Bambang kusbandrijo
Daftar Isi
Bab Satu : Pengantar Studi Analisis Kebijakan Publik
1. Studi Kebijakan Publik dan Analisis Kebijakan
Publik
2. Barang Publik
3. Kepentingan Pubik
4. Latihan
Bab Dua : Analisis Untuk Kebijakan dan Analisis Terhadap Kebijakan
1. Kontroversi
2. Peran Analis Kebijakan Publik
3. Keahlian Dasar Analis Kebijakan Publik
4. Latihan
Bab Tiga : Kerangka Analisis Kebijakan
1. Kerangka Analisis Kebijakan Publik
2. Model untuk Analisis Kebijakan
3. Latihan
Bab Empat : Tahapan Aktivitas Analisis Kebijakan Publik
1. Tahapan Analisis Kebijakan Publik
2. Latihan
Bab Lima : Metode Kuantitatif Analisis Kebijakan Publik
1. Cost Benefit Analysis
2. Analytical Hierarchy Process
3. Latihan
Bab Enam : Metode Kualitatif Analisis Kebijakan Publik
1. Participatory Impact Analysis
2. Studi Kasus
3. Latihan
Bab Tujuh : Model dan Tehnik Analisis Kebijakan
1. Analisis Agenda Setting
2. Analisis Formulasi Kebijakan
3. Analisis Implementasi
4. Analisis Monitoring Kebijakan
5. Latihan
Bab Delapan : Menyusun Naskah/Dokumen Keijakan
1. Policy Memo
2. Policy Paper
3. Policy Brief
4. Policy Poster
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dinamika perubahan sosial, ekonomi, politik yang sangat cepat baik di tingkat
lokal, nasional maupun global memerlukan respon yang cepat, sekaligus
menyiapkan antisipati terhadap munculnya dampak-dampak yang mungkin
muncul. Contoh terkini tentang perubahan tata kelola ekonomi politik regional
seperti terbentuknya kerjasama regional Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
misalnya, akan membawa tantangan baru bagi Indonesia. Indonesia harus
menghadapi kompetisi dengan negara lain di satu sisi, sekaligus memerlukan
prioritas strategi dalam negeri. Barang- barang dan jasa akan masuk Indonesia
tanpa hambatan tarif, mobilitas sektor produksi barang dan jasa akan semakin
cepat, persaingan antara tenaga lokal dengan tenaga asing, investasi asing akan
semakin luas pada sektor usaha strategis yang selama ini tidak diantisipasi dan
direspon secara serius.
Contoh tersebut hanya salah satu bentuk tantangan dari sekian banyak isu-isu
lain yang harus segera direspon baik oleh pemerintah maupun masyarakat
Indonesia secara umum. Beberapa isu penting yang mendesak untuk diselesaikan
dalam bentuk kebijakan misalnya kualitas lingkungan hidup, hak konsumen,
definisi hak milik, kontrol terhadap munculnya teknologi baru yang kurang
kompatibel dengan kondisi masyarakat, integrasi pasar dalam negeri kedalam
pasar global dan beberapa isu mendesak lainnya. Merujuk pada tantangan yang
dihadapi oleh Indonesia seperti ini, maka dibutuhkan respon strategis yang
menjamin tercapainya produk kebijakan yang berkualitas yang mampu
memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat. Kualitas kebijakan pada
akhirnya menjadi keharusan, karena perubahan tata kelola ekonomi tersebut
memiliki dampak bagi masyarakat. Kualitas kebijakan yang rendah dapat dikenali
melalui beberapa aspek, misalnya rendahnya tingkat kepatuhan yang
mengakibatkan biaya sosial kebijakan yang tinggi; prosedur yang berlebihan
dengan hasil yang tak terduga atau tumpang tindih dengan kebijakan lain, dan
ketidakjelasan urgensi keberadaan suatu kebijakan publik. Oleh karenanya,
kebijakan publik akan selalu memperoleh perhatian yang luas karena menyangkut
kepentingan orang banyak yang berdampak luas pada masyarakat.
Berangkat dari kondisi itulah modul ini disusun untuk memberikan
pemahaman dan keterampilan dasar kepada peserta pelatihan tentang cakupan
ilmu kebijakan publik dan perkembangannya melalui pembelajaran tentang
kebijakan publik dalam kehidupan bernegara, perkembangan ilmu kebijakan
publik, siklus kebijakan publik, aktor dalam kebijakan publik, agenda setting
(isu, masalah, dan agenda), serta praktek perumusan masalah kebijakan.
Penguasaan materi konsep dan studi kebijakan publik menjadi dasar yang penting
dalam mempelajari kebijakan publik. Penguasaan materi konsep dan studi
kebijakan publik ini selanjutnya menjadi bahan yang penting pula dalam
mempelajari materi-materi berikutnya, karena akan berkaitan erat dengan
konsep kebijakan publik.
B. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini memfasilitasi pemahaman pengetahuan dan keterampilan
peserta pelatihan tentang cakupan ilmu kebijakan publik dan
perkembangannya melalui pembelajaran tentang Kebijakan Publik dalam
Kehidupan bernegara, Perkembangan Ilmu Kebijakan Publik, Siklus
Kebijakan Publik, Aktor dalam Kebijakan Publik, Agenda Setting (isu,
masalah, dan agenda), serta Praktek Perumusan Masalah Kebijakan. Mata
Ajar disajikan secara interaktif, melalui kombinasi metode ceramah
interaktif, tanyajawab, dan diskusi. Keberhasilan peserta dinilai dari
kemampuannya dalam menjelaskan hubungan antara masalah publik dan
peran negara, serta mampu mengidentifikasi jenis-jenis studi kebijakan.
Modul ini terdiri dari 4 bab, untuk keberhasilan mempelajari modul ini,
peserta dapat melakukan berbagai kegiatan belajar, baik secara mandiri
maupun berkelompok serta dalam modul ini terdapat kumpulan studi kasus
yang dilampirkan pada akhir modul untuk melatih dan memperkaya ilmu
peserta. Selain itu untuk menambah wawasan mengenai mata ajar konsep
dan studi kebijakan publik, peserta dapat menggunakan referensi lain selain
dari modul ini setelah berkonsultasi dengan narasumber (tenaga
pengajar).
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta memiliki pemahaman tentang
ilmu kebijakan publik dan perkembangannya serta kemampuannya dalam
merumuskan masalah kebijakan, yang dinilai dari kemampuan peserta
dalam:
a. Menjelaskan fenomena dalam masyarakat (sosial, politik, budaya
dan lainnya) dan hubungannya dengan kebijakan publik.
b. Menunjukkan hubungan antara berbagai fenomena dalam
masyarakat sebagai bahan penyusunan kebijakan.
c. Menyimpulkan konsep urusan/masalah publik dan privat (public vs
private affairs).
d. Mengidentifikasi urusan/masalah publik dan privat (public
vs private affairs).
e. Menyebutkan peran negara (kapan dan bagaimana) dalam
menyelesaikan permasalahan publik.
f. Menjelaskan konsep dan jenis studi kebijakan.
g. Mendemonstrasikan hubungan antara permasalahan publik dan jenis
kebijakan.
B. SISTEM KEBIJAKAN
Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh lingkungan. Dunn (2004) menyebutkan 3 (tiga)
elemen kebijakan: pelaku/aktor kebijakan, lingkungan kebijakan dan
kebijakan publik. Kebijakan publik lahir karena tuntutan-tuntutan yang
merupakakan serangkaian pengaruh lingkungan, dan kemudian
ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Dalam waktu yang
bersamaan ada keterbatasan dan konstrain dari lingkungan yang akan
mempengaruhi pembuat kebijakan. Faktor lingkungan tersebut antara lain:
karakteristik sosial ekonomi, sumberdaya alam, iklim, topografi, demografi,
budaya dan sebagainya.
Gambar 2.1. Hubungan Tiga Elemen Sistem Kebijakan
Pelaku Kebijakan
D. ANALISIS KEBIJAKAN
Kebijakan publik membahas soal bagaimana isu-isu dan persoalan publik
disusun (constructed) dan didefinisikan, dan bagaimana kesemuanya itu
diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik (Parsons, 2001). Oleh
karena itu, analisis diperlukan untuk mengetahui substansi kebijakan yang
mencakup informasi mengenai permasalahan yang ingin diselesaikan dan
dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari kebijakan yang
diimplementasikan (Dunn, 2004). Analisis kebijakan merupakan penerapan
berbagai metode penelitian yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok
analis kebijakan yang bertujuan untuk mendapatkan berbagai data dan
mengolahnya menjadi informasi yang relevan terhadap suatu kebijakan
(policy information) untuk selanjutnya digunakan membantu merumuskan
(formulation) suatu masalah publik yang rumit dan kompleks menjadi lebih
terstruktur (well-structured policy problem) sehingga memudahkan dalam
merumuskan dan memilih berbagai alternatif kebijakan (policy alternatives)
yang akan digunakan untuk memecahkan suatu masalah kebijakan untuk
direkomendasikan kepada pembuat kebijakan (policy maker).
Seorang analis kebijakan bekerja mengikuti tahapan proses perumusan
kebijakan, baik yang bersifat teknokratis maupun politis. Dalam proses
teknokratis, analis kebijakan menggunakan kemampuan metodologis dan
substansi kebijakan untuk mengolah data menjadi informasi kebijakan,
sehingga memudahkan dirinya untuk merumuskan beberapa alternatif pilihan
kebijakan. Pilihan- pilihan sebagai alternatif kebijakan tersebut selanjutnya
diusulkan kepada pembuat kebijakan sebagai rekomendasi kebijakan. Dalam
proses yang bersifat politis, analis kebijakan menggunakan informasi
kebijakan untuk menggalang dukungan dari para pemangku kepentingan
sehingga tahapan proses perumusan masalah, alternatif sampai dengan
rekomendasi kebijakan dapat berjalan lancar. Dalam proses ini seorang
analisis perlu memiliki kecakapan politik sehingga mampu menjalin
hubungan dengan aktor-aktor kebijakan baik di pemerintah maupun
institusi non pemerintah termasuk kelompok masyarakat sipil. Hal ini
penting untuk memastikan bahwa informasi kebijakan yang dihasilkan para
analis dapat dipahami oleh pemangku kepentingan dan untuk
menjadikannya sebagai basis informasi dalam proses pengambilan
keputusan. Meminjam istilah yang digunakan Parson (2001), maka dapat
disimpulkan bahwa seorang analis akan bekerja dalam dua kategori luas: (1)
Analisis proses kebijakan, yakni bagaimana cara mendefinisikan masalah,
menetapkan agenda, merumuskan kebijakan, mengambil keputusan, serta
mengimplementasikan dan mengevaluasi kebijakan; (2) Analisis dalam dan
untuk proses kebijakan, yang mencakup kajian penggunaaan teknis analisis,
riset, dan advokasi dalam pendefinisian masalah, pengambilan keputusan,
implementasi dan evaluasinya.
Informasi yang dibutuhkan dalam proses perumusan kebijakan adalah: (i)
apa masalah kebijakan; (ii) apa hasil-hasil yang diharapkan dari suatu
kebijakan di masa depan; (iii) apa pilihan kebijakan yang paling ideal untuk
menghasilkan hasil kebijakan yang diharapkan tersebut; (iv) apa hasil
kebijakan yang didapat setelah diimplementasikan; (v) bagaimana kinerja
suatu kebijakan, apakah kebijakan tersebut mampu memecahkan masalah
yang dirumuskan. Untuk dapat menghasilkan informasi kebijakan tersebut
tugas analis kebijakan adalah: (i) merumuskan masalah; (ii) membuat
forecasting; (iii) memberikan rekomendasi; (iv) melakukan monitoring, dan
(v) melakukan evaluasi.
Gambar 2.2. Hubungan antara Peran Pembuat Kebijakan dengan Analis
Kebijakan dalam Menghasilkan Informasi Kebijakan
Peran pembuat kebijakan (Policy Informasi kebijakan yang Peran analis kebijakan
Maker) dihasilkan (Policy Analyst)
E. LATIHAN
1. Sebutkan definisi kebijakan publik yang pengertiannya bisa
juga dilihat dari sisi aktor pembuat kebijakan!
2. Gambarkan 3 elemen hubungan kebijakan publik!
3. Jelaskan proses kebijakan menurut Dunn!
4. Sebutkan informasi apa saja yang dibutuhkan dalam proses
perumusan kebijakan!
F. RANGKUMAN
Pembuatan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
lingkungan. Kebijakan publik lahir karena tuntutan- tuntutan yang
merupakakan serangkaian pengaruh lingkungan, dan kemudian
ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Transformasi ini dilakukan
oleh berbagai aktor negara, dimana negara menjadi aktor utama. Namun
demikian, dalam lingkungan Negara yang demokratis, peran ini tentunya
tidak selalu menjadi peran dominan pemerintah. Seluruh aktor kebijakan,
pemerintah dan non pemerintah secara kolektif bisa memberikan
kontribusinya.
B. JENIS KEBIJAKAN
Untuk memahami instrumen kebijakan apakah yang dipakai oleh
pemerintah untuk memecahkan suatu masalah, maka perlu diketahui jenis
kebijakannya. Jenis kebijakan akan membantu pemahaman aktor kebijakan
termasuk masyarakat, mengapa suatu kebijakan lebih penting dari kebijakan
yang lain; siapa aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan pada
tahap mana peran seorang aktor lebih penting dibanding dengan yang lain.
Anderson (1979) membuat kategori jenis kebijakan sebagai berikut.
1. Kebijakan substantif dan kebijakan prosedural. Kebijakan substantif
adalah jenis kebijakan yang menyatakan apa yang akan dilakukan
pemerintah atas masalah tertentu, misalnya kebijakan pengurangan
angka kemiskinan melalui kebijakan beras miskin. Kebijakan
prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat
dijalankan. Kebijakan ini bersifat lebih teknis, tentang standard dan
prosedur (atau Standard Operating Procedure), kriteria warga
masyarakat yang berhak mendapat bantuan.
2. Kebijakan distributif, kebijakan regulatif dan kebijakan re- distributif.
Kebijakan distributif adalah kebijakan yang bertujuan untuk
mendistribusikan atau memberikan akses yang sama atas sumberdaya
tertentu, misalnya kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Kebijakan regulatif adalah kebijakan yang mengatur perilaku orang
atau masyarakat, misal kebijakan menggunakan sabuk pengaman jika
mengendarai atau menjadi penumpang dalam mobil. Kebijakan
redistributif adalah kebijakan yang mengatur pendistribusian
pendapatan atau kekayaan seseorang, untuk didistribusikan kembali
kepada kelompok yang perlu dilindungi untuk tujuan pemerataan,
misal kebijakan pajak progresif, kebijakan subsidi silang, kebijakan
subsidi BBM.
3. Kebijakan material dan kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah
kebijakan yang sengaja dibuat untuk memberikan keuntungan
sumberdaya yang konkrit pada kelompok tertentu, misal kebijakan
beras untuk orang miskin. Kebijakan simbolis adalah kebijakan yang
memberikan manfaat dan penghormatan simbolis pada kelompok
masyarakat tertentu, misalnya kebijakan libur Natal untuk orang
beragama Kristen/Katolik, libur Waisak untuk menghormati orang
beragama Budha, atau libur Idul Fitri untuk menghormati orang
beragama Islam.
4. Kebijakan yang berhubungan dengan barang publik (public goods)
dan barang privat (private goods). Kebijakan barang publik adalah
kebijakan yang mengatur tata kelola dan pelayanan barang-barang
publik, seperti kebijakan pengelolaan ruang publik/fasilitas umum,
jalan raya. Kebijakan barang privat adalah kebijakan yang mengatur
tata kelola dan pelayanan barang-barang privat, misalnya pengaturan
parkir, penataan pemilikan tanah.
Peraturan Perundang-undangan.
Program Legislasi.
Dokumen Perencanaan (Rencana Pembangunan
Jangka Pendek, Menengah, Panjang, Rencana
Stratejik).
Isu-isu Aktual.
Sumber: LAN, 2012
3. Struktur
Keberadaan institusi yang bertanggung jawab terhadap kualitas kebijakan
publik juga menjadi perhatian untuk menjawab tantangan kebutuhan
kebijakan publik yang baik. Duplikasi kebijakan, tumpang-tindih, dan
ketidakjelasan adalah beberapa indikasi ketidakjelasan struktur yang
mendukung upaya pembuatan kebijakan yang baik. Disharmoni kebijakan
adalah wujud nyata
4. Dinamika Politik
Dinamika dan aktivitas politik memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam pembuatan kebijakan. Proses politik memiliki sifat interaktif, dengan
mekanisme kerja yang sangat fleksibel, menggunakan barter untuk tujuan
kepentingan tertentu, dan juga menggunakan berbagai pertemuan informal
untuk saling mempengaruhi. Mekanisme politik yang cenderung polycentric,
komplek dan heterogen ini (dengan berbagai aktor dengan berbagai
kepentingan) memungkinkan munculnya variasi ‘komunikasi’ antar aktor
dan memunculkan ketidakpastian sangat tinggi karena tidak ada satu aktor
pun, termasuk pihak pemerintah, memiliki kontrol penuh dalam proses
pembuatan kebijakan. Proses pembuatan kebijakan menghadapi
kompleksitas yang sangat tinggi, karenanya kesadaran dan penerimaan akan
berbagai bentuk rationalitas keputusan, dengan berbagai kemungkinan
outcomes dan cara; akan
menimbulkan kolaborasi dan juga penghargaan atas kebebasan atau otonomi
dari berbagai aktor kebijakan.
Dalam prakteknya, masih sering terdapat aktor kebijakan yang tidak
dilibatkan atau diakomodasi dalam pembuatan kebijakan, atau sebaliknya
adanya dominasi aktor tertentu dalam prosesnya.
E. LATIHAN
1. Sebutkan kategori jenis kebijakan menurut Anderson!
2. Jelaskan mengapa perlu intervensi pemerintah dalam penyediaan
barang publik!
3. Sebutkan karakteristik yang menggambarkan model
professional menurut Hallsworth!
F. RANGKUMAN
Kebijakan memiliki berbagai jenis seperti; kebijakan substantif dan
kebijakan prosedural, kebijakan distributif, kebijakan regulatif dan kebijakan
re-distributif, kebijakan material dan kebijakan simbolis, dan kebijakan
yang berhubungan dengan barang publik (public goods) dan barang
privat (private goods). Berbagai jenis kebijakan tersebut dibuat dan
disesuaikan dengan jenis permasalahan yang timbul di masyarakat dan
pembangunan. Saat ini kondisi berbagai jenis kebijakan tersebut masih
perlu ditingkatkan untuk dapat dikatakan sebagai kebijakan yang
berkualitas yang memiliki karakter forward looking (mengarah pada outcome
dan mempertimbangkan dampak jangka panjang), joined up (proses
perumusannya dikelola dengan baik, holistic view, berkoordinasi dengan
institusi yang lain), serta communication (dalam proses perumusan juga
mempertimbangkan strategi mengkomunikasikan kepada publik).
A. SIMPULAN
Sesudah mempelajari modul ini dan berbagai referensi lainnya peserta
diklat diharapkan memiliki pemahaman tentang : ilmu kebijakan publik dan
perkembangannya serta kemampuannya dalam merumuskan masalah
kebijakan. Kemampuan tersebut dinilai dari kemampuan: menjelaskan
fenomena dalam masyarakat (sosial, politik, budaya dan lainnya) dan
hubungannya dengan kebijakan publik, menunjukkan hubungan antara
berbagai fenomena dalam masyarakat sebagai bahan penyusunan kebijakan,
menyimpulkan konsep urusan/masalah publik dan privat (public vs private
affairs), mengidentifikasi urusan/masalah publik dan privat (public vs private
affairs), menyebutkan peran negara (kapan dan bagaimana) dalam
menyelesaikan permasalahan publik, menyebutkan peran negara (kapan dan
bagaimana) dalam menyelesaikan permasalahan publik.
B. TINDAK LANJUT
Konsep dan studi kebijakan publik merupakan dasar ilmu tentang cakupan
ilmu kebijakan publik dan perkembangannya, dalam materi ini peserta
mendapatkan pembelajaran tentang kebijakan publik dalam kehidupan
bernegara, perkembangan ilmu kebijakan publik, siklus kebijakan publik,
aktor dalam kebijakan publik, agenda setting (isu, masalah, dan agenda),
serta praktek perumusan masalah kebijakan. Materi ini berkaitan erat dengan
mata ajar lainnya seperti metodologi kajian/penelitian, analisis pemangku
kepentingan, analisis kebijakan, dokumentasi saran kebijakan, konsultasi
publik, dan advokasi kebijakan yang akan dibahas lebih lanjut.
Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah bahasa Inggris “Public Policy”. Kata
“policy” ada yang menerjemahkan menjadi “Kebijakan” (Samodra Wibawa, 1994;
Muhadjir Darwin, 18) dan ada juga yang menerjemahkan menjadi “kebijaksanaan” (Islamy,
2001; Abdul Wahap, 1990).
Meskipun belum ada “kesepakatan”, apakah policy diterjemahkan menjadi “Kebijakan”
ataukah “kebijaksanaan”, akan tetapi tampaknya kecenderungan yang akan datang untuk
policy digunakan istilah kebijakan maka dalam modul ini, untuk public policy
diterjemahkan menjadi “kebijakan publik”.
B. Latihan
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda mengenai Pengertian, Jenis, dan
Tingkat-tingkat Kebijakan Publik, cobalah latihan di bawah ini.
1. Menurut Thomas R. Dye, tidak melakukan sesuatu merupakan kebijakan
publik. Coba jelaskan dan berikan contohnya !
2. Jelaskan tentang Substantive and Procedural Policies dan berikan masing-masing
contohnya!
3. Jelaskan tentang Distributive, Redistributive and Regulatory Policies dan berikan
masing-masing contohnya!
4. Jelaskan tentang Public Goods and Private Goods Policies
dan berikan masing-masing contohnya!
Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut di atas, maka pelajari kembali
kegiatan pembelajaran tentang Pengertian, Jenis-jenis dan Tingkat-tingkat Kebijakan
Publik, terutama yang belum Ada pahami.
C. Rangkuman
Kebijakan publik adalah suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara yang
ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Kebijakan publik bertujuan untuk
memecahkan masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat.
Ada beberapa jenis kebijakan publik, yaitu Substantive and Procedural Policies,
Distributive, Redistributive and Regulatory Policies, Material Policies, Public
Goods and Private Goods Policies.
B. Latihan
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda mengenai sistem proses dan siklus
kebijakan publik, cobalah latihan di bawah ini:
1. Jelaskan tentang elemen-elemen (unsur-unsur) dalam sistem kebijakan
publik!
2. Jelaskan tentang tiga bentuk kebijakan publik dilihat dari implementasinya!
3. Jelaskan tahap-tahap dalam proses kebijakan publik!
4. Gambarkan bagan siklus kebijakan publik!
C. Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut di atas, maka pelajari
kembali kegiatan pembelajaran tentang sistem, proses, dan siklus kebijakan publik,
terutama yang belum Anda pahami Rangkuman
Kebijakan publik dapat dilihat sebagai suatu sistem, yang terdiri dari elemen-elemen
(unsur-unsur): input : masalah kebijakan publik, proses : pembuatan kebijakan publik,
output, kebijakan publik dan dampak (impact) terhadap kelompok sasaran (target
groups).
Kebijakan publik dapat pula dilihat sebagai proses yang meliputi tahap-tahap:
perumusan masalah, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan publik.
Kebijakan publik dapat digambarkan sebagai siklus.
B. L a t i h a n
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda mengenai Peran informasi dalam
pembuatan kebijakan; cobalah latihan di bawah ini.
1. Coba jelaskan perbedaan data dan informasi!
2. Coba jelaskan tentang syarat-syarat informasi yang baik!
3. Coba jelaskan pentingnya informasi dalam pembuatan kebijakan!
4. Coba jelaskan tentang metodologi analisis kebijakan yang dapat memberikan
informasi untuk menjawab lima bentuk pertanyaan!
Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut diatas, maka pelajari kembali
kegiatan pembelajaran tentang Peran informasi dalam pembuatan kebijakan, terutama
yang belum anda pahami.
C. Rangkuman
Data adalah fakta yang sedang tidak digunakan dalam proses pembuatan keputusan,
sedangkan informasi adalah data yang telah diambil kembali, diolah dan digunakan
untuk pembuatan keputusan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
disebut sebagai informasi yang baik, yaitu : ketersediaan, mudah dipahami, relevan,
bermanfaat, tepat waktu, keandalan, akurat dan konsisten. Informasi ini penting, karena
untuk memecahkan masalah diperlukan informasi, terutama dalam perumusan masalah-
masalah kebijakan.
Metodologi dalam analisis kebijakan dapat memberikan informasi dengan menjawab lima
bentuk pertanyaan. Jawaban masalah- masalah kebijakan, kinerja kebijakan, kebijakan di
masa depan, dan tindakan/implementasi kebijakan.
AGENDA SETTING
A. U r a i a n
1. Isu-Isu Konseptual
Tahap yang paling kritis dalam proses kebijakan adalah agenda setting. Agenda
setting adalah suatu tahap sebelum perumusan kebijakan dilahirkan, yaitu bagaimana
isu-isu (issues) itu muncul pada agenda pemerintah yang perlu ditindaklanjuti berupa
tindakan-tindakan pemerintah. Banyak isu yang masuk ke pemerintah, yang
diharapkan agar pemerintah segera mengambil tindakan, ternyata pemerintah tidak
bertindak sesuai dengan keinginan masyarakat. (Howlett and Ramesh, 1995).
Seperti yang yang telah dibahas dalam sistem kebijakan, isu-isu atau masalah-masalah
itu dapat timbul karena keinginan atau desakan dari masyarakat. Tetapi dalam
kenyataannya, sebelum masalah-masalah tersebut dipertimbangkan untuk
dipecahkan, harus melalui suatu proses yang kompleks.
Pada dasarnya, agenda setting adalah tentang pengenalan masalah, yang dihadapi oleh
instansi-instansi pemerintah. Sedangkan Cob and Ross, Seperti dikutip oleh Howlett
and Ramesh (1995), mendefinisikan agenda setting sebagai “proses di mana keinginan-
keinginan dari berbagai kelompok dalam masyarakat diterjemahkan ke dalam butir-butir
kegiatan agar mendapat perhatian serius dari pejabat-pejabat pemerintah”. Sedangkan
mengenai pengertian agenda, John Kingdon (Howlett and Ramesh, 195), mengemukakan
bahwa “agenda setting adalah suatu daftar subyek atau masalah di mana para pejabat
pemerintah dari masyarakat diluar pemerintah yang ada kaitannya dengan pejabat
tersebut, memberikan perhatian pada masalah tersebut”.
B. L a t i h a n
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda mengenai Agenda Setting, cobalah latihan di
bawah ini.
1. Coba jelaskan apa yang disebut dengan Agenda dan Agenda Setting!
2. Jelaskan tentang “Systemic Agenda” dan “Governmental Agenda”!
3. Mengapa isu-isu atau masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat tidak
semuanya masuk dalam agenda sistemik dan apa prasyarat agar dapat masuk ke
dalam agenda Sistemik?
4. Jelaskan beberapa faktor yang dapat menyebabkan permasalah- an masyarakat dapat
masuk ke dalam agenda pemerintah!
Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut di atas, maka pelajari kembali
kegiatan pembelajaran tentang Agenda Setting, terutama yang belum Anda pahami.
C. Rangkuman
Banyak isu atau masalah yang dihadapi oleh pemerintah masuk dalam agenda
pemerintah untuk kemudian dirumuskan per- masalahannya. Ada dua bentuk
agenda, yaitu: “Systemic Agenda” dan “Governmental Agenda”.
Ada beberapa prasyarat untuk dapat masuk ke dalam “Systemic Agenda”. Di samping
itu ada faktor-faktor yang menyebabkan permasalahan masyarakat untuk dapat
masuk ke dalam “Governmental Agenda”.
A. U r a i a n
1. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses
kebijakan. Udji (Abdul Wahab, 1991) mengemukakan: “Implementasi kebijakan
merupakan sesuatu yang penting, bahkan mungkin lebih penting daripada
pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau
rencana yang tersimpan dalam arsip apabila tidak diimplementasikan”.
Meskipun implementasi kebijakan itu penting, akan tetapi baru beberapa dasa warsa
terakhir ini saja para ilmuwan sosial menaruh perhatian terhadap masalah
implementasi dalam proses kebijakan.
Sebagai akibat kurang adanya perhatian pada implementasi kebijakan adalah adanya
semacam “mata rantai yang hilang” antara tahap perumusan kebijakan dan evaluasi
kebijakan. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa kebanyakan pemerintah di dunia ini
baru mampu untuk mensahkan kebijakan dan belum sepenuhnya mampu untuk menjamin
bahwa kebijakan yang telah disahkan itu benar-benar akan menimbulkan dampak atau
perubahan yang diinginkan (Abdul Wahab, 2001).
Gejala inilah yang menurut Andrew Dunsire (Abdul Wahab, 2001), diuraikan sebagai
“implementation gap”, yaitu suatu keadaan di mana dalam suatu proses kebijakan selalu
akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pembuat
kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai (sebagai hasil dari implementasi kebijakan).
Besar kecilnya perbedaan tersebut akan tergantung pada “implementation capacity” dari
organisasi/aktor yang dipercaya untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Implemen- tation capacity ini adalah kemampuan suatu organisasi/aktor untuk
melaksanakan mengimplementasikan kebijakan agar tujuan yang telah ditetapkan tersebut
dapat dicapai (Abdul Wahab, 2001).
Dalam kenyataannya, kebijakan publik itu mengandung risiko untuk mengalami kegagalan.
Hogwood dan Gunn (1986), mengelompokkan kegagalan implementasi kebijakan tersebut
dalam dua kategori, yaitu: “non implementation” (tidak dapat diimplementasikan) dan
“unsuccessful implementation” (implementasi yang kurang berhasil).
Sebagai contoh suatu kebijakan yang dikategorikan sebagai kebijakan yang “non
implementation” adalah kebijakan Menteri Keuangan yang mengenakan pajak 5% untuk
penukaran rupiah ke US $, yang ternyata tiga hari kemudian kebijakan tersebut dicabut
kembali.
Sedangkan contoh kebijakan yang dikategorikan “unsuccessful implementation” adalah
implementasi kebijakan pemungutan retribusi pesawat TV (televisi), yang
pelaksanaannya ter- sendat-sendat.
Secara umum, tugas implementasi adalah mengembangkan suatu struktur hubungan
antara tujuan kebijakan publik yang telah ditetapkan dengan tindakan-tindakan
pemerintah untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut yang berupa hasil kebijakan
(policy outcomes). Untuk ini perlu diciptakan suatu sistem, yang diharapkan melalui
sistem ini, tujuan kebijakan dapat direalisasi- kan, yaitu dengan cara menterjemahkan
tujuan kebijakan yang luas itu ke dalam program-program kegiatan yang mengarah
pada tercapainya tujuan kebijakan. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan
kebijakan perlu diciptakan berbagai macam program. Oleh karena itu, suatu studi
tentang proses implementasi kebijakan akan meliputi pengkajian dan analisis
terhadap program-program kegiatan yang dirancang sebagai sarana untuk mencapai
tujuan- tujuan kebijakan.
B. Latihan
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda tentang Implementasi, Monitoring, dan
Evaluasi Kebijakan Publik, cobalah latihan di bawah ini.
1. Jelaskan tentang pentingnya implementasi kebijakan publik.
2. Jelaskan tentang kebijakan.
3. Jelaskan tentang implementation Gap.
4. Jelaskan tentang kebijakan yang tidak dapat diimplementasikan (non
implementation) dan berikan contohnya.
5. Jelaskan tentang kebijakan yang implementasinya kurang berhasil
(unsuccessful implementtation) dan berikan contohnya
6. Jelaskan pengertian monitoring kebijakan.
7. Jelaskan empat tujuan monitoring kebijakan.
8. Jelaskan pengertian evaluasi kebijakan.
9. Jelaskan kesulitan dalam evaluasi kebijakan.
10. Jelaskan, mengapa evaluasi dikatakan merupakan proses tentang bentuk-
bentuk evaluasi kebijakan.
Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut di atas, maka pelajari kembali
kegiatan pembelajaran tentang Implementasi, Monitoring, dan Evaluasi Kebijakan
Publik, terutama yang belum Anda pahami.
C. Rangkuman
Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan,
akan tetapi baru beberapa dasa warsa terakhir ini mendapat perhatian dari para ilmuwan
sosial.
Akibat kurangnya perhatian pada implementasi kebijakan ini menimbulkan adanya
implementation gap, yaitu kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang
diharapkan dengan apa yang senyatanya dicapai. Kebijakan publik mengandung resiko
untuk mengalami kegagalan. Kegagalan ini dikategorikan menjadi dua, yaitu non
implementation dan unsuccessful implementation.
Tugas implementasi adalah mengembangkan suatu struktur hubungan antara tujuan
kebijakan dengan tindakan pemerintah untuk merealisasikan tujuan-tujuan kebijakan.
Monitoring kebijakan merupakan kegiatan pengawasan terhadap implementasi
kebijakan. Ada empat tujuan monitoring, yaitu : Compliance (kesesuaian/kepatuhan),
Auditing (pemeriksaan), Accounting (akuntansi), dan Explanation (penjelasan).
Evaluasi kebijakan adalah suatu pengkajian secara sistematik dan empiris terhadap
akibat-akibat dari suatu kebijakan dan program pemerintah yang sedang berjalan dan
kesesuaiannya dengan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan tersebut.
Evaluasi kebijakan, seperti tahap-tahap lain dalam proses kebijakan, merupakan proses
politik, yang melibatkan para birokrat, politisi dan fihak-fihak di luar pemerintah.
Evaluasi merupakan kegiatan yang sulit, karena tujuan kebijakan itu sendiri sering
dirumuskan secara luas, sehingga sulit menyusun indikator-indikatornya.
Ada beberapa bentuk evaluasi kebijakan, yaitu Evaluasi Administratif, Evaluasi
Yudisial dan Evaluasi Politis.
BAB VII
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
A. Uraian
1. Dimensi-dimensi Kebijakan Publik
Analisis Kebijakan Publik, sebagai usaha untuk mengadakan informasi dalam
pembuatan kebijakan, sebenarnya sudah ada semenjak manusia mengenal organisasi
dan mengetahui tentang pembuatan keputusan, mulai dari penggunaan cara yang
paling sederhana dan tradisional (berdasarkan mistik) sampai dengan penggunaan
cara-cara ilmiah, baik yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Namun sebagai disiplin
ilmu tersendiri, kegiatan ilmu kebijakan dimulai setelah Perang Dunia II, yakni
dengan diterbitkannya buku karya Harolld D. Lasswell dan Daniel Larner, yang
berjudul : “The Policy Science: Recent Development in Scope and Methods” pada
tahun 1951. Buku ini berorientasi praktis dan dianggap sebagai buku pertama yang
ditulis cukup sistematis yang menyumbang lahirnya “Ilmu Kebijakan” sebagai Ilmu
Sosial Terapan (Said Zainal Abidin, 1991).
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, para penulis masa kini lebih menyukai
untuk menggunakan istilah “Analisis Kebijakan” (Policy Analysis) daripada
menggunakan istilah “Ilmu Kebijakan” (Policy Science). (Ham and Hill, 1986).
Kebijakan Publik (Public Policy) meliputi dua dimensi: yakni proses kebijakan
(policy process) dan analisis kebijakan (policy analysis).
Dimensi pertama, proses kebijakan, mengkaji proses penyusunan kebijakan
mulai dari identifikasi dan perumusan masalah, implementasi kebijakan, monitoring
kebijakan serta evaluasi kebijakan.
Sedangkan dimensi kedua, analisis kebijakan, meliputi penerapan metode dan teknik
analisis yang bersifat multidisiplin dalam proses kebijakan.
Analisis kebijakan, tidak hanya berkaitan dengan satu disiplin ilmu saja, akan tetapi terkait
dengan berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu pendekatannya adalah multidisiplin,
yaitu penerapan dari berbagai metode dan teknik analisis dari berbagai disiplin ilmu.
Analysis Analysis
of for
Policy Policy
1 2 3 4 5
Analysis Analysis Policy Informati Policy
of of on
Policy Policy Monitori for Advocac
Content ng Policyy
Determinat and
ion Evaluation
Analysis of Policy, meliputi :
a. Policy Determination, yaitu analisis yang berkaitan dengan bagaimana
kebijakan itu dibuat, mengapa dibuat, kapan dibuat, dan untuk siapa dibuat
(how, when, for whom).
b. Policy Content, yaitu terkait dengan deskripsi suatu kebijakan tertentu, dan
bagaimana kebijakan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan kebijakan-
kebijakan lain yang telah lalu.
Policy Monitoring and Evaluation, meliputi :
a. Policy Monitoring, yaitu mengkaji bagaimana kebijakan itu
diimplementasikan, dikaitkan dengan tujuan kebijakan.
b. Policy Evaluation, yaitu apa dampak kebijakan tersebut terhadap
permasalahan tertentu.
Analysis for Policy, meliputi :
a. Policy Advocacy, yaitu terkait dengan riset dan argumen yang bertujuan
untuk mempengaruhi policy agenda, baik diluar maupun didalam
pemerintah.
b. Information for Policy, yaitu suatu bentuk analisis yang ditujukan untuk
mendukung kegiatan pembuatan kebijakan dalam bentuk hasil penelitian.
B. Latihan
Untuk mengetahui tingkat pemahaman Anda mengenai analisis kebijakan
publik, maka coba jawablah pertanyaan di bawah ini.
1. Coba jelaskan tentang dua dimensi kebijakan publik!
2. Coba jelaskan penger-tian analisis kebijakan publik!
3. Coba jelaskan factor-faktor strategis yang mempengaruhi perumusan
kebijakan publik!
4. Coba jelaskan tiga aspek dalam analisis kebijakan publik!
Apabila Anda belum mampu menjawab pertanyaan di atas, maka pelajari kembali
pembelajaran tentang Analisis Kebijakan Publik, terutama yang belum Anda pahami.
C. Rangkuman
Ada dua dimensi kebijakan publik, yaitu proses kebijakan dan analisis kebijakan.
Analisis kebijakan merupakan penerapan metode dan teknik analisis yang bersifat
multidisiplin dalam proses kebijakan.
Dalam analisis kebijakan publik perlu diperhatikan adanya faktor- faktor strategis yang
berpengaruh dalam perumusan kebijakan, yaitu faktor-faktor politik, ekonomi/finansial,
administratif/organisatoris, teknologi, sosial, budaya, agama, dan pertahanan/keamanan.
Ada beberapa aspek dalam analisis kebijakan, yaitu analisis mengenai perumusan
kebijakan, implementasi kebijakan dan analisis mengenai evaluasi kebijakan.
PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK
Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu
memahami dan merumuskan kebijakan publik.
A. U r a i a n
1. Isu-Isu Konseptual
Apabila pemerintah mengetahui adanya masalah-masalah dalam masyarakat (public
problems) dan pemerintah ingin meng- atasinya, maka pembuat kebijakan perlu
memutuskan untuk melakukan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah
tersebut. Untuk itu, pembuat kebijakan harus memilih beberapa alternatif yang ada
untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk memperoleh alternatif-alternatif tersebut,
diperlukan adanya proses perumusan kebijakan. (Howlett and Ramesh, 1995).
Masalah-masalah kebijakan, publik tidak selalu siap ada dihadapan pembuat
kebijakan. Dalam kenyataannya, pembuat kebijakan harus melakukan identifikasi
masalah sebelum melakukan perumusan kebijakan.
Seringkali terjadi adanya ketidaksepakatan antara orang satu dengan orang yang
lain. Sesuatu yang dianggap sebagai “masalah” oleh seseorang mungkin dipandang
bukan “masalah” oleh orang lain, karena dianggap malah menguntungkan. Charles
O. Jones, seperti dikutip oleh Islamy (2001), mengemukakan “Peristiwa-peristiw,a
yang terjadi dalam masyarakat diartikan secara berbeda pada waktu yang berbeda.
Banyak masalah yang timbul sebagai akibat dari satu peristiwa yang sama”.
Mengenai pengertian “masalah”, David. G. Smith (Islamy, 2001), mengemukakan
“Untuk tujuan kebijakan, masalah dapat diartikan secara formal sebagai kondisi atau
situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan dalam
masyarakat, untuk itu perlu dicari cara-cara penanggulangannya”
Mengenai istilah “peristiwa”, Jones (Islamy, 2001) mengartikan- nya sebagai
kegiatan-kegiatan manusia atau alam yang dipandang mempunyai akibat pada
kehidupan manusia. Sedangkan mengenai masalah, Jones sependapat dengan Smith,
yaitu “Kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhi/ ditanggulangi)”.
Banyak kebutuhan atau ketidakpuasan yang ada dalam masyarakat, tetapi tidak
selalu hal itu langsung menjadi “public Problem”. Public problem adalah kebutuhan-
kebutuhan atau ketidakpuasan manusia yang tidak dapat dipenuhi atau diatasi secara
pribadi (privat).
Dalam kebijakan publik dikenal adanya apa yang disebut “public problem” dan
“private problem”. Pada hakekatnya yang dinamakan “public problem” adalah
masalah-masalah yang mempunyai akibat yang luas, termasuk akibat-akibat yang
mengenai orang-orang yang tak langsung terlibat.
Sedangkan “private problem” adalah masalah-masalah yang mempunyai akibat
terbatas atau hanya menyangkut satu atau sejumlah kecil orang terlibat secara
langsung.
2. Proses Perumusan Kebijakan Publik.
Setelah”public problem” masuk dalam agenda pemerintah, maka langkah
selanjutnya adalah proses perumusan kebijakan publik, Mustopadidjaja AR
(Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja AR, 1988) mengemukakan tentang
langkah- langkah perumusan kebijakan publik sebagai berikut:
a. Perumusan Masalah Kebijakan.
Perumusan masalah kebijakan ini adalah untuk menemukan dan memahami
hakikat masalah, kemudian merumuskannya dalam bentuk sebab-akibat. Untuk
ini harus jelas, mana faktor penyebab (Independent variable) dan mana faktor
akibat (dependent variable).
Disiplin yang terkait dalam tahap ini, misalnya metode penelitian, metode
kuantitatif dan teori-teori yang sesuai dengan substansi masalah.
Teknik analisis yang dapat digunakan, misalnya analisis masalah dengan
“pohon masalah” (problem tree) atau analisis masalah dengan “tulang ikan”
(fish bones).
Contoh analisis masalah dengan pohon masalah, tentang meningkatnya arus
urbanisasi di DKI Jakarta. Oleh karena itu perlu dicari penyebabnya.
Meningkatnya arus
urbanisasi di DKI
Jakarta
a. Perumusan Tujuan/Sasaran.
Tujuan/sasaran adalah suatu akibat yang secara sadar ingin dicapai atau ingin
dihindari. Pada umumnya suatu kebijakan bertujuan untuk mencapai
kebaikan-kebaikan atau mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Teknik analisis tujuan/sasaran yang dapat di gunakan misalnya analisis sasaran,
sebagai kelanjutan analisis masalah dengan menggunakan pohon masalah.
1 3
Membatasi tinggal di DKI Membatasi Pembangunan
Jakarta di Jakarta
2 4
Membangun fasilitas di Mendorong perpindahan
daerah-daerah penduduk ke daerah lain
b. Perumusan alternatif.
Alternatif adalah pilihan tentang cara atau alat yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan/sasaran. Alternatif ini dapat diperoleh dari hasil analisis
sasaran.
c. Perumusan Model.
Apabila diperlukan dapat dirumuskan suatu model analisis kebijakan, misalnya
flow chart, miniatur dan lain-lain.
d. . Perumusan Kriteria.
Kriteria ini dapat dipakai untuk mengukur/menilai
feasibilitas (kelayakan) dari tiap-tiap alternatif. Kriteria ini misalnya:
1) Politik;
2) Ekonomi/finansial;
3) Administratif/organisatoris;
4) Teknologi;
5) Sosial, budaya, dan agama;
6) Pertahanan dan Keamanan (Hankam)
e. Penilaian Alternatif.
Alternatif-alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan kriteria di atas.
7) Politik.
Alternatif mana yang paling banyak mendapat dukungan dari para aktor
kebijakan.
8) Ekonomi/finansial.
Alternatif mana yang paling banyak menggunakan dana.
9) Administratif/organisatoris.
Apakah secara administratif/organisatoris, alternatif tersebut dapat
dilaksanakan atau apakah ada organisasi- organisasi yang melaksanakan.
10) Teknologi.
Apakah untuk alternatif-alternatif tersebut didukung oleh tersedianya teknologi
yang diperlukan.
11) Sosial, budaya, dan agama.
Apakah alternatif-alternatif tersebut tidak menimbulkan gejolak sosial,
SARA, dan sebagainya.
12) Hankam.
Apakah alternatif-alternatif tersebut dari segi stabilitas keamanan cukup
feasible (layak).
Misalnya, hanya ada empat alternatif kebijakan yang akan diperhitungkan, yaitu
:
1) Membatasi kemungkinan untuk tinggal di Jakarta dengan tidak memberikan
KTP baru bagi mereka yang baru datang.
2) Membangun fasilitas yang lebih baik di daerah-daerah.
3) Membatasi pertumbuhan kota Jakarta dengan mem- batasi pertambahan
investasi baru.
4) Mendorong perpindahan penduduk ke wilayah lain dengan lebih
mempermudah transportasi laut ke dan dari wilayah-wilayah diluar Jakarta.
Dengan mengutamakan kriteria feasibilitas (kelayakan) politik, ekonomi,
keuangan, administratif, dan efektivitas (lebih banyak mencapai hasil, dalam hal ini
mengurangi urbanisasi), kita menilai keempat alternatif tersebut. Setiap alternatif
kita beri nilai secara relatif. Karena kriteria ada lima, Maka yang paling baik sekali
kita beri nilai 5, baik sekali diberi nilai 4, baik diberi nilai 3, sedang diberi nilai 2,
dan kurang baik diberi nilai 1. Hasil analisis sasaran menunjukkan ada empat
alternatif kebijakan yang akan diperhitungkan, yaitu :
Alternatif 1 :
Dari segi politik kurang baik, karena ini menimbulkan kesan pembatasan
kebebasan warga negara bertempat tinggal di negaranya sendiri.
Dari segi ekonomi terhitung sedang. Sekalipun dapat mencegah adanya
pengangguran, akan tetapi ini dapat mengurangi pengadaan tenaga kerja baru di
Jakarta, sementara di pedesaan tidak ada kesempatan kerja.
Dari segi keuangan, ini paling baik, karena tidak memerlukan biaya yang besar.
Dari segi administratif termasuk kurang baik. Biarpun kelihatannya tidak sulit
untuk tidak memberi KTP bagi pendatang baru, tetapi ini dapat mendorong
terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang mengarah pada KKN.
Dari segi efektifitas termasuk baik, karena dapat mengurangi minat tinggal di
Jakarta yang berdampak cukup baik pada pengurangan urbanisasi dalam jumlah
yang terbatas.
Alternatif 2 :
Dari segi politik paling baik sekali. Mengembangkan kemampuan daerah dan
mudah mendapat dukungan masyarakat dan kekuatan-kekuatan politik yang
ada.
Dari segi ekonomi paling baik sekali. Pembangunan daerah merupakan strategi
yang memang harus dilakukan untuk menghilangkan ketimpangan antar daerah
dan memperkuat basis perekonomian nasional, memperluas pasar dan daya beli
dalam negeri, serta pemanfaatan sumber daya nasional secara luas.
Dari segi keuangan kurang baik, karena pembangunan daerah cukup mahal dan
tidak memberikan keuntungan dengan segera.
Dari segi administratif masuk kategori sedang, karena pembangunan daerah
merupakan kegiatan yang cukup berat, walaupun ini tergantung pada kemampuan
penanganan oleh masing-masing daerah.
Dari segi efektivitas termasuk baik sekali untuk mengurangi urbanisasi, karena
dapat memberi dorongan untuk bertindak sendiri untuk merubah arah arus
urbanisasi.
Alternatif 3 :
Dari segi politik termasuk kurang baik, karena pembatasan pembangunan kota
Jakarta merupakan tindakan yang radikal. Itu bisa terjadi kalau dilakukan secara
tidak langsung melalui perluasan pembangunan daerah. Tetapi apabila dilakukan,
secara langsung merupakan tindakan yang sulit mendapat dukungan politik.
Dari segi ekonomi termasuk kurang baik, karena pembatasan pembangunan kota
dapat membatasi perkembangan ekonomi.
Dari segi keuangan termasuk kategori sedang, karena pembatasan pembangunan
kota Jakarta barangkali tidak mengeluarkan biaya, tetapi juga mengurangi
tambahan pemasukan baru.
Dari segi administratif termasuk sedang, pembatasan pembangunan kota Jakarta
tidak berarti tidak ada kegiatan, bahkan mungkin dapat menimbulkan berbagai
kegiatan administrasi baru. Dari segi efektivitas termasuk kategori baik.
Pembatasan pembangunan kota Jakarta barangkali mengurangi minat pendatang
baru, tetapi tidak mengurangi minat mereka yang sudah tinggal di Jakarta.
Alternatif 4 :
Dari segi politik termasuk yang paling baik sekali, karena dapat memperluas
wawasan politik masyarakat, dan lebih memungkinkan untuk mendapat
dukungan yang luas dari berbagai pihak.
Dari segi ekonomi termasuk baik sekali, karena dapat memperluas jangkauan
perekonomian dalam negeri melalui perluasan pemanfaatan sumber daya dan
perluasan pasar.
Dari segi keuangan termasuk kurang baik, karena adanya pengeluaran yang
cukup besar.
Dari segi administratif termasuk baik, karena akan menimbulkan kegiatan
administratif lebih banyak, perluasan hubungan dan memperlancar kegiatan
administrasi pembangunan.
Dari segi efektifitas termasuk baik, karena untuk mengurangi urbanisasi, secara
tidak langsung sangat bermanfaat.
Untuk memilih alternatif yang terbaik, sesuai dengan penilaian di atas, maka
setiap alternatif tersebut di atas dapat diproyeksikan dalam angka-angka seperti
tersebut dalam tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
N Kriteria Po E Ke Ad Eft Jm
O. l k u m l
1. Membatasi 1 2 5 1 3 12
tinggal di-
Jakarta
2. Membangun 5 5 1 2 4 17
Daerah
3. Membatasi 1 1 2 2 3 9
Pemba-
ngunan-
Pembangun an
Jakarta
4. Membangun 5 5 1 2 3 16
Transpor tasi ke
Daerah lain.
B. Latihan
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda mengenai Perumusan Kebijakan Publik,
cobalah latihan di bawah ini.
1. Jelaskan pengertian “masalah” menurut David G. Smith!
2. Jelaskan pengertian “peristiwa” menurut Jones, yang terkait dengan perumusan
masalah kebijakan publik!
3. Jelaskan pengertian “Public problem” dan “private problem”!
4. Jelaskan langkah-langkah perumusan kebijakan publik!
Apabila Anda belum mampu menjawab latihan tersebut di atas, maka pelajari kembali
kegiatan pembelajaran tentang Perumusan Kebijakan Publik, terutama yang belum Anda
pahami.
C. Rangkuman
Tahap pertama proses kebijakan publik adalah perumusan kebijakan. Langkah pertama
dalam perumusan kebijakan adalah perumusan masalah kebijakan.
Dalam kebijakan publik dikenal apa yang di sebut “public problem” dan “private
problem”.
Langkah kedua dalam perumusan kebijakan adalah perumusan tujuan/sasaran.
Langkah ketiga adalah perumusan alternatif kebijakan. Alternatif ini dapat
dikembangkan dari hasil perumusan tujuan/ sasaran.
Langkah keempat adalah perumusan model.
Langkah kelima adalah menyusun kriteria yang meliputi kriteria politik,
ekonomi/finansial, administratif, teknologi, sosial-budaya- agama dan hankam.
Langkah keenam adalah penilaian alternatif.
Dan langkah terakhir (ketujuh) adalah perumusan rekomendasi.
A. Simpulan
Kemajuan suatu negara ditentukan oleh kebijakan publik yang dimilikinya. Oleh karena
itu untuk mengetahui kualitas suatu kebijakan publik, diperlukan kemampuan untuk
menganalisis kebijakan publik. Namun untuk melakukan analisis tersebut secara tepat,
terlebih dahulu perlu dipahami esensi kebijakan publik itu. Kebijakan publik itu sendiri
adalah suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara yang ditujukan untuk
kepentingan masyarakat. Tujuannya adalah untuk memecahkan masalah-masalah yang
ada di dalam masyarakat.
Untuk menghasilkan kebijakan publik yang baik, maka kebijakan publik perlu dilihat
sebagai suatu sistem, yang terdiri dari unsur input yakni masalah kebijakan publik,
proses yang berupa pembuatan kebijakan publik, dan output yakni kebijakan publik dan
dampak (impact) yang ditimbulkan terhadap kelompok sasaran (target group).
Disamping itu, kebijakan publik dapat pula dilihat sebagai proses yang meliputi tahap
perumusan masalah, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan publik.
Dalam tahap perumusan masalah, kebijakan publik memerlukan input yang berupa data
dan informasi. Pengelolaan data dan informasi kebijakan publik perlu dilaksanakan
dengan baik agar dapat secara akurat memecahkan permasalahan yang ada dalam
masyarakat. Selanjutnya, kebijakan publik memasuki tahapan implementasi, kemudian
monitoring dan terakhir adalah evaluasi. Implementasi adalah tindakan pemerintah
untuk merealisasikan tujuan-tujuan kebijakan. Monitoring merupakan kegiatan
pengawasan terhadap implementasi kebijakan, sedangkan evaluasi kebijakan adalah
suatu pencapaian secara sistematis atas kesesuaian tujuan kebijakan dengan fakta
empiris di lapangan.
Untuk melihat keberhasilan kebijakan publik, maka diperlukan analisis terhadap
keseluruhan sistem, proses dan tahapan kebijakan. Analisis ini bersifat multidisiplin yang
mencakup faktor-faktor politik, ekonomi, administratif, teknologi, sosial, budaya, dan
pertahanan keamanan.
Tindaklanjut
mengimplementasikan berbagai kebijakan publik yang terkait dengan sektor atau
bidang yang menjadi tugas pokoknya. Implementasi kebijakan-kebijakan tersebut
dapat berlangsung secara efektif apabila esensi kebijakan- kebijakan tersebut yang
meliputi sistem dan prosesnya dapat dipahami.
Oleh karena itu berbekal hasil-hasil belajar pada modul Analisis Kebijakan Publik ini,
peserta diharapkan mampu menerapkan kebijakan-kebijakan publik yang terkait dengan
sektor atau bidangnya masing-masing, dan secara proaktif melakukan analisis
terhadapnya terutama pada aspek implementasinya di lapangan, dan apabila terdapat
permasalahan dapat menyusun dan menyampaikan hasil analisisnya kepada atasannya
guna penyempurnaan kebijakan tersebut. Kesemua ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kinerja instansi masing-masing peserta.
Daftar Pustaka
Pertemuan ini didesain untuk membawa mahasiswa mengenal dan mulai belajar merasakan
dimensi-dimensi analisis kebijakan yang selama ini mungkin tidak terlalu diperhatikan oleh
orang pada umumnya. Untuk itu, kelas dibuka dengan menanyakan kepada mahasiswa
apa yang mereka pahami tentang analisis. Dalam opini banyak orang, ketika mendengar
kata ‘analisa’ atau ‘analisis’-termasuk analisis kebijakan-kata tersebut selalu diasosiasikan
dengan proses rumit dan kompleks untuk mengukur sesuatu. Pengukuran ini juga harus
dilakukan dengan alat ukur yang rumit dan kompleks pula. Semakin njlimet proses
pengukuran dan alat ukurnya, maka semakin reliable dan akurat hasil analisisnya. Namun,
untuk merangsang keberanian mahasiwa dalam melakukan analisis, dosen bisa meminta
mahasiswa untuk mengutarakan pemahaman mereka sendiri tentang analisis, tanpa harus
selalu mengacu pada definisi analisa yang ‘common – sensical’ tersebut.
Setelah menyaring pemahaman mahasiswa tentang ‘analisa’ dan memetakan
pendapat mereka tentang makna analisis, perkuliahan dilanjutkan dengan penyerapan
harapan mahasiswa dari matakuliah ini. Untuk itu, mahasiswa diminta untuk menuliskan
dalam selembar kertas berbagai hal yang mereka harapkan; baik yang sifatnya substantif,
metodologis maupun teknis.
Setelah mahasiswa selesai memberikan jawaban, dosen memaparkan makna
etimologis dari kata “Analisa” atau “Analisis”. Untuk itu, dosen bisa memulai dari
definisi istilah ‘analysis’ dari New Oxford American Dictionary, yang mendefinisikan analisis
sebagai: “detailed examination of the elements or structure of something, typically as a basis for discussion and
interpretation”. Menurut sumber yang sama, proses menganalisa juga melibatkan: “process of
separating something into its constituent; the identification and measurement of … elements; …”.
Dari definisi di atas, dosen mengajak mahasiswa untuk sampai pada kesimpulan
bahwa, secara sederhana; analisis meliputi kegiatan mencermati (examine); memecah
hal yang dianalisis dalam elemen-elemen pembentuknya yang lebih kecil, serta; kegiatan
mengindentifikasi dan mengukur. Nah, karena modul ini berbicara tentang analisis
kebijakan publik, berarti modul ini terkait dengan hal mencermati, memecah hal yang
dianalisis dalam elemen-elemen pembentuknya yang lebih kecil, serta mengidentifikasi
dan mengukur kebijakan publik.
A. Debriefing
Setelah memaparkan secara singkat makna etimologi dari analisis, dengan mengkait-kaitkan
pendapat mahasiswa yang sudah diajukan, dosen memaparkan kepada mahasiswa bahwa
analisa kebijakan, berdasarkan tujuannya, bisa didefinisikan juga sebagai aktivitas untuk
menciptakan pengetahuan ‘tentang’ dan ‘untuk’ proses pembuatan kebijakan.1 Di sini
dosen perlu mengingatkan mahasiswa bahwa tujuan dari aktivitas mencermati, memecah
yang dianalisis dalam elemen- elemen pembentuknya yang lebih kecil, serta
mengidentifikasi dan mengukur kebijakan publik adalah untuk mendapatkan
pengetahuan yang relevan bagi proses kebijakan. Pengetahuan yang relevan bagi
kebijakan ini, secara garis besar, meliputi sebab, akibat, dan kinerja kebijakan.
Pengetahuan ini kemudian, meski tidak selalu, dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan,
termasuk publik, sebagai input dan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
kebijakan.
Dosen perlu menekankan pada mahasiswa bahwa kecakapan melakukan analisis
tidak bisa didapatkan melalui proses pemahaman atas obyek kebijakan yang di analisis
semata. Kecakapan analisis tentang suatu kebijakan harus didukung oleh kemampuan
membangun pemahaman terhadap konteks kebijakan yang dianalisis, dan didukung
kemampuan untuk menuangkan pemahaman tersebut ke dalam naskah. Untuk membangun
pemahaman ini, diperlukan tidak hanya kapasitas kognitif, tetapi juga kepekaan serta
kejelian ketika menelaah suatu proses kebijakan. Kepekaan dan kejelian ini adalah aspek
psikomotoris dari seorang analis, dan aspek psikomotoris harus diasah melalui berbagai
latihan agar seseorang bisa menjadi analis yang bisa diandalkan.
Tujuan besar dari penyelenggaraan matakuliah ini adalah memberikan kemampuan
dasar bagi mahasiswa untuk melakukan analisis kebijakan. Karena itu, untuk
meningkatkan kepekaan dan kejelian mahasiswa dalam melakukan analisis kebijakan,
penyelenggara perkuliahan mau tidak mau harus mengandalkan penugasan dan latihan.
Karena itu, evaluasi pembelajaran (penilaian) akan lebih didasarkan pada kemampuan
untuk menuliskan karya.
• Ceramah
Sumber: http://www.kompas.com/utama/news/0310/03/072649.htm,
Benarkah penggusuran adalah sesuatu yang merugikan? Bukankah tujuan dari penggusuran
kepentingan orang banyak?
Dosen mengajak mahasiswa untuk melihat bahwa masing-masing perspektif mengedepankan
aspek tertentu dengan mengesampingkan aspek yang lain. Di atas, perspektif yang pertama
mengedepankan aspek teknis-administratif-ekonomis, dengan mengabaikan aspek sosio-politis.
Sebaliknya perspektif yang kedua lebih mengedepankan aspek sosio-politis, dan mendorong
upaya mencari solusi alternatif untuk permasalahan kepemilikan dan pemanfaatan lahan yang
menjadi pokok permasalahan kebijakan di atas. Pilihan perspektif seorang analis akan
berkonsekuensi pada model atau kerangka analisis yang digunakannya (Model kebijakan akan
dibahas pada Bab IV). Padahal, dua contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari berbagai
perspektif tentang kebijakan. Artinya, ada demikian banyak cara untuk memahami kebijakan
publik dan menganalisa kebijakan publik. Ini bisa kita lihat pada Bagan II.1. Peta Pemikiran
Analisis Kebijakan yang menunjukkan, setidaknya, empat perspektif kebijakan, yaitu kebijakan
sebagai fenomena politis, deliberatif, teknis, dan strategis.
Bagan II.1. Peta Pemikiran Analisis Kebijakan
Sumber: Nugroho, Riant, (2007), Analisis Kebijakan, Jakarta: Elex Media Komputiondo, hal.
158
Kondisi seperti di atas, di satu sisi, memberikan ruang yang leluasa bagi orang untuk
mengembangkan berbagai model dan metode analisis kebijakan. Namun, di sisi yang lain,
menempatkan analis kebijakan pada situasi yang dilematis untuk menentukan perspektif
mana yang
harus dipakai untuk menghasilkan analisis yang komprehensif.
Keinginan untuk menghasilkan sebuah analisis yang komprehensif, tidak jarang
membawa seorang analis untuk berupaya memperhitungkan semua faktor yang
mempengaruhi proses sebuah kebijakan. Harapannya, dengan memperhitungkan semua
faktor, si analis bisa menghasilkan informasi dan ramalan kebijakan yang akurat.
Sayangnya, keinginan seperti di atas jarang sekali menjadi kenyataan dalam praktek
analisis kebijakan. Salah-salah, analis yang bersangkutan, jika tidak hati-hati, bisa
terjebak dalam penggunaan nalar Rational-Comprehensive secara berlebihan, ketika dia terlalu
percaya diri pada rasionalitas dan kapasitasnya sebagai seorang teknokrat atau analis
kebijakan. Sebaliknya, analisis yang sifatnya hanya parsial, atau menyeluruh namun
hanya berpilar pada prinsip-prinsip normatif umum,kurang memiliki daya ramal dan
sedikit sekali utilitasnya bagi kebutuhan praktis kebijakan.
Dalam menentukan pilihan perspektif dan konsekuensi tuntutan derajat
komprehensivitas yang ditimbulkan, sebagai seorang analis, mahasiswa harus mengenal,
memahami, dan menghayati perspektif- perspektif dasar yang selama ini digunakan
untuk memahami, menjelaskan, dan memperlakukan kebijakan. Untuk itu, dosen
memperkenalkan dua mazhab pemikiran dalam studi kebijakan publik dan analisis
kebijakan publik. Kedua mazhab itu adalah Rational- Comprehensive dan Garbage – Can
Model. Kedua model dasar ini banyak dipakai untuk menjelaskan logika dalam proses
kebijakan publik. Perbedaan keduanya adalah pada keyakinan yang mereka letakkan di
atas rasionalitas, seperti tampak dalam Tabel II.I. Perbedaan Model- Model
Pengambilan Keputusan.
Tabel II.1.
Perbedaan Model-Model
Pengambilan Keputusan
PENDEKAT RATIONAL - MIXED- GARBAGE-CAN
AN COMPREHENSIVE SCANNING
POIN
PERBEDAA
N
Tidak ada solusi yang
Setiap permasalahan Setiap permasalahan benar-benar obyektif
Asumsi ontologis memiliki solusi berada dalam sebuah untuk setiap solusi, karena
obyektif konteks yang spesifik permasalahan dan
pengambilan keputusan
selalu terjadi dalam
sebuah konteks yang
spesifik
Selain keterbatasan nalar
manusia, konteks ini
Pendekatan yang membatasi kemungkinan Pilihan solusi yang
Asumsi rasional membawa untuk mendapatkan diambil didasarkan
epistemologis pada pilihan solusi informasi yang lengkap dan pada kebiasaan
obyektif melakukan pertimbangan daripada pemikiran
yang komprehensif,sehingga yang komprehensif
keputusan tidak pernah
didasarkan pada perhitungan
rasional yang komprehensif.
Hampir sepenuhnya Memberikan perhatian Terlalu hirau dengan
abai terhadap konteks, kepada konteks sembari konteks, sehingga dalam
Sikap misal selalu mengupayakan agar proses pengambilan keputusan
terhadap mengasumsikan bahwa pengambilan keputusan selalu, terlebih dahulu
konteks informasi yang dalam rasionalitas mengacu pada
dibutuhkan akan selalu teknokratis bisa pengalaman di masa
tersedia secara tidak dimaksimalkan lalu untuk situasi yang
terbatas dianggap hampir serupa
Logika Proses Teknokratis Politis Birokratis
YANG YANG
MEREKA MEREK
TAHU A TIDAK
TAHU
YANG SAYA Terbuka bagi Diskusi Titik Buta Mereka
TAHU
YANG Titik Buta Saya Titik Buta Semua
SAYA Pihak
TIDAK
TAHU
Masing-masing kelompok, memasukan komentar dari kelompok lain yang sama
dengan komentarnya dalam kolom Terbuka Bagi Diskusi. Sementara komentar kelompok
lain yang berbeda dengan komentar kelompoknya, di masukkan dalam kolom Titik Buta
Saya. Komentar dari kelompok yang bersangkutan, yang tidak disinggung oleh kelompok
lain, dimasukkan dalam kolom Titik Buta Mereka.
Kita akan menemukan komentar-komentar dalam kolom Terbuka Bagi Diskusi.
Komentar yang ada dalam kolom ini bisa disebut sebagai inter-subyektivitas yang ada di
antara para mahasiswa tersebut, terkait dengan isu yang dikomentari. Atau dalam bahasa
penganut perspektif obyektivis, disebut sebagai pengetahuan yang obyektif.
Dari simulasi tersebut, dosen bisa mengajukan pertanyaan, “Apa yang membuat
seseorang memberikan komentar yang berbeda?”. Jika informasi tentang isu kebijakan
yang digunakan dalam simulasi ini relatif sedikit dimiliki oleh mahasiswa,opini
mahasiswa akan banyak terkumpul di kolom kuadran Titik Buta Saya dan Titik Buta
Mereka. Artinya semakin kecil inter-subyektivitas yang muncul.
Karena seluruh mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Analisis Kebijakan Publik pasti
sudah pernah membahas masalah klaim obyektivitas ilmu dalam mata kuliah Ilmu Sosial
Dasar, dosen bisa mengajukan pertanyaan, “Apakah obyektivitas bisa menyelesaikan
masalah?”. Melalui simulai di atas, sebetulnya akan nampak bahwa obyektivitas menjadi
tidak relevan ketika pengetahuan tidak lengkap, baik pengetahuan yang kita miliki maupun
dimiliki orang lain. Sebetulnya, obyektif atau tidak itu ditentukan oleh apa yang kita
ketahui dan orang lain ketahui. Orang Afrika dan orang Siberia memiliki obyektivitas
atas gajah kalau keduanya sama-sama mengenal dan memahami gajah, baik secara
konseptual maupun simbolik. Tapi, obyektivitas itu tidak akan terbentuk jika salah
satunya tidak atau belum pernah mengenal gajah. Dus, apa bedanya obyektivitas dengan
inter-subyektivitas?
Dengan inspirasi dari simulasi yang dilakukan sebelumnya, dosen meminta
komentar mahasiswa tentang subyektivitas. Pertanyaan, “Apakah subyektivitas itu
selamanya buruk?”. Setelah mahasiswa memberikan komentar mereka, dosen bisa mulai
memaparkan bahwa realitas, atau apa yang kita anggap sebagai realitas, sangat mungkin
hanyalah sebuah fenomena yang kita maknai secara intersubyektif.
Dari situ, dosen bisa mulai memaparkan tentang pentingnya seorang analis untuk
mengambil dan menentukan posisinya dalam menganalisis. Poin penting yang perlu
diutarakan oleh dosen di sini adalah, dengan menentukan posisinya seorang analis bisa
mendefinisikan apa yang dia tahu dan apa yang dia tidak tahu. Karena banyak hal yang
dia tidak tahu, maka penting bagi si analis untuk selalu membuka pikirannya terhadap
pendapat orang lain.
Pada sesi sebelumnya, mahasiswa telah diminta untuk membaca tulisan Eugene,
(Bardach, Eugene, 2005, Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths toward
Problem Solving,NY: CQ Press). Pada Bab I ada dua sub-bab yang masing-masing berjudul
“Sentuh Dulu Basisnya” dan “Menggunakan Sepatu Orang Lain”. Dalam dua tulisan itu,
poin yang dikemukakan oleh Bardach adalah, seorang analis yang cukup canggih
sekalipun perlu mendengarkan masukan dari orang lain, terutama aktor- aktor lain yang
terlibat dalam area kebijakan yang sama. Karena bisa jadi dari mereka akan ada masukan
yang berharga untuk menghasilkan analisa kebijakan yang lebih berkualitas. Setidaknya,
ketika analis yang bersangkutan diminta untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan dari
analisis yang dilakukannya, si analis bisa mengurangi potensi resistensi dari aktor-aktor
kebijakan yang lain. Di sini, terlihat bahwa Bardach menyadari pentingnya aspek politik
dalam analisa kebijakan, selain aspek teknokratis, meskipun buku tersebut ditulis dari
posisi dan lebih menggambarkan analisis yang dilakukan seorang analis profesional.
Posisi apa yang penting untuk diambil, serta konsekuensi apa saja selain,
komprehensivitas dan kecanggihan analisis, yang harus dipertimbangkan dalam
menentukan posisi akan menjadi fokus pembahasan di sesi berikutnya. Berangkat dari
pemahaman yang didapatkan pada sesi ini, pada dua sesi berikutnya dosen akan
mengajak mahasiswa untuk menghayati bagaimana dari pemahaman tersebut kepiawaian
melakukan analisis bisa dibangun. Selain itu, mahasiswa juga akan diajak untuk
menghayati posisinya sebagai analis dan konsekuensi dari pilihan posisinya.
Daftar Pustaka
Bardach, Eugene, (2005), Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths toward Problem
Solving, NY
Hogwood dan Gunn,(1989), Policy Analysis for the Real World, Oxford University Press
Howlett, Michael dan Ramesh, M. (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, Oxford University Press
Nugroho, Riant, (2007), Analisis Kebijakan, Elex Media Komputindo: Jakarta
Stone, Deborah(1997), Policy Paradox: the Art of Political Decision Making,W&W
Norton & Company, New York; pertama kali dipublikasikan 1988 dengan judul Policy
Paradox and Political Reason
Bab
Kontroversi Analisis untuk Kebijakan dan Analisis terhadap
Kebijakan
Misi Sesi Perkuliahan
Kondisi yang sangat mirip juga terjadi dalam analisis untuk kebijakan dan analisis
terhadap kebijakan. Ketika melakukan analisis untuk kebijakan, si analis sedang
melayani orang yang membutuhkan ‘produk’ kebijakan yang efektif, menurut kriteria
dari orang tersebut. Sementara, ketika melakukan analisis terhadap kebijakan, si analis
sedang melayani orang yang membutuhkan ‘ilmu’ untuk menganalisis, termasuk untuk
membuat, kebijakan yang efektif dan reliable.
Sederhananya, kalau kita umpamakan analisis seperti sebuah lensa kacamata, dalam
posisi melakukan analisis terhadap kebijakan, si analis berkutat dengan hal – ikhwal
membuat dan cara menggunakan lensa yang tepat dan terpercaya untuk kebijakan secara
umum. Sementara, dalam posisi melakukan analisis untuk kebijakan, si analis berkutat
dengan hal – ikhwal menggunakan lensa tersebut demi mendapatkan pandangan yang
jelas dan jernih. Hasil dari analisis yang pertama adalah ‘benda’ lensa dan cara
penggunaan yang baik, sedangkan dari analisis yang kedua, yang diharapkan adalah
sesuatu yang dilihat secara tepat dengan lensa tersebut, yang mungkin tidak akan terlihat
jika lensa yang digunakan berbeda. Lihat Bagan III.2. Ilustrasi Analis Aktivitas untuk
Memahami Fenomena Kebijakan dari Perspektif Tertentu.
