PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik.
Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan tujuan
yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan
kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil
sebagaimana yang diharapkan. Rangkaian kegiatan tersebut mencakup persiapan
seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijakan tersebut.
Misalnya dari sebuah undang-undang muncul sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden, maupun Peraturan Daerah, menyiapkan sumber daya guna menggerakkan
implementasi termasuk di dalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan, dan
tentu saja siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan
bagaimana mengantarkan kebijakan secara langsung ke masyarakat.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan
derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Proses implementasi kebijakan publik baru
dapat dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program
telah dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut,
Implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat
administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja
bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang
diinginkan.
Dalam setiap perumusan kebijakan yang menyangkut program maupun
kegiatan-kegiatan, selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi.
Betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak akan banyak berarti.
Implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran
birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa
yang memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle dalam Wahab, 1990:59).
Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan
merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Ini menunjukkan
1
adanya keterkaitan yang erat antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan
dalam arti walaupun perumusan dilakukan dengan sempurna namun apabila proses
implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan, maka kebijakan yang semula baik akan
menjadi jelek begitu pula sebaliknya. Dalam kaitan ini, seperti dikemukakan oleh Wahab
(1990:51), menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting,
bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya
sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan dalam arsip kalau tidak mampu
diimplementasikan.
Administrator sebagai penyelenggara pemerintahan mempunyai peranan
sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu kebijakan yang dibuatnya.
Kecenderungan terjadinya tarik ulur suatu kebijakan mulai dari perumusan, implementasi
sampai dengan evaluasi kebijakan merupakan proses yang wajar dan ini merupakan suatu
proses yang baik dalam arti semua kepentingan peduli terhadap kebijakan yang akan
dibuat, sebagaimana dengan proses kebijakan kurikulum 2013 yang telah dilaksanakan
oleh pemerintah, dimana Implementasi kebijakan kurikulum 2013 yang
diimplementasikan pada pertengahan tahun 2013 lalu yang merupakan tindak lanjut dari
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005,
mempunyai peranan penting dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.
Permasalahan yang timbul dan menjadi isu public tidak mencerminkan akan filosofi yang
terkandung dalam semangat kurikulum 2013 yang secara normatif sangat mendukung
terhadap perubahan paradigma pemikiran kependidikan yang berpangkal pada perubahan
mind set tenaga kependidikan maupun anak didik. Hasil yang diharapkan dengan
kebijakan kurikulum ini, pemerintah, pendidik, anak didik dan stakeholder dapat
bersinergi untuk terciptanya kualitas pendidikan dan karakter di Indonesia.
Namun dalam implementasinya, Kurikulum 2013 ini menimbulkan beberapa
pro dan kontra. Hal ini diakibatkan kebijakan yang pemerintah buat tidak sesuai dengan
harapan dan kondisi nyata yang ada di lapangan. Para guru yang ditunjuk sebagai
pelaksana kurikulum merasa bingung dengan diterapkannya kurikulum 2013 ini.
Kebanyakan dari mereka masih menggunakan kurikulum sebelumnya yakni kurikulum
KTSP dalam pembelajarannya, karena mereka belum begitu paham dengan kurikulum
2013 yang sebenarnya, padahal beberapa dari mereka telah dilatih dalam persiapan dan
pelaksanaan Kurikulum 2013. Salah satu perbedaan antara kurikulum 2013 dengan
kurikulum sebelumnya adalah adanya buku siswa dan buku guru yang telah disediakan
oleh pemerintah pusat sebagai buku wajib sumber belajar di sekolah. Sesuai dengan
2
pendekatan yang digunakan dalam kurikulum 2013, yakni pendekatan scientific.
Pendekatan ini lebih menekankan pada pembelajaran yang mengaktifkan siswa.
Pendekatan ini dilaksanakan dengan melibatkan tiga model pembelajaran diantaranya
adalah problem based learning, project based learning, dan discovery learning. Ketiga
model ini akan menunjang how to do yang dielu-elukan dalam kurikulum 2013. Dalam
pelaksanaannya pendekatan scientific ini menekankan lima aspek penting, yaitu
mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan komunikasi.
Berangkat dari latar belakang tersebut, kami mencoba mengangkat topik
implementasi kebijakan publik dari studi kasus tentang implementasi kurikulum 2013.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
2. Implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit.
3. Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas lapangan, maupun
sasaran sering terjadi
4. Selama implementasi sering terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target maupun
strateginya.
5. Implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel individual maupun
organisasional.
6. Dalam prakteknya sering terjadi kegagalan dalam implementasi.
7. Banyaknya kegagalan dalam implementasi kebijakan telah memunculkan kajian baru
dalam studi kebijakan yaitu studi implementasi kebijakan.
8. Guna menilai keberhasilan atau kinerja sebuah kebijakan maka dilakukan evaluasi
kebijakan.
Mazmanian dan Sabatier (1983); memberikan langkah-langkah melakukan
intervensi dalam implementasi sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi.
2. Menegaskan tujuan yang hendak dicapai.
3. Merancang struktur proses implementasi.
Dengan demikian program harus disusun secara jelas dan harus dioperasionalkan
dalam bentuk proyek. Jadi beberapa hal yang harus diperhatikan dalam implementasi
adalah:
1. Pembentukan unit organisasi atau staf pelaksana upaya untuk memahami dari tujuan
kebijakan pemerintah benar-benar diwujudkan,
2. penjabaran tujuan dalam berbagai aturan pelaksana (Standard operating
procedures/SOP)
3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran pada kelompok sasaran serta
pembagian tugas diantara badan pelaksana
4. pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan
5
B. Faktor Penentu Keberhasilan Implementasi
Faktor merupakan suatu kepastian dalam menilai keberhasilan suatu
implementasi kebijakan publik sehingga kurang hilangnya salah satu faktor
mempengaruhi sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut Implementasi Kebijakan
merupakan keberhasilan implementasi kebijakan atau program dapat ditujukan dari tiga
faktor yaitu :
1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari
kepatuhan strect level bereau crats terhadap atasan mereka.
2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.
3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak
terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.
Faktor penentu keberhasilan implementasi merupakan sangat penting bagi
intansi pemerintahan daerah ditingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai dengan
kecamatan /desa adalah ada 4 unsur yaitu:
1. Logika kebijakan itu sendiri
2. Kemampuan pelaksana dan ketersediaan sumber daya
3. Manajemen yang baik
4. Lingkungan dimana kebijakan diimplementasikan
Sering terjadi suatu program tidak mampu mewujudkan tujuannya (kegagalan
implementasi), Ketidakmampuan program mewujudkan tujuan disebut oleh Andrew
Dunsire sebagai implementation gap yaitu suatu kondisi dimana dalam proses kebijakan
terjadi perbedaan antara apa yang diharapkan pembuat kebijakan dengan apa yg
senyatanya terjadi. Implementation gap ini sangat dipengaruhi oleh implementation
capacity dari orgs pelaksana (Goggin, 1990).
6
5. Pemahaman & kesepakatan pada tujuan
6. Tugas ditetapkan dengan urutan yg tepat
7. Komunikasi dan koordinasi lancar efektif
8. Ada dukungan otoritas
III. Faktor Lain Penyebab Publik Tak Mau Melaksanakan Kebijakan (Anderson, 1979)
Ada beberapa faktor mengapa publik atau masyarakat tidak mau
melaksanankana atau menentang kebijakan tersebut diantaranya adalah:
7
1. Kebijakan bertentangan dengan sistem nilai masyarakat
2. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum
3. Keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi/ kelompok
4. Tidak adanya kepastian hukum (terjadi pertentangan antara kebijakan satu dengan
lainnya)
8
pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk
pelaksanaan maupun petunjuk teknis). Dengan demikian, dapat dipahami jika model
implementasi sebagaimana dikemukakan oleh Sebatier dan Mazmanian lebih
difokuskan pada kesesuaian antara apa yang ditetapkan/ digariskan/diatur dengan
pelaksanaan program tersebut.
c. Model Botton-Up.
Model ini merupakan kritikan terhadap model pendekatan top-down terkait
dengan pentingnya faktor-faktor lain dan interaksi organisasi. Misalnya implementasi
harus memperhatikan interaksi antara pemerintah dengan warga negara
(Lipsky,1971). Implementasi dalam konteks model ini dapat dipahami dari beberapa
definisi diantaranya: implementasi sebagai proses yang disusun melalui konflik dan
tawar menawar (Wetherley dan Lipsky, 1977); implementasi harus memakai multiple
frameworks (Elmor, 1978,1979); implementasi harus dianalisis dalam institusional
structures (Hjern et al,1978); implementasi kebijakan merupakan proses alur
(Smith,1973) (Putra,2003). Menurut Putra (2003:90) model proses atau alur yang
dikemukakan oleh Smith ini melihat proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial
dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk
mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.
Dengan demikian, dapat dipahami jika model implementasi sebagaimana
dikemukakan oleh Smith lebih memberikan fokus pada perubahan secara sosial dan
politik yang dirasakan oleh kelompok sasaran tersebut.
9
kebijakan (Sabatier,1986); dan implementasi sebagai manajemen sektor publik
(Hughes,1994).
10
c. Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan informal yang
akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting kerena
kinerja implementasi akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta
cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah
implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen
pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin
besar pula agen yang dilibatkan.
d. Sikap/Kecenderungan para Pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak
mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan public. Hal
ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil
formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang
mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan diimplementasikan adalah kebijakan
dari atas yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah
mengetahui (bahkan tidak menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang
warga ingin selesaikan.
e. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan.
Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk
terjadi.
f. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi
kebijakan dalam perspektif yang ditawarkan adalah sejauh mana lingkungan eksternal
turut mendorong keberhasilan kebijakan yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial,
ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan
kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan
kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.
11
III yang menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan Direct and
Indirect Impact On Implementation dalam Leo Agustino (2008:149) dimana terdapat
empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan
yaitu:
a. Komunikasi
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan
menurut George C. Eward III, adalah komunikasi. Komunikasi menurutnya lebih
lanjut sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi
kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan
sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan
mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap
keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau
dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang
dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau
pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan di dan para
implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan
diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau
digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu:
1. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu
implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran
komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut
disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi,
sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
2. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-
bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua).
Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada
tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan
kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan
tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.
3. Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi
haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karena jika
perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan
kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
12
b. Sumber Daya
Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya, menurut
George C. Edward III dalam Leo Agustino (2008 : 151) dalam mengimplementasikan
kebijakan. Indikator sumber-sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
1. Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan
yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan
oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten
dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi,
tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang
diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang
diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
2. Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk,
yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.
Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka
diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua informasi mengenai data
kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang
telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat
di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.
3. Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah
dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para
pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak
terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan.
Tetapi, dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka
sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak,
efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan
tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan
oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan
kelompoknya.
4. Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa
yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya,
13
tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
c. Disposisi
Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam
pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu
kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui
apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk
melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang
perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C. Edward III dalam Leo
Agustino (2006 : 152), adalah:
1. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan
hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil
yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-
pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana
kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang
telah ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga.
2. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi
insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan
mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan
mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendukung yang
membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini
dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau
organisasi.
d. Struktur Birokrasi
Variabel keempat, menurut Edward III, yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber
untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk
melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana
atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan
yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur
birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan
14
menyebagiankan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat
jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat
mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan
koordinasi dengan baik. Dua karakteristik menurut Edward III yang dapat
mendongkrak kinerja struktur birokrasi/organisasi ke arah yang lebih baik, adalah:
melakukan Standar Operating Prosedures (SOP) dan melaksanakan Fragmentasi. SOP
adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana
kebijakan/administratur/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada tiap
harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (atau standar minimum yang
dibutuhkan warga). Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya peyebaran
tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktiuvitas pegawai diantara beberapa
unit kerja.
15
Sementara itu, konteks implementasinya adalah:
a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat.
b. Karakteristik lembaga dan penguasa.
c. Kepatuhan dan daya tanggap.
Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif
akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima
implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi,
serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.
16
o Sikap dan sumber daya kelompok sasaran
o Dukungan kewenangan
o komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana
Menurut model top down, jika semua variabel dapat bekerja dengan
baik maka proses implementasi berjalan seperti yang diharapkan. Variabel tersebut
dapat bersumber dari :
a. Program Itu Sendiri
b. Pelaksana
c. Sasaran Kebijakan
d. Lingkungan Kebijakan
Model-Model Bottom Up
1. Model Adam Smith
Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam
persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith, implementasi kebijakan
dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memandang proses
implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik,
dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan
atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. Menurut Smith dalam
Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :
a. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan
tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk
melaksanakannya.
b. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat
mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus
kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka
diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah
dirumuskan.
c. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab
dalam implementasi kebijakan.
d. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.
17
2. Model Elmore, dan kawan-kawan
Model kelima adalah model yang disusun Richard Elmore (1979), Michael Lipsky
(1971), dan Benny Hjern dan David OPorter (1981). Model ini dimulai dari
mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan
menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang
mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan publik yang
mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau
tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu,
kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publik yang menjadi
target atau kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi
pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
18
mempunyai keterkaitan dengan teori Hogwood dan Gunn. Variabel sumber daya, tugas
yang rinci dan komunikasi pada teori Hogwood dan Gunn merujuk pada faktor
kelancaran rutinitas fungsi tidak akan berjalan dengan baik, sedangkan point komunikasi
yang baik serta prosedur yang efektif dari teori Hogwood dan Gunn secara implisit, dapat
mengacuh pada dimensi kepatuhan yang terdapat pada teori Ripley and Franklin. Dengan
demikian, antara ketiga teori tersebut ada keterkaitan unsur, walaupun cara
pengungkapannya berbeda.
19
2. UU nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
3. UU no. 17 tahun 2005 tentang rencana pembangunan jangka panjang
nasional, beserta segala ketentuan yang dituangkan rencana pembangunan
jangka menengah nasional, dan
4. Peraturan pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang standart nasional
pendidikan sebagaimana telah diubah dengan PP no. 19 tahun 2005 tentang
standart nasional pendidikan.
3. Landasan Konseptual
a. Relevansi pendidikan
b. Kurikulum berbasis kompetensi dan karakter
c. Pembelajaran kontekstual
d. Pembelajaran aktif
e. Penilaian yang valid, utuh dan menyeluruh.
20
2. Pemerintah bertanggungjawab dalam melakukan evaluasi pelaksanaan kurikulum
secara nasional.
3. Pemerintah propinsi bertanggungjawab dalam melakukan supervisi dan evaluasi
terhadap pelaksanaan kurikulum di propinsi terkait.
4. Pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab dalam memberikan bantuan
profesional kepada guru dan kepala sekolah dalam melaksanakan kurikulum di
kabupaten/kota terkait.
5. Strategi Implementasi Kurikulum terdiri atas:
a. Pelaksanaan kurikulum di seluruh sekolah dan jenjang pendidikan yaitu:
Juli 2013: Kelas I, IV, VII, dan X
Juli 2014: Kelas I, II, IV, V, VII, VIII, X, dan XI
Juli 2015: kelas I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, dan XII
b. Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dari tahun 2013 2015
c. Pengembangan buku siswa dan buku pegangan guru dari tahun 2012 2014
d. Pengembangan manajemen, kepemimpinan, sistem administrasi, dan
pengembangan budaya sekolah (budaya kerja guru) terutama untuk SMA dan
SMK, dimulai dari bulan Januari Desember 2013
e. Pendampingan dalam bentuk Monitoring dan Evaluasi untuk menemukan
kesulitan dan masalah implementasi dan upaya penanggulangan: Juli 2013
2016.
21
Implementasi kurikulum 2013 menuntut guru untuk mengorganisasikan
pembelajaran secara efektif. Sedikitnya terdapat lima hal yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan pengorgsnisasian pembelajaran dalam implementasi kurikulum
2013, yaitu pelaksanaan pembelajaran, pengadaan dan pembinaan tenaga ahli,
pendayagunaan tenaga ahli dan sumber daya masyarakat, serta pengembangan dan
penataan kebijakan.
5. Memilih dan menentukan pendekatan pembelajaran.
Implementasi kurikulum 2013 berbasis kompetensi dalam pembelajaran dapat
dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan tersebut antara lain
pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learing), bermain peran,
pembelajaran partisipatif (participative teaching and learning), belajar tuntas
(mastery learning), dan pembelajaran konstruktivisme (constructivism teaching and
learning).
6. Melaksanakan pembelajaran, pembentukan kompetensi, dan karakter. Pembelajaran
dalam menyukseskan implementasi kurikulum 2013 merupakan keseluruhan proses
belajar, pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik yang direncanakan.
Untuk kepentingan tersebut maka kompetensi inti, kompetensi dasar, materi standart,
indikator hasil belajar, dan waktu yang harus ditetapkan sesuai dengan kepentingan
pembelajaran sehinga peserta didik diharapkan memperoleh kesempatan dan
pengalaman belajar yang optmal.dalam hal ini, pembelajaran pada hakikatnya adalah
proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi
perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Pada umumnya kegiatan pembelajaran
mencangkup kegiatan awal atau pembukaan, kegiatan inti atau pembentukan
kompetensi dan karakter, serta kegiatan akhir atau penutup.
Selanjutnya adalah perbedaan esensial kurikulum SD dan SMP antara KTSP
2006 dan Kurikulum 2013.
KTSP 2006 Kurikulum 2013
Mata pelajaran tertentu mendukung Tiap mata pelajaran mendukung semua
kompetensi tertentu kompetensi
Mata pelajaran dirancang berdiri Mata pelajaran dirancang terkait satu dengan
sendiri dan memilki kompetensi dasar yang lain
sendirian
Bahasa Indonesia sebagai pengetahuan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
Tiap mata pelajaran diajarkan dengan Semua mata pelajaran diajarkan dengan
pendekatan yang berbeda pendekatan yang sama, yaitu pendekatan
22
saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba
, menalar
TIK adalah mata pelajaran sendiri TIK merupakan sarana pembelajaran,
dipergunakan sebagai media pembelajaran mata
pelajaran lain.
Adapun perbedaan esensial kurikulum SMA/SMK dapat dilihat dalam tabel berikut:
KTSP 2006 Kurikulum 2013
Mata pelajaran tertentu mendukung Tiap mata pelajaran mendukung semua
kompetensi tertentu kompetensi
Mata pelajaran dirancang berdiri Mata pelajaran dirancang terkait satu dengan
sendiri dan memilki kompetensi dasar yang lain
sendirian
Bahasa Indonesia sebagai pengetahuan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
Tiap mata pelajaran diajarkan dengan Semua mata pelajaran diajarkan dengan
pendekatan yang berbeda pendekatan yang sama, yaitu pendekatan
saintifik melalui mengamati, menanya,
mencoba , menalar
SMA ada penjurusan sejak kelas XI Tidak ada penjurusan di SMA. Ada mata
pelajaran wajib, peminatan, antar minat, dan
pendalaman minat.
SMA dan SMK tanpa kesamaan SMA dan SMK memiliki mata pelajaran wajib
kompetensi yang sama terkait dasar-dasar pengetahuan
ketrampilan, dan sikap.
Penjurusan di SMK sangat detail (sampai Penjurusan di SMK tidak terlalu detail, di
keahlian) dalamnya terdapat pengelompokan peminatan
dan pendalaman
23
padahal guru-guru lain selain matematika, bahasa Indonesia, dan Sejarah belum dilatih
bagaimana menerapkan kurikulum 2013 pada mata pelajaran yang diampunya.
Pada kenyataannya, karena adanya perbedaan kemampuan dan pengetahuan
guru, belum semua guru mampu mengembangkan kegiatan pembelajaran yang dapat
memfasilitasi siswa untuk mengamati fenomena yang terjadi yang berhubungan dengan
materi pelajarannya. Hal inilah salah satunya yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan
kurikulum 2013. Oleh karena itu, sangat perlu bagi masing-masing sekolah mengadakan
kegiatan :
1. Lesson study ataupun workshop yang membahas cara mengajarkan kegiatan
pembelajaran yang dimaksudkan dalam kurikulum 2013.
Menurut Sudrajat (2008) lesson study merupakan satu upaya meningkatkan proses
dan hasil pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan
oleh sekelompok guru. dengan berkolaborasi guru mampu mengembangkan
bagaimana siswa belajar dan bagaimana membelajarkan siswa. Selain itu
melalui lesson study guru dapat memperoleh pengetahuan dari guru lainnya atau
narasumber. Hal ini diperoleh melalui adanya umpan balik dari anggota lesson
study. Sehingga kemampuan guru semakin hari semakin bertambah baik dengan
melakukan contoh kemudian dikritisi ataupun dari memperhatikan contoh
kemudian mengkritisi.
2. Pertemuan antar sekolah yang sudah menerapkan kurikulum 2013
Pertemuan ini mengumpulkan semua perwakilan sekolah yang ditunjuk
melaksanakan kurikulum 2013 untuk mengevaluasi tahap awal peneraan pola
pembelajaran baru dalam sebulan terakhir. Pertemuan ini penting sebab sebagian
sekolah merasa mampu menerapkan kurikulum baru dengan baik, namun yang
lain kesulitan. Sehingga dengan adanya forum ini akan terjalin tukar menukar
pengalaman tentang pelaksanaan kurikulum 2013 di masing-masing sekolah.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Rangkaian implementasi kebijakan dapat diamati dengan
jelas yaitu dimulai dari program, ke proyek dan ke kegiatan. Dalam berbagai sistem
politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan
tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah dari hari ke hari yang membawa
dampak pada warganegaranya. Namun dalam praktik badan-badan pemerintah sering
menghadapi pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat dari undang-undang yang terlalu
makro dan mendua, sehingga memaksa mereka untuk membuat diskresi.
Penyebab kompleksitas implementasi salah satunya karena proses
implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang
individual maupun variabel organisasional. Keberhasilan implementasi kebijakan akan
ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling
berhubungan satu sama lain. Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ada
ketidak tetapan atau ketidak tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri.
Administrator sebagai penyelenggara pemerintahan mempunyai peranan
sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu kebijakan yang dibuatnya. Dalam
hal ini contoh dari kegagalan implementasi kebijakan yaitu kurikulum 2013 yang telah
dilaksanakan oleh pemerintah, yang diimplementasikan pada pertengahan tahun 2013,
kegagalan implementasi kurikulum ini dapat dilihat dari proses belajar mengajar yang
tidak efektif hal tersebut disebabkan guru yang mengajar masih bingung dengan arah
kurikulum 2013 serta kurikulum ini tidak menimbulkan dampak signifikan pada karakter
serta semangat belajar siswa. Dengan banyaknya pro dan kontra yang terjadi di
masyarakat maka kurikulum ini akhirnya tidak berlaku lagi mulai semester genap
2014/2015.
25
3.2 Saran
Dalam sebuah kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah dan telah
direalisasikan kepada masyarakat ada kalanya merupakan sebuah kebijakan yang dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat, karena kebijakan tersebut mampu menanggulangi
krisis dan ketimpangan serta masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, akan tetapi
ada kalanya pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan tidak diterima oleh
masyarakat karena kebijakan tersebut dinilai tidak sesuai dengan kondisi dan situasi yang
ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, saran dalam makalah ini adalah sebaiknya
pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan hendaklah melihat realita dalam
masyarakat sehingga kebijakan yang akan ditetapkan dapat diterima oleh masyarakat dan
kebijakan tersebut dapat menjadi solusi yang tepat bagi problematika dalam masyarakat
tersebut.
26
DAFTAR PUSTAKA
Jones, Charles O. 1984. Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
27