Anda di halaman 1dari 63

Bab 6

Proses Terjadinya Kebijakan

Just because you do not take an interest in politics


doesn't mean politics won't take an interest in
you—Pericles

Secara umum proses pembuatan kebijakan dapat dibedakan menjadi


dua cara. Pertama, pembuatan kebijakan dianggap sebagai aktivitas
penetapan masalah dan mencari solusinya yang dapat dilakukan oleh
seseorang atau lembaga swasta seperti perusahaan. Proses berfikir untuk
menentukan bagaimana masalah-masalah ditetapkan dan cara-cara
penyelesaiannya sangat tergantung dari pengalaman dan pengetahuan
para pembuatnya. Hal demikian itu biasanya terjadi dalam proses
pembuatan kebijakan pada lingkup kecil atau terbatas, dengan dampak
maupun resiko akibat pelaksanaan kebijakan dapat diketahui dan
dipastikan dapat diterima oleh siapapun yang menerima dampak akibat
pelaksanaan kebijakan tersebut. Misalnya dalam lingkungan perusahaan
146 | Proses Pembuatan Kebijakan

kecil atau lembaga-lembaga yang mempu-nyai lingkup kerja terbatas.


Anggapan terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut didukung oleh
cara berfikir rasional1 dan model linier dalam pembuatan kebijakan yang
akan diuraikan lebih lanjut dalam sub bab berikutnya.
Kedua, pembuatan kebijakan yang prosesnya dipelajari berdasarkan
ilmu-ilmu politik, sosiologi, anthropologi maupun manajemen. Dalam
pendekatan ini, penetapan masalah dalam proses pembuatan kebijakan,
tidak dianggap sebagai proses sederhana yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang. Pendekatan ini setidaknya memberi dua
pertimbangan.
Pertama, hasil rumusan masalah kebijakan sangat tergantung ilmu
pengetahuan dan kerangka pikir serta pengalaman yang digunakan untuk
merumuskan masalah tersebut (Lihat Bab 5). Apabila digunakan kerangka
pikir ilmu ekonomi atau sosial atau politik atau hukum, misalnya, akan
menghasilkan masalah ekonomi atau masalah sosial atau masalah politik
atau masalah hukum. Sementara itu apabila digunakan pendekatan
anthropologi, tidak digunakan kerangka pikir atau frame yang dimiliki
oleh pembuat kebijakan untuk menentukan masalah. Dalam pendekatan
anthropolgi masalah dirumuskan apa adanya dari orang atau subyek yang
mengalami masalah tersebut. Perbedaan substansi rumusan masalah di
atas pada akhirnya menentukan perbedaan cara penyelesaiannya;
Kedua, implikasi adanya perbedaan rumusan masalah dan perbedaan
cara menyele-saikan masalah menentukan siapa yang dilibatkan dalam
proses pembuatan kebijakan dan siapa yang mendapat manfaat dari
pelaksanaan kebijakan. Dalam hal ini sekaligus perlu diperhatikan pula
apa kepentingan dibalik proses pembuatan kebijakan itu.
Penjabaran dua kerangka pikir yang berbeda di atas diuraikan dalam
Bab ini untuk memberi gambaran bagaimana kebijakan itu dibuat dan apa
implikasi-implikasi yang perlu menjadi perhatian dari proses pembuatan
kebijakan.

1
Cara berfikir rasional ini didukung oleh tradisi positivistik yang seringkali juga disebut
dengan beberapa sebutan seperti empirisisme, behaviorisme, naturalisme dan saintisme
sebagaimana telah diuraikan dalam Bab 2.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 147

Model Linier dan Kelemahannya


Pembuatan kebijakan yang berjalan mengikuti model linier juga
disebut model rasional, atau common-sense. Model rasional memiliki tradisi
panjang di bidang kebijakan. Analisis kebijakan yang dikembangkan pada
awal abad 20 dengan tradisi intelektual di kedua bidang ekonomi
kesejahteraan dan psikologi sosial, didasar-kan pada tradisi positivisme,
empirisme dan rasionalisme (Pittaway, tanpa tahun).2 Asumsi utama
dalam model rasional adalah bahwa pembuatan kebijakan dianggap
proses rasional dalam pengambilan keputusan. Rasional tersebut dalam
pengertian informasi mengenai masalah dan alternatifnya diketahui untuk
tujuan yang telah dapat disepakati bersama. Dalam kerangka kerja ini
digunakan model logis dan hirarki analisis kebijakan untuk menjelaskan
bagaimana kebijakan dirumuskan, dilaksanakan dan dievaluasi.
Dinyatakan dalam pendekatan ini bahwa analisis kebijakan yang tidak
dijelaskan melalui asumsi-asumsi dan prinsip ilmiah, akan menghasilkan
pernyataan subjektif dan karena itu tidak valid.
Para analis kebijakan ini juga menyediakan berbagai alat untuk
mengatur, mengukur dan mengontrol proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan. Model rasional ini berusaha untuk menghapus pengaruh politik
dari seluruh proses pembuatan kebijakan. Karena tidak spekulatif, maka
proses pembuatan kebijakan dengan model rasional ini diklaim terbebas
dari bias pribadi dan prasangka, berbasis empiris-ilmiah, pengambilan
keputusan dipandu oleh fakta yang sudah terbukti dan dipandu oleh hasil
eksperimen.
Dalam pembuatannya, kebijakan disusun berdasarkan sejumlah
langkah serial, dimulai dengan merumuskan isu dan masalah dan diakhiri
penetapan sejumlah kegiatan untuk memecahkan masalah tersebut.
Biasanya urutan model linier dalam pembuatan kebijakan adalah sebagai
berikut (lihat Gambar 10; Sutton 1999):

2
Eillen Pittaway. Writing in the Rationalist Framework: the Text Book Approach.
148 | Proses Pembuatan Kebijakan

TAHAP
TAHAP TAHAP
PENETAPAN
PENETAPAN AGENDA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
KEPUTUSAN

Tindakan/ Pelaksa-
Terpilih Solusi naan
Terpilih berhasil

Tindakan/ Penguatan
Pelaksa- lembaga
Solusi Tdk
naan
Terpilih
gagal Memperku-
Tidak
Terpilih at “political
will”
Gambar 10 Proses pembuatan kebijakan secara
linier
1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah.
Dalam tahap ini biasanya juga dilakukan dengan menentukan
kesenjangan atau gap antara kondisi saat ini dan kondisi harapan yang
diinginkan;
2. Merumuskan segenap tindakan untuk mengatasi masalah atau gap
tersebut;
3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko
dan hambatan yang mungkin terjadi;
4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat;
5. Pelaksanaan kebijakan;
6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.
Dalam pendekatan ini, apabila masalah tidak dapat dipecahkan
melalui segenap tindakan yang telah ditetapkan, kesalahan biasanya tidak
dialamatkan pada isi kebijakan, melainkan pada pelaksanaannya.
Kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan, biasanya dialamatkan pada
lemahnya ’political will’, terbatasnya sumberdaya (anggaran, sumberdaya
manusia), atau lemahnya manajemen.3
Kelemahan pendekatan rasional tersebut dapat dilihat, misalnya,
apabila memang anggaran, sumberdaya dan manajemen pelaksanaan
kebijakan lemah, mengapa kelemahan-kelemahan tersebut tidak
dipertimbangkan sebagai masalah dan ditetapkan dalam tahap penetapan
agenda? Bagaimana tindakan sebagai solusi diputuskan juga sangat

3
Pandangan demikian ini menjadi pandangan khas birokrasi pemerintahan. Lihat lebih
jauh dalam analisis Scheuer JL, Clark TW. 2001. Conserving biodiversity in Hawai’i:
What is policy problems? Di dalam, Clark TW; Stevenson MJ, Ziegelmayer K,
Rutherford MB (editor). 2001. Species and Ecosystem Conservation: An
Interdisciplinary Approach. Yale F&ES Bulletin No.105.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 149

tergantung siapa yang mempunyai kewenangan, dan oleh karenanya,


pemegang kewenangan seharusnya dapat mengarahkan tindakannya
untuk menjalankan solusi tersebut. Asumsi ini seringkali tidak dipenuhi.
Disamping itu, informasi sebagai bahan untuk mendalami isu dan
menetapkan masalah seringkali tidak lengkap.
Penetapan alternatif tindakan sebagai solusi seringkali hanya
menggunakan pendapat sekelompok orang dan belum tentu merupakan
tindakan tepat untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan.
Dalam banyak hal, rumusan masalah itu sendiri seringkali keliru, sehingga
tindakan untuk memecahkan masalah juga tidak tepat. Pendapat para
pembuat kebijakan atau saran-saran dalam pembuatan kebijakan dari
berbagai sumber seringkali menggunakan ’kebenaran’ di masa lalu dan
tidak lagi sesuai untuk kondisi saat ini dan yang akan datang.
Beberapa kasus juga dapat ditemukan, misalnya meskipun rumusan
dan solusi masalah telah ditetapkan, namun naskah kebijakan final tidak
seperti naskah semula, akibat adanya kepentingan-kepentingan lain yang
berhasil mengubahnya. Kenyataan-kenyataan tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai “seharusnya tidak de-mikian”. Para analis kebijakan
perlu melihat kenyataan demikian itu dari berbagai sudut pandang, untuk
kemudian difahami sebagai bagian dari proses pembuatan kebijakan
secara utuh.
Model linier ini sangat efektif untuk menyangkal adanya pengaruh
politik di dalam proses pembuatan kebijakan. Pada tahun 1947, Herbert A.
Simon mengembangkan model rasionalitas terbatas (bounded rationality),
mengakui beberapa keterbatasan penggunaan metode ilmiah dan
pembuatan keputusan rasional sebagai alat analisis untuk pengambilan
keputusan. Hal itu disebabkan walaupun dikatakan rasional, namun
penetapan kebijakan senantiasa dihadapkan pada tiga hal yaitu: tidak
cukupnya informasi yang diperoleh pada saat menetapkan masalah dan
solusi, kapasitas pikiran yang terbatas untuk bisa menggunakan informasi
yang tersedia, serta terbatasnya waktu dalam pengambilan keputusan.
Kondisi yang kompleks dalam pengambilan keputusan dipahami
sebagai ele-men penting dalam proses pembuatan kebijakan dan oleh
karenanya menempat-kan rasionalitas terbatas dalam proses pengambilan
keputusan menjadi sangat penting. Proses pembuatan kebijakan yang
sedang berlangsung seringkali berubah sehingga berjalan tahap demi
tahap. Proses demikian itu menjadi inti dari teori incrementalism dalam
pembuatan kebijakan yang diringkas oleh Gregory (1989), sebagai berikut:
150 | Proses Pembuatan Kebijakan

“...pembuatan kebijakan publik mengandung sedikit pemahaman tentang


hubungan antar variabel, pembuat kebijakan membatasi diri pada apa yang
sesuai dengan mereka dan apa yang mereka tahu; dan membuat kebijakan
adalah proses yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang berbeda
dengan kepentingan yang berbeda dan di situlah tujuan didorong.”

Pengaruh politik kekuasaan dalam pembuatan kebijakan pada


umumnya tidak diakui oleh pembuat kebijakan yang menggunakan model
rasional. Pfeffer (1981) menunjukkan bahwa, sementara kebanyakan orang
secara nyata merasakan dan memahami adanya pengaruh kekuasaan
dalam pembuatan kebijakan, para peng-guna model rasional justru sangat
tidak nyaman dengan kekuasaan, terutama kekuasaan dalam konteks
politik. Politik atau kepentingan dalam pembuatan kebi-jakan biasanya
disederhanakan menjadi otoritas atau kewenangan yang sudah melekat
pada lembaga yang membuat kebijakan itu. Dalam model rasional,
kewenangan tersebut diasumsikan dipegang oleh elit pembuatan
kebijakan sebagai pemegang mandat melalui sistem politik pemerintahan
untuk membuat keputusan mengenai kebijakan atas nama orang banyak
(konstituen). Kebijakan publik diang-gap sebagai tindakan dan posisi yang
diambil oleh negara atas perannya yang sah sebagai pembuat keputusan.
Sifat pluralis dan kemungkinan konflik serta adanya permainan
kekuasaan antara aktor kebijakan diakui oleh para analis dengan model
rasional. Pandangan mengenai kekuasaan yang tergantung pada sumber
daya yang menghubungkan kekuatan untuk kepemilikan sumber daya
yang langka juga diakui, tetapi hal-hal demikian itu tidak dianggap
sebagai masalah utama, karena Pemerintah dianggap memiliki sumber
daya melimpah atau mempunyai kekuasaan mutlak, dibanding-kan
dengan pemain atau pihak-pihak lainnya (Sutton 1999).

Narasi dan Pengembangannya


Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab 2 sebelumnya, dalam
pendekatan ilmu politik dan sosiologi terhadap analisis kebijakan, dikenal
apa yang disebut sebagai pembangunan narasi4 (narrative development).
Narasi dapat difahami sebagai suatu keyakinan di masa lalu, berisi

4
Pengertian narasi dan penggunaannya dalam penelitian kebijakan dapat didalami dalam
Shore C, Wright S. 1997. Anthropology of Policy: Critical Perspective of Governance
and Power 1st. London (UK): Routledge.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 151

penyederhanaan kompleksitas situasi yang seringkali digunakan oleh


pembuat kebijakan, misalnya “hutan rusak menjadi penyebab banjir” atau
“minimal luas hutan sebesar 30% dari wilayah pulau atau daerah aliran
sungai”. Narasi sering dijadikan argumen-argumen, sebagai pengetahuan
dan bahkan sebagai keyakinan yang sulit ditinggalkan. Narasi tersebut
menjadi bagian penting dari tindakan-tindakan Pemerintah maupun
masyarakat dan biasanya tidak ditelusuri lebih jauh pengertiannya,
sehingga dapat berlaku umum bahwa setiap banjir menjadi diyakini
disebabkan oleh hutan yang rusak atau hutan harus dipertahankan
minimal seluas 30%, padahal tidak selalu demikian. Curah hujan yang
sangat tinggi juga dapat menyebabkan banjir, walaupun hutan di wilayah
hulu tidak rusak. Banjir juga disebabkan oleh faktor-faktor lainnya.
Demikian pula, wilayah-wilayah pulau kecil lebih memerlukan konservasi
dari adanya hutan.
Narasi dapat dibentuk sekaligus dilindungi oleh kelompok-kelompok
tertentu di dalam masyarakat. Keberadaan kelompok kepentingan,
kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena
saling memberi pengaruh terhadap ’kebenaran’, asumsi, jalan keluar,
berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal
dalam perturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan
cakupan atau arena yang perlu dibahas dalam pembuatan kebijakan.
Menentukan penting atau tidak pentingnya informasi.
Dalam banyak hal, narasi dibangun sebagai upaya untuk mengatasi
adanya interaksi dan proses oleh orang banyak yang kompleks yang
menjadi karakteristik situasi pembangunan agar lebih sederhana. Kegiatan
pembangunan mempunyai sifat ketidak-pastian. Birokrat dan para
pembuat kebijakan mengartikulasikan ketidak-pastian tersebut dengan
membuat narasi dan skenario melalui sejumlah penyerderhanaan. Oleh
karena itu, narasi dapat membatasi ruang untuk melaku-kan manufer atau
membatasi ruang kebijakan (policy space) yaitu kemampuan pembuat
kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Ruang
kebijakan juga dapat diartikan sebagai ketersediaan peluang perubahan
kebijakan, yangmana narasi dapat mempersempit peluang itu.
Selain berfungsi menyederhanakan fenomena yang dihadapi, narasi
membantu kelompok kepentingan tertentu untuk dapat mengatasi
dominasi kelompok kepentingan yang lain, dengan cara menetapkan isu
sebagai dasar pembaruan kebijakan, menyediakan kerangka pikir
bagaimana alternatif solusi dirumuskan, argumen pemilihan terhadap
152 | Proses Pembuatan Kebijakan

alternatif ditetapkan, serta dampak dari implementasi atas pilihan


alternatif tersebut.
Shore dan Wright (1997) melihat pentingnya penetapan agenda dan
identifikasi alternatif tindakan sebagai bagian penting, yaitu siapa yang
mempunyai kekuatan untuk menetapkannya: ... a key concern is who has “the
power to define” …. Narasi yang paling kuat akan melemahkan atau
menghilangkan alternatif tertentu yang dirumuskan dalam pembuatan
agenda dan menghilangkan alternatif tindakan dalam pelaksanaan
pembuatan kebijakan. Grillo (1997) menyatakan adanya pengaruh kuat
narasi dalam pembuatan kebijakan, bahwa narasi mengidentifikasi dan
melegitimasi cara menjalankan pembangunan termasuk cara mengatakan
dan cara memikirkannya.
Dalam kondisi tertentu narasi dapat menjadi semacam dogma. Berikut
diuraikan sepuluh narasi dalam pembangunan kehutanan. Diuraikan
disini bagaimana narasi pembuatan kebijakan saat ini, implikasinya bagi
pelaksanaan kebijakan, implikasi bagi sulitnya perbaikan kebijakan
maupun counter narrative untuk memperbaikinya.5
Pertama, mengenai kebijakan administrasi dan pertanggungjawaban.
Narasi saat ini dalam bidang kebijakan administrasi dan pertanggung-
jawaban yaitu reductionism. Seluruh kegiatan Pemerintah/Pemda lebih
ditekankan pada pertanggung-jawaban penggunaan anggaran dengan
asumsi bahwa: a). Semua program dan kegiatan menjadi bagian dari solusi
atau menjadi solusi secara langsung atas masalah yang dihadapi pihak-
pihak yang mendapat akibat langsung dari pelaksanaan kebijakan, b).
Semua tugas pokok dan fungsi dari semua unit kerja suatu
organisasi/lembaga membagi habis tugas-tugas untuk mencapai tujuan
organisasi/lembaga itu, c). Semua standar pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan kondisi di lapangan. Asumsi-asumsi itu seringkali tidak berjalan
sebagaimana seharusnya. Sementara hampir semua masalah/pekerjaan di
lapangan bersifat antar disiplin/antar lembaga/sektor, administrasi
memilah pekerjaan dan membaginya habis kepada lembaga/sektor.
Akibat bagi pelaksanaan kebijakan saat ini, dalam pelaksanaan
kebijakan dan peraturan-perundangan mempunyai logika benar-salah
sendiri dan dapat terlepas dari logika benar-salah dari apa yang
dibutuhkan masyarakat. Gap kebenaran tersebut misalnya dalam hal: a).

