KEBIJAKAN PUBLIK
SYOFIAN, S. Sos,M.Si
Perumusan (Formulasi) kebijakan publik merupakan salah satu tahap dari rangkaian
proses pembuatan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik. Para ahli mengemukakan
pandangan tentang definisi fomulasi kebijakan publik sebagai berikut:
2. Agenda Kebijakan
Sekian banyak problema-problema umum yang muncul hanya sedikit yang mendapat
perhatian dari pembuat kebijakan publik. Pilihan dan kecondongan perhatian pemuat
kebijakan menyebabkan timbulnya agenda kebijakan. Sebelum masalah-masalah
berkompotensi untuk masuk dalam agenda kebijakan, masalah tersebut akan
berkompetisi dengan masalah yang lain yang pada akhirnya akan masuk dalam agenda
kebijakan. Mengingat pentingnya status agenda kebijakan dalam formulasi kebijakan
publik, Cob dan Elder dalam Islamy (2000:83) mengartikan kebijakan sebagai:
“Agenda sistemik terdiri atas semua isu-isu yang dipandang secara umum oleh
anggota-anggota masyarakat politik sebagai patut memperoleh perhatian dari publik dan
mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap tingkat
pemerintah masingmasing”.
Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan
sepakat untuk memasukan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah
selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Menurut Winarno (2002:83) dalam
tahap ini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan
kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut.
1. Mengidentifikasi altenatif.
Pada tahap ini para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan
antara berbagai aktor, masing-masing aktor ditawarkan alternatif dan pada tahap ini
sangat penting untuk mengetahui apa alternatif yang ditawarkan oleh masing-masing
aktor. Pada kondisi ini, pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan
negoisasi yang terjadi antara aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan
tersebut.
PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah merupakan langkah awal dalam pembuatan suatu kebijakan
publik. Menurut William N. Dunn suatu perumusan masalah dapat memasok
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang
mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui
penyusunan agenda (agenda setting) (Dunn, 2003: 26). Hal tersebut menyimpulkan
bahwa kebijakan publik dibuat dikarenakan adanya masalah publik yang terjadi,
sehingga permasalahan tersebut dapat diantisipasi dan mencapai tujuan yang
diharapkan. Dunn pun menjelaskan bahwa:
“Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan
yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan
merancang peluang-peluang kebijakan yang baru” (Dunn, 1993: 26).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa langkah awal dari
pembuatan kebijakan publik adalah perumusan kebijakan publik dengan menyusun
setiap permasalahan publik yang terjadi seperti suatu agenda. Contohnya Rancangan
Undang-Undang. Merumuskan masalah publik yang benar dan tepat dapat didasarkan
atau melihat dari karakteristik masalah publik, yaitu:
Saling bergantung (interdependence), dalam arti bahwa suatu masalah kebijakan di
suatu bidang seringkali mempengaruhi masalah kebijakan lainnya.
Subjektifitas (subjective). Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu masalah
didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan dan dievaluasi secara selektif. Masalah
kebijakan merupakan suatu hasil pemikiran yang dibuat pada vsuatu lingkungan
tertentu, masalah tersebut merupakan elemen dariu suatu situasi masalah yang
diabstrasikan sari situasi tersebut oleh analis.
Sifatnya buatan (artificial). Masalah kebijakan merupakan buah pandangan subjektif
manusia, cenderung diterima sebagai definisi yang sah mengenai kehidupan banyak
orang. Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin ketika manusia membuat penilaian
mengenai keinginannya untuk mengubah beberapa situasi masalah.
Dinamiss (Dynamics). Masalah dan pemecahannya berada dalam siatuasi peubahan
yang terus menerus. Ada banyak solusi yang bisa ditawarkan untuk memecahkan
masalah sebagaimana terdapat banyak definisis terhadap masalah tersebut. Cara
pandang orang terhadap masalah akan menentukan solusi yang ditawarkan.
Merumuskan masalah dapat dikatakan tidaklah mudah karena sifat dari masalah
publik bersifat kompleks. Oleh sebab itu lebih baik dalam merumuskan masalah
mengetahui lebih dulu karakteristik permasalahannya. Pertama, suatu masalah tidak
dapat berdiri sendiri oleh sebab itu, selalu ada keterkaitan antara masalah yang satu
dengan yang lain. Sehingga dari hal tersebut mengharuskan dalam analisis kebijakan
untuk menggunakan pendekatan holistik dalam memecahkan masalah dan dapat
mengetahui akar dari permasalahan tersebut.
Kedua, masalah kebijakan haruslah bersifat subyektif, dimana masalah tersebut
merupakan hasil dari pemikiran dalam lingkungan tertentu. Ketiga, yaitu suatu
fenomena yang dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan manusia untuk
mengubah situasi. Keempat, suatu masalah kebijakan solusinya dapat berubah-ubah.
