1
Cara berfikir rasional ini didukung oleh tradisi positivistik yang seringkali juga disebut
dengan beberapa sebutan seperti empirisisme, behaviorisme, naturalisme dan saintisme
sebagaimana telah diuraikan dalam Bab 2.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 147
2
Eillen Pittaway. Writing in the Rationalist Framework: the Text Book Approach.
148 | Proses Pembuatan Kebijakan
TAHAP
TAHAP TAHAP
PENETAPAN
PENETAPAN AGENDA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
KEPUTUSAN
Tindakan/ Pelaksa-
Terpilih Solusi naan
Terpilih berhasil
Tindakan/ Penguatan
Pelaksa- lembaga
Solusi Tdk
naan
Terpilih
gagal Memperku-
Tidak
Terpilih at “political
will”
Gambar 10 Proses pembuatan kebijakan secara
linier
1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah.
Dalam tahap ini biasanya juga dilakukan dengan menentukan
kesenjangan atau gap antara kondisi saat ini dan kondisi harapan yang
diinginkan;
2. Merumuskan segenap tindakan untuk mengatasi masalah atau gap
tersebut;
3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko
dan hambatan yang mungkin terjadi;
4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat;
5. Pelaksanaan kebijakan;
6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.
Dalam pendekatan ini, apabila masalah tidak dapat dipecahkan
melalui segenap tindakan yang telah ditetapkan, kesalahan biasanya tidak
dialamatkan pada isi kebijakan, melainkan pada pelaksanaannya.
Kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan, biasanya dialamatkan pada
lemahnya ’political will’, terbatasnya sumberdaya (anggaran, sumberdaya
manusia), atau lemahnya manajemen.3
Kelemahan pendekatan rasional tersebut dapat dilihat, misalnya,
apabila memang anggaran, sumberdaya dan manajemen pelaksanaan
kebijakan lemah, mengapa kelemahan-kelemahan tersebut tidak
dipertimbangkan sebagai masalah dan ditetapkan dalam tahap penetapan
agenda? Bagaimana tindakan sebagai solusi diputuskan juga sangat
3
Pandangan demikian ini menjadi pandangan khas birokrasi pemerintahan. Lihat lebih
jauh dalam analisis Scheuer JL, Clark TW. 2001. Conserving biodiversity in Hawai’i:
What is policy problems? Di dalam, Clark TW; Stevenson MJ, Ziegelmayer K,
Rutherford MB (editor). 2001. Species and Ecosystem Conservation: An
Interdisciplinary Approach. Yale F&ES Bulletin No.105.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 149
4
Pengertian narasi dan penggunaannya dalam penelitian kebijakan dapat didalami dalam
Shore C, Wright S. 1997. Anthropology of Policy: Critical Perspective of Governance
and Power 1st. London (UK): Routledge.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 151
5
Hasil kajian ini disiapkan oleh penulis dan telah mendapat input dari kelompok pengajar
di Devisi Kebijakan Kehutanan pada 2016, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 153
Masyarakat dianggap obyek bukan subyek. Dalam hal ini manusia dan
masyarakat tidak dianggap bagian dari ekosistem hutan. Hampir
senantiasa terdapat gap antara apa yang dihasilkan dalam pelaksanaan
program/kegiatan dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Sebagaimana
akibat dari persoalan administrasi dan pertanggung-jawaban di atas,
kondisi ini menyebabkan tidak efektifnya pencapaian tujuan
pembangunan, terutama bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
secara langsung atau peningkatan keadilan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam. Akibatnya, kehutanan berhadapan dan beradu dengan
masyarakat, yang dalam keadaan populasi dan kekuatannya meningkat,
hutan menjadi kalah dan terpinggirkan.
Dengan tiadanya memori mengenai karakteristik masyarakat
berakibat penetapan kebijakan dan prosedur pelaksanaannya disamakan
dengan usaha besar, sehingga terjadi ketimpangan respon. Rendahnya
respon masyarakat akibat rendahnya pengetahuan dan pengalaman dalam
mengikuti prosedur tersebut yang justru dianggap sebagai hambatan
(masyarakat salah karena sebagai yang lemah); dan bukan sebagai sumber
pelayanan publik. Ini dapat diakibatkan fanatisme narasi ortodok
kehutanan di satu sisi, dan di sisi lain telah terbentuk phobia kehutanan
dari pihak non-kehutanan pada umumnya.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu the forest second—
pertimbangan faktor lain selain fisik hutan. Referensi sosial
kemasyarakatan dan karakteristik usaha sebagai dasar pembuatan
kebijakan menjadi titik awal perubahan mindset, sehingga fokus program
dan kegiatan ditujukan pada karakteristik subyek yang dilayani. Norma,
perilaku dan power masyarakat/usaha komersialnya menjadi penentu
keberadaan hutan. Kebijakan yang mendekati ideal sebagaimana yang
dimaksud dalam counter narrative tersebut, seperti konsep perhutanan
sosial secara umum, perlu dikuatkan pelaksanaannya. Ketika norma,
perilaku dan power masyarakat menjadi penentu keberadaan hutan tetapi
bertentangan dengan perilaku alam misal pengelolaan di kawasan lindung
yang senantiasa gagal karena bertentangan dengan usaha tanam-
menanam oleh masyarakat (mis: sayur-mayur dan semacamnya) yang
terus menerus akan merugikan alam, maka perlu penerapan pengelolaan
hutan adaptif (adaptive forest management).
Keempat, ekoregion dan satuan wilayah perencanaan
pembangunan—sectoralism. Dengan sistem sektoral (fragmentasi program)
dampak kegiatan bagi kegiatan lain tidak serta-merta menjadi
pertimbangan dalam perencanaan dan penetapan program/kegiatan.
156 | Proses Pembuatan Kebijakan
Tugas pokok dan fungsi suatu unit kerja menjadi lebih baku dan
menentukan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan daripada harus
menyelesaikan masalah yang nyata ada. Kerjasama antar unit kerja (di
dalam dan antar lembaga) untuk menyelesaikan masalah tertentu juga
hampir mustahil karena lokasi dan arah kegiatan tidak dirancang agar
koheren satu sama lain.
Akibatnya, satuan perencanaan pembangunan yang didasarkan pada
daya dukung ekoregion tidak segera dapat diadopsi sejak pemikiran ini
bermula pada satuan perencanaan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Pengelolaan DAS direduksi menjadi penanaman pohon. Ditambah dengan
ukuran kinerja yang membenarkan hal tersebut, maka pendekatan ini
menjadi terlembaga sejak puluhan tahun silam. Akibatnya, kerjasama
antar sektor dalam upaya untuk meningkatkan kualitas DAS menjadi
terbengkalai. Adanya pendekatan baru yang berbasis daya dukung
ekoregion dengan cakupan yang lebih luas terbukti menghadapi persoalan
yang sama. Secara nasional sejak penetapan RPJMN satuan perencanaan
nasional tidak dilakukan berdasarkan pendekatan ekoregion, melainkan
kompilasi dari rencana-rencana yang telah ditetapkan oleh
Kementerian/Lembaga sebagai menu utamanya. Kondisi demikian itu
menyebabkan tidak adanya perubahan isi rencana karena seluruh
perencanaan sudah terstruktur secara nasional sesuai dengan tugas
fungsinya.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu integrasi tujuan—
kerjasama antar lembaga dan wilayah. Bentangan nusantara yang
mempunyai ketergan-tung secara ekologis, sosial dan ekonomi perlu
menjadi dasar perencanaan nasional. Satuan-satuan produksi bukan
hanya pada eksploitasi sumberdaya alam tetapi juga produksi modal
sosial, pengetahuan, teknologi untuk peningkatan daya dukung
ekoregion. Counter narrative yang sangat ideal itu memerlukan “syarat
cukup” yang sangat mahal untuk diwujudkan, yaitu merubah mindset
masyarakat mulai dari persepsi, sikap dan perilakunya terhadap
sumberdaya alam dan pengelolaannya.
Kelima, instrumen kebijakan—comannd and control. Faktor-faktor yag
menentukan perubahan perilaku masyarakat/pengusaha sebagai fokus
dalam pelaksanaan kebijakan seringkali tidak diidentifikasi secara jelas,
karena isi kebijakan cenderung bersifat memaksa yang dilakukan dengan
prosedur dan sangsi melalui peraturan-perundangan. Instrumen
kebijakan menjadi fokus pada hubungan fisik, misalnya adanya jalan
hutan (akses) dan tingginya permintaan hasil hutan dianggap sebagai
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 157
6
Untuk menunjang argumen semacam ini, lihat, misalnya dalam Peluso NL. 1992. Rich
Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley (US):
University of California Press.
7
Untuk suatu kebutuhan analisis pihak-pihak, dapat dilihat antara lain dalam publikasi
Stakeholders Analysis Guidelines oleh Kammi Schameer (2001).
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 163
Penggunaan Bahasa
Analisis narasi/diskursus dapat dilaksanakan dengan secara khusus
mempelajari bahasa yang digunakan, pelaksanaan dialog, dan
pembicaraan yang telah berlangsung.8 Analisis ini digunakan untuk
mengetahui “bahasa” dan tata cara yang digunakan dalam proses
pembuatan kebijakan dan dari analisis tersebut diketahui kepentingan
siapa yang disertakan dan yang tidak disertakan dalam pembuatan
kebijakan (Sutton, 1999).
Untuk mengidentifikasi kepentingan siapa dan dalam hal apa
kepentingan itu diperjuangkan dalam proses pembuatan kebijakan, Sutton
(1999) menyampaikan beberapa tinjauan yang dapat dilakukan. Pertama,
mengenai penamaan kelompok. Dalam pembuatan kebijakan seringkali
untuk mewujudkan keinginan pihak tertentu dilakukan dengan cara
menyampaikan istilah-istilah untuk penamaan kelompok. Misalnya
berbagai bentuk target groups dinamakan sebagai: “masyarakat miskin”,
“petani lapar lahan”, “perambah hutan”, ”kelompok miskin kota”, dan
lain sebagainya. Sebutan-sebutan tersebut dalam banyak hal dapat
menghilangkan makna atau karateristik kelompok. Identitas kelompok
yang sesungguhnya dapat terlucuti akibat penamaan tersebut. Hal-hal
yang berkaitan dengan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh
kelompok, keinginan kelompok, serta keragaman pengetahuan yang
dimiliki oleh kelompok tidak tercakup akibat penamaan-penamaan
tersebut.
Kedua, pengkerangkaan (framing).9 Kerangka analisis selalu dibuat
dengan tujuan untuk merumuskan masalah kebijakan serta apa yang
dicakup atau tidak dicakup dalam analisis kebijakan tersebut. Kerangka
8
Pengertian dan penjabaran mengenai diskursus dapat dilihat dalam Bab 2.
9
Pengkerangkaan sebagai salah satu bentuk diskursus dijelaskan dalam Bab 2.
164 | Proses Pembuatan Kebijakan
10
Lihat misalnya dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Dalam UU ini Pasal 21,
penge-lolaan hutan ditetapkan merupakan kegiatan-kegiatan: a. tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan, c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d. perlindungan hutan dan konservasi
alam. Dengan demikian, pengelolaan hutan terdiri dari 4 kegiatan itu dan tidak ada
alternatif lainnya.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 165
11
Pada saat terdapat inisiatif pembuatan atau pembaruan suatu peraturan biasanya tidak
terdapat referensi yang cukup tentang evaluasi kebijakan yang telah berjalan atau
rumusan masalah yang dihadapi. Pertimbangan ahli dan para praktisi di lapangan
biasanya dianggap cukup sebagai landasan pembuatan atau pembaruan suatu kebijakan.
Salah satu bentuk evaluasi kondisi lapangan dan masalah yang dianggap cukup memadai
adalah pada saat perumusan Rancangan Undang-undang Pengelolaan Sumberdaya
Alam. Uraian ini dapat dilihat dalam publikasi: Tim Konsultasi Publik RUU PSDA.
2004. Di Bawah Satu Payung: Hasil Konsultasi Publik Rancangan Undang-undang
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jakarta (ID): Ekadaka.
166 | Proses Pembuatan Kebijakan
Hubungan Internasional
Berbagai literatur hubungan internasional12 menunjukkan adanya
upaya untuk melakukan kerjasama antar kelompok kepentingan dalam
pembuatan kebijakan di tengah-tengah ketiadaan pengorganisasian
kewenangan-kewenangan secara global. Konsep regim internasional
menyediakan sejumlah prinsip, norma, aturan dan prosedur bagaimana
negara-negara di dunia dapat melakukan kerjasama. Analisis sifat-sifat
kelompok kepentingan, alat yang dipergunakan, bagaimana interaksi yang
dilakukan dapat menghasilkan pengetahuan, bagaimana inisiatif
kebijakan diwujudkan dan dirumuskan.
Prinsip yang dimaksud merupakan kepercayaan terhadap fakta-fakta,
penyebab, dan suatu pernyataan kejujuran. Norma berkaitan dengan
standar perilaku yang dinyatakan dalam bentuk hak dan tanggungjawab.
Aturan merupakan sejumlah preskripsi untuk melakukan tindakan,
sedangkan prosedur dalam pembuatan keputusan merupakan acuan
langkah-langkah operasional sebagai wujud tindakan bersama (Krasner
1983 dalam Sutton 1999).
12
Bagian tulisan ini disarikan dari publikasi Rebbeca Sutton (1999).
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 167
Tiga Pendekatan
Pendekatan kepentingan (interest-based/neo-liberal) menekankan
pentingnya regim internasional untuk membantu negara-negara
menyadari adanya kepentingan bersama. Pendekatan ini berasumsi
bahwa setiap negara cenderung menjalankan kebijakan sesuai dengan
kepentingan negaranya masing-masing.
Pendekatan kekuatan (power-based) mempunyai argumen bahwa
dalam ketiadaan sentralisasi kewenangan, hegemoni atau negara
adikuasa, negara-negara perlu membentuk tindakan bersama. Berbagai
regim dibuat oleh negara-negara yang lebih kuat yang membuat negara-
negara lain mengikuti regim-regim tersebut.
Pendekatan pengetahuan (knowledge-based) menekankan pentingnya
pengam-bil keputusan untuk mempercayai norma dan sebab-akibat nyata
sebagai dasar pengambilan keputusan. Pendekatan ini percaya bahwa
perubahan sistem kepercayaan dapat mengubah kebijakan dalam suatu
negara. Penganut pendekatan kognitif percaya bahwa distribusi
pengetahuan sangat penting dan berpengaruh terhadap persepsi para
pengambil keputusan.
Epistemic Community
Persoalan Dominasi
Pertanyaan utama yang mendorong penelitian IDS mengenai proses
kebijakan (policy proceses) ini adalah: bagaimana penduduk setempat (atau
siapapun yang lemah secara politik) berperan dalam pembuatan kebijakan
publik? Bagaimana orang-orang miskin dapat membentuk agenda
kebijakan di dunia yang semakin mengglobal ilmu pengetahuan dan
kebijakannya?
Isu-isu kebijakan SDA/Lingkungan khususnya ditandai dengan
meningkatnya jumlah pelaku, ragam perspektif, dan semakin
“diperebutkannya” masalah SDA/ Lingkungan itu sendiri14 oleh berbagai
pihak. Dalam konteks ini, membangun ke-percayaan di sekitar proses
pengambilan keputusan sangat penting—dan sering 'partisipatif' menjadi
mekanisme dan solusi standar yang dipilih. Namun, dari tinja-uan proses
13
Kecuali disebutan lain, bagian ini bersumber dari publikasi oleh Knowledge, Technology
and Society Team (Wolmer W, Keeley J, Leach M, Mehta L, Scoones I, Waldman L.
2006. Understanding Policy Processes: A review of IDS researc on the environment.
Brighton (UK): Institute of Development Studies (IDS)- University of Sussex.
14
Misalnya dalam perubahan iklim yang diperebutkan dan dicoba diselesaikan cenderung
masalah-masalah lingkungan global, tetapi tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi
masyarakat lokal.
170 | Proses Pembuatan Kebijakan
15
Untuk mudahnya dalam naskah ini, istilah diskursus dan narasi dianggap sama, yaitu
pola pikir, logika yang dipakai serta nilai-nilai yang dianut oleh sekelompok orang yang
senantiasa digunakan dan dikuatkan serta dikembangkan dari waktu ke waktu. Narasi ini
sudah tertanam dalam ilmu pengetahuan, penelitian dll dan secara umum apabila
seseorang berpendapat atau menolak/menyetujui pendapat orang lain, dibaliknya terda-
pat narasi itu. Metoda menentukan narasi ini perlu dipelajari melalui pustaka tersendiri.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 173
16
Lingkungan kunci dan konteks yang dimaksud misalnya adanya kejadian-kejadian
tertentu yang secara psikologis mempengaruhi pandangan masyarakat. Banjir besar dan
kecelakaan yang membawa banyak korban, tsunami, dan lain-lain adalah sekedar contoh
lingkungan kunci yang melahirkan kebijakan tertentu sesuai konteks kejadian-kejadian
itu. Dampak buruk yang terjadi perlahan-lahan biasanya tidak menimbulkan tekanan
bagi masyarakat walaupun akibatnya jauh lebih berbahaya.
17
Storyline adalah penggalan fakta yang digunakan untuk meyakinkan pendapat yang
didasarkan pada teori tertentu dan digunakan untuk tujuan mencapai tujuan tertentu.
Misalnya “hutan gundul penyebab banjir” dapat digunakan untuk memindahkan atau
mengusir sekelompok orang yang tinggal di wilayah berhutan.
18
Misalnya dalam pembuatan AMDAL, saksi ahli dalam pengadilan, policy paper,
perdebatan di televisi, dll dapat diperhatikan siapa yang disertakan dalam proses-proses
itu, tujuan apa proses-proses itu dibuat, kesimpulan-kesimpulan apa yang dinyatakan.
Semua itu dapat diamati untuk mencari hubungan antara input ilmiah dan kepentingan
politik.
174 | Proses Pembuatan Kebijakan
19
Di kehutanan misalnya, bagaimana illegal logging diakibatkan sebagai perbuatan jahat
dan kemudian solusinya adalah koordinasi penegakan hukum (logika 1), dengan illegal
logging diakibatkan sebagai lemahnya pengelolaan hutan di tingkat tapak kemudian
solusinya adalah pembangunan KPH (organisasi pemerintah yang beroperasi di lapang-
an/tapak). Konsekuensi adanya sebab-akibat yang berbeda memberikan solusi yang
berbeda, dan lebih jauh, pilihan sebab-akibat itu sangat penting bagi politik karena
pilihan sebab-akibat itu menentukan siapa yang dilibatkan dan siapa yang diabaikan.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 175
Perlawanan
aktor yang terbentuk sangat kuat dan tak tertembus, sehingga kondisinya
tidak kondusif untuk mengubah kebijakan, tidak ada argumen rasional
apapun dapat menggeser narasi kebijakan yang dominan itu. Hal-hal
dapat berubah setelah posisi kebijakan yang terjaga secara ketat itu mulai
berantakan, terjadi pelunakan sikap, narasi dan argumen lainnya menjadi
digunakan, dari hasil jaringan aktor untuk perubahan kebijakan secara
kuat membawa counter-discource dalam perdebatan perubahan kebijakan.
Pertanyaaanya, strategi apa untuk memperbesar peluang perubahan
kebijakan itu dapat diwujudkan? Bagaimana menciptakan ruang-ruang
kebijakan baru (policy space) dan kesempatan baru untuk menantang
kebijakan yang ada dan membuka debat? Secara umum yang dapat
dilakukan adalah membangun jaringan dan menentukan champions of
change. Untuk itu dapat dilakuan dengan beberapa cara—sesuai
kondisinya, sebagai berikut:
1. Adanya ruang konseptual (dimana ide baru diperkenalkan untuk
diperdebatkan dan disirkulasi melalui berbagai bentuk media)
• Publikasi paper yang berisi rekomendasi kebijakan dalam jurnal
ilmiah
• Ambil hal penting, pengaruhi orang lain (hal yang bisa
berpengaruh selalu hal yang penting)
• Pengaruhi penentu kebijakan secara informal (‘after hours’)
• Pelajari “bahasa birokrasi” atau “bahasa pimpinan” dan gunakan
sebagai cara dalam memberi pengaruh
2. Adanya ruang birokrasi (ruang pembuatan kebijakan formal di dalam
pemerintaan yang dipimpin oleh pejabat yangmana dalam melakukan
pembuatan kebijakan mendapat input dari expert tertentu)
• Buat tim lobi dan pemain utama yang akan bekerja
• Pilih personal dalam birokrasi sebagai champions of change
• Dapatkan pengaruh atasan untuk menyampaikan ide perubahan
dan pastikan ia juga mendapat penghargaan dari perubahan itu
3. Adanya ruang yang diciptakan (konsultasi dengan penentu kebijakan,
me-nyertakan pihak-pihak tertentu secara selektif)
• Membatalkan atau menghentikan rapat/pertemuan dan/atau
membajak agenda
• Mempengaruhi isi naskah pidato
• Mempertontonkan video di workshop untuk menjelaskan
keluhan masya-rakat secara langsung
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 177
20
Naskah lengkap bagian ini oleh Kartodihardjo (2019) terdapat dalam Jurnal Hukum
Lingkungan Indonesia. Indonesian Center for Environtmental Law (ICEL). Volume 5,
No. 2, 2019. Pembelajaran dari Kasus Revitalisasai Ekosistem Tesso Nilo di Propinsi
Riau, dengan keseluruhan areal seluas 916.343 Ha. Di dalamnya terdapat areal TNTN
seluas 81.793 Ha, yang telah dirambah seluas 44.544 Ha (54%). Areal eks PT HSL
seluas 45.990 Ha dan areal eks PT SRT seluas 38.560 Ha, yang telah dirambah seluas
55.834 Ha (66%).
21
Jumlah total perusahaan kelapa sawit secara nasional yang berada di dalam kawasan
hutan sekitar 3,5 juta Ha, dengan rincian di kawasan konservasi 115.694 Ha, di hutan
lindung seluas 174.910 Ha, di hutan produksi terbatas seluas 454.849 Ha, di hutan
produksi seluas 1.484.075 Ha serta di hutan produksi yang dapat dikonversi seluas
1.244.921 Ha (Auriga, 2019). Di Riau, hasil dengar pendapat antara Komisi B DPRD
Propinsi Riau dengan Kanwil Pajak Provinsi Riau-Kepri, ditemukan bahwa dari 513
perusahaan perkebunan yang terdaftar di Disbun Provinsi Riau dan 58 perusahaan
kehutanan, hanya 104 perusahaan yang terdaftar sebagai penyumbang pajak di Kanwil
Dirjen Pajak Riau-Kepri. Untuk tahun 2015 Kanwil Dirjen Pajak Riau-Kepri memiliki target
pajak sebesar ± Rp 24 Triliun. Kontribusi perusahaan yang bergerak dibidang P3
(Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan) sekitar 40% atau ± Rp 9,6 Triliun. Padahal
potensi pajak untuk industri perkebunan dan kehutanan yang sudah dianalisis Pansus
berjumlah sekitar Rp 31,2 Triliun per tahunnya.
22
Pilihan referensi ini dari publikasi Ratner, et al., 2013 yang dimodifikasi sesuai dengan
kondisi lapangan ETN serta pelaksanaan revitalisasi yang telah dilakukan.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 179
KARAKTERISTIK
BIOFISIK SUMBER
DAYA ALAM
Arena Aksi
PARTISIPAN (aktor)
KRITERIA
ATURAN MAIN FORMAL EVALUASI
(rule in form) DAN
INFORMAL (rule in use)
OUTCOMES
23
Yang dimaksud yaitu menyusun perangkat kerja, regulasi, maupun konsensus
bagaimana menjalankan program dan kegiatan di antara semua aktor yang terlibat.
Dalam pelaksanaannya dapat mencakup inovasi proses, misalnya untuk meningkatkan
kualitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan dengan membentuk kepemimpinan
penghubung (linking leadership) yang dapat mempertemukan kepentingan
kepemimpinan administratif dan kepemimpinan politik (Bekkers, et al. 2011).
180 | Proses Pembuatan Kebijakan
Variabel Eksogenous
Karakteristik Sumberdaya Alam dan Penggunanya
Sumber daya alam apapun, terbarukan atau tidak, dapat mewujudkan
tekanan dan sumber konflik terutama apabila karakteristik sumber daya
alam itu bersifat high exclusion cost (HEC).24 Dengan sifat HEC itu, sumber
daya yang tersebar lebih sulit untuk mengecualikan orang yang tidak
berhak dari ikut serta memanfaatkan, dibandingkan dengan sumberdaya
alam yang sangat terkonsentrasi. Wilayah ETN yang dikaji ini memenuhi
kriteria sifat HEC tersebut25. Kondisi demikian itu terjadi tidak terlepas
dari perubahan-perubahan pengelolaan kawasan sejak tahun 1970an dan
tidak dapat mewujudkan penguatan pengelolanya26. Sementara itu telah
24
Barang dengan biaya eksklusi atau pengecualian tinggi (HEC) adalah barang di mana
apabila barang itu untuk satu pengguna, mahal untuk mengeluarkan pengguna lainnya
agar tidak ikut memanfaatkannya. Karena biaya untuk mengeluarkan pengguna lainnya
itu lebih besar dari nilai barang yang dibicarakan. Biaya pengecualian yang tinggi berarti
bahwa penggunaan barang yang ada tidak dapat terbatas pada mereka yang telah
berkontribusi pada biaya produksinya atau hak atas barang itu. Hanya karena seseorang
memiliki hak untuk mengeluarkan orang lain dari sumberdaya itu tidak berarti bahwa
upaya mengeluarkan hak orang lain dapat dilakukan secara efektif (Schmid, 1987).
25
Keseluruhan areal ETN seluas 916.343 Ha, areal TNTN di dalamnya seluas 81.793 Ha,
yang telah dirambah seluas 44.544 Ha (54%). Areal eks PT. HSL seluas 45.990 Ha dan
areal eks PT. SRT seluas 38.560 Ha, yang telah dirambah seluas 55.834 Ha (66%).
Disamping itu terdapat 13 perusahaan HTI dengan luas sekitar 750.000 Ha, 9 perusahaan
terdapat klaim lahan. Juga terdapat HGU kelapa sawit 11 perusahaan seluas 70.193 Ha,
diantaranya seluas 15.808 di dalam kawasan hutan (Koalisi LSM Riau, 2017).
26
Pada 1974 wilayah TNTN masih menjadi konsesi HPH PT. Dwi Marta (200.000 Ha)
dan PT. Nanjak Makmur (48.370 Ha). Pada 1993 dialihkan pengelolaan PT Dwi Marta
kepada PT Inhutani IV (BUMN). Tahun 2001—2002 kawasan tersebut oleh Pemda
Kabupaten dan Propinsi setuju diubah menjadi kawasan konservasi gajah dan tahun
2004 sebagian kawasan PT Inhutani IV (38.576 Ha) diubah fungsinya menjadi TNTN.
Tahun 2009 areal PT. Nanjak Makmur juga diubah fungsinya menjadi TNTN. Tahun
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 181
27
Penjelasan pada paragrap ini diperoleh dari laporan evaluasi kegiatan revitalisasi
ekosistem Tesso Nilo (RETN) (13/3/2017) yang disusun oleh LSM di Riau yang menjadi
anggota Tim Operasional RETN.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 183
28
Yaitu tipikal untuk segenap aturan yang menentukan bagaimana segenap aturan lainnya
dapat diubah. Ostrom (1990) membedakan tiga jenis aturan: (a) aturan operasional yang
mengatur keputusan sehari-hari, (b) aturan pilihan kolektif yang mempengaruhi
bagaimana aturan operasional harus diubah, dan siapa yang dapat mengubahnya; dan (c)
aturan pilihan konstitusional digunakan dalam menyusun aturan kolektif yang pada
gilirannya mengatur aturan operasional.
184 | Proses Pembuatan Kebijakan
Arena aksi
Arena aksi merupakan “panggung” untuk perundingan sosial yang
dapat dipilih oleh pelaku yang berbeda untuk bekerja sama atau tidak
(Gregorio et al. 2008). Dalam hal ini, sangat penting dipertimbangkan
karakteristik aktor yang terlibat, sumber daya masing-masing aktor untuk
mempengaruhi orang lain guna mengejar tujuan mereka, serta kendala
dan peluang yang disediakan oleh aturan yang digunakan.
Dibalik terjadinya deforestasi dan menjadi kebun kelapa sawit di
ETN terdapat berbagai bentuk mekanisme transaksi di dalam arena aksi
itu. Transaksi penggunaan kawasan hutan yang dirambah dan kemudian
dijadikan kebun sawit di eks PT. HSL, Kabupaten Kuantan Singingi yang
telah disebutkan di atas, dapat dikategorikan menjadi 3 cara29, yaitu: (a).
Jual beli. Masyarakat lokal mendapat izin dari tokoh adat dan/atau kepala
desa untuk membuka lahan di areal itu untuk perkebunan kemudian
menjualnya kepada pihak lain seperti pendatang dari Sumatera Utara
atau pada masyarakat eks transmigrasi, (b). Hibah. Pemberian lahan oleh
pemuka adat dan desa pada pihak lain, misalnya berupa hibah lahan di
areal eks PT. HSL sebagai wilayah adat suku Mandailing kepada
masyarakat adat Pangean seluas sekitar 2.000 Ha, dengan tujuan untuk
peningkatan ekonomi anak keponakan di dua suku, (c) Kemitraan.
29
Penjelasan pada bagian ini, khususnya mengenai proses penggunaan areal eks HPH PT.
HSL, diperoleh dengan menarasikan kembali laporan evaluasi kegiatan revitalisasi
ekosistem Tesso Nilo (RETN) (13/3/2017) yang disusun oleh LSM di Riau yang menjadi
anggota Tim Operasional RETN.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 185
Masyarakat yang mengklaim lahan pada eks PT. HSL bermitra dengan
cukong atau pemodal untuk pembangunan kebun kelapa sawit.
Pemanfaatan lahan di lokasi itu saat ini berupa perumahan warga,
lokal maupun pendatang, umumnya dari Sumatra Utara dan Jawa. Juga
berupa perkebunan kelapa sawit milik masyarakat Melayu, mantan
transmigran, masyarakat pembeli dari luar yang tinggal di desa, serta
kebun yang dimiliki cukong/pemodal. Kebun cukong itu biasanya dengan
areal lebih dari 25 Ha, yang kepemilikannya didominasi oleh pendatang
dengan menggunakan masyarakat lokal sebagai pekerja atau
mendatangkan pekerja dari Sumatra Utara, Nias dan Jawa.
Dalam kondisi demikian itu, tokoh masyarakat adat dan desa, cukup
antusias untuk mengelola lahan bekas PT. HSL secara bersama–sama,
yangmana pemangku adat bersedia untuk bersama-sama menertibkan
kembali kepemilikan lahan yang pada saat itu sudah tidak dapat
dikontrol oleh lembaga adat maupun desa. Dalam hal adanya ketidak-
jelasan status kepemilikan hutan/lahan, masyarakat sepakat untuk di
dorong menjadi lokasi perhutanan sosial30. Namun demikian, disadari
bahwa kemungkinan ada penolakan dari KUD Soko Jati, karena
sebagaian besar kebun yang berada dalam eks PT. HSL di Kuansing
mengatas-namakan KUD tersebut, yang dimiliki oleh masyarakat adat
Pangean. Demikian pula, perkebunan yang dimiliki cukong/pemodal
menjadi anggota Koperasi Soko Jati tersebut.
Strategi pemodal/cukong dalam penguasaan lahan yaitu dengan
memberi janji kepada masyarakat setempat atau anak keponakan akan
dibangunkan kebun sawit dengan meminta tokoh adat mengeluarkan izin
pembukaan lahan. Perkebunan milik para cukong itu umumnya menjadi
anggota KUD Soko Jati. Walaupun begitu, manajemen produksi dan
perawatan kebun dilakukan sendiri dan KUD hanya mendapat fee. Untuk
menyebar kepemilikan kebun illegal tersebut, sebagian kebun dikapling-
kapling menjadi 2 Ha atas nama masyarakat sekitar dan pendatang,
terutama yang tinggal di kecamatan Pangean dan Logas. Dengan
demikian, pekerja atau masyarakat yang berada di lokasi kebun seolah-
olah menjadi pemilik kebun, padahal bukan.
Proses transaksi hutan dan tanah di atas tidak terlepas dari
penguasaan ekonomi Riau dari sektor perkebunan kelapa sawit yang
30
Program pemerintah untuk merespon ketimpangan alokasi manfaat kawasan hutan
negara. Program ini mencakup izin Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat,
Hutan Desa, Hutan Adat, serta program kemitraan.
186 | Proses Pembuatan Kebijakan
31
Dalam hasil kerja Pansus Komisi B DPRD Propinsi Riau yang diserahkan ke KPK terkait
dengan pelaksanaan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GNPSDA)
Propinsi Riau disebutkan perusahaan yang terdaftar di Dinas Perkebunan Provinsi Riau
hanya 25 persen yang memiliki izin pelepasan kawasan hutan, 50 persen memiliki IUP-
B atau IUP dan izin lokasi, serta 35 persen yang memiliki izin HGU. Perusahaan
perkebunan kelapa sawit illegal ditengarai seluas 1.594.484 Ha karena berada di dalam
kawasan hutan.
32
Aktor internal yang dimaksud yaitu Dinas-dinas terkait di Propinsi Riau maupun
Kabupaten Pelalawan, Kampar serta Kuantan Singingi. Yaitu lembaga-lembaga yang
mempunyai kewenangan pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan konservasi.
Itupun, pada sisi lainnya, perbaikan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam telah
difasilitasi melalui program GNPSDA oleh KPK. Namun pelaksanaan review izin
perkebunan dan tindakan terhadap hasil review tersebut hingga pertengahan 2018 belum
dijalankan.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 187
33
Dalam pelaksanaan RETN ini keterlibatan swasta secara langsung sangat minimal.
Swasta mengikuti proses ini hanya melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan
Lestari baik berupa sosialisasi maupun pemberitahuan agenda-agenda yang
dilaksanakan.
34
Terkait dengan upaya penyiapan rencana Presiden ke lokasi ETN, MenLHK pernah
melakukan perjalananan ke lapangan melihat lokasi-lokasi yang akan ditetapkan sebagai
program perhutanan sosial dan menemukan kasus tersebut.
188 | Proses Pembuatan Kebijakan
seluas 2.942 Ha, telah disahkannya Rencana Kerja Hutan Desa dan
Rencana Kerja Tahunan Hutan Desa Gunung Sahilan, pengajuan HKm di
Desa Gunung Sahilan dan Sahilan Darussalam seluas 1.385 Ha yang saat
itu menunggu verifikasi teknis. Disapingitu juga mengajukan Hutan Desa
di Desa Sidodadi seluas 7.613,12 Ha yang telah diverifikasi, mengajukan
Perhutanan Sosial di Desa Situgal seluas 939 hektar, Hulu Teso 790 Ha
serta Kuantan Sako, termasuk pemetaan wilayah untuk pengajuan PS di
Desa Hulu Teso seluas 790 Ha, Situgal seluas 939 Ha dan di Kuantan Sako.
Adanya political will Pemerintah untuk menyelesaikan akumulasi
puluhan tahun persoalan ETN melalui RETN secara eksplisit baru
berjalan sebatas penyelesaian-penyelesaian administrasi perizinan.
Namun, secara implisit telah tumbuh modal sosial, karena semua itu
diawali dengan pemetaan sosial dengan termasuk menguatkan modal
sosial masyarakat. Adanya kondisi eksternal seperti HEC, sumberdaya
dengan akses terbuka, maupun buruknya tatakelola, belum dapat dijawab
melalui peningkatan kerja institusional yang dijalankan. Faktor penentu
lemahnya pelaksanaan RETN pada akhirnya dapat dialamatkan pada
rendahnya kapasitas kelembagaan relatif terhadap kompleksitas arena
aksi aktor-aktor yang terlibat maupun keberlanjutan RETN itu sendiri.
Pembelajaran
Penelitian tentang pengelolaan sumber daya bersama (common pool
resources) sudah lama dikritik karena tidak memadai dalam memberi
perhatian kepada kekuatan lokal akibat perubahan politik, sosial
maupun ekonomi (Agrawal 2001). Pendekatan RETN ini, pertama,
dimaksudkan untuk memprioritaskan kekuatan lokal yang diawali
dengan pemetaan sosial yang dilakukan dengan sekaligus memberi
perspektif kepada masyarakat bagaimana mereka melihat penggunaan
lahan/hutan saat ini dan yang akan datang, dengan tetap memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan.
Dalam pelaksanaan RETN ini, prinsip utama yaitu menumbuhkan
modal sosial dan trust antara masyarakat lokal dan adat dengan pengelola
kawasan konservasi dan kawasan hutan umumnya. Pemetaan sosial
tersebut juga untuk mendalami posisi setiap warga maupun hubungan-
hubungan sosial yang ada, yang akan menjadi calon peserta perhutanan
sosial. Karena sejak puluhan tahun sebelumnya masyarakat lokal dan adat
ini tumbuh mengembangkan ekonomi dengan dasar-dasar modal illegal
dengan berbagai kondisi benar-salah yang semakin kabur, maka “berita
baik” bahwa program ini akan mendudukkan kehadiran negara yang
190 | Proses Pembuatan Kebijakan
lokal dan adat maupun bagi kehidupan satwa liar melalui pemulihan
habitatnya. Hasil akhir itu dapat diwujudkan hanya apabila berbagai
output kegiatan dari berbagai lembaga atau unit kerja dapat diintegrasikan
melalui segenap pembahasan, penyelesaian masalah, peningkatan
kapasitas, maupun penetapan urutan kegiatan (siapa di depan, siapa di
belakang). Kerangka kerja demikian itu tentu sangat berbeda dengan
kerangka kerja birokrasi pemerintahan pada umumnya, yang lebih
menitik beratkan pada pertanggungjawaban administrasi. Dalam hal ini
bentuk kepemimpinan penghubung (linking leadership) menjadi kuncinya.
Kelima, diperlukan upaya mengatasi perbedaan nilai-nilai juga
hubungan otoritas di antara berbagai aktor pemerintah. Maka, kerangka
kerja seperti ini seharusnya juga memasuki perspektif ekologi politik
untuk melihat peran kekuasaan atau kewenangan yang dapat menafikan
proses-proses yang telah berjalan serta sifat-sifat pemerintahan yang
berbeda antara Pemda dan Pemerintah.
Keenam, solusi persoalan pengelolaan sumber daya alam seperti di
ETN ini, membutuhkan skala ekosistem dengan kerja institutional baru
yang bersarang (Sanginga dan Martin, 2007). Dari pelaksanaan RETN,
pendekatan ini memperhatikan keterkaitan dan ketergantungan wilayah-
wilayah terutama untuk pelaksanaan revitalisasi kawasan konservasi
dengan sekaligus memperhatikan kebutuhan masyarakat atas lahan dan
pemukimannya dengan memanfaatkan hutan produksi. Pendekatan ini
memberi keleluasaan untuk mendapat alternatif cara penyelesaian
masalah di lapangan, dengan tetap memperhatikan kebutuhan perbaikan
habitat maupun ruang hidup satwa liar.
Ketujuh, dapat disebutkan bahwa dalam praktek ini informasi
diminta terbuka, karena kepastian dan kebenaran kondisi di lapangan
sangat menentukan keberhasilan suatu kegiatan untuk dapat
menyumbangkan tercapainya outcome. Hal-hal yang terkait dengan proses
integrasi kegiatan maupun keterbukaan informasi itu semestinya menjadi
bagian dari program ini yang nantinya akan dilaksanakan sendiri oleh
Pemerintah dan Pemda secara lebih utuh, sesuai dengan kewenangannya.
Dengan karakteristik sumber daya alam maupun penggunanya yang
khas dan menjadi perhatian dalam proses ini, apabila diperhatikan secara
seksama sesungguhnya yang diperlukan adalah perbaikan kerangka kerja
institutional dalam pengelolaan sumber daya alam. Kerangka kerja
institutional itu diharapkan dapat melanjutkan tindakan kolektif melalui
hubungan kerja inter dan antar pemerintahan serta lembaga-lembaga non
pemerintah. Tantangan utama yang saat ini dihadapi yaitu keberlanjutan
192 | Proses Pembuatan Kebijakan
program itu dari pengaruh dinamika politik nasional dan daerah yang
sedang terjadi. Karena kerja-kerja ini masih jauh dikatakan selesai.
Inovasi Kebijakan35
Untuk sektor publik, inovasi memastikan bentuknya bukan hanya
berbasis efisiensi, melainkan mewujudkan nilai dan manfaat publik
misalnya perihal keadilan. Secara umum, semua kegiatan di sektor publik,
termasuk inovasi, diorganisir di sekitar dan dipengaruhi oleh dua logika.
Pertama, inovasi dapat dinilai dari perspektif konsekuensi yang
diakibatkan serta preferensi dan harapan yang mendahuluinya. March dan
Olsen (1989) menyebut sebagai “logika konsekuensi”. Harus ada
konsekuensi relevan dan mungkin memiliki nilai substantif dalam hal
produktivitas dan hasil yang ingin dicapai, sehingga terdapat hasil inovasi
yang dapat dirasakan oleh kelompok sasaran tertentu. Hal lainnya,
misalnya, inovasi dapat menghasilkan penggunaan sumberdaya
pemerintah dengan lebih efisien. Kedua, inovasi di sektor publik dapat
pula merujuk pada “logika kesesuaian”. Logika ini mempertimbangkan
kesesuaian inovasi dengan pelaksanaan peran pemerintah (March &
Olsen, 1989).
Untuk itu empat implikasi harus dipertimbangkan. Pertama, inovasi
harus sah dan berkelanjutan secara politik, misalnya mampu menarik
dukungan, otoritas, dan biaya secara terus-menerus dari lembaga yang
berwenang (Moore, 1995). Kedua, inovasi publik merujuk pada berbagai
nilai demokrasi yang dianggap penting oleh warga. Sebuah inovasi dapat
mengarah pada peningkatan akses masyarakat, partisipasi dan
pemberdayaan, transparansi, akuntabilitas, maupun kesetaraan (Bason,
2010).
Ketiga, hasil sebuah inovasi mungkin juga untuk mengatasi masalah
yang dihadapi warga dan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari
mereka (Korteland & Bekkers, 2008). Keempat, nilai publik dari suatu
inovasi juga dapat bergantung kelayakannya secara hukum (Korteland &
Bekkers, 2008).
35
Naskah ini diadopsi dari Bekkers, V.J.J.M., Tummers, L.G., Stuijfzand, B.G.; Voorberg,
W. (2013). Social Innovation in the Public Sector: An integrative framework. LIPSE
Working papers (no. 1). Rotterdam: Erasmus University Rotterdam
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 193
36
Dalam pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam,
terdapat beberapa penilaian yang melibatkan kinerja pemerintah daerah. Misalnya
Adipura, Nirwasita Trantra (green leadership), dlsb.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 197
37
Contoh praktek ini dalam pelaksanaan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo, Riau, dapat
dilihat pada sub-bab sebelumnya mengenai pelaksanaan kebijakan dengan tinjauan IAD.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 199
38
Pandangan konseptual mengenai peran aktor seperti itu dijelaskan dalam Bab 8
mengenai teori politik analisis kebijakan, di dalam sub-bab mengenai kekuasaan dan
jaringan.
200 | Proses Pembuatan Kebijakan
39
Dalam pelaksanaan fasilitasi revitalisasi ekosistem Tesso Nilo di Riau yang telah
diuraikan dalam sub-bab sebelumnya warga juga mengalami hal serupa. Umumnya
masyarakat lokal dan adat mempunyai stigma tidak mempercayai adanya hasil kegiatan-
kegiatan pemerintah, akibat pengalaman di masa lalu.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 201
Bekkers, et al. 2013) berpendapat bahwa citra sektor (di Eropa) juga
mempengaruhi kemauan untuk berpartisipasi. Hal ini tergantung pada
kepercayaan pada tata kelola sektor itu serta pada kepuasan yang
dirasakan dari manfaat inovasi yang dihasilkan.
Kedua, berkaitan dengan upaya yang diperlukan untuk
berpartisipasi, yang dikenal sebagai ekspektasi upaya, pemanfaat hasil
inovasi membutuhkan informasi, pengetahuan, keterampilan, dan
kompetensi untuk berpartisipasi. Ini juga tergantung dari kompleksitas
inovasi dan hasil yang diinginkan (Bovaird & Löffler, 2011 dalam
Bekkers et al, 2013). Peran media (sosial) yang berkembang relevan
dalam hal ini. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi (mobile),
terutama internet dan media sosial, menyediakan jaringan seperti
infrastruktur yang meningkatkan kemudahan untuk bertukar
pengalaman, ide, dan pengetahuan yang tersebar atau secara longgar
digabungkan dalam akses terbuka (Bekkers, 2012). Akibatnya model
inovasi baru muncul di mana partisipasi dan akses terbuka dianut
sebagai nilai yang relevan, seperti crowdsourcing atau bank ide terbuka
(Mulgan, 2009).
Selain berfokus pada peran masyarakat, penting untuk mengakui
bahwa partisipasi masyarakat dapat dikaitkan dengan praktik
kebijakan yang dilembagakan. Hasil penelitian tata kelola interaktif
menunjukkan bahwa politisi dan pembuat kebijakan memiliki kesulitan
untuk menghubungkan hasil partisipasi publik dengan proses
penetapan kebijakan secara internal maupun proses kebijakan yang
berada di balik keduanya. Ini juga berkaitan dengan gagasan bahwa
pembuat kebijakan, manajer publik dan politisi takut kehilangan
kendali atau kehilangan status yang sudah dimiliki (Bovaird & Löffler,
2011 dalam Bekkers et al, 2013).
Ketiga, mengacu pada keterwakilan masyarakat. Hasil penelitian
tata kelola interaktif menunjukkan bahwa masyarakat yang sudah
berpartisipasi dan sudah terlibat, memanfaatkan peluang ekstra yang
ditawarkan. Masalah keterwakilan juga berkaitan dengan peran yang
dimainkan oleh pihak perantara, yang seringkali mengklaim memiliki
posisi, pengetahuan dan keterampilan serta kompetensi, berperan
dalam menyuarakan kebutuhan pemanfaat hasil inovasi. Mengingat
fakta demikian itu, sebuah organisasi perantara didirikan, dalam
kenyataannya lebih banyak tujuan internal dan motif pribadi yang
dapat menggantikan tujuan aslinya.
202 | Proses Pembuatan Kebijakan
sering digunakan sebagai sumberdaya yang kuat (Kraemer & King, 2006
dalam Bekkers, et al. 2013).
Peran lain TIK dan media sosial dalam inovasi akibat mampu
beroperasi sebagai pertukaran informasi dan infrastruktur komunikasi
yang terbuka untuk mendukung pertukaran gagasan, pengetahuan, dan
juga pembelajaran. Terutama kemampuannya untuk mengeksplorasi dan
menghubungkan orang yang berbeda dan berbagai sumber pengetahuan
dan informasi, menyiratkan bahwa pengetahuan baru dapat dibuat dan
dimobilisasi (Meijer, 2011 dalam Bekkers, et al. 2013). Inilah sebabnya
mengapa konsep-konsep seperti crowdsourcing, dan perangkat lunak open
source dan komunitas dapat mendukung proses inovasi.
Pustaka
Agrawal, A. 2001. Common property institutions and sustainable
governance of resources. World Development 29(10):1649–1672.
Apthorpe R. 1986. Development policy discourse. Public Administration
and Develop-ment. 6(4):377-389. DOI:10.1002/pad.4230060406.
Bason, C., 2010, leading public sector innovation. Bristol: Policy Press
Bekkers, V.J.J.M., Tummers, L.G., Stuijfzand, B.G.; Voorberg, W. 2013.
Social Innovation in the Public Sector: An integrative framework.
LIPSE Working papers (no. 1). Rotterdam: Erasmus University Rotterdam
Bekkers, V., J. Edelenbos & B. Steijn, 2011, Linking Innovation to the Public
Sector: Contexts, Concepts and Challenges, in: Bekkers, V., J.
Edelenbos & B. Steijn (eds.), Innovation in the public sector: linking
capacity and leadership. Houndsmills: Palgrave McMillan; 3-32
Bekkers, V. 2012. Why does e-government looks as it looks? Looking
beyond the explanatory emptiness of the e-government concept.
Information Polity, 17(3-4); 329-342.
Bodin, O. and B. I. Crona. 2009. The role of social networks in natural
resource governance: What relational patterns make a difference?
Global Environmental Change 19:366–374.
Brown, L., Osborne, S. 2013. Risk and innovation: Towards a framework
for risk governance in public services. Public Management Review,
15(2); 186-208.
Clay EJ, Schaffer BB (eds.). 1984. Room for Manoeuvre: An Exploration of
Public Policy Planning in Agricultural and Rural Development.
Cranbury, NJ (US): Fairleigh Dickinsom University Press.
Etika, Masalah dan Proses Kebijakan | 205