Untuk menjadi seorang analis yang baik, kita harus sensitif dan tanggap terhadap
perbedaan tuntutan dan kebutuhan yang dilayani dari posisi yang diambil sebagai analis.
Karena, untuk memenuhi kebutuhan tersebut memerlukan pendekatan dan keahlian yang
berbeda.Misalnya, ketika sama-sama menggunakan instrumen Cost- Benefit Analysis -
CBA, analis dalam posisi melakukan analisis untuk kebijakan akan menggunakannya
dengan berfokus pada hasil analisis yang akurat dan reliable, sebab itu yang dibutuhkan
untuk membuat sebuah kebijakan yang efektif. Sementara, analis yang berada dalam
posisi melakukan analisis terhadap kebijakan akan menggunakan instrumen yang sama,
tetapi berfokus pada detil cara penggunaannya. Misalnya untuk melihat apakah
instrumen ini sudah digunakan secara benar ataukah CBA memberikan hasil yang benar-
benar akurat dan reliable, atau, bisa juga, melihat apakah CBA memiliki kelemahan-
kelemahan dan apa yang bisa dilakukan untuk menutup kelemahan tersebut.
Untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa, dosen bisa memberikon contoh
melalui ilustrasi kasus riil analisis kebijakan. Misalnya, mahasiswa bisa diajak
untukmelihat ekspresi analisis orang- orang JPP (saat itu masih JIP) UGM ketika berdiri
sebagai orang luar dan mengomentari proses Rancangan Undang-undang Keistimewaan-
RUUK Yogyakarta. Selanjutnya, kita bisa bandingkan ekspresi tersebut dengan ekspresi
dari orang-orang yang sama ketika mereka telah menjadi bagian dari lingkaran pembuat
kebijakan untuk kasus RUUK. Tentunya dalam posisi yang kedua kita mendapati adanya
kedekatan emosional yang ikut mewarnai ekspresi dari orang-orang JPP UGM,
dibandingkan sebelumnya ketika masih berdiri sebagai orang luar.
memiliki atau institusi yang tidak memiliki atau institusi yang tidak
berhubungan secara langsung berhubungan secara langsung
langsung dengan memiliki otoritas langsung dengan memiliki otoritas
Who
For Whom
institusi dengan kepentingan Namun bisa juga Diketahui
mengatasnamakan kelompok tertentu dibuat aksesibel khalayak luas
publik terpenuhi untuk masyarakat
luas
Posisi
Analis
Analisis untuk Kebijakan Analisis terhadap Kebijakan
Orang Luar Orang Dalam Orang Luar Orang Dalam
Issue search atau issue Membentuk basis
filtration; dukungan,
Melakukan aksi konsolidasi secara Hanya sebatas Menganalisa
nyata yang tidak informal, mencari informasi kemudian
keluar dari menginisiasi agenda yang dibutuhkan. dipublikasikan di
kewenangannya, secara frontal dengan Caranya, berbagai media
caranya dengan otoritas kebijakan. mengidentifikasi massa, jurnal, ataupun
sebatas menggunakan Misal, melalui dokumen-dokumen, kajian ilmiah lainnya,
sumberdaya yang pertemuan formal ataupun notulensi mengutamakan
dimiliki, atau; dengan otoritas kegiatan kedalaman analisa
How
Menyisipkan ke kebijakan,
dalam pertemuan menggunakan
informal atau networking,
networking. pewacanaan media
ataupun aksi massa
KRITERIA
Melaksanakan
rancangan ke Menggalang
dalam proses yang kesepakatan, Learning, evaluation Learning, evaluation
lebih konkrit mempengaruhi
To What Extent
Penel Kesempatan
iti untuk Kualitas Detil- Obyektif
Teknisi (tukang)
Diterima
sebagai
Think-tank Kesempata kebijakan- Pemaham Perspek Politis dan
Litbang n untuk kebijakan an plus tif analitis: Argumen
Wiraswastawan
1. Wirausahawan
Enterpreneur adalah tipe gabungan teknisi dan politisi, dia seorang pragmatis namun juga
pendidik, manipulator sekaligus pembangun koalisi. Dia mengawinkan politik dan
lingkungan organisasinya. Lebih politis dan agresif daripada teknisi, tetapi secara teknis
berkompeten dan memiliki standar internal sekaligus kontrol kualitas. Prinsipnya dia tidak
dalam kontrol klien, jika klien tidak mendengarkan maka orang lain yang akan
mendengar karena analis ini lebih melihat kepentingan publik sebagai klien utamanya.
Kebanyakan tipe ini adalah para ahli analisis kebijakan yang berasal dari kalangan
akademisi ataupun birokrat. Analisis adalah kekuasaan, begitulah kira-kira motto seorang
analis wirausahawan. Analis jenis ini paham benar bahwa policy making dipenuhi oleh
banyak aktor besar, maka mereka mengembangkan kuasanya sendiri untuk memanfaatkan
semua pengaruh. Dia menyadari kekuatannya, yaitu membuat kebijakan dengan
mempengaruhi keputusan. Analis ini lebih menempatkan diri sebagai think-thank
kepentingan publik. Analis jenis ini rajin membangun taktik, baik di dalam maupun di luar
birokrasi. Singkatnya, seorang analis entrepreneur adalah analis yang ‘ideal’ karena tidak
hanya mahir melakukan analisa kebijakan, tapi secara diam-diam juga pandai dalam
membangun kekuatan politik
2. Teknisi
Seorang teknisi adalah peneliti akademis -seorang intelektual- dalam area birokrasi.
Bayangkan orang yang dikelilingi komputer, model-model teori, statistika, dan lain-lain
tetapi seperti ulat dalam kepompong. Dia hanya berkepentingan dengan riset atau
tindakan yang berhubungan dengan analisa kebijakan. Dia tahu politik tapi tidak banyak,
karena politik adalah sesuatu yang lain di luar kebijakan. Dia menerapkan standar untuk
dirinya sendiri, sehingga motto-nya ‘lebih baik menjadi benar daripada tepat waktu’. Tipe ini
biasanya adalah para akademisi dan peneliti yang dikontrak oleh biro pemerintah tertentu.
Motivasi utama dari analis tipe ini adalah kesempatannya untuk melakukan riset
yang berhubungan dengan kebijakan dalam sebuah lingkungan pembuatan kebijakan
(policy making). Sehingga kebanyakan dari para teknisi ini adalah para intelektual yang
berada di menara gading, dengan menjadi pengamat dan tidak terlibat dalam policy
making. Baginya akurasi pengamatan dan penjelasan lebih penting daripada proses goal-
nya kebijakan.
Seorang teknisi mampu menjadi gudang data, karena kemampuannya mengolah
beragam data statistik, worksheet, laporan pemerintah, dan semacamnya. Sehingga
mereka cenderung untuk
menempatkan analisa sebagai alat untuk menemukan kunci dalam memahami masalah
kebijakan atau solusi kebijakan. Substansi dari kebijakan lebih menarik bagi mereka
daripada proses didalamnya.
3. Politisi
Meski menyadari dirinya bukan birokrat, seorang analis politisi lebih berpikir ala
birokrat daripada seorang analis. Seorang analis politisi lebih memperhatikan dimana
dia duduk dan kepada siapa dia bekerja.Dia lebih khawatir penilaian yang buruk pada
kinerja pelayanannya daripada kualitas analisanya. Atribut kantor seorang analis politisi
lebih menonjolkan simbol yang menunjukkan dirinya sebagai seorang politisi daripada
sebagai gudang data. Meski mereka menyadari dirinya generalis, namun mereka tetap
melihat dirinya berbeda. Tipe ini biasanya adalah para politisi.
Analisis kebijakan kelihatan seperti menawarkan kesempatan bagi politisi untuk memperluas
wawasan dirinya. Seperti halnya rekayasa sosial,mereka melihat pengalaman sebagai
perluasan kesempatan dalam ranah sosial dan membantu mereka mempelajari tentang
beberapa aktivitas pemberdayaan komunitas. Kepercayaan diri dari analis politisi adalah
keyakinan akan kemampuannya merubah gagasan menjadi kenyataan. Mereka percaya bahwa
dirinya mampu mentransformasi penelitian ilmu sosial ke dalam kebijakan publik. Mereka
ingin berada didalam kegiatan kebijakan itu sendiri dan bekerja didalamnya. Akibatnya dia
lebih mengutamakan agenda klien daripada agendanya sendiri.
Penugasan
Di akhir pertemuan ini, mahasiswa yang telah diajak untuk mengenal tipologi analis
menurut kapasitas mereka. Diminta untuk mulai mempertimbangkan posisi dan corak
analisis apa yang akan dipilihnya dalam melakukan latihan analisis kebijakan di segmen
kedua dari perkuliahan ini. Untuk mengasah kepekaan mahasiswa dalam melakukan
positioning, mahasiswa diminta untuk:
• Memberikan kejelasan pilihan posisi dan alasan dia memilih posisi
tersebut;
• Mengidentifikasi kecenderungan bias yang mungkin bisa timbul dari posisi yang dipilihnya
tersebut. Sebagai ilustrasi, mahasiswa bisa merujuk pada Tabel III.5. Bias Khas
Tipe Analis Kebijakan;
Tabel III.5. Bias Khas Tipe Analis Kebijakan
Mahasiswa diminta untuk mempersiapkan diri dengan membaca literatur tentang model
kebijakan dan modelling dalam analisa kebijakan:
Hupe, Peter J. dan Michael J. Hill, Three Action Levels of Governance: Reframing the Policy
Process Beyond the Stages Model, dalam Pieters,
B. Guy dan Jon Pierre, (2006), Handbook of Public Policy, Sage Publications
Daftar Pustaka
Hogwood, Brian W dan Lewis E. Gunn,(1989), Policy Analysis for the Real World, UK:
Oxford University Press
Meltsner, Arnold J, (1976), Policy analysts in the Beureaucracy, LA: University of
California Press
Stone, Deborah, (1997), Policy Paradox: the Art of Political Decision Making, New York:
W&W Norton & Company; pertama kali dipublikasikan 1988 dengan judul “Policy
Paradox andPolitical Reason”
• Ceramah
B. Memperkenalkan Model
Dosen menjelaskan kepada mahasiswa bahwa model adalah salah satu bentuk
penyederhanaan dari realitas dan proses penyederhaanaan realitas ini disebut sebagai
modelling. Dosen menjelaskan perihal model dan modelling kepada mahasiswa dengan
ilustrasi analis sebagai seorang petugas arsip yang harus menata dan mengklasifikasikan
berbagai dokumen. Dokumen dan literatur tersebut berserakan dan bercampur baur satu
sama lain. Si analis ini diminta untuk, tidak sekedar menata dengan menumpuk
dokumen dan literatur tersebut, tetapi dia harus mengelompokkannya dalam kelompok-
kelompok tertentu sehingga memudahkan orang lain untuk mengakses berbagai literatur
tersebut.
Dalam situasi semacam ini, orang yang diminta menata dokumen tidak akan bisa
berbuat banyak kecuali dia tahu atau sanggup membangun sendiri klasifikasi dan
pengelompokan untuk dokumen dan literatur tersebut. Atau dengan kata lain, memiliki
model sebagai panduan untuk mengelompokkan dan menata berbagai dokumen dan
literatur tersebut. Di sini, membuat model berarti merupakan langkah penyederhanaan
yang membantu penyelesaian pekerjaan. Setelah klasifikasi dan pengelompokan ini
diketahui barulah si analis bisa memulai pekerjaannya.
Membuat klasifikasi dan pengelompokan itulah yang di sini kita sebut dengan
modelling (penentuan model). Model disini diartikan
sebagai sebuah konsep untuk yang independen dari, tetapi paralel, dengan realitas yang
dibayangkan. Dalam contoh di atas, orang yang disuruh menata dokumen, membuat
model yang menggambarkan tatanan realitas yang dibayangkannya tentang susunan dan
klasifikasi dokumen-dokumen yang tersebar. Kemudian, dari bayangan konseptual
tersebut orang ini menciptakan realitas susunan dan klasifikasi dokumen sebagaimana
ada dalam bayangannya.
Dosen perlu memaparkan bahwa suatu kompleksitas yang sama bisa
disederhanakan dengan cara yang berbeda-beda.5 Setiap analis pada dasarnya bebas
menentukan cara penyederhanaannya sendiri, tanpa harus terikat dengan cara
penyederhanaan orang lain. Masing- masing cara penyederhanaan tersebut adalah model
tersendiri. Memang, dalam literatur kebijakan publik sudah dikenal berbagai model
analisis, namun bukan berarti sudah tertutup peluang untuk menawarkan model baru,
mengingat kompleksitas persoalan kebijakan yang dihadapi.
Setiap langkah penyederhanaan mengisyaratkan nalar (kerangka berpikir) tertentu.
Pada saat yang sama, langkah penyederhanaan tersebut sebetulnya abai terhadap
kerangka berpikir yang lain. Oleh karena itu, model yang dipakai untuk mengulas suatu
kebijakan juga memiliki kegunaan yang spesifik, dan belum tentu bisa diandalkan untuk
menjawab kepentingan lain. Jelasnya, karena suatu model adalah suatu penyederhanaan
yang dilakukan dengan mengabaikan sejumlah aspek, maka daya guna model tidak bisa
melampaui kegunaan yang dipersiapkan. Sebagai gambaran, suatu miniatur pesawat
yang merupakan penyederhanaan bentuk pesawat hanya berguna untuk mendeskripsikan
pesawat dari segi bentuk. Miniatur tidak bisa menjelaskan bagaimana pesawat bisa
terbang. Diperlukan model baru tersendiri untuk bisa menjelaskan bagaimana sebuah
pesawat, yang notabene adalah benda padat yang sangat berat, bisa melayang di udara.
Namun, model yang tepat untuk itu bukanlah miniatur.
Untuk memberikan ilustrasi tentang model, dosen memperlihatkan berbagai peta yang
bisa dibuat di suatu wilayah. Adapun tujuan dibuatnya peta berbeda-beda, dan
kegunaan peta tersebut hanya sebatas sesuai dengan tujuan pembuatnya. Untuk
memahami hal tersebut dosen bisa memberikan pemahaman kepadamahasiswa dengan
Tabel IV.I.Jenis Peta Menurut Informasi yang Disajikan dan Kegunaannya.
Tabel IV.I.
Di dalam masing-masing peta masih ada peluang untuk mendetilkan informasi yang
disajikan berdasarkan kegunaannya. Peta yang sama bisa disusun secara berbeda,
tergantung dari kebutuhan penggunanya yang lebih spesifik. Sebagai contoh, dosen bisa
mengajak mahasiswa untuk mencermati peta Kota London dalam Bagan IV.I. Di
London ada peta transportasi yang dibedakan berdasarkan moda transportasi yang
bersangkutan.
Peta A
Peta B
Perhatikan dua peta rute dan jalur kereta api dalam kereta tersebut! Jika seandainya
anda di London, sebagai seorang turis yang ingin bepergian, yang manakah di antara peta
A dan B, yang akan anda pilih sebagai pegangan? Namun, jika anda adalah seorang
kontraktor yang disewa perusahaan kereta api di London untuk merawat rel,peta
manakah yang anda pilih? Tentu saja turis lebih memilih peta B karena para turis hanya
memerlukan informasi tentang rute dan jalur kereta api. Mereka tidak berkepentingan
dengan kelokan dan detil jalur yang dilaluinya. Namun seorang kontraktor yang
berkepentingan untuk
merawat rel tidak hanya berkepentingan dengan rute dan jalurnya, tetapi juga dengan
kelokan dan jarak antar stasiun.
Ilustrasi ini memberikan gambaran yang semakin jelas bahwa suatu fenomena yang
kompleks disederhanakan menurut kepentingan dari orang yang akan menggunakan
informasi tentang fenomena tersebut. Ini juga membuktikan bahwa setiap analis,
sebetulnya bebas untuk membuat dan memilih modelnya sendiri, sesuai dengan
kebutuhannya.
Untuk memudahkan mahasiswa mendapatkan gambaran tentang bagaimana seorang
analis membangun dan memilih sendiri model yang akan dipakainya, dosen
mengingatkan mahasiswa pada ilustrasi serakan dokumen dan literatur di atas tadi. Di
sini mahasiswa diajak untuk membayangkan dokumen dan literatur itu sebagai teori-
teori sosial yang dikembangkan selama ini dan jikalau mahasiswa harus memetakan
serta menganalisis teori-teori tersebut, kira-kira apa yang mahasiswa lakukan untuk bisa
melaksanakan pekerjaan itu? Untuk melaksanakan pekerjaan itu, von Beyme dalam
Goodin dan Klingeman membuat peta teori seperti berikut ini.
Bagan IV.2.Peta Teori Menurut Klaus von Beyme
Sumber: von Beyme dalam Goodin dan Klingeman, (1996), hal 524.
Von Beyme tentunya mengacu pada kategorisasi orang lain, terutama untuk kategori
yang umum, seperti pemilahan berdasarkan pendekatan sistem – aktor dan level makro –
mikro. Namun, pilihan untuk menggunakan dan menggabungkan dua kategorisasi
tersebut sebagai sebuah model untuk mengklasifikasikan berbagai teori sosial yang
semula bertebaran, bisa kita asumsikan, lebih didorong oleh kebutuhan dia untuk
mengklasifikan dan menata berbagai teori tersebut.
Dosen perlu menegaskan bahwa poin utama dari ilustrasi tersebut adalah
bahwa seorang ilmuwan bisa merumuskan sendiri model yang akan digunakannya untuk
memvisualkan gagasannya. Di sini dosen juga bisa memberikan ilustrasi lain. Misalnya,
ketika hendak memaparkan bahwa konsep good governance sebetulnya jumbuh dengan konsep
democratic governance, kejumbuhan tersebut bisa disajikan sebagai model seperti dalam
Bagan IV.3.Visualisasi Kesejajaran Ide Good Governance dan Democratic
Governance.
Bagan IV.3.Contoh Visualisasi Kesejajaran Ide Good Governance Dan
Demokrasi
Dalam rangka untuk memberikan pemahaman lebih lanjut tentang model, dosen bisa
memberikan ilustrasi lain dengan penyederhanaan pola perpolitikan di Indonesia.
Mahasiswa diajak untuk mengingat dan memperhatikan bagaimana banyak ilmuwan
Indonesianis
melabeli pola perpolitikan di Indonesia dengan mengedepankan aspek tertentu dan
mengabaikan aspek lain. Yang menjelaskan pola perpolitikan dari segi elit
mengedepankan peran elit sebagi patron dan perpolitikan Indonesia dibayangkan sebagai
politik relasi patron-klien. Maka ada model patront – client dan politik Indonesia dilabeli
sebagai Politik Patronase. Selain model itu masih ada berbagai model lain seperti
ditampilkan dalam Tabel IV.2.Berbagai Model Definisi Perpolitikan Indonesia.
Tabel IV.2.
Jargon-jargon tersebut, sebetulnya, adalah model yang digunakan oleh ilmuwan yang
membuatnya untuk menjelaskan perpolitikan Indonesia. Selain Politik Patronase, kita juga
sering temukan istilah Negara Birokratik Otoritarian. Dosen juga menjelaskan pada
mahasiswa bahwa dari ilustrasi ini, kita tahu bahwa model tidak harus dihadirkan dalam
skema, tetapi bisa juga dalam jargon. Jargon ini mewakili serangkaian konsep yang
menyusun model tersebut, dan telah dielaborasi dalam karya dari ilmuwan yang
bersangkutan.
Dari paparan di atas, dosen bisa memberikan kesimpulan antara bahwa dalam
membangun model analis melakukan klasifikasi; kategorisasi; dan taksonomi. Dalam
melakukan itu semua analis digiring oleh nalar tertentu. Sehingga, penyederhanaan
kompleksitas realitas sebetulnya didasarkan pada preferensi subyektif si analis terhadap
suatu nilai, perilaku dan tindakan tertentu. Namun, sampai sejauh ini, bukankah kita
masih menggunakannya untuk melakukan analisis? Ini membuktikan bahwa meskipun
mengandung subyektivitas yang cukup kuat, model-model tersebut tidak berarti salah dan
tidak berguna. Sebaliknya, berbagai model yang sangat spesifik tersebut terbukti sangat
berguna bagi kita untuk menyederhanakan kompleksitas realitas kebijakan dan realitas
politik Indonesia.
DIMENSI KEBIJAKAN
Namun demikian, mahasiswa perlu mengetahui dan memahami bahwa tidak semua model
harus dibuat berdasarkan urutan sekuensial, seperti dalam model yang selama ini kita kenal.8
Penyederhanaan kebijakan bisa dilakukan dengan membedah anatomi kebijakan seperti
terdapat dalam salah satu contoh model analisa kebijakan berikut ini, misalnya seperti
ditampilkan dalam Bagan IV.4.
Model ini melihat bahwa dalam kebijakan apapun pasti melekat tiga hal, pertama, substansi
atau persoalan yang hendak diatasi. Kedua, proses yang perlu dilakukan untuk mengatasinya.
Terakhir, konteks di mana upaya untuk mengatasi persoalan itu berlangsung. Dari modelling
sederhana ini bisa dihasilkan banyak sekali model-model turunannya.
Pada prakteknya, analis tidak selalu mengedepankan ketiga dimensi tersebut secara
berimbang dan proporsional. Lebih sering, analis mengedepankan salah satu dari
dimensi yang dianggapnya paling relevan dengan fenomena kebijakan yang
dianalisisnya.
Sembari mengingatkan pada kapasitas diri analis yang sudah disampaikan di sesi
sebelumnya, analis dengan tipe teknokrat biasanya cenderung terobsesi dengan substansi
dan mengasumsikan bahwa dimensi proses dan konteks tidak problematik.
Sementara, analis dengan tipe politisi biasanya cenderung berorientasi pada proses untuk
menyiasati konteks tertentu untuk mencapai substansi yang dia kehendaki. Berbeda dengan
teknokrat yang mengasumsikan bahwa proses kebijakan adalah proses yang berjalan
dengan logika birokratik ala Weberian. Analis model politisi melihat proses kebijakan
dijalankan dalam logika ‘everything is possible’ demi menyiasati konteks yang ada untuk
mencapai substansi yang diinginkannya.
Dalam rangka menghayati model di atas, dosen bertanya pada mahasiswa, “Dalam
melakukan analisis, dari tiga dimensi tersebut, dimensi apa yang ingin dikedepankan oleh
mahasiswa?” Perlu juga diingatkan bahwa masing-masing pilihan memiliki kegunaan dan
konsekuensi sendiri. Itu bisa kita petakan dalam Matriks IV.3.Beberapa Pilihan Orientasi
Analisis dan Konsekuensinya.
Tabel IV.3.Beberapa Pilihan Orientasi Analisis dan
Konsekuensinya
Berkaca pada model di atas, dosen memaparkan bahwa dalam melakukan analisa
kebijakan seorang analis memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan model apa yang
akan digunakannya. Namun kebebasan ini harus disertai oleh kemampuan untuk
memahami dan mengelola konsekuensi yang muncul dari pilihannya tersebut.
Selanjutnya mahasiswa diajak untuk menghayati bagaimana melakukan modelling untuk
tiap dimensi kebijakan, sekaligus menyiasati konsekuensi yang muncul dari keputusan
untuk mengedepankan dimensi tertentu dan mengabaikan dimensi yang lain.
Dosen bisa memberikan penjelasan yang lebih empiris tentang perbedaan antara
framework, teori, dan model dari paparan tentang model anatomi kebijakan di atas. Model
tentang anatomi kebijakan yang terdiri dari 3 (tiga) dimensi di atas adalah contoh sebuah
framework. Ketika mahasiswa hendak berfokus pada salah satu elemen/dimensi dalam
model tersebut, mahasiswa bisa menggunakan berbagai ‘model’ dan teori untuk
mempertajam analisanya.
Selanjutnya, dosen memberikan pemaparan terkait langkah focusing dalam
melakukan analisa kebijakan berdasarkan ‘framework’ anatomi kebijakan di atas. Dengan
demikian paparan ini akan memberikan contoh bagaimana menggunakan atau
membangun ‘model’ dalam analisa yang berfokus pada dimensi substansi, proses, dan
konteks dari kebijakan.
Dosen memaparkan kepada mahasiswa bahwa model di atas bukanlah model satu-
satunya dan yang paling benar. Mahasiswa, ketika berlatih sebagai seorang analis, bisa
mereduksi penyakit sosial pada hal lain selain masalah kurangnya ketrampilan sebagai
bekal berkompetisi di dunia kerja. Contoh yang paling sederhana, mahasiswa bisa
membuat model yang didasarkan pada asumsi bahwa penyakit sosial adalah
permasalahan kelalaian pemerintah dalam mengatur kompetisi dalam dunia kerja atau
dalam mempersiapkan tenaga kerja.
Mahasiswa perlu diingatkan bahwa dalam membuat model baru, mahasiswa tidak
harus berangkat dari pembuatan model kausal yang sama sekali baru. Seringkali analis
mempertahankan sebagian dari model kausal yang sudah ada, namun melakukan
modifikasi di bagian yang lain. Namun, sebagai awalan, mahasiswa diajak untuk
mengenal pembuatan model dari level yang paling abstrak dan sederhana, karena belum
memerlukan pertimbangan detil teknis.
Dari kasus kebijakan penanganan penyakit sosial itu, dosen mengajak mahasiswa
untuk merenungkan bahwa sangat besar kemungkinan dalam berbagai kebijakan yang
diambil pemerintah selama ini, terjadi kesalahandalam mengangkat permasalahan.
Maka dari itu semakin terbuka peluang untuk membangun definisi permasalahan yang
baru. Kesalahan mungkin saja terjadi pada diri pemerintah, dan mengandaikan bahwa
kesalahan itu selalu kesalahan masyarakat dan masalah kebijakan sebagai masalahnya
masyarakat adalah sebuah kecerobohan.
Agar mahasiswa lebih menghayati proses modelling, dosen bisa mengajak mahasiswa
bersama-sama melakukan simulasi modeling. Ini bisa dilakukan, misalnya, dengan
meminta mahasiswa untuk menyampaikan pemahaman mereka tentang kemiskinan dan
dosen memetakan paparan yang disampaikan oleh mahasiswa. Dari situ dibayangkan
akan ditemukan berbagai cara memahami kemiskinan. Besar kemungkinan dari diskusi
kelas itu ditemukan keajegan, meskipun mahasiswa mendekati fenomena itu dengan
logika yang berbeda- beda.Cara memahami itulah yang disebut model analisis
kemiskinan. Terlepas dari persoalan mana yang benar, yang jelas masing-masing orang
berhak memaknai persoalan dengan nalarnya sendiri, sesuai dengan yang dianggapnya
penting.
Setelah mahasiswa mencoba membangun modelnya sendiri, dosen memberikan
pemaparan bahwa apa yang disebut model ini, bagi banyak kalangan yang bergelut dalam
analisis kebijakan juga biasa disebut heuristik.10 Karena sebetulnya model ini digunakan
bukan sebagai acuan yang bersifat preskriptif, tetapi sekedar sebagai pembayangan untuk
mempermudah seorang analis untuk memperhitungkan langkah- langkah yang perlu untuk
dia lakukan dalam melakukan analisis.
Dari situ dosen bisa mengatakan pada mahasiswa bahwa model analisis kebijakan
tidaklah harus dibuat dalam bentuk tahap-tahap. Klasifikasi dan pengelompokkan itu
juga bisa jadi berubah ketika di tengah-tengah usahanya merapikan dan
mengelompokkan literatur tersebut, si analis menemukan dokumen atau literatur yang
tidak bisa dimasukkan dalam klasifikasi yang ada. Dalam situasi tersebut, si analis mungkin
perlu membuat klasifikasi baru untuk dokumen dan literatur tersebut dan memodifikasi
model yang sudah ada. Itulah sebabnya mengapa model juga disebut heuristik, karena
meskipun menjadi pedoman bagi seorang analis dalam melakukan analisa, tetapi model
tidak sepenuhnya bersifat preskriptif dan bisa dimodifikasi atau diubah oleh si analis
bilamana perlu.
Bagan IV.6.
SIKLUS PENANGGULANGAN BENCANA
Pada bagian ini dosen memaparkan pada mahasiswa bahwa sebelumnya mahasiswa
diajak untuk membayangkan dan memahami analisa kebijakan dan pengembangan
model analisa kebijakan yang dilakukan dalam kondisi normal. Artinya, sebagian
besar situasi dan segala kemungkinan yang muncul sudah terantisipasi dan bisa
diproyeksikan secara konvensional. Namun selalu ada kemungkinan bahwa analisis
kebijakan harus dilakukan dan harus mengantisipasi situasi-situasi yang tidak
memungkinkan ditangani dengan cara-cara konvensional. Misalnya seperti dalam situasi
darurat akibat bencana.
Para pengambil kebijakan dan juga analis harus siap ketika dihadapkan pada situasi
seperti itu. Bagi analis, salah satu cara untuk mempersiapkan diri menghadapi situasi
seperti itu adalah dengan membangun model analisa kebijakan yang diasumsikan
digunakan untuk menganalisa kebijakan yang berlangsung dalam situasi abnormal.
Untuk situasi seperti itu, proses kebijakan normal tidak berlaku, sehingga perlu
dikembangkan double-track policy making. Model double-track policy making memuat pola
pembuatan kebijakan dalam kondisi normal dan kondisi tidak normal. Sehingga analis bisa
membuat analisa dalam dua alur, pertama, analisa yang didasarkan pada alur proses
kebijakan normal dan, kedua, analisa yang dibangun berdasarkan alur proses kebijakan
dalam situasi abnormal.
Tentunya, untuk itu analis harus memahami situasi dan proses kebijakan dalam
situasi abnormal, misalnya situasi bencana. Proses penanggulangan bencana bisa kita
lihat dalam Bagan IV.5.Siklus Penanggulangan Bencana. Dengan memahami siklus
tersebut, analis bisa memiliki gambaran tentang situasi yang menjadi kontekspembuatan
kebijakan dalam situasi abnormal dan bisa membangun analisis yang relevan.
Daftar Pustaka
Bardach, Eugene, (2004), Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths toward Problem
Solving, CQ Press, NY
Cochran, Charles L. dan Eloise F. Malone, Public Policy: Perspective&Choices, McGraw
Hill Press
Hogwood, Brian W. dan Lewis E. Gunn, (1989)Policy Analysis for the Real World, Oxford
University Press
Howlett, Michael dan Ramesh, M. (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, Oxford University Press
Hupe, Peter J dan Hill, Michael J., The Three Action Levels of Governance: Reframing the
Policy Process Beyond the Stages Model dalam Pieters, B. Guy dan Jon Pierre eds., (2006),
Handbook of Publik Policy, Sage Publications
Nugroho Riant, (2006), Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang, Jakarta:
Elex Media Komputindo
von Beyme, Klaus, Political Theory: Empirical Political Theory dalam Goodin, Robert E.
dan Hans Dieter Klingeman,(1996), A New Handbook of Political Science, vol.2,
Oxford University Press
William N.,(2000), Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua, Gadjah Mada
University Press, diterbitkan pertama tahun 1999
METODOLOGI
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebuah kebijakan publik yang baik dan tepat merupakan suatu keharusan
dalam kehidupan bermasyarakat, berorganisasi dan bernegara. Oleh karena
itu, perlu disiapkan sumber daya manusia yang mampu untuk
mengidentifikasi isu/masalah dengan tepat, mengumpulkan data dan fakta
terkait masalah tersebut, mengidentifikasi alternatif kebijakan yang dapat
diterapkan, mengevaluasi biaya, risiko dan keuntungan yang akan
ditimbulkan, menyajikan saran dan informasi kebijakan dengan baik, serta
melakukan monitoring dan evaluasi penerapan kebijakan.
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang analis kebijakan
adalah kemampuan dalam menjelaskan berbagai pendekatan dalam
metodologi penelitian, serta mampu mengembangkan instrumen
penelitian/kajian. Modul ini ditulis dalam rangka memenuhi tuntutan
kompetensi tersebut. Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan tidak
hanya menguasai berbagai teori mengenai metodologi penelitian, tapi juga
mampu mempraktikkan kemampuannya tersebut dengan berbagai contoh
kasus yang telah disiapkan.
Modul ini adalah bagian dari serangkaian proses analisis kebijakan
yang saling berkaitan dan melengkapi. Karena itu peserta pelatihan calon
analis kebijakan juga harus dapat memahami modul lain agar memiliki
kemampuan yang komprehensif untuk menghasilkan sebuah kebijakan
yang baik dan tepat.
B. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini memfasilitasi pemahaman pengetahuan dan ketrampilan peserta
pelatihan tentang berbagai konsep dan cara dalam pelaksanaan penelitian
kebijakan melalui pembelajaran tentang Konsep Monitoring dan Evaluasi
Kebijakan (Ex-post evaluation), metode monitoring dan evaluasi kebijakan
(ex-post evaluation), konsep ex-ante public policy assessment, Metode-
metode ex-ante public policy assessment, logical framework, stakeholder
survey, metode pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif untuk analisis
kebijakan, use and abuse of data. Keberhasilan peserta dinilai dari
kemampuannya menjelaskan berbagai pendekatan dalam metodologi
penelitian, serta mampu mengembangkan instrumen penelitian/kajian.
Modul ini terdiri dari 5 (lima) Bab. Untuk keberhasilan mempelajari
modul ini, peserta dapat melakukan berbagai kegiatan belajar, baik secara
mandiri maupun berkelompok. Modul ini juga dilengkapi dengan simulasi
kasus yang dapat membantu dalam melatih dan mempertajam kemampuan
peserta. Selain itu, untuk menambah wawasan mengenai mata ajar
metodologi penelitian, peserta dapat menggunakan referensi lain selain dari
modul ini setelah berkonsultasi dengan narasumber (tenaga pengajar).
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta memiliki kemampuan dalam
menjelaskan berbagai pendekatan dalam metodologi penelitian, serta mampu
mengembangkan instrumen penelitian/kajian, yang dinilai dari kemampuan
peserta dalam:
1. Menjelaskan berbagai pendekatan (positivist vs non- positivist) dalam
metodologi penelitian/kajian;
2. Menghubungkan teknik-teknik dalam pendekatan Positivist
dan Non-positivist;
3. Mendesain rancangan kajian/penelitian;
4. Mendemonstrasikan pemahaman mengenai konten, tahapan, dan
metode-metode dalam Disain Ex-ante Public Policy Assessment;
5. Mengembangkan logical framework dalam disain analis kebijakan;
6. Mendemonstrasikan pemahaman mengenai metode-metode
pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif dalam instrumen
pengumpulan data untuk analisis kebijakan;
7. Menganalisis kualitas data, mendeteksi penyalahgunaan data dalam
proses kebijakan publik;
8. Mendesain teknik pengumpulan data dari pendekatan
positivist atau non-positivist.
F. RANGKUMAN
Data merupakan komponen penting dalam analisis kebijakan karena data
tersebut akan ditransformasikan menjadi informasi yang menjadi basis
pengambilan keputusan. Untuk dapat memperoleh data, seorang analis
kebijakan perlu melakukan riset. Setelah itu data yang berhasil dikumpulkan
tersebut dianalisis untuk tujuan membantu analis dalam memahami masalah
publik yang dianalisisnya agar menjadi lebih jelas. Karena pentingnya data
dalam analisis kebijakan, maka para pakar kemudian mengembangkan
sebuah gagasan yang disebut sebagai Evidence-Based Policy (EBP). Dengan
menggunakan pendekatan ini, seorang analis kebijakan diharapkan memiliki
data yang memadai untuk mendukung proses pengambilan keputusan,
merancang pencapaian target dan tujuan kebijakan/program serta membantu
dalam implementasinya.
RISET KEBIJAKAN
A. INDIKATOR HASIL BELAJAR
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan dapat:
1. Mampu menjelaskan berbagai pendekatan (positivist vs non- positivist) dalam
metodologi penelitian/kajian
2. Mampu menghubungkan teknik-teknik dalam pendekatan
positivist dan non-positivist
B. RISET KEBIJAKAN
Riset merupakan kegiatan penerapkan metode scientific (ilmiah) untuk
memahami suatu fenomena alam maupun sosial. Metode ilmiah sendiri
merupakan prosedur yang harus dilakukan oleh seorang peneliti untuk dapat
menjelaskan suatu fenomena. Kerlinger (1990:17) mendefinisikan penelitian
ilmiah sebagai berikut:
Penelitian ilmiah adalah penyelidikan yang sistematis, terkontrol,
empiris dan kritis, tentang fenomena-fenomena alami, dengan dipandu
oleh teori dan hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang dikira
terdapat antara fenomena- fenomena itu.
Secara umum, metode sebuah penelitian yang bersifat ilmiah akan
dilakukan dengan tahapan: (i) merumuskan masalah yang hendak dijelaskan,
(ii) membangun hipotesis, (iii) melakukan eksperimen/observasi, (iv) uji
hipotesis, dan (v) penarikan kesimpulan dan generalisasi.
Sebuah riset dikatakan memiliki bobot ilmiah apabila memiliki ciri-ciri
sebagaimana dikatakan oleh Kerlinger (1990):
1. Observable (dapat diamati)
2. Repeatable (dapat diulang oleh orang lain dengan hasil yang sama)
3. Measurable (dapat diukur dengan indikator kuantitatif)
4. Testable (dapat diuji kebenarannya)
5. Predictable (dapat diramalkan hasilnya)
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai riset dapat dibedakan menjadi
riset yang bersifat dasar (basic research) atau sering juga disebut riset teoritis
(theoretical research) dan riset terapan (applied research). Riset dasar memiliki
tujuan utama untuk mengembangkan teori (theory building) terkait dengan
disiplin ilmu tertentu atau paling tidak dikaitkan dengan penemuan hal-hal
yang baru terkait dengan disiplin ilmu tertentu. Sementara itu riset terapan
bertujuan untuk memecahkan suatu persoalan tertentu (problem solving).
Dengan tujuan utama untuk mencari pemecahan atas suatu persoalan publik,
maka riset kebijakan lebih merupakan riset terapan.
Sebagai sebuah riset terapan, riset kebijakan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut (SIPRI dan WASCI, 2011:7):
1. Riset kebijakan dimaksudkan untuk merespon masalah publik tertentu;
2. Hasilnya dikaitkan dengan proses perumusan suatu kebijakan;
3. Pragmatis, menganalisis apa yang dapat diterapkan dan yang tidak;
4. Menjauhi hal-hal yang abstrak dan mengutamakan hal-hal yang mudah
dipahami atau dikomunikasikan;
5. Digunakan untuk mempengaruhi pengambil kebijakan. Dengan demikian
para peserta diklat harus paham bahwa penelitian kebijakan tidak ditujukan
semata-mata memuaskan rasa ingin tahu, akan tetapi untuk meyakinkan
agar pengambil kebijakan mengikuti saran seorang analis kebijakan.
Oleh karena itu elemen penting yang harus dipahami oleh seorang analis
kebijakan ketika melakukan riset kebijakan adalah (SIPRI dan WASCI, 2011:7):
1. Fokus pada persoalan publik yang kontemporer atau sedang menjadi perhatian
publik;
2. Dirancang sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan pengambil kebijakan;
3. Riset kebijakan membutuhkan tindakan yang cepat karena hanya tersedia
sedikit waktu untuk melakukan pengumpulan data, analisis dan menyusun
rekomendasi;
4. Pragmatis, rekomendasi harus merupakan hal yang dapat dikerjakan;
5. Tujuannya adalah untuk memperjelas persoalan publik yang rumit sehingga
dapat diselesaikan;
6. Jembatan antara dunia teori dengan dunia praktis.
Seorang analis kebijakan perlu memahami bahwa pekerjaan mereka
membutuhkan informasi, data, dan evidences (bukti-bukti) terkait dengan
masalah publik yang harus mereka pecahkan. Dengan demikian, sebuah data
bagi seorang analis kebijakan akan berubah posisinya apabila data tersebut
dikontekstualisasikan dengan masalah publik yang sedang mereka tangani.
Informasi pada dasarnya semua hal yang kita kumpulkan dari para
responden, narasumber, atau lembaga statistik yang kita duga memiliki
keterkaitan dengan persoalan publik yang sedang
dianalisis seorang analis kebijakan. Informasi tersebut dapat disebut
sebagai data apabila cara mengumpulkan informasi tersebut dipandu dengan
metode ilmiah sebagaimana kita diskusikan di depan. Dengan demikian data
adalah informasi yang memiliki keterkaitan atau relevansi dengan persoalan
publik yang sedang dianalisis oleh seorang analis kebijakan dan
dikumpulkan dengan metode ilmiah yang dapat diuji validitas dan
reliabilitasnya. Apabila ditelaah lebih lanjut, berbagai data yang disusun
secara lebih sistematis (dianalisis) sehingga mampu menjelaskan
penyebab munculnya suatu masalah, akibat yang ditimbulkan dari masalah
tersebut, hasil yang akan dicapai apabila dilakukan suatu
tindakan, inilah yang kemudian disebut sebagai evidence.
Seorang analis kebijakan dengan demikian harus memiliki ketrampilan
untuk membedakan tiga jenis ‘data’ tersebut untuk keperluan merumuskan
masalah kebijakan yang hendak dipecahkan, membuat opsi-opsi kebijakan
yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut dan memperkirakan
resiko atau biaya yang akan ditimbulkan sebagai akibat implementasi
kebijakan yang mereka sarankan.
Untuk mempermudah analisis data, maka seorang analis kebijakan perlu mengusai
salah satu dari berbagai software pengolahan data statistik. Salah satunya adalah SPSS
(Statistical Package for the Social Science).
Seorang analis kebijakan tidak saja perlu memahami data statistik yang digunakan
dalam analisis kebijakan, namun juga perlu bersikap kritis terhadap data yang
ditemukan. Seorang analis harus dapat menilai apakah suatu data statistik valid dan
masuk akal, dan menghindari kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan dalam
menggunakan data statistik. Terdapat beberapa kesalahan yang sering dijumpai terkait
dengan penggunaan data statistik. Kesalahan semacam ini bisa saja tidak disengaja atau
disengaja (by designed).
F. LATIHAN
1. Sebutkan elemen-elemen penting yang harus dipahami oleh seorang analis
kebijakan dalam melakukan riset kebijakan menurut SIPRI dan WASCI!
2. Jelaskan perbedaan riset kebijakan yang bersifat positivistik dengan riset
kebijakan yang bersifat naturalistik!
3. Jelaskan tahapan-tahapan yangdilakukan dalam design penelitian kuantitatif!
4. Sebutkan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam desain penelitian
kualitatif!
G. RANGKUMAN
Riset merupakan kegiatan penerapkan metode scientific (ilmiah) untuk
memahami suatu fenomena alam maupun sosial. Secara umum, metode
sebuah penelitian yang bersifat ilmiah akan dilakukan dengan tahapan: (i)
merumuskan masalah yang hendak dijelaskan, (ii) membangun hipotesis, (iii)
melakukan eksperimen/ observasi, (iv) uji hipotesis, dan (v) penarikan
kesimpulan dan generalisasi
Seorang analis kebijakan perlu memahami bahwa pekerjaan mereka
membutuhkan informasi, data, dan evidences (bukti-bukti) terkait dengan
masalah publik yang harus mereka pecahkan. Berdasarkan data yang
dikumpulan tersebut, suatu riset kemudian dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu penelitian yang bersifat kuantitatif dan yang bersifat kualitatif.
Penelitian yang bersifat kuantitatif juga disebut sebagai penelitian
positivistik yang merujuk pada suatu terminologi ketika manusia dapat
menjelaskan peristiwa yang ada di sekitarnya dengan penjelasan yang ilmiah
dengan mencari hubungan kausalitas antara sebab dan akibatnya. Design
penelitian yang bersifat positivistik perlu dikontekstualisasikan dengan tujuan
riset kebijakan yang bersifat problem solving. Sementara penelitian
naturalistik atau kualitatif merupakan anti tesis dari metode penelitian
positivistik. Oleh karena itu penelitian kualitatif juga sering disebut sebagai
penelitian post positivistik. Berbeda dengan penelitian positivistik atau
kuantitatif, penelitian naturalistik atau kualitatif tidak memiliki bentuk design
penelitian yang baku. Meskipun telah ada desain yang bersifat umum
sebagaimana digambarkan diatas, akan tetapi tahapan penelitian yang harus
dilakukan peneliti berbeda-beda sesuai dengan pendekatan yang dipakai.
CBA (Cost Benefit Analysis) atau Analisis Biaya Manfaat
Oleh Indra Fibiona
12/337230/PSP/04321
CBA (Cost Benefit Analysis) atau analisis biaya manfaat adalah pendekatan untuk
rekomendasi kebijakan yang memungkinkan analis membandingkan dan menganjurkan suatu
kebijakan dengan cara menghitung total biaya dalam bentuk uang dan total keuntungan dalam
bentuk uang (Dunn, 2003:447). Awal perkembangan analisis biaya manfaat (CBA) mulai
familiar ketika menjadi klausul dalam Undang – Undang Pengendalian Banjir AS (US Flood
Control Act) tahun 1936. CBA berkembang sebagai landasan teoritis ilmu ekonomi
kesejahteraan, terutama konsep ilmu kesejahteraan yang mengutamakan efisiensi (Pearce,
2008: 181). CBA saat ini merupakan teknik mapan yang banyak digunakan dalam
pemerintahan maupun organisasi internasional. Meskipun tertentu yang mendasari konsep
teknik berasal dari Eropa pada 1840-an, penggunaan CBA di lingkungan ekonomi merupakan
model implementasi yang tergolong baru. Implementasi CBA mulai berjalan ketika peraturan
yang ditetapkan oleh pemerintah AS yang membuat penggunaan CBA wajib di keadaan
tertentu di tahun 1930. Dua konsep dasar yang berasal dari Eropa adalah konsep surplus
konsumen dan konsep eksternalitas. Konsep surplus konsumen diperdebatkan oleh Jules
Dupuitin 1844, ketika ia menunjukkan bahwa pengguna jalan dan jembatan di Perancis
menikmati keuntungan melebihi jumlah korban yang mereka bayar untuk penggunaan. Pigou
mengembangkan secara efektif konsep eksternalitas dengan menyatakan bahwa ada
perbedaan antara swasta ekonomi produksi dan produk ekonomi masyarakat (mishan and
Quah :243).
CBA dilengkapi dengan pendekatan diskonto untuk menghitung pemasukan dan
pengeluaran di masa yang akan datang berdasarkan nilai sekarang dan tingkat diskonto
tertentu. Hal ini disebabkan oleh biaya dan manfaaat yang cenderung terakumulasi. dalam
realitas deskriptif, tingkat preferensi waktu dan taksiran biaya modal sangat bervariasi akibat
ketidaksempurnaan pasar-pasar modal. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan publik (sebagai
konsumen) lebih menyukai kondisi (Pearce, 2008: 121-122). Implementasi CBA dalam
pembuatan rekomendasi di sektor publik mempunyai ciri ciri antara lain berusaha untuk
mengukur semua biaya dan manfaat untuk masyarakat yang dihasilkan dari program pulik.
Analisis biaya manfaat secara tradisional merepresentasikan rasionalitas ekonomi karena
kriteria sebagian besar ditentukan dengan penggunaan efisiensi ekonomi secara global.
Analisis biaya manfaat tradisional juga menggunakan pasar (swasta) sebagai titik tolak untuk
merekomendasikan kebijakan publik. Analisis biaya manfaat kontemporer, atau disebut juga
analisis biaya manfaat sosial, dapat digunakan untuk mengukur redistribusi manfaat (Dunn,
2003: 448).
Langkah yang ditempuh dalam menganalisis efisiensi suatu proyek melalui analisis
biaya manfaat yaitu dengan jalan menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek yang
akan dilaksanakan. Tahap selanjutnya menghitung manfaat dan biaya dalam nilai uang, dan
diteruskan dengan menghitung masing-masing manfaat dan biaya dalam nilai uang sekarang.
Ada tiga metode untuk menganalisis manfaat dan biaya suatu proyek yaitu nilai bersih
sekarang antara lain (NPB = net present benefit), Internal Rate of Return (IRR) dan
perbandingan manfaat biaya (BCR = benefit-cost ratio). Pada proses implementasi analisis
kebijakan publik di Indonesia, CBA digunakan sebagai alat utama dalam membuat evaluasi
program atau proyek untuk kepentingan publik, seperti manajemen sumber daya alam dan
pengembangan sumber energi alternatif. Pada umumnya analisis ini terintegrasi dengan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk mengevaluasi dampak suatu
proyek atau program terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu, Analisis ini tidak hanya
melihat manfaat dan biaya individu, tetapi secara menyeluruh memperhitungkan manfaat dan
biaya sosial dan selanjutnya dapat disebut sebagai analisis manfaat dan biaya sosial
(Sugiyono, 2001).
NPB Nilai bersih suatu proyek merupakan seluruh nilai dari manfaat proyek
dikurangkan dengan biaya proyek pada tahun yang bersangkutan dan diperhitungkan dengan
tingkat diskonto yang berlaku. Rumus perhitungannya sebagai berikut
IRR (Internal Rate of Return) merupakan indikator tingkat efisiensi dari suatu investasi.
Suatu proyek/investasi dapat dilakukan apabila laju pengembaliannya (rate of return) lebih
besar dari pada laju pengembalian apabila melakukan investasi di tempat lain. Dalam metode
penghitungan ini, tingkat diskonto dicari sehingga menghasilkan nilai sekarang suatu proyek
sama dengan nol. Rumus yang digunakan sebagai berikut.
Metode Perbandingan Manfaat dan Biaya (BCR) merupakan metode yang sering digunakan
dalam mengevaluasi sebuah investasi atau sebagai tambahan untuk menvalidasi hasil evaluasi
yang telah dilakukan dengan metode lain. Metode ini sangat baik digunakan untuk sebuah
investasi dalam proyek-proyek pemerintah yang berdampak langsung terhadap masyarakat
luas. Proyek yang dilaksanakan dalam metode ini adalah proyek yang mempunyai angka
perbandingan lebih besar dari satu. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
(Sugiyono, 2001)
Referensi
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan). Yogyakarta :
UGM Press.
Mishan, E. J. and Easton Quah. 2007. Cost Benefit Analysis, 5 th edition. Newyork :
Routledge.
Pearce, David W.. 2008.“Cost- Benefit Analysis” dalam Kuper, Adam, Jessica Kuper. 2008.
Ensiklopedi Ilmu- Ilmu Sosial. Jakarta:Rajawali.
Sugiyono, Agus.2001. “Makalah Ekonomi Publik: Analisis Manfaat dan Biaya Sosial”.
Dalam situs http://sugiyono.webs.com/paper/p0103.pdf diakses tanggal 15
November 2012 pukul 19.30.
BAB I
PENDAHULUAN
Transportasi menurut ketentuan Undang-Undang No 14 Tahun 1992 adalah simpul dan atau ruang
kegiatan yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga dapat membentuk suatu kesatuan sistem
untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Alat transportasi sesuai kaidah
ekonomi dibedakan menjadi dua yaitu transportasi pribadi ( Private Goods) dan Transportasi umum (
Impure Public Goods). Menurut Jonathan Gruber dalam bukunya Public finance and Public Policy
(2007) sebagai berikut :
“ Goods that are pure public goods are characterized by two traits. Firs, they are non-rival in
consumption: that is, my consuming or making use of the good dos not in any way affect your
opportunity to consume the good. Second, They are non-excludable : even if I want to deny
you the opportunity to consume or acces the public good, there is no way I can do so….. most
of the goods we think of as public goods are really impure public goods, wich satify these two
conditions to some extent, but not fully”.
Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa Impure public goods adalah barang semi publik,
barang atau jasa yang ada persaingan untuk mendapatkan tetapi sedikit, dan tidak ada kepemilikan
sepihak dari barang tersebut akan tetapi tidak penuh. Untuk mendapatkan barang harus dengan
sedikit persaingan dan ada sedikit “kepemilikan” dalam barang tersebut. Dari pernyataan Gruber
dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahwa transportasi umum dapat dikategorikan sebagai
Impure public goods. Seseorang tidak ingin bersaing secara penuh dan tidak ada kepemilikan sepihak
dari perorangan untuk transportasi umum. Yang menyebabkan masalah pada public transportations
di Indonesia adalah cara pandang ekonomi masih menggunakan teori ekonomi neoklasik yang tidak
memperhatikan prinsip ekonomi kerakyatan. Dalam bukunya Alfred Marshall, Principles of Economic
(1890) menyebutkan prinsip ekonomi hanya bertujuan untuk mencapai efisiensi dan menemukan
keseimbangan yang optimal. Kajian tentang ilmu ekonomi sebagai sudut pandang pembuat kebijakan
hanya berdasar pada prinsip efisiensi riil. Kelemahan teori ekonomi Neo-Klasik adalah tidak
memperhatikan aspek social sebagai sebuah ekternalitas yang harus dimasukkan dalam mengkaji
masalah ekonomi public. Padahal teori Neoklasik sudah di tentang dan berusaha diruntuhkan oleh
ilmuan ekonomi modern. Diawali oleh Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment,
Interest, and mooney (1936) menyatakan bahwa pernanan ekonomi dan filosofis politik tidak dapat
dipisahkan. Politik dalam hal ini dapat disederhanakan menjadi social atau kerakyatan. Perjuangan
Keynes dilanjutkan oleh Gunnar Myrdal dengan bukunya The Political Element in Development of
Economic Theory (1975) bersama Galbraith dengan bukunya Economic and the Public Purpose (1971)
menyatakan fungsi ilmu ekonomi adalah menerangkan satu proses ekonomi dimana perorangan
memperoleh pelayanan.
Analisis dapat dimulai dari populasi kendaraan bermotor di Jakarta yang merunut data
jumlah populasinya tidak terkontrol. Dari data salah satu portal berita nasional Antara News
(6/01/2015) jumlah kendaraan bermotor hingga akhir 2014 di Jakarta sebanyak 17.523.967 unit
dengan rincian 13.084.372 unit sepeda motor, 3.226.009 unit mobil pribadi, 673.661 unit mobil
barang, 362.066 unit bus, dan 137.859 kendaraan khusus. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas
Polda Metro Jaya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta bertambah sebanyak 5.500 hingga 6.000
unit kendaraan perhari (data berdasarkan jumlah STNK yang dikeluarkan samsat). Dapat disimpulkan
dengan jumlah 13jt an unit dan bertambah 6.000 an unit perhari dalam setahun volume kendaraan
bermotor di Jakrata naik 12% pertahun, sungguh sebuah jumlah yang fantastis untuk kota
metropolitas yang kepadatan penduduknya sangat tinggi. Masih dari sumber data yang sama
pertummbuhan infrastruktur berupa jalan di Jakarta hanya 0,01 % pertahun. Pertumbuhan jalan
yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Sesuai dengan teori yang digunakan
diawal, pemerintah tidak ikut campur dalam mengontrol populasi jumlah kendaraan yang ada di
Jakarta, sepenuhnya dilepaskan pada mekanisme pasar. Demand yang tinggi dari penduduk Jakarta
akan kendaraan bermotor pribadi dibebaskan oleh pemerintah dengan Suplay dari pihak privat. Salah
satu kebijakan yang mendasari analisa tersebut adalah kebijakan pemerintah tentang mobil murah
dengan dalih Low Cost Green Car (LCGC). Dengan diberlakukan kebijakan tersebut demand akan
kendaran bermotor semakin meningkat dan meningkatkan jumlah pertumbuhan kendaraan
bermotor secara signifikan. Di lain sisi peningkatan pelayanan di bidang infrastruktur dan transportasi
umum tidak dibenahi. Sehingga masyarakat lebih nyaman bepergian menggunakan kendaraan
pribadi masing-masing dan kemacetanpun tidak terhindarkan. Pelayanan Bus Transjakarta yang
masih kurang dapat dilihat hanya dapat menjangkau daerah-daerah utama dan masih belum
tertibnya pengguna jalan yang masih menggunakan jalus Bus Transjakarta menyebabkan Bus tidak
bisa On Time. Disediakannya Communter line memberikan sedikit angin segar untuk mengurangi
pengguaan kendaraan pribadi. Masalahnya Commuter Line sama seperti Bus Transjakarta yang hanya
bisa menjangkau daerah-daerah utama. Tidak disediakan transportasi umum/khusus untuk
digunakan dari post-pos pemberhentian Busway dan Commuterline menyisakan masalah tersendiri
bagi penggunanya. Bus Kota dan Kopaja semakin hari semakin kehilangan kepercayaan dari
pengguna. Fasilitas yang tidak nyaman dan keamanan yang tidak terjamin merupakan alasan bagi
masyarakat untuk enggan menggunakannnya.
BAB II
MASALAH KEBIJAKAN
1. Situasi Masalah
Dari data yang telah penulis sampaikan di muka bahwa jumlah kendaraan
bermotor hingga akhir 2014 di Jakarta sebanyak 17.523.967 unit dengan rincian
13.084.372 unit sepeda motor, 3.226.009 unit mobil pribadi, 673.661 unit mobil barang,
362.066 unit bus, dan 137.859 kendaraan khusus. Berdasarkan data Direktorat Lalu
Lintas Polda Metro Jaya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta bertambah sebanyak
5.500 hingga 6.000 unit kendaraan perhari (data berdasarkan jumlah STNK yang
dikeluarkan samsat). Dapat disimpulkan dengan jumlah 13jt an unit dan bertambah
6.000 an unit perhari dalam setahun volume kendaraan bermotor di Jakrata naik 12%
pertahun, sungguh sebuah jumlah yang fantastis untuk kota metropolitan yang
kepadatan penduduknya sangat tinggi. Masih dari sumber data yang sama
pertummbuhan infrastruktur berupa jalan di Jakarta hanya 0,01 % pertahun.
Pertumbuhan jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan.
Itulah yang menjadi permasalahan yang menyebabkan kemacetan yang parah di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Masalah tersebut harus segera ditangani dengan kebijakan yang
tepat sasaran agar kemacetan di Jakarta bisa diatasi secara efektif dan efisien.
2. Meta Masalah
3. Masalah Substansif
4. Masalah Formal
Berdasarkan hasil penelusuran mulai dari situasi masalah, meta masalah, dan
masalah substantif, maka ditemukan masalah formalnya yakni pada bagaimana
formulasi kebijakan pemerintah menekan jumlah populasi kendaraan bermotor dan
membenahi sistem transportasi umum untuk mengatasi masalah kemacetan
lalulintas.
5. Tujuan Kebijakan
Bertolak dari pemahaman tentang situasi masalah, meta masalah, masalah
substantif dan masalah formal, maka dapat dirumuskan tujuan kebijakannya adalah
sebagai berikut:
1. Membuat formulasi yang dapat menganalisa akar permasalahan sehingga
Mengatasi kemacetan
2. Menekan penggunaan kendaraan pribadi
3. Memperbaiki sistem transportasi umum
BAB III
ALTERNATIF KEBIJAKAN
Langkah berikutnya yang harus dilakukan oleh seorang analisis kebijakan setelah
merumuskan masalah kebijakan ialah menetukan alternatif kebijakan. Melakukan
sebuah penentuan alternatif kebijakan bukan merupakan hal mudah, kerena pembuat
kebijakan dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yang berhubungan dengan
masalah yang dihadapi (Subasono,2005). Sehingga output alternatif kebijakan sangat
tergantung seorang analisis kebijakan yang melakukan analisis terhadap suatu kebijakan.
Dalam melakukan analisis, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, yakni:
Alternatif kebijakan (Policy Alternatives ) adalah arah tindakan yang secara potensial
tersedia yang dapat memberikan sumbangan kepada pencapaian nilai dan pemecahan
masalah kebijakan (Dunn, 2003).
Ada 2 Teknik pokok di dalam memformulasikan alternative kebijakan, yakni :
1. Memodifikasi solusi / Kebijakan yang berlaku
2. Melakukan feasible manipulation yaitu merumuskan alternatif kebijakan
dengan cara mencari atau dengan cara merekayasa berdasarkan input yang
diperoleh sehingga kita bisa menyusun alternatif dengan menyusun variabel
kebijakan dan menentukan tingkat rekayasa.
Penentuan beberapa alternative kebijakan didasarkan atas masukan-
masukan dari stakeholders yang ada dan atau berdasarkan pengalaman
kebijakan yang pernah dibuat sebelumnya terhadap permasalahan yang sama
atau hampir sama.
Berdasarkan dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijabarkan
pada bab sebelumnya, maka penyusun mengajukan empat alternative kebijakan yang
nantinya dievaluasi berdasarkan kriteria-kriteria yang relevan dengan kebijakan yang
akan dihasilkan. Adapun keempat alternatif kebijakan yang akan diajukan, sebagai
berikut:
1. Status Quo
Status quo merupakan salah satu alternatif kebijakan, dimana yang
dimaksud dengan status quo ialah tetap menerapkan kebijakan saat ini.. alternative
status quo dimaksudkan untuk membandingkan kebijakan yang sudah ada dengan
alternative kebijakan baru yang ditawarkan.
2. Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum
Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum harus segera
dilakukan dengan cara :
a. Transjakarta dan Commuterline dibebaskan tarif atau diminimalkan
biaya dengan menggunakan alokasi dana dari pajak kendaraan
bermotor.
b. Pajak kendaraan umum dan retribusi seperti Kopaja dan Bis Kota di
bebaskan agar tariff penggunaan kendaraan umum menjadi rendah
dan terjangkau masayarakat. Hal itu bisa memicu pemilik Kopaja dan
Bis kota melakukan perbaikan pelayanan.
c. Memberikan subsidi BBM pada kendaraan umum.
d. Setiap perusahaan atau industry yang karyawannya banyak wajib
memberikan fasilitas bis kantor yang menjemput para pegawai.
BAB IV
ALTERNATIF KEBIJAKAN TERPILIH
1. Status Quo
Memberlakukan kebijakan yang sudah ada.
2. Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum harus segera
dilakukan dengan cara :
e. Transjakarta dan Commuterline dibebaskan tarif atau diminimalkan biaya
dengan menggunakan alokasi dana dari pajak kendaraan bermotor.
f. Pajak kendaraan umum dan retribusi seperti Kopaja dan Bis Kota di
bebaskan agar tariff penggunaan kendaraan umum menjadi rendah dan
terjangkau masayarakat. Hal itu bisa memicu pemilik Kopaja dan Bis kota
melakukan perbaikan pelayanan.
g. Memberikan subsidi BBM pada kendaraan umum.
h. Setiap perusahaan atau industry yang karyawannya banyak wajib
memberikan fasilitas bis kantor yang menjemput para pegawai.
3. Kebijakan yang paling urgent untuk dilakukan adalah menekan laju pertumbuhan
jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Untuk mengurangi laju pertumbuhan
kendaraan bermotor dapat dilakukan beberapa kebijakan,yaitu :
a. Mencabut kebijakan Low Cost Green Car atau mobil murah.
b. Meningkatkan pajak kendaraan bermotor.
c. Memperketat aturan tentang pembelian kendaraan bermotor.
d. Melarang atau meningkatkan pajak pembelian kendaraan bermotor secara
kredit.
e. Memperketat dan meningkatkan standart pengeluaran SIM.
4. Memindahkan Pusat Pemerintahan / memisahkan pusat pemerintahan
dengan pusat ekonomi.
Kepadatan penduduk di Daerah Khusus Ibukota Jakarta sudah pada tahap
menghawatirkan. Hal ini terjadi karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan
sekaligus pusat perekonomian. Untuk mengurangi kepadatan ada alternative
kebijakan untuk memisahkan atau memindahkan ibu kota Negara.
Skala Arti
1 Sama Penting (Equal importance)
3 Sedikit lebih penting (Moderate importance of one over another)
5 Lebih Penting
7 Sangat Penting (Strong Importance)
9 Mutlak sangat penting ( Absolutely very importance)
2,4,6,8 Nilai nilai tengah antara 2 nilai berdekatan
1/3-1/9 Nilai-nilai kebaikan (reciprocals).Bila aktifitas I bila dibandingkan dengan
akitfitas j. mendapat salah satu nilai 1 s/d 9 aktifitas j mendapat kebalikan nilai
tersebut bila dibandingkan denga i
Sumber:Saaty,T.L “Ratio scales derives from perturbations of consistent
judgment”Behaviormetrika.1990.No.28,PP 1-2
Di dalam mengevalusi alternatif kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya,
terlebih dahulu akan dibuat nilai skor masing-masing variabel (alternatif kebijakan),
adapun skor pengkategorian adalah sebagai berikut:
Skor 4 : Sangat Baik
Skor 3 : Baik
Skor 2 : Kurang Baik
Skor 1 : Buruk
Berdasarkan pemberian nilai scoring diatas, nilai terhadap masing-masing
kriteria yang relevan adalah sama yaitu: 4 nilai tertinggidan 1 nilai terendah. Adapun
untuk proses kategorisasi alternatif kebijakan digunakan interval=0,6 dan kategorinya
sebagai berikut:
1,0 s/d 1,7--------- Buruk
1,8 s/d 2,5--------- Kurang Baik
2,6 s/d 3,3--------- Baik
3,4 s/d 4,1--------- Sangat Baik
Setelah dibuat metode scoring sebagaimana diatas, maka langkah selanjutnya
yakni membuat table evaluasi table ini digunakan untuk memudahkan dalam proses
evaluasi sehingga bisa diketahui mana alternatif kebijakan yang terbaik.
Gambar Model Hirarki Proses Mengatasi Kemacetan DKI Jakarta
Tabel Evaluasi2
ALTERNATIF
Menekan laju
Perbaikan pertumbuhan Memisahkan Pusat
KRITERIA ∑
Status Quo pelayanan jumlah Pemerintahan
transportasi umum kendaraan dengan Ekonomi
bermotor
Politik 7 12 10 4 33
Biaya 10 7 13 1 31
Implementasi 5 13 9 1 28
Legalitas 6 11 10 3 30
StakeHolder 5 12 9 1 27
Waktu 6 9 12 1 28
Keamanan 6 13 12 4 35
∑ 212
ALTERNATIF
Memisahkan
Menekan laju
KRITERIA Pusat
Perbaikan pelayanan pertumbuhan
Status Quo Pemerintahan
transportasi umum jumlah kendaraan
dengan
bermotor
Ekonomi
2
Data ini merupakan penilaian akumulasi dari 4 stakeholder. Data penilaian tiap
stakeholder terlampir.
II. Penilaian Pembobotan Tiap Kriteria3
Kriteria K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 ∑ Bobot
K1 1.41 2.28 0.65 1.73 0.68 2.71 1.73 11.19 0.13
K2 2.28 1.41 0.76 2.08 0.82 1.41 2.65 11.42 0.13
3
Data ini merupakan penilaian akumulasi dari 2 Ahli Analis. Data penilaian tiap stakeholder terlampir.
Akumulasi ini menggunakan rumus Geometric Mean : √x1+x2+…x n (Rumus saaty) dimana x adalah penilaian pakar n
Penilaian Pembobotan Tiap Kriteria yang Telah Dinormalisasi
ALTERNATIF Weighted
KRITERIA Bobot
Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Alternatif 4 A1 A2 A3 A4
0.131
Politik 0.18 0.32 0.26 0.24 0.02
0.04 0.03 0.03
0.133
Biaya 0.29 0.20 0.37 0.14 0.04
0.03 0.05 0.02
0.191
Implementasi 0.15 0.38 0.26 0.21 0.03
0.07 0.05 0.04
0.127
Legalitas 0.16 0.29 0.26 0.29 0.02
0.04 0.03 0.04
0.169
StakeHolder 0.14 0.34 0.26 0.26 0.02
0.06 0.04 0.04
0.148
Waktu 0.19 0.28 0.38 0.16 0.03
0.04 0.06 0.02
0.100
Keamanan 0.14 0.30 0.27 0.30 0.01
0.03 0.03 0.03
∑ 0.18 0.31 0.29 0.22
Data ini merupakan penilaian Alternatif dengan pembobotan. Data penilaian Alternatif dengan pembobotan tiap stakeholder terlampir.
Dengan demikian berdasarkan hasil penilaian yang menggunakan metode AHP, maka alternatif kebijakan terpilih adalah alternatif II yang menunjukkan
angka paling besar dan merupakan alternatif terpilih yang akan digunakan yakni perbaikan pelayanan transportasi umum.
BAB V
Rencana Implementasi
1. Implementasi
2. Peran dan pengamodasian stake holders
3. Waktu
4. Biaya
5. Politik
6. Legalitas
7. Keamanan
ALTERNATIF
Politik 3 3 2 2 10
Biaya 2 2 4 2 10
Implementasi 2 3 3 3 11
Legalitas 2 3 3 3 11
StakeHolder 2 3 2 3 10
Waktu 3 2 4 1 10
Keamanan 2 4 3 4 13
Penilaian oleh
Stake holder 1
KRITERIA ALTERNATIF ∑
Menekan laju Memisahkan
Perbaikan
pertumbuha Pusat
Status pelayanan
n jumlah Pemerintaha
Quo transportasi
kendaraan n dengan
umum
bermotor Ekonomi
Politik 2 2 1 1 6
Biaya 2 1 3 1 7
Implementas
1 4 2 1 8
i
Legalitas 2 2 2 2 8
StakeHolder 1 2 2 2 7
Waktu 1 1 1 1 4
Keamanan 1 4 2 4 11
Penilaian dari
stake holder
2
KRITERIA ALTERNATIF ∑
Menekan laju Memisahkan
Perbaikan
pertumbuhan Pusat
pelayanan
Status Quo jumlah Pemerintahan
transportasi
kendaraan dengan
umum
bermotor Ekonomi
Politik 1 4 3 2 10
Biaya 2 2 2 1 7
Implementasi 1 3 2 2 8
Legalitas 1 3 3 3 10
StakeHolder 1 4 3 3 11
Waktu 1 3 3 2 9
Keamanan 1 3 3 1 8
Penilaian dari stake
holder 3
ALTERNATIF
Perbaikan
Menekan laju Memisahkan
pelayanan
pertumbuha Pusat
KRITERIA Status transportasi ∑
n jumlah Pemerintaha
Quo umum harus
kendaraan n dengan
segera
bermotor Ekonomi
dilakukan
Politik 1 3 4 4 12
Biaya 4 2 4 1 11
Implementas
1 3 2 1 7
i
Legalitas 1 3 2 3 9
StakeHolder 1 3 2 1 7
Waktu 1 3 4 1 9
Keamanan 2 2 4 4 12
Penilaian
stake holder
4
ntar kriteria
K2 K3 K4 K5 K6 K7 ∑
0 5.00 0.25 1.00 0.33 7.00 2.00 16.5
20 1.00 0.25 0.33 0.50 1.00 5.00 8.28
00 4.00 1.00 1.00 4.00 3.00 1.00 18.0
00 3.00 1.00 1.00 2.00 5.00 2.00 15.0
00 2.00 0.25 0.50 1.00 4.00 1.00 11.7
14 1.00 0.33 5.00 0.25 1.00 1.00 8.73
50 0.20 1.00 0.50 1.00 1.00 1.00 5.20
83.5
Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Diponegoro
Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Kotak Pos 1296 Website:
http://www.fisip.undip.ac.id email: fisip@undip.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengkaji tentang implementasi kebijakan Rencana Tata Ruang
Wilayah di Kabupaten Semarang. Kebijakan Pembangunan di Kabupaten Semarang dilakukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini menganilisis dampak yang
terjadi dari implementasi kebijakan pembangunan, mengetahui dampak yang ditimbulkan dari
pembangunan dan persepsi masyarakat sekitar yang merasakan dampak dari kebijakan
pembangunan tersebut. Peneliti memilih Desa Banyukuning, Kecamatan Bandungan, Kabupaten
Semarang sebagai studi kasus penelitian. Dimana akan diukur dampak yang terjadi dari
implementasi kebijakan terhadap konversi lahan yang berpengaruh terhadap tingkat
kesejahteraan petani serta mengetahui persepsi masyarakat tentang implementasi kebijakan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang.
Metode yang digunakan dalam peneitian ini adalah metode penelitian kombinasi dengan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan metode deskriptif. Dalam memperoleh data,
peneliti menggunakan alat penelitian wawancara dengan informan penelitian adalah Badan
Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten Semarang, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Semarang dan Pihak lain yang terlibat dalam implementasi kebijakan serta menyebar kuisioner
kepasa masyarakat dan dianalisis menggunakan skala likert serta menguji pengaruh dengan
analisis Chi-Square. Peneliti juga menggunakan data sekunder yang berasal dari Peraturan
Daerah terkait serta sumber kepustakaan lain seperti buku dan jurnal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan masih kurang baik dari segi
pengawasan. Hal tersebut dibuktikan dengan tingginya angka konversi lahan pertanian yang
terjadi karna pengawasan yang kurang intensif. Selain itu dari hasil penelitian dari masyarakat
bahwa konversi lahan yang dilakukan oleh pemilik lahan dilakukan dengan tujuan untuk dapat
meningkatkan taraf hidup serta kebutuhan akan lahan rumah bagi masyarakat dari adanya
pertumbuhan penduduk. Dari hal tersebut memperlihatkan angka kesejahteraan petani yang
menurun melalui penghitungan Nilai Tukar Petani. Oleh karna itu, pemerintah harus lebih
memperketat pengawasan guna tercapainya implementasi yang sesuai dengan tujuan
kebijakan.
Kata Kunci : Implementasi Kebijakan,
Persepsi Masyarakat, Konversi
Lahan, Kesejahteraan Petani
ANALYSIS OF THE IMPACT AND PUBLIC PERCEPTION ON LAND
A. PENDAHULUAN
Kebijakan penataan ruang dan wilayah adalah salah satu kebijakan yang disusun
guna dapat mengelola daerah dengan memanfaatkan potensi daerah yang tersedia
guna meningkatkan kondisi daerah baik dari segi infrastruktur, ekonomi maupun social.
Penataan ruang dimaksudkan agar pembangunan yang dilakukan dapat berkelanjutan
sehingga dapat mempertahankan kondisi lingkungan dengan baik namun dapat
dimanfaatkan untuk meingkatkan kesejahteraan daerah. Dalam pencapaian sebuah
kebijakan dibutuhkan suatu proses implementasi yang baik sehingga kebijakan yang
ditetapkan dapat berjalan sesuai dengan tujuannya.
Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis,
dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi
implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui
bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Edward
mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan
implementasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur
birokrasi.
Kabupaten Semarang adalah salah satu daerah yang memiliki permasalahan cukup
besar dalam implementasi kebijakan penataan ruang dan wilayah. Sebagai salah satu
daerah yang memiliki luas wilayah pertanian cukup besar menjadi tantangan bagi
pemerintah Kabupaten Semarang dalam mempertahankan lahan pertanian yang ada
guna mendukung keberlanjutan kondisi lingkungan yang seimbang. Tantangan yang
dihadapi oleh pemerintah Kabupaten Semarang sendiri yang ditujukan sebagai daerah
penyangga Kota Semarang yang menjadi Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah adalah tuntutan
pembangunan yang dapat menyangga Kota Semarang dalam berbagai sektor khususnya
infrasturktur.
Selain tantangan tersebut, masalah lain yang dihadapi oleh pemerintah
kabupaten Semarang adalah pertumbuhan penduduk yang cukup pesat di Kabupaten
Semarang yang memicu kebutuhan lahan perumahan bagi masyarakat. Selain lahan bagi
perumahan, tantangan lain adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya
petani yang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakat Kabupaten Semarang.
Secara khusus yakni Kecamatan Bandungan yang memiliki lokasi yang ditunjuk dalam
Perda Nomor 6 Tahun 2011 Kabupaten Semarang Tentang Rencana
Tata Ruang dan Wilayah sebagai daerah penyangga (Resapan Air) Kawasan yang ada
dibawahnya.
Kebutuhan lahan bagi perumahan serta tuntuan ekonomi yang semakin meningkat
mendorong para petani pemilik lahan pertanian untuk mengkonversi lahannya menjadi
lahan non-pertanian. Dalam kurun waktu mulai tahun 2011-2014 terjadi konversi lahan
pertanian sebanyak 28,27 Ha yang dikonversi menjadi rumah dan bangunan lainnya. Hal
tersebut menjadi tantangan berat bagi pemerintah Kabupaten Semarang dalam proses
implementasi kebijakan penataan ruang dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Semarang Tahun 2011-2031.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kombinasi antara metode kualitatif serta
kuantif. Metode kualitatif digunakan untuk menganalisis proses implementasi dari pihak
pemerintah yang menjadi policy implementor. Sedangkan metode kuantitaif digunakan
untuk melihat bagaimana persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan ruang dan
wilayah Kabupaten Semarang khususnya masyarakat Desa Banyukuning, Bandungan.
Penelitan disini berfokus pada bagaimana proses implementasi serta dampak yang terjadi
dari adanya kebijakan penataan ruang serta melihat bagaimana persepsi masyarakat
sebagai target kebijakan dalam menilai proses implementasi kebijakan.
Data pada penelitian ini diperoleh dari sumber data primer dan data sekunder,
dengan teknik pengumpulan data yang digunakan melalui observasi, wawancara, kuisioner
dan studi pustaka/dokumen. Dalam langkah wawancara peneliti melakukan wawancara
mendalam dengan pihak terkait yakni pemerintah Kabupaten Semarang dalam proses
implementasi kebijakan serta memberikan kuisioner kepada masyarakat sebagai target
kebijakan tersebut. Peneliti juga mencari informasi pelengkap terkait pengunaan lahan
yang ada di Kecamatan Bandungan melalui internet maupun studi pustaka mengunakan
dokumen/arsip pemerintah yang terkait dengan kebijakan penataan ruang.
Teknik analisis data peniliti menggunakan metode deskriptif untuk menganilis
temuan yang didapatkan peneliti dilapangan. Selain itu juga penliti melakukan pengujian
chi-square guna melihat adanya pengaruh antara persepsi masyarakat terhadap konversi
lahan pertanian yang terjadi di Kematan Bandungan Khususnya Desa Banyukuning.
PEMBAHASAN
Implementasi Kebijakan Tata Ruang dan Wilayah
Menurut Edward implementasi kebijakan adalah suatu proses yang dinamis, dimana
terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi. Faktor
tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut
terhadap implementasi. Diantara faktor yang mempengaruhi sebuah proses implementasi
antara lain komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Maka penulis
menggunakan teori Edward III guna melihat proses implementasi kebijakan penataan ruang
dan wilayah yang berdasarkan Perda Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Semarang 2011-2031.
1. Komunikasi
Dalam pelaksanaan kebijakan penataan ruang dan wilayah Kabupaten Semarang,
instansi yang berkaitan adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas PU
serta SKPD terkait lainnya yang ada di wilayah Kabupaten Semarang. Dalam
pelaksanaan kebijakan tata ruang, maka unsur utama yang harus dilakukan adalah
mensosialisasikan kebijakan tersebut serta mensosialisasikan dalam hal peruntukan
lahan.
Dalam hal sosialisasi kebijakan, dinas yang memiliki tugas untuk melaksanakan
adalah Dinas Pekerjaan Umum. Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas PU adalah
dengan terjun langsung ke tingkat kecamatan, penyediaan website yang berisi
informasi mengenai rencana tata ruang serta penyedian alat peraga guna menjadi
sumber informasi alternative bagi masyarakat. Dalam hal sosialisasi yang dilakukan
sudah cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian terhadap tingkat
pengetahuan masyarakat mengenai adanya sosialisasi kebijakan penataan ruang dan
wilayah yakni sebanyak 82% responden menyatakan setuju dengan adanya sosialisasi
kebijakan tersebut.
2. Sumber Daya
Dalam hal sumber daya, khususnya yang berkaitan sengan anggaran pembangunan
masih kurang memadai untuk mendukung proses pembangunan yang ditetapkan
dalam kebijakan penataan ruang dan wilayah Kabupaten Semarang. Dari
permasalahan tersebut menjadi kendala bagi pemerintah Kabupaten Semarang
untuk dapat melakukan pembangunan secara maksimal. Defisit anggaran yang
selalu terjadi masih menjadi permasalahan cukup sulit bagi pemerintah. Hal
tersebut juga dinyatakan oleh salah satu pemerintah Desa yang menjadi obyek
penelitian yakni Desa Banyukuning, bahwa anggaran yang didapat dari pemerintah
daerah masih kurang mencukupi untuk melakukan pembangunan di tingkat desa itu
sendiri.
Selain permasalah sumber daya terkait anggaran, permasalahan yang dihadapi oleh
Pemda adalah minimnya sumber daya manusia yang memadai. Hal tersebut memicu
pemetaan pemanfaatan lahan yang kurang maksimal sehingga hambatan dalam
pendapatan APBD terhambat karna permasalahan sulitnya investasi yang masuk.
Investor kesulitan mendapatkan lahan yang sesuai dengan harapan investor.
Sehingga pembangunan yang terjadi masih besifat sntralistik dan tidak merata.
3. Disposisi
Unsur disposisi ini berkaitan dengan komitmen dari pelaksana kebijakan.
berdasarkan pernyataan yang disampaikan dari para pelaksana kebijakan penataan
ruang dan wilayah memang telah menyatakan komitmennya dengan baik.
Namun jika melihat realitas yang ada memang pada dasarnya, komitmen yang
disampaikan belum sesuai dengan keadaan di lapangan. Pengawasan yang masih
cenderung kurangterhadap setiap penggunaan lahan serta peruntukan lahan yang
tidak sesuai dengan peruntukannya menjadi salah satu bentuk penataan ruang
belum berjalan dengan maksimal. Tingginya angka konversi lahan yang terjadi di
Kecamatan Bandungan sebanyak 28,06 Ha lahan pertanian telah dikonversikan
menjadi lahan non-pertanian.
Berdasarkan data yang didapat oleh peneliti, sebanyak 22,82 Ha lahan pertanian di
Desa Banyukuning dialih fungsikan peruntukannya untuk lahan non-pertanian
seperti rumah dan bangunan seluan 22,76 Ha. Angka tersebut cukup tinggi melihat
perbandingan jumlah konversi lahan yang ada di Kecamatan Bandungan. Lemahnya
pengawasan dalam hal perijinan menjadi kendala yang mempengaruhi terhadap
tingkat konversi lahan pertanian.
4. Struktur Birokrasi
Dalam hal struktur birokrasi tentu berkaitan dengan koordinasi. Untuk pelaksanaan
kebijakan penataan ruang dan wilayah, Pemkab Semarang telah melakukan proses
koordinasi dalam menyusun perencanaan penataan ruang dan wilayah. Perencanaan
yang bersifat partisipatif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat serta SKPD
lainnya melalui musrenbang dan musrenbangdes.
Namun disisi lain minimnya sumber daya yang memadai memicu pengawasan serta
proses pelaksanaan masih jauh dari kata maksimal. Lemahnya pengawan terkait
permasalahan perijinan berkaitan dengan sumber daya manusia yang masih kurang
memadai dalam mendukung pengawasan proses implementasi
A.2 Persepsi Masyarakat
Menurut Bimo Walgito, persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian,
penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga
menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang intergrated dalam diri
individu. Persepsi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yakni kognisi (Internal) untuk
mengukur tingkat pemahaman masyarakat terhadap kebijakan, afeksi (Eksternal) untuk
megukur sikap atau kepentingan yang ada dimasyarakat dalam merespon permasalahan
kebijakan penataan ruang, serta evaluasi (Eksternal) untuk melihat dampak yang
dirasakan oleh masyarakat dari adanya implementasi kebijakan penataan ruang.
1. Faktor Internal
a. Pengetahuan Masyarakat Terhadap Kebijakan
Dalam tahap kognisi yang mengukur tingkat pengetahuan masyarakat terhadap
kebijakan terkait penataan ruang dan wilayah peneliti melihat bahwa masyarakat
menyatakan sudah mengetahui tentang adanya kebijakan penataan
ruang dan wilayah berdasarkan Perda Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011.
Namun yang menjadi masalah ialah hampir sebagian masyarakat menyatakan tidak
mengetahui tentang Perda Provinsi Jawa Tentang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung Provinsi Jawa Tengah. Hal tersebut terbukti dari hasil
penelitian terhadap tingkat pengetahuan masyarakat tentang Perda Pengelolaan
Kawasan Lindung sebanyak 62,5% responden menyatakan tidak mengetahui terkait
Perda tentang pengelolaan kawasan lindung.
Permasalahan mengenai kurangnya pengetahuan masyarakat terkait Perda
Pengelolaan kawasan lindung menjadi faktor yang mempengaruhi tingginya laju
konversi lahan di Desa Banyukuning. Hal tersebut dibuktikan dari hal uji chi- square
antara tingkat pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan kawasan lindung
dengan laju konversi lahan yakni dengan hasil sebesar 0,000. Maka dapat
disimpulkan adanya pengaruh antara tingkat pengetahuan masyarakat terhadap laju
konversi lahan.
b. Faktor Ekonomi Masyarakat
Berdasarkan hasil penelitian tentang persepsi masyarakat terkait faktor yang
mempengaruhi keputusan masyarakat pemilik lahan untuk mengkonversikan
lahannya adalah karena kondisi ekonomi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
responden menyatakan setuju dengan kondisi ekonomi yang mendorong konversi
lahan dengan persentase sebesar 78% responden menyatakan setuju. Hal tersebut
juga tebukti dari hasil uji chi-square untuk melihat pengaruh antara kondisi ekonomi
masyarakat dengan konversi lahan yakni dengan angka 0,000 yang lebih kecil dari (α
= 0,005).
2. Faktor Eksternal
a. Kebijakan Pemerintah
Berdasarkan hasil penelitian tentang persepsi masyarakat mengenai kebijakan
penataan ruang dan wilayah, skor yang didapat yakni sebesar 151 dengan persentase
75,5% responden menyatakan lemahnya pengawasan menjadi faktor pendorong
terkait masalah konversi lahan yang ada di Desa Banyukuning. Dengan persentase
72,5 % masyarakat menyatakan bahwa terjadinya alih fungsi lahan yang tidak sesuai
dianggap karna pengawasan dari pemerintah yang lemah dimana masyarakat masih
sering melakukan perubahan fungsi lahan secara sepihak tanpa takut untuk
terdeteksi oleh pemerintah.
b. Pembangunan Desa
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai pengaruh
pembangunan desa terhadap konversi lahan di Desa Banyukuning diperoleh hasil 157
dengan persentase 78,5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebutuhan lahan untuk
pembangunan Desa Banyukuning sangat berpengaruh akan konversi lahan pertanian
untuk membangun sarana dan pra sarana desa guna memenuhi kebutuhan maysrakat
sekitar. Hampir seluruh responden menyatakan bahwa terjadinya alih fungsi lahan
yang terjadi adalah untuk melakukan pembangunan desa di sektor non-pertanian
seperti sarana dan prasarana desa. Dari persentase responden sebesar 82,5%
menyetujui bahwa alih fungsi lahan yang terjadi dilakukan guna mendukung proses
pembangunan sarana dan prasarana desa Banyukuning.
3. Dampak Konversi Lahan
Selanjutnya peneliti melakukan uji chi square untuk melihat apakah ada hubungan
antara pekerjaan responden dengan dampak yang dialami responden terkait pendapatan
yang menurun. Dari hasil uji chi square di dapatkan hasil 0,001 yang artinya lebih kecil
dari (α= 0,005) maka dapat disimpulkan bahwa ada kaitan antara pekerjaan responden
yang mengalami alih fungsi lahan dengan menurunnya pendapatan mereka. Dari hasil
descriptive didapat bahwa 10 buruh tani dan 8 petani yang menyatakan setuju dengan
menurunnya pendapatan petani yang dipengaruhi dari konversi lahan yang terjadi di Desa
Banyukuning.
B. Penutup
Dari hasil penelitian terkait implementasi Perda RTRW terdapat beberapa masalah
utama yang menghambat proses implementasi antara lain Sumber Daya Manusia yang
kurang memadai untuk melakukan pemetaan pemanfaatan lahan. Dari minimnya SDM
yang memadai mengakibatkan pemetaan pemanfaatan ruang dan wilayah kurang
efektif sehingga banyak lahan produktif yang dapat dimanfaatkan untuk sektor non-
pertanian sehingga lahan yang tersedia tidak dapat bernilai guna baik dalam
mendukung pendapatan daerah yang mendukung untuk melakukan pembangunan di
sektor lainnya. Masalah tersebut terjadi karna kebanyakan investor yang ingin
menginvestasikan modal di Daerah tertentu terhambat karna lahan yang tersedia
tidak sesuai dengan yang diharapkan dari investor tersebut sehingga pemasukan bagi
pemerintah guna mendanai urusan pembangunan terhambat masalah keterbatasan
anggaran.
Winarno, Budi. 2008. Teori dan Proses Kebijakan Publik. MedPress. Yogyakarta
Bandung:
Alfabeta
Creswell. John. W. 2010. Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. Jakarta: Pustaka Belajar.
DATA SEKUNDER
BPS Provinsi Jawa Tengah
2015
STUDI KASUS
Studi Kasus berasal dari terjemahan dalam bahasa Inggris “A Case Study” atau
“Case Studies”. Kata “Kasus” diambil dari kata “Case” yang menurut Kamus Oxford
Advanced Learner’s Dictionary of Current English (1989; 173), diartikan sebagai 1).
“instance or example of the occurance of sth., 2). “actual state of affairs; situation”,
dan 3). “circumstances or special conditions relating to a person or thing”. Secara
berurutan artinya ialah 1). contoh kejadian sesuatu, 2). kondisi aktual dari keadaan
atau situasi, dan 3). lingkungan atau kondisi tertentu tentang orang atau sesuatu.
Studi kasus (case study) berciri kualitatif namun sebagian lagi tidak. Misalnya studi
kasus penyakit pada kedokteran, rekam medis lebih bercorak kuantitatif daripada
kualitatif. Sebagai pendekatan, kunci penelitian studi kasus memungkinkan untuk
menyelidiki suatu peristiwa, situasi, atau kondisi sosial tertentu dan untuk memberikan
wawasan dalam proses yang menjelaskan bagaimana peristiwa atau situasi tertentu terjadi
(Hodgetts & Stolte, 2012). Lebih lanjut Hodgetts & Stolte (2003) menjelaskan bahwa studi
kasus individu, kelompok, komunitas membantu untuk menunjukkan hal- hal penting yang
menjadi perhatian, proses sosial masyarakat dalam peristiwa yang konkret, pengalaman
pemangku kepentingan. Kasus dapat mengilustrasikan bagaimana masalah dapat diatasi
melalui penelitian.
Secara lebih teknis, meminjam Louis Smith, Stake menjelaskan kasus (case) yang
dimaksudkan sebagai a“bounded system”, sebuah sistem yang tidak berdiri sendiri. Sebab,
hakikatnya karena sulit memahami sebuah kasus tanpa memperhatikan kasus yang lain.
Ada bagian-bagian lain yang bekerja untuk sistem tersebut secara integratif dan terpola.
Karena tidak berdiri sendiri, maka sebuah kasus hanya bisa dipahami ketika peneliti juga
memahami kasus lain. Jika ada beberapa kasus di suatu lembaga atau organisasi, peneliti
Studi Kasus sebaiknya memilih satu kasus terpilih saja atas dasar prioritas. Tetapi jika ada
lebih dari satu kasus yang sama-sama menariknya sehingga penelitiannya menjadi Studi
Multi-Kasus, maka peneliti harus menguasai kesemuanya dengan baik untuk selanjutnya
membandingkannya satu dengan yang lain.
Menurut Endraswara (2012: 78), yang terakhir ini bisa disebut sebagai Studi Kasus
Kolektif (Collective Case Study). Walau kasus yang diteliti lebih dari satu (multi- kasus),
prosedurnya sama dengan studi kasus tunggal. Sebab, baik Studi Multi-Kasus
maupun Multi-Situs merupakan pengembangan dari metode Studi Kasus. Terkait dengan
pertanyaan yang lazim diajukan dalam metode Studi Kasus, karena hendak memahami
fenomena secara mendalam, bahkan mengeksplorasi dan mengelaborasinya, menurut Yin
(1994: 21) tidak cukup jika pertanyaan Studi Kasus hanya menanyakan “apa”, (what),
tetapi juga “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why). Pertanyaan “apa” dimaksudkan
untuk memperoleh pengetahuan deskriptif (descriptive knowledge), “bagaimana” (how)
untuk memperoleh pengetahuan eksplanatif (explanative knowledge), dan “mengapa”
(why) untuk memperoleh pengetahuan eksploratif (explorative knowledge). Yin
menekankan penggunaan pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”, karena kedua
pertanyaan tersebut dipandang sangat tepat untuk memperoleh pengetahuan yang
mendalam tentang gejala yang dikaji. Selain itu, bentuk pertanyaan akan menentukan
strategi yang digunakan untuk memperoleh data.
Penting untuk dipahami bahwa mendefinisikan studi kasus, tidak ada definisi tunggal
termasuk dalam ilmu sosial terdapat definisi yang luas dan terbagi dalam empat kategori
(Hentz, 2017). Teaching case tidak perlu menggambarkan individu, peristiwa atau proses
tertentu secara akurat, karena tujuan utamanya untuk meningkatkan pembelajaran.
Teaching case dapat berupa ilustrasi dan meskipun berasal dari pengamatan studi kasus
tidak selalu sesuai dengan metodologi penelitian tertentu.
Kriteria untuk mengembangkan kasus berasal dari single case, dan jauh berbeda dari
studi kasus untuk tujuan penelitian. Misalnya studi kasus gangguan psikologi klinis yang
didasarkan pada penelitian tertentu. Studi kasus ini dikembangkan menggunakan
kombinasi kriteria diagnostik dan observasi klinis. Case history digunakan untuk
peyimpanan catatan, tujuan utamanya bukan penelitian namun kasus-kasus ini bisa jadi
berguna sebagai data dalam penelitian. Case work digunakan untuk menggambarkan
manajemen perawatan kesehatan untuk pasien atau populasi. Case research/case study
research dimaksudkan dengan tujuan menyelidiki kegiatan atau proses kompleks yang
tidak mudah dipisahkan dari konteks sosial di mana hal itu terjadi. Kategori ini
mempertahankan penggunaan metodologi dalam penelitiannya untuk menyajikan temuan
yang akurat dan dapat diandalkan untuk mewakili data.
Merriam & Tisdell (2015) mendefinisikan studi kasus sebagai diskripsi dan analisis
mendalam dari bounded system.
Apakah Sudi Kasus Itu
a. Mengembangkan sebuah analisis mendalam dari sebuah kasus yang tunggal
atau ganda.
b. Studi / kajian mendalam terhadap kasus atau kasuskasus.
c. Biasa digunakan dalam ilmu politik, sosiologi, evaluasi, studi masyarakat urban,
dan ilmu sosial lainnya.
Kasus ialah suatu serangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara intensif, terinci
dan mendalam tentang suatu program, peristiwa, dan aktivitas, baik pada tingkat
perorangan, sekelompok orang, lembaga, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan
mendalam tentang peristiwa tersebut. Biasanya, peristiwa yang dipilih yang selanjutnya
disebut kasus adalah hal yang aktual (real-life events), yang sedang berlangsung, bukan
sesuatu yang sudah lewat.
Kasus (case) sendiri itu apa? Yang dimaksud kasus ialah kejadian atau peristiwa, bisa
sangat sederhana bisa pula kompleks. Karenanya, peneliti memilih salah satu saja yang
benar-benar spesifik. Peristiwanya itu sendiri tergolong “unik”. “Unik” artinya hanya
terjadi di situs atau lokus tertentu. Untuk menentukan “keunikan” sebuah kasus atau
peristiwa, Stake membuat rambu-rambu untuk menjadi pertimbangan peneliti yang
meliputi:
a) hakikat atau sifat kasus itu sendiri,
b) latar belakang terjadinya kasus,
c) seting fisik kasus tersebut,
d) konteks yang mengitarinya, meliputi faktor ekonomi, politik, hukum dan seni,
e) kasus-kasus lain yang dapat menjelaskan kasus tersebut,
f) informan yang menguasai kasus yang diteliti.
Herdiansyah (2015) menjelaskan penelitian studi kasus merupakan rancangan
penelitian yang bersifat komprehensif, intens, memerinci, dan mendalam, serta lebih
diarahkan sebagai upaya untuk menelaah masalah – masalah atau fenomena yang bersifat
kontemporer (berbatas waktu). Pertimbangan dalam mengabungkan kedua rancangan
penelitian tersebut mengacu pada pendapat Hanurawan (2016) yang menyatakan
penelitian studi kasus dapat digabung dengan model – model atau rancangan penelitian
yang lain, seperti etnografi dan fenomenologi. Pengabungan rancangan studi kasus dengan
rancangan fenomenologi dikarenakan penelitian ini memiliki hubungan dengan esensi
pengalaman seseorang terkait suatu fenomena.
Pada umumnya, studi kasus akan menjawab 1 atau lebih pertanyaan penelitian yang
diawali denga kata “how” or “why.” . Pertanyaan penelitian akan fokus pada sejumlah
kejadian yang sedang diteliti dan mencari hubungannya. Penelitian studi kasus (case
study) adalah salah satu bentuk penelitian kualitatif yang berbasis pada pemahaman dan
perilaku manusia berdasarkan pada opini manusia (Polit & Beck, 2004). Subjek dalam
penelitian dapat berupa individu, group, instansiatau pun masyarakat. Dalam proses
penelitian, terdapat beberapa langkah yang dibuat, yaitu, menentukan masalah , memilih
disain dan instrumen yang sesuai, mengumpulkan data, menganalisis data yang diperoleh
dan menyiapkan laporan hasil penelitian. Hasil akhir dari penelitian
adalah suatu gambaran yang luas dan dalam aka suatu fenomena tertentu. Upaya yang
dapat dilakukan oleh untuk mengembangkan kemampuan peneliti dalam membuat suatu
disain studi kasus dapat dimulai dengan membuat disain penelitian pemula. Masalah
penelitian yang diambil dapat berupa fenomena sederhana yang sering ditemui di
lingkungan sekitar. Dengan sering melatih kemampuan diri membuat suatu penelitian,
kemampuan peneliti diharapkan akan meningkat (NN&HH).
a. Studi kasus intrinsik (intrinsic case study), apabila kasus yang dipelajari secara
mendalam mengandung hal-hal yang menarik untuk dipelajari berasal dari
kasus itu sendiri, atau dapat dikatakan mengandung minat intrinsik (intrinsic
interest).
b. Studi kasus intrumental (intrumental case study), apabila kasus yang dipelajari
secara mendalam karena hasilnya akan dipergunakan untuk memperbaiki atau
menyempurnakan teori yang telah ada atau untuk menyusun teori baru. Hal ini
dapat dikatakan studi kasus instrumental, minat untuk mempelajarinya berada
di luar kasusnya atau minat eksternal (external interest).
c. Studi kasus kolektif (collective case study), apabila kasus yang dipelajari secara
mendalam merupakan beberapa (kelompok) kasus, walaupun masing-masing
kasus individual dalam kelompok itu dipelajari, dengan maksud untuk
mendapatkan karakteristik umum, karena setiap kasus mempunyai ciri
tersendiri yang bervariasi.
Selain hal tersebut studi kasus dalam studi kasus fokusnya terarah pada hal yang
khusus atau unik. Kenunikan pada kasus berkaitan dengan :
a) Hakikat (the nature) kasus
b) Latar belakang sejarah kasus
c) Latar (setting) fisik
d) Konteks dengan bidang lain; ekonomi, politik, hukum, dan estetika
e) Mempelajari kasus-kasus lain yang berkaitan dengan kasus yang dipelajari
f) Informan-informan yang dipilih adalah orang-orang yang mengetahui kasus ini
Gunawan, Imam. 2015. Studi Kasus (Case Study). Universitas Negeri Malang.
Iskandar , Budi Dan Agus Umar Hamdani. 2014. Desain Dan Pengujian Sistem
Informasi Jasa Pengiriman Barang Studi Kasus : Pt. Xyz. Jurnal Stmik Amikom
Yogyakarta.
Jasman Dan Rini Agustin, jan, Strategi Pemasaran Dalam Perspektif Ekonomi Islam
(Studi Kasus Pedagang Di Pasar Tradisional), Jurnal, KHOZANA, Vol. 1, No. 1, E-ISSN:
2614-8625.
Prihatsanti, Unika Dkk. 2018. Menggunakan Studi Kasus Sebagai Metode Ilmiah
Dalam Psikologi. Jurnal, Vol. 26, No. 2, 126 – 136.
Rachmawati, Tutik Dkk. 2015. Nilai Demokrasi Dalam Pelayanan Publik : Studi
Kasus Kantor Imigrasi Bandung. Jurnal Kebijakan Dan Administrasi Publik; Vol.19
No.2.
Rahardjo, Mudjia. 2017. Studi Kasus Dalam Penelitian Kualitatif: Konsep Dan
Prosedurnya. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Dalam Menghadapi Perdagangan Bebas Kawasan Asean (Studi Kasus Kampung Batik
Laweyan). Jurnal Etikonomi Volume 14 (2), Oktober.
Oleh :
(Soni Hazam Ardiansyah1, Drs. Edi Santosa,S.U2, Dra. Wiwik Widayanti3)
Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Diponegoro
Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Kotak Pos 1269
Website: http://www.fisip.undip.ac.id/ Email: fisip@undip.ac.id
ABSTRAK
Secara topografis, kota Tegal terletak di daerah dataran rendah di wilayah
pesisir pantai utara Laut Jawa. Kondisi topografi ini yang menyebabkan wilayah kota
Tegal memiliki potensi kerentanan bencana yang disebabkan oleh air laut cukup tinggi.
Kota ini setiap tahun dihadapkan pada persoalan banjir rob. Menurut UU nomor 32
tahun 2009 Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan tingkat
kabupaten/kota. Pemerintah kota tegal mempunyai tugas untuk menetapkan kebijakan
yang tepat dalam rangka upaya penanggulangan rob. Paradigma pembangunan yang
secara perlahan-lahan telah bergeser pada upaya meningkatkan peranserta masyarakat
dalam berbagai tahapan kegiatan pembangunan. Prinsip dari pelaksanaan program
tersebut adalah menempatkan masyarakat selain sebagai obyek pembangunan adalah
juga sebagai subyek atau pelaku pembangunan yang diharapkan dapat
melanjutkan/mengembangkan program pembangunan tersebut serta dapat mengatasi
masalahnya sendiri terutama dalam peningkatan kualitas lingkungan permukimannya.
Dari hal tersebut perlu diketahui bagaimana partisipasi masyarakat kota tegal dalam
penanggulangan rob.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode gabungan kualitatif dan
kuantitatif (mixed methods design). Mixed methods design adalah suatu prosedur
mengumpulkan data, menganalisis dan ”mixing” kedua metode kualitatif dan kuantitatif
dalam suatu penelitian tunggal untuk memahami masalah penelitian. Dalam penelitian
ini akan menggunakan model pengambilan sampel secara bertujuan (purposive
sampling). Pengertian purposive sampling adalah sampel yang dipilih cermat yang
dianggap layak atau representatatif dalam memberikan informasi mengenai
permasalahan penelitian.
Strategi implementasi yang digunakan Pemerintah Kota Tegal dalam
penanggulangan rob adalah dengan melibatkan segenap instansi dan elemen terkait
masalah rob, yaitu dengan melibatkan SKPD, perangkat daerah, lembaga swadaya
masyarakat, tokok masyarakat dan masyarakat yang terkena dampak rob. Keterlibatan
segenap unsur dan elemen masyarakat Kota Tegal tersebut meliputi; tahap
perencanaan, pengorganisasian, implementasi dan evaluasi. Sebelum dilakukan
1
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FIFIP Universitas Diponegoro Angkatan 2009
2
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FIFIP Universitas Diponegoro
3
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FIFIP Universitas Diponegoro
penetapan kebijakan penanggulangan rob, kepada masyarakat, khususnya masyarakat
yang dijadikan sasaran program disosialisasikan terlebih dahulu mengenai rencana
tahapan-tahapan yang akan dilakukan Pemerintah Kota Tegal terhadap kawasan terkena
dampak rob, dengan harapan di samping masyarakat menjadi memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang komprehensif, juga dapat berpartisipasi secara aktif dalam tahap
implmentasi nantinya.
Secara umum tingkat partisipasi responden dalam proses penanggulangan rob
selama ini tergolong menengah ke atas. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses
perencanaan, penetapan dan implementasi kebijakan Rob oleh pemerintah Kota Tegal.
Hal ini juga disebabkan adanya usaha pelibatan masyarakat yang dilakukan oleh
pemerintah Kota Tegal.
ABSTRACT
Topographically, Tegal city located in low-lying areas in the northern coastal
areas of Java Sea. This topographic conditions that led to the city of Tegal has the
potential vulnerability of disaster caused by sea water is quite high. The city is faced
with the question every year tidal flood. According to Law No. 32 of 2009 in the
protection and management of environmental, district / city government duty and
authority to determine level of district / city. Tegals city government has a duty to
establish appropriate policies in order to rob the response. Development paradigm has
gradually shifted its efforts on increasing public participation in various phases of
development activities. Principles of the implementation of the program is to put the
public other than as objects of development is also a subject or perpetrator of
development that is expected to continue / expand the development program and can
solve their own problems, especially in improving the quality of settlement
environment. Of it is to know how public participation in the prevention rob tegal city.
In this study the researchers used a combination of qualitative and quantitative
methods (mixed methods design). Mixed methods design is a procedure to collect data,
analyze and "mixing" both qualitative and quantitative methods in a single research
study to understand the problem. This research will use models aim sampling (purposive
sampling). Understanding of purposive sampling is carefully selected samples were
deemed worthy or representatatif in providing information on research problems.
Implementation strategies used by the Government in response to rob Tegal is by
involving all relevant agencies and elements rob problem, namely by engaging on
education, the local, non-governmental organizations, communities and society tokok
affected rob. The involvement of all elements and elements that comprise the city of
Tegal; stages of planning, organizing, implementation and evaluation. Prior to the
establishment of management policies rob, to the community, especially people who
were targeted socialized programs in advance of planned steps to be performed Tegal
City Government to the areas affected by flooding, in addition to the community in
hopes to have a comprehensive knowledge and understanding, as well can actively
participate in the later stages implmentasi.
In general, the respondents' participation in the management process is
classified as long rob upper middle. Community actively participate in the planning,
establishment and implementation of government policies by Rob Tegal. It is also due to
the efforts of community engagement undertaken by the City of Tegal.
A. PENDAHULUAN
Salah satu tekanan yang akhir-akhir ini mengancam keberlangsungan wilayah
pesisir di seluruh belahan dunia adalah adanya kenaikan muka air laut. Secara umum,
kenaikan muka air laut merupakan dampak dari pemanasan global (global warming) yang
melanda seluruh belahan bumi ini. Berdasarkan laporan IPCC (International Panel On
Climate Change) bahwa rata - rata suhu permukaan global meningkat 0,3 - 0,6 0C sejak
akhir abad 19 dan sampai tahun 2100 suhu bumi diperkirakan akan naik sekitar 1,4 -
5,80C . Naiknya suhu permukaan global menyebabkan mencairnya es di kutub utara dan
selatan bumi sehingga terjadilah kenaikan muka laut (Sea Level Rise). Diperkirakan dari
pesisir pantai utara Laut Jawa. Kondisi topografi ini yang menyebabkan wilayah kota
Tegal memiliki potensi kerentanan bencana yang disebabkan oleh air laut cukup tinggi.
Kota ini setiap tahun dihadapkan pada persoalan banjir rob dan kekeringan. Khusus saat
musim hujan rob menjadi langganan di wilayah-wilayah tertentu. Daerah- daerah yang
terkena rob diantaranya Kelurahan Tegal Sari, Muarareja, Panggung, dan Kelurahan
Banjir Rob ini berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sekitar yang
terkena Rob maupun masyarakat luar yang akan menuju daerah tersebut. Genangan di
kawasan rob mempunyai ketinggian yang berbeda, tergantung pada kondisi alami dan
fisik kawasan. Pada umumnya, genangan rob semakin tinggi di kawasan dengan kondisi
topografi lebih rendah, lebih dekat dengan wilayah pantai, atau kondisi sungai dan
wilayah kota Tegal maka diperlukan prosedur tetap tata cara pelaksanaan pencegahan
penanganan bencana khusunya Rob memerlukan koordinasi lintas sektoral yang terlihat
sebagai bentuk kepedulian dari semua pihak (masyarakat, pemerintah dan sektor
swasta).
Masyarakat juga mempunyai peran untuk berpartisipasi aktif dalam rangka upaya
B. PEMBAHASAN
Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, jenis penelitian ini adalah
satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang
berbagai situasi, atau berbagai variable yang timbul di masyarakat, yang menjadi
tersebut.