5
Hasil kajian ini disiapkan oleh penulis dan telah mendapat input dari kelompok pengajar
di Devisi Kebijakan Kehutanan pada 2016, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 153

Substansi program/kegiatan tidak sejalan dengan apa yang dibutuhkan


masyarakat, sehingga penyelesaian program/kegiatan tidak berdampak
pada kebutuhan masyarakat, b). Hasil/output kegiatan tertentu tidak
ditunjang/ menunjang output kegiatan lain, sehingga tujuan akhir tidak
tercapai, c). Di lapangan kegiatan diubah volume dan/atau spesifikasinya
akibat ketidak-sesuaian standar yang ditetapkan. Misalnya, dengan
selesainya kegiatan penetapan kawasan hutan tidak terkait dengan
redanya klaim/konflik dan peningkatan kepastian usaha. Contoh lainnya,
selesainya kegiatan penanaman pohon tidak menjawab peningkatan
kualtas DAS. Membuat kerja antar lembaga/sektor di lapanganpun
terpisah-pisah.
Persoalan narasi ini menjadi bagian dari seluruh hambatan
pembaruan kebijakan. Apapun yang menjadi inisiatif untuk melakukan
peningkatan efektivitas penyelesaian masalah di lapangan tidak dapat
terjadi akibat ketidak-sesuaian antara tolok ukur kebenaran
kegiatan/program Pemerintah/Pemda dengan kebenaran yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Ini akibat ukuran kinerja
bersifat/berdasarkan tolok ukur administratif, bukan berdasar hasil
pekerjaan apa yang berguna bagi masyarakat.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu holistik—fokus
pada tujuan akhir. Fakta lapangan dan kebutuhan masyarakat serta
hubungan input-output kegiatan semua unit kerja untuk mencapai tujuan
organisasi/lembaga perlu menjadi pertimbangan utama dalam penetapan
administrasi dan pertanggung-jawaban. Ada dua kebenaran yang
dihadapkan dalam hal ini yaitu kebenaran menurut Pemerintah berupa
kegiatan/progran versus kebenaran masyarakat berupa apa yang
dibutuhkan dalam menyelesaikan masalahnya. Dalam hal ini menjadi
penting untuk menyandingkan tolok ukur kebenaran masing-masing
dengan menghilangkan informasi yang asimetris. Perlu adanya fungsi
pemimpin/manager pelaksana di lapangan, serta budaya berbagi habis
pelaksanaan pekerjaan, bukan berbagi habis kewenangan. Dalam
perencaanaan dikoordinasikan lembaga tertentu yang bukan pelaksana
untuk menghindari konflik kepentingan.
Kedua, hubungan kerja dan konflik kepentingan—closed government.
Adanya konflik kepentingan antara pengawas dan yang diawasi atau
antara pembuat kebijakan dan subyek yang terkena dampak kebijakan
secara umum belum menjadi perhatian secara sungguh-sungguh.
Pernyataan keharusan lebih penting daripada penerapan kode etik.
Misalnya, pejabat aktif harus independen dan oleh karenanya tidak ada
154 | Proses Pembuatan Kebijakan

masalah ketika ia punya konsultan yang menyelesaikan pekerjaan


dikantornya atau konsultan perusahaan dalam otoritasnya. Pejabat aktif
sebagai komisaris perusahaan dibawah otoritasnya dianggap positif
sebagai pembina dan tidak dianggap negatif karena konflik kepentingan.
Konflik kepentingan tersebut dapat sembunyi dibalik hukum dan
prosedur/SOP, dan miskin/kering etika.
Akibat bagi pelaksanaan kebijakan saat ini, bahwa pelaksanaan
prinsip imparsial dan tanpa pembelaan dengan motif tertentu (pribadi,
kelompok) sulit dilakukan akibat adanya konflik kepentingan. Keputusan
atas pelaksanaan perizinan tidak terfokus pada kriteria dan data teknis
sebagai bahan pertimbangan serta keadilan dan implikasi bagi publik
secara luas, tetapi lebih pada negosiasi atas dasar saling membantu
kepentingan perusahaan dan kepentingan pribadi/kelompok pejabat.
Relasi yang demikian ini sudah bukan dianggap cacat karena sudah terjadi
sangat lama. Akibatnya, keharusan bebas kepentingan tidak dapat
dioperasionalkan, dan tidak dapat dikontrol.
Dalam kondisi seperti itu perbaikan kebijakan mendapat halangan
akibat persoalan pemosisian pejabat negara sebagai “wasit” menjadi
sangat lemah, karena fungsinya dapat sekaligus sebagai bagian dari
“pemain”. Hal ini dapat berimplikasi terjadinya state capture yaitu adanya
kebijakan yang dapat menguntungkan kelompok usaha atau kelompok
masyarakat tertentu, serta korupsi akibat bercampurnya keberadaan
diskresi, ketertutupan sekaligus kewenangan.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu open government—
kompe-tensi etika dan efisiensi. Pelembagaan code of conduct mempunyai
urgensi tinggi. Kesadaran atas etika pemerintahan menjadi kebutuhan
utama dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan. Masalah ini
mencakup area yang lebih luas seperti kebijakan ke-PNS-an, terdapat
dalam sistem hukum maupun sistem sosial. Diperlukan pendekatan yang
lebih radikal sehingga dapat “memaksa”. Syarat lain, pemimpin di lapisan
atas bersedia memberi contoh dan menerapkan tuntunan etika (setelah
sesuai hukum) ke lapisan birokrasi di bawahnya.
Ketiga, masyarakat bukan subyek pembangunan—the forest first.
Hampir setiap pelaksanaan program/kegiatan tidak disertai dengan
pengetahuan mengenai apa yang menjadi masalah untuk diselesaikan dan
apa yang menjadi tolok ukur keberhasilan bagi masyarakat. Data
karakteristik masyarakat pada umumnya tidak diketahui, sehingga
subyek pembangunan bergeser dari masyarakat ke sumberdaya fisik
seperti luas hutan, lokasi kegiatan, potensi sumberdaya alam, dan lain-lain.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 155

Masyarakat dianggap obyek bukan subyek. Dalam hal ini manusia dan
masyarakat tidak dianggap bagian dari ekosistem hutan. Hampir
senantiasa terdapat gap antara apa yang dihasilkan dalam pelaksanaan
program/kegiatan dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Sebagaimana
akibat dari persoalan administrasi dan pertanggung-jawaban di atas,
kondisi ini menyebabkan tidak efektifnya pencapaian tujuan
pembangunan, terutama bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
secara langsung atau peningkatan keadilan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam. Akibatnya, kehutanan berhadapan dan beradu dengan
masyarakat, yang dalam keadaan populasi dan kekuatannya meningkat,
hutan menjadi kalah dan terpinggirkan.
Dengan tiadanya memori mengenai karakteristik masyarakat
berakibat penetapan kebijakan dan prosedur pelaksanaannya disamakan
dengan usaha besar, sehingga terjadi ketimpangan respon. Rendahnya
respon masyarakat akibat rendahnya pengetahuan dan pengalaman dalam
mengikuti prosedur tersebut yang justru dianggap sebagai hambatan
(masyarakat salah karena sebagai yang lemah); dan bukan sebagai sumber
pelayanan publik. Ini dapat diakibatkan fanatisme narasi ortodok
kehutanan di satu sisi, dan di sisi lain telah terbentuk phobia kehutanan
dari pihak non-kehutanan pada umumnya.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu the forest second—
pertimbangan faktor lain selain fisik hutan. Referensi sosial
kemasyarakatan dan karakteristik usaha sebagai dasar pembuatan
kebijakan menjadi titik awal perubahan mindset, sehingga fokus program
dan kegiatan ditujukan pada karakteristik subyek yang dilayani. Norma,
perilaku dan power masyarakat/usaha komersialnya menjadi penentu
keberadaan hutan. Kebijakan yang mendekati ideal sebagaimana yang
dimaksud dalam counter narrative tersebut, seperti konsep perhutanan
sosial secara umum, perlu dikuatkan pelaksanaannya. Ketika norma,
perilaku dan power masyarakat menjadi penentu keberadaan hutan tetapi
bertentangan dengan perilaku alam misal pengelolaan di kawasan lindung
yang senantiasa gagal karena bertentangan dengan usaha tanam-
menanam oleh masyarakat (mis: sayur-mayur dan semacamnya) yang
terus menerus akan merugikan alam, maka perlu penerapan pengelolaan
hutan adaptif (adaptive forest management).
Keempat, ekoregion dan satuan wilayah perencanaan
pembangunan—sectoralism. Dengan sistem sektoral (fragmentasi program)
dampak kegiatan bagi kegiatan lain tidak serta-merta menjadi
pertimbangan dalam perencanaan dan penetapan program/kegiatan.
156 | Proses Pembuatan Kebijakan

Tugas pokok dan fungsi suatu unit kerja menjadi lebih baku dan
menentukan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan daripada harus
menyelesaikan masalah yang nyata ada. Kerjasama antar unit kerja (di
dalam dan antar lembaga) untuk menyelesaikan masalah tertentu juga
hampir mustahil karena lokasi dan arah kegiatan tidak dirancang agar
koheren satu sama lain.
Akibatnya, satuan perencanaan pembangunan yang didasarkan pada
daya dukung ekoregion tidak segera dapat diadopsi sejak pemikiran ini
bermula pada satuan perencanaan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Pengelolaan DAS direduksi menjadi penanaman pohon. Ditambah dengan
ukuran kinerja yang membenarkan hal tersebut, maka pendekatan ini
menjadi terlembaga sejak puluhan tahun silam. Akibatnya, kerjasama
antar sektor dalam upaya untuk meningkatkan kualitas DAS menjadi
terbengkalai. Adanya pendekatan baru yang berbasis daya dukung
ekoregion dengan cakupan yang lebih luas terbukti menghadapi persoalan
yang sama. Secara nasional sejak penetapan RPJMN satuan perencanaan
nasional tidak dilakukan berdasarkan pendekatan ekoregion, melainkan
kompilasi dari rencana-rencana yang telah ditetapkan oleh
Kementerian/Lembaga sebagai menu utamanya. Kondisi demikian itu
menyebabkan tidak adanya perubahan isi rencana karena seluruh
perencanaan sudah terstruktur secara nasional sesuai dengan tugas
fungsinya.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu integrasi tujuan—
kerjasama antar lembaga dan wilayah. Bentangan nusantara yang
mempunyai ketergan-tung secara ekologis, sosial dan ekonomi perlu
menjadi dasar perencanaan nasional. Satuan-satuan produksi bukan
hanya pada eksploitasi sumberdaya alam tetapi juga produksi modal
sosial, pengetahuan, teknologi untuk peningkatan daya dukung
ekoregion. Counter narrative yang sangat ideal itu memerlukan “syarat
cukup” yang sangat mahal untuk diwujudkan, yaitu merubah mindset
masyarakat mulai dari persepsi, sikap dan perilakunya terhadap
sumberdaya alam dan pengelolaannya.
Kelima, instrumen kebijakan—comannd and control. Faktor-faktor yag
menentukan perubahan perilaku masyarakat/pengusaha sebagai fokus
dalam pelaksanaan kebijakan seringkali tidak diidentifikasi secara jelas,
karena isi kebijakan cenderung bersifat memaksa yang dilakukan dengan
prosedur dan sangsi melalui peraturan-perundangan. Instrumen
kebijakan menjadi fokus pada hubungan fisik, misalnya adanya jalan
hutan (akses) dan tingginya permintaan hasil hutan dianggap sebagai
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 157

faktor perusak hutan sedangkan lemahnya pengelolaan hutan sebagai


pokok soal tidak dibicarakan.
Akibatnya, hampir setiap pelaksanaan peraturan memerlukan
pengawasan agar peraturan berjalan karena peraturan tidak mengandung
insentif/disinsentif yang mampu mengubah perilaku masyarakat/
pengusaha secara mandiri (tanpa diawasi). Ketergantungan pada
pengawasan mempunyai persoalan tersendiri akibat konflik kepentingan,
korupsi, dll. Logika terbalik seringkali terjadi, misalnya mempertahankan
larangan ekspor log yang berakibat harga log domestik sangat rendah
dianggap paling baik untuk melestarikan hutan, padahal dengan harga log
rendah tidak ada insentif untuk menanam.
Konsekuansinya perubahan kebijakan terhambat akibat terbatasnya
pendekatan yang digunakan. Tidak adanya pertimbangan-pertimbangan
ekonomi—fokus pada perilaku; sosial—fokus pada lembaga masyarakat
yang memungkinkan efisiensi pelaksanaan kebijakan; institusi—transaksi
dan kontrak; politik—power di luar kewenangan pemerintah yang ikut
bekerja.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu holistik—
pendekatan multi-disiplin. Perubahan instrumen kebijakan perlu dilakukan
dengan memperhatikan persoalan-persoalan pemilikan sumberdaya
hutan, kontrak pemerintah-pemegang izin, instrumen fiscal, serta
pendekatan sosial dan psikologi bukan selalu mengandalkan prosedur dan
sanksi.
Keenam, kawasan hutan dan alokasi kekayaan negara—state control
untuk status SDA. Sejak lama kawasan hutan diartikan sebagai hutan
negara. Di hutan produksi, penetapan hutan negara dilakukan dan
dibiayai pemegang izin. Informasi mengenai kekayaan negara tidak
dipastikan dikuasai Pemerintah/Pemda. Perkembangan jumlah (stock) dan
nilai kekayaan negara itu juga tidak dipergunakan sebagai tolok ukur
keberhasilan suatu unit pengelolaan hutan. Dalam hal ini, hak menguasai
oleh negara tidak secara nyata dapat dilaksanakan. Peran Pemerintah
belum berjalan sebagaimana yang seharusnya.
Akibatnya, dalam proses pelaksanaan legalitas hutan negara berjalan
seiring dengan pelaksanaan pengelolaan dan izin pemanfaatan dan
penggunaan hutan, sehingga persoalan hutan negara (konflik, klaim)
senantiasa mengiringi persoalan pengelolaan hutan. Ketika kepastian
status/legal hutan negara tidak menjadi prasyarat semua kegiatan
pengelolaan hutan, maka kebijakan pengukuhan hutan tidak mendapat
158 | Proses Pembuatan Kebijakan

prioritas dan/atau dilakukan hanya sebatas kegiatan administratif tanpa


mendapat legitimasi masyarakat. Pelaksanaan pembaruan kebijakan
(peraturan) tidak dapat dilakukan secara fundamental. Karena tanpa
melaksanakan persoalan yang fundamental itu semua kegiatan
pengelolaan hutan dapat dilaksanakan dengan kinerja (administasi dan
keuangan) yang dapat diterima.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu state control—untuk
fungsi SDA. Negara perlu menggeser perhatiannya bukan pada
klaim/penetapan hak semata melainkan penetapan fungsi hutan/lahan.
Secara tegas memastikan kebijakan alokasi bukan hanya untuk
pertumbuhan ekonomi tetapi juga untuk keadilan sosial dan kelestarian
fungsi lingkungan hidup bagi hutan. Counter narrative dapat berkembang
secara luas setelah adanya pembuktian manfaat hutan adat dan hutan desa
dapat diwujudkan di satu sisi, disisi lain hal itu dapat berjalan sesuai
dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam kelestarian. Desentralisasi
(dalam sistem politik-pemerintahan) pengelolaan terhadap karakter
sumberdaya alam yang bersifat “lokal”, maka counter narrative akan
berjalan dalam skala “lokal” yang dimaksud.
Ketujuh, izin sebagai alat pengendalian pemanfaatan sumberdaya
alam—close government. Pelaksanaan pengendalian belum terwujud,
karena izin lebih sebagai persyaratan administratif (prosedur, legal) dari
suatu kegiatan. Hubungan kontraktual pemerintah dan pemegang izin
seperti atasan-bawahan yang bersifat instruksional. Hasil hutan yang
keluar dari hutan hingga ke industri pengolahan tetap dipertahankan
sebagai barang publik sehingga perlu keterlibatan banyak pihak.
Akibatnya, efisiensi pelayanan publik bagi pelaksanaan perizinan
tidak mudah diwujudkan akibat interdependensi pemerintah-pengusaha
yang bersifat patron-klien secara tertutup dan bukan regulator-operator
secara terbuka. Perubahan kebijakan perizinan sejauh ini belum mampu
diikuti oleh menu-runnya biaya transaksi maupun keadilan pemanfaatan
SDA.
Hambatan bagi perubahan kebijakan perizinan senantiasa terjadi
akibat kuatnya pertimbangan administratif dan teknikal pengaturan
perizinan. Untuk mewujudkan sistem perizinan yang terbuka dan kredibel
tidak didukung oleh kondisi yang tersembunyi yaitu adanya kepentingan
individual dan kelompok yang mendapat manfaat dari sistem yang sedang
berjalan.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 159

Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu open government—


peningkatan efisiensi dan kredibilitas. Menetapkan batas yang tegas antara
domain publik dan private dalam penetapan izin. Dalam hal ini kebijakan
perizinan sangat lekat dengan kebijakan untuk meningkatkan governance
(transparansi, akuntabilitas, efisiensi). Hubungan patron-klien tidak
bermasalah sepanjang dilakukan secara terbuka, karena akan tetap dapat
mewujudkan maximum wel-fare.
Kedelapan, rehabilitasi hutan dan lahan—reductionism. Kata
“penanaman” menjadi fokus utama dan dapat menghilangkan gambaran
utuh mengenai pengelolaan hutan. Penanaman menjadi alat sah untuk
sekaligus mengklaim bahwa apa yang ditanam akan tumbuh menjadi
suatu outcome yang berdampak positif bagi lingkungan hidup. Klaim itu
justru terbukti menghilangkan bagian-bagian penting pengelolaan hutan
yang memungkinkan hutan tumbuh dan terjaga.
Akibatnya, rehabilitasi hutan untuk perbaikan lingkungan menjadi
“dipermudah” pelaksanaannya karena mendapat beban untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat yang orientasinya cukup hanya
menanam tanpa peduli akan terwujud hutan atau tidak. Perubahan
kebijakan dengan fokus pada KPH, juga tetap belum dapat membantu
karena orientasi pada target (terlalu luas) masih mendominasi dengan
tanpa memperhatikan kesiapan prasyarat apakah target itu dapat
dipenuhi atau tidak.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu holistik—fokus
pada tujuan akhir. Mereduksi kata penanaman dan mengembalikannya
menjadi pengelolaan hutan dengan memperhatikan kesiapan
pengelolanya agar jaminan pertambahan luas hutan terpenuhi. Identifikasi
tipologi kegiatan yang berbasis pada kondisi sosial ekonomi dan biofisik,
harus dilakukan secara lokal (baca: tidak digeneralisasikan).
Kesembilan, konservasi sumberdaya alam—conservationism. Ciri kuat
mahzab conservationism dengan fokus pada flora fauna dan belum
mengintegrasikan dengan kehidupan sosial. Dengan kewenangan
pengelolaan oleh Pemerintah dalam prakteknya mencerabut kawasan
konservasi dari kepentingan pembangunan daerah. Akibatnya manfaat
konservasi yang sangat besar bagi kehidupan manusia hanya dianggap
beban pembangunan. Belum difahami dan diterapkannya 3 pilar
konservasi: perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan oleh para
pengelola areal konservasinya sendiri, serta belum difahami dan
diterapkannya pilar keberlanjutan/kelestarian oleh para pemanfaat
sumberdaya alam.
160 | Proses Pembuatan Kebijakan

Akibatnya, di satu sisi pelaksanaan konservasi dianggap pihak lain


sebagai penghambat pembangunan, sedangkan di sisi internal
pelaksanaan konservasi masih terfokus pada pengamanan kawasan hutan
dan belum sampai pada pemanfaatan kekayaan sumberdaya hayati dan
non hayati. Perubahan kebijakan dari berbagai inovasi yang telah ada
terhambat oleh lemahnya posisi unit pelaksanaan konservasi di satu sisi
dan di sisi lain terda-pat hambatan narasi dari regulasi yang bertentangan
dangan fakta lapangan.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu holistik—koalisi
diskursus. Untuk memperbaiki kebijakan konservasi SDA dengan
menggunakan koalisi ketiga mahzab yaitu: conservationism, eco-populism,
developmentalism. Penekanan setiap mahzab itu disesuaikan sesuai
konteksnya di lapangan. Pemahaman yang sama tentang etnobiologi baik
oleh pengelola maupun oleh masyarakat menjadi sangat penting di setiap
wilayah konservasi.
Kesepuluh, perlindungan sumberdaya alam—reductionism-state
control. Tidak menggunakan persoalan fundamental yaitu belum
selesainya klaim dan konflik hak atas sumberdaya alam sebagai dasar
pelaksanaan perlindungan SDA. Dalam prateknya, terdapat
penyeragaman penggunaan hukum positif dan kebenarannya cenderung
tidak diikuti oleh dukungan legitimasi secara sosial. Di sisi lain kapasitas
penjagaan SDA dari berbagai bentuk kejahatan relatif cukup rendah,
dibandingkan dengan beban kerja yang harus dijalankan. Belum difahami
dan diterapkannya prinsip untuk efektivitas dan efisiensi perlindungan,
bahwa pelindung yang terbaik adalah pemanfaatan yang berkepastian.
Akibatnya, hasil-hasil pelaksanaan perlindungan hutan cukup jauh
dari kepuasan berbagai pihak yang terkait. Ketergantungan pada kapasitas
tenaga pelaksana perlindungan hutan tidak cukup menjawab persoalan
akibat lemahnya orientasi kebijakan pada peningkatan dukungan
masyarakat. Perubahan kebijakan senantiasa mendapat hambatan akibat
pendekatan hukum positif yang sangat kaku. Fakta sosial dan historis
cenderung tidak digunakan dalam pelaksanaan perlindungan SDA.
Kekuatan itu didukung oleh pengelolan hutan, Pemda, pemegang izin
maupun aparat keamanan.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu open government—
functionalism dan people control. Ciri utama bentang hutan adalah high
exclusion cost. Kriteria pilihan mekanisme pelaksanaan perlindungan hutan
tergantung pada konteksnya: polisional (state control) di satu sisi, dan
menguatkan legitimasi masyarakat dengan people control di sisi lain.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 161

