Oleh :
NPM 2021021012
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
I. Pendahuluan
Berbicara tentang kebijakan publik sangat erat kaitannya dengan sebuah tindakan
dari pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan publik. Tindakan yang
dilakukan ini tentunya sudah melalui pertimbangan dan perencanaan yang matang.
Dalam proses perencanaan, pemerintah yang bersifat demokratis pastinya akan
mengumpulkan berbagai macam isu dan permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Sehingga latar belakang dari dikeluarkannya sebuah kebijakan adalah dikarenakan
adanya permasalahan dan isu yang dianggap penting, sistemik, menyangkut
kepentingan umum dan hidup masyarakat serta dianggap dapat memunculkan
permasalahan atau efek negatif lainnya apabila dibiarkan.
Kebijakan publik ini pada dasarnya merupakan sebuah bentuk respon dan tanggung
jawab politik dari pemerintah yang duduk dikursi pemerintahan mewakili masyarakat.
Perlu digaris bawahi bahwa kebijakan publik tidak akan berbicara mengenai
rasionalitas dari kebijakan saja tetapi juga menunjang pada aspek politis yang
masuk dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan publik memang harus dimaknai
sebagai fenomena politik karena berkaitan dengan banyak stakeholders yang
memiliki banyak kepentingan. Menurut (Anderson, 1984) menerapkan kebijakan
publik adalah cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah
pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan
mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan, maupun implementasinya dengan
menggunakan instrumen tertentu.
Dalam implementasinya banyak kebijakan publik lahir dari proses yang tidak
transparan dan kurang berdampak pada masyarakat. Ketika di dalam masyarakat
muncul isu-isu yang perlu penanganan dari pemerintah maka kebijakan publik perlu
dibuat. Konflik sering muncul dalam proses perumusan kebijakan publik dikarenakan
banyaknya isu dan masalah. Untuk menentukan isu-isu yang penting dan akan
diangkat kedalam agenda pemerintah maka harus melalui proses pengagendaan
kebijakan (agenda setting). Agenda setting menentukan pilihan kebijakan publik.
Proses ini fokus pada kelayakan suatu masalah untuk menjadi masalah publik.
Dalam prosesnya agenda setting membentuk opini publik terhadap suatu persoalan
sehingga persoalan tersebut dianggap sebagai suatu permasalahan penting bagi
masyarakat luas termasuk bagi pemerintah sehingga perlu kebijakan publik.
II. Teori dan Konsep
II.1. Tahapan Penyusunan Kebijakan Publik
Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terus menerus, karena itu yang
paling penting adalah siklus kebijakan. Siklus kebijakan meliputi formulasi,
implementasi dan evaluasi kebijakan (Parsons, 1997). Menurut William N Dunn
(2003) tahapan kebijakan publik melalui :
1) Penyusunan Agenda
2) Formulasi Kebijakan
3) Adopsi Kebijakan
4) Implementasi Kebijakan
5) Evaluasi Kebijakan
Pada dasarnya semua pandangan teoritis dari para ahli tentang tahapan kebijakan
publik selalu dimulai dari penyusunan agenda atau agenda setting yang berisi
perumusan masalah atau isu-isu penting yang berada dimasyarakat. Nantinya
agenda publik ini akan menjadi agenda pemerintah yang berarti pemerintah
memandang agenda publik ini harus diselesaikan dengan kebijakan publik.
II.2. Agenda Setting Sebagai Tahap Awal Kebijakan Publik
Agenda setting merupakan tahap awal dari keseluruhan tahapan kebijakan. Karena
itu, pemerintah memberi perhatian khusus dan menempatkan tahap agenda setting
sebagai tahap yang sangat penting dan strategis dalam analisis kebijakan. Dalam
proses inilah terdapat ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah
publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil
mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam
agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik
yang lebih daripada isu lain.
Definisi agenda setting menurut Howlett and Ramesh dinyatakan sebagai berikut :
Agenda Setting adalah suatu tahap sebelum perumusan kebijakan dilakukan,
yaitu bagaimana issues muncul pada agenda pemerintah yang perlu ditindak-
lanjuti dan diharapkan agar pemerintah segera mengambil tindakan, ternyata
pemerintah tidak bertindak sesuai dengan keinginan masyarakat (Howlett and
Ramesh, 1995).
Agenda Setting adalah proses dimana keinginan dari berbagai kelompok dalam
masyarakat diterjemahkan ke dalam butir-butir kegiatan agar mendapat perhatian
serius dari pejabat pemerintah (Cob and Ross; Howlett and Ramesh, 1995)
Agenda Setting adalah suatu daftar subyek atau masalah dimana para pejabat
pemerintah dan masyarakat di luar pemerintah yang ada kaitannya dengan
pejabat tersebut, memberikan perhatian pada masalah tersebut (John Kingdon;
Howlett and Ramesh, 1995)
Agenda setting, atau bisa diterjemahkan sebagai ‘pembuatan agenda’ bisa dimaknai
sebagai proses mengarahkan kebijakan melalui jendela-jendela kebijakan yang
muncul sebagai akibat dari dinamika politik yang terjadi dalam proses agenda
setting, (Kingdon dalam Santoso,2010:75). Istilah agenda setting mengandung dua
kata kunci, yaitu ‘agenda’ dan ‘setting’ (aktivitas penyiapannya). Agenda bisa
dikatakan berisi berbagai hal atau kegiatan yang dianggap penting dan layak
mendapatkan prioritas dari pemerintah. Karena itu agenda setting bisa dikatakan
merupakan proses di mana pemerintah menyusun berbagai hal dan kegiatan dalam
skala prioritas yang didasarkan pada kepentingan publik (Santoso, 2010:72).
II.3. Tujuan Pelaksanaan Agenda Setting Kebijakan Publik
Adapun tujuan dari tahapan agenda setting dalam penyusunan kebijakan publik
antara lain :
Untuk menangkap semua permasalahan, masukan saran dan isu-isu penting di
masyarakat
Untuk melakukan seleksi atas masalah, isu dan masukan saran dari masyarakat
yang dianggap layak untuk diangkat kedalam agenda pemerintah
Untuk menyusun skala prioritas atas masalah, isu dan masukan saran dari
masyarakat yang menjadi perhatian utama dan strategis berdasarkan urgensi
dan dampak positif yang akan diperoleh
Untuk mendorong media, elemen masyarakat dan elemen pemerintah agar lebih
proaktif dalam mengangkat isu-isu strategis yang menyangkut kepentingan publik
Untuk menciptakan iklim politik yang lebih baik dimana harapannya apabila isu-
isu strategis dan menyangkut tanggung jawab politik dapat terselesaikan maka
iklim politik akan lebih kondusif
Untuk menghasilkan ide-ide kebijakan baru yang terarah dan selaras dengan
tercapainya tujuan penyelesaian masalah dan isu-isu penting di masyarakat
Tahapan awal adalah mengumpulkan permasalahan dan isu-isu penting yang dapat
diperoleh melalui : Media massa, Kelompok Masyarakat, Lembaga Legislatif dan
Elemen Birokrasi. Masalah diawali dari private problem yang mana merupakan
masalah- masalah yang mempunyai akibat yang terbatas, atau hanya menyangkut
pada satu atau sejumlah kecil orang yang terlibat secara langsung. Sebagai contoh
masalah kebersihan rumah tangga atau misalnya segelintir orang tidak mampu
membeli kendaraan mobil. Apabila masalah ini hanya dirasakan atau berdampak
pada segelintir orang dan tidak meluas ke masyarakat lain secara agregat maka
masalah ini tidak dapat dikatakan masalah publik.
Kemudian dilakukan pengkhususan serta menyusun skala prioritas isu mana yang
akan didahulukan dan perlu segera diselesaikan oleh pemerintah. Hasil
pengkhususan dari agenda sistemik tersebut disebut agenda kebijakan pemerintah.
Proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan pemerintah tidak sepenuhnya
dapat dilakukan secara rasional, tetapi lebih cenderung bersifat politis. Alasan yang
rasional biasanya hanya digunakan sebagai sarana pendorong untuk mendapatkan
prioritas. Karena itu dapat dikatakan bahwa alasan yang rasional belum tentu
berhasil memasukkan kepentingan dalam agenda kebijakan, dan sebaliknya, yang
masuk dalam agenda kebijakan belum tentu berdasarkan alasan yang rasional.
Public Problems
Menurut Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn,
1986, suatu isu akan cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk
dijadikan agenda kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa syarat tertentu. :
Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi
bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman
serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru
yang jauh lebih hebat di masa datang.
Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat
menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik.
Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang
banyak bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa
liputan media massa yang luas.
Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam
masyarakat.
Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya
sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya
II.6. Aliran-aliran Penyusunan Agenda Setting
Terdapat tiga aliran di dalam tahapan agenda setting menurut John W.KIingdon
yaitu aliran masalah (problem stream), aliran kebijakan (policy steram), dan aliran
politik (political stream). Melalui ketiga aliran tersebut isu-isu berproses sehingga
menjadi kebijakan publik. Melalui aliran masalah (problem steam) isu-isu
diintrepresentasikan dan diseleksi oleh pemerintah sebagai suatu malsalah yang
baru dibuat penyelesainnya. Melalui aliran kebijakan (policy stream) dibuat
alternatif penyelesaiannya atau solusi atas masalah. Dalam aliran ini, teknokrat dan
akademisi berupaya meyakinkan pihak birokrat atau politisi, melalui alternatif-
alternatif solusi masalah. Pada aliaran yang terakhir yaitu aliran politik (political
stream), permasalahan –permasalahan tersebut kemudian diproses oleh kekuatan –
kekuatan politik untuk ditetapkan sebagai agenda kebijakan. Ketiga aliran saling
bertemu ketika terbukanya jendela kebijakan (policy window) dan pertemuan itu
dikelola oleh pihak – pihak yang mempunyai kemampuan dan sumber daya (policy
entrepreneur).
Gambar 2.4 Alur Proses Aliran Agenda Setting Menurut John W.Klingdon (1995)
II.7. Fase-Fase Proses Penyusunan Kebijakan
Apabila sejumlah masalah publik telah tampil sebagai agenda pemerintah, langkah
selanjutnya adalah kewajiban pembuat kebijakan untuk memprosesnya dalam
beberapa fase sebagai berikut (Jones, 1996):
1) Problem definition agenda : pada fase ini masalah publik dirumuskan dan
mendapat perhatian serius dari pembuat kebijakan
2) Proposal agenda : pada fase ini masalah publik telah mencapai tingkat diusulkan
untuk menjadi kebijakan publik; jadi ada pergeseran dari perumusan masalah
menuju pemecahan masalah.
3) Bargaining agenda : pada fase ini usulan-usulan kebijakan ditawarkan untuk
memperoleh dukungan secara aktif dan serius
4) Continuing agenda : pada fase ini suatu masalah didiskusikan dan dinilai secara
terus menerus (terikat dengan perubahan sosial yang terjadi secara terus
menerus pula) sampai agenda ini dinyatakan gagal atau berhasil menjadi
kebijakan publik.
3) Model Inkrementalis
Model ini merupakan model penambahan (inkrementalis). Model ini lahir
berdasarkan kritik dan perbaikan terhadap model rasional-komprehensif dengan
mengubah (memodifikasi) sedikit-sedikit kebijakan yang sudah dibuat oleh model
rasional komprehensif (Islamy,2004: 59). Model ini melihat bahwa kebijakan
merupakan variasi atau kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Model ini dapat
dikata-kan sebagai model pragmatis/praktis.Pendekatan model ini diambil ketika
pembuat kebijakan berhadapan dengan keterba-tasan waktu, ketersediaan
informasi, dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara
komprehensif. Dengan kata lain, model ini memberikan kebijakan tamba-han
yang baru dengan sedikit memodifikasi kebijakan di masa lalu hanya saja
kebijakan penambahan (inkremental). Selain 3 model diatas ada juga model
campuran yang memadukan konsep rasional dan konsep inkremental.
IV. Kesimpulan
1) Dalam agenda setting sangat sarat akan praktek politik dan dipengaruhi oleh
aktor-aktor atau tokoh-tokoh politik maupun birokrat yang berkepentingan.
Namun demikian proses agenda setting juga melihat rasionalitas terkait apakah
isu masalah layak masuk agenda pemerintah, kemungkinan penyelesaian,
pencapaian tujuan dan harus terlihat dampak yang diberikan pada masyarakat.
2) Aliran-aliran dalam penyusunan agenda setting harus dijabarkan sejelas mungkin
dan perlu respon dari publik agar dapat diangkat menjadi agenda pemerintah.
Seringkali aliran yang menjadi hambatan penyusunan agenda adalah aliran
politik dikarenakan pada posisi ini banyak pihak yang berkepentingan yang
mencoba menyampaikan responnya pada rencana kebijakan.
3) Dalam agenda setting penentuan model kebijakan yang rasional tidak dapat
berdiri sendiri dan seringkali dipengaruhi oleh pendekatan politis dan kebijakan-
kebijakan pemerintahan sebelumnya (inkremental), sehingga untuk kepentingan
masyarakat banyak maka dapat menggunakan pendekatan campuran. Selain itu
respon pemerintah atas masukan dari masyarakat sangat menentukan melalui
konsep partisipatif.
Referensi
Agustina, T. (2017). Jipsi. Vii(2). Peran Agenda Setting Media Massa Dalam
Kebijakan Penetapan Harga Eceran Tertinggi (Het) Beras Oleh Pemerintah.
Universitas Pelita Harapan, Dki Jakarta
Kartini, D. S., Yuningsih, N. Y., & Daerah, P. (2016). Agenda Setting Dalam.
2(12), 66–94.
Rianto, P. (2010). Opini Publik, Agenda Setting, Dan Kebijakan Publik. Jurnal
Komunikasi, 5(1), 31–40. https://doi.org/10.20885/komunikasi.vol5.iss1.art4
Abstract
Agenda-setting process for the development of nuclear power generation (the PLTN), a process which had ever got a strong political
endorsement during the preceeding government, has not indicated any significant change. But a strong political issue driven by social
oppositions arising both from the potential sites of the generation and the people at large, academicians, anti-nuclear movements
and small part of the main related stakeholders have indicated that the process to a formal decision remains uncertain. Nevertheless,
in the framework to achieve energy security, for the PLTN development agenda remains a rational alternative in the long run. By using
qualitative method and with the focus on the primary and secondary data conducted in the Jepara District, Central Java Province
and Pangkal Pinang District, Bangka Belitung Province, this study aims to see the progress of this agenda-setting as well as the
feasibility of the agenda in achieving energy security in the long run. The study shows that (1) the agenda-setting process for the
PLTN development has not indicated a strong political will from the government due to limited supports from the public and regional
governments and (2) the feasibility of the PLTN development itself remains a rational policy option in the long run for sustaining
energy security. It is therefore, once the agenda-setting process has come to a formal policy, the government has to manage serious
challenges for its implementation politically and socially.
Keywords: the PLTN, 35.000 power programme, agenda-setting, energy security, policy implementation
Abstrak
Proses agenda-setting pembangunan PLTN yang pernah menjadi kebijakan formal pada masa pemerintahan sebelumnya dan
pada akhirnya dibatalkan sampai sekarang belum menunjukkan arah perubahan yang berarti. Namun kuatnya persoalan politik
dalam konteks kentalnya resistensi sosial yang beragam, baik dari masyarakat di sekitar tapak PLTN dan masyarakat secara umum,
akademisi, pegiat anti-nuklir dan sebagian pemangku kepentingan utama menjadikan proses ini masih tetap belum mengarah pada
proses pengambilan keputusan secara formal. Meskipun demikian, dalam hal untuk ketahanan listrik maka kelayakan pembangunan
PLTN akan menjadi pilihan yang tetap rasional dalam jangka panjang. Studi dengan pendekatan kualitatif dan berbasis sumber
data primer dan sekunder dilakukan di Kabupaten Jepara, Provinsi Jateng dan Pangkal Pinang, Provinsi Babel, ditujukan untuk
melihat sejauh mana gambaran perkembangan wacana dan kelayakan pembangunan PLTN selama ini dalam mendukung program
pembangkit listrik nasional dalam jangka panjang. Hasil studi ini menunjukkan bahwa (1) dinamika agenda-setting pembangunan
PLTN belum menunjukkan adanya kemauan politik dari pemerintah seiring dengan masih terbatasnya respons dukungan publik
dan Pemda dan (2) kelayakan pembangunan PLTN bagaimana pun akan tetap menjadi pilihan yang rasional dalam jangka panjang
untuk ketahanan energi (listrik) nasional. Dengan demikian, ketika proses agenda-setting pembangunan PLTN telah menjadi putusan
formal, pemerintah masih harus mengelola tantangan implementasinya secara sosial dan politik.
Kata kunci: PLTN, program listrik 35.000 MW, agenda-setting, ketahanan energi, implementasi kebijakan
128 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
pembangunan PLTN sejak pemerintahan Orde Baru faktor-faktor yang memperkuat proses penentuan
sebenarnya lebih bersifat pragmatis karena potensi agenda menjadi agenda formal menuju dimulainya
semakin besarnya kebutuhan pasokan listrik ke proses pembuatan keputusan. Faktor-faktor itu, antara
depan. Namun demikian, persoalan kelayakan politis lain suasana publik secara umum, suksesi (turnover)
dan kelembagaan pengelola PLTN yang selama ini eksekutif dan legislatif termasuk di dalamnya
menjadikan agenda pembangunan PLTP mengalami terobosan visi dan misi pemerintahan yang baru dan
kegagalan (Tanter, 2015). Dengan mendasarkan pada beragam kampanye dari para kelompok kepentingan
studi kasus di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Howlett & Ramesh, 1995; Nugroho, 2014).
dan Provinsi Jawa Tengah, rumusan penelitian ini Di atas kertas, dengan merujuk pada semakin
diarahkan untuk menjawab dua pertanyaan berikut tingginya kebutuhan pasokan listrik, terbatasnya
(1) bagaimana gambaran perkembangan wacana pasokan sumber energi primer sebagai sumber
pembangunan PLTN selama ini? dan (2) sejauh mana pembangkit listrik dan kuatnya kebijakan terobosan
kelayakan pembangunan PLTN secara nasional? pemerintahan sekarang dalam membangun pembangkit
listrik lima tahun ke depan, ketiga arus tersebut terlihat
C. Tujuan begitu kuat. Pada tataran arus masalah, serangkaian
Penelitian ini ditujukan untuk melihat (1) persoalan pasokan listrik terjadi karena terbatasnya
seberapa penting kedudukan PLTN dalam memenuhi pengembangan pembangkit listrik dan tingginya
ketahanan listrik nasional, (2) sejauh mana kondisi kebutuhan energi listrik. Terlambatnya penyelesaian
kekinian agenda pembangunan PLTN di mata program percepatan pembangunan pembangkit listrik
pemangku kepentingan terkait, dan (3) sejauh mana 10.000 MW tahap I dan II menegaskan hal ini. Pada
kelayakan pembangunan PLTN saat ini. Sementara tataran arus kebijakan, serangkaian kajian akademisi,
itu, manfaat penelitian ini diharapkan menjadi LSM dan bahkan lembaga pemerintahan telah
masukan bagi AKD terkait dalam rangka mendukung menunjukkan bahwa persoalan pasokan ketersediaan
pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI dalam listrik telah mencapai titik kritis. Sementara itu, pada
mengawal kebijakan pemerintah ke depan. tataran arus politik, naiknya kepemimpinan Presiden
Djoko Widodo dengan program pembangkit 35.000 MW
II. KERANGKA TEORI dalam lima tahun ke depan membutuhkan kebijakan
Pewacanaan kembali pembangunan PLTN dapat terobosan dalam mencapainya termasuk alternatif
dilihat dalam kerangka proses penentuan agenda kebijakan sumber pasokan energi primer lainnya. Itu artinya,
(agenda-setting) oleh para pengambil keputusan. Proses pendekatan kekuasaan dan/atau politik sebenarnya
ini adalah pengakuan pemerintah terhadap suatu telah mendasari keputusan program kebijakan tersebut
masalah publik yang perlu mendapatkan respons (Parsons, 2011). Dengan demikian, pemerintah
segera. Pendek kata, penentuan agenda adalah dihadapkan tidak hanya pada tantangan agenda-
sebuah proses melalui mana berbagai tuntutan dari setting tetapi juga bagaimana mengimplementasikan
berbagai kelompok masyarakat diterjemahkan ke keputusan tersebut. Karena itu, penggunaan teori/
dalam menu yang saling bersaing untuk mendapatkan pendekatan model implementasi kebijakan sangat
perhatian serius dari para pengambil keputusan. relevan dalam konteks studi ini.
Namun demikian, secara empiris proses penentuan Persoalan implementasi kebijakan tidak hanya
agenda tersebut sering muncul secara top down. berkutat pada persoalan bagaimana menjalankan
Dalam perjalanannya, proses agenda setting ini setiap keputusan politik di lapangan dan karenanya
tidak pernah akan sampai pada dimulainya proses ia tidak bisa dipandang sebagai hal sederhana dalam
pembuatan kebijakan publik selama belum terbukanya siklus kebijakan publik. Awalnya, proses implementasi
apa yang disebut sebagai jendela kebijakan, ’policy- dapat didekati dengan cara yang rasional dan
windows’. Jendela kebijakan secara teoritis diartikan melihatnya sebagai hanya sekedar memerintahkan
sebagai persinggungan di antara ketiga ’arus’, yakni para administrator untuk menjalankan putusan
arus masalah, arus kebijakan dan arus politik. Arus politik di lapangan. Model ini sering disebut sebagai
masalah (problem streams) merujuk pada persepsi pendekatan sistem rasional yang sifatnya top-down.
publik secara umum terhadap masalah yang dianggap Gagasan ini dikembangkan oleh sejumlah analis
sebagai masalah publik yang memerlukan tindakan seperti Andrew Dunsire, Christopher Hood dan
pemerintah dan upaya pemerintah sebelumnya untuk Lewis Gunn. Menurut mereka, proses implementasi
mengatasi masalah tersebut. Sementara itu, arus kebijakan hanya bergantung pada bagaimana rantai
kebijakan (policy streams) diartikan sebagai hasil kajian komando, dan koordinasi dan pelaksanaan kontrol
para ahli terhadap suatu masalah tertentu termasuk bisa dilakukan dengan baik. Dalam kerangka ini,
di dalamnya berbagai usulan penyelesaiannya. Dan (Hood, 1976) misalnya, menegaskan beberapa syarat
terakhir, arus politik (political streams) merujuk pada keberhasilan implementasi kebijakan, yakni (1)
130 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
sejalan dengan visi pengelolaan kelistrikan yang efisien. Dalam pemahaman ini, keberadaan PLTN menjadi
Bagi mereka, pandangan kontra dianggapnya wajar bagian penting dari agenda 35.000 MW meskipun juga
karena kecenderungan masyarakat yang masih melihat berlaku bahwa dengan kehadiran PLTN pasokan listrik
PLTN identik dengan kecelakaan dan/atau radiasi yang secara nasional bukan berarti akan selalu terpenuhi. Di
berbahaya.1 Narasumber lain mengaitkan signifikansi samping itu, sebagai sebuah pembangkit berteknologi
PLTN dalam konteks potensi kedaruratan energi seperti tinggi, secara politis negara sebenarnya juga
ditunjukkan dengan terjadinya ketimpangan suplai listrik berkepentingan untuk menguasai teknologi tersebut.
dengan jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi. Dalam Hal ini tidak berlebihan karena beberapa negara
konteks Babel misalnya, tingkat elektrifikasinya baru seperti di Arab Saudi sendiri pun telah dikembangkan.
mencapai 84,5 persen meskipun menurut PT PLN, angka Malaysia bahkan sedang mulai merencanakan untuk
ini di atas rata-rata tingkat elektrifikasi seluruh provinsi membangun di perbatasan Kalimantan. Dengan
di Sumatera (PT PLN, 2014). Pada tahun 2015, beban demikian, dalam rangka mendukung peningkatan
puncak kebutuhan listrik Babel mencapai 165 MW, daya saing ekonomi nasional, pembangunan PLTN
dan dengan asumsi pertumbuhan sebesar 11,1 persen, menjadi alternatif penting.
kebutuhan beban puncaknya diperkirakan mencapai di Narasumber menekankan pandangannya
atas 400-an MW (RUPTL PT PLN 2015-2025) meskipun pada keperluan penguatan kemauan politik dalam
menurut PT PLN Wilayah Babel beban puncak Babel baru implementasinya karena pembangunannya memerlukan
mencapai 129 MW dari daya mampu yang mencapai 157 waktu 5-7 tahun. Indikasi penguatan kemauan politik
MW (Dinas Kominfo Babel, 2015). ini ditunjukkan dengan perlunya pemerintah segera
Namun demikian, sebagian kebutuhan listrik menyatukan visi pengembangan PLTN. Selain itu,
sejumlah industri seperti pengolahan sawit dan industri pemerintah pusat juga segera melakukan mobilisasi
pengolahan mineral terbukti masih menggunakan dukungan politik seluruh pemangku kepentingan. Di
sumber listrik biomassa dan pembangkit sendiri. Hal Babel, hal ini lebih mudah dikelola karena kelayakannya
ini misalnya, bisa dilihat dari komposisi kapasitas daerah ini sebagai tapak/lokasi PLTN dan kuatnya
terpasang pembangkit listrik di Babel yang mencapai kemauan politik pemimpin politik daerah. Hal ini
132 MW sampai tahun 2014, 13 MW di antaranya berkaitan dengan karakteristik Babel yang bersifat
dibeli dari masyarakat (PT PLN, 2014). Karena itu, kepulauan dan tidak memiliki sumber panas bumi, PLTA,
dalam rangka pengembangan infrastruktur seperti dan EBT lainnya. Selain itu, kelembagaan penunjang
bandara dan pelabuhan, pertumbuhan penduduk yang juga perlu dipersiapkan di tingkat pusat dan daerah.
mencapai 2,19 persen per tahun (BPS Provinsi Bangka Hal terpenting lain adalah upaya sosialisasi khususnya
Belitung, 2015) dan kegiatan perekonomian, rencana aktor masyarakat yang komprehensif dalam pengertian
pembangunan PLTU di Babel sebesar 2 x 30 MW informasi tentang PLTN berikut risikonya. Hal ini
menjadi penting. menyiratkan bahwa instrumen implementasinya pun
Sejalan dengan berbagai hasil kajian, narasumber juga harus diperkuat.
juga memberikan pandangan positif bahwa tantangan Terkait dengan isu potensi bencana dan kerusakan
pembangunan PLTN sebenarnya lebih bersifat politik.2 lingkungan, narasumber menegaskan bahwa semua
Dalam pemahaman ini, kelayakan PLTN dapat didukung jenis sumber energi yang untuk pembangkit listrik dapat
dengan beberapa argumen berikut. Meskipun memiliki mengeluarkan emisi GRK. Karena itu, dalam rangka
potensi kapasitas yang besar, PLTN bagaimana pun mengurangi risiko potensi tersebut, penguatan SDM dan
bukanlah pemasok utama kebutuhan listrik suatu teknologi terkait diperlukan. Dengan demikian, dalam
negara bahkan di luar negeri. Di Indonesia, peran PLTN jangka panjang, PLTN tetap harus diperhitungkan
misalnya bisa dipatok sampai dengan 20 persen dari seiring dengan tingkat kebutuhan pasokan listrik yang
kebutuhan listrik nasional. Sebagai gambaran, peta jalan semakin tinggi. Secara politis hal ini juga menjadi
BATAN ketika pemerintah mengambil keputusan untuk sesuatu yang semestinya dilakukan pemerintah
membangun PLTN pada tahun 2008 misalnya, target karena penguasaan teknologi PLTN sedikit banyak
pemerintah bahwa PLTN akan mampu menghasilkan dapat menopang eksistensi negara dalam mengejar
sampai 4.000 MW listrik pada tahun 2025 (Amir, 2010). posisinya sebagai negara maju. Konteks ini semakin
Dengan merujuk pada RUPTL tahun 2015-2024, jumlah signifikan ketika Malaysia dikabarkan berencana
akan ini setara dengan 5,7 persen kebutuhan tambahan membangun PLTN wilayah perbatasannya. Dalam
kapasitas pembangkit yang mencapai 70.400 MW hal rencana Malaysia pada akhirnya diwujudkan,
sampai tahun 2025 (PT PLN, 2014). sasaran pasarnya adalah Indonesia. Dalam konteks
ini, setiap daerah yang diproyeksikan sebagai tapak
1
Wawancara dengan Firdaus, Zulkarnaen, dan Deki Susanto,
BLHD Provinsi Babel, 8/9/2015.
PLTN seharusnya tidak menutup diri terhadap
2
Wawancara dengan Deki Susanto, BLHD Provinsi Babel, wacana pembangunan PLTN. Untuk mendukung
8/9/2015. hal ini, pemerintah perlu membentuk sebuah tim
132 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
beradiasi sangat tinggi (24.000 tahun masa radiasinya). hanya itu, kekuatan politik tertentu juga diduga di-
Kasus di Versailles, Siberia dan AS, ion-nya disimpan 250 tengarai terjadi dengan kekuatan partai penguasa
meter di bawah tanah. Persoalan di Indonesia adalah di daerah dalam pengelolaan limbah tertentu yang
tempat penyimpanan. bernilai ekonomis melalui penutupan akses pasar
Meskipun demikian, PLTN fusi/air berat sebenarnya dan perizinan.
bisa menjadi alternatif karena hanya mengeluarkan Isu relatif tidak kepercayaan masyarakat juga terkait
radiasi yang masanya (lifetime) pendek yang hanya dengan pengelolaan limbah yang tidak terbayangkan
11 tahun, sehingga dari 1000 MW hanya menyisakan seperti halnya terjadi di Rusia dan Jepang, sementara
limbah 27 kg/tahun yang harus dibuang. Namun Indonesia memiliki keragaman sumber energi primer
demikian, sejauh ini baru 20 negara yang baru dalam yang begitu besar. Dengan demikian, peningkatan
tahap pengembangan. Alasan lain penolakan PLTN daya listrik harus dilakukan dengan mendasarkan
terkait dengan bahan baku PLTN berupa uranium baru pada sumber non-nuklir. Pendek kata, pemerintah
hanya tersedia di Kalbar/Kaltim, sementara itu, thorium harus bekerja keras terlebih dahulu mengembangkan
yang berada dalam serpisahan tembaga jumlahnya sumber energi lain. Hal lain, pengembangan PLTN
terbatas di Babel. Meskipun begitu, narasumber juga identik dengan kesan project-oriented karena
memberikan penilaian positif dan realistis terhadap pengembangannya membutuhkan modal yang besar.
agenda pembangunan pembangkit 35.000 MW seiring Selain kebutuhan modal yang besar, PLTN juga
dengan keterbatasan pasokan listrik secara nasional. membutuhkan kesiapan birokrasi, SDM, manajemen
Pandangan sama disampaikan ormas lain. Ketua risiko, penguasaan teknologi, tata kelola pemerintahan
Lembaga Pengkajian dan Peningkatan SDM/Lakpesdam yang bebas rent-seeking dan yang secara khusus harus
PCNU Jepara mengakui bahwa upaya peningkatan mendapat perhatian terkait dengan rencana aksi yang
daya listrik menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan.7 jelas terhadap penanganan limbah. Ketidaksetujuan
Namun demikian, wacana PLTN dinilainya tidak pas. narasumber PLTN juga dilihat dari telah terpenuhinya
Hal ini diakibatkan oleh (1) masih terbatasnya tingkat kebutuhan listrik di wilayah Jepara setelah berdirinya
kepercayaan terhadap pemerintah, (2) dampak yang PLTU.
sudah bisa dikenali dengan kehadiran PLTU, (3) aspek Terkait dengan rasionalitas isu kebijakan 35.000
tata kelola pemerintahan yang buruk karena isu MW, menurutnya pemerintah dipastikan telah mem-
korupsi, pencarian rente, dan lemahnya transparansi, perhitungkan secara matang dan komprehensif.
(4) skenario bencana. Penolakan terhadap wacana Dengan demikian, kebijakan ini tetap dianggap
PLTN bisa dilihat dari dampak kehadiran PLTU realistis apalagi jika didukung dengan komitmen
Jepara yang dianggapnya kurang sosialisasi terhadap pemerintah untuk melaksanakan sejumlah kebijakan
masyarakat terdampak. Tercatat sudah ada 18 terobosan yang ditujukan untuk itu. Namun demikian,
kelompok mencakup 8 kecamatan yang menentang rasionalitas tersebut bukan berarti perlu ditopang
karena terdampak dengan pengoperasian PLTU dengan PLTN karena sumber energi lain dinilai sudah
tersebut. cukup.
Kasus PLTU menjadi bukti bahwa sosialisasi Pandangan yang kurang lebih sama disampaikan
yang terbatas menjadi satu akar persoalan. Betul SKPD lain. Bidang ESDM Dinas BM, Pengairan dan
sosialisasi ke ormas telah dilakukan tetapi dengan ESDM Kab. Jepara, misalnya melihat kebijakan
frekuensi yang sangat terbatas dan sedikitnya 35.000 MW sebagai sebuah terobosan.8 Namun
jumlah orang yang dilibatkan. Akibatnya, pemerintah demikian, dengan peta persoalan yang selama ini
dianggap kurang transparan. Kasus yang sama soal membelit, kebijakan ini menghadapi tantangan yang
CSR yang dinilainya sangat terbatas dan cenderung sangat kuat. Tantangan itu mencakup (1) persoalan
kasus per kasus meskipun sekali pernah dilakukan pembebasan lahan, (2) sinergis pusat dan daerah dan/
dengan para nelayan melalui Lakpesdam misalnya. atau antardaerah, dan (3) faktor teknis/keekonomian.
Dalam konteks CSR misalnya, gagasan kompensasi Persoalan pembebasan lahan menjadi persoalan yang
listrik gratis dan penerangan di sepanjang pantai sangat krusial seiring dengan semakin rasionalnya
tempat mereka berlabuh apalagi mereka juga sikap masyarakat, sikap yang kadang-kadang kurang
membayar PJU meskipun sejauh ini responsnya rasional.
masih sangat terbatas. Faktor dugaan CSR masuk Terkait dengan wacana pembangunan PLTN di
ke birokrasi sebagai biaya politik dengan elit daerah Muria, dinilai bakal menghadapi persoalan kuatnya
melalui BUMD dalam pengelolaan limbah yang penentangan masyarakat. Persoalannya adalah
potensial untuk tujuan ekonomis pun kental. Tidak bagaimana pemerintah bisa menjamin bahwa PLTN
7
Wawancara dengan Maya Gina, Ketua Lembaga Pengkajian
8
Wawancara dengan Suyono dan Didik F. Nuha, Dinas Bina
dan Peningkatan SDM/Lakpesdam PCNU Kab. Jepara/Fak.
Marga, Pengairan & ESDM Kab. Jepara, 29/9/2015.
Syariah dan Hukum Unisnu Jepara, 1/10/2015.
menjadi alternatif pembangkit listrik yang zero tolerance MW. Meskipun demikian, implementasi program ini juga
untuk risiko kecelakaan di hadapan masyarakat apalagi berat seiring dengan masih membelitnya persoalan yang
setelah terjadi kecelakaan PLTN Fukhusima. Secara selama ini sangat menganggu dalam pengembangan
umum pembangunan itu memiliki dampak. Hanya saja, pembangkitan dan/atau jaringan.10 Sejumlah persoalan
PLTN dinilai secara potensial menawarkan dampak yang krusial yang harus dikelola untuk mewujudkan kebijakan
belum dapat diterima sama sekali oleh masyarakat. ambisius ini mencakup (1) pembebasan lahan; dan
Hal ini berbeda dengan PLTU, misalnya. Meskipun (2) persoalan sosial-ekonomi dan tingkat pemahaman
PLTU berpotensi mengakibatkan tingkat polusi yang masyarakat yang masih belum kondusif.
sangat besar dan kenaikan tingkat emisi, risikonya tidak Satu-satunya pandangan berbeda disampaikan
sebesar PLTN. ormas lain. Ketua PCNU Kab. Jepara misalnya,
Meskipun demikian, persoalan pro dan kontra memberikan pandangan positif terhadap wacana
terhadap kehadiran PLTN juga harus dilihat dalam konteks pembangunan PLTN dalam jangka panjang
kentalnya kepentingan. Sebagai contoh, tokoh masyarakat untuk merespons pertumbuhan penduduk dan
(terutama politisi) seperti kepala desa dan tokoh lainnya perekonomian nasional.11 Terkait dengan penolakan
yang sangat menggantungkan otoritasnya pada dukungan masyarakat menurutnya lebih diakibatkan untuk
masyarakatnya, kekhawatiran kehilangan legitimasi sosial sebagian keterbatasan pengetahuan mereka
dan politisnya menjadi dasar yang menuntutnya untuk soal PLTN. Hal lain, resistensi sosial tersebut juga
kontra dengan PLTN. Hal yang sama terjadi pada segelintir lebih didorong oleh sikap kelompok referensinya
orang yang kebetulan bekerja/berafiliasi dengan Batan, bukan karena penilaian yang rasional. Hal ini dapat
misalnya, orang yang bekerja pada perwakilan Batan di dipahami karena masih kuatnya sistem kebapakan
Tapak pun harus menunjukkan dukungannya meskipun (patron-client), sehingga sikap resistensi tersebut
berisiko dikucilkan secara sosial. sebenarnya lebih mengarah pada sikap yang diambil
Pandangan kuatnya penolakan masyarakat juga tokoh masyarakat. Hal lain, pola pemikiran mereka
ditegaskan kepala desa setempat. Narasumber tersebut yang masih bersifat lokalitas di mana ketahanan
menegaskan sampai sekarang, 90 persen masyarakat pasokan listrik masih dilihat dalam konteks di
Balong dipastikan menolak PLTN.9 Karena itu, sinyal Jepara, apalagi di sana sudah tersedia PLTU. Dalam
terhadap wacana pembangunan PLTN pun begitu sensitif kasus Jepara misalnya, hal ini direpresentasikan
dan memberikan tekanan psikologis bagi perangkat dengan pemahaman bahwa dengan kehadiran PLTU,
desa seolah-olah desa ‘bermain’ dalam isu ini. Kuatnya kebutuhan listrik Jepara sudah cukup dan bahkan
penolakan masyarakat terhadap rencana PLTN juga bisa dijual ke tempat lain seperti di Bali dalam
berimbas pada proses Pilkades Desa Balong (5500 jiwa, konteks sistem jaringan Jawa-Bali.12
3200 pemegang hak pilih dan 1700 KK) di mana setiap Alasan lain terkait dengan belum adanya ‘nilai lebih’
calon dipaksa untuk melakukan perjanjian penolakan sebagai daerah penghasil listrik seperti ‘tingkat harga’,
pembangunan PLTN. Pandangan yang sama disampaikan
10
Wawancara dengan Sunoto, Kepala PT PLN Rayon Kab.
PT PLN setempat. Sebaliknya, narasumber yang sama
Jepara, 29/9/2015.
memberikan respons positif terhadap program 35.000
11
Wawancara dengan H. Ashari, Ketua PCNU Kab. Jepara,
28/9/2015.
9
Wawancara dengan Moh. Parno, Petinggi/Kepala Desa
12
Wawancara dengan Abdul Jafar, anggota PCNU Kab. Jepara,
Balong, Kec. Kembang, Kab. Jepara, 1/10/2015. 28/9/2015.
134 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
Tabel 2. Agenda-Setting Pengembangan Energi Nuklir (PLTN Muria)
No. Pemerintahan Tujuan Tindak Lanjut ke Pengambilan Kebijakan Keterangan
1. Soekarno Politis Batal karena rezim jatuh Belum mengarah pada PLTN dan
(1950-an s.d. 1960-an) sentimen nasionalisme
2. Soeharto Damai Tahap 1 (1968 - 1980-an): Persoalan beban subsidi (1990-an)
(1968-1997) (listrik) Batal karena belum ada sistem grid yang memadai, dan peta jalan pengembangan listrik
era BBM murah, dan tingginya resistensi sosial
136 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
sekarang. Hal menarik bahwa penundaan ini ternyata menghadapi resistensi yang cukup besar. Resistensi
sangat politis dalam rangka mengamankan dukungan itu tidak hanya berasal radiasi dari potensi kecelakaan
publik dalam kontestasi pemilihan presiden periode dalam pengoperasiannya tetapi juga radiasi limbah
kedua pemerintahan SBY (Amir, 2010). nuklir. Hal ini misalnya, dibuktikan dengan sejumlah
Serangkaian resistensi publik bisa dilihat dari kecelakan di sejumlah pembangkit nuklir di AS, Inggris,
reaksi keras penolakan masyarakat di lokasi PLTN, Perancis, Jepang dan bekas Uni Soviet. Implikasinya,
Walhi, Greenpeace, dan Masyarakat Anti-Nuklir Swedia tidak lagi mengembangkan PLTN baru
Indonesia (Manusia). Selain itu, reaksi masyarakat (Blackburn, 1987). Hal yang sama dilakukan Filipina
yang tergabung dalam LSM pun tidak kalah atas penutupan pembangkit nuklir yang dibangun
pentingnya. LSM setempat, Masyarakat Reksa Bumi semasa Pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos
(MAREM), misalnya menjadi pelopor penentangan (Blackburn, 1987).
proyek pembangunan PLTN di Gunung Muria Terlepas dari fakta ini, upaya terobosan politik
(Greenpeace International, 2009; Elway, 2009). pengembangan PLTN tetap layak secara ekonomis
Resistensi publik sebenarnya tidak hanya persoalan dan ekologis. Sejauh ini PLN hanya mampu memenuhi
kekhawatiran masyarakat terhadap risiko kecelakaan 57 persen kebutuhan listrik nasional, di mana tingkat
tetapi juga dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan pertumbuhan kebutuhan listrik mencapai 10 persen per
publik terhadap kemampuan pemerintah dalam tahun sebagai dampak pertumbuhan industri semakin
mengimplementasikan kebijakannya yang sifatnya meningkat. Padahal total kapasitas listrik yang dimiliki
lebih pada pola hubungan patrimonial daripada PLN sekarang hanya 25.000 MW (Halim, 2014). Hal
struktur kelembagaan. Hal inilah yang oleh Joe ini karena tingginya kebutuhan listrik secara nasional
Migdal disebut sebagai negara lemah. Kemampuan sementara pembangunan pembangkit masih terbatas.
pemerintah dalam mengelola isu-isu penting seperti Data yang lebih moderat menunjukkan bahwa penjualan
dalam kasus Lumpur Lapindo, kecelakaan pesawat, rata-rata tenaga listrik mengalami peningkatan sebesar
kapal laut dan kereta api selama ini menguatkan 7,8 persen per tahun dalam kurun waktu lima tahun
alasan ini (Amir, 2010). terakhir, dari 133 TWh pada tahun 2009 menjadi 197,3
Situasi di atas menyiratkan bahwa proses agenda- TWh pada tahun 2014. Dalam kurun waktu yang sama,
setting kebijakan pembangunan PLTN sebenarnya tingkat pertumbuhan penjualan ini sejalan dengan
telah berhasil dilakukan dan mencapai puncaknya tingkat pertumbuhan jumlah pelanggan listrik dari 39,9
pada masa pemerintahan SBY. Kuatnya arus masalah, juta menjadi 57 juta pelanggan pada tahun 2014 atau
yakni resistensi masyarakat di lokasi pembangunan dengan kenaikan rata-rata 3 juta pelanggan per tahun.
PLTN dan kekuatan masyarakat lain yang tergabung Pada saat yang sama (sampai tahun 2014), kapasitas
dalam LSM, serta kuatnya pro-kontra soal kelayakan pembangkit listrik secara nasional baru mencapai 43,5
pengoperasian PLTN itu sendiri di kalangan akademisi ribu MW untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali dan sisanya
dan pengamat (arus kebijakan) tampaknya tidak cukup 10 ribu MW untuk sistem kelistrikan Sumatera dan
mampu mensinergiskan diri dengan rasionalitas dan Indonesia Timur. Dengan penerapan kriteria cadangan
kemauan politik pemerintah (arus politik). Akibatnya, 35 persen beban puncak dibandingkan dengan daya
proses agenda-setting menuju tercapainya keputusan mampu pembangkit, sistem kelistrikan Sumatera masih
menjadi mentah kembali. Dalam tahapan ini, proses kekurangan daya sebesar 2.000 MW dan Indonesia
agenda-setting secara siklis akan dimulai dari titik awal. Timur sebesar 1.600 MW. Selama ini kekurangan
Kuatnya kepentingan politik untuk mengamankan tersebut dipenuhi dengan sewa pembangkit (PT PLN,
dukungan politik rakyat dalam pemilihan presiden 2014).
semakin menjadikan pilihan PLTN sebagai pilihan yang Secara teknologis, Indonesia juga mampu
sulit secara politis. membangun PLTN. Studi kelayakan yang menindaklanjuti
Dalam konteks ini, kita dapat memahami ketika pra-studi kelayakan PLTN di Provinsi Kepulauan Babel
pada tahun 2011, rencana pembangunan PLTN pada tahun 2010 menghasilkan dua calon tapak terpilih,
Gunung Muria akhirnya ditunda sampai waktu yang yaitu di Teluk Menggris-Pantai Tanah Merah, Kelurahan
tidak terbatas. Lebih jauh, secara teknis pun, kelayakan Tanjung, Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat
pembangunan PLTN masih diragukan khususnya dan Tanjung Berani-Tanjung Krasak, Desa Sebagin,
yang terkait dengan isu keselamatan. Dalam sejarah Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan.
pengembangan PLTN, isu keselamatan pengembangan Studi kelayakan yang dilakukan PT Surveyor Indonesia
PLTN menjadi inti perdebatan sejak lahirnya kesadaran (Persero) bekerja sama dengan AF-Consult (Swiss)
perlunya pengembangan energi alternatif sejak krisis selama 3 tahun (tahun 2011-2013). Sebagai konsultan
minyak pada awal tahun 1970-an di negara-negara studi tersebut adalah PT Kogas Driyap dan kegiatan studi
maju. Energi nuklir yang pada awalnya diyakini bisa kelayakan tersebut mengacu pada peraturan, pedoman
menggantikan sumber energi fosil akhirnya justru dan standard Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN),
138 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
dan India. Sejauh ini, thorium misalnya hanya 24- panjang akan semakin mendapatkan dukungan secara
29 persen yang bisa diperkaya untuk PLTN. Dengan sosial, ekonomi dan politik.15 Dengan demikian, peran
demikian, proses pengayaan seperti ini tidak bisa lagi PLTN dalam mendukung realisasi program pembangkit
dipakai untuk bom atom. listrik nasional ke depan dalam jangka panjang
Meskipun demikian, pembangunan PLTN tetap menjadi semakin rasional. Hal ini tidak berlebihan
menawarkan tantangan berat secara politis dan karena aspirasi PLTN telah berjalan lebih dari empat
teknis. PLTN akan tetap dinilai sebagai pembangkit dekade dan ditopang dengan bauran kelembagaan,
yang mahal dan merupakan sumber energi yang ideologis bersama-sama dengan penggunaan sumber
kompleks. Oleh karena itu, pilihan PLTN harus mampu daya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi,
mengatasi sejumlah tantangan, yakni isu keselamatan, dan nasionalisme (Amir, 2010). Dari sisi kebutuhan
limbah, proliferasi dan biayanya (Kessides, 2010). pragmatis pembangunan PLTN bisa dilihat dari kondisi
Resistensi masyarakat terhadap PLTN secara global kebutuhan dan pasokan listrik secara nasional. Dari sisi
pun juga masih tinggi khususnya pasca Fukhusima kebutuhan, rata-rata pertumbuhan penjualan listrik
pada tahun 2011. Survei di 24 negara, baik di negara- secara nasional mencapai 7,1 persen dalam kurun waktu
negara maju maupun berkembang termasuk di 2009-2014. Sementara itu, kenaikan ini tidak diimbangi
Indonesia menunjukkan bahwa tingkat resistensi dengan penambahan kapasitas pembangkit yang hanya
masyarakat terahdap PLTN mencapai 62 persen dan mencapai 5,2 persen per tahun. Data menunjukkan
seperempat dari jumlah ini (26 persen) mereka yang bahwa sampai tahun 2014, kapasitas pembangkit PLN
menentang menunjukkan bahwa mereka merubah dan swasta 43.457 MW dengan perincian 33.449 MW
sikap sebelumnya setelah kecelakaan PLTN Fukusima. di sistem Jawa-Bali dan 9.958 MW di sistem-sistem
Di Indonesia sendiri, tingkat resistensinya masih kelistrikan wikayah Sumatera dan Indonesia Timur.
mencapai 67 persen (Kessides, 2012). Akibatnya, sejumlah daerah mengalami krisis daya
Wacana pembangunan PLTN di wilayah Babel listrik. Tingginya tingkat pertumbuhan penjualan listrik
menjadi salah satu indikasi dalam kasus ini. Namun secara nasional diindikasikan dengan tingginya tingkat
demikian, persoalan kredibilitas hasil studi kelayakan pertumbuhan jumlah pelanggan yang mencapai rata-
bagaimana pun tetap menjadi persoalan sampai rata 3 juta pelanggan per tahun dalam kurun waktu 2009-
sekarang. Hal ini tidak terlepas dari peran BATAN yang 2013 atau dari 39,9 juta pelanggan 53,7 juta pelanggan.
dalam kiprahnya ternyata juga dilandasi oleh upaya Kapasitas pasokan listrik tersebut baru memenuhi 84
mempertahankan eksistensi kelembagaannya. Tanter persen tingkat elektrifikasi secara nasional. Akibatnya,
menyebutnya sebagai contoh kasus klasik sebuah perkiraan kebutuhan listrik akan semakin tinggi dalam
lembaga yang gagal secara permanen. Dalam rangka jangka menengah untuk mencapai target 96 persen
mempertahankan eksistensinya, upaya keras dan dengan tingkat elektrifikasi nasional pada tahun 2019. Rencana
bantuan lembaga IAEA untuk meyakinkan pemerintah awal, pembangunan PLTN akan menyumbang daya
dalam upaya membangun PLTN telah berjalan lama. sebesar sampai 4.000 MW atau setara dengan lebih
Kegagalan kerja sama antara pemerintah, Pemda Babel 2 persen kebutuhan permintaan untuk Jawa dan Bali
dan industri nuklir global dalam pembangunan PLTN di yang diperkirakan mencapai 80 GW pada tahun 2025
Babel menunjukkan bahwa semua rencana proyek PLTN (Amir, 2010).
dianggap tidak realistis. Oleh karena itu tidak heran jika Pembangunan PLTN membutuhkan waktu
rencana pembangunan studi kelayakan pembangunan antara 5-10 tahun dan perlunya penyiapan
PLTN di Babel yang pada awalnya didukung Pemda pada dukungan teknologi dan uang. Karena itu, keputusan
akhirnya BPBD babel justru mengajukan review formal politik pem bangunan nya pun perlu dipersiapkan
atas pengaruh PLTN terhadap kondisi Babel yang rapuh lebih awal. Hal ini belum diperhitungkan dengan
karena praktik penambangan yang parah pada tahun pengelolaan penolakan masyarakat, tingginya konflik
2014 (Tanter, 2015; Kessides, 2010; Ruff, 2015). kepentingan antarpemangku kepentingan di tingkat
Data PT PLN wilayah Babel menunjukkan bahwa di elit politik dan faktor kelembagaan (Amir, 2010). Hal
atas kertas, jika rencana pembangungan pembangkit penting lainnya adalah kemauan politik pemerintah
bisa berjalan sesuai jadwal yang ditetapkan, secara mengimplementasikan kebijakannya. Pada tahun
khusus program percepatan pembangunan pembangkit 2011, pembatalan pembangun an 4 reaktor PLTN
10.000 MW tahap I dan II di wilayah Sumatera, yang telah ditetapkan pada tahun awal masa
persoalan pasokan listrik di Babel dapat dikelola secara pemerintahan SBY menguatkan argumen ini (Amir,
baik. Kondisinya bahkan mengalami kondisi ‘surplus’ 2010).
jika kinerja program 35.000 MW di wilayah Sumatera
minimal dapat berjalan sesuai target. Namun demikian,
jika program 35.000 MW tidak berjalan secara optimal,
15
Wawancara dengan Santana, Bagian Perencanaan PT PLN
Wilayah Provinsi Babel, 9/9/2015.
wacana pembangunan PLTN di Babel dalam jangka
140 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
dukungan politik dari kalangan pemerintah itu Tumiwa, F. (2008). Kebijakan energi dan rencana
sendiri dan pemangku kepentingan utama lainnya pembangunan PLTN di Indonesia, dalam Nick T.
seperti lembaga-lembaga terkait dan Pemda. Kedua, Wiratmoko (ed), Melawan Iblis Mephistopheles,
perlunya konsistensi pemerintah dalam implementasi Salatiga: Marem, Listhia dan Percik.
kebijakan seiring dengan kuatnya penolakan sosial
dan lamanya proses pembangunan PLTN.
Jurnal dan Working Paper
Amir, S. (2010). Nuclear revival in Post-Suharto
Indonesia. Asian Survey, 50(2), 265–286.
DAFTAR PUSTAKA Englert, M., Krall, L., & Ewing, R. C. (2012). Is nuclear
fission a sustainable source of energy?. MRS
BULLETIN, 37 (April), 417–424. http://doi.org/
10.1557/mrs.2012.6
Buku Kessides, I. N. (2010). Nuclear power and sustainable
Blackburn, J. O. (1987). Energi terbarui, menyongsong energy policy: Promises and perils. World Bank
kemakmuran tanpa enerji nuklir dan batubara Research Observer, 25(2), 323–362.
(terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kessides, I. N. (2012). The future of the nuclear
BPS Provinsi Bangka Belitung. (2015). Kepulauan industry reconsidered risks, uncertainties, and
Bangka Belitung dalam Angka 2015, continued potential. WPS6112, Washington,
Pangkalpinang: BPS Provinsi Babel. D.C.
Elway. (2009). Si Enuk, Serigala berbulu domba. Suleiman, A. M. (2013). Law and politics of nuclear power
Semarang: Pustaka Muria. plant development in Indonesia: Technocracy,
Greenpeace International dan European Renewable democracy, and internationalization of decision-
Energy Council (EREC). (2007). Energy [Re] making. In M. Faure & A. Wibisana (Eds.), Regulating
evolution, a sustainable Indonesia energy disasters, climate change and environmental
outlook, Amsterdam: Greenpeace International harm : Lessons from the Indonesian experience.
and EREC. Cheltenham, GBR: Edward Elgar Publising.
Greenpeace International. (2009). Tenaga nuklir: Tanter, R. (2015). The Slovakian “inspirasi” for
Pengalihan waktu yang berbahaya. Jakarta: Indonesian Nuclear Power : The “Success”
Greenpeace international. of a permanently failing organization. Asian
Perspective, 39, 667–694.
Howlett, Michael & Ramesh, M. (1995). Studying
public policy: Policy cycles and policysubsistems, Teske, S., Prasetya, S., Indrawan, B. (2007). Energy
USA: Oxford Univ. Press. [Re]evolution, A sustainable Indonesia energy
outlook. Amsterdam: Greenpeace, Engineering
Ibrahim, H. D. (2014). Energi selamatkan negeri.
Centre Univ. of Indonesia, dan European
Jakarta: Reform Institute dan Media Energi
Renewable Energy Council (EREC).
Negeri.
Ruff, T. (2015). Introduction to the special issue:
Nugroho, H. (2008). Menolak proyek listrik tenaga
Nuclear power in East Asia. Asian Perspective,
nuklir Muria. Dalam Nick T. Wiratmoko (ed),
Vol. 39, 555-558.
Melawan Iblis Mephistopheles. Salatiga: Marem,
Listhia dan Percik. Fukuda, Y. & Fukuda, K. (2012). Fukushima nuclear
power plant accident: Issues on radiation
Nugroho, R. (2014). Public policy, teori, manajemen,
monitoring and its relation to public health.
dinamika, analisis, konvergensi, dan kimia
Journal of Epidemiology and Community Heath,
kebijakan (edisi ke-5). Jakarta: Elex Media
Vol. 66 (12), 138.
Komputindo.
Parsons, W. (2011). Public policy, pengantar teori
Sumber Digital
dan praktik analisis kebijakan. (Terjemahan).
Dinas Kominfo Babel. (2015). Investasi, Bangka
Jakarta: Prenada Media.
Belitung butuh listrik 700 MW. Diperoleh tanggal
PT PLN. (2014). RUPTL 2015-2024. Jakarta: PT PLN. 3 Desember 2015, dari http://www.babelprov.
go.id/content/investasi-bangka-belitung-butuh-
Sharkansky, I. (2002). Politics and policy making.
listrik-700-mw#sthash.QyXEHB YZ.dpuf.
USA: Lynne Rienner.
142 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
Jurnal Review Politik
Volume 06, Nomor 02, Desember 2016
Sholih Muadi
Fakultas llmu Sosial Politik Universitas Brawijaya
dr.sholihmuadi@gmail.com
Ismail MH
Univeristas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
ismailmh789@gmail.com
Ahmad Sofwani
Institut Pertanian Malang
ahmadsofwani@gmail.com
Abstract
The objective of this research was to describe concepts and theoretical
reviews relevant with public policy formulation. Method of research
was the review of theories or literatures. Result indicated that concepts
and theories, mainly those relevant with public policy formulation, or
that were previously used by policy experts, can be then used for all
fields of policy science. Some reviews and theories of policy formulation
may resolve policy issues that already challenged organizations or
institutions, either those in government or private sector.
Keywords: concepts, research, theory, and policy formulation
Abstrak
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan konsep dan
kajian teori tentang perumusan kebijakan publik. Metode menggu-
nakan kajian teori atau tinjaun pustaka. Hasil mengemukakan
bahwakonsep dan teori dari para ahli kebijakan terutama tentang
konsep dan teori tentang perumusan kebijakan publik dapat diguna-
kan untuk semua bidang ilmu kebijakan. Beberapa kajian dan teori
tentang perumusan kebijakan dapat mengatasi semua masalah
kebijakan yang dihadapi oleh lembaga maupun institusi pemerintah
maupun swasta.
Kata kunci: konsep, kajian, teori, perumusan dan kebijakan
Pendahuluan
Perkembangan studi kebijakan publik semakin kuat
sebagai akibat terjadinya perubahan lingkungan birokrasi pub-
lik. Meningkatnya rasionalitas masyarakat sebagai akibat dari
keberhasilan pembangunan sosial ekonomi, telah memuncul-
kan berbagai tantangan baru bagi birokrasi publik. Salah satu-
nya adalah semakin besarnya tuntutan akan kualitas kebija-
kan yang lebih baik. Ini mendorong munculnya minat untuk
mempelajari studi kebijakan publik. Keinginan untuk mewu-
judkan otonomi daerah yang kuat juga mendorong perlunya
perubahan orientasi pejabat birokrasi di daerah dan pening-
katan kemampuan mereka dalam perumusan dan perencanaan
kebijakan dan program pembangunan.
Karena itu, berkembangnya minat untuk mengembangkan
studi kebijakan publik sebenarnya merupakan hasil interaksi
dari kedua perubahan di atas, yaitu paradigma dan lingkungan
administasi negara. Pergeseran paradigma dan lingkungan
administrasi negara telah mendorong para pakar dan praktisi
administrasi negara untuk mempertanyakan kembali relevansi
teori dan prinsip-prinsip yang selama ini mereka kembangkan
dalam studi administrasi negara. Itu semua memiliki kontribu-
si yang besar terhadap perkembangan studi kebijakan publik.
Seperti disebutkan sebelumnya, perkembangan studi kebi-
jakan publik sebagian juga dirangsang oleh perubahan yang
terjadi dalam lingkungan birokrasi. Rasionalitas masyarakat
yang semakin tinggi menuntut para pejabat publik untuk
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam merumuskan
kebijakan pemerintah. Akibatnya, tidaklah mengherankan
kalau semakin banyak keluhan dan kritikan dari berbagai ke-
lompok masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Keluhan dan kritik terhadap serangkaian kebijakan pemerin-
tah itu bisa menjadi indikator dari ketidakpuasan mereka
terhadap kebijakan pemerintah. Rasionalitas yang semakin
tinggi membuat mereka dengan mudah menilai secara kritis
kebijakan pemerintah. Mereka akan dengan mudah menilai
Agenda setting
• Perception of problem
• Definition of problem Agenda of government
• Mobilization of support for including
problem on agenda
Program Implementation
•Resources Acquation
•Interpretation
•Planning
•Organizing Policy actions
•Providing benefits, services, and coercion
aktor non negara atau yang disebut oleh Anderson dalam Abdul
Wahab (2005) sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-
makers) dan peserta non pemerintahan (nongovernmental
participants). Pembuat kebijakan resmi adalah mereka yang
memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan
kebijakan publik. Mereka ini menurut terdiri atas legislatif;
eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. Legislatif
merujuk kepada anggota kongres/dewan yang seringkali diban-
tu oleh para staffnya. Adapun eksekutif merujuk kepada
Presiden dan jajaran kabinetnya. Sementara itu, badan admi-
nistratif menurut merujuk kepada lembaga-lembaga pelaksana
kebijakan. Di pihak lain menurut, Pengadilan juga merupakan
aktor yang memainkan peran besar dalam perumusan kebi-
jakan melalui kewenangan mereka untuk mereview kebijakan
serta penafsiran mereka terhadap undang-undang dasar.
Dengan kewenangan ini, keputusan pengadilan bisa mempe-
ngaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan publik.
Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain
yang terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi diantara-
nya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi penelitian;
media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang
disebut sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental
participants) karena penting atau dominannya peran mereka
dalam sejumlah situasi kebijakan, tetapi mereka tidak memili-
ki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat.
Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan infor-
masi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempenga-
ruhi. Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang
telah mereka siapkan. Jadi meskipun pada akhirnya kebijakan
ditentukan oleh institusiyang berwenang, keputusan diambil
setelah melalui proses informal negosiasi dengan berbagai pi-
hak yang berkepentingan.
Dengan demikian keterlibatan aktor lain dalam pemberian
ide terhadap proses perumusan kebijakan tetap atau sangat
diperlukan. Lembaga/instansi pemerintah banyak terlibat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
ABSTRACT
Bondary not only separate territories that are owned by different communities or countries but also ensure the safety
and well-being balanced between each area concerned. Riau Islands Province is leading directly adjacent to neighbor-
ing countries such as Malaysia, Singapore, the Philippines, and Thailand. Conditions islands region in Riau (Riau
Islands) are very much separated by an ocean, the area is 252 601 km2 area consisting of 1,350 islands and 96%
Ocean thus making control range of the government in development planning very difficult. This study will look at how
the government’s Agenda Setting in the border area development planning Riau Islands, which will discuss the issue
and political currents flow in the policy agenda to the policies made by the government of Riau islands as border
regions.The method used in this study is qualitative. The study was conducted in Regional Development Planning
Board (Bappeda) Riau Islands Province, the Regional Border Management Agency (BNPPD) Riau Islands Province
and Commission III of the House of Representatives (DPRD) Riau Islands Province. Data collection techniques per-
formed in this study were interviews, collecting data document written and unwritten, and non-participant observa-
tion. Results from this study is the first, the flow of matter to explain the issues and problems that occur on the border
of Riau Islands namely the problem of limited infrastructure such as facilities and infrastructure such as facilities and
infrastructure of housing, education, health, security, and also facilities and transport infrastructure, telecommunica-
tions, and Other causes of this region have low accessibility and isolated from the surrounding region. Secondly, the
flow of Politics explains the policy process and then view and objectives to be achieved still has a perception about the
construction of the border is still different, the level of public participation, NGOs, academics and NGOs are still
relatively low, the handling is still partial, sectoral and yet integritasi, coordination has not gone good, both among
sectoral, national level and between the central government and local governments, commitment and development
budget in the border area is still relatively minimal. Third, Flow Policy describes several emerging priorities namely,
development of processing industry, fishery and tourism in a sustainable manner in order to support the sector of
maritime, increasing production and agricultural productivity, as well as self-reliance and food security community,
Improved connectivity between regions and between the island and the means and basic infrastructure of society,
Improving the quality of the environment and forestry, natural disaster mitigation and climate change, peningatan
quality human resources and well-being equitable and civilized society, Improving the quality of public services and
good governance.
Keywords: Agenda Setting, Planning Development, Border
ABSTRAK
Kepulauan Riau merupakan Provinsi terdepan yang berbatasan langsung dengan Negara-negara tetangga seperti
Malaysia, Singapore, Filipina, dan Thailand. Kondisi wilayah pulau-pulau di Kepulauan Riau (KEPRI) sangat jauh dipisahkan
oleh lautan, dengan Luas Wilayah 252.601 km2 yang terdiri dari 1.350 pulau dan 96% Lautan sehingga membuat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
rentang kendali pemerintah dalam melakukan perencanaan pembangunan sangat sulit. Penelitian ini akan melihat
526 bagaimana Agenda Setting yang dilakukan pemerintah dalam perencanaan pembangunan daerah perbatasan KEPRI,
dimana akan membahas aliran maslah dan aliran politik dalam agenda kebijakan sampai ke kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sebagai daerah perbatasan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif. Penelitian dilakukan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Kepulauan Riau,
Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BNPPD) Provinsi Kepulauan Riau dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Provinsi Kepulauan Riau. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara,
pengumpulan data-data dokumen tertulis maupun tidak tertulis, dan observasi non-partisipan.Hasil dari penelitian ini
adalah Pertama, aliran masalah menjelaskan isu dan masalah yang terjadi di perbatasan KEPRI yakni masalah terbatasnya
infrastruktur seperti sarana dan prasarana dasar seperti pemukiman, pendidikan, sarana kesehatan, keamanan,
kemudian juga sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi, dan lainnya menyebabkan wilayah ini memiliki
aksesibilitas yang rendah dan terisolasi dari wilayah sekitarnya. Kedua, aliran Politik menjelaskan proses kebijakan
yang dipengaruhi unsur politik dalam agenda-agenda kebijakan, misalnya pandangan dan tujuan yang akan dicapai
masih memiliki persepsi berbeda, kemudian partisipasi aktor-aktor kebijakan masih relatif rendah, penanganan masih
parsial, koordinasi belum berjalan dengan baik, komitmen dan anggaran pembangunan perbatasan di daerah relatif
masih minim. Ketiga, Aliran Kebijakan menjelaskan beberapa prioritas yang muncul yakni, Pengembangan industri
pengolahan, perikanan dan kelautan serta pariwisata secara berkelanjutan, serta kemandirian dan ketahanan pangan
masyarakat, Peningkatan konektivitas antar pulau serta sarana dan prasarana dasar masyarakat, Peningkatan kualitas
lingkungan hidup, Mitigasi bencana alam dan perubahan iklim, Peningatan kualitas sumberdaya manusia dan
kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan berbudaya, Peningkatan kualitas pelayanan publik dan tata kelola
pemerintahan yang baik.
Kata Kunci: Agenda Setting, Perencanaan Pembanngunan, Perbatasan
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang banyak berbatasan langsung
dengan negara lain merupakan suatu kenyataan yang harus disadari
bahwa Indonesia harus senantiasa waspada dalam menjaga wilayah
perbatasan. Kemungkinan masuknya pengaruh asing negatif dan
berpotensi mengancam stabilitas nasional sehingga harus dapat
diantisipasi dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Pemerintah dalam menata daerah perbatasan sering metitik
beratkan pada aspek Pertahanan dan Keamanan (Hankam) semata.
Melihat kondisi Provinsi Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Papua,
Nusa Tenggara Timur, aspek Hankam terlihat sangat kental dalam
setiap program pemerintah.
Dalam konteks kepentingan nasional, perlu ditumbuhkan
kesadaran untuk memperhatikan kawasan-kawasan perbatasan yang
selama ini dianggap sebagai halaman belakang yang terlupakan
dalam strategi pembangunan. Kawasan perbatasan adalah daerah
frontier bukan sekedar boundary. Perbatasan sebagai frontier tidak
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
ISU STRATEGIS/
URAIAN MASALAH UPAYA PEMECAHAN
MENDESAK
1. Minimnya sarana dan Minimnya sarana dan prasarana Pos Lintas Perlu dibangun PLB yang dilengkapi
prasarana Pos Lintas Batas Batas seperti CIQS (bea cukai, imigrasi, dengan CIQS (karantina, imigrasi, bea
(PLB) karantina, dan keamanan) yang memadai di cukai, dan keamanan) dan personil
perbatasan sesuai standar pelayanan publik yang memadai.
telah menjadi isu utama pemerintah dalam
rangka pengembangan dan pengelolaan
kawasan perbatasan khususnya di wilayah
perbatasan yang berbatasan dengan negara
yang secara ekonomi masyarakatnya sudah
lebih maju.
2. Masih maraknya Minimnya infrastruktur yang ada terutama Perlu dibangun sarana transportasi,
perdagangan lintas batas sektor perdagangan diperbatasan, termasuk sarana pasar, dan sarana pendukung
secara illegal sarana dan transportasi dan pasar, telah lainnya secara memadai
mengakibatkan terhambatnya jalur ekonomi
dan distribusi menuju kawasan perbatasan. Dan
akibatnya adalah munculnya kegiatan-kegiatan
yang illegal di sector perdagangan yang sangat
merugikan negara dari pemasukan retribusi jasa
dan cukai barang masuk.
3. Belum jelasnya pengaturan Titik atau tanda perbatasan yang makin Perlu pemasangan tapal batas yang
tapal batas oleh kedua memudar di daerah-daerah perbatasan. disepakati oleh Pemerintah Indonesia,
negara tetapi sebelumnya diperlu-kan
persetujuan dengan pihak Negara
tetangga tentang koordinat ( titik dasar
).
5. Rendahnya aksesibilitas Terbatasnya sarana dan prasarana di Perlu peningkatan sarana dan
transportasi dan prasarana perbatasan baik perhubungan maupun prasarana perhubungan sepanjang
wilayah prasarana wilayah lainnya telah mengakibatkan perbatasan RI dengan Negara tetangga.
wilayah perbatasan menjadi wilayah yang Dan pemenuhan kebutuhan prasarana
terisolir dan tertinggal. wilayah lainnya, termasuk penanganan
pintu-pintu penting dari pusat-pusat
pertumbuhan
6. Belum tersedianya sarana Minimnya ketersediaan sarana permukiman Perlu dibangunnya berbagai
permukiman penduduk yang memadai telah mengakibatkan gejolak kelengkapan dan sarana perumahan
yang memadai sosial di masyarakat yang dapat menimbulkan dan pemukiman bagi masyarakat
konflik of interes antara masyarakat pendatang setempat secara baik/memadai
dengan masyarakat setempat.
7. Rendahnya kuantitas dan Rendahnya kualitas sumberdaya manusia 1. Pembangunan sarana
kualitas Pendidikan (SDM) di kawasan perbatasan telah menjadi pendidikan anatara lain TK, SD,
permasalahan/isu strategis yang perlu SMP, dan SMU/SMK di
mendapat perhatian mendesak dari pemerintah, Kawasan Perbatasan
karena tingkat kualitas SDM yang tersedia akan 2. Perlu dilakukan pelatihan dan
menjadi faktor penentu dalam upaya peningkatan kemampuan guru-
peningkatan kesejahteraan kehidupannya di guru dan tenaga pengajar di
masyarakat. sekolah perbatasan.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
8. Masih minimnya sarana dan Kurangnya sarana kesehatan di kawasan 1. Perlu dibangunnya Puskesmas
prasarana kesehatan perbatasan, masih kurangnya RS yang dapat
diakses dengan cepat dari wilayah perbatasan, 2.
di Pulau-pulau terluar;
Pengembangan fisik RS;
529
dan masih kurangnya sarana kesehatan yang 3. Pengadaan Puskesmas Keliling
dapat melayani masyarakat (yang bertempat untuk melayani masyarakat
tinggal di sepanjang perbatasan) yang bermukim di sepanjang
wilayah laut dan darat
perbatasan.
9. Rendahnya kualitas dan Kondisi barak tempat penampungan TKI yang 1. Perlu pembangunan dan
sarana tenaga kerja dideportasi dari Negara Tetangga sangat minim, perbaikan barak tempat
kurang memenuhi persyaratan kesehatan penampungan TKI;
lingkungan. 2. Pembangunan Balai Latihan
Kerja (BLK) untuk melatih
ketrampilan para TKI yang
akan bekerja ke negara
tetangga.
10. Maraknya Ilegal logging Masih banyaknya pengiriman kayu ilegal 1. Perlu menertibkan administrasi
(illegal logging) ke Malaysia (dalam pemberian Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan
/SKSHH);
2. Memperketat pengawasan
terhadap ilegal logging;
3. Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di sekitar
perbatasan.
11. Belum optimalnya Bagaimana menyelesaikan masalah yang Perlu pengkajian daerah pemukiman
pengelolaan wilayah adat dihadapi penduduk yang bermukim di kawasan yang terletak di kawasan Wilayah Adat
masyarakat. wilayah adat. yang tertinggal menjadi kawasan lain.
13. Peningkatan aksesibilitas Daerah perbatasan sulit dijangkau oleh Perlu peningkatan aksesibilitas daerah
daerah perbatasan. angkutan besar di perbatasan darat dan laut. perbatasan melalui peningkatan
pembangunan, pembangunan sarana
dan prasarana transportasi darat dan
laut.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
KERANGKA TEORI
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Konsepsi mengenai kebijakan publik sangat berkaitan erat dengan
konsepsi mengenai perencanaan publik. Keduanya sangat sulit
dipisahkan karena masing-masing konsep pada kenyataannya
seringkali dipertukarkan satu sama lain. Apa yang disebut formulasi
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
536 c. Adalah
Tindakan kebijakan (policy actions)
suatu gerakan atau serangkaian gerakan sesuai dengan
alternatif kebijakan yang dipilih, yang dilakukan untuk mencapai
tujuan bernilai.
d. Hasil kebijakan (policy outcomes)
Adalah akibat-akibat yang terjadi dari serangkaian tindakan
kebijakan yang telah dilaksanakan. Hasil dari setiap tindakan
tidak sepenuhnya stabil atau diketahui sebelum tindakan
dilakukan, juga tidak semua dari hasil tersebut terjadi seperti
yang diharapkan atau dapat diduga sebelumnya.
e. Hasil guna kebijakan
Adalah tingkat seberapa jauh hasil kebijakan memberiakn
sumbangan pada pencapaian nilai. Pada kenyataanya jarang ada
problem yang dapat dipecahkan secara tuntas, umumnya
pemecahan terhadap suatu problem dapat menumbuhkan prob-
lem sehingga perlu pemecahan kembali atau perumusan kembali.
Kemudian dalam membicarakan perumusan kebijakan publik,
adalah penting untuk melihat siapakah aktor-aktor yang terlibat di
dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Aktor-aktor atau
pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi
dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan pemeran
serta tidak resmi.(Winarno,2014:126).
Para ahli mengidentifikasi aktor-aktor kebijakan dengan berbagai
macam sebutan, yaitu: Legislator, Eksekutif, Lembaga peradilan,
Kelompok penekan, Partai politik, Media massa, Organisasi
komunitas, aparat administrasi atau birokrasi, Kelompok Non
Govermental Organization (NGO), Kelompok swasta, Kelompok Think
Thanks (Kelompok peneliti atau pengkaji), dan Kabinet Bayangan
(Anderson, dkk dalam Kusumanegara, 2010:53).
Secara teoritis, biasanya suatu masalah sebelum masuk ke dalam
agenda kebijakan, masalah tersebut menjadi isu terlebih dahulu.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
2. NUMBERS
Tantangan bagi para pembuat kebijakan adalah untuk
menentukan cara terbaik untuk mewakili masalah dengan num-
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
542 bers. Ini menantang karena ada cara yang tak terbatas untuk
menggambarkan sesuatu dengan numbers. Cara untuk menggu-
nakan angka untuk menjelaskan masalah akan tergantung pada
tujuan analisis kebijakan. (Deborah Stone,2002:163)
Numbers atau data yang berupa angka biasa digunakan aktor
kebijakan dalam menginterpretasikan masalah sehingga akan
mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat. Beberapa fenomena
yang Implisit dengan angka bisa dijadikan sebagai paradok atau
kebenaran yang ada kepentingan lain dibaliknya. Contoh Number
yang digunakan dalam proses kebijakan ialah tingkat kemiskinan,
tingkat perekonomian, dan lain sebagainya.
3. CAUSES
Berfokus pada penggunaan penyebab masalah yang menyerukan
kebijakan yang akan diberlakukan. Namun, salah satu hal yang sulit
untuk dilakukan adalah pin-point penyebab yang tepat. Penulis
menyatakan bahwa tujuan kebijakan harus menangani masalah
sekalipun penyebabnya telah ditentukan. Sementara dia menyatakan
bahwa penyebab dapat digunakan untuk membawa beberapa
keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan, juga dapat digunakan
untuk membentuk aliansi dan menetapkan tanggung jawab.
(Deborah Stone,2002:188)
Maksudnya dalam causes atau penyebab ini biasa digunakan aktor
kebijakan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Penyebab bisa di buat dengan sengaja, tidak di sengaja, karena alam,
atau karena tuntutan masyarakat atas sebuah kebijakan harus dibuat.
Penyebab ini juga bisa dipolitisir atau buat dengan sengaja agar
kebijakan sesuai dengan kepentingan aktor-aktor kebijakan.
4. INTEREST
Interest dianggap “suatu sisi dalam politik,” kelompok yang
memmanfaatkan atau dipengaruhi oleh isu. Interest atau
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
5. DECISION
Tujuan politik sering dicapai dengan pengambilan keputusan.
Ada banyak persepsi tentang bagaimana keputusan harus dibuat
dan banyak cara untuk membuat keputusan. Pengambilan keputusan
sering didasarkan pada emosi, kebiasaan, adat sosial, atau dorongan
hati. Para pengambil keputusan menggunakan kewenangan sebagai
alasan dan pemikiran logis sebagai daya dorong di balik pengambilan
keputusan yang bertanggung jawab. Dalam membuat keputusan atau
kebijakan adalah subyek pembagian dan negosiasi. Dengan
demikian, rasional dalam “kebijakan” pengambilan keputusan
menjadi cara lain untuk mendefinisikan masalah dan menetapkan
batas-batas. Pengambil keputusan rasional menggunakan pandangan
mereka tentang keputusan sebagai cara untuk mengontrol persepsi
dan membujuk orang lain. (Deborah Stone,2002:232)
Dalam “kebijakan”, pengambil keputusan menetapkan tujuan
yang samar-samar. Hal ini memungkinkan mereka untuk menarik
berbagai konstituen. (Deborah Stone,2002:234)
AGENDA SETTING
Masalah yang muncul dalam masyarakat disebut juga isu atau
masalah kebijakan. Masalah kebijakan adalah kondisi yang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
WINDOW
Politics Stream
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
METODE PENELITIAN
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
PEMBAHASAN
PROBLEM STREAM (ALIRAN MASALAH)
Pada pembahasan ini adalah tahap pengidentifikasian masalah,
dimana isu-isu terkait masalah perbatasan yang muncul apakah
menjadi perhatian dalam sebuah kebijakan atau malah sebaliknya.
Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa isu yang selalu muncul
dalam agenda kebijakan adalah seperti yang dikatakan Liana
Anggraini Kasubag Umum dari Badan Nasional Pengelola
Perbatasan Daerah Provinsi Kepri:
“Isu perbatasan mengenai dermaga antar pulau di daerah perbatasan
yang kurang, Sumber daya manusia yang lemah, jumlah sekolah dan
tingkat pendidikan yang sangat rendah, masalah pertahanan dan
keamanan seperti Ilegal Fishing dan penyeludupan, serta masalah
kesehatan seperti jumlah rumah sakit dan puskesmas yang tidak
memadai merupakan poin-poin permasalahan yang umum di kawasan
perbatasan.” (20 Mei 2015 di Kantor BNPPD Provinsi Kepri).
Hal yang dikatakan di atas menguatkan bahwa daerah perbatasan
provinsi kepri masih harus lebih ditingkatkan perhatiannya, masih
sangat banyak rentetan masalah terkait membangun daerah
perbatasan. Terbatasnya infrastruktur seperti sarana dan prasarana
dasar seperti sarana dan prasarana pemukiman, pendidikan, sarana
kesehatan, keamanan, kemudian juga sarana dan prasarana
transportasi, telekomunikasi, dan lainnya menyebabkan wilayah ini
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
552 memiliki
nya.
aksesibilitas yang rendah dan terisolasi dari wilayah sekitar-
ISU PERBATASAN
- Kondisi Geografis:
a. Rentang kendali pemerintah sulit di jangkau
b. Luas wilayah laut 62 %
- Perikanan:
a. Ilegal Fishing
b. Sulit memasarkan karena terbiasa dengan menunggu kapal-
kapal hongkong datang.
- Hankam:
a. Perjanjian dan patok batas yang banyak belum jelas
b. Lemahnya peraturan kesepakatan yang dibuat antar Negara
- Transportasi:
a. Infrastruktur transportasi seperti pelabuhan yang aktif hanya
3 dan Bandara hanya satu yang ada di wilayah perbatasan di
Kabupaten Karimun dan 1 di Batam dan 1 di Tanjungpinang
- Infrastruktur Komunikasi:
a. Kurangnya Infrastruktur Komunikasi di wilayah Perbatasan
seperti jaringan Internet dan Tower Telekomunikasi
- Pendidikan:
a. Angka Melek Huruf 98,07 % artinya 1,93 % penduduk Kepri
masih buta huruf, dan rata-rata tertinggi di Kabupaten-kabupa-
ten perbatasan seperti Natuna, Karimun dan Anambas
b. Rata-Rata Lama Sekolah untuk Kabupaten-kabupaten
Perbatasan seperti Natuna, Karimun dan Anambas hanya 7
tahun atau sama dengan sampai ke SMP
c. Angka Partisipasi Sekolah menurut usia 16-18 tahun dan
tempat tinggal untuk perkotaan 69,98 % sedangkan perdesaan
66,79 %. Jika dari jenis kelamin untuk usia 16-18 tahun untuk
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik pada penelitian ini adalah:
1. Aliran Masalah (Problem Stream), Dalam aliran masalah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Ali, Faried, dan Andi Syamsu Alam, 2012. Studi Kebijakan Pemerintah.Bandung: PT.Refika
Aditama.
Anderson, James. E, 2011. Publik Policymaking. International Edition. Boston,USA:
Wadsworth Cengage Learning.
Bastian, Indra, 2009. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintahan Daerah di
Indonesia. Jakarta:Salemba Empat.
Dunn, William N, 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Hamdi, Muchlis, 2014. Kebijakan Publik. Proses, Analisis, dan Partisipasi. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Hrjanto, Imam, 2011. Teori Pembangunan. Malang: Universitas Brawijaya Press
Kusumanegara, Solahuddin, 2010. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan
Publik.Yogyakarta: Gava Media.
Madu, Ludiro, dkk, 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia tanpa Batas: Isu,
Permasalahan dan Pilihan Kebijakan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Margono, 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho, Riant, 2012. Public Policy: dinamika kebijakan, analisis kebijakan, dan
menejemen kebijakan.Jakarta: Gramedia.
Pasolong, Harbani, 2013. Metode Penelitian Administrasi Publik. Bandung: ALFABETA.
Putra, Fadillah, 2005. Kebijakan Tidak untuk Publik. Yogyakarta: Resist Book.
Santoso, Purwo, 2010. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Research Center of Politics
and Government, JPP UGM.
Stone, Deborah, 2002. Policy Paradox ; The Art of Political Decision Making. New York
& London: W.W.Norton & Company.
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA.
Suharto, Edi, 2012. Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
JURNAL
ILMU PEMERINTAHAN &
KEBIJAKAN PUBLIK
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Vol. 2 No. 3
OKTOBER 2015
Perbatasan dengan Timor Leste pada Periode 2002-2012. Skripsi Program Studi
Hubungan Internasional, FISIPOL UIN SYARIF HIDAYATULLAH. Jakarta. 559
Seman, Tarno dan Sumanto, 2005. Permasalahan dan Rencana Pengembangan Kawasan
Perbatasan di Provinsi Kalimanta Timur. Jurnal Kepala Bagian Perbatasan dan
Pengembangan Wilayah, Biro Pemerintahan, Pemprov Kalimantan Timur dan Kepala
Bidang pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi
Kalimantan Timur.
Shofix S.R, A. Azmi, 2012. Analisis Formulasi Kebijakan Publik (Studi pada proses
Perumusan rancangan Peraturan daerah Kota Palembang tentang Pembinaan,
Pengendalian dan Pemanfaatan rawa). FISIPOL Universitas Sriwijaya. Palembang.
Syaifullah, 2008. Analisis Perencanaan Pembangunan tahunan Daerah di Kota Magelang.
Tesis Magister Ilmu Andministrasi, UNDIP. Semarang.
Wibowo, Agus Harto, 2009. Analisis Perencanaan Paartisipatif (Study Kasus di Kecamatan
Pemalang Kabupaten Pemalang). Tesis Magister Ilmu Administrasi, UNDIP. Semarang.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil.
Undang-undang No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
Peraturan Presiden No 10 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010 – 2015.
Peraturan Presiden No 37 Tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar.
Peraturan Presiden N0.07 Tahun 2005 Tentang RPJM-Nasional
Peraturan Presiden No 112 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi.
Peraturan Presiden No 12 Th 2010 tentang BNPP
Permendagri No 18 Tahun 2007 tentang Standarisasi Sarana, Prasarana dan Pelayanan
Lintas Batas Antarnegara.
Permendagri No. 54 Tahun 2010 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
2008 tentang Tahapan, tata cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi
Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Kepmenpan Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Jurnal Ilmu Pemerintahan | ISSN 2442-5958
Maman
Dede Sri Kartini
Neneng Yani Yuningsih
Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran
Email:
maman.42mn@gmail.com
dedekartini@yahoo.com
nenengyany@yahoo.co.id
ABSTRAK
ABSTRACT
about the Establishment of West Bandung district, which the expansion process
itself could not be separated from political process and also subjective issues that
always interfered along the way. The subjective issues such as political elite
interests, the owners of capital and the bureaucracy have always been a rolling
issues during the expansion process and became more interesting than the objective
issue of the expansion itself. In the creating process of West Bandung district in
2007, there was an agenda setting which conducted by some of the actors who
involved in the formation. The actors were not only from the government, but also
from the NGO (non-governmental organizations), businessmen, media and society
who had concerns in the expansion in general. The subjective issues, such as the
power interests and bureaucracy certainly existed in the expansion process and
added the dynamics in it.
44. Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, bab XI Tentang Penataan
Daerah Bagian Dua Tentang Pembentukan Wilayah Pada Paragraf 1 Pasal 33 Ayat 1 Dan Dua.
45. Prof. Dr. HAW. Widjaja. Otonomi Desa merupakan otonomi asli, bulat dan utuh.
PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta. Tahun 2005, hal 135
46. Ade Ratmaja., dkk. Perjalanan Pembentukan Kabupaten Bandung Barat Menjadi Daerah
Otonom Di Provinsi Jawa Barat. Bandung Barat. Komite Pembentukan Kabupaten Bandung
Barat (KPKBB).. tahun 2006
47. Joko Widodo. Analisis Kebijakan Publik. Bayumedia: Malang. Tahun 2009: hal 53
48. Ibid; hal 53
Permasalahan Di
Muncul Isu Pemekaran
Kabupaten Bandung
• Pembangunan Tidak Optimal • Efektifitas Pelayanan
• Pelayanan Tidak Optimal • Percepatan Pembangunan
• Jumlah Penduduk Terlalu • Peningkatan Kesejahteraan
Banyak Masyarakat
• Daerah Kewenangan Terlalu • Good Governance
Luas
AGENDA SETTING
Terbentuknya Kabupaten
Gambar 1.1
Bandung Barat
Model Penelitian
49. Leo Agustino. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Alfabetas. Bandung. Tahun 2008: hal 39
50. Lexi J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya, Bandung. Tahun
2007: hal 4
tasi dua kali masa jabatan. Sehingga pihak: peneliti dan subjek
dengan penelitian kualitatif ini di penelitian.”51
harapkan dapat menafsirkan fenomena
yang terjadi dalam proses pem Ada beberapa teknik pengambilan
bentukan Kabupaten Bandung Barat. data yang dapat dilakukan dalam
melakukan penelitian kualitatif yaitu
Moleong sendiri dalam bukunya
sebagai berikut: Studi Kepustakaan,
menyebutkan bahwa :
Observasi dan Wawancara mendalam.
”Penelitian kualitatif itu berakar
pada penelitian alamiah sebagai Dengan teknik pengumpulan data
keutuhan, mengandalkan manusia tersebut diatas, diharapkan penelitian
sebagai alat penelitian, meman mengenai Agenda Setting Dalam
faatkan metode kualitatif, Proses Pembentukan Kabupaten
mengadakan analisis data secara Bandung Barat Tahun 2007 menjadi
induktif, mengarahkan sasaran daerah otonom Kabupaten Bandung
penelitiannya pada usaha mene Barat akan mendapatkan data yang
mukan teori dari-dasar, bersifat lengkap meliputi data yang sudah
deskriptif, lebih mementingkan diarsipkan dalam berbagai bentuk
proses daripada hasil, membatasi termasuk data yang diambil dari
studi dengan fokus, memiliki aktor-aktor yang terlibat secara
seperangkat kriteria untuk me langsung dan mengetahui seluk belum
meriksa keabsahan data, dinamika proses pembentukan
rancangan penelitiannya bersifat Kabupaten Bandung Barat sebagai
sementara, dan hasil penelitiannya daerah otonom baru.
disepakati oleh kedua belah
5 Drs. H. Abu Bakar Ketua tim teknis Peran Drs. H. Abu Bakar terkait
penataan Wilayah posisi sebagai Ketua tim teknis
Kabupaten penataan Wilayah Kabupaten
Bandung sekaligus Bandung
sebagai Bupati Dinamika kepentingan yang terjadi
Bandung Barat selama proses pembentukan
Dampak pemekaran terhadap
untuk dua kali masa
pembangunan di KBB
jabatan
6 H. Dede Mariana, Tim Konsorsium Peran Tim Konsorsium dalam proses
Drs., M.Si Perguruan Tinggi pemekaran
Untuk Penataan Dinamika yang terjadi selama
Wilayah Kabupaten penyusunan dan pengkajian
Bandung kelayakan pemekaran
Evaluasi terhadap hasil pemekaran
pada saat sekarang
52. Ryaas Rasyid. Makna Pemerintahan: Tinjauan Dari Segi Etika Dan Kepemimpinan. Mutiara
Sumber Widya. Jakarta:. Tahun 2000: hal 73.
53. Wawancara dengan Dede Mariana yang merupakan Guru Besar Ilmu Pemerintahan. Pada saat
proses pemekaran, Dede Mariana menjadi Ketua Tim Konsorsium 6 Perguruan Tinggi.
54. Keputusan Bupati Bandung Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pelimpahan Kewenangan Kepada
Pemerintah Kecamatan yang berjumlah 8 poin.
55. Ade Ratmaja., dkk. Perjalanan Pembentukan Kabupaten Bandung Barat Menjadi Daerah
Otonom Di Provinsi Jawa Barat. Bandung Barat. Komite Pembentukan Kabupaten Bandung
Barat (KPKBB).. tahun 2006: hal 3.
56. Dikutip dari Koran Pikiran Rakyat dengan judul “KPKBB Usulkan Panji Pj Bupati Bandung
Barat” halaman 9 terbit pada selasa 3 Oktober 2006.
menyetujui pemekaran ini secepatnya. dan juga DPRD, namun yang menarik
Sampai tahun 2004 tercatat beberapa adalah ada rasionalisasi atau kepen
kali dilakukan demonstrasi di depan tingan yang melandasi penolakan
Kantor Pemerintah Kabupaten pembentukan Kabupaten Bandung
Bandung yang dipimpin oleh KPKBB Barat ini, baik di pihak Pemerintah
ini, dalam aksi tersebut massa maupun di pihak DPRD. Kepentingan
terbanyak berjumlah sekitar 5000 pribadi dan kepentingan kelompok
orang yang berasal dari 15 kecamatan adalah hal yang memang tidak
pendukung pemekaran57. terpisahkan dari sebuah keputusan
menolak atau menyetujui pemekaran
Besarnya tuntutan dari masya
Kabupaten Bandung. Dalam tahap ini
rakat terutama di wilayah Bandung
di lakukan analisis terhadap kepen
Barat, serta dukungan mayoritas
tingan masing-masing aktor peme
DPRD Kabupaten Bandung, maka
rintah sebagai sebuah proses agenda
wacana pembentukan Kabu paten
setting dalam proses pembentukan
Bandung Barat menjadi salah satu
Kabupaten Bandung Barat.
masalah atau isu yang mendapatkan
respon dari pemerintah. Tindakan
pertama yang dilakukan oleh Aktor dan Peran dalam
pemerintah dalam merespon aspirasi Pembentukan Kabupaten Bandung
pemekaran ini adalah dengan terbitnya Barat
Surat Keputusan Bupati No 135/
Kep.85-Binpenum/2004 tentang pem Sikap Dua Kaki Birokrat,
bentukan Tim Teknis Penataan Wila Menolak Namun Mendanai Proses
yah Kabupaten Bandung, dimana pemekaran
berdasarkan hasil kajian bahwa
pembentukan Kabupaten Bandung Birokrat merupakan salah satu
Barat layak untuk dilakukan. aktor yang berperan dalam proses
Dalam perjalanan pembahasan pembentukan Kabupaten Bandung
pembentukan Kabupaten Bandung Barat, tidak dipungkiri bahwa birokrat
Barat ini, terjadi dinamika yang cukup memiliki peranan yang cukup
dinamis baik di kalangan Legislatif signifikan melalui dukungan yang
maupun di kalangan Eksekutif. Terjadi diberikannya kepada KPKBB sebagai
pro dan kontra di kalangan pemerintah kelompok masyarakat yang mengas
57. Koran Berita Pasundan, terbit pada tahun ke IV; 12-19 Januari 2004.
derungan mendukung proses pem dilakukan dari mulai unjuk rasa hingga
bentukan Kabupaten Bandung Barat.61 lobby politik kepada DPRD, sehingga
isu pembentukan Kabupaten Bandung
Oleh sebab itu bisa dikatakan
Barat ini disikapi oleh Pemerintah
bahwa media massa memiliki peran
Kabupaten Bandung dengan
yang signifikan dalam proses
menerbitkan Surat Keputusan No.
pembentukan Kabupaten Bandung
135/Kep.85-Binpenum/2004 tentang
Barat, hal tersebut karena media
pembentukan Tim Teknis Penataan
massa terutama Pikiran Rakyat dan
Wilayah Kabupaten Bandung.
Galamedia memiliki kecenderungan
mendukung proses pembentukan Respon pemerintah Kabupaten
Kabupaten Bandung Barat dengan Bandung ini mejadi titik selanjutnya
cara memuat berita-berita maupun dimana usulan pembentukan
opini yang menyatakan Kabupaten Kabupaten Bandung Barat memasuki
Bandung Barat memang seharusnya di tahap pembahasan di level pemerintah
bentuk. dimana hasil kajian akademis, proses
administrasi dan proses politik akan
menentukan apakah pembentukan
Respon Pemerintah Kabupaten
Kabupaten Bandung Barat akan di
Bandung
bahas dan dijadikan sebagai alternatif
kebijakan atau tidak.
Aspirasi pembentukan Kabupaten
Bandung Barat rupanya sangat keras Berikut adalah identifikasi
dilakukan oleh masyarakat yang terhadap aktor dan peranannya dalam
mendukung pembentukan Kabupaten proses pembentukan Kabupaten
Bandung Barat, berbagai upaya Bandung Barat:
61. Kliping berupa kumpulan berita di media massa terkait pembentukan Kabupaten Bandung
Barat, kliping disusun oleh KPKBB pada tahun 2006.
No Aktor Peran
1 Masyarakat Masyarakat dalam pemekaran ini sebagai individu-
individu yang bersama-sama mengaspirasikan
kehendaknya kepada pemerintah serta mendukung
upaya pemekaran Kabupaten Bandung. Peran
masyarakat terlihat seperti pada saat aksi demonstrasi,
forum dan lain sebagainya.