Rob di Kota Tegal merupakan fenomena yang telah terjadi cukup lama. Dalam
kaitan tentang rentang waktu kapan mulai terjadinya rob di Kota Tegal. Ketinggian Rob
di Kota Tegal dipengaruhi oleh fluktuasi cuaca seperti misalnya banjir 5 (lima) tahunan
dan ada banjir 10 (sepuluh) tahunan. bahwa kerugian dampak rob bagi masyarakat
adalah rumah, tambak dan halaman rumah mereka. Masyarakat yang terkena rob
terkadang dirugikan beberapa kali, contohnya adalah ketika rumah mereka sudah
ditinggikan agar tidak tergenangi rob, namun ternyata beberapa waktu kemudian rumah
tersebut terkena genangan lagi akibat dari ketinggian rob yang semakin meningkat
Dalam usaha penanggulangan Rob Pemerintah Kota Tegal dalam jangka pendek
melakukan tindakan segera terhadap wilayah-wilayah yang kondisinya buruk. Tidak ada
perencanaan secara mendalam untuk jangka pendek, hanya ada tindakan segera sesuai
dengan keadaan di lapangan. Tindakan jangka pendek sebagai contoh adalah pembuatan
talud., tanggul laut, peninggian jalan dan pembuatan pintu-pintu air. Sedangkan untuk
jangka panjang pemerintah melakukannya dengan membentuk sistem, ada kawasan yang
seperti pembuatan talud, peninggian jalan, pintu-pintu air dianggarkan dari APBD 2.
Setiap tahun dianggarkan 4-12 Milyar. Jangka panjang seperti pembangunan polder dan
kolam retensi, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat karena biaya yang cukup
besar antara 13-64 milyar. Bantuan khusus dari pemerintah pusat akan mulai dicairkan
sebagai berikut:
secara bertahap. Hal ini dilakukan karena dalam pembangunan tersebut membutuhkan
biaya yang cukup besar. Pembangunan dilakukan secara bertahap dalam jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang. Dalam jangka pendek pemerintah melakukan
penataan drainase dengan biaya Rp. 17.181.000.000. penataan drainase ini dilakukan
pada tahap 1 yaitu tahun 2009-2014 dengan pembiayaan dari APBD Provinsi Jawa Tengah
dan APBD Kota Tegal. Selain itu dalam jangka pendek pemerintah melakukan peninggian
jalan dengan biaya Rp. 18.800.000.000. Peninggian Jalan ini dilakukan pada tahap 1
yaitu tahun 2009-2014 dengan pembiayaan dari APBD Provinsi Jawa Tengah dan APBD
Kota Tegal.
41.230.000.000. Pembuatan tanggul sungai ini dilakukan pada tahap I yaitu tahun 2009-
2014 dan tahap II yaitu tahun 2014-2019. Pada tahap biaya dibutuhkan adalah
83.200.000.000. Pembuatan tanggul laut ini melalu 3 tahapan yaitu pada tahap I, II dan
III dengan biaya dari APBD Provinsi Jawa Tengah dan APBD Kota Tegal.
Dalam jangka panjang pemerintah kota Tegal akan membangun bendung karet.
bendung karet ini dilakukan pada tahap III dan IV yaitu pada tahun 2020-2030 dengan
2. Sosial
Dalam aspek sosial, Pemerintah Kota Tegal berupaya untuk melakukan sosialisasi
memberikan pemahaman tentang apa yang yang akan dilakukan pemerintah di kawasan
untuk memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpendapat tentang apa yang harus
Partisipasi masyarakat daerah rob Kota Tegal selama ini pada proses perencanaan
pemerintah.
Dilibatkannya masyarakat terkena dampak rob dalam penanggulangan rob di Kota
Tegal, tiada lain agar capaian yang dihasilkan dari program penanggulangan rob dapat
maksimal, yang sekaligus sebagai bukti bahwa Pemerintah Kota Tegal telah berupaya
3. Aspek Lingkungan
Dalam aspek lingkungan pemerintah berupaya untuk menahan abrasi yang lebih parah
dengan menanam manggrove di pesisir pantai Kota Tegal. Pemeliharaan manggrove ini
melibatkan LSM lingkungan yang peduli akan lingkungan hidup. Namun sebenarnya fungsi
manggrove tidak secara langsung untu menanggulangi Rob. Namun untuk menahan
adanya abrasi di dareh Pantai. Selain itu Kantor Lingkungan Hidup kota tegal juga
berupaya untuk mengajak masyarakat untuk hidup disiplin dan sehat untuk ikut
4. Aspek Hukum
Dalam masalah penanggulangan rob di Kota Tegal Pemerintah Kota Tegal belum
mempunyai regulasi yang berupa Peraturan Daerah. Pemerintah Kota Tegal belum
Kota Tegal tidak mempunyai Peraturan Daerah yang mengatur tentang rob. Dalam
5. Aspek Kelembagaan
Tegal belum mempunyai satu lembaga khusus yang dibentuk untuk usaha
penanggulangan Rob. Sinergi antar SKPD hanya sebatas menjalankan fungsi masing-
Sebagai contoh BP2T berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan lahan jika ada
lahan masyarakat yang akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dalam rangka
Dislatan, bertugas untuk memberikan penyuluhan kepada petani dan nelayan yang
suatu masalah dalam masyarakat perlu melibatkan peran stakeholder. Begitu pula
pada pencapaian hasil usaha penanggulangan rob tersebut. peran masyarakat sangatlah
penting, baik dari sisi infrastruktur maupun perilaku. Masyarakat harus menyesuaikan
bangunan rumahnya agar ditinggikan supaya tidak tenggelam terkena rob. Dalam hal ini
Pemerintah Kota Tegal tidak bisa membantu untuk masalah rumah pribadi mayarakat.
Dari sisi perilaku, masyarakat harus ikut berpartisipasi dengan cara tidak membuang
penanggulangan rob selama ini tergolong menengah ke atas. Tingginya partisipasi ini
dikarenakan obyek yang dibicarakannya merupakan sesuatu yang vital bagi responden,
depan.
Sebagian besar Masyarakat tergolong memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi
dalam proses penetapan kebijakan Pemerintah Kota Tegal dalam hal penanggulangan
memiliki kepedulian sosial yang tinggi, karena apabila tidak peduli dengan kondisi
hari, yang umumnya sangat berdekatan dengan alam. Sebagian besar responden
sedang, dan sejumlah 45,26 persen responden lainnya berkategori partisipasi yang
tinggi. Tingginya tingkat partisipasi responden dalam proses implementasi ini, dibuktikan
untuk membantu, baik dana, tenaga juga konsumsi bagi kelangsungan pembangunan
masyarakat pantai yang agraris yang umumnya terbuka, ternyata di sisi lain juga
tinggi. Hal ini dikarenakan dengan mayoriras responden sudah sangat memahami
lingkungan tempat tinggalnya, maka apabila disuruh melakukan penilaian atau evaluasi
atas kebijakan Pemerintah Kota Tegal dalam penanggulangan rob, mayoritas responden
C. PENUTUP
Rob di Kota Tegal merupakan fenomena yang telah terjadi cukup lama. Dalam
kaitan tentang rentang waktu kapan mulai terjadinya rob di Kota Tegal. Ketinggian
Rob di Kota Tegal dipengaruhi oleh fluktuasi cuaca seperti misalnya banjir 5 (lima)
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa Strategi yang digunakan Pemerintah
Kota Tegal dalam penanggulangan rob adalah dengan melibatkan segenap instansi dan
elemen terkait masalah rob, yaitu dengan melibatkan SKPD, perangkat daerah, lembaga
swadaya masyarakat, tokok masyarakat dan masyarakat yang terkena dampak rob.
Keterlibatan segenap unsur dan elemen masyarakat Kota Tegal tersebut meliputi; tahap
tahapan-tahapan yang akan dilakukan Pemerintah Kota Tegal terhadap kawasan terkena
dampak rob, dengan harapan di samping masyarakat menjadi memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang komprehensif, juga dapat berpartisipasi secara aktif dalam tahap
implementasi nantinya.
penanggulangan rob selama ini tergolong tinggi. Tingginya partisipasi ini dikarenakan
obyek yang dibicarakannya merupakan sesuatu yang vital bagi responden, karena
Sebagian besar Masyarakat tergolong memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi
atas dalam proses penetapan kebijakan Pemerintah Kota Tegal dalam hal
kepedulian sosial yang tinggi, karena apabila tidak peduli dengan kondisi sekitarnya,
sedang, dan sejumlah 45,26 persen responden lainnya berkategori partisipasi yang
tinggi. Tingginya tingkat partisipasi responden dalam proses implementasi ini, dibuktikan
untuk membantu, baik dana, tenaga juga konsumsi bagi kelangsungan pembangunan
masyarakat pantai yang agraris yang umumnya terbuka, ternyata di sisi lain juga
tinggi. Hal ini dikarenakan dengan mayoriras responden sudah sangat memahami
lingkungan tempat tinggalnya, maka apabila disuruh melakukan penilaian atau evaluasi
atas kebijakan Pemerintah Kota Tegal dalam penanggulangan rob, mayoritas responden
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Dunn, William N.2000 (Ed.). Pengantar Analisis Kebijakan. Yogyakarta: Gajah Madha
University Press
Sugiyanto dan Robert J. Kodoatie.2002. Banjir Beberapa Penyebab Dan Metode Pengendalianya
Dalam Prespektif Lingkungan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Usman, Sunyoto. 2002. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pustaka Cakra
Jurnal, artikel
Santosa, Edi. Peluang dan Kendala Demokratisasi Pengelolaan SDA. hand out disampaikan pada
kuliah politik lingkungan, 4 Oktober 2011
Santosa, Edi. Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan PSP dan Sistem KelembagaanI.
Hand out disampaikan dalam Seminar Managemen kebijakan Pembangunan
Infrastruktur Kota Semarang. 2007
• Ceramah
• Tutorial
A. Belajar Menganalisis Fenomena Agenda Setting Kebijakan
Pokok bahasan dalam pertemuanke-5 ini adalah analisis agenda setting. Dosen memulai sesi ini
dengan memberikan penjelasan singkat kepada mahasiswa bahwa pertemuan ini merupakan
pertemuan pertama untuk segmen kedua dalam mata kuliah AKP. Dalam segmen ini mahasiswa
diajak untuk berlatih dan mengaplikasikan pemahaman konseptual mereka tentang analisa
kebijakan publik dalam praktek analisa kebijakan.
Pada setiap sesi segmen II kuliah AKP ini, mahasiswa akan diminta untuk membuat analisa
proses kebijakan, sesuai dengan tema sesi, menurut corak analisa yang dipilihnya. Mahasiswa bisa
memilih corak analisis untuk kebijakan atau analisis terhadap kebijakan. Begitu
juga dalam sesi yang membahas analisis agenda – setting ini, ada dua corak yang bisa dipilih oleh
mahasiswa, yaitu analisis dengan corak analisis untuk agenda – setting dan analisis terhadap agenda –
setting.
Dosen mengawali pertemuan ini denganpemaparan tentang konsep agenda–setting dalam proses
kebijakan. Dilanjutkan dengan paparan singkat tentang beberapa konsep dan model yang biasa
digunakan untuk menganalisa agenda setting. Dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa ada perbedaan cara
memaknai, dan oleh karenanya ada cara yang berbeda- beda untuk melangsungkan proses agenda-setting
tersebut.1 Sehubungan dengan perbedaan tersebut, mahasiswa akan diminta untuk menentukan cara yang
dipilihnya dalam mempraktekkan analisis agenda-setting.
Untuk lebih memudahkan mahasiswa dalam mengasah ketrampilan menganalisis serta
sensitivitas terhadap kompleksitas analisa kebijakan, mahasiswa yang memilih melakukan analisis
untuk agenda – setting bisa memilih salah satu di antara dua pendekatan berikut ini, yaitu
pendekatan teknokratis dan politis. Sementara, mahasiswa yang memilih analisis terhadap agenda –
setting diajak untuk memfokuskan analisanya dalam upaya pengembangan teori tentang proses
kebijakan atau analisa kebijakan.
Ada pula yang membayangkan proses agenda-setting adalah proses mengikuti kehendak orang
kebanyakan. Policy-makers justru harus mengelola dinamika berbagai kekuatan politik yang ada
agar bisa mengerucut sebagai agenda kelembagaan yang ditangani pemerintah. Perbedaan antara kedua
kerangka pikir tersebut dipaparkan dalam Tabel V.1.
Tabel V.1.
Sebagaimana dalam model agenda-setting Hogwood& Gunn, dosen meminta mahasiswa untuk
secara acak mengumpulkan isu-isu yang bertebaran, terutama di media, baik televisi maupun
cetak.Setelah terkumpul berbagai isu, langkah selanjutnya, mahasiswa diminta untuk menyaring
berbagai isu tersebut. Dalam menyaring isu tersebut, mahasiswa bisa menggunakan kriteria yang
digunakan oleh Hogwood & Gunn, yaitu waktu, bobot politis, kebakuan sikap politik, dan arti
penting isu tersebut bagi organisasi.
Bagi mahasiswa yang melakukan analisis dalam corak analisis untuk kebijakan tetapi
didasarkan pada logika politis, selain hal di atas, mahasiswa juga harus menggunakan kriteria lain
untuk menyaring isu yang sudah dikumpulkan di atas. Mengingat proses agenda–setting adalah proses
memunculkan satu masalah sebagai masalahnya pemerintah, dan di sini, tugas seorang analis adalah
menyusun analisanya, didukung data dan proyeksi, dalam sebuah argumen untuk meyakinkan bahwa
permasalahan yang direkomendasikannya menyangkut kepentingan publik dan untuk itu harus
ditangani sebagai masalahnya pemerintah.
Untuk itu, selain kriteria permasalahan seperti yang dikemukakan Hogwood & Gunn, analisis
yang didasari pada logika politis perlu menambahkan kriteria arus politik dan ekspresi partisipasi.
Karena itu, mahasiswa diminta untuk menguji tiap isu yang dikumpulkannya dengan
mengidentifikasi arus politik dan ekspresi partisipasi yang muncul di seputar isu tersebut.
Agar analisis mahasiswa bisa lebih sensitif terhadap dimensi politis dari proses agenda setting,
dosen membimbing mahasiswa untuk melakukan analisis berdasarkan model yang dikembangkan
oleh Kingdon. Dosen membimbing mahasiswa untuk melakukan analisis terhadap tiga arus, arus
politik; kebijakan; dan problem, yang terkandung dalam isu-isu yang telah difiltrasi sebelumnya.
Dalam membimbing, dosen mengarahkan mahasiswa untuk menghasilkan sebuah rekomendasi isu
kebijakan, berdasarkan perhitungan terhadap arus politik, arus kebijakan, dan arus permasalahan
yang melatarbelakangi isu-isu tersebut. Secara singkat, dosen memaparkan model analisis agenda –
setting kebijakan menurut Kingdon, seperti digambarkan dalam Bagan V.1.Ringkasan Alur Proses
Agenda - Setting Menurut John W. Kingdon
BaganV.I.
Kingdon
Sebagai contoh bagaimana model Kingdon digunakan untuk menganalisa sebuah isu spesifik,
mahasiswa bisa merujuk pada Pemiluwati, Nurlela (2006), Tarik-menarik Kepentingan, Lingkungan Hidup
Terabaikan: Studi Kasus Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum di Provinsi Bangka Belitung, Thesis S2
PLOD, UGM.
Dalam menganalisis ketiga arus tersebut, sebagai parameter, mahasiswa bisa menggunakan
hal-hal yang membuat isu tertentu kalah dalam pertarungan politik masuk agenda kebijakan.
Setidaknya kita bisa mengidentifikasi 3 hal yang membuat suatu isu diabaikan dari agenda
kebijakan, yaitu:
• Suatu isu dianggap sebagai bagian dari rutinitas;
• Suatu isu tidak dianggap sebagai masalahnya pemerintah;
• Юitumpuk oleh isu lain.
Artinya, jika analisis terhadap suatu isu dengan melihat tiga arus yang dipaparkan oleh
Kingdon menunjukkan bahwa isu tersebut berada dalam salah satu atau beberapa situasi seperti di
atas, maka isu tersebut memiliki potensi yang lebih besar untuk gagal masuk dalam agenda
kebijakan.
Dalam melakukan analisa dengan corak politis, mahasiswa juga diminta untuk memasukan
pertimbangan dan argumentasi terkait dengan perangkat pemicu penciptaan isu dan upaya
menghindari agar isu yang direkomendasikan tidak begitu saja diabaikan oleh pemerintah. Misal,
jika satu mahasiswa merekomendasikan isu perbaikan tanggul-tanggul situ sebagai agenda kebijakan,
maka isu tersebut akan mendapatkan daya ungkit yang besar jika menggunakan kasus Situ Gintung
sebagai perangkat pemicu dan isu ini diangkat selama wacana jebolnya tanggul di Situ Gintung
masih hangat dalam ingatan publik.
Sekali lagi perlu diingatkan kepada mahasiswa, bahwa hasil akhir yang diharapkan dari latihan
ini adalah adanya sebuah dokumen rekomendasi isu. Dokumen rekomendasi isu ini, baik bercorak
teknokratis maupun politis, hendaknya tetap disertai oleh argumentasi yang kuat dan jelas.
Penting untuk diingatkan kepada mahasiswa, bahwa dalam melakukan latihan analisis di sesi
ini dan sesi-sesi selanjutnya, yang diutamakan bukan masalah ketepatan dari analisis. Yang lebih
diutamakan dalam penilaian untuk mata kuliah ini adalah koherensi logika yang dipakai dalam
melakukan analisis. Harapannya, mahasiswa bisa lebih fokus untuk berlatih mengasah kemampuan
analisa.
• Menganalisis isu Eatwa MUI Haram Rokok dan mengisi tabel Matriks Prioritas, Decision Tree,
dan Combined & Flexible Methods dari Hogwood & GunnModel Rational-Comprehensive
• Melakukan analisis dan menunjukkan bagaimana pejabat negara ini merespons isu ‘rokok’ dalam
kerangka logika Garbage – Can Model Garbage-Can
• Melakukan analisis dengan salah satu tehnik pendekatan model rational
– comprehensive dan memproyeksikannya dalam sebuah lingkungan kebijakan lengkap dengan
aktor-aktornya, serta memproyeksikan bagaimana lingkungan tersebut akan merespons isu tersebut,
baik melalui resistensi ataupun dukungan Model Mixed – Scanning
Untuk Kelompok ‘Analisis terhadapAgenda - setting’ Isu: Fatwa MUI Haram Rokok
• Mahasiswa diminta untuk mencari artikel tentang pengaturan rokok dan menganalisis bagaimana
proses pertarungan wacana yang terjadi dan pola umum apa yang bisa diketemukan dari analisa
tersebut
Daftar Pustaka
Birkland, A. Thomas, Agenda setting in Public Policy, dalam Fischer, Frank et.al. (eds.), (2007),
Handbook of PublicPolicy: Theory, Politics, and Methods, Boca Raton: CRC Press, FL.
Hogwood, Brian W. dan Lewis E. Gunn, Policy Analysis for the Real World, UK: Oxford University
Press
Jones, Charless O.,(1977), An Introduction to the Study of Public Policy, California: Duxburry Press.
Kingdon, John W., (1995), Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins College
Publishers
Meltsner, Arnold J., (1976), Policy Analysts in the Bureaucracy,Sage Publications.
Pertemuan VI
ANALISIS FORMULASI
DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN (1)
Ceramah
Tutorial
Untuk menjawab dilema dan kompleksitas tersebut, orang telah mengembangkan berbagai
model dan teknik pengambilan keputusan. Model dan teknik pengambilan keputusan ini digunakan
untuk menganalisa, mencari informasi, terkait berbagai alternatif yang ada dan informasi tersebut
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Disadari atau tidak, dalam kehidupan keseharian
kita, seringkali kita mengaplikasikan berbagai model dan teknik pengambilan keputusan ini.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pengambilan keputusan bukanlah hal yang luar biasa.
Setiap hari, setiap orang dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya mengambil keputusan.
Dalam situasi tersebut, orang dihadapkan pada sekian alternatif, tetapi karena keterbatasan sumber
daya yang dimilikinya, seringkali orang harus memilih hanya satu atau beberapa saja dari sekian
banyak alternatif tersebut. Karenanya, sebelum mengambil keputusan, orang biasanya akan
mengumpulkan informasi untuk mengidentifikasi alternatif yang dianggapnya paling baik di antara
alternatif yang lain.
Situasi serupa juga terjadi dan dihadapi oleh negara dalam proses pengambilan keputusan
kebijakan. Ketika dihadapkan pada satu, atau bahkan beberapa permasalahan sekaligus, akan
selalu ada sekian banyak alternatif solusi untuk masing-masing permasalahan tersebut. Karena
terbatasnya sumber daya, negara atau pemerintah tidak bisa mengambil semua alternatif tersebut
menjadi keputusan kebijakan. Dalam situasi seperti ini, pembuat keputusan harus memilih salah
satu atau beberapa alternatif, yang dianggap tepat untuk mengatasi problem yang dihadapi, untuk
dijadikan sebagai keputusan kebijakan. Permasalahannya, rumusan tentangpermasalahan
yang dihadapi tidak selalu sama, sehingga tidak ada ukuran yang baku
untuk menentukan apakah suatu alternatif tepat untuk menjawab suatu permasalahan atau tidak.2
Kompleksitasnya tidak hanya sekedar rumusan masalah yang berbeda, lebih dari itu, ada sekian
banyak model dan teknik pengambilan keputusan yang tersedia dan sampai sekarang, tidak ada
kesepakatan, model dan teknik mana yang paling benar atau paling baik di antara sekian banyak
model.
Sebagian besar analisis pengambilan keputusan kebijakan dilakukan untuk menentukan dari sekian
alternatif permasalahan yang dihadapi, menentukan langkah-langkah yang perlu diambil untuk
merespons permasalahan tersebut, bagaimana langkah-langkah tersebut dilakukan; dipantau; dan
kemudian dievaluasi (analisis untuk pengambilan keputusan).3 Namun ada sebagian analisis yang lain
yang lebih difokuskan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan mengapa dan bagaimana proses
pengambilan keputusan berlangsung (analisis terhadap pengambilan keputusan).
Seperti dalam pertemuan V sebelumnya, dalam sesi ini mahasiswa akan diajak untuk berlatih
melakukan analisis pengambilan keputusan kebijakan dalam dua corak tersebut. Namun sebelumnya,
dosen akan terlebih dahulu memaparkan secara singkat makna dari proses pembuatan keputusan dan
beberapa model dasar proses pengambilan keputusan.
Pada pertemuan ini, mahasiswa juga akan diajak untuk berlatih menggunakan metode turunan
dari model pengambilan keputusan Rational - Comprehensive, yaitu Cost Benefit Analysis - CBA dan
Strength, Weakness, Opportunities, and Threat-SWOT Analysis. Namun, sebelum melakukan latihan
analisis, terlebih dahulu dosen akan memaparkan secara singkat konsep dan praktek pengambilan
keputusan kebijakan.
‘…penentuan pilihan di antara berbagai alternatif kebijakan yang telah ditawarkan, yang konsekuensi-nya
masing-masing telah diperkirakan. Bagian ini bisa dikatakan sebagai bagian dari proses kebijakan yang
watak politiknya paling jelas, karena dari sekian banyak potensi solusi suatu masalah, sebagian harus
ditolak dan satu atau beberapa yang lain dipilih dan digunakan. Jelas di sini pilihan yang harus diambil
tidaklah mudah dan keputusan untuk tidak melakukan apa-apa seringkali menjadi salah satu alternatif
solusi yang kuat’.4
Definisi Brewer dan De Leon tentang pengambilan keputusan di atas didasarkan pada asumsi
bahwa setiap alternatif telah diperkirakan konsekuensinya. Situasi demikian, sayangnya tidak selalu,
bahkan jarang sekali, ditemui dalam praktek nyata pengambilan keputusan kebijakan. Dalam hal tidak
ada informasi yang lengkap tentang konsekuensi dari setiap alternatif yang ada, pengambilan
keputusan didasarkan lebih pada perkiraan dan ramalan saja. Ini berarti memasukkan elemen
ketidakpastian dalam pengambilan keputusan kebijakan.5
Definisi pengambilan keputusan Brewer dan De Leon juga melihat bahwa fenomena proses
pengambilan keputusan adalah fenomena yang bersifat politik. Brewer dan De Leon melihat bahwa
dimensi politik dari fenomena ini disebabkan oleh adanya alternatif yang harus ditinggalkan dan
ada alternatif yang diambil sebagai keputusan kebijakan.
Dimensi politik dalam proses pengambilan keputusan terjadi sejak proses perumusan masalah.
Proses pengambilan keputusan melibatkan sejumlah kepentingan yang berbeda-beda dan masing-
masing mendefinisikan situasi permasalahan secara berbeda-beda. Ini berujung ada sekian banyak
rumusan masalah yang tidak selalu kongruen satu sama lain. Ujungnya, alternatif solusi yang
muncul dari berbagai rumusan masalah tersebut, bisa jadi menjadi solusi bagi satu pihak, tetapi
menjadi ancaman bagi pihak lain. Oleh sebab itu, proses pengambilan keputusan menjadi sebuah
proses yang kental dengan dimensi politik.
Dari paparan singkat di atas, dosen mengajak mahasiswa untuk memahami bahwa
kompleksitas proses pengambilan keputusan kebijakan coba dijawab dengan berbagai model
pengambilan keputusan kebijakan yang berusaha menjelaskan, dan digunakan untuk ‘merekayasa’,
fenomena dan proses pengambilan keputusan. Untuk itu, dosen mengajak mahasiswa untuk
mengingat kembali tiga model dasar kebijakan yang biasa dipakai baik untuk menjelaskan maupun
menganalisa pengambilan keputusan kebijakan, yang sebelumnya telah dibahas di Pertemuan II. Tiga
model dasar pengambilan keputusan itu adalah, Rational – Comprehensive; Mixed – Scanning; dan
Garbage – Can.
Perbedaan utama di antara ketiganya adalah pada penjelasan mereka tentang bagaimana proses
pengambilan keputusan berlangsung. Model Rational – Comprehensive melihat bahwa pengambilan
keputusan berlangsung sebagai proses yang sistematis dan didasarkan pada perhitungan rasional
dengan tujuan yang diasumsikan selalu jelas.7
Di kutub yang berlawanan, ada pendekatan Garbage – Can yang melihat bahwa proses
pengambilan keputusan lebih didasarkan pada nalar kebiasaan atau kelaziman, dan sedikit sekali
mempertimbangkan hal-hal terkait dengan efektivitas dan efisiensi keputusan. Ini disebabkan karena
model ini mengasumsikan bahwa realitas proses pengambilan keputusan lebih sering berada dalam
situasi di mana informasi tidak tersedia secara lengkap, tujuan pengambilan keputusan seringkali
kabur, waktu yang terbatas, dan masing-masing aktor yang terlibat memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Model Garbage – Can melihat bahwa dalam situasi demikian, tidak mungkin pengambil
keputusan melakukan pertimbangan yang menyeluruh dan cermat untuk semua alternatif yang ada.
Di antara keduanya, kita bisa temui ada pendekatan Mixed – Scanning yang berusaha
menjembatani dua kutub ekstrem yang diwakili oleh dua model dasar sebelumnya. Dalam model
Mixed – Scanning, dalam proses pengambilan keputusan para decision makers melakukan scanning
secara cepat untuk menjaring alternatif-alternatif yang “biasa” diambil dalam situasi-situasi kebijakan
yang relatif serupa. Selanjutnya, alternatif-alternatif yang terjaring dianalisis dengan logika rasional
untuk mendapatkan pilihan yang dianggap paling tepat dan sesuai dengan kebiasaan yang ada.
Analisis dengan logika rasional ini juga tidak mungkin mencakup seluruh informasi yang
dibutuhkan untuk mendapatkan keputusan yang ideal. Kedua langkah ini dilakukan untuk
menyiasati keterbatasan informasi, waktu, sumberdaya, dan perbedaan rumusan permasalahan di
antara aktor-aktor yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
Dalam masing-masing model dasar, ada banyak teknik dan metode analisis turunannya yang biasa
dipakai dalam analisa pengambilan keputusan kebijakan. Namun sebagai latihan, di sini, bagi
mahasiswa yang memilih corak analisis untuk pengambilan keputusan kebijakan, dosen mengajak
mahasiswa untuk hanya menggunakan analisis CBA dan SWOT. Sementara, bagi mahasiswa yang
memilih corak analisis terhadap kebijakan, dosen mengajak membimbing mahasiswa tersebut
membangun sebuah analitis teoritis pengambilan keputusan kebijakan dengan mengambil contoh kasus
yang sedang hangat di media massa, untuk dianalisis dengan menggunakan model Rational -
Comprehensive.
Biasanya variabel cost dan benefit ini diukur dengan menggunakan uang sebagai alat ukur.
Namun, CBA sebetulnya tidak selalu menggunakan uang sebagai alat ukur. Karena itu, adalah
penting, sebelum melakukan analisis CBA, untuk mengetahui secara lebih spesifik permasalahan
apa yang ingin diatasi dengan pilihan kebijakan yang akan diambil, dan dalam satuan hitung apa
manfaat dan biaya yang muncul akan dihitung.
Dosen memaparkan bahwa langkah ini merupakan langkah krusial karena bagaimana
permasalahan didefinisikan akan menentukan alternatif apa yang muncul. Pada gilirannya,
keduanya akan menentukan keputusan apa yang akan diambil. Untuk memudahkan mahasiswa
memahami, dosen bisa menggunakan kasus penggusuran tanah yang sudah dibahas dipertemuan III
sebelumnya, dan menjelaskan bagaimana problem dalam kasus tersebut dipahami secara berbeda-
beda dan berkonsekuensi memunculkan kriteria dan alternatif yang berbeda pula.
Setelah permasalahan teridentifikasi secara lebih spesifik, analis bisa mulai membangun
kriteria yang berdasarkan permasalahan yang didefinisikan tersebut. Kriteria ini bisa dibangun
sebagai heuristik tentang solusi yang dianggap paling ideal bagi permasalahan yang ada. Kriteria ini
akan digunakan untuk mengukur berbagai alternatif yang ada dan menemukan alternatif yang
terbaik, yaitu yang paling mendekati gambaran ideal tersebut. Gambaran keputusan yang ideal
dalam CBA adalah keputusan yang memenuhi kriteria prinsip dari CBA adalah pareto improvements.
Sebuah proyek dikatakan pareto improvements jika proyek tersebut meningkatkan kualitas hidup dari
beberapa orang, tapi tidak membuat orang lain rugi. Jelasnya, masyarakat harus dapat mencapai
pareto improvements, sebab mereka menolong orang lain, tapi juga tidak menyakiti yang lainnya.
Namun demikian, dalam masyarakat yang kompleks, setiap proyek atau kebijakan tidak mungkin
memuaskan semua pihak. Bahkan pasti akan membuat beberapa orang merugi. Dalam keterbatasan
itu, maka sebuah proyek atau kebijakan dikatakan menciptakan Pareto improvement yang potensial jika
yang diuntungkan lebih banyak daripada yang dirugikan.
Dosen perlu mengingatkan bahwa dalam analisis CBA, kebanyakan orang cenderung memahami
cost dan benefit hanya dalam pengertian uang,tetapi, pada kenyataannya tidak selalu demikian. Cost
dan benefit ini bisa juga dinyatakan dalam term kualitatif dan apa yang diidentifikasi sebagai cost dan
benefit ditentukan oleh definisi permasalahan yang dihadapi. Untuk itu, dari kasus yang sama dosen
memberikan ilustrasi bagaimana cost dan benefit bisa dinyatakan dalam term kualitatif dan dimaknai
secara berbeda sebagai akibat dari definisi permasalahan yang berbeda.
Analisis dilanjutkan dengan mengidentifikasi langkah-langkah alternatif apa yang bisa diambil
untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam membangun perbandingan di antara berbagai alternatif
untuk mendapatkan pilihan paling tepat, CBA analysis menggunakan logika seperti yang biasa
digunakan dalam interaksi antara pembeli dan penjual.
Sederhananya, untuk tiap alternatif yang dipilih akan membawa implikasi adanya
pengorbanan atau biaya (cost) yang harus dikeluarkan, seperti orang membeli suatu barang atau
jasa yang harus membayar untuk mendapatkannya. Seperti juga seorang pembeli yang mengharapkan
barang atau jasa yang dibelinya akan mendatangkan manfaat bagi dirinya, begitu juga dengan para
pengambil keputusan. Para pengambil keputusan, diasumsikan, mengharapkan cost yang
dikeluarkan untuk tiap program akan memberikan manfaat sebesar mungkin bagi pencapaian
tujuan kebijakan secara keseluruhan. Untuk merangkum pemaparan di atas, dosen menjelaskan
prinsip-prinsip teknis pelaksanaan analisis CBA berikut ini:
1. Menentukan standar ukuran biasanya yang dipakai adalah uang, tetapi tidak selamanya standar
ukuran yang dipakai adalah uang;
2. Menggunakan logika pembeli dan penjual untuk setiap aktivitas;
3. Keuntungan didefinisikan sebagai pilihan pasar (market choice);
4. Beberapa ukuran keuntungan mensyaratkan penilaian dalam bentuk angka kehidupan manusia
(Valuation of Human Life);
5. Analisa sebuah proyek harus melibatkan perbandingan antara ada proyek dengan tidak ada proyek
(With Versus Without Comparison);
6. Membutuhkan studi area tertentu;
7. Penghitungan ganda antara biaya dan keuntungan harus dihindari; dan
8. Perlu menghitung discounting (perbandingan antara nilai uang sekarang dengan nilai uang
masa depan)
Dalam paparan di atas, analisis CBA terdengar lebih berwatak teknokratis. Cost dan Benefit
lebih terdengar sebagai kata lain dari untung dan rugi seperti dalam kegiatan perdagangan semata.
Namun, sebenarnya CBA juga bisa digunakan dalam analisis yang lebih sensitif terhadap dimensi
politik dari proses pengambilan keputusan kebijakan.
Analisis CBA jenis ini biasanya diterjemahkan dalam term yang sifatnya kualitatif, karena
memang sulit untuk dikuantifikasi. Misalnya, ketika proyeksi suatu alternatif keputusan ternyata
memunculkan potensi besar menimbulkan konflik dengan kepentingan lain. Namun, pada saat yang
sama alternatif yang sama juga berpotensi besar menarik dukungan dari kelompok kepentingan yang
lain, dan kebetulan, kelompok tersebut memiliki sesuatu yang dibutuhkan demi tercapainya tujuan
kebijakan. Tentunya hasil analisa seperti ini tidak bisa begitu saja dinyatakan dalam term kuantitatif
sebagaimana lazimnya.
Untuk itu, bagi mahasiswa yang melakukan latihan analisis CBA yang dinyatakan dalam term
kualitatif, dosen perlu memberikan bimbingan cara melakukan pemberian skor - scoring. Jika dalam
analisis CBA yang dinyatakan dalam term kuantitatif, misalnya uang, data
perbandingan akan langsung nampak ketika analis selesai menghitung perkiraan biaya dan manfaat
yang diterima, dalam analisis CBA yang dinyatakan dalam term kualitatif, perkiraan cost dan benefit
yang dihasilkan harus dikonversi melalui proses scoring.
Box VI.2. Ilustrasi
Setelah melakukan analisis CBA seperti di atas, maka diperoleh hasil bahwa program
penambahan jumlah komputer justru menghasilkan keuntungan untuk perusahaan. Biaya
investasi yang dihabiskan dalam satu bulan pertama sudah bisa memberikan break event point
dan laba dalam jangka waktu satu tahun.
Proses scoring ini bisa dilakukan dengan mengacu pada gambaran keputusan ideal yang
memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan. Proses ini akan menghasilkan skor dari gambaran
keputusan ideal yang diharapkan. Selanjutnya, alternatif-alternatif lain dianalisis dan diukur
berdasarkan perbandingannya dengan skor ideal tersebut. Contoh sederhana dari sebuah analisis
CBA bisa dilihat dalam Tabel
VI.2. Ilustrasi Analisis CBA Sederhana untuk Pengambilan Keputusan. Tabel tersebut
memuat contoh Analisis CBA Dalam Pengambilan Keputusan Kebijakan di Sektor Bisnis.
Sembari mahasiswa menyimak ilustrasi tersebut, dosen memaparkan pada mahasiswa tentang
metode CBA dan penggunaannya dalam analisis pengambilan keputusan kebijakan. Seperti tercermin
dari namanya, teknik CBA menjadikan dua variabel sebagai alat ukurnya, yaitu cost dan benefit
yang mungkin ditimbulkan dari suatu kebijakan. Dalam tabel tersebut tersebut nampak bahwa
perhitungan CBA yang dilakukan memproyeksikan variabel beban biaya yang harus ditanggung dan
keuntungan yang diberikan dari alternatif keputusan/kebijakan untuk menambah komputer. Agar
mudah diukur dan diperbandingkan, proyeksi itu dinyatakan dalam bentuk kuantitatif, yang di sini
dinyatakan dalam bentuk uang, meskipun tidak menutup kemungkinan CBA dilakukan dengan
menggunakan standar ukuran selain uang.
Hasil analisis CBA seperti dalam ilustrasi, memberikan proyeksi kepada pengambil keputusan
tentang dampak yang mungkin muncul (keuntungan/kerugian). Ini menjadi informasi bagi si
pengambil keputusan dan membantunya untuk mendapatkan keputusan yang dianggap paling
baik/menguntungkan.
Perlu diingat, meksi hasil analisis CBA sudah bisa memberikan gambaran, namun hal tersebut
belum final. CBA tidak bisa memberikan keputusan tentang program yang diambil. Persoalan apakah
program tersebut kemudian dilaksanakan atau tidak, tetap berada di tangan direktur yang
berwenang mengambil keputusan. Selain itu, analisis CBA juga tidak memberikan gambaran
bagaimana tiap alternatif akan direalisasikan dalam implementasi. Ingat definisi decision atau
keputusan yang juga memasukkan unsur langkah-langkah pelaksanaan!
CBA digunakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik oleh invidu maupun instansi; baik
private maupun pemerintah. Hasil analisis dengan menggunakan CBA cukup dipercaya, karena CBA
memiliki kelebihan sebagai berikut:
• Юapat dibandingkan
• Transparan
• Memberikan proyeksi yang terukur secara relatif akurat, sehingga terutama sekali digunakan untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi (ketika satu pilihan dapat meningkatkan efisiensi, pilihan
tersebut harus diambil).
Namun, tidak berarti instrumen CBA ini sempurna. Di bawah ini adalah beberapa poin
kelemahan CBA, terutama ketika digunakan untuk melakukan pengambilan keputusan di sektor
publik:
• Penghitungan ekonomi untuk Public Good dengan menggunakan CBA sulit untuk dilakukan.
Sebagai contoh, berapakah harga udara yang kita hirup?
• Tidak dapat mengukur aspek multidimensional seperti keberlangsungan, partisipasi publik
dalam pembuatan keputusan dan nilai-nilai sosial yang lain.
• CBA juga hanya berfungsi untuk memberikan informasi kepada
pengambil keputusan, tapi tidak dengan sendirinya membuat keputusan.
• Eokus pada ⁵efisiensi’ sehingga melupakan ⁵equity’. Keduanya adalah dua kriteria yang berdiri sendiri-
sendiri dalam ekonomi kesejahteraan. Padahal aspek kesetaraan sangat penting karena kebijakan
publik merupakan fungsi utama pemerintah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar rakyat,
dimana seringkali prinsip-prinsip ini bertentangan dengan prinsip untung-rugi (logika dasar
CBA).
• 5fisiensi yang diharapkan diperoleh dengan CBA ini tidak jelas versi siapa? Apakah ditafsirkan
oleh pemerintah atau Masyarakat? Tua atau muda? Laki-laki atau perempuan?
Dosen perlu mengingatkan pada mahasiswa bahwa meskipun disadari bahwa CBA memiliki
banyak kelemahan, terutama ketika digunakan untuk melakukan analisa kebijakan sektor publik,
namun banyak analis dan pembuat kebijakan sektor publik tetap menggunakan instrumen ini, mengingat
instrumen ini memiliki kelebihan yang terlalu besar untuk diabaikan begitu saja.
Mengkaji Lingkungan
KEPUTUSAN
Dalam membimbing mahasiswa untuk melakukan analisis dengan instrumen SWOT Analysis,
dosen mengajak mahasiswa untuk mengikuti langkah-langkah dasar yang umum digunakan dalam
SWOT Analysis, seperti yang dipaparkan di bawah ini.
Analis menggunakan strategi-strategi itu berguna sebagai basis untuk menimbang relevansi
dari berbagai alternatif keputusan kebijakan yang akan diambil dan kompatibilitasnya dengan
situasi yang dihadapi.
Hal yang perlu diperhatikan dalam SWOT:
1. Analisis SWOT secara garis besar berupaya merumuskan langkah-langkah strategis dengan
mempertemukan variabel situasi eksternal dengan kondisi internal. Sebetulnya ada sekian
banyak kemungkinan langkah yang bisa dihasilkan dari pertemuan tersebut. Penentuan langkah
mana yang paling tepat akan bisa terjadi secara arbitrer jika analis tidak cermat. Untuk
menghindari ini, analis yang melakukan analisa dengan instrumen ini harus siap untuk
memperhitungan setiap alternatif langkah strategis yang dihasilkan dari SWOT Analysis, untuk
bisa mendapatkan pilihan yang benar-benar tepat.
2. Untuk itu, dalam melakukan analisis dengan instrumen SWOT, analis harus memiliki
kejelasan visi, karena pemaknaan peluang maupun ancaman hanya akan relevan dalam kerangka
pencapaian visi tersebut. Biasanya pemerintah daerah sulit mencapai kesepakatan tentang visi
tersebut, sehingga memunculkan ketidakjelasan, baik dalam penyusunan rencana strategis –
renstra maupun dalam melakukan analisis SWOT. Artinya, analisis SWOT sebagai bagian dari
Model Rational-Comprehensive mensyaratkan adanya rasionalitas tunggal.
3. Ada respons terhadap situasi normal maka pilihan seringkali didorong oleh motif optimalisasi
capaian – minimalisasi resiko (S – O Strategies). Tetapi dalam situasi yang tidak normal,
misal dalam konteks bencana, strategi itu menjadi tidak relevan. Dalam situasi demikian, maka
pilihan akan lebih didorong oleh motivasi kontrol terhadap kerusakan. Harus disadari bahwa
situasi cenderung berubah dengan cepat, sementara SWOT lebih banyak digunakan untuk
perencanaan jangka panjang, sehingga SWOT tidak memberikan pilihan untuk berganti strategi
sebagai bentuk adaptasi terhadap situasi yang berubah. Ini berujung pada kurangnya kapasitas
Analisis SWOT untuk menawarkan roadmap yang bersifat transformatif. Analisis SWOT masih
bersifat statis meskipun sudah lebih canggih dari CBA.
4. Analisis SWOT masih memiliki kelemahan yang dimiliki oleh CBA ketika harus berhadapan
dengan variabel-variabel yang intangible atau sulit untuk dikuantifikasi. Tentunya ini mempengaruhi
informasi yang dihasilkan dan, ujungnya, mempengaruhi keputusan yang diambil.
Setelah mahasiswa selesai dengan simulasi melakukan latihan analisis dengan instrumen CBA
dan SWOT,dosen mengajak mahasiswa untuk menindaklanjuti hasil analisanya dengan membuat
sebuah formula kebijakan. Mengapa demikian, karena dalam logika Rational – Comprehensive, setiap
keputusan yang diambil harus pula telah mempertimbangkan dan mengantisipasi segala kemungkinan
yang bakal muncul sebagai konsekuensi dari pilihan tersebut.
Untuk membimbing mahasiswa dalam berlatih membuat formulasi kebijakan ini, dosen
dapat menggunakan kerangka logikaProgram Kaukus Parlemen Bersih sebagai ilustrasi. Seperti dalam
kerangka logika tersebut, mahasiswa diminta untuk membuat sebuah kerangka logika, yang nantinya
akan digunakan sebagai kerangka kerja untuk mengimplementasikan keputusan kebijakan yang
diambil.
Dosen memaparkan bagaimana formulasi kebijakan dalam contoh kerangka logika tersebut
dipaparkan secara detil dan sistematis,mulai dari tujuan; keluaran; dan kegiatan. Untuk tiap-tiap
poin tersebut, instrumen verifikasi yang mencakup variabel indikator, verifikasi, dan asumsi.
Kerangka logika ini, selain berguna sebagai panduan dalam mengimplementasikan keputusan
kebijakan yang diambil, juga menjadi bagian dari instrumen monitoring dan evaluasi terhadap
kebijakan tersebut.
Sama seperti diperlihatkan dalam ilustrasi kerangka kerja program Kaukus Parlemen Bersih
tersebut, mahasiswa diminta untuk menguraikan tujuan kebijakan dalam poin-poin keluaran. Poin-
poin keluaran tersebut kemudian diterjemahkan dalam poin-poin kegiatan yang logikanya dilakukan
untuk menghasilkan keluaran yang diinginkan.
Dalam menyusun kerangka logika ini, dosen mengingatkan kepada mahasiswa, bahwa dalam
logika Rational – Comprehensive, semua tindakan, termasuk pengambilan keputusan, merupakan perbuatan
yang bertujuan. Sehingga dalam menguraikan keputusan kebijakan dalam kerangka kerja ini, selalu akan
terdapat hubungan kausal antar poin-poin yang ada dalam kerangka kerja tersebut. Karena itu, dalam
latihan membuat kerangka logika ini mahasiswa harus bisa memberikan penjelasan logis hubungan
antara poin tujuan; keluaran; kegiatan dan indikator; verikasi; dan asumsi yang muncul dalam kerangka
kerja yang dibuatnya.
Daftar Pustaka
Dahl, Robert A., (1971),Polyarchy: Participation and Opposition, Yale University Press
Howlett, Michael dan Ramesh, M., (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, UK: Oxford University Press
Jones, Charles O., (1977), An Introduction to the Study of Public Policy 2nd Edition, Mass: Duxbury
Press
Kingdon, John W., (1995),Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins College
Publishers
Stone, Deborah, (1997), Policy Paradox: the Art of Political Decision Making, NY:W&W Norton &
Company, pertama kali dipublikasikan 1988 dengan judul “Policy Paradox andPolitical Reason”
Vries,Michiel S. de, (1999),Calculated Choice in Policy Making: the Theory and Practice of Impact
Assesment, London: MacMillan
Pertemuan VII
ANALISIS FORMULASI
DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN(2)
• Ceramah
• Diskusi Kelas
Dalam situasi seperti digambarkan diatas, simahasiswa tidak sekedar mencocokkan problem,
kebutuhan menghubungi dosen, dengan solusi, menghubungi lewat sms atau telepon. Namun, perilaku
itu terjadi dalam sebuah konteks kelembagaan tertentu. Upaya mencocokkan itu baru dimulai dan
relevan, jika konteks kelembagaan di mana suatu keputusan harus diambil telah diketahui. Jika tidak
ada konteks kelembagaan itu, maka model Garbage - Can ini, bahkan proses pengambilan keputusan
tersebut, menjadi sama sekali tidak relevan. Misal, dalam kondisi di mana tidak terpikir sama sekali
adanya kebutuhan untuk menghubungi dosen, dan tidak terpikir adanya cara yang dianggap lazim
bagi setiap mahasiswa untuk menghubungi dosen, keputusan menghubungi dosen menjadi
kehilangan tujuan dan relevansinya.
Dalam konteks kelembagaan tertentu seperti dicontohkan di atas, model Garbage – Can melihat
bahwa proses pengambilan keputusan adalah proses mencocokkan antara permasalahan, solusi,
partisipan dan choice - opportunity. Ini bisa digambarkan dengan ilustrasi orang memasukkan sampah;
berupa problem,berbagai alternatif solusi, serta energi yang dimiliki; ke dalam keranjang sampah;
yaitu konteks kelembaaan yang ada, dan berharap bahwa rangkaian problem dan solusinya, yang
sesuai dengan konteks kelembagaan dan energi yang dimiliki, akan muncul dari keranjang sampah
tersebut.
Berbeda dengan model Rational-Comprehensive yang mengasumsikan pengambilan keputusan
berorientasi pada penyelesaian masalah yang diasumsikan sudah terdefinisi secara jelas, dalam
model Garbage
- Can proses pengambilan keputusan tidak melulu berorientasi pada pemecahan masalah sebagai
tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dalam model Garbage-Can proses pengambilan keputusan
dan keputusan yang dihasilkan lebih ditentukan oleh dan berorientasi pada kombinasi yang
dianggap cocok di antara empat arus di atas.
Kombinasi keempat arus di atas, dengan menambahkan faktor waktu, di mana pengalaman
permasalahan dan solusi sebelumnya direproduksi terus-menerus, menciptakan apa yang disebut
sebagai logika kepantasan atau logic of appropriateness.4 Artinya, seperangkat nilai, norma, atau
aturan; bisa tertulis ataupun tidak; yang terlembaga dalam rutinitas keseharian dan selalu menjadi
acuan bagi sebagian besar orang ketika dihadapkan pada situasi yang dianggap mirip.
Setelah memaparkan relasi antara model Garbage - Can dan konteks kelembagaan dalam
proses pengambilan keputusan,dosen melanjutkan dengan pemaparan bagaimana konteks
kelembagaan mempengaruhi alternatif keputusan yang dimiliki oleh seorang pengambil keputusan.
Untuk itu, dosen memaparkan karakter institusi sebagai sesuatu yang bersifat constraining - membatasi,
namun juga sekaligus enabling –mendorong, dalam proses pengambilan keputusan.
Konteks kelembagaan mempengaruhi perilaku aktor-aktor yang terlibat didalamnya dengan
cara membatasi pilihan aktor-aktor tersebut. Namun pada saat yang bersamaan, konteks
kelembagaan ini juga menjalankan fungsi sebagai dasar yang memungkinkan aktor- aktor
didalamnya untuk mengambil perilaku dan tindakan tertentu yang kecil kemungkinan bisa
dilakukan oleh aktor-aktor lain di luar konteks kelembagaan tersebut. Prinsip yang sama juga
berlaku dalam proses pengambilan keputusan kebijakan.
Contoh sederhana, masih dari ilustrasi tentang mahasiswa di atas tadi, posisi sebagai
mahasiswa memang membatasi pilihan cara si mahasiswa untuk menghubungi si dosen. Artinya,
mahasiswa mau tidak mau dan cepat atau lambat harus menghubungi si dosen, sementara orang lain
yang bukan mahasiswa terbebas dari keharusan itu. Tetapi di sisi yang lain, posisi si mahasiswa
sebagai seorang mahasiswa, membuat dia memiliki akses dan legitimasi untuk menghubungi si
dosen, yang mungkin sekali tidak dimiliki oleh orang lain yang tidak berstatus mahasiswa.
Kasus-kasus yang cocok dengan gambaran pengambilan keputusan dalam model Garbage - Can
banyak kita temui dalam kerja birokrasi, baik pemerintah maupun privat. Di situ, jika kita cermati,
seringkali, di level birokrasi, suatu situasi atau permasalahan yang dihadapi akan direspons dengan
serangkaian langkah yang dalam logikanya lebih mengedepankan aspek prosedural daripada
substansi permasalahan yang dihadapi tersebut. Keputusan untuk merespons situasi atau
permasalahan tersebut lebih berfokus pada upaya bagaimana secara prosedural situasi atau
permasalahan tersebut harus direspons.
Misalnya, seorang kepala kantor atau manajer mendapatkan disposisi dari atasannya untuk
melakukan sesuatu. Disposisi ini menghadirkan sebuah problem atau situasi yang harus direspons
oleh kepala kantor atau manajer tersebut. Dalam merespons situasi atau problem tersebut, kepala
kantor atau manajer harus membuat keputusan. Menurut model Garbage - Can, si manajer atau
kepala kantor ini, dalam mengambil keputusan, cenderung akan lebih, atau hanya berpikir
bagaimana disposisi ini bisa segera dilaksanakan, apapun hasilnya, dan dilaksanakan sesuai dengan
koridor prosedur yang ada. Alternatif-alternatif yang dipertimbangkan biasanya lebih mengacu
pada kesesuaian masing-masing alternatif yang ada dengan prosedur yang sudah ditetapkan.
Model Garbage – Can memang secara spesifik melihat bahwa ‘kebiasaan’ mempengaruhi
proses pengambilan keputusan secara signifikan. Dalam analisis yang mengedepankan dimensi
administratif dari proses pengambilan keputusan, model ini memang sering dikatakan mengarah
pada konservatisme. Sementara, dalam analisis yang mengedepankan dimensi politis, model ini
dituduh condong pada konservatisme.5
Setelah selesai memberikan paparan singkat tentang model analisis Garbage-Can, dosen meminta
mahasiswa untuk berlatih melakukan analisa pengambilan keputusan kebijakan dengan
menggunakan model tersebut. Sembari mahasiswa mengerjakan latihan tersebut, dosen memberikan
‘tutorial’ tentang penggunaan model Garbage-Can dalam analisis pengambilan keputusan kebijakan.
Daftar Pustaka
Cohen, M. D., J.G. March, dan J.P. Olsen,(1972), A Garbage-Can model of Organizational Choice,
Administrative Science Quarterly,17, hal.1- 25.
Howlett, Michael dan Ramesh, M. (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, UK: Oxford University Press
March J G, Olsen J P, 1989, Redisco.ering Institutions: TheOrganizational Basis of Politics. NY: Free
Press
Pieters B. Guy, (2002) Governance: a Garbage-Can Perspective, Political Science Series, Institut for
Advanced Science: Vienna
Roones, Paul G., Institutionalism and Garbage-Can Reasoning, Notes Prepared for Workshop on
Theory and Methods for Studying Organizational Process: Institutional, Narative, and Related
Approaches, London School of Economics and Political Science, February 17 – 18, 2005
Pertemuan VIII
• Ceramah
• Tutorial
Dalam sesi ini dosen memaparkan secara singkat kepada mahasiswa karakter utama dari model
Mixed – Scanning, dan apa yang membedakannya dari dua model yang lain. Penjelasan mengenai
perbedaan model Mixed – Scanning dan dua model sebelumnya dilakukan dengan menjelaskan
perbedaan asumsi-asumsi dasar yang digunakan oleh masing-masing model.
Untuk membuat mahasiswa lebih menghayati analisa pengambilan keputusan kebijakan dengan
logika Mixed-Scanning, dosen juga menggunakan ilustrasi proses perumusan Rancangan Undang-
undang Keistimewaan (RUUK) DIY. Di situ dosen menunjukkan bagaimana asumsi-asumsi dasar
dalam Model Mixed – Scanning diaplikasikan dalam praktek analisa untuk pengambilan keputusan
kebijakan.
Selanjutnya, mahasiswa dosen meminta mahasiswa untuk melakukan latihan analisa pengambilan
keputusan kebijakan dengan Model Mixed
- Scanning. Seperti biasa, dalam latihan ini mahasiswa bisa memilih dua corak analisa. Pertama, analisa
untuk pengambilan keputusan kebijakan. Kedua, analisa terhadap pengambilan keputusan kebijakan.
Bagi mahasiswa yang memilih untuk melakukan analisa untuk pengambilan keputusan
kebijakan, output yang diharapkan dari latihan ini adalah draft rancangan akademik untuk suatu
regulasi tertentu yang memaparkan prinsip dan wilayah pengaturan dari regulasi tersebut. Untuk
itu, pada sesi sebelumnya mahasiswa telah diminta untuk memilih sebuah contoh kasus atau isu
tertentu.
Bagi mahasiswa yang memilih melakukan analisa terhadap pengambilan keputusan, output
yang diharapkan dari latihan ini berupa paparan hasil penelitian yang menjelaskan fenomena kasus
pengambilan keputusan kebijakan tertentu dalam logika Mixed – Scanning.
Setelah memaparkan Model Mixed-Scanning secara konseptual, dosen meminta mahasiswa untuk
berlatih melakukan analisis pengambilan keputusan kebijakan. Dalam latihan ini dosen
membimbing mahasiswa dengan cara memberikan ilustrasi sebuah kasus analisa pengambilan
keputusan kebijakan. Untuk keperluan itu, dosen bisa memakai kasus penyusunan Rancangan
Undang-undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta.
Daftar Pustaka
Etziony, Amitai, Mixed-Scanning: A “Third” Approach to Decision-Making; Source: Public
Administration Review, Vol. 27, No. 5 (Dec., 1967), pp. 385-392 Published by: Blackwell
Publishing on behalf of the American Society for Public Administration Stable, URL: http://
www.jstor.org/stable/973394 Accessed: 08/04/2010 02:05
Howlett, Michael dan Ramesh, M., (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, Oxford University Press
Lay, Cornelis; Pratikno; A.A.G.N. Dwipayana; Purwo Santoso; Haryanto; Wawan Mashudi; I.
Ketut P. Erawan; Marcus Priyo Gunanto; Andi Sandi, (2007), Rancangan Undang-undang
Keistimewaan Yogyakarta, Monograph on Politics & Government 1, Vol.2. no.1. Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIPOL UGM – Program Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah-
UGM
Pertemuan IX
• Ceramah
• Diskusi kelas
Interaksi ini, dengan derajat yang bervariasi, niscaya akan melibatkan proses-tawar menawar,
akomodasi dan konflik. Hal ini menunjukkan bagaimana proses implementasi juga merupakan proses
yang bersifat politis, disamping administratif. Dua karakter, politis dan administratif, dari proses
implementasi ini diperlihatkan oleh Grindle dalam Bagan IX.1.
Bagan IX.1.
Masih mengacu pada Hogwood dan Gunn, dosen memaparkan empat perspektif, yang bersama-
sama dengan dua pendekatan di atas, sering digunakan dalam proses maupun analisa implementasi
kebijakan.13 Perspektif yang pertama adalah Pendekatan Struktural. Analis yang menggunakan
pendekatan ini biasanya memfokuskan analisanya pada analisis organisasional modern. Di sini sebisa
mungkin desain kebijakan dan organisasional dianggap sebagai dua hal yang, kurang lebih, kongruen.
Perspektif yang kedua adalah Pendekatan Prosedural. Analis yang menggunakan perspektif ini
akan menekankan pada analisa terkait dengan proses dan prosedur yang tepat, termasuk tehnik-
tehnik yang tepat, untuk mengimplementasikan kebijakan. Jika prosedur implementasi sudah diatur
dalam formula kebijakan yang sudah disepakati, analisis yang menggunakan pendekatan ini akan
melihat apakah implementasi yang dilakukan sesuai dengan prosedur tersebut.
Tabel IX.1. Kontras Pendekatan Top – Down dan Bottom – Up
POIN TOP – DOWN BOTTOM –
N
PERBE UP
o
DAAN
1. Corak State promoted Society –
institusi mengandalkan promoted
kewenangan birokrasi mengandalkan
pemerintah dan dana. modal sosial dan
masyarakat cenderung jaringan dan
dipandang hanya sebagai cenderung
obyek kebijakan dihasilkan
sebagai produk
mandiri
masyarakat
2. Sifat Keputusan bersifat Keputusan
keputusan otoritatif merupakan hasil
dalam dari komitmen
implementa terhadap kebijakan
si bersifat
konsensual,
keputusan
kebijakan hanya
bersifat garis besar
3. Tujuan Tujuan kebijakan Tujuan kebijakan
kebijakan bersifat final dan tidak banyak
bisa ditawar mengandung
ambiguitas dan
harus selalu
diotorisasi melalui
proses negosiasi
untuk membangun
konsensus
4. Pemaknaa Implementasi direduksi Implementasi
n terhadap sekedar sebagai proses direduksi sebagai
implementa administratif proses politis
si yang secara terus
menerus
melibatkan
negosiasi.
Ketiga, Perspektif Behavioral. Pendekatan ini menekankan pada analisa tentang perilaku manusia
terhadap kebijakan. Ini terkait dengan sifat dasar kebijakan sebagai sebuah langkah intervensi.
Intervensi ini mau tidak mau akan menimbulkan perubahan, dan tidak semua orang senang dengan
perubahan. Analisa dengan pendekatan ini biasanya akan ditujukan untuk menciptakan sebuah
atmosfer kepercayaan, terutama melalui pengelolaan yang memperlihatkan kepedulian terhadap
kepentingan publik.
Terakhir, Perspektif Politik. Perspektif ini didasarkan pada asumsi sederhana: Implementasi sebuah
kebijakan bisa jadi telah direncanakan secara cermat menurut organisasi, prosedur dan manajemen
yang tepat, dan menghasilkan perilaku sebagaimana diharapkan, tetapi jika itu semua
mengabaikan realitas kekuasaan, misalnya; kemampuan kelompok-kelompok yang menentang
kebijakan tersebut untuk ‘mengganggu’ kebijakan tersebut, maka kebijakan itu bisa jadi akan
gagal. Analisis dengan pendekatan ini biasanya, meskipun tidak selalu, terkait dengan pola-pola
kekuasaan antar dan dalam organisasi.14
Dalam analisis implementasi kebijakan, perspektif dan pendekatan yang dipakai akan
mempengaruhi asumsi yang digunakan untuk membangun model implementasi dan pilihan
instrumen yang digunakan didalam model tersebut. Sebetulnya, keempat pendekatan di atas
merupakan representasi model berpikir, yang sebelumnya sudah diperkenalkan di pertemuan IV dari
mata kuliah ini. Hal ini semakin mempertegas dan memperkuat pemahaman mahasiswa tentang
pentingnya memahami model dan konsekuensi yang muncul dari pilihan model yang diambilnya
dalam menganalisis suatu kebijakan.
Menariknya, dalam praktek analisa implementasi kebijakan, analis bisa mengkombinasikan
keempat perspektif tersebut dalam membangun desain implementasi-nya. Sehingga desain
implementasi kebijakan yang dihasilkan bisa saja mengkombinasikan berbagai instrumen yang
muncul sebagai konsekuensi dari model dipilih.
Berikut ini adalah beberapa macam kelompok instrumen kebijakan yang diklasifikasikan oleh
Howlett dan Ramesh, seperti yang ditampilkan dalam Bagan IX.1. Spektrum Instrumen
Kebijakan. Di mana Howlett dan Ramesh mengklasifikan berbagai instrumen kebijakan
berdasarkan utilitas-nya dilihat dari level intervensi negara.
Bagan IX.1.
1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh substansi kebijakan yang akan diimplementasikan. Ketika kebijakan
dipahami sebagai sebuah intervensi terhadap suatu situasi yang telah ada sebelumnya, harus
disadari bahwa dalam situasi tersebut sudah ada sistem yang berjalan, lengkap dengan nilai dan
aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Aktor-aktor tersebut tentu saja memiliki kepentingan
dengan situasi yang ada pada saat itu. Jika keberadaan keputusan kebijakan yang akan
diimplementasikan ternyata berimplikasi negatif dengan kepentingannya, tentunya akan
muncul resistensi dari para aktor tersebut, dan bisa menggagalkan proses implementasi dan
tercapainya tujuan kebijakan.
2. Tipe manfaat yang diterima. Tipe manfaat dari kebijakan yang diterima juga berpengaruh
pada keberasilan proses implementasi dan pencapaian dampak kebijakan yang diinginkan.
Setelah kita menyadari bahwa dalam setting di mana kebijakan akan diimplementasikan terdapat
banyak aktor dengan kepentingannya masing-masing, tentu kita, sebagai analis, juga harus sadar
bahwa masing-masing aktor memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap kebijakan yang
akan diimplementasikan.
3. Derajat perubahan yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakan yang akan
diimplementasikan. Analis harus memahami derajat potensi perubahan yang ditimbulkan
sebagai akibat dari intervensi kebijakan terhadap situasi yang ada. Dalam banyak kasus,
substansi kebijakan yang memproyeksikan perubahan yang mendasar terhadap situasi yang ada,
cenderung mendapatkan resistensi yang lebih kuat, sehingga memiliki potensi yang lebih besar
untuk gagal. Analis harus mampu membaca kemungkinan ini untuk bisa membangun sebuah
desain implementasi kebijakan yang aplikabel.
4. Letak pengambilan keputusan. Analis harus memper- hitungkan konsekuensi dari isi
formula kebijakan terhadap letak pengambilan keputusan untuk implementasi kebijakan dan
siapa saja yang akan menjadi aktor kunci pengambilan keputusan pada proses implementasi.
Ingat, proses implementasi tidak hanya proses administratif yang tinggal menjalankan apa yang
sudah dinyatakan dalam formula, tetapi juga melibatkan proses tawar menawar, akomodasi, dan
konflik dengan aktor yang beragam.
5. Implementor program. Analis perlu memahami dan memperhitungkan konsekuensi dari
keputusan tentang siapa yang akan menjadi implementor program. Selain berkaitan dengan
masalah teknis, seperti kompetensi dari si implementor, untuk faktor ini seorang analis perlu
memahami bahwa di antara para implementor program, baik itu di kalangan agensi aparatus
pemerintah maupun kelompok-kelompok di masyarakat, seringkali terjadi tarik-menarik
kepentingan. Implementasi kebijakan bisa gagal, atau memberikan hasil yang tidak maksimal
karena adanya tarik menarik-kepentingan ini. Karenanya, dalam membangun desain
implementasi kebijakan, khususnya dalam merekomendasikan implementor program, seorang
analis perlu jeli dan peka dalam melihat relasi antar aktor kebijakan.
6. Sumber daya yang tersedia. Implementasi kebijakan mengimplikasikan adanya kebutuhan
akan resource. Tingkat kebutuhan akan resource seringkali juga dipengaruhi oleh pilihan
strategi dan instrumen implementasi kebijakan. Dalam kalkulasi rasional, pilihan strategi dan
instrument kebijakan biasanya juga harus dianalisa dalam relasinya dengan variabel
sumberdaya yang tersedia, disamping variabel efektivitas dari berbagai pilihan strategi dan
instrument implementasi yang tersedia.
Dari pengetahuan akan tujuan tersebut, si analis melakukan langkah kedua, yaitu
mengkontekstualisasikan tujuan tersebut dengan kondisi dan situasi konkrit di mana keputusan kebijakan tersebut akan
diimplementasikan. Menurut Grinddlle, dalam menganalisa konteks, analis perlu memperhitungan hal-
hal sebagai berikut:Pertama, kontekstualisasi tujuan kebijakan dalam setting yang lebih spesifik tersebut
akan memberikan gambaran tentang apa yang harus dilakukan agar tujuan kebijakan yang
dimaksudkan bisa tercapai melalui proses implementasi dalam setting tersebut. Ini penting untuk
dilakukan mengingat tujuan kebijakan ditetapkan cenderung dengan mengabaikan keragaman dan
kompleksitas yang ada di lapangan. Karena itu, dalam proses implementasinya, harus dilakukan
adjustment dengan situasi konkrit yang dihadapi.
Kedua, setelah memahami tujuan kebijakan, situasi dan konteks spesifik di mana kebijakan itu
akan diimplementasikan, langkah selanjutnya adalah menentukan alternatif-alternatif implementasi
kebijakan. Kalibrasi antara tujuan kebijakan dan situasi konkrit akan menghasilkan asumsi. Asumsi
ini akan menjadi dasar bagi analis dalam membangun model kausal. Berdasarkan asumsi dan model
kausal tersebut, seorang analis bisa mulai menginventarisir berbagai alternatif instrumen implementasi
yang dianggap relevan (Lihat Bagan IX.1).
Bagan IX.2.
Dalam menginventarisir dan memilih alternatif instrumen implementasi ini ada beberapa hal
yang harus diperhatikan. Yang paling utama adalah anatomi dan dampak dari desain implementasi
kebijakan yang dihasilkan dari sebuah analisis untuk kebijakan. Hal ini dibahas oleh Grindle seperti
dalam Bagan IX.2. Melalui bagan tersebut, dosen menekankan sekali lagi bagaimana dalam
melakukan analisis untuk implementasi kebijakan, analisa terhadap content dan context kebijakansecara
signifikan mempengaruhi desain implementasi yang dihasilkan.
Dalam anatomi pengambilan keputusan kebijakan yang digambarkan dalam Bagan IX.2.,
setidaknya analisis untuk implementasi kebijakan harus dilakukan di tiga level. Level pertama
adalah analisis tentang konsekuensi content kebijakan terhadap upaya implementasi secara umum.
Level yang kedua adalah konsekuensi strategi implementasi terhadap upaya delivery program yang
muncul sebagai penerjemahan dari isi kebijakan. Level yang ketiga terkait analisis terhadap respons
yang mungkin muncul dari berbagai aktor kebijakan yang terlibat terhadap pilihan strategi delivery
program yang diambil.
Daftar Pustaka
Grindle, Merilee S. ed., (1980), Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton
University Press
Hogwood, Brian W. dan Lewis E. Gunn, Policy Analysis for the Real World, Oxford University Press
Hill, Michael, 1997, The Policy Process in the Modern State, Prentice Hall/ Harvester Wheatsheaf
Santoso, Purwo, (2002), Modul Kuliah Kebijakan Pemerintahan dan Implementasinya, Program
Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik, Yogyakarta: Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi
Daerah, UGM.
Pertemuan X
MisiSesi Perkuliahan
• Monitoring Kebijakan
• Analisis untuk Monitoring Kebijakan dan Analisis
terhadap Monitoring Kebijakan
Metode Sesi Perkuliahan
• ceramah
Selain fungsi fundamental yang bersifat teknis administratif tersebut, mahasiswa juga perlu
diingatkan bahwa dalam rezim yang demokratis, proses monitoring juga diharapkan untuk mampu
memenuhi fungsi partisipatif yang menjadi perwujudan dari kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi
representatif, fungsi monitoring juga menjadisebuah fungsi yang bersifat representatif, sehingga,
seharusnya DPR maupun DPRD mengkonsilidasikan fungsi-fungsi yang ada di masyarakat,
memetakan kekuatan-kekuatan di masyarakat, kemudian memberikan akses untuk ikut melakukan
fungsi monitoring kebijakan negara.
Tetapi dalam prakteknya, kita jarang menemukan adanya metode dan instrumentasi yang
digunakan secara tepat guna oleh pemerintah untuk menjalankan pengawasan dalam logika besar
seperti itu. Pengawasan cenderung dilakukan secara parsial dan lebih berorientasi pada masalah teknis.
Dari pemahaman akan kecenderungan tersebut, dosen mengingatkan kepada mahasiswa
bahwa dalam melakukan analisis monitoring kebijakan perlu selalu mengkaitkan model kebijakan dan
logika dasar masalah – solusi dan implementasi kebijakan yang dianalisis dengan desain
monitoring yang dibangun.
Setelah memberikan pemaparan tentang monitoring kebijakan, seperti sesi-sesi sebelumnya, dosen
meminta mahasiswa untuk berlatih melakukan analisis. Dalam latihan ini, mahasiswa dibagi dalam
dua kelompok berdasarkan pilihan corak analisis yang mereka pilih, antara analisis untuk kebijakan
dan analisis terhadap kebijakan.
B. Berlatih Melakukan Analisis untuk Monitoring Kebijakan
Dalam melakukan latihan analisis untuk monitoring kebijakan ini, mahasiswa diminta untuk
memilih sebuah kasus kebijakan untuk dijadikan sebagai bahan analisisnya. Dari latihan ini,
mahasiswa diharapkan bisa menghasilkan desain monitoring kebijakan terkait dengan contoh kasus
yang dianalisisnya. Desain monitoring kebijakan yang dihasilkan oleh mahasiswa, setidaknya memuat
tiga elemen, yaitu: instrumen-monitoring, pelaksanaan monitoring, dan temuan monitoring.
Desain monitoring yang diharapkan dari mahasiswa juga harus mencakup dua level monitoring.
Pertama, desain monitoring yang dibuat oleh mahasiswa harus mencakup monitoring terhadap
implementasi dari program dan kegiatan yang menjadi penjabaran dari formula kebijakan. Kedua,
desain tersebut juga harus bisa digunakan untuk me
– monitoring dampak dari program dan kegiatan tersebut.
Dalam membimbing mahasiswa untuk melakukan latihan analisis untuk monitoring kebijakan ini,
dosen mengajak mahasiswa untuk mengacu pada pembahasan di sesi sebelumnya, tentang
formulasi dan implementasi kebijakan. Jadi, sebisa mungkinanalisis untuk monitoring kebijakan
yang dibuat pada sesi ini didasarkan pada desain implementasi yang telah dihasilkan dari latihan analisis
yang dilakukan oleh mahasiswa di sesi sebelumnya. Karena itu, bisa dikatakan bahwa, inti dari
tahap ini adalah menerjemahkan rancangan implementasi tersebut dengan ke dalam instrumen
monitoring.
Untuk itu, dosen memberikan contoh kasus kebijakan pengentasan kemiskinan. Untuk membuat
instrumen monitoring kebijakan, mahasiswa harus memahami lebih dahulu desain implementasi dan
instrumentasi kebijakan pengentasan kemiskinan. Untuk tiap-tiap program didalam rancangan
rancangan implementasi dan instrumentasi tersebut, mahasiswa membuat poin verifikasi, untuk apa
dilakukan; dengan cara apa; dengan instrumen apa; oleh siapa; dan seberapa jauh implementasi program
tersebut memunculkan output yang diinginkan.
Seperti sudah dipaparkan di atas, untuk membangun desain monitoring kebijakan yang relevan
dengan kasus kebijakan yang dianalisis, analis harus memperhatikan model implementasi dari
kebijakan yang dianalisis. Dari pertemuan sebelumnya, mahasiswa telah diajak untuk mengenal
dan memahami dua model utama implementasi kebijakan, yaitu model top - down dan model bottom
– up. Masing-masing model menuntut desain monitoring dengan spesifikasi yang berbeda.
Jika mahasiswa melihat kasus kebijakan yang dianalisis dalam merupakan sebuah kebijakan
yang dirumuskan dalam logika implementasi Top - down, dosen mengajak mereka untuk melihat
bahwa monitoring merupakan turunan dari logika instrumentasi kebijakan yang termuat dalam desain
implementasi kebijakan. Dalam model ini fungsi utama dari proses monitoring adalah mengawasi dan
memastikan bahwa formula kebijakan dan desain implementasi kebijakan diwujudkan secara
konkrit. Sebagai contoh mahasiswa bisa diajak untuk melihat bagaimana logika kerja Program
Kaukus Parlemen Bersih bisa digunakan sebagai instrumen untuk melakukan monitoring kebijakan
seperti ini.
Tabel X.1.
Untuk itu, bagi mahasiswa yang memilih melakukan analisis untuk monitoring kebijakan dalam
logika top - down, harus diupayakan agar analis yang mereka lakukan akan memunculkan aktivitas-
aktivitas berikut ini dalam desain monitoring yang mereka hasilkan:
1. Mengawasi ketersediaan dan sampainya delivery kebijakan pada
target group.
2. Mengawasi dan mencatat dampak dari kebijakan yang di-delivery serta mengukur kesesuaian
dengan formula kebijakan yang sudah ditetapkan.
3. Selain fungsi utama tersebut, proses monitoring juga berfungsi untuk mendeteksi dan memberikan
informasi jikalau muncul situasi- situasi yang, bisa jadi, memunculkan kebutuhan untuk
mengubah atau mengadaptasi formulasi atau desain implementasi kebijakan yang diawasi.
Bagi mahasiswa yang melihat kasus kebijakan yang dianalisisnya dalam logika implementasi
Bottom – up, perlu diingatkan bahwa dalam logika implementasi bottom – up tidak ada logika
instrumentasi yang digunakan sebagai basis untuk melakukan proses monitoring, karena desain dan
formulasi kebijakan bersifat cair dan ditentukan oleh kondisi kontekstual di mana proses kebijakan
itu terjadi. Dalam konteks demikian, analis perlu menyadari bahwa proses monitoring didasarkan pada
nilai yang muncul diantara aktor kebijakan yang terlibat dalam proses kebijakan bottom – up tersebut.
Karenanya, desain monitoring dalam logika bottom up, lebih mengacu pada terpenuhinya nilai yang
pemaknaan dan definisinya ditentukan sendiri oleh publik yang menjadi obyek kebijakan.
Sebagai contoh, mahasiswa bisa diajak melihat kasus Kebijakan Otonomi Khusus di Papua.
Desain monitoring untuk kebijakan semacam itu tidak hanya melibatkan logika instrumentasi
kebijakan yang sudah ditetapkan dalam formula dan desain implementasi kebijakan Otsus Papua
dari pemerintah pusat. Desain monitoring untuk kebijakan otonomi khusus Papua juga melibatkan logika
bottom up yang lebih didasarkan pada persepsi masyarakat Papua yang menjadi obyek dari
kebijakan tersebut, misal: terkait dengan masalah penghormatan dan pengakuan terhadap kedaulatan
hukum adat Papua, desain dan instrumen monitoring untuk kebijakan pengakuan dan penghormatan
terhadap hukum adat ini tidak bisa ditentukan dari pemerintah pusat, karena pemerintah pusat tidak
memiliki justifikasi dan legitimasi untuk menentukan ukuran baik dan buruk pelaksanaan hukum adat
masyarakat Papua. Justifikasi untuk menentukan ukuran tersebut ada di masyarakat Papua itu sendiri,
sebagai subyek dan obyek hukum adat Papua.
Dosen menegaskan kepada mahasiswa bahwa poin verifikasi dalam contoh di atas adalah
contoh dalam instrumen monitoring yang paling sederhana. Dosen bisa memberikan contoh yang
lebih kompleks dengan kasus Kebijakan Untuk Meningkatkan Kualitas Kebijakan Melalui
Partisipasi, seperti ditampilkan dalam Tabel X.1. Dalam contoh ini, poin yang diverifikasi berpusat
pada pelaksanaan partisipasi dalam proses kebijakan secara umum. Untuk itu, tahapan,
intensitas,cakupan, dan dampak yang ditimbulkan dalam praktek proses kebijakan menjadi poin
verifikasi yang krusial bagi kebijakan ini.
Monitoring dalam logika politik itu mensyaratkan ada infrastruktur, kalau tidak ada sulit
ditunjukkan. Monitoring terjebak dalam logika yang teknokratis-administratif.
Berikut ini adalah contoh beberapa mekanisme monitoring yang dikembangkan di Indonesia:
1. Mekanisme gugus tugas
Biasanya, untuk menyusun suatu dokumen pembangunan (seperti Repelita atau Propenas)
pemerintah akan menugaskan sejumlah teknokrat, entah di Bappenas atau di departemen
sektoral, mungkin juga dibantu oleh orang dari universitas. Langkah ini dirubah dengan
memberikan pendekatan yang “lebih partisipatif ” dalam menyusun dokumen-dokumen ini. Cara
yang dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk gugus tugas-gugus tugas untuk
menyusun dokumen PRSP.
2. Mekanisme satuan kerja finalisasi
Belajar dari pengalaman penyusunan SKPN periode sebelumnya, Menko Kesra dan Bappenas
akhirnya memutuskan membentuk tim yang lebih kecil, meskipun tetap bersifat multipihak dan
berasal dari para anggota gugus tugas.
Mereka dipilih antara lain dengan pertimbangan: (i) representasi berbagai departemen dan
lembaga non-pemerintah; (ii) pernah terlibat dan aktif dalam kerja-kerja gugus tugas
sebelumnya; (iii) mewakili keahlian yang diperlukan untuk menyusun dokumen seperti dari
BPS untuk data, Depkes untuk bidang kesehatan dan “Kikis” untuk memperkuat suara orang
miskin, serta perwakilan kelompok swasta seperti representasi dari Kadin. Tim ini disebut
Satuan Kerja finalisasi.
Dari hasil pembacaan tiga literatur tersebut, mahasiswa diminta untuk membuat review singkat
serta memberikan paparan tentang fungsi dari analisis dalam evaluasi kebijakan.
Daftar Pustaka
Cohen, March, Olsen, (1972), A Garbage-Can Model of Organizational Choice, Administrative Science
Quarterly vol. 17
Hogwood & Gunn, (1989), Policy Analysis for the Real World, UK; Oxford University Press
Nugroho, Riant, (2007), Analisa Kebijakan Publik, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Palumbo, Dennis J dan Harder, Marvin A. eds., (1981),Implementing Public Policy, Lexington Books
EVALUASI KEBIJAKAN
• Evaluasi Kebijakan
Metode Sesi Perkuliahan
• Ceramah
A. Analisis dan Evaluasi Kebijakan
Pada pertemuan ini mahasiswa diajak untuk menyelami dan menghayati praktek evaluasi
kebijakan, sebagai bagian dari analisis kebijakan, melalui aktivitas latihan. Dosen mengawali
pertemuan ini dengan menjelaskan bahwa aktivitas evaluasi kebijakan merupakan kelanjutan dari
aktivitas monitoring kebijakan, yang telah dibahas pada pertemuan sebelumnya.
Jika aktivitas monitoring didefinisikan sebagai aktivitas untuk menjaga agar proses kebijakan
tidak melenceng dari desain yang sudah digariskan, maka aktivitas evaluasi lebih didefinisikan
sebagai aktivitas untuk menilai efektivitas kebijakan dalam mencapai tujuan kebijakan yang
dikehendaki.
Dosen menjelaskan kepada mahasiswa, bahwa, biasanya; kesulitan terbesar dalam melakukan
evaluasi kebijakan adalah memastikan dampak yang dihasilkan kebijakan bukan karena kebetulan
atau diibaratkan menang lotere. Kesulitan ini terkait erat dengan problem- problem metodologis
yang dihadapi dalam pengambilan keputusan kebijakan, yaitu:
1. Keragaman dimensi dari berbagai tujuan kebijakan
2. Informasi yang sangat tidak lengkap
3. Keragaman alternatif untuk bisa menentukan dampak-dampak yang ditimbulkan dari tiap
alternatif
4. Keterbatasan yang beragam dan, bisa jadi, saling berkonflik satu sama lain
5. Kebutuhan akan kesederhanaan dalam menggambarkan dan mempresentasikan kesimpulan di
tengah-tengah kompleksitas- kompleksitas di atas1
Ini berpengaruh terhadap penentuan kriteria apa yang digunakan untuk melakukan evaluasi.2
Misalnya, kalau pemerintah ingin kebijakan untuk mengatasi kemiskinan, apakah cukup hanya
dengan membagi- bagikan uang kepada orang miskin? Kemudian, ketika ada orang kaya, apakah
kayanya orang tersebut karena sesuatu hal yang dilakukan pemerintah?
Kita juga bisa melihat gambaran proses evaluasi program pemerintah yang lazim dijalankan.
Misalnya pemerintah membuat proyek “A”, evaluasinya hanyalah soal berapa dana yang telah
dianggarkan, pelaksananya diberikan kepada PT “X” yang telah menang tender, capaiannya atau
output-nya. Namun, bagaimana dampak dari proyek “A” tersebut tidak pernah dibicarakan. Padahal hal
paling fundamental dari evaluasi kebijakan itu adalah mencermati apakah kebijakan tersebut bisa
menghasilkan dampak yang diharapkan atau tidak. Ketika proses pelacakan berbagai output dan
reaksi antar output itu tidak sama, maka kita tidak bisa menentukan outcome-nya dengan baik.
Persoalan paling serius jika seseorang ingin mengevaluasi kebijakan dengan cara teknokratis
adalah memastikan bahwa dampak kebijakan itu betul-betul berasal dari kebijakan yang dibuat.
Pemerintah biasanya melakukan simplifikasi ketika melakukan evaluasi. Simplifikasi itu adalah
kecenderungan mereka untuk kesulitan membedakan antara output, outcome dan impact.
Sebagai ilustrasi, dosen bisa memaparkan secara singkat tentang kebijakan publik yang
menjanjikan kelancaran transportasi. Keberhasilan kebijakan tersebut tentunya membutuhkan
prasyarat tertentu, yaitu memastikan bahwa ada sekian banyak hal yang harus disiapkan dengan
baik. Dampak kelancaran transportasi tersebut memerlukan sejumlah output yang harus dibuat oleh
pemerintah. Misalnya, pertama, kelancaran transportasi itu memerlukan jalan, maka perlu dibuat
jalan-jalan yang baik. Kedua, kendaraan bermotor yang melintas harus dipastikan dalam kondisi
prima. Jangan sampai kendaraannya bobrok semua, sehingga kendaraan banyak yang macet dan
justru mogoknya kendaraan tersebut menjadi penyebab kemacetan. Belum lagi keperluan
membangun sekian banyak jembatan penghubung, rambu-rambu lalu-lintas, penertiban pengendara,
dan lain-lain. Artinya, ada sekian banyak output yang harus dibuat sehingga kalau semua output yang
dibuat tersebut baik dan saling menunjang satu sama lain, maka baru bisa diperoleh dampak
kelancaran lalu-lintas. Keharusan untuk memperhitungkan seluruh aspek serta hubungan kausal
antar aspek tersebut dan output suatu kebijakan dalam menghasilkan outcome, tentunya membuat proses
analisis dan desain kebijakan menjadi suatu pekerjaan yang sangat berat dan rumit. Hal yang paling
mudah diukur dan dievaluasi justru proses output kebijakan. Kalau misalnya pemerintah itu
mengagendakan membangun jalan atau jembatan, memperbaiki trotoar dan seterusnya, yang paling
bisa diukur adalah apakah hal tersebut sudah dilakukan atau belum, uangnya sudah dihabiskan atau
belum. Padahal tujuan kebijakan tadi adalah kelancaran lalu-lintas. Kalau misalnya, dari sekian banyak
pembangunan jembatan tadi ada dua jembatan penghubung antar kota yang tidak diperbaiki dan
rusak berat, maka seluruh upaya pemerintah yang telah dilakukan untuk menghasilkan kelancaran
lalu-lintas akan sia-sia. Artinya, dampak kebijakan itu tidak tercapai hanya gara-gara ada satu output
penting yang tidak dilaksanakan.Persoalan evaluasi menjadi rumit manakala pengukuran terhadap
dampak kebijakan sulit dilakukan.
Pemerintah seringkali kesulitan untuk membedakan antara output dan outcome. Hal ini terjadi karena
ketika pemerintah memahami proses yang dianalisis, yang diperhatikan itu hanya proses di dalam tubuh
pemerintah itu sendiri. Ini cara pandang yang disebut sebagai state centric. Pemerintah ketika
menganalisis proses, yang dianalisis adalah proses pembukuan, proses penganggaran, proses
pengorganisasian dan seterusnya, sementara proses yang terjadi di masyarakat nyaris tak tersentuh.
Contoh sederhana dari cara pandang state-centric tersebut adalah kebijakan pemerintah di sebuah
kabupaten di Jawa Tengah untuk membangun pemerintahan berbasis IT. Konsep pemerintahan
berbasis IT ini prosesnya di pemerintah baik semua dan disetujui secara umum. Ketika pemerintah
ingin membangun sistem berbasis IT, maka output yang dilakukan adalah membeli komputer,
menyiapkan programmer, melakukan training pejabat dan lain-lain. Hanya saja, ada satu aspek
vital yang tidak pernah diperhitungkan: perilaku masyarakat. Karena bekerjanya sistem IT itu
adalah sambungan antara sarana yang dibuat pemerintah dengan perilaku masyarakat.Ketika
perilaku masyarakat tidak berubah, maka, bisa disimpulkan bahwa dampak/outcome yang diharapkan
tidak tercapai.
Saya ingin menegaskan bahwa cara pandang teknokratis itu punya kelemahan bahwa dia bekerja
mulai dari input, proses, dan produk. Akan tetapi, ketika dia mulai bekerja di gambar kuning, itu dia
tidak seksama, tidak memperhatikan proses-proses sosial di luar pemerintahan yang seringkali
justru bisa mementahkan keadaan.
Dosen mengingatkan mahasiswa pada instrumentasi kebijakan (kewenangan, informasi,
uang dan organisasi) yang dibahas dan digunakan pada sesi Implementasi Kebijakan, dan
menjelaskan bahwaberbagai instrumen kebijakan itu sebenarnya adalah alat untuk menyiasati
bekerjanya proses-proses sosial. Ketika kita melakukan evaluasi, maka sangat penting
menganalisis berbagai proses sosial yang berlaku, salah satu caranya adalah dengan
menggunakan empat instrumen kebijakan tadi. Pemahaman tentang perilaku masyarakat
menjadi sangat penting justru karena ada resistensi masyarakat. Ketidaksukaan masyarakat
terhadap kebijakan yang hendak dicapai itu bisa ditangkap ketika kita mengamati proses-
proses partisipasi masyarakat. Ada yang berpartisipasi positif (mendukung), namun ada yang
partisipasi negatif (melawan).
Partisipasi atau respons masyarakat itu sebenarnya tidak harus dikontraskan dengan
pendekatan teknokratis yang acapkali abai terhadap hal ini. Namun, partisipasi menjadi
penting untuk disoroti karena proses kebijakan, sejauh yang kita cermati sampai saat ini,
cenderung dipahami hanya sebagai prosesnya pemerintah sendiri atau tidak sensitif konteks.
Orang yang paham tentang konteks itu disebut dengan partisipan. Artinya, kalau anda adalah
analis yang ingin lebih arif dalam mengevaluasi kebijakan, maka justru dengan penghayatan
proses-proses partisipatif melalui instrumen teknokratis yang telah disiapkan, akan memperbesar
harapan terwujudnya outcome. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana proses kebijakan itu
bisa menjangkau konteks yang selalu dinamis, sehingga proses aksi-reaksi yang berlangsung
antara pemerintah dan partisipan bisa membuahkan outcomeyang diinginkan.
Sebuah ilustrasi lain adalah mengenai Proyek Rumah Susun Sederhana Sewa
(Rusunawa). Pemerintah, melalui Menpera, menganggarkan Rp 500 milyar dengan subsidi Rp
300 milyar pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 sebesar Rp 750 milyar dengan subsidi
Rp 800 milyar. 4Fakta yang mendasari pelaksanaan program ini
adalah penduduk perkotaan, terutama yang berpenghasilan rendah(di bawah Rp 1,3 juta per bulan)
masih merupakan jumlah terbesar, yaitu kurang lebih 65% dari total jumlah penduduk
perkotaan. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup pesat, sebesar 4,2% sepanjang
tahun 1990 – 2000, mempunyai dampak langsung terhadap kebutuhan sekitar 800.000 rumah
baru setiap tahun, belum termasuk kesenjangan (backlog) sebelumnya.5 Skema yang
dikembangkan dari program ini adalah:6
• Pada masyarakat yang berpenghasilan lebih dari Rp 1,3 juta per bulan diharapkan dapat
mengikuti mekanisme pasar, artinya dapat mengembalikan semua biaya investasi
penyelenggaraan rusun dan rusunawa tanpa bantuan subsidi Pemerintah.
• Bagi masyarakat yang berpenghasilan lebih rendah (Rp 500.000
– Rp 850.000) dan (Rp 850.000 – Rp 1.300.000) Pemerintah merencanakan tidak
membebani untuk pengembalian lahan, perlu dikembangkan tarif kombinasi yang dapat
menampung masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.
• Pada kelompok miskin, yang berpenghasilan sampai dengan Rp
350.000 dan (Rp 350.000 – Rp 500.000) setiap bulannya, diterapkan tarif sewa yang relatif
sangat murah dengan bantuan subsidi dari Pemerintah atau subsidi silang.
Sumber: http//www.pu.go.id/Ditjen_mukim/htm-lampau/lkkry_rsn_rsnw.
html
Program ini sendiri merupakan bagian dari proyek Program Pembangunan Nasional jangka
panjang untuk mengatasi permasalahan kemiskinan. Pemerintah menggunakan pilihan instrumen
uang (treasure) untuk membuat rumah bagi orang miskin. 7 Persoalan yang berpotensi muncul
adalah, ketika misalnya rumah susun tersebut sudah dibangun dan ditempati, jangan-jangan
orang yang tinggal di Rusunawa itu justru mencurahkan seluruh gajinya untuk membayar
rumah. Artinya, pemerintah ingin membantu orang miskin dengan rusunawa, tetapi malah
berakibat memaksa orang miskin over-konsumsi kemudian hutangnya malah bertambah lebih
banyak. Sehingga kemudian rumah itu justru malah menjadi alat pemiskinan. Tapi ketika
dipertanggungjawabkan oleh pemerintah, sudah ada sekian banyak rumah dibangun. Dan itu
yang dibanggakan oleh pemerintah.Padahal bagi pengguna rumah itu, esensinya adalah alat
pemiskinan.
Gampangnya, miskin atau tidak miskinnya seseorang bisa diukur dari berapa besar
tabungan yang dimiliki oleh orang tersebut.Jika seseorang ternyata seluruh penghasilannya
hanya cukup untuk bayar sewa rumah dan tidak bisa menabung, orang tersebut bisa dikatakan
lebih miskin ketika dia tinggal di Rusunawa, daripada ketika dia masih menempati rumahnya
yang terdahulu. Meskipun rumahnya yang terdahulu lebih sederhana dan penghasilannya
relatif tetap, orang tersebut mungkin masih bisa menabung karena prosentase penghasilan yang
terserap ke dalam pos tempat tinggal lebih kecil. Itu artinya ada proses sosial,ekonomi, dan
kultural disana yang memunculkan outcome dan impact yang tidak diantisipasi dalam desain
kebijakan Rusunawa. Hadirnya rumah justru berlawanan dengan outcome yang diharapkan.
Ini terjadi karena masyarakat, ketika diberi rumah melalui Program Rusunawa, diharapkan
berperilaku sama dengan yang membuat kebijakan. Kalau yang membuat kebijakan itu orang
kaya, kecil sekali potensinya mereka bisa memahami nalar pikiran dan tindakan dari orang
miskin.Kalau pembuat kebijakan tidak sanggup memahami nalar mereka yang akan dikenai
kebijakan, atas dasar apa proses-proses decision-making itu menjanjikan outcome seperti yang
diharapkan?
Ketika tujuan kebijakan semata-mata ditentukan oleh orang- orangnya pemerintah; yang
notabene orang kaya, instrumennya dibuat oleh orang pemerintah dan dilaksanakan oleh orang
pemerintah juga, maka ketika pemerintah itu melakukan monitoring, yang dimonitoring hanyalah
output-nya saja. Output ini digariskan oleh orangnya pemerintah, bukan outcome-nya, yang diukur
berdasarkan apa yang dirasakan oleh mereka yang terkena dampak kebijakan. Ketika rusunawa
itu berhasil dibangun, kecil kemungkinan pemerintah melakukan verifikasi perubahan kualitas
hidup yang ada disana.
Kemungkinan yang lain, bisa jadi rumah yang menjadi output kebijakan pemerintah itu
berhasil dibangun, tapi karena rumahnya itu terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah rumah
yang dibutuhkan orang miskin, maka memang ada beberapa orang miskin yang tinggal di rumah
bagus, tetapi tetap saja lebih banyak orang miskin yang tidak tertampung.
Memang banyak persoalan mengenai rusunawa ini hanya karena pangkal persoalan
kemiskinan itu tidak disentuh. Dalam kasus ini, kemiskinan direduksi sebagai miskin itu
karena tidak memiliki rumah. Maka untuk menghapus kemiskinan, buatkan saja rumah.
Sementara proses pemiskinan secara keseluruhan tidak dipahami. Ingat bahaya atau
jebakan yang mungkin diakibatkan dari penggunaan model dalam analisa
kebijakan!
Selesai dengan pemaparan singkat tentang konsep evaluasi kebijakan, dosen kemudian
meminta mahasiswa untuk melakukan latihan melakukan evaluasi kebijakan. Sama seperti sesi-
sesi sebelumnya, di sini mahasiswa bisa memilih dua corak analisa, yaitu analisa untuk evaluasi
kebijakan atau analisa terhadap evaluasi kebijakan.
B. Berlatih Melakukan Analisi untuk Evaluasi Kebijakan
Ilustrasi di atas sebetulnya menunjukkan betapa evaluasi kebijakan bisa dimaknai secara
beragam dan pemaknaan atas hasil kebijakan merupakan sesuatu yang dikontestasikan.8 Bagi
pemerintah, yang dianggap keberhasilan adalah masyarakat miskin punya rumah, that’s all.
Bagi pandangan yang mengkritisi, bagaimana jika punya rumah tetapi kesulitan untuk
membayar rumah tersebut, yang kemudian malah menjerumuskan masyarakat miskin semakin
jauh dalam jerat kemiskinan. Perbedaan hasil evaluasi tersebut tentunya disebabkan, terutama
sekali, oleh perbedaan masing-masing memahami tujuan utama dari kebijakan yang
dievaluasi. Karenanya, penetapan atau kesepakatan atas tujuan kebijakan merupakan sebuah
prasyarat bagi keberhasilan evaluasi kebijakan.
Sehingga kalau anda melakukan evaluasi, dan anda melacak dampak kebijakan, pada
dasarnya anda membandingkan antara output yang ditetapkan dengan outcome yang dijanjikan.
Dan diantara itu ada rentetan panjang. Mengevaluasi itu membandingkan antara input, dalam
hal ini rencana-rencana yang telah ditetapkan, dengan outcome yang dijanjikan. Dan kalau
proses mengalirnya anak panah itu tidak dianalisis, bisa jadi memang ada perubahan sejalan
dengan yang diharapkan. Tapi tidak tertutup kemungkinan, efek itu bukan efeknya kebijakan
pemerintah. Ibaratnya pemerintah menang lotere, padahal dia ga tidak melakukan apa-apa.
Outcome ini saling terkait dari berbagai hal, bisa dibilang sebagai bereaksinya berbagai
instrumen, baik secara simultan maupun secara berantai, seperti digambarkan di Bagan XI.1.
Elemen-elemen Desain Kebijakan.9 Instrumen yang dibuat pemerintah itu ada 4, maka
bereaksinya 4 hal (instrumen kebijakan) itu di dalam kehidupan sosial-politik masyarakat itulah
yang harus diungkap. Masuknya uang ke masyarakat jangan-jangan malah justru memunculkan
praktek suap. Ketika ada suatu krisis, masyarakat diberi uang oleh pemerintah dengan konsep
jaring pengaman sosial, artinya masyarakat itu punya kemampuan untuk mengelola dirinya sendiri
termasuk untuk keluar dari krisis sendiri.
Sumber: Schneider, Anne L. dan Helen Ingram, Policy Design, dalam Nagel, Stuart S. ed.,
(1990), Policy Theory and Policy Evaluation: Concept, Knowledge, Causes, and Norms,
Greenwood Press
Bagi yang merancang proses kebijakan, baik dari “dalam” maupun dari “luar”, perlu
merancang evaluasi untuk program yang sudah ada. Kerangka atau persiapan apa yang perlu
dipersiapkan untuk mengevaluasi? Kalau anda adalah orang luar yang mengadvokasi untuk
mengubah pemerintah, cara anda mengevaluasi dan menyampaikan ide evaluasi itu ketika
berhadapan dengan pemerintah seperti apa? Begitu juga sebaliknya, kalau anda adalah
orangnya pemerintah dan anda ingin memastikan bahwa intervensi kebijakan itu betul-betul
menghasilkan outcome, apa saja yang perlu anda siapkan?
Kalau anda adalah orang dari luar dan ingin mengecek yang dilakukan pemerintah itu
sesuai dengan harapan anda, anda bisa memulai dengan membayangkan apa yang
dibayangkan oleh pemerintah sebagai tujuan dari kebijakan yang dianalisis. Karena, bisa jadi,
apa yang dibayangkan pemerintah sebagai tujuan dari kebijakan tersebut justru adalah hal yang
anda hindari, atau bisa juga sebaliknya.
Langkah ini penting untuk dilakukan karena, bisa jadi, sumber masalah pemerintah adalah
pemerintah salah mendefinisikan tujuan, sehingga langkah pertama adalah memeriksa agenda
atau misi pemerintah. Itu artinya partisipasi anda justru paling penting, bukan hanya partisipasi
dalam pelaksanaan tapi juga partisipasi dalam memaknai tujuan. Dan proses-proses itu disebut
sebagai proses advokasi: kalau berbeda, maka sejauh mana upaya anda bisa meng-counter langkah
pemerintah. Tapi kalau sama, seberapa jauh itu bisa dijaga konsistensinya.
Kalau kita tidak berpikir birokratis-yuridis semata, maka proses kebijakan publik tidak
harus mengandalkan peran aktif pejabat negara. Ini tidak berarti bahwa negara
dikesampingkan dalam proses kebijakan. Bahwa dalam negara ada aktor-aktor yang telibat
dalam proses penentuan isi kebijakan, itu tidak dibantah. Hanya saja, titik strategis yang
diutamakan dalam memahami proses kebijakan adalah proses politik, bukan proses birokratis.
Proses politik yang dimaksudkan adalah proses politik yang digerakkan oleh partisipasi politik
masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.
Bagan X.2. Kebijakan Publik sebagai Proses Politik Berbasis Kekuatan
Masyarakat
PUBLIC
HEARING
RUMUSKAN
DAN EVALUASI
ALTERNATIF- PUTUSKAN,
ALTERNATIF KOMUNIKASIKAN,
PIMPIN
DEFINISI
MASALAH MONITOR DAN
DAN SETTING SESUAIKAN
AGENDA
REDISAIN
KEBIJAKAN
Alternatif model yang mengkombinasikan kedua model tersebut di atas ditawarkan oleh
J.A. Altman. Dia menyebutnya sebagai model social marketing, dimana pejabat negara dituntut
untuk aktif dalam proses kebijakan, namun keaktivan tersebut tidak mereduksi arti penting
kesepakatan (consent) dari masyarakat. Gagasan Altman ini disajikan dalam bagan. Ada
sejumlah butir gagasan yang penting untuk dicatat dari tawaran Altman ini.
Pertama, berlangsungnya proses kebijakan yang memenuhi kedua tuntutan tersebut di atas,
mensyaratkan agar, baik pejabat negara maupun masyarakat, menjalani pendidikan kebijakan.
Tentu saja materi pendidikan bagi pejabat negara berbeda dengan materi pendidikan bagi
masyarakat. Poin tersembunyi yang perlu diungkapkan adalah bahwa adanya kesediaan bagi
pejabat negara mapun masyarakat untuk saling belajar (membuka mata dan telinga)
merupakan kunci bagi kelancaran proses kebijakan.
Kedua, kebijakan pada dasarnya bukan proses birokratik ataupun proses politik belaka,
namun juga proses belajar. Poin ini penting untuk dikedepankan, karena betatapun tenaga ahli
telah bekerja sekuat tenaga untuk kesuksesan kebijakan, nuansa trial and error dalam proses
kebijakan tidak akan hilang. Kebijakan publik adalah proses eksperimentasi nasib sejumlah
orang, kalau bukan nasib komunitas secara keseluruhan. Oleh karena itu, disain kebijakan
merupakan elemen penting. Sejalan dengan kerangka berpikir tersebut di atas, public hearing
merupakan proses kunci bagi kelangsungan proses kebijakan. Ketiga, dalam setiap fase pengelolaan
kebijakan, partisipasi masyarakat senantiasa terbuka.
Model alternatif tersebut di atas sangat mengedepankan arti penting belajar dan
konsensus. Dalam realitas, kebijakan justru tidak bisa mengatasi masalah yang diagendakan
karena konflik yang berkecamuk. Sehubungan dengan hal itu, kebijakan bisa disederhanakan
sebagai proses pengelolaan konflik antara berbagai pihak yang saling menggalang kekuatan
untuk memperjuangkan kepentingannya. Paul A. Sabatier menawarkan model koalisi-advokasi
untuk memahami proses kebijakan.
Dalam model ini dibayangkan proses kebijakan melibatkan komunitas kebijakan yang
heterogen yang tergalang dalam sejumlah koalisi untuk memenangkan gagasan kebijakan.
Koalisi ini sifatnya lintas batas negara-masyarakat. Yang mempersatukan para stake-holders
dalam suatu koalisi adalah kesamaan kepentingan atau keberpihakan terhadap suatu gagasan
kebijakan. Ini artinya, sangat boleh jadi ada pejabat negara yang justru ambil bagian dalam
advokasi kebijakan yang dimotori oleh kekuatan-kekuatan masyarakat. Sebaliknya, dalam
ranah masyarakat kita menemukan adanya “kaki-tangan” negara yang melangsungkan proses
untuk mengamankan kebijakan pemerintah. Sehubungan dengan hal ini, Sabatier sepaham
dengan Altman bahwa proses learning (membuka mata dan telinga) adalah proses penting
untuk mensukseskan kebijakan.
D. Prinsip-Prinsip Pengembangan Mekanisme Kebijakan Partisipatif
Sebagai penutup, perlu kiranya disarikan sejumlah prinsip yang perlu disefahami oleh
para pihak yang berkehendak untuk ikut ambil bagian dalam pengembangan mekanisme
pembuatan kebijakan publik. Sejauh mungkin penulis akan mencoba merumuskan prinsip-
prinsip tersebut seoperasional mungkin sehingga bisa menjadi rujukan praktis dalam modul ini.
Pertama, prinsip mekanisasi. Perumusan (tepatnya perumusan ulang) mekanisme kebijakan
partisipatif adalah persoalan merumuskan hubungan mekanis antar berbagai pihak dalam proses
kebijakan. Hubungan mekanis ini memungkinkan proses kebijakan bergulir mengingat aksi
seorang aktor atau suatu agensi/lembaga/organisasi akan direaksi oleh pihak yang lain. Ini
berarti bahwa:
Yang perlu dirumuskan dalam mekanisme bukan hanya kausalitas normatif (entah
mengikuti norma demokrasi, norma masyarakat lokal atau norma apa) namun juga
kausalitas aksi-reaksi. Sebagaimana dicontohkan di atas, proses kebijakan partisipatif tidak
bergulir manakala mekanisme baru yang dirumuskan dalam UU/Perda tidak diyakini
masyarakat akan bisa diterapkan. Kalau mereka tetap saja apatis terhadap mekanisme yang
ada, maka dominasi pejabat dalam proses kebijakan tetap berlangsung, dan agenda
pengembangan partisipasi akan kandas.
Mekanisme tidak cukup dipahami sebagai tatanan prosedural saja, namun juga sebagai
perangkat antisipasi dinamika sosial. Tidak adanya mekanisme yang jelas menyebabkan
proses kebijakan sarat dengan konflik dan kekerasan. Dengan adanya mekanisme yang baku
dan disepahami para pelaku, maka masing-masing yang terlibat dalam proses kebijakan
bisa mengadu siasat, namun pada akhirnya dia harus tunduk pada aturan main yang bekerja
melalui mekanisme tersebut.
Pengembangan partisipasi harus menjangkau aspek supply (peluang untuk berpartisipasi)
maupun aspek demand (gerakan sosial-politik untuk ikut mempengaruhi keputusan kebijakan
pemerintah). Hal ini hanya bisa ditegakkan kalau: (1) pemerintah maupun masyarakat sanggup
menegakkan aturan main. Mekanisme itu sendiri pada dasarnya adalah aturan main (2)
modal sosial yang ada selama ini ikut didayagunakan.
Kedua, prinsip pengelolaan perubahan sosial. Dalam hal ini ada dua persoalan:
Apakah kita mulai dari level mikro (aktor) untuk mengubah mekanisme, ataukah
sebaliknya, sejumlah perubahan makro ditempuh duluan untuk memungkinkan kiprah pada
level mikro bisa berlangsung mulus. Sebagaimana telah dikemukakan, pengembangan
mekanisme dalam tulisan ini didudukkan sekedar sebagai salah satu pilar pengembangan
proses kebijakan yang partisipatif. Mekanisme ini bisa dilahirkan oleh perjuangan berbagai
aktor yang kemudian sepakat untuk membakukan rumusan dan membiasakan diri untuk
mematuhinya. Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. Berbagai perombakan makro-struktural
dilakukan yang pada gilirannya berbuntut memfasilitasi perubahan-perubahan mikro.
Sehubungan dengan persoalan ini maka: (1) pengembangan mekanisme tidak cukup
diserahkan pada perumusan ketentuan yuridis; (2) jaminan yuridis/administratif yang
diperoleh harus dikawal dengan aksi-aksi dan sejumlah “rekayasa” dalam rangka
pembiasaan terhadap mekanisme baru; (3) Aktor-aktor yang menduduki posisi struktural
dalam tubuh negara maupun dalam masyarakat perlu didorong untuk mendayagunakan posisi
struktural tersebut untuk pembudayaan mekanisme baru.
Persoalan yang kedua adalah bagaimana inovasi awal bisa menggelinding laksana bola
salju. Untuk itu advokasi lintas pihak yang sudah tergalang perlu bentuk dan kemudian
didayagunakan. Komunikasi lintas pihak, katakanlah antara aktor dalam tubuh negara
dengan aktor dalam masyarakat, bisa menghasilkan sinergi yang, kalau dikelola dengan
baik, bisa menjamin sustainabilitas.
Daftar Pustaka
de Haven Smith, Lance, (1988), Philosophical Critiques of Policy Analysis: Lindblom, Habermas,
and the Great Society, University of Florida Press: Gainesville
Bardach, Eugene, (2005), Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths toward Problem
Solving, NY
Hogwood, Brian W. dan Lewis E. Gunn, (1989), Policy Analysis for the Real World, Oxford
University Press
J.A. Altman, (1994), Toward a Stakeholder-Based Policy Process: An Application of the Social Marketing
Perspective to Environmental Policy Development, Policy Sciences 27 (1): 37-51
Nagel, Stuart S. ed., (1990), Policy Theory and Policy Evaluation: Concept, Knowledge, Causes,
and Norms, Greenwood Press: Gainesville
Schneider, Anne L. dan Helen Ingram, Policy Design, dalam Nagel, Stuart S. ed., (1990), Policy
Theory and Policy Evaluation: Concept, Knowledge, Causes, and Norms, Greenwood Press