Narasi-narasi di atas dilahirkan melalui jaringan pembuat kebijakan


(policy coalition/network) yang mengembangkan paradigmanya sendiri,
sehingga menjadi sangat berpengaruh. Jaringan pembuat kebijakan
tersebut terdiri dari kelompok individu atau lembaga. Mereka membentuk
suatu sistem kepercayaan, aturan main serta membangun pola perilaku
yang sama. Jaringan seperti ini relatif terbuka dan fleksibel dalam menjalin
hubungan.
Narasi perlu dikritisi karena dipercaya sebagai penghasil semacam
“blue print”, yaitu segenap solusi atas masalah-masalah yang telah
dirumuskan pada waktu dan lingkup tertentu, yang seringkali sudah tidak
sesuai lagi dengan keadaan yang terus berkembang. Narasi membantu
kelompok kepentingan tertentu seperti para ahli, tokoh tertentu, lembaga
donor (epistemic community)—yang senantiasa mempertahankan narasi-
narasi yang ada, sehingga proses-proses pembuatan kebijakan dalam
pembangunan “dimiliki” oleh kelompok kepentingan tersebut. Akibatnya,
narasi mengurangi peran “orang-orang setempat” dan menyediakan
pertimbangan perlunya peran ahli dan “orang-orang dari luar” dalam
suatu pembuatan kebijakan.
Berbeda dengan policy network, anggota epistemic community
mempunyai hubungan yang relatif ketat dan terdapat elit-elit yang
mempunyai akses tertentu terhadap informasi dan pengetahuan.
Kelompok ini biasanya mempunyai pendapat yang sangat kuat terhadap
kebijakan apa yang perlu diperbaiki dan apa isi yang perlu diubah.
Apabila pembuat kebijakan setuju dengan pandangannya, seringkali
kelompok ini diundang sebagai ahli dan ditempatkan dalam lingkungan
kekuasaan, sehingga memperkuat posisinya untuk mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan.
Narasi hampir senantiasa dapat meresap ke setiap pembentukan
argumen-argumen dalam pembuatan kebijakan karena melekat di dalam
suatu institusi dan aktor-aktor tertentu. Narasi biasanya mempunyai akar
budaya dan sejarah yang kuat. Bahkan narasi melekat pada suatu teori
tertentu yang diyakini oleh kelompok profesi tertentu, terwariskan dalam
metoda-metoda yang masih digunakan, terbawa oleh pernyataan-
pernyataan baru yang menerangkan ide-ide yang telah diterima. Beberapa
narasi terdapat dalam akar sosial-budaya yang turut melestarikannya, juga
dapat merupakan alat kelompok ahli asing pada saat jaman penjajahan dan
162 | Proses Pembuatan Kebijakan

kemudian setelah merdeka masih digunakan oleh kelompok tertentu


untuk mempertahankan kedudukannya.6
Dalam pendekatan sosiologi, biasanya dilakukan analisis komposisi
kelompok kepentingan di atas dan tingkat integrasinya, untuk mengetahui
aktor yang dominan dalam suatu wilayah kebijakan (policy area) tertentu.7
Dalam kaitan ini, misalnya di Indonesia, kelompok kepentingan
pertambangan didominasi oleh pengusaha, kelompok kepentingan hutan
dan lingkungan didominasi oleh lem-baga swadaya masyarakat,
sedangkan kelompok kepentingan kesehatan masyarakat didominasi oleh
kelompok profesi. Tingkat integrasi di dalamnya dapat menyerupai
korporasi, birokrasi, kolaborasi, atau pluralis.
Sebagai sesuatu yang dapat mengelompokkan ide-ide antar orang
atau kelompok dan menentukan bagaimana masalah kebijakan
dirumuskan, maka narasi perlu diketahui dalam pembuatan kebijakan.
Grillo (1997) dalam Sutton (1999) mengklasifikasikan narasi—yang terus
menerus berkembang menurut waktu—menjadi tiga. Pertama,
narasi/diskursus pesanan yang lahir dari pemerintah (state-engendered
order) dalam pembangunan, dengan menyertakan sejumlah ahli dalam
hubungan-hubungan multilateral dan bilateral. Diskursus ini berkembang
sejak setelah perang dunia kedua.
Kedua, narasi/diskursus pesanan spontan yang lahir dari pasar
(market-engendered order) dalam pembangunan, dikembangkan sejak tahun
70an oleh International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Ketiga,
narasi/diskursus pesanan dari publik (public sphere) yang dikembangkan
oleh lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian maupun berbagai
organisasi non profit.
Dalam antropologi, ilmu sosial dan politik, analisis narasi/diskursus
dalam pembuatan kebijakan sangat penting dilakukan. Analisis ini
mencoba untuk menguraikan, mendekonstruksi dan memahami kerangka
pikir yang digunakan dalam pembuatan suatu kebijakan, sehingga
diketahui berbagai perspektif yang diajukan, serta ditemukan alternatif
pendekatan terbaik untuk memecahkan kembali masalah kebijakan.

6
Untuk menunjang argumen semacam ini, lihat, misalnya dalam Peluso NL. 1992. Rich
Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley (US):
University of California Press.
7
Untuk suatu kebutuhan analisis pihak-pihak, dapat dilihat antara lain dalam publikasi
Stakeholders Analysis Guidelines oleh Kammi Schameer (2001).
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 163

Analisis tersebut berguna untuk mencari kesalahan-kesalahan cara


berfikir dalam pembuatan suatu kebijakan, menggunakan kembali
alternatif kebijakan yang dulu dibuang, sehingga analisis tersebut dapat
mengkonstruksi kerangka pikir baru yang lebih sesuai (Apthorpe 1986).
Dapat pula, analisis tersebut dituju-kan untuk mempelajari perkembangan
narasi/diskursus itu sendiri, kemungkinan tidak sejalan dengan struktur
sosial, maupun menguraikan ide-ide siapa dihilang-kan pada saat suatu
kebijakan dirumuskan (Escobar 1995 dalam Sutton 1999).

Penggunaan Bahasa
Analisis narasi/diskursus dapat dilaksanakan dengan secara khusus
mempelajari bahasa yang digunakan, pelaksanaan dialog, dan
pembicaraan yang telah berlangsung.8 Analisis ini digunakan untuk
mengetahui “bahasa” dan tata cara yang digunakan dalam proses
pembuatan kebijakan dan dari analisis tersebut diketahui kepentingan
siapa yang disertakan dan yang tidak disertakan dalam pembuatan
kebijakan (Sutton, 1999).
Untuk mengidentifikasi kepentingan siapa dan dalam hal apa
kepentingan itu diperjuangkan dalam proses pembuatan kebijakan, Sutton
(1999) menyampaikan beberapa tinjauan yang dapat dilakukan. Pertama,
mengenai penamaan kelompok. Dalam pembuatan kebijakan seringkali
untuk mewujudkan keinginan pihak tertentu dilakukan dengan cara
menyampaikan istilah-istilah untuk penamaan kelompok. Misalnya
berbagai bentuk target groups dinamakan sebagai: “masyarakat miskin”,
“petani lapar lahan”, “perambah hutan”, ”kelompok miskin kota”, dan
lain sebagainya. Sebutan-sebutan tersebut dalam banyak hal dapat
menghilangkan makna atau karateristik kelompok. Identitas kelompok
yang sesungguhnya dapat terlucuti akibat penamaan tersebut. Hal-hal
yang berkaitan dengan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh
kelompok, keinginan kelompok, serta keragaman pengetahuan yang
dimiliki oleh kelompok tidak tercakup akibat penamaan-penamaan
tersebut.
Kedua, pengkerangkaan (framing).9 Kerangka analisis selalu dibuat
dengan tujuan untuk merumuskan masalah kebijakan serta apa yang
dicakup atau tidak dicakup dalam analisis kebijakan tersebut. Kerangka

8
Pengertian dan penjabaran mengenai diskursus dapat dilihat dalam Bab 2.
9
Pengkerangkaan sebagai salah satu bentuk diskursus dijelaskan dalam Bab 2.
164 | Proses Pembuatan Kebijakan

analisis dapat berisi alasan, misalnya mengapa Y dapat dipengaruhi oleh


X yang disertai dengan sejumlah asumsi. Kerangka analisis biasanya
dibatasi hanya berlaku pada situasi tertentu dan tidak tepat apabila
diterapkan pada situasi lainnya. Analisis narasi/diskursus pada dasarnya
melakukan telaah kerangka analisis yang digunakan dan dihubungkan
dengan jawaban-jawaban yang dihasilkan untuk mengatasi masalah.
Ketiga, kepastian pernyataan mengenasi solusi. Pernyataan solusi
yang tertuang dalam dokumen kebijakan seringkali menggunakan bahasa
yang pasti, nyata, tidak terbantahkan, tidak ada alternatif dan tidak ada
negosiasi untuk dapat menggunakan alternatif lain.10 Pernyataan solusi
seperti itu biasanya diperkuat oleh suatu narasi/diskursus yang secara
sadar atau tidak sadar dipertahankan kebenarannya oleh suatu kelompok
masyarakat, kelompok profesi bahkan suatu generasi.
Keempat, depolitisasi solusi masalah. Foucault yang pertama
menggunakan istilah politi-cal technology, yaitu cara menghilangkan
masalah politik dalam suatu diskursus melalui penggunaan bahasa ilmiah
yang dianggap netral. Kebijakan dipandang sebagai sesuatu yang obyektif,
netral, bebas nilai, yang dinyatakan dalam pasal-pasal suatu peraturan-
perundangan atau bahasa ilmiah dengan penekanan pada rasionalitas
isinya. Dengan cara ini, esensi politik dalam pembuatan kebijakan
dihilangkan melalui pernyataan rasionalitas dan obyektif. Memberikan
topeng untuk menyelubungi aspek politik dengan netralitas merupakan
kunci cara modern saat ini oleh kelompok tertentu agar dapat menguasai
kelompok lainnya (Shore dan Wright 1997). Dampak simplifikasi dan
depolitisasi dalam proses pembuatan kebijakan adalah meningkatnya
kesenjangan hubungan antara pembuat kebijakan dan pihak-pihak yang
secara langsung terpengaruh oleh dijalankannya kebijakan tersebut. Ini
adalah suatu mekanisme atau cara membebaskan para pembuat kebijakan
dari tanggungjawab akibat apa yang diputuskannya.

10
Lihat misalnya dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Dalam UU ini Pasal 21,
penge-lolaan hutan ditetapkan merupakan kegiatan-kegiatan: a. tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan, c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d. perlindungan hutan dan konservasi
alam. Dengan demikian, pengelolaan hutan terdiri dari 4 kegiatan itu dan tidak ada
alternatif lainnya.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 165

Model Pembuatan Kebijakan


Adanya berbagai kelompok tersebut dapat mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan, sehingga proses pembuatan kebijakan dapat
dikategorikan menjadi 4 macam (Sutton 1999). Pertama, model tahap demi
tahap (incremental model). Dalam model ini kebijakan baru hanya
mengubah hal-hal kecil dari kondisi sebelumnya. Biasanya pembaruan
kebijakan ditetapkan berdasarkan satu hal yang dianggap paling penting,
ter-masuk perubahan dasar acuan kebijakan itu, misalnya adanya
perubahan Undang-undang. Penetapan kebijakan seperti ini dianggap
tidak optimal. Suatu penetapan kebijakan dianggap optimal apabila
disepakati oleh segenap pihak yang berkepentingan dan bukan sekedar
dikatakan oleh pihak tertentu sebagai kebijakan paling baik untuk dapat
menyelesaikan masalah.
Kedua, proses pembuatan kebijakan ini cenderung mengikuti
tindakan serial. Apabila terdapat kesalahan dikemudian hari akan kembali
dilihat masalahnya dan kemudian diperbaiki dengan kebijakan baru. Hal
demikian ini didasari oleh alasan bahwa perubahan besar dimulai dari
yang kecil. Alasan demikian ini mempunyai kelemahan, karena proses
perbaikan kebijakan berikutnya biasanya tidak didasarkan oleh kebijakan
sebelumnya atau sekedar mencampur-aduk berbagai perbaikan kebijakan
yang ada, tanpa diketahui akibat yang satu terhadap lainnya.11
Ketiga, kebijakan sebagai argumen. Dalam model ini adanya
kebijakan baru merupa-kan argumen atas solusi masalah tertentu.
Kebijakan dikembangkan melalui perdebatan antara pemerintah dengan
pihak lainnya. Pihak-pihak yang melakukan dialog pembuatan atau
pembaruan kebijakan melakukan klaim dan jastifikasi tertentu terhadap
sesuatu yang ditanggapi oleh pihak lainnya secara kritis. Bahasa yang
digunakan sebagai perwujudan diskursus, bukan hanya menyatakan
realitas tetapi juga menampilkan kerangka pikir terhadap isu-isu tertentu
yang dibicarakan. Disamping menunjukkan komunikasi ide, dalam

11
Pada saat terdapat inisiatif pembuatan atau pembaruan suatu peraturan biasanya tidak
terdapat referensi yang cukup tentang evaluasi kebijakan yang telah berjalan atau
rumusan masalah yang dihadapi. Pertimbangan ahli dan para praktisi di lapangan
biasanya dianggap cukup sebagai landasan pembuatan atau pembaruan suatu kebijakan.
Salah satu bentuk evaluasi kondisi lapangan dan masalah yang dianggap cukup memadai
adalah pada saat perumusan Rancangan Undang-undang Pengelolaan Sumberdaya
Alam. Uraian ini dapat dilihat dalam publikasi: Tim Konsultasi Publik RUU PSDA.
2004. Di Bawah Satu Payung: Hasil Konsultasi Publik Rancangan Undang-undang
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jakarta (ID): Ekadaka.
166 | Proses Pembuatan Kebijakan

prakteknya juga menampilkan posisi politik dan kenyataan-kenyataan


sosial dari berbagai pandangan dan ideologi yang ditampilkan.
Keempat, kebijakan sebagai eksperimen sosial. Dalam hal ini
pembaruan kebijakan memperhatikan perubahan sosial yang berjalan
sebagai suatu proses trial and error, melalui pembuktian sejumlah hipotesis
yang diuji berdasarkan realitas. Hal demikian ini didasarkan pada
pendekatan eksperimen untuk ilmu-ilmu alam (natural sciences).
Kelima, kebijakan sebagai proses belajar secara interaktif (interactive
learning). Pendeka-tan ini berakar dari kritik kebijakan pembangunan top
down dan bukan disusun berdasarkan pendekatan partisipatif dari bawah.
Kebijakan dibuat berdasarkan perspektif aktor secara terbatas oleh
inividu-individu, lembaga atau kelompok sosial yang mengendalikan dan
menjalankan sistem kepemerintahan. Pendekatan ini mempromosikan
interaksi antara para pembuat kebijakan dan para pihak yang langsung
terkena dampak berjalannya kebijakan. Pendekatan participatory rural
appraisal (PRA) sebagai contoh pendekatan ini.

Hubungan Internasional
Berbagai literatur hubungan internasional12 menunjukkan adanya
upaya untuk melakukan kerjasama antar kelompok kepentingan dalam
pembuatan kebijakan di tengah-tengah ketiadaan pengorganisasian
kewenangan-kewenangan secara global. Konsep regim internasional
menyediakan sejumlah prinsip, norma, aturan dan prosedur bagaimana
negara-negara di dunia dapat melakukan kerjasama. Analisis sifat-sifat
kelompok kepentingan, alat yang dipergunakan, bagaimana interaksi yang
dilakukan dapat menghasilkan pengetahuan, bagaimana inisiatif
kebijakan diwujudkan dan dirumuskan.
Prinsip yang dimaksud merupakan kepercayaan terhadap fakta-fakta,
penyebab, dan suatu pernyataan kejujuran. Norma berkaitan dengan
standar perilaku yang dinyatakan dalam bentuk hak dan tanggungjawab.
Aturan merupakan sejumlah preskripsi untuk melakukan tindakan,
sedangkan prosedur dalam pembuatan keputusan merupakan acuan
langkah-langkah operasional sebagai wujud tindakan bersama (Krasner
1983 dalam Sutton 1999).

12
Bagian tulisan ini disarikan dari publikasi Rebbeca Sutton (1999).
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 167

Berbagai bentuk regim internasional telah ada dan disepakati untuk


dijalankan oleh berbagai negara. Misalnya, regim perdagangan,
lingkungan, penggunaan senjata nuklir, dlsb. Berbagai regim tersebut
telah mendirikan organisasi multilateral dan telah mengadakan
pertemuan terus-menerus guna mencapai kesepakatan dan tindakan
bersama yang dikehendaki. Berbagai aliran pemikiran, seperti neo-realism,
institutionalism, dan pendekatan kognitif menjadi beberapa pendekatan
dalam regim internasional.

Tiga Pendekatan
Pendekatan kepentingan (interest-based/neo-liberal) menekankan
pentingnya regim internasional untuk membantu negara-negara
menyadari adanya kepentingan bersama. Pendekatan ini berasumsi
bahwa setiap negara cenderung menjalankan kebijakan sesuai dengan
kepentingan negaranya masing-masing.
Pendekatan kekuatan (power-based) mempunyai argumen bahwa
dalam ketiadaan sentralisasi kewenangan, hegemoni atau negara
adikuasa, negara-negara perlu membentuk tindakan bersama. Berbagai
regim dibuat oleh negara-negara yang lebih kuat yang membuat negara-
negara lain mengikuti regim-regim tersebut.
Pendekatan pengetahuan (knowledge-based) menekankan pentingnya
pengam-bil keputusan untuk mempercayai norma dan sebab-akibat nyata
sebagai dasar pengambilan keputusan. Pendekatan ini percaya bahwa
perubahan sistem kepercayaan dapat mengubah kebijakan dalam suatu
negara. Penganut pendekatan kognitif percaya bahwa distribusi
pengetahuan sangat penting dan berpengaruh terhadap persepsi para
pengambil keputusan.

Epistemic Community

Epistemic community mempunyai peran penting dalam membawa arus


regim internasional. Mereka dapat mempengaruhi empat hal, yaitu inovasi
kebijakan, difusi kebijakan, pemilihan kebijakan dan persistensi kebijakan
(Hasenclever at al. 1997 dalam Sutton (1999). Penentu kebijakan di suatu
negara seringkali lebih memperhatikan pendapat epistemic community
sebagai pihak yang menyuarakan berba-gai konsensus internasional.
Epistemic community juga mempengaruhi pembuatan kebijakan
negara-negara Timur Tengah dalam upaya menanggulangi pencemaran
168 | Proses Pembuatan Kebijakan

laut. Ia menjelaskan bagaimana pendekatan kekuatan dan pendekatan


institusi mampu menjelaskan peran mereka dalam penyusunan
perencanaan negara-negara tersebut namun gagal menjelaskan
perkembangan kelanjutannya dari waktu ke waktu. Memahami
bagaimana epistemic community mengontrol dan mengintroduksikan
pengetahuan sebagai dasar pembuatan kebijakan dapat membantu
menjelaskan bagaimana perubahan kebijakan dalam suatu negara dari
waktu ke waktu, isi regim yang dijalankan, kekuatan dan efektifitasnya.

Politik Tingkat Tinggi (high politic)

Istilah ini digunakan untuk pengambilan keputusan penting yang


hanya melibatkan kalangan tertentu. Hal demikian ini penting diketahui
untuk menelaah lebih dalam bagaimana pelibatan pihak-pihak secara
terbatas dalam pembuatan suatu kebijakan. Proses pembuatan kebijakan
secara tertutup senantiasa terjadi dan hal demikian itu perlu ditelaah
tersendiri oleh pada analis kebijakan.

Memperluas Keseimbangan Kepentingan

Dengan berbagai perkembangan dalam hubungan internasional,


berbagai cara diupayakan untuk memperluas arena komunikasi antar
pihak dengan memanfaatkan informasi yang secara global tersedia. Dalam
kaitan hal tersebut, peran aktor-aktor di luar pemerintah seperti lembaga
internasional, lembaga swadaya masyara-kat, kelompok-kelompok
peneliti, asosiasi swasta memegang peran sangat penting. Berbagai
organisasi di luar pemerintah tersebut telah berjalan untuk mencapai
tujuan-tujuan politik apakah secara langsung mendukung pemerintah
atau meng-ambil sikap sebagai oposisi. Kelompok di luar pemerintah
tersebut dalam banyak hal menjadi tidak sejalan dengan pemerintah, hal
demikian ini turut memperluas arena bagaimana kebijakan dipengaruhi
dan dirumuskan.
Perkembangan tersebut telah mengurangi peran hubungan bilateral
antar pemerintahan, sebaliknya meningkatkan manajemen dalam
hubungan kelompok-kelompok kepentingan oleh pemerintah untuk
mendapat akses dan sumberdaya dari kelompok-kelompok di luar
pemerintah. Demikian pula telah tumbuh hubungan baru kelompok
domestik dan internasional yang bukan hanya dijalankan oleh lembaga-
lembaga resmi yang ada, melainkan terdapat hubungan langsung antara
lembaga-lembaga internasional dan aktor-aktor domestik.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 169

Pemodelan Interaksi Kelompok Kepentingan


Teori permainan (game theory) telah dikembangkan dalam ilmu
ekonomi yang dapat digunakan untuk mendalami bagaimana interaksi
kelompok kepentingan berlangsung dan mencari titik temu yang paling
optimal sebagai jawaban atas perbedaan-perbedaan kepentingan yang
ada. Teori tersebut dapat membantu bagaimana kelompok-kelompok
kepentingan dapat bersepakat mencapai keputusan tanpa ada
kewenangan independen. Dalam hal ini diasumsikan bahwa setiap
kelompok mempunyai kepentingan tertentu yang dapat ditetapkan,
menyatakan kepentingan dan pengetahuannya dan bertindak rasional.
Pendekatan ini telah banyak digunakan oleh banyak peneliti untuk
menjawab berbagai bentuk negosiasi yang diperlukan dan berguna untuk
menyelesaikan masalah-masalah aktual dalam berbagai fenomena.

