Anda di halaman 1dari 51

1. Apa yang dimaksud dengan administrasi pembangunan ?

Jawaban :

Sisi pertama dari administrasi pembangunan adalah administrasi dari atau bagi

pembangunan (administration of development). Banyak cara pendekatan untuk mengkaji

administrasi. Bisa dari segi komponennya, kegiatannya maupun prosesnya. Bisa juga

menggunakan pendekatan yang relatif baru berkembang yaitu kebijaksanaan publik, seperti

yang telah diuraikan di atas. Namun, untuk dasar pemahaman dapat digunakan pendekatan

Waldo (1992), bahwa kalau kita cerminkan administrasi untuk mencari wujudnya, maka

ditemukan dua aspek, yaitu manajemen dan organisasi, sedangkan manajemen adalah

fisiologinya. Organisasi biasanya digambarkan sebagai wujud statis dan mengikuti pola

tertentu, sedangkan manajemen adalah dinamis dan menunjukkan gerakan atau proses.

Keduanya dapat digunakan untuk analisis administrasi.

Untuk membahas administrasi bagi pembangunan, Lebih tepat digunakan pendekatan

manajemen. Karena itu pada dasarnya dapat dikatakan Bahwa masalah administrasi bagi

pembangunan adalah masalah manajemen pembangunan. Studi mengenai manajemen telah

banyak mengilhami perkembangan. Namun teori pokoknya tidak berubah, bahwa yaitu

sekurang-kurangnya ada tiga kegiatan besar yang dilakukan oleh manajemen, yakni

perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Fungsi manajemen pada sistem administrasi

mana pun, baik di negara yang sedang membangun maupun di negara maju, sama saja, yang

berbeda adalah penekanannya. Teknik atau metode penyelenggaraannya juga dapat berbeda

tergantung pada pengaruh berbagai faktor, seperti system politik, latar belakang budaya, atau

tingkat penguasaan teknologi.

Manajemen pembangunan adalah manajemen publik dengan ciri-ciri yang khas,

seperti juga administrasi pembangunan adalah administrasi publik (negara) dengan kekhasan

tertentu. Untuk analisis manajemen pembangunan dikenali beberapa fungsi yang cukup nyata
(district), yakni: (1) perencanaan, (2) pengerahan (mobilisasi) sumber daya, (3) pengerahan

(menggerakkan) partisipasi masyarakat, (4) penganggaran, (5) pelaksanaan pembangunan

yang ditangani langsung oleh pemerintah, (6) koordinasi, (7) pemantauan dan evaluasi dan

(8) pengawasan. Di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut

berbagai fungsi tersebut, dan dilengkapi dengan (9) peran informasi yang amat

penting sebagai instrumen atau perangkat bagi manajemen. Administrasi pembangunan

mencangkup dua pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan. Administrasi adalah

keseluruhan proses pelaksanaan keputusan – keputusan yang telah diambil dan

diselenggarakan oleh dua atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan

sebelumnya, sedangkan pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan

pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara

bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation-building).

Ada beberapa pengertian administrasi pembangunan menurut para ahli. Hiram S. Phillips

mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai rather than the traditional term of public

administration to indicate the need for a dynamic process designed particularly to meet

requirements of social and economic changes.[1] Pernyataan ini diartikan sebagai lebih baik

dari pada masa tradisional administrasi publik untuk menunjukkan kebutuhan untuk suatu

proses dinamis yang didesain secara khusus untuk mendapatkan syarat perubahan sosial dan

ekonomi.

Paul Meadows mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai development

administration can be regarded as the public management of economic and social change in

term of deliberate public policy. The development administrator is concerned with guiding

change.[2] Pernyataan ini diartikan sebagai administrasi pembangunan dapat dipandang

sebagai manajemen publik perubahan ekonomi dan sosial yang disengaja dalam masa

kebijakan publik. Administrator pembangunan dapat memfokuskan pada perubahan terarah.


Ciri – Ciri Administrasi Pembangunan

Ada beberapa ciri administrasi pembangunan menurut Irving Swerdlow[3] dan Saul

M. Katz[4]. Pertama, adanya suatu orientasi administrasi untuk mendukung pembangunan.

Administrasi bagi perubahan – perubahan ke arah keadaan yang dianggap lebih baik.

Keadaan yang lebih baik ini bagi negara – negara baru berkembang dinyatakan dengan usaha

ke arah modernisasi, atau pembangunan bangsa atau pembangunan sosial ekonomi. Di dalam

administrasi pembangunan, diberikan uraian mengenai saling kait – berkaitnya administrasi

dengan aspek – aspek pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lain –

lain. Kedua, adanya peran administrator sebagai unsur pembangunan. Peranan serta fungsi

pemerintah sangat erat kaitannya dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Administrator juga dapat menciptakan suatu sistem dan praktek administrasi yang membina

partisipasi dalam pembangunan. Ketiga, perkembangan, baik dalam ilmu maupun

pelaksanaan perencana pembangunan terdapat orientasi yang semakin besar memberikan

perhatian terhadap aspek pelaksanaan rencana. Suatu perencanaan yang berorientasi pada

pelaksanaannya akan lebih banyak memperhatikan aspek administrasi dalam aspek

pembangunannya. Keempat, administrasi pembangunan masih berdasarkan pada prinsip –

prinsip administrasi negara. Namun, administrasi pembangunan memiliki ciri – ciri yang

lebih maju daripada administrasi negara.

Sondang P. Siagian juga merumuskan ciri – ciri administrasi pembangunan[5].

Pertama, Administasi pembangunan lebih memberikan perhatian terhadap lingkungan

masyarakat yang berbeda – beda, terutama bagi lingkungan masyarakat negara – negara baru

berkembang. Kedua, administrasi pembangunan mempunyai peran aktif dan berkepentingan

terhadap tujuan – tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijaksanaannya maupun

dalam pelaksanaannya yang efektif. Bahkan, administrasi ikut serta mempengaruhi tujuan –
tujuan pembangunan masyarakat dan menunjang pencapaian tujuan – tujuan sosial, ekonomi,

dan lain – lain yang dirumuskan kebijaksanaannya dalam proses politik. Ketiga, administrasi

pembangunan berorientasi kepada usaha – usaha yang mendorong perubahan ke arah keadaan

yang dianggap lebih baik untuk suatu masyarakat di masa depan atau berorientasi masa

depan. Keempat, administrasi pembangunan lebih berorientasi kepada pelaksanaan tugas –

tugas pembangunan dari pemerintah. Administrasi pembangunan lebih bersikap sebagai

”development agent”, yakni kemampuan untuk merumuskan kebijaksanaan – kebijaksanaan

pembangunan dan pelaksanaan yang efektif, serta sebagai kemampuan dan pengendalian

instrumen – instrumen bagi pencapaian tujuan – tujuan pembangunan. Kelima, administrasi

pembangunan harus mengaitkan diri dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan

pelaksanaan tujuan – tujuan pembangunan di berbagai bidang yaitu ekonomi, sosial, budaya,

dan lain – lain. Keenam, dalam administrasi pembangunan, administrator dalam aparatur

pemerintah juga bisa menjadi pergerak perubahan. Ketujuh, administrasi pembangunan lebih

berpendekatan lingkungan, berorientasi pada kegiatan, dan bersifat pemecahan masalah.

Ketiga unsur ini disebut mission driven.

Ruang Lingkup Administrasi Pembangunan

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo, ada beberapa gambaran mengenai ruang lingkup

administrasi pembangunan. Pertama, administrasi pembangunan mempunyai dua fungsi,

yaitu the development of administration dan the administration of development. The

development of administration menyangkut usaha penyempurnaan organisasi, pembinaan

lembaga yang diperlukan, kepegawaian, tata kerja, dan pengurusan sarana – sarana

administrasi lainnya, sedangkan the administration of development menyangkut masalah

perumusan kebijaksanaan – kebijaksanaan dan program – program pembangunan di berbagai

bidang serta pelaksanaannya secara efektif. Kedua, administrasi untuk pembangunan dapat

dibagi menjadi dua subfungsi. Pertama, perumusan kebijaksanaan pembangunan. Formulasi


kebijaksanaan negara atau pemerintah tidak hanya dilakukan dalam proses administrasi,

tetapi juga dalam tingkat tertentu dalam proses politik. Kebijaksanaan dan program

dirumuskan dalam suatu rencana pembangunan. Mekanisme dan tata kerja dalam proses

analisa, perumusan dan pengambilan keputusan mengenai kebijaksanaan dan program

pembangunan tersebut dapat diupayakan untuk disempurnakan. Kedua, pelaksanaan dari

kebijaksanaan dan program tersebut dahulu secara efektif. Untuk melakukannya,

administrator memerlukan penyusunan instrumen – instrumen yang baik. Ada dua kegiatan

yang mendapat perhatian. Pertama, masalah kepemimpinan, koordinasi, pengawasan, dan

fungsi administrator sebagai unsur pembangunan. Kedua, pengendalian atau pengurusan yang

baik dari administrasi fungsionil, seperti perlembagaan dalam arti sempit, kepegawaian,

pembiayaan pambangunan, dan lain – lain sebagai sarana pencapaian tujuan kebijaksanaan

dan program pembangunan.

Bagaimanakah Administrasi Pembangunan sebagai Paradigma Administrasi Negara

Jawaban :

A. Definisi Paradigma

Paradigma menjadi konsep yang menarik perhatian ilmuwan sejak Thomas Kuhn menulis

buku ”The Structure of Scientific Revolution”. Sungguh pun latar belakang Kuhn adalah

bidang ilmu alam, namun pandangan paradigmatik Kuhn banyak mempengaruhi pengamat

dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu administrasi negara.

Untuk memahami perkembangan paradigma dalam ilmu administrasi negara, perlu diketahui

terlebih dahulu apa makna dari paradigma. Secara etimologis, kata “paradigm” berasal dari

bahasa Yunani “paradeigma” yang berarti pola ( pattern) atau contoh (example). Oxford

English Dictionary merumuskan paradigma sebagai “ a pattern or model, an exemplar”.

Secara umum paradigma diartikan sebagai :


Cara kita memandang sesuatu (point of view), sudut pandang, atau keyakinan (belief).

Cara kita memahami dan menafsirkan suatu realitas.

Paradigma seperti ‘peta’ atau ‘kompas’ di kepala. Kita melihat atau memahami segala

sesuatu sebagaimana yang seharusnya .

American Heritage Dictionary merumuskan paradigma sebagai :

Serangkaian asumsi, konsep, nilai-nilai, dan praktek-praktek yang diyakini oleh suatu

komunitas dan menjadi cara pandang suatu realitas ( A set of assumptions, concepts, and

values, and practices that constitutes a way of viewing reality for the community that shares

them).

Thomas Kuhn :

Paradigma adalah suatu cara pandang , nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara

memecahkan sesuatu masalah , yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada masa tertentu.

Menurut Thomas Kuhn , krisis akan timbul apabila suatu permasalahan yang dihadapi

masyarakat tidak dapat dijelaskan atau tidak dapat dipecahkan secara memuaskan dengan

menggunakan pendekatan suatu paradigma. Krisis ini akan mendorong suatu “scientific

revolution” di kalangan masyarakat ilmuwan untuk melakukan penilaian atau pemikiran

kembali paradigma yang ada dan mencoba menemukan paradigma baru yang dapat

memberikan penjelasan dan alternatif pemecahan yang dihadapi secara lebih memuaskan.

B. Perkembangan Paradigma Administrasi Negara

Dalam hubungannya dengan perkembangan ilmu administrasi publik, krisis akademis terjadi

beberapa kali sebagaimana terlihat dari pergantian paradigma yang lama dengan yang baru.

Nicholas Henry melihat perubahan paradigma ditinjau dari pergeseran locus dan focus suatu
disiplin ilm. Fokus mempersoalkan “what of the field” atau metode dasar yang digunakan

atau cara-cara ilmiah apa yang dapay digunakan untuk memecahkan suatu persoalan. Sedang

locus mencakup “where of the field” atau medan atau tempat dimana metode tersebut

digunakan atau diterapkan.

Berdasarkan locus dan focus suatu disiplin ilmu, Henry membagi paradigma administrasi

negara menjadi lima, yaitu :

Paradigma Dikotomi Politik dan Administrasi (1900-1926)

Paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi (1927-1937)

Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik (1950-1970)

Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970)

Paradigma Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970an)

Pada tahun 1970an, George Frederickson memunculkan model Administrasi Negara Baru

(New Public Administration). Paradigma ini merupakan kritik terhadap paradigma

administrasi negara lama yang cenderung mengutamakan pentingnya nilai ekonomi seperti

efisiensi dan efektivitas sebagai tolok ukur kinerja administrasi negara. Menurut paradigma

Administrasi Negara Baru, administrasi negara selain bertujuan meraih efisiensi dan

efektivitas pencapaian tujuan juga mempunyai komitmen untuk mewujudkan manajemen

publik yang responsif dan berkeadilan (social equity).

Pada tahun 1980 – 1990an muncul paradigma baru dengan berbagai macam sebutan seperti

’managerialism’, ’new public management’, ’reinventing government’, dan sebagainya.

Paradigma administrasi negara yang lahir pada era tahun 1990an pada hakekatnya berisi

kritikan terhadap administrasi model lama yang sentralistis dan birokratis. Ide dasar dari

paradigma semacam NPM dan Reinventing Government adalah bagaimana mengadopsi

model manajemen di dunia bisnis untuk mereformasi birokrasi agar siap menghadapi

tantangan global.
Pada tahun 2003, muncul paradigma New Public Service (NPS) yang dikemukakan oleh

Dernhart dan Derhart. Paradigma ini mengkritisi pokok-pokok pemikiran paradigma

administrasi negara pro-pasar. Ide pokok paradigma NPS adalah mewujudkan administrasi

negara yang menghargai citizenship, demokrasi dan hak asasi manusia.

Untuk memberikan gambaran tentang perkembangan paradigma dalam teori administrasi

negara, buku ini membatasi pada empat paradigma yaitu Paradigma Administrasi Negara

Tradisional atau disebut juga sebagai paradigma Administrasi Negara Lama (Old Public

Administration), Paradigma New Public Administration, Paradigma New Public

Management, dan Paradigma Governance /New Public Service.

Paradigma Administrasi Negara Lama

Paradigma Administrasi Negara Lama dikenal juga dengan sebutan Administrasi Negara

Tradisional atau Klasik. Paradigma ini merupakan paradigma yang berkembang pada awal

kelahiran ilmu administrasi negara. Tokoh paradigma ini adalah antara lain adalah pelopor

berdirinya ilmu administrasi negara Woodrow Wilson dengan karyanya “The Study of

Administration”(1887) serta F.W. Taylor dengan bukunya “Principles of Scientific

Management”

Dalam bukunya ”The Study of Administration”, Wilson berpendapat bahwa problem utama

yang dihadapi pemerintah eksekutif adalah rendahnya kapasitas administrasi. Untuk

mengembangkan birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien, diperlukan pembaharuan

administrasi pemerintahan dengan jalan meningkatkan profesionalisme manajemen

administrasi negara. Untuk itu, diperlukan ilmu yang diarahkan untuk melakukan reformasi

birokrasi dengan mencetak aparatur publik yang profesional dan non-partisan. Karena itu,

tema dominan dari pemikiran Wilson adalah aparat atau birokrasi yang netral dari politik.

Administrasi negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan terpisah
dari hiruk pikuk kepentingan politik. Inilah yang dikenal sebagai konsep dikotomi politik dan

administrasi. Administrasi negara merupakan pelaksanaan hukum publik secara detail dan

terperinci, karena itu menjadi bidangnya birokrat tehnis. Sedang politik menjadi bidangnya

politisi.

Ide-ide yang berkembang pada tahun 1900-an memperkuat paradigma dikotomi politik dan

administrasi, seperti karya Frank Goodnow ”Politic and Administration”. Karya fenomenal

lainnya adalah tulisan Frederick W.Taylor ”Principles of Scientific Management (1911).

Taylor adalah pakar manajemen ilmiah yang mengembangkan pendekatan baru dalam

manajemen pabrik di sector swasta – Time and Motion Study. Metode ini menyebutkan ada

cara terbaik untuk melaksanakan tugas tertentu. Manajemen ilmiah dimaksudkan untuk

meningkatkan output dengan menemukan metode produksi yang paling cepat, efisien, dan

paling tidak melelahkan.Jika ada cara terbaik untuk meningkatkan produktivitas di sector

industri, tentunya ada juga cara sama untuk organisasi public.Wilson berpendapat pada

hakekatnya bidang administrasi adalah bidang bisnis, sehingga metode yang berhasil di dunia

bisnis dapat juga diterapkan untuk manajemen sektor publik.

Teori penting lain yang berkembang adalah analisis birokrasi dari Max Weber. Weber

mengemukakan ciri-ciri struktur birokrasi yang meliputi hirarki kewenangan, seleksi dan

promosi berdasarkan merit system, aturan dan regulasi yang merumuskan prosedur dan

tanggungjawab kantor, dan sebagainya. Karakteristik ini disebut sebagai bentuk kewenangan

yang legal rasional yang menjadi dasar birokrasi modern.

Ide atau prinsip dasar dari Administrasi Negara Lama (Dernhart dan Dernhart, 2003) adalah :

Fokus pemerintah pada pelayanan publik secara langsung melalui badan-badan pemerintah.

Kebijakan publik dan administrasi menyangkut perumusan dan implementasi kebijakan

dengan penentuan tujuan yang dirumuskan secara politis dan tunggal.


Administrasi publik mempunyai peranan yang terbatas dalam pembuatan kebijakan dan

kepemerintahan, administrasi publik lebih banyak dibebani dengan fungsi implementasi

kebijakan publik

Pemberian pelayanan publik harus dilaksanakan oleh administrator yang bertanggungjawab

kepada ”elected official” (pejabat/birokrat politik) dan memiliki diskresi yang terbatas dalam

menjalankan tugasnya.

Administrasi negara bertanggungjawab secara demokratis kepada pejabat politik

Program publik dilaksanakan melalui organisasi hirarkis, dengan manajer yang menjalankan

kontrol dari puncak organisasi

Nilai utama organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas

Organisasi publik beroperasi sebagai sistem tertutup, sehingga partisipasi warga negara

terbatas

Peranan administrator publik dirumuskan sebagai fungsi POSDCORB

Paradigma Administrasi Negara Baru

Paradigma ini berkembang tahun 1970an. Paradigma Administrasi Negara Baru (New Public

Administration) muncul dari perdebatan hangat tentang kedudukan administrasi negara

sebagai disiplin ilmu maupun profesi. Dwight Waldo menganggap administrasi negara berada

dalam posisi revolusi ( a time of revolution) sehingga mengundang para pakar ilmu

administrasi negara dalam suatu konferensi yang menghasilkan kumpulan makalah ”Toward

a New Public Administration : The Minnowbrook Perspective” (1971). Tujuan konferensi ini

adalah mengidentifikasi apa saja yang relevan dengan administrasi negara dan bagaimana

disiplin administrasi negara harus menyesuaikan dengan tantangan tahun 1970an. Salah satu

artikel dalam kumpulan makalah ini adalah karya George Frederickson berjudul ”The New

Public Administration”.
Paradigma New Public Administration pada dasarnya mengkritisi paradigma administrasi

lama atau klasik yang terlalu menekankan pada parameter ekonomi. Menurut paradigma

Administrasi Negara Baru, kinerja administrasi publik tidak hanya dinilai dari pencapaian

nilai ekonomi ,efisiensi, dan efektivitas ,tapi juga pada nilai “social equity” (disebut sebagai

pilar ketiga setelah nilai efisiensi dan efektivitas). Implikasi dari komitmen pada ”social

equity”, maka administrator publik harus menjadi ’proactive administrator’ bukan sekedar

birokrat yang apolitis.

Fokus dari Administrasi Negara Baru meliputi usaha untuk membuat organisasi publik

mampu mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal yang dilaksanakan dengan

pengembangan sistem desentralisasi dan organisasi demokratis yang responsif dan

partisipatif, serta dapat memberikan pelayanan publik secara merata. Karena administrasi

negara mempunyai komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan

(social equity), maka Frederickson menolak pandangan bahwa administrator dan teori-teori

administrasi negara harus netral dan bebas nilai.

Paradigma New Public Management

Paradigma New Public Management (NPM) muncul tahun 1980an dan menguat tahun

1990an sampai sekarang. Prinsip dasar paradigma NPM adalah menjalankan administrasi

negara sebagaimana menggerakkan sektor bisnis (run government like a business atau market

as solution to the ills in public sector). Strategi ini perlu dijalankan agar birokrasi model lama

- yang lamban, kaku dan birokratis – siap menjawab tantangan era globalisasi .

Model pemikiran semacam NPM juga dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler

(1992) dalam konsep ”Reinventing Government”.Osbone dan Gaebler menyarankan agar

meyuntikkan semangat wirausaha ke dalam sistem administrasi negara. Birokrasi publik

harus lebih menggunakan cara ”steering” (mengarahkan) daripada ”rowing” (mengayuh).


Dengan cara ”steering”, pemerintah tidak langsung bekerja memberikan pelayanan publik,

melainkan sedapat mungkin menyerahkan ke masyarakat. Peran negara lebih sebagai

fasilitator atau supervisor penyelenggaraan urusan publik. Model birokrasi yang hirarkis-

formalistis menjadi tidak lagi relevan untuk menjawab problem publik di era global.

Ide atau prinsip dasar paradigma NPM (Dernhart dan Dernhart, 2003) adalah :

Mencoba menggunakan pendekatan bisnis di sektor publik

Penggunaan terminologi dan mekanisme pasar , dimana hubungan antara organisasi publik

dan customer dipahami sebagaimana transaksi yang terjadi di pasar.

Administrator publik ditantang untuk dapat menemukan atau mengembangkan cara baru yang

inovatif untuk mencapai hasil atau memprivatisasi fungsi-fungsi yang sebelumnya dijalankan

pemerintah

”steer not row” artinya birokrat/PNS tidak mesti menjalankan sendiri tugas pelayanan publik,

apabila dimungkinkan fungsi itu dapat dilimpahkan ke pihak lain melalui sistem kontrak atau

swastanisasi.

NPM menekankan akuntabilitas pada customer dan kinerja yang tinggi, restrukturisasi

birokrasi, perumusan kembali misi organisasi, perampingan prosedur, dan desentralisasi

dalam pengambilan keputusan

Paradigma New Public Service dan Governance

Paradigma New Public Service (NPS) merupakan konsep yang dimunculkan melalui tulisan

Janet V.Dernhart dan Robert B.Dernhart berjudul “The New Public Service : Serving, not

Steering” terbit tahun 2003. Paradigma NPS dimaksudkan untuk meng”counter” paradigma

administrasi yang menjadi arus utama (mainstream) saat ini yakni paradigma New Public

Management yang berprinsip “run government like a businesss” atau “market as solution to

the ills in public sector”.


Menurut paradigma NPS , menjalankan administrasi pemerintahan tidaklah sama dengan

organisasi bisnis. Administrasi negara harus digerakkan sebagaimana menggerakkan

pemerintahan yang demokratis. Misi organisasi publik tidak sekedar memuaskan pengguna

jasa (customer) tapi juga menyediakan pelayanan barang dan jasa sebagai pemenuhan hak

dan kewajiban publik.

Paradigma NPS memperlakukan publik pengguna layanan publik sebagai warga negara

(citizen) bukan sebagai pelanggan (customer). Administrasi negara tidak sekedar bagaimana

memuaskan pelanggan tapi juga bagaimana memberikan hak warga negara dalam

mendapatkan pelayanan publik. Cara pandang paradigma NPS ini ,menurut Dernhart (2008),

diilhami oleh (1) teori politik demokrasi terutama yang berkaitan dengan relasi warga negara

(citizens) dengan pemerintah, dan (2) pendekatan humanistik dalam teori organisasi dan

manajemen.

Paradigma NPS memandang penting keterlibatan banyak aktor dalam penyelenggaraan

urusan publik . Dalam administrasi publik apa yang dimaksud dengan kepentingan publik dan

bagaimana kepentingan publik diwujudkan tidak hanya tergantung pada lembaga negara.

Kepentingan publik harus dirumuskan dan diimplementasikan oleh semua aktor baik negara,

bisnis, maupun masyarakat sipil. Pandangan semacam ini yang menjadikan paradigma NPS

disebut juga sebagai paradigma Governance. Teori Governance berpandangan bahwa negara

atau pemerintah di era global tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya institusi atau aktor yang

mampu secara efisien, ekonomis dan adil menyediakan berbagai bentuk pelayanan publik

sehingga paradigma Governance memandang penting kemitraan (partnership) dan jaringan

(networking) antar banyak stakeholders dalam penyelenggaraan urusan publik.

Sumber :
Tri Kadarwati. 2001. Administrasi Negara Perbandingan. Pusat Penerbitan Universitas

Terbuka.

Yeremias T. Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu.

Penerbitan Gaya Media. Yogyakarta

Owen E.Hughes. Public Management and Administration: An Introduction. St. Martin’s

Press,Inc. New York.1994

Janet V. Dernhart dan Robert B. Dernhart. 2003. The New Public Service : Serving, not

Steering. M.E Sharpe, New York.

Robert B. Dernhart. 2008. Theories of Public Organization. Thomson & Wadsworth.

USA.Fifth Edition

2. bagaimanakah cara-cara Pendekatan Administrasi Pembangunan ?

jawaban:

Secara garis besar ada dua pendekatan yang dapat diketengahkan untuk mewakili banyak

pandangan

mengenai administrasi negara yang berkaitan dengan etika, yaitu (1) pendekatan teleologi,

dan (2) pendekatan deontologi.


Pertama, pendekatan teleologi. Pendekatan teleologi terhadap etika administrasi berpangkal

tolak

bahwa apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan oleh administrasi, acuan

utamanya adalah nilai kemanfaatan yang akan diperoleh atau dihasilkan, yakni baik atau

buruk dilihat dari konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Dalam konteks

administrasi negara, pendekatan teleologi mengenai baik dan buruk ini, diukur antara lain

dari pencapaian sasaran kebijaksanaan –

kebijaksanaan – kebijaksanaan publik (seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan,

kesempatan

untuk mengikuti pendidikan, kualitas lingkungan), pemenuhan pilihan – pilihan masyarakat

atau perwujudan kekuasaan organisasi, bahkan kekuasaan perorangan kalau itu menjadi

tujuan administrasi.

Pendekatan ini terdiri atas berbagai kategori, tetapi ada dua yang utama. Pertama adalah

ethical egoism, yang berupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Yang amat dikenal

disini adalah Niccolo Machaveavelli, seorang birokrat di Itali pada abad ke-15, yang

menganjurkan bahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan yang benar untuk seorang

administrator pemerintah. Kedua adalah utilitarianism, yang pangkal tolaknya adalah prinsip

kefaedahan (utility), yaitu mengupayakan yang terbaik untuk sebanyak – banyaknya orang.

Prinsip ini sudah berakar sejak lama, terutama pada pandangan – pandangan abad ke-19,

antara lain dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mills. Namun, di antara keduanya yaitu

egoism dan utilitarianism, tidak terdapat jurang pemisah yang tajam karena merupakan suatu

kontinuum, yang di antaranya dapat ditempatkan, misalnya, pandangan Weber bahwa

seorang birokrat sesungguhnya bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri pada waktu ia

melaksanakan perintah atasanya, yang oleh Chandler (1994) disebut sebagai a disguise act of

ego.
Namun, dapat diperkirakan bahwa dalam masa modern dan pasca modern ini pandangan

utilitarianism

dari kelompok pendakatan teleologis ini memperoleh lebih banyak perhatian. Dalam

pandangan ini yang amat pokok adalah bukan memperhatikan nilai – nilai moral, tetapi

konsekuensi dari keputusan dan tindakan administrasi itu bagi masyarakat. Kepentingan

umum (public interest) merupakan ukuran penting menurut pendekatan ini. Disini ditemui

berbagai masalah, antara lain :

(1) Siapa yang menentukan apakah sesuatu sasaran, ukuran atau hasil yang dikehendaki

didasarkan

kepentingan umum, dan bukan kepentingan si pengambil keputusan, atau kelompoknya, atau

kelompok yang ingin diuntungkan.

(2) Di mana batas antara hak perorangan dengan kepentingan umum. Jika kepentingan umum

mencerminkan dengan mudah kepentingan individu, maka masalahnya sederhana. Namun,

jika ada perbedaan tajam antara keduanya, maka akan timbul masalah yang lebih rumit.

(3) Bagaimana membuat perhitungan yang tepat bahwa langkah – langkah yang dilakukan

akan

menguntungkan kepentingan umum dan tidak merugikan. Hal ini penting karena kekuatan

dari pendekatan (utilitarianism) ini adalah bahwa karena kekuatan dari pendekatan manfaat

yang sebesar – besarnya dan kerugian yang sekecil – kecilnya, untuk kepentingan masyarakat

secara keseluruhan. Atau dengan kata lain efisiensi. Salah satu jawaban yang juga

berkembang adalah apa yang disebut pilihan (public choice) suatu teori yang berkembang

atas dasar prinsip – prinsip ekonomi.

Pandangan ini berpangkal pada pilihan – pilihan perorangan (individual choices) sebagai

basis dari langkah – langkah politik dan administratif. Memaksimalkan pilihan – pilihan

individu merupakan pandangan teleologis yang paling pokok dengan mengurangi sekecil
mungkin biaya atau beban dari tindakan kolektif terhadap individu. Konsep ini berkaitan erat

dengan prinsip – prinsip ekonomi pasar dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan

keputusan. Dengan sendirinya akan ada konflik dalam pilihan – pilihan tersebut, dan

bagaimana mengelola konflik – konflik itu merupakan tantangan pokok bagi administrasi

dalam merancang dan mengelola badan – badan dan program – program publik. Tidak semua

pihak merasa puas dengan pendekatan – pendekatan tersebut. Munculnya pandangan –

pandangan mengenai etika administrasi menjelang akhir abad ke 20 ini justru berkaitan erat

dengan upaya

menundukkan etika atau moral sebagai prinsip utama (guiding principles) dalam administrasi.

Hal ini merupakan tema dari pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan deontologi.

Pendekatan ini berdasar pada prinsip – prinsip moral yang harus ditegakkan karena kebenaran

yang ada

dalam dirinya, dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan atau tindakan

yang dilakukan.

Asasnya adalah bahwa proses administrasi harus berlandaskan pada nilai – nilai moral yang

mengikat.

Pendekatan inipun, tidak hanya satu garisnya. Yang amat mendasar adalah pandangan yang

bersumber pada falsafah Immanuel Kant (1724-1809), yaitu bahwa moral adalah imperatif

dan kategoris, yang tidak membenarkan pelanggaran atasnya untuk tujuan apapin, meskipun

karena itu masyarakat dirugikan atau jatuh korban.

Berbeda dengan pandangan Kantian tersebut, adapula pandangan relativisme dalam moral

dan

kebudayaan, yang menolak kekuatan dan absolutism dalam memberi nilai pada moral.

Menurut pandangan ini suatu peradaban atau kebudayaan akan menghasilkan sistem nilainya

sendiri yang dapat tapi tidak harus selalu sama dengan peradaban atau kebudayaan lain. Dari
pokok pikiran tersebut berkembang pandangan – pandangan yang disebut situalionism yang

bertentangan dengan paham

universalism. Situation ethics ini intinya adalah bahwa determinan dari moralitas yang

ditetapkan senantiasa terkait dengan situasi tertentu. Dalam dunia praktik, yang menjadi dua

administrasi, masukkan nilai – nilai moral ke dalam administrasi meruapakan upaya yang

tidak mudah, karena harus mengubah pola pikir yang sudah lama menjiwai administrasi,

seperti yang dicerminkan oleh paham utilitarianism. Oleh karena memang per definisi

administrasi adalah usaha bersama untuk mencapai suatu tujuan, maka pencapaian tujuan itu

merupakan nilai utama dalam administrasi selama ini. Selanjutnya, Fox (1994)

mengetengahkan tiga pandangan yang menggambarkan pendekatan deontology dalam etika

administrasi ini. Pertama, pandangan mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama

berkembang konsep administrasi negara baru (antara lain Frederickson dan Hart, 1985).

Seperti telah diungkapkan di atas, menurut pandangan ini administrasi Negara haruslah

secara pro-aktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial (Social equity).

Pandangan ini tidak lepas dari pengaruh John Rawls (1971), dengan Theory of Justice-nya

yang menjadi rujukan dari berbagai teori pemerataan dan keadilan sosial.

Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh administrasi negara modern adalah

adanya ketidakseimbangan dalam kesempatan. Sehingga mereka yang kaya, memiliki

pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik memperoleh posisi yang senantiasa

menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan, secara etika, administrasi harus

membantu yang miskin, yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi.

Pandangan ini cukup berkembang meskipun didunia akademik banyak juga yang

mengkritiknya. Kedua, apa yang disebut regime values atau regime norms. Pandangan ini

bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwa etika administrasi negara harus

mengacu kepada nilainilai yang melandasi keberadaan negara yang bersangkutan. Dalam hal
ini ia merujuk pada konstitusi Amerika yang harus menjadi landasan etika administrasi

dinegara itu. Ketiga, tatanan moral universal atau universal moral order (antara lain

Denhardt, 1988, 1994). Pandangan ini berpendapat ada nilai-nilai moral yang bersifat

universal yang menjadi pegangan bagi administrator publik. Masalah disini adalah nilai-nilai

moral itu sendiri banyak dipertanyakan karena beragam sumbernya dan juga beragam

kebudayaan serta

peradabannya seperti telah diuraikan diatas. Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyak

kepustakaan etika administrasi yang membahas dan mengkaji etika kebajikan (ethics of

virtue). Etika ini

berbicara mengenai karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep ini

merupakan koreksi

terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan

(ethics as rules),yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsifungsiserta prosedur,

termasuk system insentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan aturan. Pandangan

etika kebajikan bertumpu pada

karakter individu. Pandangan ini, seperti juga pandangan administrasi negara baru, bersumber

dari konferensi Minnowbrook di New York pada akhir dasawarsa 1960- an, yang ingin

memperbaharui dan merevitalisasi bidang studi administrasi negara. Nilai-nilai kebajikan

inilah yang diharapkan dapat mengendalikan peran seseorang di dalam organisai sehingga

pencapaian tujuan organisasi senantiasa

berlandaskan nilai-nilai moral yang sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Tantangan selanjutnya adalah menemukan apa saja nilai-nilai kebajikan itu, atau lebih

tepatnya lagi nilainilai mana yang pokok (cardinal value), dan mana yang menjadi turunan

(derivative) dari nilai-nilai pokok itu.


Selanjutnya administrator yang baik (virtuous administrator) adalah yang berusaha, seperti

dikatakan

Hart (1994), agar kebajikan menjadi sentral dalam karakternya sendiri, yang akan

membimbing perilakunya dalam organisasi. Tidak berhenti disitu saja, administrator yang

baik berkewajiban moral untuk mengupayakan agar kebajikan juga menjadi karakter mereka

yang bekerja dibawahnya. Namun, dinyatakannya pula bahwa kebajikan tidak bisa

dipaksakan kepada yang lain karena kebajikan berasal dari diri masing – masing individu

(voluntary observance). Ia menekankan bahwa virtue does not yield

to social engineering. Disini Hart mengetengahkan pentingnya pendidikan kebajikan sejak

dini, serta

dilancarkannya kebijaksanaan program, praktik – praktik yang mendorong berkembangnya

nilai – nilai kebajikan dalam organisasi. Akhirnya, yang teramat penting adalah keteladanan.

Ia sendiri mengakui tidak ada orang yang dapat mencapai tingkat kebajikan ideal, karena itu

dalam etika kebajikan yang penting adalah proses untuk menginternalisasikannya

dibandingkan dengan hasilnya.

3. Apakah The Administration of Development

Ilmu Administrasi selalu mengikuti perkembangan zaman. Ilmu ini terus mengalami

perubahan-perubahan, penyempurnaan-penyempurnaan dan bahkan juga penambahan

cakupannya. Dalam artikel saya terdahulu, yang judulnya Bias Istilah Administrasi dan

Manajemen, saya merumuskan definisi Administrasi adalah : proses penataan usaha yang

timbul ketika sekelompok orang yang memiliki tujuan sama kemudian berinteraksi dalam

suatu organisasi, melakukan kerjasama dengan menggunakan instrumen dan sumber yang
mungkin terbatas. Dengan demikian, maka jika syarat-syarat seperti adanya sekelompok

orang, penataan usaha, kerjasama dan tujuan tertentu sudah terpenuhi, maka segala kegiatan

apapun itu bentuknya, sudah muncul apa yang disebut administrasi. Oleh karenanya cakupan

pembelajarannya sangatlah luas. Namun dalam artikel ini, saya hanya akan mencoba

mengulas sedikit mengenai pengertian Administrasi Pembangunan.

4. Pengertian Administrasi Pembangunan.

Sebelum memberikan definisi kerja dari administrasi pembangunan, Dr. S.P. Siagian, MPA,

memisahkan pokok pengertian dari administrasi pembangunan. Menurutnya administrasi

pembangunan meliputi dua pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan. Dalam bukunya

yang berjudul Filsafat Administrasi, 1973:13, dia mengemukakan bahwa : “administrasi

adalah keseluruhan proses pelaksanaan daripada keputusan-keputusan yang telah diambil

dan pelaksanaan itu pada umumnya ditentukan oleh dua orang manusia atau lebih untuk

mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.”

Dan mengenai pembangunan, dalam bukunya yang berjudul “Administrasi Pembangunan”,

SP. Siagian mendefinisikan sebagai: “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan

perobahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan

pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation-building).”

Dari definisi pembangunan menurut Siagian tersebut, maka jelas dapat kita lihat pokok-

pokok ide yang tersurat, yaitu adanya suatu proses yang terus menerus, usaha yang dilakukan

dengan perencanaan, orientasi pada perubahan yang signifikan dari keadaan sebelumnya,

memiliki arah yang lebih modern dalam artian luas yang mencakup seluruh aspek kehidupan

berbangsa dan bernegara, memiliki tujuan utama untuk membina bangsa.

Definisi kerja (working definition) dari Administrasi Pembangunan menurut Siagian adalah

“seluruh usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk memperbaiki tata kehidupannya
sebagai suatu bangsa dalam berbagai aspek kehidupan bangsa tersebut dalam rangka usaha

pencapaian tujuan yang telah ditentukan.”

Namun sekedar perbandingan untuk dapat memberikan rumusan definisi mengenai

administrasi pembangunan yang mudah diingat tanpa mengurangi unsur yang ada, ada

baiknya apabila kita juga melihat pendapat dari para cendekia yang lain.

Menurut Paul Meadows dalam bukunya “Motivation For Change and Development

Administration, 1968:86 mendefinisikan :”Development administration can be regarded as

the public management of economic and social change in term of deliberate public policy.

The development administrator is concerned with guiding change.”

Kurang lebih artinya sebagai berikut : Administrasi Pembangunan dapat didefinisikan sebagai

kegiatan mengatur masyarakat dibidang ekonomi dan perubahan sosial dalam hal menetapkan

kebijakan publik. Administrator pembangunan mempunyai kaitan dengan memandu

perubahan yang dimaksud.

Hiram S. Phillips mengemukakan bahwa :“The term of Development Administration is used

….. rather than the traditional term of Public Administration to indicate the need for a

dynamic process designed particularly to meet requirements of social and economics

changes.”

Kurang lebih maksudnya adalah :“Istilah Administrasi Pembangunan digunakan …..

berbanding dengan istilah Administrasi pemerintahan yang tradisional untuk menandai

adanya kebutuhan akan suatu proses yang dinamis, terutama sekali merancang untuk

menemukan kebutuhan berkaitan dengan perubahan sosial dan ekonomi.”

Edward W. Weidner lebih spesifik merumuskan sebagai berikut :“Development

administration is defined as administrative development and the administration of

development programmes. For the administration of the development, it is necessary that the

administrative machinery itself should be improved and developed to enable a well


coordinated and multi functional approach towards solving national problem on

development.”Kurang lebih arti dalam bahasa Indonesianya adalah:“Administrasi

Pembangunan menggambarkan sebagai suatu pengembangan yang administratif dan

administrasi dalam program pengembangan. Karena administrasi menyangkut

pengembangan, maka perlu bahwa perangkat yang administratif sendiri harus ditingkatkan

dan dikembangkan agar memungkinkan dalam mengkoordinir dan melakukan pendekatan

multi fungsional ke arah pemecahan masalah nasional pada dalam pembangunan.”

Bintoro Tjokroamidjojo dalam bukunya Pengantar Administrasi Pembangunan

mengemukakan bahwa:“Proses pengendalian usaha (administrasi) oleh negara/pemerintah

untuk merealisir pertumbuhan yang direncanakan ke arah suatu keadaan yang dianggap

lebih baik dan kemajuan di dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.”

Dari beberapa definisi tersebut, terdapat kesamaan ide pokok, yaitu :

Adanya suatu proses. Proses disini berarti suatu usaha yang dilakukan secara terus menerus.

Adanya administrator, dalam hal ini adalah pemerintah atau negara.

Adanya masyarakat.

Perubahan dan Modernisasi. Yang maksudnya adalah keinginan perubahan kearah yang

lebih baik yang multi dimensi, dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan

keamanan dan juga administrasi.

Maka, dengan berpedoman dan tanpa menghilangkan ke 4 (empat) pokok pemikiran diatas,

maka penulis mencoba merumuskan definisi mengenai Administrasi Pembangunan dalam

rangka mempermudah pemahamannya.

Administrasi Pembangunan menurut penulis adalah :“Proses yang dilakukan oleh

Administrator dalam upaya mendorong masyarakat kearah modernisasi yang multi-

dimensional secara administratif.”


5. Apakah cakupan dari The Development of Administration ?

Jawab :

Salah satu cakupan dari The Development of Administration adalah reformasi

administrasi.

Definisi reformasi administrasi

Reformasi administrasi menurut Lee dan Samonte (Nasucha, 2004) merupakan perubahan

atau inovasi secara sengaja dibuat dan diterapkan untuk menjadikan sistem administrasi

tersebut sebagai suatu agen perubahan sosial yang lebih efektif dan sebagai suatu instrumen

yang dapat lebih menjamin adanya persamaan politik, keadaan sosial dan pertumbuhan

ekonomi. Sedangkan menurut Khan (Guzman et.al., 1992), reformasi administrasi adalah

usaha-usaha yang memacu atau membawa perubahan besar dalam sistem birokrasi negara

yang dimaksudkan untuk mentransformasikan praktik, perilaku, dan struktur yang telah ada

sebelumnya.

Caiden (1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai the artificial inducement of

administrative transformation against resistance, dimana dapat diartikan bahwa reformasi

administrasi merupakan keinginan atau dorongan yang dibuat agar terjadi perubahan atau

transformasi di bidang administrasi. Sedangkan Quah (Nasucha, 2004) menyatakan bahwa

reformasi administrasi publik merupakan suatu proses untuk mengubah struktur ataupun

prosedur birokrasi publik yang terlibat dengan maksud untuk meningkatkan efektivitas

organisasi dan mencapai tujuan pembangunan nasional.

Mariani (Caiden, 1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai

La reforme administrative doit tendre a doter le Pays d’une administration qui, tout en
garantissant a son personnel le benefice des lois sociales, agira avec le maximum d’efficacite

et de celerite, aux moindres frais pour le contribuable, en imposant au public le minimum de

gene et de formalites

Reformasi administrasi harus bertujuan untuk membawa administrasi dalam suatu negara

selain memberikan jaminan hukum bagi para pegawai dalam pelaksanaan tugasnya, juga

memberikan tingkat kepastian hukum dan kecepatan pelayanan yang maksimal,

menimbulkan biaya yang minimal kepada para wajib pajak, dan pada saat yang bersamaan

meminimalkan ketidaknyamanan dan formalitas terhadap publik. Plowden (Guzman, 1992)

menyatakan bahwa reformasi administrasi adalah meningkatkan dan membuat administrasi

menjadi lebih profesional. Sedangkan UN DTCD (Guzman, 1992) menyatakan reformasi

administrasi merupakan penggunaan kekuasaan dan pengaruh dalam menetapkan ukuran

yang baru bagi sistem administrasi sehingga mereka akan merubah tujuan, struktur dan

prosedur sebagai upaya untuk mencapai tujuan pembangunan. Finan (Caiden, 1969)

menyatakan reformasi administrasi sebagai segala macam bentuk pengembangan administrasi

(all improvements in administrations). Sedangkan Siegel (Caiden, 1969) menyatakan

reformasi administrasi sebagai perubahan atau perombakan secara besar-besaran terhadap

administrasi dalam kondisi yang sulit.

Caiden (Zauhar, 2002) dengan jelas membedakan antara reformasi administrasi

(administrative reform) dan perubahan administasi (administrative change). Perubahan

administrasi diberi makna sebagai respon keorganisasian yang sifatnya otomatis terhadap

fluktuasi atau perubahan kondisi. Lebih lanjut dikatakan bahwa munculnya kebutuhan akan

reformasi administrasi sebagai akibat adanya perubahan administrasi. Tidak berfungsinya

perubahan administrasi yang alamiah ini menyebabkan diperlukannya reformasi administrasi.

Caiden (1991) juga menyatakan bahwa reformasi administrasi sebagai upaya yang terus

menerus untuk meningkatkan kinerja (performance) dan kegiatan untuk melakukan perbaikan
atas kesalahan yang dilakukan (correction of wrongdoing).

Sebuah seminar tentang administrative reform and innovations yang diselenggarakan oleh

pemerintah Malaysia bekerja sama dengan Eastern Regional Organizational for Public

Administration (EROPA) telah menyepakati bahwa reformasi administrasi tidak hanya

diartikan sebagai perbaikan struktur organisasi, akan tetapi meliputi pula perbaikan perilaku

orang yang terlibat di dalamnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan terencana

untuk mengubah:

1. Struktur dan prosedur birokrasi

2. Sikap dan perilaku birokrat, guna meningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya

administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional.

Dari berbagai definisi reformasi administasi tersebut, dapat ditarik beberapa poin penting

antara lain: reformasi administrasi disinonimkan dengan perubahan (change), memiliki

hubungan yang sangat erat dengan inovasi (innovation), agar reformasi administrasi ini dapat

berjalan dengan baik maka dibutuhkan perubahan secara sistemik dan bersifat luas, faktor

utama dilakukannya reformasi administrasi adalah cepatnya perubahan lingkungan sistem

administrasi, dan tujuan dari reformasi administrasi adalah untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas.

Berdasarkan beberapa pengertian reformasi administrasi yang telah dikemukakan oleh

beberapa ahli diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa reformasi administrasi merupakan

suatu upaya perbaikan yang dilakukan secara terencana dan terus-menerus di segala aspek

administrasi yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja administrasi.


8. Tujuan reformasi administrasi

Mosher (Leemans) berpendapat bahwa tujuan dari reformasi administrasi adalah merubah

kebijakan dan program, meningkatkan efektivitas administrasi, meningkatkan kualitas

sumber daya manusia, dan melakukan antisipasi terhadap kritikan dan ancaman dari luar.

Menurut Caiden (1969), tugas dari para pelaku reformasi administrasi adalah untuk

meningkatkan kinerja administrasi bagi individual, kelompok, dan institusi dan memberikan

masukan tentang cara-cara yang dapat ditempuh untuk dapat mencapai tujuan dengan lebih

efektif, ekonomis dan lebih cepat. Dror (Zauhar, 2002) berpendapat bahwa reformasi pada

hakekatnya merupakan usaha yang berorientasi pada tujuan yang bersifat multidimensional.

Terdapat 6 (enam) tujuan reformasi yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar,

tiga tujuan reformasi bersifat intra-administrasi yang ditujukan untuk menyempurnakan

administrasi internal dan tiga tujuan reformasi lainnya berkenaan dengan peran masyarakat di

dalam sistem administrasi.

Tujuan internal reformasi administrasi yang dimaksud meliputi:

1. Efisiensi administrasi, dalam arti penghematan uang, yang dapat dicapai melalui

penyederhanaan formulir, perubahan prosedur, penghilangan duplikasi dan kegiatan

organisasi metode yang lain.

2. Penghapusan kelemahan atau penyakit administrasi seperti korupsi, pilih kasih dan sistem

teman dalam sistem politik dan lain-lain.

3. Pengenalan dan penggalakan sistem merit, pemakaian PPBS, pemrosesan data melalui

sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah dan lain-lain.
Sedangkan tiga tujuan lain yang berkaitan dengan masyarakat adalah:

1. Menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat.

2. Mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan sistem politik, seperti

misalnya meningkatkan otonomi profesional dari sistem administrasi dan meningkatkan

pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan.

3. Mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi

pusat-pusat kekuasaan.

Pollitt (2003) berpendapat bahwa terdapat tiga tujuan untuk melakukan reformasi antara lain:

1. Penghematan (to save money)

Terjadinya krisis ekonomi yang melanda dunia yang memaksa pemerintah untuk melakukan

gerakan pemangkasan anggaran (scissors movement). Pemangkasan anggaran ini dilakukan

karena meningkatnya dana yang dikeluarkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

(welfare cost) sedangkan kesempatan untuk menarik pajak baru dari masyarakat menipis.

Pemangkasan pengeluaran publik merupakan agenda utama dari pemerintah.

2. Keinginan untuk memperbaiki kinerja sektor publik. Beberapa pejabat politik dan pejabat

pemerintah percaya bahwa dengan meningkatkan kinerja sektor publik, dapat membantu

pemerintah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang pada

akhirnya akan meningkatkan legitimasi pemerintah. Upaya-upaya yang dapat dilakukan

antara lain dengan meningkatkan kualitas layanan dan produktivitas.

3. Menemukan mekanisme baru bagi akuntabilitas publik, hal ini disebabkan adanya berbagai

pola berbeda yang digunakan pejabat pemerintah dan aktor politik dalam melakukan

pertanggungjawaban terhadap publik.

Sedangkan Hahn Been Lee (Zauhar, 2002) berpendapat bahwa terdapat tiga tujuan
dilakukannya reformasi administasi antara lain:

1. Penyempurnaan Tatanan (improved order)

Keteraturan atau order merupakan kebajikan yang melekat dalam pemerintahan. Apabila

yang ingin dituju adalah penyempurnaan tatanan, mau tidak mau reformasi harus

diorientasikan pada penataan prosedur dan kontrol. Yang sangat diperlukan oleh

administrator dalam era baru ini adalah menghadang agen pembaru. Sebagai konsekuensi

logisnya maka birokrasi yang kokoh dan tegar perlu segera dibangun. Tipe reformasi yang

dilakukan dengan penyempurnaan tatanan disebut dengan reformasi prosedural (procedural

reform).

2. Penyempurnaan Metode (improved method)

Penyempurnaan yang dilakukan adalah dalam bidang teknis dan metode kerja. Teknik dan

metode yang baru ini dapat dikatakan bermanfaat bila bisa mencapai tujuan-tujuan yang lebih

luas. Apabila tujuan dari reformasi administrasi diartikulasikan dengan baik dan secara

efektif diterjemahkan ke dalam berbagai program aksi yang nyata, penyempurnaan metode

akan memperbaiki implementasi program, yang pada akhirnya akan meningkatkan realisasi

pencapaian tujuan. Tipe reformasi yang dilakukan dengan penyempurnaan metode disebut

dengan reformasi teknis (technical reform).

3. Penyempurnaan Kinerja (improved permormance)

Penyempurnaan kinerja lebih bernuansa tujuan dalam substansi program kerjanya dari pada

penyempurnaan keteraturan maupun penyempurnaan metode teknis administratif. Fokus

utamanya adalah pada pergeseran dari bentuk ke substansi, pergeseran dari efisiensi dan

ekonomis ke efektifitas kerja, pergeseran dari kecakapan birokrasi ke kesejahteraan

masyarakat. Tipe reformasi yang dilakukan dengan penyempurnaan kinerja disebut dengan

reformasi program (programmatic reform).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli yang telah dijabarkan diatas, dapat disimpulkan
bahwa secara umum tujuan reformasi administrasi adalah untuk meningkatkan kinerja

(performance) organisasi.

Bagaimanakah teori dan konsep dalam pembangunan ?

Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma besar,

modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995 dalam Tikson,

2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi

dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses

perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-

development) ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system

theory) sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya

kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan

ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul berbagai versi

tentang pengertian pembangunan.

Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan.

Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan.

Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah berkembang, mulai dari

perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi

oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pendahuluan

pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema pokok

yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu

upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap

warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho

dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada

perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua

adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa
pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan.

Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang

terpercaya yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai

aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada

pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat.

Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam

seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang

dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain.

Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk

melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).

Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau

rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh

suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa

(nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang

lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya

yang dilakukan secara terencana”.

Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang

mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan

industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran tersebut

didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi

serta industrialisasi, secara keseluruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu,

keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing

mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang

berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi

dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).


Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial,

seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan,

dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai

transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang

direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai

transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi

menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat

melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa,

sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi

sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan

industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui

pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya

sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan

partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering

dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping

adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan

spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada

penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.

Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat,

ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro

(commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan

(progress), pertumbuhan dan diversifikasi.

Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses

perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan
perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari

adanya pembangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).

Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat yang menyangkut

berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang

ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat mempengaruhi

kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, modernisasi diartikan sebagai proses trasformasi dan

perubahan dalam masyarakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial,

budaya, dan sebagainya.

Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah

pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses

pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi modern,

yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern,

menggantikan alat-alat yang tradisional.

Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, para

Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep pembangunan

secara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan sebagai suatu upaya untuk

melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju

arah peningkatan dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsikan bahwa

pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring dengan perkembangannya hingga saat ini

belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi

untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisahkan secara tegas batasannya,

Siagian (1983) dalam bukunya Administrasi Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan

sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat

yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan
menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif

maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan

dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya

pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan. Dalam hal

ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/perluasan (expansion) atau peningkatan

(improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.

Dari sejarah perubahan dalam mengkonseptualisasikan pembangunan, terdapat berbagai

variasi cara mendefinisikan pembangunan. Mula-mula pembangunan hanya diartikan dalam

arti ekonomi, namun berkembang pemikiran, bahwa pembangunan tidak hanya diartikan

dalam arti ekonomi, tetapi pembangunan dilihat sebagai suatu konsep yang dinamis dan

bersifat multidimensional atau mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, seperti;

ekonomi, politik, sosial budaya, dan sebagainya.

Berbagai istilah yang sering digunakan saling bergantian dalam menjelaskan pengertian

pembangunan, seperti; perubahan, pertumbuhan, kemajuan, dan modernisasi. Akan tetapi

istilah-istilah tersebut tidak sama makna dari arti pembangunan, karena pembangunan

merupakan rujukan semua yang baik, positif, dan menyenangkan. Sementara perubahan,

pertumbuhan, kemajuan, maupun modernisasi dapat saja terjadi tanpa unsur pembangunan.

Dilihat dari arti hakiki pembangunan, pada dasarnya menekankan pada aspek nilai-nilai

kemanusiaan, seperti; menunjang kelangsungan hidup atau kemampuan untuk memenuhi

kebutuhan hidup, harga diri atau adanya perasaan yang layak menghormati diri sendiri dan

tidak menjadi alat orang lain, kebebasan atau kemerdekaan dari penjajahan dan perbudakan.

Selain itu, arti pembangunan yang paling dalam adalah kemampuan orang untuk

mempengaruhi masa depannya, yang mencakup; kapasitas, keadilan, penumbuhan kuasa dan

wewenang, dan saling ketergantungan.


Pengertian pembangunan sebagai suatu proses, akan terkait dengan mekanisme sistem atau

kinerja suatu sistem. Menurut Easton (dalam Miriam Budiardjo, 1985), proses sistemik paling

tidak terdiri atas tiga unsur: Pertama, adanya input, yaitu bahan masukan konversi; Kedua,

adanya proses konversi, yaitu wahana untuk ”mengolah” bahan masukan; Ketiga, adanya

output, yaitu sebagai hasil dari proses konversi yang dilaksanakan. Proses sistemik dari suatu

sistem akan saling terkait dengan subsistem dan sistem-sistem lainnya termasuk lingkungan

internasional.

Proses pembangunan sebagai proses sistemik, pada akhirnya akan menghasilkan keluaran

(output) pembangunan, kualitas dari output pembangunan tergantung pada bahan masukan

(input), kualitas dari proses pembangunan yang dilaksanakan, serta seberapa besar pengaruh

lingkungan dan faktor-faktor alam lainnya. Bahan masukan pembangunan, salah satunya

adalah sumber daya manusia, yang dalam bentuk konkritnya adalah manusia. Manusia dalam

proses pembangunan mengandung beberapa pengertian, yaitu manusia sebagai pelaksana

pembangunan, manusia sebagai perencana pembangunan, dan manusia sebagai sasaran dari

proses pembangunan (as object).

Secara ilmu, pembangunan ekonomi, politik dapat diklasifikasi secara sosiologis ke dalam

tiga kategori. Pertama, masyarakat yang masih bersifat tradisional; kedua adalah masyarakat

yang bersifat peralihan; dan ke tiga adalah masyarakat maju. Ke tiga kategori tersebut saling

berkaitan, karena berada dalam satu negara. Semua negara di dunia masih mempunyai tiga

kategori tersebut, meskipun dalam negara modern sekalipun. Hanya dalam negara maju lebih

mempunyai kondisi sosial yang stabil, bila dibandingkan dengan kategori dari yang pertama

dan ke dua.

B. Teori Pembangunan
Sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teori-teori pembangunan

dikelompokkan atas tiga, yaitu; kelompok Teori Modernisasi, kelompok Teori

Ketergantungan, dan kelompok Teori Pasca-Ketergantungan.

Dalam Teori Modernisasi, teori Harrod-Domar melihat masalah pembangunan pada dasarnya

adalah masalah kekurangan modal. Berbeda dengan teori Rostow, yang melihat

pembangunan sebagai proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat

terbelakang ke masyarakat maju.

Rostow membagi proses pembangunan menjadi lima tahap, yaitu; masyarakat tradisional,

prakondisi untuk lepas landas, lepas landas, menuju ke dewasaan, dan zaman konsumsi

massal yang tinggi.

Teori Modernisasi mendapat kritikan dari Teori Ketergantungan. Andre Gunder Frank

melihat hubungan dengan negara metropolis selalu berakibat negatif bagi negara satelit.

Berbeda dengan pandangan Dos Santos, yang melihat ketergantungan negara satelit hanya

merupakan bayangan dari negara metropolis. Artinya, perkembangan negara satelit

tergantung dari perkembangan negara metropolis yang menjadi induknya. Demikian

sebaliknya, krisis negara metropolis, negara satelitnya pun kejangkitan krisis.

Adapun bentuk ketergantungan terdiri atas tiga; ketergantungan kolonial, ketergantungan

finasial-industrial, dan ketergantungan teknologis-industrial.

Selanjutnya, Teori ketergantungan mendapat kritik, misalnya dari Teori Artikulasi dan Teori

Sistem Dunia. Kedua teori ini merupakan dua teori baru dalam kelompok teori-teori

pembangunan, khususnya dalam kelompok Teori Pasca-Ketergantungan. Teori Artikulasi

menekankan pada konsep formasi sosial yang dikaitkan dengan konsep cara produksi.

Adapun Teori Sistem Dunia melihat bahwa dinamika perkembangan dari suatu negara sangat

ditentukan oleh sistem dunia.

C. Pendekatan dan Indikator Pembangunan


Terdapat berbagai pendekatan dan upaya untuk mengukur hasil pembangunan. Salah satu

yang paling luas digunakan adalah pendekatan pertumbuhan ekonomi, dengan menggunakan

PNB atau PDB sebagai kriteria ukuran keberhasilan pembangunan. Namun, muncul

pendekatan pemerataan sebagai reaksi terhadap pendekatan pertumbuhan ekonomi, karena

pendapatan tidak merata pada seluruh penduduk. Secara sederhana pemerataan diukur dengan

berapa besarnya pendapatan yang diterima oleh 40 persen kelompok bawah, berapa besarnya

pendapatan yang diterima oleh 40% kelompok menengah, dan berapa besarnya pendapatan

yang diterima oleh 20% kelompok atas. Indeks Gini merupakan salah satu cara yang biasa

digunakan untuk mengukur ketimpangan pembagian pendapatan masyarakat.

Pendekatan kebutuhan dasar adalah salah satu cara lain untuk melihat tingkat keberhasilan

pembangunan. Indikator yang biasa digunakan adalah Indeks Mutu Kehidupan Fisik atau

Physical Quality of Life Index (PQLI). PQLI mengukur tiga komponen, yaitu; harapan hidup,

kematian bayi, dan melek huruf. Kemudian Sajogyo dan Abustam mencoba menambahkan

satu komponen dari IMH tersebut, yaitu Total Fertility Rate (TFR), yang dinamakan IMH-

plus atau IMH berkomponen empat.

Terakhir, pendekatan pembangunan sumber daya manusia adalah suatu model pembangunan

yang mencoba meletakkan diri manusia sebagai unsur mutlak dalam proses pembangunan.

Tujuan utama pembangunan manusia adalah memperluas pilihan-pilihan dan membuat

pembangunan lebih demokratis dan partisipatoris. Salah satu indikator yang digunakan

adalah Indeks Pembangunan Manusia. Indeks ini menggabungkan pendapatan nasional dan

dua indikator sosial, yakni melek huruf dan harapan hidup. Jadi bedanya dengan indeks mutu

manusia adalah dimasukkannya pendapatan nasional.

Contoh pembangunan yang sangat diperlukan dalam pembangunan di indonesia adalah salah

satu contohnya pembangunan masyarakat. Pembangunan masyarakat adalah perubahan

secara berencana dan dilakukan secara berencana pula dari keadaan yang kurang baik,
menuju pada keadaan yang lebih baik. Pembangunan masyarakat ini, meliputi dua dimensi

utama, yakni dimensi struktural “vertikal”, dan dimensi “horisontal”.

Model pembangunan ini bertujuan untuk membatasi kesenjangan dalam masyarakat, agar

lebih memungkinkan terjadinya proses partisipasi (empowerment). Hal ini diharapkan terjadi

agar tercipta peluang kepada anggota masyarakat untuk mengaktualisasikan potensi, prakarsa

maupun kreativitasnya untuk memperkuat solidaritas dan persatuan nasional.

Ciri-ciri model pembangunan, antara lain; bertolak dari konsep komunitas; menganut prinsip

distribusi kekuasaan yang merata; mengutamakan distribusi pelayanan yang merata kepada

segenap anggota komunitas; pelaksanaan kegiatan dalam pembangunan berdasarkan pada

pendekatan program; peranan pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan, lebih

berperan sebagai fasilitator; penekanan kegiatan pada aspek dapat lebih untuk memandirikan

masyarakat (mengutamakan aspek pendidikan dalam arti luas); program kegiatannya

berkesinambungan (berkelanjutan) antara satu periode ke periode berikutnya.

Beberapa Teori Pembangunan Masyarakat

Teori pembangunan masyarakat mencakup tiga pembahasan utama, yakni teori pembangunan

masyarakat sebagai proses; teori pembangunan masyarakat sebagai cara (metode); dan teori

yang berkaitan dengan peranan program di dalam pembangunan masyarakat. Teori

pembangunan masyarakat sebagai proses, berlandaskan pada pendekatan sistem dalam

pengelolaan pembangunan. Sistem adalah suatu kesatuan utuh yang terdiri dari berbagai

bagian, di mana bagian tersebut saling berinteraksi satu sama lain.

Bagian-bagian yang ada dalam teori pembangunan masyarakat sebagai proses, yakni input

(masukan), proses konversi, dan output (luaran). Input yang berasal dari lingkungan

(lingkungan fisik dan sosial), selanjutnya dikonversi untuk dijadikan sebagai output proses

pembangunan. Ada satu tahap yang sangat penting pula dalam pendekatan ini, yakni proses

umpan balik (feed back) dari output menjadi input kembali.


Teori pembangunan masyarakat sebagai metode, yang diuraikan di sini adalah teori tentang

partisipasi masyarakat. Teori menghendaki bahwa partisipasi masyarakat dalam

pembangunan, tidak hanya bersifat keikutsertaan secara fisik dalam kegiatan pembangunan,

tetapi yang lebih penting bagaimana melibatkan masyarakat secara mental yang disertai

motivasi dalam program pembangunan. Ini sebabnya dalam kegiatan belajar ini, diutarakan

beberapa metode yang terbukti telah efektif dalam memobilisasi peranserta masyarakat dalam

berbagai pembangunan masyarakat. Keberadaan suatu program pembangunan masyarakat di

suatu komunitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional secara

umum. Pada bagian terakhir kegiatan belajar ini, diuraikan tentang substansi program dan

tahap-tahap dalam penyelenggaraan pembangunan masyarakat.

Teori Sumber daya manusia memandang mutu penduduk sebagai kunci pembangunan dan

pengembangan masyarakat. Banyak penduduk bukan beban pembangunan bila mutunya

tinggi. Pengembangan hakikat manusiawi hendaknya menjadi arah pembangunan. Perbaikan

mutu sumber daya manusia akan menumbuhkan inisiatif dan kewirausahaan. Teori sumber

daya manusia diklasifikasikan kedalam teori yang menggunakan pendekatan yang

fundamental.

Community development juga bisa didefinisikan sebagai pertumbuhan, perkembangan dan

kemajuan masyarakat lingkungan dalam aspek material dan spiritual tanpa merombak

keutuhan komunitas dalam proses perubahannya. Keutuhan komunitas dipandang sebagai

persekutuan hidup atas sekelompok manusia dengan karakteristik: terikat pada interaksi

sosial, mempunyai rasa kebersaman berdasarkan genealogis dan kepentingan bersama,

bergabung dalam satu identitas tertentu, taat pada norma-norma kebersamaan, menghormati

hak dan tanggung jawab berdasarkan kepentingan bersama, memiliki kohesi sosial yang

kuat, dan menempati lingkungan hidup yang terbatas.


Pengembangan masyarakat (community development) sebagai salah satu model pendekatan

pembangunan (bottoming up approach) merupakan upaya melibatkan peran aktif

masyarakat beserta sumber daya lokal yang ada. Dan dalam pengembangan masyarakat

hendaknya diperhatikan bahwa masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat, yang

kemungkinan sebagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial.

Adapun pertimbangan dasar dari pengembangan masyarakat adalah yang pertama,

melaksanakan perintah agama untuk membantu sesamanya dalam hal kebaikan. Kedua,

adalah pertimbangan kemanusiaan, karena pada dasarnya manusia itu bersaudara. Sehingga

pengembangan masyarakat mempunyai tujuan untuk membantu meningkatkan kemampuan

masyarakat, agar mereka dapat hidup lebih baik dalam arti mutu atau kualitas hidupnya.

Secara umum ada beberapa pendekatan dalam pengembangan masyarakat, diantaranya

adalah:

Pendekatan potensi lingkungan, hal ini berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang ada

pada masyarakat setempat.

Pendekatan Kewilayahan, hal ini berkaitan dengan pengembangan terhadap wilayah dalam

arti kesesuaian dengan wilayahnya (desa/kota) terhadap hal yang akan dikembangkan.

Pendekatan kondisi fisik, lebih pada kondisi fisik manusianya.

Pendekatan ekonomi, hal ini berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat.

Pendekatan politik.

Pendekatan Manajemen, Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan pndataan terhadap

potensi, kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat kemudian dilakukan dengan

perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, bugeting dan controlling. Model pendekatan

ini sebenarnya dapat dilakukan dalam masyarakat yang bermacam-macam

(pedesaan,perkotaan, marjinal, dan lain-lain).

Pendekatan sistem, Pendekatan ini melibatkan semua unsur dalam masyarakat


Indikator Pengukuran Keberhasilan Pembangunan

Penggunaan indikator dan variabel pembangunan bisa berbeda untuk setiap Negara. Di

Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan pembangunan mungkin masih

sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar seperti listrik masuk desa, layanan kesehatan pedesaan,

dan harga makanan pokok yang rendah. Sebaliknya, di Negara-negsara yang telah dapat

memenuhi kebutuhan tersebut, indicator pembangunan akan bergeser kepada factor-faktor

sekunder dan tersier (Tikson, 2005).

Sejumlah indicator ekonomi yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga internasional

antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB), struktur perekonomin, urbanisasi, dan

jumlah tabungan. Disamping itu terdapat pula dua indicator lainnya yang menunjukkan

kemajuan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa atau daerah yaitu Indeks Kualitas

Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Berikut ini, akan disajikan

ringkasan Deddy T. Tikson (2005) terhadap kelima indicator tersebut :

1. Pendapatan perkapita

Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah satu indikaor

makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Dalam

perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan bagian kesejahteraan manusia yang dapat

diukur, sehingga dapat menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator makroekonomi yang tidak bisa

diabaikan, walaupun memiliki beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan

nasional, selama ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga.

Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara otomatis

ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi).

Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini mengabaikan pola
distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan

pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.

2. Struktur ekonomi

Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan

transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas sosial. Dengan adanya

perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita, konstribusi sektor manupaktur/industri

dan jasa terhadap pendapatan nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri

dan perbaikan tingkat upah akan meningkatkan permintaan atas barang-barang industri, yang

akan diikuti oleh perkembangan investasi dan perluasan tenaga kerja. Di lain pihak ,

kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.

3. Urbanisasi

Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di

wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi dikatakan tidak terjadi

apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan

pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi

penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengn proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa

kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di

Negara-negara industri, sebagain besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di

Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan.

Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu indicator pembangunan.

4. Angka Tabungan

Perkembangan sector manufaktur/industri selama tahap industrialisasi memerlukan investasi

dan modal. Finansial capital merupakan factor utama dalam proses industrialisasi dalam

sebuah masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada umumnya Eropa pada awal

pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi industri. Dalam masyarakat yang
memiliki produktivitas tinggi, modal usaha ini dapat dihimpun melalui tabungan, baik swasta

maupun pemerintah.

5. Indeks Kualitas Hidup

IKH atau Physical Qualty of life Index (PQLI) digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan

kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibuat indicator makroekonomi tidak dapat memberikan

gambaran tentang kesejahteraan masyarakat dalam mengukur keberhasilan ekonomi.

Misalnya, pendapatan nasional sebuah bangsa dapat tumbuh terus, tetapi tanpa diikuti oleh

peningkatan kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1) angka rata-rata

harapan hidup pada umur satu tahun, (2) angka kematian bayi, dan (3) angka melek huruf.

Dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan kematian b yi akan dapat

menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan keluarga yang

langsung beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka

melek huruf, dapat menggambarkan jumlah orang yang memperoleh akses pendidikan

sebagai hasil pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat, karena

tingginya status ekonomi keluarga akan mempengaruhi status pendidikan para anggotanya.

Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling baik untuk mengukur

kualitas manusia sebagai hasil dari pembangunan, disamping pendapatan per kapita sebagai

ukuran kuantitas manusia.

6. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)

The United Nations Development Program (UNDP) telah membuat indicator pembangunan

yang lain, sebagai tambahan untuk beberapa indicator yang telah ada. Ide dasar yang

melandasi dibuatnya indeks ini adalah pentingnya memperhatikan kualitas sumber daya

manusia. Menurut UNDP, pembangunan hendaknya ditujukan kepada pengembangan

sumberdaya manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah

proses yang bertujuan m ngembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh manusia.
Hal ini didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan diikuti

oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup manusia secara bebas.

Pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai factor penting dalam kehidupan manusia, tetapi

tidak secara otomatis akan mempengaruhi peningkatan martabat dan harkat manusia. Dalam

hubungan ini, ada tiga komponen yang dianggap paling menentukan dalam pembangunan,

umur panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan, dan peningkatan

terhadap akses untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini dibuat dengagn

mengkombinasikan tiga komponen, (1) rata-rata harapan hidup pada saat lahir, (2) rata-rata

pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMU, (3) pendapatan per kapita yang dihitung

berdasarkan Purchasing Power Parity. Pengembangan manusia berkaitan erat dengan

peningkatan kapabilitas manusia yang dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge,

attitude dan skills, disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga dan lingkungannya.

Tujuan akhir dari pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam arti

luas (kesejahteraan lahir mapun bathin). Kesejahteraan lahir akan terkait dengan tingkat

kehidupan baik yang menyangkut ekonomi maupun strata sosial, sementara kesejahteraan

bathin akan berkaitan dengan believe system yang ada pada dirinya. Bagaimana manusia

memahami dirinya (self understanding), menerima dirinya (self acceptance) serta bagaimana

cara dia mengaktualisasikan dirinya (self actualization) sehingga merasa puas (satisfaction).

Dalam dunia Pewayangan sering ada pertanyaan “Urang teh ti mana ?, eukeur naon ?, bade

kamana ?”. Hal ini senada dengan ajaran Islam yang membagi kehidupan manusia meliputi

“Alam arwah, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat”. Manusia sejahtera secara bathin

bila “konsep dirinya merasa puas serta memahami tugas dan fungsinya sebagai khalifah di

muka bumi”. Sebagai khalifah mempunyai tugas memelihara bumi ini agar tidak terjadi

kerusakan, dan fungsinya untuk menjaga keseimbangan alam melalui akal dan pikitran serta

nuraninya (qolbu), sehingga alam berfungsi sebagaimana mestinya.


Demi kelangsungan hidupnya manusia selalu berupaya memenuhi kebutuhan diri serta

mengatasi tantangan dan hambatan lingkungan alam dan sosialnya. Untuk itu selalu berupaya

melakukan penciptaan-penciptaan (kreativitas) yang mengkristal menjadi kebudayaan.

Pembangunan pada intinya merupakan penciptaan-penciptaan dalam memenuhi tuntutan

hidup dan mengatasi tantangan lingkungan alam dan sosial. Seperti penciptaan kegiatan

lapangan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi, penciptaan pendidikan dan

pelatihan untuk meningkatkan daya nalar dan kreativitas agar terjadi akulturasi kebudayaan

yang tetap mempertahankan nilai-nilai yang telah berkembang.

Pada saat ini, indikator keberhasilan pembangunan terdiri atas bagaimana tingkat

pengembangan sumber daya manusia (Indeks Pembangunan Manusia/ human development

index/HDI), tingkat pencapaian ekonomi dan tingkat keseimbangan alam (ekosistem). Ketiga

aspek tersebut memiliki keterkaitan dan ketergantungan (interrelasi dan interdependensi).

Indeks Pembangunan Manusia merupakan indeks dari angka harapan hidup (AHH), angka

Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), Angka Melek Hurup (AMH), dan kemampuan daya beli

(Purchasing Power Parity/PPP). Sementara tingkat pencapaian ekonomi meliputi Laju

Pertumbuhan Ekonomi (LPE), inplasi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),

dengan sembilan lapangan usahanya (pertanian-peternakan-kehutanan-perikanan,

pertambanagn-penggalian, industri pengolahan, listrik-gas-air bersih, bangunan,

perdagangan-hotel-restran, penganggkutan-komunikasi, keuangan-persewaan-jasa

perusahaan-dan jasa-jasa lainnya. Keseimbangan alam dan lingkungan berkaitan dengan Laju

Pertumbuhan Penduduk (LPP), pelestarian lingkungan hidup (hewani-hayati), serta tingkat

kerusakan dan pencemaran lingkungan (polusi udara, air, tanah) yang secara nyata

berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat.

Terkait dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), ada tiga bidang yang terkait

didalamnya yaitu bidang pendidikan, kaitan dengan capaian Angka Melerek Hurup (AMH)
dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), bidang kesehatan kaitan dengan Angka Harapan Hidup

(AHH) dan bidang ekonomi kaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat (PPP).

Walaupun AMH dan RLS belum menggambarkan kualitas pendidikan secara menyeluruh,

tapi itulah yang disepakati dunia internasional sebagai indikator, dalam hal ini yaitu UNDP.

Permasalahan dan tugas kita adalah bagaimana kita merancang pembangunan agar indikator

tersebut dapat diraih dengan penekanan pada kualitas pendidikan. Inti dari proses pendidikan

adalah tansfer of knowledge and transfer of value. Selain memenuhi standar tersebut, maka

kita perlu memikirkan bagaimana proses pendidikan berjalan dengan pemerataan kesempatan

menuju indikator RLS, kita pikirkan juga bagaimana kualitas proses dalam melakukan tansfer

of knowledge dan transfer of value-nya serta muatan nilai-nilai seperti apa yang disampaikan

sehingga pada gilirannya dapat membentuk kualitas warga belajar/peserta didik yang disatu

sisi dapat mencerminkan budaya masyarakat setempat secara komunal, tetapi juga dapat

mencerminkan komunitas modern yang senapas dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi internasional.

Untuk itu, mungkin fokus kita akan diarahkan kepada: (1) Pemerataan kesempatan belajar

(dengan segala pola dan bentuknya), (2) kualitas proses belajar yang syarat nilai-nilai

(value), (3) Kualitas hasil dengan orientasi pada pembentukan sikap dan kebiasaan (habbit

and attitude), yang pada gilirannya akan membentuk manusia yang berkarakter.

Dalam penangannya tentu tidak berdiri sendiri melainkan dikolaborasikan dengan sistem lain

diantaranya dengan peningkatan pendapatan (ekonomi), memperhatikan kelestarian

lingkungan hidup, dengan peningkatan derajat kesehatan, serta membuka diri dengan sistem

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dikarenakan ketiga aspek tersebut di atas,

memiliki interrelasi dan interdependensi, maka dalam perkembangannya harus seiring dan

sejalan. Agar kondisi tersebut dapat dicapai maka perlu suatu kreativitas (melalui nalar,
wawasan, pengetahuan, nurani, keyakinan-keimanan) sehingga melahirkan budaya baru

dalam masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai dan falsapah kehidupan.

Oleh karena itu dalam implementasi (pelaksanaan) pembangunan akan banyak dipengaruhi

oleh local community and environment, dalam arti pola dan bentuknya akan tergantung

kepada masyarakat dan lingkungan lokal.

Hambatan-hambatan Dalam Pembangunan

Masyarakat yang terbelakang masih sangat tradisional sekali. Mereka masih terikat dengan

nilai-nilai asli dan juga masih memiliki kerinduan untuk memelihara nilai-nilai tersebut.

Biasanya selalu dikaitkan dengan kebudayaan atau adat istiadat lokal. Dalam masyarakat

yang tradsional tidak memberikan peluang cukup untuk terjadinya perubahan-perubahan serta

tumbuhnya kekuatan-kekuatan pembaharuan dalam masyarakat. Yang menyebabkan hal

tersebut sangat kompleks sekali, seperti: kolonialisme dan feodalisme. Kondisi

keterbelakangan juga dapat dilihat dari bidang ekonomi dan pendidikan. Penyebab utama

untuk hal ini adalah adanya keterbatasan yang amat parah dalam pendapatan, modal dan

ketrampilan. Hal tersebut juga menyebabkan kemiskinan masyarakat yang berkepanjangan.

Di Indonesia, hal itu disebabkan karena penyebaran penduduk yang tidak merata dan tingkat

urbanisasi yang sangat tinggi. Tingkat pendapatan buruh tani di pedesaan yang sangat rendah

dan upah buruh di masyarakat industri yang belum mencapai UMR. Gulungtikarnya

perusahaan-perusahaan besar telah menyebabkan angka pengangguran yang sangat tinggi.

Ditambah lagi dengan oportunisme di kalangan elit politik, telah menyebabkan ketidak

stabilan di bidang politik. Hal-hal ini telah menyebabkan terpuruknya ekonomi rakyat dan

mempercepat pemerataan kemiskinan masyarakat Indonesia. Untuk perubahan sosial-

ekonomi dibutuhkan aparatur negara yang bersih dan pendidikan masyarakat yang memadai.

Bagaimanakah Dimensi spasial dalam Administrasi Pembangunan ?


Pertimbangan dimensi ruang dan daerah dalam administrasi pembangunan memiliki berbagai

cara pandang atau pendekatan (Heaphy,1971). Pertama, menyebutkan bahwa dimensi ruang

dan daerah dalam perencanaan pembangunan adalah perencanaan pembangunan bagi suatu

kota, daerah, ataupun wilayah. Pendekatan ini memandang kota, daerah, ataupun wilayah

sebagai suatu maujud bebas yang pengembangannya tidak terikat dengan kota, daerah,

ataupunwilayah yang lain, sehingga penekanan perencanaannya mengikuti pola yang lepas

dan mandiri. Kedua, bahwa pembangunan di daerah merupakan bagian dari pembangunan

nasional. Perencaan pembangunan daerah, dalam pendekatan ini, merupakan pola

perencanaan pada suatu jurisdiksi ruang atau wilayah tertentu yang dapat digunakan sebagai

bagian pola pembangunan nasional. Ketiga, cara pandang yang melihat bahwa perencanaan

pembangunan daerah adalah instrumen bagi penentuan alokasi sumber daya pembangunan

dan lokasi kegiatan di daerah yang telah direncanakan secara terpusat yang berguna untuk

mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi antar daerah.

Kebijakan yang menyangkut dimensi ruang dalam administrasi pembangunan dipengaruhi

oleh banyak faktor, disamping sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Untuk itu,

administrasi pembangunan dalam kaitannya dengan dimensi ruang dan daerah, harus dapat

mencari jawaban tentang bagaimana pembangunan dapat tetap menjaga persatuan dan

kesatuan, tetapi dengan memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang cukup pada

daerah dan masyarakatnya. Ada beberapa aspek dari dimensi ruang dan daerah yang

berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah.

Pertama, regionalisasi atau perwilayahan. Artinya sebagai bagian dari upaya mengatasi

aspek ruang dalam pembangunan, memberikan keuntungan dalam mempertajam fokus dalam

lingkup ruang yang jauh lebih kecil dalam suatu negara. Kedua, yaitu ruang, akan tercermin

dalam penataan ruang. Hal ini pada intinya merupakan lingkungan fisik yang mempunyai

hubungan organisatoris/fungsional antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah
dalam ruang-ruang. Ketiga, otonomi daerah. Masyarakat pada suatu negara tidak hanya

tinggal dan berada dalam pusat pemerintahan, tetapi juga ditempat-tempat yang jauh dan

terpencil dari pusat pemerintahan. Jika kewenangan dan penguasaan pusat atas sumber daya

menjadi terlalu besar maka akan timbul konflik atas penguasaan sumber daya tersebut. Untuk

menjaga agar konflik tersebut tidak terjadi dan untuk meletakkan kewenangan pada

masyarakat dalam menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat maka

diterapkan prinsip otonomi. Melalui otonomi diharapkan upaya meningkatkan kesejahteraaan

masyarakat di daerah menjadi lebih efektif. Keempat, yaitu partisipasi masyarakat dalam

pembangunan. Salah satu karakteristik atau ciri sistem administrasi modern adalah bahwa

pengambilan keputusan dilakukan sedapat-dapatnya pada tingkat yang paling bawah. Dalam

hal ini masyarakat bersama-sama dengan aparatur pemerintah, menjadi stake holder dalam

perumusan, implementasi, dan evaluasi dari setiap upaya pembangunan. Kelima, sebagai

impliksi dari dimensi administrasi dalam pembangunan daerah yang dikaitkan dengan

kemajemukan adalah dimungkinkannya keragaman dalam kebijaksanaan. Dari segi

perencanaan pembangunan harus dipahami bahwa satu daerah berbeda dengan daerah yag

lainnya. Untuk itu, kebijaksanaan nasional harus memahami karakteristik daerah dalam

mempertimbangkan potensi pembangunan didaerah terutama dalam kebijaksanaan investasi

sarana dan prasarana guna merangsang berkembangnya kegiatan ekonomi daerah.

Bagaimanakah Dimensi Pembangunan SDM ?

CIDA (Canadian International Development Agency) seperti dikutip oleh Effendi (1993)

mengemukakan bahwa pengembangan sumber daya manusia menekankan manusia baik

sebagai alat (means) maupun sebagai tujuan akhir pembangunan. Dalam jangka pendek,

dapat diartikan sebagai pengembangan pendidikan dan pelatihan untuk memenuhi segera

tenaga ahli tehnik, kepemimpinan, tenaga administrasi.


Pengertian di atas meletakan manusia sebagai pelaku dan penerima pembangunan. Tindakan

yang perlu dilakukan dalam jangka pendek adalah memberikan pendidikan dan latihan untuk

memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil. Dalam hal ini Effendi (1992) mengemukakan

bahwa meskipun unsur kesehatan dan gizi, kesempatan kerja, lingkungan hidup yang sehat,

pengembangan karir ditempat kerja, dan kehidupan politik yang bebas termasuk pendukung

dalam pengembangan sumber daya manusia, pendidikan dan pelatihan merupakan unsur

terpenting dalam pengembangannya.

Demikian pula Martoyo (1992) mengemukakan bahwa setiap organisasi apapun bentuknya

senantiasa akan berupaya dapat tercapainya tujuan organisasi yang bersangkutan dengan

efektif dan efisien. Efisiensi maupun efektivitas organisasi sangat tergantung pada baik dan

buruknya pengembangan sumber daya manusia/anggota organisasi itu sendiri. Ini berarti

bahwa sumber daya manusia yang ada dalam organisasi tersebut secara proporsional harus

diberikan pendidikan dan latihan yang sebaik-baiknya, bahkan harus sesempurna mungkin.

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukan dapat disimpulkan bahwa pengembangan

sumber daya manusia meliputi : unsur kesehatan dan gizi, kesempatan kerja, lingkungan

hidup sehat, pengembangan karir ditempat kerja, kehidupan politik yang bebas, serta

pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan unsur-unsur tersebut, pendidikan dan pelatihan

merupakan unsur terpenting dalam pengembangan sumber daya manusia. Sesuai dengan

kesimpulan ini, maka yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya manusia melalui

upaya pelaksanaan pendidikan dan pelatihan.

Mengenai arti pentingnya pengembangan sumber daya manusia Heidjrachman dan Husnan

(1993) mengemukakan bahwa sesudah karyawan diperoleh, sudah selayaknya kalau mereka

dikembangkan. Pengembangan ini dilakukan untuk meningkatkan keterampilan melalui

latihan (training), yang diperlukan untuk dapat menjalankan tugas dengan baik. Kegiatan ini
makin menjadi penting karena berkembangnya teknologi dan makin kompleksnya tugas-

tugas pimpinan.

Hingga hasil temuan dari Taylor sebagai bapak Scientific Management, orang masih

beranggapan bahwa pengembangan pegawai bukanlah tugas dari para pimpinan. Pendapat

yang demikian itu, dalam praktek dewasa ini masih dianut oleh segolongan pemimpin

terlebih-lebih mereka yang belum menyadari betapa peranan pengembangan pegawai itu

sebagai salah satu cara terbaik untuk merealisir tujuan organisasi yang dipimpinnya.

Untuk bahagian yang lebih besar, para pemimpin dewasa ini telah menyadari bahwa

merupakan tugas mereka untuk mengembangkan bawahannya. Jadi dengan demikian jelaslah

perkembangan seorang pegawai dalam suatu organisasi banyak ditentukan oleh pimpinan

atau atasan.

Bahkan pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan mutlak, seperti yang

dikemukakan oleh Siagian (1993) bahwa baik untuk menghadapi tuntutan tugas sekarang

maupun dan terutama untuk menjawab tantangan masa depan, pengembangan sumber daya

manusia merupakan keharusan mutlak.

Anda mungkin juga menyukai