Anda di halaman 1dari 9

PERUMUSAN MASALAH KEBIJAKAN

KEBIJAKAN PUBLIK
SYOFIAN, S. Sos,M.Si

RATYH WIDYANA KANA


1801111824

PROGRAM STUDI ADMNISTRAI PUBLIK


JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2019
A. Proses Perumusan Kebijakan Publik.

Perumusan (Formulasi) kebijakan publik merupakan salah satu tahap dari rangkaian
proses pembuatan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik. Para ahli mengemukakan
pandangan tentang definisi fomulasi kebijakan publik sebagai berikut:

Menurut Dunn (2000:132), perumusan kebijakan (policy formulation) adalah


pengembangan dan sintesis terhadap alternatif-alternatif pemecahan masalah.

Winarno (2002:29) menyatakan bahwa masing-masing alternatif bersaing untuk


di pilih sebagai kebijakan dalam rangka untuk memecahkan masalah.

Tjokroamidjojo dalam Islamy (2000:24) menyebutkan perumusan kebijakan


sebagai alternatif yang terus menerus dilakukan dan tidak pernah selesai, dalam
memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat
dalam proses perumusan kebijakan.

Berdasarkan pengertian pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa formulasi


kebijakan merupakan cara untuk memecahkan suatu masalah yang di bentuk oleh para
aktor pembuat kebijakan dalam menyelesaikan masalah yang ada dan dari sekian
banyak alternatif pemecahan yang ada maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.

Kemudian menurut Islamy dalam buku Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan


Negara (2000:77-101) mengemukakan pendapatnya bahwa ada empat langkah dalam
proses pengambilan kebijakan publik, yaitu:

1. Perumusan Masalah (defining problem).


Pemahaman terhadap masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi
yang tersembunyi, mendiaognosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan
yang memungkinkan, memadukan pandangan yang bertentangan dan rancangan
peluang kebijakan baru. Perumusan masalah merupakan sumber dari kebijakan publik,
dengan pemahaman dan identifikasi masalah yang baik maka perencanaan kebijakan
dapat di susun, perumusan masalah dilakukan oleh mereka yang terkena masalah atau
orang lain yang mempunyai tanggung jawab dan pembuat kebijakan harus mempunyai
kapasitas untuk itu. Proses kebijakan publik di mulai dengan kegiatan merumuskan
masalah secara benar, karena keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan
perumusan kebijakan ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kegiatan ini
akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kebijaksanaan seterusnya.

2. Agenda Kebijakan

Sekian banyak problema-problema umum yang muncul hanya sedikit yang mendapat
perhatian dari pembuat kebijakan publik. Pilihan dan kecondongan perhatian pemuat
kebijakan menyebabkan timbulnya agenda kebijakan. Sebelum masalah-masalah
berkompotensi untuk masuk dalam agenda kebijakan, masalah tersebut akan
berkompetisi dengan masalah yang lain yang pada akhirnya akan masuk dalam agenda
kebijakan. Mengingat pentingnya status agenda kebijakan dalam formulasi kebijakan
publik, Cob dan Elder dalam Islamy (2000:83) mengartikan kebijakan sebagai:
“Agenda sistemik terdiri atas semua isu-isu yang dipandang secara umum oleh
anggota-anggota masyarakat politik sebagai patut memperoleh perhatian dari publik dan
mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap tingkat
pemerintah masingmasing”.

Abdul Wahab (2004:40) menyatakan bahwa suatu masalah untuk masuk ke


dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik tertentu sehingga ia praktis tidak lagi
bisa diabaikan begitu saja.
2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat
menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik.
3. Isu tersebut menyamngkut emosi tertentu ilihat dari sudut kepentingan orang
banyak.
4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam
masyarakat.
6. Isu tersebut menyangkut suatu persoalan yang fasionable, dimana posisinya
sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.

3. Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk memecahkan Masalah

Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan
sepakat untuk memasukan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah
selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Menurut Winarno (2002:83) dalam
tahap ini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan
kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut.