Mekanisme Proses Kebijakan menurut IDS 13

Persoalan Dominasi
Pertanyaan utama yang mendorong penelitian IDS mengenai proses
kebijakan (policy proceses) ini adalah: bagaimana penduduk setempat (atau
siapapun yang lemah secara politik) berperan dalam pembuatan kebijakan
publik? Bagaimana orang-orang miskin dapat membentuk agenda
kebijakan di dunia yang semakin mengglobal ilmu pengetahuan dan
kebijakannya?
Isu-isu kebijakan SDA/Lingkungan khususnya ditandai dengan
meningkatnya jumlah pelaku, ragam perspektif, dan semakin
“diperebutkannya” masalah SDA/ Lingkungan itu sendiri14 oleh berbagai
pihak. Dalam konteks ini, membangun ke-percayaan di sekitar proses
pengambilan keputusan sangat penting—dan sering 'partisipatif' menjadi
mekanisme dan solusi standar yang dipilih. Namun, dari tinja-uan proses

13
Kecuali disebutan lain, bagian ini bersumber dari publikasi oleh Knowledge, Technology
and Society Team (Wolmer W, Keeley J, Leach M, Mehta L, Scoones I, Waldman L.
2006. Understanding Policy Processes: A review of IDS researc on the environment.
Brighton (UK): Institute of Development Studies (IDS)- University of Sussex.
14
Misalnya dalam perubahan iklim yang diperebutkan dan dicoba diselesaikan cenderung
masalah-masalah lingkungan global, tetapi tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi
masyarakat lokal.
170 | Proses Pembuatan Kebijakan

kebijakan ini justru berbalik mengkritisi perubahan kebijakan yang


didasarkan pada asumsi bahwa: partisipasi akan memungkinkan
pengetahuan lokal dapat menantang perspektif global.
Sejumlah besar pengalaman—dengan menggunakan berbagai
teknik—telah berusaha untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pembuatan kebijakan publik—terutama dalam kaitannya dengan isu-isu
ilmiah yang tidak mudah dimengerti oleh masyaraat luas atau isu-isu
teknologi yang kontroversial. Yang telah dilakukkan di berbagai negara
misalnya dengan cara juri warga negara (citizen’s juries), konferensi untuk
hasil yang telah dibuat melalui konsensus (consen-sus conferences), panel
musyawarah (deliberative panels) dan pemetaan multi-kriteria (multi-criteria
mapping). Namun, sejarah panjang riset mengenai proses partisipatif dalam
pembuatan kebijakan publik tersebut mengungkapkan bahwa istilah
“partisipasi” sering digunakan oleh “tuan rumah” penyelenggaranya,
namun para prakteknya pola dominasi dan eksklusi kepentingan
masyarakat lokal yang lemah secara politik senantiasa terulang kembali.
Maka dari itu, timbul sejumlah pertanyaan:
1. Apa jenis partisipasi yang digunakan dalam pembuatan kebijakan
publik dan untuk siapa?
2. Siapa yang mengadakan prosesnya?
3. Siapa yang mendefinisikan agenda dan pertanyaan yang harus
dijawab dan dapat membentuk perdebatan?
4. Bagaimana berbagai bentuk keahlian disertakan dan digunakan?
Berdasarkan pengamatan dari kajian IDS ini, gaya birokrasi yang non-
partisipatif dan sudah lama tertanam dalam pengambilan keputusan tidak
dapat berubah dengan cepat. Ketika ada pihak dengan posisi kuat dalam
suatu rapat, peluang untuk komunikasi secara terbuka bagi semua peserta
rapat itu menjadi terbatas. Namun, strategi partisipatif dan prosedur
musyawarah yang membangun pemaha-man yang kuat dari proses
kebijakan model IDS ini telah berhasil melakukan konfigurasi ulang
hubungan pengetahuan, keahlian dan pembuatan kebijakan, dengan
membangun koalisi baru dan menggeser framing perdebatan yang
sebelumnya sulit dilakukan. Dalam prakteknya, karena adanya kelompok-
kelompok sosial yang konvensional diperlukan perubahan sosial dalam
jangka panjang. Perlu langkah-langkah pemberdayaan yang lebih luas
seperti:
1. Menegaskan pentingnya budaya politik dan hukum dengan
membiasakan adanya kritik,
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 171

2. Membangun kepercayaan diri warga berbasis kebenaran praktis,


ilmiah dan keterampilan,
3. Mewujudkan adanya ruang untuk pengetahuan sendiri dan minat
orang lain yang membentuk dan menginformasikan pentingnya
perdebatan dalam proses kebijakan.

Apa proses kebijakan (policy processes) itu?


Pembuatan kebijakan perlu diletakkan sebagai proses politik
sebagaimana juga terdapat proses-proses analitis atau pemecahan
masalah. Pembuatan kebijakan tidak selalu sekali jadi melainkan bertahap,
kompleks dan tidak linier, suatu proses yang dapat terputus atau berjalan
lambat dan berat; suatu proses yang berulang dan seringkali berjalan
berdasarkan pengalaman, belajar dari kesalahan, dan mengambil pelajaran
dari kebijakan-kebijakan yang lalu. Maka, tidak ada satu kebijakan optimal
yang dapat dilahirkan sekali jadi. Dengan kata lain, kebijakan yang
dianggap sempurna itu sesungguhnya diperoleh dari pengalaman dan
perdebatan sebelumnya oleh orang-orang dan banyak kepentingan di
dalamnya.
Dalam pembuatan kebijakan hampir selalu ada kompetisi dan agenda
yang tumpang-tindih. Tidak ada perjanjian atau kesepakatan yang
sempurna diantara para pihak yang sesungguhnya diperlukan dalam
penetapan masalah kebijakan. Keputusan-keputusan yang diambil
tidaklah bersifat teknis dan tetap. Dalam kenyataannya fakta dan nilai
saling berpengaruh. Pertimbangan nilai-nilai (baik/ buruk, adil/tidak adil
dan bukan sekedar benar-salah) memberikan peran sangat penting. Selain
itu, dalam pelaksanaan kebijakan hampir selalu terdapat diskresi dan
negosiasi yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan di lapangan untuk
menyesuaikan kondisi-kondisi yang berbeda atau bahkan bertentangan
dengan apa yang diasumsikan oleh para pembuat kebijakan.
Dengan proses kebijakan seperti itu, manfaat analisis IDS ini dapat
menjelas-kan terjadinya pembuatan kebijakan terutama bagi masyarakat
yang lemah mendapat dukungan politik, mengetahui strategi keikut-
sertaan dalam pembuatan kebijakan agar efektif mencapai sasaran
kebijakan, maupun mengetahui bagaimana strategi mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan.

Pendekatan yang Digunakan


172 | Proses Pembuatan Kebijakan

Terdapat 3 faktor yang digunakan untuk melakukan analisis proses


kebijakan (Gambar 11), yaitu:
1. Pengetahuan dan diskursus.15 Perlu diketahui apa narasi kebijakan
(policy narrative) yang berkembang. Bagaimana narasi itu terdapat atau
terbangun dalam ilmu pengetahuan, hasil penelitian, dan lain-lain;
2. Aktor dan jaringan. Siapa yang disertakan dan bagaimana mereka
terhubung satu sama lain.
3. Politik dan kepentingan. Apa yang mendasari terjadinya dinamika
politik/ power yang terjadi.

Gambar 11 Tiga faktor dalam proses kebijakan

Untuk menjalankan pendekatan tersebut dapat dibantu melalui


beberapa pertanyaan, misalnya sebagai berikut:
1. Bagaimana kebijakan dibuat dan oleh siapa?
2. Bagaimana pandangan dan perspektif tertentu masuk dan menjadi
dasar isi kebijakan?

15
Untuk mudahnya dalam naskah ini, istilah diskursus dan narasi dianggap sama, yaitu
pola pikir, logika yang dipakai serta nilai-nilai yang dianut oleh sekelompok orang yang
senantiasa digunakan dan dikuatkan serta dikembangkan dari waktu ke waktu. Narasi ini
sudah tertanam dalam ilmu pengetahuan, penelitian dll dan secara umum apabila
seseorang berpendapat atau menolak/menyetujui pendapat orang lain, dibaliknya terda-
pat narasi itu. Metoda menentukan narasi ini perlu dipelajari melalui pustaka tersendiri.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 173

3. Apa kondisi lingkungan kunci, konteks16, dan individu yang


mempengaruhi atau jarigan-jaringan yang mempunyai peran?
4. Bagaimana ide tentang apa yang disebut “kebijakan baik/tepat”
digunakan dan kemudian berubah?
5. Bagaimana batasan-batasan yang menentukan masalah kebijakan dan
“policy storylines”17 dielaborasi?
6. Bagaimana peran ilmu pengetahuan dan keahlian (biasanya dari
epistimic community atau sekelompok elit/akademisi yang dianggap
sangat mampu dibidangnya)?
7. Suara dan pandangan siapa yang digunakan dan yang tidak
digunakan dalam proses kebijakan?
8. Bagaimana, kapan dan atas dasar pengaruh apa suatu kebijakan itu
berubah?
Untuk dapat menjawab sejumlah pertanyaan tersebut, peneliti perlu
terlibat dalam proses kebijakan, mempelajari dokumen-dokumen proses
perdebatan, atau memahami informasi dari informan yaitu pelaku-pelaku
pembuat kebijakan tersebut. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
dapat diinterpretasikan berdasarkan 3 faktor pada Gambar 11.
Dalam proses pembuatan kebijakan publik, diperlukan perhatian
untuk memahami bagaimana kebijakan hadir dan mengambil bentuknya,
yaitu mengeta-hui bagaimana pembuat kebijakan membuat agenda (apa
yang dibicarakan, kapan dan terkait dengan peristiwa apa, siapa yang
diundang, dan lain-lain) dan melaksanakannya. Untuk mendapatkan
pemahaman ini, diperlukan kemampuan untuk mengungkap:
1. Hubungan antara input ilmiah dan kepentingan politik,18

16
Lingkungan kunci dan konteks yang dimaksud misalnya adanya kejadian-kejadian
tertentu yang secara psikologis mempengaruhi pandangan masyarakat. Banjir besar dan
kecelakaan yang membawa banyak korban, tsunami, dan lain-lain adalah sekedar contoh
lingkungan kunci yang melahirkan kebijakan tertentu sesuai konteks kejadian-kejadian
itu. Dampak buruk yang terjadi perlahan-lahan biasanya tidak menimbulkan tekanan
bagi masyarakat walaupun akibatnya jauh lebih berbahaya.
17
Storyline adalah penggalan fakta yang digunakan untuk meyakinkan pendapat yang
didasarkan pada teori tertentu dan digunakan untuk tujuan mencapai tujuan tertentu.
Misalnya “hutan gundul penyebab banjir” dapat digunakan untuk memindahkan atau
mengusir sekelompok orang yang tinggal di wilayah berhutan.
18
Misalnya dalam pembuatan AMDAL, saksi ahli dalam pengadilan, policy paper,
perdebatan di televisi, dll dapat diperhatikan siapa yang disertakan dalam proses-proses
itu, tujuan apa proses-proses itu dibuat, kesimpulan-kesimpulan apa yang dinyatakan.
Semua itu dapat diamati untuk mencari hubungan antara input ilmiah dan kepentingan
politik.
174 | Proses Pembuatan Kebijakan

2. Nuansa 'geografi' (siapa, peran, asal, sumberdaya yang dimiliki) dari


jaringan aktor di balik kebijakan,
3. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam narasi kebijakan,19
4. Terbentuknya alternatif kebijakan dan argumentasinya,
5. Bagaimana narasi yang satu dikaburkan dan digantikan narasi
lainnya.
Suatu contoh perdebatan dalam proses kebijakan di India (IDS 2006) untuk
menye-lesaikan masalah kekeringan sebagaimana diuraikan pada Tabel
13.
Tabel 13 Implikasi penggunaan perbedaan narasi dalam pembuatan
kebijakan di India
Faktor Pro Pemerintah Anti Pemerintah
Kerangka Berkurangnya curah hujan dan Kekurangan air akibat
fikir/ narasi meningkatnya kekeringan penebangan untuk tujuan
kebijakan mengakibatkan kelangkaan air eksploitasi
Solusi Proyek Sardar Sarovar akan Pemulihan vegetasi, penambahan
memberikan pasokan air ekstra- sumber daya air tanah, reformasi
basin water (dari tempat lembaga dan kerjasama terkait
cekungan). Irigasi padat modal. dengan air
Aktor Utama Pemerintah LSM kecil
Pendukung Politisi, pengusaha dan irigasi Para insinyur, ilmuwan sosial,
Aktor/ koalisi pertanian besar, media serta wartawan dan akademisi,
LSM dan lembaga akademisi, Gerakan Penyelamatan
bank dunia, ICOLD Narmada. Jaringan aktivis LSM
global dan akademisi.
Kepentingan / Pebisnis, industri rekayasa, Masyarakat tidak mendapatkan
Politik birokrasi, elit politik, petani keuntungan
kaya
Ruang Mudah karena didukung Sulit karena tidak mendapat
kebijakan kekuatan politik pemerintah- dukungan politik pemerintah
(policy space) pengusaha besar

Pembelajaran dari beberapa kasus yang diuraikan dalam IDS (2006):

19
Di kehutanan misalnya, bagaimana illegal logging diakibatkan sebagai perbuatan jahat
dan kemudian solusinya adalah koordinasi penegakan hukum (logika 1), dengan illegal
logging diakibatkan sebagai lemahnya pengelolaan hutan di tingkat tapak kemudian
solusinya adalah pembangunan KPH (organisasi pemerintah yang beroperasi di lapang-
an/tapak). Konsekuensi adanya sebab-akibat yang berbeda memberikan solusi yang
berbeda, dan lebih jauh, pilihan sebab-akibat itu sangat penting bagi politik karena
pilihan sebab-akibat itu menentukan siapa yang dilibatkan dan siapa yang diabaikan.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 175

1. Narasi mengenai krisis lingkungan dapat digunakan untuk melepas


kontrol (menghilangkan hak) terhadap SDA oleh masyarakat lokal
dan beralih kepada otoritas internasional;
2. Intervensi kebijakan dapat dibuat melalui peran pengetahuan dan
‘frame’ yang digunakan oleh para ahli dalam proses politik ekonomi
pertanian dan SDA;
3. Pengetahuan yang telah ada dalam kehidupan sosial-budaya dan
organisasi dapat dikuatkan oleh lembaga donor;
4. Kepentingan, asumsi-asumsi dan komitmen yang dibuat birokrasi
dengan kebutuhan ekonomi/komersial, berperan penting dalam opsi-
opsi kebijakan yang dibuat.

Perlawanan

Proses pembuatan kebijakan seringkali melibatkan berbagai aktor


untuk melakukan negosiasi, reaksi terhadap hal-hal yang kontroversi,
skandal, black campaign (fitnah) dan krisis yang sengaja diciptakan.
Kesemuanya itu menjadi kondisi dalam proses pembuatan kebijakan yang
ditandai dengan berbagai tingkat ketidak-pastian ilmiah dan resiko akibat
argumen yang keliru dalam pembuatan kebijakan, sifat ilmu pengetahuan
dipolitisasi dan diperebutkan, juga dapat terjadi 'co-produksi' ilmu
pengetahuan, dan kebijakan yang dilahirkan dari proses-proses seperti itu
tetap dianggap sangat jelas dan masuk akal. Untuk memahami hal
demikian itu diperlukan kemampuan untuk mengetahui:
1. Bagaimana agenda kebijakan oleh pihak tertentu digagalkan, dan oleh
siapa?
2. Seperti apa jaringan hubungan antara ilmu dan terjadinya kebijakan?
3. Apakah perdebatan yang terbuka (plural) diubah menjadi tertutup?
4. Perspektif siapa yang terpinggirkan atau dikecualikan?
Substansi apa yang menyebabkan trade-off dan ketidak-sepakatan dan
kemudian dilakukan konsensus?

Perubahan Kebijakan dan Policy Space


Proses pembuatan kebijakan publik seringkali pasang-surut.
Seringkali kebijakan muncul dengan cepat akibat adanya ide tertentu dan
kondisi-kondisi mendesak yang memungkinkan, meskipun ada tantangan
bersama terhadap konsep-konsep dasar dan cara kerja yang digunakan.
Studi kasus yang ditelaah IDS (2006) menunjukkan bahwa apabila jaringan
176 | Proses Pembuatan Kebijakan

aktor yang terbentuk sangat kuat dan tak tertembus, sehingga kondisinya
tidak kondusif untuk mengubah kebijakan, tidak ada argumen rasional
apapun dapat menggeser narasi kebijakan yang dominan itu. Hal-hal
dapat berubah setelah posisi kebijakan yang terjaga secara ketat itu mulai
berantakan, terjadi pelunakan sikap, narasi dan argumen lainnya menjadi
digunakan, dari hasil jaringan aktor untuk perubahan kebijakan secara
kuat membawa counter-discource dalam perdebatan perubahan kebijakan.
Pertanyaaanya, strategi apa untuk memperbesar peluang perubahan
kebijakan itu dapat diwujudkan? Bagaimana menciptakan ruang-ruang
kebijakan baru (policy space) dan kesempatan baru untuk menantang
kebijakan yang ada dan membuka debat? Secara umum yang dapat
dilakukan adalah membangun jaringan dan menentukan champions of
change. Untuk itu dapat dilakuan dengan beberapa cara—sesuai
kondisinya, sebagai berikut:
1. Adanya ruang konseptual (dimana ide baru diperkenalkan untuk
diperdebatkan dan disirkulasi melalui berbagai bentuk media)
• Publikasi paper yang berisi rekomendasi kebijakan dalam jurnal
ilmiah
• Ambil hal penting, pengaruhi orang lain (hal yang bisa
berpengaruh selalu hal yang penting)
• Pengaruhi penentu kebijakan secara informal (‘after hours’)
• Pelajari “bahasa birokrasi” atau “bahasa pimpinan” dan gunakan
sebagai cara dalam memberi pengaruh
2. Adanya ruang birokrasi (ruang pembuatan kebijakan formal di dalam
pemerintaan yang dipimpin oleh pejabat yangmana dalam melakukan
pembuatan kebijakan mendapat input dari expert tertentu)
• Buat tim lobi dan pemain utama yang akan bekerja
• Pilih personal dalam birokrasi sebagai champions of change
• Dapatkan pengaruh atasan untuk menyampaikan ide perubahan
dan pastikan ia juga mendapat penghargaan dari perubahan itu
3. Adanya ruang yang diciptakan (konsultasi dengan penentu kebijakan,
me-nyertakan pihak-pihak tertentu secara selektif)
• Membatalkan atau menghentikan rapat/pertemuan dan/atau
membajak agenda
• Mempengaruhi isi naskah pidato
• Mempertontonkan video di workshop untuk menjelaskan
keluhan masya-rakat secara langsung
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 177

• Wujudkan peran positif bagi pejabat –misal dengan menulis


pidato dengan tepat
4. Adanya ruang populer (protes, demonstrasi oleh gerakan sosial,
membuat tekanan pada proses pembuatan kebijakan)
• Gerakan untuk menyatukan aksi langsung yang menyebabkan
perubahan
• Petisi
• Masuk dalam keanggotaan organisasi dan memperkuatnya, misal
organisasi tani
• Menggunakan media: radio, TV, posters
5. Adanya ruang praktis (menyediakan kesempatan bagi penentu
kebijakan untuk menyaksikan sendiri)
• Pilot project
• Case studies
• Study tours

Banyaknya aspek berpengaruh yang dapat menentukan perubahan


kebijakan di atas menunjukkan bahwa proses pembuatan kebijakan tidak
senantiasa mengikuti proses yang berurut secara rasional. Pembuatan
kebijakan perlu dimengerti sebagai proses politik dan prosesnya ditetukan
oleh banyak faktor. Penelitian kebijakan yang telah dilakukan beberapa
tahun terakhir menunjukkan bahwa proses pembuatan kebijakan tidak
menentu, dengan hasil-hasil yang ditentukan oleh komplikasi kepentingan
politik, sosial dan kelembagaan. Juma dan Clark (1995) menyebutnya
sebagai proses evolusi. Dalam hal ini, Clay dan Schaffer (1984)
menyebutkan bahwa seluruh ’hidupnya’ suatu kebijakan berjalan atas
maksud dan tujuan tertentu atau ’kecelakaan’ belaka. Sama sekali bukan
sebagai proses rasional yang berjalan melalui pemilihan strategi terbaik,
yang biasanya diperkirakan dapat dilakukan oleh para pembuat kebijakan.
178 | Proses Pembuatan Kebijakan

Pelaksanaan Kebijakan dengan Tinjauan


IAD20
Baik tinjauan persoalan nyata di lapangan maupun implementasi
peraturan-perundangan yang diharapkan dapat menyelesaikannya,
dalam kenyataan di banyak kasus, pelaksanaan penyelesaian bentuk-
bentuk pelanggaran penggunaan kawasan hutan masih belum efektif21.
Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor kompleks yang kurang memuaskan
apabila dianalisis dengan pendekatan tunggal (monodisiplin). Oleh
karena itu, telaah pengelolaan sumber daya alam ini digunakan kerangka
pendekatan multi-faktor dengan model analisis dan pengembangan
kelembagaan (institutional analysis development/IAD) (Oakerson 1992;
Ostrom 2005; Poteete et al. 2010) untuk menilai pelaksanaan RETN. Model
ini dipilih karena sangat mudah disesuaikan dengan berbagai konteks
yang berbeda dan telah diterapkan pada berbagai analisis terjadinya
kegagalan institusional dalam pengelolaan sumber daya alam22.
Kerangka kerja ini mempertimbangkan adanya faktor-faktor
eksogenous yaitu kondisi yang memengaruhi arena aksi tindakan para
aktor, di mana pola interaksi terbentuk, yang menentukan kinerja
(outcome) yang dihasilkan. Dalam hal ini, kinerja yang dimaksud yaitu

20
Naskah lengkap bagian ini oleh Kartodihardjo (2019) terdapat dalam Jurnal Hukum
Lingkungan Indonesia. Indonesian Center for Environtmental Law (ICEL). Volume 5,
No. 2, 2019. Pembelajaran dari Kasus Revitalisasai Ekosistem Tesso Nilo di Propinsi
Riau, dengan keseluruhan areal seluas 916.343 Ha. Di dalamnya terdapat areal TNTN
seluas 81.793 Ha, yang telah dirambah seluas 44.544 Ha (54%). Areal eks PT HSL
seluas 45.990 Ha dan areal eks PT SRT seluas 38.560 Ha, yang telah dirambah seluas
55.834 Ha (66%).
21
Jumlah total perusahaan kelapa sawit secara nasional yang berada di dalam kawasan
hutan sekitar 3,5 juta Ha, dengan rincian di kawasan konservasi 115.694 Ha, di hutan
lindung seluas 174.910 Ha, di hutan produksi terbatas seluas 454.849 Ha, di hutan
produksi seluas 1.484.075 Ha serta di hutan produksi yang dapat dikonversi seluas
1.244.921 Ha (Auriga, 2019). Di Riau, hasil dengar pendapat antara Komisi B DPRD
Propinsi Riau dengan Kanwil Pajak Provinsi Riau-Kepri, ditemukan bahwa dari 513
perusahaan perkebunan yang terdaftar di Disbun Provinsi Riau dan 58 perusahaan
kehutanan, hanya 104 perusahaan yang terdaftar sebagai penyumbang pajak di Kanwil
Dirjen Pajak Riau-Kepri. Untuk tahun 2015 Kanwil Dirjen Pajak Riau-Kepri memiliki target
pajak sebesar ± Rp 24 Triliun. Kontribusi perusahaan yang bergerak dibidang P3
(Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan) sekitar 40% atau ± Rp 9,6 Triliun. Padahal
potensi pajak untuk industri perkebunan dan kehutanan yang sudah dianalisis Pansus
berjumlah sekitar Rp 31,2 Triliun per tahunnya.
22
Pilihan referensi ini dari publikasi Ratner, et al., 2013 yang dimodifikasi sesuai dengan
kondisi lapangan ETN serta pelaksanaan revitalisasi yang telah dilakukan.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 179

bagaimana masyarakat lokal dan adat sebagai subyek mendapat manfaat


serta fungsi institusional dapat bekerja. Dengan demikian, pendekatan ini
memungkinkan memasukkan faktor-faktor kontekstual sesuai kondisi di
lapangan. Sebagai kerangka kerja yang dinamis, kinerja pada gilirannya
akan memberi umpan balik ke dalam dan memengaruhi konteks serta
arena tindakan di putaran berikutnya (lihat Gambar 12).
Variabel Eksogenous

KARAKTERISTIK
BIOFISIK SUMBER
DAYA ALAM
Arena Aksi

KARAKTERISTIK SITUASI AKSI INTERAKSI


PENGGUNA SUMBER
DAYA ALAM

PARTISIPAN (aktor)
KRITERIA
ATURAN MAIN FORMAL EVALUASI
(rule in form) DAN
INFORMAL (rule in use)

OUTCOMES

Gambar 12. Kerangka Pendekatan untuk Analisis Institutional


Faktor eksogenous yang dimaksud menggabungkan tiga faktor, yaitu
karakteristik sumber daya alam, karakteristik pengguna sumber daya
alam, serta tata kelola termasuk “aturan khusus (rule in use)” yang
menentukan penggunaan sumber daya alam di lapangan (Ostrom et al.
1994; Ostrom 2005). Masing-masing faktor tersebut dapat dipecah
menjadi elemen yang jauh lebih rinci tergantung pada situasi tertentu
yang diteliti (Poteete et al. 2010). Untuk setiap faktor dinilai bagaimana
dapat membentuk insentif bagi tindakan kolektif menuju tujuan yang
ditetapkan.
Premis yang diajukan oleh Keohane dan Ostrom (1995) maupun
Bekkers et al. (2011) adalah bahwa dalam situasi konflik, inovasi untuk
“kerja institutional baru”23 memungkinkan beragam pemangku
kepentingan dapat mengelola persaingan pemanfaatan sumber daya alam
secara lebih adil, dapat membantu membangun ketahanan, termasuk

23
Yang dimaksud yaitu menyusun perangkat kerja, regulasi, maupun konsensus
bagaimana menjalankan program dan kegiatan di antara semua aktor yang terlibat.
Dalam pelaksanaannya dapat mencakup inovasi proses, misalnya untuk meningkatkan
kualitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan dengan membentuk kepemimpinan
penghubung (linking leadership) yang dapat mempertemukan kepentingan
kepemimpinan administratif dan kepemimpinan politik (Bekkers, et al. 2011).
180 | Proses Pembuatan Kebijakan

kapasitas untuk beradaptasi, tidak hanya terhadap sumber konflik yang


sedang terjadi, tetapi juga terhadap risiko di masa depan. Terkait dengan
hal itu, terdapat konsep “kekuatan ikatan lemah” (the strength of weak
ties) dalam suatu jaringan sosial. Liu et al. (2017) menjelaskan bahwa
ikatan lemah itu membuat aktor mampu memperoleh informasi dari luar
dibandingkan dengan aktor dalam ikatan yang kuat. Prell et. al. (2009)
menjelaskan bahwa ikatan lemah memiliki keuntungan dapat
menjembatani beragam aktor dan kelompok, menghubungkan segmen
jaringan sosial yang terputus dan informasi baru cenderung mengalir
melalui ikatan-ikatan itu.

Variabel Eksogenous
Karakteristik Sumberdaya Alam dan Penggunanya
Sumber daya alam apapun, terbarukan atau tidak, dapat mewujudkan
tekanan dan sumber konflik terutama apabila karakteristik sumber daya
alam itu bersifat high exclusion cost (HEC).24 Dengan sifat HEC itu, sumber
daya yang tersebar lebih sulit untuk mengecualikan orang yang tidak
berhak dari ikut serta memanfaatkan, dibandingkan dengan sumberdaya
alam yang sangat terkonsentrasi. Wilayah ETN yang dikaji ini memenuhi
kriteria sifat HEC tersebut25. Kondisi demikian itu terjadi tidak terlepas
dari perubahan-perubahan pengelolaan kawasan sejak tahun 1970an dan
tidak dapat mewujudkan penguatan pengelolanya26. Sementara itu telah

24
Barang dengan biaya eksklusi atau pengecualian tinggi (HEC) adalah barang di mana
apabila barang itu untuk satu pengguna, mahal untuk mengeluarkan pengguna lainnya
agar tidak ikut memanfaatkannya. Karena biaya untuk mengeluarkan pengguna lainnya
itu lebih besar dari nilai barang yang dibicarakan. Biaya pengecualian yang tinggi berarti
bahwa penggunaan barang yang ada tidak dapat terbatas pada mereka yang telah
berkontribusi pada biaya produksinya atau hak atas barang itu. Hanya karena seseorang
memiliki hak untuk mengeluarkan orang lain dari sumberdaya itu tidak berarti bahwa
upaya mengeluarkan hak orang lain dapat dilakukan secara efektif (Schmid, 1987).
25
Keseluruhan areal ETN seluas 916.343 Ha, areal TNTN di dalamnya seluas 81.793 Ha,
yang telah dirambah seluas 44.544 Ha (54%). Areal eks PT. HSL seluas 45.990 Ha dan
areal eks PT. SRT seluas 38.560 Ha, yang telah dirambah seluas 55.834 Ha (66%).
Disamping itu terdapat 13 perusahaan HTI dengan luas sekitar 750.000 Ha, 9 perusahaan
terdapat klaim lahan. Juga terdapat HGU kelapa sawit 11 perusahaan seluas 70.193 Ha,
diantaranya seluas 15.808 di dalam kawasan hutan (Koalisi LSM Riau, 2017).
26
Pada 1974 wilayah TNTN masih menjadi konsesi HPH PT. Dwi Marta (200.000 Ha)
dan PT. Nanjak Makmur (48.370 Ha). Pada 1993 dialihkan pengelolaan PT Dwi Marta
kepada PT Inhutani IV (BUMN). Tahun 2001—2002 kawasan tersebut oleh Pemda
Kabupaten dan Propinsi setuju diubah menjadi kawasan konservasi gajah dan tahun
2004 sebagian kawasan PT Inhutani IV (38.576 Ha) diubah fungsinya menjadi TNTN.
Tahun 2009 areal PT. Nanjak Makmur juga diubah fungsinya menjadi TNTN. Tahun
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 181

diketahui bahwa semakin dapat dikuasai suatu sumber daya alam,


semakin mudah membangun pengaturan institusional dalam
pengelolaannya (Agrawal 2001). Dengan begitu, selain sifat
kelangkaannya, sifat HEC sumber daya alam di lokasi ETN secara
konseptual maupun empiris menyulitkan pelaksanaan pengelolaannya.
Di lokasi ETN, Balai TN Tesso Nilo dan WWF Indonesia telah
melakukan identifikasi pengguna lahan dari tahun 2016 hingga Juni 2018,
yang membuktikan sifat HEC tersebut. Ditemukan kepemilikan lahan 0-5
hektar seluas 903 hektar, 6-10 hektar seluas 1.711 hektar, lahan 11-15 seluas
637 hektar, 16-20 seluas 952 hektar, lahan 20-25 seluas 586 hektar dan lahan
diatas 25 hektar mencapai 19.839 hektar. Dari total 19.839 hektar tersebut
dikuasai sekitar 165 orang pemilik modal. Identifikasi kepemilikan lahan
di ETN dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Identifikasi Penguasaan Lahan di ETN (Sumber: WWF


Indonesia, 2016)
Pada gambar tersebut, di wilayah Eks PT. HSL di Kecamatan Logas
Tanah Datar, Kabupaten Kuantan Singingi dengan luas 9.586,37 Ha,

2014 kawasan TNTN ditetapkan dengan SK. KepMenHut No. 6588/Menhut-


VII/KUH/2014, 28 Oktober 2014, tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional
Tesso Nilo seluas 81.793 Ha di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu.
182 | Proses Pembuatan Kebijakan

masuk dalam wilayah adiministrasi 4 desa yaitu Situgal, Hulu Tesso,


Sidodadi dan Girisako27. Wilayah ini secara de facto di bawah penguasaan
masyarakat adat Mandailing yang berperan penting dan terkait
hubungan sosial dan penguasaan lahan. Areal eks PT. HSL yang masuk
dalam wilayah adat Mandailing Logas Tanah Darat meliputi 7 desa, yaitu
Desa Logas, Lubuk Kebun, Situgal, Hulu Tesso, Giri Sako, Sidodadi dan
Kuantan Sako. Di wilayah ini, pembukaan areal baru dan jual beli lahan
harus ada izin dari pemangku adat Mandailing. Pembukaan lahan
perkebunan oleh masyarakat dan cukong di wilayah ini sudah dimulai
pada 2005, dengan diawali dengan keluarnya izin dari tokoh pemuka adat
untuk pemodal (cukong). Dengan mekanisme serupa itu, saat ini hampir
80% areal eks PT. HSL telah terbuka dan dimanfaatkan untuk perkebunan
kelapa sawit.
Selain karakteristik sumber daya alam atau sifat HEC tersebut,
karakteristik sosial ekonomi seperti etnis, pendidikan maupun kekayaan
sangat relevan untuk analisis yang menentukan potensi di mana konflik
dapat terjadi (Ostrom 2005). Selain itu, hasil penelitian tentang faktor-
faktor yang memengaruhi pengelolaan sumber daya bersama (common
pool resources) (Wade 1988; Ostrom 1990; Agrawal 2001), menyatakan
bahwa kejelasan batas kelompok sebagai identitas bersama dan sejarah
kerja sama lebih memungkinkan untuk mewujudkan manajemen sumber
daya secara efektif. Namun demikian, karakteristik pengguna sumber
daya alam di ETN tidak memenuhi syarat pengelolaan sumber daya
bersama seperti itu, bahkan dengan kondisi pengelolaan yang lemah,
masyarakat menentukan sendiri kebijakan dan cara alokasi lahan untuk
kebun sawit.
Tata Kelola
Faktor yang berkontribusi positif dalam pengelolaan suber daya alam
yaitu transparansi dan upaya mengurangi kecurigaan sesama pelaku.
Untuk itu, pemantauan secara independen sangat disarankan Ostrom
(1990). Sementara itu, besar-kecilnya ukuran unit sumber daya alam
maupun batas-batasnya yang terdefinisi dengan jelas dapat meningkatkan
daya pengamatan dan mengurangi biaya pemantauan penggunaan

27
Penjelasan pada paragrap ini diperoleh dari laporan evaluasi kegiatan revitalisasi
ekosistem Tesso Nilo (RETN) (13/3/2017) yang disusun oleh LSM di Riau yang menjadi
anggota Tim Operasional RETN.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 183

sumber daya alam, sehingga cenderung mengurangi potensi konflik.


Kedua faktor itu, untuk situasi ETN, tidak terpenuhi.
Peraturan yang menentukan tindakan mana yang diperlukan,
diizinkan atau dilarang perlu “disarangkan” (Ostrom, 1990)28. Dalam
pelaksanaan RETN, peraturan operasional yang menjadi fokus
pelaksanaannya yaitu Permen KLHK No.
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial serta
Perdirjen KSDAE No:P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk
Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam. Pelaksanaan kedua peraturan tersebut pada kondisi
banyaknya pelanggaran penggunaan sumber daya alam yang telah meluas
di ETN, kekuatan aksi para pihak melalui ikatan-ikatan yang ada (rule in
use) lebih besar daripada berjalannya kedua aturan formal (rule in form)
tersebut. Disamping itu, sampai dengan pertengahan 2018, propinsi Riau
belum mempunyai Peraturan Daerah mengenai penataan ruang, sehingga
pada tingkat propinsi belum terdapat acuan penyelesaian masalah
penggunaan tata ruangnya.
Berdasarkan kenyataan seperti itu, persoalan kerusakan ETN yang
diuraikan disini dianggap berasal dari kegagalan institutional yang
kemudian berkembang menjadi persoalan politik akibat bekerjanya
kekuasaan di lapangan melampaui apa yang dapat dilakukan oleh negara.
Untuk itu, KLHK pada pertengahan 2016, sejalan dengan prioritas kerja
Presiden terkait dengan target pelaksanaan perhutanan sosial,
menjalankan RETN melalui integrasi pendekatan masyarakat, konservasi
dan pengembangan wilayah. Hal itu sesuai dengan SK. MenLHK No.
267/Menlhk/Sekjen/HPL.4/3/2016 sebagaimana diubah dengan SK
MenLHK No. 376/Menlhk/Sekjen/HPL.0/05/2016 mengenai RETN dan
Areal Kawasan eks HPH PT. HSL dan eks HPH PT. SRT Berbasis
Masyarakat.
Disamping itu, juga dibentuk Tim Operasional yang secara langsung
melakukan kegiatan di lapangan bersama semua Balai KLHK, Kepala
Taman Nasional tesso Nilo, unsur Pemerintah Daerah, Kepolisian di
tingkat Provinsi dan Kabupaten, LSM, akademisi serta organisasi

28
Yaitu tipikal untuk segenap aturan yang menentukan bagaimana segenap aturan lainnya
dapat diubah. Ostrom (1990) membedakan tiga jenis aturan: (a) aturan operasional yang
mengatur keputusan sehari-hari, (b) aturan pilihan kolektif yang mempengaruhi
bagaimana aturan operasional harus diubah, dan siapa yang dapat mengubahnya; dan (c)
aturan pilihan konstitusional digunakan dalam menyusun aturan kolektif yang pada
gilirannya mengatur aturan operasional.
184 | Proses Pembuatan Kebijakan

masyarakat yaitu Lembaga Adat Melayu, sesuai dengan SK Nomor:


SK.3773/Menlhk-Setjen/Rokum/HPL.1/8/2016, 12 Agustus 2016, yang
kemudian diperbaharui dan terakhir menjadi SK Nomor: SK.
5197/Menlhk-Setjen/Rokum/HPL.1/10/2016, pada 18 Oktober 2016.
Bertindak sebagai Ketua Tim yaitu Kepala Balai Besar KSDA Riau, dengan
JIKALAHARI sebagai sekretariat. Sebagai bentuk kepemimpinan
penghubung (linking leadership) ditunjuk dua orang senior advisor Menteri
KLHK.
Dalam naskah ini, respon yang bersifat institusional tersebut,
dianggap sebagai kerangka penguatan institusional yang secara
konseptual diperlukan, ketika hierarki otoritatif untuk menegakkan
aturan, hubungan antara negara dan komunitas di lapangan hilang atau
tidak memadai.

Arena aksi
Arena aksi merupakan “panggung” untuk perundingan sosial yang
dapat dipilih oleh pelaku yang berbeda untuk bekerja sama atau tidak
(Gregorio et al. 2008). Dalam hal ini, sangat penting dipertimbangkan
karakteristik aktor yang terlibat, sumber daya masing-masing aktor untuk
mempengaruhi orang lain guna mengejar tujuan mereka, serta kendala
dan peluang yang disediakan oleh aturan yang digunakan.
Dibalik terjadinya deforestasi dan menjadi kebun kelapa sawit di
ETN terdapat berbagai bentuk mekanisme transaksi di dalam arena aksi
itu. Transaksi penggunaan kawasan hutan yang dirambah dan kemudian
dijadikan kebun sawit di eks PT. HSL, Kabupaten Kuantan Singingi yang
telah disebutkan di atas, dapat dikategorikan menjadi 3 cara29, yaitu: (a).
Jual beli. Masyarakat lokal mendapat izin dari tokoh adat dan/atau kepala
desa untuk membuka lahan di areal itu untuk perkebunan kemudian
menjualnya kepada pihak lain seperti pendatang dari Sumatera Utara
atau pada masyarakat eks transmigrasi, (b). Hibah. Pemberian lahan oleh
pemuka adat dan desa pada pihak lain, misalnya berupa hibah lahan di
areal eks PT. HSL sebagai wilayah adat suku Mandailing kepada
masyarakat adat Pangean seluas sekitar 2.000 Ha, dengan tujuan untuk
peningkatan ekonomi anak keponakan di dua suku, (c) Kemitraan.

29
Penjelasan pada bagian ini, khususnya mengenai proses penggunaan areal eks HPH PT.
HSL, diperoleh dengan menarasikan kembali laporan evaluasi kegiatan revitalisasi
ekosistem Tesso Nilo (RETN) (13/3/2017) yang disusun oleh LSM di Riau yang menjadi
anggota Tim Operasional RETN.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 185

Masyarakat yang mengklaim lahan pada eks PT. HSL bermitra dengan
cukong atau pemodal untuk pembangunan kebun kelapa sawit.
Pemanfaatan lahan di lokasi itu saat ini berupa perumahan warga,
lokal maupun pendatang, umumnya dari Sumatra Utara dan Jawa. Juga
berupa perkebunan kelapa sawit milik masyarakat Melayu, mantan
transmigran, masyarakat pembeli dari luar yang tinggal di desa, serta
kebun yang dimiliki cukong/pemodal. Kebun cukong itu biasanya dengan
areal lebih dari 25 Ha, yang kepemilikannya didominasi oleh pendatang
dengan menggunakan masyarakat lokal sebagai pekerja atau
mendatangkan pekerja dari Sumatra Utara, Nias dan Jawa.
Dalam kondisi demikian itu, tokoh masyarakat adat dan desa, cukup
antusias untuk mengelola lahan bekas PT. HSL secara bersama–sama,
yangmana pemangku adat bersedia untuk bersama-sama menertibkan
kembali kepemilikan lahan yang pada saat itu sudah tidak dapat
dikontrol oleh lembaga adat maupun desa. Dalam hal adanya ketidak-
jelasan status kepemilikan hutan/lahan, masyarakat sepakat untuk di
dorong menjadi lokasi perhutanan sosial30. Namun demikian, disadari
bahwa kemungkinan ada penolakan dari KUD Soko Jati, karena
sebagaian besar kebun yang berada dalam eks PT. HSL di Kuansing
mengatas-namakan KUD tersebut, yang dimiliki oleh masyarakat adat
Pangean. Demikian pula, perkebunan yang dimiliki cukong/pemodal
menjadi anggota Koperasi Soko Jati tersebut.
Strategi pemodal/cukong dalam penguasaan lahan yaitu dengan
memberi janji kepada masyarakat setempat atau anak keponakan akan
dibangunkan kebun sawit dengan meminta tokoh adat mengeluarkan izin
pembukaan lahan. Perkebunan milik para cukong itu umumnya menjadi
anggota KUD Soko Jati. Walaupun begitu, manajemen produksi dan
perawatan kebun dilakukan sendiri dan KUD hanya mendapat fee. Untuk
menyebar kepemilikan kebun illegal tersebut, sebagian kebun dikapling-
kapling menjadi 2 Ha atas nama masyarakat sekitar dan pendatang,
terutama yang tinggal di kecamatan Pangean dan Logas. Dengan
demikian, pekerja atau masyarakat yang berada di lokasi kebun seolah-
olah menjadi pemilik kebun, padahal bukan.
Proses transaksi hutan dan tanah di atas tidak terlepas dari
penguasaan ekonomi Riau dari sektor perkebunan kelapa sawit yang

30
Program pemerintah untuk merespon ketimpangan alokasi manfaat kawasan hutan
negara. Program ini mencakup izin Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat,
Hutan Desa, Hutan Adat, serta program kemitraan.
186 | Proses Pembuatan Kebijakan

mendorong penggunaan kawasan hutan/lahan secara illegal.31


Menghadapai situasi demikian itu, aktor-aktor internal terutama unsur-
unsur Pemerintah Daerah, yaitu mereka yang diharapkan mengikuti
sistem aturan khusus yang muncul dari perundingan institusional RETN
tidak cukup merespon32. Adapun, aktor lainnya seperti balai-balai KLHK
dan jaringan LSM, cukup dapat memengaruhi proses kerja institutional
yang relatif dapat mengatasi hambatan perizinan perhutanan sosial. Pretty
(2003) berpendapat bahwa menghubungkan modal sosial kelompok
masyarakat terutama antara kelompok miskin dan mereka yang
berwenang untuk mempengaruhi kebijakan, penting untuk mengurangi
konflik sosial yang lebih luas. Dalam pelaksanaan RETN, peran Tim Kerja
dan Tim Operasional mengarah pada upaya menghubungkan modal sosial
itu, sehingga masyarakat lokal dan adat dapat menempati posisi sebagai
subyek dan bukan sekedar obyek.
Khusus terkait dengan upaya pengambilan keputusan yang
terkendala oleh kepentingan dan kekuasaan, konsep kepemimpinan
penghubung (linking leadership), yang telah dibahas sebelumnya, cukup
strategis. Intervensi itu terbukti dapat mempengaruhi arena aksi, dan
dalam prakteknya membutuhkan sensitivitas reflektif terhadap dinamika
kekuasaan (Ramirez 1999). Sementara itu, kelompok aktor yang berbeda,
yaitu yang menjalankan fungsi jejaring sosial, memastikan kebenaran
subyek dan obyek dalam pelaksanaan perhutanan sosial yang dicirikan
oleh interkoneksi, posisi maupun pengaruh relatif untuk mencapai
tujuan-tujuan khusus (Ramirez 1999; Bodin dan Crona 2009). Dalam
pelaksanaan RETN, aktor ini diisi oleh jaringan LSM di Riau,
JIKALAHARI beserta mitra-mitranya.

31
Dalam hasil kerja Pansus Komisi B DPRD Propinsi Riau yang diserahkan ke KPK terkait
dengan pelaksanaan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GNPSDA)
Propinsi Riau disebutkan perusahaan yang terdaftar di Dinas Perkebunan Provinsi Riau
hanya 25 persen yang memiliki izin pelepasan kawasan hutan, 50 persen memiliki IUP-
B atau IUP dan izin lokasi, serta 35 persen yang memiliki izin HGU. Perusahaan
perkebunan kelapa sawit illegal ditengarai seluas 1.594.484 Ha karena berada di dalam
kawasan hutan.
32
Aktor internal yang dimaksud yaitu Dinas-dinas terkait di Propinsi Riau maupun
Kabupaten Pelalawan, Kampar serta Kuantan Singingi. Yaitu lembaga-lembaga yang
mempunyai kewenangan pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan konservasi.
Itupun, pada sisi lainnya, perbaikan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam telah
difasilitasi melalui program GNPSDA oleh KPK. Namun pelaksanaan review izin
perkebunan dan tindakan terhadap hasil review tersebut hingga pertengahan 2018 belum
dijalankan.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 187

Namun demikian, sejauh pelaksanaan proses pengelolaan itu, belum


ditemukan agen perubahan dari Pemerintah Daerah, yaitu aktor-aktor
yang diharapkan dapat mempengaruhi aktor lain menuju jalur perubahan
institutional permanen yang diharapkan. Akibat luasnya cakupan arena
aksi di ETN relatif terhadap sedikitnya aktor yang terlibat secara
langsung33, masih terdapat jual-beli lahan untuk menanam kebun sawit
serta land clearing yang dilakukan di beberapa lokasi pada saat RETN
berlangsung. Namun karena kenyataan seperti itu diketahui sendiri oleh
Menteri KLHK34, tindakan pencegahan dini terhadap kasus itu pernah
dapat dilakukan. Namun, secara umum kecepatan dan tanggapan
birokrasi Pemda dan Pemerintah untuk melakukan penegakkan hukum
secara selektif, maupun penetapan izin-izin perhutanan sosial masih
mendapat hambatan.
Dengan lemahnya kelembagaan formal yang bekerja, tindakan yang
dilakukan oleh semua aktor yang terlibat, tidak memiliki nilai dan
konsistensi yang tetap, melainkan bergantung pada aturan dan
kesempatan yang tersedia (rule in use) dan itu justru yang menentukan
hasil apa yang diperoleh. Dalam beberapa kasus, prestise sosial sangat
penting dan dalam kasus RETN ini Tim Operasional juga dapat langsung
berkomunikasi dengan Menteri KLHK dan/atau Direktur Jenderal yang
terkait, untuk menentukan langkah atau koreksi yang diperlukan.

Kinerja dan Pola Kerjasama


Kinerja dalam pelaksanaan RETN ini lebih dilihat apakah dalam
pelaksanaannya masyarakat lokal dan adat sebagai subyek mendapat
manfaat serta apakah terdapat peningkatan fungsi institusional. Fungsi
institusional itu sendiri dalam hal ini tidak diukur unsur-unsur
pembentuknya, melainkan kinerja atau outcomes yang dihasilkannya
(Schmid, 1987).

33
Dalam pelaksanaan RETN ini keterlibatan swasta secara langsung sangat minimal.
Swasta mengikuti proses ini hanya melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan
Lestari baik berupa sosialisasi maupun pemberitahuan agenda-agenda yang
dilaksanakan.
34
Terkait dengan upaya penyiapan rencana Presiden ke lokasi ETN, MenLHK pernah
melakukan perjalananan ke lapangan melihat lokasi-lokasi yang akan ditetapkan sebagai
program perhutanan sosial dan menemukan kasus tersebut.
188 | Proses Pembuatan Kebijakan

Dalam pelaksanaan RETN, dari pertengahan tahun 2016 hingga awal


2018, Tim Kerja RETN mendorong pelaksanaan penegakan hukum dengan
berbagai pihak seperti Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK,
Polda Provinsi Riau dan jajaran di bawahnya, Pemerintah Provinsi Riau,
Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Indragiri Hulu dan
Kabupaten Kuantan Singingi. Selain itu juga dilakukan koordinasi dengan
Kapolda Riau khusus terkait penanganan kasus perambahan di ETN dan
terhadap perusahaan Pabrik Kepala Sawit (PKS) yang menerima sawit
atau Tandan Buah Segar (TBS) dari ETN. Untuk itu, Kapolda Riau pada
2017 telah mengeluarkan Surat Himbauan bagi PKS untuk tidak menerima
dan membeli TBS dari ETN. Sementara itu proses perkara perambahan
TNTN a.n Sukhdev Singh sudah memasuki tahap persidangan. Juga
terdapat penangkapan alat berat di area-area perambahan eks HPH PT
SRT maupun TNTN.
Pada periode yang sama Tim Operasional di TNTN yang dilakukan
oleh Balai TNTN, Yayasan TNTN, serta WWF melakukan identifikasi
pengguna lahan secara partisipatif di dalam TNTN yaitu di dalam Desa
Bagan Limau dan di luarnya. Selain itu juga identifikasi target penegakan
hukum pengguna lahan di TNTN, sosialisasi RETN di desa Bagan Limau,
Lubuk Kembang Bunga dan Air Hitam, serta penanaman 125 Ha tanaman
kehutanan dan buah-buahan, kemitraan dengan TNTN Desa Lubuk
Kembang Bunga dan 12 Ha dikelola oleh 5 kelompok tani di Desa Lubuk
Kembang Bunga. Pembinaan daerah penyangga TN dilakukan melalui
penguatan kelompok masyarakat melalui pelatihan ekonomi bisnis dan
kelembagaan, pemberian bantuan usaha bagi kelompok masyarakat,
maupun penyusunan Master Plan Pemberdayaan Masyarakat. Kemitraan
wisata alam dengan masyarakat Desa Lubuk Kembang Bungo dihidupkan
serta mempertahankan keberadaan hutan alam tersisa melalui ekspedisi
(patroli gabungan dengan TNI dan POLRI) maupun membuat pos
pengamanan di batas hutan alam yang tersisa.
Tim Operasional di Eks HPH PT. SRT dengan pendamping dari
Jikalahari telah mendapat legalitas penerbitan Hutan Desa seluas 9.210 Ha
di Desa Pangkalan Gondai Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan.
Adapun pengajuan Hutan Desa Segati, seluas 7.613 Ha masih menunggu
verifikasi teknis, pengusulan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Desa
Kesuma seluas 15.000 ha serta pengusulan HKm di Desa Sotol, seluas
156,89 Ha.
Tim Operasional di Eks HPH PT. HSL dengan pendamping Walhi
Riau dan YMI telah mendapat legalitas izin Hutan Desa Gunung Sahilan
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 189

seluas 2.942 Ha, telah disahkannya Rencana Kerja Hutan Desa dan
Rencana Kerja Tahunan Hutan Desa Gunung Sahilan, pengajuan HKm di
Desa Gunung Sahilan dan Sahilan Darussalam seluas 1.385 Ha yang saat
itu menunggu verifikasi teknis. Disapingitu juga mengajukan Hutan Desa
di Desa Sidodadi seluas 7.613,12 Ha yang telah diverifikasi, mengajukan
Perhutanan Sosial di Desa Situgal seluas 939 hektar, Hulu Teso 790 Ha
serta Kuantan Sako, termasuk pemetaan wilayah untuk pengajuan PS di
Desa Hulu Teso seluas 790 Ha, Situgal seluas 939 Ha dan di Kuantan Sako.
Adanya political will Pemerintah untuk menyelesaikan akumulasi
puluhan tahun persoalan ETN melalui RETN secara eksplisit baru
berjalan sebatas penyelesaian-penyelesaian administrasi perizinan.
Namun, secara implisit telah tumbuh modal sosial, karena semua itu
diawali dengan pemetaan sosial dengan termasuk menguatkan modal
sosial masyarakat. Adanya kondisi eksternal seperti HEC, sumberdaya
dengan akses terbuka, maupun buruknya tatakelola, belum dapat dijawab
melalui peningkatan kerja institusional yang dijalankan. Faktor penentu
lemahnya pelaksanaan RETN pada akhirnya dapat dialamatkan pada
rendahnya kapasitas kelembagaan relatif terhadap kompleksitas arena
aksi aktor-aktor yang terlibat maupun keberlanjutan RETN itu sendiri.

Pembelajaran
Penelitian tentang pengelolaan sumber daya bersama (common pool
resources) sudah lama dikritik karena tidak memadai dalam memberi
perhatian kepada kekuatan lokal akibat perubahan politik, sosial
maupun ekonomi (Agrawal 2001). Pendekatan RETN ini, pertama,
dimaksudkan untuk memprioritaskan kekuatan lokal yang diawali
dengan pemetaan sosial yang dilakukan dengan sekaligus memberi
perspektif kepada masyarakat bagaimana mereka melihat penggunaan
lahan/hutan saat ini dan yang akan datang, dengan tetap memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan.
Dalam pelaksanaan RETN ini, prinsip utama yaitu menumbuhkan
modal sosial dan trust antara masyarakat lokal dan adat dengan pengelola
kawasan konservasi dan kawasan hutan umumnya. Pemetaan sosial
tersebut juga untuk mendalami posisi setiap warga maupun hubungan-
hubungan sosial yang ada, yang akan menjadi calon peserta perhutanan
sosial. Karena sejak puluhan tahun sebelumnya masyarakat lokal dan adat
ini tumbuh mengembangkan ekonomi dengan dasar-dasar modal illegal
dengan berbagai kondisi benar-salah yang semakin kabur, maka “berita
baik” bahwa program ini akan mendudukkan kehadiran negara yang
190 | Proses Pembuatan Kebijakan

semestinya, serta memulihkan hak-hak masyarakat yang seharusnya,


menjadi sangat penting.
Adanya kelompok LSM yang menjalankan pemetaan sosial dan
mengawal secara langsung kegiatan ini di lapangan, merupakan unsur
paling menentukan keberhasilan atau kegagalan program seperti ini. Hal
itu sekaligus menjawab lemahnya perizinan bagi masyarakat lokal dan
adat pada umumnya, yangmana pemetaan sosial itu cenderung tidak
dilakukan. Relasi antara kepemimpinan administratif, kepemimpinan
politik maupun LSM diperlukan untuk mencapai kinerja ini.
Kedua, manfaat sustansial dari proses itu yaitu adanya pengakuan
interaksi berbagai aktor di berbagai tingkatan—melalui Tim Kerja dan
Tim Operasional yang dibentuk KLHK—yang mendapat persetujuan atas
rencana aksi yang dijalankan, serta menguasai arena aksi di mana pilihan-
pilihan tindakan para aktor dibuat dan dijalankan. Proses yang demikian
itu diharapkan dapat menjadi sarana untuk memberdayakan masyarakat
melalui peningatan potensinya guna mewujudkan kegiatan produktif,
maupun mendorong terjadinya refleksi tentang peningkatan peran
lembaga-lembaga pemerintah, LSM, dan juga akademisi sebagai
fasilitator perubahan.
Ketiga, sejarah, budaya, atau bentuk simbolis dari sumberdaya
tertentu dalam prakteknya sangat penting diperhatikan sebagai
instrumen menyelesaikan konflik penggunaan sumber daya alam, pada
kondisi kelompok-kelompok yang bersaing saling memperjuangkan
nilai-nilai, narasi, maupun cara membingkai masalah. Untuk itu, dalam
proses administrasi perizinan seperti perizinan untuk perhutanan sosial
di lokasi ETN, perhatian seharusnya tidak hanya difokuskan pada para
calon penerima izin, tetapi juga kehidupan sosial-politik masyarakat,
dengan memperhatikan adanya kemungkinan masalah kecemburuan,
putusnya jaringan kerja, maupun pengembangan ekonomi pasar untuk
mendukung ekonomi rumah tangga yang menjadi subyek utama
program ini. Oleh karena itu, tujuan untuk melakukan rehabilitasi
keberadaan kampung-kampung tua maupun perbaikan rumah-rumah
adat, juga tidak dapat dilepaskan dari program perhutanan sosial
tersebut. Hal yang tidak pernah dapat dilihat kepentingannya, manakala
perhutanan sosial hanya dilihat dari kacamata administratif perizinan.
Keempat, pelaksanaan RETN ini dapat dilakukan atas kesadaran
bahwa pelaksanaan program Pemerintah/Pemda dan semua pihak yang
terkait harus berorientasi pada hasil akhir (outcomes), dalam hal ini yaitu
terwujudnya ruang hidup baru yang lebih harmonis baik bagi masyarakat
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 191

lokal dan adat maupun bagi kehidupan satwa liar melalui pemulihan
habitatnya. Hasil akhir itu dapat diwujudkan hanya apabila berbagai
output kegiatan dari berbagai lembaga atau unit kerja dapat diintegrasikan
melalui segenap pembahasan, penyelesaian masalah, peningkatan
kapasitas, maupun penetapan urutan kegiatan (siapa di depan, siapa di
belakang). Kerangka kerja demikian itu tentu sangat berbeda dengan
kerangka kerja birokrasi pemerintahan pada umumnya, yang lebih
menitik beratkan pada pertanggungjawaban administrasi. Dalam hal ini
bentuk kepemimpinan penghubung (linking leadership) menjadi kuncinya.
Kelima, diperlukan upaya mengatasi perbedaan nilai-nilai juga
hubungan otoritas di antara berbagai aktor pemerintah. Maka, kerangka
kerja seperti ini seharusnya juga memasuki perspektif ekologi politik
untuk melihat peran kekuasaan atau kewenangan yang dapat menafikan
proses-proses yang telah berjalan serta sifat-sifat pemerintahan yang
berbeda antara Pemda dan Pemerintah.
Keenam, solusi persoalan pengelolaan sumber daya alam seperti di
ETN ini, membutuhkan skala ekosistem dengan kerja institutional baru
yang bersarang (Sanginga dan Martin, 2007). Dari pelaksanaan RETN,
pendekatan ini memperhatikan keterkaitan dan ketergantungan wilayah-
wilayah terutama untuk pelaksanaan revitalisasi kawasan konservasi
dengan sekaligus memperhatikan kebutuhan masyarakat atas lahan dan
pemukimannya dengan memanfaatkan hutan produksi. Pendekatan ini
memberi keleluasaan untuk mendapat alternatif cara penyelesaian
masalah di lapangan, dengan tetap memperhatikan kebutuhan perbaikan
habitat maupun ruang hidup satwa liar.
Ketujuh, dapat disebutkan bahwa dalam praktek ini informasi
diminta terbuka, karena kepastian dan kebenaran kondisi di lapangan
sangat menentukan keberhasilan suatu kegiatan untuk dapat
menyumbangkan tercapainya outcome. Hal-hal yang terkait dengan proses
integrasi kegiatan maupun keterbukaan informasi itu semestinya menjadi
bagian dari program ini yang nantinya akan dilaksanakan sendiri oleh
Pemerintah dan Pemda secara lebih utuh, sesuai dengan kewenangannya.
Dengan karakteristik sumber daya alam maupun penggunanya yang
khas dan menjadi perhatian dalam proses ini, apabila diperhatikan secara
seksama sesungguhnya yang diperlukan adalah perbaikan kerangka kerja
institutional dalam pengelolaan sumber daya alam. Kerangka kerja
institutional itu diharapkan dapat melanjutkan tindakan kolektif melalui
hubungan kerja inter dan antar pemerintahan serta lembaga-lembaga non
pemerintah. Tantangan utama yang saat ini dihadapi yaitu keberlanjutan
192 | Proses Pembuatan Kebijakan

program itu dari pengaruh dinamika politik nasional dan daerah yang
sedang terjadi. Karena kerja-kerja ini masih jauh dikatakan selesai.

Inovasi Kebijakan35
Untuk sektor publik, inovasi memastikan bentuknya bukan hanya
berbasis efisiensi, melainkan mewujudkan nilai dan manfaat publik
misalnya perihal keadilan. Secara umum, semua kegiatan di sektor publik,
termasuk inovasi, diorganisir di sekitar dan dipengaruhi oleh dua logika.
Pertama, inovasi dapat dinilai dari perspektif konsekuensi yang
diakibatkan serta preferensi dan harapan yang mendahuluinya. March dan
Olsen (1989) menyebut sebagai “logika konsekuensi”. Harus ada
konsekuensi relevan dan mungkin memiliki nilai substantif dalam hal
produktivitas dan hasil yang ingin dicapai, sehingga terdapat hasil inovasi
yang dapat dirasakan oleh kelompok sasaran tertentu. Hal lainnya,
misalnya, inovasi dapat menghasilkan penggunaan sumberdaya
pemerintah dengan lebih efisien. Kedua, inovasi di sektor publik dapat
pula merujuk pada “logika kesesuaian”. Logika ini mempertimbangkan
kesesuaian inovasi dengan pelaksanaan peran pemerintah (March &
Olsen, 1989).
Untuk itu empat implikasi harus dipertimbangkan. Pertama, inovasi
harus sah dan berkelanjutan secara politik, misalnya mampu menarik
dukungan, otoritas, dan biaya secara terus-menerus dari lembaga yang
berwenang (Moore, 1995). Kedua, inovasi publik merujuk pada berbagai
nilai demokrasi yang dianggap penting oleh warga. Sebuah inovasi dapat
mengarah pada peningkatan akses masyarakat, partisipasi dan
pemberdayaan, transparansi, akuntabilitas, maupun kesetaraan (Bason,
2010).
Ketiga, hasil sebuah inovasi mungkin juga untuk mengatasi masalah
yang dihadapi warga dan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari
mereka (Korteland & Bekkers, 2008). Keempat, nilai publik dari suatu
inovasi juga dapat bergantung kelayakannya secara hukum (Korteland &
Bekkers, 2008).

35
Naskah ini diadopsi dari Bekkers, V.J.J.M., Tummers, L.G., Stuijfzand, B.G.; Voorberg,
W. (2013). Social Innovation in the Public Sector: An integrative framework. LIPSE
Working papers (no. 1). Rotterdam: Erasmus University Rotterdam
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 193

Klasifikasikan berbagai jenis inovasi, sehingga berfokus pada hasil


dari proses inovasi itu yaitu (Bekkers, Edelenbos dan Steijn, 2011):
a. Inovasi produk atau layanan, yang difokuskan pada penciptaan
layanan atau produk publik baru, seperti penciptaan tunjangan
pendidikan dan kesehatan;
b. Inovasi teknologi yang muncul melalui penciptaan dan penggunaan
teknologi baru, seperti penggunaan internet, media sosial atau
pengawasan atau teknologi DNA yang digunakan dalam perang
melawan kejahatan;
c. Inovasi proses, difokuskan pada peningkatan kualitas dan efisiensi
proses bisnis internal dan eksternal. Contoh adalah pembuatan
'dashboard' oleh Pemda sehingga masyarakat dapat informasi tepat
waktu dan tempat pelayanan sesuai yang dibutuhkan;
d. Inovasi organisasi dan manajemen, fokus pada penciptaan bentuk
organisasi baru, pengenalan metode dan teknik manajemen baru, dan
metode kerja baru. Misalnya berupa teleworking dalam organisasi.
e. Inovasi konseptual. Inovasi-inovasi ini terjadi dalam kaitannya dengan
pengenalan konsep-konsep baru, kerangka referensi atau bahkan
paradigma baru untuk membantu membingkai ulang sifat masalah
spesifik serta solusi yang mungkin. Contoh pengenalan paradigma
yang berorientasi sosial dan pemberdayaan dalam pelaksanaan
perizinan pemanfaatan sumberdaya alam untuk masyarakat lokal dan
adat.
f. Inovasi tata kelola, yang diarahkan pada pengembangan bentuk dan
proses tata kelola baru untuk mengatasi masalah sosial tertentu.
Contoh peningkatan kapasitas jaringan kebijakan yang dapat
mengatur diri sendiri berdasarkan kontrol komunitasnya.
Teori inovasi modern menekankan pelaksanaannya secara terbuka.
Inovasi bukanlah sesuatu yang dapat dikaitkan dengan kapasitas dan
kemampuan seseorang, atau proses penelitian dan pengembangan
sistematis yang dilembagakan di laboratorium atau lembaga Litbang.
Studi tentang praktik inovasi menunjukkan bahwa prosesnya
membutuhkan kemampuan dan kemauan aktor untuk bekerjasama,
menghubungkan dan berbagi ide, pengetahuan maupun pengalaman di
luar batas organisasi tradisional, serta bertukar sumberdaya penting,
seperti staf. Ini mengacu pada pertukaran pengetahuan, informasi dan
pengalaman yang agak bebas dan interaktif, di mana ide-ide dan konsep-
konsep baru dibahas di dalam jaringan intra dan antar organisasi (Von
Hippel, 1976, 2005, 2007 dalam Bekker, et al 2013).
194 | Proses Pembuatan Kebijakan

Untuk menjalankan inovasi yang digerakkan oleh kebutuhan


masyarakat, penting bahwa pemanfaat hasil inovasi serta pemangku
kepentingan terkait berpartisipasi dalam pengembangan, implementasi,
dan adopsi inovasi. Itulah sebabnya inovasi sosial dipandang sebagai hasil
dari proses penciptaan bersama secara terbuka (Bason, 2010), yang sangat
sering terjadi dalam “jaringan inovasi kolaboratif” (Sörensen & Torfing,
2011). Stakeholder yang relevan membawa pengetahuan, informasi,
pengalaman dan sumberdaya mereka, sehingga mereka dapat
membagikan untuk mewujudkan hasil inovatif yang relevan bagi mereka.
Proses itu sebagai sirkulasi berbasis kepercayaan dan pemupukan silang
ide-ide baru yang kreatif melintasi batas-batas organisasi, sektor dan
disiplin, serta sikap positif terhadap pengambilan risiko dalam lingkungan
sosial-politik maupun pembentukan kepemilikan dan tanggung jawab
bersama (Sörensen & Torfing, 2011). Selain itu, dalam pelaksanaannya
diperlukan budaya kerja terbuka dan aman, yangmana “trial and error”,
refleksi dan pembelajaran dapat dilakukan tanpa ada yang dihukum
karena membuat “kesalahan” akibat tidak menyadari adanya hasil
langsung dari proses itu.
Inovasi sosial juga menekankan secara mendasar mengubah
hubungan antar pemangku kepentingan. Dengan melakukan hal itu, suatu
proses “konversi kelembagaan (institutional conversion)” sedang dijalankan
(Thelen 2003). Cara para pemangku kepentingan berhubungan, bagaimana
mereka berinteraksi, bagaimana mereka berkolaborasi satu sama lain
secara radikal berubah. Untuk itu, inovasi sosial mencoba bertindak
sebagai “pengubah permainan” serta menerobos “ketergantungan jalan”.
Melalui inovasi sosial, kapasitas tata kelola masyarakat untuk menangani
tuntutan dan tantangan dapat meningkat, karena permainan sedang
diubah. Sebagai hasil dari proses inovasi sosial, dikatakan bahwa layanan
yang digerakkan oleh kebutuhan masyarakat memerlukan pembentukan
hubungan kolaboratif baru dan pengaturan kelembagaan baru. Oleh
karena itu, konsep inovasi sosial menekankan bahwa hasilnya tidak hanya
terkait dengan inovasi yang didorong oleh sains dan teknologi, sebaliknya
penting untuk melihat melampaui inovasi teknologi.

Hambatan Lingkungan Inovasi Sosial


Berfokus pada literatur empiris yang membahas inovasi di sektor
publik, terdapat setidaknya tiga aspek utama sebagai pendorong dan
penghambat inovasi (Bekkers, et al. 2013).
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 195

Budaya hukum dan kebijakan

Berdasarkan gagasan mengenai pengaruh budaya hukum ini, tiga


elemen berikut sangat penting. Pertama, budaya hukum yang kuat dapat
menekan praktik standardisasi dan formalisasi untuk memberi keamanan
hukum dan kesetaraan di hadapan hukum serta mendorong menambah
stabilitas dan prediktabilitas. Namun, di sisi lain, mencegah inisiatif,
kreativitas dan pengambilan risiko. Organisasi yang bekerja mekanistik
didorong oleh aturan nampak lebih menyukai inovasi inkremental
daripada inovasi transformatif (Damanpour, 1991 dalam Bekkers, et al.
2013).
Standardisasi dan formalisasi menghasilkan banyak peraturan yang
biasanya diterjemahkan ke dalam prosedur, rutinitas dan sistem serta
praktik-praktik lainnya dan diterima begitu saja. Dalam melakukan hal itu,
diperkenalkannya konsep, metode, teknologi, serta proses penanganan
baru cenderung tidak diterima (Bernier & Hafsi, 2007 dalam Bekkers, et al.
2013).
Pemangku kepentingan yang terlibat serigkali frustasi, terutama
terhadap lembaga pemerintah, akibat ketat pada mandat hukum dan
yurisdiksi mereka. Inovasi yang melintasi yurisdiksi dan mandat itu sulit
untuk diadopsi, walaupun, pada saat yang sama ada bukti bahwa inovasi
antar organisasi (“joined up innovation”, Huijboom, 2010) memang dapat
terjadi melintasi batas yurisdiksi.
Dengan begitu dapat dipastikan bahwa dominasi budaya hukum
dapat sebagai kendala bagi kemauan sektor publik untuk berinovasi.
Karenanya, budaya hukum yang kuat dapat bertindak sebagai penghalang
bagi inovasi. Budaya hukum ini juga mempengaruhi cara di mana pegawai
negeri sipil pada umumnya berpikir dan bertindak (Kickert, 2007 dalam
Bekkers, et al. 2013).
Aspek politik dan lingkungan administrasi publik
Akibat tidak adanya persaingan dalam pelayanan sektor publik,
mekanisme berikut dapat dianggap sebagai pemicu terjadinya inovasi.
Pertama, tantangan terkait lingkungan administrasi publik, seperti
globalisasi, individualisasi, fragmentasi dan komputerisasi, serta masalah-
masalah politik dan administrasi yang muncul darinya dan dapat menjadi
pemicu inovasi sektor publik. Masalah-masalah administrasi publik juga
dapat diketahui melalui gap antara kinerja aktual organisasi publik
dengan kebutuhan masyarakat. Ini telah dibingkai dengan istilah “defisit
kinerja”, yang tidak hanya merujuk pada persoalan efisiensi dan
196 | Proses Pembuatan Kebijakan

efektivitas operasi organisasi-organisasi publik, tetapi juga merujuk pada


persoalan legitimasi organisasi-organisasi tersebut (Salge & Vera, 2012
dalam Bekkers, et al. 2013).
Kedua, tekanan untuk berinovasi dan mencari kombinasi baru juga
dipicu oleh multi-rasionalitas administrasi publik, yang menghasilkan
persaingan antara nilai-nilai yang harus direkonsiliasi. Ketegangan yang
muncul dapat menciptakan proses dimana kompromi antara nilai-nilai itu
tercapai pada tingkat yang lebih tinggi, sehingga menciptakan inovasi
dalam bentuk kombinasi baru dari penetapan masalah dan strategi
pemecahan masalah (Hartley, 2005 dalam Bekkers, et al. 2013).
Ketiga, ada kecenderungan di mana persaingan sektor publik
meningkat, meskipun sifatnya berbeda dengan sektor swasta.
Berkembangnya kebijakan privatisasi dan liberalisasi dalam domain
layanan tertentu, layanan publik dituntut semakin bersaing dibandingkan
inisiatif swasta. Untuk itu, akibat meningkatnya manajemen kinerja yang
membuat kualitas dan hasil layanan publik menjadi transparan, organisasi
pemerintah semakin terbuka untuk dibandingkan kinerjanya satu dengan
lainnya36. Dalam banyak kasus, hal itu dapat sebagai insentif untuk
peningkatan layanan (Folz, 2004).
Selain itu, terdapat peningkatan persaingan antar daerah dan kota
dalam hal menjadi tempat menarik untuk bekerja, tempat tinggal ataupun
tempat berkunjung. Agar menjadi menarik, mereka sering menggunakan
kualitas layanan sebagai sumber keunggulan kompetitif. Hal ini terkait
pentingnya melihat geografi praktik inovasi publik yang disebut “sistem
inovasi regional” (Asheim dan Gertler, 2005 dalam Bekkers, et al. 2013).
Misalnya, menarik untuk dicatat bahwa di sektor publik inovasi berulang
kali terjadi di kota dan wilayah yang sama.
Keempat, ada peningkatan persaingan politik untuk mendapatkan
persetujuan masyarakat, yang memiliki harapan dan tuntutan semakin
tinggi. Keinginan untuk meningkatkan kualitas layanan publik,
dikombinasikan dengan keinginan untuk memotong birokrasi, semakin
menjadi masalah politik dan merupakan insentif bagi sektor publik untuk
berinovasi.
Tradisi negara, pemerintahan dan pegawai negeri

36
Dalam pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam,
terdapat beberapa penilaian yang melibatkan kinerja pemerintah daerah. Misalnya
Adipura, Nirwasita Trantra (green leadership), dlsb.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 197

Untuk inovasi sektor swasta, strukturisasi dan interaksi spesifik dalam


rezim-rezim bisnis, pendidikan, penelitian dan pengembangan, sampai
batas tertentu, menjadi kapasitas inovasi nasional. Gagasan itu juga dapat
diterjemahkan ke dalam sektor publik dengan menghubungkan tradisi
negara dan tata kelola suatu negara dengan inovasi sosial (Bekkers, et al.
2013).
Inovasi di sektor publik tergantung organisasi sektor publik apakah
dapat mengeksplorasi dan mengimplementasikan ide-ide baru, untuk
terlibat dalam proses “trial and error”. Tradisi negara dan tata kelola suatu
negara sedikit banyak mencerminkan kapasitas pemerintah dalam
menghadapi tantangan sosial dan politik di satu sisi, dan disisi lain
kapasitas mengatur diri untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat
(Bouckaert & Pollitt, 2011 dalam Bekkers, et al. 2013). Kapasitas tata kelola
itu terutama diperlukan untuk mengatasi tantangan sosial dan politik.
Sebagai contoh, Scott (1998) berpendapat bahwa dominasi suatu
pendekatan aturan pusat seringkali menghancurkan kecerdasan lokal dan
pengetahuan praktis termasuk proses pembelajaran lokal, yang diperlukan
untuk mengembangkan pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan
warga. Pada saat yang sama tradisi tata kelola tersebut juga dapat
menekankan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang
berbeda daripada tradisi tata kelola yang lebih hierarkis dan berorientasi
pada aturan.
Oleh karena itu, tradisi negara dan tata kelola tertentu sebagai budaya
layanan publik yang dominan dapat memengaruhi pembentukan dan
hasil inovasi sosial. Namun, penting untuk diperhatikan bahwa tradisi-
tradisi itu tidak saling eksklusif. Di beberapa negara, kombinasi gaya yang
berbeda dapat ditemukan (Bekkers, et al. 2013).

Pendorong dan penghambat proses inovasi


Proses inovasi biasanya sangat spesifik tergantung kondisi
lingkungan setempat. Oleh karena itu, kondisi lingkungan inovasi,
seperti telah dijelaskan sebelumnya, perlu menjadi perhatian. Kondisi
proses inovasi itu mencakup beberapa hal berikut (Bekkers, et al. 2013).
Peran penghubung kepemimpinan administrasi dan politik
Kepemimpinan administratif yang dimaksud misalnya yang
bertugas seperti kepala dinas atau dirjen, sedangkan kepemimpinan
politik yaitu yang yang ditunjuk secara politis seperti menteri,
198 | Proses Pembuatan Kebijakan

gubernur atau butapti/walikota. Proses inovasi mempunyai


karakteristik penting utuk dapat menghubungkan kedua jenis
pemimpin itu. Individu yang mendorong inovasi sangat sering untuk
dapat bertindak sebagai pemimpin informal (Borins, 2001 dalam
Bekkers, et al. 2013). Hal itu untuk dapat secara proaktif menyelesaikan
masalah sebelum terjadi krisis, melalui persuasi atau akomodasi dan
bukan melalui politik kekuasaan atau kewenangan. Dengan demikian,
politisi maupun pejabat senior dapat menciptakan iklim organisasi
yang akan menghambat atau mendukung inovasi. Pertanyaannya
bagaimana para pemimpin politik dan administrasi yang terlibat
mendefinisikan inovasi yang mungkin berisiko, mengingat fakta
bahwa inovasi mengandaikan trial and error, kesalahan dapat terjadi
dan pada saat yang sama praktik-praktik yang sudah mapan telah
yang menciptakan stabilitas dan kepastian tetap berjalan. Oleh karena
itu, persepsi risiko dan perilaku pengambilan risiko juga merupakan
aspek kepemimpinan yang harus dipertimbangkan. Kepemimpinan
yang selalu memilih stabiltas cenderung akan menghambat inovasi.
Bekkers, Edelenbos dan Steijn (2011) berpendapat bahwa di sektor
publik, kepemimpinan biasanya menggunakan struktur penghubung
untuk inovasi. “Kepemimpinan penghubung (linking leadership)”37 itu
melibatkan berbagai aspek. Pertama, hubungan kedua jenis
pemimpin, administratif dan politik, di luar rentang batas
kewenangannya. Yaitu pemimpin yang dapat menjangkau lintas batas
kewenangan organisasi untuk membangun hubungan, interkoneksi,
dan saling ketergantungan. Itu diperlukan untuk menghubungkan
orang, ide, dan sumberdaya, juga dalam kaitannya dengan gagasan
mencoba memasukkan pengetahuan, keahlian, informasi, dan
perspektif aktor yang lemah atau tidak terlibat.
Kedua, menghubungkan kepemimpinan tersebut juga dapat
dimaksud untuk meningkatkan legitimasi pelaksanaan inovasi dan
memobilisasi sumberdaya yang diperlukan, seperti akuisisi baru atau
perlindungan anggaran yang sudah dialokasikan (Voets & De Rynck,
2008 dalam Bekkers, et al. 2013). Ketiga, nilai-nilai yang berbeda perlu
dihubungkan dan diseimbangkan, seperti nilai-nilai yang terkait
dengan logika konsekuensi (efisiensi, efektivitas, kepatuhan) dan
nilai-nilai yang mengacu pada logika kepantasan (seperti

37
Contoh praktek ini dalam pelaksanaan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo, Riau, dapat
dilihat pada sub-bab sebelumnya mengenai pelaksanaan kebijakan dengan tinjauan IAD.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 199

kepercayaan, dukungan, dan legitimasi) sebagaimana diuraikan


sebelumnya.
Terakhir, menghubungkan kepemimpinan terkait dengan gagasan
“innovation champion”. Hal itu merujuk pada gagasan bahwa inovasi
seringkali merupakan hasil dari proses dimana perkembangan dalam
berbagai jenis lingkungan saling berevolusi dan bergabung bersama.
Pertanyaan penting yaitu bagaimana dan dalam keadaan apa
perubahan itu dapat terhubung satu sama lain. Para champion tadi
memainkan peran penting dalam menggabungkan perubahan-perubahan
itu, sehingga memberi ruang terjadinya inovasi.
Dukungan pemanfaat hasil inovasi (intended beneficiaries)
Pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa menghubungkan
berbagai pemangku kepentingan dari berbagai organisasi dapat
menumbuhkan lingkungan inovasi. Keberhasilan proses inovasi di sektor
publik juga sangat tergantung pada dukungan dan perwalikan pelaksana
inovasi yang beragam tergantung konteksnya, misalnya polisi, guru atau
pegawai negeri sipil daerah, serta pemanfaat hasil inovasi.
Pertanyaannya, apakah suara-suara ini benar-benar didengar.
Ide-ide baru dan inovatif umumnya datang dari aktor yang tidak
berada di pusat jaringan. Dapat dicatat bahwa orang luar yang hanya
terhubung secara longgar dengan pemain kunci dalam jaringan relatif
lebih sering menjadi sumber inovasi daripada aktor yang terkait erat satu
sama lain38. Aktor yang mengenal satu sama lain dengan baik umumnya
tidak terkejut oleh ide dan wawasan satu sama lain. Sebaliknya, aktor
yang tidak mengenal satu sama lain dengan baik, sering mewakili
wawasan, ide, dan perspektif baru (Powell dan Grodal, 2005 dalam
Bekkers, et al. 2013). Hasil penelitian juga menunjukkan wawasan baru
yang berasal dari pertimbangan ide, wawasan, dan pengalaman
kelompok pemanfaat hasil inovasi yang suaranya sering kali tidak cukup
diperhitungkan, manajemen menengah organisasi publik, maupun
pegawai negeri sipil yang terlibat setiap hari dalam memberikan layanan
kepada masyarakat secara langsung (street level bureaucracy) seperti
petugas polisi, guru, dokter, perawat maupun pekerja sosial.

38
Pandangan konseptual mengenai peran aktor seperti itu dijelaskan dalam Bab 8
mengenai teori politik analisis kebijakan, di dalam sub-bab mengenai kekuasaan dan
jaringan.
200 | Proses Pembuatan Kebijakan

Keterlibatan pemanfaat hasil inovasi dapat berkisar dari pasif hingga


aktif. Keterlibatan pasif menyiratkan bahwa informasi dikumpulkan
tentang keinginan dan karakteristiknya, misalnya melalui penggunaan
metode pengumpulan data. Keterlibatan aktif menyiratkan bahwa
mereka dipandang sebagai sumber pengetahuan, pengalaman, dan
gagasan yang dapat dimanfaatkan dengan memberi mereka posisi
partisipatif dalam desain layanan (Bekkers, 2012).
Walaupun dukungan mereka penting dalam menentukan
keberhasilan suatu inovasi, namun banyak inovasi, khususnya kebijakan
baru, tidak siap diterima oleh mereka, terutama oleh profesional publik
yang harus mengimplementasikan hasil inovasi itu. Dalam literatur,
terdapat gagasan alienasi kebijakan (Tummers, Bekkers & Steijn, 2009).
Keterasingan kebijakan digambarkan sebagai perasaan keterputusan
psikologis dari kebijakan atau hasil inovasi di dalamnya. Ketika
pemanfaat hasil inovasi merasa bahwa pandangan mereka tidak
diperhitungkan (dengan kata lain, ketika mereka merasa tidak berdaya)
atau ketika mereka merasa bahwa inovasi tidak memiliki nilai substansial
(dengan kata lain, ketika mereka merasa bahwa inovasi itu tidak berarti),
mereka yang paling sering menolak inovasi.
Selain itu, alasan penolakan biasanya karena mereka merasa bahwa
otonomi mereka berkurang (Tummers, 2011). Di samping para
profesional pelaksana yang teralienasi dari kebijakan, dapat juga terjadi
bahwa pemanfaat hasil akhir inovasi mengalami alienasi kebijakan,
misalnya karena mereka merasa bahwa suatu inovasi tidak sesuai
dengan keadaan spesifik mereka. Di sini, perlu pula fokus pada
kepentingan masyarakat lokal dan adat sebagai pengguna manfaat
inovasi, mengingat posisi mereka yang sering diabaikan, dengan
beberapa catatan berikut.
Pertama, berkaitan dengan harapan bahwa masyarakat tersebut
memiliki hasil dari partisipasi mereka. Ini juga dikenal sebagai
ekspektasi kinerja, yang telah terbukti sangat memengaruhi perilaku.
Warga sering sinis tentang tingkat di mana mereka berpikir bahwa
pemerintah benar-benar siap untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan yang diajukan warga 39. Vigoda-Gadot, et al. (2008) dalam

39
Dalam pelaksanaan fasilitasi revitalisasi ekosistem Tesso Nilo di Riau yang telah
diuraikan dalam sub-bab sebelumnya warga juga mengalami hal serupa. Umumnya
masyarakat lokal dan adat mempunyai stigma tidak mempercayai adanya hasil kegiatan-
kegiatan pemerintah, akibat pengalaman di masa lalu.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 201

Bekkers, et al. 2013) berpendapat bahwa citra sektor (di Eropa) juga
mempengaruhi kemauan untuk berpartisipasi. Hal ini tergantung pada
kepercayaan pada tata kelola sektor itu serta pada kepuasan yang
dirasakan dari manfaat inovasi yang dihasilkan.
Kedua, berkaitan dengan upaya yang diperlukan untuk
berpartisipasi, yang dikenal sebagai ekspektasi upaya, pemanfaat hasil
inovasi membutuhkan informasi, pengetahuan, keterampilan, dan
kompetensi untuk berpartisipasi. Ini juga tergantung dari kompleksitas
inovasi dan hasil yang diinginkan (Bovaird & Löffler, 2011 dalam
Bekkers et al, 2013). Peran media (sosial) yang berkembang relevan
dalam hal ini. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi (mobile),
terutama internet dan media sosial, menyediakan jaringan seperti
infrastruktur yang meningkatkan kemudahan untuk bertukar
pengalaman, ide, dan pengetahuan yang tersebar atau secara longgar
digabungkan dalam akses terbuka (Bekkers, 2012). Akibatnya model
inovasi baru muncul di mana partisipasi dan akses terbuka dianut
sebagai nilai yang relevan, seperti crowdsourcing atau bank ide terbuka
(Mulgan, 2009).
Selain berfokus pada peran masyarakat, penting untuk mengakui
bahwa partisipasi masyarakat dapat dikaitkan dengan praktik
kebijakan yang dilembagakan. Hasil penelitian tata kelola interaktif
menunjukkan bahwa politisi dan pembuat kebijakan memiliki kesulitan
untuk menghubungkan hasil partisipasi publik dengan proses
penetapan kebijakan secara internal maupun proses kebijakan yang
berada di balik keduanya. Ini juga berkaitan dengan gagasan bahwa
pembuat kebijakan, manajer publik dan politisi takut kehilangan
kendali atau kehilangan status yang sudah dimiliki (Bovaird & Löffler,
2011 dalam Bekkers et al, 2013).
Ketiga, mengacu pada keterwakilan masyarakat. Hasil penelitian
tata kelola interaktif menunjukkan bahwa masyarakat yang sudah
berpartisipasi dan sudah terlibat, memanfaatkan peluang ekstra yang
ditawarkan. Masalah keterwakilan juga berkaitan dengan peran yang
dimainkan oleh pihak perantara, yang seringkali mengklaim memiliki
posisi, pengetahuan dan keterampilan serta kompetensi, berperan
dalam menyuarakan kebutuhan pemanfaat hasil inovasi. Mengingat
fakta demikian itu, sebuah organisasi perantara didirikan, dalam
kenyataannya lebih banyak tujuan internal dan motif pribadi yang
dapat menggantikan tujuan aslinya.
202 | Proses Pembuatan Kebijakan

Perkembangan tersebut juga dapat terjadi pada para profesional


publik yang harus menerapkan kebijakan. Telah ditemukan bahwa
pengaruh asosiasi profesi tidak secara nyata untuk meningkatkan
dukungan dari para profesional anggotanya. Hal itu dapat menjadi
indikasi tesis stratifikasi, yang menyatakan bahwa profesional dalam
praktek sehari-hari berbeda dan terputus dari elit yang mewakili mereka
dalam asosiasi mereka (Freidson, 2001 dalam Bekkers et al, 2013).
Definisi dan manajemen risiko
Inovasi, seperti yang telah dibahas, tergantung pada penambahan
ide-ide baru, dimana trial and error penting dilakukan. Namun hal itu
dapat berisiko. Inovasi itu sendiri adalah proses yang berisiko, karena
komitmen diperlukan mengenai suatu proses dan mengenai hasil yang
belum diketahui (Brown & Osborne, 2013). Mengingat bahwa inovasi
adalah proses terbuka dimana pemangku kepentingan yang berbeda
berpartisipasi, penting untuk memahami bagaimana para pemangku
kepentingan ini, perwakilan mereka dan pemimpin mereka,
mendefinisikan kepenuhan risiko dari suatu proses inovasi.
Pengambilan risiko di sektor publik tidak selalu disukai. Pertama, di
sektor publik ada sikap negatif terhadap risiko dan pengambilan risiko
(Osborne & Brown, 2011). Budaya birokrasi dan politik dianggap sebagai
penghindaran risiko, termasuk dalam kaitannya dengan masalah
akuntabilitas. Kedua, orientasi jangka pendek politisi meningkatkan
tekanan dan memaksa mereka untuk tidak mengambil risiko. Politik
dicirikan oleh jangka pendek, yang berfokus pada memenangkan hati
calon pemilih dan kelompok kepentingan melalui 'kemenangan cepat'.
Kemungkinan peningkatan liputan media, terutama dalam kaitannya
dengan kemungkinan kegagalan, cenderung meningkatkan ini.
Untuk itu Drucker (1985) menekankan pentingnya 'inovasi sistematis
dan kewirausahaan', menyiratkan bahwa organisasi harus
mengembangkan perspektif jangka panjang, berorientasi pada tujuan dan
sistematis tentang cara memobilisasi sumber daya - seperti pengetahuan,
orang dan dana - untuk mencari 'kombinasi baru', sehingga menciptakan
kondisi yang bermanfaat untuk inovasi. Investasi dalam penelitian dan
pengembangan dan pengaturan departemen penelitian & pengembangan
adalah contoh dari inovasi sistematis.
Ketiga, dominasi sistem manajemen kinerja dalam administrasi
publik juga dapat mempengaruhi sejauh mana organisasi sektor publik
dan manajemen mereka bersedia mengambil risiko. Dalam hal ini, telah
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 203

ditunjukkan bahwa proliferasi indikator kinerja dapat menghambat


inovasi (Sörensen & Torfing, 2011).

Peran TIK dan media sosial


Faktor keempat yang diidentifikasi terkait dengan peran teknologi
informasi dan komunikasi (TIK), termasuk media sosial (Bekkers, et al.
2013). Pertama, TIK dan media sosial adalah sumber penting dari inovasi,
mengingat fakta bahwa teknologi secara umum merupakan sumber
penting dari inovasi karena inovasi teknologi sangat sering melahirkan
semua jenis inovasi. Dalam melakukan hal itu TIK dan media sosial
menjadi pendorong penting inovasi, yang menjadi lebih penting jika kita
mengakui informasi dan komunikasi adalah sumberdaya vital dalam
memberikan layanan spesifik, dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan program kebijakan serta dalam memantau dan
menegakkan hasil dari program-program ini.
Potensi inovatif TIK dan media sosial mengacu pada sejumlah
karakteristik yang tertanam dalam teknologi ini seperti kemampuan
untuk memproses sejumlah besar data dengan cara yang lebih canggih,
kemampuan untuk meningkatkan akses informasi dan pengetahuan yang
relevan di semua jenis fungsi, batasan geografis, kekuatan untuk
meningkatkan transparansi semua jenis proses, perilaku dan organisasi,
kemampuan untuk memantau dan mengendalikan proses dan perilaku
ini serta potensi untuk berkomunikasi, memvisualisasikan, dan
memfasilitasi semua jenis interaksi (Bekkers, 2012). Dalam hal internet
dan media sosial terutama kemampuan untuk menghubungkan
komunikasi, informasi, pengalaman, pengetahuan dan kontak orang,
kelompok dan organisasi adalah sumber vital inovasi.
Dalam sektor publik, banyak inovasi berbasis TIK terkait erat dengan
penciptaan pemerintahan elektronik. Yang menarik adalah bahwa
karakteristik ini memfasilitasi munculnya kebijakan baru dan proses
pemberian layanan, praktik organisasi dan tata kelola baru yang memiliki
potensi untuk secara fundamental mengubah arah dan isi proses,
hubungan, dan posisi. Namun, untuk memahami potensi inovasi TIK,
penting untuk memahami pembentukan teknologi sosial dan politik, yang
juga dipengaruhi oleh ko-evolusi perkembangan spesifik dan perubahan
proposisi nilai lingkungan yang berbeda (politik, teknologi, sosial dan
budaya). Selain itu, inovasi TIK sangat sering cenderung untuk
memperkuat bias yang ada, minat, posisi dan hubungan, karena TIK
204 | Proses Pembuatan Kebijakan

sering digunakan sebagai sumberdaya yang kuat (Kraemer & King, 2006
dalam Bekkers, et al. 2013).
Peran lain TIK dan media sosial dalam inovasi akibat mampu
beroperasi sebagai pertukaran informasi dan infrastruktur komunikasi
yang terbuka untuk mendukung pertukaran gagasan, pengetahuan, dan
juga pembelajaran. Terutama kemampuannya untuk mengeksplorasi dan
menghubungkan orang yang berbeda dan berbagai sumber pengetahuan
dan informasi, menyiratkan bahwa pengetahuan baru dapat dibuat dan
dimobilisasi (Meijer, 2011 dalam Bekkers, et al. 2013). Inilah sebabnya
mengapa konsep-konsep seperti crowdsourcing, dan perangkat lunak open
source dan komunitas dapat mendukung proses inovasi.

Pustaka
Agrawal, A. 2001. Common property institutions and sustainable
governance of resources. World Development 29(10):1649–1672.
Apthorpe R. 1986. Development policy discourse. Public Administration
and Develop-ment. 6(4):377-389. DOI:10.1002/pad.4230060406.
Bason, C., 2010, leading public sector innovation. Bristol: Policy Press
Bekkers, V.J.J.M., Tummers, L.G., Stuijfzand, B.G.; Voorberg, W. 2013.
Social Innovation in the Public Sector: An integrative framework.
LIPSE Working papers (no. 1). Rotterdam: Erasmus University Rotterdam
Bekkers, V., J. Edelenbos & B. Steijn, 2011, Linking Innovation to the Public
Sector: Contexts, Concepts and Challenges, in: Bekkers, V., J.
Edelenbos & B. Steijn (eds.), Innovation in the public sector: linking
capacity and leadership. Houndsmills: Palgrave McMillan; 3-32
Bekkers, V. 2012. Why does e-government looks as it looks? Looking
beyond the explanatory emptiness of the e-government concept.
Information Polity, 17(3-4); 329-342.
Bodin, O. and B. I. Crona. 2009. The role of social networks in natural
resource governance: What relational patterns make a difference?
Global Environmental Change 19:366–374.
Brown, L., Osborne, S. 2013. Risk and innovation: Towards a framework
for risk governance in public services. Public Management Review,
15(2); 186-208.
Clay EJ, Schaffer BB (eds.). 1984. Room for Manoeuvre: An Exploration of
Public Policy Planning in Agricultural and Rural Development.
Cranbury, NJ (US): Fairleigh Dickinsom University Press.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 205

di Gregorio, M., K. Hagedorn, M. Kirk, B. Korf, N. McCarthy, and R. Meinzen-


Dick. 2008. Property Rights, Collective Action, and Poverty: The Role of
Institutions for Poverty Reduction. CAPRi Working Paper No. 81.
International Food Policy Research Institute. Washington, DC.
Drucker, P (1985) Innovation and Entrepreneurship. London: Heinemann.
Eileen Pittaway (tanpa tahun). Writing in the Rationalist Framework: the
Text Book Approach.
Folz, D. (2004) Service Quality and benchmarking the performance of
municipal services. Public Administration Review, 64(2); 209-220.
Gregory R. 1989. Political rationality or 'incrementalism'? Charles E.
Lindblom's enduring contribution to public policy making theory.
Policy and Politics. 17(2):139-153. DOI:10.1332/030557389782454893.
Huijboom, N. (2010) Joined up ICT innovation in government. Diss.
Rotterdam: Erasmus University
(IDS) Institute of Development Studies. 2006. Understanding Policy
Processes: A Review of IDS Research on the Environment. Brighton
(UK): IDS.
Juma C, Clark N. 1995. Policy research in sub-Saharan Africa: An
Emploration. Public Administration and Development. 15:121–137.
DOI: 10.1002/pad.42301502 04.
Kartodihardjo, H. 2019. Mengatasi Persoalan Institusional PSDA:
Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo di Propinsi
Riau. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia. Volume 5, No. 2. Jakarta:
Indonesian Center for Environtmental Law (ICEL). Fortcoming.
Keohane, R. and E. Ostrom. 1995. Local Commons and Global
Interdependence. London: Sage.
Kickert, W. (2007), Public Management Reforms in Countries with a
Napoleontic State Model; France, Italy and Spain, in: Pollitt, Van Thiel
& Homburg (eds.), New Public Management in Europe, Houndsmills:
Palgrave McMillan, pp. 26-51.
Koalisis LSM Riau, 2017. Rencana Aksi Pelaksanaan Revitalisasi Ekosistem
Tesso Nilo, Propinsi Riau. Pekanbaru. Tidak dipublikasikan.
Korteland, E. & V. Bekkers (2008) Diffusion and adoption of electronic
service delivery innovations in Dutch e-policing. Public Management
Review 10(1); 71-88.
Liu W. Beacom AM, Valente TW. 2017. Social Network Theory. The
International Encyclopedia of Media Effects. John Wiley & Sons, Inc.
DOI: 10.1002/9781118783764.wbieme0092.
Moore, M. (1995) Creating public value. Strategic Management in
Government. Cambridge Mass, Harvard University Press.
206 | Proses Pembuatan Kebijakan

Mulgan, J. (2009) The Art of Public Strategy. Oxford: OUP


Oakerson, R. J. 1992. Analyzing the commons: A framework. In Making
the commons work, ed. D. W. Bromley. San Francisco: ICS Press.
Ostrom, E. 1990. Governing the Commons. Cambridge: Cambridge
University Press.
Ostrom, E. 1999. Polycentricity, complexity, and the commons. The Good
Society 9(2):37–41.
Ostrom, E. 2005. Understanding Institutional Diversity. Princeton:
Princeton University Press.
Ostrom, E., R. Gardner, and J. M. Walker. 1994. Rules, Games, and
Common- Pool Resources. Ann Arbor, MI: University of Michigan
Press.
Osborne, S. & L. Brown (2011) Innovation, public policy and public
services delivery in the UK: the word that would be king, in: Public
Administration, 89(4); 1335-1350.
Pfeffer J. 1981. Power in Organizations. Massachusetts (US): Pitman
Publication.
Poteete, A. R., M. A. Janssen and E. Ostrom. 2010. Working Together:
Collective Action, the Commons, and Multiple Methods in Practice.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Prell C, Hubacek K, Reed M. 2009. Stakeholder analysis and social network
analysis in natural resource management. Society & Natural
Resources: An International Journal. 22(6): 501-518.
Pretty, J. 2003. Social capital and the collective management of resources.
Science 302(5652):1912–4. New York, NY.
Sanginga, P., R. Kamugisha, and A. Martin. 2007. The dynamics of
social capital and conflict management in multiple resource regimes:
A case of the southwestern highlands of Uganda. Ecology and Society
12(1):6
Sutton R. 1999. The policy process: An overview. [Working Paper] No.118.
London (UK): Overseas Development Institute.
Scott, J. (1998) Seeing like a state. New Haven: Yale University Press.
Sörensen, E. & J. Torfing (2011) Enhancing collaborative innovation in
the public sector, in: Administration & Society, 43(8); 842-868.
Schmid, A. 1987. Property, Power, and An Inquiry into Law and Economy.
New York: Praeger.
Thelen, K., (2003) How Institutions Evolve: Insights from Comparative
Historical Analysis, In: Comparative Historical Analysis in the Social
Sciences, ed. Mahoney, J. and Rueschemeyer, D. Cambridge, 2003 UK:
Cambridge University Press
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 207

Tummers, L. (2011) Explaining the willingness of public professionals to


implement new policies: A policy alienation framework.
International Review of Administrative Sciences, 77(3), 555-581.
Tummers, L., V. Bekkers, & A. Steijn (2009) Policy alienation of public
professionals: Application in a New Public Management context.
Public Management Review, 11(5), 685-706.
Wade, R. 1988. Village Republics: Economic Conditions for Collective
Action in South India. Cambridge: Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai