Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Formulasi kebijakan ialah langkah paling awal dalam proses segala kebijakan public
secara keseluruhan. Oleh karenanya apa yang terjadi pada fase ini sangat mennentukan
berhasil tidaknya kebijakan yang di buat untuk yang akan datang. Menurut Anderson (dalam
winarno 2007:93) formulasi kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana
berbagai alternatife di sepakati untuk masalah-masalah yang di kembangkan dan siapa yang
berpartisipasi.

Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses pembuatan kebijakan public. Dan
merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya
dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, di samping itu kegagalan
suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber
pada ketidak sempurnaan pengolaan tahap formulasi (Wibawa; 1994, 2).  Tjokroamidjojo
(Islamy; 1991, 24) mengatakan bahwa folicy formulation sama dengan pembentukan
kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan
secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini di dalamnya termasuk pembuatan
keputusan. Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakan negara (publik).
Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut winarno (1989,53) dapat di
pandang dalam 2(dua) macam kegiatan. Pertama adalah memutuskan secara umum apa yang
harus di lakukan atau dengan kata lain perumusan di lakukan untuk memperoleh kesepakatan
tentang suatu alternative kebijakan yang di pilih,suatu keputusan yang menyetujui adalah
hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya di arahkan pada bagaimana
keputusan-keputusan kebijakan dibuat yang mana kebijakan di buat tersebut mencakup
tindakan seorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui,mengubah atau menolak
suatu alternative kebijakan di pilih. Sejalan dengan pendapat winarno,maka islamy (1991,77)
membagi proses formulasi kebijakan ke dalam tahap perumusan masalah
kebijakan,penyusunan agenda pemerintahan,perumusan usulan kebijakan,pengesahan
kebijakan,pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
Membuat atau merumuskan suatu kebijakan, apalagi kebijakan pemerintah yang
menyangkut untuk kemaslahatan masyarakat, bukanlah suatu proses yang mudah dan
sederhana. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor atau kekuatan – kekuatan yang

1
berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Suatu kebijakan dibuat bukan
untuk kepentingan politik semata, tetapi justru utuk meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat secara keseluruhan.
Dalam suatu perumusan kebijakan tidak dapat di pisahkan dari pengesahan
kebijakan,karena memiliki keterkaitan. Kebijakan yang di buat akan dapat di laksanakan
apabila kebijakan tersebut telah melewati proses perumusan kebijakan,penyusunan
agenda,perumusan usulan kebijakan,kemudian pengesahan kebijakan. Dan apabila kebijakan
yang telah di formulasikan tersebut di sepakati maka di ambillah keputusan,kebijakan mana
yang masuk dalam agenda pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Formulasi Kebijakan ?
2. Apa syarat – syarat Formulasi Kebijakan Publik ?
3. Kenapa Formulasi Kebijakan Publik itu penting ?
4. Apa yang dimaksud dengan Model – model dalam Formulasi Kebijakan ?
5. Jelaskan apa saja yang menjadi model – model formulasi kebijakan ?
6. Sebutkan Langkah – Langkah dalam Formulasi Kebijakan ?
7. Sebutkan keunggulan serta kelemahan dari masing – masing model Formulasi
Kebijakan ?

1.3Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1. Mengetahui Maksud dari Formulasi Kebijakan
2. Mengetahu syarat – syarat Formulasi Kebijakan Publik
3. Mengetahui pentingnya Formulasi Kebijakan Publik
4. Mengetahui Model – model dalam Formulasi Kebijakan
5. Mengetahui apa saja yang menjadi model – model formulasi kebijakan
6. Mengetahui Langkah – Langkah dalam proses Formulasi Kebijakan
7. Mengetahui keunggulan serta kelemahan dari masing – masing model Formulasi
Kebijakan

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Formulasi Kebijakan
Formulasi Kebijakan menurut Thomas R. Dye (dalam, Kadji, 2015) merupakan usaha
pemerintah melakukan inversi terhadap kehidupan public sebagai solusi terhadap swetiap
permasalahan dimasyarakat. Intervensi yang dilakukan dapat memaksa public karena
pemerintah diberikan wewenang otoritatif. Kewenangan Otoritatif Pemerintah itulah yang
berdampak pada adanya produk kebijakan public yang justru terlahir bukan untuk
kepentingan public semata tetapi terkadang hanya untuk legitimasi kepentingan kelompok
dan golongan tertentu.
Formulasi Kebijakan (Policy Formulation) disebut juga sebagai tahapan yang turut
menentukan dari kebijakan public, dalam tahap inilah dirumuskan batas – batas kebijakan itu
sendiri. Unntuk itu disadarari berapa halnya hakiki dari kebijakan public, adalah bahwa
kebijakan public di tujukan untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan dan kepentingan
public dalam kerangka meningkatkkan kapasitas public itu sendiri serta keterbatasan
kemampuan sumber daya manusia (Kadji, 2015).
Menurut Winarno Formulasi kebijakan sebagai proses adalah kegiatan memutuskan
secara umum apa yang harus dilakukan untuk mempereloh kesepakatan dalam alternatif
kebijakan. Dan merupakan kegiatan bagaimana keputusan itu dibuat dalam hal suatu
keputusan kebijakan mencakup Tindakan oleh seorang poejabat atau Lembaga resmi untuk
menyetujyi, mengubah atau menolak suatu alternatif yang dipilih.
Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan
publik secara Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si 63 keseluruhan. Oleh karenanya, apa yang
terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat
pada masa yang akan datang. Oleh sebab itulah, sangat dibutuhkan kehati-hatian yang lebih
dari para pembuat kebijakan (policy maker).

2. Syarat – Syarat Formulasi Kebijakan

Dalam Proses Formulasi Kebijakan dibutuhkan isu yang dapat diperhitunghkan untuk
agenda public. Agenda Publik adalah fase atau proses yang sangat sttrategis dalam realitas
kebijakan public dalam penyusunan agenda sanagt penting menetukan suatu isu public yang
akan diangkat dalam suatua agenda pemerintah. Isu Kebijakan sering disebut sebagai masalah
kebijakan yang biasanya muncul mengenai karakter permasalahan tersebut.

3
Menurut William duun (1990) Isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari
adanya perdebatan baik tentang rumusan , rincian penjelasan maupun penilaian atas suatu
masalah kebijakan. Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan public (Kimber, 1974,
Salesbury 1976; sandbach 1980, Hogwood dan Gunn 1986) Diantaranya:

1. Telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi ancaman
yang serius
2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis;
3. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan. orang banyak (umat
manusia) dan mendapat dukungan media massa;
4. Menjangkau dampak yang amat luas ;
5. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat
6. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi
mudah dirasakan kehadirannya)

Menurut Dunn (1994), proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui


tujuh tahapan sebagai berikut (Mustopadidjaja, 2002):

1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami


hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam
hubungan sebab akibat.
2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai
melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang
mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang
dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam
berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik,
model simbolik, dan lain-lain.
5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan
konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat
dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi,
peranserta masyarakat, dan lain-lain.

4
6. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria
dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas
dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif
kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan
kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.
3. Pentingnya Formulasi Kebijakan Publik
Formulasi kebijakan publik merupakan langkah yang paling awal dalam proses
kebijakan publik secara keseluruhan. apa yang terjadi pada fase ini akan sangat
menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat pada masa yang akan
datang. Oleh sebab itulah, sangat dibutuhkan kehati-hatian yang lebih dari para
pembuat kebijakan (policy maker) ketika akan melakukan formulasi kebijakan.
Proses mekanisme formulation kebijakan adalah tahap yang paling krusial, karena
implementasi dan evaluasi dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan
telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam
pencapaian suatu tujuan sebagian besar besumber dari ketidaksempurnaan
pengelolaan pada tahap formulasinya (Wibawa, 1994;2).
Menurut Frank T. Paine dan William Naumes bahwa pembuatan kebijakan publik
(policy formulation) melibatkan keseluruhan sistemdengan berbagai kondisi dan
alternatif serta melibatkan proses-proses sosial dan prosesproses intelektual” (Budi
Winarno, 2002;68). Kemudian menurut James E. Anderson (1979;52) pembuatan
kebijakan merupakan keseluruhan tahap dalam kebijakan publik yang berupa
rangkaian keputusan. Sedangkan proses perumusan kebijakan publik menyangkut
upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk
masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. Ia merupakan
proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalanpersoalan
khusus. Riant Nugroho (2003:101) menjelaskan perumusan kebijakan publik adalah
inti dari kebijakan publik karena disini dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat ditarik tiga kesimpulan; pertama,
bahwa pembuatan kebijakan menyangkut seluruh tahapan dalam kebijakan publik
dan perumusan kebijakan adalah salah satu bagian di dalamnya. Kedua, konsep
perumusan kebijakan sama dengan konsep formulasi kebijakan. Ketiga, output dari
formulasi kebijakan adalah penetapan kebijakan publik berupa peraturan perundang-
undangan. Istilah/konsep perumusan kebijakan yang akan dipergunakan selanjutnya
5
dalam tulisan ini adalah formulasi kebijakan.
4. Model – Model dalam Formulasi Kebijakan
Model Formulasi Kebijakan Publik Berikut ini adalah penjelasan beberapa macam
model dengan mengikuti kedua macam pengelompokkan di atas.
1) Model Rational-Comprehensive
Model ini didasarkan atas teori ekonomi atau konsep manusia ekonomi (consept
of an economic man). Model rasional komprehensif menekankan pada
pembuatan keputusan yang rasional dengan bermodalkan pada komprehensifitas
informasi dan keahlian pembuatan keputusan. Dalam model ini konsep
rasionalitas sama dengan konsep efisiensi. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa suatu kebijakan yang rasional itu adalah kebijakan yang sangat efisien,
dimana rasio antara nilai yang dikorbankannya adalah positif dan lebih tinggi
dibandingkan dengan alternatifalternatif yang lain. Hasil dari proses pembuatan
kebijakan adalah keputusan yang rasional, yakni suatu keputusan yang dapat
mencapai suatu tujuan yang paling efektif.
2. Teori Incrementalism Model ini memandang kebijakan publik sebagai suatu
kelanjutan kegiatan-kegiatan pemerintah dimasa lalu dengan hanya mengubahnya
(modifikasi) sedikitsedikit. Model incremental adalah merupakan kritik dan
perbaikan terhadap model rasional komprehensif. Karakteristik keputusan yang
incremental sebagai pembuatan kebijakan yang bersifat mengobati (remedial) dan
lebih diarahkan pada pemecahan masalah-masalah sosial yang konkrit yang ada
sekarang, bukan untuk meningkatkan pencapaian tujuan-tujuan sosial di masa yang
akan datang. (Terry W. Hartle, 1980;129). Lindblom (1986), kemudian
menyimpulkan karena pembuatan keputusan selalu diliputi dengan keterbatasan
waktu, kecakapan dan biaya maka ia tidak mungkin dapat menganalisa semua
nilainilai dan tujuan-tujuan masyarakat, keseluruhan alternatif-alternatif kebijakan
beserta konsekuensikonsekuensinya, menilai rasio biaya keuntungan secara detail,
menyusun urutan-urutan alternatif kebijakan berdasarkan rasio biaya keuntungan
dan kemudian membuat keputusan sesuai dengan informasi yang relevan .(Islamy,
1992:61).
Menyadari akan keterbatasan-keterbatasan yang ada pembuat keputusan, maka
model incremental hanya memusatkan perhatiannya pada modifikasi secara sedikit-
sedikit atas kebijaksanaan yang ada sebelumnya.
3. Teori Pengamatan Terpadu (Mixed scanning Theory) Penganjur teori ini adalah ahli
6
sosiologi organisasi bernama Amitai etzioni. Ia mencetuskan suatu model pembuatan
keputusan hibrida yang merupakan gabungan unsur-unsur kebaikan yang ada pada model
rasional-komprehensif dan incremental yang selanjutnya disebut sebagai model mixed
scanning. Pendekatan ini memanfaatkan dua macam pendekatan sebelumnya secara
fleksibel, yaitu sangat tergantung darimasalah dan situasinya. Dalambeberapa hal
pendekatan rasional-komprehensif akan diterapkan bila “high converage scanning”
(penjelajahan dan pengamatan yang luas) diperlukan. Dan beberapa hal yang lain bila
“truncated scanning” (pengamatan yang mendetail pada suatu sasaran tertentu) diperlukan
maka pendekatan inkremental mendapatkan gilirannya. Dengan adanya pendekatan mixed-
scanning yang kompromistis ini telah menyadarkan kita tentang adanya kenyataan-
kenyataan yang sangat penting yaitu bahwa keputusan-keputusan ini tidak sama atau
berbeda-beda baik ruang lingkup maupun dampaknya, sehingga pendekatan pembuatan
keputusan berbeda diperlukan untuk jenis keputusan yang berbeda pula.
4. Model Institusional Model ini adalah merupakan model yang tradisional dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada struktur
organisasi pemerintah. Hal ini disebabkan karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada
lembaga-lembaga pemerintah seperti lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif baik pada
pemerintah pusat, regional, dan lokal. Sehubungan dengan itu maka kebijaksanaan negara
secara otoritas dirumuskan dan dilaksanakan pada lembaga-lembaga pemerintah tersebut.
Terdapat hubungan yang kuat antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah,
hal ini disebabkan karena sesuatu kebijakan tidak dapat menjadi kebijakan publik kalau ia
tidak dirumuskan, disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan. Secara
tradisional model institusional ini biasanya menggambarkan tentang struktur organisasi,
tugastugas dan fungsi-fungsi pejabat organisasi. Tapi sayangnya kurang membuat analisa
tentang hubungan antara lembaga-lembaga pemerintahan itu dengan kebijakan publik.
Namun demikian kita harus hatihati dalam menilai kaitan lembaga pemerintahan dan
kebijakan publik, karena anggapan yang mengatakan bahwa apabila struktur kelembagaan
berubah maka kebijakan publik juga ikut berubah tidak selalu benar.
Hal ini disebabkan karena baik lembaga pemerintahan maupun kebijakan publik banyak
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lingkungan (faktor-faktor luar).
5. Model Elit-Massa Model ini memandang administrator negara bukan sebagai abdi
rakyat “(servant of the people)” tetapi lebih sebagai “kelompok-kelompok kecil yang
telah mapan “(the establishment)”. Kelompok elit yang bertugas membuat dan
melaksanakan kebijakan digambarkan dalam model ini sebagai kelompok yang
7
mampu bertindak/berbuat dalam suatu lingkungan yang ditandai dengan sikap massa
yang apatis, kerancuan informasi, sehingga massa menjadi lebih pasif. Kebijakan
publik mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari golongan elit ke golongan massa.
Kelompok elit yang mempunyai kekuasaan dan nilai-nilai elit berbeda dengan
massa. Dengan demikian kebijakan publik adalah merupakan perwujudan
keinginankeinginan utama dan nilai-nilai golongan elit yang berkuasa. Karena
kebijakan publik itu ditentukan oleh kelompok elit maka pejabat pemerintah
hanyalah sekedar pelaksana-pelaksana dari kebijakan yang ditetapkan oleh elit tadi,
sementara tuntutan rakyat banyak (non elit) tidak diperhatikan. Dengan demikian
elitisme mempunyai arti bahwa kebijakan public tidak begitu banyak mencerminkan
keinginan rakyat tetapi keinginan elit. Hal ini menyebabkan perubahan dan
pembaharuan terhadap kebijakan publik berjalan lambat.
6. Model Kelompok Model ini menganut paham kelompoknya David B. Truman dalam
bukunya “The Government Process” (1951) dalam Islamy (1992;42) yang
menyatakan bahwa interaksi diantara kelompok-kelompok adalah merupakan
kenyataan politik. Individu-individu yang memiliki kepentingan yang sama
mengikatkan baik secara formal maupun informal ke dalam kelompok kepentingan
(interest group) yang dapat mengajukan dan memaksakan kepentingan-
kepentingannya kepada pemerintah. Model kelompok melihat kebijakan publik
sebagai equilibrium yang dicapai sebagai hasil perjuangan kelompok. Untuk
menjaga perimbangan tersebut maka tugas/peranan sistem politik adalah menengahi
konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut. Kelompok kepentingan
yang berpengaruh diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan publik. Tingkat
pengaruh kelompok kepentingan tersebut ditentukan oleh jumlah anggotanya, harta
kekayaan, kekuatan, dan kebaikan organisasinya, kepemimpinannya, hubungan yang
erat dengan para pembuat keputusan, kohesi intern para anggotanya dan sebagainya.
Aktivitas politis (inklusif formulasi kebijakan publik) dipandang oleh model ini sebagai
hasil perjuangan kelompok, sehingga para pembuat kebijakan publik secara terus menerus
memberikan respon terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh kelompok tersebut
(pressure groups) yaitu dengan melakukan tawar menawar (bargaining), perjanjian
(negotiating), dan kompromi (compromising) terhadap persaingan tuntutan-tuntutan dari
kelompok-kelompok yang berpengaruh.
7. Model Sistem Politik Paine dan Naumen menawarkan suatu model proses pembuatan
formulasi kebijakan yang merujuk pada model sistem. Model ini diangkat dari
8
uaraian David Easton dalam “The political sistem”. Model ini didasarkan pada
konsep-konsep teori informasi (imputs, withinputs, outputs dan feedback) dan
memandang kebijakan publik sebagai respon suatu sistem politik terhadap kekuatan-
kekuatan lingkungan (sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografi, dan
sebagainya) yang ada di sekitarnya. Dengan demikian kebijakan publik dipandang
oleh model ini sebagai hasil (output) dari sistem politik. Konsep “political system”
mempunyai arti yakni sejumlah lembaga-lembaga dan aktivitas-aktivitas
8. politik dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan (demand), dukungan
(support), dan resources sebagai input menjadi sebuah keputusan/ kebijakan (output)
yang otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat. Dengan singkat dapat dikatakan
bahwa sistem politik berfungsi mengubah inputs menjadi outputs. Tuntutan-tuntutan
(demands) timbul bila individu-individu atau kelompok-kelompok setelah
memperoleh respon dari adanya peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan yang ada
di lingkungannya berupaya mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik.
Tuntutan-tuntutan ini bisa berasal dari dalam sistem politik itu sendiri (misalnya dari
anggota birokrasi atau pejabat pemerintah) atau berasal dari luar sistem politik
(misalnya dari anggota masyarakat, kelompok kepentingan dan sebagainya).
Dukungan (support) dan sumber-sumber (resources) diperlukan untuk menunjang
tuntutantuntutan yang telah dibuat tadi. Apakah sistem politik telah berhasil
membuat keputusan-keputusan yang sesuai dengan tuntutan tadi maka implementasi
keputusan-keputusan akan semakin mudah dilakukan. Menerima keputusan-
keputusan, mematuhi undangundang, membayar pajak dan sebagainya adalah
merupakan perwujudan dari pemberian dukungan

9
Model
-model dalam perumusan kebijakan
Membuat atau merumuskan kebijakan bukanlah suatu proses yang sederhana dan mudah.
Hal ini disebabkan banyak faktor atau kekuatan – kekuatan yang berpengaruh terhadap proses
pembuatan kebijakan tersebut. Suatu kebijakan dibuat bukan semata-mata untuk kepentingan
politis tetapi justru untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota masyarakat secara
keseluruhan. Perumusan kebijakan akan lebih mudah dimengerti apabila menggunakan suatu
model atau pendekatan tertentu.
Maka dari itu,beberapa ahli mengembangkan model-model perumusan kebijakan untuk
mengkaji proses perumusan kebijakan agar lebih mudah dipahami. Dengan demikian,
pembuatan model-model perumusan kebijakan digunakan untuk lebih menyederhanakan
proses perumusan kebijakan. Ada cukup banyak model perumusan kebijakan yang
dipaparkan oleh beberapa ahli, hanya saja yang akan dibahas hanyalah beberapa dari model
tersebut. Sebelum dibahas lebih lanjut identifikasi beberapa model perumusan kebijakan,
perlu diperhatikan bahwa tidak ada satupun dari beberapa model yang dibahas dianggap
“paling baik”, karena masing –masing model memberikan fokus perhatiannya pada aspek
yang berbeda, sehingga akan membuat kita mampu mempelajari kebijakan dari berbagai
sudut pandangan.
a. Model Sistem Politik

Model ini diangkat dari uraian sarjana politik David Easton. Model ini didasarkan pada
konsep – konsep teori informasi (inputs, outputs dan feedback) dan memandang kebijakan
sebagai respon suatu sistem politik terhadap kekuatan – kekuatan lingkungan (dalam hal ini
yaitu sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada di sekitarnya.
Konsep “sistem” itu sendiri menunjuk pada seperangkat lembaga dan aktivitas – aktivitas
politik dalam masyarakat Sehingga model ini memandang kebijakan sebagai hasil (output)
dari sistem politik yang berfungsi mengubah tuntutan – tuntutan(demands), dukungan –
dukungan (supports), menjadikan ini semua adalah masukan – masukan (inputs), dimana
masukan atau inputs ini menjadi keputusan – keputusan atau kebijakan – kebijakan yang

10
otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat (outputs). Konsep “sistem” ini juga menunjukkan
adanya saling hubungan antara elemen – elemen yang membangun sistem politik serta
mempunyai kemampuan menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Inputs yang sudah
diterima oleh sistem politik dijadikan dalam bentuk tuntutan dan dukungan .
Tuntutan – tuntutan (demands) timbul bila individu – individu atau kelompok setelah
memperoleh respons dari peristiwa dan keadaan – keadaan yang ada dilingkungannya serta
berupaya mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Konsep “sistem” ini akan menyerap
berbagai tuntutan yang ada. Sedangkan dukungan (supports) diperlukan untuk menunjang
tuntutan – tuntutan yang telah dibuat tadi. Jika sistem politik telah berhasil membuat
keputusan ataupun kebijakan yang sesuai dengan tuntutan tadi maka implementasi
keputusannya akan semakin mudah dilakukan. Menerima dan mematuhi hasil keputusan
kebijakan, mematuhi undang-undang, membayar pajak dan sebagainya adalah merupakan
perwujudan dari pemberian dukungan dan sumber –sumber.
Secara singkat bisa dipahami, perumusan kebijakan dengan menggunakan model sistem
ini mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil dari output dari sistem. Seperti yang
dipelajari dalam ilmu politik yang dikemukakan David Easton, yang terdiri atas input,output
dan feedback dan model ini merupakan model yang paling sederhana namun cukup
komprehensif.

b. Model Rasional Komprehensif


Model teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan sebagai maximum social gain
yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang
memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Model ini mengatakan bahwa proses
penyusunan kebijakan harus didasarkan pada kebutuhan yang sudah diperhitungkan
rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil
yang dicapai. Dengan kata lain, model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi dan aspek
ekonomis. Cara–cara memformulasikan atau merumuskan kebijakannya sesuai urutan adalah
sebagai berikut:
a. Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya
b. Menemukan pilihan – pilihan
c. Menilai konsekuensi masing – masing pilihan
d. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan
e. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien
11
Apabila dirunut, model ini merupakan model ideal dalam merumuskan kebijakan,
dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Studi – studi kebijakan
biasanya memfokuskan pada tingkat efisiensi dan keefektifan kebijakan.
Namun, model ini juga memiliki kelemahan dan kelebihannya. Beberapa ahli yang
memuji model ini diantaranya :
a. Nicholas Henry, yang berpendapat bahwa “Model rasional komprehensif menjelaskan
tentang bagaimana kebijakan negara itu seharusnya dibuat di lembaga pemerintahan
secara optimal. Hal inilah yang menjadikan model rasional komprehensif begitu
berharga bagi administrasi negara karena model ini berhubungan dengan bagaimana
kebijakan itu dibuat secara lebih baik”.
b. Lutrin dan Settle, yang berpendapat bahwa “Model rasional komprehensif
dipandang sebagai suatu prosedur yang optimal yang akan banyak diinginkan
dalam berbagai keadaan”
Adapun kelemahan dari model ini diantaranya adalah pada praktiknya perumus
kebijakan acap kali tidak mempunyai cukup kecakapan untuk melakukan syarat – syarat dari
model ini, mulai dari analisis, penyajian alternatif, memperbandingkan alternatif, hingga
penggunaan teknik – teknik analisis komputer yang paling maju untuk menghitung rasio
untung dan ruginya. Selain itu hal ini menunjukan bahwa rasionalitas itu sendiri mempunyai
keterbatasan dan bisa jadi berubah menjadi irasionalitas. Hal ini lah menunjukkan bahwa
teori “rasional” tidak cukup untuk memahami pembuatan keputusan kebijakan Negara.
c. Model Inkrementalis
Model ini merupakan model penambahan (inkrementalis). Model ini lahir berdasarkan
kritik dan perbaikan terhadap model rasional – komprehensif dengan mengubah
(memodifikasi) sedikit – sedikit kebijakan yang sudah dibuat oleh model rasional
komprehensif.
Model ini melihat bahwa kebijakan merupakan variasi atau kelanjutan dari kebijakan di
masa lalu. Model ini dapat dikatakan sebagai model pragmatis/praktis. Pendekatan model ini
diambil ketika pembuat kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan
informasi, dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif.
Sementara itu pembuat kebijakan dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul di
sekelilingnya. Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan beberapa
modifikasi seperlunya. Pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerintahan yang berada di
lingkungan masyarakat yang pluralistik, yang membuatnya tidak mungkin membuat
kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh warga. Dengan kata lain, model ini
12
memberikan kebijakan tambahan yang baru dengan sedikit memodifikasi kebijakan di masa
lalu hanya saja kebijakan penambahan (inkremental) ini tidak mendapatkan dukungan yang
memadai. Model inkrementalis berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu
untuk mempertahankan kinerja yang telah dicapai. Model kebijakan inkrementalis tidak saja
terjadi karena keterbatasan sumber daya, melainkan juga karena keberhasilan di masa lalu
yang menciptakan rasa puas diri yang berkepanjangan.
Model inkremental ini juga memiliki kekurangan dan kelebihannya. Hal ini bisa kita
lihat dari beberapa pendapat dari beberapa ahli. Seperti komentar James Anderson yang
mengatakan bahwa :
“inkrementalis adalah suatu model yang tepat dalam merumuskan kebijakan karena ia
akan lebih mudah mencapai kesepakatan bila masalah – masalah yang dipertentangkan
diantara beberapa kelompok hanyalah sekedar memodifikasi atas kebijakan – kebijakan yang
sudah ada. Karena para pembuat kebijakan selalu bekerja dalam kondisi yang tidak
menentu, sehingga dalam memepertimbangkan konsekuensi tindakannya di masa mendatang
dapat mengurangi resiko biaya – biaya atas ketidakpastian tersebut. Inkrementalisme juga
realistik karena mengakui bahwa para pembuat kebijakan memiliki kekurangan waktu,
keahlian dan sumber – sumber lain yang diperlukan untuk melakukan analisisnya. Lagipula,
manusia pada hakikatnya adalah pragmatis, tidak selalu mencari satu cara yang terbaik
untuk mengatasi masalahnya tetapi secara lebih sederhana mencari sesuatu yang cukup baik
untuk mengatasi masalahnya. Jadi secara singkat inkrementalisme menghasilkan keputusan
– keputusan yang terbatas, dapat dilaksanakan dan dapat diterima”.
Dibalik kelebihannya, tetap saja ada yang mengkritisi model inkremental ini. Seperti
yang diungkapkan oleh Terry W. Hartle. Hartle mengungkapkan bahwa inkrementalisme
cenderung mengabaikan pembaruan karena hanya memusatkan perhatiannya pada tujuan
jangka pendek dan hanya mencapai beberapa variasi dari kebijakan yang sudah
digunakan/lampau.
Model yang diperkenalkan oleh Charles E.Lindblom ini juga dikenal dengan sebutan
“muddling through” dimana secara sederhana bisa kita pahami bagaimana kebijakan itu
dibuat berdasarkan kebijakan yang lama dipakai sebagai dasar atau pedoman untuk membuat
kebijakan yang baru.
d. Model Penyelidikan Campuran
Model ini merupakan upaya menggabungkan antara model rasional dan model
inkremental. Inisiatornya adalah pakar sosiologi organisasi yang bernama Amitai Etzioni
pada tahun 1967. Ia memperkenalkan model ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi
13
keputusan – keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses – proses formulasi
kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk – petunjuk dasar, proses –
proses yang mempersiapkan keputusan – keputusan pokok, dan menjalankannya setelah
keputusan itu tercapai. Artinya, jika memakai dua model sebelumnya yaitu model rasional
dan inkremental, maka bisa digambarkan bahwa pendekatan rasionalitas sebagai wide angle
(sudut lebih luas) yaitu memiliki sudut yang lebar tetapi tidak detail atau rinci. Pendekatan
rasionalitas menghasilkan sebuah pengamatan yang membutuhkan biaya yang besar dan
cenderung melampaui kemampuan. Hal ini akan memberikan banyak hasil pengamatan
secara terperinci, biaya yang mahal untuk menganalisisnya dan kemungkinan membebani
kemampuan-kemampuan untuk mengambil tindakan. Sedangkan inkrementalisme dengan
zoom nya akan memusatkan perhatian hanya pada daerah-daerah serta pola-pola yang telah
diamati yang memerlukan pengamatan yang lebih
Mendalam.
Model ini menyodorkan konsepsi mixed scanning (pengamatan terpadu) sebagai suatu
pendekatan untuk mengambil keputusan yang bersifat fundamental maupun yang
inkremental. Model ini belajar dari kelebihan dan kekurangan model – model sebelumnya.
Model mixed scanning ini memanfaatkan dua macam model sebelumnya secara fleksibel dan
sangat tergantung dengan masalah dan situasinya. Model mixed scanning memperhitungkan
tingkat kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya serta
semakin efektif guna mengimplementasikan keputusan – keputusan mereka. Lebih mudah
dipahami bahwa model ini adalah model yang amat menyederhanakan masalah. Model ini
disukai karena pada hakikatnya model ini merupakan pendekatan kompromi yang
menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensip dan model inkrementalisme
dalam proses pengambilan keputusan.

2.2 proses pengesahan dalam formulasi kebijakan


Proses pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan proses pengesahan kebijakan.
Kedua-duanya mempunyai hubungan yang sangat erat sekali, sehingga tidak mungkin
dipisahkan. Sebagai suatu proses kolektif, pembuat keputusan/kebijakan akan berusaha
sekuat tenaga untuk memenangkan mayoritas dalam forum pengesahan usulan kebijakan,
sehingga pejabat atau badan pemberi pengesahan setuju untuk mengadopsi usulan kebijakan
tersebut menjadi kebijakan yang telah disahkan dan berarti telah siap untuk dilaksanakan.
Proses pengesahan kebijakan adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama
terhadap prinsip – prinsip yang diakui dan diterima. Landasan utama untuk melakukan
14
pengesahan itu adalah variabel – variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologi
negara, sistem politik dan sebagainya. Proses pengesahan kebijakan biasanya diawali dengan
kegiatan persuasion dan bargaining. Persuasion diartikan sebagai usaha – usaha untuk
meyakinkan orang lain tentang suatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang dan sehingga
mereka mau menerimanya sebagai miliknya sendiri. Dalam usaha– usaha untuk meyakinkan
dan mencari dukungan orang lain, maka harus benar- benar berusaha meyakinkan orang lain
tersebut bahwa pendapat kita itu benar,bermanfaat bagi masyarakat, sesuai dengan kebutuhan
yang mendesak dan sebagainya, sehingga orang lain membenarkan pendapat itu dan
mendukungnya. Sehingga dengan cara ini, pembuat kebijakan bisa menciptakan timbulnya
suasana emosional yang sedemikian rupa sehingga si pengesah kebijakan atau badan
pengesah kebijakan merasa yakin tentang perlunya segera mengesahkan kebijakan tersebut.
Kegiatan dalam proses pengesahan kebijakan selanjutnya yaitu bargaining. Bargaining
adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas
mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagai tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati
agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama tetapi tidak perlu
terlalu ideal bagi mereka. Yang termasuk kategori bargaining ini adalah : perjanjian
(negotiation), saling memberi dan menerima (take and give), dan kompromi (compromise).
Setelah dua kegiatan tersebut dilaksanakan, maka disahkanlah kebijakan tersebut.
Dengan disahkannya kebijakan bukan berarti bahwa masalah yang dihadapi sudah selesai.
Akan tetapi akan muncul masalah besar, yaitu apakah kebijakan yang sudah disahkan dengan
melalui beberapa tahapan proses yang cukup sulit dapat langsung di terima oleh masyarakat
dan di implementasikan

BAB III
15
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Formulasi kebijakan merupakan kunci paling utama dalam pembuatan kebijakan. Pada
tahap formulasi inilah yang menentukan bagaimana hasil kebijakan yang nantinya telah di
sepakati dan di pilih di masukkan dalam agenda pemerintahan dan kemudian di sahkan
tersebut berhasil atau tidakknya.
Proses formulasi kebijakan tidak dapat di pisahkan dengan proses pengesahan
kebijakan,karena kebijakan yang telah di formulasikan dan masuk dalam agenda
pemerintahan dapat di implementasikan apabila telah di sahkan atau ketuk palu.
3.2 Saran
Seorang ahli kebijakan hendaknya orang-orang yang memiliki kecakapan dalam bidang
memformulasikan kebijakan agar kebijakan yang di hasilkanpun mendapatkan respon yang
baik dari public. Apabila kebijakan yang terapkan pemerintah mendapatkan respon yang baik
bagi public maka khalayak (masyarakat) pun pasti akan mematuhi kebijakan tersebut.

16

Anda mungkin juga menyukai