OLEH
KELOMPOK 2
1. MUIDU K012221017
2. SYAFRUDDIN K012221005
3. ANDI RATU PUTRI ZINDA K012221018
4. GLADIS A. ISMAIL K012221023
5. DARA SUCI K012221035
6. NUR FITRIANI K012221026
7. NURUL FADHIAH ALISSA K012221021
8. NURUL ILMI IDRUS K012221025
9. SITI MARYAM L.Z NGABITO K012221022
A. Agenda Kebijakan
Agenda diartikan sebagai daftar subyek atau masalah yang mana pejabat pemerintah dan
orang-orang diluar pemerintah yang berhubungan erat dengan pejabat pemerintah tersebut,
memberikan perhatian secara serius pada setiap waktu yang ditentukan.
B. Mengapa Pokok Persoalan Masuk Dalam Agenda Kebijakan?
Grindle dan Thomas (1991) menyatakan, sebagian besar pembuatan kebijakan
merupakan ‘perubahan politik biasa’: sebuah respons terhadap rutinitas, masalah sehari‐hari
yang membutuhkan pemecahan. Mengingat bahwa selalu ada lebih banyak masalah‐masalah
publik daripada waktu, tenaga dan sumber‐sumber daya pemerintah yang tersedia yang bisa
digunakan untuk menangani masalah‐masalah tersebut, dari mana datangnya dorongan
perubahan atau respons terhadap masalah tertentu kalau tidak ada krisis. Beberapa penjelasan
mengenai bagaimana dan mengapa beberapa pokok persoalan ditanggapi secara serius oleh
para pejabat pemerintah meskipun tidak ada krisis yang tampak telah dikemukakan.
C. Penentuan Agenda Dalam Keadaan Politik Biasa
Penjelasan awal mengenai hal‐hal yang merupakan masalah publik yang berlawanan
dengan sesuatu yang harus dihadapi sendiri oleh individu dan keluarga, mengasumsikan
bahwa masalah muncul murni secara obyektif dan hanya menunggu untuk dikenali oleh
pemerintah yang bertindak secara rasional. Contohnya, karena masalah tersebut mengancam
kesejahteraan penduduk. Menurut penjelasan ini, pemerintah akan secara aktif mengamati
perkembangannya dan pokok‐pokok persoalan yang paling ‘penting’ akan menjadi subyek
perhatian politik. Salah satu versi yang lebih rumit dalam pendekatan semacam ini
menyatakan bahwa apa yang membuat sebuah pokok persoalan bisa masuk dalam agenda
kebijakan lebih merupakan fungsi perubahan jangka panjang dalam situasi sosio‐ekonomi
yang menghasilkan masalah‐masalah yang pada akhirnya harus ditanggapi oleh pemerintah
bahkan jika tidak ada penilaian yang sistematis mengenai masalah‐masalah kebijakan yang
potensial.
Belakangan, ahli ilmu politik dan sosiolog berargumen bahwa bagi pemerintah
menganggap sesuatu sebagai masalah lebih dari sekedar suatu proses sosial yang mencakup
pendefinisian mengenai apa yang ‘normal’ dalam masyarakat dan apa yang merupakan
penyimpangan yang tidak bisa diterima dari posisi tersebut (Berger dan Luckman, 1975).
Cara pandang ini menarik perhatian orang pada ideologi dan asumsi mengenai bagaimana
pemerintah menjalankan kewajibannya dan bagaimana mereka membentuk apa yang
didefinisikan sebagai pokok persoalan yang memerlukan perhatian, juga mengenai
bagaimana pokok persoalan ini ditanggapi. Cara dan bentuk pemahaman masalah
mempengaruhi bagaimana masalah tersebut pada akhirnya akan ditangani oleh para pembuat
kebijakan (Cobb dan Elder, 1983).
Cara pandang ini juga beranggapan bahwa setiap orang semestinya akan sependapat
mengenai bagaimana sebuah fenomena seharusnya dirumuskan dan apakah masalah tersebut
memerlukan tidak lanjut pemerintah atau tidak. Para aktor kebijakan‐kebijakan penting dapat
berselisih dan bersaing dalam usaha mereka untuk membujuk pemerintah tidak hanya untuk
memasukkan suatu pokok persoalan dalam agenda tapi juga untuk menggunakan cara mereka
dalam membeberkan dan menangani masalah tersebut.
D. Penentuan Agenda Model Hall: Keabsahan, Kelayakan, Dukungan
Pendekatan ini menyatakan bahwa sebuah pokok persoalan dan kemungkinan responnya
akan masuk dalam agenda pemerintah hanya ketika pokok persoalan beserta respons tersebut
memiliki keabsahan, kelayakan dan dukungan yang tinggi. Hall dan koleganya memberikan
sebuah model yang sederhana dan mudah diterapkan untuk menganalisis pokok persoalan
mana yang mungkin akan diperhatikan oleh pemerintah (Hall et al., 1975).
1. Keabsahan
Keabsahan merupakan karakteristik pokok persoalan yang dipercayai pemerintah
sebagai sesuatu yang harus mereka pedulikan dan sesuatu di mana mereka berhak atau
bahkan berkewajiban untuk campur tangan. Pada satu titik tertentu, sebagian besar
anggota masyarakat, baik dulu maupun sekarang berharap bahwa pemerintah akan terus
menegakkan hukum tata tertib dan mempertahankan negara dari segala bentuk serangan.
Hal ini akan diterima secara luas sebagai kegiatan negara yang sah.
2. Kelayakan
Kelayakan mengacu pada kemungkinan untuk menerapkan kebijakan. Kelayakan
didefinisikan sebagai pengetahuan teknis dan teoritis umum, sumber daya, ketersediaan
staf ahli, kemampuan administrasi dan keberadaan infrastruktur pemerintah. Mungkin
akan ada keterbatasan teknologi, keuangan atau tenaga kerja yang menyebabkan suatu
kebijakan tertentu tidak bisa diterapkan, tidak peduli bagaimanapun layaknya kebijakan
tersebut.
3. Dukungan
Dukungan mengacu pada pokok persoalan yang menyangkut dukungan masyarakat
terhadap pemerintah yang sulit dipahami namun penting, setidaknya menyangkut pokok
persoalan yang sedang dibicarakan. Jelaslah bahwa, dibandingkan dengan pemerintahan
demokratis, rezim yang lebih otoriter dan tidak terpilih melalui pemilihan umum tidak
bergantung pada dukungan masyarakat. Namun demikian, bahkan diktator sekalipun
harus memastikan bahwa ada dukungan terhadap kebijakan‐kebijakan mereka dari
kelompok‐kelompok kunci, seperti pada angkatan bersenjata. Apabila tidak ada dukungan
atau apabila ketidakpuasan terhadap pemerintah secara keseluruhan sangat tinggi, akan
sangat sulit bagi sebuah pemerintahan untuk memasukkan suatu pokok permasalahan
dalam agenda dan melakukan apapun.
Jadi jalan pemikiran model Hall adalah bahwa pemerintah akan memperkirakan apakah
sebuah pokok persoalan ada pada titik terjauh atau terdekat dari ketiga garis kesatuan
keabsahan, kelayakan dan dukungan. Apabila sebuah pokok persoalan memiliki tingkat
keabsahan yang tinggi (pemerintah dianggap berhak untuk turut campur), tingkat kelayakan
yang tinggi (adanya sumber daya, staf, infrastruktur yang memadai) dan dukungan yang
besar (kelompok‐kelompok kepentingan yang terpenting mendukung atau setidaknya tidak
menghalangi), maka kemungkinan pokok persoalan tersebut untuk masuk dalam agenda
sesudahnya dibahas dengan selayaknya akan meningkat. Kadang‐kadang, pemerintah akan
menyatakan posisinya terhadap suatu pokok persoalan tertentu secara terbuka untuk
menunjukkan bahwa mereka peduli, atau untuk menenangkan para pendonor yang menuntut
respons sebagai syarat pemberian bantuan, atau untuk membingungkan lawan‐lawan politik
mereka, bahkan ketika mereka tidak berharap untuk bisa menerjemahkan keprihatinan
mereka menjadi kebijakan yang bisa diterapkan karena rendahnya tingkat kelayakan dan
dukungan terhadap kebijakan tersebut.
E. Model Kingdon: Jendela Politik Dan Tiga Alur Proses Politik
Pendekatan John Kingdon (1984) berfokus pada peran para pembuat kebijakan di
dalam dan di luar pemerintahan dengan mengambil keuntungan dari kesempatan‐kesempatan
penentuan agenda yang disebut jendela kebijakan untuk memasukkan hal‐hal tertentu ke
dalam agenda formal pemerintah. Model ini menunjukkan bahwa karakteristik sebuah pokok
persoalan berkombinasi dengan sifat‐sifat institusi dan situasi politik, dan bersama dengan
perkembangan solusi‐solusi politik dalam sebuah proses yang dapat menyebabkan terbuka
atau tertutupnya jendela kesempatan untuk memasukkan sebuah pokok persoalan ke dalam
agenda.
F. Tiga Alur Proses Politik Kingdon
1. Alur masalah mengacu pada persepsi yang menganggap masalah sebagai urusan publik
yang memerlukan tindakan pemerintah dan dipengaruhi oleh usaha‐usaha yang
sebelumnya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggapi masalah tersebut. Para
pejabat pemerintah mengetahui tentang masalah atau keadaan sosio‐ekonomi lewat
indikator, umpan‐balik dari program‐program yang sudah ada, kelompok‐kelompok
penekan atau kejadian‐kejadian yang jelas dan tiba‐tiba seperti krisis. Indikator bisa
mencakup statistik kesehatan rutin, contohnya, statistik yang menunjukkan peningkatan
angka obesitas (kegemukan) pada anak‐anak atau munculnya kembali TB (tuberculosis)
dalam masyarakat yang sebelumnya sudah dianggap terbebas dari penyakit tersebut.
2. Alur kebijakan terdiri dari analisis yang berkesinambungan terhadap masalah dan
solusi‐ solusi yang ditawarkan bersama‐sama dengan perdebatan yang mengelilingi
masalah tersebut dan kemungkinan tanggapan terhadapnya. Dalam alur gagasan ini,
sejumlah kemungkinan dikaji dan, sesekali mungkin akan semakin dipersempit atau
dikembangkan. Agar sebuah gagasan atau pemecahan masalah dapat muncul ke
permukaan, gagasan atau pemecahan masalah tersebut harus layak secara teknis,
konsisten dengan nilai‐nilai sosial yang dominan, dapat menangani berbagai kendala yang
berhubungan dengan kelayakan di masa depan (seperti kendala keuangan dan staf), dapat
diterima secara umum dan harus memberikan gema pada para politisi.
3. Alur politik berjalan secara cukup terpisah dari kedua alur yang lain dan terdiri dari
kejadian‐kejadian seperti perubahan suasana hati nasional, perubahan dalam
pemerintahan dan kampanye‐kampanye yang dilakukan oleh kelompok‐kelompok
kepentingan tertentu.
G. Jendela Kebijakan
Menurut model Kingdon, ketiga alur tersebut bekerja di sepanjang alur yang berbeda
dan tidak saling terkait sampai saat tertentu yang merupakan jendela kebijakan, ketika
mereka mengalir bersamaan atau saling berpotongan. Hal ini terjadi ketika pokok persoalan
baru masuk dalam agenda dan kebijakan kemungkinan besar akan berubah. Akibatnya,
kebijakan tidak masuk dalam agenda sesuai dengan serangkaian tahapan yang masuk akal.
Ketiga alur tersebut mengalir secara bersamaan, masing‐masing dengan caranya sendiri,
sampai mereka bertemu di titik di mana sebuah pokok persoalan kemungkinan akan
ditanggapi secara serius oleh para pembuat keputusan. Pertemuan antara ketiga alur ini tidak
bisa direkayasa atau diprediksikan dengan mudah.
H. Pemasukan Masalah Obat‐Obatan yang Diperlukan ke dalam Agenda Kebijakan di
Bangladesh
Letnan Jenderal dan Kepala Staf Angkatan Darat HM Ershad mengambil alih kekuasaan
dalam sebuah kudeta politik di Bangladesh pada tahun 1982. Empat minggu setelah kudeta,
ia telah membentuk komite yang terdiri dari delapan orang ahli yang bertugas untuk
menangani masalah‐ masalah di bidang produksi, distribusi, dan penggunaan produk‐produk
farmasi yang sedang hangat dibicarakan. Kurang dari tiga bulan kemudian, tahun 1982,
Ordonansi (Pengawasan) Bangladesh – Bangladesh (Control) Ordinance –ditetapkan sebagai
Deklarasi oleh Ershad berdasarkan seperangkat pedoman yang terdiri dari 16 butir petunjuk
yang akan mengatur sektor farmasi. Tujuan utama Ordonansi ini adalah untuk membagi
‘penyia‐nyiaan devisa negara yang dilakukan melalui produksi dan/atau pengimporan obat‐
obatan yang tidak perlu atau yang bernilai kecil’ menjadi dua. Kebijakan obat‐obatan
diterapkan baik di sektor swasta maupun sektor publik dan menghasilkan rumusan nasional
terbatas 150 jenis obat‐obatan yang diperlukan, ditambah 100 jenis obat‐obatan tambahan
yang dipergunakan secara khusus yang dapat diproduksi dengan biaya yang relatif rendah.
Lebih dari 1.600 produk yang dianggap ‘tidak berguna, tidak efektif atau berbahaya’
dilarang.
I. Penerapan model Hall
Kebijakan obat‐obatan yang diperlukan memiliki keabsahan karena pemerintahan
Ershad adalah pemerintahan baru sehingga kebijakan‐kebijakan baru dalam
pemerintahannya diharapkan sekaligus diperbolehkan. Lebih jauh, ada dorongan yang kuat
untuk membatasi jumlah obat‐obatan impor karena banyak dari obat‐obatan ini yang
dianggap tidak efektif atau berbahaya dan karena pengimporan ini menyia‐nyiakan simpanan
langka yang berupa mata uang asing yang tidak bisa dibayar oleh sebuah negara miskin
seperti Bangladesh.
J. Penerapan model Kingdon
Masalah obat‐obatan yang tidak efektif dan mahal telah muncul di permukaan alur
masalah selama beberapa waktu sebelum Ershad mengambil alih kekuasaan, namun tidak
ada tindakan apapun yang diambil. Meskipun demikian pada tahun 1982, seorang presiden
baru mengambil alih kekuasaan, begitu bersemangat memenangkan dukungan populer
dengan menunjukkan kesediaannya untuk mengambil tindakan terhadap masalah‐masalah
yang diketahui telah mempengaruhi banyak orang (perubahan dalam alur politik). Termasuk
pihak yang merasa paling dirugikan yaitu perusahaan‐perusahaan farmasi asing yang
kemungkinan tidak akan mendapat dukungan di dalam negeri Bangladesh. Sekelompok kecil
profesional bidang kesehatan di Bangladesh, yang diketuai oleh seorang dokter kenamaan
dengan ketertarikan dalam bidang proyek-proyek kesehatan dan indutri farmasi lokal, telah
sangat memperhatikan persoalan‐persoalan farmasi ini selama beberapa waktu sebelum
Ershad mengambil alih kekuasaan.
K. Penentuan agenda dan perubahan kebijakan pada saat krisis
Pembuatan kebijakan pada masa krisis berbeda dengan pembuatan kebijakan biasa di
masa biasa pula. Contohnya, akan lebih mudah untuk membuat kebijakan‐kebijakan radikal
dipertimbangkan secara serius pada saat krisis daripada pada saat‐saat lain. Krisis terjadi
ketika para pembuat keputusan penting merasakan adanya krisis, adanya keadaan yang nyata
namun mengancam, dan adanya kemungkinan bahwa kegagalan bertindak dapat
menyebabkan timbulnya konsekuensi yang bahkan lebih merusak. Kejadian‐kejadian yang
tidak memiliki ciri‐ciri ini besar kemungkinan tidak akan dianggap sebagai krisis. Meskipun
demikian, ketika daya tarik dari situasi semacam ini diperkuat oleh tekanan dari luar
pemerintahan (seperti jatuhnya harga hasil bumi utama yang diperuntukkan bagi ekspor
secara dramatis) dan pemerintah memiliki akses untuk membuktikan informasi yang didapat
dari para ahlinya, maka yang terjadi adalah pemerintah akan melihat masalah tersebut
sebagai krisis dan memberikan perhatian yang serius. Pada gilirannya, hal ini mungkin atau
mungkin juga tidak, akan mengakibatkan perubahan kebijakan yang nyata.
L. Non‐decision making
Sementara krisis maupun model politik biasa sangat bermanfaat dalam usaha untuk
menjelaskan bagaimana pokok persoalan masuk dalam agenda kebijakan dan ditindaklanjuti,
atau mengapa pada akhirnya pokok persoalan tersebut tidak ditindaklanjuti (karena tidak
adanya keabsahan, kelayakan atau dukungan atau karena ketiga alur kebijakan tidak bisa
berjalan bersama dalam kondisi yang memungkinkan untuk membuka ‘jendela
kesempatan’), tindakan yang dapat dilihat tidak memberikan pedoman yang lengkap
mengenai bagaimana kebijakan diputuskan. Dengan kata lain, Pembaca perlu memikirkan
kemungkinan non‐policy making, atau non‐decision making ketika memikirkan apa yang
masuk dalam agenda kebijakan publik (lihat Bab 2 untuk pembahasan yang lebih lengkap
mengenai hal ini). Mereka yang memiliki cukup kekuasaan tidak hanya mampu menghalangi
masuknya persoalan‐persoalan tertentu ke dalam agenda, tapi juga mampu untuk membentuk
keinginan publik sehingga hanya pokok‐pokok persoalan yang dianggap bisa diterimalah
yang dibahas, apalagi ditindaklanjuti
M. Pemerintah sebagai penentu agenda
Pemerintah, khususnya pemerintah negara‐negara besar dan makmur dapat sangat
berpengaruh dalam penentuan agenda kebijakan internasional. Contohnya, pemerintahan
Presiden Bush di Amerika Serikat secara aktif mempromosikan strategi ‘ABC’nya
(‘abstinence (pengendalian diri), be faithful (setia), dan condom use (penggunaan kondom)’)
untuk mencegah HIV/AIDS dan melakukan pengawasan terhadap komunitas kesehatan
masyarakat internasional dan negara‐negara dengan tingkat keterjangkitan tinggi, khususnya
di daerah Sub‐Sahara di Afrika, di hadapan berbagai macam kritik dari para ahli maupun
aktivis. Pemerintahan Presiden Bush bisa melakukan hal ini karena besarnya jumlah dana
yang tersedia bagi pencegahan HIV/AIDS dan terpenuhinya syarat‐ syarat yang berlaku bagi
penggunaan dana ini.
N. Media massa sebagai penentu agenda
Pada dasarnya, ada dua jenis media: media cetak dan media elektronik. Media tersebut
memiliki berbagai fungsi vital yaitu: merupakan sumber informasi; berfungsi sebagai
mekanisme propaganda; merupakan agen sosialisasi (menularkan budaya masyarakat dan
memberikan petunjuk pada orang‐orang mengenai nilai dan norma‐norma kemasyarakatan)
dan berfungsi sebagai agen keabsahan yang menciptakan kepercayaan massal, dan juga
penerimaan, terhadap pandangan‐ pandangan politik dan ekonomi seperti demokrasi dan
kapitalisasi. Media massa juga bisa mengkritik jalannya pemerintahan dan kondisi
masyarakat dan memperkenalkan perspektif‐perspektif baru pada masyarakat.
MODUL V
PEMERINTAH DAN PROSES KEBIJAKAN
Badan legislatif dua dewan (bicameral)/satu dewan (unicameral): Dalam badan legislatif satu
dewan, hanya ada satu ‘majelis’ atau dewan, sementara dalam badan legislatif dua dewan, ada
dewan kedua atau dewan tingkat tinggi, yang perannya adalah mengkritik dan memeriksa
kualitas rancangan undang‐undang yang diumumkan secara resmi oleh majelis yang lebih
rendah. Biasanya, hanya majelis yang lebih rendah yang bisa menentukan apakah rancangan
undang‐undang akan menjadi undang‐undang atau tidak.
Birokrasi: Jenis organisasi formal yang mencakup hirarki, sifat umum, kontinuitas dan keahlian.
Pimpinan eksekutif: suatu negara (yaitu, presiden dan/atau perdana menteri dan menteri‐
menteri lain). Perdana menteri atau presiden dan menteri‐menteri senior sering disebut sebagai
kabinet.
Sistem presidensial: Presiden atau kepala negara dipilih secara langsung dalam sebuah proses
pemilihan yang terpisah dari proses pemilihan anggota legislatif.
Perwakilan proporsional: Sistem pemungutan suara yang didesain untuk sejauh mungkin
memastikan bahwa proporsi suara yang diterima oleh setiap partai politik sebanding dengan jatah
kursi mereka dalam badan legislatif.
Sistem unitarian: Tingkat pemerintahan yang lebih rendah secara hukum berada di bawah
pemerintah nasional. Pemerintahan di tingkat yang lebih rendah menerima kewenangan mereka
dari pemerintah pusat.
Badan legislatif: yang menetapkan undang‐undang yang mengatur sebuah negara dan
mengawasi badan eksekutif. Badan ini biasanya dipilih secara demokratis untuk mewakili rakyat
negara tersebut dan biasanya disebut sebagai parlemen atau majelis. Seringkali ada dua dewan
atau majelis dalam parlemen
Badan yudikatif: terdiri dari hakim dan pengadilan yang bertanggung jawab untuk memastikan
bahwa pemerintah yang berkuasa (badan eksekutif) bertindak sesuai dengan undang‐undang
yang disahkan oleh badan legislatif.
Sistem federal: Level pemerintahan subnasional atau propinsi tidak berada di bawah
pemerintahan nasional namun memiliki kekuasaan substansial sendiri yang tidak bisa diambil
oleh pemerintah nasional.
MODUL VI
INTEREST GROUP DAN PROSES KEBIJAKAN
Daftar interest group yang terlibat dalam kebijakan kesehatan dapat mencakup organisasi
atau kelompok yang mewaikili:
Staf, seperti para medis, perawat dan profesi yang berkaitan dengan kesehatan
Penyedia layanan, seperti asosiasi rumah sakit
Penjamin seperti dana sakit
Pembayar seperti asosiasi pekerja
Kelompok pasien yang berbeda‐beda
Penyedia barang seperti perusahaan obat‐obatan dan pabrik peralatan medis.
A. Interest Group and Civil Society Group
Interest group merupakan istilah lain dari pressure group. Meskipun terdapat berbagai
definisi interest group, sebagian besar penulis lebih setuju dengan pengertian di bawah ini:
1. Sukarela – orang atau organisasi memilih untuk bergabung dengan mereka
2. Bertujuan untuk memperoleh beberapa tujuan yang diinginkan
3. Tidak berusaha untuk menginfiltrasi proses pembuatan keputusan sampai menjadi
bagian dari proses pemerintah formal
Tidak seperti partai politk yang juga sukarela dan berorientasi tujuan, pressure group
tidak berencana untuk mengambil alih kekuasaan politik formal. LSM membentuk bagian
yang paling familiar dari civil society. Istilah LSM awalnya merujuk pada setiap organisasi
non‐profit di luar pemerintah, namun akhir‐akhir ini digunakan dengan makna lebih
spesifik yakni organisasi yang relatif terstruktur dengan sebuah pusat dan memperlakukan
staf yang bekerja di lapangan sebagai klien advokasi atau pemberian layanan, dan pada
banyak kasus menyediakan pelayanan yang mungkin disediakan langsung oleh pemerintah
pada tingkat yang lebih dini. Sebagai contoh geng kriminal yang terorganisir adalah bagian
dari civil society.
B. Jenis Interest Group yang Berbeda
Ilmuwan politik mengklasifikasikan keberagaman interest group yang sangat luas
menjadi sejumlah jenis analisis. Contoh dari sectional interest group termasuk serikat
dagang, asosiasi pekerja dan badan yang mewakili profesi tertentu. Sebagai contoh, sebuah
organisasi yang mewakili orang cacat dapat disebut sectional group dan cause
group. Kadang kala sectional group dapat menarik pendukung yang peduli terhadap prinsip
yang mendasari hal itu dan tidak memiliki kepentingan pribadi dalam isu tersebut.
C. Sectional Group
Sectional group biasanya mampu untuk tawar‐menawar dengan pemerintah karena
mereka menyediakan peran produktif tertentu dalam ekonomi. Kadang kala mereka
menantang kebijakan pemerintah, jika mereka tidak suka dengan apa yang diajukan oleh
pemerintah. Sebagai contoh, serikat dagang yang terorganisir dengan baik, terutama dalam
sektor publik, dapat membujuk anggota mereka memecat pekerja mereka, yang dapat
mengancam ekonomi dan reputasi pemerintah, begitu pula apabila mereka menarik
dukungan finansial terhadap partai politik tertentu. Terang saja kekuasaan interest group
seperti serikat dagang tergantung pada faktor‐faktor seperti struktur ekonomi, struktur tawar
menawar upah, jumlah serikat, yang disatukan oleh idiologi dan seberapa baik pendanaan
mereka.
D. Tantangan yang Dapat Diidentifikasi
Berikut adalah beberapa tantangan yang dapat diidentifikasi:
1. Medical model dari penyakit yang menjelaskan kondisi kesehatan atau penyakit yang
berkaitan dengan faktor‐faktor biologis.
2. Lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.
3. Semakin diketahuinya bahwa pasien memiliki keahlian dalam relasi dengan penyakit
mereka, terutama kalau sudah kronis.
4. Perawat dan pekerja kesehatan lainnya menjadi lebih terdidik dan pemerintah
memperluas tugas klinik yang dapat mereka tangani, kadang melebihi sang dokter.
5. Pemerintah berusaha untuk mengendalikan penggunaan sumber daya oleh dokter
dengan menentukan anggaran maksimal.
6. Pemerintah dan penyedia asuransi memperkenalkan manajemen dan mendorong
kompetisi untuk membuat pelayanan medis lebih responsif dan efisien.
7. Pemerintah mengembangkan sistem untuk menguji kualitas pelayanan klinik yang tidak
berada di bawah kontrol langsung dari profesi medis.
E. Cause group
Cause group bertujuan untuk mendukung isu yang tidak harus spesifik kepada
anggotanya sendiri. Sebagai contoh, orang cacat atau orang yang menderita AIDS dapat
membentuk pressure group untuk membentuk kebijakan yang berkaitan langsung dengan
diri mereka. Di lain pihak, orang dari seluruh kelas dengan rentang kepercayaan yang luas
datang bersama dalam organisasi seperti Greenpeace untuk mendukung konservasi global
dari spesies atau Amnesty International yang menyoroti pelanggaran hak asasi manusia di
seluruh dunia, atau Medicins San Frontieres yang mendukung pengorganisasian intervensi
humanitarian dalam zona perang.
F. Sumber yang Dapat Dikerahkan oleh Interest Group
Beberapa sumber yang dapat dikerahkan mungkin diantaranya:
1. Anggota mereka – semakin besar jumlah anggota, maka semakin berpengaruh interest
group tersebut.
2. Level pendanaan dan sumber daya mereka
3. Pengetahuan mereka mengenai wilayah perhatian mereka.
4. Keahlian persuasif mereka dalam membangun dukungan publik terhadap posisi atau
kebijakan tertentu dengan mendorong kegiatan organisasi lainnya seperti media massa.
5. Kontak dan hubungan mereka dengan pembuat kebijakan, pegawai, kementerian, partai
oposisi dan media.
6. Sanksi terhadap penolakan, jika ada, sanksi ini mulai dari mempermalukan pemerintah
dalam forum internasional atau media massa mengajak konsumen memboikot, yang
dapat mengancam ekonomi domestik atau aksi mogok kerja dalam waktu yang lama.
G. Strategi atau Hubungan dengan Negara Insider Group atau Outsider Group
Interest group dapat juga dianalisis dalam seberapa jauh mereka dikenal atau diakui
oleh pemerintah yang pada akhirnya berkaitan dengan tujuan dan strategi mereka. Grant
mengidentifikasi dua kategori dasar yang berkaitan dengan hal ini – insider group dan
outsider group. Insider group adalah kelompok yang secara resmi bukan bagian dari mesin
pemerintah tapi dilegitimasi oleh pembuat kebijakan pemerintah, yang berkonsultasi rutin
dan diharapkan bermain ‘sesuai dengan aturan main’. Sebagai contoh,jika mereka
menerima undangan untuk duduk dalam komite pemerintah,mereka akan menghargai
kerahasiaan diskusi yang dilakukan sampai menteri mengeluarkan pernyataan mengenai
arah kebijakan.
Cause group: interest atau pressure group yang memiliki tujuan utama dalam mempromosikan
isu atau faktor tertentu
Civil society: masyarakat yang berada di lingkup keluarga atau rumah tangga pribadi pemerintah
Civil society group: suatu kelompok yang berada diluar pemerintah dan melampaui tingkat
keluarga, misalnya kelompok olahraga, organisasi masyarakat.
Discourse community: Policy community yang ditandai dengan share nilai politik serta akar
duduk permasalahan.
Insider group: Interest group yang melaksanakan strategi yang dirancang untuk memenangkan
status legitimasi partisipan dalam proses kebijakan.
Interest network: Policy community materi yang kepentingannya sama.
Iron triangle: Policy community kecil yang stabil dan eksklusif.
Issue Network: Jaringan lepas yang tidak stabil dan anggotanya banyak.
Non-governmental Organization: Organisasi non-profit di luar pemerintahan.
Outsider group: Interest group yang gagal memperoleh status insider
Peak association: Interest group yang terbentuk dari interest group lain.
Policy community: Jaringan organisasi relatif stabil dan individual yang terlibat dalam bagian
dari kebijakan publik.
Sectional group: Interest group yang tujuan utamanya untuk melindungi dan meningkatkan
kepentingan anggotanya.
Social movement: Kelompok individual lepas yang berbagi pandangan dan usaha untuk
mempengaruhi yang lain tanpa struktur organisasi formal.
MODUL VII
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
A. Pendekatan ‘Top‐Down’
Pendekatan ‘top‐down’ untuk memahami implementasi kebijakan berkaitan erat
dengan model rasional dari seluruh proses kebijakan, yang melihatnya sebagai suatu urutan
kegiatan yang linier di mana ada suatu pembagian yang jelas antara formulasi kebijakan dan
eksekusi kebijakan. Formulasi kebijakan dilihat sebagai politik yang ekplisit dan eksekusi
kebijakan dilihat sebagai kegiatan teknis, administratif dan manajerial yang besar.
Kebijakan‐kebijakan yang disusun di tingkat nasional atau internasional harus
dikomunikasikan hingga tingkat bawah (contohnya otoritas kesehatan, rumah sakit, klinik)
yang kemudian diisi dengan mempraktekkannya.
Pendekatan ‘topdown’ dikembangkan dari studi‐studi awal tentang ‘defisit atau
kesenjangan implementasi’ untuk memfasilitasi pemahaman yang lebih baik bagi pembuat
kebijakan tentang sistem apa yang mereka perlu terapkan untuk meminimalkan ‘gap’ antara
aspirasi dan realitas (hal ini membuat proses hampir lebih mendekati teori rasional). Studi‐
studi ini bersifat empiris tetapi memunculkan kesimpulan preskripktif. Jadi, menurut
Pressman dan Wildavsky (1984), kemampuan dalam mengembangkan sebuah sistem yang
mengembangkan hubungan kausal antara penetapan tujuan dan tindakan ‐ tindakan suksesif
yang didesain untuk mencapainya merupakan kunci untuk mencapai implementasi yang
efektif.
Suatu proses implementasi terstruktur untuk meningkatkan kepatuhan oleh para pelaku
(misalnya, insentif dan sanksi yang tepat untuk mempengarui tingkat bawah dengan cara
yang sesuai dengan yang dipersyaratkan). Pegawai yang mengimplementasikan harus
berkomitmen dan terampil. Dukungan dari interest groups dan parlemen Tidak ada
perubahan kondisi sosio‐ekonomi yang merusak dukungan politik atau teori kausal yang
mendasari kebijakan.
Pendukung dari pendekatan ini berargumen bahwa hal ini dapat membedakan secara
empirik antara proses implementasi yang gagal dan yang sukses, dan dengan demikian
menyediakan panduan yang sangat berguna bagi para pembuat keputusan. Kelemahannya
yang paling jelas adalah bahwa kondisi yang pertama jarang dipenuhi karena dalam
kebanyakan kebijakan publik ditemukan tujuan – tujuan yang tidak jelas dan tidak konsisten.
Ilmuwan kebijakan lainnya masih lebih kritis.
Intinya, para kritikus menyatakan bahwa realita implementasi kebijakan lebih kacau
dan lebih kompleks daripada yang dapat ditangani oleh pendekatan ‘top‐down’ yang paling
canggih sekalipun dan bahwa nasehat praktis yang dihasilkan dalam mengurangi ‘gap’
antara harapan dan realitas menjadi tidak relevan. Untuk memperkuat poin‐poin ini,
Hogwood dan Gunn (1984) membuat suatu daftar yang menuntut adanya 10 prasyarat untuk
apa yang mereka sebut ‘implementasi sempurna’ untuk menunjukkan bahwa pendekatan
‘top‐down’ adalah tidak realistis di sebagian besar negara:
1. Keadaan‐keadaan eksternal agen tidak memberatkan
2. Sumber daya dan waktu tercukupi
3. Kombinasi sumber daya yang disyaratkan tersedia
4. Kebijakan didasarkan pada suatu teori sebab akibat yang valid
5. Hubungan antara sebab dan akibat adalah langsung
6. Hubungan yang saling berketergantungan minimal‐ dengan kata lain, pembuat kebijakan
tidak tergantung pada kelompok atau organisasi yang mereka sendiri bersifat saling
bergantung.
7. Ada suatu pemahaman dan kesepakatan atas tujuan.
8. Tugas‐tugas dispesifikasikan secara penuh dalam urutan yang benar.
9. Komunikasi dan koordinasi adalah sempurna.
10. Pihak berwenang dapat meminta dan mendapatkan kepatuhan seutuhnya.
B. Pendekatan ‘Bottom‐Up’
Pandangan ‘bottom‐up’ terhadap proses implementasi adalah bahwa para
pengimplementasi sering memainkan sebuah fungsi yang penting dalam implementasi, tidak
sekadar sebagai manager kebijakan yang diperintahkan dari atas, tetapi berpartisipasi aktif
dalam suatu proses kompleks yang memberikan informasi ke tingkat yang lebih tinggi dalam
sistem, dan bahwa kebijakan seharusnya dibuat oleh para pembuat kebijakan dengan
pengetahuan ini. Bahkan dalam sistem yang sangat tersentral, beberapa kekuasaan biasanya
diberikan pada agen‐agen dan staf tingkat bawah. Sebagai hasilnya, para pengimplementasi
mungkin mengubah cara suatu kebijakan diimplementasikan dan bahkan dalam proses,
tujuan kebijakan didefinisi ulang. Salah satu dari studi yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan perspektif ‘bottom‐up’ terhadap implementasi adalah oleh Lipsky (1980)
yang mempelajari perilaku dari apa yang dia sebut ‘street level bereucrats’atau ‘birokrat
tingkat jalanan’ dalam kaitannya dengan klien mereka. ‘Birokrat tingkat jalanan’termasuk
staf garis depan yang mengelola kesejahteraan sosial, pekerja sosial, guru, pegawai
pemerintah, dokter dan perawat.
Hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem kesehatan mempengaruhi nasib
banyak kebijakan. Kadang‐kadang, contohnya di Afrika Selatan yang telah ditunjukkan di
atas, kebijakan-kebijakan diselewengkan selama implementasi. Di waktu yang lain,
kebijakan secara keseluruhan ditolak. Di Selandia Baru, pada awal tahun 1990‐an,
pemerintah memperkenalkan user charges bagi pasien rawat jalan dan pasien rawat inap
untuk menghapus insentif yang diterima bagi pasien yang pergi ke rumah sakit daripada
pasien yang menggunakan layanan primer di mana mereka dikenakan biaya untuk layanan.
Apapun kelebihan intektualnya, kebijakan tersebut benar‐benar tidak popular di antara
masyarakat umum, pasien, dan manager dan staff rumah sakit yang harus mengumpulkan
biaya. user charges semakin ditinggalkan hingga menghilang sekitar 2 tahun setelah
diperkenalkan.
C. Cara Pemahaman Implementasi Kebijakan yang Lain: Di Luar Pendekatan ‘Top‐
Down’ dan ‘Bottom-up’
Pendekatan yang diperdebatkan sejauh ini sebagaian besar dikembangkan oleh para
ilmuwan politik dan sosiologi. Ahli manajemen dan ekonom juga telah diminta untuk
mencoba menjelaskan mengapa pendekatan ‘top‐down’ dan ‘bottom‐up’ meninggalkan
kesenjangan antara maksud dan hasil akhir.
1. Principle‐agent theory
Dari perspektif principle‐agent, implementasi kebijakan yang kurang optimal adalah
sebuah hasil yang pasti terjadi dari struktur institusi pemerintah modern di mana para
pembuat keputusan(‘principals’) harus mendelegasikan tanggung jawab implementasi
kebijakan mereka kepada pegawai mereka (misalnya, pegawai negeri sipil dalam
departemen kesehatan) dan agenagen lain (misalnya manager, dokter dan perawat dalam
sektor kesehatan atau kontraktor swasta) yang hanya mereka kontrol secara tidak
langsung dan tidak penuh sehingga sulit dimonitor. ‘Agen-agen’ini mempunyai
keleluasaan dalam beroperasi atas nama ‘principals’ politik dan bahkan mungkin tidak
melihat diri mereka sendiri sebagai bagian yang terlibat dalam pembuatan sebuah realita
yang sesuai dengan harapan ‘principals’.
Rentang keleluasaan dan kompleksitas dari hubungan principal‐agen pada gilirannya
dipengaruhi oleh:
a. Sifat dari permasalahan kebijakan‐menonjolkan sifat‐sifat seperti makro versus
sektoral atau mikro (yaitu skala perubahan yang dipersyaratkan dan ukuran kelompok
yang dipengaruhi), sederhana versus kompleks, masalah yang kurang jelas versus
masalah yang jelas, banyak sebab versus sebab tunggal, sensitivitas politik yang tinggi
versus netralitas politik, memerlukan periode yang pendek atau panjang sebelum
perubahan muncul, murah versus mahal. Umumnya, jangka panjang, kurang jelas,
saling ketergantungan (tujuan dipengaruhi oleh kebijakan lainnya juga), permasalahan
profil yang tinggi yang berpengaruh terhadap banyak orang adalah lebih sulit untuk
diatasi dari pada dengan jangka pendek, permasalahan‐permasalahan khusus dengan
sebab tunggal dan komponen teknik yang besar. Kebanyakan pembahasan kebijakan
publik memfokuskan pada hal yang pertama (jangka panjang dll) yang diketahui
sebagai ‘permasalahan yang pelik’ atau permasalahan yang tidak pernah ada
kemungkinan terdapat solusi yang mudah. Suatu contoh yang khas adalah bagaimana
secara bersamaan mengurangi prevalensi penggunaan obat illegal dalam tahanan,
sementara itu, membuat pengunaan obat yang ada menjadi kurang berbahaya bagi
kesehatan tahanan yag sudah terlanjur parah menggunakan obat terlarang (misalnya
dengan menyediakan suntikan yang bersih atau penyeterilan peralatan). Resikonya
adalah bahwa tetap terjadi penyalahgunaan obat yang kurang beresiko, tetapi dengan
mengurangi resiko dan dosisnya.
b. Konteks atau keadaan di sekitar permasalahan‐ contohnya, situasi politik, apakah
ekonomi tumbuh atau tidak, ketersediaan sumber daya dan perubahan teknologi.
Organisasi mekanisme yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan‐ hal ini
termasuk sejumlah agen‐agen formal dan non formal yang terlibat dalam membuat
perubahan yang dikehendaki dan keterampilan dan sumber daya yang harus dibawa
untuk diemban.
Sebagai hasil dari berbagai macam faktor ini, pegawai yang secara khas tetap pada
posnya lebih lama dari pada para politikus sering menjadi ahli area subjek dan mampu
untuk menjalankan dengan sungguh‐sungguh keleluasaan, contohnya, seberapa banyak
dan kapan mereka menceritakan kepada menteri. Para politikus jadi sering tergantung
pada keinginan baik dari pegawai mereka untuk memajukan kepentingan dan karier
mereka sendiri.
D. Ke Arah Manakah Suatu Sintetis dari Prespektif ‘Top‐Down’ dan ‘Bottom‐Up’?
Sementara para ahli ekonomi cenderung melihat pilihan instrumen kebijakan yang
terbaik untuk mengimplementasikan suatu kebijakan sebagai sebuah latihan teknis dan
dengan giat merekomendasikan beberapa pendekatan, para ilmuwan politik mempelajari
bagaimana perilaku pemerintah dan apa konsekuensinya. Contohnya, Linder dan Peters
(1989) mengidentifikasi faktor-faktor berikut yang memainkan peranan penting dalam
membentuk pilihan implementasi kebijakan pemerintah:
1. Ciri‐ciri dari instrumen kebijakan
Beberapa instrumen secara instrinsik lebih sulit secara teknis dan politis untuk
digunakan. Instrument‐instrumen ini berubah‐ubah sedikitnya dalam empat dimensi:
keintensifan sumber daya; penentuan sasaran; resiko politik; dan tingkat keterdesakkan.
2. Gaya kebijakan dan kultur politik
Di negara yang berbeda dan bidang kebijakan yang berbeda, para partisipan dan
publik terbiasa dengan tingkat kontrol pemerintah dan/ atau provision yang berbeda‐beda.
Kebijakan‐kebijakan yang berangkat dari tradisi‐tradisi ini akan lebih sulit
diimplementasikan.
3. Konteks permasalahan‐pemilihan waktu (misalnya kaitannya dengan bagaimana
pencapaian ekonomi)berbagai macam aktor yang terlibat, kemungkinan reaksi publik dan
lain‐lain.
4. Preferensi subjektif dari pembuat keputusan administratif‐ berdasarkan pada latar
belakang, afiliasi profesional, pelatihan, gaya kognitif dan lain‐lain.
E. Sub‐system Kebijakan atau Kerangka Kerja Koalisi Advokasi
Kerangka kerja Sabatier adalah pendekatan umum untuk memahami proses kebijakan
karena pendekatan ini menolak ide yang memisahkan ‘implementasi’ dari bagian‐bagian
yang lain sebagai suatu yang tidak realistis dan salah arah. Malahan, perubahan kebijakan
dipandang sebagai suatu proses yang berkelanjutan yang berperan serta dalam sub‐sistem
kebijakan yang terikat oleh batasan‐batasan yang relatif stabil dan dibentuk oleh peristiwa‐
peristiwa eksternal. Dalam subsistem (misalnya, kebijakan kesehatan mental), ‘komunitas’
dari aktor‐aktor yang berinteraksi dalam periode waktu yang cukup lama. Para aktor adalah
termasuk semua yang memainkan suatu bagian dalam pengembangan, penyebaran informasi
dan evaluasi ide kebijakan. Sabatier tidak memasukkan publik dalam beberapa sub‐sistem
kebijakan karena pada dasarnya masyarakat biasa itu tidak punya waktu atau kurang senang
untuk berpartisipasi langsung.
F. Apa yang Menolong Pembuat Kebijakan untuk Implementasi Kebijakan dengan
Pendekatan‐Pendekatan yang Berbeda?
Kebanyakan diskusi riset dalam Bab ini tidak secara langsung dicurahkan untuk
menyediakan nasehat praktis bagi pembuat kebijakan, meskipun beberapa pesan yang
sederhana bermunculan. Contohnya, tidak diragukan bahwa kebijakan yang didesain sebagai
tambahan (dengan perubahan perilaku yang kecil) yang dapat disampaikan melalui struktur
yang sederhana dan melibatkan sedikit aktor dan didukung dari staf garis depan akan lebih
memungkinkan untuk berhasil daripada kebijakan‐kebijakan yang tidak mempunyai
dukungan. Bagaimanapun, hal ini bukanlah suatu bantuan yang besar bagi mereka yang
dibebani untuk membawa perubahan kebijakan yang radikal dalam sistem yang kompleks di
mana konflik fakta dan opini saling berkaitan. Grindle dan Thomas (1991) mendorong
pembuat kebijakan untuk menganalisis dengan hati‐hati sumber daya politik, keuangan,
manajerial dan teknis mereka dan lawan mereka, dan merencanakan bagaimana sumber daya
tersebut dapat dimobilisasi sebelum membuat keputusan tentang bagaimana menciptakan
perubahan. Pesan kunci dari pendekatan ini adalah sebuah pengingat bahwa aspek politik
dari sub‐sistem kebijakan sama pentingnya dengan aspek kapasitas pemerintah seperti
kualitas saran teknis yang tersedia. Ketika pemerintah kekurangan kapasitas dan sub‐sistem
bersifat kompleks, melibatkan sejumlah besar aktor inter‐dependent, saran dalam prespektif
ini adalah menggunakan subsidi untuk mendorong bentuk ‐ bentuk perilaku daripada
mencoba menyelenggarakan langsung. Contohnya, daripada berusaha untuk mempekerjakan
dokter puskesmas, pemerintah mungkin mensubsidi biaya kunjungan pasien ke dokter
swasta.