, kalau bukan nasib komunitas secara keseluruhan. Oleh karena itu, disain kebijakan
merupakan elemen penting. Sejalan dengan kerangka berpikir tersebut di atas, public hearing
merupakan proses kunci bagi kelangsungan proses kebijakan. Ketiga, dalam setiap fase pengelolaan
kebijakan, partisipasi masyarakat senantiasa terbuka.
Model alternatif tersebut di atas sangat mengedepankan arti penting belajar dan
konsensus. Dalam realitas, kebijakan justru tidak bisa mengatasi masalah yang diagendakan
karena konflik yang berkecamuk. Sehubungan dengan hal itu, kebijakan bisa disederhanakan
sebagai proses pengelolaan konflik antara berbagai pihak yang saling menggalang kekuatan
untuk memperjuangkan kepentingannya. Paul A. Sabatier menawarkan model koalisi-advokasi
untuk memahami proses kebijakan.
Dalam model ini dibayangkan proses kebijakan melibatkan komunitas kebijakan yang
heterogen yang tergalang dalam sejumlah koalisi untuk memenangkan gagasan kebijakan.
Koalisi ini sifatnya lintas batas negara-masyarakat. Yang mempersatukan para stake-holders
dalam suatu koalisi adalah kesamaan kepentingan atau keberpihakan terhadap suatu gagasan
kebijakan. Ini artinya, sangat boleh jadi ada pejabat negara yang justru ambil bagian dalam
advokasi kebijakan yang dimotori oleh kekuatan-kekuatan masyarakat. Sebaliknya, dalam
ranah masyarakat kita menemukan adanya “kaki-tangan” negara yang melangsungkan proses
untuk mengamankan kebijakan pemerintah. Sehubungan dengan hal ini, Sabatier sepaham
dengan Altman bahwa proses learning (membuka mata dan telinga) adalah proses penting
untuk mensukseskan kebijakan.
D. Prinsip-Prinsip Pengembangan Mekanisme Kebijakan Partisipatif
Sebagai penutup, perlu kiranya disarikan sejumlah prinsip yang perlu disefahami oleh
para pihak yang berkehendak untuk ikut ambil bagian dalam pengembangan mekanisme
pembuatan kebijakan publik. Sejauh mungkin penulis akan mencoba merumuskan prinsip-
prinsip tersebut seoperasional mungkin sehingga bisa menjadi rujukan praktis dalam modul ini.
Pertama, prinsip mekanisasi. Perumusan (tepatnya perumusan ulang) mekanisme kebijakan
partisipatif adalah persoalan merumuskan hubungan mekanis antar berbagai pihak dalam proses
kebijakan. Hubungan mekanis ini memungkinkan proses kebijakan bergulir mengingat aksi
seorang aktor atau suatu agensi/lembaga/organisasi akan direaksi oleh pihak yang lain. Ini
berarti bahwa:
 Yang perlu dirumuskan dalam mekanisme bukan hanya kausalitas normatif (entah
mengikuti norma demokrasi, norma masyarakat lokal atau norma apa) namun juga
kausalitas aksi-reaksi. Sebagaimana dicontohkan di atas, proses kebijakan partisipatif tidak
bergulir manakala mekanisme baru yang dirumuskan dalam UU/Perda tidak diyakini
masyarakat akan bisa diterapkan. Kalau mereka tetap saja apatis terhadap mekanisme yang
ada, maka dominasi pejabat dalam proses kebijakan tetap berlangsung, dan agenda
pengembangan partisipasi akan kandas.
 Mekanisme tidak cukup dipahami sebagai tatanan prosedural saja, namun juga sebagai
perangkat antisipasi dinamika sosial. Tidak adanya mekanisme yang jelas menyebabkan
proses kebijakan sarat dengan konflik dan kekerasan. Dengan adanya mekanisme yang baku
dan disepahami para pelaku, maka masing-masing yang terlibat dalam proses kebijakan
bisa mengadu siasat, namun pada akhirnya dia harus tunduk pada aturan main yang bekerja
melalui mekanisme tersebut.
 Pengembangan partisipasi harus menjangkau aspek supply (peluang untuk berpartisipasi)
maupun aspek demand (gerakan sosial-politik untuk ikut mempengaruhi keputusan kebijakan
pemerintah). Hal ini hanya bisa ditegakkan kalau: (1) pemerintah maupun masyarakat sanggup
menegakkan aturan main. Mekanisme itu sendiri pada dasarnya adalah aturan main (2)
modal sosial yang ada selama ini ikut didayagunakan.

Kedua, prinsip pengelolaan perubahan sosial. Dalam hal ini ada dua persoalan:
 Apakah kita mulai dari level mikro (aktor) untuk mengubah mekanisme, ataukah
sebaliknya, sejumlah perubahan makro ditempuh duluan untuk memungkinkan kiprah pada
level mikro bisa berlangsung mulus. Sebagaimana telah dikemukakan, pengembangan
mekanisme dalam tulisan ini didudukkan sekedar sebagai salah satu pilar pengembangan
proses kebijakan yang partisipatif. Mekanisme ini bisa dilahirkan oleh perjuangan berbagai
aktor yang kemudian sepakat untuk membakukan rumusan dan membiasakan diri untuk
mematuhinya. Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. Berbagai perombakan makro-struktural
dilakukan yang pada gilirannya berbuntut memfasilitasi perubahan-perubahan mikro.
Sehubungan dengan persoalan ini maka: (1) pengembangan mekanisme tidak cukup
diserahkan pada perumusan ketentuan yuridis; (2) jaminan yuridis/administratif yang
diperoleh harus dikawal dengan aksi-aksi dan sejumlah “rekayasa” dalam rangka
pembiasaan terhadap mekanisme baru; (3) Aktor-aktor yang menduduki posisi struktural
dalam tubuh negara maupun dalam masyarakat perlu didorong untuk mendayagunakan posisi
struktural tersebut untuk pembudayaan mekanisme baru.
 Persoalan yang kedua adalah bagaimana inovasi awal bisa menggelinding laksana bola
salju. Untuk itu advokasi lintas pihak yang sudah tergalang perlu bentuk dan kemudian
didayagunakan. Komunikasi lintas pihak, katakanlah antara aktor dalam tubuh negara
dengan aktor dalam masyarakat, bisa menghasilkan sinergi yang, kalau dikelola dengan
baik, bisa menjamin sustainabilitas.
Daftar Pustaka
de Haven Smith, Lance, (1988), Philosophical Critiques of Policy Analysis: Lindblom, Habermas,
and the Great Society, University of Florida Press: Gainesville
Bardach, Eugene, (2005), Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths toward Problem
Solving, NY
Hogwood, Brian W. dan Lewis E. Gunn, (1989), Policy Analysis for the Real World, Oxford
University Press
J.A. Altman, (1994), Toward a Stakeholder-Based Policy Process: An Application of the Social Marketing
Perspective to Environmental Policy Development, Policy Sciences 27 (1): 37-51
Nagel, Stuart S. ed., (1990), Policy Theory and Policy Evaluation: Concept, Knowledge, Causes,
and Norms, Greenwood Press: Gainesville
Schneider, Anne L. dan Helen Ingram, Policy Design, dalam Nagel, Stuart S. ed., (1990), Policy
Theory and Policy Evaluation: Concept, Knowledge, Causes, and Norms, Greenwood Press

Anda mungkin juga menyukai