Anda di halaman 1dari 21

Teori Implementasi Kebijakan George C.

Edward III
Edward III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan
dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan?
dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua
pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses
implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi,
termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam
implementasi suatu kebijakan.
Ditegaskan oleh Edward III dalam Juliartha (2009:58) bahwa masalah utama dari administrasi publik
adalah lack attention to implementation bahwa without effective implementation the decision of
policymakers will not be carried out successfully.Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan
dikomunikasikan kepada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan
kebijakan, sikap, dan tanggapan dari para pihak yang terlibat dan bagaimana struktur organisasi
pelaksanaan kebijakan.
1)
Komunikasi, keberhasilan kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang
harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan (target group) sehingga akan
mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau
bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi
resistensi dari kelompok sasaran.
2)
Sumber daya, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsistensi,
tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan
berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetisi
implementor, dan sumber daya financial. Sumber daya adalah faktor penting untuk implementasi
kebijakan agar efektif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.
3)
Disposisi, adalah watak dan karakteristik atau sikap yang dimiliki oleh implementor seperti
komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia
akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka
proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
4)
Struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap
organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures) atau SOP.
SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu
panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni prosedur
birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak
fleksibel.
Dijelaskan oleh Edward III secara singkat bahwa pedoman yang tidak akurat, jelas atau konsisten
akan memberikan kesempatan kepada Implementors membuat diskresi. Diskresi ini bisa langsung
dilaksanakan atau dengan jalan membuat petunjuk lebih lanjut yang ditujukan kepada pelaksana
tingkat bawahnya. Jika komunikasi tidak baik maka diskresi ini akan memunculkan disposisi. Namun
Komunikasi yang terlampau detail akan mempengaruhi moral dan independensi implementor,
bergesernya tujuan dan terjadinya pemborosan sumber daya seperti keterampilan, kreatifitas, dan
kemampuan adaptasi. Sumber daya saling berkaitan dengan komunikasi dan mempengaruhi
disposisi dalam implementasi. Demikian juga disposisi dari implementor akan mempengaruhi
bagaimana mereka menginterpertasikan komunikasi kebijakan baik dalam menerima maupun dalam
mengelaborasi lebih lanjut ke bawah rantai komando.
Sumber : Juliartha, Edward. 2009. Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Trio Rimba
Persada

Teori Implementasi Kebijakan Publik


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
Penelitian ini berkenaan dengan kebijakan publik, khususnya dari aspek
implementasi kebijakan oleh karena itu teori-teori utama yang akan dijadikan
landasan adalah teori kebijakan publik dan teori implementasi kebijakan publik.
B. Implementasi Kebijakan Publik
Menurut Purwanto dan Sulistyastuti (2012:21), implementasi intinya
adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy
output) yang dilakukan oleh para implementor kepada kelompok sasaran (target
group) sebagai upaya untuk mewujudkan kebijakan.
Menurut Agustino (2008:139), implementasi merupakan suatu proses
yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau
kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Ripley dan Franklin (dalam Winarno, 2014: 148) menyatakan bahwa
implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang
memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis
keluaran yang nyata (tangible output). Implementasi mencakup tindakantindakan oleh sebagai aktor, khususnya para birokrat yang dimaksudkan untuk
membuat program berjalan. Grindle (dalam Winarno, 2014: 149) memberikan
pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum,
tugas

implementasi

adalah

membentuk

suatu

kaitan

(linkage)

yang

memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari


suatu kegiatan pemerintah.

Thomas R. Dye (dalam Agustino, 2008: 7) mendefenisikan kebijakan


publik merupakan upaya yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan

yang

berupa

sasaran

atau

tujuan

program-program

pemerintah. Sedangkan menurut Carl Friedrick (dalam Agustino, 2008: 7),


kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,
kelompok

atau

pemerintah

dalam

suatu

lingkungan

tertentu,

dengan

ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan
untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.
Budiadjo (dalam Ali, dkk, 2012 : 12) menyatakan bahwa kebijakan
merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau
kelompok politik dalam usaha memilih tujuan tujuan dan cara-cara untuk
mencapai tujuan.
W.I. Jenkins (dalam Wahab, 2004 : 14) merumuskan kebijakan
sebagai aset of interrelated decisions taken by a political actor or group of
actors concerning the selection of goals and the means of achieving them whitin
a specified situation where these secisions should, in principle, be within the
power of these actors to achieve (serangkaian keputusan yang saling berkaitan
yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan
dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam
suatu situasi di mana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada
dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).
Chief J.O. Udoji (dalam Wahab, 2004 : 15), mendefinisikan kebijakan
sebagai an sanctioned course of action addresses to a particular problem or
group of related problems that affect society at large (suatu tindakan bersanksi
yang mengarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang
diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling
berkaitan mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat).
Dalam Keban (2008: 60-61), Shafritz dan Russell memberikan defenisi
bahwa kebijakan publik yaituwhateever a government decides to do or not to
do, sedangkan

Chandler

dan

Plano

berpendapat public

policyadalah

pemanfaatan strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk


memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya Paterson berpendapat bahwa
kebijakan

publik

menghadapi

secara

masalah,

umum

dengan

dilihat

sebagai

mengarahkan

aksi

perhatian

pemerintah

dalam

terhadap

siapa

mendapat apa, kapan dan bagaimana, Paterson mengutip defenisi kebijakan


publik yang dikemukakan Anderson dan pendapat B.G. Peters.
Alfatih (2010 :2) menyatakan kebijakan publik adalah setiap keputusan
atau tindakan yang dibuat secara sengaja dan sah oleh pemerintah yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan publik, mengatasi masalah publik,
memberdaya publik, dan menciptakan kesejahteraan publik.
Salah satu bentuk produk kebijakan publik merupakan peraturan daerah,
Peraturan Daerah adalah sebagaimana didefinisikan oleh undang-undang Nomor
10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Daerah adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah
dengan persetujuan bersama kepala daerah.
Keberadaan Perda dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak
lepas dari prinsip desentralisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Disamping terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) Pasal 18 ayat
(6), kewenangan pembuatan Perda juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Untuk materi muatan Perda diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor
10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai
berikut :
Materi Muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.

Disamping pengaturan dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004


tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Perda
juga terdapat dalam Pasal 136 ayat (6) samapai ayat (8) Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah, sebagai berikut :
1)

Perda
dibentuk
dalam
rangka
penyelenggaraan
provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

otonomi

daerah

2)

Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan
ciri khas masing-masing daerah.

3)

Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan


kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi
Riant

Nugroho

Dwijiwijoto

(dalam

Alfatih,

2010:15)

menyatakan

implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai


tujuannya.
Alfatih (2010:15) menyatakan implementasi kebijakan adalah penerapan
apa yang diamanahkan oleh suatu kebijakan secara baik dan benar dalam
rangka mencapai tujuan kebijakan tersebut.
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (dalam Agustino, 2006:139)
menjelaskan makna implementasi,
Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undangundang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusankeputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya,
keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi,
menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai
cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.

Menurut

Van

Meter

Van

Horn

(dalam

Leo

Agustino,

2006:139) menyatakan, implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang


dilakukan oleh individu-individu (dan kelompok) pemerintah dan swasta yang
diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan
Implementasi

kebijakan

pada prinsipnya adalah

cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang, untuk
mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan langkah yaitu, langsung
mengimplementasikan

dalam

bentuk

program

atau

melalui

formulasi

kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.


Dari

beberapa

definisi

tersebut

diatas

dapat

diketahui

bahwa

implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu : 1) adanya tujuan atau


sasaran kebijakan; 2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan 3)
adanya hasil kegiatan.
Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena masalahmasalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep muncul di lapangan.

Ancaman utama dari implementasi kebijakan adalah inkonsistensi implementasi.


Dalam

pelaksanaannya

kemungkinan

bisa

terjadi

adanya

kendala

dan

penyimpangan yang dilakukan oleh pelaksananya kemungkinan bisa terjadi


adanya kendala dan penyimpangan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan.
Masalah implementasi ini berkaitan dengan tujuan-tujuan kebijakan dengan
realisasi dari kebijakan tersebut.
Kesulitan dalam proses implementasi kebijakan dapat kita lihat dari
pernyataan seorang ahli studi kebijakan Eugne Bardach (dalam Agustino,
2006:138)

melukiskan

kerumitan

dalam

proses

implementasi menyatakan

pernyataan sebagai berikut :


Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang
kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam katakata dan slogan-slogan yang kedenganrannya mengenakan bagi telinga
pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. dan lebih sulit lagi untuk
melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk
mereka anggap klien.

Dari

berbagai

defenisi

diatas

maka

dapat

disimpulkan

bahwa

implementasi kebijakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh


berbagai

aktor

pelaksana

kebijakan

dengan

sarana-sarana

pendukung berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan untuk mencapai


tujuan yang telah ditetapkan.
C. Teori-Teori Implementasi Kebijakan
Ada beberapa teori implementasi kebijakan publik diantaranya, Model
Ripley dan Franklin, Model Donald Van Metter dan Van Horn, Model Hogwood dan
Gunn, dan Model Goerge C. Edward III.
a. Model Ripley dan Franklin
Dalam buku yang berjudul Policy Implementasi and Bureacracy, Randall B.
Repley and Grace A. Franklin (1986 : 232-33) (dalam Alfatih, 2010:51-52),
menulis tentang three conceptions relating to successful implementation sambil
menyatakan :
the notion of success in implementation has no single widly accepted definition.
Different analists and different actors have very different meanings in mind

when they talk about or think about successful implementation. There are three
dominant ways of thinking about successful implementation

Sehubungan dengan three dominant ways of thinking about successful


implementation tersebut,

selanjutnya

mereka

menyatakan

ada analist and actors yang berpendapat bahwa implementasi kebijakan yang
berhasil dinilai, pertama,

memakai ukuran tingkat kepatuhan (degree of

compliance). Namun, yang kedua, ada juga yang mengukur adanya kelancaran
rutinitas fungsi. Oleh karena Ripley dan Franklin menganggap kedua parameter
tersebut is too narrow and have limites political interest, maka mereka
mengajukan perspectiveyang ketiga, yaitu dampak yang diinginkan. Mereka
mengutarakan ini dengan mengatakan we advance a third persepective, which
is that successful implementation leads to desired... impact from whatever
program is being analyzed. Jadi ada 3 perspektif untuk mengukur keberhasilan
impelementasi kebijakan.
Dalam penelitian ini, ketiga perspektif itu dipakai sebagai pedoman untuk
mengukur keberhasilan implementasi program kemitraan. Hal ini dikarenakan
ketiga persepektif tersebut tidak kontradiksi satu dengan yang lain, bahkan
mereka saling melengkapi sehingga ketiga persepektif tersebut lebih holistic,
oleh karenanya cocok dengan penelitian ini. Ketiga measurement tersebut
adalah :
1.

Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku.


Perspektif pertama (compliance perspective) memahami keberhasilan
implementasi dalam arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementor
dalam melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam dokumen kebijakan (dalam
bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, atau program. (dalam Purwanto
dan Sulistyastuti, 2012:69)

2.

Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi


Bahwa keberhasilan implementasi ditandai dengan lancarnya rutinitas
fungsi dan tidak adanya masalah- masalah yang dihadapi; (dalam Akib,
Haedar. Jurnal Administrasi Publik: Volume 1 ( Nomor 1) tahun 2010).

3.

Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki.


Bahwa keberhasilan suatu implementasi mengacu dan mengarah pada
implementasi/pelaksanaan dan dampaknya (manfaat) yang dikehendaki dari
semua

program-program

yang

dikehendaki.

(dalam

Akib,

Haedar. Jurnal

Administrasi Publik: Volume 1 ( Nomor 1) tahun 2010).


Pendapat Ripley dan Franklin diatas menunjukkan bahwa keberhasilan
suatu implementasi akan ditentukan bagaimana tingkat kepatuhan, lancarnya
rutinitas fungsi lembaga , dan hasil kebijakan yang sesuai dengan rencana dari
kebijakan.
b. Model Donald Van Metter dan Carl Van Horn
Enam variabei menurut Van Metter dan Van Horn, yang mempengaruhi
kinerja kebijakan yaitu :
1.

Ukuran dan Tujuan Kebijakan.


Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur keberhasilannya jika dan
hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosiokultur yang ada di level pelaksana kebijakan.

2.

Sumberdaya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari
kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia

3.

Karakteristik Agen Pelaksana


Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan (publik)
akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta sesuai dengan
para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi
kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen
pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya
semakin besar pula agen yang dilibatkan.

4.

Sikap/Kecenderungan (Disposition) para pelaksana.

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat


banyak

mempengaruhi

keberhasilan

atau

tidaknya

kinerja

implementasi

kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang
dilaksanakan bukanlah hasil formulasi orang-orang yang terkait langsung
terhadap kebijakan yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang
mereka rasakan.
5.

Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana.


Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam impelementasi
kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang
terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan
akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

6.

Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.


Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi
publik dalam persepektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah
sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan
publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak
kondusif

dapat

menjadi

penyebab

dari

kegagalan

kinerja

implementasi

kebijakan. Oleh karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus


pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

Keenam varibel tersebut secara skematis dapat di gambarkan pada


gambar 1 sebagai berikut;
Ukuran dan Tujuan
komunikasi Anrtar Organisasidan kegiatan pelaksanaan
Karakteristik Agen Pelaksana
Sumber-sumber Kebijkasanaan
Lingkungan : Ekonomi, Sosial dan Politik
Sikap Para Pelaksana

Prestasi
Kerja

Gambar 1 Model Van Metter Van Horn


Sumber : Wahab, Abdul, 1991:66.

c. Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn


Model

mereka ini

sering

disebut

oleh

para

ahli the

down

approach. Menurut Hogwood dan Gunn (dalam Abdul Wahab, 1991:57-64),


untuk

dapat

mengimplementasikan

kebijakan

secara

sempurna (perpect

implementation) maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat


itu adalah sebagai berikut :
1)

Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan


menimbulkan gangguan/kendala yang serius.

2)

Tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

3)

Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

4)

Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari pada hubungan kausalitas


yang handal.

5)

Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai


penghubungannya.

6)

Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

7)

Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

8)

Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

9)

Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

10) Pihak-pihak

yang

memiliki

wewenang/kekuasaan

dapat

menuntut

dan

mendapatkan kepatuhan yang sempurna.


Model ini terdiri dari 10 point yang harus diperhatikan dengan seksama
agar implementasi kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik. Ada beragam
sumber daya, misalnya. Waktu, keuangan, sumber daya manusia, peralatan
yang harus tersedia dengan memadai. Disamping itu, sumber daya tersebut
harus kombinasi berimbang. Tidak boleh terjadi ketimpangan, misalnya sumber
daya manusia cukup memadai tetapi peralatan tidak memadai, atau sumber
keuangan memadai tetapi ketersedian waktu dan keterampilan tidak cukup.
Hambatan lain, kondisi eksternal pelaksana harus dapat dikontrol agar kondusif
bagi implementasi kebijakan. Ini cukup sulit sebab kondisi lingkungan sangat
luas, beragam serta mempunyai karakteristik yang spesifik sehingga tidak
mudah untuk dapat dikendalikan dengan baik. Misalnya sistem sosial, hal ini
sangat sulit untuk dikendalikan sebab sudah sangat lama ada, tumbuh
berkembang, dan sudah menjadi tradisi dan kepercayaan masyarakat. Contoh
lingkungan eksternal lainnya yang sulit dikontrol adalah keadaan ekonomi
masyarakat, dimana sangat tidak mudah untuk mengubah keadaan ekonomi
masyarakat, apalagi dalam waktu dekat demi implementasi suatu kebijakan
public. Teori

ini

juga

mensyaratkan

adanya

komunikasi

dan

koordinasi

sempurna. Seringkali, dalam pelaksanaan suatu kegiatan, kedua hal ini kurang
mendapatkan perhatiaan dengan baik. Apalagi harus sempurna. Hal ini sering

diperburuk karena adanya ego sektoral. Berdasakan deskripsi diatas, teori ini
kurang cocok untuk dijadikan untuk penelitian ini.
d. Model Implementasi Kebijakan Goerge C. Edward III
Model

implementasi

kebijakan

yang

berspektif top

down yang

dikembangkan oleh George C. Edward III. Edward III (dalam Agustino, 2008 : 149154) menamakan model implementasi kebijakan publiknya denganDirect and
Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan teori ini terdapat empat
variabel yang mempengaruhi keberhasilan impelementasi suatu kebijakan, yaitu
: 1. Komunikasi; 2. Sumberdaya; 3. Disposisi; dan 4. Struktur birokrasi.
1.

Komunikasi
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
kebijakan menurut Goerge C. Edward III (dalam Agustino, 2008 : 150) adalah
komunikasi.

Komunikasi,

menurutnya

sangat

menentukan

keberhasilan

pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif


terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan
mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat
berjalan apabila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan
kebijakan

dan

peraturan

impelementasi

harus

ditansmisikan

(atau

dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan


yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau
pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan dan para
implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang
akan diterapkan dalam masyarakat.
Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan
variabel komunikasi yaitu :
a)

Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu


implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran
komunikasi adalah adanya salah pengertian(misscommunication).

b)

Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (streetlevel-bureuarats)haruslah

jelas

dan

tidak

membingungkan

(tidak

ambigu/mendua) ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu mengahalangi


impelementasi,

pada

tataran

tertentu,

para

pelaksana membutuhkan

fleksibelitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal
tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh
kebijakan yang telah ditetapkan.
c)

Konsistensi; perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu komunikasi


haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika
perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan
kebingungan bagi pelaksana di lapangan,

2.

Sumber daya
Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya
dalam mengimplementasikan kebijakan, menurut Goerge C.Edward III (dalam
Agustino, 2008 :151-152). Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen,
yaitu :

a)

Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan dalah staf. Kegagalan


yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh
karena

staf

yang

tidak

mencukupi,

memadai,

ataupun

tidak

ompoten

dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi
diperlukan juga kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang
diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau
melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
b)

Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk,


yaitu

pertama

informasi

yang

berhubungan

dengan

cara

melaksanakan

kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat
mereka diberi perintah. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para
pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
Implementer

harus

mengetahui

apakah

orang

yang

pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.

terlibat

di

dalam

c)

Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah


dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para
pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang

nihil,

maka

kekuatan

para

implementor

dimata

publik

tidak

terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan.


Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka
sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Disatu pihak,
efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para
pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya.
d)

Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi


kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa
yang harus dilakukan dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya,
tetapi

tanpa

adanya

fasilitas

pendukung

(sarana

dan

prasarana)

maka

implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.


3.

Disposisi
Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
adalah disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi,
menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino, 2008:152-154), adalah :

a.

Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan


hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila
personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh
pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil
pelaksana

kebijakan

haruslah

orang-orang

yang

memiliki

dedikasi

pada

kebijakan yang telah ditetapkan.


b.

Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi

masalah

kecenderungan

para

pelaksana

adalah

dengan

memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut
kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat
kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara
menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor
pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah

dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi(self
interst) atau organisasi.

4.

Struktur birokrasi
Menurut Edward III (dalam Agustino,2008 : 153-154 ), yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun
sumber daya untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana
kebijakan

mengetahui

apa

yang

seharusnya

dilakukan,

dan

mempunyai

keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut


tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan karena terdapatnya kelemahan
dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya
kerjasama banyak orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan
yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya-sumber daya
menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai
pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah
diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.
Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja
struktur birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan :
a)

Standar Operating Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang


memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administrator/birokrat)
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar
yang ditetapkan atau standar minimum yang dibutuhkan.

b)

Fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau


aktivitas-aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja.
Model Goerge C.Edward III tersebut dapat dilihat dari gambar 2 sebagai
berikut :
Communication
(Komunikasi)

Resources

(Sumberdaya)

Implementation
(Pelaksanaan)
Dispositons
Bureaucratic

(Karakter/Watak)
Strukture

(Struktur Birokrasi)

Gambar 2 Model Goerge C. Edward III


Sumber : Agustino, Leo, 2006:150.

D. Teori yang digunakan dalam penelitian


Dari beberapa teori yang diutarakan di atas, dalam penelitian ini teori
yang digunakan sebagai konsep operasional adalah yang disampaikan oleh
Ripley dan Franklin (dalam Alfatih, 2010 : 51-54), adapun alasannya adalah
sebagai berikut :
1.

Secara umum, diantara model tidak ada yang terbaik. Menurut Riant Nugroho D
(dalam Alfatih, 2010:52) tidak ada suatu model kebijakan pun yang cocok untuk
semua implementasi kebijakan sebab setiap kebijakan memerlukan model yang
sesuai dengan sifat kebijakan itu sendiri. Dengan demikian, model implementasi
kebijakan yang mana pun bisa saja dipakai sejauh sesuai dengan kondisi yang
ada dalam penelitian.

2.

Model dalam Ripley dan Franklin ini lebih cocok dengan konteks penelitian ini
sebab pemerintah sebagai implementor kebijakan pengamanan aset daerah

berupa tanah harus patuh terhadap ketetapan keikutsertaan pada kebijakan


tersebut. Disamping itu pemerintah dalam menjalankan kebijakan pengelolaan
aset daerah pada khususnya pengamanan aset daerah berupa tanah harus
punya coreaktivitas yang harus tetap dilaksanakan walaupun banyak kegiatan
lain namun proses pengamanan aset harus tetap jalan.
3.

Teori dalam Ripley dan Franklin juga mengakomodasi beberapa point yang
terdapat pada teori Van Meter dan Van Horn serta Brian W. Hogwood and Lewis
A.Gunn. Dalam teori pada buku mereka, Ripley dan Franklin menetapkan sasaran
dan target kebijakan yang harus dipatuhi. Begitupun teori Van Meter dan Van
Horn. Kinerja juga mendapat perhatian, baik dalam Ripley and Franklin maupun
Van Meter dan Van Horn serta Goerge C. Edward III. Begitupun dengan faktor
sumber daya, kondisi ekonomi sosial, dan politik serta sikap para implementor
juga sama-sama dianggap penting dalam teori mereka selanjutnya, teori dalam
Ripley and Franklin juga mempunyai keterkaitan dengan teori Hogwood dan
Gunn. Variabel sumber daya, tugas yang rinci dan komunikasi pada teori
Hogwood dan Gunn merujuk pada faktor kelancaran rutinitas fungsi tidak akan
berjalan dengan baik, sedangkan point komunikasi yang baik serta prosedur
yang efektif dari teori Hogwood dan Gunn secara implisit, dapat mengacuh pada
dimensi kepatuhan yang terdapat pada teori Ripley and Franklin. Dengan
demikian, antara ketiga teori tersebut ada keterkaitan unsur, walaupun cara
pengungkapannya berbeda.
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Secara teoritis khususnya menurut teori George C. Edwards III (dalam Agustino,
2006:145), the are for critical factories to policy implementation they are : communication,
resources, disposition, and bureauratic structure.
Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi implementasi peraturan daerah provinsi
Sumatera Selatan Nomor 3 tahun 2007 tentang pengelolaan barang milik Pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan, belum diketahui faktor tersebut akan ditemukan saat peneliti melakukan
penelitian, faktor tersebut bisa saja sama, bisa saja berbeda dari apa yang Goerge C.Edward III
kemukakan.

F. Kerangka Teori

Menurut Ripley dan Franklin (dalam Alfatih, 2010 : 51-52) ada tiga cara
yang dominan bagi suksesnya implementasi kebijakan, yaitu: (Al Fatih, andy.
2010. Implementasi kebijakan dan pemberdayaan masyarakat.Bandung: Unpad
Press)
1.

Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku (the degree of compliance on


the statute), tingkat keberhasilan implementasi kebijakan dapat diukur dengan
melihat tingkat kepatuhan terhadap isi kebijakan dengan peraturan yang telah
diatur. Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat,
kepatuhan adalah istilah yang menjelaskan ketaatan pasrah pada tujuan yang
telah ditentukan. Menurut Kholit (dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
2004 : 411), patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan
kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Jadi dapat disimpulkan
bahwa kepatuhan (ketaatan) adalah melaksanakan cara dan perilaku yang
disarankan oleh orang lain, dan kepatuhan juga dapat didefinisikan sebagai
perilaku positif dalam mencapai tujuan. Ripley memperkenalkan pendekatan
kepatuhan dan pendekatan faktual dalam implementasi kebijakan (Ripley &
Franklin, 1986: 11) (dalam Alfatih, 2010). Pendekatan kepatuhan muncul dalam
literatur administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat
kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan.
Perspektif

kepatuhan

merupakan

analisis

karakter

dan

kualitas

perilaku

organisasi. Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif


kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi
justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program yang tidak didesain dengan
baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang
mengharuskan implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian. Kedua
perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain.
Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal
organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif. Kecenderungan
itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang juga
memfokuskan

perhatian

pada

berbagai

faktor

non-organisasional

yang

mempengaruhi implementasi kebijakan. Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan

pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat


ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi
ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu: (1) kepatuhan implementor
mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan (2) kemampuan implementor
melakukan

apa

yang

dianggap

tepat

sebagai

keputusan

pribadi

dalam

menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan


faktual.
2.

Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi, (smoothly functioning routine and the


absence of problem). Rutinitas berasal dari kata rutin yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia rutin memiliki pengertian prosedur yang teratur dan tidak
berubah-ubah. Prosedur itu sendiri adalah tahapan-tahapan tertentu pada suatu
program yang harus dijalankan untuk mencapai suatu tujuan, dengan adanya
kelancaran
menjadikan

rutinitas

suatu

implementasi

pelaksanaan
yang

baik

pada

juga,

program

sehingga

kegiatan

dapat

suatu keberhasilan

implementasi kebijakan dapat ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan


tidak adanya masalah yang dihadapi.
3.

Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki (the leading of the desired
performance and impact), bahwa dengan adanya kinerja dan dampak yang baik
merupakan wujud keberhasilan implementasi kebijakan.
Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif proses
implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah
dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan
pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain
cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program.
Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala
program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin
saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari
dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.
Ketiga perspektif tersebut digunakan untuk mengukur keberhasilan
implementasi kebijakan, sehingga menjadi lebih mudah untuk diidentifikasi.

Teori Ripley dan Franklin ingin menekankan tingkat kepatuhan para


implementor kebijakan terhadap isi kebijakan itu sendiri. Setelah ada kepatuhan
terhadap kebijakan yang ada, pada tahap selanjutnya melihat kelancaran
pelaksanaan rutinitas fungsi, serta seberapa besar masalah yang dihadapi dalam
implementasi. Pada akhirnya setelah semua berjalan maka akan terwujud kinerja
yang baik dan tercapainya tujuan (dampak) yang diinginkan.
Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dapat dipakai untuk mengukur apakah
tugas pokok organisasi implementor tersebut telah berjalan dengan lancar atau
belum. Fungsi selanjutnya dapat untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada,
yang dapat menghambat lancarnya implementasi sebuah kebijakan.
Teori yang digunakan Ripley dan Franklin ini bersifat top down. Teori
Rasional (top down) ini lebih menekankan pada usaha untuk mengidentifikasi
faktor-faktor apa saja yang membuat suatu kebijakan bisa berjalan sukses di
lapangan.

Model

Pendekatan top

implementasi

downmemiliki

inilah

yang

pandangan

paling

tentang

pertama

hubungan

muncul.
kebijakan

implementasi seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau Segala


sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta, segala sesuatu
adalah buruk di tangan manusia.

G. Kerangka Pemikiran
Ketiga Perspektif menurut teori Ripley dan Franklin (dalam Alfatih,
2010 : 51-52) dirujuk untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan ini
sesuai untuk digunakan sebagai dimensi dari Implementasi Peraturan Daerah
Provinsi Sumatera Selatan Nomor 3 tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang
Milik Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Studi di Badan Pengelola Keuangan
dan Aset Daerah Provinsi Sumatera Selatan tahun 2013) karena relatif lebih
mudah untuk diidentifikasi.

Keterangan :
Apabila

dari

ketiga

perspektif

tersebut

adalah

tingkat

kepatuhan,

kelancaran rutinitas fungsi, dan dampak kinerja implementasi berjalan dengan


baik maka akan menghasilkan implementasi kebijakan pengelolaan aset yang
baik, dan apabila dari ketiga perspektif salah satunya tidak berjalan dengan
lancar ini berarti pelaksanaan kebijakan pengelolaan aset daerah tidak berjalan
dengan baik.

http://rintosusantotempirai.blogspot.co.id/2014/10/teori-implementasi-kebijakanpublik.html

Anda mungkin juga menyukai