Maksudnya adalah kebijakan yang sama untuk masalah yang sama belum tentu
solusinya sama, karena mungkin dari waktunya yang berbeda atau lingkungannya yang
berbeda.
Dalam proses yang luas menurut Dunn (1999), beberapa fase yang perlu
diperhatikan, antara lain:
A. ISU PUBLIK
Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah yang dipahami
awam dalam perbincangan sehari-hari yang sering diartika sebagai ”kabar burung”. Isu
dalam sebuah kebijakan sarat memiliki lingkup yang luas yang meliputi berbagai
persoalan yang ada di tengah masyarakat. Oleh karenanya Sekalipun harus diakui dalam
pelbagai literatur istilah isu itu tidak pernah dirumuskan dengan jelas, namun sebagai suatu
"technical term' utamanya dalam konteks kebijakan publik, muatan maknanya lebih kurang
sama dengan apa yang kerap disebut sebagai "masalah kebijakan" (policy problem). Dalam
analisis kebijakan publik, konsep ini menempati posisi sentral. Hal ini mungkin ada
kaitannya dengan fakta, bahwa proses pembuatan kebijakan publik apa pun pada umumnya
berawal dari adanya awareness of a problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu).
Charles O. Jones (1996) menyatakan bahwa “masalah” adalah kebutuhan-
kebutuhan manusia yang perlu di atasi, sedangkan “issu” adalah masalah-masalah
umum yang bertentangan satu sama lain (Contraversial Public Problems)
Jones menyatakan bahwa NOT ALL PROBLEMS BECOME PUBLIC, NOT
ALL PUBLIC PROBLEMS BECAME ISSUES, AND NOT ALL ISSUES ARE ACTED
ON IN GOVERNMENT.( tidak semua masalah dapat menjadi masalah umum/public,
dan tidak semua masalah public dapat menjadi issu, dan tidak semua issu dapat menjadi
agenda pemerintah.)
Robert Seidman, Ann Seidman, dan Nalin Abeysekere (2005) menyatakan
bahwa masalah dapat terjadi oleh karena satu atau gabungan dari beberapa hal yang
dithesiskan mereka tidak berjalan dengan baik. Hal-hal tersebut, ialah: Rule (peraturan),
Opportunity (peluang/kesempatan), Capacity (kemampuan), Communication
(Komunikasi), Interest (kepentingan), Process (proses), dan Ideology (nilai dan/atau
sikap), yang disingkat ROCCIPI.
B. MASALAH PUBLIK
Masalah adalah suatu kondisi atau keadaan yang tidak diinginkan atau
menimbulkan ketidakpuasan baik pada individu, kelompok atau keseluruhan
masyarakat.
Masalah publik adalah masalah-masalah yang memiliki dampak sangat luas
bagi masyarakat dan mencakup konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi orang-
orang yang tidak secara langsung terlibat dengan masalah tersebut.
Menurut Theodore Lowi (1964), masalah publik dapat dibedakan kedalam:
1. Masalah prosedural, dan masalah substantif.
Masalah prosedural berhubungan dengan bagaimana pemerintah
diorganisasikan, dan bagaimana pemerintah melaksanakan tugas-
tugasnya.
Masalah substantif berkenaan dengan akibat-akibat nyata dari kegiatan
manusia, seperti: menyangkut kebebasan berbicara, perlindugan anak,
lingkungan hidup (global warming), dsb.
2. Berdasarkan asal-usul masalah:
Masalah dalam negeri à pendidikan, kesehatan, transportasi, perpajakan,
kriminalitas, kemiskinan, dsb.
Masalah luar negeri à menyangkut hubungan antara negara yang satu
dengan negara lain (perjanjian ekstradisi, free trade area, dsb.)
3. Berdasarkan jumlah orang yang dipengaruhi serta hubungannya antara satu dengan
yang lain:
Masalah distributif à mencakup sejumlah kecil orang, dan dapat
ditanggulangi satu per satu (drainase kota, ruang publik, dsb)
Masalah regulatif à mendorong munculnya tuntutan-tuntutan yang
diajukan dalam rangka membatasi tindakan-tindakan pihak tertentu
(pengaturan aksi demontrasi buruh industri, pengaturan aksi FPI, dsb.)
Masalah redistributif à menghendaki perubahan risorsis antara
kelompok-kelompok atau kelas-kelas dalam masyarakat (subsidi silang
dalam hal pajak, listrik, dsb)
(Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986):
Suatu isu akan cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan
agenda kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa kriteria tertentu:
1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi
bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius
yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh
lebih hebat di masa datang.
2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan
dampak (impact) yang bersifat dramatik.
3. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak
bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media
massa yang luas.
4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam
masyarakat.
6. Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya sulit
untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya