Anda di halaman 1dari 36

1

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan Publik merupakan suatu aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah
dan merupakan bagian dari keputusan politik untuk mengatasi berbagai persoalan
dan isu-isu yang ada dan berkembang di masyarakat. Kebijakan publik juga
merupakan keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk melakukan pilihan
tindakan tertentu untuk tidak melakukan sesuatu maupun untuk melakukan
tidakan tertentu.
Dalam suatu pembuatan kebijakan sangatlah perlu dilakukan sebuah analisis.
Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau
lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut mencerminkan
aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu.
Sementara AG Subarsono (2005:8) mengatakan bahwa proses analisis
kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam
proses kegiatan politis. Aktivitas tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan
yang mencakup kegiatan penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, impelmentasi kebijakan, dan penilaian kebijakan Analisis kebijakan
publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat
kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik.
Salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan publik adalah implementasi
kebijakan. Implementasi sering dianggap hanya merupakan pelaksanaan dari apa
yang telah diputuskan oleh legislatif atau para pengambil keputusan, seolah-olah
tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataannya, tahapan
implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan tidak akan berarti
apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.

2

1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian kebijakan?
2. Bagaimana proses,prinsip dan tahapan pembuatan kebijakan?
3. Bagaimana penerapan kebijakan BLT di Indonesia?


1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Kebijakan
2. Mengetahui proses,prinsip dan tahapan pembuatan kebijakan
3. Mengetahui penerapan kebijakan BLT di Indonesia.












3

BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan Publik merupakan suatu aturan-aturan yang dibuat oleh
pemerintah dan merupakan bagian dari keputusan politik untuk mengatasi
berbagai persoalan dan isu-isu yang ada dan berkembang di
masyarakat. Kebijakan publik juga merupakan keputusan yang dibuat oleh
pemerintah untuk melakukan pilihan tindakan tertentu untuk tidak melakukan
sesuatu maupun untuk melakukan tidakan tertentu.
Dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah hukum suatu negara
sering terjadi berbagai permasalahan. Negara yang memengang penuh tanggung
jawab pada kehidupan rakyatnya harus mampu menyelesaikan permasalahan-
permasalahan tersebut. Kebijakan publik yang dibuat dan dikeluarkan oleh negara
diharapkan dapat menjadi solusi akan permasalahan-permasalahan tersebut.
Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan
mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang
dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
(Mustopadidjaja, 2002).
Untuk memahami lebih jauh bagaimana kebijakan publik sebagai solusi
permasalahan yang ada pada masyarakat, kita harus memahami dulu apa dan
seperti apa kebijakan publik itu sendiri. Berikut adalah definisi-definisi kebijakan
publik menurut para ahli kebijakan publik.
Thomas R. Dye (1981)
Kebijakan publik adalah apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan
oleh pemerintah. Pengertian yang diberikan Thomas R. Dye ini memiliki ruang
lingkup yang sangat luas. Selain itu, kajiannya yang hanya terfokus pada negara
sebagai pokok kajian.
4

Easton (1969)
Mendefinisikan kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan
untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian ini
hanya pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan
tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah
yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Anderson (1975)
Kebijakan publik adalah kebijakan kebijakan yang dibangun oleh badan-badan
dan pejabat-pejabat pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan tersebut adalah:
1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-
tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-
tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar
dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan
untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti
merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang
positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan
memaksa.
Dye (1978)
Mendefinisikan kebijakan publik sebagai Whatever governments choose to
do or not to do., yaitu segala sesuatu atau apapun yang dipilih oleh pemerintah
untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye juga memaknai kebijakan publik
sebagai suatu upaya untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukan oleh
pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa yang menyebabkan mereka
melakukannya secara berbeda-beda. Dia juga mengatakan bahwa apabila
pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan, maka tindakan tersebut
5

harus memiliki tujuan. Kebijakan publik tersebut harus meliputi semua tindakan
pemerintah, bukan hanya merupakan keinginan atau pejabat pemerintah saja. Di
samping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk
kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang tidak dilakukan oleh
pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besar dengan sesuatu yang
dilakukan oleh pemerintah.
David Easton
Mendefinisikan public policy sebagai : The authoritative allocation of value
for the whole society, but it turns out that only theg overnment can authoritatively
act on the whole society, and everything the government choosed do or not to do
result in the allocation of values. Maksudnya, public policy tidak hanya berupa
apa yang dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi juga apa yang tidak dikerjakan
oleh pemerintah karena keduanya sama-sama membutuhkan alasan-alasan yang
harus dipertanggungjawabkan.
Chief J.O. Udoji (1981)
Mendefinisikan kebijaksanaan publik sebagai An sanctioned course of
action addressed to a particular problem or group of related problems that affect
society at large. Maksudnya ialah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada
suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok
masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga
masyarakat.
Jonnes (1977)
Memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan pemerintah di
masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit demi sedikit.

6

Edward
Kebijakan publik didefinisikan sebagai What governments say and do, or do
not do. It is the goals or purposes of governments programs. Maksudnya, apa
yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah termasuk
kebijakan publik. Merujuk pada definisi di atas, kebijakan publik tampil sebagai
sasaran atau tujuan program-program. Edward lebih lanjut menjelaskan bahwa
kebijakan publik itu dapat diterapkan secara jelas dalam peraturan perundang-
undangan dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa
program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Chandler dan Plano (1988)
Kebijakan publik ialah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-
sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau
pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu
bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi
kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka
dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.
Woll (1966)
Kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan
masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga
yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik
terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan pemerintah tersebut
yaitu: 1) adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi,
pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan
publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat; 2) adanya output kebijakan,
di mana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk
melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat
regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan
7

masyarakat;3) adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan
yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi
Kebijakan Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi
suatu masalah yang menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang
dihadapi oleh Pemerintah sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam
memberikan pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut
adalah information failures, complex side effects, motivation failures, rentseeking,
second best theory, implementation failures (Hakim, 2002).
Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan,
yaitu kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis
operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik
dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan
kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan.
Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas
dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan
sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian
tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi
kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian
kebijakan.
Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai
berikut:
1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan
memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian
merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak
dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
8

3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan
masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan
persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model
dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model
matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan
konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria
yang dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik,
teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain.
6. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan
kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai
tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil
penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai
tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-
kecilnya.
2.2 Proses Pembuatan Kebijakan
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai
berikut:
1. Penyusunan Agenda
Penyusunan agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam
realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa
yang disebut sebagai masalah publik dan agenda publik perlu diperhitungkan. Jika
sebuah isu telah menjadi masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam
agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik
yang lebih daripada isu lain. Dalam penyusunan agenda juga sangat penting untuk
9

menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah.
Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan
(policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang
pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan
ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.
Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari
adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian
atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu
agenda kebijakan. Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan
publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn,
1986) diantaranya: telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan
menjadi ancaman yang serius; telah mencapai tingkat partikularitas tertentu
berdampak dramatis; 3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang
banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa; 4. menjangkau
dampak yang amat luas ; 5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam
masyarakat ; 6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan,
tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah
pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara
lainnya ditunda untuk waktu lama.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat
urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan
tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh
para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian
dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan
10

perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap
perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar
pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh
kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.Namun warga
negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung.
Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat
baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir
pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-
simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung
pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu
kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap
akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan
demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah
kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah
kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
2.3 Prinsip-prinsip Pembuatan Kebijakan
Adapun Prinsip-prinsip kebijakan yang dikemukakan di sini meliputi
tahapan-tahapan kebijakan, analisis kebijakan, implementasi kebijakan serta
monitoring dan evaluasi kebijakan.
11

A. Tahapan-tahapan kebijakan
Yerimias T Kaban (2005:62) mengemukakan bahwa: tahapan-tahapan
kebijakan meliputi beberapa tahap penting antara lain penetapan agenda kebijakan
yaitu masalah apa yang menjadi masalah publik yang perlu dipecahkan, formulasi
kebijakan yaitu mengidentifikasi kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan
dalam memecahkan masalah, adopsi kebijakan yaitu merupakan tahap berikutnya,
di mana ditentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para administrator dan
legislatif melalui suatu proses rekomendasi, implementasi kebijakan adalah
merupakan suatu tahap dimana kebijakan yang telah diadopsi tadi dilaksanakan
oleh unit-unit tertentu dengan memobilisasikan dana dan semberdaya yang ada
dan tahap terakhir adalah tahap penilaian kebijakan dimana berbagai unit yang
telah ditentukan melakukan penilaian tentang apakah semua proses implementasi
telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau tidak.
AG Subarsono (2005:10) mengatakan bahwa dalam penyusunan agenda
kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu dilakukan yaitu; (1) membangun presepsi
di kalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena bena-benar dianggap sebagai
masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu
dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elit politik
bukan dianggap, sebagai masalah; (2) membuat batasan masalah; (3)
memobilisasi dukungan agar masalah ini dapat dilakukan dengan cara
mengorganisir kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, dan kekuatan-
kekuatan politik, publikasi melalui media masa dan sebagainya.
Oleh sebeb itu dalam proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah
mengutip pendapat dari Yezhezkhel Dror yang membagi tahap-tahap proses-
proses kebijakan publik dalam 18 langkah yang merupakan uraian dari tiga tahap
besar dalam proses pembuatan kebijakan publik yaitu :
a.Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making
stage):
1. Pemrosesan nilai;
2. Pemrosesan realitas;
3. Pemrosesan masalah;
12

4. Survei, pemrosesan dan pengembangan sumber daya;
5. Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik;
6. Pengalokasian masalah, nilai, dan sumber daya;
7. Penentuan strategi pembuatan kebijakan.
b. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)
1. Sub alokasi sumber daya;
2. Penetapan tujuan operasional, dengan beberapa prioritas;
3. Penetapan nilai-bilai yang signifikan, dengan beberapa prioritas;
4. Penyiapan alternatif-alternatif kebijakan secara umum;
5. Penyiapan prediksi yang realistis atas berbagai alternatif tersebut
diatas, berikut keuntungan dan kerugiannya;
6. Membandingkan masing-masing alternatif yang ada itu sekaligus
menentukan alternatif mana yang terbaik;
7. Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yang telah
dipilih tersebut diatas.
c. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making
stage)
1. Memotivasi kebijakan yang akan diambil;
2. Mengambil dan memutuskan kebijakan publik;
3. Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang telah
dilakukan;
4. Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang telah
dilakukan.(Dalam Fadillah, 2001:75-76)







13

Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau
lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut mencerminkan
aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap
berhubungan dengan tahap yang berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian
kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap
ditengah, dalam lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi prosedur dapat
membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang secara langsung
mempengaruhi asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu tahap yang kemudian
secara tidak langsung mempengaruhi kinerja tahap-tahap berikutnya. Aktivitas
yang termasuk dalam aplikasi prosedur analisis kebijakan adalah tepat untuk
tahap-tahap tertentu dari proses pembuatan kebijakan, seperti ditunjukan dalam
segi empat (tahap-tahap pembuatan kebijakan) dan oval yang digelapkan
(prosedur analisis kebijakan) dalam bagan 2.1. terdapat sejumlah cara dimana
penerapan analisis kebijakan dapat memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan
kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).















14

Tabel Tahap-tahap dalam Proses Pembuatan Kebijakan:
FASE KARAKTERISTIK
PENYUSUNAN AGENDA Para pejabat yang dipilih dan diangkat
menempatkan masalah pada agenda publik.
Banyak masalah tidak disentuh sama sekali
sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
FORMULASI
KEBIJAKAN
Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan
untuk mengatasi masalah. Alternatif
kebijakan melihat perlunya membuat
perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan
tindakan legislatif.
ADOPSI KEBIJAKAN Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan
dukungan dari mayoritas legislatif,
konsesnsus diantara direktur lembaga atau
keputusan peradilan.
IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN
Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan
oleh unit-unit administrasi yang
memobilisasikan sumber daya finansial dan
manusia.
PENILAIAN
KEBIJAKAN
Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi
dalam pemerintahan menentukan apakah
badan-badan eksekutif. Legislatif, dan
peradilan memenuhi persyaratan undang-
undang dalam pembuatan kebijakan dan
pencapaian tujuan.
Sumber : William N. Dunn, 2000:24.




15

Bagan 2 Kedekatan prosedur Analisis Kebijakan dengan Tipe-tipe
Pembuatan Kebijakan:



Sumber : William N. Dunn, 2000:25.


16

Keterangan :
1. Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah
dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda
setting). Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan
yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan dan
merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.
2. Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang masalah yang akan terjadi dimasa mendatang sebagai akibat
dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam
tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang potensial,
dan secara normatif bernilai mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau
yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam
pencapaian tujuan dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi)
dari berbagai pilihan.
3. Rekomendasi membuahkan pengatahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya dimasa
mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambilan
kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi
tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenal eksternalitas dan akibat ganda,
menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan, dan mentukan
pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.
4. Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan
dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini
membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan dengan
menggunakan berbagai indikator kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan,
perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain. Pemantauan membantu menilai tingkat
kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan
program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan
17

menemukan letak pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap tahap
kebijakan.
5. Evaluasi (Penilaian) membuahkan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diterapkan
dengan yang benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan
terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan
kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah terselesaikan, tetapi juga
menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari
kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.(Dunn.
2000:26-29).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan / kebijakan
menurut Nigro and Nigro dalam buku karya M. Irfan Islamy yang berjudul
Prinsip-prinsip perumusan Kebijaksanaan Negara adalah sebagai berikut :
a. Adanya pengaruh tekanan dari luar
b. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konsevatisme)
c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
d. Adanya pengaruh dari kelompok luar
e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.(Dalam Islamy, 1986:25-26)

Hal tersebut selalu saja terjadi pada setiap usaha perumusan kebijakan
khususnya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat
dimana ternyata pada kenyataannya proses penentuan keputusan atau kebijakan
tersebut kental dengan berbagai macam pengaruh-pengaruh yang bersifat negatif.
Sebaliknya kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam proses
pembuatan keputusan menurut Nigro and Nigro adalah sebagai berikut:
a. Cara berfikir yang sempit (Cognitive nearsightedness).
b. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa
lalu(Assumption that future will repeat past).
c. Terlampau menyederhanakan sesuatu (Over simplication).
d. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang
(Overreliance on onesown experience).
18

e. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi para pembuat
keputusan (Preconceived nations).
f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (Unwillingness to
experiment).
g. Keengganaan untuk membuat keputusan (Reluctance to
decide).(Dalam Islamy, 1986:25-26).

Kesalahan-kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang sangat fatal
sekali khususnya didalam pembuatan suatu kebijakan yang menyangkut
kepentingan bersama sehingga semaksimal mungkin kesalahan tersebut harus
diminimalisir atau dihilangkan jika tidak ingin mendapatkan masalah pada tahap
pengimplementasian dilapangan yang berdampak pada citra buruk para penentu
kebijakan tersebut sekaligus kebijakan itu sendiri.

B. Analisis kebijakan
Yeremias T Kaban (2005:63) mengatakan bahwa proses analisis
kebijakan yang dibedakan atas perstrukturan atau identifikasi masalah, identifikasi
alternatif, selektif alternatif. Pada tahap selektif alternatif meliputi menyepakati
kriteria alternatif, penentuan alternatif terbaik, pengusulan alternative terbaik.
sementara AG Subarsono (2005:8) mengatakan bahwa proses analisis kebijakan
publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses
kegiatan politis. Aktivitas tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang
mencakup kegiatan penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
impelmentasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan
masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi adalah
aktivitas yang bersifat lebih intelektual.

William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu
disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode
penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang
19

relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam
rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1):
The product of policy analysis is advice. Specifically, it is advice that inform
some public policy decision. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan
nasehat atau bahan pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang
masalah yang dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik
berkaitan dengan masalah tersebut, dan juga berbagai alternatif kebijakan yang
mungkin bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan
kebijakan.
Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk
membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah
publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan
dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai
alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak
pembuat kebijakan.Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya
dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik
tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum
adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga
hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya
baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai
tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu
kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas.
Dunn (2000: 117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan
publik, yaitu:
1. Analisis kebijakan prospektif
Analisis Kebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi
informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis
kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk
20

dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang
dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan
kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan
kebijakan.
2. Analisis kebijakan retrospektif
Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan
transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe
analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini
yakni analis yang berorientasi pada disiplin, analis yang berorientasi pada
masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe
analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.
3. Analisis kebijakan yang terintegrasi
Analisis Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang
mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada
penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan
kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya
mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif
dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus
menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.
C. Implementasi kebijakan
Yeremias T Ka,ban (2005: 72) mengatakan implementasi merupakan
tahap merealisasi tujuan-tujuan program. Dalam ini yang perlu diperhatikan
adalah persiapan yaitu memikirkan dan menghitung secara matang berbagai
kemungkinan kebehasilan dan kegagalan, termasuk hambatan atau peluang-
peluang yang ada dan kemampuan organisasi yang diserahi tugas untuk
melaksanakan program.
21

Van Meter dan Van Horn (1975, dalam Solichin Abdul Wahab 2008:64)
merumuskan proses implementasi sebagai tindakan-tindakan yang baik dilakukan
baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah
atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan.
Salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan publik adalah
implementasi kebijakan. Implementasi sering dianggap hanya merupakan
pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau para pengambil
keputusan, seolah-olah tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam
kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu
kebijakan tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik
dan benar. Dengan kata lain implementasi merupakan tahap dimana suatu
kebijakan dilaksanakan secara maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu
sendiri.
Terdapat beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang
dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara Etimologis, implementasi menurut
kamus Webster yang dikutib oleh Solichin Abdul Wahab adalah sebagai berikut:
Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement.
Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to
providethe means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan
sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat
terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab (2006:64)).
Pengertian implementasi selain menurut Webster di atas dijelaskan juga
menurut Van Meter dan Van Horn bahwa Implementasi adalah tindakan-
tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau
kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan (Van Meter dan
Van Horn dalam Wahab, 2006:65).
Definisi lain juga diutarakan oleh Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier
yang menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa:
22

Hakikat utama implementasi kebijakan adalah memahami apa yang
seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan.
Pemahaman tersebut mencakup usaha-usaha untuk mengadministrasikannya dan
menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian (Mazmanian
dan Sabatier dalam Widodo (2010:87)).
Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas,
disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha yang
dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil
yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.

Model Implementasi Kebijakan (George Edward III)

Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan publik maka
perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu,
diperlukan suatu model kebijakan guna menyederhanakan pemahaman konsep
suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak model yang dapat dipakai untuk
menganalisis sebuah implementasi kebijakan, namun kali ini yang saya bagikan
adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III.
Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang
dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan
mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan
guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap
implementasi. Oleh karena itu, Edward menegaskan bahwa dalam studi
implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok yaitu:
a) Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?
b) Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi
kebijakan?

Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor yang
berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan yaitu
23

faktor communication, resources, disposition, dan bureucratic structure (Edward
dalam Widodo, 2011:96-110).

Model Implementasi George C. Edward III:


a. Komunikasi (Communication)
Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator
kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan
proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers)
kepada pelaksana kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2011:97).
Widodo kemudian menambahkan bahwa informasi perlu disampaikan
kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang
menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga
pelaku kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan
pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan dengan
efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.
Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi
penting yaitu tranformasi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity) dan
konsistensi informasi (consistency). Dimensi tranformasi menghendaki agar
informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada
kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Dimensi kejelasan menghendaki agar
informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu untuk menghindari kesalahan
interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang
terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi
24

menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten sehingga tidak
menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak
terkait.

b. Sumber Daya (Resources)
Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan.
Edward III dalam Widodo (2011:98) mengemukakan bahwa:
Bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-
aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau
aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk
melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut
tidak akan efektif.
Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan
untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini
mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan
yang dijelaskan sebagai berikut :

1) Sumber Daya Manusia (Staff)
Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari
sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber
daya manusia berkaitan dengan keterampilan, dedikas, profesionalitas, dan
kompetensi di bidangnya, sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber
daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran.
Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi,
sebab tanpa sumber daya manusia yang kehandalan sumber daya manusia,
implementasi kebijakan akan berjalan lambat.
2) Anggaran (Budgetary)
Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan
modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin
25

terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi,
kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.

3) Fasilitas (facility)
Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak,
seperti gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam
keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan.

4) Informasi dan Kewenangan (Information and Authority)
Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan,
terutama informasi yang relevan dan cukup terkait bagaimana
mengimplementasikan suatu kebijakan. Sementara wewenang berperan penting
terutama untuk meyakinkan dan menjamin bahwa kebijakan yang dilaksanakan
sesuai dengan yang dikehendaki.

c. Disposisi (Disposition)
Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan
berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan
tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana
kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan
implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah digariskan,
sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakn akan membuat mereka
selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung
jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam
implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka
dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan
oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka
implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.

26

d. Struktur Birokrasi (Bureucratic Structure)
Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu
mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme,
dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat standart operation procedur
(SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar
dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan.
Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan
terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan
aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

D. Monitoring dan evaluasi
Sebagai langkah untuk mengetahui tingkat perkembangan kegiatan yang
dilaksanakan diperlukan adanya monitoring. Di dalam proses monitoring ini
dilakukan pengamatan langsung ke lapangan dan hasil-hasil sementara untuk
dinilai tingkat efisiensi dan efektifitasnya. Tingkat efisiensinya yang berkenaan
dalam proses rasio terbaik antara semua biaya yang dikeluarkan selama hasil
implementasi dibandingkan dengan hasil sementara yang diperoleh. Sedangkan
tingkat efektifitas selalu dikaitkan dengan apakah suatu hasil sementara yang
didapat merupakan hasil yang memang direncanakan atau tidak.
Hasil monitoring sebagai bahan mengevaluasi untuk mempelajari tentang
hasil yang diperoleh dalam suatu program untuk dikaitkan dengan
pelaksanaannya, mengendalikan tingkah laku dari orang-orang yang
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program, dan mempengaruhi respon dari
mereka yang berada di luar politik.
Namun pertanyaan kunci yang sering menjadi bahan perbincangan tentang
hasil evaluasi adalah apakah outcome yang muncul merupakan hasil dari
pelaksanaan program yang ada, atau dari faktor-faktor lain di luar program
tersebut. Lebih lanjut Yeremias T Ka,ban (2005: 75) mengatakan bahwa problem
yang biasanya dihadapi dalam evaluasi kebijakan adalah kelemahan dalam
27

penyusunan indikator keberhasilan, dalam merumuskan masalah, mengidentifikasi
tujuan, perbedaaan tentang presepsi terhadap tujuan antara penilai dan yang
dinilai, perbedaaan dalam orientasi waktu, dan sebagainya.
Sementara Edi Suharto (2005:199) mengatakan monitoring adalah
pemantuan secara terus menerus proses perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan.Monitoring memainkan peran metodologis yang penting dalam analisis
kebijakan. Ketika situasi masalah (problem situation) timbul saat transformasi
tindakan kebijakan menjadi informasi tentang hasil kebijakan melalui monitoring,
situasi masalah (sistem dari berbagai masalah yang saling tergantung) tersebut
ditransformasikan melalui perumusan masalah ke dalam suatu masalah kebijakan.
Informasi yang dibutuhkan untuk memantau kebijakan publik harus
relevan, dapat diandalkan (reliable) dan valid. Dapat diandalkan mengandung arti
bahwa observasi dalam memperoleh informasi harus dilakukan secara cermat.
Valid atau sahih maksudnya informasi tersebut benar-benar memberitahu kita
tentang apa yang memang kita maksudkan. Sebagian informasi bersifat umum,
misalnya tentang karakteristik ekonomi, kependudukan, dan sebagian lagi bersifat
khusus, menyangkut suatu wilayah, kota, dan sub populasi lain dalam masyarakat.
Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber. Pada umumnya informasi
diperoleh dari arsip pada instansi atau badan terkait berupa buku, monograf,
artikel, dan laporan tertulis dari para peneliti. Bila data dan informasi tidak
tersedia pada sumber di atas, monitoring perlu dilakukan dengan kuisioner,
wawancara, dan observasi lapangan.
Dalam memantau hasil kebijakan, harus dibedakan dua jenis hasil
kebijakan, yaitu: keluaran (outputs), dan dampak (impacts). Keluaran kebijakan
adalah barang, layanan, atau sumberdaya yang diterima oleh kelompok sasaran
atau kolompok penerima (beneficiaries). Sebaliknya dampak kebijakan
merupakan perubahan nyata pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan oleh
keluaran kebijakan tersebut. Dalam memantau keluaran serta dampak kebijakan
harus diingat bahwa kelompok sasaran tidak selalu merupakan kelompok
penerima. Kelompok sasaran (target group) merupakan individu, masyarakat atau
organisasi yang hendak dipengaruhi oleh suatu kebijkan dan program. Sedangkan
28

penerima (beneficiaries) adalah kelompok yang menerima manfaat atau nilai dari
kebijakan tersebut.
Untuk menghitung secara baik keluaran dan dampak kebijakan, perlu
melihat kembali tindakan kebijakan yang dilakukan sebelumnya. Secara umum
tindakan kebijakan mempunyai dua tujuan utama, yaitu regulasi dan alokasi.
Tindakan regulatif adalah tindakan yang dirancang untuk menjamin kepatuhan
terhadap standar atau prosedur tertentu. Sebaliknya tindakan alokatif adalah
tindakan yang membutuhkan masukan yang berupa uang, waktu, personil dan
alat.
Tindakan kebijakan dapat pula dipilah lebih lanjut menjadi masukan
(input) kebijakan dan proses kebijakan. Masukan kebijakan adalah sumberdaya
(waktu, uang, personil, alat, material) yang dipakai untuk menghasilkan keluaran
dan dampak. Proses kebijakan adalah tindakan organisasional dan politis yang
menentukan transformasi dari masukan kebijakan menjadi keluaran dan dampak
kebijakan.
Sebaiknya kita membuat dua jenis definisi tentang suatu variabel, yaitu
definisi konsep dan definisi operasional. Definisi konsep memberikan makna dari
kata yang digunakan untuk menjelaskan variabel dengan menggunakan persamaan
katanya. Definisi operasional atau indikator dari variabel memberikan makna bagi
suatu variabel dengan merinci tindakan apa yang disyaratkan untuk dilakukan
agar dapat mengalami atau untuk mengukurnya. Definisi operasional tidak hanya
merinci prosedur yang dibutuhkan untuk menyelami atau mengukur sesuatu.
Namun juga membantu menunjukkan indikator dari variabel-variabel masukan,
proses, keluaran dan dampak. Karena hubungan antara variabel dan indikator itu
kompleks, disarankan untuk menggunakan banyak indikator bagi suatu variabel
tindakan atau hasil kebijakan. Monitoring dapat dipilah menjadi beberapa
pendekatan: akuntansi sistem sosial, eksperimentasi sosial, auditing sosial, dan
sintosis riset-praktek. Perbedaan utama di antara empat pendekatan tersebut
adalah sebagai berikut (lihat Tabel 1).
29


Namun demikian, setiap pendekatan tersebut memiliki sifat yang sama, antara
lain:
1. Berusaha memantau hasil kebijakan yang relevan setiap pendekatan
mencermati variabel-variabel yang relevan bagi pembuat kebijakan karena
variabel-variabel tersebut merupakan indikator dari keluaran dan/atau
dampak kebijakan.
2. Terfokus pada tujuan hasil kebijakan dipantau karena diyakini akan
meningkatkan kepuasan atas beborapa kebutuhan, nilai dan kesempatan.
3. Dengan kata lain, hasil kebijakan dipandang sebagai cara memecahkan
masalah kebijakan.
4. Berorientasi pada perubahan (change oriented). Setiap pendekatan
berupaya untuk memantau perubahan, baik dengan menganalisis
perubahan dalam hasil antar waktu (time series); dengan membandingkan
perubahan antar program, proyek atau wilayah; atau dengan kombinasi
kedua cara ini.
5. Memungkinkan klasifikasi silang atas keluaran dan dampak dengan
variabel lain, termasuk variabel yang dipakai untuk memantau masukan
serta proses kebijakan.
6. Mengukur tindakan dan hasil kebijakan secara objektif maupun subyektif.
Indikator yang objektif biasanya didasarkan pada data yang tersedia,
sedangkan indikator subjektif didasarkan pada data baru yang diperoleh
30

melalui survei atau studi lapangan: a. Akuntansi Sistem Sosial
(SocialSystem Accounting); b. Eksperimentasi Sosial; c. Pemeriksaan
Sosiali (Social Auditing); d. Sintesis Riset dan Praktek.
Monitoring terhadap suatu kebijakan baru dapat dilakukan setelah adanya
tindakan dari para pelaku kebijakan terhadap objek atau kelompok sasaran.
Dengan kata lain rencana kebijakan tersebut telah diimplementasikan menjadi
kebijakan publik. Sehingga minimal analis dapat melihat adanya perubahan atau
hasil yang signifikan dari tindakan kebijakan tersebut baik berupa data-data
kuantitatif maupun data kualitatif berdasarkan hasil pengamatan.
Pelaksanaan monitoring yang bersifat ex post facto atau pasca penerapan
kebijakan ini sama halnya dengan prinsip evaluasi. Bedanya dalam monitoring
intinya analis hanya mengumpulkan informasi seputar pelaksanaan kebijakan,
baik berupa data objektif maupun subjektif, berdasarkan indikator-indikator yang
telah dipilih. Sedangkan dalam evaluasi, analis memasukkan penilaiannya
terhadap informasi yang telah dikumpulkan dalam proses monitoring tersebut.
Jadi dari suatu hasil evaluasi analis dapat menilai apakah suatu proses atau
keluaran kebijakan berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan pembuat kebijakan
atau tidak, sedangkan dalam monitoring hal tersebut tidak dapat dilakukan.
Bagaimanapun seharusnya kegiatan monitoring dan evaluasi tidak dapat
dipisahkan dan mampu berjalan seiring dengan diterapkannya suatu kebijakan
publik.
Setiap pendekatan yang digunakan dalam proses monitoring menghasilkan
kedalaman informasi yang berbeda. Masing-masing juga memiliki kelebihan dan
kelemahan dalam menghimpun informasi hasil kebijakan yang dibutuhkan oleh
analis. Pendekatan Akuntansi Sistem Sosial dan Eksperimentasi Sosial sangat
memuja angka-angka statistik yang telah dihimpun badan lain. Dalam
menggunakan pendekatan tersebut, analis hanya perlu mengumpulkan data-data
statistik yang telah ada, itupun berupa data keluaran atau dampak dari kebijakan
yang diamati. Akibatnya seringkali diperoleh hasil monitoring yang kurang akurat
31

karena dengan dua pendekatan tersebut analis tidak memperhatikan ada tidaknya
penyimpangan dalam proses transformasi masukan menjadi keluaran kebijakan.
Berdasarkan pengamatan, kegiatan monitoring yang sedang dalam tahap
percobaan di Indonesia banyak yang menggunakan pendekatan semacam ini. Hal
tersebut wajar karena dengan pendekatan ini biaya dan waktu yang dibutuhkan
untuk kegiatan monitoring relatif lebih sedikit. Sayangnya data statistik yang
tersedia di Indonesia sebagai sumber informasi utama untuk pendekatan ini masih
sangat terbatas dan belum sepenuhnya dapat diandalkan. Dengan demikian
diperlukan sumber-sumber informasi baru yang dijadikan sumber monitoring.
Pendekatan Pemeriksaan Sosial dan pendekatan Sintesis Riset dan Praktek
telah memasukan penilaian subjektif dari para pakar dan juga memperhatikan
proses transformasi sumberdaya, sehingga informasi yang diperoleh sebagai hasil
monitoring lebih lengkap dan menyeluruh. Namun prosedur penghimpunan data-
data kualitatif (riset) dan kuantitatif yang dikemukakan oleh Dunn seperti metode
survei riset dan metode survei kasus belum memiliki format yang baku dan belum
tentu cocok diterapkan di Indonesia. Di Indonesia penelitian dan riset yang
dilakukan kebanyakan kurang objektif dan seringkali memihak pada suatu badan
terutama badan pemberi dana riset.
Jenis-jenis informasi yang dijadikan bahan monitoring sebaiknya tidak hanya
berupa data statistik yang sifatnya objektif atau data subjektif saja. Kedua jenis
informasi itu harus dilakukan bersama sama sehingga satu sama lain dapat saling
melengkapi dan saling menguatkan (cross checking). Data statistik sebagai
sumber bahan monitoring harus diwaspadai keabsahannya. Kasus yang ada di
Indonesia mengilustrasikan bahwa seringkali data statistik yang dihasilkan
berbeda-beda antar instansi atau badan penghimpun data. Contohnya data jumlah
penduduk yang dikeluarkan BPS berbeda dengan data yang sama yang
dikeluarkan oleh BKKBN. Hal tersebut, di atas secara tidak langsung
menggambarkan bahwa kegiatan monitoring di Indonesia masih memiliki banyak
kekurangan, baik dalam segi teknis maupun badan pelaksananya.
32

Fungsi DPR selaku badan legislatif tinggi RI lebih mengarah sebagai
evaluator daripada pihak yang melakukan monitoring. Padahal sebagaimana
disebutkan tadi, kegiatan monitoring merupakan langkah awal untuk mencapai
proses evaluasi yang sesuai dan mengarah pada tujuan kebijakan. Tampaknya
dibeberapa badan tinggi formal di Indonesia, kegiatan monitoring belum
dilakukan secara khusus, namun disamakan dengan proses pengumpulan data
yang dilakukan sebagai bagian dari proses evaluasi kebijakan. Di lain pihak
kegiatan monitoring sesungguhnya sudah mulai dilakukan oleh lembaga-lembaga
independen (misalnya, ICW) maupun pihak yang ditunjuk langsung oleh badan
legislatif (misalnya: konsultan). Namun disayangkan kegiatan monitoring yang
sedang berlangsung itu sifatnya masih sektoral, tergantung bidang pengamatan
lembaga yang melakukan monitoring tersebut. Sehingga tentunya masih banyak
tindakan kebijakan yang belum termonitor pelaksanaannya.










33

2.4 STUDI KASUS
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BENTUK BANTUAN
LANGSUNG TUNAI (BLT) TERHADAP MASYARAKAT MISKIN
Indonesia merupakan Negara dengan jumlah kepadatan penduduk dengan
rangking ke-4 di dunia. Dengan jumlah kepadatan penduduk ke-4 di dunia
tersebut, tingkat kesejahteraan masyarakatnya belum bias dikatakan makmur,
terutama di bidang pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi turut
mendukung perkembangan perekonomian di Indonesia. Dengan adanya persoalan
jumlah penduduk tersebut, mengakibatkan tingkat kemiskinan di Indonesia
semakin meningkat. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk
mengatasi persoalan tersebut sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan.
Salah satu bentuk kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan ialah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai
(BLT) kepada rakyat miskin di Indonesia. Dalam fenomenaini, pemerintah
meluncurkan dana tunai atau dana langsung yang diterima oleh masyarakat
melalui aparatur pemerintahan yang sebelumnya telah melakukan survey terkait
penduduk manasaja yang berhak menerima dana tersebut. Kebijakan ini dilakukan
untuk merangsang pertumbuhan ekonomi bagimasyarakat kecil dan menengah
untuk meningkatkan taraf hidup mereka, mengingat masih banyaknya penduduk
yang dikategorikan miskin di Indonesia.
Secara historis, kebijakan pemerintah terkait dengan Bantuan Langsung Tunai
(BLT) tersebut diakibatkan semakin bertambahnya jumlah masyarakat miskin di
Indonesia, walaupun sebenarnya jumlah penduduk miskin pada orde baru
menunjukkan penurunan di setiapt ahun. Padatahun 1976 jumlah penduduk
miskin mencapai 54,2 juta (40,08%) , pada tahun 1987 menurun menjadi 30 juta
(17,42%), pada tahun 2006 sebelum krisis tinggal 22,5 juta (11,3%), namun
setelah krisis ekonomi sampai pertengahan tahun 1998 jumlah penduduk miskin
mencapai 79,8 juta (BPS,1998). Jumlah penduduk miskin sebenarnya
34

menunjukkan penurunan pada tahun 2003-2005, namun pemerintah menaikkan
harga BBM secara berlebihan (sekitar 100%) pada bulan oktober 2005 sehingga
berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Tercatat
jumlah penduduk miskin pada bulan maret 2006 melonjak menjadi 39,05 juta,
padahal pada bulan februari hanya sebesar 35,1 juta jiwa, dan saat ini, jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96
persen), berkurang 0,89 juta orang (0,53 persen) dibandingkan dengan penduduk
miskinpada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen).
Penyebab kemiskinan di Indonesia sangat beragam, dimulai dari pendidikan
yang rendah, etos kerja yang kurang, hingga budaya konsumerisme yang tinggi
serta korupsi yang tumbuh subur. Itulah mengapa pemerintah memberikan dana
BLT sebagai perangsang perekonomian masyarakat. Namun, imbas dari
kebijakan ini justru menciptakan budaya malas bagi masyarakat itu sendiri.
Rakyat, pada akhirnya menjadikan BLT sebagai harapan untuk memenuhi
kebutuhan dan hajat hidup mereka. Akibatnya, bukan sebuah peningkatan
ekonomi yang terjadi, namun justru etos kerja masyarakat yang semakin menurun.
Kebijakan ini ternyata semakin mempersubur budaya korupsi di daerah. Hal ini
tercermin dalam pengalokasian dana BLT yang diberikan kepada masyarakat. Ada
sebuah stigma, bahwa proses kolusi terjadi dalam pengaplikasian kebijakan ini.
Misalnya, penduduk yang mendapatkan bantuan ini memiliki hubungan
kekerabatan dengan aparatur yang berwenang, walaupun penduduk tersebut tidak
tergolong miskin. Ini diperkuat dengan tidak adanya standarisasi yang diberikan
pemerintah terkait criteria apa saja yang ditetapkan sebagai penduduk miskin.
Walaupun pemerintah telah menetapkan penduduk miskin ialah mereka yang
menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan garis kemiskinan dari
besarnya rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan komsumsi setara
dengan 2.100 kalori per kapita per hari ditambah kebutuhan pokoklainnya seperti
sandang pangan, perumahan, kesehatan.
Kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui BLT, secara umum masih
terdapat banyak kelemahan. Setidaknya ada empat kelemahan dalam penerapan
35

kebijakan BLT yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama, kebijakan BLT
dilaksanakan secara seragam (general) tanpa melihat konteks sosial, ekonomi, dan
budaya disetiap wilayah (komunitas). Kedua, definisi dan pengukuran kemiskinan
lebih banyak di pengaruhi pihak luar (externally imposed) dan memakai
parameter yang terlalu ekonomis. Implikasinya adalah konsep penanganan
kemiskinan mengalami sasaran dari hakikat kemiskinan itu sendiri. Ketiga,
penanganan program pengentasan kemiskinan mengalami birokratisasi yang
dalam, sehingga banyak yang gagal akibat belitan prosedur yang terlampau
panjang. Keempat, kebijakan penanganan kemiskinan sering ditumpangi oleh
kepentingan politik yang amat kental sehingga tidak mempunyai muatan atau
makna dalam penguatan perekonomian masyarakat miskin.
Kebijakan BLT nyatanya belum cocok mengatasi permasalahan ini,
sehingga kebijakan itu belum berhasil karena program yang dirancang dalam
pengentasan kemiskinant idak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan
masyarakat miskin. Sehingga pemerintah harus mengevaluasi kebijakan tersebut
dengan melakukan suatu upaya yang sangat efektif dan menyeluruh.








36

BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam kehidupan masyarakat, dimensi kebijakan sangat berperan penting
dalam berbagai proses penentuan suatu kebijakan (penentuan tujuan dan proses
pengambilan keputusan). Suatu kebijakan yang akan diputuskan sangat
berpengaruh terhadap implementasi yang akan diterapkan. Prinsip-prinsip yang
terdapat dalam dimensi meliputi (tahapan-tahapan kebijakan, analisis kebijakan,
implementasi kebijakan, dan monitoring atau evaluasi), dapat diterapkan di dalam
suatu proses pengorganisasian. Dari berbagai definisi dan deskripsi yang ada
dapat kita simpulkan bahwa kebijakan publik merupakan suatu proses dimana
penentuan suatu kebijakan harus memperhatikan proses-proses dan prinsip-
prinsip di dalam dimensi kebijakan itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai