Anda di halaman 1dari 305

Pemahaman

KEBIJAKAN PUBLIK
Formulasi, Implementasi dan Evaluasi
Kebijakan Publik

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si

Dr. NuryanƟ Mustari, S.IP, M.Si i


PEMAHAMAN KEBIJAKAN PUBLIK
Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik

--Yogyakarta: LeutikaPrio, 2015


xviii + 286 hlm.; 14,5x21 cm
Cetakan Pertama, November 2015

Penulis : Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si


Desain Sampul : Cynthia
Tata Letak : Anwar

Jl. Wiratama No. 50, Tegalrejo, Yogyakarta, 55244


Telp. (0274) 625088

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin dari penerbit.

ISBN 978-602-371-....

Dicetak oleh PT Leutika Nouvalitera


Isi di luar tanggung jawab percetakan.

ii Kebijakan Publik
Kata Pengantar

Alhamdulillah wasyukurillah penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan buku ajar kompleksitas
kebijakan publik.
Kebijakan publik merupakan bentuk intervensi
pemerintah menyelesaikan masalah-masalah publik dalam
berbagai aspek kehidupan. Melalui kebijakan publiklah
pemerintah memiliki kekuatan dan kewenangan hukum
untuk menata kehidupan masyarakat dan sekaligus
memaksakan segala ketentuan yang telah ditetapkan,
sehingga kebijakan publik terkadang menuai pro kontra
dari masyarakat.
Buku ini memuat pemahaman kebijakan publik
secara teoritis yang direlevansikan dengan aspek
kontekstual di lapangan. Bahasan dalam buku ini meliputi
aspek-aspek keilmuan kebijakan publik, antara lain: konsep
dasar kebijakan publik, aliran kebijakan publik, jenis-
jenis kebijakan publik, model formulasi kebijakan, model
implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan publik.
Buku ini berusaha sejauh mungkin untuk mengkorelasikan
teori-teori mengenai kebijakan publik dengan realita

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si iii


melalui berbagai contoh hasil penelitian dan praktek
lapangan.
Terimakasih penulis sampaikan kepada semua
pihak khususnya mahasiswa Fisip Unismuh Makassar
yang selalu menjadi sumber inspirasi untuk menghasilkan
karya yang bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan
bacaan mereka.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan dalam buku ini. Karena itu, dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan adanya masukan
dan kritik konstruktif dari semua pihak guna perbaikan
subtansi buku ini kedepan. Akhir kata, selamat membaca,
semoga memberikan manfaat.

Makassar, 17 Oktober 2015

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si

iv Kebijakan Publik
I. Identitas Mata Kuliah
Nama Mata Kuliah : Kebijakan Publik
Kode Mata Kuliah/SKS : KU 64318
Semester : III (Tiga)
Status Mata Kuliah : Wajib

II. Pengajar
Nama : Dr. Nuryanti Mustari,S.IP,M.Si
Alamat : Griya Persada Manggarupi B3 No.6
Telepon : 081355584880

III. Deskripsi Substansi Perkuliahan


Kebijakan publik merupakan mata kuliah wajib
yang menjadi ilmu pengetahuan dasar mengenai kebijakan
publik. Karena itu, bahasan dalam mata kuliah ini meliputi
aspek-aspek keilmuan kebijakan publik, antara lain:
konsep dasar kebijakan publik, aliran kebijakan publik,
jenis-jenis kebijakan publik, model formulasi kebijakan,
model implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan
publik. Perkuliahan ini berusaha sejauh mungkin untuk
mengkorelasikan teori-teori mengenai kebijakan publik
dengan realita melalui berbagai contoh dan praktek

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si v


lapangan. Dengan demikian pada akhir perkuliahan,
mahasiswa diharapkan mampu memahami aspek-aspek
keilmuan dari kebijakan publik: konsep kebijakan publik,
aliran kebijakan publik, jenis kebijakan publik, formulasi
kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan publik.

IV. Organisasi Materi


1. Konsep Kebijakan Publik
a. Konsep Dasar Kebijakan Publik
b. Hubungan Kebijakan Publik, Politik dan
Negara
2. Aliran Kebijakan Publik
a. Aliran kontinentalis
b. Aliran anglosaxonis

3. Ciri, jenis dan tingkat kebijakan Publik


a. Ciri Kebijakan Publik

b. Jenis Kebijakan Publik


c. Tingkat Kebijakan Publik
4. Sistem dan siklus kebijakan publik
a. Sistem kebijakan publik

b. Siklus kebijakan publik

vi Kebijakan Publik
5. Formulasi Kebijkan Publik
a. Penyusunan Agenda Kebijakan Publik
b. Konsep Formulasi Kebijakan Publik

c. Pendekatan dalam Formulasi Kebijakan


Publik
d. Model Formulasi Kebijakan Publik
e. Tahap-Tahap Kebijakan Publik

f. Hal-Hal yang Mempengaruhi Proses Formulasi


Kebijakan Publik
g. Interaksi Akar yang ada dalam Formulasi
Kebiajakan Publik
h. Model Oreantasi Aktor dalam Formulasi
Kebijakan Publik
i. Relevasi Rekonsiliasi dalam Proses Formulasi
Kebiajakan Publik
6. Implementasi Kebijakan Publik
a. Defenisi Implementasi Kebijakan Publik
b. Pendekatan implementasi kebijakan publik
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi implemen-
tasi kebijakan publik

d. Model Implementasi Kebijakan Publik

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si vii


7. Kompetensi aparat birokrasi dalam perspektif
implementasi kebijakan publik.
a. Pengertian kompetensi
b. Konsep aparatur birokrasi
c. Perilaku Birokrasi

d. Perilaku Birokrasi dalam Pengimplementasian


Kebijakan Publik
e. Design Kebijakan yang detil
8. Evaluasi kebijakan Publik
a. Defenisi evaluasi kebijakan publik
b. Tipe Evaluasi Kebijakan Publik

c. Tujuan Evaluasi Kebijakan Publik


d. Tahap Evaluasi Kebijakan Publik

e. Hambatan Evaluasi Kebijakan Publik


f. Evaluasi terhadap Dampak Kebijakan

g. Evaluasi Seluruh Kebijakan, Bukan Sebagian

h. Dimensi Evaluasi Kebijakan Publik

viii Kebijakan Publik


V. Metode dan Strategi Perkuliahan
Metode perkuliahan yang dipakai yaitu problem
based learning (PBL) method. Karena itu, strategi
pembelajaran berupa tanya jawab, tugas terstruktur,
diskusi, belajar mandiri, permainan peran (role play), dan
studi lapang. Pada awal perkuliahan, tanya jawab dilakukan
untuk mengetahui mengenai kebijakan publik yang telah
dimiliki sebelumnya (prior knowledge) oleh mahasiswa
dan untuk melakukan brainstorming atas permasalahan-
permasalahan yang telah diidentifikasi. Tanya jawab juga
dilakukan pada pertengahan maupun akhir perkuliahan.
Sedangkan diskusi berkelompok dilaksanakan untuk
topik-topik tertentu setelah ujian tengah semester. Diskusi
kelompok menggunakan model Jicsaw dan Small Group
Discussion. Permainan peran dilakukan untuk topik
proses formulasi kebijakan publik dalam rangka belajar
memainkan peran dan memahami hakikat substansi
topik yang sedang dibahas. Tugas mandiri merupakan
pekerjaan rumah (homework) untuk mengkaji learning
goal yang belum dibahas pada saat perkuliahan. Studi
lapangan dilakukan setelah semua materi dirampungkan,
untuk menemukan dinamika kebijakan publik secara riil
dilapangan kemudian melakukan perbandingan antara
pemahaman teoritis yang dipahami dengan realitas empirik
yang ditemukan.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si ix


VI. Tugas-Tugas
Mahasiswa diwajibkan untuk membahas,
mengerjakan dan mempersiapkan tugas-tugas yang
telah ditentukan. Tugas-tugas terdiri dari tugas mandiri
yang dikerjakan di luar perkuliahan, tugas yang
harus disimpulkan, dan tugas kelompok yang harus
dipresentasikan dengan powerpoint dan kertas plano.

VII. Ujian-ujian
Ujian-ujian terdiri dari ujian tertulis dalam bentuk
essay dalam masa tengah semester dan akhir semester.
Ujian tengah semester (UTS) atas materi perkuliahan
nomor 1, 2, 3 dan 4. Sedangkan ujian akhir semester (UAS)
dilakukan atas materi 5, 6, dan 7. Materi perkuliahan nomo
8 dinilai dari tugas-tugas yang dipresentasikan. Ujian lisan
dapat dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan dengan
mahasiswa.

VIII. Penilaian
Penilaian meliputi aspek hard skill dan aspek soft
skill. Penilaian hard skill dilakukan melalui tugas-tugas
(TT), UTS dan UAS. Nilai hard skill diperhitungkan
menggunakan rumus nilai akhir (NA) yaitu :

x Kebijakan Publik
(UT S + TT ) / 2 + 2(UAS )
NA =
3

Penilaian soft skill (sikap dan perilaku) berdasarkan


pada pengamatan dalam tatap muka selama perkuliahan,
diskusi, pengumpulan tugas-tugas, kehadiran dalam
perkuliahan, kedisiplinan, dan sikap dalam pelaksanaan
ujian. Nilai soft skill ini dikombinasikan dengan NA untuk
menentukan Nilai Hasil Studi (NHS) mahasiswa. NHS
ditentukan dengan kriteria sebagai berikut:
Nilai Range
A 80-100
B 65-79
C 55-64
D 40-54
E 0- 39

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si xi


xii Kebijakan Publik
Daftar Isi

Kata Pengantar .............................................................. iii


Daftar Isi ...................................................................... xiii

BAB 1 KONSEP DASAR KEBIJAKAN PUBLIK .. 1


A. Tujuan..................................................................... 1
B. Pokok Bahasan ....................................................... 1
C. Intisari Bacaan ....................................................... 1
D. RANGKUMAN ..................................................... 20
E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN ......... 21

BAB 2 ALIRAN KEBIJAKAN PUBLIK ................. 24


A. Tujuan..................................................................... 24
B. Pokok Bahasan ....................................................... 24
C. Intisari Bacaan........................................................ 24
D. RANGKUMAN ..................................................... 34
E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN ......... 35

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si xiii


BAB 3 CIRI-CIRI, JENIS DAN TINGKAT
KEBIJAKAN PUBLIK ............................................. 37
A. Tujuan.................................................................... 37
B. Pokok Bahasan ...................................................... 37
C. Intisari Bacaan ...................................................... 38
D. RANGKUMAN .................................................... 44
E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN ....... 45

BAB 4 SISTEM DAN SIKLUS KEBIJAKAN


PUBLIK ...................................................................... 46
A. Tujuan.................................................................... 46
B. Pokok Bahasan ...................................................... 46
C. Intisari Bacaan....................................................... 46
D. RANGKUMAN .................................................... 56
E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN ........ 57

BAB 5 PENYUSUNAN AGENDA DAN


FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK .................... 59
A. Tujuan.................................................................... 59
B. Pokok Bahasan ...................................................... 60
C. Intisari Bacaan....................................................... 60
D. RANGKUMAN .................................................... 128
E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN ........ 130

xiv Kebijakan Publik


BAB 6 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PUBLIK ...................................................................... 135
A. Tujuan.................................................................... 135
B. Pokok Bahasan ...................................................... 135
C. Intisari Bacaan....................................................... 136
D. RANGKUMAN .................................................... 189
E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN ........ 190

BAB 7 KOMPETENSI APARAT BIROKRASI


DALAM PERSPEKTIF IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PUBLIK ............................................. 193
A. Tujuan.................................................................... 193
B. Pokok Bahasan ...................................................... 193
C. Intisari Bacaan....................................................... 194
D. RANGKUMAN .................................................... 217
E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN ........ 218

BAB 8 EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK ......... 221


A. Tujuan.................................................................... 221
B. Pokok Bahasan ...................................................... 222
C. Intisari Bacaan ...................................................... 222
D. RANGKUMAN .................................................... 272
E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN ........ 274

GLOSARIUM.............................................................. 277

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si xv


xvi Kebijakan Publik
Daftar Gambar

Gambar 2.1 : Peraturan Perundang-Undangan


Indonesia............................................. 29
Gambar 4.1 : Siklus Kebijakan Publik ..................... 53
Gambar 5.1 : Model sistem Formulasi Kebijakan .... 80
Gambar 5.2 : Hubungan Tiga Elemen Sistem
Kebijakan............................................ 82
Gambar 5.3 : Matriks Pemilihan Model ................... 83
Gambar 6.1 : Sekuensi Implementasi Kebijakan ..... 148
Gambar 6.2 : Model Implementasi Kebijakan
Menurut Meter dan Horn. ................... 151
Gambar 6.3 : Model Implementasi Kebijakan
Menurut Masmanian dan Sabatier ...... 154
Gambar 6.4 : Model Implementasi Kebijakan
Menurut Charles Jones. ...................... 156
Gambar 6.5 : Model Implemetasi Kebijakan
Edward III.......................................... 165
Gambar 6.6 : Matriks Matland ................................. 173
Gambar 6.7 : Ambiguitas Matland ........................... 177

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si xvii


Daftar Tabel

Tabel 7.1 : Korelasi Formulasi Kebijakan dengan


Implementasi Kebijakan........................ 213

xviii Kebijakan Publik


BAB 1

KONSEP DASAR KEBIJAKAN PUBLIK

A. Tujuan
Setelah menyelesaikan Bab 1 ini, Anda diharapkan
akan dapat:
1. Mengetahui konsep dasar kebijakan publik
2. Menjelaskan hubungan kebijakan publik, politik dan
negara

B. Pokok Bahasan
Pencapaian tujuan tersebut dalam Bab 1 dijelaskan
1. Pengertian dasar kebijakan publik
2. Deskripsi Hubungan Kebijakan publik, Politik dan
Negara

C. Intisari Bacaan
1. Pengertian Dasar Kebijakan Publik
Kebijakan publik merupakan kewenangan
pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya dalam

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 1


hubungannya dengan masyarakat dan dunia usaha.
Pada dasarnya kebijakan pemerintah dalam menata
kehidupan masyarakat di berbagai aspek merupakan
kebijakan yang berorientasi pada kepentingan
publik (masyarakat). Pengertian kebijakan (policy)
adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan pengambilan keputusan. Dalam setiap
penyusunan kebijakan publik diawali oleh perumusan
masalah yang telah diidentifikasi kemudian
pelaksanaan kebijakan tersebut ditujukan untuk
mengatasi masalah yang terjadi dalam masyarakat.
Istilah kebijakan publik sebenarnya telah sering
diperdengarkan dalam kehidupan sehari-hari dan
dalam kegiatan-kegiatan akademis, seperti dalam
kuliah-kuliah ilmu sosial politik, ekonomi, dan hukum.
Namun istilah ini mungkin juga untuk menunjuk
sesuatu yang lebih khusus, kebijakan pemerintah
tentang Debirokratisasi dan Deregulasi. Menurut
Charles O. Jones (1984;25), istilah kebijakan (policy)
digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan
untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang
sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan
dengan tujuan (goals), program, keputusan (decision),
standar, proposal dan grand design. Namun demikian,
meskipun kebijakan publik mungkin kelihatan sedikit
abstrak atau mungkin dapat dipandang sebagai sesuatu

2 Kebijakan Publik
yang terjadi terhadap seseorang, namun sebenarnya
sebagaimana beberapa contoh yang telah disebutkan
terdahulu pada dasarnya kita telah dipengaruhi secara
mendalam oleh banyak kebijakan publik dalam
kehidupan sehari-hari.
Kemudian, James Anderson (1979;4) mengatakan
secara umum istilah “kebijakan” atau “policy”
dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor
(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun
suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan
seperti ini dapat digunakan dan relatif memadai untuk
keperluan pembicaraan-pembicaraan bisa, namun jadi
kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan
yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut
analisis kebijakan publik. Oleh karena itu diperlukan
batasan atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat.
Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau
definisi mengenai apa yang dimaksud dengan
kebijakan publik (public policy) khususnya dalam
literatur ilmu politik. Masing-masing definisi tersebut
memberi penekanan yang berbeda-beda. Hal ini
disebabkan karena kebanyakan definisi dipengaruhi
oleh masalah tertentu yang ingin ditelaah oleh seorang
analisis kebijakan. Sementara disisi lain, pendekatan
dan model yang digunakan para ahli akhirnya juga

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 3


akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut
hendak didefinisikan. Misalnya, apakah kebijakan
dilihat sebagai rangkaian keputusan yang dibuat oleh
pemerintah atau sebagai tindakan-tindakan yang
dampaknya dapat diramalkan.
Dalam kerangka teori ini, penulis akan menyebut
beberapa batasan sebagai keperluan membentuk
kerangka/model penelitian, dan menjelaskan kegunaan
dari masing-masing konsep atau definisi yang akan
dipakai. Selanjutnya, suatu batasan operasional akan
dicantumkan penulis dengan cara menunjukkan
ciri-ciri utama dari setiap konsep atau definisi yang
akan dipakai. Hal ini dilakukan penulis agar dapat
memperoleh manfaat yang lebih besar dan lebih
mudah dalam mengkomunikasikan konsep-konsep
tersebut.
Salah satu definisi mengenai Kebijakan Publik
diberikan oleh Robert Eyestone (1971;18), Eyestone
mengatakan bahwa secara luas kebijakan publik
dapat didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit
pemerintah dengan lingkungannya”. Konsep ini
mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang
pasti karena apa yang dimaksud kebijakan publik dapat
mencakup banyak hal. Batasan lain tentang kebijakan
publik diberikan oleh Thomas R. Dye (1975;1), yang
mengatakan bahwa “Kebijakan publik adalah apapun

4 Kebijakan Publik
yang dipilih oleh pemerintah untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu (public policy is whatever
government choose to do or not to do). Walaupun
batasan yang diberikan ini agak tepat, namun batasan
ini tidak cukup perbedaan yang jelas antara apa yang
diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa
yang sebenarnya dilakukan pemerintah. Disamping
itu, konsep ini bisa mencakup tindakan-tindakan
seperti pengangkatan pegawai baru atau pemberian
lisensi. Suatu tindakan yang sebenarnya berada diluar
domain kebijakan publik. Seorang pakar ilmu politik
lain, Carl Friedrich mengatakan bahwa “Kebijakan
sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-
hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan
mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan,
atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud
tertentu” (Budi Winarno, 2002:16).
Pendapat ini sebenarnya bersifat ambigu
(mendua), namun definisi ini berguna karena
kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan,
dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan
sesuatu. Sejalan dengan definisi yang dikemukakan
oleh Carl, Chief J.O Udoji (1981) dalam Wahab

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 5


(1998), mengatakan “Siapa yang berpartisipasi
dan apa peranannya dalam proses tersebut untuk
sebagian besar akan tergantung pada struktur politik
pengambilan keputusan itu sendiri”. Definisi ini
menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak
hanya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun
individu. Selain itu gagasan bahwa kebijakan
mencakup perilaku yang mempunyai maksud, layak
mendapatkan perhatian dan sekaligus harus dilihat
sebagai bagian definisi kebijakan publik yang penting,
sekalipun maksud atau tujuan dari tindakan-tindakan
pemerintah yang dikemukakan dalam definisi ini
mungkin tidak selalu mudah dipahami.
Kemudian, Charles Lindblom (1968) dalam
Wahab (1997) menuturkan bahwa pembuatan
kebijakan publik (public policy-making) pada
hakekatnya merupakan proses politik yang amat
kompleks dan analitis dimana tidak mengenal saat
dimulai dan diakhirinya, dan batas-batas dari proses
itu sesungguhnya yang tidak pasti. Serangkaian
kekuatan-kekuatan yang agak kompleks itulah yang
kita sebut sebagai pembuatan kebijakan publik yang
kemudian membuahkan hasil yang disebut Kebijakan.
Sejalan dengan pendapat di atas, bahwa kebijakan
merupakan suatu fenomena kompleks yang terdiri

6 Kebijakan Publik
dari sejumlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah
individu dan organisasi pemerintah pemerintah
(Muhlis Madani, 2011).
Sedangkan Raymond Bauer (Wahab;1997)
dalam tulisannya yang berjudul the study of policy
formulation, merumuskan pembuatan kebijakan publik
sebagai proses transformasi atau pengubahan input-
input politik menjadi output-output politik. Pandangan
yang dikemukakan oleh Bauer ini dipengaruhi oleh
teoi analisis publik, sebagaimana yang dianjurkan
oleh David Easton. Sementara itu, Amir Santoso
(1993;4-5), dengan mengkomparasi berbagai definisi
yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh
minat dalam kebijakan publik menyimpulkan bahwa
pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik
dapat dibagi kedalam dua wilayah kategori. Pertama,
pendapat para ahli yang memandang kebijakan publik
identik dengan tindakan-tindakan yang dilakukan
pemerintah. Para ahli yang berpendapat demikian
cenderung beranggapan bahwa semua tindakan yang
dilakukan pemerintah pada dasarnya dapat disebut
sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua adalah
pendapat para ahli yang memusatkan perhatiannya
pada implementasi kebijakan (policy implementation).
Kubu yang kedua ini masih dibagi lagi menjadi
dua, kategori, yaitu mereka yang melihat kebijakan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 7


publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah
yang mempunyai tujuan atau sasaran tertentu, dan
mereka yang beranggapan bahwa kebijakan publik
mempunyai akibat-akibat atau dampak yang dapat
diramalkan/antisipasi sebelumnya. Para ahli yang
termasuk dalam kubu pertama diwakili oleh R.S.
Parker (1975) dan Thomas R. Dye (1978), Edwards III
dan Ira Sharkansky dan Carl Friedrick. Menurut kubu
ini kebijakan publik, secara ringkas terbagi dalam
tiga tahapan proses, yaitu : perumusan kebijakan,
implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Ini
berarti bahwa kebijakan publik adalah “serangkaian
perintah dari pembuat keputusan kepada pelaksana
kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-
cara mencapai tujuan tersebut”. Kubu kedua diwakili
oleh Pressman dan Wildavsky (1974), mendefinisikan
kebijakan publik sebagai suatu hipotesis yang
mengundang kondisi-kondisi awal serta akibat yang
dapat diramalkan. Kubu kedua ini lebih melihat
kebijakan publik terdiri dari rangkaian keputusan dan
tindakan. (dalam Budi Winarno, 2002;17)
Tentu saja masih banyak kategori dan definisi
yang dapat dikemukakan menyangkut kebijakan
publik. Masing-masing definisi tersebut memuaskan
menjelaskan satu aspek namun besar kemungkinan
gagal dalam menjelaskan aspek yang lainnya. Oleh

8 Kebijakan Publik
karena itu, preposisi yang menyatakan bahwa kebijakan
publik merupakan kebijakan yang dikembangkan
dan ditetapkan oleh lembaga-lembaga dan pejabat-
pejabat pemerintah harus mendapat perhatian sebaik-
baiknya agar bisa membedakan kebijakan publik
dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain, seperti
kebijakan yang dikeluarkan pihak swasta. Kebijakan
tersebut akan dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-
faktor bukan pemerintah, seperti kelompok-kelompok
penekan maupun kelompok-kelompok kepentingan.
Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat
dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar
pemerintah. Dalam konteks tulisan ini kebijakan
publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat
oleh pejabat atau lembaga pemerintah dalam bidang
tertentu, misalnya bidang Pendidikan..
Suatu kebijakan publik mempunyai hubungan
erat antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan
dengan masyarakat yang berkepentingan terhadap
kebijakan tersebut. Menurut M.Irfan Islamy bahwa
dalam konsep demokrasi modern, kebijaksanaan
negara tidak hanya berisi cetusan pikiran atau
pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi
opini publik (publik opinion) juga mempunyai porsi
yang sama besarnya untuk diisikan (tercermin)
dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan negara. Hal ini

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 9


berarti pejabat publik yang berwenang menyusun dan
merumuskan kebijaksanaan yang menyangkut publik
harus mendengar pendapat dan saran dari masyarakat
serta mendasarkan pada kepentingan umum, agar
kebijakan tersebut dapat diterima dan sesuai dengan
kebutuhan yang diinginkan. Lebih lanjut M.Irfan
Islamy menguraikan beberapa elemen penting dalam
kebijakan publik, yaitu :
a) Bahwa kebijakan publik itu dalam bentuk
peraturannya berupa tindakan-tindakan pemerintah
b) Bahwa kebijakan publik itu tidak cukup hanya
dinyatakan sebagai wacana, tetapi dilaksanakan
dalam bentuk yang nyata
c) Bahwa kebijakan publik baik untuk melakukan
sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu itu
mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan
tertentu
d) Bahwa kebijakan publik itu harus senantiasa
ditujukan bagi kepentingan seluruh anngota
masyarakat
Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan
kebijakan kemudian menjadi ciri khusus dari
kebijakan publik. Ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang
dikatakan David Easton (1965;3) sebagai : “penguasa”

10 Kebijakan Publik
dalam sistem politik, yaitu para sesepuh tertinggi
suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif,
administrator, penasehat, raja, dan semacamnya.
Mereka ini merupakan orang-orang yang terlibat
dalam masalah sehari-hari dalam suatu sistem politik,
diakui oleh sebagian terbesar anggota sistem politik,
mempunyai tanggungjawab untuk masalah-masalah
ini dan mengambil tindakan-tindakan yang diterima
secara mengikat dalam waktu yang panjang oleh
sebagian terbesar anggota sistem politik selama
mereka bertindak dalam batas-batas peran yang
diharapkan. (Budi Winarno;18).
Dalam pandangan David Easton, ketika pemerintah
membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah
mengolakasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena
setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di
dalamnya. Senada dengan David Easton, Harrold
Laswell dan Abraham Kaplan berpendapat bahwa
kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai,
dan pratika-pratika sosial yang ada dalam masyarakat.
Ini berarti kebijakan publik tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai dan pratika-pratika sosial yang ada
dalam masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi
nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai hidup
dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut
akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 11


Sebaliknya suatu kebijakan publik harus mampu
mengakomodasikan nilai-nilai dan pratika-pratika
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Namun demikian, suatu hal yang harus diingat
dalam mendefinisikan kebijakan yang hanya
menekankan pada apa yang diusulkan menjadi
kurang memadai. Oleh karena itu, definisi mengenai
kebijakan publik akan lebih tepat bila definisi tersebut
mencakup pula arah tindakan atau apa yang dilakukan
dan tidak semata-mata menyangkut usulan tindakan.
Berdasarkan pertimbangan semacam ini, maka
definisi kebijakan publik yang ditawarkan oleh
James Andeson dalam hemat penulis lebih tepat
dibandingkan dengan definisi-definisi kebijakan publik
yang lain. Menurut Anderson (1979;3-4), “kebijakan
merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud
yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah
aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan”.
Menurut Budi Winarno (2002;16), konsep kebijakan
ini dianggap tepat karena, memusatkan perhatian pada
apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa
yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu konsep
ini juga membedakan kebijakan dari keputusan yang
merupakan pilihan dimana berbagai alternatif yang
ada. Oleh karena itu menurut Samodra Wibawa
(1994;14), dapat dikatakan bahwa kebijakan publik

12 Kebijakan Publik
dalam beberapa hal, merupakan pen-skala-prioritas-
an tuntutan yang perlu dikelola atau dipenuhi. Karena
tuntutan tersebut dimajukan atau didesakkan oleh
berbagai macam aktor, yang tidak semuanya dapat
dipenuhi oleh sistem politik, maka secara demikian
proses politik dapat dilihat sebagai proses persaingan
dan “tawar-menawar” (bargaining) antara semua
aktor yang terlibat.
Dari keseluruhan konsep/definisi yang telah
disebutkan dapat ditarik kesimpulan, ada empat
elemen utama dalam kebijakan publik yaitu :
a. Input, adalah hal-hal yang mempengaruhi
kebijakan publik seperti manusia (aktor),
pengetahuan dan teknologi, informasi serta nilai-
nilai yang berlaku di masyarakat.
b. Tujuan (goals), merupakan arah dari suatu
kebijakan yang ingin dicapai oleh pembuat
kebijakan.
c. Perangkat (instruments), alat-alat yang digunakan
dalam menjalankan suatu kebijakan.
d. Dampak, hasil yang diperoleh dari suatu kebijakan
baik yang diinginkan maupun yang tidak.
Keempat elemen utama inilah yang menjadi dasar
yang menentukan bentuk-bentuk kebijakan publik
yang diterapkan.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 13


Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik
dapat dilihat dari tiga tingkatan:
a) Kebijakan umum (strategi)
Tingkat kebijakan umum merupakan tingkat yang
lingkupnya berupa penggarisan mengenai masalah-
masalah makro strategis guna mencapai idaman
nasional, dalam situasi dan kondisi tertentu. Hasil-
hasilnya dapat berbentuk :
• Undang-undang/ UU, yang Kekuasaan
pembuatannya terletak ditangan presiden
dengan persetujuan DPR, atau Peraturan
Pemerintah Pengganti UU/Perpu dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa
• Peraturan Pemerintah/ PP untuk mengatur
pelaksanaan UU, yang wewenang penerbitannya
berada ditangan presiden
• Keputusan Presiden/Kepres atau Instruksi
Presiden/ Inpres, yang Berisi kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan yang wewenang
pengeluarannya berada ditangan presiden
• Maklumat Presiden, dalam keadaan tertentu
presiden dapat mengeluarkan Maklumat
Presiden.

14 Kebijakan Publik
b) Kebijakan Manajerial
Kebijakan manajerial merupakan penggarisan
terhadap suatu bidang utama (majorarea)
pemerintahan. Kebijakan ini adalah penjabaran
kebijakan umum guna merumuskan strategi,
administrasi publik dan prosedur dalam bidang
utama tersebut. Wewenang kebijakan manajerial
berada ditangan menteri berdasarkan kebijakan
pada tingkat atasnya. Hasilnya dirumuskan dalam
bentuk Peraturan Menteri, Keputusan Menteri atau
Instruksi Menteri, dalam bidang pemerintahan
yang dipertanggungjawabkan kepadanya. Dalam
keadaan tertentu menteri juga dapat mengeluarkan
Surat Edaran Menteri.
c) Kebijakan teknis operasional

Kebijakan teknis operasional meliputi penggarisan


dalam satu publik dari bidang utama diatas
dalam bentuk prosedur serta teknik untuk
mengimplementasikan rencana, program dan
kegiatan. Wewenang pengeluaran kebijakan teknis
ini terletak di tangan pimpinan eselon pertama
departemen pemerintahan dan pimpinan lembaga-
lembaga non-departemen. Hasil penentuan
kebijakan dirumuskan dalam bentuk Peraturan,
Keputusan, Instruksi Pimpinan Lembaga Non

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 15


Departemen atau Instruksi Direktur Jenderal
dalam masing-masing sektor administrasi yang
dipertanggungjawabkan kepadanya.
Isi dan jiwa kebijakan teknis ini harus sesuai dengan
kebijakan diatasnya dan sudah bersifat pengaturan
pelaksanaan secara teknis dan administratif.
Peraturan, Keputusan, Instruksi Pimpinan Lembaga
Non Departemen atau Instruksi Direktur Jenderal
lazimnya merupakan pedoman pelaksanaan.
2. Kebijakan Publik, Politik dan Negara
Negara adalah sebuah entitas politik yang
bersifat formal yang mempunyai komponen utama :
1. Lembaga pemerintah atau eksekutif
2. Lembaga perundangan atau legislatif
3. Lembaga peradilan atau yudikatif
Di zaman modern, ketiga lembaga ini mempunyai
dua pola : terpisah satu sama lain, terkait satu sama
lain atau salah satu menjadi bagian dari yang lain baik
secara formal maupun dalam arti terkooptasi.
Komponen kedua, komponen rakyat sebagai
warga Negara (citizen). Rakyat sebagai warga Negara
berbeda dengan rakyat bukan sebagai warga Negara.
Rakyat sebagai warga Negara mempunyai hak-hak
kewargaan, yaitu hak politik, hukum ekonomi, sosial,

16 Kebijakan Publik
kultural, sosial, individual, intelektual dan biologis.
Bahasa universal hak-hak tersebut adalah hak asasi
manusia. Rakyat berkembang dalam bentuk masyarakat
kewargaan atau civil society yang menjadi instrument
penyeimbang (counterveiling) terhadap Negara untuk
memastikan bahwa Negara bekerja untuk mencapai
misinya raison d’etre-nya. Bentuk-bentuk wadah
kewargaan tersebut amat beragam, mulai dari wadah
politik seperti partai politik, wadah ekonomi, seperti
badan-badan usaha hingga wadah sosial dalam bentuk
asosiasi-asosiasi formal ataupun informal.
Komponen ketiga, wilayah yang diakui
kedaulatannya. Negara-negara di dunia ini kecuali
Negara palestina adalah Negara yang mempunyai
batasan fisik geografis yang diakui oleh Negara
sekelilingnya dan persatuan bangsa-bangsa.
Komponen keempat, kebijakan publik. Setiap
Negara modern dipastikan mempunyai konstitusi,
peraturan perundangan, keputusan kebijakan sebagai
aturan main hidup bersama. Negara tanpa komponen
keempat itu menjadi Negara gagal karena kehidupan
bersama diatur oleh seseorang atau sekelompok
orang saja , yang bekerja seperti tiran dengan tujuan
memuaskan kepentingan diri dan/atau kelompok saja.
Kebijakan publik termasuk di dalamnya tata kelola
Negara (governance), yang mengatur interaksi antara

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 17


Negara dan rakyat.
Pada dimensi keempat inilah, kita memulai
pemahaman tentang arti penting kebijakan publik
pada konteks makro Negara.Setiap Negara terutama
pemerintahan, sebegai pemegang kekuasaan
berkehendak untuk dapat mengendalikan rakyat.
Sehingga premis awal yang kita bangun
adalah bahwa pemerintahan dimanapun juga dapat
mengendalikan (saja) dan/atau memanajemeni
(mengendalikan value creation) melalui kebijakan
publik yang dikembangkannya. Ketika pemerintah
menetapkan demokratisasi sebagai kebijakan publik,
maka seluruh kehidupan bersama berubah. Kehidupan
secara simultan menjadi bagian dari ekstrapolasi
kebijakan.
Kebijakan publik menetukan bentuk suatu
kehidupan setiap bangsa dan Negara. Semua Negara
menghadapi masalah yang relative sama, yang berbeda
adalah bagaimana respons terhadap masalah tersebut.
Respon ini yang disebut sebagai kebijakan publik. Dan,
karena kebijakan publik adalah domain dari Negara
atau pemerintahan, atau kekuasaan pemegang Negara,
maka kebijkan publik adalah bentuk faktual dari upaya
setiap pemerintah untuk memanajemeni kehidupan
bersama yang disebut Negara dan bangsa. Keunggulan
setiap Negara semakin ditentukan oleh kemampuan

18 Kebijakan Publik
Negara tersebut mengembangkan kebijakan-kebijakan
publik yang unggul.
Di Indonesia istilah public policy itu masih
belum mendapatkan terjemahan yang pasti. Kita
menemui istilah kebijaksanaan umum, kebijaksanaan
pemerintah, kebijakasanaan Negara dan lain
sebagainya. Kebijakan berasal dari kata bijak. Menurut
kamus Ingris Indonesia/Indonesia Ingris karangan
Prof. Drs.S. Woyowasito & WJS Purwodarminto, kata
bijak berarti learned, prudent, experienced. Kata bijak
merupakan kata sifat yang selanjutnya dengan awalan
“ke” dan akhiran “an” menjadi kata benda “kebijakan”.
Hal itu berarti bahwa kebijakan itu menunjukkan
adanya kemampuan atau kualitas yang dimiliki
seseorang dalam keadaanya yang learned (terpelajar),
prudent (baik), dan experienced (berpengalaman).
Dengan demikian kebijakan berarti kata benda yang
tetap menjadi tambahan keterangan terhadap suatu kata
benda lainnya. Kata kebijakan menurut Wojowasito
cs berarti: skill (keterampilan), ability (kemampuan),
capability (kecakapan), insight (kemampuan untuk
memahami sesuatu). Sehingga kebijakan pemerintah
berarti “keterampilan pemerintah” atau sifat-sifat
cakapnya” pemrintah. Jadi kebijakan adalah kata
benda yang menunjukkan sifat sesuatu atau kualitas
yang dimiliki oleh seseorang.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 19


Kebijakan, dilihat dari segi istilahnya
menunjukkan pengertian yang sifatnya tetap, serta
melekat pada seseorang yang tidak berubah, kecuali
karena adanya sebab untuk perkembangan.Oleh karena
itu kebijakan merupakan pengertian yang statis (static
concept).
Kebijaksanaan adalah suatu istilah yang
menunjukkan adanya proses, karena merupakan hasil
keputusan atau perbuatan yang mempunyai sifatnya
untuk dilaksanakan. Kebijaksanaan, karena merupakan
hasil perbuatan atau pemikiran seseorang, maka
mengandung berbagai macam kegiatan dan keputusan
lainnya yang berkaitan dengan terealisirnya tujuan
kebijaksanaan itu. Oleh karena itu kebijaksanaan itu
mempunyai sifatnya yang dinamis (dynanmic concept).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa sifat “bijak”
adalah sifat-sifat (character) yang melekat pada
manusianya dan “bijakasana” adalah sifat-sifat yang
melekat pada sikap, tingkah laku dan perbuatannya.

D. RANGKUMAN
Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang
berupa tindakan-tindakan pemerintah. Kebijakan
publik baik untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu itu mempunyai tujuan tertentu. Kebijakan
publik ditunjukan untuk kepentingan masyarakat.

20 Kebijakan Publik
Kebijakan publik menentukan bentuk suatu
kehidupan setiap bangsa dan Negara. Semua Negara
menghadapi masalah yang sama, yang berbeda
adalah bagaimana respons terhadap masalah tersebut.
Respon ini yang disebut sebagai kebijakan publik.
Dan, karena kebijakan publik adalah domain dari
Negara atau pemerintahan, atau kekuasaan pemegang
Negara, maka kebijkan publik adalah bentuk factual
dari upaya setiap pemerintah untuk memanajemeni
kehidupan bersama yang disebut Negara dan bangsa.
Keunggulan setiap Negara semakin ditentukan
oleh kemampuan Negara tersebut mengembangkan
kebijakan-kebijakan publik yang unggul.

E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN


1. Jelaskan pengertian kebijakan publik!
2. Jelaskan hubungan antara kebijakan publik,
politik dan Negara!
3. Jelaskan perbedaan kebijakan dan
kebijaksanaan Negara!
4. Jelaskan bentuk-bentuk kebijakan publik!
5. Jelaskan perbedaan konsep kebijakan publik
menurut Dye dan Anderson!

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 21


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James E. 1997. Public Policy-Making. Holt,


Rinehart and Winston: New York.

Bauer, Raymond. 1998. The Study of Policy Formulation.


New York: Free Press.

Dye, Thomas R. 1995 Understanding Public Policy. New


Jersey: Prentice Hall.

Easton, David. 1965. A Framework for Political Analysis.


Prentice Hall.

Edward III, 1980. Implementation Public Policy.


Washington DC: Congresional Quarter Press.

Islamy, M Irfan. 2001. Prinsip-Prinsip Perumusan


Kebijakan Pemerintah. Jakarta. Bumi Aksa.

Jones, O, Charles. 1994. Pengantar Kebijakan Publik


(Public Polisy). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Madani, Muhlis 2011. Interaksi Aktor dalam Proses


Perumusan Kebijakan Publik. Graha Ilmu.

Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: PT Elex


Media Komputindo.

Pressman, J.L. and Wildavsky. 1973. Implementation.


Barkley and Los Angeles: University of California
Press.

22 Kebijakan Publik
Santoso, Amir. 1993. Analisis Kebijakan Publik: Suatu
Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Soenarko. 2005. Kebijaksanaan Pemerintah. Airlannga:


University Press,Surabaya.

Wahab. 1998. Analisi Kebijakan Publik Teori dan


Aplikasinya. Malang: Fakultas Ilmu Administrasi
UNIBRAW.

Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses.


Jakarta: PT Buku Kita.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 23


BAB 2

ALIRAN KEBIJAKAN PUBLIK

A. Tujuan
Setelah menyelesaikan Bab 2 ini, anda diharapkan
akan dapat :
1. Mengetahui dan membandingkan aliran
kontinentalis dan anglosaxonist
2. Mengetahui aliran kebijakan publik di Indonesia

B. Pokok Bahasan
Pencapaian tujuan tersebut dalam Bab II dijelaskan
1. Aliran kontinentalis dan aliran anglosaxonis
2. Deskrisi Aliran Kebijakan Publik di Indonesia

C. Intisari Bacaan
1. Aliran Kontinentalis dan Anglosaxonist
Dalam beberapa tahun belakangan ini, dimana
persoalan-persoalan yang dihadapi pemerintah
sedemikian kompleks akibat krisis multidimensional,

24 Kebijakan Publik
maka bagaimanapun keadaan ini sudah barang tentu
membutuhkan perhatian yang besar dan penanganan
pemerintah yang cepat namun juga akurat agar
masalah-masalah yang begitu kompleks dan berat
yang dihadapi oleh pemerintah segera dapat diatasi.
Kondisi ini pada akhirnya menempatkan pemerintah
dan lembaga-lembaga tinggi Negara lainnya berada
pada pilihan-pilihan kebijakan yang sulit.
Pada dasarnya, meskipun tidak tertulis menurut
Nugroho (2008) dalam memahami kebijakan publik ada
dua jenis aliran atau pemahaman, yaitu kontinentalis
dan anglosaxonis. Pemahaman kontinentalis melihat
bahwa kebijakan publik adalah turunan dari hukum,
bahkan kadang-kadang mempersamakan antara
kebijakan publik dan hukum, utamanya hukum publik
ataupun hukum tata Negara sehingga kita melihatnya
sebagai proses interaksi diantara intitusi-institusi
Negara. Pemahaman anglo-saxon memahami bahwa
kebijakan publik adalah turunan dari politik demokratis
sehingga melihatnya sebagai sebuah produk interaksi
antara Negara dan publik.
Kontinentalis hukum adalah salah satu bentuk
dari kebijakan publik dari sisi wujud maupun produk,
proses atau dari sisi muatan. Karena kebijakan publik
dapat berupa hukum, dapat juga berupa konvensi atau
kesepakatan, bahkan pada tingkat tertentu berupa

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 25


keputusan lisan atau perilaku dari pejabat publik.
Dari sisi proses, hukum merupakan produk dari
negara atau pemerintah, sehingga posisi rakyat atau
publik lebih sebagai penerima produk atau penerima
akibat dari perilaku negara. Pembuatan hukum tidak
mensyaratkan pelibatan publik dalam prosesnya.
Kebijakan publik disisi lain adalah produk yang
memperjuangkan kepentingan publik, yang filosofinya
adalah mensyaratkan pelibatan publik sejak awal
sampai akhir. Undang-Undang di Indonesia, sebagai
salah satu bentuk terpenting kebijakan publik, dipahami
sebagai produk dari legislatif dan eksekutif, dengan
meniadakan keberadaan publik dalam inti prosesnya.
UUD 1945, termasuk pasca amandemen tidak
menyebutkan kebijakan publik didalamya. Demikian
juga UU nomor 10 Tahun 2004 tentang perundang-
undangan. Dengan demikian, Undang-Undang hanya
dipahami sebagai sebuah produk dari legislatif (DPR
atau DPRD) dan disahkan oleh eksekutif (Presiden/
Kepala Negara atau Kepala daerah). Keberadaan
publik tidak mempunyai dukungan secara politik dan
yuridis formal. Pemahaman ini dapat dipahami karena
sistem politik di Indonesia masih sangat beroroentasi
pada sistem kontinental. Pada sistem kontinental
(Eropa), keberadaan publik cukup diwakili oleh
lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Pelibatan

26 Kebijakan Publik
publik dalam proses politik, termasuk proses kebijakan
tidak menjadi prioritas utama. Dengan demikian cara
pandang kontinental, kebijakan publik adalah hukum
publik, atau bahkan ada yang ekstrem memahami
kebijakan Publik sebagai salah satu bentuk hukum
tata negara.
Anglo-Saxonist kelompok kedua adalah
kelompok yang memahami kebijakan publik sebagai
sebuah proses politik yang demokratis. Kelompok ini
berisi pemikir-pemikir Anglo-Saxonist. Pemahaman
dapat dilacak dari pemikir liberal Ingris John Stuart
Mills (1806-1873), yang karyanya on liberty (1859)
menjadi karya klasik tentang liberalisme. Gagasan
dasarnya adalah bahwa semua orang mempunyai
hak dan kebebasan yang sama. Prinsipnya sebangun
dengan egalitarianism yang dikembangkan dalam
revolusi Perancis dan dalam gerakan reformasi Martin
Luther. Konsep agalitarianism ini kelak tidak berhenti
di tingkat antar-individu, tetapi antara individu dan
Negara, yang aturan bersamanya (kebijakan publik)
merupakan proses yang pada tempatnya meletakkan
setiap individu masyarakat sebagai bagiannya.
Pemikiran-pemikiran Libertarian menjadi akar
pembentukan negara Amerika Serikat. Sistem Politik
Amerika dibentuk di atas asa yang berbeda dengan
Eropa kontinental. Terdiri atas berbagai suku bangsa

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 27


pendatang Amerika dibangun di atas batas-batas
yang paling ekstrem dengan libertarianisme. Hak
warga Negara secara individual dijamin, dan tidak
pernah dapat dicabut atau dikooptasi Negara. Hal
ini ditetapkan sejak awal kelahiran Amerika dalam
deklarasi kemerdekaannya. Perkembangan selanjutnya
dapat ditebak, kebijakan publik yang berkembang
di Amerika mempunyai pola yang berbeda dengan
Eropa.
2. Aliran Kebijakan Publik di Indonesia
Menurut Nugroho (2008) bagaimana dengan
Indonesia? Kondisi objektif di Indonesia adalah dalam
praktek administrasi publik, dan kebijakan publik
identik dengan hukum. Kondisi ini dapat disimak
dalam praktek pengembangan kualitas kebijakan
di tingkat nasional (DPR, Departemen, dan lain-
lain) maupun daerah (DPRD,Pemda). Oleh karena
itu, agenda yang paling utama adalah melakukan
pengembangan kapasitas untuk legal drafting. Dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir pengamatan, agenda
untuk legal draftimg mencapai 80% atau lebih,
sementara agenda untuk membangun kapasitas untuk
mengembangkan kebijakan publik yang bukan dalam
makna hukum atau legal drafting 20% atau kurang.
Berkenaan dengan karakter kebijakan di
Indonesia, kita menemukan bahwa kebijakan di

28 Kebijakan Publik
Indonesia, sesuai dengan UU No.10 Tahun 2004
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
Pasal 7 mengatur jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-Undangan sebagai berikut :
a. UUD RI 1945
b. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan daerah

Gambar 2.1 : Peraturan Perundang-Undangan Indonesia

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 29


Dari gambar di atas, kita melihat jenjang
kebijakan di Indonesia yang amat berlapis. Lebih
buruk lagi, kita melihat munculnya kebijakan di tingkat
kementerian yang “mencuri kekuasaan kebijakan”
karena ada sejumlah kebijakan di tingkat menteri yang
ikut mengatur kebijakan di tingkat daerah, termasuk
Perda misalnya: Pendayagunaan Aparatur Negara.
Dari kejenjangan yang sangat berlapis ini saja
kita melihat bahwa Indonesia masih mengikuti pola
kontinentalis. Akibatnya, sebuah kebijakan dapat
full implemented setelah sekian banyak kebijakan
pelaksananya siap. Salah satunya adalah UU No.
23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Kebijakan ini
dilengkapi lebih kurang 12 PP sebagai penerjemahan
kebijakan tersebut, diantaranya tentang standarisasi
pendidikan, hak-hak anak didik, dan otonomi
pendidikan.
Kita dapat membayangkan, untuk menjadikan
UU sisdiknas full implemented diperlukan waktu
5-8 tahun. Permasalahannya, bagaimana jika 5-8
tahun kemudian UU ini tidak lagi relevan? Alangkah
mahalnya, dari segi waktu, SDM maupun dana, serta
konflik sosial-politik untuk mengganti UU yang baru
karena konsekuensinya mengubah seluruh kebijakan
yang ada dan segala turunannya.

30 Kebijakan Publik
Model kebijakan pada Negara-negara Anglo-
Saxonis bisaanya sangat sederhana.Sebuah Undang-
Undang bisaanya lengkap hingga bagaimana
pelaksanaannya. Jadi, tidak diperlukan PP dan
sejenisnya sebagai peraturan pelaksana.Di tingkat
atas hanya ada Undang-Undang dan dibawahnya ada
semacam executive Decision atau semacam Keputusan
Kepala Eksekutif (presiden atau PM).
Contoh selanjutnya yang memperlihatkan
kecenderungan kontinentalisasi adalah pada UU
No.10 Tahun 2004 Pasal 53 menyebutkan :
“Masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun
pembahasan rancangan undang-undang dan
rancangan peraturan daerah”.

Kata-kata ini juga berarti kalau masyarakat


diam-diam saja, tidak berpartisipasi maka pemerintah
tidak dapat disalahkan, atau secara ekstrim dapat
dikatakan bahwa pemerintah tidak diwajibkan untuk
melibatkan partisipasi publik dalam kebijakan publik.
Kecenderungan kontinentalis pemahaman dan
praktek kebijakan publik di Indonesia paling tidak
disebabkan 3 hal :
1. Tidak terpisahkan dari perjalanan historis Negara
Indonesia yang mewarisi sistem administrasi
publik Belanda.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 31


2. Bahkan para ahli hukum Indonesia pun berkiblat ke
Belanda hingga saat ini. Para guru menggunakan
buku-buku Belanda, master dan doktor hukum
di belanda adalah yang paling :paten” dibandig
Negara lain. Buku-Buku teks di Indonesia, bahkan
yang diterbitkan ahli hukum tata Negara yang
paling senior pun lebih mengacu pada sistem di
Belanda daripada sistem yang lain yang lebih maju.
3. Pada perkembangan terkini di Indonesia mulai
berkembang wacana kebijakan publik dalam aras
pemikiran anglos-axonis, yang dikembangkan oleh
ilmuwan administrasi publik yang berlatar belakang
Amerika terutama yang berasal dari UGM, seperti :
prof. Sofian Efendi, Prof. Miftah Thoha, Prof.Agus
Dwiyanto, Prof. Muhadjir Darwin, dan dari LAN
Prof. Mustopadijaja AR.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa
sebagian besar Negara-Negara maju di Eropa Barat
tidak mempermasalahkan pendekatan kontinentalis yang
cenderung top down dibanding pendekatan yang anglos
axonist yang relative mempertemukan pendekatan yang
top down dan bottom up.
Pertama, karena di Negara-negara tersebut tidak
banyak lagi dibuat kebijakan publik, khususnya dalam
bentuk Undang-Undang. Sebagian besar kebijkan publik

32 Kebijakan Publik
di Negara tersebut telah dibuat di masa lalu dan tetap
relevan dengan kondisi hari ini. Dengan demikian tidak
diperlukan kebijakan baru, melainkan hanya beberapa
revisi kebijakan, itupun jika dianggap perlu.
Kedua, tingginya kualitas aparatur publik baik di
sektor eksekutif atau birokrasi dan legislative atau lembaga
representasi publik atau parlemen. Kualitas manusia
berkaitan dengan profesionalitas dan integritas dari yang
bersangkutan. Salah satu ukurannya adalah rendahnya
tingkat persepsi korupsi di Negara-Negara tersebut.
Dengan demikian meskipun relatif bersifat top down
kualitas manusia yang ada mampu mengelola aspirasi
publik dengan efektif. Pada akhirnya bentuk top down
adalah bentuk formalnya, tetapi bentuk operasionalnya
tetap bootom up.
Ketiga, proses artikulasi dan agregasi kepentingan
publik sudah berjalan dengan baik dan mapan sehingga
proses bootom up seakan berjalan dengan sendirinya (it
goes without saying). Melembaganya proses ini merupakan
bentuk kedewasaan bernegara dari rakyat dan pemerintah.
Jadi pada dasarnya tidak menjadi masalah suatu
Negara memilih pendekatan kontinetalis sebagai model
utamanya dalam mengembangkan kebijakan publik.
Hanya yang harus disadari, sejumlah cateris paribus
yang diperlukan yaitu : tidak banyak kebijakan publik
yang harus dibuat, tingginya kualitas aparatur Negara

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 33


dan pemerintahan dan proses artikulasi dan agregasi
kepentingan publik telah melembaga dalam sistem politik
yang ada. Tanpa salah satu dari ketiganya, penggunaan
model kontinentalis berpotensi mengembangkan masalah
yang lebih besar dan mendasar dari suatu kebijakan publik
yang dikembangkannya.

D. RANGKUMAN
Terdapat 2 aliran dalam kebijakan publik,
yakni aliran kontinentalis dan aliran anglosaxonist.
Pemahaman kontinentalis melihat bahwa kebijakan
publik adalah turunan dari hukum, bahkan kadang-kadang
mempersamakan antara kebijakan publik dan hukum,
utamanya hukum publik ataupun hukum tata negara
sehingga kita melihatnya sebagai proses interaksi diantara
intitusi-institusi Negara. Hukum adalah salah satu bentuk
dari kebijakan publik dari sisi wujud maupun produk,
proses atau dari sisi muatan.Sedangkan Pemahaman
anglosaxonist memahami bahwa kebijakan publik adalah
turunan dari politik demokratis sehingga melihatnya
sebagai sebuah produk interaksi antara negara dan publik.
Hak warga Negara secara individual dijamin, dan tidak
pernah dapat dicabut atau dikooptasi Negara.
Aliran kebijakan publik di Indonesia masih
mengikuti pola kontinentalis. Akibatnya, sebuah kebijakan

34 Kebijakan Publik
dapat full implemented setelah sekian banyak kebijakan
pelaksananya siap. Salah satunya adalah UU No. 23 Tahun
2003 tentang Sisdiknas. Kebijakan ini dilengkapi lebih
kurang 12 PP sebagai penerjemahan kebijakan tersebut,
diantaranya tentang standarisasi pendidikan, hak-hak anak
didik, dan otonomi pendidikan. Model kebijakan pada
Negara-negara Anglo-Saxonis bisaanya sangat sederhana.
Sebuah Undang-Undang bisaanya lengkap hingga
bagaimana pelaksanaannya. Jadi, tidak diperlukan PP dan
sejenisnya sebagai peraturan pelaksana. Di tingkat atas
hanya ada Undang-Undang dan dibawahnya ada semacam
executive Decision atau semacam Keputusan Kepala
Eksekutif (presiden atau PM).

E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN


1. Sebutkan dua aliran kebijakan publik !
2. Jelaskan perbedaan aliran kebijakan publik !
3. Bagaimana aliran kebijakan publik di Indonesia ?

4. Mengapa sebagian besar negara-negara maju


di Eropa Barat tidak mempermasalahkan
pendekatan kontinentalis yang cenderung top down
dibanding pendekatan anglosaxonis? yang realtif
mempertemukan pendekatan yang top down dan
bottom up?

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 35


DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: PT Elex


Media Komputindo.
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Perundang-Undangan.
UU No. 23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

36 Kebijakan Publik
BAB 3

CIRI-CIRI, JENIS DAN TINGKAT


KEBIJAKAN PUBLIK

A. Tujuan
Setelah menyelesaikan Bab 3 ini, anda diharapkan
akan dapat:
1. Mengetahui dan menjelaskan ciri-ciri kebijakan
publik
2. Mengetahui dan menjelaskan jenis kebijakan
publik
3. Mengetahui dan menjelaskan tingkat kebijakan
publik

B. Pokok Bahasan
Pencapaian tujuan tersebut dalam Bab 3 dijelaskan :
1. Ciri-Ciri Kebijakan Publik
2. Jenis Kebijakan Publik
3. Tingkat-Tingkat Kebijakan Publik

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 37


C. Intisari Bacaan
1. Ciri – Ciri Kebijakan Publik
Wahab (2002) mengemukakan ciri-ciri kebijakan
publik yaitu ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan
publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu
dirumuskan oleh orang-orang yang memiliki wewenang
dalam sistem politik, misalnya pada para ketua adat, ketua
suku, eksekutif, legislator, hakim, administrator, dan lain
sebagainya.
Mereka itulah yang bertanggungjawab atas urusan-
urusan politik tersebut dan berhak untuk mengambil
tindakan-tindakan tertentu, sepanjang tindakan tersebut
masih berada dalam batas-batas peran dan kewenangan
mereka. Oleh karena itu ciri-ciri kebijakan publik
sebagaimana yang terdapat dalam Wahab (2002:6) adalah :
a) Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang
mengarah pada tujuan daripada perilaku atau tindakan
serba acak dan kebetulan, melainkan tindakan yang
direncanakan.
b) Kebijakan publik hakekatnya terdiri atas tindakan-
tindakan yang saling berkaitan dan berpola mengarah
pada tujuan tertentu yang dilakukan pejabat pemerintah
bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri.
Misalnya : kebijakan tidak hanya mencakup keputusan
untuk membuat Undang-Undang dalam bidang
tertentu, akan tetapi diikuti pula keputusan-keputusan

38 Kebijakan Publik
yang berkaitan dengan implementasi dan pemaksaan
pemberlakuannya.
c) Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang dilakukan
oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu, dalam
arti setiap kebijakan pemerintah itu diikuti dengan
tindakan-tindakan konkrit.
d) Kebijakan publik berbentuk positif maupun negatif,
dalam bentuk positf kebijakan mencangkup beberapa
bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi masalah tertentu, sementara itu
bentuk yang negatif, kebijakan meliputi keputusan
para pejabat-pejabat pemerintah untuk tidak bertindak
atau tidak melakukan apapun dalam masalah-masalah
dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan.

2. Jenis-Jenis kebijakan Publik


Anderson (1970) mengelompokkan jenis-jenis
kebijakan publik sebagai berikut :
a. Subtantive and procedural Policies
Subtantive policy dilihat dari subtansi masalah yang
dihadapi oleh pemerintah, sedangakan procedural
policy dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam
perumusannya (policy stakeholders).
b. Distributif, redistributif, and Regulatory Policies
• Distributif Policy adalah suatu kebijakan yang
mengatur tentang pemberian pelayanan/keuntungan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 39


kepada individu-individu, kelompok-kelompok atau
perusahaan-perusahaan.
• Redistributif policies adalah suatu kebijakan yang
mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan,
pemilikan atau hak-hak.
• Regulatory Policy adalah suatu kebijakan yang
mengatur tentang pembatasan/pelarangan terhadap
perbuatan/tindakan.
c. Material Policy
Suatu kebijakan yang mengatur tentang
pengalokasian/penyediaan sumber-sumber material
yang nyata bagi penerimanya.
d. Public Goods and Private Goods Policies
Public goods policy adalah suatu kebijakan yang
mengatur tentang penyediaan barang-barang/pelayanan-
pelayanan oleh pemerintah untuk kepentingan orang
banyak.
Private goods policy adalah suatu kebijakan yang
mengatur tentang penyediaan barang-barang/pelayanan-
pelayanan oleh pihak swasta, untuk kepentingan
individu-individu (perorangan) di pasar bebas dengan
imbalan biaya tertentu.
Adapun bentuk kebijakan publik yang di buat oleh
pemerintah kota dapat diamati menurut sifatnnya, antara
lain:

40 Kebijakan Publik
a) Kebijakan Distributif
Kebijakan distributive adalah kebijakan dan program-
program yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan
untuk mendorong kegiatan di sektor swasta atau
kegiatan-kegiatan masyarakat yang membutuhkan
intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi atau
sejenisnya dimana kegiatan tersebut tidak akan berjalan
tanpa adanya campur tangan pemerintah tersebut.
Kebijakan distributif memberikan barang dan jasa
kepada anggota organisasi, termasuk juga membagikan
biaya barang/jasa diantara anggota organisasi.
Misalnya kebijakan pemerintah dalam pendidikan dan
pembangunan jalan raya.
Subsidi yang diberikan oleh pemerintah biasa
mengambil beberapa bentuk Cash atau Inkind (hadiah,
pinjaman dengan bunga lunak, penurunan pajak, dsb.).
b) Regulasi untuk Kompetisi yang Efektif
Kompetisi telah lama dipercaya sebagai cara yang
paling efisien untuk mengoperasikan, mengorganisasi
dan mendisiplinkan pasar. Pasar yang kompetitif akan
menciptakan persebaran sumberdaya secara fair dan
efisien tanpa perlu untuk dikendalikan secara terpusat.
Beberapa keuntungan dari kompetisi adalah:
• Memastikan sumber daya, produk dan layanan
dialokasikan kepada pihak yang paling banyak

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 41


memilikinya (efisiensialokatif)
• Memaksa pelaku pasar untuk menggunakan
sumber daya yang langkah seproduktif mungkin
(efisiensiproduktif)
• Mendorong pelaku pasar untuk berinovasi dan
berinvestasi pada waktu yang tepat (efisiensidinamis)
c) Kebijakan Distributif
Kebijakan distributif adalah kebijakan dalam
mengalokasikan pelayanan atau manfaat terhadap
segmen tertentu dari masyarakat individu, kelompok,
perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif
biasanya melibatkan penggunaan dana publik untuk
membantu kelompok, masyarakat atau perusahaan
tertentu. Kebijakan distributif ditandai dengan
pengenaan paksaan secara tidak langsung (kemungkinan
pengenaan paksaan fisik sangat jauh), tetapi kebijakan
itu diterapkan secara langsung terhadap individu.
Individu dapat menarik manfaat dari kebijakan itu,
walaupun tidak dikenakan paksaan kepada individu
untuk meggunakannya.
3. Tingkat-Tingkat Kebijakan Publik
Mengenai tingkat-tingkat kebijakan publik,
Lembaga Administrasi Negara (1997), dalam Sutama
(2012) mengemukakan sebagai berikut :

42 Kebijakan Publik
a) Lingkup Nasional
• Kebijakan Nasional
Kebijakan nasional adalah kebijakan negara yang
bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian
tujuan nasional/negara sebagaimana tertera dalam
pembukaan UUD 1945.
• Kebijakan Umum
Kebijakan umum adalah kebijakan presiden sebagai
pelaksana UUD, TAP MPR, UU, untuk mencapai
tujuan nasional.
• Kebijakan Pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan adalah merupakan penjabaran
dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan
tugas di bidang tertentu.
b) Lingkup Wilayah Daerah
• Kebijakan Umum pada Lingkup Daerah
Kebijakan pemerintah daerah sebagai pelaksana azas
desentralisasi dalam rangka mengatur urusan rumah
tangga daerah.
• Kebijakan Pelaksanaan

1) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka


desentralisasi merupakan realisasi pelaksanaan
Perda.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 43


2) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka
dekonsentrasi merupakan pelaksanaan kebijakan
nasional di daerah.
3) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas
pembantuan (medebewind) merupakan
pelaksanaan tugas pemerintah pusat di daerah
yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

D. RANGKUMAN
Ciri Kebijakan publik adalah (1) lebih merupakan
tindakan yang mengarah pada tujuan daripada perilaku atau
tindakan serba acak dan kebetulan, melainkan tindakan
yang direncanakan, (2) Kebijakan publik hakekatnya
terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkaitan dan
berpola mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan
pejabat pemerintah bukan merupakan keputusan yang
berdiri sendiri, (3) Kebijakan bersangkut paut dengan apa
yang dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang
tertentu dan (4) Kebijakan publik berbentuk positif maupun
negatif.
Jenis Kebijakan Publik terdiri dari : Subtantif and
procedural policies, Distributif-Redistributif-Regulatory
Policies, Material Policy, Public and Private Goods
Policies.

44 Kebijakan Publik
E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN
1. Jelaskan ciri-ciri kebijakan publik!
2. Jelaskan jenis kebijakan publik!
3. Jelaskan tingkat kebijakan publik!
4. Jelaskan dan berikan contoh kebijakan publik
bentuk positif dan negatif!
5. Sebutkan contoh kebijakan publik di lingkup
nasional dan wilayah daerah!

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James E. 1970. Public Policy Making. New


York : Reinhart and Wiston.
Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja AR.
1988. Elemen-Elemen sistem Kebijakan Publik.
Jakarta:Gunung Agung.
Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo
Wahab. 2002. Analisis Kebijaksanaan, dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi
Aksara.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 45


BAB 4

SISTEM DAN SIKLUS


KEBIJAKAN PUBLIK

A. Tujuan
Setelah menyelesaikan Bab 4 ini, Anda diharapkan
akan dapat :
1. Mengetahui sistem kebijakan publik
2. Mengetahui dan menganalisis siklus kebijakan publik

B. Pokok Bahasan
Pencapaian tujuan tersebut dalam Bab 4 dijelaskan:
1. Sistem kebijakan publik
2. Siklus kebijakan publik

C. Intisari Bacaan
1. Sistem Kebijakan Publik
Sistem kebijakan publik, menurut Mustopadidjaja
AR dalam Sutama (2012) adalah keseluruhan pola
kelembagaan dalam pembuatan kebijakan publik yang

46 Kebijakan Publik
melibatkan hubungan diantara 4 elemen (unsur), yaitu
masalah kebijakan publik, pembuatan kebijakan publik,
kebijakan publik dan dampaknya terhadap kelompok
sasaran (target groups). Sistem kebijakan publik dikenal
adanya unsur-unsur input, proses, output.
a) Input: Masalah Kebijakan Publik
Masalah kebijakan publik ini timbul karena adanya
faktor lingkungan kebijakan publik yaitu suatu
keadaan yang melatarbelakangi atau perestiwa yang
menyebabkan timbulnya masalah kebijakan publik
tersebut, yang berupa tuntutan-tuntutan, keinginan-
keinginan masyarakat atau tantangan dan peluang,
yang diharapkan segera diatasi melalui suatu kebijakan
publik. Masalah itu dapat juga timbul justru karena
dikeluarkannya suatu kebijakan publik baru.
b) Proses pembuatan kebijakan publik
Proses pembuatan kebijakan publik itu bersifat
politis, dimana dalam proses tersebut terlibat berbagai
kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan
ada yang saling bertentangan.
c) Output:

Kebijakan publik yang berupa serangkaian tindakan


yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah atau
mencapai tujuan tertentu seperti yang diinginkan oleh
kebijakan publik.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 47


d) Impact (dampak), yaitu dampaknya terhadap
kelompok sasaran (target groups)
Kelompok sasaran (target groups) adalah orang-
orang, kelompok-kelompok orang, atau organisasi-
organisasi, yang perilaku atau keadaannya ingin
dipengaruhi atau diubah oleh kebijakan publik
tersebut.
2. Siklus Kebijakan Publik
Kebijakan Publik (Public Policy) adalah
keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak
pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat
oleh pemegang otoritas publik (Setiawan, 2011). Sebagai
keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik
haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang
menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya
melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas
nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan
dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan
oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik
dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang
merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara
untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas
kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara
yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik
dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi, dan pada

48 Kebijakan Publik
sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam
masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai
amanat konstitusi.
Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi
kebijakan publik. Dan sistem politik itu bisa berupa
negara, propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan
RW. “Institusi” seperti ASEAN, EU, PBB dan WTO
adalah sistem politik juga, yang dapat disebut supranegara.
Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi
(saja), melainkan dapat pula dilaksanakan oleh perusahaan
swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya,
suatu sistem politik dapat memutuskan untuk mengelola
sampah agar bernilai ekonomis. Sistem politik itu dapat
memerintah tentu saja disertai kompensasi sebuah
perusahaan swasta untuk melakukan pengolahan sampah.
Terminologi kebijakan publik menunjuk pada
serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari
peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek
anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik
sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan,
pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Bagaimana
keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan
bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara
kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah
publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan,
yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 49


dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan
yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang
akan dilahirkan. Begitu juga pada tahap pelaksanaan,
dapatkah publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan,
juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni
proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu
kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan.
Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau
pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis
merupakan cerminan pendapat umum (opini publik).
Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan
kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah
hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan
perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa
yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus
jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga,
diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang
memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini
dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau
tidak. Dalam masyarakat otoriter, kebijakan publik adalah
keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas
tidak berjalan.Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang
kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap
opini publik dan membangun suatu kebijakan yang
mendapat dukungan publik. Kemampuan para pemimpin
politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk

50 Kebijakan Publik
menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi
sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk
menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak
bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada
pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat
setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang
tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi
dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan
maupun yang akan dijalankannya. Dalam pendekatan
yang lain kebijakan publik dapat dipahami dengan cara
memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan
publik. Terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai
pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia.
Artinya kebijakan merupakan hasil menimbang untuk
selanjutnya memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan
yang ada. Dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat
dalam porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom
adalah akademisi yang menyatakan bahwa kebijakan
berkaitan erat dengan pengambilan keputusan.Karena
pada hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang
tersedia.Sedangkan terminologi publik memperlihatkan
keluasan yang luar bisaa untuk didefinisikan. Akan tetapi
dalam hal ini setidaknya kita bisa mengatakan bahwa
publik berkaitan erat dengan state, market dan civil
society. Merekalah yang kemudian menjadi aktor dalam
arena publik. Sehingga publik dapat dipahami sebagai

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 51


sebuah ruang dimensi yang menampakan interaksi antar
ketiga aktor tersebut.
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan
proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses
maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu,
beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji
kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan
kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tujuan
pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita di
dalam mengkaji kebijakan publik (Lindblom,1986:3).
Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi tahap-
tahap ini dengan urutan yang berbeda. Tahap-Tahap atau
siklus kebijakan publik adalah sebagai berikut:
Para pejabat yang dipilih dan diangkat
menempatkan masaalah pada agenda publik. Sebelumnya
masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu
untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan.Pada
akhirnya beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan
para perumus kebijakan. Pada tahap ini, suatu masalah
mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah
yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada
pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk
waktuyang lama.

52 Kebijakan Publik
Gambar 4.1 : Siklus Kebijakan Publik

a) Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan


kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan.
Masalah-masalah tadi didefenisikan untuk kemudian
dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah
tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan
kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan
suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan
dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 53


alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan
yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada
tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk
mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
b) Tahap Adopsi Kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan, yang
ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada
akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut
diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif,
konsensus antara direktur lembaga atau keputusan
peradilan. Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan
otorisasi pada proses dasar pemerintahan.
c) Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi


catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak
diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan
program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif
pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni
dilaksanakan oleh badan-badan adminstrasi maupun
agen-agen pemerintah ditingkat bawah. Kebijakan
yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasikan sumberdaya
finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini
berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa
implementasi kebijakan mendapat dukungan para

54 Kebijakan Publik
pelaksana (implementors) namun beberapa yang lain
mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
d) Tahap Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan
dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana
kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan
masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat
untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini,
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.Oleh
karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-
kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah
kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.
Istilah kebijakan dalam kehidupan sehari-hari
sering digunakan untuk menunjuk suatu kegiatan yang
mempunyai maksud berbeda. Para ahli mengembangkan
berbagai macam definisi untuk menjalankan apa yang
dimaksud dengan kebijakan publik. Masing-masing
definisi memberi penekanan yang berbeda, namun suatu
definisi yang dianggap lebih tepat adalah suatu definisi
yang menekankan tidak hanya pada apa yang diususlkan
pemerintah, tetapi juga mencakup pula arah tindakan
atau apa yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara
itu, para ilmuan dalam mengkaji kebijakan publik dapat
menempatkan ilmu politik sebagai ilmu yang “bebas nilai”
atau sebaiknya, dia dapat terlibat aktif dalam memecahkan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 55


persoalan-persoalan masyarakat. Dan dengan demikian
tidak bebas nilai.
Disisi yang lain, perhatian para ilmuan politik
semakin besar. Ini ditunjukkan oleh banyaknya tulisan dan
studi menyangkut masalah kebijakan publik.Area yang
dapat dikaji dalam kebijakan publik pun semakin luas
meliputi keseluruhan tahap dalam pembuatan kebijakan,
seperti dalam tahap agenda kebijakan, perumusan
kebijakan, implementasi kebijakan, hingga evaluasi
kebijakan. Pendeknya, studi kebijakan publik menjadi
pokok kajian yang semakin menarik.

D. RANGKUMAN
Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi
kebijakan publik.
Kebijakan publik menunjuk pada keinginan
penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat
demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini
publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan
menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan
sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa
peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui
publik apa yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga
harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga,
diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang

56 Kebijakan Publik
memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini
dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau
tidak. Dalam masyarakat otoriter, kebijakan publik adalah
keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas
tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang
kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini
publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat
dukungan publik.
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan
proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses
maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu,
beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji
kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan
kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tahap tersebut
terdiri dari : Formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.

E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN


1. Jelaskan sistem kebijakan publik!
2. Jelaskan Siklus kebijakan publik!
3. Jelaskan bagaimana masalah masuk agenda
kebijakan publik!
4. Jelaskan urgensi tahapan adopsi kebijakan publik!
5. Kemukakan contoh bahwa kebijakan publik itu
diformulasi untuk memecahkan masalah!

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 57


DAFTAR PUSTAKA

Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja AR. 1988.


Elemen-Elemen Sistem Kebijakan Publik. Jakarta :
Gunung Agung
Lindblom, Charles. 1986. Proses Penetapan Kebijakan
Publik. Edisi Kedua. Jakarta: Airlangga.
Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo

58 Kebijakan Publik
BAB 5

PENYUSUNAN AGENDA DAN


FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK

A. Tujuan
Setelah menyelesaikan Bab 5 ini, Anda diharapkan akan
dapat :
1. Mengetahui penyusunan agenda kebijakan publik
2. Mengetahui konsep formulasi kebijakan publik
3. Mengetahui dan menganalisis pendekatan dalam
formulasi kebijakan publik
4. Mengetahui model formulasi kebijakan publik
5. Mengetahui tahap-tahap dalam formulasi kebijakan
publik
6. Mengetahui hal-hal yang mempengaruhi proses
formulasi kebijakan publik
7. Mengetahui dan menganalisis interaksi aktor dalam
formulasi kebijakan publik.
8. Mengetahui dan menganalisis Model Orientasi Aktor
dalam Formulasi Kebijakan Publik.
9. Memahami relevansi rekonsiliasi dalam proses
Formulasi Kebijakan Publik.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 59


B. Pokok Bahasan
Pencapaian tujuan tersebut dalam Bab 5 dijelaskan :
1. Penyusunan Agenda Kebijakan Publik
2. Konsep Formulasi Kebijakan Publik
3. Pendekatan dalam Formulasi Kebijakan Publik
4. Model Formulasi Kebijakan Publik
5. Tahap-Tahap Formulasi Kebijakan Publik
6. Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Formulasi
Kebijakan Publik
7. Interaksi Aktor dalam Formulasi Kebijakan Publik
8. Model Orientasi Aktor dalam Formulasi Kebijakan
Publik.
9. Relevansi Rekonsiliasi dalam Proses Formulasi
Kebijakan Publik

C. Intisari Bacaan
1. Penyusunan Agenda Kebijakan
Penyusunan agenda adalah sebuah fase dan
proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan
publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai
apa yang disebut sebagai masalah publik dan agenda
publik perlu diperhitungkan. Jika sebuah isu telah menjadi
masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda
publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi
sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam
penyusunan agenda juga sangat penting untuk menentukan

60 Kebijakan Publik
suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda
pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut
juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy
issues biasanya muncul mengenai karakter permasalahan
tersebut.
Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan
merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik
tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian
atas suatu masalah kebijakan. Ada beberapa Kriteria isu
yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber,
1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan
Gunn, 1986) diantaranya:
a. Telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan
menjadi ancaman yang serius
b. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu
berdampak dramatis;
c. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan.
orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan
media massa;
d. Menjangkau dampak yang amat luas ;
e. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam
masyarakat ;
f. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit
dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 61


Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan
masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak
disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk
waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya
menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke
Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan
disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan seyogyanya dilakukan
berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga
keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh
mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan
stakeholder.
Menurut Nugroho (2008) criteria isu menjadi agenda
kebijakan publik :
1. Apakah isu tersebut dianggap telah mencapai
titik kritis sehingga tidak bias diabaikan
2. Apakah isu tersebut sensitif yang cepat menarik
perhatian masyarakat
3. Apakah isu tersebut menyangkut aspek tertentu
dalam masyarakat
4. Apakah isu tersebut menyangkut banyak pihak
sehingga mempunyai dampak yang luas dalam
masyarakat kalau diabaikan
5. Apakah isu tersebut berkaitan dengan kekuasaan
dan legitimasi

62 Kebijakan Publik
6. Apakah isu tersebut berkenaan dengan
kecenderungan yang sedang berkembang dalam
masyarakat.

2. Konsep Formulasi Kebijakan Publik


Proses mekanisme perumusan (formulation)
kebijakan merupakan tahap yang paling krusial, karena
implementasi dan evaluasi dapat dilaksanakan apabila tahap
formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan
suatu kebijakan atau program dalam pencapaian suatu
tujuan sebagian besar besumber dari ketidaksempurnaan
pengelolaan pada tahap formulasinya (Wibawa, 1994;2).
Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas
politik yang melingkupi proses perumusan kebijakan
publik tidak boleh lepas dari fokus kajiannya. Sebab
bila kita melepaskan kenyataan politik itu dari proses
perumusan kebijakannya, maka jelas kebijakan publik
yang akan dihasilkan akan miskin aspek lapangannya.
Sebab sebuah kebijakan publik yang miskin lapangannya
itu jelas akan menemui banyak persoalan pada tataran
implementasinya. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah
lapangan atau lingkungan dimana kebijakan itu hidup
tidaklah pernah steril dari politik (Fadillah Putra, 2003).
Formulasi kebijakan publik adalah langkah
yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 63


keseluruhan. Oleh karenanya, apa yang terjadi pada fase
ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan
publik yang dibuat pada masa yang akan datang. Oleh
sebab itulah, sangat dibutuhkan kehati-hatian yang lebih
dari para pembuat kebijakan (policy maker) ketika akan
melakukan formulasi kebijakan.
Menurut Frank T. Paine dan William Naumes
bahwa pembuatan kebijakan publik (policy formulation)
melibatkan keseluruhan sistem dengan berbagai kondisi dan
alternatif serta melibatkan proses-proses sosial dan proses-
proses intelektual” (Budi Winarno, 2002;68). Kemudian
menurut James E. Anderson (1979;52) pembuatan
kebijakan merupakan keseluruhan tahap dalam kebijakan
publik yang berupa rangkaian keputusan. Sedangkan
proses perumusan kebijakan publik menyangkut upaya
menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif
disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan
dan siapa yang berpartisipasi. Ia merupakan proses yang
secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan khusus. Riant Nugroho (2003:101) menjelaskan
perumusan kebijakan publik adalah inti dari kebijakan
publik karena disini dirumuskan batas-batas kebijakan itu
sendiri.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat
ditarik tiga kesimpulan; pertama, bahwa pembuatan
kebijakan menyangkut seluruh tahapan dalam kebijakan

64 Kebijakan Publik
publik dan perumusan kebijakan adalah salah satu bagian
di dalamnya. Kedua, konsep perumusan kebijakan sama
dengan konsep formulasi kebijakan. Ketiga, output dari
formulasi kebijakan adalah penetapan kebijakan publik
berupa peraturan perundang-undangan. Istilah/konsep
perumusan kebijakan yang akan dipergunakan selanjutnya
dalam tulisan ini adalah formulasi kebijakan.
Formulasi kebijakan merupakan pengembangan
alternatif-alternatif kebijakan dalam menghadapi masalah-
masalah yang telah masuk dalam agenda publik. Untuk
bisa memahami proses formulasi kebijakan, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah perlunya memahami
aktor-aktor yang terlibat atau pemeran dalam proses
perumusan kebijakan, baik aktor-aktor yang resmi maupun
yang tidak resmi, seperti diungkapkan Charles Lindblom
(1984:3), bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang
merumuskan kebijakan, lebih dahulu harus dipahami
sifat-sifat semua pemeran serta partisipan, bagian atau
peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk
kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka
saling berhubungan serta saling mengawasi. Dari berbagai
jenis pemeran serta partisipan masing-masing mereka
mempunyai peran secara khusus yang meliputi waga
negara biasa, pemimpin organisasi civil society, anggota
DPR/DPRD, pemimpin badan legislatif, aktivis partai,
pemimpin partai politik, hakim, PNS, dan para manajer

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 65


dunia usaha.
Selanjutnya menurut Mark Rushefky (1990:4),
perlu dipertajam dengan melihat cara apa yang mereka
gunakan untuk mempengaruhi proses formulasi sebuah
kebijakan sehingga menjadi sebuah kebijakan yang
ditetapkan. Pembahasan menyangkut aktor-aktor yang
terlibat perlu dilakukan untuk mengetahui siapa yang
berperan utama mendefinisikan masalah dan bagaimana
masalah itu didefinisikan adalah merupakan hal yang
penting. Definisi masalah yang berbeda akan mempunyai
implikasi yang berbeda terhadap kebijakan. Formulasi
kebijakan terjadi di dalam birokrasi pemerintah, kantor-
kantor swasta, kelompok-kelompok kepentingan, ruang
komite legislatif, pertemuan komisi khusus, dan organisasi
perencana kebijakan atau dikenal juga sebagai thinktanks.
Kelompok kepentingan tertentu dapat memformulasikan
proposal kebijakan mereka sendiri melalui asosiasi dengan
para anggota legislatif atau stafnya yang menunjukkan
kesamaan kepentingan. Staf kelompok kepentingan
seringkali menyumbang pengetahuan teknis yang berharga
bagi suatu informasi kebijakan, juga informasi politik
tentang posisi mereka dalam melihat suatu isu.
3. Pendekatan dalam Formulasi Kebijakan Publik
Untuk lebih jauh memahami bagaimana
mekanisme proses perumusan kebijakan publik itu, maka

66 Kebijakan Publik
terlebih dahulu akan diuraikan beberapa pendekatan atau
model-model dalam proses formulasi kebijakan publik.
Sebagai salah satu bagian dari proses pembuatan
kebijakan seperti telah disinggung sebelumnya,
merupakan proses yang rumit. Oleh karena kerumitan
tersebut, beberapa ahli mengembangkan model-model
atau pendekatan-pendekatan formulasi kebijakan.
Model-model tersebut sangat penting untuk mengkaji
proses formulasi kebijakan agar lebih mudah dipahami
sebagai upaya menyederhanakan realitas serta dapat
menjadi pedoman bagi pemerhati kebijakan publik untuk
menentukan dan mengusulkan hubungan antara konsep-
konsep yang digunakan untuk mengamati gejala sosial.
Dalam menganalisis suatu kebijakan, konsep dan model-
model tersebut dapat memperjelas dan mengarahkan
pemahaman kita terhadap penetapan kebijakan publik,
mempermudah arus komunikasi dan memberikan
penjelasan yang memadai bagi tindak kebijakan.
Secara tipikal formulasi kebijakan merupakan
tindakan yang berpola yang dilakukan sepanjang waktu
dan melibatkan banyak kepentingan. Model formulasi
kebijakan ini tidak hanya satu, tetapi ada banyak model
yang telah dikembangkan oleh para ahli kebijakan.
Menurut Pearsons, (Putra,2003) secara
metodologis, melakukan klasifikasi pendekatan atau model
kebijakan publik pada 5 (lima) pendekatan antara lain ;

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 67


1) Pendekatan/model kekuasaan; pendekatan atau model
kekuasaan adalah proses yang sangat ditentukan
oleh faktor kekuasaan seperti kelas sosial, birokrasi,
pendidikan, profesionalisme, dan kekuatan modal.
Pendekatan kekuasaan ini dapat dikategorikan dalam
beberapa fokus, yaitu elitism, pluralism, Marxism,
corporatism, professionalism, dan technocracy.
2) Pendekatan/model Rasionalitas; pendekatan atau
model rasionalitas dalam proses perumusan kebijakan
publik pada dasarnya bertumpu pada dua hal, yaitu
rasionalitas ekonomis dan rasionalitas birokrasi.
Artinya pembuatan kebijakan publik harus didahului
oleh pembacaan yang mendalam atas pehitungan-
perhitungan dampak ekonomis apabila kebijakan
tersebut diimplementasikan. Sedangkan rasionalitas
birokrasi, adalah bertumpu pada efisien dan efektifitas
kinerja birokrasi. Oleh karena itu proses perumusan
kebijakan publik haruslah mengacu pada kaidah-
kaidah ideal birokrasi seperti spesialisasi, hirarki, dan
impersonal.
3) Pendekatan Pilihan Publik; pendekatan pilihan
publik (public choice) menurut pandangan William
Niskanen dan Anthony Down (Fadillah Putra, 2003)
menitikberatkan pada mekanisme pasar. Artinya
pendekatan pilihan publik menempatkan lembaga
birokrasi di tengah-tengah pertarungan yang hebat

68 Kebijakan Publik
yang ada di pasar (market). Pasar dengan sendirinya
akan menentukan apakah sebuah institusi atau
birokrasi dalam masyarakat itu memuaskan publiknya
(customer) atau tidak, dan pasar pula dapat menghakimi
institusi birokrasi yang tidak dapat memuaskan
publiknya itu secara langsung. Proses perumusan atau
pembuatan kebijakan publik dalam paradigma ini
lebih bertumpu pada mekanisme pasar. Para perumus
kebijakan (decision maker) akan kekurangan kekuatan
(powerless) untuk melakukan transformasi sosial
melalui produk kebijakan yang dibuatnya, sebab dalam
pandangan pendekatan ini semua produk kebijakan
publik dari lembaga negara harus presisi dengan
kehendak publik secara holistik.
4) Pendekatan Personalitas; pendekatan personalitas lebih
banyak melihat proses perumusan atau pembuatan
kebijakan dari sudut pandang psikologis dan ilmu
informasi. Proses perumusan atau pembuatan kebijakan
publik menurut pandangan ini adalah merupakan
sebuah kajian yang terfokus pada sesuatu yang ada
pada benak individu atau kelompok orang pembuat
kebijakan publik tersebut. Menurut Elton Mayo
dan Maslow dalam Fadila Putra (2003) mengatakan
bahwa proses-proses manajemen merupakan sebuah
proses psikologis dari mereka yang ada dalam
proses manajemen itu. Lebih tajam menurut Harold

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 69


Laswel mengatakan bahwa proses perumusan atau
pembuatan kebijakan publik lebih terfokus pada aspek
emosi manusia, personalitas, dan perilaku kelompok
dan hubungan interpersonal, artinya dalam proses
pembuatan dan perumusan kebijakan tidak cukup
hanya melihat aspek-aspek rasional, namun harus
melihat dari sudut pandang yang besifat non-rasional
dalam perilaku politisi dan penguasa birokrasi dalam
melakukan tindakan-tindakan publiknya.
5) Pendekatan Kognisi dan Informasi; pendekatan
kognisi dan informasi merupakan pendekatan lanjutan
dari pendekatan personalitas yang menganalisis
proses perumusan atau pembuatan kebijakan publik
dari aspek bagaimana pembuat kebijakan sebagai
personal merespon stimulasi dari lingkungannya.
Artinya, seorang pembuat kebijakan lebih terfokus
pada bagaimana mereka dapat mengenali masalah,
bagaimana mereka menggunakan informasi yang
dimiliki, bagaimana mereka menentukan pilihan
dari berbagai alternatif yang ada, bagaimana mereka
mempersepsi berbagai realitas yang muncul, dan
bagaimana informasi diproses dan dikomunikasikan
dalam organisasi. Proses pembuatan dan perumusan
kebijakan publik, dengan demikian harus dipandang
sebagai proses akomodasi dan pelibatan berbagai
elemen yang ada dalam masyarakat yang hendak

70 Kebijakan Publik
dijadikan sasaran dari kebijakan publik yang akan
dibuat. Pembuat kebijakan diharapkan tidak lagi
memandang dirinya sebagai satu-satunya aktor yang
menentukan dalam proses perumusan dan pembuatan
kebijakan. Informasi dari seluruh preferensi yang ada
dari berbagai sumber di lingkungannya harus sedapat
mungkin diproses dan diserap sebagai bahan kajian,
sehingga kebijakan publik yang dihasilkan nantinya
akan semakin membumi dan mendapat legitimasi
politik yang kuat dari lingkungannya.
Berdasarkan tipologi model perumusan kebijakan
yang disusun oleh Pearsons, dalam lima model formulasi,
kemudian Nicholas Henry (1975;230) dalam bukunya
Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan
membagi formulasi kebijakan publik dalam dua kategori
yakni formulasi kebijakan publik dari sudut proses dan
formulasi kebijakan publik dari sudut hasil dan akibatnya.
Penganalisaan kebijakan publik dari sudut
proses lebih bersifat “deskriptif” yaitu mencoba untuk
menggambarkan bagaimana kebijakan publik itu dibuat.
Termasuk ke dalam pengelompokkan penganalisaan dari
sudut ini adalah model-model seperti institusional, elit-
massa, kelompok dan sistem. Sedangkan penganalisaan
kebijakan publik dari sudut hasil dan akibat lebih
bersifat “preskriptif” yaitu menunjukkan cara-cara untuk
meningkatkan mutu/kualitas isi, hasil dan akibat dari

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 71


kebijakan publik, atau dengan singkat bagaimana caranya
meningkatkan kualitas proses formulasi kebijakan publik.
Yang termasuk ke dalam pengelompokkan penganalisaan
dari sudut hasil dan akibat adalah model-model rational-
comprehensive, incremental, dan model mixed-scanning
yang dicetuskan oleh ahli sosiologi Amitai Etzioni.