Menurut Islamy (2000:92), perumusan usulan kebijakan (policy proposals) adalah


kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk
memecahkan masalah. Proses dalam kegiatan ini meliputi:

1. Mengidentifikasi altenatif.

2. Mendefinisikan dan merumuskan alternatif.

3. Menilai masing-masing alternatif yang tersedia.

4. Memilih alternatif yang memuaskan atau paling mungkin untuk dilaksanakan.

Pada tahap ini para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan
antara berbagai aktor, masing-masing aktor ditawarkan alternatif dan pada tahap ini
sangat penting untuk mengetahui apa alternatif yang ditawarkan oleh masing-masing
aktor. Pada kondisi ini, pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan
negoisasi yang terjadi antara aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan
tersebut.

PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah merupakan langkah awal dalam pembuatan suatu kebijakan
publik. Menurut William N. Dunn suatu perumusan masalah dapat memasok
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang
mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui
penyusunan agenda (agenda setting) (Dunn, 2003: 26). Hal tersebut menyimpulkan
bahwa kebijakan publik dibuat dikarenakan adanya masalah publik yang terjadi,
sehingga permasalahan tersebut dapat diantisipasi dan mencapai tujuan yang
diharapkan. Dunn pun menjelaskan bahwa:
“Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan
yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan
merancang peluang-peluang kebijakan yang baru” (Dunn, 1993: 26).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa langkah awal dari
pembuatan kebijakan publik adalah perumusan kebijakan publik dengan menyusun
setiap permasalahan publik yang terjadi seperti suatu agenda. Contohnya Rancangan
Undang-Undang. Merumuskan masalah publik yang benar dan tepat dapat didasarkan
atau melihat dari karakteristik masalah publik, yaitu:
Saling bergantung (interdependence), dalam arti bahwa suatu masalah kebijakan di
suatu bidang seringkali mempengaruhi masalah kebijakan lainnya.
Subjektifitas (subjective). Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu masalah
didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan dan dievaluasi secara selektif. Masalah
kebijakan merupakan suatu hasil pemikiran yang dibuat pada vsuatu lingkungan
tertentu, masalah tersebut merupakan elemen dariu suatu situasi masalah yang
diabstrasikan sari situasi tersebut oleh analis.
Sifatnya buatan (artificial). Masalah kebijakan merupakan buah pandangan subjektif
manusia, cenderung diterima sebagai definisi yang sah mengenai kehidupan banyak
orang. Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin ketika manusia membuat penilaian
mengenai keinginannya untuk mengubah beberapa situasi masalah.
Dinamiss (Dynamics). Masalah dan pemecahannya berada dalam siatuasi peubahan
yang terus menerus. Ada banyak solusi yang bisa ditawarkan untuk memecahkan
masalah sebagaimana terdapat banyak definisis terhadap masalah tersebut. Cara
pandang orang terhadap masalah akan menentukan solusi yang ditawarkan.
Merumuskan masalah dapat dikatakan tidaklah mudah karena sifat dari masalah
publik bersifat kompleks. Oleh sebab itu lebih baik dalam merumuskan masalah
mengetahui lebih dulu karakteristik permasalahannya. Pertama, suatu masalah tidak
dapat berdiri sendiri oleh sebab itu, selalu ada keterkaitan antara masalah yang satu
dengan yang lain. Sehingga dari hal tersebut mengharuskan dalam analisis kebijakan
untuk menggunakan pendekatan holistik dalam memecahkan masalah dan dapat
mengetahui akar dari permasalahan tersebut.
Kedua, masalah kebijakan haruslah bersifat subyektif, dimana masalah tersebut
merupakan hasil dari pemikiran dalam lingkungan tertentu. Ketiga, yaitu suatu
fenomena yang dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan manusia untuk
mengubah situasi. Keempat, suatu masalah kebijakan solusinya dapat berubah-ubah.
Maksudnya adalah kebijakan yang sama untuk masalah yang sama belum tentu
solusinya sama, karena mungkin dari waktunya yang berbeda atau lingkungannya yang
berbeda.

Dalam proses yang luas menurut Dunn (1999), beberapa fase yang perlu
diperhatikan, antara lain:

1. Pencarian Masalah (Problem Search)


2. Pendefinisian Masalah (Problem-Definition)
3. Spesifikasi Masalah (Problem-Spesification)
4. Pengenalan Masalah (Problem-Sensing)

1. Yang terpenting adalah bahwa perumusan masalah dalam analisis kebijakan


dapat dipandang sebagai proses dengan tiga tahap yang berbeda tetapi saling bergantung
yaitu, konseptualisasi masalah, spesifikasi masalah, dan pengenalan masalah.

A. ISU PUBLIK
Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah yang dipahami
awam dalam perbincangan sehari-hari yang sering diartika sebagai ”kabar burung”. Isu
dalam sebuah kebijakan sarat memiliki lingkup yang luas yang meliputi berbagai
persoalan yang ada di tengah masyarakat. Oleh karenanya Sekalipun harus diakui dalam
pelbagai literatur istilah isu itu tidak pernah dirumuskan dengan jelas, namun sebagai suatu
"technical term' utamanya dalam konteks kebijakan publik, muatan maknanya lebih kurang
sama dengan apa yang kerap disebut sebagai "masalah kebijakan" (policy problem). Dalam
analisis kebijakan publik, konsep ini menempati posisi sentral. Hal ini mungkin ada
kaitannya dengan fakta, bahwa proses pembuatan kebijakan publik apa pun pada umumnya
berawal dari adanya awareness of a problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu).
Charles O. Jones (1996) menyatakan bahwa “masalah” adalah kebutuhan-
kebutuhan manusia yang perlu di atasi, sedangkan “issu” adalah masalah-masalah
umum yang bertentangan satu sama lain (Contraversial Public Problems)
Jones menyatakan bahwa NOT ALL PROBLEMS BECOME PUBLIC, NOT
ALL PUBLIC PROBLEMS BECAME ISSUES, AND NOT ALL ISSUES ARE ACTED
ON IN GOVERNMENT.( tidak semua masalah dapat menjadi masalah umum/public,
dan tidak semua masalah public dapat menjadi issu, dan tidak semua issu dapat menjadi
agenda pemerintah.)
Robert Seidman, Ann Seidman, dan Nalin Abeysekere (2005) menyatakan
bahwa masalah dapat terjadi oleh karena satu atau gabungan dari beberapa hal yang
dithesiskan mereka tidak berjalan dengan baik. Hal-hal tersebut, ialah: Rule (peraturan),
Opportunity (peluang/kesempatan), Capacity (kemampuan), Communication
(Komunikasi), Interest (kepentingan), Process (proses), dan Ideology (nilai dan/atau
sikap), yang disingkat ROCCIPI.
B. MASALAH PUBLIK
 Masalah adalah suatu kondisi atau keadaan yang tidak diinginkan atau
menimbulkan ketidakpuasan baik pada individu, kelompok atau keseluruhan
masyarakat.
 Masalah publik adalah masalah-masalah yang memiliki dampak sangat luas
bagi masyarakat dan mencakup konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi orang-
orang yang tidak secara langsung terlibat dengan masalah tersebut.
Menurut Theodore Lowi (1964), masalah publik dapat dibedakan kedalam:
1. Masalah prosedural, dan masalah substantif.
 Masalah prosedural berhubungan dengan bagaimana pemerintah
diorganisasikan, dan bagaimana pemerintah melaksanakan tugas-
tugasnya.
 Masalah substantif berkenaan dengan akibat-akibat nyata dari kegiatan
manusia, seperti: menyangkut kebebasan berbicara, perlindugan anak,
lingkungan hidup (global warming), dsb.
2. Berdasarkan asal-usul masalah:
 Masalah dalam negeri à pendidikan, kesehatan, transportasi, perpajakan,
kriminalitas, kemiskinan, dsb.
 Masalah luar negeri à menyangkut hubungan antara negara yang satu
dengan negara lain (perjanjian ekstradisi, free trade area, dsb.)
3. Berdasarkan jumlah orang yang dipengaruhi serta hubungannya antara satu dengan
yang lain:
 Masalah distributif à mencakup sejumlah kecil orang, dan dapat
ditanggulangi satu per satu (drainase kota, ruang publik, dsb)
 Masalah regulatif à mendorong munculnya tuntutan-tuntutan yang
diajukan dalam rangka membatasi tindakan-tindakan pihak tertentu
(pengaturan aksi demontrasi buruh industri, pengaturan aksi FPI, dsb.)
 Masalah redistributif à menghendaki perubahan risorsis antara
kelompok-kelompok atau kelas-kelas dalam masyarakat (subsidi silang
dalam hal pajak, listrik, dsb)

C. KAPAN SUATU MASALAH BISA TAMPIL MENJADI MASALAH PUBLIK,


MASALAH PUBLIK BISA TAMPIL MENJADI ISU KEBIJAKAN, DAN ISU
KEBIJAKAN BISA MASUK DALAM AGENDA PEMERINTAH SEKALIGUS
BISA MENJADI KEBIJAKAN PUBLIK

Pada prinsipnya, sekalipun suatu peristiwa, keadaan, dan situasi tertentu


mungkin dapat menimbulkan satu atau beberapa masalah, tetapi agar dapat menjadi
masalah umum ataupun masalah kebijakan tidak hanya tergantung dari dimensi
obyektifnya saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun pembuat
keputusan dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicari jalan
keluarnya.
Perlu diperhatikan adalah pada seberapa jauh atau seberapa besar tingkat
kesadaran dan kepekaan masyarakat melihat masalahnya sendiri dan sampai seberapa
besar tingkat kesadaran , kepekaan, dan kemampuan pembuat keputusan melihat
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat itu sebagaisesuatu yang menjadi
tanggungjawabnya untuk diatasi.
Hal yang perlu menjadi perhatian dalam melakukan kajian terhadap masalah-
masalah publik adalah bahwa tidak semua masalah mendapat tanggapan yang memadai
oleh para pembuat kebijakan. Sehingga timbul pertanyaan bagi kita, mengapa hal
tersebut terhadi?; atau mengapa hanya masalah-masalah tertentu yang dianggap sebagai
masalah publik sedangkan masalah-masalah lain tidak?
Untuk menyikapi hal itu, maka akan dikemukakan pendapat Charles O. Jones,
bahwa masalah-masalah publik (public problems) mempunyai dua tipe, yaitu:
1. Masalah-masalah tersebut dikarakteristikkan oleh adanya perhatian
kelompok dan warga kota yang terorganisasi yang bertujuan untuk
melakukan tindakan (action).
2. Masalah-masalah tersebut tidak dapat dipecahkan secara
individual/pribadi (sehingga hal itu menjadi masalah publik), tetapi
kurang terorganisasi dan kurang mendapat dukungan. Pembedaan seperti
ini,merupakan sesuatu yang kritis dalam memahami kompleksitas proses
yang berlangsung dimana beberapa masalah bisa sampai kepada
pemerintah,sedangkan beberapa masalah yang lain tidak

A. SUATU MASALAH BISA TAMPIL MENJADI MASALAH PUBLIK


Walker (dalam Widodo, 2007) menyatakan bahwa suatu masalah bisa tampil menjadi
masalah publik jika:
1. issues tersebut mempunyai dampak yang besar pada banyak orang.
2. ada bukti yang meyakinkan, agar lembaga legislatif mau memperhatikan masalah
tersebut sebagai masalah yang serius.
3. ada pemecahan yang mudah dipahami terhadap masalah yang sedang diperhatikan.

B. MASALAH PUBLIK BISA TAMPIL MENJADI ISU KEBIJAKAN


Jones (1984) mengemukakan bahwa masalah publik mudah menjadi isu kebijakan
publik manakala:
1. Scope dan kemungkinan dukungan terhadap issues tersebut dapat dikumpulkan.
2. Problem atau isues tersebut dinilai penting.
3. Ada kemungkinan masalah (issues) tersebut dapat terpecahkan

C. ISU KEBIJAKAN BISA MASUK DALAM AGENDA PEMERINTAH


SEKALIGUS BISA MENJADI KEBIJAKAN PUBLIK

(Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986):
Suatu isu akan cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan
agenda kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa kriteria tertentu:
1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi
bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius
yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh
lebih hebat di masa datang.
2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan
dampak (impact) yang bersifat dramatik.
3. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak
bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media
massa yang luas.
4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam
masyarakat.
6. Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya sulit
untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya

Anda mungkin juga menyukai