Anda di halaman 1dari 127

AGENDA SETTING DAN TAHAPAN KEBIJAKAN PUBLIK

(Studi Teoritis dan Empiris)

TUGAS MATA KULIAH

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH

Dosen : Dr. Ambya., S.E., M.Si

Oleh :

Anugrah Martua Raja

NPM 2021021012

PROGRAM STUDI MAGISTER LIMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI BISNIS

UNIVERSITAS LAMPUNG

2021
I. Pendahuluan
Berbicara tentang kebijakan publik sangat erat kaitannya dengan sebuah tindakan
dari pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan publik. Tindakan yang
dilakukan ini tentunya sudah melalui pertimbangan dan perencanaan yang matang.
Dalam proses perencanaan, pemerintah yang bersifat demokratis pastinya akan
mengumpulkan berbagai macam isu dan permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Sehingga latar belakang dari dikeluarkannya sebuah kebijakan adalah dikarenakan
adanya permasalahan dan isu yang dianggap penting, sistemik, menyangkut
kepentingan umum dan hidup masyarakat serta dianggap dapat memunculkan
permasalahan atau efek negatif lainnya apabila dibiarkan.

Kebijakan publik ini pada dasarnya merupakan sebuah bentuk respon dan tanggung
jawab politik dari pemerintah yang duduk dikursi pemerintahan mewakili masyarakat.
Perlu digaris bawahi bahwa kebijakan publik tidak akan berbicara mengenai
rasionalitas dari kebijakan saja tetapi juga menunjang pada aspek politis yang
masuk dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan publik memang harus dimaknai
sebagai fenomena politik karena berkaitan dengan banyak stakeholders yang
memiliki banyak kepentingan. Menurut (Anderson, 1984) menerapkan kebijakan
publik adalah cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah
pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan
mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan, maupun implementasinya dengan
menggunakan instrumen tertentu.

Dalam implementasinya banyak kebijakan publik lahir dari proses yang tidak
transparan dan kurang berdampak pada masyarakat. Ketika di dalam masyarakat
muncul isu-isu yang perlu penanganan dari pemerintah maka kebijakan publik perlu
dibuat. Konflik sering muncul dalam proses perumusan kebijakan publik dikarenakan
banyaknya isu dan masalah. Untuk menentukan isu-isu yang penting dan akan
diangkat kedalam agenda pemerintah maka harus melalui proses pengagendaan
kebijakan (agenda setting). Agenda setting menentukan pilihan kebijakan publik.
Proses ini fokus pada kelayakan suatu masalah untuk menjadi masalah publik.
Dalam prosesnya agenda setting membentuk opini publik terhadap suatu persoalan
sehingga persoalan tersebut dianggap sebagai suatu permasalahan penting bagi
masyarakat luas termasuk bagi pemerintah sehingga perlu kebijakan publik.
II. Teori dan Konsep
II.1. Tahapan Penyusunan Kebijakan Publik
Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terus menerus, karena itu yang
paling penting adalah siklus kebijakan. Siklus kebijakan meliputi formulasi,
implementasi dan evaluasi kebijakan (Parsons, 1997). Menurut William N Dunn
(2003) tahapan kebijakan publik melalui :
1) Penyusunan Agenda
2) Formulasi Kebijakan
3) Adopsi Kebijakan
4) Implementasi Kebijakan
5) Evaluasi Kebijakan

Gambar 2.1 Tahapan Kebijakan Publik Menurut William Dunn

Kebijakan yang telah diformulasikan atau dirumuskan bermaksud untuk mencapai


tujuan tertentu. Dalam konteks ini dapat dimengerti, bahwa kebijakan tidak akan
sukses, jika dalam pelaksanaannya tidak ada kaitannya dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam proses kebijakan publik yang akan diterapkan, melalui
proses/tahapan yang cukup panjang. Thomas R. Dye (2001) menguraikan proses
kebijakan publik dalam beberapa tahapan, di antaranya (Parson, 2005: 154):
1) Identifikasi masalah kebijakan
2) Penyusunan agenda
3) Perumusan kebijakan
4) Pengesahan kebijakan
5) Implementasi kebijakan
6) Evaluasi kebijakan.
Dengan demikian, perumusan kebijakan menyangkut suatu proses yang terdiri dari
sejumlah langkah-langkah. Ripley (1985) menjelaskan beberapa langkah dalam
penyusunan kebijakan publik, yaitu:
1) Agenda setting
2) Formulation dan legitimination
3) Program Implementations
4) Evaluation of implementation, performance, and impacts
5) Decisions about the future of the policy and program

Gambar 2.2 Tahapan Kebijakan Publik Menurut Ripley (1985)

Pada dasarnya semua pandangan teoritis dari para ahli tentang tahapan kebijakan
publik selalu dimulai dari penyusunan agenda atau agenda setting yang berisi
perumusan masalah atau isu-isu penting yang berada dimasyarakat. Nantinya
agenda publik ini akan menjadi agenda pemerintah yang berarti pemerintah
memandang agenda publik ini harus diselesaikan dengan kebijakan publik.
II.2. Agenda Setting Sebagai Tahap Awal Kebijakan Publik
Agenda setting merupakan tahap awal dari keseluruhan tahapan kebijakan. Karena
itu, pemerintah memberi perhatian khusus dan menempatkan tahap agenda setting
sebagai tahap yang sangat penting dan strategis dalam analisis kebijakan. Dalam
proses inilah terdapat ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah
publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil
mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam
agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik
yang lebih daripada isu lain.

Definisi agenda setting menurut Howlett and Ramesh dinyatakan sebagai berikut :
 Agenda Setting adalah suatu tahap sebelum perumusan kebijakan dilakukan,
yaitu bagaimana issues muncul pada agenda pemerintah yang perlu ditindak-
lanjuti dan diharapkan agar pemerintah segera mengambil tindakan, ternyata
pemerintah tidak bertindak sesuai dengan keinginan masyarakat (Howlett and
Ramesh, 1995).
 Agenda Setting adalah proses dimana keinginan dari berbagai kelompok dalam
masyarakat diterjemahkan ke dalam butir-butir kegiatan agar mendapat perhatian
serius dari pejabat pemerintah (Cob and Ross; Howlett and Ramesh, 1995)
 Agenda Setting adalah suatu daftar subyek atau masalah dimana para pejabat
pemerintah dan masyarakat di luar pemerintah yang ada kaitannya dengan
pejabat tersebut, memberikan perhatian pada masalah tersebut (John Kingdon;
Howlett and Ramesh, 1995)

Agenda setting, atau bisa diterjemahkan sebagai ‘pembuatan agenda’ bisa dimaknai
sebagai proses mengarahkan kebijakan melalui jendela-jendela kebijakan yang
muncul sebagai akibat dari dinamika politik yang terjadi dalam proses agenda
setting, (Kingdon dalam Santoso,2010:75). Istilah agenda setting mengandung dua
kata kunci, yaitu ‘agenda’ dan ‘setting’ (aktivitas penyiapannya). Agenda bisa
dikatakan berisi berbagai hal atau kegiatan yang dianggap penting dan layak
mendapatkan prioritas dari pemerintah. Karena itu agenda setting bisa dikatakan
merupakan proses di mana pemerintah menyusun berbagai hal dan kegiatan dalam
skala prioritas yang didasarkan pada kepentingan publik (Santoso, 2010:72).
II.3. Tujuan Pelaksanaan Agenda Setting Kebijakan Publik
Adapun tujuan dari tahapan agenda setting dalam penyusunan kebijakan publik
antara lain :
 Untuk menangkap semua permasalahan, masukan saran dan isu-isu penting di
masyarakat
 Untuk melakukan seleksi atas masalah, isu dan masukan saran dari masyarakat
yang dianggap layak untuk diangkat kedalam agenda pemerintah
 Untuk menyusun skala prioritas atas masalah, isu dan masukan saran dari
masyarakat yang menjadi perhatian utama dan strategis berdasarkan urgensi
dan dampak positif yang akan diperoleh
 Untuk mendorong media, elemen masyarakat dan elemen pemerintah agar lebih
proaktif dalam mengangkat isu-isu strategis yang menyangkut kepentingan publik
 Untuk menciptakan iklim politik yang lebih baik dimana harapannya apabila isu-
isu strategis dan menyangkut tanggung jawab politik dapat terselesaikan maka
iklim politik akan lebih kondusif
 Untuk menghasilkan ide-ide kebijakan baru yang terarah dan selaras dengan
tercapainya tujuan penyelesaian masalah dan isu-isu penting di masyarakat

II.4. Tahapan Agenda Setting


Penyusunan agenda pemerintah (agenda setting) dimulai dari kegiatan fungsional,
meliputi Persepsi, Definisi, Agregasi, Organisasi dan Representasi; yang bermuara
pada terusungnya suatu masalah publik dan atau suatu isu publik menjadi suatu
masalah yang oleh pemerintah (pembuat kebijakan) dianggap penting untuk dicari
jalan keluarnya melalui kebijakan publik. Produk riil dari proses penyusunan agenda
pemerintah adalah terakomodasinya kepentingan publik (masalah publik) menjadi
opini publik, kemudian menjadi tuntutan publik, untuk selanjutnya menjadi masalah
prioritas yang akan dicarikan penyelesaiannya.

Tahapan awal adalah mengumpulkan permasalahan dan isu-isu penting yang dapat
diperoleh melalui : Media massa, Kelompok Masyarakat, Lembaga Legislatif dan
Elemen Birokrasi. Masalah diawali dari private problem yang mana merupakan
masalah- masalah yang mempunyai akibat yang terbatas, atau hanya menyangkut
pada satu atau sejumlah kecil orang yang terlibat secara langsung. Sebagai contoh
masalah kebersihan rumah tangga atau misalnya segelintir orang tidak mampu
membeli kendaraan mobil. Apabila masalah ini hanya dirasakan atau berdampak
pada segelintir orang dan tidak meluas ke masyarakat lain secara agregat maka
masalah ini tidak dapat dikatakan masalah publik.

Apabila masalah yang diperoleh kemudian dirasakan oleh hampir semua


masyarakat atau mayoritas masyarakat kebanyakan. Dampak atau akibat yang
dihasilkan meluas sehingga mengenai orang-orang banyak yang terlibat baik
langsung maupun tidak langsung dan hanya dapat diatasi melalui intervensi
pemerintah maka masalah ini sudah masuk kedalam masalah publik. Disini
pentingnya proses seleksi masalah yang dapat melibatkan masyarakat langsung
baik yang terlibat langsung, para cendekiawan, pelaku usaha maupun birokrat.
Sebagai contoh masalah pencemaran lingkungan dan kemiskinan / kelaparan.

Karakteristik dari masalah publik antara lain :


 Ada perhatian dari masyarakat yang terorganisir,
 Hanya dapat dicapai melalui tindakan publik dengan penanganan yg
sistematis, struktural dan serius pemerintah bersama-sama masyarakat,
 Mempunyai dampak yang luas sehingga tidak dpt diselesaikan secara
individu,
 Konsekuensinya mencakup orang-orang yang tidak secara langsung terlibat.
 Masalah bisa masuk ke agenda pemerintah atau tidak tergantung pada sifat
dukungan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap masalah tersebut.

Kemudian ketika permasalahan publik ternyata memberikan pandangan yang


berbeda-beda dari tokoh-tokoh atau aktor-aktor masyarakat terkait bagaimana
kebijakan yang sudah diterapkan maupun belum diterapkan ataupun terkait ide-ide
solusi yang bisa ditawarkan pemerintah dirasa tidak sesuai dengan pandangan
masyarakat maka hal ini dinyatakan sebagai isu-isu kebijakan. Isu-isu kebijakan atau
isu politik ini erat kaitannya dengan kepentingan-kepentingan yang berbeda yang
dimiliki oleh aktor-aktor atau tokoh-tokoh politik yang berperan atau yang merasa
sangat berkepentingan terhadap kebijakan pemerintah. Isu-isu ini juga dapat
dianggap sebagai alternatif solusi atau kebijakan yang dapat diambil pemerintah.
Karakteristik isu-isu kebijakan / politik yang dapat dimasukkan ke dalam agenda
sistemik atau agenda pemerintah antara lain :
 Issues itu dinilai penting dan membawa dampak yang besar pada banyak orang.
 Issues tersebut mendapatkan perhatian dari para policy maker.
 Issues tersebut sesuai dengan platform politik (program politk).
 Issues tersebut kemungkinan besar dapat pecahkan.
Agenda sistemik merupakan kumpulan isu-isu penting atau masalah-masalah publik
yang dampak akibatnya dirasakan oleh semua warga masyarakat dan layak
mendapat perhatian publik serta pemerintah.

Kemudian dilakukan pengkhususan serta menyusun skala prioritas isu mana yang
akan didahulukan dan perlu segera diselesaikan oleh pemerintah. Hasil
pengkhususan dari agenda sistemik tersebut disebut agenda kebijakan pemerintah.
Proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan pemerintah tidak sepenuhnya
dapat dilakukan secara rasional, tetapi lebih cenderung bersifat politis. Alasan yang
rasional biasanya hanya digunakan sebagai sarana pendorong untuk mendapatkan
prioritas. Karena itu dapat dikatakan bahwa alasan yang rasional belum tentu
berhasil memasukkan kepentingan dalam agenda kebijakan, dan sebaliknya, yang
masuk dalam agenda kebijakan belum tentu berdasarkan alasan yang rasional.

Public Problems

Gambar 2.3 Skema Tahapan Agenda Setting Kebijakan Publik


II.5. Syarat dan Faktor Suatu Isu Dapat Menjadi Agenda Pemerintah
Faktor-faktor yang menyebabkan permasalahan masyarakat masuk agenda
pemerintah (Anderson; Islamy, 2001), yaitu:
 Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok, menuntut
tindakan pemerintah untuk mengatasi ketidak-seimbangan tersebut.
 Para pemimpin politik dapat menjadi faktor penting dalam penyusunan agenda
pemerintah
 Timbulnya krisis atau peristiwa luar biasa dapat menyebabkan suatu masalah
masuk ke dalam agenda pemerintah.
 Adanya gerakan-gerakan protes yang merupakan salah satu penyebab yang
dapat menarik perhatian pembuat kebijakan dan memasukkannya ke dalam
agenda pemerintah.

Menurut Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn,
1986, suatu isu akan cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk
dijadikan agenda kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa syarat tertentu. :
 Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi
bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman
serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru
yang jauh lebih hebat di masa datang.
 Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat
menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik.
 Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang
banyak bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa
liputan media massa yang luas.
 Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
 Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam
masyarakat.
 Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya
sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya
II.6. Aliran-aliran Penyusunan Agenda Setting
Terdapat tiga aliran di dalam tahapan agenda setting menurut John W.KIingdon
yaitu aliran masalah (problem stream), aliran kebijakan (policy steram), dan aliran
politik (political stream). Melalui ketiga aliran tersebut isu-isu berproses sehingga
menjadi kebijakan publik. Melalui aliran masalah (problem steam) isu-isu
diintrepresentasikan dan diseleksi oleh pemerintah sebagai suatu malsalah yang
baru dibuat penyelesainnya. Melalui aliran kebijakan (policy stream) dibuat
alternatif penyelesaiannya atau solusi atas masalah. Dalam aliran ini, teknokrat dan
akademisi berupaya meyakinkan pihak birokrat atau politisi, melalui alternatif-
alternatif solusi masalah. Pada aliaran yang terakhir yaitu aliran politik (political
stream), permasalahan –permasalahan tersebut kemudian diproses oleh kekuatan –
kekuatan politik untuk ditetapkan sebagai agenda kebijakan. Ketiga aliran saling
bertemu ketika terbukanya jendela kebijakan (policy window) dan pertemuan itu
dikelola oleh pihak – pihak yang mempunyai kemampuan dan sumber daya (policy
entrepreneur).

Gambar 2.4 Alur Proses Aliran Agenda Setting Menurut John W.Klingdon (1995)
II.7. Fase-Fase Proses Penyusunan Kebijakan
Apabila sejumlah masalah publik telah tampil sebagai agenda pemerintah, langkah
selanjutnya adalah kewajiban pembuat kebijakan untuk memprosesnya dalam
beberapa fase sebagai berikut (Jones, 1996):
1) Problem definition agenda : pada fase ini masalah publik dirumuskan dan
mendapat perhatian serius dari pembuat kebijakan
2) Proposal agenda : pada fase ini masalah publik telah mencapai tingkat diusulkan
untuk menjadi kebijakan publik; jadi ada pergeseran dari perumusan masalah
menuju pemecahan masalah.
3) Bargaining agenda : pada fase ini usulan-usulan kebijakan ditawarkan untuk
memperoleh dukungan secara aktif dan serius
4) Continuing agenda : pada fase ini suatu masalah didiskusikan dan dinilai secara
terus menerus (terikat dengan perubahan sosial yang terjadi secara terus
menerus pula) sampai agenda ini dinyatakan gagal atau berhasil menjadi
kebijakan publik.

II.8. Model-Model Perumusan Kebijakan


Perumusan kebijakan akan lebih mudah dimengerti apabila menggunakan suatu
model atau pendekatan tertentu. Oleh karena itu, beberapa ahli mengembangkan
model-model perumusan kebijakan untuk mengkaji proses perumusan kebijakan
agar lebih mudah dipahami. Beberapa model perumusan kebijakan yang umum
digunakan antara lain :
1) Model Sistem-Politik
Model ini didasarkan pada konsep-konsep teori informasi (inputs, withinputs,
outputs dan feedback) dan memandang kebijakan sebagai respon suatu sistem
politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (dalam hal ini yaitu sosial, politik,
ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada di sekitarnya. model
ini memandang kebijakan sebagai hasil (output) dari sistem politik yang berfungsi
mengubah tuntutan-tuntutan (demands), dukungan-dukungan (supports), dan
sumber-sumber (resources), menjadikan ini semua adalah masukan–masukan
(inputs), dimana masukan atau inputs ini menjadi keputusan-keputusan atau
kebijakan-kebijakan yang otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat (outputs).
perumusan kebijakan dengan menggunakan model sistem ini mengandaikan
bahwa kebijakan merupakan hasil dari output dari sistem politik.
2) Model Rasional Komprehensif
Model teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan sebagai maximum
social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih
kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Model ini
mengatakan bahwa proses penyusunan kebijakan harus didasarkan pada
kebutuhan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil
adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Dengan kata
lain, model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi dan aspek ekonomis.

3) Model Inkrementalis
Model ini merupakan model penambahan (inkrementalis). Model ini lahir
berdasarkan kritik dan perbaikan terhadap model rasional-komprehensif dengan
mengubah (memodifikasi) sedikit-sedikit kebijakan yang sudah dibuat oleh model
rasional komprehensif (Islamy,2004: 59). Model ini melihat bahwa kebijakan
merupakan variasi atau kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Model ini dapat
dikata-kan sebagai model pragmatis/praktis.Pendekatan model ini diambil ketika
pembuat kebijakan berhadapan dengan keterba-tasan waktu, ketersediaan
informasi, dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara
komprehensif. Dengan kata lain, model ini memberikan kebijakan tamba-han
yang baru dengan sedikit memodifikasi kebijakan di masa lalu hanya saja
kebijakan penambahan (inkremental). Selain 3 model diatas ada juga model
campuran yang memadukan konsep rasional dan konsep inkremental.

II.9. Tahapan Kebijakan Selanjutnya


1) Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang penting, bahkan mungkin lebih
penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan akan sekedar impian atau
rencana yang tersimpan dalam arsip apabila tidak diimplementasikan (Udji;
Abdul Wahab, 1991). Implementation Gap yaitu suatu keadaan dimana dalam
suatu proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan
antara apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dengan apa yang
senyatanya dicapai sebagai hasil dari implementasi kebijakan (Andrew Dunsire;
Abdul Wahab, 2001). Implementation Capacity adalah kemampuan suatu
organisasi untuk melaksanakan/mengimplementasikan kebijakan agar tujuan
yang telah ditetapkan tersebut dapat dicapai (Abdul Wahab, 2001). Kegagalan
implementasi kebijakan ada dua kategori, yaitu : non implementation (tidak
dapat diimplementasikan) dan unsuccessful implementation (implementasi yang
kurang berhasil). Variabel yang mempegaruhi implementasi menurut George C
Edward III) :
1. Komunikasi
2. Sumber daya (SDM + Financial)
3. Disposisi (watak)
4. Struktur Organisasi (SP dan SOP)

Keberhasilan implementasi kebijakan publik menurut Merilee S Grindle (1980)


dipengaruhi oleh :
1. Isi Kebijakan
2. Lingkungan Implementasi

2) Monitoring Kebijakan Publik


Monitoring adalah proses kegiatan pengawasan terhadap implementasi
kebijakan yang meliputi keterkaitan antara implementasi dan hasil-hasilnya
(outcomes). Monitoring bukan sekedar pengumpulan informasi, karena
monitoring memerlukan adanya keputusan-keputusan, tentang tindakan apa
yang akan dilakukan apabila terjadi penyimpangan dari yang telah ditentukan.
Tujuan dilakukannya monitoring menurut William N Dunn, 1994 adalah :
 Compliance (Kesesuaian/Kepatuhan)
 Auditing (Pemeriksaan)
 Accounting (Akuntansi)
 Explanation (Penjelasan)

3) Evaluasi Kebijakan Publik


Evaluasi kebijakan adalah suatu pengkajian secara sistematik dan empiris
terhadap akibat dari suatu kebijakan dan program pemerintah dan
kesesuaiannya dengan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan tersebut
(David Mackmias; Howlett and Ramesh, 1995). Evaluasi kebijakan selalu
melibatkan para birokrat, politisi, dan juga seringkali melibatkan pihak-pihak
diluar pemerintah (Howlett and Ramesh, 1995). Evaluasi kebijakan merupakan
aktivitas ilmiah yang perlu dilakukan oleh para pembuat kebijakan di dalam tubuh
birokrasi pemerintah (Samodra Wibawa, et al, 1994). Bentuk-bentuk evaluasi
kebijakan (Howlett and Ramesh, 1995) antara lain :
 Administrative Evaluation (Evaluasi Administratif)
 Effort Evaluation
 Performance Evaluation
 Effectiveness Evaluation
 Process Evaluation
 Judicial Evaluation (Evaluasi Yudisial)
 Political Evaluation (Evaluasi Politis)

III. Tinjauan Empiris (Studi Kasus)


1) Hariyadi, 2016 BK DPR RI membuat kajian terkait agenda setting
kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Untuk
Ketahanan Listrik Nasional (studi di Jepara dan Pangkal Pinang). Proses
agenda-setting pembangunan PLTN yang pernah menjadi kebijakan formal
pada masa pemerintahan sebelumnya dan pada akhirnya dibatalkan sampai
sekarang belum menunjukkan arah perubahan yang berarti. Namun kuatnya
persoalan politik dalam konteks kentalnya resistensi sosial yang beragam,
baik dari masyarakat di sekitar tapak PLTN dan masyarakat secara umum,
akademisi, pegiat anti-nuklir dan sebagian pemangku kepentingan utama
menjadikan proses ini masih tetap belum mengarah pada proses
pengambilan keputusan secara formal. Meskipun demikian, dalam hal untuk
ketahanan listrik maka kelayakan pembangunan PLTN akan menjadi pilihan
yang tetap rasional dalam jangka panjang. Studi dengan pendekatan kualitatif
dan berbasis sumber data primer dan sekunder dilakukan di Kabupaten
Jepara, Provinsi Jateng dan Pangkal Pinang, Provinsi Babel, ditujukan untuk
melihat sejauh mana gambaran perkembangan wacana dan kelayakan
pembangunan PLTN selama ini dalam mendukung program pembangkit listrik
nasional dalam jangka panjang. Hasil studi ini menunjukkan bahwa Pertama,
dinamika agenda-setting pembangunan PLTN belum menunjukkan adanya
kemauan politik dari pemerintah seiring dengan masih terbatasnya respons
dukungan daerah secara umum kecuali di Babel. Itu pun masih dalam
konteks kepentingan pemenuhan listrik yang sifatnya lokalitas. Dengan
demikian, dalam jangka menengah pembangunan PLTN belum dapat
berperan dalam bauran pembangkit listrik secara nasional. Kedua, kelayakan
pembangunan PLTN akan menjadi pilihan yang rasional dalam jangka
panjang dalam rangka ketahanan energi (listrik) nasional. Keputusan
pemerintah untuk menyiapkan peta jalan pengembangan nuklir pada tahun
2016 menunjukkan bahwa proses agenda setting pembangunan PLTN akan
memulai babak baru dan semakin kuat ke depan. Namun demikian, sekali
proses agenda-setting pembangunan PLTN telah mengarah pada keputusan
secara formal, bagaimana pun pemerintah masih harus menghadapi
tantangan berat dalam implementasinya karena masih kuatnya resistensi
masyarakat dan sejumlah pemangku kepentingan utama, perlunya dukungan
kelembagaan dengan otoritas yang cukup dan dukungan finansial yang
memadai, serta perlunya kejelasan tujuan pengembangannya, yakni apakah
politis/sentimen nasionalisme atau penguatan ketahanan suplai listrik jangka
panjang.

2) Eki Darmawan dan Achmad Nurmandi, 2015 Universitas Muhamadiyah


Yogyakarta dan Universitas Maritim Raja Ali Haji menyusun kajian
agenda setting dalam perencanaan pembangunan perbatasan di
Kepulauan Riau. Penelitian ini akan melihat bagaimana Agenda Setting yang
dilakukan pemerintah dalam perencanaan pembangunan daerah perbatasan
KEPRI, dimana akan membahas aliran masalah dan aliran politik dalam
agenda kebijakan sampai ke kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau sebagai daerah perbatasan. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian dilakukan di Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Kepulauan Riau, Badan
Pengelola Perbatasan Daerah (BNPPD) Provinsi Kepulauan Riau dan Komisi
III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepulauan Riau.Hasil
dari penelitian ini adalah Pertama, aliran masalah menjelaskan isu dan
masalah yang terjadi di perbatasan KEPRI yakni masalah terbatasnya
infrastruktur seperti sarana dan prasarana dasar seperti pemukiman,
pendidikan, sarana kesehatan, keamanan, kemudian juga sarana dan
prasarana transportasi, telekomunikasi, dan lainnya menyebabkan wilayah ini
memiliki aksesibilitas yang rendah dan terisolasi dari wilayah sekitarnya.
Kedua, aliran Politik menjelaskan proses kebijakan yang dipengaruhi unsur
politik dalam agenda-agenda kebijakan, misalnya pandangan dan tujuan yang
akan dicapai masih memiliki persepsi berbeda, kemudian partisipasi aktor-
aktor kebijakan masih relatif rendah, penanganan masih parsial, koordinasi
belum berjalan dengan baik, komitmen dan anggaran pembangunan
perbatasan di daerah relatif masih minim. Ketiga, Aliran Kebijakan
menjelaskan beberapa prioritas yang muncul yakni, Pengembangan industri
pengolahan, perikanan dan kelautan serta pariwisata secara berkelanjutan,
serta kemandirian dan ketahanan pangan masyarakat, Peningkatan
konektivitas antar pulau serta sarana dan prasarana dasar masyarakat,
Peningkatan kualitas lingkungan hidup, Mitigasi bencana alam dan perubahan
iklim, Peningatan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan
masyarakat yang berkeadilan dan berbudaya, Peningkatan kualitas
pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik.

IV. Kesimpulan
1) Dalam agenda setting sangat sarat akan praktek politik dan dipengaruhi oleh
aktor-aktor atau tokoh-tokoh politik maupun birokrat yang berkepentingan.
Namun demikian proses agenda setting juga melihat rasionalitas terkait apakah
isu masalah layak masuk agenda pemerintah, kemungkinan penyelesaian,
pencapaian tujuan dan harus terlihat dampak yang diberikan pada masyarakat.
2) Aliran-aliran dalam penyusunan agenda setting harus dijabarkan sejelas mungkin
dan perlu respon dari publik agar dapat diangkat menjadi agenda pemerintah.
Seringkali aliran yang menjadi hambatan penyusunan agenda adalah aliran
politik dikarenakan pada posisi ini banyak pihak yang berkepentingan yang
mencoba menyampaikan responnya pada rencana kebijakan.
3) Dalam agenda setting penentuan model kebijakan yang rasional tidak dapat
berdiri sendiri dan seringkali dipengaruhi oleh pendekatan politis dan kebijakan-
kebijakan pemerintahan sebelumnya (inkremental), sehingga untuk kepentingan
masyarakat banyak maka dapat menggunakan pendekatan campuran. Selain itu
respon pemerintah atas masukan dari masyarakat sangat menentukan melalui
konsep partisipatif.
Referensi
 Agustina, T. (2017). Jipsi. Vii(2). Peran Agenda Setting Media Massa Dalam
Kebijakan Penetapan Harga Eceran Tertinggi (Het) Beras Oleh Pemerintah.
Universitas Pelita Harapan, Dki Jakarta

 Kartini, D. S., Yuningsih, N. Y., & Daerah, P. (2016). Agenda Setting Dalam.
2(12), 66–94.

 Kebijakan publik 2013 ilmu administrasi negara utami dewi. (2013).

 MH, I. (2016). DAN KAJIAN TEORI PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK Sholih


Muadi, Konsep Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Univeristas Sofwani,
Ahmad. JRP (Jurnal Review Politik), 6(2), 195–224.
http://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/JRP/article/view/1078

 Mulyadi, U. (2015). Relevansi Teori. Jurnal Ilmiah Komunikasi MAKNA, 5(2),


105–113. https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/viewFile/13217/9459

 Nazaruddin. (2014). Berbagai Hal Penting Menyangkut Kebijakan Publik.


Kebijakan Publik, 169.

 Ri, B. K. D. P. R. (2016). ( STUDI DI JEPARA DAN PANGKAL PINANG ) Study


Case in Jepara and Pangkal Pinang ). 2, 127–142.

 Rianto, P. (2010). Opini Publik, Agenda Setting, Dan Kebijakan Publik. Jurnal
Komunikasi, 5(1), 31–40. https://doi.org/10.20885/komunikasi.vol5.iss1.art4

 Utami, D. (n.d.). Analisis kebijakan publik ilmu administrasi negara 1. 1–13.

 Ratih Indah Puspita. (2016). ANALISIS PENYUSUNAN AGENDA KEBIJAKAN


PUBLIK

 (STUDI KAJIAN AGENDA PENYUSUNAN KEBIJAKAN PENYELESAIAN


PELANGGARAN RTRW OLEH INDUSTRI CV. EVERGREEN INDOGARMENT).
Resma, 3(2), 13–22. Universitas Diponegoro
AGENDA-SETTING PEMBANGUNAN PLTN DAN PENCAPAIAN KETAHANAN LISTRIK
(STUDI DI JEPARA DAN PANGKAL PINANG)
(The Agenda-Setting of Nuclear Power Plant Development and Achievement of Electrical Resistance,
Study Case in Jepara and Pangkal Pinang)
Hariyadi
Puslit, Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, BK DPR RI
Gedung Nusantara 1, Lantai 2, Setjen DPR RI
Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta, 10270
Email: hariyadi@dpr.go.id
Naskah diterima: 28 Juli 2016
Naskah direvisi: 03 Oktober 2016
Naskah diterbitkan: 30 Desember 2016

Abstract
Agenda-setting process for the development of nuclear power generation (the PLTN), a process which had ever got a strong political
endorsement during the preceeding government, has not indicated any significant change. But a strong political issue driven by social
oppositions arising both from the potential sites of the generation and the people at large, academicians, anti-nuclear movements
and small part of the main related stakeholders have indicated that the process to a formal decision remains uncertain. Nevertheless,
in the framework to achieve energy security, for the PLTN development agenda remains a rational alternative in the long run. By using
qualitative method and with the focus on the primary and secondary data conducted in the Jepara District, Central Java Province
and Pangkal Pinang District, Bangka Belitung Province, this study aims to see the progress of this agenda-setting as well as the
feasibility of the agenda in achieving energy security in the long run. The study shows that (1) the agenda-setting process for the
PLTN development has not indicated a strong political will from the government due to limited supports from the public and regional
governments and (2) the feasibility of the PLTN development itself remains a rational policy option in the long run for sustaining
energy security. It is therefore, once the agenda-setting process has come to a formal policy, the government has to manage serious
challenges for its implementation politically and socially.
Keywords: the PLTN, 35.000 power programme, agenda-setting, energy security, policy implementation

Abstrak
Proses agenda-setting pembangunan PLTN yang pernah menjadi kebijakan formal pada masa pemerintahan sebelumnya dan
pada akhirnya dibatalkan sampai sekarang belum menunjukkan arah perubahan yang berarti. Namun kuatnya persoalan politik
dalam konteks kentalnya resistensi sosial yang beragam, baik dari masyarakat di sekitar tapak PLTN dan masyarakat secara umum,
akademisi, pegiat anti-nuklir dan sebagian pemangku kepentingan utama menjadikan proses ini masih tetap belum mengarah pada
proses pengambilan keputusan secara formal. Meskipun demikian, dalam hal untuk ketahanan listrik maka kelayakan pembangunan
PLTN akan menjadi pilihan yang tetap rasional dalam jangka panjang. Studi dengan pendekatan kualitatif dan berbasis sumber
data primer dan sekunder dilakukan di Kabupaten Jepara, Provinsi Jateng dan Pangkal Pinang, Provinsi Babel, ditujukan untuk
melihat sejauh mana gambaran perkembangan wacana dan kelayakan pembangunan PLTN selama ini dalam mendukung program
pembangkit listrik nasional dalam jangka panjang. Hasil studi ini menunjukkan bahwa (1) dinamika agenda-setting pembangunan
PLTN belum menunjukkan adanya kemauan politik dari pemerintah seiring dengan masih terbatasnya respons dukungan publik
dan Pemda dan (2) kelayakan pembangunan PLTN bagaimana pun akan tetap menjadi pilihan yang rasional dalam jangka panjang
untuk ketahanan energi (listrik) nasional. Dengan demikian, ketika proses agenda-setting pembangunan PLTN telah menjadi putusan
formal, pemerintah masih harus mengelola tantangan implementasinya secara sosial dan politik.
Kata kunci: PLTN, program listrik 35.000 MW, agenda-setting, ketahanan energi, implementasi kebijakan

I. PENDAHULUAN kuatnya resistensi masyarakat (Amir, 2010). Secara


A. Latar Belakang politis, pembukaan wacana pembangunan PLTN kini
Program pembangkitan listrik 35.000 MW semakin kuat. Hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP)
membangkitkan kembali wacana pembangunan PLTN Komisi VII DPR RI dengan Ditjen Ketenagalistrikan
yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan (Ditjen Ketenagalistrikan, 2015) menguatkan wacana
sebelumnya. Wacana ini sebenarnya telah berjalan tersebut karena sejumlah pertimbangan berikut:
sejak awal 1970-an. Kebijakan terbaru tentang hal (1) program percepatan pembangunan pembangkit
ini dilansir pada pertengahan tahun 2005 di mana listrik 10.000 MW tahap I sampai sekarang belum
Indonesia telah menetapkan rencana pembangunan tuntas. Dengan situasi seperti ini, skeptisisme parlemen
PLTN yang akan dioperasionalkan pada tahun 2016 pun sama kuatnya untuk program percepatan
di Gunung Muria dengan kapasitas mencapai 4.000 pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap
MW sampai tahun 2025 akhirnya dibatalkan akibat II; (2) keterbatasan anggaran, infrastruktur listrik,

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 127


isu perizinan, dan lambatnya pengembangan energi kedudukannya sebagai sumber energi yang berisiko
terbarukan; (3) tingginya kebutuhan sumber energi dan belum sepenuhnya dapat dikelola secara mandiri,
primer; dan (4) persoalan pembangunan PLTN lebih pengembangan PLTN masih harus menghadapi
bersifat politis selama ini (Ditjen Ketenagalistrikan, tantangan yang berat secara politis (Setianto, 2015;
2015). Teske, et al., 2007). Situasi ini semakin menguatkan
Dari sisi kebutuhan, penguatan diversifikasi tantangan ketahanan energi dalam jangka panjang.
pembangkitan listrik pun memiliki alasan yang kuat.
Rata-rata pertumbuhan penjualan listrik secara B. Permasalahan
nasional mencapai 7,1 persen dalam kurun waktu Pesimisme publik dan para pengambil
2009-2014. Sementara itu, kenaikan ini tidak diimbangi keputusan politik di DPR RI tentang implementasi
dengan penambahan kapasitas pembangkit yang kebijakan pembangkitan listrik 35.000 MW mendorong
hanya mencapai 5,2 persen per tahun. Data menunjuk- kembalinya wacana pembangunan PLTN. Pesimisme
kan bahwa sampai tahun 2014, kapasitas pembangkit ini dilatarbelakangi oleh persoalan rendahnya tingkat
PLN dan swasta baru mencapai 43.457 MW (33.449 realisasi program percepatan pembangunan pembangkit
MW di sistem Jawa-Bali dan 9.958 MW di sistem listrik pemerintahan sebelumnya, keterbatasan anggaran,
kelistrikan wilayah Sumatera dan Indonesia Timur). infrastruktur dan rumitnya perizinan serta lambatnya
Kapasitas pasokan listrik tersebut baru memenuhi pengembangan energi terbarukan, dan adanya
tingkat elektrifikasi sejumlah 84 persen secara nasional. kesadaran bahwa penolakan PLTN lebih bersifat
Akibatnya, perkiraan kebutuhan listrik akan semakin politis selama ini.
tinggi dalam jangka menengah untuk mencapai Data menunjukkan bahwa penjualan rata-rata
target 96 persen tingkat elektrifikasi nasional pada tenaga listrik mengalami peningkatan sebesar 7,8
tahun 2019 (PT PLN, 2014). Dengan demikian, tanpa persen per tahun dalam kurun waktu lima tahun
kebijakan terobosan setidak-tidaknya dalam empat terakhir, dari 133 TWh pada tahun 2009 menjadi
aspek, yakni sistem jaringan, kelembagaan pem- 197,3 TWh pada tahun 2014 dengan tingkat kenaikan
bangunan dan penyediaan ketenagalistrikan, sinergitas jumlah pelanggan listrik rata-rata 3 juta pelanggan
program-program pembangunan ketenagalistrikan, per tahun. Sementara itu, dengan penerapan kriteria
dan penyatuan pembangunan listrik berbasis energi cadangan 35 persen beban puncak dibandingkan
fosil dan energi baru terbarukan (EBT), program pem- dengan daya mampu pembangkit, sistem kelistrikan
bangkitan 35.000 MW dan sisa program 10.000 MW nasional masih harus menyewa pembangkit untuk
tahap I dan II dinilai sulit direalisasikan (Handoyo, 2014; memenuhi kekurangan pasokan listrik sebesar kira-
Kementerian ESDM, 2015). kira 3.600 MW.
Namun demikian, wacana pembangunan PLTN Dalam konteks inilah, menempatkan isu
bagaimana pun belum mendapat respons kuat pengembangan PLTN untuk mendorong program
pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun pengembangan pembangkit listrik nasional menjadi
2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) penting untuk dipertimbangkan sebagai alternatif
telah memberikan ruang yang sangat terbatas bagi pilihan dalam mendukung kebutuhan listrik ke
dibangunnya PLTN. Kebijakan ini sekaligus memperteguh depan (Ditjen Ketenagalistrikan, 2015). Kelayakan
kebijakan yang ditempuh pemerintahan sebelumnya di pembangunan PLTN secara teknis dan tingginya
mana pengembangan tenaga nuklir untuk kepentingan tingkat kebutuhan listrik dalam jangka menengah
pasokan listrik masih menjadi pilihan yang paling akhir. dan panjang menjadikan pilihan PLTN sebagai kebijakan
Hal ini berarti bahwa wacana pembangunan PLTN sama yang semakin rasional meskipun secara politis dan dari
sekali belum menjadi menu dalam penentuan agenda sisi pilihan kebijakan energi nasional, pembangunan
kebijakan (agenda-setting) meskipun salah satu dasar PLTN belum mendapatkan dukungan yang memadai.
hukum pemanfaatan tenaga nuklir sebenarnya telah Hasil studi kelayakan tapak dan non-tapak BATAN
memberikan ruang bagi pemanfaatan tenaga nuklir rencana pembangunan PLTN di Bangka Barat dan
untuk tujuan damai. Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Diakui bahwa Pasal 11 ayat (2) PP No. 79 Tahun menunjukkan bahwa PLTN layak dibangun. Kasus
2014 tentang KEN menegaskan bahwa prioritas yang sama kebijakan pembangunan PLTN di Gunung
pengembangan energi nasional harus dilakukan dengan Muria, Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Studi Englert,
keseimbangan keekonomian energi dan didasarkan et. al. (2012) menunjukkan bahwa PLTN berpotensi
pada prinsip-prinsip optimalisasi energi non-nuklir. dalam menutupi kebutuhan listrik secara global
Dengan demikian, pengembangan energi nuklir tetap meskipun keberlanjutannya akan ditentukan oleh
dimungkinkan sepanjang dipertimbangkan dalam aspek faktor ketersediaan bahan baku dan dukungan politik
keamanan pasokan energi nasional dalam skala besar pemerintah. Dalam konteks Indonesia, sebuah studi
dan menjadi pilihan terakhir. Namun demikian, dengan (Suleiman, 2013) juga menunjukkan bahwa agenda

128 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
pembangunan PLTN sejak pemerintahan Orde Baru faktor-faktor yang memperkuat proses penentuan
sebenarnya lebih bersifat pragmatis karena potensi agenda menjadi agenda formal menuju dimulainya
semakin besarnya kebutuhan pasokan listrik ke proses pembuatan keputusan. Faktor-faktor itu, antara
depan. Namun demikian, persoalan kelayakan politis lain suasana publik secara umum, suksesi (turnover)
dan kelembagaan pengelola PLTN yang selama ini eksekutif dan legislatif termasuk di dalamnya
menjadikan agenda pembangunan PLTP mengalami terobosan visi dan misi pemerintahan yang baru dan
kegagalan (Tanter, 2015). Dengan mendasarkan pada beragam kampanye dari para kelompok kepentingan
studi kasus di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Howlett & Ramesh, 1995; Nugroho, 2014).
dan Provinsi Jawa Tengah, rumusan penelitian ini Di atas kertas, dengan merujuk pada semakin
diarahkan untuk menjawab dua pertanyaan berikut tingginya kebutuhan pasokan listrik, terbatasnya
(1) bagaimana gambaran perkembangan wacana pasokan sumber energi primer sebagai sumber
pembangunan PLTN selama ini? dan (2) sejauh mana pembangkit listrik dan kuatnya kebijakan terobosan
kelayakan pembangunan PLTN secara nasional? pemerintahan sekarang dalam membangun pembangkit
listrik lima tahun ke depan, ketiga arus tersebut terlihat
C. Tujuan begitu kuat. Pada tataran arus masalah, serangkaian
Penelitian ini ditujukan untuk melihat (1) persoalan pasokan listrik terjadi karena terbatasnya
seberapa penting kedudukan PLTN dalam memenuhi pengembangan pembangkit listrik dan tingginya
ketahanan listrik nasional, (2) sejauh mana kondisi kebutuhan energi listrik. Terlambatnya penyelesaian
kekinian agenda pembangunan PLTN di mata program percepatan pembangunan pembangkit listrik
pemangku kepentingan terkait, dan (3) sejauh mana 10.000 MW tahap I dan II menegaskan hal ini. Pada
kelayakan pembangunan PLTN saat ini. Sementara tataran arus kebijakan, serangkaian kajian akademisi,
itu, manfaat penelitian ini diharapkan menjadi LSM dan bahkan lembaga pemerintahan telah
masukan bagi AKD terkait dalam rangka mendukung menunjukkan bahwa persoalan pasokan ketersediaan
pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI dalam listrik telah mencapai titik kritis. Sementara itu, pada
mengawal kebijakan pemerintah ke depan. tataran arus politik, naiknya kepemimpinan Presiden
Djoko Widodo dengan program pembangkit 35.000 MW
II. KERANGKA TEORI dalam lima tahun ke depan membutuhkan kebijakan
Pewacanaan kembali pembangunan PLTN dapat terobosan dalam mencapainya termasuk alternatif
dilihat dalam kerangka proses penentuan agenda kebijakan sumber pasokan energi primer lainnya. Itu artinya,
(agenda-setting) oleh para pengambil keputusan. Proses pendekatan kekuasaan dan/atau politik sebenarnya
ini adalah pengakuan pemerintah terhadap suatu telah mendasari keputusan program kebijakan tersebut
masalah publik yang perlu mendapatkan respons (Parsons, 2011). Dengan demikian, pemerintah
segera. Pendek kata, penentuan agenda adalah dihadapkan tidak hanya pada tantangan agenda-
sebuah proses melalui mana berbagai tuntutan dari setting tetapi juga bagaimana mengimplementasikan
berbagai kelompok masyarakat diterjemahkan ke keputusan tersebut. Karena itu, penggunaan teori/
dalam menu yang saling bersaing untuk mendapatkan pendekatan model implementasi kebijakan sangat
perhatian serius dari para pengambil keputusan. relevan dalam konteks studi ini.
Namun demikian, secara empiris proses penentuan Persoalan implementasi kebijakan tidak hanya
agenda tersebut sering muncul secara top down. berkutat pada persoalan bagaimana menjalankan
Dalam perjalanannya, proses agenda setting ini setiap keputusan politik di lapangan dan karenanya
tidak pernah akan sampai pada dimulainya proses ia tidak bisa dipandang sebagai hal sederhana dalam
pembuatan kebijakan publik selama belum terbukanya siklus kebijakan publik. Awalnya, proses implementasi
apa yang disebut sebagai jendela kebijakan, ’policy- dapat didekati dengan cara yang rasional dan
windows’. Jendela kebijakan secara teoritis diartikan melihatnya sebagai hanya sekedar memerintahkan
sebagai persinggungan di antara ketiga ’arus’, yakni para administrator untuk menjalankan putusan
arus masalah, arus kebijakan dan arus politik. Arus politik di lapangan. Model ini sering disebut sebagai
masalah (problem streams) merujuk pada persepsi pendekatan sistem rasional yang sifatnya top-down.
publik secara umum terhadap masalah yang dianggap Gagasan ini dikembangkan oleh sejumlah analis
sebagai masalah publik yang memerlukan tindakan seperti Andrew Dunsire, Christopher Hood dan
pemerintah dan upaya pemerintah sebelumnya untuk Lewis Gunn. Menurut mereka, proses implementasi
mengatasi masalah tersebut. Sementara itu, arus kebijakan hanya bergantung pada bagaimana rantai
kebijakan (policy streams) diartikan sebagai hasil kajian komando, dan koordinasi dan pelaksanaan kontrol
para ahli terhadap suatu masalah tertentu termasuk bisa dilakukan dengan baik. Dalam kerangka ini,
di dalamnya berbagai usulan penyelesaiannya. Dan (Hood, 1976) misalnya, menegaskan beberapa syarat
terakhir, arus politik (political streams) merujuk pada keberhasilan implementasi kebijakan, yakni (1)

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 129


kebijakan itu dihasilkan oleh sebuah organisasi yang peneliti itu ke-6 elemen ini pun tidak mungkin dicapai
solid dan dicirikan dengan garis otoritas yang kaku selama periode awal implementasi atas kebijakan
dan tegas; (2) norma-norma dan tujuan tertentu yang diarahkan untuk mencapai perubahan perilaku
akan ditegakkan; (3) adanya koordinasi yang kuat yang mendasar (Sharkansky, 2002; Van Meier &
antar dan intra-organisasi; dan (5) kecilnya tekanan Van Horn dalam Parson, 2011). Sejumlah variabel
waktu (Parsons, 2011). yang turut memengaruhi dalam hal ini misalnya
Dalam praktiknya, pendekatan ini tidak mudah menyangkut (1) konflik kepentingan antarpemangku
dilakukan. Menurut Lipsky dalam Parsons (2011) kepentingan, (2) koordinasi antarlembaga pelaksana,
misalnya, telah menulis bahwa keberhasilan (3) terlalu tingginya tuntutan dari atas dan bawah,
implementasi kebijakan perlu memahami interaksi dan (4) saling lempar tanggung jawab antarlembaga
antara birokrasi pelaksana dengan masyarakat target. pelaksana/power of inaction (Sharkansky, 2002; Parsons,
Bersama-sama dengan R. Wetherley, studi Lipsky 2011; Nugroho, 2014).
membuktikan bahwa model rasional top-down tidak
efektif. Dari kajian inilah muncul pendekatan bottom- III. METODOLOGI
up, suatu pendekatan yang memandang bahwa A. Jenis Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
implementasi di lapangan seharusnya memberikan Penelitian ini bersifat kualitatif dengan sumber
fleksibilitas dalam penerapan kebijakan publik. data primer dan sekunder. Data primer yang dipakai
Model ini memandang proses sebuah negosiasi dan adalah hasil wawancara mendalam dan serangkaian
pembentukan konsensus. Dalam bahasa Dunleavy, dokumen resmi yang terkait agenda pembangunan
proses perumusan kebijakan mungkin “dibelokkan” PLTN selama ini seperti RUPTL PT PLN tahun 2015-
oleh implementasinya yang didominasi oleh 2019 dan laporan Raker Komisi VII dan Pemerintah.
pelaksana profesional (Parsons, 2011). Sementara itu, data sekunder mencakup serangkaian
Pendekatan ini pun tidak seluruhnya meyakinkan informasi umum/khusus, baik dari hasil penelitian,
analisis tentang implementasi kebijakan dan karena kajian/analisis, dan sumber berita media massa
itu munculah gagasan bahwa implementasi harus terkait lainnya.
dilihat dalam konteks interaksi manusia. Dengan kata Sementara itu, teknis pengumpulan data dilakukan
lain, implementasi sebagai proses yang distrukturisasi dengan cara studi kepustakaan dan wawancara. Untuk
oleh konflik dan tawar-menawar dalam mencapai mendapatkan data tentang pandangan masyarakat
sebuah tujuan yang diakui bersama. Pandangan atas sejauh mana kelayakan pengembangan PLTN
ini juga sejalan dengan pandangan Bardach yang dalam mendukung realisasi program pembangkit listrik
menilai implementasi kebijakan seperti halnya tawar- nasional ke depan, dibatasi pada sejumlah pemerhati
menawar, persuasi dan manuver dalam kondisi dalam hal ini akademisi/peneliti dan/atau perwakilan
ketidakpastian. Model Bardach ini menguatkan masyarakat/LSM terkait dan pemangku kepentingan
anggapan bahwa politik adalah sesuatu yang dari unsur perwakilan lembaga publik terkait di daerah
melampaui institusi ‘politik’ resmi karena politik penelitian, dan beberapa perwakilan masyarakat di
tidak berhenti setelah RUU ditetapkan menjadi UU, sekitar lokasi pendirian PLTN.
atau politik tidak berhenti pada proses politik atau
tidak berhenti dalam proses pembuatan keputusan. B. Waktu dan Tempat Penelitian
Oleh karena itu, implementasi kebijakan bisa dilihat Kegiatan pengumpulan data sekunder dilakukan
sebagai bentuk lain dari politik yang berlangsung di Jakarta dan dimulai bulan Maret 2015 s.d. Juni
di dalam domain kekuasaan yang tidak terpilih 2015. Sementara itu, kegiatan penelitian lapangan
(Parsons, 2011). akan dilakukan di lokasi yang pernah direncanakan
Model implementasi yang merupakan sintesa menjadi lokasi PLTN, yakni Provinsi Bangka Belitung
dari model top-down dan bottom up, misalnya telah dan Provinsi Jawa Tengah. Kegiatan di wilayah
dikembangkan Mazmanian & Sabatier dalam Howlett tersebut dimulai pada bulan Juni dan Juli 2015.
& Ramesh 1979. Mereka misalnya, menetapkan 18
elemen yang akhirnya diperas menjadi 6 elemen yang IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
turut menentukan implementasi kebijakan, yakni (1) A. Perbandingan Respons Daerah Lokasi
tujuan yang jelas dan konsisten, (2) landasan teoritik Pembangunan PLTN
yang kuat atas hubungan kausalitas yang relevan Sejumlah narasumber di wilayah Pangkal
dengan isu kebijakan, (3) kesiapan lembaga pelaksana Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel),
dengan derajat otoritas dan dukungan finansial yang menunjukkan pandangan yang mendukung kehadiran
memadai, (4) dukungan kelompok kepentingan dan PLTN secara ekonomis, teknokratis dan strategis.
lembaga pemerintah, (5) dukungan konstituen, dan Kehadiran PLTN dinilai menjadi pilihan yang rasional dan
(6) kondisi sosio-ekonomi yang memadai. Bagi kedua sejalan dengan politik energi nasional, PLTN sekaligus juga

130 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
sejalan dengan visi pengelolaan kelistrikan yang efisien. Dalam pemahaman ini, keberadaan PLTN menjadi
Bagi mereka, pandangan kontra dianggapnya wajar bagian penting dari agenda 35.000 MW meskipun juga
karena kecenderungan masyarakat yang masih melihat berlaku bahwa dengan kehadiran PLTN pasokan listrik
PLTN identik dengan kecelakaan dan/atau radiasi yang secara nasional bukan berarti akan selalu terpenuhi. Di
berbahaya.1 Narasumber lain mengaitkan signifikansi samping itu, sebagai sebuah pembangkit berteknologi
PLTN dalam konteks potensi kedaruratan energi seperti tinggi, secara politis negara sebenarnya juga
ditunjukkan dengan terjadinya ketimpangan suplai listrik berkepentingan untuk menguasai teknologi tersebut.
dengan jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi. Dalam Hal ini tidak berlebihan karena beberapa negara
konteks Babel misalnya, tingkat elektrifikasinya baru seperti di Arab Saudi sendiri pun telah dikembangkan.
mencapai 84,5 persen meskipun menurut PT PLN, angka Malaysia bahkan sedang mulai merencanakan untuk
ini di atas rata-rata tingkat elektrifikasi seluruh provinsi membangun di perbatasan Kalimantan. Dengan
di Sumatera (PT PLN, 2014). Pada tahun 2015, beban demikian, dalam rangka mendukung peningkatan
puncak kebutuhan listrik Babel mencapai 165 MW, daya saing ekonomi nasional, pembangunan PLTN
dan dengan asumsi pertumbuhan sebesar 11,1 persen, menjadi alternatif penting.
kebutuhan beban puncaknya diperkirakan mencapai di Narasumber menekankan pandangannya
atas 400-an MW (RUPTL PT PLN 2015-2025) meskipun pada keperluan penguatan kemauan politik dalam
menurut PT PLN Wilayah Babel beban puncak Babel baru implementasinya karena pembangunannya memerlukan
mencapai 129 MW dari daya mampu yang mencapai 157 waktu 5-7 tahun. Indikasi penguatan kemauan politik
MW (Dinas Kominfo Babel, 2015). ini ditunjukkan dengan perlunya pemerintah segera
Namun demikian, sebagian kebutuhan listrik menyatukan visi pengembangan PLTN. Selain itu,
sejumlah industri seperti pengolahan sawit dan industri pemerintah pusat juga segera melakukan mobilisasi
pengolahan mineral terbukti masih menggunakan dukungan politik seluruh pemangku kepentingan. Di
sumber listrik biomassa dan pembangkit sendiri. Hal Babel, hal ini lebih mudah dikelola karena kelayakannya
ini misalnya, bisa dilihat dari komposisi kapasitas daerah ini sebagai tapak/lokasi PLTN dan kuatnya
terpasang pembangkit listrik di Babel yang mencapai kemauan politik pemimpin politik daerah. Hal ini
132 MW sampai tahun 2014, 13 MW di antaranya berkaitan dengan karakteristik Babel yang bersifat
dibeli dari masyarakat (PT PLN, 2014). Karena itu, kepulauan dan tidak memiliki sumber panas bumi, PLTA,
dalam rangka pengembangan infrastruktur seperti dan EBT lainnya. Selain itu, kelembagaan penunjang
bandara dan pelabuhan, pertumbuhan penduduk yang juga perlu dipersiapkan di tingkat pusat dan daerah.
mencapai 2,19 persen per tahun (BPS Provinsi Bangka Hal terpenting lain adalah upaya sosialisasi khususnya
Belitung, 2015) dan kegiatan perekonomian, rencana aktor masyarakat yang komprehensif dalam pengertian
pembangunan PLTU di Babel sebesar 2 x 30 MW informasi tentang PLTN berikut risikonya. Hal ini
menjadi penting. menyiratkan bahwa instrumen implementasinya pun
Sejalan dengan berbagai hasil kajian, narasumber juga harus diperkuat.
juga memberikan pandangan positif bahwa tantangan Terkait dengan isu potensi bencana dan kerusakan
pembangunan PLTN sebenarnya lebih bersifat politik.2 lingkungan, narasumber menegaskan bahwa semua
Dalam pemahaman ini, kelayakan PLTN dapat didukung jenis sumber energi yang untuk pembangkit listrik dapat
dengan beberapa argumen berikut. Meskipun memiliki mengeluarkan emisi GRK. Karena itu, dalam rangka
potensi kapasitas yang besar, PLTN bagaimana pun mengurangi risiko potensi tersebut, penguatan SDM dan
bukanlah pemasok utama kebutuhan listrik suatu teknologi terkait diperlukan. Dengan demikian, dalam
negara bahkan di luar negeri. Di Indonesia, peran PLTN jangka panjang, PLTN tetap harus diperhitungkan
misalnya bisa dipatok sampai dengan 20 persen dari seiring dengan tingkat kebutuhan pasokan listrik yang
kebutuhan listrik nasional. Sebagai gambaran, peta jalan semakin tinggi. Secara politis hal ini juga menjadi
BATAN ketika pemerintah mengambil keputusan untuk sesuatu yang semestinya dilakukan pemerintah
membangun PLTN pada tahun 2008 misalnya, target karena penguasaan teknologi PLTN sedikit banyak
pemerintah bahwa PLTN akan mampu menghasilkan dapat menopang eksistensi negara dalam mengejar
sampai 4.000 MW listrik pada tahun 2025 (Amir, 2010). posisinya sebagai negara maju. Konteks ini semakin
Dengan merujuk pada RUPTL tahun 2015-2024, jumlah signifikan ketika Malaysia dikabarkan berencana
akan ini setara dengan 5,7 persen kebutuhan tambahan membangun PLTN wilayah perbatasannya. Dalam
kapasitas pembangkit yang mencapai 70.400 MW hal rencana Malaysia pada akhirnya diwujudkan,
sampai tahun 2025 (PT PLN, 2014). sasaran pasarnya adalah Indonesia. Dalam konteks
ini, setiap daerah yang diproyeksikan sebagai tapak

1
Wawancara dengan Firdaus, Zulkarnaen, dan Deki Susanto,
BLHD Provinsi Babel, 8/9/2015.
PLTN seharusnya tidak menutup diri terhadap

2
Wawancara dengan Deki Susanto, BLHD Provinsi Babel, wacana pembangunan PLTN. Untuk mendukung
8/9/2015. hal ini, pemerintah perlu membentuk sebuah tim

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 131


pembangungan PLTN yang melibatkan semua unsur potensi risiko kecelakan, studi Tapak telah menegaskan
pemangku kepentingan terkait. bahwa potensi tersebut dipastikan rendah dan dengan
Pandangan yang sama disampaikan narasumber demikian pemerintah dapat lebih memusatkan pada
lain karena jika pasokan listrik tidak mencukupi, upaya pengurangan risiko kesalahan manusia.
Babel sebagai daerah tambang akan menghadapi Narasumber Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
masalah dalam konteks kebijakan mandatoris dan Penanaman Modal (BPPTPM) dan PT PLN Wilayah
pembangunan smelter.3 Hal ini bukan tanpa alasan Babel juga mewakili pandangan yang mendukung
karena pasokan dari sumber EBT belum memadai. kehadiran PLTN meskipun sifatnya masih kondisional.
Hal ini belum dipertimbangkan dengan rencana Mereka melihat bahwa kondisi kawasan industri di
pengembangan pembangkit listrik di Babel yang masih Tanjung Ular (Babel), Belitung Timur, dan Tanjung
terkendala penyelesaiannya. Sebagai contoh program Ketapang masih mengalami kekurangan pasokan
pembangkit 2 x 16,5 MW tahap 1 (PLTU Belitung listrik.5 Untuk mengatasi masalah ini pihak industri telah
Baru- FTP1/2014) dan 2 x 30 MW tahap 2 (PLTU Air mengupayakan sendiri. Investasi ketenagalistrikan
Anyer-FTP 1/2014/15). PT PLN Wilayah Babel juga telah dipersiapkan dalam program “Babel Indo Energy”.
menegaskan bahwa per 2014, FTP I (seharusnya tuntas Sejumlah izin prinsip pembangunan pembangkit listrik
2010), baru 73 persen terpenuhi dengan 725 MW sendiri sudah diselesaikan, hanya saja karena adanya
COD, 461 MW FTP I, PLTU Bangka 1x30 MW.4 Karena keharusan mereka menjual ke PLN dengan tingkat harga
itu, sebagai kebijakan yang sifatnya out of the box, di bawah keekonomian dan tidak semua kelebihan
agenda PLTN sebenarnya masuk akal, tidak hanya daya listrik akan dibeli PLN menjadi disinsentif untuk
kelayakannya telah dilakukan berdasarkan hasil melanjutkan upaya ini. Untuk mendorong ini, insentif
studi Tapak pada tahun 2009-2011 oleh PT Surveyor fiskal juga perlu diperkuat sehingga memperkuat
Indonesia dengan PriceWatercorp dengan standar program 35.000 MW. Terlepas dari itu semua, urgensi
IAEA di daerah Mentok di Bangka Barat (Babar) dan pemenuhan listrik sebenarnya tidak hanya dalam
Sebagin Kec. Simpang Rimba Bangka Selatan (Basel) konteks pemenuhan listrik industri tetapi juga bagi
dengan rekomendasi daya mencapai 6 x 1000 MW sektor rumah tangga. Pembangkit alternatif seperti
(Bangka Barat) dan 4 x 1000 MW (Bangka Selatan). PLTS sebenarnya sudah direncanakan di Tj. Ketapang,
Rekomendasi ini tentunya berdasarkan kondisi geologi di Toboali, Basel, hanya saja karena biaya investasi yang
batuan yang mendukung, bukan daerah gunung masih mahal dan dengan kapasitas yang terbatas (15
berapi dan penduduknya masih terbatas. kVA listrik = Rp15 miliar), pada akhirnya tidak banyak
Terkait dengan dukungan publik terhadap yang dikembangkan. Oleh karena itu, agenda PLTN
PLTN juga dinilainya relatif positif. Survei BATAN sebenarnya perlu didorong. Namun demikian, persoalan
menunjukkan setelah tsunami pada tahun 2009, 50- penyiapan SDM, penguasaan teknologi, sosialisasi, dan
55 persen masyarakat Babel menerima PLTN. PLTN rencana aksi yang jelas dan mengikat dalam hal terjadi
juga berkorelasi positif untuk menopang ketahanan kegagalan/kecelakan pun harus dipersiapkan.
energi nasional. Hal lain potensi bakan bakar berupa Berbeda dengan narasumber di Babel, narasumber
uranium dan torium juga tersedia. Sebagai contoh di di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah, yakni unsur
Tanjung Ular, BATAN bekerja sama dengan PT Timah perwakilan SKPD dan PT PLN Rayon Jepara memberikan
sedang mengembangkan tanah jarang untuk bahan gambaran yang berbeda meskipun untuk sebagian
thorium. narasumber memandang sedikit positif. Perwakilan
Agenda PLTN juga semakin penting ketika kita ormas, yakni Masyarakat Reksa Bumi (MAREM) menilai
mengaitkan dengan potensi lemahnya realisasi bahwa keragaman kekayaan sumber energi seperti
pendanaan bagi pengembangan pembangkit swasta batubara, migas dan EBT dinilai masih mencukupi
(skema IPP) sementara realisasi program pembangkit sehingga PLTN belum diperlukan.6 Penolakannya
35.000 MW membutuhkan sebuah (kebijakan) terhadap PLTN juga bersifat keilmuan karena (1) bahan
terobosan. Begitu pula terkait dengan pendanaan baku PLTN yang dikembangkan di luar negeri selama
PLTN, pemerintah menyatakan kesiapannya, bahkan ini sebenarnya menggunakan plutonium dari bom
Gubernur Babel telah berdiskusi dengan Rosatom atom yang sudah kadaluarsa yang telah dihancurkan
(Rusia) soal ini. Dengan demikian, kemauan politik (demolished); (2) biaya perawatannya yang mahal
pemerintah sekarang tertantang untuk segera dan rumit; (3) keterbatasan bahan baku. Uranium
menyiapkan dasar legalitasnya. Terkait dengan isu 235 ‘ditembak’ dari reaktor menjadi plutonium yang

3
Wawancara dengan Taufik, Kabid Kelistrikan, Dinas ESDM
5
Wawancara dengan Sumadi, Imam Hidayat, dan Candra
Provinsi Babel, 8/9/2015. Pratama, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman

4
Wawancara dengan Santana, Bagian Perencanaan PT PLN Modal dan Bidang PTSP, Provinsi Babel, 8/9/2015.
Wilayah Provinsi Babel, 9/9/2015.
6
Wawancara dengan Dr. Lilo Sunaryo, MAREM, Jepara,
30/9/2015.

132 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
beradiasi sangat tinggi (24.000 tahun masa radiasinya). hanya itu, kekuatan politik tertentu juga diduga di-
Kasus di Versailles, Siberia dan AS, ion-nya disimpan 250 tengarai terjadi dengan kekuatan partai penguasa
meter di bawah tanah. Persoalan di Indonesia adalah di daerah dalam pengelolaan limbah tertentu yang
tempat penyimpanan. bernilai ekonomis melalui penutupan akses pasar
Meskipun demikian, PLTN fusi/air berat sebenarnya dan perizinan.
bisa menjadi alternatif karena hanya mengeluarkan Isu relatif tidak kepercayaan masyarakat juga terkait
radiasi yang masanya (lifetime) pendek yang hanya dengan pengelolaan limbah yang tidak terbayangkan
11 tahun, sehingga dari 1000 MW hanya menyisakan seperti halnya terjadi di Rusia dan Jepang, sementara
limbah 27 kg/tahun yang harus dibuang. Namun Indonesia memiliki keragaman sumber energi primer
demikian, sejauh ini baru 20 negara yang baru dalam yang begitu besar. Dengan demikian, peningkatan
tahap pengembangan. Alasan lain penolakan PLTN daya listrik harus dilakukan dengan mendasarkan
terkait dengan bahan baku PLTN berupa uranium baru pada sumber non-nuklir. Pendek kata, pemerintah
hanya tersedia di Kalbar/Kaltim, sementara itu, thorium harus bekerja keras terlebih dahulu mengembangkan
yang berada dalam serpisahan tembaga jumlahnya sumber energi lain. Hal lain, pengembangan PLTN
terbatas di Babel. Meskipun begitu, narasumber juga identik dengan kesan project-oriented karena
memberikan penilaian positif dan realistis terhadap pengembangannya membutuhkan modal yang besar.
agenda pembangunan pembangkit 35.000 MW seiring Selain kebutuhan modal yang besar, PLTN juga
dengan keterbatasan pasokan listrik secara nasional. membutuhkan kesiapan birokrasi, SDM, manajemen
Pandangan sama disampaikan ormas lain. Ketua risiko, penguasaan teknologi, tata kelola pemerintahan
Lembaga Pengkajian dan Peningkatan SDM/Lakpesdam yang bebas rent-seeking dan yang secara khusus harus
PCNU Jepara mengakui bahwa upaya peningkatan mendapat perhatian terkait dengan rencana aksi yang
daya listrik menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan.7 jelas terhadap penanganan limbah. Ketidaksetujuan
Namun demikian, wacana PLTN dinilainya tidak pas. narasumber PLTN juga dilihat dari telah terpenuhinya
Hal ini diakibatkan oleh (1) masih terbatasnya tingkat kebutuhan listrik di wilayah Jepara setelah berdirinya
kepercayaan terhadap pemerintah, (2) dampak yang PLTU.
sudah bisa dikenali dengan kehadiran PLTU, (3) aspek Terkait dengan rasionalitas isu kebijakan 35.000
tata kelola pemerintahan yang buruk karena isu MW, menurutnya pemerintah dipastikan telah mem-
korupsi, pencarian rente, dan lemahnya transparansi, perhitungkan secara matang dan komprehensif.
(4) skenario bencana. Penolakan terhadap wacana Dengan demikian, kebijakan ini tetap dianggap
PLTN bisa dilihat dari dampak kehadiran PLTU realistis apalagi jika didukung dengan komitmen
Jepara yang dianggapnya kurang sosialisasi terhadap pemerintah untuk melaksanakan sejumlah kebijakan
masyarakat terdampak. Tercatat sudah ada 18 terobosan yang ditujukan untuk itu. Namun demikian,
kelompok mencakup 8 kecamatan yang menentang rasionalitas tersebut bukan berarti perlu ditopang
karena terdampak dengan pengoperasian PLTU dengan PLTN karena sumber energi lain dinilai sudah
tersebut. cukup.
Kasus PLTU menjadi bukti bahwa sosialisasi Pandangan yang kurang lebih sama disampaikan
yang terbatas menjadi satu akar persoalan. Betul SKPD lain. Bidang ESDM Dinas BM, Pengairan dan
sosialisasi ke ormas telah dilakukan tetapi dengan ESDM Kab. Jepara, misalnya melihat kebijakan
frekuensi yang sangat terbatas dan sedikitnya 35.000 MW sebagai sebuah terobosan.8 Namun
jumlah orang yang dilibatkan. Akibatnya, pemerintah demikian, dengan peta persoalan yang selama ini
dianggap kurang transparan. Kasus yang sama soal membelit, kebijakan ini menghadapi tantangan yang
CSR yang dinilainya sangat terbatas dan cenderung sangat kuat. Tantangan itu mencakup (1) persoalan
kasus per kasus meskipun sekali pernah dilakukan pembebasan lahan, (2) sinergis pusat dan daerah dan/
dengan para nelayan melalui Lakpesdam misalnya. atau antardaerah, dan (3) faktor teknis/keekonomian.
Dalam konteks CSR misalnya, gagasan kompensasi Persoalan pembebasan lahan menjadi persoalan yang
listrik gratis dan penerangan di sepanjang pantai sangat krusial seiring dengan semakin rasionalnya
tempat mereka berlabuh apalagi mereka juga sikap masyarakat, sikap yang kadang-kadang kurang
membayar PJU meskipun sejauh ini responsnya rasional.
masih sangat terbatas. Faktor dugaan CSR masuk Terkait dengan wacana pembangunan PLTN di
ke birokrasi sebagai biaya politik dengan elit daerah Muria, dinilai bakal menghadapi persoalan kuatnya
melalui BUMD dalam pengelolaan limbah yang penentangan masyarakat. Persoalannya adalah
potensial untuk tujuan ekonomis pun kental. Tidak bagaimana pemerintah bisa menjamin bahwa PLTN

7
Wawancara dengan Maya Gina, Ketua Lembaga Pengkajian

8
Wawancara dengan Suyono dan Didik F. Nuha, Dinas Bina
dan Peningkatan SDM/Lakpesdam PCNU Kab. Jepara/Fak.
Marga, Pengairan & ESDM Kab. Jepara, 29/9/2015.
Syariah dan Hukum Unisnu Jepara, 1/10/2015.

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 133


Tabel 1. Respons terhadap Wacana Pembangunan PLTN
Narasumber Perencanaan (Agenda-Setting) Topografi/Teknis Sosial
Jepara (Jateng):
1. SKPD dan PT PLN Mayoritas belum memandang Kelayakan tinggi berdasarkan Perlu sosialisasi dan
urgensi PLTN dan sangat hasil FS sebelumnya pendekatan sosial khusus
kondisional
2. Ormas/LSM Mayoritas belum memandang Kurang mendukung hasil FS Menolak karena potensi
urgensi PLTN dan sangat kondisional sebelumnya kecelakaan, pasokan listrik cukup
Pangkal Pinang (Babel):
1. SKPD dan PT PLN Mayoritas mengakui urgensi PLTN Kelayakan tinggi berdasarkan Perlu sosialisasi dan penyiapan
dan kondisional jika RUPTL sesuai hasil FS, sumber energi lain tata kelola
target terbatas/tidak tersedia
2. Ormas/LSM - - -
Sumber: disarikan dari hasil wawancara dan data terkait, 2016.

menjadi alternatif pembangkit listrik yang zero tolerance MW. Meskipun demikian, implementasi program ini juga
untuk risiko kecelakaan di hadapan masyarakat apalagi berat seiring dengan masih membelitnya persoalan yang
setelah terjadi kecelakaan PLTN Fukhusima. Secara selama ini sangat menganggu dalam pengembangan
umum pembangunan itu memiliki dampak. Hanya saja, pembangkitan dan/atau jaringan.10 Sejumlah persoalan
PLTN dinilai secara potensial menawarkan dampak yang krusial yang harus dikelola untuk mewujudkan kebijakan
belum dapat diterima sama sekali oleh masyarakat. ambisius ini mencakup (1) pembebasan lahan; dan
Hal ini berbeda dengan PLTU, misalnya. Meskipun (2) persoalan sosial-ekonomi dan tingkat pemahaman
PLTU berpotensi mengakibatkan tingkat polusi yang masyarakat yang masih belum kondusif.
sangat besar dan kenaikan tingkat emisi, risikonya tidak Satu-satunya pandangan berbeda disampaikan
sebesar PLTN. ormas lain. Ketua PCNU Kab. Jepara misalnya,
Meskipun demikian, persoalan pro dan kontra memberikan pandangan positif terhadap wacana
terhadap kehadiran PLTN juga harus dilihat dalam konteks pembangunan PLTN dalam jangka panjang
kentalnya kepentingan. Sebagai contoh, tokoh masyarakat untuk merespons pertumbuhan penduduk dan
(terutama politisi) seperti kepala desa dan tokoh lainnya perekonomian nasional.11 Terkait dengan penolakan
yang sangat menggantungkan otoritasnya pada dukungan masyarakat menurutnya lebih diakibatkan untuk
masyarakatnya, kekhawatiran kehilangan legitimasi sosial sebagian keterbatasan pengetahuan mereka
dan politisnya menjadi dasar yang menuntutnya untuk soal PLTN. Hal lain, resistensi sosial tersebut juga
kontra dengan PLTN. Hal yang sama terjadi pada segelintir lebih didorong oleh sikap kelompok referensinya
orang yang kebetulan bekerja/berafiliasi dengan Batan, bukan karena penilaian yang rasional. Hal ini dapat
misalnya, orang yang bekerja pada perwakilan Batan di dipahami karena masih kuatnya sistem kebapakan
Tapak pun harus menunjukkan dukungannya meskipun (patron-client), sehingga sikap resistensi tersebut
berisiko dikucilkan secara sosial. sebenarnya lebih mengarah pada sikap yang diambil
Pandangan kuatnya penolakan masyarakat juga tokoh masyarakat. Hal lain, pola pemikiran mereka
ditegaskan kepala desa setempat. Narasumber tersebut yang masih bersifat lokalitas di mana ketahanan
menegaskan sampai sekarang, 90 persen masyarakat pasokan listrik masih dilihat dalam konteks di
Balong dipastikan menolak PLTN.9 Karena itu, sinyal Jepara, apalagi di sana sudah tersedia PLTU. Dalam
terhadap wacana pembangunan PLTN pun begitu sensitif kasus Jepara misalnya, hal ini direpresentasikan
dan memberikan tekanan psikologis bagi perangkat dengan pemahaman bahwa dengan kehadiran PLTU,
desa seolah-olah desa ‘bermain’ dalam isu ini. Kuatnya kebutuhan listrik Jepara sudah cukup dan bahkan
penolakan masyarakat terhadap rencana PLTN juga bisa dijual ke tempat lain seperti di Bali dalam
berimbas pada proses Pilkades Desa Balong (5500 jiwa, konteks sistem jaringan Jawa-Bali.12
3200 pemegang hak pilih dan 1700 KK) di mana setiap Alasan lain terkait dengan belum adanya ‘nilai lebih’
calon dipaksa untuk melakukan perjanjian penolakan sebagai daerah penghasil listrik seperti ‘tingkat harga’,
pembangunan PLTN. Pandangan yang sama disampaikan

10
Wawancara dengan Sunoto, Kepala PT PLN Rayon Kab.
PT PLN setempat. Sebaliknya, narasumber yang sama
Jepara, 29/9/2015.
memberikan respons positif terhadap program 35.000
11
Wawancara dengan H. Ashari, Ketua PCNU Kab. Jepara,
28/9/2015.

9
Wawancara dengan Moh. Parno, Petinggi/Kepala Desa
12
Wawancara dengan Abdul Jafar, anggota PCNU Kab. Jepara,
Balong, Kec. Kembang, Kab. Jepara, 1/10/2015. 28/9/2015.

134 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
Tabel 2. Agenda-Setting Pengembangan Energi Nuklir (PLTN Muria)
No. Pemerintahan Tujuan Tindak Lanjut ke Pengambilan Kebijakan Keterangan
1. Soekarno Politis Batal karena rezim jatuh Belum mengarah pada PLTN dan
(1950-an s.d. 1960-an) sentimen nasionalisme
2. Soeharto Damai Tahap 1 (1968 - 1980-an): Persoalan beban subsidi (1990-an)
(1968-1997) (listrik) Batal karena belum ada sistem grid yang memadai, dan peta jalan pengembangan listrik
era BBM murah, dan tingginya resistensi sosial

Tahap 2 (1980-an - 1990-an):


Batal karena batalnya dukungan B. J. Habibie dan
rezim jatuh
3. Susilo Bambang Damai Tahap 1 (2004-2009): Persoalan beban subsidi, komitmen
Yudhoyono (SBY) (listrik) Sukses karena beban subsidi BBM, KEN, lobi IAEA penurunan emisi, dan peta jalan
(2004-2014) terhadap tokoh-tokoh ormas, dan dukungan KEN, serta sentimen nasionalisme
swasta. Penolakan masyarakat di lokasi PLTN
dan alasan mengamankan dukungan masyarakat
dalam kontestasi Pilpres periode ke-2 (2009-2014),
akhirnya implementasi kebijakan pembangunan
PLTN dibatalkan
4. Joko Widodo Damai Proses menuju policy window Persoalan beban subsidi dan
(2014 - .......) (listrik) komitmen penurunan emisi, peta
jalan program pembangkitan 35.000
MW dan ketahanan listrik
Sumber: disarikan dari berbagai sumber, 2016.
jaminan pasokan listrik secara penuh dan kompensasi dan Perpres No. 6 Tahun 2005 tentang KEN.13 Kajian
yang secara langsung bisa diperoleh masyarakat. Hal pembangunan PLTN sebenarnya telah dilakukan sejak
lain, penolakan masyarakat misalnya, juga karena faktor tahun1970ditandaidengandibentuknyaKomisiPersiapan
proyeksi diri individu tokoh ormas. Sebagai contoh, Pembangunan PLTN. Salah satu rekomendasinya adalah
penolakan Ketua NU terhadap rencana pembangunan rencana pembangunannya di Gunung Muria, Jepara,
PLTN pada akhir tahun 2000-an sebenarnya tidak Jawa Tengah (Ditjen Ketenagalistrikan, 2015). Rencana
murni pandangan NU karena ketua PCNU sebelumnya ini bahkan telah ditetapkan menjadi agenda nasional
adalah juga (bekas) Ketua LSM. Oleh karena itu, setelah pada masa pemerintahan Presiden SBY pertengahan
mendapatkan pemahaman setelah meninjau langsung tahun 2000-an. Ironisnya, secara kekiniaan kemauan
dalam suatu studi banding ke Jepang, sebagian kiai politik ini justru semakin diperlemah dengan kehadiran
NU lainnya/jajaran struktural PCNU dapat menerima KEN terbaru (Pasal 11 dan 12 dalam PP No. 79 Tahun
kehadiran PLTN. 2014).14 Lemahnya kemauan politik lainnya terkait
Berbeda dengan konteks di Provinsi Babel, di Jepara masih dipakainya kelembagaan Badan Tenaga Atom
PLTN belum dianggap penting karena kebutuhan listrik Nasional dan lembaga lain berdasarkan ketentuan
di wilayah setempat untuk saat ini suplainya masih di Undang-Undang No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
bawah nilai kebutuhan riilnya (Tabel 2). Namun demikian, Ketentuan Pokok Tenaga Atom.
dalam konteks pemenuhan daya secara nasional, Gambaran agenda-setting pembangunan PLTN
khususnya Jawa-Bali, kebutuhan listrik dari sumber PLTN secara retrospektif dapat disajikan sebagai berikut
dapat menjadi alternatif yang masuk akal meskipun (Tabel 2). Agenda-setting ini telah digagas sejak akhir
pemerintah harus mengelola isu pembangunan PLTN tahun 1950-an pada masa pemerintahan Presiden
sebagai persoalan politik karena kuatnya penolakan Soekarno. Didorong kekhawatiran kecelakaan radioaktif
masyarakat. uji coba nuklir AS di Pasifik, pemerintah membentuk
sebuah Komisi Riset Radioaktif. Tidak lama setelah itu,
B. Perjalanan Agenda-Setting Pembangunan PLTN Presiden Soekarno membentuk Lembaga Tenaga Atom
Politik ketenaganukliran telah dimulai sejak lahirnya pada tahun 1959, lembaga yang kemudian menjadi
Undang-Undang No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Tenaga Atom (Undang-Undang KPTA).
13
Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran menegaskan bahwa pembangunan
Politik ini kemudian diperkuat dengan lahirnya Undang- reaktor nuklir komersial berupa pembangkit listrik tenaga
Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran nuklir ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi
dengan DPR RI.
14
PP No. 79 Tahun 2014 tentang KEN.

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 135


Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Reaktor riset EBT dalam bauran energi nasional (5 persen) di mana
pertama dikembangkan di Bandung dengan dukungan energi nuklir dialokasikan untuk bisa berkontribusi
AS pada tahun 1961. Alasan politis lebih mendasari kurang dari 2 persen dari total pasokan energi
kebijakan ini sehingga pada tahun 1964 pemerintah nasional sampai tahun 2025. Selanjutnya, peta jalan
mengumumkan rencana uji coba nuklir sebelum akhir pembangunan PLTN dimulai dengan proses lelang
tahun 1965 (Amir, 2010). Jatuhnya rezim Soekarno konstruksi dan disain pengembangannya dari tahun
menjadikan agenda ini berhenti. 2005-2010. Pembangunan reaktor pertama dan
Perubahan rezim politik pemerintahan Orde Baru kedua dijadwalkan pada tahun 2010 dan 2011. Kedua
menjadikan pengembangan nuklir lebih didorong reaktor masing-masing dijadwalkan dapat beroperasi
oleh tujuan damai. Pada masa pemerintahan ini, secara komersial pada 2016 dan 2017 dan rencana
dua reaktor tambahan berkapasitas 100 KW dan pengembangan dua reaktor tambahan pada tahun 2018
30 MW masing-masing dibangun di Yogyakarta dan dan 2019. Secara keseluruhan, PLTN Muria ditargetkan
Serpong. Sejak itulah, BATAN terus mengembangkan menghasilkan 4.000 MW listrik, atau lebih 2 persen dari
teknologi ini sampai gagasan pembangunan PLTN total permintaan untuk Pulau Jawa, Madura dan Bali
pada tahun 1968. Kemauan politik ini terus didorong yang diprediksikan akan mencapai 80 GW pada tahun
dan pada tahun 1972 upaya ini bahkan dibantu Badan 2025 (Amir, 2010).
Tenaga Atom Internasional (IAEA). Namun demikian, Selain itu, komitmen Presiden SBY untuk
persoalan masih lemahnya kemauan politik dan berperan dalam pengurangan pemanasan global juga
ekonomis menjadikan agenda setting pembangunan turut memperkuat argumen pilihan nuklir sebagai
PLTN selalu mentah dalam beberapa dekade. satu sumber yang dapat mengurangi ancaman
Pada tahun 1980, usulan PLTN oleh BATAN ditolak perubahan iklim. Tidak ketinggalan adalah dukungan
pemerintah karena masih terbatasnya jaringan listrik politik DPR RI. Pada tahun 2007 saja, DPR menyetujui
dan masih besarnya sumber daya fosil pada saat usulan alokasi Rp5 miliar ($550.000) untuk sosialisasi
itu. Sementara itu, alasan non-teknis terkait dengan program. Selanjutnya, dalam periode tahun 2010-
jaringan listrik yang terbatas dan nuklir menjadi pilihan 2014, Bappenas juga telah mengalokasikan Rp188
terakhir. Bahkan ketika pada akhir tahun 1980-an, miliar ($20,9 juta) untuk program yang sama yang
Presiden Suharto memberikan dukungan terhadap dilaksanakan BATAN. Jumah ini adalah tambahan
pembangunan PLTN, proposal pembangunan PLTN anggaran Rp453 miliar ($50,3 juta) yang dibelanjakan
akhirnya ditolak kembali karena alasan yang tidak selama periode yang sama untuk persiapan dokumen
jelas. Untuk sebagian, penolakan tersebut karena infrastruktur dasar untuk memfasilitasi program
berubahnya sikap penasehat teknologi pemerintah, PLTN. Momentum dukungan DPR RI terus menguat
B. J. Habibie. Alasan lain, bersifat politis, yakni secara politik. Komisi energi DPR RI menyuarakan
menghindari tekanan masyarakat. dukungannya terhadap rencana ini. Meskipun
Upaya BATAN mendapatkan dukungan politik terdapat sedikit penolakan, mayoritas anggota
kuat setelah disahkannya Undang-Undang. Jatuhnya percaya bahwa Indonesia telah menapaki fase krisis
rezim Soeharto tidak lama setelah itu, menjadikan energi dan karena itu tidak punya pilihan lain dalam
agenda-setting ini mentah kembali (Amir, 2010). jangka panjang. Agenda PLTN tidak hanya didorong
Naiknya pemerintah­an Presiden SBY dan konstelasi oleh faktor ekonomis tetapi juga alasan sentimen
tantangan isu ketahanan energi mendorong kembalinya nasionalis sebagai sarana mewujudkan kebanggaan
inisiasi BATAN dalam pem­bangunan PLTN. Upaya ini nasional. Dukungan yang sama diberikan sektor
sebenarnya juga di­dorong oleh keberhasilan lobi IAEA swasta karena rencana pemerintah 85 persen
Dirjen Mohamed El-Baradei pada saat kunjungannya pembiayaan PLTN Muria akan didorong dilakukan
ke Jakarta, Desember 1999 terhadap tokoh NU, Gus oleh swasta. Medco misalnya, adalah satu perusahaan
Dur, untuk meng­ kondisikan dukungan masyarakat yang telah bekerja sama dengan perusahaan Korean
terhadap kemungkin­an rencana pengembangan sumber Hydro and Nuclear Power dalam pembangunan
energi alternatif dengan janji dukungan keuangan dan reaktor pertama di Muria pada tahun 2006. Pada
teknis untuk studi potensi sumber listrik secara nasional. tahun 2008 pemerintah telah menggelar tender
Sukses lobi ini akhirnya memperkuat kemauan politik proyek pembangunan PLTN Muria yang berkapasitas
pemerintah untuk menjadikan PLTN sebagai salah satu 4.000 MW, bertahap sampai 2025 (Amir, 2010).
prioritas pengembangan energi. Mulai saat ini, agenda- Pada masa inilah, masa pemerintahan Presiden SBY,
setting pengembangan PLTN mendapati policy window. kemauan politik pemerintah untuk membangun PLTN
(Suleiman, 2013; Amir, 2010). di Gunung Muria mencapai puncaknya dalam sejarah
Sebagai tindaklanjut, pemerintah mengeluarkan pengembangan PLTN secara nasional (Amir, 2010).
Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang KEN yang menjadi Kuatnya resistensi publik pada waktu itu, pemerintah
dasar penetapan sumber energi nuklir ke dalam target akhirnya menunda pembangunannya sampai

136 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
sekarang. Hal menarik bahwa penundaan ini ternyata menghadapi resistensi yang cukup besar. Resistensi
sangat politis dalam rangka mengamankan dukungan itu tidak hanya berasal radiasi dari potensi kecelakaan
publik dalam kontestasi pemilihan presiden periode dalam pengoperasiannya tetapi juga radiasi limbah
kedua pemerintahan SBY (Amir, 2010). nuklir. Hal ini misalnya, dibuktikan dengan sejumlah
Serangkaian resistensi publik bisa dilihat dari kecelakan di sejumlah pembangkit nuklir di AS, Inggris,
reaksi keras penolakan masyarakat di lokasi PLTN, Perancis, Jepang dan bekas Uni Soviet. Implikasinya,
Walhi, Greenpeace, dan Masyarakat Anti-Nuklir Swedia tidak lagi mengembangkan PLTN baru
Indonesia (Manusia). Selain itu, reaksi masyarakat (Blackburn, 1987). Hal yang sama dilakukan Filipina
yang tergabung dalam LSM pun tidak kalah atas penutupan pembangkit nuklir yang dibangun
pentingnya. LSM setempat, Masyarakat Reksa Bumi semasa Pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos
(MAREM), misalnya menjadi pelopor penentangan (Blackburn, 1987).
proyek pembangunan PLTN di Gunung Muria Terlepas dari fakta ini, upaya terobosan politik
(Greenpeace International, 2009; Elway, 2009). pengembangan PLTN tetap layak secara ekonomis
Resistensi publik sebenarnya tidak hanya persoalan dan ekologis. Sejauh ini PLN hanya mampu memenuhi
kekhawatiran masyarakat terhadap risiko kecelakaan 57 persen kebutuhan listrik nasional, di mana tingkat
tetapi juga dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan pertumbuhan kebutuhan listrik mencapai 10 persen per
publik terhadap kemampuan pemerintah dalam tahun sebagai dampak pertumbuhan industri semakin
mengimplementasikan kebijakannya yang sifatnya meningkat. Padahal total kapasitas listrik yang dimiliki
lebih pada pola hubungan patrimonial daripada PLN sekarang hanya 25.000 MW (Halim, 2014). Hal
struktur kelembagaan. Hal inilah yang oleh Joe ini karena tingginya kebutuhan listrik secara nasional
Migdal disebut sebagai negara lemah. Kemampuan sementara pembangunan pembangkit masih terbatas.
pemerintah dalam mengelola isu-isu penting seperti Data yang lebih moderat menunjukkan bahwa penjualan
dalam kasus Lumpur Lapindo, kecelakaan pesawat, rata-rata tenaga listrik mengalami peningkatan sebesar
kapal laut dan kereta api selama ini menguatkan 7,8 persen per tahun dalam kurun waktu lima tahun
alasan ini (Amir, 2010). terakhir, dari 133 TWh pada tahun 2009 menjadi 197,3
Situasi di atas menyiratkan bahwa proses agenda- TWh pada tahun 2014. Dalam kurun waktu yang sama,
setting kebijakan pembangunan PLTN sebenarnya tingkat pertumbuhan penjualan ini sejalan dengan
telah berhasil dilakukan dan mencapai puncaknya tingkat pertumbuhan jumlah pelanggan listrik dari 39,9
pada masa pemerintahan SBY. Kuatnya arus masalah, juta menjadi 57 juta pelanggan pada tahun 2014 atau
yakni resistensi masyarakat di lokasi pembangunan dengan kenaikan rata-rata 3 juta pelanggan per tahun.
PLTN dan kekuatan masyarakat lain yang tergabung Pada saat yang sama (sampai tahun 2014), kapasitas
dalam LSM, serta kuatnya pro-kontra soal kelayakan pembangkit listrik secara nasional baru mencapai 43,5
pengoperasian PLTN itu sendiri di kalangan akademisi ribu MW untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali dan sisanya
dan pengamat (arus kebijakan) tampaknya tidak cukup 10 ribu MW untuk sistem kelistrikan Sumatera dan
mampu mensinergiskan diri dengan rasionalitas dan Indonesia Timur. Dengan penerapan kriteria cadangan
kemauan politik pemerintah (arus politik). Akibatnya, 35 persen beban puncak dibandingkan dengan daya
proses agenda-setting menuju tercapainya keputusan mampu pembangkit, sistem kelistrikan Sumatera masih
menjadi mentah kembali. Dalam tahapan ini, proses kekurangan daya sebesar 2.000 MW dan Indonesia
agenda-setting secara siklis akan dimulai dari titik awal. Timur sebesar 1.600 MW. Selama ini kekurangan
Kuatnya kepentingan politik untuk mengamankan tersebut dipenuhi dengan sewa pembangkit (PT PLN,
dukungan politik rakyat dalam pemilihan presiden 2014).
semakin menjadikan pilihan PLTN sebagai pilihan yang Secara teknologis, Indonesia juga mampu
sulit secara politis. membangun PLTN. Studi kelayakan yang menindaklanjuti
Dalam konteks ini, kita dapat memahami ketika pra-studi kelayakan PLTN di Provinsi Kepulauan Babel
pada tahun 2011, rencana pembangunan PLTN pada tahun 2010 menghasilkan dua calon tapak terpilih,
Gunung Muria akhirnya ditunda sampai waktu yang yaitu di Teluk Menggris-Pantai Tanah Merah, Kelurahan
tidak terbatas. Lebih jauh, secara teknis pun, kelayakan Tanjung, Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat
pembangunan PLTN masih diragukan khususnya dan Tanjung Berani-Tanjung Krasak, Desa Sebagin,
yang terkait dengan isu keselamatan. Dalam sejarah Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan.
pengembangan PLTN, isu keselamatan pengembangan Studi kelayakan yang dilakukan PT Surveyor Indonesia
PLTN menjadi inti perdebatan sejak lahirnya kesadaran (Persero) bekerja sama dengan AF-Consult (Swiss)
perlunya pengembangan energi alternatif sejak krisis selama 3 tahun (tahun 2011-2013). Sebagai konsultan
minyak pada awal tahun 1970-an di negara-negara studi tersebut adalah PT Kogas Driyap dan kegiatan studi
maju. Energi nuklir yang pada awalnya diyakini bisa kelayakan tersebut mengacu pada peraturan, pedoman
menggantikan sumber energi fosil akhirnya justru dan standard Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN),

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 137


Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), serta International bisa dikelola sampai dengan tahun 2025 (Ibrahim,
Atomic Energy Agency (IAEA) dan United State Nuclear 2014). Alasannya, program 35.000 MW didesain
Regulatory Commission (US NRC). Hasil studi kelayakan berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar
tapak dan non-tapak rencana pembangunan PLTN di dua 5 persen per tahun dalam kurun waktu lima tahun
kabupaten tersebut dinyatakan layak dibangun (BATAN, sampai tahun 2019. Karena sifatnya yang lebih
2013). men­ dasar­kan pada sumber energi primer seperti
Agenda-setting pengembangan PLTN muncul batubara dan EBT serta penguatan pembangkitan
kembali setelah pemerintahan Joko Widodo melansir swasta (IPP)-mencapai 25.000 MW-langkah ini masih
kebijakan pembangunan pembangkitan listrik 35.000 dinilai sebagai pilihan yang rasional (Ditjen Ketenaga­
MW. Keputusan pemerintah untuk menyiapkan peta listrikan, 2015).
jalan pengembangan nuklir pada pertengahan tahun Namun demikian, dalam jangka panjang konstelasi
2016 ini menunjukkan sinyal politik bahwa proses persoalannya tentu akan berubah. KEN mene­tap­kan
agenda setting pembangunan PLTN ini akan memulai penggunaan batubara dalam bauran energi nasional
babak baru dan semakin kuat ke depan (DEN, 2016). minimal 30 persen pada tahun 2025. Namun demikian,
Proses politik ini bahkan cenderung semakin menguat kuatnya dorongan internasional untuk ‘meninggalkan’
seiring dengan potensi tidak terpenuhinya program batubara sebagai sumber energi polutif akan memaksa
pembangkitan listrik 35.000 MW, semakin kuatnya Indonesia cepat atau lambat meninggalkannya. Hal
indikasi dukungan politik DPR RI dan misi pemenuhan ini pun tidak berlebihan mengingat Indonesia juga
listrik dalam jangka panjang. Dengan demikian, terikat secara politik untuk mengurangi emisi GRK
seperti halnya proses agenda-setting sebelumnya, secara internasional. Janji politik pemerintah untuk
tantangan pengelolaan dukungan politik, resistensi menurunkan emisi sampai dengan 30 persen sampai
sosial dan dukungan swasta akan memulai babak tahun 2030 dalam KTT Perubahan Iklim di Paris
baru sebelum mengarah pada proses policy window (COP-21) akhir Desember 2015 ini akan memaksa
dan implementasinya ke depan. Dalam konteks pemerintah lebih fokus pada EBT (Kompas, 2015). Hal
inilah, tantangan policy interpreunership pemerintah lain terkait dengan persoalan mewujudkan program
diperlukan. 35.000 MW. Hal ini dipastikan menjadi pekerjaan yang
membutuhkan ‘daya paksa’ pemerintah karena ia
C. Kelayakan Pembangunan PLTN dan Program juga masih harus menuntaskan program percepatan
35.000 MW pembangkitan 10.000 MW tahap I dan II. Terakhir, laju
Proses agenda-setting pembangunan PLTN pernah pertumbuhan tingkat konsumsi listrik itu sendiri.
tuntas secara formal. Bahkan kebijakan tentang peta Persoalan lain, secara nasional potensi sumber
jalan bagi pembangunannya telah menjadi kebijakan energi primer pembangkitan listrik justru lebih
nasional (Amir, 2010). Dengan demikian, persoalan banyak terletak di wilayah di luar Jawa (Nugroho,
kebijakan pembangunan PLTN lebih bersifat politik. Yang 2008). Oleh karena itu, wacana pembangunan
tidak kalah pentingnya adalah bagaimana pemerintah PLTN di luar Pulau Jawa pun mendapat dukungan
mampu mengelola tingginya resistensi masyarakat politik kuat tidak hanya dari pemerintah tetapi juga
khusus­nya di wilayah yang akan menjadi lokasi dari investor (BATAN, 2013). Hal ini sejalan dengan
pembangun­ an PLTN (Ibrahim, 2014). Tantangan ini pandangan umum bahwa PLTN memiliki keunggulan
tidak mudah karena tantangan itu mencakup beberapa sebagai alat mitigasi ancaman perubahan iklim,
hal men­dasar lainnya seperti isu biaya, keselamatan, efisiensi sumber daya dan ketahanan energi. Hal
penanganan limbah dan isu proliferasi (Kessides, 2010). ini karena siklus hidup emisi GRK nuklir sama
Dalam kasus nasional, tantangan itu juga mencakup isu rendahnya dengan angin, jumlah daya listrik yang
tata kelola dan persoalan soliditas antara pemerintah dihasilkan, bahan baku uranium yang melimpah,
pusat dan daerah (Amir, 2010). Derajat tantangan ini dan risikonya dibesar-besarkan (Kessides, 2010;
semakin besar seiring dengan kuatnya pengaruh kasus Englert, et. al. 2012; Suleiman, 2013). Potensi
kecelakaan PLTN Fukushima (Fukuda Y. & Fukuda bencana PLTN dalam batas tertentu bahkan lebih
K., 2012). Oleh karena itu, dalam jangka menengah kecil dari yang diperkirakan (Kessides, 2012). Dalam
taruhlah 5-10 tahun ke depan, kedudukan PLTN untuk sejarah pemanfaatannya, kecelakaan reaktor hanya
sementara menjadi pilihan politik pemerintahan yang terjadi pada reaktor dari 14.400 tahun-operasi
dapat diterima. reaktor secara komersial secara kumulatif, yakni
Keberhasilan program pembangkitan 35.000 reaktor Chernobyl (1986), Three-Mile Island (1979),
MW menjadi bantalan yang memiliki nilai sangat Windscale (1957) dan Fukushima (2011) (Suleiman,
strategis yang menjadi variabel argumen terkuat 2013). Selain itu, PLTN jauh lebih ramah lingkungan.
bahwa tanpa kehadiran PLTN, persoalan penyediaan Sebagai contoh, bahan baku thorium juga lebih
tenaga listrik di wilayah Jawa, Madura, dan Bali efisien seperti yang telah dikembangkan di Cina, AS

138 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
dan India. Sejauh ini, thorium misalnya hanya 24- panjang akan semakin mendapatkan dukungan secara
29 persen yang bisa diperkaya untuk PLTN. Dengan sosial, ekonomi dan politik.15 Dengan demikian, peran
demikian, proses pengayaan seperti ini tidak bisa lagi PLTN dalam mendukung realisasi program pembangkit
dipakai untuk bom atom. listrik nasional ke depan dalam jangka panjang
Meskipun demikian, pembangunan PLTN tetap menjadi semakin rasional. Hal ini tidak berlebihan
menawarkan tantangan berat secara politis dan karena aspirasi PLTN telah berjalan lebih dari empat
teknis. PLTN akan tetap dinilai sebagai pembangkit dekade dan ditopang dengan bauran kelembagaan,
yang mahal dan merupakan sumber energi yang ideologis bersama-sama dengan penggunaan sumber
kompleks. Oleh karena itu, pilihan PLTN harus mampu daya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi,
mengatasi sejumlah tantangan, yakni isu keselamatan, dan nasionalisme (Amir, 2010). Dari sisi kebutuhan
limbah, proliferasi dan biayanya (Kessides, 2010). pragmatis pembangunan PLTN bisa dilihat dari kondisi
Resistensi masyarakat terhadap PLTN secara global kebutuhan dan pasokan listrik secara nasional. Dari sisi
pun juga masih tinggi khususnya pasca Fukhusima kebutuhan, rata-rata pertumbuhan penjualan listrik
pada tahun 2011. Survei di 24 negara, baik di negara- secara nasional mencapai 7,1 persen dalam kurun waktu
negara maju maupun berkembang termasuk di 2009-2014. Sementara itu, kenaikan ini tidak diimbangi
Indonesia menunjukkan bahwa tingkat resistensi dengan penambahan kapasitas pembangkit yang hanya
masyarakat terahdap PLTN mencapai 62 persen dan mencapai 5,2 persen per tahun. Data menunjukkan
seperempat dari jumlah ini (26 persen) mereka yang bahwa sampai tahun 2014, kapasitas pembangkit PLN
menentang menunjukkan bahwa mereka merubah dan swasta 43.457 MW dengan perincian 33.449 MW
sikap sebelumnya setelah kecelakaan PLTN Fukusima. di sistem Jawa-Bali dan 9.958 MW di sistem-sistem
Di Indonesia sendiri, tingkat resistensinya masih kelistrikan wikayah Sumatera dan Indonesia Timur.
mencapai 67 persen (Kessides, 2012). Akibatnya, sejumlah daerah mengalami krisis daya
Wacana pembangunan PLTN di wilayah Babel listrik. Tingginya tingkat pertumbuhan penjualan listrik
menjadi salah satu indikasi dalam kasus ini. Namun secara nasional diindikasikan dengan tingginya tingkat
demikian, persoalan kredibilitas hasil studi kelayakan pertumbuhan jumlah pelanggan yang mencapai rata-
bagaimana pun tetap menjadi persoalan sampai rata 3 juta pelanggan per tahun dalam kurun waktu 2009-
sekarang. Hal ini tidak terlepas dari peran BATAN yang 2013 atau dari 39,9 juta pelanggan 53,7 juta pelanggan.
dalam kiprahnya ternyata juga dilandasi oleh upaya Kapasitas pasokan listrik tersebut baru memenuhi 84
mempertahankan eksistensi kelembagaannya. Tanter persen tingkat elektrifikasi secara nasional. Akibatnya,
menyebutnya sebagai contoh kasus klasik sebuah perkiraan kebutuhan listrik akan semakin tinggi dalam
lembaga yang gagal secara permanen. Dalam rangka jangka menengah untuk mencapai target 96 persen
mempertahankan eksistensinya, upaya keras dan dengan tingkat elektrifikasi nasional pada tahun 2019. Rencana
bantuan lembaga IAEA untuk meyakinkan pemerintah awal, pembangunan PLTN akan menyumbang daya
dalam upaya membangun PLTN telah berjalan lama. sebesar sampai 4.000 MW atau setara dengan lebih
Kegagalan kerja sama antara pemerintah, Pemda Babel 2 persen kebutuhan permintaan untuk Jawa dan Bali
dan industri nuklir global dalam pembangunan PLTN di yang diperkirakan mencapai 80 GW pada tahun 2025
Babel menunjukkan bahwa semua rencana proyek PLTN (Amir, 2010).
dianggap tidak realistis. Oleh karena itu tidak heran jika Pembangunan PLTN membutuhkan waktu
rencana pembangunan studi kelayakan pembangunan antara 5-10 tahun dan perlunya penyiapan
PLTN di Babel yang pada awalnya didukung Pemda pada dukungan teknologi dan uang. Karena itu, keputusan
akhirnya BPBD babel justru mengajukan review formal politik pem­­ bangunan­ nya pun perlu dipersiapkan
atas pengaruh PLTN terhadap kondisi Babel yang rapuh lebih awal. Hal ini belum diperhitungkan dengan
karena praktik penambangan yang parah pada tahun pengelolaan penolakan masyarakat, tingginya konflik
2014 (Tanter, 2015; Kessides, 2010; Ruff, 2015). kepentingan antarpemangku kepentingan di tingkat
Data PT PLN wilayah Babel menunjukkan bahwa di elit politik dan faktor ke­lem­bagaan (Amir, 2010). Hal
atas kertas, jika rencana pembangungan pembangkit penting lainnya adalah kemauan politik pemerintah
bisa berjalan sesuai jadwal yang ditetapkan, secara mengimplementasikan kebijakannya. Pada tahun
khusus program percepatan pembangunan pembangkit 2011, pembatalan pembangun­ an 4 reaktor PLTN
10.000 MW tahap I dan II di wilayah Sumatera, yang telah ditetapkan pada tahun awal masa
persoalan pasokan listrik di Babel dapat dikelola secara pemerintahan SBY menguatkan argumen ini (Amir,
baik. Kondisinya bahkan mengalami kondisi ‘surplus’ 2010).
jika kinerja program 35.000 MW di wilayah Sumatera
minimal dapat berjalan sesuai target. Namun demikian,
jika program 35.000 MW tidak berjalan secara optimal,
15
Wawancara dengan Santana, Bagian Perencanaan PT PLN
Wilayah Provinsi Babel, 9/9/2015.
wacana pembangunan PLTN di Babel dalam jangka

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 139


Keputusan pemerintah untuk menyiapkan peta proses pem­buatan kebijakan publik secara formal
jalan pengembangan nuklir pada pertengahan tahun (’policy-windows’). Dengan kata lain, proses agenda-
2016 ini menunjukkan sinyal politik bahwa proses setting pem­bangunan PLTN belum memasuki fase
agenda setting pembangunan PLTN akan memulai terjadinya persinggungan antara arus masalah,
babak baru dan semakin kuat ke depan (DEN, 2016). kebijakan dan arus politik. Dengan demikian, upaya
Namun demikian, penguatan peran PLTN dalam men­ jadi­
kan agenda PLTN sebagai sebuah agenda
program 35.000 MW tetap kecil. Dengan demikian, yang mendesak dan operasional perlu adanya
peran PLTN dapat dirasakan keberadaannya dalam sebuah kondisi yang tidak hanya diperlukan tetapi
jangka panjang. Untuk itu, karena pembangunan juga mencukupi (necessary and sufficient condition),
PLTN membutuhkan dukungan politik, pengelolaan misalnya sebuah turn-over politik sehingga
resistensi sosial dan memerlukan waktu yang lama, pemerintah dapat memberikan kemauan politiknya
sekali proses agenda-setting pembangunan PLTN baik karena pertimbangan yang sifatnya rasional
telah mengarah pada keputusan secara formal, seperti belum optimalnya ketahanan listrik secara
pemerintah masih harus mengelola serangkaian nasional baik karena faktor rendahnya kinerja RUPTL
persoalan dalam implementasinya karena sejumlah hal. atau tidak optimalnya program pembangkit 35.000
Pertama, kuatnya resistensi masyarakat dan bahkan MW dan/atau pengembangan pembangkit berbasis
pemangku kepentingan utama dalam penyediaan EBT.
listrik secara nasional. Kedua, pembangunan PLTN Dua hal berikut merupakan kesimpulan awal
membutuhkan waktu yang panjang. Ketiga, perlu yang perlu didukung dengan studi lanjutan. Pertama,
dukungan kelembagaan dengan otoritas yang cukup dinamika agenda-setting pembangunan PLTN belum
dan dukungan finansial yang memadai. Keempat, menunjukkan adanya kemauan politik dari pemerintah
perlu kejelasan tujuan pengembangannya, yakni seiring dengan masih terbatasnya respons dukungan
apakah politis/sentimen nasionalisme atau penguatan daerah secara umum kecuali di Babel. Itu pun masih
ketahanan suplai listrik dalam jangka panjang. dalam konteks kepentingan pemenuhan listrik yang
sifatnya lokalitas. Dengan demikian, dalam jangka
V. SIMPULAN DAN SARAN menengah pembangunan PLTN belum dapat ber­peran
A. Simpulan dalam bauran pembangkit listrik secara nasional. Kedua,
Agenda pembangunan PLTN telah dirintis sejak kelayakan pembangunan PLTN akan menjadi pilihan yang
digulirkannya kebijakan pengembangan energi nuklir rasional dalam jangka panjang dalam rangka ketahanan
pada tahun 1960-an. Dinamika wacana kebijakan ini energi (listrik) nasional. Keputusan pemerintah untuk
terus berjalan seiring dengan perkembangan teknologi menyiapkan peta jalan pengembangan nuklir pada
bidang ini dan semakin kuatnya kerangka hukum tentang tahun 2016 menunjukkan bahwa proses agenda setting
ketenaganukliran. Selain itu, politik atom nasional pembangunan PLTN akan memulai babak baru dan
juga turut dipengaruhi oleh suksesi kepemimpinan semakin kuat ke depan. Namun demikian, sekali proses
politik nasional yang mencapai puncaknya pada masa agenda-setting pembangunan PLTN telah mengarah
pemerintahan Presiden SBY. Oleh karena itu, pada pada keputusan secara formal, bagaimana pun
awal tahun 2000-an rencana pembangunan PLTN pemerintah masih harus menghadapi tantangan berat
mendapatkan momentum dukungan politik yang dalam implementasinya karena masih kuatnya resistensi
sangat kuat tidak hanya dalam konteks pemenuhan masyarakat dan sejumlah pemangku kepentingan utama,
kebutuhan pasokan listrik di wilayah Jawa dan luar perlunya dukungan kelembagaan dengan otoritas yang
Jawa. cukup dan dukungan finansial yang memadai, serta
Namun demikian, kuatnya persoalan politik perlunya kejelasan tujuan pengembangannya, yakni
dalam konteks kentalnya resistensi sosial yang apakah politis/sentimen nasionalisme atau penguatan
beragam, mencakup masyarakat di sekitar tapak ketahanan suplai listrik jangka panjang.
PLTN dan masyarakat secara umum, akademisi,
pegiat anti-nuklir dan dalam batas tertentu sebagian B. Saran
operator penyediaan listrik itu sendiri menjadikan Agenda-setting pembangunan PLTN pernah menjadi
kebijakan pembangunan PLTN akhirnya dibatalkan. sebuah kebijakan formal tetapi tidak dapat di­
Sampai dengan tahun 2015, konstelasi wacana implemen­tasikan karena faktor kuatnya faktor non-
pembangunan PLTN pun masih belum menunjukkan teknis dan politis. Karena itu, proses agenda-setting
adanya dukungan politik pemerintah dan penetapan kebijakan pembangunan PLTN pada masa
pemangku kepentingan utama dalam penyediaan pemerintahan sekarang harus dimulai dari awal. Dua
listrik secara nasional. Dengan demikian, wacana rekomendasi pokok perlu disasar: pertama, sekali
pembangunannya atau yang dikenal sebagai proses kebijakan pembangunan PLTN ditetapkan secara
agenda setting belum sampai pada dimulainya formal, pemerintah harus konsisten menyatukan

140 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
dukungan politik dari kalangan pemerintah itu Tumiwa, F. (2008). Kebijakan energi dan rencana
sendiri dan pemangku kepentingan utama lainnya pembangunan PLTN di Indonesia, dalam Nick T.
seperti lembaga-lembaga terkait dan Pemda. Kedua, Wiratmoko (ed), Melawan Iblis Mephistopheles,
perlunya konsistensi pemerintah dalam implementasi Salatiga: Marem, Listhia dan Percik.
kebijakan seiring dengan kuatnya penolakan sosial
dan lamanya proses pembangunan PLTN.
Jurnal dan Working Paper
Amir, S. (2010). Nuclear revival in Post-Suharto
Indonesia. Asian Survey, 50(2), 265–286.
DAFTAR PUSTAKA Englert, M., Krall, L., & Ewing, R. C. (2012). Is nuclear
fission a sustainable source of energy?. MRS
BULLETIN, 37 (April), 417–424. http://doi.org/
10.1557/mrs.2012.6
Buku Kessides, I. N. (2010). Nuclear power and sustainable
Blackburn, J. O. (1987). Energi terbarui, menyongsong energy policy: Promises and perils. World Bank
kemakmuran tanpa enerji nuklir dan batubara Research Observer, 25(2), 323–362.
(terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kessides, I. N. (2012). The future of the nuclear
BPS Provinsi Bangka Belitung. (2015). Kepulauan industry reconsidered risks, uncertainties, and
Bangka Belitung dalam Angka 2015, continued potential. WPS6112, Washington,
Pangkalpinang: BPS Provinsi Babel. D.C.
Elway. (2009). Si Enuk, Serigala berbulu domba. Suleiman, A. M. (2013). Law and politics of nuclear power
Semarang: Pustaka Muria. plant development in Indonesia: Technocracy,
Greenpeace International dan European Renewable democracy, and internationalization of decision-
Energy Council (EREC). (2007). Energy [Re] making. In M. Faure & A. Wibisana (Eds.), Regulating
evolution, a sustainable Indonesia energy disasters, climate change and environmental
outlook, Amsterdam: Greenpeace International harm : Lessons from the Indonesian experience.
and EREC. Cheltenham, GBR: Edward Elgar Publising.
Greenpeace International. (2009). Tenaga nuklir: Tanter, R. (2015). The Slovakian “inspirasi” for
Pengalihan waktu yang berbahaya. Jakarta: Indonesian Nuclear Power : The “Success”
Greenpeace international. of a permanently failing organization. Asian
Perspective, 39, 667–694.
Howlett, Michael & Ramesh, M. (1995). Studying
public policy: Policy cycles and policysubsistems, Teske, S., Prasetya, S., Indrawan, B. (2007). Energy
USA: Oxford Univ. Press. [Re]evolution, A sustainable Indonesia energy
outlook. Amsterdam: Greenpeace, Engineering
Ibrahim, H. D. (2014). Energi selamatkan negeri.
Centre Univ. of Indonesia, dan European
Jakarta: Reform Institute dan Media Energi
Renewable Energy Council (EREC).
Negeri.
Ruff, T. (2015). Introduction to the special issue:
Nugroho, H. (2008). Menolak proyek listrik tenaga
Nuclear power in East Asia. Asian Perspective,
nuklir Muria. Dalam Nick T. Wiratmoko (ed),
Vol. 39, 555-558.
Melawan Iblis Mephistopheles. Salatiga: Marem,
Listhia dan Percik. Fukuda, Y. & Fukuda, K. (2012). Fukushima nuclear
power plant accident: Issues on radiation
Nugroho, R. (2014). Public policy, teori, manajemen,
monitoring and its relation to public health.
dinamika, analisis, konvergensi, dan kimia
Journal of Epidemiology and Community Heath,
kebijakan (edisi ke-5). Jakarta: Elex Media
Vol. 66 (12), 138.
Komputindo.
Parsons, W. (2011). Public policy, pengantar teori
Sumber Digital
dan praktik analisis kebijakan. (Terjemahan).
Dinas Kominfo Babel. (2015). Investasi, Bangka
Jakarta: Prenada Media.
Belitung butuh listrik 700 MW. Diperoleh tanggal
PT PLN. (2014). RUPTL 2015-2024. Jakarta: PT PLN. 3 Desember 2015, dari http://www.babelprov.
go.id/content/investasi-bangka-belitung-butuh-
Sharkansky, I. (2002). Politics and policy making.
listrik-700-mw#sthash.QyXEHB YZ.dpuf.
USA: Lynne Rienner.

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 141


DEN. (2016). Cadangan penyangga energi dan kick Ditjen Ketenagalistrikan. (2015). Jawaban tertulis
off sosialisasi RUEN. Diperoleh tanggal 22 Juli Dirjen Ketenagalistrikan atas pertanyaan
2016, dari http://www.den.go.id/index.php/ Anggota Komisi VII DPR RI. Jakarta: Ditjen
dinamispage/index/578-sidang-anggota-den- Ketenagalistrikan Kementerian ESDM.
ke18--cadangan-penyangga-energi-dan-kick-off-
Greenpeace International. (2008). Tenaga nuklir,
sosialisasi-ruen.html#sthash.raFW66I9.dpuf.
merongrong upaya perlindungan iklim. Briefing,
Halim, A. (2014). Perlukah Indonesia miliki PLTN?. Amsterdam: Greenpeace International.
Diperoleh tanggal 20 Mei 2015, dari http://
Handoyo, F. W. (2014, 8 Desember). Program listrik
www.voca-islam.com/read/liberalism/
35.000 MW. Kompas, hal. 7.
2014/09/15/32866/perlukah-indonesia-miliki-
pltn/#sthash.A76tzYyx.keXw7cS1.dpbs. Kementerian ESDM. (2015). Evaluasi kinerja tahun
2014 dan persiapan pelaksanaan program tahun
Setianto, B. D. (2015, Februari). Benturan UU
2015, Bahan raker Menteri ESDM dengan Komisi
dalam pendirian PLTN. Diperoleh tanggal 18
VII DPR RI. Jakarta: Kementerian ESDM.
Februari 2015, dari https://www.academia.
edu/1916242/Benturan_UU_dalam_Pendirian PT PLN Wilayah Babel. (2015, 10 Agustus). Kondisi
_PLTN. kelistrikan PLN Wilayah Babel. Paparan Diskusi.
Pangkalpinang: PT PLN Wilayah Babel.
Anonim. (2015). FMM layangkan petisi 13
ke presiden. Diperoleh tanggal 25 September
2015, dari https://pltnmuria.wordpress.com/ Peraturan Perundang-Undangan
forum-masyarakat-muria/tolak-pltn-fmm- Undang-Undang No. 31 Tahun 1964 tentang
layangkan-petisi-13-ke-presiden/. Ketentuan Pokok Tenaga Atom.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang
Sumber Lain Ketenaganukliran.
Fitra, S. & Wahyudin, F. (2012). Nuklir Serpong Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi.
‘menjajah’ Amerika. Bloomberg Businessweek
(edisi Bahasa Indonesia), No. 37, 27 - 03/10/2012. Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan.
BATAN. (2013). Ringkasan eksekutif studi kelayakan
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2014 tentang
Bangka Selatan dan Bangka Barat. Jakarta: Kebijak­an Energi Nasional.
BATAN.

142 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
Jurnal Review Politik
Volume 06, Nomor 02, Desember 2016

KONSEP DAN KAJIAN TEORI PERUMUSAN


KEBIJAKAN PUBLIK

Sholih Muadi
Fakultas llmu Sosial Politik Universitas Brawijaya
dr.sholihmuadi@gmail.com

Ismail MH
Univeristas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
ismailmh789@gmail.com

Ahmad Sofwani
Institut Pertanian Malang
ahmadsofwani@gmail.com

Abstract
The objective of this research was to describe concepts and theoretical
reviews relevant with public policy formulation. Method of research
was the review of theories or literatures. Result indicated that concepts
and theories, mainly those relevant with public policy formulation, or
that were previously used by policy experts, can be then used for all
fields of policy science. Some reviews and theories of policy formulation
may resolve policy issues that already challenged organizations or
institutions, either those in government or private sector.
Keywords: concepts, research, theory, and policy formulation
Abstrak
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan konsep dan
kajian teori tentang perumusan kebijakan publik. Metode menggu-
nakan kajian teori atau tinjaun pustaka. Hasil mengemukakan
bahwakonsep dan teori dari para ahli kebijakan terutama tentang
konsep dan teori tentang perumusan kebijakan publik dapat diguna-
kan untuk semua bidang ilmu kebijakan. Beberapa kajian dan teori
tentang perumusan kebijakan dapat mengatasi semua masalah
kebijakan yang dihadapi oleh lembaga maupun institusi pemerintah
maupun swasta.
Kata kunci: konsep, kajian, teori, perumusan dan kebijakan

. ISSN: 2088-6241 [Halaman 195 – 224] .


Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

Pendahuluan
Perkembangan studi kebijakan publik semakin kuat
sebagai akibat terjadinya perubahan lingkungan birokrasi pub-
lik. Meningkatnya rasionalitas masyarakat sebagai akibat dari
keberhasilan pembangunan sosial ekonomi, telah memuncul-
kan berbagai tantangan baru bagi birokrasi publik. Salah satu-
nya adalah semakin besarnya tuntutan akan kualitas kebija-
kan yang lebih baik. Ini mendorong munculnya minat untuk
mempelajari studi kebijakan publik. Keinginan untuk mewu-
judkan otonomi daerah yang kuat juga mendorong perlunya
perubahan orientasi pejabat birokrasi di daerah dan pening-
katan kemampuan mereka dalam perumusan dan perencanaan
kebijakan dan program pembangunan.
Karena itu, berkembangnya minat untuk mengembangkan
studi kebijakan publik sebenarnya merupakan hasil interaksi
dari kedua perubahan di atas, yaitu paradigma dan lingkungan
administasi negara. Pergeseran paradigma dan lingkungan
administrasi negara telah mendorong para pakar dan praktisi
administrasi negara untuk mempertanyakan kembali relevansi
teori dan prinsip-prinsip yang selama ini mereka kembangkan
dalam studi administrasi negara. Itu semua memiliki kontribu-
si yang besar terhadap perkembangan studi kebijakan publik.
Seperti disebutkan sebelumnya, perkembangan studi kebi-
jakan publik sebagian juga dirangsang oleh perubahan yang
terjadi dalam lingkungan birokrasi. Rasionalitas masyarakat
yang semakin tinggi menuntut para pejabat publik untuk
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam merumuskan
kebijakan pemerintah. Akibatnya, tidaklah mengherankan
kalau semakin banyak keluhan dan kritikan dari berbagai ke-
lompok masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Keluhan dan kritik terhadap serangkaian kebijakan pemerin-
tah itu bisa menjadi indikator dari ketidakpuasan mereka
terhadap kebijakan pemerintah. Rasionalitas yang semakin
tinggi membuat mereka dengan mudah menilai secara kritis
kebijakan pemerintah. Mereka akan dengan mudah menilai

196 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

seberapa besar pemerintah memperhatikan kepentingan mere-


ka dalam proses kebijakan.
Keluhan dan kritik masyarakat itu tentunya tidak bisa
diabaikan oleh pemerintah, kalau pemerintah tidak ingin kehi-
langan simpati dan pengaruh terhadap masyarakat. Tuntutan
akan kualitas kebijakan pemerintah yang semakin baik, yang
dapat memaksimalkan manfaat untuk sebagian besar masyara-
kat, telah menyadarkan pemerintah akan perlunya mereka
meningkatkan kemampuan aparat mereka dalam perumusan
dan perencanaan kebijakan. Hal ini ditandai dengan banyak-
nya aparat pemerintah yang kuliah lagi untuk mempelajari
teori-teori administrasi negara di beberapa perguruan tinggi di
Indonesia. Ini tentunya memiliki kontribusi positif terhadap
perkembangan studi kebijakan publik di Indonesia.
Istilah kebijakan seringkali penggunaannya saling dipertu-
karkan dengan istilah tujuan (goals), program, keputusan, Un-
dang-Undang. ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan ranca-
ngan-rancangan besar (Abdul Wahab, 1997: 2). Kebijakan pada
intinya adalah sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman ini
boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum mau-
pun khusus. Sejalan dengan makna kebijakan yang dikemuka-
kan oleh United Nation tersebut di atas, Fredrick (dalam
Islamy, 1998) memberikan pengertian kebijakan, yaitu serang-
kaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjuk-
kan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terha-
dap pelaksanaaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka
mencapai tujuan tertentu.
Anderson (dalam Islamy, 1998) mengatakan bahwa kebija-
kan itu adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan
tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku
atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu.
Berdasarkan pengertian tentang kebijakan yang telah diurai-
kan di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya kebijakan da-
pat dilakukan secara umum, namun pada kenyataannya lebih

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 197
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

sering dan secara luas dipergunakan dalam tindakan-tindakan


atau perilaku pemerintah serta perilaku Negara pada umum-
nya yang lebih dikenal dengan sebutan kebijakan Negara atau
kebijakan publik (publik policy).
Sedangkan pengertian kebijakan publik atau Negara itu
sendiri juga didefinisikan berbeda oleh para ahli, seperti yang
dikemukakan oleh Dye (dalam Islamy, 1998) bahwa kebijakan
Negara sebagai “is whatever government choose to do or not to
do” (apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan). Lebih lanjut Dye, mengatakan bahwa bila
pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu harus ada
tujuannya dan bersikap objektif serta meliputi semua tindakan
pemerintah.
Edward dan Sharkansky (dalam Islamy, 1998). Mengatakan
bahwa kebijakan Negara yaitu “is what government say and do,
or not do, it is the goals or purposes of government programs”
(adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak
dilakukan oleh pemerintah, kebijakan Negara itu berupa sasa-
ran atau tujuan program-program pemerintah). Berdasarkan
pengertian di atas bagaimanapun rumusannya pada hakikat-
nya kebijakan Negara mengarah kepada kepentingan publik,
dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang ada. Oleh karena
itu, maka kebijakan Negara dapat disimpulkan sebagai serang-
kaian tindakan yang dilakukan ataupun tidak dilakukan peme-
rintah, baik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang berorientasi
pada kepentingan masyarakat.
Berdasarkan pengertian tentang kebijakan dan kebijakan
publik yang telah diuraikan di atas, Islamy mengemukakan
beberapa elemen penting tentang kebijakan Negara (public
policy), yaitu:
a. Bahwa kebijakan Negara itu dalam bentuk perdananya
berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah.

198 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

b. Kebijakan Negara itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi


dilaksanakan dalam bentuk yang nyata.
c. Kebijakan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
perlu dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.
d. Kebijakan Negara harus ditujukan untuk kepentingan
masyarakat. (Islamy, 2002: 20).
Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terus
menerus, karena itu yang paling penting adalah siklus
kebijakan. Siklus kebijakan meliputi formulasi, implementasi
dan evaluasi kebijakan (Parsons, 1997). Kebijakan yang telah
diformulasikan atau dirumuskan bermaksud untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam konteks ini dapat dimengerti, bahwa
kebijakan tidak akan sukses, jika dalam pelaksanaannya tidak
ada kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan. Seringkali
ada anggapan setelah kebijakan disahkan oleh pihak yang
berwenang dengan sendirinya kebijakan itu akan dilaksana-
kan, dan hasil-hasilnya pun akan mendekati seperti yang
diharapkan oleh pembuat kebijakan tersebut. Dalam proses
kebijakan publik yang akan diterapkan, melalui proses/tahapan
yang cukup panjang. Thomas R. Dye (2001) menguraikan
proses kebijakan publik dalam beberapa tahapan, di antaranya
(Parson, 2005: 154):
1. Identifikasi masalah kebijakan
2. Penyusunan agenda
3. Perumusan kebijakan
4. Pengesahan kebijakan
5. Implementasi kebijakan
6. Evaluasi kebijakan.
Perumusan Kebijakan Publik
Perumusan kebijakan adalah langkah yang paling awal
dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan. Oleh
karena itu apa yang terjadi pada fase ini akan sangat

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 199
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat


itu pada masa yang akan datang. Perlu diingat pula bahwa
perumusan kebijakan publik yang baik adalah perumusan yang
berorientasi pada implemantasi dan evaluasi, sebab sering kali
para pengambil kebijakan beranggapan bahwa perumusan
kebijakan publik yang baik adalah sebuah konseptual yang
sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif, namun tidak
membumi ( Putra, 2001).
Dalam tataran konseptual perumusan kebijakan tidak
hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pemimpin
yang mewakili anggota, tetapi juga berisi opini publik (publik
opinion) dan suara publik (publik voice), seperti dijelaskan oleh
Parson (1997). Hal ini disebabkan oleh proses pembuatan
kebijakan pada esensinya tidak pernah bebas nilai (value free)
sehingga berbagai kepentingan akan selalu mempengaruhi
proses pembuatan kebijakan.
Mengikuti pendapat Anderson, Bintoro Tjokroamidjojo
(1976), Bapak Administrasi Pembangunan Indonesia, menge-
mukakan bahwa “Policy Fomulation sama dengan Policy
Making, dan ini berbeda dengan decision making (pengambilan
keputusan)”. Policy making memiliki konteks pengertian yang
lebih luas dari decision making. Sedangkan William R. Dhall
(1972) mendefinisikan decision making sebagai pemilihan atas
pelbagai macam alternatif. Sementara Nigro dan Nigro (1980)
mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan mutlak yang dapat
dibuat antara pengambilan keputusan decision making dengan
pembuatan kebijakan (policy making), karena itu, setiap pem-
buatan kebijakan adalah suatu pembuatan keputusan. Akan
tetapi, pengambilan kebijakan membentuk rangkaian-rang-
kaian tindakan yang mengarah ke banyak macam keputusan
yang dibuat dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang telah
dipilih.
Selanjutnya, Tjokroamidjojo (1976) menegaskan bahwa
“apabila pemilihan alternatif itu sekali dilakukan dan selesai,
maka maka kegiatan tersebut disebut pengambilan keputusan;

200 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

sebaliknya bila pemilihan alternatif itu terus-menerus dila-


kukan dan tidak pernah selesai, maka kegiatan tersebut
dinamakan perumusan kebijakan.
Dengan demikian, pengertian perumusan kebijakan me-
nyangkut suatu proses yang terdiri dari sejumlah langkah-
langkah. Ripley (1985) menjelaskan beberapa langkah dalam
kebijakan publik, yaitu:
1. Agenda setting
2. Formulation dan legitimination
3. Program Implementations
4. Evaluation of implementation, performance, and impacts
5. Decisions about the future of the policy and program
Rincian dari setiap langkah tersebut dapat dilihat dalam
Gambar berikut.
Gambar 1. Langkah-langkah Pengambilan Kebijakan

Agenda setting
• Perception of problem
• Definition of problem Agenda of government
• Mobilization of support for including
problem on agenda

Formulation dan legitimination


•Infromation collection, analysis, and
dissemination Policy statements, including
•Alternatove development goals for achievement and
•Advocacy and coalition building design of program(s) for
Compromise, negotiation decision achieving them, often in the form
of a statuta

Program Implementation
•Resources Acquation
•Interpretation
•Planning
•Organizing Policy actions
•Providing benefits, services, and coercion

Evaluation of implementation, Policy and program


performance, and impacts performance and impacts

Decision about the future of the


policy and program

(Sumber : Randall B. Ripley. 1985)


Dengan demikian, berdasarkan pendapat Ripley tersebut,
ruang-lingkup Formulasi Kebijakan Publik lebih menekankan
pada tahapan: Agenda Setting, Agenda Pemerintah, Formulasi
dan legitimasi, serta pengambilan dan pengumuman kebijakan

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 201
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

untuk mencapai sasaran seperti apa yang telah dijelaskan di


atas.
Beberapa pakar menjelaskan bahwa proses perumusan
kebijakan publik selalu dan harus memperhatikan beberapa
karakteristik penting agar dapat mencapai sasaran kebijakan
yang dituangkan dalam tahapan implementasi kebijakan.
Misalnya, dijelaskan oleh O‟Jones (1996) bahwa ada empat
varian kelompok kepentingan bila dilihat atas interest dan
akses serta kebutuhan masyarakat pada perumusan kebijakan
publik, yaitu (a) kelompok kepentingan yang terorganisasi
dengan baik dengan akses yang mapan, (b) kelompok
kepentingan yang terorganisasi dengan baik tanpa akses yang
mapan, (c) kelompok kepentingan yang tidak terorganisasi
dengan baik tetapi memiliki akses yang mapan, dan (d)
kelompok kepentingan yang tidak terorganisasi sekaligus juga
tidak memiliki akses yang mapan.
Berbagai peraturan dirumuskan oleh pimpinan maupun
eksekutif yang ditindaklanjuti oleh birokrasi terkait bekerja-
sama dengan masyarakat (stakeholders). Konsepsi itu membe-
rikan petunjuk bahwa kegagalan implementasi kebijakan
merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab jajaran
birokrasi.
Untuk kepentingan proses implementasi kebijakan publik
yang selalu direspon oleh masyarakat secara positif, para
perumus kebijakan harus senantiasa melakukan negosiasi
secara langsung dengan masyarakat yang terkena dampak
suatu kebijakan (Islamy, 2001). Pandangan itu mengingatkan
atas konsep “policy environment” yang diungkapkan oleh Dye
(dalam Dunn, 2000), sehingga perlu hati-hati dalam implemen-
tasinya karena antara perumusan kebijakan dan implemen-
tasinya tidak dapat dipisahkan. Disamping itu setiap perumu-
san kebijakan yang baik harus terkandung nuansa implemen-
tasi dan tolok ukur keberhasilannya, sehingga kebijakan yang
telah dirumuskan dan diwujudkan dalam bentuk program
harus selalu bertujuan dapat diimplmentasikan (Islamy, 2000).

202 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

Berbagai penjelasan konseptual di atas terkait dengan


perumusan kebijakan, konsep perumusan terkait dengan perso-
alan implementasi kebijakan, dimana ketergantungan imple-
mentasi yang baik akan sangat ditentukan oleh proses dan
penentuan kebijakan yang dilakukan. Di samping itu, perumu-
san dan implementasi kebijakan merupakan dua eleman yang
tidak dapat dipisahkan sekalipun secara konseptual berbeda
Dunn (2000). Sebuah kebijakan tidak mempunyai arti apapun
jika tidak dapat diimplementasikan. Oleh karena itu perlu
dirumuskan secara tepat melalui proses penentuan kebijakan
yang relevan dengan rencana implementasinya.
Aspek lain yang terkandung dalam memahami dinamika
penetapan dan implementasi kebijakan yang seirama tersebut.
Dalam prosesnya perlu memperhatikan konteks pelibatan
masyarakat seperti diungkapkan oleh Islamy (2002), Dunn
(2000) dan Thoha (2002). Hal ini berarti bahwa antara konsep
penetapan dan implementasi kebijakan disamping harus
selaras, juga harus dilihat sebagai bagian kehidupan masya-
rakat di dalam lingkungan.
Selanjutnya, banyak orang percaya masalah kebijakan
adalah merupakan kondisi obyektif yang keberadaannya secara
sederhana dapat ditentukan dari „fakta„ apa yang ada dibalik
suatu kasus. Pandangan yang naïf mengenai sifat masalah
kebijakan ini akan gagal untuk memahami bahwa fakta-fakta
yang sama, misalnya, statistik pemerintah yang menunjukkan
bahwa kriminalitas polusi dan inflasi meningkat–cenderung
diinterpretasikan secara berbeda oleh setiap pelaku kebijakan.
Karenanya, informasi yang sama dapat dan selalu menghasil-
kan konflik definisi dan penjelasan terhadap suatu “masalah“.
Hal ini bukan karena fakta-fakta mengenai hal tersebut tidak
konsisten, tetapi karena analis kebijakan, pengambil keputu-
san, dan pelaku-pelaku kebijakan lainnya berpegang pada
asumsi-asumsi yang berbeda mengenai sifat manusia, pemerin-
tah, dan kesempatan melakuka perubahan social melalui

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 203
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

tindakan publik. Dengan kata lain masalah kebijakan terletak


di mata para pelakunya (Darwin, 1999).
Dunn (2000) menambahkan bahwa masalah kebijakan
adalah nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum ter-
penuhi, tetapi yang dapat diidentifikasikan dan dicapai mela-
kukan tindakan publik. Informasi mengenai sifat masalah dan
potensi pemecahannaya, seperti yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya, dihasilkan melalui penerapan prosedur analisa
kebijakan perumusan masalah. Perumusan masalah, sebagai
salah satu tahap dalam proses penelitian di mana analis mera-
ba-raba untuk mencari definisi yang mungkin mengenai situasi
problematis, tak disangkal merupakan aspek yang paling rumit
tatapi paling sedikit difahami dalam analisa kebijakan. Proses
perumusan masalah kebijakan tidak mengikuti aturan-aturan
yang definitif, karena masalah kebijakan itu sendiri sedemi-
kian kompleks. Karena itu, masalah kebijakan merupakan
tahap paling kritis dalam analisa kebijakan, karena analis
lebih sering memecahkan masalah yang salah dari pada
menemukan pemecahan yang salah atas masalah yang benar.
Kesalahan fatal dalam analisa kebijakan adalah memecahkan
rumusan masalah yang salah karena analis dituntut untuk
memecahkannya secara benar.
Kemampuan untuk mengenali perbedaan antara situasi
problematis, masalah kebijakan dan isu kebijakan sangat
penting guna memahami pelbagai cara bagaimana pengalaman
sehari-hari diterjemahkan kedalam ketidak sepakatan menge-
nai arah tindakan pemerintah baik yang aktual maupun poten-
sial. Rumusan masalah sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi
dari pelbagai pelaku kebijakan–anggota parlemen, administra-
tor, pemimpin bisnis dan kelompok-kelompok konsumen–
sebagai alat dalam memahami situasi problematis. Sebaliknya,
setiap rumusan (formulasi) masalah menentukan cara bagai-
mana isu kebijakan didefinisikan.
Abdul Wahab (1997) dan Dunn (2000) mengatakan bahwa
tingkat kompleksitas isu kebijakan paling mudah digambarkan

204 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

dengan melihat tingkat organisasi yang merumuskan dan


memecahkan masalah. Isu kebijakan diklasifikasikan menurut
tipe penjejangan: utama, sekunder, fungsional, dan minor. Isu
utama (major issues) ditemukan di tingkat organisasi tertinggi
baik nasional maupun propinsi. Isu kebijakan biasanya berupa
pertanyaan-pertanyaan mengenai misi organisasi. Yaitu, perta-
nyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan sifat dan tujuan
organisasi pemerintah. Isu tentang bagaimana departemen-
departemen kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Mengatasi masalah-masalah kemiskinan merupakan pertanya-
an dari organisasi-organisasi tingkat ini. Isu sekunder
(secondary isssues) berada di tingkat program dari badan-badan
di tingkat nasional dan lokal. Isu sekunder dapat berupa
satuan prioritas program dan definisi kelompok target. Isu
bagaimana mendifinisikan keluarga miskin adalah isuy
sekunder. Isu fungsional (functional issues), berkebalikan
dengan sebelumnya, terdapat baik di tingkat program ataupun
proyek dan meliputi pertanyaan tentang budgeting, keuangan,
dan perbekalan. Akhirnya, Isu minor (minor issues) paling
banyak di tingkat proyrk-proyek khusus. Isu minor meliputi
personalia. Staffing, upah, waktu libur, dan prosedur serta
peraturan pelaksanaan standar
Semakin tinggi tipe isu kebijakan, masalah (problem) yang
dirumuskan analis menjadi semakin kompleks dalam arti,
masalah menjadi semakin saling bergantung, subyektif, buatan
dan dinamis. Meskipun isu-isu tersebut saling bergantung,
beberapa isu bersifat strategis, sementara lainnya bersifat
operasional. Isu strategis (strategic issues) adalah suatu isu
yang keputusannya relatif tidak dapat diubah. Beberapa isu
seperti apakah aparat keamanan harus membasmi secara fisik
para pelaku tindak kriminal merupakan masalah strategis
karena akibat atau hasil tindakan tidak dapat dibalik dalam
beberapa tahun. Sebaliknya, isu operasional – yaitu isu dimana
akibat atau hasil keputusan relative dapat dibalik–tidak
mengandung resiko dan ketidak pastian seperti yang terdapat
pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi. Karena semua tipe isu

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 205
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

itu bersifat saling bergantung – misalnya, realisasi missi


organisasi sebagian besar bergantung pada kecukupan praktis
personilnya-penting sekali difahami bahwa kompleksitas dan
ketidak mampuan untuk diubah dari keputusan-keputusan
kebijakan meningkat sejalan dengan jenjang tipe isu kebijakan
(Darwin, 1999).
Syarat yang dibutuhkan dalam rangka memecahkan
masalah yang susunannya tidak jelas, tidak sama dengan yang
dibutuhkan untuk masalah yang tersusun dengan baik. Jika
pada masalah yang tersusun dengan baik analis dapat
menggunakan metode-metode konvensional untuk memecah-
kan masalah yang telah dirumuskan dengan jelas atau terbukti
sendiri, maka pada masalah yang susunannya tidak jelas
terdapat tuntutan agar analis mengambil langkah pertama
dengan mendefinisikan masalah itu sendiri. Dalam mendefini-
sikan sifat masalah, analis tidak hanya meletakkan dirinya
dalam situasi problematik, tetapi juga harus menguji pemiki-
ran dan wawasannya secara kreatif. Ini berarti bahwa keba-
nyakan analisa kebijakan tercurah pada perumusan masalah
dan setelah itu baru pada pemecahan masalah. Pada kenya-
taannya, pemecahan masalah hanya merupakan sebagian kecil
dari kerja analisa kebijakan (Rein and White, 1977).
Aktor Formulasi Kebijakan Publik
Kajian terhadap aktor perumus kebijakan merupakan hal
yang penting. Para aktor merupakan penentu isi kebijakan dan
pemberi warna dinamika tahapan-tahapan proses kebijakan.
Sesuai dengan pendapat Winarno (2005) ,jika tipe kebijakan
berpengaruh terhadap tingkat kesulitan yang dapat terjadi
dalam proses formulasi kebijakan, maka aktor-aktor pelaksana
dan hubungan antar aktor berpengaruh langsung terhadap
keberhasilan proses formulasi kebijakan.Para aktor tersebut
masing-masing mempunyai karakteristik yang menunjukkan
kekuatannya mempengaruhi proses kebijakan.
Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan
berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor negara maupun

206 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

aktor non negara atau yang disebut oleh Anderson dalam Abdul
Wahab (2005) sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-
makers) dan peserta non pemerintahan (nongovernmental
participants). Pembuat kebijakan resmi adalah mereka yang
memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan
kebijakan publik. Mereka ini menurut terdiri atas legislatif;
eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. Legislatif
merujuk kepada anggota kongres/dewan yang seringkali diban-
tu oleh para staffnya. Adapun eksekutif merujuk kepada
Presiden dan jajaran kabinetnya. Sementara itu, badan admi-
nistratif menurut merujuk kepada lembaga-lembaga pelaksana
kebijakan. Di pihak lain menurut, Pengadilan juga merupakan
aktor yang memainkan peran besar dalam perumusan kebi-
jakan melalui kewenangan mereka untuk mereview kebijakan
serta penafsiran mereka terhadap undang-undang dasar.
Dengan kewenangan ini, keputusan pengadilan bisa mempe-
ngaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan publik.
Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain
yang terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi diantara-
nya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi penelitian;
media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang
disebut sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental
participants) karena penting atau dominannya peran mereka
dalam sejumlah situasi kebijakan, tetapi mereka tidak memili-
ki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat.
Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan infor-
masi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempenga-
ruhi. Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang
telah mereka siapkan. Jadi meskipun pada akhirnya kebijakan
ditentukan oleh institusiyang berwenang, keputusan diambil
setelah melalui proses informal negosiasi dengan berbagai pi-
hak yang berkepentingan.
Dengan demikian keterlibatan aktor lain dalam pemberian
ide terhadap proses perumusan kebijakan tetap atau sangat
diperlukan. Lembaga/instansi pemerintah banyak terlibat

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 207
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

dalam perumusan ataupun pengembangan kebijakan publik.


Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa kebijakan sebagai
apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai masalah ter-
tentu sehingga keterlibatan lembaga itu sebagai aparat peme-
rintah dalam ikut menentukan kebijakan menjadi semakin
terbuka. Dengan pemahaman tersebut, maka lembaga/instansi
Pemerintah telah menjadi pelaku penting datam proses pem-
buatan kebijakan. Selain itu, lembaga/instansi pemerintah juga
menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan kebija-
kan dalam sistem politik. Lembaga/instansi tersebut secara
khas tidak hanya menyarankan kebijakan, tetapi juga secara
aktif melakukan lobi dan menggunakan tekanan-tekanan da-
lam penetapan kebijakan publik.
Aktor-aktor yang terlibat dalam formulasi pun memiliki
peran yang berbeda dengan evaluasi rancangan kebijakan.
Aktor-aktor dalam formulasi adalah individu atau kelompok
yang memiliki kepentingan dengan kebijakan yang dibuat dan
berasal dari berbagai kalangan. Dalam formulasi paling tidak,
stakeholders bisa berasal dari legislatif, eksekutif maupun
kelompok kepentingan. Ketiganya berada dalam kepentingan
yang sama dalam pengambilan keputusan sedangkan dalam
evaluasi rancangan kebijakan,aktor-aktor yang terlibat dalam
eksekutif tetapi berasal dari tingkat pemerintahan yang
berbeda.
Hubungan antar aktor ini bisa bersifat horizontal (layers),
vertikal (levels), maupun antar lembaga (locus-loci). Secara
umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak aktor (layers,
levels, loci) yang terlibat dalam formulasi sebuah kebijakan,
maka akan semakin sulit pula kebijakan tersebut diimplemen-
tasikan dan mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini mudah
dipahami karena semakin banyak aktor yang terlibat, maka
akan semakin banyak pula biaya koordinasi yang dibutuhkan,
semakin banyak pula kepentingan yang bersaing untuk
didahulukan, belum lagi masalah kewenangan dan tanggung
jawab antar aktor yang mesti diperjelas terlebih dahulu.

208 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

Secara umum aktor-aktor atau yang terlibat dalam proses


formulasi kebijakan dibagi dalam dua kategori besar yakni
(Jones, 2007) :
1. Aktor Inside Government, pada umumnya meliputi: a)
Eksekutif (Presiden; Staf Penasihat Presiden; para Menteri,
para Kepala Daerah) yang umumnya merupakan jabatan
politis; b) Anggota-anggota dari badan perwakilan rakyat (Lem-
baga Legislatif); c) Badan dan orang-orang Yudikatif secara
parsial; dan d) Birokrasi.
2. Aktor Outside Government, pada umumnya meliputi: a)
Kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang bisa
berwujud LSM (NGO). Kelompok/ikatan profesional, kelompok
bisnis, perserikatan buruh, bahkan organisasi atau lembaga
keagamaan; b) Akademisi, peneliti dan konsultan, pihak swasta
(perusahaan) memberikan layanan sesuai permintaan pemerin-
tah); c) Politisi; d) Media massa; e) Opini publik; f).Kelompok
sasaran kebijakan (beneficiaries); g) Lembaga-lembaga donor.
Orang-orang yang terlibat dalam formulasi kebijakan
publik tersebut sebagai aktor formulasi kebijakan publik.
Sebutan lain bagi aktor adalah partisipan, peserta perumusan
kebijakan publik. Oleh karena kebijakan publik mempunyai
tingkatan-tingkatan (nasional, umum, khusus, dan teknis),
maka para aktor formulasi kebijakan di setiap tingkatan-
tingkatan tersebut berbeda.
Tentunya agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, salah satu alternatif
yang dilakukan adalah kemauan pemerintah untuk memba-
ngun jaringan dengan aktor di luar pemerintah, yaitu aktor
privat dan aktor civil society. Pemerintah sudah tidak tepat lagi
memandang aktor-aktor tidak resmi sebagai ”lawan politik”
tetapi sudah saatnya pemerintah menjadikan aktor-aktor itu
sebagai ”sahabat” dalam membicarakan produk-produk kebija-
kan publik di daerah.

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 209
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

Penetapan Perumusan Kebijakan Publik


Tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari
sebuah proses kebijakan. Hal ini terkait dengan proses
pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang
biasanya mempertimbangkan pengaruh langsung yang dapat
dihasilkan dari pilihan alternatif utama tersebut. Proses ini
biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan
dan tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial,
politik, dan ekonomi. Tahap perumusan kebijakan melibatkan
aktifitas identifikasi dan atau merajut seperangkat alternatif
kebijakan untuk mengatasi sebuah permasalahan serta mem-
persempit seperangkat solusi tersebut sebagai persiapan dalam
penentuan kebijakan akhir (Sidney, 2007: 79).
Dengan mengutip pendapat dari Cochran dan Malone
(1999), menurut Sidney perumusan kebijakan mencoba menja-
wab sejumlah pertanyaan, yaitu: apa rencana untuk menye-
lesaikan masalah? Apa yang menjadi tujuan dan prioritas?
Pilihan apa yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut? Apa
saja keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan? Eksterna-
litas apa, baik positif maupun negatif yang terkait dengan
setiap alternatif? (Sidney, 2007: 79)
Perumusan seperangkat alternatif akan melibatkan proses
identifikasi terhadap berbagai pendekatan untuk menyelesai-
kan masalah; serta kemudian mengidentifikasi dan mendesain
seperangkat perangkat kebijakan spesifik yang dapat mewakili
setiap pendekatan (Sidney, 2007: 79). Tahap perumusan juga
melibatkan proses penyusunandraft peraturan untuk setiap
alternatif yang isinya mendeskripsikan mengenai sanksi, hi-
bah, larangan, hak, serta mengartikulasikan kepada siapa atau
kepada apa ketentuan tersebut akan berlaku dan memiliki
dampak, dan lain-lain. Pernyataan itu juga didukung oleh
pernyataan Jann dan Wegrich serta Anderson. Menurut Jann
dan Wegrich, di dalam tahap perumusan kebijakan, permasa-
lahan kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan masyarakat
ditransformasikan ke dalam sejumlah program pemerintah.

210 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan akan meliputi


definisi sasaran, yaitu apa yang akan dicapai melalui kebija-
kan serta pertimbangan-pertimbangan terhadap sejumlah al-
ternatif yang berbeda (Jann dan Wegrich, 2007: 48).
Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan
usulan akan tindakan yang terkait dan dapat diterima (biasa
disebut dengan alternatif, proposal, atau pilihan) untuk mena-
ngani permasalahan publik. Perumusan kebijakan menurut
Anderson tidak selamanya akan berakhir dengan dikeluarkan-
nya sebagai sebuah produk peraturan perundang-undang-
an (Anderson, 2006: 103-109). Namun, pada umumnya sebuah
proposal kebijakan biasanya ditujukan untuk membawa peru-
bahan mendasar terhadap kebijakan yang ada saat ini. Terkait
permasalahan itu, terdapat sejumlah kriteria yang membantu
dalam menentukan pemilihan terhadap alternatif kebijakan
untuk dijadikan sebuah kebijakan, misalnya: kelayakannya,
penerimaan secara politis, biaya, manfaat, dan lain sebagai-
nya (Sidney, 2007: 79).
Selain itu, akademis juga memiliki peran penting sebagai
penasehat kebijakan atau pemikir (think tanks). Pengetahun
dari para penasehat ini seringkali berpengaruh dalam proses
perumusan kebijakan (Jann, 2007: 51).
Perumus kebijakan perlu mempertimbangkan sejumlah hal
yang dapat meningkatkan peluang berhasilnya proposal kebi-
jakan yang dirumuskannya. Sejumlah hal tersebut adalah,
model-model perumusan kebijakan, model sistem-politik, model
rasional komprehensif, model ingkrementalis dan model penye-
lidikan campuran, (Anderson, 2006: 104).
Model-Model Perumusan Kebijakan
Membuat atau merumuskan kebijakan bukanlah suatu
proses yang sederhana danmudah. Hal ini disebabkan banyak
faktor atau kekuatan-kekuatan yang berpengaruh terhadap
proses pembuatan kebijakan tersebut. Suatu kebijakan dibuat
bukan semata–mata untuk kepentingan politis tetapi justru

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 211
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

untuk meningkatkan kesejahteraan hidupanggota masyarakat


secara keseluruhan. Perumusan kebijakan akan lebih mudah
dimengerti apabila menggunakan suatu model atau pendeka-
tan tertentu.Oleh karena itu, beberapa ahli mengembangkan
model-model perumusan kebijakanuntuk mengkaji proses peru-
musan kebijakan agar lebih mudah dipahami. Dengan demi-
kian, pembuatan model-model perumusan kebijakan digunakan
untuk lebih menyederhanakan proses perumusan kebijakan
yang berlangsung secara rumit tersebut.
Ada cukup banyak model perumusan kebijakan yang dipa-
parkan oleh beberapa ahli, hanya saja yang akan dibahas
hanyalah beberapa dari model tersebut. Sebelum dibahas lebih
lanjut identifikasi beberapa model perumusan kebijakan, perlu
diperhatikan bahwa tidak ada satupun dari beberapa model
yang dibahas dianggap “paling baik”, karena masing-masing
model memberikan fokus perhatiannya pada aspek yang ber-
beda, sehingga akan membuat kita mampu mempelajari
kebijakan dari berbagai sudut pandang.
Model Sistem-politik
Model ini diangkat dari uraian sarjana politik David
Easton. Model ini didasarkan pada konsep-konsep teori
informasi (inputs, withinputs, outputs dan feedback) dan
memandang kebijakan sebagai respon suatu sistem politik
terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (dalam hal ini yaitu
sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya)
yang ada di sekitarnya.
Konsep “sistem” itu sendiri menunjuk pada seperangkat
lembaga dan aktivitas–aktivitas politik dalam masyarakat
sehingga model ini memandang kebijakan sebagai hasil
(output) dari sistem politik yang berfungsi mengubah tuntutan-
tuntutan (demands), dukungan-dukungan (supports), dan
sumber-sumber (resources), menjadikan ini semua adalah
masukan–masukan (inputs), dimana masukan atau inputs ini
menjadi keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang
otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat (outputs). Konsep

212 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

“sistem” ini juga menunjukkan adanya saling hubungan antara


elemen-elemen yang membangun sistem politik serta mempu-
nyai kemampuan menanggapi kekuatan dalam lingkungannya.
Inputs yang sudah diterima oleh sistem politik dijadikan dalam
bentuk tuntutan dan dukungan (Islamy, 2004: 45).
Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang ditawarkan
oleh Easton, Paine dan Naumes menggambarkan model pembu-
atan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingku-
ngan dengan para pembuat kebijakan dalam suatu proses yang
dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan
kebijakan terdiri dari interaksi yang terbuka dan dinamis antar
para pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang
terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan
outputs). Keluaran yang dihasilkan oleh organisasi pada akhir-
nya akan menjadi bagian lingkungan dan seterusnya akan
berinteraksi dengan organisasi.
Tuntutan-tuntutan (demands) timbul bila individu-individu
atau kelompok setelah memperoleh respons dari peristiwa dan
keadaan-keadaan yang ada di lingkungannya serta berupaya
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Konsep“sistem”
ini akan menyerap berbagai tuntutan yang ada. Sedangkan
dukungan (supports) diperlukan untuk menunjang tuntutan-
tuntutan yang telah dibuat tadi. Jika sistem politik telah
berhasil membuat keputusan ataupun kebijakan yang sesuai
dengan tuntutan tadi maka implementasi keputusannya akan
semakin mudah dilakukan. Menerima dan mematuhi hasil
keputusan kebijakan, mematuhi undang-undang, membayar
pajak dan sebagainya adalah merupakan perwujudan dari
pemberian dukungan dan sumber-sumber.
Suatu sistem menyerap bermacam-macam tuntutan yang
kadangkala bertentangan antara satu dengan yang lain. Untuk
mengubah tuntutan-tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan
(kebijakan-kebijakan publik), suatu sistem harus mampu
mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 213
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

dan memberlakukan penyelesaian-penyelesaian ini pada pihak


yang bersangkutan.
Oleh karena suatu sistem dibangun berdasarkan elemen-
elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergan-
tung pada interaksi antara berbagai subsistem, maka suatu
sistem akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yakni:
1) menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan,
2) menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam
sistem itu sendiri, dan
3) menggunakan atau mengancam untuk menggunakan
kekuatan (penggunaan otoritas).
Dengan penjelasan yang demikian, maka model ini
memberikan manfaat dalam membantu mengorganisasikan
penyelidikan terhadap pembentukan kebijakan. Secara singkat
bisa dipahami, perumusan kebijakan dengan menggunakan
model sistem ini mengandaikan bahwa kebijakan merupakan
hasil dari output dari sistem. Seperti yang dipelajari dalam
ilmu politik yang dikemukakan David Easton, yang terdiri atas
input, throughput¸dan output dimana model ini merupakan
model yang paling sederhana namun cukup komprehensif
(Nugroho, 2006: 96).
Model Rasional Komprehensif
Model ini merupakan model yang paling dikenal dan juga
paling luas diterima parakalangan pengkaji kebijakan. Model
teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakansebagai
maximum social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat
kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat
optimum bagi masyarakat.
Model ini mengatakan bahwa proses penyusunan kebija-
kan harus didasarkan pada kebutuhan yang sudah diperhi-
tungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah
perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai.

214 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

Dengan kata lain, model ini lebih menekankan pada aspek


efisiensi dan aspek ekonomis.
Cara–cara memformulasikan atau merumuskan kebijakan-
nya sesuai urutan adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya
b. Menemukan pilihan-pilihan
c. Menilai konsekuensi masing- masing pilihan
d. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan
e. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien
Apabila dirunut, model ini merupakan model ideal dalam
merumuskan kebijakan, dalam arti mencapai tingkat efisiensi
dan efektivitas kebijakan. Studi-studi kebijakan biasanya
memfokuskan pada tingkat efisiensi dan keefektifan kebijakan
(Nugroho, 2006: 82).
Unsur- unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1) Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah
tertentu yang dapat dibedakan dari masalah–masalah lain atau
setidaknya dinilai sebagai masalah–masalah yang dapat
diperbandingkan satu sama lain.
2) Tujuan-tujuan, nilai–nilai, atau saran yang memedomani
pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangking-
nya sesuai dengan urutan kepentingannya.
3) Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut
diteliti secara seksama
4) Teliti juga akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditim-
bulkan oleh setiap alternatif yang dipilih
5) Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyer-
tainya dapat diperbandingkan dengan alternatif lain yang ada

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 215
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

6) Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-


akibatnya, yang dapat memaksimasi tercapainya tujuan, nilai
atau sasaran yang telah digariskan (Abdul Wahab,2005: 19).
Namun, model ini juga memiliki kelemahan dan kelebihan-
nya. Beberapa ahli yangmemuji model ini di antaranya:
1) Lutrin dan Settle, yang berpendapat bahwa “Model rasional
komprehensif dipandang sebagai suatu prosedur yang optimal
yang akan banyak diinginkan dalam berbagai keadaan”
2) Nicholas Henry, yang berpendapat bahwa “Model rasional
komprehensif menjelaskan tentang bagaimana kebijakan nega-
ra itu seharusnya dibuat di lembaga pemerintahan secara opti-
mal. Hal inilah yang menjadikan model rasional komprehensif
begitu berharga bagi administrasi negara karena model ini
berhubungan dengan bagaimana kebijakan itu dibuat secara
lebih baik”
3) Ira Sharkansky, yang berpendapat bahwa “Model ini adalah
menggunakan rasionalitas, dimana rasionalitas adalah suatu
nilai yang telah diterima secara luas pada kebudayaan kita”.
4) James E. Anderson, yang berpendapat bahwa “model pem-
buatan keputusan yang banyak dikenal dan juga mungkin yang
banyak/secara luas diterima adalah model rasional komprehen-
sif (Islamy, 2004: 52-53).
Selain pendapat-pendapat di atas, masih banyak lagi
pendapat lain yang memuji kehebatan model rasional kompre-
henssif, tetapi secara kontroversial mereka juga mengakui
akan banyaknya kelemahan-kelemahan model ini. Seorang ahli
Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom menyatakan bah-
wa para perumus kebijakan itu sebetulnya tidaklah berhada-
pan dengan masalah-masalah yang konkrit dan terumuskan
dengan jelas. Sebaliknya, mereka pertama-tama harus meng-
identifikasikan dan merumuskan masalah-masalah itu dan
dari sinilah mereka kemudian memutuskan untuk merumus-
kan kebijakan. Merumuskan masalah lah yang seringkali

216 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

justru merupakan kesulitan terbesar bagi banyak pembuat


kebijakan (Abdul Wahab, 2005: 19).
Kelemahan model ini yang kedua adalah pada praktiknya
perumus kebijakan acapkali tidak mempunyai cukup kecaka-
pan untuk melakukan syarat-syarat dari model ini, mulai dari
analisis, penyajian alternatif, memperbandingkan alternatif,
hingga penggunaan teknik-teknik analisis komputer yang pa-
ling maju untuk menghitung rasio untung dan ruginya. Selain
itu hal ini menunjukan bahwa rasionalitas itu sendiri mem-
punyai keterbatasan dan bisa jadi berubah menjadi irasiona-
litas. Hal ini lah menunjukkan bahwa teori “rasional” tidak
cukup untuk memahami pembuatan keputusan kebijakan
negara (Nugroho, 2006: 88).
Model Inkrementalis
Model ini merupakan model penambahan (inkrementalis).
Model ini lahir berdasarkan kritik dan perbaikan terhadap
model rasional-komprehensif dengan mengubah (memodifikasi)
sedikit-sedikit kebijakan yang sudah dibuat oleh model rasional
komprehensif (Islamy,2004: 59). Dijelaskan bahwa para pem-
buat kebijakan dalammodel rasional komprehensif tidak per-
nah melakukan proses seperti yang disyaratkan oleh pende-
katan rasional dikarenakan para pembuat kebijakan tidak me-
miliki cukup waktu,intelektual dan biaya. Ada muncul kekha-
watiran dari dampak yag tidak diinginkan akibat kebijakan
yang belum pernah dibuat sebelumnya, ada hasil–hasil dari
kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan dan menghin-
dari konflik (Nugroho, 2006: 89).
Model ini melihat bahwa kebijakan merupakan variasi atau
kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Model ini dapat dikata-
kan sebagai model pragmatis/praktis.Pendekatan model ini
diambil ketika pembuat kebijakan berhadapan dengan keterba-
tasan waktu, ketersediaan informasi, dan kecukupan dana
untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif.
Sementara itu pembuat kebijakan dihadapkan pada ketidak-
pastian yang muncul di sekelilingnya. Pilihannya adalah

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 217
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan beberapa modifi-


kasi seperlunya. Pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerin-
tahan yang berada di lingkungan masyarakat yang pluralistik,
yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru
yang dapat memuaskan seluruh warga.
Dengan kata lain, model ini memberikan kebijakan tamba-
han yang baru dengan sedikit memodifikasi kebijakan di masa
lalu hanya saja kebijakan penambahan (inkremental) ini tidak
mendapatkan dukungan yang memadai. Model inkrementalis
berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu
untuk mempertahankan kinerja yang telah dicapai.
Model kebijakan inkrementalis tidak saja terjadi karena
keterbatasan sumber daya, melainkan juga karena keberha-
silan di masa lalu yang menciptakan rasa puas diri yang berke-
panjangan (Nugroho, 2006: 89-91).
Menurut pandangan kaum inkrementalis, para pembuat
keputusan dalam menunaikan tugasnya berada di bawah kea-
daan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi-
konsekuensi dari tindakan mereka di masa depan, maka kepu-
tusan-keputusan inkremental dapat mengurangi resiko atau
biaya ketidakpastian itu. Inkrementalisme juga mempunyai
sifat realistis karena didasari kenyataan bahwa para pembuat
keputusan kurang waktu, kecakapan dan sumber-sumber lain
yang dibutuhkan untuk melakukan analisis yang menyeluruh
terhadap semua penyelesaian alternatif masalah-masalah yang
ada.
Disamping itu, pada hakikatnya orang ingin bertindak seca-
ra pragmatis, tidak selalu mencari cara hingga yang paling
baik dalam menanggulangi suatu masalah. Singkatnya, inkre-
mentalisme menghasilkan keputusan-keputusan yang terbatas,
dapat dilakukan dan diterima.
Model inkremental ini juga memiliki kekurangan dan
kelebihannya. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa pendapat

218 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

dari beberapa ahli. (Islamy, 2004: 65) Seperti komentar James


Anderson yang mengatakan bahwa,
“Inkrementalis adalah suatu model yang tepat dalam merumuskan
kebijakan karena ia akan lebih mudah mencapai kesepakatan bila
masalah-masalah yang dipertentangkan di antara beberapa kelom-
pok hanyalah sekedar memodifikasi atas kebijakan-kebijakan yang
sudah ada. Karena para pembuat kebijakan selalu bekerja dalam
kondisi yang tidak menentu, sehingga dalam memepertimbangkan
konsekuensi tindakannya di masa mendatang dapat mengurangi
resiko biaya-biaya atas ketidakpastian tersebut. Inkrementalisme
juga realistik karena mengakui bahwa para pembuat kebijakan
memiliki kekurangan waktu, keahlian dan sumber-sumber lain
yang diperlukan untuk melakukan analisisnya. Lagipula, manusia
pada hakikatnya adalah pragmatis, tidak selalu mencari satu cara
yang terbaik untuk mengatasi masalahnya tetapi secara lebih
sederhana mencari sesuatu yang cukup baik untuk mengatasi
masalahnya. Jadi secara singkat inkrementalisme menghasilkan
keputusan-keputusan yang terbatas, dapat dilaksanakandan dapat
diterima”.

Di balik kelebihannya, tetap saja ada yang mengkritisi


model inkremental ini. Seperti yang diungkapkan oleh Terry W.
Hartle. Hartle mengungkapkan bahwa inkrementalisme cen-
derung mengabaikan pembaruan karena hanya memusatkan
perhatiannya pada tujuan jangka pendek dan hanya mencapai
beberapa variasi darikebijakan yang sudah digunakan/lampau
(Islamy, 2004: 69).
Model yang diperkenalkan oleh Charles E.Lindblom ini juga
dikenal dengan sebutan “muddling through” dimana secara
sederhana bisa kita pahami bagaimana kebijakan itu dibuat
berdasarkan kebijakan yang lama dipakai sebagai dasar atau
pedoman untuk membuat kebijakan yang baru.
Model Penyelidikan Campuran
Model ini merupakan upaya menggabungkan antara model
rasional dan model inkremental. Inisiatornya adalah pakar
sosiologi organisasi yang bernama Amitai Etzioni pada tahun

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 219
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

1967. Ia memperkenalkan model ini sebagai suatu pendekatan


terhadap formulasi keputusan- keputusan pokok dan inkre-
mental, menetapkan proses- proses formulasi kebijakan pokok
dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar,
proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan po-
kok, dan menjalankannya setelah keputusan itu tercapai.
Model ini ibaratnya pendekatan dengan dua kamera
:kamera dengan wide angle untuk melihat keseluruhan, dan
kamera dengan zoom untuk melihat detailnya (Nugroho, 2006:
98). Artinya, jika memakai dua model sebelumnya yaitu model
rasional dan inkremental, maka bisa digambarkan bahwa
pendekatan rasionalitas sebagai wide angle (sudut lebih luas)
yaitu memiliki sudut yang lebar tetapi tidak detail atau rinci.
Pendekatan rasionalitas menghasilkan sebuah pengamatan
yang membutuhkan biaya yang besar dan cenderung
melampaui kemampuan. Hal ini akan memberikan banyak
hasil pengamatan secara terperinci, biaya yang mahal untuk
menganalisisnya dan kemungkinan membebani kemampuan-
kemampuan untuk mengambil tindakan. Sedangkan inkremen-
talisme dengan zoom nya akan memusatkan perhatian hanya
pada daerah-daerah serta pola-pola yang telah diamati yang
memerlukan pengamatan yang lebih mendalam.
Model ini menyodorkan konsepsi mixed scanning (pengama-
tan terpadu) sebagai suatu pendekatan untuk mengambil
keputusan yang bersifat fundamental maupun yang inkremen-
tal. Model ini belajar dari kelebihan dan kekurangan model-
model sebelumnya. Model mixed scanning ini memanfaatkan
dua macam model sebelumnya secara fleksibel dan sangat ter-
gantung dengan masalah dan situasinya. Model mixed scanning
memperhitungkan tingkat kemampuan para pembuat keputu-
san untuk memobilisasikan kekuasaannya serta semakin efek-
tif guna mengimplementasikan keputusan–keputusan mereka.
Lebih mudah dipahami bahwa model ini adalah model yang
amat menyederhanakan masalah. Model ini disukai karena pa-
da hakikatnya model inimerupakan pendekatan kompromi

220 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehen-


sif dan model inkrementalisme dalam proses pengambilan
keputusan (Abdul Wahab, 2005: 26).
Dari beberapa model atau pendekatan dalam pembuatan
kebijakan yang sudah dipaparkan sebelumnya, masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam hal ini, tidak ada
pernyataan yang mana yang paling baik dan sesuai di antara
beberapa model tersebut. Yang pastinya, untuk menentukan
model mana yang akan dipakai untuk merumuskan kebijakan,
haruslah yang paling baik dan berlandaskan pada kriteria-
kriteria tertentu yang sesuai dengan kebutuhan.
Penutup
1. Kebijakan publik adalah untuk penetapan kebijakan-
kebijakan pemerintah dan kebijakan negara harus
dinyatakan dalam bentuk nyata serta harus dilandasi
dengan tujuan tertentu dalam rangka untuk kepentingan
negara dan bangsa.
2. Dalam proses kebijakan publik perlu beberapa tahapan
antara lain: identifikasi masalah kebijakan, penyusunan
agenda, perumusan kebijakan, pengesahan kebijakan,
implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.
3. Perumusan kebijakan publik harus menjelaskan tentang
agenda setting, formulasi dan legimitasi, implementasi
program, evaluasi pelaksanaan kinerja dan pengaruhnya
serta keputusan tentang masa depan kebijakan yang
diprogramkan
4. Beberapa konsep tentang agenda setting dalam perumusan
kebijakan : konsep agenda setting, macam-macam variable
agenda setting, teknik pengukuran agenda setting.
5. Aktor formulasi kebijakan publik adalah aktor sebagai
pembuat kebijakan resmi dan peserta non pemerintahan.
Pembuat kebijakan resmi adalah pemilik kewenangan legal
untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik seperti
legislatif, eksekutif, badan administratif, serta pengadilan.

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 221
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

6. Dalam menetapkan kebijakan publik harus menggunakan


tahapan-tahapan seperti mendefinisikan, mengumpulkan,
mengorganisasi, mempengaruhi, mengagendakan, memfor-
mulasikan, dan mengesahkan.
7. Model-model kebijakan publik yaitu: model rasional
komperehensif, model inkrementalis, model penyelidikan
campuran.
Daftar Rujukan

Abdul Wahab, S.1997. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi


ke Implementasi kebijaksanaan Negara. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.

______________. 2005. Analisis Kebijakasanaan dari Formulasi


ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi
Aksara.

______________. 2008. Analisis Kebijakan Dari Formulasi Ke


Implementasi Kebijakan Negara. Edisi Kedua. Jakarta:
Bumi Aksara.

Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. Boston:


Houghton Mifflin.

________________. 2006. Public Policy Making. Boston:


Houghton Mifflin.

Lindblom, Charles. 1986. Proses penetapan Kebijakan Publik.


edisi kedua. Jakarta: Airlangga.

Darwin, Muhajir, 1999, Analisa Kebijaksanaan Publik,


Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Dominick, Joseph R. and Roger D Wimmer. 1987. Mass Media


Research : An Introduction. California: Wadsworth
Publishing.

Dunn, William N 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik .


Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

222 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik

______________. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta :


Gadjah Mada University Press.

Dye, Thomas R, 2005. Understanding Public Policy, Eleventh


Edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Islamy, M.Irfan. 1998. Prinsip-prinsip Perumusan


Kebijaksanaaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

______________. 2000. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksana-


an Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

______________. 2001. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksana-


an Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

______________. 2002. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksana-


an Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

______________. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksana-


an Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Jones, Charles O. 1996. Pengantar Kebijakan Pubik, PT. Raja


Grafindo Persada.

______________. 2007 Pengantar Kebijakan Publik (Public Poli-


cy). Terjemahan Ricky Ismanto. Jakarta : RajaGrafmdo
Persada.

Nigro, F.A. dan Nigro, L.G., 1980, Modern Public Adminis-


tration, New York,

Nugroho,Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara


Berkembang ( Model-model Perumusan Implementasi
dan Evaluasi ). Jakarta: PT.Elex Media Komputindo

Parson, Wayne, 1997. Public Policy: An Introduction to The


Theory and Practice of Policy analysis, buku 2. Edward
Elgar, UK.

Parsons, Wayne. 1997. Public Policy. Cheltenham : Edward


Elgar

Jurnal Review Politik


Volume 05, No 02, Desember 2015 223
Sholih Muadi, Ismail MH, Ahmad Sofwani

Prasetyo (2010), “Orientasi Aktor dalam Perumusan Kebijakan


Publik”, Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik
Volume 21, Nomor 2 (2011: 115-130)

Prasetyo, Budi. 2010. Orientasi Aktor dalam Perumusan


Kebijakan Publik. JurnalMasyarakat Kebudayaan Dan
PolitikTahun 21, No 2:115-130

Putra, Fadillah.2001. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan


Publik, Pustaka.

Rein, Martin, and Sheldon H. White, 1977, Policy Research:


Belief And Doubt, Policy Analysis, 3, No. 2 , 1977

Ripley and Franklin, 1985, Policy Implementation and


Bureaucracy. The Dorsey Press, Chicago.

Sidney. 2007. Perumusan Kebijakan Publik. Diterjemahkan


oleh Amidjaya. Jakarta: BNSP

Soroka Stuart N., 2002, Issue Attributes And Agenda Setting


By Media, The Public, And Policy Makers In Canada,
International Journal of Public Opinion Research Vol. 14
No. 3.

Suwitri Sri, 2008, Jejaring Kebijakan Dalam Perumusan


Kebijakan Publik, Suatu Kajian Tentang Perumusan
Kebijakan Penanggulangan Banjir Dan Rob Pemerintah
Kota Semarang, Jurnal Delegasi, Jurnal Ilmu Adminis-
trasi, STIA Banjarmasin. Vol. VI No. 3. Januari

Syarief Makhya .2012. “Formulasi Kebijakan Anggaran Penda-


patan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi Lampung
Tahun Anggaran 2011”,

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1976.Pengantar Administrasi Pemba-


ngunan, Jakarta: LP3ES.

Winarno, Budi. 2005. Teori dan Proses Kebijakan Publik.


Yogyakarta: Media Pressindo.

224 Jurnal Review Politik


Volume 06, No 02, Desember 2016
Eki Darmawan
Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji Agenda Setting dalam
Email: ekidarmawan75@yahoo.co.id
Perencanaan
Achmad Nurmandi
Dosen Magister Ilmu Pemerintahan Uni- Pembangunan Perbatasan
versitas Muhammadiyah Yogyakarta
Email: nurmandi_achmad@ymail.com di Kepri Tahun 2015
http://dx.doi.org/10.18196/
jgpp.2014.0042

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

ABSTRACT
Bondary not only separate territories that are owned by different communities or countries but also ensure the safety
and well-being balanced between each area concerned. Riau Islands Province is leading directly adjacent to neighbor-
ing countries such as Malaysia, Singapore, the Philippines, and Thailand. Conditions islands region in Riau (Riau
Islands) are very much separated by an ocean, the area is 252 601 km2 area consisting of 1,350 islands and 96%
Ocean thus making control range of the government in development planning very difficult. This study will look at how
the government’s Agenda Setting in the border area development planning Riau Islands, which will discuss the issue
and political currents flow in the policy agenda to the policies made by the government of Riau islands as border
regions.The method used in this study is qualitative. The study was conducted in Regional Development Planning
Board (Bappeda) Riau Islands Province, the Regional Border Management Agency (BNPPD) Riau Islands Province
and Commission III of the House of Representatives (DPRD) Riau Islands Province. Data collection techniques per-
formed in this study were interviews, collecting data document written and unwritten, and non-participant observa-
tion. Results from this study is the first, the flow of matter to explain the issues and problems that occur on the border
of Riau Islands namely the problem of limited infrastructure such as facilities and infrastructure such as facilities and
infrastructure of housing, education, health, security, and also facilities and transport infrastructure, telecommunica-
tions, and Other causes of this region have low accessibility and isolated from the surrounding region. Secondly, the
flow of Politics explains the policy process and then view and objectives to be achieved still has a perception about the
construction of the border is still different, the level of public participation, NGOs, academics and NGOs are still
relatively low, the handling is still partial, sectoral and yet integritasi, coordination has not gone good, both among
sectoral, national level and between the central government and local governments, commitment and development
budget in the border area is still relatively minimal. Third, Flow Policy describes several emerging priorities namely,
development of processing industry, fishery and tourism in a sustainable manner in order to support the sector of
maritime, increasing production and agricultural productivity, as well as self-reliance and food security community,
Improved connectivity between regions and between the island and the means and basic infrastructure of society,
Improving the quality of the environment and forestry, natural disaster mitigation and climate change, peningatan
quality human resources and well-being equitable and civilized society, Improving the quality of public services and
good governance.
Keywords: Agenda Setting, Planning Development, Border

ABSTRAK
Kepulauan Riau merupakan Provinsi terdepan yang berbatasan langsung dengan Negara-negara tetangga seperti
Malaysia, Singapore, Filipina, dan Thailand. Kondisi wilayah pulau-pulau di Kepulauan Riau (KEPRI) sangat jauh dipisahkan
oleh lautan, dengan Luas Wilayah 252.601 km2 yang terdiri dari 1.350 pulau dan 96% Lautan sehingga membuat

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

rentang kendali pemerintah dalam melakukan perencanaan pembangunan sangat sulit. Penelitian ini akan melihat
526 bagaimana Agenda Setting yang dilakukan pemerintah dalam perencanaan pembangunan daerah perbatasan KEPRI,
dimana akan membahas aliran maslah dan aliran politik dalam agenda kebijakan sampai ke kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sebagai daerah perbatasan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif. Penelitian dilakukan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Kepulauan Riau,
Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BNPPD) Provinsi Kepulauan Riau dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Provinsi Kepulauan Riau. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara,
pengumpulan data-data dokumen tertulis maupun tidak tertulis, dan observasi non-partisipan.Hasil dari penelitian ini
adalah Pertama, aliran masalah menjelaskan isu dan masalah yang terjadi di perbatasan KEPRI yakni masalah terbatasnya
infrastruktur seperti sarana dan prasarana dasar seperti pemukiman, pendidikan, sarana kesehatan, keamanan,
kemudian juga sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi, dan lainnya menyebabkan wilayah ini memiliki
aksesibilitas yang rendah dan terisolasi dari wilayah sekitarnya. Kedua, aliran Politik menjelaskan proses kebijakan
yang dipengaruhi unsur politik dalam agenda-agenda kebijakan, misalnya pandangan dan tujuan yang akan dicapai
masih memiliki persepsi berbeda, kemudian partisipasi aktor-aktor kebijakan masih relatif rendah, penanganan masih
parsial, koordinasi belum berjalan dengan baik, komitmen dan anggaran pembangunan perbatasan di daerah relatif
masih minim. Ketiga, Aliran Kebijakan menjelaskan beberapa prioritas yang muncul yakni, Pengembangan industri
pengolahan, perikanan dan kelautan serta pariwisata secara berkelanjutan, serta kemandirian dan ketahanan pangan
masyarakat, Peningkatan konektivitas antar pulau serta sarana dan prasarana dasar masyarakat, Peningkatan kualitas
lingkungan hidup, Mitigasi bencana alam dan perubahan iklim, Peningatan kualitas sumberdaya manusia dan
kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan berbudaya, Peningkatan kualitas pelayanan publik dan tata kelola
pemerintahan yang baik.
Kata Kunci: Agenda Setting, Perencanaan Pembanngunan, Perbatasan

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang banyak berbatasan langsung
dengan negara lain merupakan suatu kenyataan yang harus disadari
bahwa Indonesia harus senantiasa waspada dalam menjaga wilayah
perbatasan. Kemungkinan masuknya pengaruh asing negatif dan
berpotensi mengancam stabilitas nasional sehingga harus dapat
diantisipasi dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Pemerintah dalam menata daerah perbatasan sering metitik
beratkan pada aspek Pertahanan dan Keamanan (Hankam) semata.
Melihat kondisi Provinsi Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Papua,
Nusa Tenggara Timur, aspek Hankam terlihat sangat kental dalam
setiap program pemerintah.
Dalam konteks kepentingan nasional, perlu ditumbuhkan
kesadaran untuk memperhatikan kawasan-kawasan perbatasan yang
selama ini dianggap sebagai halaman belakang yang terlupakan
dalam strategi pembangunan. Kawasan perbatasan adalah daerah
frontier bukan sekedar boundary. Perbatasan sebagai frontier tidak

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

sekedar bermakna sebagai batas terluar teritorial negara, namun


kawasan tersebut sekaligus harus menjadi gambaran atas
527
kesejahteraan Indonesia. Masyarakat dan kawasan frontier haruslah
memiliki derajat penghidupan yang layak dari sisi pemenuhan po-
litical goods. Hal ini akan menjadi indikator bahwa tingkat kemajuan
kawasan tersebut akan setara atau bahkan lebih baik dari wilayah
negara tetangga.
Pada penelitian ini penulis akan membahas mengenai problem
terkait daerah perbatasan yang akan difokuskan kepada lembaga
pemerintahan daerah yang terletak di kawasan perbatasan yang
seharusnya berperan penting dalam membangun perbatasan. Ego
sektoral daerah seperti kurangnya koordinasi antara pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota serta tidak sejalannya program-pro-
gram pembangunan yang dilaksanakan dan banyaknya kepentingan
politik dibalik setiap kebijakan pemerintah daerah terkadang
melupakan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah itu
sendiri. Masalah perbatasan sudah banyak isu yang muncul
membahas pentingnya pengelolaan dan pembangunan daerah
perbatasan baik nasional maupun lokal. Tetapi apakah elit-elit lokal
dalam hal ini mengagendakan mengenai perencanaan dalam
membangun daerah perbatasan ? Oleh karena itu penulis akan
membahas mengenai tahapan awal dari sebuah kebijakan dalam
pembangunan apakah sudah mengagendakan perbatasan sebagai
isu penting yang mesti dibicarakan dan dilaksaakan pengelolaan
serta merencanakan dengan baik pembangunannya.
(Lihat Tabel 1)
Dari tabel 1 dapat dilihat masalah perbatasan sangat kompleks
dan apakah sudah menjadi perhatian pemerintah, terutama
pemerintah daerah yang terletak di perbatasan.
Sudah banyak regulasi yang dikeluarkan pemerintah dengan
maksud dan upaya untuk pengembangan wilayah perbatasan dan
pemerintahan daerah, akan tetapi masalah-masalah perbatasan

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

TABEL 1: GAMBARAN UMUM ISU STRATEGIS DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN


528 PERBATASAN YANG SEHARUSNYA MENJADI AGENDA PEMERINTAH

ISU STRATEGIS/
URAIAN MASALAH UPAYA PEMECAHAN
MENDESAK
1. Minimnya sarana dan Minimnya sarana dan prasarana Pos Lintas Perlu dibangun PLB yang dilengkapi
prasarana Pos Lintas Batas Batas seperti CIQS (bea cukai, imigrasi, dengan CIQS (karantina, imigrasi, bea
(PLB) karantina, dan keamanan) yang memadai di cukai, dan keamanan) dan personil
perbatasan sesuai standar pelayanan publik yang memadai.
telah menjadi isu utama pemerintah dalam
rangka pengembangan dan pengelolaan
kawasan perbatasan khususnya di wilayah
perbatasan yang berbatasan dengan negara
yang secara ekonomi masyarakatnya sudah
lebih maju.
2. Masih maraknya Minimnya infrastruktur yang ada terutama Perlu dibangun sarana transportasi,
perdagangan lintas batas sektor perdagangan diperbatasan, termasuk sarana pasar, dan sarana pendukung
secara illegal sarana dan transportasi dan pasar, telah lainnya secara memadai
mengakibatkan terhambatnya jalur ekonomi
dan distribusi menuju kawasan perbatasan. Dan
akibatnya adalah munculnya kegiatan-kegiatan
yang illegal di sector perdagangan yang sangat
merugikan negara dari pemasukan retribusi jasa
dan cukai barang masuk.
3. Belum jelasnya pengaturan Titik atau tanda perbatasan yang makin Perlu pemasangan tapal batas yang
tapal batas oleh kedua memudar di daerah-daerah perbatasan. disepakati oleh Pemerintah Indonesia,
negara tetapi sebelumnya diperlu-kan
persetujuan dengan pihak Negara
tetangga tentang koordinat ( titik dasar
).
5. Rendahnya aksesibilitas Terbatasnya sarana dan prasarana di Perlu peningkatan sarana dan
transportasi dan prasarana perbatasan baik perhubungan maupun prasarana perhubungan sepanjang
wilayah prasarana wilayah lainnya telah mengakibatkan perbatasan RI dengan Negara tetangga.
wilayah perbatasan menjadi wilayah yang Dan pemenuhan kebutuhan prasarana
terisolir dan tertinggal. wilayah lainnya, termasuk penanganan
pintu-pintu penting dari pusat-pusat
pertumbuhan
6. Belum tersedianya sarana Minimnya ketersediaan sarana permukiman Perlu dibangunnya berbagai
permukiman penduduk yang memadai telah mengakibatkan gejolak kelengkapan dan sarana perumahan
yang memadai sosial di masyarakat yang dapat menimbulkan dan pemukiman bagi masyarakat
konflik of interes antara masyarakat pendatang setempat secara baik/memadai
dengan masyarakat setempat.
7. Rendahnya kuantitas dan Rendahnya kualitas sumberdaya manusia 1. Pembangunan sarana
kualitas Pendidikan (SDM) di kawasan perbatasan telah menjadi pendidikan anatara lain TK, SD,
permasalahan/isu strategis yang perlu SMP, dan SMU/SMK di
mendapat perhatian mendesak dari pemerintah, Kawasan Perbatasan
karena tingkat kualitas SDM yang tersedia akan 2. Perlu dilakukan pelatihan dan
menjadi faktor penentu dalam upaya peningkatan kemampuan guru-
peningkatan kesejahteraan kehidupannya di guru dan tenaga pengajar di
masyarakat. sekolah perbatasan.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

8. Masih minimnya sarana dan Kurangnya sarana kesehatan di kawasan 1. Perlu dibangunnya Puskesmas
prasarana kesehatan perbatasan, masih kurangnya RS yang dapat
diakses dengan cepat dari wilayah perbatasan, 2.
di Pulau-pulau terluar;
Pengembangan fisik RS;
529
dan masih kurangnya sarana kesehatan yang 3. Pengadaan Puskesmas Keliling
dapat melayani masyarakat (yang bertempat untuk melayani masyarakat
tinggal di sepanjang perbatasan) yang bermukim di sepanjang
wilayah laut dan darat
perbatasan.

9. Rendahnya kualitas dan Kondisi barak tempat penampungan TKI yang 1. Perlu pembangunan dan
sarana tenaga kerja dideportasi dari Negara Tetangga sangat minim, perbaikan barak tempat
kurang memenuhi persyaratan kesehatan penampungan TKI;
lingkungan. 2. Pembangunan Balai Latihan
Kerja (BLK) untuk melatih
ketrampilan para TKI yang
akan bekerja ke negara
tetangga.

10. Maraknya Ilegal logging Masih banyaknya pengiriman kayu ilegal 1. Perlu menertibkan administrasi
(illegal logging) ke Malaysia (dalam pemberian Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan
/SKSHH);
2. Memperketat pengawasan
terhadap ilegal logging;
3. Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di sekitar
perbatasan.
11. Belum optimalnya Bagaimana menyelesaikan masalah yang Perlu pengkajian daerah pemukiman
pengelolaan wilayah adat dihadapi penduduk yang bermukim di kawasan yang terletak di kawasan Wilayah Adat
masyarakat. wilayah adat. yang tertinggal menjadi kawasan lain.
13. Peningkatan aksesibilitas Daerah perbatasan sulit dijangkau oleh Perlu peningkatan aksesibilitas daerah
daerah perbatasan. angkutan besar di perbatasan darat dan laut. perbatasan melalui peningkatan
pembangunan, pembangunan sarana
dan prasarana transportasi darat dan
laut.

Sumber: diolah dari berbagai sumber

pemerintah selalu menitik beratkan pada masalah pertahan dan


keamanan saja padahal kondisi sosial, politik, budaya, geografis,
nasionalisme dan pembangunan infrastruktur serta pelayanan publik
di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan sangat
memprihatinkan dengan banyaknya isu-isu yang mencuat di media
dan dengan terjadinya banyak masalah diperbatasan seperti
penyeludupan, TKI gelap, masalah imigrasi, dan banyak lagi masalah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

530 lain yang membuktikan bahwa daerah perbatasan perlu di perha-


tikan dan ada prioritas tersendiri. Penyebaran jumlah penduduk
miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Kepri
pada September 2014 sebanyak 124.171 orang / 6,40 persen. Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2014
sebanyak 127.799 orang / 6,70 persen (Bappenas.go.id).
Belum adanya kepastian sebagian garis batas laut dengan negara
tetangga. Untuk pulau-pulau yang berpenduduk, kondisi masyarakat
di wilayah tersebut masih terisolir dan termarjinalkan, sehingga
memifiki tingkat kerawanan yang tinggi dibidang eonomi, politik,
dan keamanan. Maraknya pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah
perbatasan seperti penyelundupan, pencurian ikan, trafficking, dan
perompakan. Terbatasnya prasarana dan sarana untuk melakukan
pembinaan, pengawasan, dan pengembangan, khususnya terhadap
pulau-pulau yang terpencil, sulit dijangkau dan tidak berpenghuni.
Ukuran pulau di perbatasan umumnya pulau-pulau yang sangat kecil
sehingga sangat rentan terhadap kerusakan baik oleh alam maupun
manusia. Belum sinkronnya pengelolaan perbatasan, baik yang
mencakup kelembagaan, program, maupun kejelasan kewenangan.
Kurangnya sosialisasi tentang keberadaan dan pentingnya pulau-
pulau terluar. (Adiyanto,dkk, 2007)
Sementara itu dalam pelayanan transportasi laut yang menajdi
tulang pungung perekonomian daerah, kurangnya transportasi laut
antar wilayah kepulauan dan antar negara tetangga berikut data
pelabuhan Internasional dibuktikan dengan hanya 5 (lima) jumlah
pelabuhan internasional dan 4 (empat) pelabuhan barang inter-
nasional. (Lakip Provinsi Kepri, 2012).
Dalam bidang kesehatan, infrastruktur Kesehatan di daereah-
daerah yang berbatasan langsung dengan Negara Tetangga Seperti
Tiap-tiap Kabupaten hanya meliki 1 Rumah Sakit. Sarana kesehatan
yang berupa rumah sakit terkonsentrasi di Kota Batam, yaitu
mencapai diatas 50% dari seluruh jumlah rumah sakit di Provinsi

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

Kepri. Sementara untuk pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat


akan terlayani melalui Puskesmas dan untuk daerah-daerah terpencil
531
melalui Puskesmas Keliling. Jumlah Puskesmas terbanyak terdapat
di Kota Batam sebanyak 14, Kab. Bintan dan Kab. natuna hanya
sebanyak 12 unit. Hal ini membuktikan kurangnya perhatian
pemerintah terhadap daerah-daerah beranda depan Indonesia
(kemenkeu, 2014)
Persoalan anggaran menjadi keterbatasan dalam menyelesaikan
masalah di wilayah perbatasan. Karena itu, Pemerintah pusat telah
menginstruksikan agar Provinsi Kepulauan diberikan Dana Alokasi
Khusus (DAK). Dana tersebut digunakan untuk pembangunan
infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat. Desain besar (grand
design) pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan
2011-2025 akan dijadikan acuan untuk menentukan jenis pemba-
ngunan apa yang didahulukan. Berangkat dari sini akan dilihat
apakah pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sudah mengagen-
dakannya dalam perencanaan pembangunan daerah perbatasan.
Isu-isu yang sudah dijabarkan di atas diamanatkan pada Perpres
No. 7 Tahun 2005 tentang RPJM-Nasional khususnya mengenai
wilayah perbatasan, tampaknya peran yang perlu dilakukan oleh
Pemerintah Daerah sudah cukup jelas. Sementara pada tingkat lokal,
pemerintah daerah diharuskan untuk membuat kebijakan sesuai
dengan kebutuhan lokal, dengan menyusun kebijakan yang tepat.
Proses perumusan kebijakan tersebut sangat dipenagruhi sejauh
mana agenda setting yang ada di aras lokal. Agenda setting adalah
sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan
publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa
yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda
publik dipertaruhkan. Dalam agenda setting sangat penting untuk
menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu
agenda pemerintah.
Tahapan terakhir dalam perumusan masalah kebijakan adalah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

532 menetapkan masalah menjadi masalah formal. Masalah formal


menjadi tahap terakhir setelah setelah dilakukan perumusan masalah
secara spesifik dan jelas. Masalah formal inilah yang kemudian
menjadi basis dan instrumen dasar untuk penyusunan kebijakan.
Permasalahan formal tersebut kemudian diakomodasi dalam bentuk
kebijakan yang diupayakan dapat menguntungkan semua pihak.
Dalam hal kebijakan pembangunan perbatasan di Kepri seharusnya
pemerintah melihat bahwa isu masalah-masalah perbatasan yang
sudah dijelaskan di atas harus menjadi prioritas. Dilihat dari
pembangunan yang dilakukan pemerintah Provinsi Kepri masih
sangat jauh dari yang seharusnya padahal sudah jelas Kepri
merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Negara lain
sehingga seharusnya mencerminkan kondisi yang baik karena sebagai
beranda terdepan Negara Indonesia.
Penelitian ini akan membahas masalah perbatasan terkait
perencanaan pembangunan yakni pada tahapan agenda setting pada
saat perumusan kebijakan pembangunan untuk perbatasan yang
dilakukan pemerintah. Daerah perbatasan Indonesia yang dipilih
untuk peelitian ini adalah di daerah Provinsi Kepualauan Riau
karena merupakan daerah kepulauan dan merupakan daerah
perbatasan laut sehingga seharusnya memiliki konsep yang berbeda
dengan daerah-daerah perbatasan darat yang ada di Indonesia.
Dari Indentifikasi masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah penelitian tentang Bagaimana agenda setting dalam
perumusan kebijakan pembangunan perbatasan di Kepulauan Riau?

KERANGKA TEORI
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Konsepsi mengenai kebijakan publik sangat berkaitan erat dengan
konsepsi mengenai perencanaan publik. Keduanya sangat sulit
dipisahkan karena masing-masing konsep pada kenyataannya
seringkali dipertukarkan satu sama lain. Apa yang disebut formulasi

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

(perumusan) kebijakan dan apa yang disebut perencanaan kebijakan


sangat sulit dibedakan. Bahkan dikalangan perencana dan pembuat
533
kebijakan, kedua konsepsi tersebut kerap dianggap sebagai sesuatu
hal yang sama (Suharto, 2012:64).
Secara teoritik dan dalam hal tertentu, perumusan kebijakan dan
perencanaan dapat saja dilaksanakan dalam waktu yang berbeda
dan/atau oleh orang yang berbeda pula. Untuk melihat bahwa
kebijakan publik dan perencanaan publik dibuat secara terpisah
dan dalam waktu yang berbeda, terdapat dua pendekatan.
Pendekatan pertama melihat perencanaan publik sebagai suatu
proses kegiatan dalam perumusan kebijakan publik. Secara
sederhana, kita dapat menyatakan bahwa perumusan kebijakan
adalah membuat keputusan tentang jenis perubahan atau
perkembangan yang diinginkan. Sedangkan perencanaan adalah
suatu proses penentuan tentang bagaimana mewujudkan perubahan
atau perkembangan yang paling baik (Conyers dalam Suharto,
2012:64).
Pendekatan kedua melihat sebaliknya, dimana kebijakan publik
merupakan bagian dari perencanaan publik. Kebijakan publik dilihat
sebagai produk yang akan dihasilkan oleh atau setelah perencanaan
publik (Conyers dalam Suharto, 2012:65).
Jadi, dari kedua pendekatan diatas penulis juga menggunakan
teori analisis kebijakan publik khususnya pada tahapan agenda set-
ting dalam perumusan kebijakan perencanaan pembangunan daerah
perbatasan. Lokus ini menempatkan pemahaman terhadap
kebijakan dari sisi perumusan yang dimulai dari isu yang seharusnya
menjadi masalah dalam agenda perumusan kebijakan.
Namun yang menjadi hal yang sangat substantif baik itu yang
menyangkut hal yang dirumuskan maupun itu yang menjadi
komitmen untuk dilaksanakan dan sekaligus untuk dilakukan
evaluasi, adalah isi kebijakan.
Thomas R Dye (1978) menjelaskan bahwa analisis kebijakan adalah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

deskripsi dan eksplanasi terhadap sebab-sebab dan konsekuensi berbagai


534 macam kebijakan publik. Analisis kebijakan memperlajari apa yang
dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan itu, dan apa
konsekuensi dari apa yang telah dilakukan pemerintah (Kusumannegara,
2010:1-2).
Analisis kebijakan memberi dorongan kepada kita untuk melon-
tarkan isu yang kritis terhadap pemerintah dengan memanfaatkan
perangkat dan penelitian yang sistematis. Konsep lainnya adalah
penelitian kebijakan (policy research).
Ann Mujchrzak (1987) menyatakan bahwa penelitian kebijakan adalah
proses pelaksanaan riset atau analisis terhadap permasalahan sosial
yang fundamental dengan tujuan memmberikan rekomendasi kepada
policy maker agar dapat melakukan langkah-langkah pragmatis dalam
guna memecahkan masalah tersebut (Kusumanegara, 2010:3).
Dalam penelitian ini lebih melihat perencanaan pembangunan
adalah sebuah kebijakan yang di bagi ke dalam dua konsentrasi
seperti yang dikatakan Amir Santoso.
Amir Santoso (1986) menggolongkan pengertian kebijakan
publik dalam dua konsentrasi, yaitu konsentrasi pada tindakan-
tindaakan pemerintah, dan kosentrasi pada implementasi kebijakan
dan dampak (Kusumanegara, 2010:3-4)
Berkaitan dengan proses perumusan kebijakan, Abidin dalam
Shofix (2012) mengungkapkan bahwa proses perumusan kebijakan
publik dapat didekati melalui model yang dinamakan dengan
Kerangka Proses dan Lingkungan Kebijaksanaan (KPLK). Kerangka
proses tersebut menggambarkan proses kebijakan dalam tiga
dimensi, antara lain dimensi luar, dimensi dalam dan tujuan.
Diantara dimensi luar dan dimensi dalam terdapat jaringan
keterkaitan (linkages). Elemen luar adalah bagian luar dari suatu
organisasi yang mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap
rumusan kebijakan. Dimensi dalam adalah bagian dalam dari dalam
suatu organisasi, elemen-elemen yang berada di dalam sistem ini
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

terdiri atas struktur organisasi, sumber daya manusia, dan sarana


organisasi, termasuk peralatan dan teknologi yang dikuasainya.
535
GAMBAR 1: SIKLUS KEBIJAKAN

Sumber: Lester,Jemes P dan Stewart Jr, Yoseph (dalam Kusumanegara, 2010:15)

MASALAH PUBLIK DARI ISU MENJADI AGENDA


William N. Dunn (2003) membedakan tipe-tipe kebijakan
menjadi lima bagian, yaitu:
a. Masalah kebijakan (policy problem)
Adalah nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum terpuaskan,
tetapi dapat diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan publik.
Pengetahuan apa yang hendak dipecahkan membutuhkan
informasi mengenai kondisi-kondisi yang mendahului adanya
problem maupun informasi mengenai nilai yang pencapaiannya
menuntut pemecahan masalah.
b. Alternative kebijakan (policy alternatives)
Yaitu arah tindakan yang secara potensial tersedia yang dapat
memberi sumbangan kepada pencapaian nilai dan pemecahan
masalah kebijakan. Informasi mengenai kondisi yang menimbu-
lkan masalah pada dasarnya juga mengandung identifikasi
terhadap kemungkinan pemecahannya.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

536 c. Adalah
Tindakan kebijakan (policy actions)
suatu gerakan atau serangkaian gerakan sesuai dengan
alternatif kebijakan yang dipilih, yang dilakukan untuk mencapai
tujuan bernilai.
d. Hasil kebijakan (policy outcomes)
Adalah akibat-akibat yang terjadi dari serangkaian tindakan
kebijakan yang telah dilaksanakan. Hasil dari setiap tindakan
tidak sepenuhnya stabil atau diketahui sebelum tindakan
dilakukan, juga tidak semua dari hasil tersebut terjadi seperti
yang diharapkan atau dapat diduga sebelumnya.
e. Hasil guna kebijakan
Adalah tingkat seberapa jauh hasil kebijakan memberiakn
sumbangan pada pencapaian nilai. Pada kenyataanya jarang ada
problem yang dapat dipecahkan secara tuntas, umumnya
pemecahan terhadap suatu problem dapat menumbuhkan prob-
lem sehingga perlu pemecahan kembali atau perumusan kembali.
Kemudian dalam membicarakan perumusan kebijakan publik,
adalah penting untuk melihat siapakah aktor-aktor yang terlibat di
dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Aktor-aktor atau
pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi
dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan pemeran
serta tidak resmi.(Winarno,2014:126).
Para ahli mengidentifikasi aktor-aktor kebijakan dengan berbagai
macam sebutan, yaitu: Legislator, Eksekutif, Lembaga peradilan,
Kelompok penekan, Partai politik, Media massa, Organisasi
komunitas, aparat administrasi atau birokrasi, Kelompok Non
Govermental Organization (NGO), Kelompok swasta, Kelompok Think
Thanks (Kelompok peneliti atau pengkaji), dan Kabinet Bayangan
(Anderson, dkk dalam Kusumanegara, 2010:53).
Secara teoritis, biasanya suatu masalah sebelum masuk ke dalam
agenda kebijakan, masalah tersebut menjadi isu terlebih dahulu.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

Isu ini akan menjadi embrio awal bagi munculnya masalah-masalah


publik dan bila masalah tersebut mendapat perhatian yang memadai,
537
maka ia akan masuk ke dalam agenda kebijakan.
Sebuah isu atau permasalahan dimulai dari adanya problem isu
di tengah-tengah masyarakat. Problem isu ini berawal dari isu yang
kecil dan lama-kelamaan mendapat tanggapan dari masyarakat luas,
sehingga isu menjadi sebuah pembicaraan di tengah-tengah
masyarakat dan menjadi isu publik. Setelah menjadi isu publik, maka
tentunya isu ini akan diakomodir oleh kelompok-kelompok
kepentingan yang ada untuk disampaikan kepada pembuat kebijakan
di daerah untuk menjadi pembahasan bersama. Pembahasan yang
terjadi antara pembuat kebijakan (misalnya DPRD dan Pemda)
tentang isu yang disampaikan oleh kelompok-kelompok kepentingan
tadi yang menjadi isu agenda.
Isu-isu yang beredar dalam masyarakat akan bersaing satu dengan
yang lain untuk mendapatkan perhatian dari para elit politik,
sehingga isu yang mereka perjuangkan dapat masuk ke agenda
kebijakan. Oleh karena itu kelompok-kelompok dalam masyarakat
akan menggunakan berbagai cara untuk memperjuangkan suatu
isu agar masuk ke agenda kebijakan, seperti misalnya memobilisasi
diri, mencari dukungan kelompok-kelompok lain maupun
menggunakan media massa.
Menurut Cobb dan Elder (dalam Lubis, 2007:31) Isu akan tercipta
melalui beberapa cara:
Isu dibuat oleh partai yang merasa melihat ketidakadilan atau
penyelewengan dalam distribusi kekuasaan dan sumber daya.
a. Penciptaan isu demi kepentingan dan keuntungan personal atau
kelompok tertentu.
b. Isu tercipta akibat peristiwa yang tidak terduga.
c. Isu dibuat oleh “ orang yang selalu ingin perbaikan”.
Kemudian, ada “perangkat pemicu” internal dan eksternal yang
mendorong munculnya isu.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

538 1. Pemicu Internal


a. Bencana alam
b. Peristiwa kemanusiaan yang tidak terduga
c. Perubahan teknologi
d. Ketakseimbangan atau bias dalam distribusi sumber daya
e. Perubahan ekologis
2. Pemicu Eksternal
a. Aksi perang
b. Inovasi dalam teknologi persenjataan
c. Konflik internasional
d. Pola aligment dunia
Namun pembentukan isu tidak hanya tergantung kepada satu
pemicu saja. Harus ada kaitan antara pemicu dan keprihatinan atau
problem yang kemudian, mengubah isu menjadi item agenda.
Agenda tersebut oleh Cobb dan Elder dikarakteristikkan menjadi
dua tipe: sitematik dan institusional. Agenda sitematis terdiri dari “
semua isu yang umumnya dirasakan oleh anggota komunitas politik
sebagai isu yang pantas mendapat perhatian dan dianggap sebagai
persolan didalam yurisdiksi yang sah dalam otoritas pemerintah
(Cobb dan Elder dalam Lubis, 2007:32).
Lester dan Stewart (dalam Lubis, 2007:33) menyatakan bahwa
suatu isu akan mendapat perhatian bila memenuhi beberapa kriteria,
yakni:
1) Bila suatu isu telah melampaui proporsi suatu krisis dan tidak
dapat terlalu lama didiamkan, misalnya kebakaran hutan.
2) Suatu isu akan mendapat perhatian bila isu tersebut mempunyai
sifat partikularitas, di mana isu tersebut menunjukkan dan men-
dramatisir isu yang lebih besar seperti kebocoran lapisan ozon
dan pemanasan global.
3) Mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media
massa karena faktor human interest

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

4) Mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan


legitimasi dan masyarakat.
539
5) Isu tersebut sedang menjadi trend atau sedang diminati oleh
banyak orang.
Sedangkan Mark Rushefky menyatakan bahwa suatu isu akan
menjadi agenda melalui konjungsi tiga urutan. Pertama, problem
stream, yakni tahap pengidentifikasian masalah. Urutan kedua
menitikberatkan pada kebijakan atau pemecahan masalah. Urutan
kedua ini biasanya terdiri dari para spesialis dibidang kebijakan,
seperti misalnya para birokrat, staf legislatif, akademisi, para ahli
dalam kelompok-kelompok kepentingan, dan proposal yang dibawa
oleh komunitas-komunitas tersebut. Urutan ketiga merupakan
urutan politik (political stream). Pada urutan ini biasanya disusun
dari perubahan-perubahan dalam opini publik, hasil pemilihan
umum, perubahan dalam administrasi dan pergantian partisipan
atau ideologi dalam lembaga legislatif (Lubis, 2007:33).
Kepemimpinan politik merupakan faktor yang penting dalam
penyusunan agenda. Para pemimpin politik, apakah dimotivasi oleh
pertimbangan-pertimbangan keuntungan politik, kepentingan
publik maupun kedua-duanya, mungkin menanggapi masalah-
masalah tertentu, menyebarluaskannya dan mengusulkan penyele-
saian terhadap masalah-masalah tersebut. Dalam kaitan ini, kepala
eksekutif atau presiden maupun anggota-anggota lembaga legislatif
(DPR) mempunyai peran utama dalam politik dan pemerintahan
untuk menyusun agenda publik. Berikut Skema masuknya Isu
menjadi Agenda:
GAMBAR 2: SKEMA MASUKNYA ISU MENJADI AGENDA
Problem Isu Isu Publik Isu Agenda

Sumber: Penyusunan Agenda Isu Pemekaran daerah Kab.Lubuhanbatu (Lubis, 2007:33)

Dalam Kebijakan, definisi problem adalah tidak pernah hanya

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

540 masalah mendefinisikan tujuan dan mengukur perbedaan. Hal ini


seperti situasi strategi keterwakilan. Definisi masalah adalah masalah
representasi karena setiap mendiskripsikan keadaan adalah
gambaran satu dari banyak sudut pandang. Definisi masalah strategis
karena kelompok, individu, dan lembaga pemerintah sengaja dan
sadar dalam menggambarkan cara dan mempromosikan tindakan
program favorit mereka para aktor kebijakan. (Stone,2002:137)
Maksudnya dalam kebijakan masalah bukan hanya yang datang
dari luar, akan tetapi pada proses membuat kebijakan juga memiliki
masalah yang dilakukan oleh aktor-aktor kebijakan. Aktor-aktor
kebijakan dengan sengaja membuat kebijakan untuk kepentingan
individu atau kelompok juga menjadi masalah dalam kebijakan.
Kebijakan dibuat seolah-olah untuk publik akan tetapi ada
kepentingan didalamnya. Untuk melihat itu Deborah Stone (2002)
dalam bukunya Policy Paradox menjelaskan beberapa aspek yang
mempengaruhi masalah kebijakan sebelum masalah tersebut dapat
diagendakan diantaranya:
1. SYMBOLS
Masalah kebijakan menurut Deborah Stone (2002) dijelaskan
kedalam empat aspek representasi simbolik yang sangat penting
dalam mendefinisikan masalah kebijakan diantaranya:
a. Narrative stories
Narative stories meupakan bagaimana kebijakan diciptakan
dengan memberikan narasi atau cerita awal dan akhir yang
menghantarkan masalah kebijakan itu layak dipertimbangkan.
Terkait massalah perbatasan misalnya narasi cerita tentang fokus
pembangunan perbatasan saat ini harus difokuskan ke maritim dan
perbatasan, karena dari dulu pemerintah hanya terfokus pada
pembangunan daratan saja.
b. Synecdoche
Kiasan di mana bagian yang digunakan untuk mewakili secara
keseluruhan. Dalam politik, simbolisme tersebut sangat umum, di

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

mana menggunakan contoh tertentu contoh sebagai khas dari


masalah yang lebih besar. Sering membuat kebijakan berdasarkan
541
contoh diyakini mewakili alam semesta yang lebih besar. Politisi
atau kelompok kepentingan sering menggunakan “Cerita-cerita
horor,” di mana mereka sengaja memilih satu insiden aneh untuk
mewakili kasus alam semesta, dan kemudian menggunakan contoh
tersebut untuk membangun dukungan untuk mengubah seluruh
aturan atau kebijakan. Contoh: jika dikaitkan dengan pulau-pulau
terdepan dimulai dengan cerita Nenek Moyang bangsa Indonesia
adalah seorang pelaut sehingga diharuskan menjaga laut dan pulau-
pulau terdepan.
c. Metaphors
Metafora adalah suatu perbandingan tersirat. Dengan
menggunakan kata yang menunjukkan satu jenis objek untuk
menggambarkan yang lain. Sebuah kemiripan ditegaskan antara satu
jenis masalah kebijakan dan lainnya. Metafora dalam politik
termasuk organisme, hukum alam, mesin, peralatan, kontainer,
penyakit, dan perang. Maksudnya yakni bentuk nyata sebagai bahan
pembanding, contohnya regulasi dan aturan-aturan yang sudah ada.
d. Ambiguity
Kapasitas untuk memiliki beberapa makna. Simbol dapat berarti
dua (atau lebih) hal secara bersamaan: “kebebasan beragama.
Ambiguitas adalah “perekat” politik. Hal ini memungkinkan orang
untuk menyetujui undang-undang dan kebijakan karena mereka
bisa membaca makna yang berbeda. Tanpa itu, kerjasama dan
kompromi akan jauh lebih sulit. Sama halnya jika dikatakan Ambi-
guity adalah kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam
memaknai sebuah kebijakan dan merealisasikannya.

2. NUMBERS
Tantangan bagi para pembuat kebijakan adalah untuk
menentukan cara terbaik untuk mewakili masalah dengan num-

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

542 bers. Ini menantang karena ada cara yang tak terbatas untuk
menggambarkan sesuatu dengan numbers. Cara untuk menggu-
nakan angka untuk menjelaskan masalah akan tergantung pada
tujuan analisis kebijakan. (Deborah Stone,2002:163)
Numbers atau data yang berupa angka biasa digunakan aktor
kebijakan dalam menginterpretasikan masalah sehingga akan
mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat. Beberapa fenomena
yang Implisit dengan angka bisa dijadikan sebagai paradok atau
kebenaran yang ada kepentingan lain dibaliknya. Contoh Number
yang digunakan dalam proses kebijakan ialah tingkat kemiskinan,
tingkat perekonomian, dan lain sebagainya.

3. CAUSES
Berfokus pada penggunaan penyebab masalah yang menyerukan
kebijakan yang akan diberlakukan. Namun, salah satu hal yang sulit
untuk dilakukan adalah pin-point penyebab yang tepat. Penulis
menyatakan bahwa tujuan kebijakan harus menangani masalah
sekalipun penyebabnya telah ditentukan. Sementara dia menyatakan
bahwa penyebab dapat digunakan untuk membawa beberapa
keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan, juga dapat digunakan
untuk membentuk aliansi dan menetapkan tanggung jawab.
(Deborah Stone,2002:188)
Maksudnya dalam causes atau penyebab ini biasa digunakan aktor
kebijakan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Penyebab bisa di buat dengan sengaja, tidak di sengaja, karena alam,
atau karena tuntutan masyarakat atas sebuah kebijakan harus dibuat.
Penyebab ini juga bisa dipolitisir atau buat dengan sengaja agar
kebijakan sesuai dengan kepentingan aktor-aktor kebijakan.

4. INTEREST
Interest dianggap “suatu sisi dalam politik,” kelompok yang
memmanfaatkan atau dipengaruhi oleh isu. Interest atau

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

Kepentingan adalah “sisi” dalam politik. Ada perbedaan antara


kepentingan riil (masalah dan kebutuhan orang) dan tuntutan politik
543
(apa yang orang bertanya dari pemerintah).
Masalah didefinisikan upaya untuk mencapai tujuan politik,
untuk memobilisasi dukungan untuk satu sisi dalam suatu konflik.
Untuk menentukan masalah adalah untuk membuat pernyataan
tentang apa yang dipertaruhkan dan yang terpengaruh, dan oleh
karena itu, untuk menentukan kepentingan dan konstitusi aliansi.
Dengan demikian, definisi masalah kebijakan juga harus
menentukan pihak yang berkepentingan. (Deborah Stone,2002:211)

5. DECISION
Tujuan politik sering dicapai dengan pengambilan keputusan.
Ada banyak persepsi tentang bagaimana keputusan harus dibuat
dan banyak cara untuk membuat keputusan. Pengambilan keputusan
sering didasarkan pada emosi, kebiasaan, adat sosial, atau dorongan
hati. Para pengambil keputusan menggunakan kewenangan sebagai
alasan dan pemikiran logis sebagai daya dorong di balik pengambilan
keputusan yang bertanggung jawab. Dalam membuat keputusan atau
kebijakan adalah subyek pembagian dan negosiasi. Dengan
demikian, rasional dalam “kebijakan” pengambilan keputusan
menjadi cara lain untuk mendefinisikan masalah dan menetapkan
batas-batas. Pengambil keputusan rasional menggunakan pandangan
mereka tentang keputusan sebagai cara untuk mengontrol persepsi
dan membujuk orang lain. (Deborah Stone,2002:232)
Dalam “kebijakan”, pengambil keputusan menetapkan tujuan
yang samar-samar. Hal ini memungkinkan mereka untuk menarik
berbagai konstituen. (Deborah Stone,2002:234)

AGENDA SETTING
Masalah yang muncul dalam masyarakat disebut juga isu atau
masalah kebijakan. Masalah kebijakan adalah kondisi yang

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

544 menimbulkan ketidakpuasan masyarakat sehingga perlu dicarikan


penyelesaiannya (Lester dan Stewart dalam Kusumanegara, 2010:65).
Dalam studi kebijakan publik, jawaban pertanyaan-pertanyaan
tersebut ada dalam kajian tahap agenda setting. Tahap agenda set-
ting adalah suatu tahap diputuskannya masalah yang menjadi
perhatian pemerintah untuk dibuat menjadi kebijakan (Ripley dalam
Kusumanegara, 2010:66).
Agenda setting merupakan tahap awal dari keseluruhan tahapan
kebijakan. Karena itu, para analisis kebijakan memberi perhatian
khusus dan menempatkan tahap agenda setting sebagai tahap yang
sangat penting dalam analisis kebijakan. Agenda setting adalah faktor
penjelas tahapan kebijakan lainnya, misalnya para analisis sering
mengaitkan aktivitas agenda setting yang tidak responsif terhadap
stakeholders dengan kegagalan implementasi kebijakan
(Kusumanegara,2010:66).
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis
dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang
untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan
prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu
berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan
mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut
berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada
isu lain.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan
tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder.
Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi,
dan keterlibatan stakeholder.
Berdasarkan kekuataan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder
terhadap suatu isu stakeholder dapat dikategorikan kedalam
beberapa kelompok. ODA dalam Putra (2005:31) mengelompokkan
stakeholder ke dalam Stakeholder Primer, Stakeholder Skunder dan
Stakeholder Kunci. Sebagai gambaran pengelompokan tersebut pada

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

berbagai kebijakan, program, dan proyek pemerintah (publik) dapat


dikemukakan kelompok stakeholder sebagai berikut:
545
a. Stakeholder Primer
Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan
kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan
proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama proses
pengambil keputusan sebagai perwakilan dari masyarakat setempat.
Mengenai penelitian ini sebagai stakeholder primer ialah stake-
holder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung
terhadap suatu kebijakan, tetapi memiliki kepedulian dan
keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh
terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah. Stake-
holder jenis ini antara lain: Lembaga (aparat) pemerintah dalam
suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggungjawab langsung;
Lembaga pemerintah yang terkait dengan isu tetapi tidak memiliki
kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan;
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat; LSM yang bergerak
dibidang yang bersesuai dengan rencana, manfaat, dampak yang
muncul yang memiliki “concern” (termasuk organisasi massa yang
terkait); Non Govermental Organization (NGO); Perguruan Tinggi:
Kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting dalam
pengambilan keputusan pemerintah; Pengusaha (badan usaha) yang
terkait.
b. Stakeholder Skunder
Stakeholder Skunder adalah merupakan Stakeholder yang
memiliki kewenangan secara legal untuk mengambil keputusan.
Stakeholder kunci mencakup unsur eksekutif sesuai levelnya,
legislatif, dan instansi pemerintah.
Penelitian ini mengambil unsur eksekutif yakni instansi
BAPPEDA dan BNPPD Kepri, kemudian yang mewakili unsur
legislatif terkait perencanaan pembangunan perbatasan yakni Komisi
III DPRD Provinsi Kepri.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

Dengan pemahaman mengenai stakholder tersebut akan


546 memudahkan untuk menjalankan pola agenda setting dalam
kebijakan publik. Masing-masing memiliki spesifikasi dan
karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, pola pelibatannya dan
strategi pendekatannya pun akan mengalami beberapa perbedaan.
Istilah agenda setting mengandung dua kata kunci, yaitu ‘agenda’
dan ‘setting’ (aktivitas penyiapannya). Agenda bisa dikatakan berisi
berbagai hal atau kegiatan yang dianggap penting dan layak
mendapatkan prioritas dari si pemilik agenda. Karena itu agenda
setting bisa dikatakan merupakan proses di mana si pemilik agenda
tersebut menyusun berbagai hal dan kegiatan dalam skala prioritas
yang didasarkan pada kepentingan si pemilik agenda
(Santoso,2010:72).
Salah satu kompleksitas utama proses setting agenda publik adalah
kompleksitas publik itu sendiri. Yang namanya publik ini merupakan
kumpulan berbagai kepentingan, yang seringkali tidak konvergen
satu sama lain; bahkan tidak jarang berkonflik satu sama lain. Dalam
situasi demikian, seringkali menjadi hal yang tidak penting bagi pihak
yang lain. Sementara, tidak ada ukuran tunggal yang dipakai semua
orang untuk menentukan secara absolut bahwa satu hal lebih layak
dijadikan prioritas daripada yang lain. Karena itu, seringkali,
pertarungan berbagai kepentingan untuk mendapatkan prioritas
dalam agenda publik seringkali merupakan pertarungan yang sengit,
di mana tiap kepentingan harus diperjuangkan untuk bisa masuk
dalam agenda publik (Santoso,2010:73).
Sungguhpun demikian, literatur analisis kebijakan publik
mengajak kita menganalisis agenda setting secara berbeda-beda. Ada
yang membayangkan agenda setting sebagai pembuatan agenda kerja
policy-makers. Dalam konteks ini, policy-makers diasumsikan bersifat
netral dan “mencari-cari” isu yang harus ditangani karena posisinya
sebagai pejabat.
Dalam buku Analisis Kebijakan Publik (Santoso,2010:74) Seorang

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

analis yang harus memberikan rekomendasi tentang isu mana yang


paling layak mendapatkan prioritas pemerintah, agenda setting bisa
547
dimaknai sebagai:
a. Proses yang mengedepankan masalah untuk ditangani
pemerintah
b. Proses seleksi masalah untuk ditangani pemerintah
c. Pencarian dan Penyaringan Isu
Para ahli telah banyak mengemukakan pendapat atau model
bagaimana berlangsungnya proses penentuan agenda. Tujuannya
adalah untuk menjelaskan mekanisme dan dinamika dari
transformasi suatu kondisi dalam masyarakat menjadi suatu masalah
kebijakan yang harus dicarikan jalan keluarnya melalui penggunaan
kekuasaan pemerintah untuk membuat kebijakan. Berikut
merupakan salah satu cara atau model penetapan agenda setting
oleh Kingdon.
Agenda setting, atau bisa diterjemahkan sebagai ‘pembuatan
agenda’ bisa dimaknai sebagai proses mengarahkan kebijakan
melalui jendela-jendela kebijakan yang muncul sebagai akibat dari
dinamika politik yang terjadi dalam proses agenda setting, (Kingdon
dalam Santoso,2010:75)
Corak analisis untuk kebijakan, diperbolehkan memilih antara
analisis dengan logika teknis–administratif dan analisis dengan logika
politis. Dalam logika teknis-administratif, agenda setting dilihat
sebagai agendanya pejabat yang mencari-cari sesuatu untuk
dikerjakan atas nama publik. Sementara logika politis lebih
mengedepankan dimensi politis dari proses agenda setting. Proses
ini dilihat sebagai proses politik yang melibatkan pertarungan
wacana, konflik kepentingan, pembangunan koalisi dan sebagainya,
seperti tercermin dalam model yang dikembangkan oleh
Kingdon.(Santoso,2010:76)
Kesadaran atau kebutuhan masyarakat untuk mengubah kondisi
yang mereka alami melalui tindakan-tindakan pemerintah dapat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

548 disebabkan oleh bebagai faktor. Kingdon (dalam Hamdi,2014:81),


menunjukkan bahwa masalah kebijakan dapat diidentifikasi melalui
penggunaan satu indikator, munculnya peristiwa-peristiwa tertentu,
atau umpan balik suatu program. Tahapan ini dapat melibatkan
sejumlah besar partisipan, baik idividu maupun kelompok dan
institusi. Pada tahapan ini pertanyaannya adalah masalah apakah
yang akan memperoleh proiritas dari para pembuat kebijakan.
Kibajakan adalah produk dari kovergensi tiga aliran proses khas
yang mengalir melalui sistem politik. Ketiga aliran tersebut menrut
Kingdon (dalam Hamdi,2014:82) adalah aliran masalah (problem
stream), aliran kebijakan (policy stream), dan aliran politik (political
stream).
GAMBAR 3: KINGDON’S AGENDA SETTING MODEL
Problem Stream

Policy Stream POLICY

WINDOW
Politics Stream

Sumber: Jemes Anderson; Public Policymaking, Wadsworth Change Learning: USA,2011:93

Aliran masalah (problem stream), merupakan suatu keadaan yang


terjadi dalam masyarakat. Sebagai suatu sitem kepentingan
kehidupan masyarakat dipenuhi oleh berbagai isu atau peristiwa.
Sebagian dari peristiwa tersebut nyata dirasakan sebagai masalah,
sebagian mengendap, tertutup oleh peristiwa yang di anggap penting
dan sebagian lainnya bersifat potensial untuk berkembang menjadi
masalah. Dalam hal ini, Kingdon (dalam Hamdi, 2014:119)
menegaskan bahwa agar suatu kondisi menjadi suatu masalah, or-
ang-orang harus berfikiran bahwa suatu tindakan seharusnya
dilakukan untuk mengubahnya. Tiga mekanisme yang membuat
masalah menjadi perhatian pembuat kebijakan adalah indikator,

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

peristiwa, dan umpan balik.


Indikator (Indicators), adalah ukuran yang digunakan untuk
549
menafsir skala dan perubahan dalam masalah. Peristiwa (events),
berperan untuk memfokuskan perhatian pada masalah seperti
bencana, pengalaman pribadi, dan simbol. Umpan balik (feedback),
memberikan informasi mengenai kinerja yang ada dan mengidi-
kasikan kegagalan pencapaian tujuan. Berbagai mekanisme tersebut
juga dapat disebut sebagai pemicu perhatian publik dan para
pembuat kebijakan.
Dalam pandangan Kingdon (dalam Hamdi, 2014:119), aliran
masalah saja tidak mencukupi untuk menjadikan rumusan masalah
sebagai agenda resmi pemerintah. Aliran tersebut meski diiringi dan
didukung oleh aliran lain, yakni aliran politik. Aliran politik tersebut
mencakup empat komponen, yakni suasana nasional (national mood),
kekuatan politik terorganisir, pemerintahan, dan pembangunan
konsensus. Suasana nasional terdiri atas opini publik dan iklim opini.
Kekuatan politik terorganisir terdiri atas, partai politik, politik
legislatif, kelompok penekan. Pemerintahan berkaitan dengan
perubahan dalam personil dan jurisdiksi, dan pembangunan
konsensus terdiri atas proses tawar menawar (bargaining), penge-
lompokan prihal (bandwagons), dan pembayaran uang jasa (tipping).
Aliran masalah dan aliran politik akan sampai pada suatu kondisi
yang disebut oleh Kingdon (dalam Hamdi, 2014:119) sebagai
“Jendela Kebijakan” (Policy Window). Pada saat kondisi ini terjadi,
kedua aliran tersebut bertemu dengan aliran yang ketiga, yakni aliran
kebijakan. Menurut Kingdon (dalam Hamdi, 2014:119), dalam aliran
kebijakan terdapat berbagai usulan kebijakan dari berbagai pencetus
atau komunitas kebijakan, dan memisalkan keadaan tersebut sebagai
“bubur nasi” (primeval soup). Dalam aliran kebijakan, ide-ide
mengambang, berhadapan satu sama lain, dan berkombinasi.
Dinamika interaksi ide-ide tersebut menggambarkan perubahan yang
dapat terjadi sebagai akibat dari suatu proses seleksi alam, survival,

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

550 kematian, dan pengkombinasian kembali. Pendorong perubahan


tersebut adalah wirausahawan kebijakan (policy entrepreneurs) dan
komunitas kebijakan (policy communities). Dalam dinamika interaksi
tersebut, ide yang akan muncul sebagai agenda yang akan diterima
harus memenuhi berbagai kriteria, yakni layak secara teknis, setara
dengan nilai-nilai dominan komunitas, dan mampu mengantisipasi
kendala masa depan dalam mana ide tersebut dapat berproses.

TABEL 2: INDIKATOR AGENDA SETTING YANG DIGUNAKAN

No. Agenda Setting Indikator Sumber Data dan Informasi


1. Problem Stream - Isu-Isu Perbatasan - BAPPEDA
- Data Numerik Masalah Perbatasan - DPRD Komisi Pembangunan
- Penyebab terjadinya masalah - BPPD KEPRI
perbatasan - Kajian Akademis
- Pihak-pihak yang berkepentingan
dalam Agenda Kebijakan
- Tahapan Pengambilan Keputusan;
Musrembang, Rakor; Renstra; dan
Pembahasan RAPBD
2. Politics Stream - Partisipasi Kehadiran Kelompok - BAPPEDA
Kepentinggan, NGO, dan LSM - DPRD Komisi Pembangunan
- Partisipasi Kehadiran Anggota DPRD - NGO
Komisi Pembangunan dalam Agenda- - LSM
agenda Kebijakan. - Lembaga Kajian dan
- Kebijakan yang mengarah Penelitian
keperbatassan yang diusulkan dalam - Akademisi
Agenda-agenda Kebijakan.
- Isu Perbatasan yang disepakati dalam
Agenda Kebijakan
3. Policy Stream - Kajian Akademis dan Teknis yang - BAPPEDA
digunakan dalam penyusunan - DPRD Komisi Pembangunan
perencanaan pembangunan - Lembaga Kajian dan
perbatasan. Penelitian
- Prioritas Kebijakan yang dipilih dalam - Akademisi
Agenda Kebijakan

Sumber: diolah dari berbagai sumber

METODE PENELITIAN

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.


Penelitian dilakukan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
551
(BAPPEDA) Provinsi Kepulauan Riau, Badan Pengelola Perbatasan
Daerah (BNPPD) Provinsi Kepulauan Riau dan Komisi III Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepulauan Riau. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara, pengumpulan data-data dokumen tertulis maupun tidak
tertulis, dan observasi non-partisipan.

PEMBAHASAN
PROBLEM STREAM (ALIRAN MASALAH)
Pada pembahasan ini adalah tahap pengidentifikasian masalah,
dimana isu-isu terkait masalah perbatasan yang muncul apakah
menjadi perhatian dalam sebuah kebijakan atau malah sebaliknya.
Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa isu yang selalu muncul
dalam agenda kebijakan adalah seperti yang dikatakan Liana
Anggraini Kasubag Umum dari Badan Nasional Pengelola
Perbatasan Daerah Provinsi Kepri:
“Isu perbatasan mengenai dermaga antar pulau di daerah perbatasan
yang kurang, Sumber daya manusia yang lemah, jumlah sekolah dan
tingkat pendidikan yang sangat rendah, masalah pertahanan dan
keamanan seperti Ilegal Fishing dan penyeludupan, serta masalah
kesehatan seperti jumlah rumah sakit dan puskesmas yang tidak
memadai merupakan poin-poin permasalahan yang umum di kawasan
perbatasan.” (20 Mei 2015 di Kantor BNPPD Provinsi Kepri).
Hal yang dikatakan di atas menguatkan bahwa daerah perbatasan
provinsi kepri masih harus lebih ditingkatkan perhatiannya, masih
sangat banyak rentetan masalah terkait membangun daerah
perbatasan. Terbatasnya infrastruktur seperti sarana dan prasarana
dasar seperti sarana dan prasarana pemukiman, pendidikan, sarana
kesehatan, keamanan, kemudian juga sarana dan prasarana
transportasi, telekomunikasi, dan lainnya menyebabkan wilayah ini
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

552 memiliki
nya.
aksesibilitas yang rendah dan terisolasi dari wilayah sekitar-

ISU PERBATASAN
- Kondisi Geografis:
a. Rentang kendali pemerintah sulit di jangkau
b. Luas wilayah laut 62 %
- Perikanan:
a. Ilegal Fishing
b. Sulit memasarkan karena terbiasa dengan menunggu kapal-
kapal hongkong datang.
- Hankam:
a. Perjanjian dan patok batas yang banyak belum jelas
b. Lemahnya peraturan kesepakatan yang dibuat antar Negara
- Transportasi:
a. Infrastruktur transportasi seperti pelabuhan yang aktif hanya
3 dan Bandara hanya satu yang ada di wilayah perbatasan di
Kabupaten Karimun dan 1 di Batam dan 1 di Tanjungpinang
- Infrastruktur Komunikasi:
a. Kurangnya Infrastruktur Komunikasi di wilayah Perbatasan
seperti jaringan Internet dan Tower Telekomunikasi
- Pendidikan:
a. Angka Melek Huruf 98,07 % artinya 1,93 % penduduk Kepri
masih buta huruf, dan rata-rata tertinggi di Kabupaten-kabupa-
ten perbatasan seperti Natuna, Karimun dan Anambas
b. Rata-Rata Lama Sekolah untuk Kabupaten-kabupaten
Perbatasan seperti Natuna, Karimun dan Anambas hanya 7
tahun atau sama dengan sampai ke SMP
c. Angka Partisipasi Sekolah menurut usia 16-18 tahun dan
tempat tinggal untuk perkotaan 69,98 % sedangkan perdesaan
66,79 %. Jika dari jenis kelamin untuk usia 16-18 tahun untuk

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

laki-laki 65,82% sedangkan perempuan 72,82%.


d. Angka Pendidikan yang ditamatkan persentase yang lulus
553
SLTP ke atas hanya 64,95% untuk laki-laki dan 65,15% untuk
perempuan.
e. Infrastruktur tempat pendidikan dan sekolah yang ada di
daerah perbatasan hanya 115 Sekolah (Data diperoleh dari
BNPPD Provinsi Kepri)
- Kesehatan
a. Angka Harapan Hidup untuk wilayah perbatasan hanya
mencapai 67,80% untuk Anambas dan 68,67 % untuk Natuna
sedangkan Karimun hanya berbeda sedikit juga 70,11%.
b. Angka pemanfaatana sumber daya terdapat 96,69 persen
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, namun terda-
pat perbedaan yang mencolok antara daerah perkotaan dan
pedesaan, untuk daerah perkotaan terdapat 99,08 persen
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, namun di
daerah pedesaan hanya 83,59 persen persalinan yang ditolong
oleh tenaga kesehatan, hal ini karena masih banyaknya persali-
nan yang ditolong oleh dukun tradisional dan lainnya, yaitu
mencapai 16,41 persen.
c. Jumlah infrastruktur seperti Posyandu, Polindes dan Puskes-
mas hanya 44 Buah (Data diperoleh dari BNPPD Provinsi
Kepri)

POLITICS STREAM (ALIRAN POLITIK)


- Masalah:
a. Partisipasi masyarakat dan kelompok kepentingan cukup
rendah di tambah dengan lemahnya partisipasi Kepala Daerah
Kabupaten Perbatasan.
b. Musrembang terkesan seperti acara cerimonial saja yang
hasilnya hanya garis besar saja.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

c. Persepsi tentang pembangunan perbatasan masih berbeda.


554 d. Penanganan masih parsial, bersifat sektoral dan belum
integritasi.
e. Koordinasi belum berjalan dengan baik, baik antara sektoral,
tingkat pusat maupun antar pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah.
f. Komitmen dan anggaran pembangunan perbatasan di daerah
relatif masih minim.

POLICY STREAM (ALIRAN KEBIJAKAN)


- Hasil Kebijakan yang Mengarah Ke Perbatasan:
a. Dari 100 % alokasi dana untuk pendidikan hanya 17,5 %
yang mengarah ke perbatasan dan 82,5 % tidak ke perbatasan.
b. Dari 100 % alokasi dana untuk Kesehatan hanya 9,5 % yang
mengarah ke perbatasan dan 90,5 % tidak ke perbatasan.
c. Dari 100 % alokasi dana untuk Pembangunan Infrastruktur
Jalan dan Fasilitas Umum Lainnya hanya 17,3 % yang
mengarah ke perbatasan dan 82,7 % tidak ke perbatasan
d. Dari 100 % alokasi dana untuk Perhubungan hanya 6,5 %
yang mengarah ke perbatasan dan 93,5 % tidak ke perbatasan
- Poin prioritas pembangunan bidang infrastruktur kawasan
perbatasan Provinsi Kepulauan Riau antara lain lebih mengarah
kepada sektor:
1. Sektor Perhubungan dan Pariwisata
2. Sektor Perikanan
3. Sektor Perdagangan
4. Sektor Pertambangan dan Energi

KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik pada penelitian ini adalah:
1. Aliran Masalah (Problem Stream), Dalam aliran masalah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

menjelaskan bahwa perbatasan Provinsi Kepri masih butuh


perhatian lebih karena masih banyak masalah-masalah yang
555
rentan dan belum terselesaikan oleh pemerintah, ditambah
dengan banyaknya kebijakan dan program pemerintah yang tidak
tepat dalam membangun daerah perbatasan. Terbatasnya
infrastruktur seperti sarana dan prasarana dasar seperti sarana
dan prasarana pemukiman, pendidikan, sarana kesehatan,
keamanan, kemudian juga sarana dan prasarana transportasi,
telekomunikasi, dan lainnya menyebabkan wilayah ini memiliki
aksesibilitas yang rendah dan terisolasi dari wilayah sekitarnya.
2. Aliran Politik (Politik Setream), Dalam Aliran ini menceritakan
proses kebijakan yang akan terjadi berpengaruh dari politik itu
sendiri dalam pandangan dan tujuan yang akan dicapai masih
memiliki persepsi tentang pembangunan perbatasan yang masih
berbeda, tingkat partisipasi masyarakat, NGO, Akademisi dan
LSM masih relatif rendah, penanganan masih parsial, bersifat
sektoral dan belum integritasi, koordinasi belum berjalan dengan
baik, baik antara sektoral, tingkat pusat maupun antar pemerin-
tah pusat dengan pemerintah daerah, komitmen dan anggaran
pembangunan perbatasan di daerah relatif masih minim,
kemudian adanya perbedaan arah kebijakan antara Legislatif dan
Eksekutif dalam pemerintahan Provinsi Kepri. Penjelasan diatas
menunjukkan masih kurangnya koordinasi antara BAPPEDA
dan Komisi III dalam hal pembangunan perbatasan. Untuk
koordinasi antara BNPPD Kepri dan Pemeritah Provinsi Kepri
juga masih bersifat usulan sederhana yang belum menyentuh ke
masalah krusial pembangunan perbatasan seperti dibidang
kesehatan, pendidikan dan transportasi serta infrastruktur
lainnya, akan tetapi malah hanya ke arah program-program
kegiatan saja.
3. Aliran Kebijakan (Policy Stream), Pada aliran ini sebelum masuk
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

ke formulasi kebijakan alternatif-alternatif kebijakan yang menjadi


556 prioritas akan dibahas dalam agenda kebijakan. Dalam masalah
pembangunan perbatasan Provinsi Kepri beberapa prioritas yang
muncul yakni, Pengembangan industri pengolahan, perikanan
dan kelautan serta pariwisata secara berkelanjutan guna
mendukung sektor kemaritiman, Peningkatan produksi dan
produktifitas pertanian, serta kemandirian dan ketahanan
pangan masyarakat, Peningkatan konektivitas antar wilayah dan
antar pulau serta sarana dan prasarana dasar masyarakat,
Peningkatan kualitas lingkungan hidup dan kehutanan, Mitigasi
bencana alam dan perubahan iklim, Peningatan kualitas
sumberdaya manusia dan kesejahteraan masyarakat yang
berkeadilan dan berbudaya, Peningkatan kualitas pelayanan
publik dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kesimpulan poin-
poin penting yang akan dicapai dalam kebijakannya yakni, Sektor
Perhubungan dan Pariwisata, Sektor Perikanan, Sektor
Perdagangan, Sektor Pertambangan dan Energi.
Beberapa saran yang mungkin bermanfaat yang dapat penulis
berikan di akhir tulisan ini yakni:
a. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan
pembangunan daerah melalui (1) pembenahan sistem perenca-
naan pembangunan berkaitan dengan partisipasi masyarakat yang
bertumpu pada paradigma bottom up; (2) Peningkatan kesadaran
akan pentingnya partisipasi dalam perencanaan pembangunan
kepada masyarakat dengan ditopang oleh peningkatan kapasitas
dan kapabilitas; (3) Peningkatan peran LSM, Civil Society, dan
lembaga non pemerintah sebagai fasilitator partisipasi masyarakat
dalam perencanaan pembangunan perbatasan.
b. Meningkatkan skala atau level pelaksanaan pemerintahan melalui
(1) meningkatkan keterlibatan stakeholders dalam proses pemba-
ngunan; (2) memaksimalkan forum yang telah diinisiasi oleh

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

pemerintah dengan melibatkan stakeholders lain tak hanya


sebatas “berkonsultasi” tetapi memberikan peran yang lebih luas
557
sampai pada penentuan keputusan berdasarkan konsensus.
c. Menumbuhkan rasa memiliki dan niat sungguh-sungguh dari
setiap elemen atau stakeholders dalam menbangun daerah perba-
tasan dengan memiliki persepsi yang sama serta keseriusan
pemerintah dalam menentukan kebijakan apa yang seharusnya
tepat pada sasaran yang dibutuhkan, kemudian melakukan
pengawasan dalam pembangunan daerah perbatasan.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Ali, Faried, dan Andi Syamsu Alam, 2012. Studi Kebijakan Pemerintah.Bandung: PT.Refika
Aditama.
Anderson, James. E, 2011. Publik Policymaking. International Edition. Boston,USA:
Wadsworth Cengage Learning.
Bastian, Indra, 2009. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintahan Daerah di
Indonesia. Jakarta:Salemba Empat.
Dunn, William N, 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Hamdi, Muchlis, 2014. Kebijakan Publik. Proses, Analisis, dan Partisipasi. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Hrjanto, Imam, 2011. Teori Pembangunan. Malang: Universitas Brawijaya Press
Kusumanegara, Solahuddin, 2010. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan
Publik.Yogyakarta: Gava Media.
Madu, Ludiro, dkk, 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia tanpa Batas: Isu,
Permasalahan dan Pilihan Kebijakan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Margono, 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho, Riant, 2012. Public Policy: dinamika kebijakan, analisis kebijakan, dan
menejemen kebijakan.Jakarta: Gramedia.
Pasolong, Harbani, 2013. Metode Penelitian Administrasi Publik. Bandung: ALFABETA.
Putra, Fadillah, 2005. Kebijakan Tidak untuk Publik. Yogyakarta: Resist Book.
Santoso, Purwo, 2010. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Research Center of Politics
and Government, JPP UGM.
Stone, Deborah, 2002. Policy Paradox ; The Art of Political Decision Making. New York
& London: W.W.Norton & Company.
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA.
Suharto, Edi, 2012. Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK

Kebijakan Sosial. Bandung: ALFABETA.


558 Taringan, Robinson, 2012. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.
Winarno, Budi, 2014. Kebijakan Publik.Teori, Proses, dan Study Kasus.Yogyakarta: CAPS
(Center of Academic Publishing Service).

MODUL, SKRIPSI, TESIS, JURNAL DAN INTERNET


Adhayanto, Oksep, 2014. Problematika Kota Tanjungpinang sebagai Daerah Penyanggah
Perbatasan. Jurnal Perbatasan 5 Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang: Umrah Perss.
Adiyanto, Endang, dkk, 2007. Tinjauan Hukum da Pengelolaan Pulau-pulau terluar In-
donesia. Buletin Ekonomi Perikanan, Vol.VII. No.2
Arifin, Saru,2009. Pelaksanaan Asas Uti Possidetis Dalam Penentuan Titik Patok Perbatasan
Darat Indonesia dengan Malaysia. JURNAL HUKUM NO. 2 VOL.UII.Yogyakarta.
Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Garand Dsign Pengelolaan Batas Wilayah Negara
dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2015. Jakarta: BNPP RI, 2011, Seri BNPP 01S-
)111).
Bappenas, 2014. Dipetik Januari 18, 2015, dari Internet: http://simreg.bappenas.go.id/
Damarjana, Arya, 2014. Postur Kebijakan Perbatasan Indonesia–Papua New Guinea.
Jurnal Analisis Hubungan Internasional,Vol 3, No. 1
Dino, 2013. Nasionalisme Masyarakat Perbatasan (Study kasus di Desa Siding, Kecamatan
Siding, Kabupaten Bengkayang). Jurnal Ilmu Politik No.1 Vol.1. Universitas
Tanjungpura. Pontianak.
Karim, Zamzami 2011, Mencari Identitas dari Romantisme Sejarah: Penyangga Budaya
Komunitas Perbatasan, disampaikan pada Seminar tentang Sejarah Wilayah
Perbatasan, yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Tanjungpinang, di Karimun tanggal 6 November 2010, dan seminar Pemberdayaan
Wilayah Perbatasan yang diselenggarakan oleh LANSEKAPP Kepri di Universitas
Internasional Batam, pada 30 Maret 2011.
Kemenkeu. (2014). Kementrian Keuangan. Dipetik Januari 21, 2015, dari Kemenkeu:
HYPERLINK “http://www.djpk.depkeu.go.id/attachments/article/257/31. KEPULAUAN
RIAU.pdf” http://www.djpk.depkeu.go.id/attachments/article/257/
31.%20KEPULAUAN%20RIAU.pdf
Lakip Provinsi Kepri, 2012
Lubis, Khairul Fahmi, 2007. Penyusunan Agenda Isu Pemekaran Daerah Kabupaten
Labuhanbatu. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara. Medan.
Profil Pembangunan Kepri Tahun 2014.
Purbasari, Endah Dewi, 2012. Analisis Kewenangan Pemerintah Daerah dalam
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antar Negara (Study Kasus Kapuas Hulu Kalimantan
Barat). Skripsi Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, UI. Jakarta.
Pusat Kajian Kebijakan Strategis FISIP UMRAH, 2010. Model Pengelolaan Perbatasan
Provinsi Kepulauan Riau.
Puspitasari, Yeni, 2013. Upaya Indonesia dalam Menangani Masalah Keamanan

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015

Perbatasan dengan Timor Leste pada Periode 2002-2012. Skripsi Program Studi
Hubungan Internasional, FISIPOL UIN SYARIF HIDAYATULLAH. Jakarta. 559
Seman, Tarno dan Sumanto, 2005. Permasalahan dan Rencana Pengembangan Kawasan
Perbatasan di Provinsi Kalimanta Timur. Jurnal Kepala Bagian Perbatasan dan
Pengembangan Wilayah, Biro Pemerintahan, Pemprov Kalimantan Timur dan Kepala
Bidang pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi
Kalimantan Timur.
Shofix S.R, A. Azmi, 2012. Analisis Formulasi Kebijakan Publik (Studi pada proses
Perumusan rancangan Peraturan daerah Kota Palembang tentang Pembinaan,
Pengendalian dan Pemanfaatan rawa). FISIPOL Universitas Sriwijaya. Palembang.
Syaifullah, 2008. Analisis Perencanaan Pembangunan tahunan Daerah di Kota Magelang.
Tesis Magister Ilmu Andministrasi, UNDIP. Semarang.
Wibowo, Agus Harto, 2009. Analisis Perencanaan Paartisipatif (Study Kasus di Kecamatan
Pemalang Kabupaten Pemalang). Tesis Magister Ilmu Administrasi, UNDIP. Semarang.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil.
Undang-undang No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
Peraturan Presiden No 10 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010 – 2015.
Peraturan Presiden No 37 Tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar.
Peraturan Presiden N0.07 Tahun 2005 Tentang RPJM-Nasional
Peraturan Presiden No 112 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi.
Peraturan Presiden No 12 Th 2010 tentang BNPP
Permendagri No 18 Tahun 2007 tentang Standarisasi Sarana, Prasarana dan Pelayanan
Lintas Batas Antarnegara.
Permendagri No. 54 Tahun 2010 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
2008 tentang Tahapan, tata cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi
Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Kepmenpan Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

AGENDA SETTING DALAM


PROSES PEMBENTUKAN
KABUPATEN BANDUNG BARAT

Maman
Dede Sri Kartini
Neneng Yani Yuningsih
Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran

Email:
maman.42mn@gmail.com
dedekartini@yahoo.com
nenengyany@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya pemekaran di Kabupaten


Bandung yaitu lahirnya Kabupaten Bandung Barat melalui Undang-Undang nomor
12 tahun 2007 Tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat, dimana proses
lahirnya Kabupaten Bandung Barat tak lepas dari proses politik dan juga isu
subjektif yang senantiasa mewarnai proses pemekaran. Isu subjektif berupa
kepentingan elit politik, pemilik modal dan juga birokrasi senantiasa menjadi isu
yang bergulir selama pemekaran ini terjadi dan lebih menarik dibanding isu objektif
pemekaran itu sendiri. Dalam proses pembentukan Kabupaten Bandung Barat
pada tahun 2007, terdapat agenda setting yang dilakukan oleh beberapa aktor yang
terlibat dalam proses pembentukannya. Aktor tersebut bukan hanya aktor
pemerintah saja, namun juga melibatkan aktor LSM, pengusaha, media dan juga
masyarakat pada umumnya yang memiliki kepentingan dalam pemekaran ini. Isu
subjektif seperti kepentingan kekuasaan dan juga birokrasi tentu ada dalam proses
pemekaran dan menambah dinamika dalam proses pemekaran

Kata Kunci: Agenda Setting, Pemekaran Daerah, Isu, Aktor, Kepentingan.

ABSTRACT

This research was motivated by the expansion of Bandung district, which


created the West Bandung District based on the Constitution number 12, year 2007

66 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

about the Establishment of West Bandung district, which the expansion process
itself could not be separated from political process and also subjective issues that
always interfered along the way. The subjective issues such as political elite
interests, the owners of capital and the bureaucracy have always been a rolling
issues during the expansion process and became more interesting than the objective
issue of the expansion itself. In the creating process of West Bandung district in
2007, there was an agenda setting which conducted by some of the actors who
involved in the formation. The actors were not only from the government, but also
from the NGO (non-governmental organizations), businessmen, media and society
who had concerns in the expansion in general. The subjective issues, such as the
power interests and bureaucracy certainly existed in the expansion process and
added the dynamics in it.

Keywords: Agenda Setting, Regional Expansion, Issues, Actors, Interests.

PENDAHULUAN masyarakat di daerah. Salah satu


tuntutan yang banyak bergulir pasca
Format desentralisasi dalam Pe­ reformasi di Indonesia adalah adanya
me­rintahan Indonesia yang sekarang pemekaran wilayah, baik ditingkat
ini diterapkan memungkinkan peme­ provinsi maupun ditingkat daerah
rintah daerah lebih efektif dalam kabupaten atau kota.
memberikan pelayanan kepada masya­ Pemekaran daerah yang diaspi­
rakat. Hal ini karena pemerintah rasikan oleh masyarakat, pada kenya­
daerah memiliki peranan lebih besar taannya menjadi tuntutan yang
dan lebih strategis dalam melak­ rasional. Hal ini karena pada dasarnya
sanakan pembangunan, termasuk me­ bertujuan untuk memperkuat peran
nam­pung aspirasi masyarakat sebagai pemerintah dalam pelayanan dan juga
bahan dalam melaksanakan rencana pembangunan, termasuk pengelolaan
pembangunan di daerah. Dengan daerah, sehingga diharapkan dapat
diterapkannya sistem desentralisasi, tercapainya efisiensi, efektivitas
maka diharapkan akan meningkatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan
efektifitas pemerintahan. serta kesejahteraan masyarakat di
Seiring dengan meningkatnya daerah. Namun pada kenyataannya
kebutuhan masyarakat akan pelayanan pemekaran daerah tidak selalu men­
pemerintahan, serta desentralisasi jadikan pembangunan dan pelayanan
yang memberikan peluang lebar bagi di daerah tersebut berjalan dengan
masyarakat di daerah untuk meng­ efektif, tapi justru berjalan tersendat
aspirasikan suaranya, hal tersebut dan banyak melahirkan masalah.
melahirkan banyak tuntutan dari Bahkan disatu sisi, pemekaran daerah

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 67


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

hanyalah menjadi sebuah agenda dari Sementara itu ketika usulan


elit-elit pemerintahan untuk mem­ pembentukan Kabupaten Bandung
bentuk dan mempertahankan kekua­ Barat diterima, Pemerintah Kabu­
saan yang pada jangka panjang paten Bandung langsung membentuk
memung­ kinkan untuk terbentuknya tim untuk mengkaji kelayakan pem­
dinasti politik. ben­tukan tersebut dengan mengundang
konsorsium yang terdiri dari beberapa
Pemekaran daerah yang sejak
perguruan tinggi negeri dan swasta di
awal dilakukan untuk mengakomodir
Bandung. Tim konsorsium tersebut
aspirasi masyarakat akan tuntutan
terdiri dari Unpad, ITB, IPDN, UPI,
mereka untuk meningkatkan kesejah­
Unpas dan Unjani. Setelah itu,
teraan, pada kenyataannya tidak ber­
pemerintah juga membentuk tim
jalan sesuai dengan apa yang diingin­
teknis untuk penataan wilayah Kabu­
kan, bahkan pada beberapa kasus
paten Bandung Barat yang langsung
cenderung menimbulkan masalah
diketuai oleh Abu Bakar yang pada
tersendiri. Selain banyaknya daerah
saat itu menjabat sebagai Sekretaris
pemekaran yang memiliki kualitas
Daerah Kabupaten Bandung dan kini
buruk dalam pelayanan publik, peme­
menjadi Bupati Bandung Barat selama
karan daerah juga menimbulkan
dua periode jabatan. Setelah menjalani
konflik dan kekerasan di daerah yang
proses yang panjang, maka pada
akan dimekarkan.
akhirnya Kabupaten Bandung Barat
Salah satu daerah otonom di resmi terbentuk pada tahun 2007.
Provinsi Jawa Barat yang baru dime­
Dalam proses pembentukannya,
karkan adalah Kabupaten Bandung,
melibatkan banyak aktor diantaranya
yaitu dengan dibentuknya Kabupaten
keterlibatan LSM, media massa dan
Bandung Barat. Pembentukan Kabu­
juga adanya tim pelaksana teknis
paten Bandung Barat pada Tahun
lapangan dalam proses pembentukan
2007 memang dirasa wajar, mengingat
Daerah Otonom Kabupaten Bandung
Kabupaten Bandung yang memiliki
Barat yang langsung diambil alih oleh
luas sekitar 2.324.84 KM2, dengan
jajaran Pemerintah Kabupaten
penduduk sekitar 4,3 juta jiwa pada
Bandung, dan diketuai langsung oleh
tahun 2002 pada kenyataannya
Sekretaris Daerah. Maka, tidak
membuat pemerintah tidak efektif
dipungkiri bahwa ada agenda politik
dalam melaksanakan pelayanan dan
elit pemerintahan di Kabupaten
pembangunannya. Kondisi inilah yang
Bandung dalam proses pembentukan
melatarbelakangi adanya keinginan
daerah otonom Kabupaten Bandung
masyarakat Bandung Barat untuk
Barat.
melakukan pemekaran Kabupaten
Bandung. Salah satu kecenderungan adanya
agenda setting adalah ketika Abu

68 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

Bakar yang pada saat proses mendatangi Bupati Bandung Obar


pembentukan Kabupaten Bandung Sobarna pada Januari 200442 dan juga
Barat menjadi Ketua Tim Teknis untuk rasa 5000 warga di Kantor
Penataan Wilayah Kabupaten Ban­ Pemkab Bandung untuk menuntut
dung Barat, sesudah terbentuknya Obar Sobarna menandatangani nota
Kabupaten Bandung Barat Abu Bakar pendirian Kabupaten Bandung Barat43
menjadi Bupati pertama di Kabupaten
Keterlibatan media massa dalam
Bandung Barat. Kemudian meme­
proses pembentukan Kabupaten
nangkan pemilihan Bupati kembali
Bandung Barat juga dinilai cukup
untuk periode yang kedua, sehingga ia
massif dan memiliki keberpihakan
memegang kekuasaan di Kabupaten
(Ade Atmaja 2006:10), hal ini bisa
Bandung Barat dari tahun 2008
kita lihat dari beberapa surat kabar
sampai tahun 2013 dan periode kedua
regional dimana ada banyak berita
dari tahun 2013 sampai dengan 2018.
yang dimuat yang kecenderungan
Hal ini tentunya menjadi prestasi
mendukung dilakukannya pemekaran
politik bagi Abu Bakar dan juga partai
dengan mengambil narasumber dari
politik pendukung yaitu PDIP di
aktor-aktor politik dan pemerintahan
daerah otonom yang masih baru
di Jawa Barat. Beberapa media massa
tersebut.
tersebut antara lain Pikiran Rakyat,
Selain itu adanya kepentingan Galamedia, Tribun Jabar dan Berita
dalam pembentukan wilayah dan Pasundan. Beberapa berita yang
pemerintahan Kabupaten Bandung diangkat antara lain adalah berita
Barat, juga bisa diamati dari tentang aksi unjukrasa dan juga
pergerakan yang dilakukan oleh pernyataan tokoh yang mendukung
KPKBB. KPKBB berhasil meng­ pemekaran. Melihat gambaran terse­
himpun semua elemen LSM di Kabu­ but, kajian ini akan melakukan pene­
paten Bandung untuk menyuarakan lusuran terhadap bagaimana agenda
aspirasi terkait pemekaran. Terjadinya setting dalam proses pembentukan
beberapa demonstrasi yang melibatkan Kabupaten Bandung Barat pada Tahun
massa dalam jumlah besar juga 2007.
berhasil diinisiasi oleh KPKBB,
Dari uraian diatas, maka
diantaranya adalah unjuk rasa yang
dilakukan identifikasi masalah sebagai
melibatkan 1000 warga dengan
berikut:

42. Galamedia, terbit Rabu 7 Januari 2004.


43. Berita Pasundan, Nomor 24, Tahun ke IV, terbit 12-19 Januari 2004.

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 69


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

1. Bagaimana agenda setting dalam luruhan karena kemampuan mereka


proses pembentukan Kabupaten akan disesuaikan dengan luas wilayah
Bandung Barat tahun 2007? yang mereka kuasai. Siswanto Sunan­
2. Bagaimana peran aktor yang ro dalam bukunya yang berjudul
terlibat dalam agenda setting ‘Hukum Pemerintahan Daerah di
pembentukan Kabupaten Ban­ Indonesia’, menjelaskan sebagai
dung Barat tahun 2007? berikut:
“Secara filosofis bahwa tujuan
pemekaran ada dua kepentingan,
KERANGKA TEORETIS

yakni pendekatan pelayanan
umum pemerintahan kepada
Pemekaran daerah menurut masya­ rakat dan yang kedua
Undang-Undang No 23 Tahun 2014 adalah untuk peningkatan kese­
Tentang Pemerintahan Daerah44 ter­ jah­teraan masyarakat setem­pat.
diri dari dua poin yaitu sebagai Secara poli­tis, kehendak tersebut
berikut: ha­
rus didasarkan atas kemauan
a. Pemecahan daerah provinsi atau atau aspirasi masyarakat setem­
daerah kabupaten/kota untuk pat yang diajukan kepada
menjadi dua atau lebih daerah pemerin­ tahan daerah setempat
baru. yakni pemerintah daerah dan
b. Penggabungan bagian daerah dari DPRD.
daerah yang bersanding dalam
satu daerah provinsi menjadi satu Prof. Drs. HAW Widjaja
daerah baru. menjelaskan tentang tujuan
pemekaran daerah dengan tujuan
Pemekaran wilayah secara untuk meningkatkan kesejahteraan
esensial bertujuan untuk meningkatkan masyarakat, hal ini sebagaimana
kesejahteraan masyarakat di daerah. dijelaskan oleh Prof. Drs. HAW
Hal ini karena dengan adanya peme­ Widjaja yang menjelaskan sebagai
karan wilayah, maka diharapkan berikut
pelayanan dan juga program pem­ “Pembentukan daerah pada
bangunan akan terlaksana dengan dasar­
nya ditujukan untuk me­
lebih optimal, pemerintahan daerah ningkat­kan pelayanan pub­lik
akan lebih mampu dan optimal dalam guna mempercepat ter­wu­judnya
menyentuh masyarakat secara kese­ kesejahteraan masya­­rakat disam­

44. Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, bab XI Tentang Penataan
Daerah Bagian Dua Tentang Pembentukan Wilayah Pada Paragraf 1 Pasal 33 Ayat 1 Dan Dua.

70 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

ping sebagai sarana pendidikan dilihat dari beberapa segi salah


politik di tingkat lokal. Untuk itu satunya adalah infrastruktur yang
maka pembentukan daerah harus banyak mengalami kerusakan
mempertimbangkan berbagai dan tidak mendapatkan program
faktor seperti: kemampuan eko­ pembangunan yang memadai.”46
nomi, luas wilayah dengan
pertimbangan dari aspek sosial Dengan adanya faktor-faktor
budaya, sosial politik dan perta­ tersebut maka munculah inisiasi untuk
hanan serta keamanan”45. dilakukannya pembentukan Kabupa­
ten Bandung Barat. Ketika isu ini
Salah satu daerah yang telah muncul kembali pada tahun 1999,
dime­karkan adalah Kabupaten Ban­ maka sudah mulai dibentuk forum-
dung yaitu dibentuknya Kabupaten forum untuk membahas wacana
Bandung Barat. Ade Ratmaja pemekaran tersebut, namun sempat
menjelaskan dalam bukunya yang tertunda akibat dilakukannya pening­
berjudul ‘Perjalanan pembentukan katan status Kota Cimahi dari Kota
Kabupaten Bandung Barat’ menje­ Administratif menjadi Kota Cimahi.
laskan tentang latar belakang pem­ Pasca Kota Cimahi resmi menjadi
bentukan Kabupaten Bandung Barat. Kota, maka isu pembentukan wilayah
“Isu pemekaran ini pada awalnya Kabupaten Bandung Barat muncul
dilandasi oleh adanya ketidak­ kembali dengan berbagai agenda
optimalan pemerintahan Kabu­ setting yang terjadi dari beberapa
paten Bandung dalam menja­ elemen yang terlibat dan
lankan tugas dan fungsinya berkepentingan dalam pembentukan
seperti pelayanan publik, tim­ tersebut termasuk Pemerintahan
pangnya kesejahteraan masya­ Kabupaten Bandung.
rakat di Kabupaten Bandung
bagian Barat, serta timpangnya Joko Widodo dalam bukunya
pembangunan di wilayah yang berjudul ‘Analisis Kebijakan
Kabupaten Bandung bagian Publik’ (2009:53) menjelaskan bahwa
Barat pada saat itu, hal ini bisa “Agenda setting merupakan kegiatan

45. Prof. Dr. HAW. Widjaja. Otonomi Desa merupakan otonomi asli, bulat dan utuh.
PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta. Tahun 2005, hal 135
46. Ade Ratmaja., dkk. Perjalanan Pembentukan Kabupaten Bandung Barat Menjadi Daerah
Otonom Di Provinsi Jawa Barat. Bandung Barat. Komite Pembentukan Kabupaten Bandung
Barat (KPKBB).. tahun 2006

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 71


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

membuat masalah publik menjadi termasuk memunculkan alternatif


masalah kebijakan”47. kebijakan dan menentukan kebijakan
yang diambil. Dalam setiap fase, aktor
Hal diatas sesuai dengan yang
pemilik kepentingan tentu melakukan
dikatakan oleh Jones bahwa “agenda
usaha-usaha untuk mempengaruhi
adalah suatu istilah yang pada
setiap kebijakan publik yang akan
umumnya digunakan untuk meng­
disusun. Setidaknya ada tiga hal yang
gambarkan suatu isu yang dinilai
dilakukan oleh aktor kepentingan
publik perlu diambil suatu tindakan”.
untuk melakukan agenda setting;
Penjelasan dari definisi diatas memp­
pertama membangun persepsi dika­
unyai makna yang sama dengan
langan stakeholders bahwa sebuah
agenda kebijakan dimana agenda
fenomena benar-benar dianggap seba­
kebijakan adalah kegiatan yang dila­
gai masalah, kedua membuat batasan
kukan untuk membuat suatu perma­
masalah, dan ketiga memobilisasi
salahan menjadi permasalahan publik
dukungan agar masalah tersebut
yang bertujuan untuk melahirkan
masuk dalam agenda pemerintah.
suatu kebijakan.
Sehingga dari berbagai usaha yang
Oleh sebab itu dapat dikatakan dilakukan sebagai bagian dari agenda
bahwa yang dimaksud dengan agenda setting aktor-aktor yang berke­ pen­
setting adalah bagaimana membentuk tingan mampu mempenga­ ruhi
opini publik terhadap suatu persoalan kebijakan publik.
sehingga persoalan tersebut dianggap
Proses penyusunan agenda
sebagai suatu permasalahan penting
kebijakan (policy agenda) menurut
bagi masyarakat luas termasuk bagi
Anderson, seperti di kutip Joko
pemerintah. Dengan terbentuknya
Widodo48 bahwa secara beruntun
opini publik maka hal ini akan
terdiri dari beberapa tahapan berikut
mendorong lahirnya kebijakan publik
antara lain: private problems, public
atau output yang diharapkan dari
problems, issues, systemic agenda dan
orang yang merancang setting
institutional agenda yang diuraikan
tersebut.
sebagai berikut:
Agenda setting atau agenda a. Privat problems, penyusunan
permasalahan ini kemudian akan agenda kebijakan diawali dari
berlanjut pada fase-fase selanjutnya suatu masalah yang muncul di

47. Joko Widodo. Analisis Kebijakan Publik. Bayumedia: Malang. Tahun 2009: hal 53
48. Ibid; hal 53

72 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

masyarakat, akan tetapi masalah dan isu tersebut memang berada


tersebut diartikan sebagai suatu dalam yurisdiksi kewenangan
masalah pribadi atau tidak pemerintah.
berdampak luas bagi masyarakat, e. Institutional agenda, didefinisi­
masalah pribadi sendiri didefi­ kan sebagai serangkaian masalah
nisikan sebagai suatu masalah yang secara tegas membutuhkan
yang mempunyai akibat yang pertimbangan-pertimbangan
terbatas atau hanya menyangkut yang aktif dan serius dari pembuat
satu atau sejumlah kecil orang keputusan yang sah/otoritas.
yang terlibat secara langsung.
Oleh sebab itu bisa disimpulkan
b. Public problems, ketika masalah
yang ada di masyarakat yang bahwa agenda setting pada intinya
pada mulanya hanya sebagai berusaha untuk memunculkan masalah
privat problems terus bergulir kepada publik sehingga publik
dan melibatkan banyak orang, menganggap penting terhadap suatu
maka tahap selanjutnya privat masalah yang sedang bergulir
problems tersebut berubah dimasyarakat dan dianggap sebagai
menjadi public problems. Public suatu permasalahan yang mem­
problems diartikan sebagai suatu butuhkan tindakan kebijakan publik.
masalah yang mempunyai akibat Untuk membuat suatu masalah
yang luas, termasuk akibat-akibat menjadi suatu masalah publik yang
yang mengenai orang-orang yang kemudian berakhir pada lahirnya
terlibat secara tidak langsung. kebijakan publik, tentu membutuhkan
c. Issues, ketika masalah yang ada agenda setting untuk membangun
dimasyarakat menjadi public opini dan menggerakan elemen-
problems, maka selanjutnya elemen masyarakat atau aktor-aktor
masuk pada tahap issues, issues yang berkepentingan sehingga lahir
diartikan sebagai problema kebijakan publik sebagai mana yang
publik yang saling bertentangan diharapkan.
satu sama lain, artinya sudah
terdapat suatu konflik. Issues Sementara itu, aktor dalam
dapat pula diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan publik
perbedaan-perbedaan pendapat adalah orang yang mempunyai
yang ada dimasyarakat tentang wewenang yang sah untuk ikut serta
persepsi dan solusi terhadap dalam formulasi hingga penetapan
suatu masalah publik. kebijakan publik. Walaupun dalam
d. Systemic agenda, didefinisikan kenyataannya, beberapa aktor yang
sebagai semua isu yang pada mempunyai wewenang sah untuk
umumnya dirasakan oleh para bertindak dikendalikan oleh orang
anggota masyarakat politik yang lain seperti pimpinan parpol atau
patut mendapat perhatian publik kelompok penekan.

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 73


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

“Yang termasuk aktor dalam partai politik dan warga negara


pembuat kebijakan secara nor­ sebagai indivudu.”49
matif adalah lembaga legislatif,
lembaga eksekutif, administrator, Berdasarkan kerangka pemikiran
dan para hakim. Sementara itu yang telah disusun, maka untuk
juga terdapat kelompok atau memudahkan memahami peta konsep
aktor pembuat kebijakan yang penelitian, peneliti akan mencoba
ada diluar pemerintahan, bebe­ menjelaskan secara lebih sederhana
rapa kelompok aktor tersebut dalam model penelitian sebagai
yaitu kelompok kepentingan, berikut:

Permasalahan Di
Muncul Isu Pemekaran
Kabupaten Bandung
• Pembangunan Tidak Optimal • Efektifitas Pelayanan
• Pelayanan Tidak Optimal • Percepatan Pembangunan
• Jumlah Penduduk Terlalu • Peningkatan Kesejahteraan
Banyak Masyarakat
• Daerah Kewenangan Terlalu • Good Governance
Luas

AGENDA SETTING

Aktor-aktor Proses Agenda Setting


• Media Massa • Private Problems
• Pemda Kabupaten Bandung • Public Problems
• KPKBB • Issues
• Tim yang Tersisihkan • Systemic Agenda
• Masyarakat • Institutional Agenda
• Tim Konsorsium
• Tim Teknis Penataan

Terbentuknya Kabupaten
Gambar 1.1
Bandung Barat
Model Penelitian

49. Leo Agustino. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Alfabetas. Bandung. Tahun 2008: hal 39

74 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

METODE PENELITIAN secara holistik (utuh). Jadi dalam


hal ini tidak boleh mengisolasikan
Metode kualitatif sebagai salah individu atau organisasi ke dalam
satu prosedur dalam penelitian yaitu variabel atau hipotesis, tetapi
proses yang dilakukan dengan perlu memandangnya sebagai
menghimpun data yang berasal dari bagian dari sesuatu keutuhan”.50
berbagai sumber bisa dari narasumber,
yaitu tokoh yang terlibat ataupun dari Alasan peneliti menggunakan
sumber lain seperti catatan yang pendekatan kualitatif ini karena pen­
menjelaskan objek yang kita teliti dan de­katan kualitatif mudah disesuaikan
kemudian diolah serta disajikan dalam dengan situasi yang akan peneliti
bentuk narasi. Narasi sebagai bentuk hadapi. Peneliti berperan sebagai
display data memberikan informasi instrumen terpenting dan harus
yang menyeluruh tentang objek yang berperan aktif dalam proses penelitian
kita teliti. Oleh sebab itu, latar dan di lapangan. Dalam penelitian ini
juga aktor yang terlibat dalam objek peneliti akan menggu­ nakan alat
penelitian harus diposisikan secara pengumpul data utama yang berupa
menyeluruh, dalam artian tidak boleh ucapan, tulisan, gambar-gambar dan
memisahkan aktor yang ada sehingga tidak menggunakan angka-angka.
informasi yang kita dapat tidak Tujuan penelitian kua­litatif adalah
komprehensif. Hal tersebut sesuai untuk memahami situasi tertentu dan
dengan apa yang dijelaskan oleh diarahkan pada kelompok masyarakat
Bogdan dan Taylor dalam buku yang maupun lembaga secara menyeluruh.
ditulis oleh Lexi Moleong dengan
Dalam proses pembentukan
judul Metodologi Penelitian Kualitatif,
Kabupaten Bandung Barat, beberapa
ia menjelaskan:
hal yang menarik muncul, seperti
“Metodologi kualitatif adalah
terlibatnya KPKBB yang begitu
prosedur penelitian yang
massif dari mulai menghimpun semua
menghasilkan data deskriptif
LSM di Kabupaten Bandung sampai
berupa kata-kata tertulis atau
dengan aksi besar-besaran. Selain itu
lisan dari orang-orang dan prilaku
fenomena dalam aspek politik dengan
yang dapat diamati. Menurut
mereka, pendekatan ini diarahkan terpilihnya Abu Bakar sebagai bupati
pada latar dan individu tersebut yang kemudian memenangkan kontes­

50. Lexi J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya, Bandung. Tahun
2007: hal 4

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 75


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

tasi dua kali masa jabatan. Sehingga pihak: peneliti dan subjek
dengan penelitian kualitatif ini di­ penelitian.”51
harap­kan dapat menafsirkan fenomena
yang terjadi dalam proses pem­ Ada beberapa teknik pengambilan
bentukan Kabupaten Bandung Barat. data yang dapat dilakukan dalam
melakukan penelitian kualitatif yaitu
Moleong sendiri dalam bukunya
sebagai berikut: Studi Kepustakaan,
menyebutkan bahwa :
Observasi dan Wawancara mendalam.
”Penelitian kualitatif itu berakar
pada penelitian alamiah sebagai Dengan teknik pengumpulan data
keutuhan, mengandalkan manusia tersebut diatas, diharapkan penelitian
sebagai alat penelitian, meman­ mengenai Agenda Setting Dalam
faatkan metode kualitatif, Proses Pembentukan Kabupaten
menga­dakan analisis data secara Bandung Barat Tahun 2007 menjadi
induktif, mengarahkan sasaran daerah otonom Kabupaten Bandung
penelitiannya pada usaha mene­ Barat akan mendapatkan data yang
mukan teori dari-dasar, bersifat lengkap meliputi data yang sudah
deskriptif, lebih mementingkan diarsipkan dalam berbagai bentuk
proses daripada hasil, membatasi termasuk data yang diambil dari
studi dengan fokus, memiliki aktor-aktor yang terlibat secara
sepe­rangkat kriteria untuk me­ langsung dan mengetahui seluk belum
me­riksa keabsahan data, dinamika proses pembentukan
rancangan penelitiannya bersifat Kabupaten Bandung Barat sebagai
sementara, dan hasil penelitiannya daerah otonom baru.
disepakati oleh kedua belah

Tabel 1.2 Daftar Informan

No Informan Jabatan Informasi yang Ingin di Dapatkan

1 Drs. H. Endang Ketua umum  Peran KPBB dalam pembentukan


Anwar KPKBB Kabupaten Bandung Barat
 Kepentingan KPKBB dalam
pembentukan Kabupaten Bandung
Barat
 Dinamika kepentingan dalam proses
pembentukan Kabupaten Bandung
Barat
 Komunikasi dari dan kepada
KPKBB dalam proses pembentukan
Kabupaten Bandung Barat

51. Ibid. hal 5

76 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

2 Drs. H. Agus Yasmin Ketua DPRD  Peran DPRD Kabupaten Bandung


Kabupaten dalam proses pembentukan
Bandung periode Kabupaten Bandung Barat
2004 2009  Strategi yang dilakukan oleh DPRD
untuk merespon aspirasi masyarakat
terkait pemekaran.
 Isu subjektif yang berkembang
terkait pembentukan Kabupaten
Bandung Barat

3 H. Obar Sobarna Mantan Bupati  Peran H. Obar Sobarna S.Ip dalam


S.IP Bandung pemekaran H. Obar Sobarna S.Ip
 Dinamika kepentingan dalam proses
pemekaran H. Obar Sobarna S.Ip
 Bentuk intervensi atau desakan
kepentingan yang terjadi selama
proses pembentukan KBB.

4 Tokoh masyarakat Budi Buntaran  Peran masyarakat dalam proses


(Kepala Desa pembentukan Kabuaten Bandung
Cilangari pada Barat
tahun 2003-2007)  Landasan diinginkannya
pembentukan Kabuaten Bandung
Barat
 Bentuk intervensi elit kepada
masyarakat
 Proses pembentukan isu yang
dilakukan oleh tokoh masyarakat

5 Drs. H. Abu Bakar Ketua tim teknis  Peran Drs. H. Abu Bakar terkait
penataan Wilayah posisi sebagai Ketua tim teknis
Kabupaten penataan Wilayah Kabupaten
Bandung sekaligus Bandung
sebagai Bupati  Dinamika kepentingan yang terjadi
Bandung Barat selama proses pembentukan
 Dampak pemekaran terhadap
untuk dua kali masa
pembangunan di KBB
jabatan
6 H. Dede Mariana, Tim Konsorsium  Peran Tim Konsorsium dalam proses
Drs., M.Si Perguruan Tinggi pemekaran
Untuk Penataan  Dinamika yang terjadi selama
Wilayah Kabupaten penyusunan dan pengkajian
Bandung kelayakan pemekaran
 Evaluasi terhadap hasil pemekaran
pada saat sekarang

7 Ormas ormas yang LSM Pedang  Peran ormas dalam proses


terlibat di Kecamatan pembentukan Kabupaten Bandung
Lembang Barat
 Sikap yang diambil oleh ormas
secara umum
 Strategi yang dilakukan oleh ormas
dalam mendukung atau menolak
pemekaran
 Bentuk intervensi yang dilakukan
oleh elit kepentingan
 Dampak dari pemekaran
terhadap kualitas pelayanan dan
pembangunan pada saat ini

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 77


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

8 Masyarakat umum  Bentuk intervensi yang dilakukan


yang memahami oleh elit kepentingan
pembentukan  Dampak dari pemekaran
Kabupaten Bandung terhadap kualitas pelayanan dan
Barat pembangunan pada saat ini

9 Pihak yang tidak Forum 14 di  Alasan tidak setuju terhadap


menyetujui Kecamatan Cililin pemekaran
pemekaran

10 Donny Widiaman Tim Perencana  Mengetahui strategi dan tujuan


pemekaran

11 Tjatja Kuswara Mantan Penjabat  Untuk mengetahui kondisi


Bupati Kabupaten Kabupaten Bandung Barat pasca
Bandung Barat terbentuk serta langkah yang
dilakukan oleh pemerintah dalam
mengawali proses pemerintahan

Pada penelitian ini analisis data terhadap pemerintah dan menuntut


dilakukan melalui langkah-langkah untuk dicarikan solusi yang salah
sebagai berikut: reduksi data, display satunya adalah membentuk wilayah
data, pengambilan kesimpulan dan dan pemerintahan yang baru, dengan
verifikasi. harapan akan tercipta kesejahteraan
masyarakat karena peran pemerintah
dirasa akan lebih efektif dan efisien
HASIL DAN PEMBAHASAN
sehingga fungsi-fungsi pemerintah
Agenda Setting Dalam Proses seperti yang dijelaskan oleh Ryas
Pembentukan Kabupaten Bandung Rasyid seperti pelayanan, pembangun­
Barat Tahun 2007 an dan pemberdayaan bisa terlaksana
dengan baik,52.
Aspirasi pemekaran daerah Berbagai masalah yang ada
otonom terjadi karena adanya berbagai dimasyarakat Kabupaten Bandung
permasalahan di masyarakat luas yang yang memicu aspirasi pemekaran
memicu ketidakpuasan masyarakat Kabupaten Bandung Barat pada

52. Ryaas Rasyid. Makna Pemerintahan: Tinjauan Dari Segi Etika Dan Kepemimpinan. Mutiara
Sumber Widya. Jakarta:. Tahun 2000: hal 73.

78 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

kenyataannya merupakan masalah Berbagai masalah tersebut


yang berkaitan dengan kebutuhan menjadi amunisi bagi aktor-aktor
dasar masyarakat seperti kurangnya yang terlibat aktif dalam mem­
pelayanan pemerintah terhadap kebu­ perjuangkan pembentukan daerah
tuhan masyarakat, pembangunan otonom baru untuk terus berusaha
tidak optimal terutama infrastruktur mencapai titik persetujuan bahwa
seperti jalan raya, fasilitas kesehatan suatu daerah harus dimekarkan dan
dan fasilitas pendidikan serta adanya dibentuk daerah baru, sehingga
kesenjangan pembangunan dan ke­ Kabupaten Bandung Barat secara
sem­patan masyarakat untuk meng­ resmi dibentuk pada tahun 2007.
akses fasilitas publik dan juga akses
Untuk membuat suatu masalah
terhadap kesempatan ekonomi, se­
dijadikan bahan pertimbangan oleh
hingga menciptakan kecemburuan
pemerintah dalam perumusan kebi­
sosial di masyarakat.
jakan publik termasuk kebijakan
Hal tersebut seperti yang pemekaran daerah, maka perlu disusun
diungkapkan oleh Dede Mariana53 agenda setting yaitu suatu rangkaian
yang menjelaskan sebagai berikut: proses yang dilakukan agar masalah
“Permasalahan yang ada di bisa diketahui oleh publik secara luas
Kabupaten Bandung yaitu dan mendapatkan perhatian dari
berkisar pada pelayanan dasar pemerintah.
sosial, seperti pendidikan dan
Seperti sudah dijelaskan bahwa
kesehatan yang tidak memenuhi
agenda setting sebagai salah satu
terutama bisa ditemukan di
langkah proses perumusan kebijakan
daerah-daerah yang masih minim
pembangunan, seperti rumah publik memiliki beberapa tahapan
sakit di wilayah Bandung Barat yang lebih detail yaitu individual
yang hanya ada di Cililin dan problems, public problems, issues,
baru mengalami perbaikan systemic agenda dan institutional
setelah dilakukan pemekaran agenda. Namun sebelum membahas
daerah otonom, oleh sebab itu kelima tahapan tersebut, terlebih
pemekaran menjadi salah satu dahulu dijelaskan keterkaitan antara
pintu solusi terbaik untuk individual problems, dan public
memperbaiki pelayanan publik” problems.

53. Wawancara dengan Dede Mariana yang merupakan Guru Besar Ilmu Pemerintahan. Pada saat
proses pemekaran, Dede Mariana menjadi Ketua Tim Konsorsium 6 Perguruan Tinggi.

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 79


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

Bahwa pengertian individual masing-masing individu adalah karena


problems adalah masalah yang dirasa­ adanya perbedaan sudut pandang tiap-
kan oleh seseorang atau sebagian ma­ tiap kelompok masyarakat dalam
sya­
rakat saja dan tidak berdampak memandang masalah-masalah publik
lang­
sung terhadap masyarakat luas. tersebut sehingga seolah terdapat
Sementara itu pengertian dari public berbagai varian masalah. Privat
problems adalah suatu masalah yang problems didefinisikan sebagai suatu
dirasakan oleh masyarakat banyak masalah yang mempunyai akibat yang
dan memberikan pengaruh kepada terbatas atau hanya menyangkut satu
ma­syarakat banyak baik yang terkait atau sejumlah kecil orang yang terlibat
secara langsung maupun tidak secara langsung, keberadaan masalah
langsung. dirasa tidak menyebabkan dampak
luas karena hanya dirasakan oleh
Akan tetapi pada dasarnya indi­
sebagian masyarakat saja.
vidual problems dan public problems
tidaklah jauh berbeda bahkan sama. Masalah lain terkait proses peme­
Misalnya individual problems terkait karan ini adalah permasalahan rentang
masalah pendidikan, sebagian masya­ kendali pemerintahan dan luas wilayah
rakat Bandung Barat merasa jarak yang menghambat pem­berian pelaya­
untuk mengakses pendidikan yang nan oleh pemerintah daerah, Kabu­
jauh, sebagian merasakan fasilitas paten Bandung memiliki daerah yang
yang kurang memadai, pun hal yang terlalu luas sehingga menyebabkan
sama dalam bidang kesehatan dan rendahnya rentang kendali pemerintah
bidang lainnya seperti perdagangan. daerah yang menye­babkan kebutuhan
Maka ketika dikonfirmasi terkait dasar masya­ rakat tidak berhasil
masalah publik atau public problems, dipenuhi pe­merintah.
masalah yang muncul ternyata sama,
Meskipun pemerintah sudah me­
yaitu masalah pendidikan, kesehatan
na­ngani masalah rentang kendali ini
dan lain sebagianya.
dengan cara melimpahkan beberapa
Jadi bisa disimpulkan, bahwa kewenangan kepada kecamatan dian­
masalah publik atau public problems taranya adalah urusan administrasi
yang ada dimasyarakat cenderung umum, informasi, pemerintahan, ke­
sama, namun yang menjadikan adanya tertiban, pemeliharaan sarana umum,
individual problems atau masalah bagi pemberdayaan dan pendapatan dae­
rah54, namun tetap saja kondisi yang

54. Keputusan Bupati Bandung Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pelimpahan Kewenangan Kepada
Pemerintah Kecamatan yang berjumlah 8 poin.

80 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

ada dilapangan tidak tertangani termasuk akibat-akibat yang mengenai


dengan benar sehingga menyebabkan orang-orang yang terlibat secara tidak
ketimpangan pembangunan terutama langsung. Berdasarkan hasil pengka­
di daerah yang terpencil. jian terhadap sumber data yang ada
dilapangan baik data yang berasal dari
Dengan demikian bisa disimpul­
dokumen, pengamatan secara lang­
kan bahwa beberapa masalah yang
sung maupun wawancara terhadap
dirasakan oleh sebagian masyarakat
infor­
man, terdapat beberapa perma­
berkisar pada hal-hal fisik yang
salahan publik yang ada di Kabupaten
bermuara kepada rendahnya kualitas
Bandung yang secara umum di­
pembangunan dan pelayanan publik.
akibatkan oleh terlalu luasnya wilayah
Masalah-masalah tersebut antara lain
kewenangan yang tidak dibarengi
perjalanan yang terhambat karena
dengan kemampuan atau kapasitas
jalan raya yang rusak, jarak ke sekolah
Pemerintah Kabupaten Bandung.
yang jauh sehingga banyak anak-anak
enggan melanjutkan sekolah termasuk Issues, Muncul Isu Pembentukan
alasan biaya yang tinggi, serta sarana Kabupaten Bandung Barat
kesehatan yang jauh sehingga banyak
Issues diartikan sebagai per­
masyarakat merasa tidak mampu
bedaan-perbedaan pendapat yang ada
menjangkau sarana kesehatan, hal ini
dimasyarakat tentang persepsi dan
membuat masyarakat kurang menda­
solusi terhadap suatu masalah publik.
patkan perhatian dalam bidang kese­
Bisa dikatakan bahwa dalam tahap
hatan secara memadai.
ini, masyarakat sudah menget­ahui dan
Sementara itu bagi orang-orang merasakan semua perma­salahan yang
yang ada di lembaga pemerintahan, terjadi hanya saja masyarakat masih
masalah yang mereka rasakan adalah memilih-milih bentuk solusi yang
rentang kendali yang rendah dika­ seharusnya diambil. Perbedaan pan­
renakan terlalu luasnya wilayah serta dangan dan juga konflik menjadi dina­
jarak yang harus di­tempuh cukup jauh, mika tersendiri dalam fase ini
ditambah dengan kondisi sarana yang berkaitan dengan penyelesaian terbaik
meng­hambat seperti kerusakan jalan yang seharusnya dilakukan oleh peme­
dan lain sebagainya. Perma­salahan ini rintah.
mem­buat pelayanan dan pembangunan
Isu yang berkembang di masya­
tidak maksimal serta membuat biaya
rakat adalah isu pemekaran Kabupaten
penyelenggaraan pemerintahan men­
Bandung yaitu dibentuknya Kabu­
jadi mahal.
paten Bandung Barat. Persepsi
Public problems atau masalah masyarakat yang berkembang yaitu
publik, diartikan sebagai suatu masa­ bahwa daerah Kabupaten Bandung
lah yang mempunyai akibat yang luas, dinilai terlalu luas dan tidak sebanding

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 81


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

dengan kemampuan Pemerintah tidak optimal serta timpangnya


Kabu­paten Bandung. Akibatnya pembangunan di Kabupaten Bandung
penye­lenggaraan tugas dan fungsi bagian barat, sehingga menyebabkan
pemerintah menjadi tidak maksimal lahirnya kecemburuan sosial yang
sehingga baik pelayanan masyarakat, kemudian melahirkan inisiasi untuk
pembangunan dan juga pemberdayaan melakukan pembentukan daerah
tidak berjalan dengan baik. otonom baru yaitu Kabupaten
Bandung Barat.
Rentang kendali pemerintah yang
selama ini dinilai masih rendah, Ketika berbagai permasalahan di
menyebabkan tidak optimalnya tugas Kabupaten Bandung sudah menge­
dan fungsi pemerintah serta menye­ muka dan menjadi perhatian masya­
babkan beberapa permasalahan rakat, pro kontra pun muncul
lainnya seperti tidak terpenuhinya menambah dinamika yang ada baik di
kebutuhan dasar masyarakat dan juga level Pemerintah Kabupaten Bandung
menyebabkan ketimpangan pem­ maupun dikalangan masyarakat, pro
bangunan di beberapa daerah terutama kontra terhadap solusi yang harus
di Kabupaten Bandung bagian barat. diambil untuk menyelesaikan masalah
Maka menurut persepsi masyarakat, publik ini berbeda satu sama lainnya
untuk menyelesaikan masalah ini sehingga memakan waktu yang cukup
adalah dengan melakukan pemekaran lama. Hal ini tidak dipungkiri bahwa
daerah sehingga kapasitas pemerintah masing-masing pihak memiliki kepen­
disesuaikan dengan kondisi daerah tingan berbeda terkait pembentukan
kewenangan. Kabupaten Bandung Barat sehingga
setiap aktor berusaha untuk mengu­
Systemic Agenda, Menguatnya Isu
sahakan tercapainya kepentingan
Pembentukan Kabupaten Bandung
Barat mereka.

Systemic agenda, didefinisikan Kelompok yang menyetujui


sebagai semua isu yang pada umumnya pembentukan KBB adalah kalangan
dirasakan oleh anggota masyarakat LSM, partai politik, kalangan ulama
politik yang patut mendapat perhatian dan berbagai lapisan tokoh masyarakat
publik dan isu tersebut memang serta didukung oleh birokrat yang ada
berada dalam yurisdiksi kewenangan di wilayah Bandung Barat. Alasan
pemerintah. Seperti sudah dijelaskan mereka cukup jelas yaitu isu objektif
diatas bahwa masalah publik yang yang ada dilapangan seperti luas
mengemuka di Kabupaten Bandung, daerah, ketimpangan pembangunan
jika dikelompokan dalam kelompok dan pelayanan, serta berbagai alasan
besar diantaranya adalah rendahnya lain yang menjadi masalah publik
rentang kendali pemerintah, dimana kebutuhan dasar masyarakat
pembangunan dan pelayanan yang di sebagian daerah dinilai tidak

82 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

mampu dipenuhi oleh Pemerintah masyarakat terkait upaya pemb­


Daerah Kabupaten Bandung.55 entukan Kabupaten Bandung Barat.

LSM dan kelompok masyarakat KPKBB yang dibentuk oleh LSM


lainnya di Kabupaten Bandung yang dan kelompok masyarakat yang
pada awalnya bergerak masing- mendukung pembentukan Kabupaten
masing seperti FORBES, FPBB dan Bandung Barat pada kenyataannya
berbagai LSM dilevel kecamatan, terbentuk karena kepentingan aktor
kemudian menyetujui dibentuknya yang mengendalikan mereka dibe­
komite yaitu KPKBB atau Komite lakang atau yang kita sebut dengan
Pembentukan Kabupaten Bandung Tim yang Tersisihkan. Oleh karena itu
Barat. Tujuan dibentuknya komite ini sudah dipastikan bahwa KPKBB ini
menurut Ade Ratmaja yang menjabat dalam geraknya disamping mem­
sebagai Sekretaris KPKBB, adalah perjuangkan pembentukan Kabupaten
untuk menyamakan visi misi men­ Bandung Barat, juga membawa ke­
dukung percepatan dibentuknya pentingan pribadi atau kelompok yang
KPKBB serta untuk menampung sudah tentu sejalan dengan keinginan
aspirasi semua kalangan masyarakat pengusaha dan birokrat yang ter­
dan menghimpun kekuatan untuk gabung dalam Tim yang Tersisihkan
mensukseskan pemekaran. tersebut.

Bisa disimpulkan bahwa KPKBB KPKBB dalam gerakannya


sebagai sebuah komite yang meng­ ternyata tidak bisa lepas dari
himpun semua elemen masya­ rakat kepentingan subjektif yang ingin
pendukung pembentukan Kabupaten dicapai oleh sebagian elit. Salah satu
Bandung Barat, melakukan berbagai kepentingannya adalah pada saat
upaya dalam mencapai terbentuknya Kabupaten Bandung Barat sudah
Kabupaten Bandung Barat, upaya resmi di bentuk, KPKBB kemudian
tersebut dilakukan dari mulai merekomendasikan Panji Tirtayasa
unjukrasa, deklarasi, rapat besama sebagai pjs Bupati Kabupaten
pemerintah dan DPRD, lobby dengan Bandung Barat. Padahal saat itu Panji
DPR-RI dan Pemerintah Pusat, hingga Tirtayasa sedang menjabat sebagai
melakukan sosialisasi kepada Kepala BAPPEDA Kota Serang,

55. Ade Ratmaja., dkk. Perjalanan Pembentukan Kabupaten Bandung Barat Menjadi Daerah
Otonom Di Provinsi Jawa Barat. Bandung Barat. Komite Pembentukan Kabupaten Bandung
Barat (KPKBB).. tahun 2006: hal 3.

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 83


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

namun kenyataannya KPKBB cukup sebagai tokoh atau penduduk Kabu­


kuat merekomendasikan Panji untuk paten Bandung Barat, diban­ dingkan
dijadikan pjs. Penunjukan Panji dengan mencalonkan orang yang
Tirtayasa dilandasi bahwa Panji sedang menjabat di daerah lain dengan
merupakan orang yang tepat karena tempat tinggal secara administatif
memiliki pengalaman yang luas serta bukan di Kabupaten Bandung Barat.
pengetahuan yang cukup terkait
Institutional Agenda, Dinamika
Kabupaten Bandung Barat terlebih ia
Pemerintah dan DPRD Terkait
adalah putra daerah asli KBB yang Pembentukan Kabupaten Bandung
lahir di Cipendeuy.56 Barat
Menjadi hal yang bertolak bela­
Institutional agenda, didefini­
kang ketika KPKBB mereko­
sikan sebagai serangkaian masalah
mendasikan Panji Tirtayasa sebagai
yang secara tegas membutuhkan
Pjs Bupati Bandung Barat dengan
pertimbangan-pertimbangan yang
alasan Panji memiliki pengalaman
aktif dan serius dari pembuat
yang luas dan pengetahuan yang
keputusan yang sah/otoritas. Pada
cukup terkait KBB, sementara di satu
tahap institutional agenda ini, isu
sisi bahwa ada beberapa hal yang
yang muncul sudah mengerucut dan
menyanggah argumentasi tersebut,
memberikan tekanan tertentu kepada
antara lain bahwa pada saat yang
pemerintah serta menjadi dinamika di
bersamaan Panji Tirtayasa sedang
kalangan otoritas yang berwenang,
menjadi pejabat di Kota Serang yaitu
hal ini karena aktor-aktor yang
sebagai kepala Bappeda Kota Serang
berperan sudah melakukan tuntutan
yang ditugaskan oleh Pemerintah
secara langsung kepada pemerintah
Provinsi Jawa Barat. Di sisi lain,
untuk merealisasikan aspirasi yang
Kepindahan tempat tinggal Panji di
dibawanya.
Kota Cimahi cukup menjelaskan
bahwa ia bukan lagi sebagai warga KPKBB menjadi aktor terdepan
Kabupaten Bandung Barat. dalam mensukseskan pembentukan
Kabupaten Bandung Barat dimana
Jadi berdasarkan fakta diatas
KPKBB menjadi himpunan semua
seharusnya KPKBB lebih mem­
aktor yang mendukung pemekaran,
prioritaskan orang lain yang memang
guna menekan pemerintah agar

56. Dikutip dari Koran Pikiran Rakyat dengan judul “KPKBB Usulkan Panji Pj Bupati Bandung
Barat” halaman 9 terbit pada selasa 3 Oktober 2006.

84 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

menyetujui pemekaran ini secepatnya. dan juga DPRD, namun yang menarik
Sampai tahun 2004 tercatat beberapa adalah ada rasionalisasi atau kepen­
kali dilakukan demonstrasi di depan tingan yang melandasi penolakan
Kantor Pemerintah Kabupaten pembentukan Kabupaten Bandung
Bandung yang dipimpin oleh KPKBB Barat ini, baik di pihak Pemerintah
ini, dalam aksi tersebut massa maupun di pihak DPRD. Kepentingan
terbanyak berjumlah sekitar 5000 pribadi dan kepentingan kelompok
orang yang berasal dari 15 kecamatan adalah hal yang memang tidak
pendukung pemekaran57. terpisahkan dari sebuah keputusan
menolak atau menyetujui pemekaran
Besarnya tuntutan dari masya­
Kabupaten Bandung. Dalam tahap ini
rakat terutama di wilayah Bandung
di lakukan analisis terhadap kepen­
Barat, serta dukungan mayoritas
tingan masing-masing aktor peme­
DPRD Kabupaten Bandung, maka
rintah sebagai sebuah proses agenda
wacana pembentukan Kabu­ paten
setting dalam proses pembentukan
Bandung Barat menjadi salah satu
Kabupaten Bandung Barat.
masalah atau isu yang men­dapatkan
respon dari pemerintah. Tindakan
pertama yang dilakukan oleh Aktor dan Peran dalam
pemerintah dalam merespon aspirasi Pembentukan Kabupaten Bandung
pemekaran ini adalah dengan terbitnya Barat
Surat Keputusan Bupati No 135/
Kep.85-Binpenum/2004 tentang pem­ Sikap Dua Kaki Birokrat,
ben­tukan Tim Teknis Penataan Wila­ Menolak Namun Mendanai Proses
yah Kabupaten Bandung, dimana pemekaran
berdasarkan hasil kajian bahwa
pembentukan Kabupaten Bandung Birokrat merupakan salah satu
Barat layak untuk dilakukan. aktor yang berperan dalam proses
Dalam perjalanan pembahasan pembentukan Kabupaten Bandung
pembentukan Kabupaten Bandung Barat, tidak dipungkiri bahwa birokrat
Barat ini, terjadi dinamika yang cukup memiliki peranan yang cukup
dinamis baik di kalangan Legislatif signifikan melalui dukungan yang
maupun di kalangan Eksekutif. Terjadi diberikannya kepada KPKBB sebagai
pro dan kontra di kalangan pemerintah kelompok masyarakat yang mengas­

57. Koran Berita Pasundan, terbit pada tahun ke IV; 12-19 Januari 2004.

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 85


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

pirasikan pembentukan Kabupaten Sumber pendanaan KPKBB


Bandung Barat kepada pemerintah. selain berasal dari masyarakat, juga
Meskipun dipermukaan para birokrat berasal dari birokrat di lingkungan
menolak aspirasi pembentukan Pemerintah Kabupaten Bandung.
Kabupaten Bandung Barat karena Menurut Ade Ratmaja bahwa KPKBB
harus mengikuti arahan atau keinginan didukung oleh masyarakat termasuk
Bupati Bandung yang menolak keras dukungan dalam bentuk finansial,
pembentukan Kabupaten Bandung salah satu yang dijelaskan adalah
Barat ini, namun di sisi lain birokrat sumbangan dari setiap camat yang
juga menampilkan sisi mendukung mendukung “dari belakang” rencana
pemekaran. Hal tersebut jelas karena pemekaran ini. Adanya aliran dana ini
birokrat memiliki kepentingan yang cukup menjelaskan bahwa KPKBB
ingin dicapai. digunakan sebagai kendaraan bagi
sebagian aktor untuk kepentingan
Oleh sebab itu, melihat rangkaian
tertentu.
gerak birokrat dan diakhiri dengan
lobby atau intervensi kepada bupati Oleh sebab itu bisa disimpulkan
untuk mendapatkan jabatan, jelas bahwa ada keterkaitan antara per­
terdapat kepentingan dari birokrat di juangan KPKBB untuk mewujudkan
Kabupaten Bandung maupun di pembentukan Kabupaten Bandung
Kabupaten Bandung Barat untuk Barat, dengan dukungan birokrat yang
mendapatkan jabatan sebagai salah membentuk kepentingan jabatan.
satu tujuan mereka dalam pemben­ KPKBB mendapatkan suntikan
tukan Kabuaten Bandung Barat. “amunisi” berupa sumbangan dana
untuk kegiatan operasional mereka,
Beberapa kalangan birokrat di
sementara itu birokrat di Kabupaten
Kabupaten Bandung mendukung
Bandung mempunyai peluang untuk
pembentukan Kabupaten Bandung
mengakses jabatan yang lebih tinggi
Barat dimana salah satu bentuk
seiring dengan lahirnya Bandung
dukungannya adalah mendorong
Barat sebagai daerah otonom baru di
langkah KPKBB untuk mewujudkan
Provinsi Jawa Barat.
pembentukan Kabupaten Bandung
Barat. Dukungan mereka tidak
ditunjukan secara terbuka namun Kelompok Menolak Pembentukan
Kabupaten Bandung Barat
dengan dukungan dana yang mereka
gelontorkan kepada aktor yang Sementara itu masyarakat yang
menjadi kelompok kepentingan dan tidak setuju terhadap pemekaran
kelompok penekan pemerintah agar diantaranya adalah mereka yang
pembentukan Kabupaten Bandung mengatasnamakan diri mereka sebagai
Barat ini segera dilakukan. Forum 14 Kecamatan (F14), mereka
adalah kelompok yang mendekla­

86 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

rasikan ketidaksetujuan mereka merupakan hal yang sangat terburu-


terhadap pembentukan Kabupaten buru dan mengabaikan dampak negatif
Bandung Barat. Sikap mereka yang akan diterima masyarakat59.
dilatarbelakangi oleh alasan bahwa Salah satu usulan dari Forum 14
pembentukan Kabupaten Bandung Kecamatan (F14) ini adalah menolak
Barat bukan merupakan solusi setiap usulan pemekaran yang
terhadap masalah yang saat itu ada di dilakukan oleh sebagian masyarakat
Kabupaten Bandung, masalah yang sebelum infrastruktur dan indikator
ada cukup diselesaikan dengan strategi sebagai prasyarat pemekaran bisa
selain pemekaran. terpenuhi terutama pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat.60
Forum 14 Kecamatan (F14) ini
menjelaskan bahwa pemekaran belum Pemekaran sejatinya ditujukan
perlu dilakukan karena pelayanan karena melihat permasalahan di
yang diberikan pemerintah kepada masyarakat terutama kondisi pem­
masyarakat sudah tepat hanya yang bangunan dan kesejahteraan yang
belum terlaksana adalah optimalisasi tidak baik sehingga harus dilakukan
perannya saja, terlebih setelah adanya pemekaran dengan tujuan mening­
pelimpahan kewenangan oleh bupati katkan efektifitas dan efisiensi penye­
kepada camat berdasar Keputusan lenggaraan pemerintahan. Jika Forum
Bupati Nomor 21 Tahun 2001. 14 Kecamatan (F14) baru menyetujui
Pernyataan ini disampaikan secara pemekaran ketika kesejahteraan
tertulis oleh tokoh masyarakat dari masyarakat dan infrastruktur sudah
Kecamatan Cililin kepada Ketua bagus, maka sejatinya tidak perlu
DPRD dan Bupati Bandung pada dilakukan pemekaran.
tanggal 31 maret 2003.58
Forum 14 Kecamatan (F14)
Forum 14 Kecamatan (F14) menduga bahwa ada kepentingan
menyampaikan kepada bupati dengan politik dibalik arus kuat yang
mengirimkan surat pada tanggal 6 menuntut pemekaran Kabupaten
Mei tahun 2003 yang menyatakan Bandung ini, oleh sebab itu Forum 14
bahwa wacana pemekaran KBB Kecamatan (F14) ini dengan tegas

58. Op. Cit. hal 34


59. ibid
60. ibid

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 87


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

menolak pemekaran Kabupaten dalam sebuah proses pembangunan


Bandung, karena jika landasan aspirasi opini publik. Dengan bergeraknya
pemekaran adalah kepentingan poli­ suatu media tertentu, akan
tik, hal tersebut tidak akan menda­ memberikan pengaruh yang sangat
tangkan kebaikan untuk Kabupaten berarti kepada masyarakat luas,
Bandung termasuk untuk Bandung termasuk memiliki dampak yang
Barat. Pemekaran Kabupaten Ban­ sangat besar bagi pemerintah sebagai
dung hanya akan menguntungkan pihak yang berwenang mengambil
sebagian kecil kelompok saja sehingga kebijakan publik.
masyarakat umum terabaikan.
Peran media dalam proses
Kelompok yang tidak setuju pembentukan Kabupaten Bandung
terhadap pemekaran daerah selan­ Barat dinilai sangat signifikan dan
jutnya menjelaskan bahwa untuk memiliki kecenderungan mendukung
menyelesaikan masalah yang ada di proses pembentukan Kabupaten
Kabupaten Bandung seharusnya Bandung Barat, dengan cirinya adalah
bukan dengan pemekaran daerah, cenderung memuat berita yang
namun cukup dengan mendukung mendukung dilakukannya pemben­
program dan kebijakan Pemerintah tukan Kabupaten Bandung Barat serta
Kabupaten Bandung yang sedang banyak memuat argumentasi tokoh-
dilakukan saja, serta meningkatkan tokoh yang mendukung pembentukan
rentang kendali pemerintah terhadap Kabupaten Bandung Barat.
daerah kewenangannya.
Dilihat dari jumlah berita yang
Namun karena kuatnya arus beredar terkait proses pembentukan
aspirasi dari masyarakat terkait usulan Kabupaten Bandung Barat, setidaknya
pemekaran Kabupaten Bandung, ada 65 pemberitaan yang tersebar di
maka pada tahun 2006 pemekaran berbagai media massa dengan konten
Kabu­ paten Bandung berhasil dilak­ yang mendukung proses pembentukan
sanakan setelah melewati perjalanan Kabupaten Bandung Barat. Galamedia
yang cukup lama yaitu dari tahun dan Pikiran Rakyat menjadi media
1999, tepatnya ketika otonomi daerah massa yang sangat intens mem­
di Indonesia diberlakukan. beritakan terkait proses pembentukan
Kabupaten Bandung Barat. Selama
Media Massa dalam Pembangunan kurun waktu tahun 2004 sampai
Opini Publik dengan tahun 2006, Galamedia
setidaknya memuat sebanyak 24
Media memiliki peran yang berita. Sementara itu, Pikiran Rakyat
sangat signifikan dalam sebuah proses dalam kurun waktu tahun 2004 sampai
agenda setting, hal ini karena media dengan tahun 2006 juga memuat
memiliki kekuatan yang cukup besar sebanyak 24 berita dengan kecen­

88 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

derungan mendukung proses pem­ dilakukan dari mulai unjuk rasa hingga
bentukan Kabupaten Bandung Barat.61 lobby politik kepada DPRD, sehingga
isu pembentukan Kabupaten Bandung
Oleh sebab itu bisa dikatakan
Barat ini disikapi oleh Pemerintah
bahwa media massa memiliki peran
Kabupaten Bandung dengan
yang signifikan dalam proses
menerbitkan Surat Keputusan No.
pembentukan Kabupaten Bandung
135/Kep.85-Binpenum/2004 tentang
Barat, hal tersebut karena media
pembentukan Tim Teknis Penataan
massa terutama Pikiran Rakyat dan
Wilayah Kabupaten Bandung.
Galamedia memiliki kecenderungan
mendukung proses pembentukan Respon pemerintah Kabupaten
Kabupaten Bandung Barat dengan Bandung ini mejadi titik selanjutnya
cara memuat berita-berita maupun dimana usulan pembentukan
opini yang menyatakan Kabupaten Kabupaten Bandung Barat memasuki
Bandung Barat memang seharusnya di tahap pembahasan di level pemerintah
bentuk. dimana hasil kajian akademis, proses
administrasi dan proses politik akan
menentukan apakah pembentukan
Respon Pemerintah Kabupaten
Kabupaten Bandung Barat akan di
Bandung
bahas dan dijadikan sebagai alternatif
kebijakan atau tidak.
Aspirasi pembentukan Kabupaten
Bandung Barat rupanya sangat keras Berikut adalah identifikasi
dilakukan oleh masyarakat yang terhadap aktor dan peranannya dalam
mendukung pembentukan Kabupaten proses pembentukan Kabupaten
Bandung Barat, berbagai upaya Bandung Barat:

61. Kliping berupa kumpulan berita di media massa terkait pembentukan Kabupaten Bandung
Barat, kliping disusun oleh KPKBB pada tahun 2006.

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 89


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

Tabel 2. Aktor dan Perannya dalam Pembentukan Kabupaten Bandung Barat

No Aktor Peran
1 Masyarakat Masyarakat dalam pemekaran ini sebagai individu-
individu yang bersama-sama mengaspirasikan
kehendaknya kepada pemerintah serta mendukung
upaya pemekaran Kabupaten Bandung. Peran
masyarakat terlihat seperti pada saat aksi demonstrasi,
forum dan lain sebagainya.

2 LSM LSM dalam pemekaran ini berperan sebagai


kelompok yang menjadi jembatan masyarakat kepada
pemerintah terkait dengan adanya permasalahan
yang ada di masyarakat dan juga menjadi kelompok
yang mewakili masyarakat untuk menyuarakan
aspirasinya terkait pemekaran Kabupaten Bandung.
LSM juga menjadi kelompok penekan kepada
pemerintah ketika upaya untuk melakukan pemekaran
ini tidak mendapatkan penolakan dari pemerintah
sebagai pemilik kewenangan.

3 KPKBB KPKBB dalam perjalanan pembentukan Kabupaten


Bandung Barat mempunyai peran yang cukup besar,
KPKBB yang menjadi pemersatu semua LSM di
Kabupaten Bandung dan juga unsur yang mendukung
pemekaran ini menjadi Komite yang mewakili semua
unsur masyarakat dalam berkomunikasi dengan
pemerintah, melakukan upaya upaya legal untuk
mengupayakan terbentuknya Kabupaten Bandung
Barat, Seperti melakukan audiensi, rapat hingga
memobilisasi masa untuk melakukan demonstrasi.
KPKBB dalam menjalankan fungsinya juga menjadi
tim yang mencari dan menyediakan data kondisi
Kabupaten Bandung bagian barat sehingga usulan
pemekaran ini menjadi layak untuk dilakukan karena
telah didukung dengan data dan fakta.

4 Pemerintah Pemerintah dalam pembentukan Kabupaten Bandung


Barat ini berperan sebagai pihak yang memfasilitasi
aspirasi masyarakat, melakukan penelitian, kajian
hingga membuat kebijakan pemekaran wilayah.
Dalam kenyataannya, pemerintah juga berperan
sebagai pihak yang tidak menyetujui pemekaran
daerah karena beberapa kepentingan yang ingin
dipertahankannya.

90 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

5 DPRD DPRD Kabupaten Bandung berperan sebagai lembaga


yang mewadahi aspirasi masyarakat serta melakukan
pengkajian akan layak atau tidaknya dilakukan
pembentukan Kabupaten Bandung Barat. Melakukan
proses politik untuk mewujudkan pemekaran dan
membuat peraturan yang sah sehingga pembentukan
Kabupaten Bandung Barat dikatakan sah secara
hukum.

6 Tim Tim Konsorsium berfungsi sebagai lembaga akademis


Konsorsium yang mengkaji penataan wilayah. Tim Konsorsium
ini membahas kondisi Kabupaten Bandung dari
semua aspek, baik di wilayah timur, tengah maupun
barat. Sehingga melalui Tim Konsorsium ini bisa
didapatkan data dan fakta yang relevan sebagai bahan
bagi pemerintah untuk membuat kebijakan, termasuk
menerima atau menolak aspirasi pembentukan
Kabupaten Bandung Barat.
Tim Konsorsium juga menjadi lembaga yang
berfungsi memberikan rekomendasi terkait kebijakan
termasuk perencanaan pembangunan dan tata kelola
ruang pasca pemekaran dilakukan, baik penataan
wilayah di Kabupaten Bandung maupun penataan
wilayah di Kabupaten Bandung Barat.

7 Media Massa Media massa berfungsi sebagai aktor yang


mengangkat isu pemekaran ini ke ruang publik,
sehingga pemekaran ini bisa diketahui oleh
masyarakat luas. Selian itu media massa menjadi
sarana bagi berbagai pihak untuk menyuarakan
pendapatnya terkait pemekaran Kabupaten Bandung,
baik dari sisi kelayakan, kondisi wilayah hingga sisi
politis.
Media massa juga berfungsi sebagai sarana komunikasi
antara semua pihak, termasuk antara pemerintah dan
juga masyarakat Kabupaten Bandung.
8 Kelompok Kelompok kontra dalam hal ini memiliki fungsi
Kontra sebagai penyeimbang dari kelompok arus pro terhadap
pemekaran Kabupaten Bandung. Kelompok Kontra
dalam menjalankan perannya mampu menyajikan
argumentasi yang cukup kuat sehingga menambah
dinamika perjalanan pembentukan Kabupaten
Bandung Barat, baik melalui tulisan maupun melalui
forum resmi yang diadakan oleh mereka sebagai
kelompok kontra.

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 91


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

9 Tim yang Tim yang Tersisihkan merupakan aktor intelektual


Tersisihkan yang memiliki peran sebagai otak dari rencana
pembentukan Kabupaten Bandung Barat, sekaligus
sebagai sumber dana operasional bagi aktor lapangan
yang terlibat dalam proses pembentukan Kabupaten
Bandung Barat. Semua strategi yang dilakukan
dilapangan pada kenyataannya menjadi strategi yang
telah disusun oleh tim ini. Disebut sebagai tim yang
tersisihkan karena mereka adalah aktor utama namun
pasca Bandung Barat terbentuk mereka terkalahkan
oleh kekuatan politik lain dan tidak mendapatkan
keuntungan seperti yang mereka inginkan.

10 Tjatja Kuswara Orang yang berperan sebagai Penjabat Bupati


Kabupaten Bandung Barat, yang menjabat selama 1
tahun 3 bulan, dimana beliau direkomendasikan oleh
Gubernur Jawa Barat dan disetujui oleh Mendagri
atas nama presiden.

KESIMPULAN berlomba-lomba untuk menda­patkan


keuntungan bagi mereka masing-
Pembentukan Kabupaten Ban­ masing seperti jabatan dan juga
dung Barat secara resmi terbentuk penguasaan proyek-proyek pem­
pada tahun 2007 melalui Undang- bangunan. Adanya agenda kepentingan
Undang Nomor 12 tahun 2007 Tentang ini menjadikan pembentukan Kabu­
Pembentukan Kabupaten Bandung paten Bandung Barat sebagai lahan
Barat, adanya kebijakan ini memang politis dengan tujuan mereka yang
layak untuk dilakukan mengingat justru dapat mendistorsi esensi dari
kondisi kesejahteraan masyarakat, sebuah usaha pembentukan daerah
luas daerah dan juga kemampuan otonom baru, yaitu untuk mening­
pemerintahan Kabupaten Bandung katkan kesejahteraan masyarakat.
dalam menjalankan tugas dan fung­
sinya yang dirasa tidak maksimal. Pembentukan Kabupaten
Bandung Barat yang begitu politis
Namun dalam proses berjalannya membawa dampak signifikan bagi
pembentukan Kabupaten Bandung kondisi Kabupaten Bandung Barat
Barat tersebut, muncul berbagai pasca terbentuk termasuk dalam ranah
agenda dan kepentingan yang dibawa pemerintahan. Adanya keinginan
oleh masing-masing elit, baik itu elit mendapatkan jabatan di Kabupaten
birokrat, politisi, kelompok masya­ Bandung Barat bagi sebagian elit
rakat hingga pemilik modal. Mereka birokrat menjadi kenyataan yang

92 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

harus dihadapi pemerintah, yang jika justru pembentukan daerah otonom


tidak disikapi dengan baik maka akan baru hanya permainan elit yang ingin
melahirkan korupsi, kolusi dan bentuk memenuhi ambisi mendapatkan
penyimpangan lainnya dalam bentuk kekuasaan dan kekayaan hingga
yang lebih massif. Selain itu, pemburu kesejahteraan masyarakat yang
rente atau rent seeker yang menyasar menjadi fokus utama terabaikan.
proyek-proyek pemerintah juga Nampaknya hal ini harus di kaji lebih
banyak terjadi dan melibatkan orang- lanjut dan menjadi sebuah hipotesis
orang yang mempunyai catatan keter­ yang menarik untuk dicari jawabannya
libatan dalam proses pembentukan melalui rangkaian penelitian lebih
Kabupaten Bandung Barat, ini lanjut.
menunjukan ada keuntungan ekonomi
yang diburu oleh mereka sebagaimana
SARAN
hal tersebut juga menjadi salah satu

alasan keterlibatan mereka dalam
pembentukan Kabupaten Bandung Pembentukan Kabupaten
Barat. Efek dari hal ini memang sangat Bandung Barat dilakukan dengan
besar, terjadi jual beli proyek dan juga penuh dinamika. Maka berdasarkan
penyelewengan yang merugikan hal tersebut ada beberapa saran terkait
pemerintah dan rakyat pada umumnya, pembentukan wilayah otonom baru.
oleh sebab itu dalam kurun waktu 9 Beberapa saran tersebut adalah
tahun sejak Kabupaten Bandung Barat sebagai berikut:
terbentuk ternyata menyisakan 1. Pemerintah Lebih
beberapa kasus penyelewengan yang Mengefektifkan Kinerjanya
sampai saat ini belum juga tuntas. Hingga Pelosok Daerah
2. Masyarakat harus lebih selektif
Patut kita kaji kembali sebuah
dalam menghadapi mobilisasi
proses pembentukan daerah otonom tertentu
baru terutama pasca terbentuknya,
3. Masyarakat Aktif Mendorong
baik dari sisi pemerintahan,
Kinerja dan Rencana Pemerintah
pembangunan hingga kesejahteraan
4. Aktor LSM Mampu Memberikan
masyarakat. Apakah ada korelasi
Pendidikan Kepada Masyarakat
pembentukan daerah otonom baru
terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara signifikan sehingga 5. Pemerintah Menyiapkan Sejak
pembentukan daerah otonom baru Awal Urusan Pemerintahan dan
dikatakan sebagai solusi terbaik, atau Asset Daerah

CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016 | 93


Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958

DAFTAR PUSTAKA Simarmata, Salvatore, 2014. Media


Dan Politik. Jakarta: Buku Obor
Ambardi, Kuskridho. 2009. Subarsono, Ag. 2009 Analisis
Mengungkap Politik Kartel Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Tentang Sistem Kepartaian Di Pustaka Pelajar
Indonesia Era Reformasi. Jakarta:
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian
Kepustakaan Populer Gramedia
Kuantitatif Kualitatif Dan R & D.
Arikunto,
Bandung: Alfabeta. Syafiie Inu
Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian, Kencana, 2006. Ilmu Administrasi
Suatu Pendekatan Pendek. Publik. Rineka Cipta: Jakarta
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Widodo, Joko, 2009. Analisis
Kencana, Inu, 2011. Ilmu Administrasi Kebijakan Publik. Bayumedia:
Publik, Jakarta : Bandung. Malang
Kencana, Inu, 2011. Sistem Undang-Undang nomor 12 tahun 2007
Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Tentang Pembentukan Kabupaten
Rineka Cipta Kencana, Inu. 2003. Bandung Barat
Ilmu Pemerintahan. Bandung:
Keputusan Bupati No 21 tahun 2001
Mandar Maju Moleong,
tentang Pelimpahan Beberapa
Lexy, J. 2002. Metodologi Penelitian Kewenangan Pemerintah Daerah
Kualitatif. Bandung: Remaja kepada Pemerintah Kecamatan
Rosda Karya.
Surat Keputusan No. 135/Kep.85-
Nazir, Muhammad. 1998. Metode Binpenum/2004 tentang Pem­
Penelitian. Jakarta: Grafindo. bentukan Tim Teknis Penataan
Rasyid, M Ryaas. 2000. Makna Wilayah Kabupaten Bandung.
Pemerintahan: Tinjauan Dari Koran Berita Pasundan Nomor 24
Segi Etika Dan Kepemimpinan. tahun ke IV 12-19 Januari 2004
Jakarta: Mutiara Sumber Widya. dengan judul “5000 Rakyat
Ratmadja, Ade, Dkk. 2006. Perjalanan Bandung Tuntut “Merdeka”
Pembentukan Kabupaten Koran Galamedia, terbit pada hari
Bandung Barat Menjadi Daerah kamis 6 April 2006 dengan judul
Otonom Di Provinsi Jawa Barat. “Menggali Potensi yang Ter­
Bandung Barat: Komite pendam.
Pembentukan Kabupaten
Koran Pikiran Rakyat terbit pada se­
Bandung Barat (KPKBB).
lasa 3 Oktober 2006 dengan judul
Satori Djam’an Dan Komariah Aan, “KPKBB Usulkan Panji Pj Bu­
2009. Metode Penelitian pati Bandung Barat” halaman 9.
Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Pikiran Rakyat terbit 10 Juni 2004
Siagian, Sondang, P. 1996. Filsafat dengan judul “Pemekaran, Jangan
Administrasi. Jakarta: PT Menyengsarakan Rakyat.
Grasindo.

94 | CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016

Anda mungkin juga menyukai