4. Model Formulasi Kebijakan Publik


Berikut ini adalah penjelasan beberapa macam
model dengan mengikuti kedua macam pengelompokkan
di atas.
1) Model Rational-Comprehensive
Model ini didasarkan atas teori ekonomi atau
konsep manusia ekonomi (consept of an economic
man). Model rasional komprehensif menekankan
pada pembuatan keputusan yang rasional dengan
bermodalkan pada komprehensifitas informasi dan
keahlian pembuatan keputusan. Dalam model ini
konsep rasionalitas sama dengan konsep efisiensi.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa suatu kebijakan
yang rasional itu adalah kebijakan yang sangat efisien,
dimana rasio antara nilai yang dikorbankannya adalah
positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-
alternatif yang lain. Hasil dari proses pembuatan
kebijakan adalah keputusan yang rasional, yakni suatu
keputusan yang dapat mencapai suatu tujuan yang
paling efektif.

72 Kebijakan Publik
2) Teori Incrementalism
Model ini memandang kebijakan publik sebagai
suatu kelanjutan kegiatan-kegiatan pemerintah dimasa
lalu dengan hanya mengubahnya (modifikasi) sedikit-
sedikit. Model incremental adalah merupakan kritik
dan perbaikan terhadap model rasional komprehensif.
Karakteristik keputusan yang incremental
sebagai pembuatan kebijakan yang bersifat mengobati
(remedial) dan lebih diarahkan pada pemecahan
masalah-masalah sosial yang konkrit yang ada
sekarang, bukan untuk meningkatkan pencapaian
tujuan-tujuan sosial di masa yang akan datang. (Terry
W. Hartle, 1980;129).
Lindblom (1986), kemudian menyimpulkan
karena pembuatan keputusan selalu diliputi dengan
keterbatasan waktu, kecakapan dan biaya maka
ia tidak mungkin dapat menganalisa semua nilai-
nilai dan tujuan-tujuan masyarakat, keseluruhan
alternatif-alternatif kebijakan beserta konsekuensi-
konsekuensinya, menilai rasio biaya keuntungan secara
detail, menyusun urutan-urutan alternatif kebijakan
berdasarkan rasio biaya keuntungan dan kemudian
membuat keputusan sesuai dengan informasi yang
relevan .(Islamy, 1992:61).
Menyadari akan keterbatasan-keterbatasan yang
ada pembuat keputusan, maka model incremental

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 73


hanya memusatkan perhatiannya pada modifikasi
secara sedikit-sedikit atas kebijaksanaan yang ada
sebelumnya.
3). Teori Pengamatan Terpadu (Mixed scanning Theory)
Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi organisasi
bernama Amitai etzioni. Ia mencetuskan suatu model
pembuatan keputusan hibrida yang merupakan
gabungan unsur-unsur kebaikan yang ada pada
model rasional-komprehensif dan incremental yang
selanjutnya disebut sebagai model mixed scanning.
Pendekatan ini memanfaatkan dua macam
pendekatan sebelumnya secara fleksibel, yaitu sangat
tergantung dari masalah dan situasinya. Dalam beberapa
hal pendekatan rasional-komprehensif akan diterapkan
bila “high converage scanning” (penjelajahan dan
pengamatan yang luas) diperlukan. Dan beberapa hal
yang lain bila “truncated scanning” (pengamatan
yang mendetail pada suatu sasaran tertentu) diperlukan
maka pendekatan inkremental mendapatkan gilirannya.
Dengan adanya pendekatan mixed-scanning yang
kompromistis ini telah menyadarkan kita tentang
adanya kenyataan-kenyataan yang sangat penting
yaitu bahwa keputusan-keputusan ini tidak sama atau
berbeda-beda baik ruang lingkup maupun dampaknya,
sehingga pendekatan pembuatan keputusan berbeda
diperlukan untuk jenis keputusan yang berbeda pula.

74 Kebijakan Publik
4). Model Institusional
Model ini adalah merupakan model yang
tradisional dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada
struktur organisasi pemerintah. Hal ini disebabkan
karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada
lembaga-lembaga pemerintah seperti lembaga
legislatif, eksekutif, yudikatif baik pada pemerintah
pusat, regional, dan lokal. Sehubungan dengan itu
maka kebijaksanaan negara secara otoritas dirumuskan
dan dilaksanakan pada lembaga-lembaga pemerintah
tersebut. Terdapat hubungan yang kuat antara
kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah,
hal ini disebabkan karena sesuatu kebijakan tidak dapat
menjadi kebijakan publik kalau ia tidak dirumuskan,
disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan.
Secara tradisional model institusional ini biasanya
menggambarkan tentang struktur organisasi, tugas-
tugas dan fungsi-fungsi pejabat organisasi. Tapi
sayangnya kurang membuat analisa tentang hubungan
antara lembaga-lembaga pemerintahan itu dengan
kebijakan publik. Namun demikian kita harus hati-
hati dalam menilai kaitan lembaga pemerintahan dan
kebijakan publik, karena anggapan yang mengatakan
bahwa apabila struktur kelembagaan berubah maka
kebijakan publik juga ikut berubah tidak selalu benar.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 75


Hal ini disebabkan karena baik lembaga pemerintahan
maupun kebijakan publik banyak dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan lingkungan (faktor-faktor luar).
5). Model Elit-Massa
Model ini memandang administrator negara
bukan sebagai abdi rakyat “(servant of the people)”
tetapi lebih sebagai “kelompok-kelompok kecil yang
telah mapan “(the establishment)”. Kelompok elit
yang bertugas membuat dan melaksanakan kebijakan
digambarkan dalam model ini sebagai kelompok yang
mampu bertindak/berbuat dalam suatu lingkungan
yang ditandai dengan sikap massa yang apatis,
kerancuan informasi, sehingga massa menjadi lebih
pasif. Kebijakan publik mengalir dari atas ke bawah,
yaitu dari golongan elit ke golongan massa. Kelompok
elit yang mempunyai kekuasaan dan nilai-nilai elit
berbeda dengan massa. Dengan demikian kebijakan
publik adalah merupakan perwujudan keinginan-
keinginan utama dan nilai-nilai golongan elit yang
berkuasa.
Karena kebijakan publik itu ditentukan oleh
kelompok elit maka pejabat pemerintah hanyalah
sekedar pelaksana-pelaksana dari kebijakan yang
ditetapkan oleh elit tadi, sementara tuntutan rakyat
banyak (non elit) tidak diperhatikan. Dengan demikian
elitisme mempunyai arti bahwa kebijakan publik

76 Kebijakan Publik
tidak begitu banyak mencerminkan keinginan rakyat
tetapi keinginan elit. Hal ini menyebabkan perubahan
dan pembaharuan terhadap kebijakan publik berjalan
lambat.
6). Model Kelompok
Model ini menganut paham kelompoknya David
B. Truman dalam bukunya “The Government Process”
(1951) dalam Islamy (1992;42) yang menyatakan
bahwa interaksi diantara kelompok-kelompok adalah
merupakan kenyataan politik. Individu-individu yang
memiliki kepentingan yang sama mengikatkan baik
secara formal maupun informal ke dalam kelompok
kepentingan (interest group) yang dapat mengajukan
dan memaksakan kepentingan-kepentingannya kepada
pemerintah.
Model kelompok melihat kebijakan publik sebagai
equilibrium yang dicapai sebagai hasil perjuangan
kelompok. Untuk menjaga perimbangan tersebut maka
tugas/peranan sistem politik adalah menengahi konflik
yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut.
Kelompok kepentingan yang berpengaruh diharapkan
dapat mempengaruhi kebijakan publik. Tingkat
pengaruh kelompok kepentingan tersebut ditentukan
oleh jumlah anggotanya, harta kekayaan, kekuatan,
dan kebaikan organisasinya, kepemimpinannya,
hubungan yang erat dengan para pembuat keputusan,

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 77


kohesi intern para anggotanya dan sebagainya.
Aktivitas politis (inklusif formulasi kebijakan
publik) dipandang oleh model ini sebagai hasil
perjuangan kelompok, sehingga para pembuat
kebijakan publik secara terus menerus memberikan
respon terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh
kelompok tersebut (pressure groups) yaitu dengan
melakukan tawar menawar (bargaining), perjanjian
(negotiating), dan kompromi (compromising) terhadap
persaingan tuntutan-tuntutan dari kelompok-kelompok
yang berpengaruh.
7). Model Sistem Politik
Paine dan Naumen menawarkan suatu model
proses pembuatan formulasi kebijakan yang merujuk
pada model sistem. Model ini diangkat dari uaraian
David Easton dalam “The political sistem”. Model
ini didasarkan pada konsep-konsep teori informasi
(imputs, withinputs, outputs dan feedback) dan
memandang kebijakan publik sebagai respon suatu
sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan
(sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografi, dan
sebagainya) yang ada di sekitarnya. Dengan demikian
kebijakan publik dipandang oleh model ini sebagai
hasil (output) dari sistem politik.
Konsep “political system” mempunyai arti yakni
sejumlah lembaga-lembaga dan aktivitas-aktivitas

78 Kebijakan Publik
politik dalam masyarakat yang berfungsi mengubah
tuntutan (demand), dukungan (support), dan
resources sebagai input menjadi sebuah keputusan/
kebijakan (output) yang otoritatif bagi seluruh anggota
masyarakat. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa
sistem politik berfungsi mengubah inputs menjadi
outputs.
Tuntutan-tuntutan (demands) timbul bila
individu-individu atau kelompok-kelompok setelah
memperoleh respon dari adanya peristiwa-peristiwa
atau keadaan-keadaan yang ada di lingkungannya
berupaya mempengaruhi proses pembuatan kebijakan
publik. Tuntutan-tuntutan ini bisa berasal dari dalam
sistem politik itu sendiri (misalnya dari anggota
birokrasi atau pejabat pemerintah) atau berasal dari
luar sistem politik (misalnya dari anggota masyarakat,
kelompok kepentingan dan sebagainya).
Dukungan (support) dan sumber-sumber
(resources) diperlukan untuk menunjang tuntutan-
tuntutan yang telah dibuat tadi. Apakah sistem politik
telah berhasil membuat keputusan-keputusan yang
sesuai dengan tuntutan tadi maka implementasi
keputusan-keputusan akan semakin mudah dilakukan.
Menerima keputusan-keputusan, mematuhi undang-
undang, membayar pajak dan sebagainya adalah
merupakan perwujudan dari pemberian dukungan.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 79


Lingkungan variabel-variabel sosial ekonomi
dalam suatu negara

Gambar 5.1 : .Model sistem Formulasi Kebijakan

Kebijakan publik merupakan hasil (output) dari


kegiatan politik. Ini adalah bentuk dan apa yang
pemerintah ingin lakukan atau tidak ingin melakukan
sesuatu yang secara otoritas akan dialokasikannya
kepada seluruh anggota masyarakat. Pengalokasian
keputusan-keputusan pemerintah kepada anggota
masyarakat sudah pasti ada konsekuensinya, baik
itu berupa dampak negatif atau positif atau yang
diharapkan (intended) dan dampak negatif atau yang
tidak diharapkan (unintended) tetapi ternyata muncul
dipermukaan yang telah disadari atau tidak disadari
oleh pembuat kebijakan.
Lingkungan (environment) yang berupa keadaan
sosial ekonomi, politik, kebudayaan, keamanan,
geografi dan sebagainya bisa berpengaruh pada

80 Kebijakan Publik
inputs, dimana tuntutan-tuntutan bisa langsung
ditransformasikan ke dalam sistem politik atau karena
pengaruh lingkungan juga bisa mati atau tidak dapat
diteruskan pada sistem politik. Pengaruh lingkungan
pada withinputs bisa mewarnai kuantitas, kualitas, dan
kelancaran proses konversi yang pada intinya juga
akan berpengaruh pada outputs. Implementasi outputs
pada masyarakat bisa memberikan dampak positif
dan negatif juga banyak dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan. Termasuk pemanfaatan dampak positif
dan negatif dari kebijakan publik tersebut sebagai
umpan balik (feedback) yang akan dipakai atau
tidak sebagai input baru dalam proses sistem politik
berikutnya. Jadi pengaruh lingkungan ini luas sekali
yaitu ke seluruh sub-sub sistem dari sistem politik.
Lingkungan kebijakan, seperti adanya pengangguran,
kriminalitas, krisis ekonomi, gejolak politik yang ada
pada suatu negara akan mempengaruhi atau memaksa
pelaku atau aktor kebijakan untuk meresponnya,
yakni memasukannya ke dalam agenda pemerintah
dan selanjutnya melahirkan kebijakan publik untuk
memecahkan masalah-masalah yang bersangkutan.
Gambar 5.2 berikut mendeskripsikan hubungan
antara tiga elemen yang terlibat dalam sebuah
kebijakan.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 81


Gambar 5.2 : Hubungan Tiga Elemen Sistem Kebijakan
Sumber: Thomas R. Dye dalam William N. Dunn(2000;110).

Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan


kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
lingkungan. Tuntutan terhadap kebijakan dapat
lahir karena pengaruh lingkungan, dan kemudian
ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik.
Dalam waktu yang bersamaan ada keterbatasan dan
konstrain dari lingkungan yang akan mempengaruhi
policy markers. Faktor lingkungan tersebut antara lain
karakteristik geografi, seperti sumber daya alam, iklim,
dan topografi; variabel demografi, seperti banyaknya
penduduk, distribusi umur penduduk, lokasi sosial,
kebudayaan, politik, struktur sosial, dan sistem
ekonomi.
Dari pemetaan beberapa model formulasi
kebijakan publik, kita bias menyimpulkan bahwa untuk
merumuskan atau membuat kebijakan tidaklah sederhana.
Model tersebut dapat membantu kita untuk memnganalisis
sebuah rancangan kebijakan publik. Masalahnya adalah,
model mana yang paling sesuai dengan tugas perumusan
atau formulasi kebijakan. Semua model mempunyai

82 Kebijakan Publik
kelebihan dan kekurangan.
Jawaban dari model mana yang terbaik tidak bisa
dijawab dengan model ini atau model itu; bahkan tidak
pula dengan jawaban mix saja semua model itu karena
memang tidak dapat dicampur bengitu saja. Untuk itu,
sebelum memilih model, tentukan dulu hal-hal berikut:
a) Kompleksitasnya isu atau permasalahan
b) Ketersediaan sumber daya, khususnya kompetensi
sumber daya manusia dan ketersediaan waktu.
Jawaban-jawaban ini akan menentukan pilihan
model mana yang akan diprioritaskan sebagai model kunci
atau model utama.

Sumber Daya

Kompleksitas

Gambar 5.3 : Matriks Pemilihan Model

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 83


Dari gambar tersebut tampak bahwa kombinasi-
kombinasi kondisi objektif yang ada sebelum formulasi
kebijakan akan mengarah pada model formulasi atau
perumusan kebijakan yang paling sesuai. Jika disimak,
tampak bahwa model incremental adalah model yang
efektif digunakan justru ketika sumber daya yang tersedia
rendah dan kompleksitas masalah rendah, sementara
model permainan efektif digunakan pada permasalahn
yang kompleks dan sumber daya, khususnya SDM tersedia
dalam jumlah dan kualitas yang mencukupi untuk membuat
skenario permainan yang memenangkan.
Linblom dalam bukunya “The Policy Making
Process” (Sudarwan Danim, 2000) mengemukakan lima
tahap atau mekanisme untuk mempelajari perumusan
kebijakan publik yaitu :
1) Bagaimana masalah-masalah itu timbul dan masuk
kedalam agenda acara para pembuat atau perumus
kebijakan pemerintah.
2) Bagaimana masyarakat merumuskan masalah-masalah
tersebut untuk pembuatan suatu kebijakan.
3) Sikap apa yang diambil oleh badan legislatif atau
lembaga lainnya atas kebijakan itu.
4) Bagaimana para pemimpin merapatkan/merespon
kebijakan itu.
5) Bagaimana kebijakan itu dievaluasi.

84 Kebijakan Publik
Senada dengan apa yang dikatakan Linblom,
Ann Majchrzak (Sudarwan Danim, 2002) mengemukakan
bahwa tahap-tahap atau mekanisme perumusan kebijakan
publik terdiri atas enam tahap :
1) Mekanisme desiminasi, berkenaan dengan
penyederhanaan masalah-masalah yang ada dengan
cara menemukan informasi-informasi penting tentang
masalah. Artinya masalah-masalah sosial apapun
bentuknya dan bagaimanapun kompleksnya menurut
mekanisme ini dapat disederhanakan.
2) Mekanisme finansial; berkenaan dengan masalah
finansial untuk keperluan dorongan (insentive) atau
keperluan lain misalnya pajak atau bantuan. Artinya
mekanisme ini digunakan apabila uang (financial)
dipandang sebagai kekuatan pendorong untuk
menanggulangi masalah sosial.
3) Mekanisme keteraturan dan pengawasan; mekanisme
ini digunakan apabila ingin memecahkan masalah-
masalah sosial dengan pelaksanaan tentang suatu
aktivitas dimana individu atau organisasi dapat
melakukannya.
4) Mekanisme operasi tindakan; mekanisme ini berkenaan
dengan operasi tindakan kebijakan. Mekanisme ini
digunakan jika tindakan dianggap konstruktif bagi
upaya memecahkan masalah-masalah sosial.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 85


5) Mekanisme setting prioritas; berkenaan dengan
setting prioritas simbolik atau kebijakan terkait,
dan berhubungan dengan rekomendasi dimana
penyederhanaan indikasi masalah sangat penting
dan harus menjadi pusat perhatian. Mekanisme
ini biasanya digunakan juga untuk memperlambat
keputusan (delay a decision), atau membuat keputusan
untuk tidak memutuskan (make a non-decision).
Mekanisme setting prioritas cenderung berkaitan
dengan keputusan-keputusan politik.
6) Mekanisme penelitian dan pengembangan; sebagai
setting prioritas, penelitian dan pengembangan
(research and development) dapat dijadikan sebagai
alat atau taktik untuk penundaan. Mekanisme ini tidak
terlepas dari peranan aktor, oleh karena itu semua aktor
yang terlibat dlam mekanisme ini harus diidentifikasi,
baik yang mempunyai kekuatan formal secara langsung
maupun yang informal dan tidak langsung.
5. Tahap-Tahap Formulasi Kebijakan
Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut
Winarno (1989: 53) dapat dipandang dalam 2 (dua)
macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan
secara umum apa yang harus dilakukan atau dengan kata
lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan
tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu

86 Kebijakan Publik
keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses
seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada
bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam
hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh
seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui,
mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang
dipilih. Sejalan dengan pendapat Winarno, maka Islamy
(1991:77) membagi proses formulasi kebijakan kedalam
tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda
pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahan
kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
Berikut uraiannya :

1) Perumusan masalah kebijakan


Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan
dan situasi tertentu dapat menimbulkan satu atau beberapa
problem, tetapi agar hal itu menjadi masalah publik tidak
hanya tergantung dari dimensi obyektifnya saja, tetapi
juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun para
pembuat keputusan, dipandang sebagai suatu masalah
yang patut dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya.
Oleh karena itu, suatu problem, untuk bisa berubah
menjadi problem umum tidak hanya cukup dihayati
oleh banyak orang sebagai sesuatu masalah yang perlu
segera diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki political
will untuk memperjuangkannya dan yang lebih penting
lagi, problem tersebut ditanggapi positif oleh pembuat

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 87


kebijakan dan mereka bersedia memperjuangkan problem
umum itu menjadi problem kebijakan, memasukkannya
kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya
menjadi kebijakan publik, maka langkah pertama yang
harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan adalah
mengidentifikasikan problem yang akan dipecahkan
kemudian membuat perumusan yang sejelas-jelasnya
terhadap problem tersebut. Kegiatan ini merupakan upaya
untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan
terlebih dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah
tersebut sehingga akan mempermudah dalam menentukan
sifat proses perumusan kebijakan.
2) Penyusunan agenda pemerintah.
Oleh karena masalah publik yang telah
diidentifikasi begitu banyak jumlahnya, maka para
pembuat keputusan akan memilih dan menentukan
problem mana yang seharusnya memperoleh
prioritas utama untuk diperhatikan secara serius
dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah
ini mempunyai sifat yang khas, lebih kongkrit dan
terbatas jumlahnya.
Anderson (1966:57-59) menyebutkan
beberapa faktor yang dapat menyebabkan problem-
problem umum dapat masuk ke dalam agenda
pemerintah, yakni :

88 Kebijakan Publik
• Apabila terdapat ancaman terhadap
keseimbangan antar kelompok (group
equlibirium), dimana kelompok-kelompok
tersebut mengadakan reaksi dan menuntut
tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa
guna mengatasi ketidakseimbangan tersebut.
• Kepemimpinan politik dapat pula menjadi
suatu faktor yang penting dalam penyusunan
agenda pemerintah, manakala para pemimpin
politik didorong atas pertimbangan
keuntungan politik atau keterlibatannya untuk
memperhatikan kepentingan umum, sehingga
mereka selalu memperhatikan problem publik,
menyebarluaskan dan mengusulkan usaha
pemecahannya.
• Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar
biasa dan mendapatkan perhatian besar
dari masyarakat, sehingga memaksa para
pembuat keputusan untuk memperhatikan
secara seksama terhadap peristiwa atau krisis
tersebut, dengan memasukkan ke dalam agenda
pemerintah.
• Adanya gerakan-gerakan protes termasuk
tindakan kekerasan, sehingga menarik
perhatian para pembuat keputusan untuk
memasukkannya ke dalam agenda pemerintah.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 89


• Masalah-masalah khusus atau isu-isu politis
yang timbul dalam masyarakat, sehingga
menarik perhatian media massa dan
menjadikannya sebagai sorotan. Hal ini dapat
menyebabkan masalah atau isu tersebut semakin
menonjol sehingga lebih banyak lagi perhatian
masyarakat dan para pembuat kebijakan tertuju
pada masalah atau isu tersebut.
3) Perumusan Usulan Kebijakan
Tahap ini merupakan kegiatan menyusun
dan mengembangkan serangkaian tindakan yang
perlu untuk memecahkan masalah, meliputi :
• Identifikasi alternatif dilakukan untuk
kepentingan pemecahan masalah. Terhadap
problem yang hampir sama atau mirip, dapat
saja dipakai alternatif kebijakan yang telah
pernah dipilih, akan tetapi terhadap problem
yang sifatnya baru maka para pembuat kebijakan
dituntut untuk secara kreatif menemukan
dan mengidentifikasi alternatif kebijakan
baru sehingga masing-masing alternatif jelas
karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi
yang benar dan jelas pada setiap alternatif
kebijakan akan mempermudah proses
perumusan alternatif.

90 Kebijakan Publik
• Mendefinisikan dan merumuskan alternatif,
bertujuan agar masing-masing alternatif yang
telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan
itu jelas pengertiannya, sebab semakin jelas
alternatif itu diberi pengertian, maka akan
semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan
mempertimbangkan aspek positif dan negatif
dari masing-masing alternatif tersebut.
• Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian
bobot pada setiap alternatif, sehingga jelas
bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot
kebaikan dan kekurangannya masing-masing,
sehingga dengan mengetahui bobot yang
dimiliki oleh masing-masing alternatif maka
para pembuat keputusan dapat memutuskan
alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk
dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat melakukan
penilaian terhadap berbagai alternatif dengan
baik, maka dibutuhkan kriteria tertentu serta
informasi yang relevan.
• Memilih alternatif yang memuaskan. Proses
pemilihan alternatif yang memuaskan
atau yang paling memungkinkan untuk
dilaksanakan barulah dapat dilakukan setelah
pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan
penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 91


alternatif yang telah dipilih secara memuaskan
akan menjadi suatu usulan kebijakan yang
telah diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan
memberikan dampak positif. Tahap pemilihan
alternatif yang memuaskan selalu bersifat
obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa
pembuat kebijakan akan menilai alternatif
kebijakan sesuai dengan kemampuan rasio
yang dimilikinya, dengan didasarkan pada
pertimbangan terhadap kepentingan pihak-
pihak yang akan memperoleh pengaruh sebagai
konsekwensi dari pilihannya.

4) Pengesahan Kebijakan
Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan
kebijakan merupakan proses penyesuaian dan penerimaan
secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui
dan diterima (comforming to recognized principles or
accepted standards). Landasan utama untuk melakukan
pengesahan adalah variabel-variabel sosial seperti sistem
nilai masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan
sebagainya.
Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali
dengan kegiatan persuasion dan bargaining (Andersson;
1966, 80). Persuasion diartikan sebagai “Usaha-usaha
untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran

92 Kebijakan Publik
atau nilai kedudukan seseorang, sehingga mereka
mau menerimanya sebagai milik sendiri”. Sedangkan
Bergaining diterjemahkan sebagai “Suatu proses dimana
dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau
otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya
sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar
dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat
diterima bersama meskipun itu tidak terlalu ideal bagi
mereka”. Yang termasuk ke dalam kategori bargaining
adalah perjanjian (negotiation), saling memberi dan
menerima (take and give) dan kompromi (compromise).
Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya
saling melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan
atau proses tersebut akan dapat memperlancar proses
pengesahan kebijakan.

6. Hal-Hal yang Mempengaruhi Proses Formulasi


Kebijakan
Menurut Nigro and Nigro dalam Islamy (1991:
25), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses
formulasi kebijakan adalah :
a) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan
dengan nama “rationale comprehensive” yang berarti
administrator sebagai pembuat keputusan harus

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 93


mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih
berdasarkan penilaian rasional semata, tetapi proses dan
formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia
nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh
terhadap proses formulasi kebijakan.
b) Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan
investasi modal, sumber-sumber dan waktu terhadap
kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu
diikuti, meskipun keputusan-keputusan tersebut telah
dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah,
apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang
memuaskan.
c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh
pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-
sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau
pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat
pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
d) Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan
juga sangat berpengaruh, bahkan sering pula pembuatan
keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan
pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar
proses formulasi kebijakan.

94 Kebijakan Publik
e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan
yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan
atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat
sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan
keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya
kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung
jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.

7. Interaksi Aktor dalam Formulasi Kebijakan Publik


Pada pembahasan mengenai kebijakan publik,
maka aktor mempunyai posisi yang sangat strategis
bersama-sama dengan faktor kelembagaan (institusi)
kebijakan itu sendiri. Interaksi aktor dan kelembagaan
merupakan penentu proses perjalanan dan strategi yang
dilakukan oleh komunitas kebijakan dalam makna yang
lebih luas.
Menurut Howlett dan Ramesh dalam Madani
(2011:36) menjelaskan bahwa pada prinsipnya aktor
kebijakan adalah mereka yang selalu dan harus terlibat
dalam setiap proses analisa kebijakan publik, baik
berfungsi sebagai perumus maupun kelompok penekan
yang senantiasa aktif dan proaktif di dalam melakukan
interaksi dan interelasi di dalam konteks analisis kebijakan
publik.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 95


Pendapat lain juga dikemukakan oleh Anderson
dalam Madani (2011:37) bahwa aktor kebijakan meliputi
aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu
mempunyai consern terhadap kebijakan. Aktor individu
maupun kelompok yang turut serta dalam setiap
perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik.
Berdasarkan pendapat ahli, maka dapat
disimpulkan bahwa aktor kebijakan itu seorang maupun
sekelompok orang yang terlibat dalam penentu kebijakan,
baik pada proses perumusan, implementasi dan evaluasi
kebijakan publik. Aktor kebijakan ini dapat berasal dari
pejabat pemerintah, masyarakat, kaum buruh, maupun
kelompok kepentingan.
Menurut Anderson dalam Madani (2011:41)
menyatakan bahwa: Dengan memperhatikan berbagai
ragam dan pendekatan dalam memahami berbagai aktor
yang terlibat dalam proses kebijakan publik, maka konsep
dan konteks aktor adalah sangat terkait dengan macam dan
tipologi kebijakan yang akan dianalisis. Dalam perspektif
formulasi masalah kebijakan publik, maka aktor yang
terlibat secara garis besarnya dapat dipilah menjadi dua
kelompok besar yaitu kelompok dalam organisasi birokrasi
(the official policy makers) dan yang lain adalah kelompok
di luar birokrasi (un-official policy maker).
Winarno dalam Madani (2011:41) berpandangan
bahwa : Kelompok yang terlibat dalam proses kebijakan

96 Kebijakan Publik
publik adalah kelompok formal dan kelompok non formal.
Kelompok formal seperti badan-badan administrasi
pemerintah yang meliputi: eksekutif, legislatif maupun
yudikatif. Sementara itu, kelompok non formal terdiri dari:
a) Kelompok kepentingan (interest groups), seperti
kelompok buruh, dan kelompok perusahaan
b) Kelompok partai politik
c) Warga Negara individual

Kelompok besar tersebut kemudian jika dianalisis


secara lebih detail maka aktor kebijakan yang sering
kali terlibat dalam proses perundingan dan pengambilan
kebijakan internal birokrasi dapat berupa:
• Mereka yang mempunyai kekuasaan tertentu
(authoritative). Yang pertama adalah relevan
dengan konsep yang selalu melibatkan tiga oknum
penting di dalamnya yaitu lembaga alegislatif,
eksekutif dan yudikatif.
• Mereka yang tergolong sebagai partisipan atau
aktor tidak resmi.

Kelompok yang kedua adalah mereka yang secara


serius seringkali terlibat di luar kelompok tersebut
baik secara langsung mendukung ataupun menolak
hasil kebijakan yang ada. Pada kelompok yang
kedua inilah seringkali wujudnya dapat berupa

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 97


kelompok kepentingan, aktor partai politik, aktor
para ahli dan sarjana atau entrepreneur serta para
intelektual yang ada.

8. Model Orientasi aktor dalam formualasi Kebijakan


Publik.
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses
kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial
karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat
dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah
selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau
program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar
bersumber pada ketidak sempurnaan pengolaan tahap
formulasi (Wibawa; 1994:2). Tjokroamidjojo (Islamy;
1991, 24) mengatakan bahwa policy formulation sama
dengan pembentukan kebijakan merupakan serangkaian
tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan
secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal
ini didalamnya termasuk pembuatan keputusan.
Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas
yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu.
Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan
tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan
tahap pertama (penyusunan agenda) atau tahap ditengah
dalam aktivitas yang tidak linear.

98 Kebijakan Publik
Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut
Winarno (1989:53), dapat dipandang dalam 2 (dua)
macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan
secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau
dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh
kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih,
suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses
seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan
pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dibuat,
dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup
tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk
menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif
kebijakan yang dipilih.
Long & Long (1992) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa perumusan kebijakan publik yang
partisipatif, interaksi aktor harus berlangsung secara setara,
intensif dan interface. Model inilah yang disebut model
orientasi aktor. Sementara de Zeeuw (2001), seorang
psikolog menyimpulkan bahwa perumus kebijakan publik
seharusnya memperhatikan potensi dan kemampuan
masyarakat anggota kolektifitas secara keseluruhan
sehingga kebijakan yang ditentukan tidak memihak dan
dapat diakses oleh seluruh aktor yang terlibat dalam
kolektivitas tersebut.
Harmon (1969) meneliti tentang kepentingan
publik yang merupakan konsekuensi yang muncul dalam

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 99


proses formulasi kebijakan publik yang ditentukan oleh
orientasi dan kepentingan aktor yang terlibat di dalamnya,
baik aktor pemerintah (administrator) maupun aktor
masyarakat yang terdiferensiasi berdasar kelompok-
kelompok kepentingan yang ada di dalam komunitas
masyarakat. Dari berbagai sifat kepentingan publik,
Harmon membuat model gaya atau karakter kebijakan
publik yang mempertemukan antara tingkat responsibilitas
kebijakan (policy responsiveness) dengan tingkat dukungan
kebijakan (policy advocacy) dalam proses formulasi
kebijakannya.
Almond & Verba (1985) meneliti perbandingan
orientasi aktor yang disebut sebagai budaya politik
diberbagai negara menyimpulkan bahwa ada keterkaitan
yang erat antara penampilan rezim politik yang tergambar
dalam model-model dan sifat kebijakan yang dibuatnya
dengan tipologi budaya masyarakatnya. Sinclair (2002)
dalam penelitiannya di Brazilia menekankan pentingnya
peran dan keterlibatan masyarakat dalam segala proses
pembangunan. Dalam model yang disebut “Manitoba
Approach” ini disimpulkan bahwa, konsultasi masyarakat
merupakan bagian integral yang harus dilakukan dalam
setiap tahapan pembangunan, baik proses perencanaan,
pelaksanaan, maupun pelestarian keberlangsungan hasil
pembangunan (Sustainable development).

100 Kebijakan Publik


Long & Long (1992) dan Long & Ploeg (dalam
David Booth (ed),1995), menyatakan bahwa teori
orientasi aktor merupakan pendekatan metodologis
dalam memahami proses sosial. Penekanan kajiannya
lebih mengarah kepada analisis program bukan sebagai
intervensi program atau sebuah bentuk manajemen baru
dalam pelaksanaan program.
Metode yang digunakan mengacu kepada metode
participatory, dimana keseluruhan aktor yang terlibat
dalam kebijakan publik dikaji keseluruhan, tidak hanya
masyarakat seperti petani kecil atau kelompok marjinal
namun juga para pengusaha, tuan tanah dan pemerintah
sebagai salah satu aktor yang memiliki orientasi dalam
interaksi tersebut. Dalam proses ini orientasi masing-
masing aktor menjadi kunci utama yang mewarnai bentuk
dan arah kebijakan yang dihasilkan. Termasuk di dalamya,
kenyataan bahwa ada aktor yang memiliki kekuasaan
berbeda (melebihi aktor lainnya). Hal ini membuat proses
kebijakan publik akan lebih banyak diwarnai oleh orientasi
dan kepentingan dari aktor yang lebih dominan dari yang
lainnya.
Analisis kebijakan publik dengan menggunakan
pendekatan orientasi aktor ini memiliki asumsi-asumsi
dasar : (1) logika yang mendasarinya adalah setiap individu
memperoleh kemampuan dan kesempatan berperan dalam
proses kemasyarakatan dan kehidupan. Dalam konteks

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 101


pembangunan ini bermakna sebagai pembangunan yang
partisipastif: (2) dalam model ini pembangunan berarti
untuk semua kelompok sasaran seperti wanita, anak-
anak, penduduk miskin dan lainnya) dan pembangunan
bermakna pemerataan: (3) pembangunan didasarkan
pada logika keseimbangan ekologi lingkungan, yang
berarti tidak hanya mementingkan generasi sekarang,
tetapi juga generasi mendatang: dalam konteks ini berarti
bermakna pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development).
Pendekatan ini memberikan makna bahwa
persoalan bersama termasuk didalamya adalah persoalan
perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian pembangunan
harus merupakan hasil orientasi masing-masing
aktor, karena tidak bias aktor tertentu seperti Negara
mengatasnamakan masyarakat sebagai pihak yang pasti
memahami dan menerima perencanaan pembangunan
yang dilaksanakan.
Long & Ploeg dalam Booth (ed) 1995 menyatakan
bahwa dalam model orientasi aktor ini pola-pola organisasi
social dan mekanisme kerja serta hasil-hasilnya merupakan
dampak dari interaksi, negosiasi dan perjuangan masing-
masing aktor yang terlibat di dalamnya. Orientasi ini tidak
hanya sekedar interaksi atau pertemuan tatap muka secara
langsung melainkan juga harus didukung oleh situasi atau
suasana afeksi yang mampu mendorong aktualisasi dari

102 Kebijakan Publik


masing-masing aktor yang terlibat.
Harmon (1969) membuat model gaya atau karakter
kebijakan publik yang mempertemukan antara tingkat
responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) dengan
tingkat dukungan kebijakan (policy advocacy) dalam
proses formulasi kebijakannya.
Adapun yang dimaksud dengan responsibilitas
kebijakan (policy responsiveness) adalah penggambaran
(deskripsi) perilaku perumus kebijakan yang bertanggung
jawab terhadap nilai-nilai demokrasi dalam proses
perumusan kebijakan baik dengan melalui musyawarah,
voting maupun cara lain dengan mana tuntutan/kehendak/
kepentingan publik dapat diterjemahkan secara sah dalam
suatu kebijakan yang dibuat secara partisipatif tersebut.
Sementara yang dimaksud dengan dukungan
kebijakan (policy advocacy) adalah mendeskripsikan
perilaku perumus kebijakan dalam memberikan dukungan
yang aktif dan serius (kesediaan) dari para administrator
publik (aktor pemerintah) dalam mengadopsi (menerima
dan melaksanakan) suatu kebijakan yang dibuat bersama
masyarakat tersebut. Dalam sisi masyarakat, dukungan
kebijakan (policy advocacy) dapat dimaknai sebagai
kesediaan aktor masyarakat dalam bekerjasama dengan
pemerintah dalam menerima dan melaksanakan kebijakan
publik.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 103


Dari dua indikator formulasi kebijakan tersebut,
Harmon (1969) mendefenisikan model-model karakter atau
gaya kebijakan publik yang terbentuk akibat dari perpaduan
pola proses perumusan (formulasinya). Pertama, gaya
survival terbentuk jika dalam proses formulasi kebijakan
tersebut disusun dengan responsibilitas kebijakan (policy
responsiveness) rendah (low) dan dukungan kebijakan
(policy advocacy) yang rendah (low). Karakter kebijakan
ini terbentuk akibat dari administrator (aktor pemerintah)
membatasi akses para politisi, masyarakat dan pengusaha
(aktor masyarakat) dalam proses perumusan kebijakan
publik. Tujuannya agar keberlangsungan otoritas
kelembagaan pemerintah dan efektifitas kebijakan
pemerintah tetap dapat dijaga.
Kesepakatan antar aktor menggambarkan
perwujudan perumusan kebijakan publik pembangunan
yang partisipatif sehingga mampu mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development). Pembangunan berkelanjutan yang tidak
hanya orientasi kepada pertumbuhan ekonomi semata,
melainkan sangat memperhitungkan eksistensi masyarakat
sebagai objek sekaligus pelaku pembangunan yang
seharusnya mendapatkan porsi penting dalam proses
kebijakan pembangunan secara keseluruhan.
Contoh interaksi aktor dalam formulasi kebijakan
publik yaitu proses Formulasi Kebijakan Publik Sistem

104 Kebijakan Publik


Kelas Tuntas Berkelanjutan di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Gowa”.(Basri).
Konsep yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang
kebijakan SKTB Kabupaten Gowa mempunyai landasan,
ruang lingkup dan tujuan yang jelas di antara lain sebagai
berikut :
a. Sistem kelas tuntas berkelanjutan didasarkan pada
landasan pendidikan sebagai berikut :
1. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik menjadi kualitas/kompetensi
yang diharapkan masyarakat.
2. Kualiatas yang diinginkan bangsa terumuskan
dalam tujuan pendidikan berahklak mulia,sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab
(UUSPN, pasal 3)
3. Kualitas belajar peserta didik yang dinyatakan
dalam tujuan pendidikan nasional dikembangkan
dari proses pendidikan minimal pada jenjang
pendidikan dasar tahun sebagai kualitas dasar
manusia Indonesia dan lanjutan pada pendidikan
menengah 3 tahun.
4. Kualitas hasil belajar dalam pengetahuan
yang dinyatakan dalam Kriteria Ketuntasan
Belajar (KKB) yang selalu dapat diperbaiki dan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 105


ditingkatkan setiapa saat baik pada waktu oleh
pesrta didik, baik pada kelas yang sama maupun di
kelas sesudahnya.
5. Kualitas hasil belajar terkait dengan kemampuan,
nilai dan kebiasaan hanya dapat dikembangkan
secara berkelanjutan dari kelas 1 (SD/MI) sampai
minimal sampai tuntas belajar 9 tahun.
6. Peserta didik adalah subjek dalam belajar
sehingga proses pendidikan harus menempatkan
kepentingan belajar peserta didik sebagai bahan
utama. Oleh karena itu dalam proses belajar,
peserta didik dibantu untuk mencapai kualitas yang
dipersyaratkan dari posisi tidak/belum tahu, tidak/
belum mau, tidak/belum mampu ke posisi tahu,
mau, dan mampu.
7. Sesuai dengan prinsip pendidikan, pengukuran
hasil belajar dilakukan untuk menemukan kesulitan
belajar pada peserta didik pada suatu titik waktu
sehingga guru dapat membrikan bantuan yang
tepat sesuai dengan kesulitan yang dihadapi.
8. Kurikulum adalah sekolah di setiap jenjang
pedidikan, bukan kurikulum kelas.
9. Pembelajaran adalah proses realisasi dari rencana
pendidikan pada setiap satuan pendidikan dan
jenjang pendidikan.

106 Kebijakan Publik


b. Tujuan pembelajaran kelas tuntas berkelanjutan

bertujuan :

1. Memberikan kesempatan pada peserta didik


untuk menguasai semua kompetensi sebagaimana
dinyatakan dalam standar komptensi dan
kompetensi dasar serta dirumuskan dalam nilai
kelas minimal.
2. Memberikan pelayanan pendidikan secara
maksimal pada anak didik dalam suasana
pendidikan yang kondusif, sehingga peserta didik
dapat belajar secara optimal dalam suasana belajar
yang menyenangkan dan dapat menuntaskan
pencapaian kompetensi pada seluruh mata pelajaran
di setiap kurikulum pendidikan.
3. Memberikan kesempatan peserta didik agar dapat
menuntaskan penguasaan semua kompetensi dasar
pada setiap mata pelajaran sebelum waktunya untuk
diberikan kesempatan mengambil kompetensi
dasar berikutnya tanpa harus menunggu tahun
pelajaran berikutnya/masa kenaikan kelas.
4. Membantu memfasilitasi pengembangan potensi
peserta didik secara utuh (kecerdasan spiritual,
kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual,
kecerdasan sosial, kecerdasan spasial, kecerdasan
berbahasa, kecerdasan musikal, dan kecerdasan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 107


kinestetik) untuk pembentukan kepribadian
bermoral, sejak usia dini sampai akhir hayat dalam
rangka mewujudkan masyarakat belajar; dan
5. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas
lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan
ilmu pengeatahun, keterampilan, sikap, dan nilai
berdasarkan standar nasional dan global.

c. Manfaat sistem kelas tuntas berkelanjutan :


Sistem pembelajaran kelas tuntas berkelanjutan
memiliki keunggulan dan manfaat dibandingkan
pendekatan yang berlaku di dalam sistem yang umumnya
dilakukan. Manfaat tesebut antara lain :
1. Peserta didik ditantang untuk belajar mencapai
standar kompetensi yang dinyatakan dalam KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal). Rasa percaya diri
peserta didik lebih baik.
2. Kualitas belajar lebih baik dan lebih tinggi serta
terjamin sekolah karena tidak ada peserta didik
yang berkualitas di bawah KKM.

3. Peserta didik lebih bertanggungjawab atas beban


belajar yang menjadi tanggungjawabnya karena
mereka harus mencapai kualitas minimal yang
dinyatakan KKM dan sikap bertanggungjawab
menjadi sikap dirinya.

108 Kebijakan Publik


4. Dengan pencapaian kualitas hasil belajar pada
tingkat KKM dan di atasnya, pada akhir tahun
tidak ada peserta didik yang tinggal kelas karena
mereka memenuhi persyaratan kenaikan kelas.
5. Dengan sistem kredit semester yang menjadi bagian
terintegrasi dari kelas tuntas berkelanjutan, peserta
didik memiliki kesempatan untuk menyelesaikan
lebih cepat sehingga biaya yang dikeluarkan orang
tua untuk pengeluaran pribadi dan hemat.
Dalam proses perumusan kebijakan tidak semua
isu yang dianggap masalah bagi masyarakat perlu
dipecahkan oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan,
yang akan memasukkannya ke dalam agenda pemerintah
yang kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan
setelah melalui berbagai tahapan. Oleh karena itu untuk
mengetahui bagaimana Formulasi Kebijakan Sistem Kelas
Tuntas Berkelanjutan di DPRD Kabupaten Gowa, maka
dalam penelitian ini peneliti fokuskan ke dalam 4 (empat)
tahapan yakni:

1. Perumusan Masalah Kebijakan

Munculnya isu mengenai terobosan SKTB yang


tidak mengenal siswa tinggal kelas di daerah Gowa
bersejarah, merupakan sistem pendidikan humanis bagi
anak sekolah dan memanusiakan siswa. Kabupaten Gowa
menjadi pelopor penerapan sistem tersebut karena dengan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 109


kebijakan ini merupakan titik terang bagi pendidikan pada
masa yang akan datang. Karena dengan munculnya isu
akan mendukung pemerintah untuk mengeluarkan suatu
kebijakan.
Mengenali dan merumuskan masalah merupakan
langkah yang paling fundamental dalam perumusan
kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan
baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali
dan didefinisikan dengan baik. Kebijakan publik
pada dasarnya merupakan upaya untuk memecahkan
masalah dalam masyarakat. Setelah masalah-masalah
publik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah
bagaimana kebijakan publik harus dirumuskan. Dalam
tahap ini, mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam
proses perumusan kebijakan merupakan hal yang esensial
karena dengan demikian kita akan dapat memperkirakan
seperti apakah kebijakan publik tersebut akan dirumuskan.
Bagaimana masalah publik tersebut akan didefenisikan
sangat tergantung pada siapa yang merumuskan kebijakan
tersebut yang pada akhirnya, akan menentukan bagaimana
kebijakan tersebut dirumuskan.
Terkait dengan perumusan masalah kebijakan hasil
wawancara peneliti dengan salah satu anggota Pansus
SKTB mengungkapkan bahwa: “Setelah ada ide dan
gagasan dari Bupati Gowa terkait gagasan sistem kelas
tuntas berkelanjutan kita di DPR ini setelah diserahkan

110 Kebijakan Publik


ke Pansus SKTB, kemudian melakukan observasi ke
lapangan dan mengunpulkan informasi di tenaga pendidik
dan kepala sekolah, terkait dengan kebijakan SKTB,
apakah memang cocok dengan sistem pendidikan nasional
dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang
lebih di atasnya, karna sistem kelas tuntas berkelanjutan
ini merupakan program yang pertama di Indonesia, dan
Kabupaten Gowa merupakan kabupaten pertama yang
menganut sistem ini.” (Hasil wawancara dengan TJ, Selasa
4-3-2014).
Setelah pemerintah menangkap isu tersebut,
perlu dibentuk tim perumus kebijakan yang terdiri dari
pejabat birokrasi terkait dan ahli kebijakan publik. Dalam
sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
dan telah direalisasikan kepada masyarakat ada kalanya
merupakan sebuah kebijakan yang dapat diterima dengan
baik oleh masyarakat, karena kebijakan tersebut mampu
menanggulangi krisis dan ketimpangan serta masalah-
masalah yang ada dalam masyarakat, akan tetapi ada
kalanya dalam pemerintah membuat sebuah kebijakan
tidak diterima oleh masyarakat karena kebijakan tersebut
dinilai tidak sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada
dalam masyarakat maka dalam hal ini perlu ada tim khusus
yang menangani kebijakan seperti ini dan sosialisasi yang
jelas agar tidak terjadi kebingungan dalam masyarakat.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 111


Setelah dibentuk tim perumus kebijakan, tahapan
selanjutnya adalah tahap pra kebijakan. Pada tahapan
ini, tim perumus kebijakan langsung membentuk draf
nol kebijakan, tidak lagi merumuskan naskah akademik
atau penjelasan mengenai hal-hal yang akan diatur oleh
kebijakan dan konsekuensi-konsekuensinya. Rumusan
draf nol kebijakan tersebut didiskusikan bersama forum
publik.
Berkaitan dengan perumusan masalah kebijakan
SKTB wawancara peneliti dengan salah satu koordinator
SKTB mengungkapkan bahwa:
“Awalnya dilakukan adanya tim khusus yang
dibentuk oleh DPRD untuk bersama-sama dengan
Pemerintah Daerah untuk membincangkan
mengenai SKTB, seperti apa formulasi sebelum
dibuat Peraturan Daerah tentang SKTB itu jadi
ada eksprosedur dari Dinas Pendidikan tentang
pentingnya SKTB dalam dunia pendidikan.” (Hasil
wawancara dengan UF, Senin 17-3-2014).

Dalam hal ini juga diungkapkan mengenai partipasi


masyarakat yaitu guru, dan kepala sekolah, pendidik
dan pemerhati pendidikan dalam perumusan masalah
kebijakan SKTB berupa pemikiran-pemikiran terkait
program-program yang sejalan dengan SKTB, termasuk
melihat relevansi dengan sistem pendidikan nasional.”
(Hasil wawancara dengan TJ, Selasa 4-3-2014).

112 Kebijakan Publik


Dari beberapa pernyataan informan di atas tentang
formulasi kebijakan sistem kelas tuntas berkelanjutan
dapat disimpulkan bahwa proses pembuatan kebijakan
merupakan proses yang kompleks karena melibatkan
banyak proses maupun variabel-variabel yang harus
dikaji. Kebijakan publik merupakan suatu kesatuan
sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain
secara berkesinambungan, saling menentukan dan saling
membentuk. Kebijakan publik tidak terlepas dari sebuah
proses kegiatan yang melibatkan aktor-aktor yang akan
bermain dalam proses pembuatan kebijakan. Aktor-aktor
tersebut saling berinteraksi untuk menformulasi isu untuk
menjadi agenda kebijakan publik.

2. Penyusunan agenda kebijakan

Tidak semua masalah publik akan masuk ke


dalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut akan
berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-
masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam
agenda kebijakan. Masalah publik yang masuk ke dalam
agenda kebijakan kemudian akan dibahas oleh para perumus
kebijakan, seperti kalangan legislatif, kalangan eksekutif,
agen-agen pemerintah dan mungkin juga kalangan
yudikatif. Masalah-masalah tersebut dibahas berdasarkan
tingkat urgensinya untuk diselesaikan. Menurut Abidin
(2006:127) agenda kebijakan adalah sebuah daftar

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 113


permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius
karena berbagai sebab untuk ditindaklanjuti atau diproses
pihak-pihak yang berwenang menjadi kebijakan. Proses
masuknya isu ke dalam agenda kebijakan tidak sepenuhnya
dapat dilakukan secara rasional dan lebih sering bersifat
politis.
Di dalam penyusunan agenda kebijakan ada
beberapa aspirasi yang dijaring sebagai bahan pertimbangan
untuk segera menyusun agenda kebijakan SKTB ini dari
beberapa dewan pakar dan masyarakat yaitu Guru besar
Universitas Negeri Makassar termasuk Ketua Dewan
Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Prof. Dr. Halide
ikut terlibat dalam diskusi dan pembahasan tentang ide
kelas tuntas berkelanjutan tersebut. Mereka menyatakan
program SKTB ini diharpkan berlaku secara nasional. Hal
itu diungkapkan Bupati Gowa, saat melakukan ekspose
di ruang majelis guru besar UNM pada minggu pertama
Februari 2012 lalu.
Rektor UNM (2012) Prof. Dr. Arismunandar,
M.Pd mengatakan, secara kelembagaan dan kepakaran,
guru besar UNM siap mengawal dan menyempurnakan
program pembelajaran kelas tuntas berkelanjutan, yang
kebetulan hanya berlaku di Kabupaten Gowa, namun
ke depan program tersebut diharapkan supaya berlaku
secara nasional. Meski begitu, lanjut Sekretaris Dewan
Pendidikan Sulsel ini, program SKTB patut mendapat

114 Kebijakan Publik


apresiasi dan dukungan semua pihak terutama unsur
pemerintah dan masyarakat termasuk penyelenggara
pendidikan selaku stakeholder. Dalam waktu bersamaan,
perbaikan manajemen, tenaga pendidikan dan fasilitas
pembelajaran terus dibenahi secara serius jika program
SKTB dapat diharapkan menjadi model percontohan di
tanah air ini.
Aspirasi dan kerjasama dari berbagai aktor yang
terlibat dalam mewujudkan pelaksanaan SKTB yang
efektif, tidak semudah membalik kedua telapak tangan,
karena dibutuhkan sebuah proses dan kerja keras para
pendidik dan dukungan orang tua peserta didik.
Draf 1 didiskusikan dan diverifikasi dalam focus
group discussion (FGD) yang melibatkan dinas instansi
terkait, pakar kebijakan dan pakar permasalahan yang
di atur. Kebijakan yang akan dikeluarkan disusun sesuai
dengan pakar yang ahli dalam bidangnya didukung dengan
kerjasama yang sangat konsisten. Kebijakan tentang
SKTB di Kabupaten Gowa merupakan salah satu usaha
dalam pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi
peserta didik mencapai penguasaan (mastery level)
terhadap kompetensi tertentu. Hal inilah yang didiskusikan
dalam FGD dengan menempatkan pembelajaran tuntas
(mastery learning) sebagai salah satu prinsip utama dalam
mendukung pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi,
berarti pembelajaran tuntas merupakan sesuatu yang harus

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 115


dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh
seluruh warga sekolah. Untuk itu perlu adanya panduan
yang memberikan arah serta petunjuk bagi guru dan
warga sekolah tentang bagaimana pembelajaran tuntas
seharusnya dilaksanakan.
Masalah publik yang telah diidentifikasi begitu
banyak jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan
memilih dan menentukan problem mana yang seharusnya
memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara
serius dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah ini
mempunyai sifat yang khas, lebih kongkrit dan terbatas
jumlahnya dalam penyusunan agenda kebijakan.
Dalam penyusunan agenda kebijakan ada beberapa
pendapat dari informan yang didapat dari hasil wawancara
dengan tim pansus SKTB bahwa dalam menyusun agenda
kebijakan SKTB Pemerintah Daerah selalu melakukan
sinkronisasi dan koordinasi dengan DPRD. DPRD
bersama Pemerintah daerah merumuskan aturan terkait
dengan SKTB ini, kemudian Pemda mulai melaksanakan
sistem ini dengan mengambil sampel dibeberapa sekolah
di Kabupaten Gowa yang harapannya bisa berlanjut ke
seluruh sekolah yang ada di Kabupaten Gowa.” (Hasil
wawancara dengan AM, Selasa 4-3-2014).
Terdapat pula kendala-kendala dalam penyusunan
agenda kebijakan SKTB yang diusung oleh Pemerintah
Daerah berdasarkan hasil wawancara penulis dengan

116 Kebijakan Publik


informan bahwa:
“Adanya benturan-benturan dengan sistem atau
aturan yang dipakai oleh daerah lain di sekitar
wilayah Kabupaten Gowa karna sisitem ini adalah
sistem baru yang tengah diterapakan di Kabupaten
Gowa.” (Hasil wawancara dengan SH, Selasa 4-3-
2014).

Dalam penyusunan agenda kebijakan ada kompetisi


yang alot dahulu sebelum dimasukkan ke dalam agenda
kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke
agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada saat itu,
suatu masalah akan disentuh untuk menemukan jalan
keluar. Tahap penyusunan agenda merupakan tahap yang
akan menentukan apakah suatu masalah akan dibahas
menjadi kebijakan publik.

3. Pemilihan alternatif kebijakan

Pada tahap ini, para perumus kebijakan akan


berhadapan dengan berbagai alternatif pilihan kebijakan
yang akan diambil untuk memecahkan masalah. Para
perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan
kepentingan antar berbagai aktor yang terlibat dalam
perumusan kebijakan. Pada kondisi ini, maka pilihan-
pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan
negosiasi yang terjadi antar aktor yang berkepentingan
dalam pembuatan kebijakan tersebut.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 117


Identifikasi alternatif dilakukan untuk kepentingan
pemecahan masalah terhadap problem yang hampir sama
atau mirip, dapat saja dipakai alternatif kebijakan yang
telah pernah dipilih, akan tetapi terhadap problem yang
sifatnya baru maka para pembuat kebijakan dituntut untuk
secara kreatif menemukan dan mengidentifikasi alternatif
kebijakan baru sehingga masing-masing alternatif jelas
karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi yang
benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan
mempermudah proses perumusan alternatif.
Pilihan alternatif kebijakan yakni kegiatan
pemberian bobot pada setiap alternatif, sehingga
jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot
kebaikan dan kekurangannya masing-masing, sehingga
dengan mengetahui bobot yang dimiliki oleh masing-
masing alternatif maka para pembuat keputusan dapat
memutuskan alternatif mana yang lebih memungkinkan
untuk dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat melakukan
penilaian terhadap berbagai alternatif dengan baik, maka
dibutuhkan kriteria tertentu serta informasi yang relevan.
Berdasarkan itulah, pemilihan alternatif kebijakan SKTB
dilakukan untuk meningkatkan kualitas anak didik dengan
pertimbangan bahwa Peserta didik lebih bertanggungjawab
atas beban belajar yang menjadi tanggungjawabnya karena
mereka harus mencapai kualitas minimal yang dinyatakan
KKM dan sikap bertanggungjawab menjadi sikap dirinya,

118 Kebijakan Publik


dan juga alasan dengan pencapaian kualitas hasil belajar
pada tingkat KKM dan di atasnya, pada akhir tahun tidak
ada peserta didik yang tinggal kelas karena mereka
memenuhi persyaratan kenaikan kelas, selanjutnya dengan
sistem kredit semester yang menjadi bagian terintegrasi
dari kelas tuntas berkelanjutan, peserta didik memiliki
kesempatan untuk menyelesaikan lebih cepat sehingga
biaya yang dikeluarkan orang tua untuk pengeluaran
pribadi dan hemat.
Pemilihan alternatif kebijakan SKTB diharapkan
dari proses pembelajaran dengan pendekatan belajar tuntas
adalah untuk meningkatkan rata-rata prestasi peserta didik
dalam belajar dengan memberikan kualitas pembelajaran
yang lebih sesuai, bantuan serta perhatian khusus bagi
peserta didik yang lambat agar menguasai standar
kompetensi atau kompetensi dasar.
Walupun demikian Dalam pemilihan alternatif
kebijakan terdapat keuntungan dan kerugian yang dialami
oleh peserta didik, keuntungannya diantaranya siswa bisa
selesai sebelum tiga tahun dan bagi siswa yang tidak lulus
ujian nasional tetap bisa melanjutkan ke tahap yang lebih
tinggi dengan melihat persentase kehadiran, kerugian
sampai saat ini belum terdapat celah untuk melihat sisi
kerugiannya.” (masih sementara diteliti)
Pemilihan alternatif yang memuaskan atau yang
paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah dapat

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 119


dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam
melakukan penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu
alternatif yang telah dipilih secara memuaskan akan
menjadi suatu usulan kebijakan yang telah diantisipasi
untuk dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif.
Tahap pemilihan alternatif yang memuaskan selalu bersifat
obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa pembuat
kebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai dengan
kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan didasarkan
pada pertimbangan terhadap kepentingan pihak-pihak
yang akan memperoleh pengaruh sebagai konsekuensi dari
pilihannya.

4. Penetapan kebijakan

Draf 1 yang didiskusikan dan diverifikasi dalam


focus group discussion menghasilkan draf 2 atau draf final
yang akan masuk ke tahap proses legislasi. Setelah salah
satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan untuk
diambil sebagai cara pemecahan masalah, maka tahap
terakhir dalam pembuatan kebijakan adalah menetapkan
kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang
diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai
kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembuatan
kebijakan tersebut.

120 Kebijakan Publik


Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan
dikomunikasikan kepada khalayak kemudian dilaksanakan
atau diimplementasikan. Implementasi ini, adalah
aktualisasi kebijakan pendidikan yang telah disahkan,
bergantung kepada bagaimana pelaksanaannya di lapangan.
Tolak ukur keberhasilan kebijakan pendidikan adalah pada
implementasinya. Sebaik apapun rumusan kebijakan, jika
tidak diimplementasikan tidak akan dirasakan gunanya.
Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, jika
sudah diimplementasikan akan lebih berguna apapun dan
seberapa pun gunanya.
Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan
diputuskan untuk diambil sebagai cara pemecahan masalah,
maka tahap terakhir dalam pembuatan kebijakan adalah
menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Penetapan
kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan
kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang
terlibat dalam pembuatan kebijakan tersebut.
memikirkan bagaimana bisa mengakomodir seluruh
masyarakat Indonesia khususnya Kabupaten Gowa
mulai dari masyarakat bawah sampai atas.” (Hasil
wawancara dengan AM, Selasa 4-3-2014).

Bersamaan dengan hal ini juga diungkapkan salah


satu informan kepada penulis bahwa: Kekuatan hukumnya

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 121


merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor
10 Tahun 2013 Tentang SKTB yang mengikat cara dan
tehnik pelaksanaan serta sanksi-sanksinya.

9. Relevansi Rekonsiliasi dalam Proses Formulasi


Kebijakan Publik
Nilai-nilai seperti demokrasi, individualisme dan
humanitarism mempunyai hubungan yang signifikan
dengan kebijakan publik (Anderson, 1979). Nilai yang
dianggap baik oleh suatu bangsa belum tentu dianggap
baik oleh bangsa lain. Oleh karena itu kebijakan publik
tidak pernah lepas dari konteks di mana publik berada.
Dalam uraiannya, Anderson mengemukakan bahwa dalam
realitanya, di Amerika misalnya nilai-nilai demokrasi,
individualism dan humanitarism diterima sebagai nilai-nilai
yang memaknai setiap kebijakan publik. Sebagai contoh
dalam proses pembuatan kebijakan yang menekankan
pada kepemilikan pribadi merupakan ekspresi dari nilai
individualism.
Isu-isu demokrasi, pluralisme, keadilan sosial dan
gender sangat penting dalam proses formulasi kebijakan
publik karena kebijakan publik tidaklah bebas nilai (value
free), melainkan sarat akan nilai (value loaded). Klinger
(1983) mengatakan bahwa publik administration and
the agencies, administrator, and employees involved do
not exist in a void. A host of environmental faktors affect

122 Kebijakan Publik


what publik administrator do and how they should do it.
These faktors, the context of publik administration, include
cultural values, environmental conditions, interest groups,
political parties and laws.
Dalam perkembangan studi kebijakan publik,
kebijakan publik tidaklah berada dalam suatu ruang hampa
dan terlepas dari nilai-nilai, melainkan terdapat pengaruh
dari lingkungan di mana kebijakan publik berada serta sarat
akan nilai-nilai seperti demokrasi, keadilan, pemerataan,
pertanggungjawaban kepada publik dan sebagainya. Isu-
isu seperti demokrasi, pluralisme, keadilan sosial dan
keadilan gender akan sangat mewarnai studi maupun
praktek formulasi kebijakan publik.
Demokrasi yang merupakan bentuk kedaulatan di
tangan rakyat (Nugroho, 2001) yaitu kekuasaan dari, oleh
dan untuk rakyat atau rule by people mempunyai nilai-nilai
liberty dan equality. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai-
nilai dasar pembentuk martabat manusia (human dignity).
Demokrasi modern mempunyai pengertian yang mencakup
adanya pilihan rahasia (voting), kebebasan berekspresi,
kebebasan berorganisasi/berasosiasi (termasuk kebebasan
membentuk partai politik), adanya representasi dalam
lembaga legislatif, serta adanya jaminan terhadap hak-
hak warganya. Linz dan Stepan (2001) mengatakan hal
yang sama, bahwa demokrasi merupakan legal freedom
to formulate and advocate political alternatives with the

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 123


concomitant rights to free association, free speech, and
other basic freedom of person...
Dasar dari proses pembuatan kebijakan publik
adalah adanya mandat dari publik kepada lembaga legislatif
dan eksekutif beserta dengan birokrasinya untuk membuat
kebijakan yang mampu mengaspirasikan kepentingan dan
kebutuhan publik. Koridor demokrasi sangat diperlukan
sebagai wujud pengejewantahan kekuasaan publik
terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai bersama. Dengan
adanya demokrasi, pemerintahan ditujukan kepada publik
(administration for publik), untuk kepentingan publik,
bukannya untuk kepentingan administrator publik.
Isu pluralisme berada dalam suatu konteks
demokratisasi kemasyarakatan. Pluralisme menghargai
perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Dalam proses pembuatan kebijakan yang
bersifat pluralistik, Denhardt (1999) mengatakan
diperlukan akses dari berbagai kelompok dan individual
Blumenthal dalam Denhardt (1999) mengatakan bahwa
the diversity of interests seeking to affect policy is the
nature and essence of democratic government.
Esensi dari pemerintahan yang demokratis adalah
adanya multiragam atau berbagai kepentingan yang
mempengaruhi suatu kebijakan. Oleh karena itu pluralisme
menghargai perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok
masyarakat, dalam proses pengambilan keputusan, kritik

124 Kebijakan Publik


yang ditujukan pada pemerintah yang merupakan salah
satu bentuk perbedaan) bukanlah dianggap sebagai suatu
ancaman untuk menjatuhkan kekuasaan, melainkan
sebagai upaya demokratisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Dalam studi kebijakan publik sangat dihargai adanya
keberagaman dari berbagai disiplin ilmu yang turut
mewarnai studi kebijakan publik sendiri, misalnya dari
perspektif ekonomi, sosiologi, manajemen dan politik.
Berbagai perspektif tersebut membentuk kebijakan publik
kontekstual. Dalam praktek pembuatan kebijakan publik,
pluralisme dapat menjadi menjadi aset bagi birokrasi
dalam proses demokratisasi. Pluralisme Indonesia
dibingkai dalam kerangka kesatuan. Kesatuan secara ideal
tidak berarti pemerintahan yang monolitik, tidak terjadi
penyeragaman kebijakan dan mampu berempati pada
aspirasi serta kritik dari publik terhadap birokrasi. Dalam
realita Indonesia terutama di masa Orde Baru, terjadi
upaya penyeragaman kepentingan publik dalam proses
pengambilan keputusan, sehingga kebijakan menjadi alat
untuk merealisir kepentingan pihak-pihak yang berkuasa.
Perbedaan diminimalisir dengan tindakan represif,
sehingga stabilitas yang tercipta hanyalah merupakan
stabilitas semu.
Ketika pintu demokrasi mulai dibuka, pluralisme
dapat menimbulkan konflik sekaligus menjadi basis dari

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 125


proses demokratisasi. Di sinilah letak mengapa pluralisme
sangat penting dalam studi kebijakan publik. Kebijakan
publik harus peka terhadap berbagai perbedaan dalam
masyarakat, mampu mengantisipasi berbagai perbedaan
dan memperlakukannya tidak dengan mengeliminasi
perbedaan tersebut melainkan membangun suatu dialog
yang memungkinkan pluralisme menjadi bagian dari
kebijakan publik yang demokratis, terbuka dan tanggap
terhadap berbagai kepentingan publik.
Isu keadilan sosial menempati posisi penting dalam
studi kebijakan publik. Sebagai suatu studi yang sarat akan
nilai, keadilan sosial (social equity) dapat digunakan : (1) as
the basis for a just democratic society, (2) as in influencing
the behaviour of organizational man, (3) as the legal
basis for distributing publik services, (4) as the practical
basis for distributing publik services, (5) as understood in
coumpound federalism, and (6) as a challenge for research
and anlyasis. (Frederickson, 1997).
Dalam membuat dan mengimplementasikan
suatu kebijakan, administrasi publik haruslah mampu
memperhatikan aspek keadilan sosial dalam setiap
keputusan dan tindakan yang dilakukan, sehingga tidak
merugikan masyarakat, tidak terjadi ketimpangan dalam
masyarakat akibat ketidakadilan dalam distribusi maupun
alokasi sumber daya.

126 Kebijakan Publik


Isu keadilan gender juga penting dalam studi
kebijakan publik seiring dengan adanya demokratisasi
yang mempunyai nilai-nilai kebebasan, persamaan dan
keadilan. Dalam formulasi dan praktek kebijakan publik,
sangat terlihat adanya eliminasi birokrasi terhadap isu-
isu keadilan gender ini. Dalam kasus Adakah Hak Suara
Ibu Rumah Tangga? (Opini, 1999) menunjukkan bahwa
pemerintah tidak memberikan porsi bagi perempuan untuk
menyuarakan hak-haknya. Program-program pemerintah
yang diwujudkan dalam Woman in Development (WID),
Gender and Development (GAD) ternyata juga masih
menempatkan perempuan dalam posisi sulit untuk
meningkatkan kualitas hidupnya, seperti adanya peran
ganda perempuan, diskriminasi dalam pemberian
pelayanan publik, terjadinya kekerasan pada perempuan
dan sebagainya. Proporsi perempuan di lembaga-lembaga
pemerintahan menunjukkan prosentase yang sangat rendah,
seperti DPR (8%), MPR (9%), DPA (2,7 %), Kabinet (3
%), Hakim Agung di MA ( 26,2 %), Jabatan Struktural di
Birokrasi (15,2%), Kepala Desa (2,3%).(Data 2004)
Apabila kebijakan publik bekerja dalam nilai
keadilan sosial sudah seyogyanya memperhatikan semua
kepentingan lapisan masyarakat, baik miskin maupun kaya,
daerah timur maupun barat, petani maupun pengusaha,
laki-laki maupun perempuan. Semua elemen masyarakat
tersebut diletakkan dalam posisi berimbang dalam

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 127


tataran horizontal maupun vertikal, sehingga kehidupan
demokratis pun dapat berlangsung dengan baik.

D. RANGKUMAN
Formulasi kebijakan publik adalah langkah
yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara
keseluruhan. Oleh karenanya, apa yang terjadi pada fase
ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan
publik yang dibuat pada masa yang akan datang. Oleh
sebab itulah, sangat dibutuhkan kehati-hatian yang lebih
dari para pembuat kebijakan (policy maker) ketika akan
melakukan formulasi kebijakan. Formulasi kebijakan
merupakan pengembangan alternatif-alternatif kebijakan
dalam menghadapi masalah-masalah yang telah masuk
dalam agenda publik. Untuk bisa memahami proses
formulasi kebijakan, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah perlunya memahami aktor-aktor yang terlibat atau
pemeran dalam proses perumusan kebijakan, baik aktor-
aktor yang resmi maupun yang tidak resmi.
Menurut Pearsons, (Putra, 2003) secara
metodologis, melakukan klasifikasi pendekatan atau model
kebijakan publik pada 5 (lima) pendekatan antara lain ;
1) Pendekatan/model Kekuasaan
2) Pendekatan/model Rasionalitas
3) Pendekatan Pilihan Publik

128 Kebijakan Publik


4) Pendekatan Personalitas
5) Pendekatan Kognisi dan Informasi
Berikut ini beberapa macam model formulasi
kebijakan publik :
1) Model Rational-Comprehensive
2) Teori Incrementalism
3) Teori (Mixed scanning Theory) Pengamatan Terpadu
4) Model Institusional
5) Model Elit-Massa
6) Model Kelompok
7) Model Sistem Politik
Formulasi kebijakan sebagai suatu proses dapat
dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan
pertama adalah memutuskan secara umum apa yang apa
yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan
diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu
alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang
menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan
kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-
keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan
kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau
lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak
suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Menurut Islamy
(1991, 77) membagi proses formulasi kebijakan kedalam
tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda
pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 129


kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
Menurut Nigro and Nigro (Islamy; 1991, 25),
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi
kebijakan adalah :
1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
2. Adanya pengaruh kebiasaan lama
3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
4. Adanya pengaruh dari kelompok luar
5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu

E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN


1. Jelaskan konsep formulasi kebijakan publik
2. Jelaskan pendekatan dalam formulasi kebijakan
publik
3. Jelaskan model formulasi kebijakan publik
4. Jelaskan hal-hal yang mempengaruhi proses
formulasi kebijakan publik
5. Jelaskan interaksi aktor dalam formulasi kebijakan
publik.
6. Bentuk Kelompok untuk melakukan simulasi
Formulasi Kebijakan Publik.

Mahasiswa melakukan simulasi untuk menganalisis


permasalahan perkotaan yang dihadapi oleh masyarakat
makassar serta kebijakan yang harus di tempuh untuk

130 Kebijakan Publik


mengatasi permasalahn tersebut. Dalam simulasi ini,
setiap mahasiswa harus menemukan permasalahan sebagai
policy aktor , yang bersama-sama melaksanakan rapat
kerja dengan walikota guna meningkatkan kualitas dan
kinerja pemuda.
Policy aktor yang diperlukan disini, serta tugas-tugas
yang yang harus dijalankan adalah sebagai berikut:
1. Walikota
2. Ketua DPRD
3. Ketua Bappeda tk 1
4. Direktur utama kebersihan
5. Kepala dinas PU
6. LSM
7. Pihak-pihak berkepentingan

Mekanisme simulasi :
1. Walikota Memimpin rapat kerja dengan terlebih dahulu
review terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan
selama ini, beserta masalah-masalah krusial yang
mendesak untuk segera diatasi
2. Masing-masing peserta rapat kerja menyampaikan
keluhan, laporan, rencana kerja yang berkaitan
dengan permasalahan yang dihadapi
3. Secara bersama-sama seluruh peserta rapat kerja
harus mampu melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi permasalahan kebijakan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 131


b. Mengidentifikasi kemajuan-kemajuan atau
hasilhasil yang telah dicapai, serta yang
belum berhasil
c. Menilai tingkat kerja yang dicapai
d. Merumuskan alternatif - alternatif kebijakan
untuk mengatasi atau mengoptimalkan
kebijakan yang pernah ditempuh, sekaligus
memilih atau melaksanakan tindakan yang
paling layak.
e. Disahkannya Regulasi ttg pengelolaan
sampah UU No.18 Tahuan 2008 tentang
pengelolaan sampah, dan PP nomor 81 thn
2012 tentang Pengelolaan sampah rumah
tangga dan sampah sejenis sampah rumah
tangga

DAFTAR PUSTAKA

Almond, G.& Verba S., 1985. Budaya Politik : Studi


Perbandingan Budaya Politik di Berbagai Negara,
Jakarta: Rajawali Press

Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. Second


Edition, Chicago, Holt, Rinehart and Winston.

Booth, D.(ed).1995, Rethingking Social Development:


Theory Research and Practice. Centre for Developing
Area Studies, University of Hull.

132 Kebijakan Publik


Basri, Muhammad, 2014, Formulasi Kebijakan Publik
Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Gowa.

Cresswell & Miler, 2000, Methods and Techniques of


Community Development. New York: Territories.

Dunn, William N., 1999, Analisis Kebijakan Publik,


Yogjakarta: Gadjah Mada University Press.

Danim , Sudarwan. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif.


Bandung: CV Pustaka Setia.

Harmon, M.M. 1969, Administrative Policy Formulation


and Public Interest. New York: Harper & Row.

Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public


Affairs. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall Inc.,

Long, N.& Long, A. (eds). 1992. Battlefield of Konowledge:


The Interlocking of Theory and Practice in Social
Research and Development. London: Routledge.

Newman, Williams Lawrence.1997.Social research


methods, London:Needham Heights, Allyn and Bacon

Nigro, A. Felix and G. Liyd Nigro, 1984. Modern Public


Administration, New York: Harper International
Edition

.Nugroho, Riant. 2003. Public Policy: Teori Kebijakan


– Analisis Kebijakan – Proses. Jakarta: Elex Media
Komputindo

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 133


Putra, Fadilla. 2003.paradikma kritis dalam studi kebujakan
publik.yokyakarta:pustaka pelajar.

Payne Malcom, 1997. Modern Social Work Theory,


Second Edition, London: Mac Milan Press Ltd.

Wibawa, Samodra. 1994. “Kebijakan Publik: Proses dan


Analisis”. Jakarta : Intermedia

Winarno, Budi, 2002, Teori Dan Proses Kebijakan Publik,


Yogjakarta: Madia Pressindo

Sinclair, A. John, 2002, Public Consultation For


Sustainable Development Policy Initiatives: Manitoba
Approach. Policy Studies Journal. (30) 4:423-443.

134 Kebijakan Publik


BAB 6

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

A. Tujuan
Setelah menyelesaikan Bab 6 ini, anda diharapkan
akan dapat :
1. Mengetahui defenisi implementasi kebijakan public
2. Mengetahui dan memahami Pendekatan Implementasi
Kebijakan Publik
3. Mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan publik.
4. Mengetahui dan menganalisis model implementasi
kebijakan publik.

B. Pokok Bahasan
Pencapaian tujuan tersebut dalam Bab 6 dijelaskan:
1. Defenisi Implementasi Kebijakan Publik
2. Pendekatan Implementasi Kebijakan
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi
Kebijakan Publik
4. Model Implementasi Kebijakan Publik

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 135


C. Intisari Bacaan
1. Defenisi Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan aspek penting
dari keseluruhan proses kebijakan. Udoji (1981,32)
dengan tegas mengatakan bahwa the execution of policies
is as important if not more important than policy-making.
Policies will remain dreams or blue prints file jackets
unless they are implemented (Pelaksanaan kebijakan adalah
sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada
pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar
berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi
dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Dengan kata
lain pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan
ditentukan atau disetujui.
Implementasi Kebijakan merupakan langkah
lanjutan berdasarkan suatu kebijakan formulasi. Definisi
yang umum dipakai menyangkut kebijakan implementasi
adalah: (Wahab, 1997: 63) “Implementasi adalah tindakan-
tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu,
pejabat-pejabat, atau kelompok-kelompok pemerintah
atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan
yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.”
Dunn (1981: 56) menyatakan bahwa akan halnya
implementasi kebijakan, lebih bersifat kegiatan praktis,
termasuk di dalamnya mengeksekusi dan mengarahkan.
Lebih lanjut dikemukakan sebagai berikut:“Policy

136 Kebijakan Publik


implementation involves the execution and steering of
a laws of action overtime. Policy implementation is
essentially a practical activity, as distinguished from policy
formulation, which is essentially theoretical.”
Sehubungan dengan sifat praktis yang ada dalam
proses implementasi kebijakan di atas, maka hal yang
wajar bahwa implementasi ini berkaitan dengan proses
politik dan administrasi. Hal tersebut disebabkan karena
ia menyangkut tujuan dari diadakannya kebijakan tersebut
(policy goals).Dan jika dilihat dari konteks implementasi
kebijakan, maka hal tersebut berkaitan dengan kekuasaan
(power), kepentingan dan strategi para pelaku kebijakan,
disamping karakteristik lembaga dan rezim serta ijin
pelaksanaan dan respon terhadap kebijakan.
Konteks implementasi demikian baru akan terlihat
pengaruhnya setelah kebijakan tersebut dilaksanakan.
Hal itulah yang menunjukkan bahwa proses pelaksanaan
kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dan
momentum dalam proses perumusan/pembuatan
kebijakan selanjutnya, sebab berhasil atau tidaknya suatu
kebijakan dalam mencapai tujuannya ditentukan dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, rumusan kebijakan
yang telah dibuat tidak akan mempunyai arti apa-apa
atau hanya akan merupakan rangkaian kata-kata indah
dan baku yang tersimpan rapi dalam sebuah dokumen
kalau tidak diimplementasikan. Berkaitan dengan hal itu,

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 137


dapat dikatakan bahwa salah satu tolok ukur keberhasilan
suatu strategi atau kebijakan terletak pada proses
implementasinya.
Oleh karena itu menurut Jones (1996: 293-294)
“tidak berlebihan jika dikatakan implementasi adalah
merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses
lahirnya kebijakan.” Namun kebanyakan dari kita
seringkali beranggapan bahwa setelah kebijakan disahkan
oleh pihak yang berwenang dengan sendirinya kebijakan
itu akan dapat dilaksanakan, dan hasil-hasilnya pun akan
mendekati seperti yang diharapkan oleh pihak pembuat
kebijakan tersebut. Padahal menurut Putra (2003,79)
: “Sifat kebijakan itu kompleks dan saling tergantung,
sehingga hanya sedikit kebijakan negara yang bersifat self
executing, yang paling banyak adalah yang bersifat non self
executing, artinya kebijakan negara perlu diwujudkan dan
dilaksanakan oleh berbagai pihak sehingga mempunyai
dampak seperti yang diharapkan.”
Hal senada dikemukakan oleh Salusu (2002), bahwa
dalam kasus-kasus tertentu, proses implementasi dapat
tejadi seketika, tetapi kebanyakan harus menunggu karena
memerlukan persiapan yang cukup matang. Implementasi
dari suatu kebijakan adalah sesuatu yang sangat peka,
menuntut kehati-hatian, dan bahkan pada saat penyusunan
alternatif kebijakan dilakukan sudah harus dipertanyakan
bagaimana melaksanakan setiap alternatif tersebut.

138 Kebijakan Publik


Melihat pentingnya fase ini, maka untuk mencermati
proses implementasi dari kebijakan tersebut, terlebih dahulu
harus kita pahami beberapa konsep dari implementasi
itu sendiri. Menurut Salusu (2002), implementasi adalah
seperangkat kegiatan yang dilakukan menyusul satu
keputusan. Suatu keputusan selalu dimaksudkan untuk
mencapai sasaran.Guna merealisasikan pencapaian sasaran
tersebut, diperlukan serangkaian aktivitas. Jadi dapat
dikatakan bahwa implementasi adalah operasionalisasi
dari berbagai aktivitas guna mencapai sasaran tertentu.
Masih dalam Salusu (2002), Higgins merumuskan
implementasi sebagai rangkuman dari berbagai kegiatan
yang didalamnya sumberdaya manusia menggunakan
sumber daya lain untuk mencapai sasaran dan strategi.
Sehingga kegiatan implementasi ini, menyentuh semua
jajaran manajemen mulai dari manajemen puncak sampai
pada karyawan lini paling bawah.
Pemahaman lebih lanjut tentang konsep
implementasi dapat pula dilihat dari apa yang dikemukakan
oleh Lineberry dalam Putra (2003: 81) dengan mengutip
pendapat Van Meter dan Van Horn (1975) yang memberikan
pernyataan bahwa, Policy implementation encompasses
those actions by publik and private individuals (and
groups) that are directed at the achievement of goals and
objectives set forth in prior policy decisions. Pernyataan
ini memberikan makna bahwa implementasi adalah

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 139


tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-
individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta
yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang
menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi meliputi
semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan
kebijakan dan dampak aktualnya.
Pada bagian lain, mengenai pelaksanaan kebijakan,
Hoogerwerf (1983:17) mengemukakan sebagai berikut:
“Bahwa pelaksanaan kebijakan itu hampir selalu harus
disesuaikan lagi. Hal itu disebabkan karena tujuan
dirumuskan terlalu umum, sarana tidak dapat diperoleh
pada waktunya dan faktor waktu dipilih terlalu optimis,
semua ini berdasarkan gambaran situasi yang kurang tepat.
Dengan perkataan lain pelaksanaan kebijakan didalam
praktek sering menjadi suatu proses yang berbelit-belit,
yang menjurus kepada permulaan baru dari pada seluruh
proses kebijakan atau menjadi buyar sama sekali.”
Keberhasilan atau kegagalan suatu implementasi
kebijakan dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya
secara nyata dalam meneruskan dan mengoperasionalkan
program-program pemerintah yang telah dirancang
sebelumnya.
Dengan adanya kebijakan implementasi, yang
merupakan bentuk konkret dari konseptualisasi dalam
kebijakan formulasi, tidak secara otomatis merupakan

140 Kebijakan Publik


garansi berjalannya suatu program dengan baik. Oleh
karena itu suatu kebijakan implementasi pada umumnya
satu paket dengan kebijakan pemantauan atau monitoring.
Mengingat kebijakan implementasi adalah sama peliknya
dengan kebijakan formulasi, maka perlu diperhatikan
berbagai faktor yang akan mempengaruhinya.

2. Pendekatan Implementasi Kebijakan


Agar kebijakan implementatif, maka dikenal
beberapa pendekatan. Secara teoritik empirik, pendekatan-
pendekatan ini dianggap memadai sebagai alat bantu atau
penguatan untuk keberhasilan implementasi kebijakan.
Walau dari berbagai pendekatan praktiknya membutuhkan
pertimbangan kompherensif sehingga pendekatan yang
dipilih, diadaptasi atau mungkin bahkan dikombinasi adalah
teknis sesuai kebutuhan. Untuk kepentingan implementasi
kebijakan, bukan merupakan monopoli secara liniear
dari hanya para ahli kebijakan saja. Tetapi bisa diadopsi
dari para ahli ilmu - ilmu sosial lain, baik dari pakar ilmu
politik, pakar organisasi dan manajemen maupun dari
para ahli lainnya. Dengan kata lain untuk kepentingan
implementasi kebijakan dibutuhkan pendekatan dan ilmu
yang komprehensif sejalan dengan yang dikemukakan
Nicholas Henry (1998:33)sebagai berikut:

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 141


a) Pendekatan Politik
Istilah pada pendekatan ini mengacu pada pola-
pola kekuasaan dan pengaruh di antara dan yang
terjadi dalam organisasi birokrasi. Asumsi dasarnya
tidak lepas dari proses kekuasaan yang terjadi dalam
keseluruhan proses kebijakan publik. Misalnya adanya
beberapa kelompok kepentingan penentang kebijakan
yang berusaha untuk mengganjal bahkan memboikot
usaha dari berbagai pendukung kebijakan yang ada
dan serta merta dapat menjadi faktor penghambat
dalam proses pelaksanaan kebijakan publik. Rhodes,N
(Wahab:2004:29).
Dengan demikian sukses dan gagalnya suatu
kebijakan publik, akhirnya dipengaruhi oleh kesediaan
dan kemampuan berbagai kelompok kepentingan
dominan yang mungkin terdiri atas berbagai koalisi
kepentingan yang memaksakan kehendak. Dalam
kondisi tertentu distribusi kekuasaan dapat pula
menimbulkan kemacetan pada saat implementasi
kebijakan, walaupun sebenarnya kebijakan publik
secara formal telah diarahkan.
b) Pendekatan Sruktural
Melalui pendekatan ini secara umum dapat dikenali
bahwa struktur yang bersifat “organis” Nampak relevan
untuk implementasi kebijakan. ini sangat dimungkinkan
sebab implementasi kebijakan senantiasa berubah,

142 Kebijakan Publik


terlebih ketika arus implementasi itu liar bukan linear.
c) Pendekatan Prosedural dan Managerial
Pendekatan prosedural struktural dianggap relevan
untuk proses implementasi kebijakan publik, namun
tidak sepenting upaya untuk mengembangkan proses
dan prosedur yang tepat, termasuk dalam hal ini adalah
proses dan prosedur tatakelola beserta berbagai tehnik
dan metode yang ada. Prosedur dimaksud di antaranya
terkait dengan pross penjadwalan (scheduling)
perencanaan (planning) dan pengawasan (controlling)
kebijakan publik.
Wujud pendekatan managerial ini diantaranya
dapat ditemui pada perencanaan jaringan kerja dan
pengawasan (network planning and control) atau
disebut NPC. Pendekatan ini menggambarkan suatu
kerangka kerja dimana proyek dapat direncanakan dan
proses implementasinya dapat diawasi dengan cara
mengidentifikasi berbagai tugas yang harus diselesaikan,
urutan pelaksanaan waktu bahkan anggaran yang
dikeluarkan.
d) Pendekatan Perilaku
Analisis keprilakuan (behavioral analysis) pada
berbagai masalah manajemen yang paling terkenal
adalah apa yang seringkali disebut para penganut aliran
organisasi sebagai “organitational development” atau
pengembangan organisasi. Pendekatan ini menekankan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 143


pada proses untuk menimbulkan berbagai perubahan
yang diinginkan dalam suatu organisasi melalui
penerapan ilmu keprilakuan (Eddy, 1981:72).
Selain itu, pengembangan organisasi juga
merupakan salah satu bentuk konsultasi manajemen
dimana seorang konsultan bertindak selaku agen
perubahan untuk mempengaruhi seluruh budaya
organisasi yang ada termasuk pada dimensi sikap dan
perilaku pejabat yang menduduki posisi kunci.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi


Kebijakan
Kebijakan apapun bentuknya sebenarnya
mengandung resiko untuk gagal. Hoogwood dan Gunn
(1984) membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy
failure) ke dalam dua kategori yaitu non implementation
(tidak terimplementasikan) dan unsuccesful
implementation (implementasi yang tidak berhasil).
Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu
kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana,
mungkin karena pihak-pihak yang terlibat didalam
pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka telah
bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau
mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau
permasalahan yang dibuat di luar jangkauan kekuasaannya,
sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-

144 Kebijakan Publik


hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi.
Akibatnya implementasi yang efektif sukar dipenuhi.
Implementasi yang tidak berhasil terjadi manakala
suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan
rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata
tidak menguntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi peristiwa
penggantian kekuasaan, bencana alam, dan sebagainya),
kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan
dampak atau hasil akhir yang dikehendaki (Wahab,1997,62)
Dari uraian tersebut diatas diketahui bahwa dengan
adanya kebijakan implementasi, yang merupakan bentuk
konkret dari konseptualisasi dalam kebijakan formulasi,
tidak secara otomatis merupakan garansi berjalannya suatu
program dengan baik. Oleh karena itu suatu kebijakan
implementasi pada umumnya satu paket dengan kebijakan
pemantauan atau monitoring. Mengingat kebijakan
implementasi adalah sama peliknya dengan kebijakan
formulasi, maka perlu diperhatikan berbagai faktor yang
akan mempengaruhinya. Merilee Grindle mengatakan
dalam kebijakan implementasi akan terkait didalamnya
sekaligus proses politik dan administrasi.
Mazmanian dan Sabatier memandang bahwa
suatu kebijakan implementasi selalu berkaitan dengan
tiga variabel, yakni: (1) variabel karakteristik masalah,
yang terdiri atas ketersediaan teknologi dan teori teknis,
keragaman prilaku kelompok sasaran, sifat populasi,

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 145


derajat perubahan perilaku yang diharapkan, (2) variabel
daya dukung peraturan, yang terdiri atas kejelasan dan
konsistensi tujuan, ketepatan alokasi sumber dana,
keterpaduan hirarki dalam dan diantara lembaga pelaksana,
aturan-aturan keputusan dari lembaga pelaksana, rekrutmen
pejabat pelaksana dan akses formal pihak luar, (3) variabel
non peraturan, yang terdiri atas kondisi sosial ekonomi
dan teknologi, dukungan publik, sikap dan sumber-sumber
yang dimiliki kelompok-kelompok, dukungan dari pejabat
atasan, komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-
pejabat pelaksana. Kebijakan implementasi merupakan
bagian tugas administrasi negara yang identik dengan
proses politik. Untuk berhasilnya pelaksanaan suatu
kebijakan masing-masing tingkatan perlu memahami
keadaan yang dapat mendukung keberhasilan proses
kebijakan dilaksanakan.
Selain itu, sebagaimana didalam kebijakan formulasi,
didalam kebijakan implementasi juga terdapat 2 (dua)
variabel yang sangat mempengaruhi terselenggaranya
suatu implementasi, yaitu variabel Sumber Daya Manusia
dan Sumber Daya Modal.
a. Sumber Daya Manusia
1. Motivasi
Mengandung makna sebagai suatu ungkapan
kebutuhan seseorang yang bersifat pribadi dan
internal.

146 Kebijakan Publik


2. Kepemimpinan
Mengandung makna sebagai suatu aktivitas
untuk mempengaruhi orang-orang agar diarahkan
mencapai tujuan organisasi.
3. Kinerja
Mengandung makna sebagai hasil yang dicapai
oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk
pekerjaan tertentu.
b. Sumber Daya Modal
1. Biaya dan Manfaat
Mengandung makna membandingkan suatu
kebijakan dengan cara menghitung total biaya dan
total keuntungan yang diukur dalam bentuk uang.
2. Biaya dan Efektivitas
Mengandung makna membandingkan suatu
kebijakan dengan cara mengkuantifikasi total biaya
dan akibat yang diukur dalam bentuk pelayanan.

4. Model Implementasi Kebijakan Publik


Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses
kebijakan. Di sini kebijakan publik dilihat sebagai sebuah
proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang
bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung,
saling menentukan dan saling membentuk.
Dalam bukunya Public Policy, Riant Nugroho (2009,
494-495) memberi makna implementasi kebijakan sebagai

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 147


“cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Ditambahakan pula, bahwa untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu:
langsung mengimplementasikan dalam bentuk program
atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari
kebijakan publik tesebut. Secara umum dapat digambarkan
sebagai berikut:

Sekuensi Implementasi Kebijakan

Gambar 6.1 : Sekuensi Implementasi Kebijakan

148 Kebijakan Publik


Pendekatan dalam implementasi kebijakan publik oleh
Peter deLeon dan Linda deLeon (2001) dikelompokkan
menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu pada tahun
1970-an, memahami implementasi kebijakan sebagai
masalah-masalah yang terjadi antara kebijakan dan
eksekusinya. Yang menggunakan pendekatan ini, antara
lain: Graham T. Allison dengan studi kasus misil kuba
(1971, 1979). Pada generasi ini implementasi kebijakan
berhimpitan studi pengambilan keputusan di sektor publik.
Generasi kedua, tahun 1980-an, adalah generasi
yang mengembangkan pendekatan implementasi
kebijakan yang bersifat “dari atas ke bawah” (top-downer
perspective). Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi
untuk melaksanakan kebijakan yang telah diputuskan
secara politik. Para ilmuwan sosial yang mengembangkan
pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier
(1983), dan Paul Berman (1980). Pada saat yang sama,
muncul pendekatan bottom-upper yang dikembangkan
oleh Michael Lipsky (1971, 1980), dan Benny Hjern
(1982, 1983).
Generasi ketiga, tahun 1990-an, dikembangkan
oleh ilmuwan sosial Malcolm L. Goggin (1990),
memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor
pelaksana implementasi kebijakan lebih menentukan
keberhasilan implementasi kebijakan. Pada saat yang
sama, muncul pendekatan kontingensi atau situsional

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 149


dalam implementasi kebijakan yang mengemukakan
bahwa implementasi kebijakan banyak didukung oleh
adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut. Para
ilmuwan yang mengembangkan yang mengembangkan
pendekatan ini adalah antara lain Richard Matland (1995),
Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997).

1. Model Van Meter dan Van Horn


Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni
model yang diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan
Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan
publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik.
Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang
mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel berikut:
1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar
organisasi
2. Karakteristik agen pelaksana/implementator
3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
4. Kecenderungan (disposition) pelakasana/
implementor

150 Kebijakan Publik


Komunikasi
Standar dan antar
Sasaran Organisasi dan
Kebijakan Pengukuhan
Aktivitas

Karakteristik
Organisasi/kom
unikasi antar
hubungan

Sumber Sikap Kinerja


daya Pelaksana Kebijakan

Kondisi
Sosial,ekonomi
dan politik

Gambar 6.2 : Model Implementasi kebijakan menurut Meter dan


Horn.

Kesemua variabel tersebut di atas membentuk


sikap pelaksana terhadap kebijakan yang mereka
implementasikan dan menentukan seberapa tinggi kinerja
kebijakannya. Kognisi, netralitas, dan obyektifitas para
individu pelaksana sangat mempengaruhi bentuk respons
mereka terhadap semua variabel tersebut. Wujud respons
individu pelaksana menjadi penyebab dari berhasil dan
gagalnya implementasi kebijakan, lebih-lebih apabila
sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya berbeda dengan
sistem nilai pembuat kebijakan, maka implementasi tidak
akan efektif.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 151


2. Model Mazmanian dan Sabatier
Model yang kedua adalah model yang dikembangkan
Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) yang
mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya
melaksanakan keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan
Sabatier disebut Model Kerangka Analisis Implementasi
(a framework for implementation analysis).
Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses
implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel, yaitu:
1. Variabel Independen
Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang
berkenaan dengan indikator masalah teori dan
teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan
perubahan seperti apa yang dikehendaki
2. Variabel Intervening
Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk
menstrukturkan proses implementasi dengan
indikator kejelasan dan konsistensi tujuan,
dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi
sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara
lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga
pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana yang
memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel
di luar kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi yang berkenaan dengan indikator

152 Kebijakan Publik


kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan
publi, sikap dan risorsis konstituen, dukungan
pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan
kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
3. Variabel Dependen
Yaitu tahapan dalam proses implementasi
kebijakan publik dengan lima tahapan, yang terdiri
dari: pertama, pemahaman dari lembaga/badan
pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan
pelaksana. Kedua, kepatuhan objek. Ketiga, hasil
nyata. Ke-empat, penerimaan atas hasil nyata.
Terakhir, kelima, tahapan yang mengarah pada
revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan,
baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang
bersifat mendasar.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 153


Gambar 6.3: Model Implementasi Kebijakan Menurut Masmanian
dan Sabatier

154 Kebijakan Publik


Model di atas menyiratkan sebuah pengakuan bahwa
meskipun formulasi kebijakan dulunya telah dirumuskan
melalui proses bargaining, konflik maupun persuasi,
tidak berarti para pelaku menghentikan desakannya
ketika kebijakan mulai diimplementasikan. Justru para
pelaku tersebut, baik politisi, kelompok penekan, birokrat
tingkat atas maupun bawah, dan kelompok sasaran sendiri
seringkali lebih intensif memperjuangkan kepentingannya
pada tahap implementasi.

3. Model Charles Jones


Berbeda dengan model Mazmanian dan Sabatier,
Charles Jones menyatakan bahwa implementasi
kebijakan adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk
mengoperasikan sebuah program dengan memperhatikan
tiga aktivitas utama kegiatan yaitu : (1) organisasi,
pembentukan dan penataan kembali sumber daya,
unit-unit serta metode untuk menunjang agar program
berjalan, (2) interpretasi, menafsirkan agar program
menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat
diterima serta dilaksanakan, dan (3) aplikasi (penerapan)
berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan rutin yang meliputi
penyediaan barang dan jasa.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 155


Implementasi
Organisasi
Kebijakan

Interpretasi
Aplikasi

Gambar 6.4 : Model Implementasi Kebijakan Menurut Charles


Jones.

Model yang dikemukakan oleh Charles Jones


mempunyai persamaan dengan model yang dikemukakan
oleh Jan Merse dan Warwick yang pada dasarnya juga
menekankan pada faktor kemampuan organisasi, informasi,
dukungan masyarakat dan pembagian potensi. Hanya saja
pada model Jan Merse menambahkan isi kebijakan sebagai
salah satu kunci sukses mengimplementasikan kebijakan.

4. Model Hogwood dan Gunn


Model ketiga adalah Model Brian W.
Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978), untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan secara sempurna,
maka diperlukan beberapa persayaratan tertentu.

156 Kebijakan Publik


Syarat-syarat itu adalah:
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/
instansi pelaksana tidak akan menimbulkan
gangguan/kendala yang serius. Beberapa kendala/
hambatan (constraints) pada saat implementasi
kebijakan seringkali berada diluar kendali para
administrator, sebab hambatan-hambatan itu
memang diluar jangkauan wewenang kebijakan
dari badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut
diantaranya mungkin bersifat fisik maupun politis.
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu
dan sumberdaya yang cukup memadahi. Syarat
kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat
pertama diatas, dalam pengertian bahwa kerapkali
ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat
eksternal. Kebijakan yang memilki tingkat
kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak
berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena
menyangkut kendalan waktu yang pendek dengan
harapan yang terlalu tinggi
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-
benar memadahi. Persyaratan ini mengikuti syarat
item kedua artinya disatu pihak harus dijamin
tidak ada kendala-kendala pada semua sumber-
sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, setiap
tahapan proses implementasi perpaduan diantara

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 157


sumber-sumber tersebut harus dapat disediakan.
Dalam prakteknya implementasi program yang
memerlukan perpaduan antara dana, tenaga kerja
dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan
program harus dapat disiapkan secara serentak,
namun ternyata ada salah satu komponen tersebut
mengalami kelambatan dalam penyediaannya
sehingga berakibat program tersebut tertunda
pelaksanaannya.
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan
didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang
andal. Kebijakan kadangkala tidak dapat
diimplemetasikan secara efektif bukan lantaran ia
telah diimplementasikan secara asal-asalan, tetapi
kebijakan itu sendiri memang jelek. Penyebabnya
karena kebijakan itu didasari oleh tingkat
pemahaman yang tidak memadahi mengenahi
persoalan yang akan ditanggulangi, sebab-sebab
timbulnya masalah dan cara pemecahanya, atau
peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi
masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang
diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang
tersebut.
5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan
hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Pada
kebanyakan program pemerintah sesungguhnya

158 Kebijakan Publik


teori yang mendasari kebijakan jauh lebih komplek
dari pada sekedar hubungan antara dua variabel
yang memiliki hubungan kausalitas. Kebijakan-
kebijakan yang memiliki hubungan sebab-akibat
tergantung pada mata rantai yang amat panjang
maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan,
sebab semakin panjang mata rantai kausalitas,
semakin besar hubungan timbal balik diantara
mata rantai penghubungnya dan semakin kompleks
implementasinya. Dengan kata lain semakin banyak
hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula
resiko bahwa bebarapa diantaranya kelak terbukti
amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan
baik.
6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
Implemetasi yang sempurna menuntut adanya
persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana
tunggal dalam melaksanakan misi tidak tergantung
badan-badan lain/instansi lainnya. Kalau ada
ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini
haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam
artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika
implementasi suatu program ternyata tidak hanya
membutuhkan rangkaian tahapan dan jalinan
hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan
atau komitmen terhadap setiap tahapan diantara

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 159


sejumlah aktor/pelaku yang terlibat, maka peluang
bagi keberhasilan implementasi program, bahkan
hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan
semakin berkurang.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan
terhadap tujuan. Persyaratan ini mengharuskan
adanya pemahaman yang menyeluruh mengenahi
kesepakatan terhadap tujuan yang akan dicapai
dan dipertahankan selama proses implementasi.
Tujuan itu harus dirumuskan dengan jelas, spesifik,
mudah dipahami, dapat dikuantifikasikan, dan
disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam
organisasi. Namun berbagai penelitian telah
mengungkap bahwa dalam prakteknya tujuan yang
akan dicapai dari program sukar diidentifikasikan.
Kemungkinan menimbulkan konflik yang tajam
atau kebingungan, khususnya oleh kelompok
profesional atau kelompok-kelompok lain yang
terlibat dalam program lebih mementingkan
tujuan mereka sendiri. Tujuan-tujuan resmi kerap
kali tidak dipahami dengan baik, mungkin karena
komunikasi dari atas ke bawah atau sebaliknya
tidak berjalan dengan baik. Kalaupun pada saat
awal tujuan dipahami dan disepakati namun tidak
ada jaminan kondisi ini dapat terpelihara selama
pelaksanaan program, karena tujuan-tujuan

160 Kebijakan Publik


itu cenderung mudah berubah, diperluas dan
diselewengkan.
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam
urutan yang tepat. Syarat ini mengandung makna
bahwa dalam menjalankan program menuju
tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati,
masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun
dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang
harus dilaksanakan oleh setiap bagian yang terlibat.
Kesulitan untuk mencapai kondisi implementasi
yang sempurna masih terjadi dan tidak dapat
dihindarkan. Untuk mengendalikan program
dengan baik dapat dilakukan dengan teknologi
seperti Network planning dan contrrol.
9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
Syarat ini mengharuskan adanya komunikasi dan
ordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur
atau badan yang terlibat dalam program. Hood
(1976) dalam hubungan ini menyatakan bahwa
guna mencapai implementasi yang sempurna
diperlukan suatu sistem satuan administrasi
tunggal sehingga tercipta koordinasi yang baik.
Pada kebanyakan organiasi yang memiliki ciri-ciri
departemenisasi, profesionalisasi, dan bermacam
kegiatan kelompok yang melindungi nilai-nilai dan
kepentingan kelompok hampir tidak ada koordinasi

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 161


yang sempurna. Komunikasi dan koordiasi
memiliki peran yang sangat penting dalam proses
implementasi karena data, syaran dan perintah-
perintah dapat dimengerti sesuai dengan apa yang
dikehendaki.
10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan
dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang
sempurna. Hal ini menjelaskan bahwa harus ada
ketundukan yang penuh dan tidak ada penolakan
sama sekali terhadap perintah dalam sistim
administrasinya. Persyaratan ini menandaskan
bahwa mereka yang memiliki wewenang, harus
juga yang memiliki kekuasan dan mampu menjamin
adanya kepatuhan sikap secara menyeluruh dari
pihak-pihak lain baik dalam organisasi maupun
luar organisasi. Dalam kenyataan dimungkinkan
adanya kompartemenisasi dan diantara badan yang
satu dengan yang lain mungkin terdapat konflik
kepentingan.

5. Model Goggin
Malcolm Goggin, Ann Bowman, dan James
Lester mengembangkan apa yang disebutnya sebagai
“communicationmodel”untukimplementasikebijakanyang
disebutnya sebagai “generasi ketiga model implementasi
kebijakan” (1990). Goggin dan kawan-kawan bertujuan

162 Kebijakan Publik


mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan
yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan
metode penelitian dengan adanya variabel independen,
intervening, dan dependen, dan meletakkan komunikasi
sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan. Goggin,
Brown, dkk. (1990) dalam bukunya Implementation
Theory and Practice Toward a Third Generation, secara
implicit mensyaratkan 3 hal penting dalam implementasi
kebijakan, yakni: 1) isi pesan, 2) bentuk pesan, 3) persepsi
mengenai pimpinan negara.(Aneta,2010).

6. Model Grindle
Model ke-enam adalah model Merilee S. Grindle
(1980). Model Implementasi Kebijakan Publik yang
dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai
kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan
program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup,
selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan)
dan Contex of Implementation (konteks implementasinya).
Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
1. Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan
(interest affected).
2. Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit).
3. Derajat perubahan yang diinginkan (extent of
change envisioned).

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 163


4. Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision
making).
5. Para pelaksana program (program
implementators).
6. Sumber daya yang dikerahkan (Resources
commited).
Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud:
1. Kekuasaan (power).
2. Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest
strategies of actors involved).
3. Karakteristik lembaga dan penguasa (institution
and regime characteristics).
4. Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana
(compliance and responsiveness).

7. Model Elmore, dkk


Model ketujuh adalah model yang disusun Richard
Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny
Hjern dan David O‟Porter (1981). Model ini dimulai dari
mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam
proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan,
strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki.
Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan
publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan
sendiri implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan
pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh

164 Kebijakan Publik


karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan
harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau
kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah
yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya
diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun
melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).

8. Model Edward III


George Edward III (1980, 1) menegaskan bahwa
masalah utama administrasi publik adalah lack of attention
to implementation. Dikatakannya, without effective
implementation the decission of policymakers will not
be carried out successfully. Edward menyarankan untuk
memperhatikan empat isu pokok agar implementasi
kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource,
disposition or attitudes, dan beureucratic structures.
communication, resource, disposition or attitudes, dan
beureucratic structures.

Gambar 6.5 : Model Implemetasi Kebijakan Edward III

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 165


Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan
dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik,
ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan,
sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimana
struktur organisasi pelaksana kebijakan.
Edward menyebutkan terdapat tiga indikator yang dapat
digunakan dalam mengukur faktor komunikasi. Indikator
tersebut antara lain :
1. Transmisi
Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat
menghasilkan suatu implementasi yang baik pula.
Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi
adalah adanya salah pengertian, hal tersebut disebabkan
karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan
komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi
ditengah jalan.
2. Kejelasan
Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana
kebijakan (street-levelbureuacrats) haruslah jelas dan tidak
membingungkan (tidak ambigu/mendua). Ketidakjelasan
pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi,
pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan
fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada
tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan
tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah
ditetapkan.

166 Kebijakan Publik


3. Konsistensi
Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan
komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan
atau dijalankan). Karena jika perintah yang diberikan
sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan
kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya
pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini
berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik
untuk carry out kebijakan secara efektif.
Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para
implementor untuk carry out kebijakan publik tersebut,
kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan
komitmen untuk melaksanakan kebijakan.
Struktur birokrasi, Edward dalam Nugroho (2011:636),
menjelaskan bahwa struktur birokrasi berkenaan dengan
kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara
implementasi kebijakan publik. Tantangannya adalah
bagaimana agar tidak terjadi bureaucratic fragmentation
karena struktur ini menjadikan proses implementasi
menjadi jauh dari efektif.
Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi
kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di
antara lembaga-lembaga negara dan/ atau pemerintahan.
Menurut Edward dalam Agustino (2006:153), dua
karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 167


birokrasi/organisasi ke arah yang lebih baik, adalah:
melakukan standar operating procedures (SOPs) dan
pelaksanaan fragmentasi. SOPs adalah suatu kegiatan
rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana
kebijakan/administrator/birokrat) untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan
standar yang ditetapkan (standar minimum yang dibutuhkan
warga). Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya
penyebaran tanggung jawab kegiatan-kegiatan atau
aktivitas-aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja.

9. Model Nakamura dan Smallwood


Model Nakamura dan Smallwood mengambarkan
proses implementasi kebijakan secara detail.
Begitu detailnya, sehingga model ini relatif relevan
diimplementasikan pada semua kebijakan. Tabel di bawah
ini menjelaskan keterkaitan antara pembentukan kebijakan
dan implementasi kebijakan secara praktikal.
Menurut de leon, pada tahun 2000-an, studi tentang
implementasi kebijakan secara intelektual berada di ujung
buntu (The study of Policy Implementation has reached
an intellectual dead end). Menurut Nugroho, sebenarnya
studi implementasi kebijakan pada saat ini bukan berada
di ujung buntu, namun berada pada suatu muara dengan
begitu banyak cabang ilmu pengetahuan yang memberikan
kontribusi pada studi implementasi kebijakan publik.

168 Kebijakan Publik


Studi implementasi kebijakan akan mati jika dipahami
sebagai sesuatu yang kaku berada dalam domain ilmu
administrasi Negara, dan paling jauh Ilmu Politik.
Masuknya pengaruh berbagai cabang ilmu pengetahuan,
memang membawa implikasi praktikalitas. Hal ini dapat
dilihat dari konsep Nakamura dan Smallwood (1980) yang
membuat keterkaitan antara pembentukan kebijakan dan
implementasi kebijakan secara praktikal sebagai berikut:

Policy Makers Policy Potential


Environtment Implementers Breakdowns
I-Policy Formation Environtment
II-Policy
Implementation
1. “Classical” Technocracy

a. Policy makers a. Implementers a. Technical failures


support policy of means
Formulate maker, goal
Specific goals and devise
technical means
to achieve these
b. Policy makers goals.
delegate
technical
authority to
implementers
to achieve
goals.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 169


Policy Makers Policy Potential
Environtment Implementers Breakdowns
I-Policy Formation Environtment
II-Policy
Implementation
2. Instructed Delegation
a. policy makers a. Implementers a. Technical failure
formulate support policy of means
specific goals
makers‟goals
b. Policy Makers b. Negotiation
and negotiate
delegate failures
administrative administrative
(Complexity
authority to means.
implementers stalemate)
to devise
the means to
achieve goals.

3. Bargaining
a. Policy makers a. Implementers a. Technical failure
formulate goals bargain with of means
policy makers
b. Bargaining
over goals and/
failures
or means to
(stalemate non
achieve goals
implementation)

c. Cooptation or
Cheating

170 Kebijakan Publik


Policy Makers Policy Potential
Environtment Implementers Breakdowns
I-Policy Formation Environtment
II-Policy
Implementation
4. Discretionary Experimentation
a. Policy makers a. Implementers a. Technical
support abstract refine goals failures of means
(undefined) and means for
b. Ambiguity
goals policy makers
c. Cooptation
b. Policy makers
delegate broad d. Unaccountability
discretionary
authority to
implementers to
refine goals and
means
5. Bureaucratic Entreprenership
a. Policy makers a. Implementers a. Technical failure
support goals formulate of means
and means policy goals
b. Cooptation
formulated by and means to
implementers carry out goals c. Unaccountability
and persuade
policy makers d. Policy
to accept their preemption
goals
Sumber : Riant Nugroho, 2006

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 171


10. Model Jaringan
Model ini memahami bahwa proses implementasi
kebijakan adalah sebuah complex of interaction processes
di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu
jaringan (network) aktor-aktor yang independen. Interaksi
di antara para aktor dalam jaringan tersebutlah yang akan
menentukan bagaimana implementasi harus dilaksanakan,
permasalahan-permasalahan yang harus dikedepankan,
dan diskresi-diskresi yang diharapkan menjadi bagian
penting di dalamnya.
Pemahaman ini antara lain dikembangkan dalam sebuah
buku yang ditulis oleh tiga orang ilmuwan Belanda, yaitu
Walter Kickert, Erik Hans Klijn, dan Joop Koppenjan,
Managing Complex Networks: Strategies for the Public
Sector (1997). Pada model ini, semua aktor dalam jaringan
relatif otonom, artinya mempunyai tujuan masing-masing
yang berbeda. Tidak ada aktor sentral, tidak ada aktor yang
menjadi koordinator. Pada pendekatan ini, koalisi dan/
atau kesepakatan di antara aktor yang berada pada sentral
jaringan menjadi penentu implementasi kebijakan dan
keberhasilannya.

11. Model Matland


Richard Matland (1995) mengembangkan sebuah
model yang disebut dengan Model Matriks Ambiguitas-
Konflik yang menjelaskan bahwa implementasi secara

172 Kebijakan Publik


admiministratif adalah implementasi yang dilakukan dalam
keseharian operasi birokrasi pemerintahan. Kebijakan di
sini memiliki ambiguitas atau kemenduaan yang rendah
dan konflik yang rendah. Implementasi secara politik
adalah implementasi yang perlu dipaksakan secara politik,
karena, walaupun ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya
tinggi. Implementasi secara eksperimen dilakukan pada
kebijakan yang mendua, namun tingkat konfilknya
rendah. Implementasi secara simbolik dilakukan pada
kebijakan yang mempunyai ambiguitas tinggi dan konflik
yang tinggi. Pemikiran Matland dikembangkan lebih rinci
sebagai berikut:

Matriks Matland

Gambar 6.6 : Matriks Matland

Pada prinsispnya matrik matland memiliki “empat tepat”


yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implemenatasi
kebijakan, yaitu:

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 173


1. Ketepatan Kebijakan
Ketepatan kebijakan ini dinilai dari:
1. Sejauh mana kabijakan yang ada telah
bermuatan hal-hal yang memang
memecahkan masalah yang hendak
dipecahkan. Pertanyaannya adalah how
excelent is the policy.
2. Apakah kebijakan tersebut sudah
dirumuskan sesuai dengan karakter masalah
yang hendak dipecahkan.
3. Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga
yang mempunyai kewenangan (misi
kelembagaan) yang sesuai dengan karakter
kebijakan.

2. Ketepatan Pelaksanaan
Aktor implementasi kebijakan tidaklah
hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang bisa
menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama
antara pemerintah-masyarakat/swasta, atau
implementasi kebijakan yang diswastakan
(privatization atau contracting out). Kebijakan-
kebijakan yang bersifat monopoli, seperti kartu
identitas penduduk, atau mempunyai derajat politik
keamanan yang tinggi, seperti pertahanan dan
keamanan, sebaiknya diselenggarakan oleh
pemerintah. Kebijakan

174 Kebijakan Publik


yang bersifat memberdayakan masyarakat,
seperti penanggulangan kemiskinan, sebaiknya
diselenggarakan pemerintah bersama masyarakat.
Kebijakan yang bertujuan mengarahkan kegiatan
kegiatan masyarakat, seperti bagaimana perusahaan
harus dikelola, atau di mana pemerintah tidak
efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti
pembangunan industri-industri berskala menengah
dan kecil yang tidak strategis, sebaiknya diserahkan
kepada masyarakat

3. Ketepatan Target
Ketepatan berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
1. Apakah target yang dintervensi sesuai dengan
yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang
tindih dengan intervensi lain, atau tidak
bertentangan dengan intervensi kebijakan lain.
2. Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk
dintervensi ataukah tidak. Kesiapan bukan saja
dalam arti secara alami, namun juga apakah
kondisi target ada dalam konflik atau harmoni,
dan apakah kondisi target ada dalam kondisi
mendukung atau menolak.
3. Apakah intervensi implementasi kebijakan
bersifat baru atau memperbarui implementasi
kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 175


kebijakan yang tampaknya baru namun pada
prinsipnya mengulang kebijakan yang lama
dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan
kebijakan sebelumnya.

4. Ketepatan Lingkungan
Ada dua lingkungan yang paling menentukan,
yaitu:
1. Lingkungan Kebijakan
Yaitu interaksi antara lembaga perumus
kebijakan dengan pelaksana kebijakan dengan
lembaga yang terkait. Donald J. Calista
menyebutnya sebagai sebagai variabel endogen,
yaitu authoritative arrangement yang berkenaan
dengan kekuatan sumber otoritas dari kebijakan,
network composition yang berkenaan dengan
komposisi jejaring dari berbagai organisasi
yang terlibat kebijakan, baik dari pemerintah
maupun masyarakat, implementation setting yang
berkenaan dengan posisi tawar-menawar antara
otoritas yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring
yang berkenaan dengan implementasi kebijakan.
2. Lingkungan Eksternal Kebijakan
Lingkungan ini oleh Calista disebut sebagai
variabel eksogen, yang terdiri dari atas public
opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan

176 Kebijakan Publik


implementasi kebijakan, interpretive instutions
yang berkenaan dengan interprestasi lembaga-
lembaga strategis dalam masyarakat, seperti
media massa, kelompok penekan, dan kelompok
kepentingan, dalam menginterpretasikan kebijakan
dan implementasi kebijakan, dan individuals, yakni
individu-individu tertentu yang mampu memainkan
peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan
dan implementasi kebijakan.
Ke-empat “tepat” tersebut masih perlu didukung oleh tiga
jenis dukungan, yaitu:
1. Dukungan politik;
2. Dukungan strategik; dan
3. Dukungan teknis.
Selain tiga dukungan di atas, penelitian ataupun
analisis tentang implementasi kebijakan sebaiknya juga
menggunakan model implementasi sesuai dengan isu
kebijakannya, sebagaimana yang digambarkan Matland
berikut ini:

Gambar 6.7 : Ambiguitas Matland

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 177


12. Model Implementasi Soren C. Winter
Winter dalam Peters and Pierre memperkenalkan model
implementasi integratif (Integrated Implementation Model).
Winter berpendapat bahwa keberhasilan implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh formulasi kebijakan, proses
implementasi kebijakan, dan dampak/hasilimplementasi
kebijakan itu sendiri. Selanjutnya Winter mengemukakan
3 (tiga) variabel yang mempengaruhi keberhasilan proses
implementasi yakni :
1. Perilaku hubungan antar organisasi. Dimensinya
adalah :komitmen dan koordinasi antarorganisasi;
2. Perilaku implementor (aparat/birokrat) tingkat bawah.
Dimensinya adalah kontrol politik, kontrol organisasi
dan etos kerja dan norma-norma profesional
3. Perilaku kelompok sasaran. Kelompok sasaran tidak
hanya member pengaruh pada dampak kebijakan tetapi
juga mempengaruhi kinerja aparat tingkat bawah, jika
dampak yang ditimbulkan baik maka kinerja aparat
tingkat bawah juga baik demikian dengan sebaliknya.
Perilaku kelompok sasaran meliputi respon positif
atau negatif masyarakat dalam mendukung atau tidak
mendukung suatu kebijakan yang disertai Adanya
umpan balik berupa tanggapan kelompok sasaran
terhadap kebijakan yang dibuat.
dalam Peters and Pierre memperkenalkan model
implementasi integrative, Winter berpendapat bahwa

178 Kebijakan Publik


keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh
formulasi kebijakan, proses implementasi kebijakan
dan dampak/hasil implementasi kebijakan itu sendiri.
Selanjutnya winter mengemukakan 3 (tiga) variabel
yang mempengaruhi keberhasilan proses implementasi
yakni: 1) perilaku hubungan antar organisasi, dimensinya
adalah komitmen dan koordinasi organisasi, 2) perilaku
implementor (aparat/birokrat) tingkat bawah, dimensinya
adalah kontrol politik, kontrol organisasi dan etos kerja dan
norma-norma professional, 3) perilaku kelompok sasaran,
kelompok sasaran tidak hanya memberi pengaruh terhadap
dampak kebijakan tetapi juga mempengaruhi kinerja
aparat tingkat bawah, jika dampak yang ditimbulkan baik
maka kinerja aparat tingkat bawah juga baik demikian
sebaliknya. Perilaku kelompok sasaran meliputi respon
positif atau negatif masyarakat dalam mendukung atau
tidak mendukung suatu kebijakan yang disertai adanya
umpan balik berupa tanggapan kelompok sasaran terhadap
kebijakan.
1. Perilaku hubungan antar organisasi
a. Komitmen
Komitmen organisasi menurut Richard M. Steers
(Sri Kuntjoro, 2002) adalah rasa identifikasi, keterlibatan
dan loyalitas yang dinyatakan oleh seseorang terhadap
organisasinya. Dalam menjalankan hubungan antar
organisasi dibutuhkan sikap saling percaya yang berawal

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 179


dari sebuah janji yang dikeluarkan dalam bentuk
pernyataan yang tercermin dalam bentuk tindakan, jadi
apabila komitmen antar organisasi dijaga dengan baik
maka harapan akan kesuksesan implementasi akan
meningkat. Menurut May (2003) dalam karya Soren C.
Winter (12:2008) mengatakan bahwa komitmen adalah
kunci keberhasilan pada pelaksanaan kebijakan, selain itu
menurut Winter (2008) komitmen birokrasi tingkat bawah
dalam melaksanakan kebijakan yang diberikan merupakan
faktor penting bagi mereka dalam mengambil tindakan
dalam sebuah kebijakan.
b. Koordinasi antar organisasi
Koordinasi merupakan salah satu fungsi manajemen
yang memegang peranan sama penting dan setara dengan
fungsi-fungsi manajemen lainnya, kesuksesan koordinasi
akan menjamin keberhasilan pelaksanaan pekerjaan atau
pencapaian tujuan organisasi. Untuk itu perlu pemahaman
yang mendalam tentang konsep koordinasi yang meliputi
pengertian koordinasi, tujuan koordinasi, tipe koordinasi
dan prinsip-prinsip koordinasi. Pemahaman yang baik
atas koordinasi memungkinkan kita mampu dapat
merencanakan dan melaksanakan koordinasi dengan
baik, Van Meter dan Van Hord dalam Subarsono (2005)
menjelaskan dalam berbagai kasus, implementasi sebuah
program terkadang perlu didukung dan dikoordinasikan
dengan instansi lain agar tercapai keberhasilan yang

180 Kebijakan Publik


diinginkan. Sedangkan Cheema dan Rondinelli dalam
Subarsono (2008) pembagian fungsi antar instansi yang
pantas.
2. Perilaku aparat tingkat bawah
a. Kontrol organisasi
Dalam suatu organisasi fungsi pengawasan sangat
dibutuhkan, dengan pengawasan yang baik dapat
mencegah timbulnya penyimpangan dan menjamin
bahwa pelaksanaan kegiatan organisasi berjalan sesuai
dengan rencana yang telah ditentukan. Kontrol organisasi
berfungasi melakukan pengawasan terhadap aktifitas
yang dilakukan oleh staf, baik diluar maupun didalam
lingkungan kerja sehingga staf dapat menjalankan tugas
dengan baik sesuai tugas pokok dan fungsinya. Menurut
Sarwoto (1981:93) pengawasan adalah kegiatan pimpinan
yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau hasil
yang dikehendaki.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan tersebut
dapat diambil suatu pengertian bahwa pengawasan adalah
proses pengamatan yang dilakukan pimpinan untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya
mengenai pelaksanaan pekerjaan dari pegawai-pegawai
yang menjadi bawahannya agar pelaksanaan pekerjaan
tersebut bisa sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 181


b. Etos kerja
Menurut Usman Pelly (1992:12) etos kerja adalah
sikap yang muncul atas kemauan dan kesadaran sendiri
yang didasari sistem orientasi nilai budaya terhadap
pekerjaan seseorang. Menurut Max Weber etos kerja
adalah perilaku kerja yang etis dan menjadi kebiasaan kerja
yang berporos pada etika., menurut Gertz etos kerja adalah
sikap mendasar terhadap diri dan dunia dipancarkan hidup.
Berdasarkan beberapa pengertian etos kerja menurut para
ahli dapat dipastikan bahwa etos kerja merupakan hal yang
penting dalam suatu pekerjaan oleh karena itu seseorang
perlu memilikinya sebagai penunjang dalam aktifitas
pekerjaannya.
c. Norma-norma profesionalisme
Faktor sumber daya manusia menjadi sangat penting
dalam proses implementasi kebijakan, sebab jika SDM
lemah maka sudah barang tentu kebijakan tidak akan
terimplementasi dengan baik. Sumber daya manusia
merupakan faktor yang sangat penting untuk implementasi
kebijakan agar efektif. Edward III mengemukakan apabila
implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan efektif.
Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya
manusia, yakni kompetensi implementor dan sumberdaya
finansial. Implementasi kebijakan mengalami kendala
karena faktor profesionalisme aparat yang masih kurang,

182 Kebijakan Publik


hasil penelitian menunjukkan bahwa etos kerja staf sangat
baik akan tetapi tidak ditunjang dengan profesionalisme
yang masih harus ditingkatkan.
3. Perilaku kelompok sasaran
a. Respon positif
Mazmanian dan Sabatier dalam subarsono (2005)
dukungan publik terhadap sebuah kebijakan. Tanpa
dukungan kelompok sasaran maka kebijakan tidak akan
maksimal dijalankan.
b. Respon negatif
Respon negatif dalam implementasi kebijakan bagai
sisi uang logam yang tidak dapat dipisahkan, respon
negatif dari masyarakat dapat dijadikan bahan evaluasi
bagi pemerintah.
Temuan Soren Winter (12:2008) bahwa pegawai
yang bekerja tidak terlepas dari pengaruh pemerintah,
yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana
mengimplementasikannya. Perhatian winter juga pada
peran komitmen bahwa sejauh mana pegawai dalam
bekerja mereka tetap memperhatikan aturan-aturan dalam
bertindak dalam melakukan pelayanan.
Contoh Penelitian Implementasi Kebijakan
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah
(KPA Kabupaten Bulukumba) terhadap penanggulangan
penyakit (HIV/AIDS) di Kabupaten Bulukumba (Azhar
Mukti)

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 183


Implementasi kebijakan penangguangan penyakit
HIV/AIDS dijelaskan dari beberapa indikator yaitu
promosi, pencegahan, pelayanan dan pengobatan.
Upaya pemerintah dalam mencegah penyebaran
HIV/AIDS melalui tahap promosi adalah suatu langkah
awal yang bersifat persuasive seperti promosi tidak
langsung melalui media informasi dan komunikasi serta
promosi langsung yaitu dengan mengadakan seminar
kesehatan dan promosi inilah menurut analisa penulis,
yang harus terus dikembangkan. Sebagaimana teori
promosi yang dikemukakan oleh World Healt Organization
(WHO 1986) menyebutkan bahwa promosi kesehatan
adalah proses pemberdayaan atau mendirikan masyarakat
untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatannya melalui peningkatan kemauan, kemampuan
dan lingkunagan yang sehat.
Dalam Perda no. 5 tahun 2008 pada pasal 6
disebukan pencegahan adalah upaya yang dilakukan
secara komprehensif, integratif, partisipatif melalui: a.)
penyelenggaraan kewaspadaan umum dalam rangka
mencegah terjadinya penularan HIV/AIDS dalam kegiatan
pelayanan kesehatan; b.) pemeriksaan HIV/AIDS terhadap
semua darah, produk darah, cairan mani, organ dan
jaringan tubuh yang didonorkan; dan c.) Melaksanakan
pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan
berisiko tinggi. Berdasarkan hasil wawancara mengenai

184 Kebijakan Publik


upaya yang dalam melakukan penanggulangan HIV/
AIDS pada tahap Pencegahan dilakukan dengan upaya
membagikan Kondom secara gratis kepada mereka yang
dianggap beresiko tinggi.” Selain itu, upaya pemerintah
daerah dalam melakukan penanggulangan HIV/AIDS
dimana setiap jangka waktu tertentu melakukan kontrol
ke tempat-tempat yang dianggap beresiko tinggi penularan
HIV/AIDS.” (Wawancara 2013).
Upaya penanggulangan yang selanjutnya dilakukan
oleh pemerintah pada tahap ketiga ini adalah pelayanan
setelah dilakukan promosi dan pencegahan. Sebagai
lembaga birokrasi yang mengutamakan pelayanan publik,
upaya pelayanan yang dilkakukan pun harus pelayanan
yang bersifat prima, baik kepada masyarakat yang
terkena AIDS maupun masyarakat yang tidak terkena
AIDS. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan
kepala Dinas Kesehatan mengenai upaya yang dalam
melakukan penanggulangan HIV/AIDS pada tahap
Pelayanan. Pelayanan yang dimaksud adalah Pelayanan
umum menurut keputusan menteri pendayagunaan
aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 adalah
segala pelayanan kegiatan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai pelaksanaan
ketentuan perundang-undangan. Terkait pelayanan terhada
ODHA “Pelayanan selama ini cukup baik yang di lakukan
oleh petugas Rumah Sakit Sultan Daeng Raja kabupaten

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 185


Bulukumba yang sangat menjunjung prinsip pelayanan
HIV/AIDS yaitu tentang kerahasiaan penderita HIV/
AIDS (ODHA) yang sangat di jaga.” (Wawancara SM, 1
oktober 2013). Adapun hasil wawancara penulis dengan
salah satu ODHA mengenai upaya pemerintah daerah
dalam melakukan penanggulangan HIV/AIDS pada tahap
Pelayanan, bahwa Rumah sakit Sultan Daeng Raja belum
menerapkan pelayanan prima karena masih diskriminatif.
Pelayanannya sangat mengucilkan penderita HIV/AIDS.
Selanjutnya Implementasi Kebijakan
Penanggulangan HIV AIDS juga dilihat dari indikator
pengobatan. Dalam rangka peningkatan kualitas hidup dan
kesehatan orang terinfeksi HIV, penting untuk menjamin
adanya program dukungan yang komprehensif dan
berkisinambungan untuk menahan perkembangan infeksi
menjadi AIDS. Berikut hasil wawancara penulis dengan
kepala dinas kesehatan mengenai upaya penanggulangan
HIV/AIDS pada tahap Pengobatan.
Bicara persoalan pengobatan, obat-obat yang
disediakan oleh rumah sakit yang ada di Bulukumba
cukup memadai, yang dirasakan betul kekurangan
adalah minimnya tenaga ahli yang menangani pasien
penderita HIV, terutam dokter spesialis HIV belum ada
mengakibatkan pengobatannyapun belum spenuhnya
efektiv.” (Wawancara,2013).

186 Kebijakan Publik


Kegiatan utama yang perlu dilakukan adalah
penyediaan pengobatan dengan ARV melalui sistem
pengadaan dan distribusi ARV yang optimal serta
lingkungan yang mendukung. Pengobatan merupakan
upaya yang di lakukan oleh pemerintah daerah dalam
penanggulangan HIV/AIDS melalui tiga tahap yaitu:
Menerapkan skrining rutin terhadap pasien IMS (penyakit-
penyakit yang ditularkan melului hubungan seks, seperti
sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.).
Pengobatan yang dilakukan selama ini dianggap
tidak maksimal karna sebagian penderita malu atau tidak
mau di ketahui oleh orang lain. Dari seluruh penderita
HIV/AIDS yang ada di kabupaten Bulukumba sejauh ini
cuma ada 8 orang yang berobat rutin.
Adapun hasil wawancara penulis dengan salah satu
ODHA atau orang Dengan HIV dan AIDS mengenai upaya
pemerintah daerah dalam melakukan penanggulangan
HIV/AIDS pada tahap Pengobatan. “Sejauh ini pengobatan
yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Bulukumba
belum begitu baik, karna selain tidak adanya dokter ahli
dan obat yang di berikan gratis cuma ARV, selebihnya kami
harus membelinya sendiri. Jadi sebagian besar penderita
memilih berobat di Makassar, baik itu di tempat praktek
Dokter ahli HIV/AIDS langsung maupun di Rumah Sakit
yang ada di kota Makassar. Selain obat yang kami peroleh
lebih lengkap, kami juga bisa konsultasi ke Dokter Ahli

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 187


HIV/AIDS jadi kami tau perkembangan penyakit kami.”
(Wawancara D, 2013).
Faktor pendukung dan penghambat dalam
menjalankan tugas KPA sebagai lembaga yang memediasi
dan mengkoordinasi kepada dinas terkait yang berhubungan
dengan HIV/AIDS terhadap penyebaran HIV/AIDS mulai
dari tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaannya
di kabupaten Bulukumba adalah faktor pendukungnya
yaitu antara lain adanya koordinasi yang baik antara
pengurus KPA dengan pemerintah daerah, sumber daya
manusia yang memadai yang menjadikan KPA memiliki
keanggotaan yang ahli dibidang kesehatan sehingga
menjadikan KPA sangat profesional dan dukungan yang
diberikan kepada pemerintah daerah melalui lembaga-
lembaga non pemerintah seperti LSM yang beraktualitas
sampai kepada lapisan masyarakat yang paling bawah.
Sedangkan faktor penghambatnya adalah Faktor yang
dapat menghambat upaya dari pemerintah daerah melalui
dinas kesehatan dan KPA di dalam melakukan upaya
penanggulangan HIV/AIDS meliputi :
a. Dana operasional tidak mencukupi sementara anggota
KPA dituntut aktif memperjuangkan kepentingan
masyarakat dan menjalankan berbagai tugas yang
didasarkan pada rujukan program kerja pemerintah
daerah dalam hubungan tata kerja dengan pemerintah
daerah itu sendiri.

188 Kebijakan Publik


b. Kurangnya partisipasi masyarakat terhadap program
pemerintah daerah mengenai upaya pemerintah dalam
penanggulangan HIV/AIDS dikarenakan pengetahuan
masyarakat terutam penderita HIV/AIDS masih sangat
kurang.

D. RANGKUMAN
Implementasi Kebijakan merupakan langkah
lanjutan berdasarkan suatu kebijakan formulasi. Definisi
yang umum dipakai menyangkut kebijakan implementasi
adalah: (Wahab, 1997: 63) “Implementasi adalah tindakan-
tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu,
pejabat-pejabat, atau kelompok-kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan – tujuan
yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.”
Hoogwood dan Gunn (1984) membagi pengertian
kegagalan kebijakan (policy failure) ke dalam dua kategori
yaitu non implementation (tidak terimplementasikan) dan
unsuccesful implementation (implementasi yang tidak
berhasil). Keberhasilan atau kegagalan suatu implementasi
kebijakan dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya
secara nyata dalam meneruskan dan mengoperasionalkan
program-program peningkatan kualitas pendidik secara
ideal yang telah dirancang sebelumnya. Suatu kebijakan
implementasi pada umumnya satu paket dengan kebijakan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 189


pemantauan atau monitoring. Mengingat kebijakan
implementasi adalah sama peliknya dengan kebijakan
formulasi, maka perlu diperhatikan berbagai faktor yang
akan mempengaruhinya.

E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN


1. Jelaskan definisi implementasi kebijakan publik
2. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan publik
3. Jelaskan model implementasi kebijakan publik
4. Jelaskan kelebihan dan kekurangan masing-
masing model implementasi kebijakan publik?
5. Model manakah yang paling bagus diantara
model yang dijelaskan di atas?

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, (2004), “Psikologi Suatu Pengantar dalam


Perspektif ”, Jakarta : Kencana
Basri, Formulasi Kebijakan Publik Sistem Kelas Tuntas
Berkelanjutan di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Gowa
Dunn, W.N. (1981). Publik policy analisys; An introduction.
London: prentica inc.

190 Kebijakan Publik


De Leon, Linda, 1996. Ethics and Entrepreneurship. Policy
Studies Joumal, Vol.24, No. 3 (495-510)
Edward III, George C. 1980. Implementating Public
Policy. Washington:Congressional Quarterly Press.
Hoogerwerf. 1983. Ilmu Pemerintahan. Jakarta : Erlangga
Henry, Nicholas. Public Administration and Public Affairs.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall Inc., 1995.
Hogwood, Brian W. dan Lewis A. Gunn, (1984) Policy
Analysis for the Real world, oxford University
Press.
Jones, Charles O.. (1996). Pengantar Kebijakan Publik.
Ed. 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kuntjoro, H. Zainuddin Sri Drs, MPsi. (2002). Komitmen
Organisasi.Jakarta.
Meter, Donald Van, dan Carl Van Horn, 1975, “The Policy
Implementation Process: A Conceptual Framework
dalam Administration and Society 6, 1975, London:
Sage.
Metcalf and Eddy (1981), Wastewater Engineering
Collection and Pumping of Wastewater, Mc Graw
Hill Inc. New York.
Mukti,Azhar, 2013. Kebijakan pemerintah daerah dalam
penanggulangan Penyebaran penyakit HIV/AIDS
di Kabupaten Bulukumba
Nugroho D, Riant. (2004). Kebijakan Publik Formulasi,
Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Me-
dia Komputindo Kelompok Gramedia.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 191


Nugroho D, Riant. (2006). Kebijakan Publik Untuk Ne-
gara-Negara Berkembang. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.
Putra, Fadilla. 2003.paradikma kritis dalam studi kebujakan
publik.yokyakarta:pustaka pelajar
Salusu , (2002). Pengambilan keputusan strategik untuk
organisasi publik & organisasi non profir, cetakan
keempat, jakarta gramedia.
Sarwoto, 1981. Dasar-dasar Organisasi dan Manajemen,
Ghalia Indonesia, Jakarta
Subarsono. (2005). Analisis Kebijakan Publik Konsep, Te-
ori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Udoji, Chief J.O. (1981). The African Public Servant as
a Public Maker, Public Policy in Africa, Africa
Association for Public Administration and
Management, Addis Abeba.
Wahab, S.A (1997). Analisis kebijakan: dari formulasi
implementasi kebijakan negara. Ed . 2, jakarta :
bumi aksara
Winter, Søren. 1990. „Integrating Implementation
Research,‟ in Dennis J. Palumbo and Donald
J. Calista (eds), Implementation and the Policy
Process: Opening Up the Black Box, pp. 19-38.
Westport, CT: Greenwood Press.
Winter, Soren.2008.Implementation rezime and Street-
Level Bureacracts, The Danish National Centre For
Social Research

192 Kebijakan Publik


BAB 7

KOMPETENSI APARAT BIROKRASI


DALAM PERSPEKTIF IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PUBLIK

A. Tujuan
Setelah menyelesaikan Bab 7 ini, Anda diharapkan akan
dapat:
1. Mengetahui pengertian kompetensi
2. Mengetahui dan memahami konsep aparat birokrasi
3. Memahami Perilaku Birokrasi
4. Memahami Perilaku Birokrasi dalam
Pengimplementasian Kebijakan Publik
5. Memahami design Kebijakan Publik yang Detil

B. Pokok Bahasan
Pencapaian tujuan tersebut dalam Bab 7 dijelaskan :
1. Pengertian Kompetensi
2. Konsep Aparatur Birokrasi
3. Perilaku Birokrasi/Organisasi

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 193


4. Perilaku Birokrasi dalam Pengimplementasian
Kebijakan Publik
5. Design Kebijakan Publik yang Detil

C. Intisari Bacaan
1. Pengertian Kompetensi
Kompetensi adalah kemampuan kerja setiap
individu yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan
standar yang ditetapkan.
Inti dari definisi kompetensi yang dipahami
selama ini adalah mencakup penguasaan terhadap 3
jenis kemampuan, yaitu: pengetahuan (knowledge,
science), keterampilan teknis (skill, teknologi) dan
sikap perilaku (attitude).
Dalam lingkungan Human Resources,
“Kompetensi” merupakan salah satu kata yang paling
sering disebut. Berikut ini beberapa pengertian dari
Kompetensi :
a) Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk
melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan
atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan
pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang
dituntut oleh pekerjaan tersebut.
b) Kompetensi merupakan karakteristik individu yang
mendasari kinerja atau perilaku ditempat kerja.

194 Kebijakan Publik


c) Kompetensi merupakan landasan dasar karakteristik
orang dan mengindikasikan cara berperilaku atau
berpikir, menyamakan situasi, dan mendukung
untuk periode waktu yang lama (Spencer dan
Spencer, 1993:9)
d) Kompetensi sebagai kemampuan seseorang untuk
menghasilkan pada tingkat memuaskan di tempat
kerja.
Secara garis besar, kompetensi menjelaskan apa
yang dilakukan orang di tempat kerja pada berbagai
tingkatan dan memperinci standard masing-masing
tingkatan, mengidentifikasi karakteristik pengetahuan
dan ketrampilan yang diperlukan individual yang
memungkinkan menjalankan tugas dan tanggung
jawab secara efektif sehinggga mencapai standard
kualitas profesional dalam bekerja.

Terdapat 5 tipe karakteristik kompetensi :


a) Motif adalah sesuatu yang secara konsisten dipikirkan
atau diinginkan orang yang menyebabkan tindakan.
b) Sifat adalah karakteristik fisik dan respons yang
konsisten terhadap situasi atau informasi.
c) Konsep diri, adalah sikap, nilai-nilai atau citra diri
seseorang.
d) Pengetahuan, adalah informasi yang dimiliki orang
dalam bidang spesifik

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 195


e) Keterampilan, adalah kemampuan mengerjakan tugas
fisik atau mental tertentu
Michael Zwell (2000:25) mendefinisikan lima
kategori kompetensi, yaitu ;
a) Task Achievement
Merupakan kategori kompetensi yang berhubungan
dengan kinerja yang baik. Kompetensi berkaitan
dengan task achievement ditunjukkan oleh ; orientasi
pada hasil, mengelola kinerja, mempengaruhi, inisiatif,
efisiensi produksi, fleksibilitas, inovasi, peduli pada
kualitas, perbaikan berkelanjutan, dan keahlian teknis.
b) Relationship
Kategori kompetensi yang berhubungan dengan
komunikasi, memiliki hubungan kerja yang baik
dengan orang lain. Kompetensi ini meliputi; kerja
sama, orientasi pada pelayanan, kepedulian antar
pribadi, kecerdasan organisasional, membangun
hubungan, penyelesaian konflik, perhatian pada
komunikasi dan sensivitas lintas budaya.
c) Personal Attribute
Kompetensi intrinsik individu dan menghubungkan
bagaimana orang berpikir, merasa, belajar, dan
berkembang. Kompetensi ini meliputi; integritas dan
kejujuran, pengembangan diri, ketegasan, kualitas
keputusan, manajemen stress, berpikir analitis, dan
berpikir konseptual.

196 Kebijakan Publik


d) Managerial
Kompetensi yang secara spesifik berkaitan dengan
pengelolaan, pengawasan, dan mengembangkan
orang. Kompetensi manajerial berupa; memotivasi,
memberdayakan/empowering, dan mengembangkan
orang lain.
e) Leadership
Kompetensi yang berhubungan dengan memimpin
organisasi dan orang untuk mencapai maksud, visi,
dan tujuan organisasi. Kompetensi ini meliputi;
Kepemimpinan visioner, berpikir strategis, orientasi
kewirausahaan, manajemen perubahan, membangun
komitmen organisasi, membangun fokus dan maksud,
nilai-nilai.
Kondisi lingkungan bisnis menunjukkan
adanya trend peniningkatan teknologi dan terjadinya
perubahan sosial. Sumber daya manusia perlu
memahami kecenderungan organisasi multikultural
dan keberagaman kultural. Keadaan tersebut membuat
kompetensi sumber daya manusia semakin penting,
baik bagi eksekutif, manajer, maupun pekerja.
(Spencer dan Spencer, 1993:343)
a) Kompetensi yang diperlukan oleh Eksekutif.
Strategic Thinking, Change Leadership, dan
Relationship Management.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 197


b) Kompetensi yang diperlukan oleh Manajer
Flexibilitas, Change Implementation
(implementasi perubahan), Entrepreneurial
Inovation (inovasi kewirausahaan), Interpersonal
understanding (memahami hubungan antar
manusia), Empowering (memberdayakan), Team
Facilitator ( memfasilitasi Tim ), Portability
(Kemudahan menyesuaikan)
c) Kompetensi yang diperlukan oleh Pekerja
Fleksibilitas, motivasi mencari informasi dan
kemampuan belajar, Achievement motivation
(motivasi berprestasi), Work Motivation under
time pressure (motivasi kerja dalam tekanan
waktu), Collaborativeness (kesediaan bekerja
sama), Customer Service Orientation (orientasi
pada pelayanan pelanggan ).
Michael Zwell (2000:56-68) mengungkapkan
bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kecakapan kompetensi seseorang.
a) Keyakinan dan nilai-nilai
Keyakinan orang tentang dirinya maupun terhadap
orang lain akan sangat mempengaruhi perilaku.
Apabila orang percaya bahwa mereka tidak kreatif
dan inovatif, mereka tidak akan berusaha berpikir
tentang cara baru atau berbeda dalam melakukan
sesuatu. Untuk itu setiap orang harus berpikir positif

198 Kebijakan Publik


tentang dirinya, maupun terhadap orang lain dan
menunjukkan ciri orang yang berpikir ke depan.
b) Keterampilan
Dengan memperbaiki ketrampilan, individu akan
meningkat kecakapannya dalam kompetensi.
c) Pengalaman
Keahlian dari banyak kompetensi memerlukan
pengalaman. Diantaranya pengalaman dalam
mengoragnisasi orang, komunikasi dihadapan
kelompok, menyelesaikan masalah, dsb. Orang
yang tidak pernah berhubungan dengan organisasi
besar dan kompleks tidak mungkin mengembangkan
kecerdasan organisasional untuk memahami dinamika
kekuasaan dan pengaruh dalam lingkungan. Orang
yang pekerjaannya memerlukan sedikit pemikiran
strategis kurang mengembangkan kompetensi
daripada mereka yang telah menggunakan pemikiran
strategis bertahun-tahun.
d) Karakteristik kepribadian
Kepribadian bukanlah sesuatu yang tidak dapat
berubah. Kepribadian seseorang dapat berubah
sepanjang waktu. Orang merespons dan berinteraksi
dengan kekuatan dan lingkungan sekitar. Walupun
dapat berubah, kepribadian cenderung berubah dengan
tidak mudah. Tidaklah bijaksana mengharapkan orang
memperbaiki kompetensinya dengan mengubah

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 199


kepribadiannya.
e) Motivasi
Dengan memberikan dorongan, apresiasi terhadap
pekerjaan bawahan, memberikan pengakuan dan
perhatian individual dari atasan dapat memberikan
pengaruh positif terhadap motivasi seseorang
bawahan.
f) Isu Emosional
Hambatan emosional dapat membatasi penguasaan
kompetensi. Misalnya, takut membuat kesalahan,
menjadi malu, merasa tidak disukai atau tidak menjadi
bagian, semubanya cenderung membatasi motivasi
dan inisiatif.
g) Kemampuan Intelektual
Kompetensi tergantung pada pemikiran kognitif
seperti, pemikiran analitis, dan pemikiran konseptual.
h) Budaya Organisasi
Budaya organsiasi mempengaruhi kompetensi sumber
daya manusia dalam kegiatan sebagai berikut; 1)
proses recruitment dan seleksi karyawan, 2) Sistem
penghargaan, 3) Praktik pengambilan Keputusan, 4)
Filosofi organisasi ( misi-visi, dan nilai-nilai
organisasi ), 5) Kebiasaan dan prosedur, 6) Komitmen
pada pelatihan dan pengembangan , 7) Proses
Organisastional.

200 Kebijakan Publik


2. Konsep Aparatur Birokrasi
Menurut undang-undang No. 28 Tahun 1999
aparatur adalah terdiri dari:
a) Pejabat Negara pada Lembaga Negara;
b) Menteri;
c) Gubernur;
d) Hakim;
e) Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Dari pengertian ini dapat diidentifikasi beberapa
pengertian: pertama, aparatur diartikan sebagai orang/
pejabat yang memimpin suatu lembaga sekaligus
lembaganya; kedua, aparatur terdiri atas aparatur
kenegaraan dan aparatur pemerintah; ketiga, aparatur
kenegaraan adala lembaga-lembaga negara berdasarkan
UUD 1945; dan keempat, aparatur pemerintahan adalah
aparatur pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah,
termasuk BUMN dan BUMD yang berfungsi selaku
aparatur perekonomian negara. Pernyataan ini dapat
diartikan bahwa istilah Aparatur Birokrasi mencakup:
pertama, Aparatur Pemerintah yang sering disebut
juga birokrasi pemerintah, yaitu: Kementerian Negara,
Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dan
instansi vertikalnya, Aparatur Pemerintahan Daerah, dan
lainnya, yang menjalankan fungsi pemerintahan (pelayanan
dan pengaturan/pengayoman), tanpa bermotif mencari

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 201


keuntungan; kedua, Aparatur Perekonomian Negara, yaitu:
BUMN dan BUMD, yang meski menjalankan fungsi
bisnis di sektor publik, namun tidak berorientasi semata-
mata mencari keuntungan.

3. Perilaku Birokrasi/Organisasi
Perilaku birokrasi adalah pada hakekatnya
merupakan hasil interaksi birokrasi sebagai kumpulan
individu dengan lingkungannya (Thoha, 2005:138).
Perilaku birokrasi yang menyimpang lebih tepat dipandang
sebagai patologi birokrasi atau gejala penyimpangan
birokrasi (dysfunction of bureaucracy). Dalam kaitannya
dengan fenomena perilaku birokrasi maka kedudukan,
peran dan fungsinya tidak dapat dipisahkan dari individu
selaku aparat (pegawai) yang mempunyai persepsi, nilai,
motivasi dan pengetahuan dalam rangka melaksanakan
fungsi, tugas dan tanggung jawab sosial. Perilaku manusia
dalam organisasi sangat menentukan pencapaian hasil
yang maksimal dalam rangka untuk mencapai tujuan
organisasi. Thoha (2005:29) menjelaskan bahwa perilaku
manusia adalah fungsi dari interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Perilaku seorang individu terbentuk
melalui proses interaksi antara individu itu sendiri dengan
lingkungannya.
Setiap individu mempunyai karakteristik tersendiri,
dan karakteristik tersebut akan dibawanya ketika ia

202 Kebijakan Publik


memasuki lingkungan tertentu. Karakteristik ini berupa
kemampuan, kepercayaan pribadi, kebutuhan, pengalaman
dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan organisasi
sebagai lingkungan bagi individu mempunyai karakteristik
tertentu, yaitu keteraturan yang diwujudkan dalam susunan
hierarki, pekerjaan, tugas, wewenang dan tanggung jawab,
sistem imbalan dan sistem pengendalian. Jika karakteristik
individu (aparat) dan karakteristik organisasi (birokrasi)
berinteraksi, maka terbentuklah perilaku individu (aparat)
dalam organisasi (birokrasi).
Perilaku Birokrasi adalah merupakan ilmu tentang
perilaku tiap individu dan kelompok serta pengaruh tiap
individu dan kelompok terhadap organisasi, maupun
perilaku interaksi antara individu dengan individu, individu
dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok dalam
organisasi demi kemanfaatan suatu organisasi. Perilaku
organisasi juga dikenal sebagai Studi tentang organisasi.
Studi ini adalah sebuah bidang telaah akademik khusus
yang mempelajari organisasi, dengan memanfaatkan
metode-metode dari ekonomi, sosiologi, ilmu politik,
antropologi dan psikologi.
Seperti halnya ilmu sosial, perilaku organisasi
berusaha untuk mengontrol, memprediksikan, dan
menjelaskan. Ada tiga tingkatan analisis pada perilaku
organisasi, yaitu: Individu, Kelompok, Organisasi. Unsur-
unsur perilaku organisasi tersebut mengidentifikasi

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 203


macam organisasi dilihat dari budaya organisasi
tersebut, yang dapat dikelompokkan menjadi: Organisasi
formal, Organisasi Informal dan Sosial Enviorment.
Ada empat model/framework di dalam perilaku organisasi,
yang akan mempengaruhi operasi dari organisasi,yaitu:
1. Autocratic : Model ini berbasis pada kekuatan, dengan
orientasi managerial yang berwenang, maksudnya
adalah bahwa karyawan/pegawai sangat tergantung
pada pimpinan atau boss, ini membuat pencapaian
kinerja karyawan/pegawai rendah.
2. Custodial : Model yang berbasis pada ekonomi atau
benefit, dengan orientasi pada uang, maksudnya
bahwa karyawan/pegawai merasa aman, nyaman
dan mendapat keuntungan setelah berada didalam
organisasi, pencapaian dalam model ini adalah passive
cooperation.
3. Supportive: Model ini berbasis akan kepemimpinan,
karyawan/pegawai berorientasi pada kinerja (job
performance) dan partisipasi. Karyawan/pegawai pada
model ini mengejar status dan pengenalan, pencapaian
kinerja dapat dicapai dengan meningkat.
4. Collegial: Adalah model yang berdasarkan
Partnership/persekutuan/perseroan, dan berorientasi
pada kerjasama/teamwork. Karyawan/pegawai pada
model ini mempunyai tanggung-jawab dan kesadaran
berdisiplin, dalam pencapaiannya karyawan/pegawai

204 Kebijakan Publik


memiliki antusias dalam berkinerja.
Perilaku organisasi dalam beberapa jenis
pendekatan manajemen :
1. Manajemen tradisional: Tiap individu memiliki
perilaku tertentu dalam tiap proses perencanaan,
organisasi, penggerakan dan pengawasan. Tiap
kelompok/unit kerja memiliki karakteristik tertentu
dalam berinteraksi di dalam maupun antar kelompok/
unit kerja.
2. Manajemen berdasarkan sasaran : Tiap individu
atau kelompok mempunyai interest tertentu dalam
menentukan sasaran kerja tiap unit dan bahkan mutu
penentuan sasaran organisasi.
3. Manajemen stratejik : Tiap individu atau kelompok
memiliki pandangan yang berbeda dalam menganalisa
lingkungan, penentuan visi dan misi, perumusan
strategi, implementasi strategi maupun pengendalian
strategi.
4. Manajemen terpadu : Tiap individu atau kelompok
memiliki tolokukur mutu yang berbeda dan memiliki
komitmen mutu yang berbeda pula.

4. Perilaku Birokrasi Dalam Pengimplementasian


Kebijakan Publik
Aparatur Birokrasi juga memegang peranan penting
dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan berbagai

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 205


kebijakan publik, Aparatur Birokrasi pada pemerintahan
sebagai penyelenggara pelayanan publik sering atau selalu
dikeluhkan karena ketidakefisienan. Untuk mendorong
terbentuknya suatu pemerintahan yang bersih dan
berwibawa maka segenap aparatur pemerintah (birokrat)
wajib melaksanakan tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance). Kekuatan birokrasi Indonesia
sebenarnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar
biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan
kesejahteraan rakyat.
Demokratisasi kebijakan publik (Saiful Arif,
2008) sebenarnya salah satu dari sekian banyak jalan yang
ditempuh untuk mencapai kompetensi keberpihakan negara
terhadap rakyat. Dalam konteks demokrasi, pembuatan
kebijakan publik oleh negara melalui berbagai macam
kebijakan publik dan dilaksanakan mulai dari tingkat
pusat-daerah atau disebut stratifikasi politik kebijakan,
yang dibuat mencerminkan kepentingan dan kebutuhan
pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah sendiri secara
alami mempunyai peran dan fungsi pengemban hajat hidup
masyarakat. Oleh karena itu setiap kebijakan yang dibuat,
harus benar-benar menyerap seluruh kepentingan dan
kebutuhan birokrat pemerintah maupun masyarakat sendiri
sehingga dapat menyelesaikan problem real maupun laten
dari bangsa.

206 Kebijakan Publik


Implementasi program atau kebijakan merupakan
salah satu tahap yang penting dalam proses kebijakan
publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan
agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan.
Wahab dalam Setiadi (2005) mengutip pendapat
para pakar yang menyatakan bahwa proses implementasi
kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan
administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan
program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok
sasaran, tetapi juga menyangkut jaringan kekuatan-
kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung atau
tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku semua pihak
yang terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap
dampak negatif maupun positif, dengan demikian dalam
mencapai keberhasilan implemetasi, diperlukan kesamaan
pandangan tujuan yang hendak dicapai dan komitmen
semua pihak utnuk memberikan dukungan.
Keberhasilan implementasi suatu kebijakan, dapat
diukur dengan melihat kesesuaian antara pelaksanaan atau
penerapan kebijakan dengan desain, tujuan dan sasaran
kebijakan itu sendiri serta memberikan dampak atau hasil
yang positif bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi
(Ekowati, dkk 2005).
Implementasi kebijakan merupakan tahapan
yang sangat penting dalam proses kebijakan. Artinya
implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 207


proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan
dapat dihasilkan. Pentingnya implementasi kebijakan
ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154)
bahwa: “The execution of policies is as important if not more
important than policy making. Policy will remain dreams or
blue prints jackets unless they are implemented”.Agustino
(2006:155) menerangkan bahwa implementasi kebijakan
dikenal pendekatan yaitu: “Pendekatan top down yang
serupa dengan pendekatan command and control (Lester
Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up yang
serupa dengan pendekatan the market approach (Lester
Stewart, 2000:108). Pendekatan top down atau command
and control dilakukan secara tersentralisasi dimulai dari
aktor di tingkat pusat dan keputusan-keputusan diambil di
tingkat pusat. Pendekatan top down bertolak dari perspektif
bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah
ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan
oleh administratur atau birokrat yang berada pada level
bawah (street level bureaucrat)”.
Bertolak belakang dengan pendekatan top down,
pendekatan bottom up lebih menyoroti implementasi
kebijakan yang terformulasi dari inisiasi warga masyarakat.
Argumentasi yang diberikan adalah masalah dan persoalan
yang terjadi pada level daerah hanya dapat dimengerti
secara baik oleh warga setempat. Sehingga pada tahap
implementasinya pun suatu kebijakan selalu melibatkan

208 Kebijakan Publik


masyarakat secara partisipastif.
Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan
yang diterangkan Dimock & Dimock dalam Tachjan
(2006:28) sebagai berikut: “Pelaksana kebijakan
merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang
terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional,
analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi,
pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan
program, pengorganisasian, penggerakkan manusia,
pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian”.
Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi
kebijakan publik adalah birokrasi seperti yang dijelaskan
oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006:27):
“Bureaucracies are dominant in the implementation
of programs and policies and have varying degrees of
importance in other stages of the policy process. In policy
and program formulation and legitimation activities,
bureaucratic units play a large role, although they are not
dominant”.Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati
posisi dominan dalam implementasi kebijakan yang
berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan
publik dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun
tidak dominan. Suatu kebijakan publik tidak mempunyai
arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang dilakukan
dengan program, kegiatan atau proyek.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 209


Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari
pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan
implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan
atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh
pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen
yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk
tetap berada dalam asas program yang telah digariskan,
sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan
akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan
tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai
dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat
berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila
implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan
dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang
diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila
sikapnya tidak mendukung maka implementasi tidak
akan terlaksana dengan baik. Jadi implementai kebijakan
akan berhasil tergantung dari perilaku dari pada birokrasi
itu sendiri sebagai implementator dari kebijakan publik,
akan tetapi jika dilihat sekarang perilaku birokrasi belum
mencerminkan secara utuh sebagai pelayan masyarakat.
Sekalipun kebijakan yang lahir sudah bagus akan tetapi
dalam implementasi tidak sukses dikarenakan perilaku
implementator yang tidak patuh sehingga kebijakan itu
akan sulit untuk diimplementasikan dengan baik.

210 Kebijakan Publik


Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan”
dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kabijakan
(Ripley & Franklin, 1986: 11). Pendekatan kepatuhan
muncul dalam literatur administrasi publik. Pendekatan
ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan agen
atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan.
Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan
kualitas perilaku organisasi. Menurut Ripley, paling tidak
terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni:
(1) banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi
justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program yang
tidak didesain dengan baik. Perspektif kedua adalah
perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak
faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan
yang mengharuskan implementor agar lebih leluasa
mengadakan penyesuaian.
Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif,
tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik,
perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor
eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja
agen administratif. Kecenderungan itu sama sekali
tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang
juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor
non-organisasional yang mempengaruhi implementasi
kebijakan (Grindle, 1980: 7).

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 211


Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan
faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan
sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan
proses implementasi ditentukan oleh kemampuan
implementor, yaitu: (1) kepatuhan implementor mengikuti
apa yang diperintahkan oleh atasan, dan (2) kemampuan
implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai
keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal
dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual.
Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji
berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif
hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan
berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk
dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat
program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan,
agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program.
Sedangkan pada perspektif hasil, Program dapat dinilai
berhasil manakala program membawa dampak seperti
yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil
dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau
dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.

212 Kebijakan Publik


5. Design Kebijakan Publik yang detil
Perlu diperhatikan bahwa, suksesnya perumusan
kebijakan tidak memberi jaminan bahwa implementasi
kebijakan juga akan sukses. Oleh sebab itu, para eksekutif
perlu memberi perhatian pada korelasi antara perumusan
kebijakan dan implementasi kebijakan. Kalau perumusan
strategi adalah berupa persiapan dan pengerahan tenaga
sumber daya sebelum bertindak, implementasi kebijakan
justru mengelola sumber daya dan berbagai kekuatan
yang berkaitan dengan itu untuk mengoperasionalkannya.
Korelasi itu dapat kita lihat pada Tabel di bawah ini :

Tabel 7.1 : Korelasi Formulasi Kebijakan dengan Implementasi


Kebijakan.

Implementasi Formulasi Strategi


Strategi Tepat Tidak Tepat
Ekselen Sukses Selamat atau
Runtuh
Sasaran dinikmati Implementasi yang
oleh semua pihak baik, membantu
dan keutungan yang menyelamatkan
diharapkan tercapai kebijakan yang
kurang baik
rumusannya, atau
mencegah kegagalan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 213


Implementasi Formulasi Strategi
Strategi Tepat Tidak Tepat
Buruk Kesulitan Kegagalan Sebab
Implementasi yang kegagalan sulit
buruk merintangi dikenali. Kebijakan
kebijakan yang baik yang buruk
Manajemen bisa ditandai oleh
keliru menafsirkan ketidakmampuan
bahwa kebijakannya melaksanakan.
kurang tepat
Sumber: Bonoma, 1984

Dalam Tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa sel


pertama, yaitu pertemuan antara formulasi kebijakan yang
tepat dan implementasi yang ekselen, yang prima ternyata
membawa sukses. Sasaran organisasi tercapai yang
sekaligus memberi keuntungan atau kepuasan organisasi.
Kualitas pelayanan akan memuaskan konsumen.
Pada sel kedua, kanan atas, yaitu pertemuan antara
rumusan kebijakan yang kurang tepat dengan pelaksanaan
yang prima, memberi kemungkinan dua hasil, yaitu selamat
atau hancur. Selamat bahwa dengan pelaksanaan yang
prima masih dapat menyelamatkan kebijakan yang kurang
baik perumusannya, tetapi sebaliknya dapat mempercepat
kegagalan. Percepatan kegagalan itu terutama disebabkan
oleh salah penafsiran atas rumusan yang memang sudah
kurang tepat.

214 Kebijakan Publik


Pada sel ketiga, pertemuan antara kebijakan yang
rumusannya sangat tepat dengan implementasi yang
buruk ternyata menghasilkan kesulitan karena dengan
pelaksanaan yang buruk itu akan menghambat pencapaian
sasaran. Ada kemungkinan juga bukan pelaksanaan yang
buruk, melainkan rumusan kebijakan yang kurang tepat,
akibatnya adalah waktu yang begitu lama dengan segala
energi yang habis dipakai dalam proses perumusan
kebijakan itu, sia-sia semuanya.
Pada sel terakhir, kanan bawah yaitu pertemuan
antara dua penampilan yang buruk, rumusan kebijakan
yang tidak tepat diikuti dengan pelaksanaan yang yang
buruk, memberi hasil yang sudah dapat diramalkan, yaitu
kegagalan total. Apa yang diinginkan oleh para eksekutif,
apa yang dicita-citakan oleh semua jajaran unit kerja, tidak
dapat direalisasikan.
Ilustrasi yang sederhana di atas cukup memberi
peringatan bahwa kita tidak dapat merumuskan suatu
kebijakan begitu saja tanpa memikirkan berbagai
konsekuensinya, kemudian implementasinya tidak dapat
dipandang sebagai pekerjaan mudah yang cukup diserahkan
kepada eselon bawah tanpa desain yang dipersiapkan
terlebih dahulu.
Berdasarkan ilustrasi pada tabel korelasi antara
rumusan strategi dan implementasi kebijakan, maka
kebijakan publik yang terletak pada korelasi antara rumusan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 215


strategi yang kurang tepat karena tidak didukung oleh
desain yang lengkap dan tepat sehingga pelaksanaan atau
implementasi kebijakan publik cenderung tidak efektif,
karena kurang matang dalam perencanaan kebijakan.
Dalam konteks OAR (Objective, Alternative, dan
Risk) Salusu (2000) dikatakan bahwa sebuah kebijakan
harus didasarkan pada tujuan atau sasaran yang hendak
dicapai. Guna merealisasikan pencapaian sasaran itu,
diperlukan serangkain aktivitas. Jadi dapat dikatakan
bahwa implementasi adalah operasionalisasi dari berbagai
aktivitas guna mencapai suatu sasaran tertentu. dapat
tercapai.
Apabila Desain dari kebijakan jelas detilnya
maka pelaksana kebijakan dapat mengerjakannya dengan
mudah. Implementasi kebijakan adalah peralihan tanggung
jawab dari CEO kepada perangkat birokrasi operasional,
sampai kepada setiap karyawan atau staf yang mempunyai
tugas pokok dan fungsi mengimplementasikan kebijakan
tersebut.
Hal yang perlu disadari bahwa kebijakan publik
dalam bentuk Undang-Undang atau Perda adalah jenis
kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik
penjelas, yang disebut Petunjuk Pelaksanaan. Berbeda
dengan Keppres, Inpres, Kepmen, dan Keputusan Kepala
Daerah yang merupakan Kebijakan publik yang bisa
langsung operasional (Nugroho, 2002).

216 Kebijakan Publik


Proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai
apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula
bersifat umum telah diperinci, program-program aksi telah
dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan
untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran
tersebut.

D. RANGKUMAN
Kompetensi merupakan suatu karakteristik yang
mendasar dari seseorang individu, yaitu penyebab yang
terkait dengan acuan kriteria tentang kinerja yang efektif
”A competency is an underlying characteristic of an
individual that is causally related to criterion-referenced
effective and/or superior performance in a job or situation.
Kebijakan publik dapat diartikan sebagai rencana tindakan
negara atau pemerintah, yang akibat-akibat konstruktif
atau destruktifnya secara langsung berpengaruh kepada
masyarakat luas. Suatu kebijakan atau program harus
diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan
yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang
dalam pengertian luas merupakan alat administrasi
publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta
sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan
yang diinginkan.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 217


Untuk meningkatkan kemampuan aparatur birokrasi
perlu penataan dan perencanaan yang matang, termasuk
kualifikasi yang dikehendaki. Selain kemampuan untuk
memahami keadaan, aparatur birokrasi harus pula
memiliki kemampuan untuk mengikuti perkembangan.
Merekapun dituntut untuk senantiasa aktif mengamati
kemajuan-kemajuan secara umum, baik yang menyangkut
kehidupan nasional maupun yang berkaitan dengan
perkembangan internasional. Dengan demikian aparatur
birokrasi bukanlah aparatur lokal tetapi aparatur nasional.

E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN


1. Jelaskan pengertian kompetensi
2. Jelaskan pengertian Perilaku Birokrasi
3. Jelaskan perilaku birokrasi dalam Implementasi
Kebijakan Publik
4. Jelaskan design kebijakan yang detil
5. Jelaskan relevansi model banoma dengan
implementasi kebijakan publik?

218 Kebijakan Publik


DAFTAR PUSTAKA

Arif, Saiful. Rohman, Ahmad Ainur, Purnomo, Sa‟id


Mas‟ud, 2008, Reformasi Pelayanan Publik, Program
Sekolah Demokrasi Bekerja Sama dengan

Averroes Press, Malang.

Anderson, J, (1978). Public Policy-Making, Second


edition, Holt, Rinehart and

Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik.


Bandung: Alfabeta.

Dwiyanto, Agus. 2008. Reformasi Birokrasi Publik di


Indonesia.Yogyakarta Gadjah Mada University Press

Edward III, George C. 1980. Implementating Public


Policy. Washington:Congressional Quarterly Press.

Grindle, Merilee S., (ed), 1980, Politics and Apolicy


Implementation in the Third World, new jersey:
Princetown University Press.

Hicks, Herbert G and Ray Gullett, C. (1981). Organisationnal


utilizing Humang Resourcer 9. Editon. Londong :
praktices- Hall international Edition.

Lester, james., dan joseph sterwart jr. (2000). Public policy:


An Evolution ary Approach, Belmont: Wods worth.

Mas‟oed, Mohtar. 2008. Politik, Birokrasi dan


Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 219


Nugroho D, Riant. (2004). Kebijakan Publik Formulasi,
Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.

Nugroho J Setiadi, 2005. Perilaku Konsumen. Cetakan


Kedua. Kencana. Jakarta.

Nugroho, Adi. 2002. Analisis dan Perancangan Sistem


Informasi dengan Metodologi Berorientasi Objek.
Informatika:Bandung

Ripley, Ronald B and Grace Franklin. 1986. Policy


Implementation Bereaucracy. Chicago : Dorsey Press.

Salusu, J. (2000), Pengambilan Keputusan Strategik;


Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Tachjan. H. 2006. Implementasi Kebijakan Publik.


Bandung. AIPI Bandung-Luslit KP2W Lemlit Unpad

Toha, Miftah. 2005. Perilaku Organisasi Konsep dan


Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Winston: 1979 dalam Islamy, Irfan, Prinsip-Prinsip


Perumusan Kebijakan Negara, Cetakan 12, Bumi
Aksara, Jakarta:2003.

220 Kebijakan Publik


BAB 8

EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK

A. Tujuan
Setelah menyelesaikan Bab 8 ini, Anda diharapkan akan
dapat:
1. Mengetahui defenisi evaluasi kebijakan publik.
2. Mengetahui dan memahami tipe evaluasi kebijakan
publik.
3. Mengetahui dan memahami tujuan evaluasi kebijakan
publik.
4. Mengetahui dan memahami tahapan evaluasi kebijakan
publik.
5. Mengetahui dan memahami hambatan evaluasi
kebijakan publik.
6. Mengetahui dan memahami evaluasi terhadap dampak
kebijakan publik.
7. Memahami Evaluasi seluruh kebijakan bukan sebagian.
8. Mengetahui dan memahami Dimensi Evaluasi
Kebijakan Publik.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 221


B. Pokok Bahasan
Pencapaian tujuan tersebut dalam Bab 8 dijelaskan:
1. Definisi Evaluasi Kebijakan Publik
2. Tipe Evaluasi Kebijakan Publik
3. Tujuan Evaluasi Kebijakan Publik
4. Tahapan Evaluasi Kebijakan Publik
5. Hambatan Evaluasi Kebijakan Publik
6. Evaluasi terhadap Dampak Kebijakan
7. Evaluasi seluruh Kebijakan, bukan sebagian
8. Dimensi Evaluasi Kebijakan Publik

C. Intisari Bacaan
1. Defenisi Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi kebijakan dalam perspektif alur proses/
siklus kebijakan publik, menempati posisi terakhir setelah
implementasi kebijakan, sehingga sudah sewajarnya jika
kebijakan publik yang telah dibuat dan dilaksanakan lalu
dievaluasi. Dari evaluasi akan diketahui keberhasilan atau
kegagalan sebuah kebijakan, sehingga secara normatif
akan diperoleh rekomendasi apakah kebijakan dapat
dilanjutkan; atau perlu perbaikan sebelum dilanjutkan,
atau bahkan harus dihentikan. Evaluasi juga menilai
keterkaitan antara teori (kebijakan) dengan prakteknya
(implementasi) dalam bentuk dampak kebijakan, apakah
dampak tersebut sesuai dengan yang diperkirakan atau

222 Kebijakan Publik


tidak. Dari hasil evaluasi pula kita dapat menilai apakah
sebuah kebijakan/program memberikan manfaat atau
tidak bagi masyarakat yang dituju. Secara normatif fungsi
evaluasi sangat dibutuhkan sebagai bentuk pertanggung-
jawaban publik, terlebih di mata masyarakat yang makin
kritis menilai kinerja pemerintah.
Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu
saja. Kebijakan harus diawasi dan salah satu mekanisme
pengawasan tersebut disebut evaluasi kebijakan.
Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana
keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan
kepada konstituennya. Evaluasi diperlukan untuk
melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
(Nugroho,2004).
Evaluasi kebijakan merupakan kegiatan untuk
menilai atau melihat keberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan suatu kebijakan publik. Oleh karena itu,
evaluasi merupakan kegiatan pemberian nilai atas sesuatu
“fenomena” di dalamnya terkandung pertimbangan nilai
(valuejudgment) tertentu. (Mustopadidjaja, 2002:45)
Lalu, fenomena apa yang dinilai? tergantung pada
konteksnya. Jika konteksnya kebijakan publik, maka
fenomena yang dinilai menurut Mustopadidjaja, adalah
berkaitan dengan “tujuan, sasaran kebijakan, kelompok
sasaran yang ingin dipengaruhi, berbagai instrumen
kebijakan yang digunakan, responsi dari lingkungan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 223


kebijakan, kinerja yang dicapai, dampak yang terjadi dan
sebagainya”.
Evaluasi kebijakan publik adalah suatu tahap yang
sangat urgen dalam kebijakan publik, dikarenakan untuk
mengukur implementasi dari kebijakan publik tersebut,
apakah sudah tecapai dan sesuai dengan harapan atau
masih menimbulkan banyak masalah pada target group
itu sendiri. Disisi lain, banyak dari kebijakan publik yang
telah dikeluarkan oleh pemerintah namun tidak membawa
dampak (impact) yang cukup berpengaruh bagi seluruh
masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu.
Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses
untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik
dapat membuahkan hasil yaitu dengan membandingkan
antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target
kebijakan publik yang ditentukan . (Muhajir,1996)
Evaluasi kebijakan publik tidak hanya untuk melihat
hasil (outcomes) atau dampak (impacts), akan tetapi dapat
pula untuk melihat bagaimana proses pelaksanaan suatu
kebijakan dilaksanakan. Dengan kata lain, evaluasi dapat
pula digunakan untuk melihat apakah proses pelaksanaan
suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan petunjuk
teknis/pelaksanaan (guide lines) yang telah ditentukan.
Oleh karena itu, evaluasi kebijakan publik. dibedakan
dalam dua macam tipe. Pertama, tipe evaluasi hasil
(outcomes of public policy implementation) merupakan

224 Kebijakan Publik


riset yang mendasarkan diri pada tujuan kebijakan.
Kedua, tipe evaluasi proses (process of public policy
implemantation), yaitu riset evaluasi yang mendasarkan
diri pada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Ukuran keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan adalah
kesesuaian antara proses implementasi suatu kebijakan
dengan garis petunjuk (guide lines) yang telah ditetapkan.
Menurut Weiss (1972:4) unsur-unsur penting yg
terkandung dalam evaluasi kebijakan adalah :
a) Untuk mengukur dampak dengan bertumpu pada
riset yang digunakan.
b) Dampak tadi menekankan pada suatu hasil dari
efisiensi, kejujuran, moral yang melekat pada aturan-
aturan atau standar.
c) Perbandingan antara dampak (effects) dengan tujuan
(goals) menekankan pada penggunaan kriteria yang
jelas dalam menilai bagaimana suatu kebijakan telah
dilakukan dengan baik.
d) Memberikan konstribusi pada pembuatan keputusaan
selanjutnya dan perbaikan kebijakan pada masa
mendatang sebagai tujuan sosial.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
evaluasi kebijakan publik tujuan utamanya adalah
untuk mengetahui tingkat keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan suatu kebijakan publik. Selanjutnya adalah
memberikan rekomendasi kebijakan berupa keputusan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 225


tentang masa depan kebijakan publik tadi. Alternatif
rekomendasinya, menurut Weiss setidaknya adalah:
a) Kebijakan perlu diteruskan atau dihentikan
b) Diteruskan, tapi perlu diperbaiki baik prosedur,
maupun penetapannya.
c) Perlunya menambah atau mengembangkan strategi
dan teknik program-program khusus.
d) Perlunya menerapkan kebijakan program serupa di
tempat lain
e) Perlunya mengalokasikan sumberdaya langka
diantara program yang saling berkompetitif.
f) Perlunya menolak atau menerima teori atau
pendekatan kebijakan program.
Tujuan pokok evaluasi adalah untuk melihat seberapa
besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan suatu
kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana
mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut. Evaluasi
bertujuan untuk mencari kekurangan dan menutup
kekurangan.
Evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup
substansi, implementasi dan dampak (Anderson: 1975).
Evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan
fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya
dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh
proses kebijakan.

226 Kebijakan Publik


Evaluasi kebijakan adalah kegiatan untuk menilai
tingkat kinerja suatu kebijakan. Evaluasi baru dapat
dilakukan kalau suatu kebijakan sudah berjalan cukup
waktu. Memang tidak ada batasan waktu yang pasti kapan
sebuah kebijakan harus dievaluasi. Untuk dapat mengetahui
outcome, dan impact (dampak) suatu kebijakan tentu
diperlukan selang waktu tertentu, misalnya lima tahun
semenjak kebijakan itu diimplementasikan. Sebab kalau
evaluasi dilakukan terlalu dini, maka outcome dan dampak
dari suatu kebijakan belum tampak. Semakin strategis suatu
kebijakan, maka diperlukan tenggang waktu yang lebih
panjang untuk melakukan evalusai. Sebaliknya, semakin
teknis suatu program yang dilakukan, maka evaluasi dapat
dilakukan dalam kurun waktu yang relatif lebih cepat
semenjak diterapkanya kebijakan yang bersangkutan.
Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu aktifitas
yang dirancang untuk menilai hasil-hasil kebijakan
pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang
sangat penting dalam spesifikasi objeknya, teknik-teknik
pengukuranya, dan metode analisisnya. (Subarsono, 2005).
Evaluasi kebijakan merupakan proses mendapatkan
gambaran tentang kebijakan publik dalam pelaksanaanya,
alat yang dipakai dan tujuan-tujuan yang diberikan.
Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai
nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi
informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 227


kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan
kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.
Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik
terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan
target evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-
metode analisis kebijakan lainya, termasuk perumusan
masalah dan rekomendasi (Nugroho,2009).
Menurut Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang
berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi
beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program.
Mengikuti William N.Dunn (2003:608-610), istilah
evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal),
pemberian angka (rating), dan penilaian (assestment).
Evaluasi kebijakan mempunyai sejumlah
karakteristik yang membedakannya dari metode-metode
analisis kebijakan lainnya. Menurut Dunn (2003:608-
609), evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang
membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan
lainnya:
a) Fokus Nilai. Evaluasi dipusatkan pada penilaian
menyangkut keperluan atau nilai dari suatu kebijakan
dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha
untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial
kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha
mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi
kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi.

228 Kebijakan Publik


Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat
selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur
untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu
sendiri
b) Interdependensi fakta-nilai. Tuntutan evaluasi
tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk
menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu
telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau
rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil
kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok
atau seluruh masyarakat; untuk menyatakan demikian,
harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan
secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi
yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu.
Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat
bagi evaluasi.
c) Orientasi Masa kini dan Masa lampau. Tuntutan
evaluative, berbeda dengan tuntutan advokatif,
diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu,
ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat
retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (expost).
Rekomendasi juga mencakup premis-premis nilai,
bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi
dilakukan (exante).
d) Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan
evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereke

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 229


dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi
sama dengan rekomendasi yang berkenaan dengan
nilai yang ada (misalnya kesehatan) dapat dianggap
sebagai intrinsic (diperlukan bagi dirinya) ataupun
ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi
pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering
ditata di dalam suatu hierarki yang merefleksikan
kepentingan relative dan saling ketergantungan antar
tujuan dan sasaran.
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam
analisis kebijakan. Evaluasi merupakan tahapan penting
dalam pelaksanaan suatu program. Manfaat positif akan
diperoleh apabila evaluasi dijalankan dengan benar
dan memperhatikan segenap aspek yang ada dalam
suatu program. Menurut Dunn (2003:609-611) evaluasi
mempunyai sejumlah fungsi utama dalam analisis
kebijakan, yakni :
a) Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat
dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa
jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat
dicapai melalui tindakan publik.
b) Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik
terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan
dan target. Nilai diperjelas dengan mendefenisikan dan
mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik
dengan menanyakan secara sistematis kepantasan

230 Kebijakan Publik


tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah
yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan tujuan
dan sasaran, analis dapat menguji alternatif sumber
nilai (misalnya, kelompok kepentingan dan pegawai
negeri, kelompok-kelompok klien) maupun landasan
mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis,
ekonomi, legal, sosial dan subtantif).
c) Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-
metode analisis kebijakan lainnya, termasuk
perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi
tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat
memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah
kebijakan, sebagai contoh, dengan menunjukkan
bahwa tujuan dan target perlu didefenisikan ulang.
Selain hal tersebut di atas, menurut Wibawa (1994:10-
11), evaluasi kebijakan publik memiliki 4 (empat)
fungsi, yaitu :
a) Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret
realitas pelaksanaan program dan dapat
dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola
hubungan antar berbagai dimensi realitas yang
diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat
mengidentifikasi masalah, kondisi dan aktor
yang mendukung keberhasilan atau kegagalan
kebijakan.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 231


b) Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui
apakah tindakan yang dilakukan oleh para
pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya,
sesuai dengan standard dan prosedur yang
ditetapkan oleh kebijakan.
c) Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui,
apakah output benar-benar sampai ke tangan
kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada
kebocoran atau penyimpangan.
d) Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui
apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan
tersebut.
Dalam pelaksanaan evaluasi kebijakan digunakan
kriteria-kriteria umum yang dimaksudkan memberi
arahan bagi evaluator. Kriteria-kriteria yang dirumuskan
akan dapat dijadikan sebagai salah satu patokan dalam
menentukan apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal.
Dunn menggambarkan kriteria-kriteria evaluasi
kebijakan yang meliputi 6 (enam) tipe sebagai berikut:
a) Efektifitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah
suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang
diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya
tindakan.
b) Efisiensi (efficiency), berkenaan dengan jumlah
usaha yang diperlukan untuk meningkatkan tingkat
efektifitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim

232 Kebijakan Publik


dengan rasionalitas ekonomi, adalah merupakan
hubungan antara efektifitas dan usaha yang terakhir
umumnya diukur dari nilai moneternya.
c) Kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa
jauh suatu tingkat efektifitas memuaskan kebutuhan,
nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya
masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada
kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan
hasil yang diharapkan.
d) Kesamaan (equity) erat berhubungan dengan
rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada
distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok
yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang
berorientasi pada pemerataan adalah kebijakan yang
akibatnya (misalnya, unit pelayanan atau manfaat
moneter) atau usaha (misalnya biaya moneter) secara
adil didistribusikan. Kriteria kesamaan erat kaitannya
dengan konsepsi yang saling bersaing, yaitu keadilan
atau kewajaran untuk mendistribusikan resources
dalam masyarakat.
e) Responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan
seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan
kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok
masyarakat tertentu. Aspek efektifitas, efisiensi,
kecukupan, kesamaan masih gagal jika belum
menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 233


semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.
f) Ketepatan (appropriateness) adalah kriteria ketepatan
secara dekat yang berhubungan dengan rasionalitas
substantif, karena pertanyaan tentang ketepatan
kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria
individu tetapi dua atau lebih kriteria secara bersama-
sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari
tujuan-tujuan program dan kepada kuatnya asumsi
yang melandasi tujuan tersebut.
Howlet dan Ramesh (1995) mengelompokkan
evaluasi menjadi 3 (tiga) yaitu :
a) Evaluasi Administratif, yang berkenaan dengan evaluasi
sisi administratif-anggaran, efisiensi, biaya dari proses
kebijakan di dalam pemerintah yang berkenaan dengan:
1) Effort Evaluation, yang menilai dari sisi input
program yang dikembangkan oleh kebijakan.
2) Performance evaluation, yang menilai keluaran
(output) dari program yang dikembangkan oleh
kebijakan
3) Adequacy of performance evaluation atau
effectiveness evaluation, yang menilai apakah
program dijalankan sebagaimana yang sudah
ditetapkan.
4) Efficiency evaluation, yang menilai biaya program
dan memberikan penilaian tentang keefektifan
biaya tersebut.

234 Kebijakan Publik


5) Process evaluation, yang menilai metode yang
dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan
program.
b) Evaluasi judisial, yaitu evaluasi yang berkenaan
dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan
diimplementasikan, termasuk kemungkinan
pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika,
aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia.
c) Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan
konstitusi politik terhadap kebijakan publik yang
diimplementasikan.
Sesungguhnya, evaluasi kebijakan publik
mempunyai 3 (tiga) lingkup makna, yaitu evaluasi
perumusan kebijakan, evaluasi implementasi
kebijakan, dan evaluasi lingkungan kebijakan karena
ketiga komponen tersebutlah yang menentukan apakah
kebijakan akan berhasil guna atau tidak. Namun
demikian, konsep dalam konsep “evaluasi” sendiri selalu
terikut konsep “kinerja” sehingga evaluasi kebijakan
publik pada ketiga wilayah bermakna “kegiatan pasca”.
Oleh karena itu, evaluasi kebijakan publik
berkenaan tidak hanya dengan implementasinya,
melainkan berkenaan dengan perumusan, implementasi
dan lingkungan kebijakan publik. Sebagian besar
pemahaman evaluasi kebijakan berada pada domain
implementasi kebijakan. Hal ini bisa dipahami karena

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 235


memang implementasi merupakan faktor penting
kebijakan yang harus dilihat benar-benar.
Nugroho (2008) mengikuti pernyataan Sofian
Effendi yang mengatakan bahwa tujuan evaluasi
implementasi kebijakan publik adalah untuk
mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja
yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan
pokok, yaitu :
a) Bagaimana kinerja implementasi kebijakan
publik?
b) Faktor- faktor apasaja yang menyebabkan variasi
itu? Bagaimana strategi meningkatkan kinerja
implementasi kebijakan publik? Pertanyaan ini
berkenaan dengan “tugas” pengevaluasi untuk
memilih variabel-variabel yang dapat diubah atau
actionable variable yang bersifat natural atau
variabel lain yang tidak bisa diubah tidak dapat
memasukkan sebagai variabel evaluasi.

2. Tipe Evaluasi Kebijakan Publik


Menurut Langbein (1980:5), tipe riset evaluasi
dibagi menjadi 2 macam tipe: riset process dan riset
outcomes. Metode riset juga dibedakan menjadi metode
deskriptif dan kausal.
Metode deskriptif lebih mengarah kepada tipe
penelitian evaluasi proses (process of public policy

236 Kebijakan Publik


implementation), sementara metode kausal lebih
mengarah pada penelitian evaluasi dampak (outcomes
of public policy implementation).
Menurut James Anderson dalam Winarno (2008
: 229) membagi evaluasi kebijakan dalam tiga tipe,
masing-masing tipe evaluasi yang diperkenalkan ini
didasarkan pada pemahaman para evaluator terhadap
evaluasi, sebagai berikut:
a) Tipe pertama Evaluasi kebijakan dipahami sebagai
kegiatan fungsional. Bila evaluasi kebijakan
dipahami sebagai kegiatan fungsional, evaluasi
kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama
pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.
b) Tipe kedua merupakan tipe evaluasi yang
memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau
program-program tertentu. Tipe evaluasi ini lebih
membicarakan sesuatu mengenai kejujuran atau
efisiensi dalam melaksanakan program.
c) Tipe ketiga Tipe evaluasi kebijakan sistematis,
tipe kebijakan ini melihat secara obyektif program-
program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur
dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauhmana
tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai.
Menurut Edi Suharto (2012: 86), model-model
yang umumnya digunakan dalam analisis kebijakan
publik adalah:

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 237


a) Model Prospektif adalah bentuk kebijakan yang
mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-
konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan
diterapkan. Model ini dapat disebut juga model
prediktif.
b) Model Retrospektif adalah analisis kebijakan yang
dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah
kebijakan diimplementasikan. Model ini biasa
disebut model evaluatif, karena banyak melibatkan
pendekatan evaluasi terhadap dampak-dampak
kebijakan yang sedang atau telah diterapkan.
c) Model Integratif adalah model perpaduan antara
kedua model diatas. Model ini kerap disebut
sebagai model komprehensif atau model holistik,
karena analisis dilakukan terhadap konsekuensi-
konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul,
baik sebelum maupun sesudah suatu kebijakan
dioperasikan.

3. Tujuan Evaluasi Kebijakan


Evaluasi memiliki beberapa tujuan menurut
Subarsono (2005) yang dapat dirinci sebagai berikut:
a) Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui
evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian
tujuan dan sasaran kebijakan.
b) Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan

238 Kebijakan Publik


evaluasi juga dapat diketahui beberapa biaya dan
manfaat dari suatu kebijakan.
c) Mengujur tingkat keluaran (outcome) suatu
kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah
mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran
(output) dari suatu kebijakan.
d) Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih
lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak
dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun
dampak negatifnya.
e) Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan,
evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya
penyimpangan-penyimpangan yang mungkin
terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan
dan sasaran dengan pencapaian target.
f) Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan
yang akan datang. Tujuan akhir dari evaluasi
kebijakan adalah untuk memberikan masukan bagi
proses kebijakan kedepan agar dihasilkan kebijakan-
kebijakan yang lebih baik.

4. TahapanEvaluasi Kebijakan
Tahap evaluasi kebijakan publik menurut
Subarsono (2005):
a) Spesifikasi adalah mengidentifikasi tujuan-tujuan
serta kriteria-kriteria yang harus dievaluasi dalam

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 239


suatu proses atau kebijakan tertentu. Spesifikasi
adalah merupakan cara dimana manfaat harus dinilai
atau dipertimbangkan.
b) Pengukuran (measurement), secara sederhana
mengacu pada pengumpulan informasi yang relevan
dengan tujuan kebijakan.
c) Analisis adalah penyerapan dan penggunaan
informasi yang dikumpulkan guna membuat
kesimpulan.
d) Rekomendasi, merupakan suatu penentuan apa yang
seharusnya dilakukan selanjutnya.

5. Hambatan Evaluasi Kebijakan


Berbeda dengan tahapan proses kebijakan publik
yang lain relatif mendapat banyak perhatian, maka
tahap evaluasi kebijakan sering kurang mendapat
perhatian, baik dari kalangan implementator maupun
stekholder yang lain. Suatu program sering hanya
berhenti pada tahap implementasi , tanpa diikuti tahap
evaluasi. Berikut ini diidentifikasi berbagai kendala dan
hambatan dalam melakukan evaluasi kebijakan.
a) Kendala psikologis, banyak aparat pemerintah
masih alergi terhadap kegiatan evaluasi, karena
dipandang berkaitan dengan prestasi dirinya.
Apabila evaluasi menunjukkan kurang baik, bisa
jadi akan menghambat karier mereka. Sehingga

240 Kebijakan Publik


banyak aparat memandang kegiatan evaluasi bukan
merupakan bagian penting dari proses kebijakan
publik. Evaluasi hanya dipahami sebagai kegiatan
tambahan yang boleh dilakukan atau tidak.
b) Kendala politis. Evaluasi sering terbentur dan
bahkan gagal karena alasan politis. Masing-masing
kelompok bisa jadi saling menutupi kelemahanya
dari implementasi suatu program dikarenakan ada
deal atau bargaining politik tertentu. Briant dan
White, (1987)
c) Kendala ekonomis, kegiatan evaluasi membutuhkan
biaya yang tidak sedikit, seperti biaya untuk
pengumpulan dan pengolahan data , biaya untuk
para staf administrasi, dan biaya para evaluator.
Proses evaluasi akan mengalami hambatan apabila
tanpa dukungan finansial.
d) Kendala teknis, evaluator sering dihadapkan pada
masalah baik tersedianya cukup data dan informasi
yang up to date, disamping itu, data yang ada
kualitasnya kurang baik, karena supply data kepada
suatu instansi yang lebih tinggi dari instansi yang
lebih rendah hanya dipandang sebagai pekerjaan
rutin dan formalitas tanpa memperhitungkan
substansinya.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 241


6. Evaluasi Terhadap Dampak Kebijakan
Menurut Wibawa dkk (1994: 29): Evaluasi
dampak memberikan perhatian yang lebih besar kepada
output dan dampak kebijakan dibandingkan kepada
proses pelaksanaannya, sekalipun yang terakhir ini
tidak dikesampingkan dari penelitian evaluatif. Dampak
yang diharapkan mengandung pengertian bahwa ketika
kebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau
memetakan dampak apa saja akan terjadi. Diantara
dampak-dampak yang diduga akan terjadi ini, ada
dampak yang diharapkan dan ada yang tak diharapkan.
Pada akhir implementasi kebijakan menilai pula
dampak-dampak yang tak terduga, yang diantaranya
ada yang diharapkan dan tak diharapkan, atau yang
diinginkan dan tak diinginkan.
a) Peramalan
Menurut Wibawa dkk (1994: 30): Dalam proses
pembuatan kebijakan ada sebuah tahap yang sangat
penting, yakni peramalan atau forecasting. Karena
kebijakan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi
tertentu di masa depan, dan usaha penciptaan itu akan
terkait erat dengan perkembangan lingkungannya,
baik sebagai sasaran perubahan kondisi maupun
sekaligus sebagai penyedia sumber daya, maka
peramalan merupakan tahap yang cukup krusial.
Ketidaktepatan peramalan, yang terwujud sebagai

242 Kebijakan Publik


overestimating ataupun underestimating, dapat
menjadikan kebijakan yang dibuat tidak efektif.
Beberapa waduk atau bendungan air yang telah
kurang berfungsi pada usianya yang ke-20 tahun
(dari umur yang diharapkan100 tahun), misalnya,
merupakan hasil dari yang ramalannya tentang
tingkat erosi daerah aliran sungai tidak tepat.
Mungkin para pembuat kebijakan tersebut tidak
mampu meramalkan kebutuhan peramalan dan
industri yang selain mengakibatkan meningkatnya
permintaan ruang untuk tempat tinggal dan pabrik
yang mengakibatkan berkurangnya daerah resapan
air juga mengakibatkan tingginya permintaan
terhadap produk hutan, sehingga erosi lebih
mungkin terjadi. Peramalan atau forecasting tersebut
dapat kita pandang sebagai suatu bentuk evaluasi,
yakni evaluasi yang dilakukan sebelum kebijakan
ditetapkan atau dijalankan. Istilah lain dari evaluasi
semacam ini adalah estimating, assessment, prediksi
atau prakiraan. Evaluasi pada tahap pra kebijakan
ini dapat berupa prediksi tentang output kebijakan
maupun dampaknya. Evaluasi berbicara tentang
assessment terhadap dampak kebijakan, khususnya
dampak sosial. Untuk mudahnya digunakan istilah
yang telah cukup populer, yaitu Analisis Dampak
Kebijakan (ADS).

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 243


b) Karakteristik Analisis Dampak Sosial (ADS)
Menurut Effendi (dalam Samodra Wibawa
dkk, 1994: 31): Sebagaimana beberapa sifat yang
dituntut dalam setiap penelitian, ADS sebagai
kerja intelektual harus bersifat empiris, tidak bisa,
rasional, handal dan sahih. dengan kata lain, ADS
haruslah dilakukan secara logika empiris. Analisis
harus bersifat empirik dalam arti bahwa penilaian
yang dilakukan tidak boleh hanya bersifat spekulatif
hipotetik atau asumtif-teoretik, melainkan mesti
diuji atau dikuatkan dengan data atau setidaknya
hasil penelitian yang pernah dilakukan. Selanjutnya,
karena analisis itu dilakukan terhadap altematif yang
tersedia, yang hasilnya nanti adalah pemilihan kita
terhadap alternatif yang paling tepat atau baik, maka
kita harus bersikap tidak memihak atau bias terhadap
salah satu altematif. Maksudnya, sebelum analisis
dilakukan, kita tidak menentukan atau memilih
altematif mana yang kita anggap baik.
Menurut Finsterbusch and Motz (dalam Samodra
Wibawa dkk, 1994: 33): Sementara itu kita juga
perlu menjaga validitas hasil analisis. Tidak itu
saja, prosedur analisis pun hendaknya handal
atau reliabel, dan data atau informasi yang kita
himpun hendaknya cukup akurat. Data yang berasal
dari birokrasi pemerintah seringkali tidak dapat

244 Kebijakan Publik


diandalkan validitas atau keakuratannya, terutama
jika data itu kita peroleh dari buku laporan seorang
bawahan kepada atasannya. Pada akhirnya, analisis
tersebut dilakukan secara rasional, dalam arti
sistematis dan dapat dipertanggung jawabkan di
hadapan para pakar yang diakui otoritasnya. Sudah
tentu ADS dengan karakterisitik tadi hanya dapat
diterapkan dan berfaedah apabila proses pembuatan
kebijakannya pun bersifat rasional pula. Dalam hal ini
kebijakan yang dianalisis haruslah memiliki tujuan
maupun alternatif-alternatif tidakan yang jelas,
disamping sudah tentu policy maker-nya terbuka
untuk dikritik. Demikian juga ada kriteria yang jelas
dan standar yang tidak ganda untuk mengevaluasi
setiap alternatif, sehingga secara obyektif kita dapat
memilih alternatif yang terbaik.
Apabila kebijakan dibuat dengan pertimbangan
yang kurang obyektif maka ADS sukar dilaksanakan.
Analisis semacam ini dipaksakan untuk memberikan
legitimasi “ilmiah” terhadap kebijakan. Jika
analisis dilakukan secara rasional, maka hasilnya
kemungkinan besar tidak akan dimanfaatkan oleh
pembuat kebijakan.
c) Langkah-Langkah ADS
Menurut Wibawa dkk (1994: 34): Seorang
analis dalam ADS setidaknya mengerjakan tiga

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 245


hal, yaitu: (1) secara vertikal memetakan jenis-jenis
dampak yang mungkin terjadi, (2) secara horisontal
melihat maupun memprediksi kecenderungan reaksi
yang diberikan oleh subyek yang terkena dampak
tersebut, dan (3) secara komprehensif merumuskan
penyesuaian kebijakan yang harus dilakukan oleh
policy maker. Sebelum mengerjakan ini semua,
analis harus mernbatasi altematif kebijakan yang
akan dievaluasi. Sebab, kebijakan bisa memiliki
alternatif yang tidak terbatas, yang tidak mungkin
dianalisis semuanya. Oleh karena itu, terlebih dahulu
analis perlu secara konseptual menentukan alternatif
kebijakan yang potensial, untuk diimplementasikan.
Finsterbusch and Motz (Samodra Wibawa dkk,
1994: 33-34): Cara termudah untuk mempersempit
alternatif kebijakan adalah dengan menjawab
pertanyaan “Aspek apa dan yang mengenai kelompok
sosial mana yang perlu dikaji?” Sebagai contoh, ada
rancangan kebijakan untuk menambah ruas jalan dari
kecamatan-kecamatan ke pusat bisnis di perkotaan.
Pertanyaannya adalah “Apakah penambahan
tersebut betul-betul diperlukan? Mengapa?” Setelah
itu, “Ruas mana yang perlu dikaji lebih intensif?”
Setelah ditentukan ruas yang perlu dicermati, maka
pertanyaannya adalah “Memang perlu benarkah
ruas ini dibangun? Mengapa?” Jika jawabannya

246 Kebijakan Publik


positif, barulah dilakukan analisis terhadap aspek
keteknikan, dampaknya terhadap masyarakat dan
juga kemungkinan peningkatan peruntukan atau
pemanfaatan tanah.
Beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk
memilih dampak yang dijadikan fokus analisis
(Finster busch and Motz, 1980) dalam Samodra
Wibawa dkk, 1994: 34-35) adalah sebagai berikut:
• Peluang terjadinya dampak
• Jumlah orang yang akan terkena dampak.
• Untung-rugi yang diderita subyek dampak.
• Ketersediaan data untuk melakukan analisis.
• Relevansi terhadap kebijakan.
• Perhatian publik terhadap dampak tersebut.
ADS dimulai dengan menetapkan kebijakan
apa yang akan dianalisis. Dalam hal ini dilihat
teknologi apa yang dipakai dalam kebijakan atau
program tersebut dan bagaimana langkah-langkah
implementasinya. Dengan demikian, kajian terhadap
isi kebijakan tersebut selain dilakukan terhadap
aspek teknologinya juga terhadap aspek manajemen
programnya. Setelah itu barulah dianalisis apa dampak
fisik dan ekonomi yang secara teoretik (normatif)
dapat terjadi. Selain dampak fisik dan ekonomi juga
perlu dianalisis dampak lingkungan pada umumnya.
Langkah kedua adalah pendeskripsian dampak

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 247


sosial dari kebijakan tersebut. Jika pada langkah
pertama telah dianalisis dampak fisik dan ekonomi
secara global, maka dalam langkah kedua ini secara
spesifik dan rinci dianalisis dampak sosialnya.
Dalam hal ini ada dua kategori yang harus dianalisis,
yakni unit pedampak dalam arti unit sosial yang
terkena dampak dan jenis atau aspek dampak dalam
anti bidang kehidupan yang terkena dampak. Unit
dampak terdiri dari individu dan keluarga, masyarakat
(RT, RW, desa, kecamatan atau kota), organisasi
dan kelompok sosial, serta lembaga dan sistem
sosial pada umumnya. Sementara itu aspek dampak
meliputi ekonomi, politik, sosial (dalam arti sempit)
dan budaya. Langkah ketiga adalah menentukan
respon individu maupun kelompok yang menjadi
unit dampak. Sikap mereka terhadap program atau
kebijakan secara keseluruhan dianalisis pada tahap
ketiga ini. Selain sikap unit pedampak, perlu dikaji
pula sikap dari masyarakat publik dan pengguna atau
pemanfaat program pada umumnya, dan juga sikap
pegawai dan pejabat pemerintah. Hal yang terakhir
perlu dilakukan, sebab bagaimanapun juga sikap dan
pandangan mereka tidak selalu homogen. Setelah
melihat sikap kelompok-kelompok tersebut terhadap
program, analis harus melihat adaptasi mereka
terhadap program dan juga apa usaha yang mereka

248 Kebijakan Publik


lakukan jika ada, terutama dari kalangan pejabat
pemerintah untuk memodifikasi program.
Informasi yang diperoleh dari ketiga langkah
tersebut di atas kemudian dimanfaatkan untuk
merumuskan beberapa tindakan penyesuaian
kebijakan (policy adjustments) yang dipandang
perlu. Dalam rumusan ini, penyesuaian bisa
dilakukan terhadap tujuan program itu sendiri,
maupun hanya terhadap waktu pelaksanaan serta
syarat dari prosedurnya. Tidak itusaja, penyesuaian
kebijakan juga dimaksudkan untuk lebih merinci
kebijakan, misalnya perlu diperjelas regulasi dan
persyaratan lainnya, serta memberikan tambahan
instrumen kebijakan seperti bantuan terhadap
pedampak (korban), menyediakan saluran kontrol
sosial, dan menambah fasilitas lain.

7. Evaluasi seluruh kebijakan, bukan sebagian


Mustopadidjaja (2002:45) menegaskan bahwa
evaluasi kebijakan dapat dilakukan pada tahap pemantauan,
pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban.
Evaluasi kinerja pada pemantauan dimaksudkan
untuk mendapatkan informasi dini mengenai perkembangan
pelaksanaan kebijakan pada momentum atau dalam jangka
waktu tertentu sehingga dapat diketahui hal-hal yang perlu
diperbaiki, baik mengenai sistem dan proses pelaksanaan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 249


maupun kebijakan itu sendiri agar rumusan kebijakan
lebih tepat, pelaksanaan kebijakan dapat berjalan dengan
baik, dan tujuan kebijakan dapat dicapai lebih optimal.
Selain itu, evaluasi kinerja pada pemantauan ini juga
dapat diperoleh identifikasi kelemahan kebijakan dan
penyimpangan terhadap sistem dan Proses pelaksanaan
kebijakan, serta saran koreksi terhadap penyimpangan
pelaksanaan ataupun terhadap kebijakan itu sendiri.
Evaluasi pada perumusan dilakukan pada sisi post-
tindakan, yaitu lebih pada proses perumusan daripada
muatan kebijakan yang bisanya hanya menilai apakah
prosesnya sudah sesuai dengan prosedur yang sudah
disepakati.
Evaluasi kinerja dalam rangka pengawasan harus
dapat memberikan informasi obyektif mengenai tingkat
capaian pelaksanaan kebijakan pada momentum atau
dalam jangka waktu tertentu mengenai kekeliruan atau
penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan
serta rekomendasi mengenai tindak lanjut hasil temuan
pengawasan.
Evaluasi kinerja pada tahap pertanggungjawaban
harus dapat memberikan analisis obyektif mengenai
perkembangan pelaksanaan, perubahan atau penyesuaian
yang telah dilakukan berikut alasannya dan penilaian
tingkat capaian kinerja dalam jangka waktu tertentu.

250 Kebijakan Publik


Studi evaluasi kebijakan (Sudiyono, 1992)
merupakan suatu analisis yang bersifat evaluatif sehingga
konsekuensinya lebih restrospeksi dibandingkan
prospeksi. Dan dalam mengevaluasi seorang analis
berusaha mengidentifikasi efek yang semula direncanakan
untuk merealisir suatu keberhasilan dan dampak apa yang
ditimbulkan dari akibat suatu kebijakan.
Studi evaluasi ini mempunyai 2 (dua) pendekatan
(Sudiyono,1992) yaitu :
a) Pendekatan kepatuhan, asumsinya apabila para
pelaksana mematuhi semua petunjuk atau aturan yang
diberikan maka implementasi sudah dinilai berhasil.
Kemudian pendekatan ini disempurnakan lagi dengan
adanya pengaruh : a) ekstern, kekuatan non birokrasi
dalam pencapaian tujuan, b) intern, program yang
dimaksudkan untuk melaksanakan suatu kebijakan
sering tidak terdesain dengan baik sehingga perilaku
yang baik dari para pelaksana (birokrasi) tetap tidak
akan berhasil dalam mencapai tujuan kebijakan.
b) Pendekatan perspektif, “what’s happening (apa yang
terjadi). Pendekatan ini menggambarkan pelaksanaan
suatu kebijakan dari seluruh aspek karena implementasi
kebijakan melibatkan beragam variabel dan faktor.
Dalam studi evaluasi, menurut Finsterbusch dan
Motz (dalam wibawa dkk, 1994) terdapat 4 (empat)
jenis evaluasi yaitu :

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 251


a) Single program after only, merupakan jenis evaluasi
yang melakukan pengukuran kondisi atau penilaian
terhadap program setelah meneliti setiap variabel yang
dijadikan kriteria program. Sehingga analis tidak
mengetahui baik atau buruk respon kelompok sasaran
terhadap program.
b) Single program befora-after, merupakan penyempurnaan
dari jenis pertama yaitu adanya data tentang sasaran
program pada waktu sebelum dan setelah program
berlangsung.
c) Comparative after only, merupakan penyempurnaan
evaluasi kedua tapi tidak untuk yang pertama dan analis
hanya melihat sisi keadaan sasaran bukan sasarannya.
d) Comparative before-after, merupakan kombinasi ketiga
desain sehingga informasi yang diperoleh adalah efek
program terhadap kelompok sasaran.

8. Dimensi Evaluasi Kebijakan Publik


Secara garis besar ada dua dimensi penting yang
harus diperoleh informasinya dari studi evaluasi kebijakan
publik. Dimeensi tersebut adalah :
1. Evaluasi kinerja pencapaian tujuan kebijakan,
yakni mengevaluasi kinerja orang-orang yang
bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan.
Darinyakita akan memperoleh jawaban atau
informasi mengenai kinerja implementasi, efektifitas

252 Kebijakan Publik


dan efisiensi, dan sebagainya yang terkait.
2. Evaluasi kebijakan dan dampaknya, yakni
mengevaluasi kebijakan itu sendiri serta kandungan
programnya. Sehingga kita akan memperoleh
informasi mengenai manfaat (efek) kebijakan, dampak
(outcome) kebijakan, kesesuaian kebijakan/program
dengan tujuan yang ingin dicapainya (kesesuaian
antara sarana dan tujuan).
Menurut Palumbo, dimensi kajian pada studi evaluasi
mencakup keseluruhan siklus di dalam proses kebijakan,
dari saat penyusunan desain kebijakan, saat implementasi,
hingga saat selesai diimplementasikan. Kajian dalam studi
evaluasi kebijakan meliputi dimensi-dimensi :
1. Evaluasi Proses pembuatan kebijakan atau sebelum
kebijakan dilaksanakan. Pada tahap ini, menurut
Palumbo diperlukan dua kali evaluasi. Pertama, evaluasi
desain kebijakan, untuk menilai apakah alternative-
alternatif yang dipilih sudah merupakan alternative
yang paling hemat dengan mengukur hubungan antara
biaya dengan manfaat (cost-benefit analysis, dan lain-
lain yang bersifat rasional dan terukur. Kedua, evaluasi
legitimasi kebijakan, untuk menilai derajat penerimaan
suatu kebijakan atau program oleh masyarakat/
stakeholder/kelompok sasaran yang dituju oleh
kebijakan tersebut. Metode Evaluasi diperoleh melalui
jajak pendapat (pooling), survey, dll

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 253


2. Evaluasi Formatif yang dilakukan pada saat proses
implementasi kebijakan sedang berlangsung. Tujuan
evaluasi formatif ini utamanya adalah untuk mengetahui
seberapa jauh sebuah program diimplementasikan
dan kondisi-kondisi apa yang dapat diupayakan
untuk meningkatkan keberhasilannya. Dalam istilah
manajemen, evaluasi formatif adalah monitoring
terhadap pengaplikasian kebijakan.
3. Evaluasi sumatif yang dilakukan pada saat kebijakan
telah diimplementasikan dan memberikan dampak.
Tujuan evaluasi sumatif adalah untuk mengukur
bagaimana efektifitas kebijakan/program tersebut
member dampak yang nyata pada problem yang
ditangani.

Evaluasi Formatif
Evaluasi Formatif adalah untuk mengevaluasi
pelaksanaan program yang memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Merupakan evaluasi terhadap proses
2. Menilai tingkat kepatuhan pelaksana atas standard
aturan
3. Menggunakan model-model dalam implementasi
4. Biasanya bersifat kuantitatif
5. Melihat dampak jangka pendek dari pelaksanaan
kebijakan/ program.

254 Kebijakan Publik


Tujuan evaluasi formatif ini adalah untuk melihat :
1. Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi
yang tepat.
2. Apakah penyampaian pelayanannya telah sesuai dan
konsisten dengan spesifikasi program atau tidak;
3. Sumberdaya apa yang dikeluarkan dalam melaksanakan
program tersebut (Rossi & Freeman dalam Parsons,
h.550).

Jenis Evaluasi Formatif


1. Evaluasi administratif : Biasanya evaluasi
administrative dilakukan dalam lingkup pemerintahan
yang dikaitkan dengan aspek-aspek ketaatan finansial
dan prosedur.
2. Evaluasi Yudisial : Evaluasi yang berkaitan dengan
obyek-obyek hukum
3. Evaluasi Politik : Evaluasi yg dilakukan oleh lembaga-
lembaga politik

Aspek-Aspek Evaluasi Formatif


Aspek-aspek kinerja implementasi yang dievaluasi
dalam evaluasi formatif ini adalah :
1. Effort Evaluation: Mengevaluasi kecukupan input
program
2. Performance Evaluation: Mengkaji output
dibandingkan dengan input program.
3. Effectiveness Evaluation: Mengkaji apakah
pelaksanaannya sesuai dengan sasaran & tujuan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 255


4. Effeciency Evaluation: Membandingkan biaya dengan
output yang dicapai
5. Process Evaluation: Mengkaji metode pelaksanaan,
aturan dan prosedur dalam pelaksanaan.

Evaluasi Sumatif/Evaluasi Dampak


Dampak adalah perubahan kondisi fisik maupun
sosial sebagai akibat dari output kebijakan ; Akibat
yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada
kelompok sasaran (baik akibat yang diharapkan atau tidak
diharapkan), dan sejauh mana akibat tersebut mampu
menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran
(impact); Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi
program pada kelompok sasaran, baik yang sesuai dengan
yang diharapkan ataupun tidak dan apakah akibat tersebut
tidak mampu menimbulkan perilaku baru pada kelompok
sasaran (effects).

Tujuan Evaluasi Sumatif/Dampak


Evaluasi sumatif umumnya dilakukan untuk
memperoleh informasi terkait dengan efektifitas
sebuah kebijakan/program terhadap permasalahan yang
diintervensi. Evaluasi ini bertujuan untuk:
a. Menilai apakah program telah membawa dampak
yang diinginkan terhadap individu, rumah tangga
dan lembaga

256 Kebijakan Publik


b. Menilai apakah dampak tersebut berkaitan dengan
intervensi program
c. Mengeksplore apakah ada akibat yang tidak
diperkirakan baik yang positif maupun yang negatif
d. Mengkaji bagaimana program mempengaruhi
kelompok sasaran, dan apakah perbaikan kondisi
kelompok sasaran betul-betul disebabkan oleh
adanya program tersebut ataukah karena faktor
lain.

Dimensi Dampak
Dimensi dampak yang dikaji dalam evaluasi kebijakan
ini meliputi
a. Dampak pada masalah publik (pada kelompok
sasaran) yang diharapkan atau tidak.
b. Dampak pada kelompok di luar sasaran sering
disebut eksternalitas / dampak melimpah (spillover
effects)
c. Dampak sekarang dan dampak yang akan datang.
d. Dampak biaya langsung yang dikeluarkan untuk
membiayai program dan dampak biaya tak
langsung yang dikeluarkan publik akibat suatu
kebijakan (misalnya dampak terhadap pengeluaran
rumah-tangga akibat relokasi pemukiman yang
menyebabkan jarak ke sekolah/tempatkerja makin
jauh, dlsb).

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 257


Tipe Dampak
Ada 4 tipe utama dampak program :
a. Dampak pada kehidupan ekonomi : penghasilan, nilai
tambah dsb
b. Dampak pada proses pembuatan kebijakan: apa yg
akan dilakukan pada kebijakan berikutnya
c. Dampak pada sikap publik : dukungan pada pemerintah,
pada program dsb
d. Dampak pada kualitas kehidupan individu, kelompok
dan masyarakat yg bersifat non ekonomis.

Unit-Unit Sosial Terdampak


Sebuah kebijakan/program dapat membawa dampak pada
berbagai unit sosial
1. Dampak individual : biologis (penyakit, cacat fisik
dsb karena kebijakan teknologi nuklir misalnya),
psikologis (stress, depresi, emosi dsb), lingkungan
hidup (tergusur, pindah rumah dsb), ekonomis
(naik turunnya penghasilan, harga, keuntungan
dsb), sosial serta personal
2. Dampak organisasional : langsung (terganggu atau
terbantunya pencapaian tujuan organisasi), tak
langsung (peningkatan semangat kerja, disiplin)
3. Dampak pada masyarakat (meningkatnya
kesejahteraan; dlsb)

258 Kebijakan Publik


4. Dampak pada lembaga dan sistem sosial
(meningkatnya kesadaran kolektif masyarakat;
menguatnya solidaritas sosial, dlsb).

Faktor-Faktor Kegagalan Dampak


Sebuah kebijakan/program bisa saja gagal
memperoleh dampak yang diharapkan meski proses
implementasi berhasil mewujudkan output sebagaimana
yang dituntut oleh program tersebut, namun ternyata gagal
mencapai outcomesnya; apalagi jika proses implementasi
gagal mewujudkan keduanya. Hal ini menurut Anderson
bisa saja disebabkan karena :
1. Sumber daya yang tidak memadai
2. Cara implementasi yang tidak tepat (misalkan pilihan-
pilihan tindakan yang kontra produktif seperti studi
banding atau membeli mobil bagi pejabat yang
memakan banyak biaya dengan tujuan meningkatkan
kapasitas layanan)
3. Masalah publik sering disebabkan banyak faktor tetapi
kebijakan yang dibuat hanya mengatasi satu faktor saja
4. Cara menanggapi kebijakan yang justru dapat
mengurangi dampak yang diinginkan (misalkan
karena takut dianggap melanggar prosedur, maka
implementor bertindak sesuai „textbook‟ walau
situasinya mungkin berbeda)

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 259


5. Tujuan-tujuan kebijakan tak sebanding bahkan
bertentangan satu sama lain (misalnya kebijakan untuk
menumbuhkan industri dalam negeri yang memberi
insentif pajak dan kemudahan modal; tapi di sisi lain
ada kebijakan kenaikan harga listrik dan kenaikan
harga sumber energi, dll)
6. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dari
masalahnya (yang ini sering terjadi di Indonesia,
terutama karena seringnya terjadi mark-up harga,
ataupun karena bentuk-bentuk kegiatan yang terkesan
dicari-cari untuk penyerapan anggaran yang seharusnya
tidak dibutuhkan.
7. Banyak masalah publik yang tak mungkin dapat
diselesaikan
8. Timbulnya masalah baru sehingga mendorong
pengalihan perhatian dan tindakan
9. Sifat dari masalah yang akan dipecahkan (Anderson,
1996)

Kriteria yang harus dipenuhi dalam evaluasi :


1. Relevansi : harus mampu memberikan informasi yang
tepat pada pembuat dan pelaku kebijakan, mampu
menjawab secara benar pertanyaan dalam waktu yang
tepat
2. Signifikan : harus mampu memberikan informasi yang
baru dan penting.

260 Kebijakan Publik


3. Validitas : mampu memberikan pertimbangan yang
tepat sesuai dengan hasil nyata/data empiric mengenai
hasil kebijakan.
4. Reliabilitas : dapat membuktikan bahwa hasilnya
diperoleh dengan penelitian yang teliti
5. Obyektif : tidak memihak /bias
6. Tepat waktu
7. Daya guna : hasil penelitian dapat dipahami dan
dimanfaatkan oleh pelaku dan pembuat kebijakan
Contoh Evaluasi Kebijakan Publik adalah Evaluasi
Kebijakan Umum Anggaran Daerah yang Responsif
Gender di Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju.(Andi
Elva Susanti)
Pengintegrasian kesetaraan gender sudah menjadi
salah satu strategi pembangunan di Indonesia yang dalam
rencana pembangunan jangka menengah 2010-2014,
bahkan secara eksplisit sudah ada sejak tahun 2000 dalam
dokumen program Pembangunan Nasiona (propenas).
Dengan keberadaannya di dalam Pembangunan Nasional,
maka sudah sepatutnya pelaku pembangunan baik di
pihak pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha dapat
memahami dengan baik apa yang di maksud dengan
kesetaraan gender dan bagaimana perannya di dalam
pembangunan.
Berdasarkan data United Nation Depelopment
Program (UNDP) 2002, tingkat harapan hidup di Mamuju

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 261


termasuk yang terendah jika dibandingkan dengan
kabupaten/kota lainnya di Sulsel (sebelum pemekaran
ke Sulbar). Ironisnya, tingkat harapan hidup tersebut
sampai tahun 2006 (setelah pemekaran ke Sulawesi Barat)
cenderung semakin rendah. Ini dapat dilihat dari angka
kematian ibu yang dari tahun 2005 ke tahun 2006 justru
semakin meningkat. Angka kematian bayi juga masih tetap
tinggi, pada tahun 2008 masih mencapai angka 122 bayi,
jumlah gizi buruk pun demikian sampai mencapai 235
kasus.
Jika dinilai dari fasilitas kesehatan yang tersedia,
Mamuju memang masih jauh tertinggal dibandingkan
Kabupaten/Kota lain. Sampai saat ini Mamuju baru
memiliki 1 unit Rumah Sakit Umum, 19 unit Puskesmas
ditambah 12 unit Puskesmas pembantu serta 43 unit
Puskesmas Keliling. Sementara untuk apotek baru
berjumlah 6 buah. Jumlah ini tentu masih jauh dari angka
ideal jika dibandingkan dengan jumlah desa/kelurahan
di Mamuju yang berjumlah 130 desa/kel. Apalagi
keberadaan Puskesmas masih tidak merata di seluruh
daerah, sehingga banyak desa-desa yang tidak terjangkau
karena letak Puskesmas yang terlalu jauh dan diperparah
dengan minimnya sarana transportasi (angkutan umum)
dan buruknya jalan.(UNDP tahun 2000).

262 Kebijakan Publik


Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe
penelitian Deskriptif Kualitatif, yaitu tipe penelitian
yang berusaha untuk menggambarkan secara jelas
tentang evaluasi kebijakan umum anggaran daerah yang
responsive gender di dinas kesehatan kabupaten Mamuju.
Informan, terdiri dari:Pimpinan Tim anggaran pemeritah
daerah (TAPD), Kepala dinas kesehatan, Kepala badan
perencaan pembangunan daerah (bappeda), Ketua badan
anggaran (banggar) DPRD, Ketua komisi kesejahteraan
rakyat (kesra), Kepala dinas pemberdayaan perempuan
dan perlindungan anak.
Indikator atau kriteria evaluasi yang dikembangkan
oleh Dunn (1994) dalam Nawawi (2009:169) mencakup
lima indikator, yaitu
1. Efektifitas,apakah hasil organisasi yang diinginkan
tercapai.
2. Kecukupan,seberapa jauh hasil yang telah tercapai
dapat memecahkan masalah.
3. Pemerataan, apakah manfaat didistribusikan merata
kepada kelompok masyarakat yang berbeda.
4. Responsivitas, apakah hasil kebijakan memuat hasil
preferensi/nilai kelompok dan dapat memuaskan
mereka.
5. Ketepatan, apakah hasil yang dicapai bermanfaat.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 263


Kajian Teori Tentang Anggaran Responsif Gender.
Kategori anggaran responsif gender dalam alokasi
belanja pemerintah menurut Debbie Budlender, Sri
Mastuti , dan Umi Sumbullah :
1. Indikator kategori anggaran spesifik gender (gender
specific).
Meliputi alokasi anggaran yang diperuntukkan
bagi kebutuhan spesifik gender tertentu seperti
kebutuhan perempuan, kebutuhan laki-laki, kebutuhan
anak, bayi dan balita atau kebutuhan lansia. Sebagai
contoh: Alokasi anggaran pelayanan papsmear
(pemeriksaan kesehatan rahim) untuk perempuan;
program peningkatan keselamatan ibu melahirkan
dan anak; penanganan dan penanggulangan kanker
prostat, penyuluhan kesehatan jantung pada laki-
laki yang terbiasa merokok; Alokasi anggaran untuk
pelayanan pemeliharaan kesehatan lansia
2. Indikator kategori alokasi anggaran untuk
menigkatkan kesempatan yang setara dalam pekerjaan
(affirmative action) meliputi :Alokasi anggaran
program yang meringankan beban ganda perempuan,
alokasi anggaran program dalam rangka mengurangi
diskriminasi baik laki-laki maupun perempuan,
alokasi anggaran program dalam rangka mengurangi
deprivasi baik laki-laki maupun perempuan, dan
alokasi anggaran program dalam rangka mengurangi

264 Kebijakan Publik


marginalisasi baik laki-laki maupun perempuan.
Sebagai contoh;
3. Indikator kategori alokasi anggaran umum yang
mainstream yaitu alokasi umum yang memiliki
tendensi terhadap keadilan gender. Sebagai contoh:
Alokasi anggaran pembangunan smoking area;
Alokasi anggaran pembangunan pojok ASI; Alokasi
anggaran yang dievaluasi pengguna jasa pelayanan
kesehatan di RS, Klinik-klinik, Puskesmas dan lain-
lain.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan


1. Efektivitas
Desain anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah, belum adanya pemisahan desain anggaran yang
khusus untuk program gender budget bahkan pemisahan
anggaran antara perempuan dan laki-laki tidak ditetapkan
oleh pemerintah daerah mamuju.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 265


No. Poragram Gender Budget Program yang Terlaksana
1. Program pelayanan Kampanye Eliminasi Kusta,
kesehatan: Kampanye Operasional PUSKESMAS,
Eliminasi Kusta, Pemantapan Pelayanan
Operasional Persalinan dan Deteksi
PUSKESMAS, Dini Tumbuh kembang
Pemantapan Pelayanan Anak, Program Keluarga
Persalinan dan Deteksi Berencana, Program
Dini Tumbuh kembang Kesehatan
Anak, Program Keluarga
Berencana, Program
Kesehatan Reproduksi
Remaja dengan kegiatan
Advokasi dan Kesehatan
Reproduksi Remaja
(KRR).
2. Program Pembinaan Program Pembinaan Peran
Peran Serta Masyarakat Serta Masyarakat dalam
dalam Pelayanan KB/ KR Pelayanan KB/ KR yang
yang Mandiri: Mandiri:
Fasilitasi Pembentukan Fasilitasi Pembentukan
Kelompok Masyarakat Kelompok Masyarakat
Peduli KB, Pengelolaan Peduli KB, Pengelolaan
Data dan Informasi Data dan Informasi
Program KB. Program KB.

266 Kebijakan Publik


No. Poragram Gender Budget Program yang Terlaksana
3. Program Pengembangan Program Pengembangan
Sumber Daya, Sumber Daya,
Kelembagaan, Sarana Kelembagaan, Sarana dan
dan Prasarana Kesehatan Prasarana Kesehatan
meliputi Peningkatan
Kualitas Perencanaan dan
Kinerja PUSKESMAS,
Pengawasan Obat dan
Makanan, Pelatihan
Taman Posyandu dan
lain-lain.
4. Program Pencegahan Program Pencegahan dan
dan Penanggulangan Penanggulangan Penyakit:
Penyakit: Pekan Pekan Imunisasi Nasional
Imunisasi Nasional (PIN), Penanggulangan
(PIN), Penanggulangan Rabies, Penanggulangan
Rabies, Penanggulangan Kasus Diare, Pemberian
Kasus Diare, Imunisasi, Penanggulangan
Pemberian Imunisasi, Demam Berdarah.
Penanggulangan Demam
Berdarah.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 267


No. Poragram Gender Budget Program yang Terlaksana
5. Program Perbaikan Gizi Program Perbaikan Gizi
dan Kesehatan Keluarga, dan Kesehatan Keluarga,
meliputi: Pemantauan meliputi:
Konsumsi Garam Penjaringan dan Pelayanan
Beryodium, Penjaringan Ibu Hamil Resiko Tinggi
dan Pelayanan Ibu Hamil dan kasus Kesakitan,
Resiko Tinggi dan kasus Kematian Maternal
Kesakitan, Kematian Perinatal, Pendamping
Maternal Perinatal, Persalinan Dukun dan
Pelayanan Audit Maternal Kesehatan.
Perinatal Klinik dan Non
Klinik, Pendamping
Persalinan Dukun dan
Kesehatan Reproduksi,
Investigasi, Intervensi
dan Pendampingan Gizi
Buruk.
6. Program Penyuluhan Program Penyuluhan
Kesehatan, meliputi: Kesehatan, meliputi:
Penyuluhan Keamanan Program Kesehatan Remaja
Pangan (Makanan dan Usia Lanjut.
Bebas Formalin, Borax,
Rhodamin B dan Yellow);
Sosialisasi Tentang Alat
Kesehatan dan Kosmetik
Bagi Apotik, Optik
dan Salon, Sosialisasi
Program Kesehatan
Remaja dan Usia Lanjut.
Sumber: diolah dari data primer 2011

268 Kebijakan Publik


2. Kecukupan
Proses pencapaian program yang dinilai cukup
dan memadai kepada masyarakat. Pelaksanaan
program gender budget dapat dinilai berdasarkan
dari data proses pencapaian program gender budget.
Program gender budget diharapkan dapat mencapai
target sesuai dengan harapan pemerintah dari program
gender budget.
Berdasarkan hasil wawancara kami kepada ketua
pemberdayaan perempuan, mengenai penerapan
program Gender Budget, bahwa :
Sampai saat ini program Gender Budget masih
terus dikembangkan, agar program ini mampu
menyentuh setiap lapisan masyarakat. Sehingga
program ini diketahui oleh masyarakat, sosialisasi
dari dinas kesehatan terus di tingkatkan untuk
perkembangan dan kemajuan program Gender
Budget. (Wawancara, Siti Masyita, Rabu, 29 Maret
2012 ).
Permasalahan yang sering muncul dari
pembangunan daerah adalah kurangnya dukungan
terhadap pemerintah dalam menjalankan program
pembangunan daerah.

3. Pemerataan
Proses penyebaran rencana kerja atau program
kerja dari kebijakan pemerintah sudah merata. Tapi
masih ada beberapa pemerintah kecamatan yang tidak

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 269


merespon dengan baik program gender budget dari
pemerintah. Sehingga pemeretaan program gender
budget menjadi terkendala dan tidak mampu dirasakan
dengan baik oleh masyarakat.
Gender budget merupakan konsep yang
menyeimbangkan anggaran daerah dengan tujuan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ada beberapa
prinsip dasar yang perlu dipenuhi. pemahaman
yang menyeluruh tentang permasalahan yang
khas perempuan dan laki-laki menjadi keharusan.
Transparansi anggaran, juga tekad yang kuat untuk
mendengarkan kebutuhan perempuan dan anak
sebagai kelompok rentan, juga menjadi hal yang
mutlak hingga di tingkat pemerintahan lokal.

4. Responsifitas
Dalam hal responsifitas, respon masyarakat masih
jauh dari harapan pemerintah. Namun pemerintah
masih terus melanjutkan dan meningkatkan sosialisasi
untuk pengembangan program gender budget.
Kurangnya respon masyarakat ini dipengaruhi oleh
respon dari pemerintah setempat yang tidak mampu
merespon program pemerintah daerah dengan baik.
Berikut adalah daftar kecamatan di Kabupaten
Mamuju berdasarkan respon terhadap program
gender budget.

270 Kebijakan Publik


Daftar Kecamatan Kecamatan Yang Merespon
Tapalang Mamuju
Tapalang Barat Kalukku
Mamuju Simboro dan Kalumpang
Kepulauan Kalukku Bonehau
Papalang Topoyo
Sampaga Karossa
Tommo Tobadak
Kalumpang Tappalang Simboro dan
Bonehau Kepulauan Tommo
Budong-Budong
Pangale Topoyo
Karossa
Tobadak.

Data Sekunder tahun 2011

Minimnya sarana dan prasarana penunjang


pelaksanaan program gender budget di 5 kecamatan
tersebut, menjadi salah satu faktor kendala dalam
pelaksanaan program gender budget. faktor kendala
lainnya adalah kurang sumber daya pelaksana dalam
struktur pemeritahan kecamatan. Selain itu buruknya

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 271


sarana dan prasarana transportasi juga menjadi
penyebab terkendalanya pelaksanaan program gender
budget di 5 kecamatan lainnya.

5. Ketepatan
Ketepatan dalam hal ini adalah tepatnya sasaran
atau pemberian program secara tepat. Sasaran atau
pemberian program Gender Budget yang akan
dilaksanakan kepada masyarakat sudah tepat karena
sebagian masyarakat sudah mengetahui apa itu
program Gender Budget.
Upaya perbaikan kondisi atau pencapaian
kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan
tersebut dilandasi oleh berbagai kesepakatan baik di
tingkat global/dunia, maupun kesepakatan nasional.

D. RANGKUMAN
Evaluasi kebijakan adalah kegiatan untuk menilai
tingkat kinerja suatu kebijakan. Evaluasi baru dapat
dilakukan kalau suatu kebijakan sudah berjalan cukup
waktu. Untuk dapat mengetahui outcome dan impact
(dampak) suatu kebijakan sudah tentu diperlukan waktu
tertentu misalnya lima tahun semenjak kebijakan itu di
implementasikan, sebab kalau evaluasi dilakukan terlalu
dini maka outcome dan dampak dari suatu kebijakan

272 Kebijakan Publik


belum tampak. Evaluasi kebijakan merupakan proses
mendapatkan gambaran tentang kebijakan publik dalam
pelaksanaannya, alat yang dipakai dan tujuan-tujuan yang
diberikan. Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi
mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi
memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya
mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan,
nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan
publik.
Tujuan pokok evaluasi adalah untuk melihat seberapa
besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan suatu
kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana
mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut. Evaluasi
bertujuan untuk mencari kekurangan dan menutup
kekurangan. Ciri-ciri dari evaluasi kebijakan publik
menurut Nugroho (2009) adalah;
1. Menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan
kinerja kebijakan.
2. Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat
kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan.
3. Prosedur dapat dipertanggung jawabkan secara
metodologi
4. Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau
kebencian
5. Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan dan
kinerja kebijakan.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 273


E. PERTANYAAN UNTUK DIDISKUSIKAN
1. Tunjukkan perbedaan obyek analisis dalam lingkup
studi implementasi dan lingkup studi evaluasi, dengan
mengambil sebuah contoh kebijakan/program yang
sedang dilaksanakan di sekitar anda.
2. Dari contoh kasus kebijakan/program yang sama,
buatlah rencana penelitian evaluasinya dengan
memperimbangkan apa saja yang menjadi:
3. Definisikan Program secara jelas (dengan melihat
terdiri dari apa saja komponen-komponen Program
tersebut
4. Spesifikasikan sasaran-sasaran tujuan/goals program,
dampaknya serta yang menjadi unit-unit sosial
terdampaknya.

DAFTAR PUSTAKA

AR. Mustopadidjaya (2002), Manajemen Proses Kebijakan


Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi
Kinerja, Jakarta:LAN
Anderson, James E.1970. Public Policy Making, New
York: Reinhart and Wiston.
Bryant dan White. 1987. Manajemen Pembangunan Untuk
Negara Berkembang, Cetakan Pertama, Alih Bahasa
Rusyanto L. Simatupang, LP3ES, Jakarta.

274 Kebijakan Publik


Dunn, William N. 2003. Analisis Kebijakan Publik.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Howlett, michhael, dan M.ramesh (1995) studyng public
policy: policy ciles and policy subsystem. Oxford: ox-
ford university press.
Lester, james P,, dan joseph stewart Jr,, (2000). Public pol-
icy: an Evalution ary Approach, balmont: wadsworth.
Noeng, Muhadjir, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif
Edisi III. Yogyakarta: Rake Sarasin
Nugroho, Riant. 2004. Kebijkan publik: formulasi,
implementasi, dan evaluasi. Jakarta: media Elex
komputindo.
Nugroho, Riant (2008) public policy. Jakarta : PT Elex me-
dia komputindo.
Palumbo, Dennis J. 1994. Public Policy In America,
Government In Action, USA: Harcourt Brace &
Company.

Syamsi, Ibnu. 2000. Pengambilan Keputusan dan Sistem


Informasi. Bumi Aksara. Jakarta
Subarsono. (2005). Analisis Kebijakan Publik Konsep, Te-
ori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudiyono. 1992. Model Penelitian Evaluasi (Evaluasi
Dampak Program) Jurusan Ilmu Administrasi Negara.
Fisipol. UGM Yogyakarta.
Susanti, Andi Elva, 2012. Evaluasi Kebijakan Umum
Anggaran Daerah yang Responsif Gender Di

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 275


Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju. Universitas
Muhammadiyah Makassar: Program Studi Ilmu
Pemerintahan.
Weiss, C.H. (1972). Evaluation research: Methods for
assessing program effectiveness. Toronto: Englewood
Cliff.
Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses.
Jakarta: PT Buku Kita
Wibawa, Samudra, 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Ja-
karta : Raja Grafindo Persada.

276 Kebijakan Publik


GLOSARIUM

Bijak adalah sifat-sifat (character) yang melekat pada


manusianya.
Bijakasana adalah sifat-sifat yang melekat pada sikap,
tingkah laku dan perbuatannya.
Kebijakan publik merupakan kewenangan pemerintah
menjalankan tugas dan fungsinya dalam hubungannya
dengan masyarakat dan dunia usaha.
Input, adalah hal-hal yang mempengaruhi kebijakan
publik seperti manusia (aktor), pengetahuan dan
teknologi, informasi serta nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat.
Tujuan (goals) merupakan arah dari suatu kebijakan yang
ingin dicapai oleh pembuat kebijakan.
Perangkat (instruments) adalah alat-alat yang digunakan
dalam menjalankan suatu kebijakan.
Dampak merupakan hasil yang diperoleh dari suatu
kebijakan baik yang diinginkan maupun yang tidak.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 277


Negara adalah sebuah entitas politik yang bersifat formal
yang mempunyai komponen utama eksekutif,
legislatif dan yudikatif.
Kebijaksanaan adalah suatu istilah yang menunjukkan
adanya proses, karena merupakan hasil keputusan
atau perbuatan yang mempunyai sifatnya untuk
dilaksanakan.
Anglo-Saxon kelompok yang memahami kebijakan publik
sebagai sebuah proses politik yang demokratis.
Kontinentalis hukum adalah salah satu bentuk dari
kebijakan publik dari sisi wujud maupun produk,
proses atau dari sisi muatan hokum.
Subtantive policy dilihat dari subtansi masalah yang
dihadapi oleh pemerintah.
Procedural policy dilihat dari pihak-pihak yang terlibat
dalam perumusannya (policy stakeholders).
Distributif Policy adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang pemberian pelayanan/keuntungan kepada
individu-individu, kelompok-kelompok atau
perusahaan-perusahaan.
Redistributif policies adalah suatu kebijakan yang
mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan,
pemilikan atau hak-hak.

278 Kebijakan Publik


Regulatory Policy adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang pembatasan/pelarangan terhadap perbuatan/
tindakan.
Material Policy adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang pengalokasian/penyediaan sumber-sumber
material yang nyata bagi penerimanya.
Publik goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang penyediaan barang-barang/pelayanan-
pelayanan oleh pemerintah untuk kepentingan orang
banyak.
Private goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang penyediaan barang-barang/pelayanan-
pelayanan oleh pihak swasta, untuk kepentingan
individu-individu (perorangan) di pasar bebas
dengan imbalan biaya tertentu.
Kebijakan nasional adalah kebijakan Negara yang
bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian
tujuan nasional/Negara sebagaimana tertera dalam
pembukaan UUD 1945.
Kebijakan umum adalah kebijakan presiden sebagai
pelaksana UUD, TAP MPR, UU, untuk mencapai
tujuan nasional.
Kebijakan Pelaksanaan adalah merupakan penjabaran dari
kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas
di bidang tertentu.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 279


Sistem kebijakan publik adalah keseluruhan pola
kelembagaan dalam pembuatan kebijakan publik
yang melibatkan hubungan diantara 4 elemen
(unsur), yaitu masalah kebijakan publik, pembuatan
kebijakan publik, kebijakan publik dan dampaknya
terhadap kelompok sasaran (target groups). Sistem
kebijakan publik dikenal adanya unsur-unsur input,
proses, output.
Model kekuasaan adalah proses yang sangat ditentukan
oleh faktor kekuasaan seperti kelas sosial, birokrasi,
pendidikan, profesionalisme, dan kekuatan modal.
Model rasionalitas dalam proses perumusan kebijakan
publik pada dasarnya bertumpu pada dua hal, yaitu
rasionalitas ekonomis dan rasionalitas birokrasi.
Pendekatan pilihan publik menempatkan lembaga birokrasi
di tengah-tengah pertarungan yang hebat yang ada di
pasar (market).
Pendekatan personalitas lebih banyak melihat proses
perumusan atau pembuatan kebijakan dari sudut
pandang psikologis dan ilmu informasi.

Pendekatan kognisi dan informasi merupakan pendekatan


lanjutan dari pendekatan personalitas yang
menganalisis proses perumusan atau pembuatan
kebijakan publik dari aspek bagaimana pembuat

280 Kebijakan Publik


kebijakan sebagai personal merespon stimulasi dari
lingkungannya.
Model rasional komprehensif menekankan pada pembuatan
keputusan yang rasional dengan bermodalkan pada
komprehensivitas informasi dan keahlian pembuatan
keputusan.
Model incremental adalah kritik dan perbaikan terhadap
model rasional komprehensif.
Mixed scanning Theory adalah suatu model pembuatan
keputusan hibrida yang merupakan gabungan unsur-
unsur kebaikan yang ada pada model rasional-
komprehensif dan incremental yang selanjutnya
disebut sebagai model mixed scanning.
Model Institusional merupakan model yang tradisional
dalam proses pembuatan kebijakan publik karena
fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada
struktur organisasi pemerintah.
Model Elit-Massa merupakan kelompok yang mampu
bertindak/berbuat dalam suatu lingkungan yang
ditandai dengan sikap massa yang apatis, kerancuan
informasi, sehingga massa menjadi lebih pasif.

Model Kelompok melihat kebijakan publik sebagai


equilibrium yang dicapai sebagai hasil perjuangan
kelompok.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 281


Model Sistem Politik mempunyai arti yakni sejumlah
lembaga-lembaga dan aktivitas-aktivitas politik
dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan
(demand), dukungan (support), dan resources sebagai
input menjadi sebuah keputusan/kebijakan (output)
yang otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat.
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan
publik merupakan tahap yang paling krusial karena
implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat
dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah
selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau
program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian
besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan
tahap formulasi
Mekanisme desiminasi artinya masalah-masalah sosial
apapun bentuknya dan bagaimanapun kompleksnya
menurut mekanisme ini dapat disederhanakan.
Mekanisme finansial artinya mekanisme ini digunakan
apabila uang (financial) dipandang sebagai kekuatan
pendorong untuk menanggulangi masalah sosial.

Mekanisme keteraturan dan pengawasan digunakan


apabila ingin memecahkan masalah-masalah sosial
dengan pelaksanaan tentang suatu aktivitas dimana
individu atau organisasi dapat melakukannya.

282 Kebijakan Publik


Mekanisme operasi tindakan digunakan jika tindakan
dianggap konstruktif bagi upaya memecahkan
masalah-masalah sosial.
Mekanisme setting prioritas digunakan memperlambat
keputusan (delay a decision), atau membuat
keputusan untuk tidak memutuskan (make a non-
decision).
Mekanisme penelitian dan pengembangan tidak terlepas
dari peranan aktor, oleh karena itu semua aktor yang
terlibat dlam mekanisme ini harus diidentifikasi, baik
yang mempunyai kekuatan formal secara langsung
maupun yang informal dan tidak langsung.
Mekanisme Koordinasi adalah proses atau rangkaian
kegiatan penyelarasan pikiran pendapat, dan perilaku
dalam mewujudkan wewenang dan tanggungjawab
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing
dengan membangun kebersamaan antar aktor sertiap
tahap dalam proses formulasi kebijakan. Disamping
itu koordinasi juga dapat diartikan sebagai upaya
mewujudkan jaringan kerja (net-work) ekstenal.

Mekanisme Sinkronisasi adalah proses atau rangkaian


kegiatan memadukan dua atau lebih kegiatan yang
berbeda untuk mencapai tujuan bersama dalam
memilih dan menentukan masalah publik yang perlu
mendapat prioritas utama pemecahan.

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 283


Mekanisme Simplifikasi adalah proses atau rangkaian
kegiatan penyederhanaan prosedurdan mekanisme
yang ada pada setiap tahap dalam proses perumusan
kebijakan, untuk memudahkan akses bagi seluruh
stakeholders untuk berperan pada setiap tahap
formulasi kebijakan.
Aktor kebijakan yaitu seorang maupun sekelompok
orang yang terlibat dalam penentu kebijakan, baik
pada proses perumusan, implementasi dan evaluasi
kebijakan publik.
Aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat
dibagi menjadi kelompok formal dan kelompok non
formal. Kelompok formal biasanya terdiri dari aktor
resmi yang mempunyai kekuasaan untuk membuat
kebijakan seperti eksekutif, legislatif dan eksekutif.
Sedangkan pada aktor non formal terdiri dari
masyarakat baik individu, kelompok kepentingan
maupun aktor partai politik.
Autocratic : Model ini berbasis pada kekuatan, dengan
orientasi managerial yang berwenang, maksudnya
adalah bahwa karyawan/pegawai sangat tergantung
pada pimpinan atau boss, ini membuat pencapaian
kinerja karyawan/pegawai rendah.
Custodial : Model yang berbasis pada ekonomi atau
benefit, dengan orientasi pada uang, maksudnya

284 Kebijakan Publik


bahwa karyawan/pegawai merasa aman, nyaman
dan mendapat keuntungan setelah berada didalam
organisasi, pencapaian dalam model ini adalah
passive cooperation.
Supportive: Model ini berbasis akan kepemimpinan,
karyawan/pegawai berorientasi pada kinerja (job
performance) dan partisipasi. Karyawan/pegawai
pada model ini mengejar status dan pengenalan,
pencapaian kinerja dapat dicapai dengan meningkat.
Collegial: Adalah model yang berdasarkan Partnership/
persekutuan/perseroan, dan berorientasi pada
kerjasama/teamwork. Karyawan/pegawai pada
model ini mempunyai tanggung-jawab dan kesadaran
berdisiplin, dalam pencapaiannya karyawan/pegawai
memiliki antusias dalam berkinerja.
Pendekatan Evaluasi Kebijakan Publik : Pendekatan goal-
end oriented. Dapat juga digunakan pendekatan lain,
misalnya Pendekatan Sistem (amitai Etzioni) atau
goal-free evaluation (Susan Salasin), karena goal-end
oriented approach dipandang memiliki keterbatasan
:1). Mengabaikan sasaran yang tidak dinyatakan
secara eksplisit (misalnya keberlangsungan
program); 2). Sulit merumuskan tujuan senyatanya
dari pernyataan tujuan program/kebijakan yang yang
mencerminkan retorika politik, justifikasi bantuan

Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 285


pendanaan, mobilisasi dukungan, dan legitimasi
program; 3). Sasaran-sasaran selalu bisa berubah
sebagai respon atas tuntutan-internal organisasi dan
lingkungan; 4) Mengabaikan efek-efek samping dari
kebijakan.
Self-executing, dengan dirumuskannya dan disahkannya
suatu kebijakan maka kebijakan tersebut akan
terimplementasikan dengan sendirinya, misalnya
pengakuan suatu negara terhadap kedaulatan negara
lain.

Non self-executing yang berarti bahwa suatu kebijakan


publik perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh
berbagai pihak supaya tujuan pembuatan kebijakan
tercapai.

286 Kebijakan Publik

Anda mungkin juga menyukai