Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

TEORI & MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

Diajukan untuk memenuhi Tugas

MataKuliah Kebijakan Publik

Disusun Oleh:

Nurul Farazila/2030711046

Dosen Pengampu:

Dine Meigawati,.M.Si

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMNISTRASI DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI

2022
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Implementasi adalah bagian dari proses kebijakan publik, disamping
tahapan sebelumnya agenda setting, formulation, adoption dan tahapan
sesudahnya assesement. Adapun yang dimaksud dengan implementasi
kebijakan iyalah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih
lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan tindakan dengan
tujuan (Charles O Jones, 1991). Abdul Wahab (1997) menjelaskan fungsi
implementasi kebijakan adalah untuk membentuk suatu hubungan yang
memungkinkan tujuan tujuan atau sasaran diwujudkan sebagai outcomes
(hadil akhir yang dilakukan pemerintah). Oleh sebab itu mencakup penciptaan
policy delivery system penyelenggaraan kebijaksanaan negara yang biasanya
terdiri atas cara-cara atau sarana sarana tertentu yang dirancang / didesain
secara khusus serta diarahkan menuju tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran
sasaran yang dikehendaki.1
Apabila dilihat dari nilai presentasinya maka kontribusi konsep mencapai
60% dari keberhasilan, khususnya di zaman sekarang dimana data dan
informasi tentang masa depan sudah bisa diakses. Jika kita sudah mempunyai
konsep yang baik,60% keberhasilan sudah ditangan. Namun,yang 60% itu pun
akan hangus jika 40% implementasinya tidak konsisten dengan konsep. Jadi
dapat dilihat, implementasi kebijakan itu memang krusial. Implementasi
kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu
program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau
tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan banyak memerlukan tenaga
kerja, uang, dan kemampuan organisasional dari apa yang telah ada.
Berdasarkan keadaan ini, implemantasi kebijakan adalah sebuah proses dalam
mendapatkan sumberdaya tambahan sehingga dapat mengukur apa-apa yang
telah dikerjakan.

1
Implemantasi kebijakan bersifat interaktif dengan kegiatan-kegiatan
kebijakan yang mendahuluinya. Implemantasi mungkin dapat dipandang
sebuah proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang
mampu meraihnya,dengan demikian implementasi menjadi suatu jaringan
yang tak tampak, tetapi memiliki kemampuan untuk membentuk hubungan-
hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan
tindakan dengan tujuan. Masalah yang penting dalam implementasi kebijakan
adalah memindahkan suatu keputusan ke dalam kegiatan atau pengoperasian
dengan cara tertentu. Dan cara tersebut adalah, bahwa apa yg dilakukan
memiliki kemiripan nalar dengan keputusan tersebut, serta berfungsi dengan
baik didalam lingkup lembaganya.
Namun, untuk menjalankan implementasi kebijakan publik tentunya aka
nada model-model proses dalam pengimplementasiannya. Model
implementasi kebijakan publik pada dasarnya merupakan abstraksi yang
bersifat penyederhanaan dari fenomena implementasi kebijakan publik di
dunia nyata. Walaupun para ilmuan tertarik mengkaji kebijakan publik
semakin meningkat, namun relatif sedikit yang diketahui orang mengenai
proses implementasi kebijakan. Keadaan ini akan berdampak negatif dalam
dua hal. Pertama, hal ini tentu saja merupakan kekurangan yang tidak
menguntungkan dalam usaha memahami proses kebijakan Kedua,kondisi ini
akan lebih mendorong terjadinya kesempatan/peluang untuk memberi saran
yang kurang baik pada para pembentuk kebijakan. Hal itu juga berpengaruh
pada studi implementasi yakni dimana ada beberapa alasan mengapa studi
mengenai implementasi kebijakan sering diabaikan oleh ilmuan politik.
Pertama, pengabaian studi implementasi kebijakan sebagaian disebabkan
oleh asumsi yang naif yang tersirat dalam banyak studi kebijakan. Mereka
mempunyai asumsi bahwa sekali kebijakan itu dibuat oleh pemerintah, maka
kebijakan itu akan diimplementasikan dan hasil-hasil yang diinginkan akan
mendekati hasil-hasil yang diharapkan oleh para pembentuk kebijakan. Proses
implementasi dianggap merupakan serangkaian keputusan-keputusan dan
interaksiinteraksi biasa yang tidak layak mendapatkan perhatian.
Kedua pada tahun 1960-an di negara maju Penyusunan Program dan
Perencanaan hanya memberikan konsentrasinya kepada para pembuat
keputusan pada pilihan-pilihan antara metodemetode yang berbeda untuk
mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dipilih dengan
mengesampingkan esalon-esalon bawahan dari badan yang bertanggung jawab
bagi implementasi. Ketiga sulitnya mengkaji secara rinci proses implementasi
kebijakan karena sangat kompleks dan para sarjana seringkali dihambat oleh
pertimbangan-pertimbangan metodologi, batas kajian dan membatasi aktor-
aktor yang relevan, sehingga untuk melengkapi studi implementasi
membutuhkan banyak variabel dan sangat sulit untuk mengukurnya.
Implementasi yang dirancang oleh pemerintah pusat (federal government)
cenderung gagal ketika diimplementasikan oleh pemerintah negara bagian
(state govermant), namun sampai hari ini fenomena kegagalan tersebut masih
terus saja berulang. Berbagai kebijakan dan program pembangunan yang
dirancang secara baik oleh pemerintah ketika dilapangan pada proses
implementasi ternyata hasil pencapaiannya jauh dari apa yang diharapkan.
Fakta yang ada dapat menunjukkan bahwa berbagai kondisi ideal yang
tercantum di dalam dokumen kebijakan, misalnya undang-undang,peraturan
pemerintah,regulasi yang setingkat dengan menteri dan program
pembangunan tahunan yang rutin ternyata ketika harus berhadapan dengan
kenyataan atau realitas lapangan menjadi mandeg atau dengan kata lain sulit
untuk direalisasikan.
Dalam kasus Indonesia, kita sering membaca di media cetak,melihat di
TV, atau bahkan menyaksikan secara langsung berbagai kejadian kegagalan
implementasi kebijakan,program, dan proyek pembangunan yang
dilaksanakan oleh pemerintah (baik pemerintah pusat, provinsi, maupun
daerah). Pada tingkat pemerintah pusat kita sering menyaksikan kegagalan
implementasi berbagai kebijakan dan program pembangunan yang dirancang
oleh kementerian /lembaga. Implementasi kegagalan pemerintah Indonesia
dalam mengimplemantasikan berbagai kebijakan dan program pembangunan
adalah masih belum mampu mewujudkan aganda pemerintah untuk mengatasi
berbagai persoalan pelik, seperti: peningkatan kualitas pelayanan pendidikan,
kesehatan, sanitasi dan air bersih, peningkatan kesempatan kerja, dan
pembangunan infrastruktur. Akhirnya suatu studi implementasi yang
komprehensif memerlukan perhatian yang besar terhadap banyak tindakan
dalam kurun waktu yang panjang. Hal ini akan berakibat pada kebutuhan
alokasi waktu yang lama dan sumber-sumber yang besar untuk melakukan
studi implementasi kebijakan.
Berdasarkan dari latar belakang diatas, adapun persoalan yang akan
dibahas dan ingin diketahui oleh penulis ialah “Teori dan Model-model
Implementasi Kebijakan Publik”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, adapun
rumusan masalah yang akan penulis bahas dan ketahui lebih mendalam ialah:
1. Apa saja teori dari implementasi kebijakan publik ?
2. Bagaiamana proses dari model-model implementasi kebijakan publik itu
sendiri ?
3. Bagaimana pengimplementasian kebijakan publik dalam salah satu studi
kasus di Indonesia, apakah sudah terealisasikan dengan optimal ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan dari rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penulisan
makalah ini ialah:
1. Untuk mengetahui lebih spesifik lagi terhadap Teori Implementasi
kebijakan publik.
2. Untuk mengetahui proses model implementasian kebijakan publik.
3. Untuk mengetahui akan pengimplementasian kebijakan publik dalam
sebuah studi kasus yang terjadi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Implementasi Kebijakan Publik


2.1.1 Definisi Teori Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi atau pelaksanaan kebijakan publik merupakan rangkaian kegiatan


setelah suatu kebijakan dirumuskan tanpa suatu implementasi, suatu kebijakan
yang telah dirumuskan akan sia-sia saja. Oleh karena itu, implementasi kebijakan
mempunyai kedudukan yang penting di dalam kebijakan publik. Mengutip
Grindle (1980), Solichin Abdul Wahab (2002: 59) mengemukakan bahwa
implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran-penjabaran keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin
melalui saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, implementasi kebijakan
menyangkut masalah konflik, keputusan dan menyangkut siapa yang memperoleh
apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu, implementasi kebijakan merupakan
kegiatan yang penting dari keseluruhan proses kebijakan, bahkan mungkin jauh
lebih penting daripada Perumusan kebijakan. Dalam (Wahab, 2002: 59) Chef
Udoji mengemukakan Kebijakan publik hanya akan sekedar berupa impian atau
rencana yang bagus yang tersimpan rapi dalam arsip atau tidak
diimplementasikan. Selain itu, Implementasi juga dikatakan sebagai bagian dari
proses kebijakan publik, disamping tahapan sebelumnya agenda
setting, formulation, adoption dan tahapan sesudahnya assesement. Adapun yang
dimaksud dengan implementasi kebijakan adalah “kemampuan untuk membentuk
hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab-akibat yang
menghubungkan tindakan dengan tujuan” (Charles O Jones, 1991) . Jadi dalam
kaitannya dengan suatu kebijakan publik , disini adanya upaya membentuk
Linkage (kaitan) antara tindakan program dengan tujuan/sasaran program yang
hendak dicapai.
Sedangkan Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier mendefinisikan implementasi
adalah sebagai berikut : “Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam
bentuk undang-undangan, namun dapat berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.
Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi,
menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai
cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasi“ (Solichin Wahab,
1991).
Dunn (1981), menyatakan bahwa kebijakan public meliputi beberapa hal,
misalnya: (i) bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-
pernyataan yangingin dicapai; (ii) proposal tertentu yang mencerminkan
keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih; (iii)kewenangan formal
seperti undang-undang atau peraturan pemerintah; (iv) program, yakni
seperangkat kegiatan yangmencakup rencana penggunaan sumber daya lembaga
danstrategi pencapaian tujuan (v) keluaran (output), yaitu apayang nyata telah
disediakan oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan tertentu; (vi) teori yang
menjelaskan bahwa jika kita melakukan X, maka akan diikuti oleh Y; (vii) proses
yang berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relative panjang.
Abdul Wahab (1997) menjelaskan fungsi implementasi kebijakan adalah untuk
membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran
diwujudkan sebagai outcomes (hasil akhir dilakukan pemerintah). Oleh sebab itu
mencakup penciptaan policy delivery system penyelenggaraan kebijaksanaan
negara yang biasanya terdiriatas cara-cara atau sarana-sarana tertentu yang
dirancang/didesain secara khusus serta diarahkan menuju tercapainya tujuan-
tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki. Implementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak
lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua
pilihan Langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari
kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau Peraturan
Daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau
sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa
langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dan lain-
lain (Riant 2004). Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam
proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Van Meter dan Van Horn
(dalamBudi Winarno, 2008) mendefinisikan implementasi kebijakan publik
sebagai tindakan-tindakan dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-
tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan
menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam
rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dankecil
yangditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan yang dilakukan oleh
organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan.
Pengertian implementasi di atas apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah bahwa
sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk
positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan
atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan atau
diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu.
Studi implementasi mulai mendapatkan perhatian yang luas pada tahun 1970an,
manakala Jeffrey Pressman dan Aaron Widavsky pada tahun 1973 menerbitkan
buku yang merupakan hasil penelitian mereka berjudul ‘Implementation’,
dianggap telah memberikan sumbangan yang paling berpengaruh dalam
perkembangan kajian Implementasi Kebijakan Publik (Parsons, 2006 : 465). Hasil
penelitian tersebut melahirkan suatu pendekatan yang bersifat rasional dengan
sudut pandang top-down. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa apa yang sudah
diputuskan (Kebijakan) adalah alternatif terbaik dan agar mencapai hasil, maka
kontrol administrasi dalam proses implementasinya adalah hal yang mutlak
dilakukan. Dalam pendekatan ini proses pembuatan kebijakan dipandang sebagai
sebuah proses yang rasional, sedangkan implementasi merupakan pelaksanaan
tujuan yang telah dipilih melalui tindakan-tindakan yang rasional pula. Kemudian
muncul Erwin Hargrove (1975) dalam Wahab (2012 : 127) yang mempertanyakan
‘missing link’ (mata rantai yang hilang) dalam studi kebijakan publik, khususnya
pada proses antara formulasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Hargrove
mengemukakan dalam buku ‘The Missing Link: Study of Implementation of
Social Policy’ bahwa selama ini studi tentang Kebijakan Publik terfokus pada
studi tentang proses pembuatan kebijakan dan evaluasi kebijakan, sehingga
mengabaikan masalah implementasinya.
1.2.2 Model-Model Implementasi Kebijakan Publik
Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, 20%
sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi
kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah
yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, di lapangan. Selain itu ancaman
utama adalah konsistensi implementasi Dalam implementasi kebijakan, ada
banyak model kebijakan dari berbagai ahli. Semua model kebijakan tersebut
berusaha menjelaskan keberhasilan suatu pelaksanaan suatu kebijakan,
seperti model-model kebijakan yang dikelompokkan oleh PeterdeLeon dan
Linda deLeon (2001) yaitu Generasi pertama yaitu pada tahun 1970-
an,memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah yang
terjadi antara kebijakan dan eksekusinya.Pada generasi ini implementasi
kebijakan berhimpitan dengan studi pengambilan keputusan disektor
publik.Generasi Kedua, tahun 1980- an,adalah generasi yang
mengembangkan pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat ”dari
atas ke bawah” (top-downer perspective).Perspektif ini lebih fokus pada
tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan yang diputuskan secara
politik. Para ilmuan sosial yang mengembangkan pendekatan ini adalah
Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983),Rober Nakamura dan Franks
Smallwood (1980), dan Paul Berman (1980). Pada saat yang sama muncul
pendekatan bootom-upper yang dikembangkan oleh Michael Lipsky
(1971,1980), dan Benny Hjren (1982,1983). Generasi Ketiga 1990- an,
dikembangkan oleh ilmuan sosial Malcom L. Goggin (1990),
memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor pelaksana
implementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi
kebijakan. Pada saat yang sama, muncul pendekatan kontijensi atau
situasional dalam implementasi kebijakan yang mengemukakan bahwa
implementasi kebijakan banyak didukung oleh adaptabilitas implementasi
kebijakan tersebut. Para ilmuan yang mengembangkan pendekatan ini
antara lain Richard Matland (1995),Helen Ingram (1990), dan Denise
Scheberle (1997).
1.Model Van Meter dan Van Horn
.........................................................................Model pertama dikemukakan oleh duet Dona
Van Horn (1975: 462 – 474) adalah model yang paling klasik.Model ini
mengendalikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari
kebijakan publik,implementor, dan kinerja kebijakan publik. Model
kebijakan adalah yang memperlihatkan 6 variabel yang membentuk
hubungan antara kebijakan dengan kinerja, yaitu, policy standard and
objectives, policy resources, kemudian ditambah lagi dengan 4 faktor yang
berhubungan dengan kinerja kebijakan, yaitu, interorganizational
communication and enforcement activities; characteristics of the
implementation agencies; economic, social, and political condition; and
disposition of implementors.
1) Policy Standard and Objectives ( Standar dan Tujuan Kebijakan)
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kinerja kebijakan adalah
standar dan tujuan-tujuan kebijakan.Oleh karena itu, indikator-indikator
keberhasilan dan tujuan-tujuan kebijakan perlu jelas sehingga pihak pelaksana
kebijakan tidak menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda dengan
pembuat kebijakan. Terjadinya berbagai interpretasi dari tujuan kebijakan
tersebut akan dapat menimbulkan kegagalan dalam pelaksanaan kebijakan.
2) Policy Resources (Sumber Daya Kebijakan)
Selain indikator-indikator kinerja kebijakan dan tujuan-tujuan kebijakan harus
jelas, juga sumber-sumber daya pendukung pelaksanaan kebijakan tidak bisa
disepelekan. Sumber-sumber daya yang dimaksud di sini adalah dana, materi,
manusia ,dan berbagai insentif yang dapat melancarkan pelaksanaan suatu
kebijakan. Insentif dapat berupa pemberian hadiah bagi mereka yang berhasil
dalam pelaksanaan pekerjaan, dan pemberian “hukuman” bagi mereka yang
gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3) Interorganizational Communication and Enforcement Activities (Komunikasi
Antaraorganisasi dan Kegiatan Penegakan)
Dalam model ini, standar kinerja dan tujuan-tujuan kebijakan serta
sumbersumber daya merupakan faktor-faktor utama yang menentukan kinerja
kebijakan. Selain faktor-faktor utama tersebut, ada faktor pendukung lain yang
perlu diperhatikan dalam memperlancar pelaksanaan kebijakan, diantaranya
adalah komunikasi antar organisasi dan aktivitas-aktivitas penguatan.
Komunikasi antar organisasi perlu untuk memperlancar proses berjalannya
informasi dari sumber-sumber informasi dalam rangka memperjelas standar-
standar atau indikator-indikator kinerja kebijakan. Baik atau tidaknya saluran
komunikasi antar organisasi pelaksana kebijakan akan mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kebijakan tersebut. Demikian pula,
untuk menjamin keberhasilan implementasi kebijakan diperlukan adanya
pendorong atau penguatan terhadap pihak pelaksana. Aktivitas penguatan yang
dimaksud adalah technical advice and assistance dan ganjaran baik posistif
maupun negatif, bagi pihak pelaksana kebijakan.
4) The Characteristic of the Implementing Agencies (Karakteristik Lembaga
Pelaksana/Pemerintah)
mplementasi kebijakan, adalah karakteristik badan yang melaksanakan
kebijakan. Menurut Ripley (dikutif oleh Meter & Horn, 1971 : 471), ada 6
karakteristik yang perlu dimiliki oleh badan pelaksana kebijakan, yaitu :
(1) kompetensi dan ukuran staf lembaga
(2) tingkat kontrol hierarki keputusan dan proses subunit di dalam
lembaga pelaksana
(3) sumber daya politik kelembagaan (misalnya, dukungan di antara
legislator dan eksekutif
(4) vitalitas organisasi
(5) tingkat komunikasi "terbuka" (yaitu, jaringan komunikasi
dengan komunikasi horizontal dan vertikal gratis, dan tingkat
yang relatif tinggi kebebasan berkomunikasi dengan orang di luar
organisasi) dalam organisasi
(6) hubungan formal dan formal dan informal lembaga dengan
“pembuatan kebijakan” atau badan “penegakan kebijakan”
5) Economic, Social, and Political Conditions (Kondisi Ekonomi, Sosial, dan Politik)
Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik merupakan salah satu faktor
pendukung yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan.Dalam hal
ini, ketersediaan sumber-sumber daya ekonomi sangat dibutuhkan dalam
kesuksesan implementasi kebijakan. Hal yang sama pula, bahwa kondisi sosial
perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan, karena hal merupakan
kelompok sasaran dari suatu kebijakan publik. Demikian juga, pentingnya
kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat diperhatikan, baik dalam
formulasi kebijakan maupun dalam implementasinya.
6) The Disposition of Implementors (Disposisi Pelaksana)
Faktor pendukung ke empat yang perlu mendapat perhatian dalam
implementasi kebijakan adalah disposisi para pelaksana kebijakan. Setiap
komponen dalam model di atas akan disaring melalui persepsi dari para
implementor. Terdapat tiga elemen yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu
their cognition (comprehension, understanding) of the policy, the direction of
their response toward it (acceptance, neutrality, rejection), and the intensity of
that response.
Untuk memperjelas keterkaitan-keterkaitan antara setiap komponen dalam
model implementasi kebijakan, dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 1
Model Proses Implementasi Kebijakan
Sumber: Van Meter and Van Horn (1975: 463)

Berdasarkan model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh van Meter dan van
Horn di atas, terlihat bahwa mereka berusaha memperbaiki atau melengkapi kelemahan
yang dimiliki oleh pendekatan implementasi kebijakan dari atas ke bawah (Top-Down
Approach), dan sekaligus merupakan kelebihan yang dimiliki oleh model implentasi ini,
yaitu: 1) kejelasan variabel-variabel implementasi kebijakan; dan 2) kejelasan hubungan
saling mempengaruhi antara variabel-variabel tersebut. Kelemahan yang dimiliki oleh
model implementasi ini adalah adanya tumpang tindih antara indikator dan dimensi dari
variabel performance (kinerja kebijakan).Hal ini terlihat dalam penjelasan hipotesis yang
dibangun, standar dan tujuan kebijakan, dan sumber daya berubah menjadi variabel
antara.

2.Model Mazmanian dan Sabatier


Selanjutnya, model kebijakan kedua dikemukakan oleh Daniel Mazmanian dan
Paul A.Sabatier (1983),yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya
melaksanakan keputusan kebijakan. Hal yang berbeda dengan model kebijakan
top down dan model kebijakan van Meter dan van Horn, melihat keberhasilan
suatu kebijakan ditentukan oleh berbagai variabel yang saling berkaitan.
Mazmanian dan Sabatier (1983 : 71) memperkenalkan model implementasi
kebijakan dengan suatu kerangka analisis implementasi (a frame work for
implementation analysis) sebagai salah satu model implementasi kebijakan yang
tepat dan operasional. Menurut mereka, analisis implementasi kebijakan adalah
mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-
tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Ada tiga kategori variabel
dimaksud, yakni : 1) Variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah yang
akan digarap,yang berkenaan dengan indicator masalah teori dan teknis
pelaksanaan,keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
2)Variabel Intervening, yaitu kemampuan keputusan kebijakan untuk
menstrukturkan secara tepat proses implementasi dengan indicator kejelasan
dan konsistensi tujuan,dipergunakan teori kausal,ketepatan alokasi sumber
dana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari
lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada
pihak luar; dan variable di luar kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi yang berkenaan dengan indicator kondisi sosio-ekonomi dan
teknologi,dukungan publik,sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang
lebih tinggi, dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana ,
dan 3) Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan
lima tahapa pemahaman dari lembaga-lembaga atau badan pelaksana dalam
bentuk disusunnya kebijakan pelaksans,kepatuhan objek,hasil nyata,penerimaan
atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang
dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat
mendasar. Pengaruh langsung perbagai variabel politik terhadap keseimbangan
dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan publik
dimaksud. Ketiga kategori variabel itu diperlukan sebagai independen variabel,
yang dibedakan dari tahap-tahap implementasi lainnya yang harus diperlukan
sebagai variabel tergantung.
Dalam hubungan antar variabel ini, setiap tahap akan berpengaruh terhadap
tahap yang lain, sebagaimana pada gambar di bawah ini:

Gambar 4

Variabel-Variabel Proses Implementasi Kebijakan


Sumber: Mazmanian dan Sabatier (1983:71)

Berdasarkan model implementasi ini, terlihat bahwa keunggulan dari model ini adalah
kemampuannya mengidentifikasi dan menjelaskan proses implementasi kebijakan,
mulai dari output kebijakan sampai pada dampak dari kebijakan tersebu, yang
ditunjukkan sebagai variabel tergantung dan dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas
yang teridentifikasi sebagaimana pada gambar model di atas. Kelemahannya adalah
model proses implementasi ini yang relatif rumit, yang tidak hanya terletak pada
birokrasi sebagai implementor, tetapi juga faktor-faktor di luar birokrasi.

3.Model Hogwood dan Gunn


Model ketiga adalah model Brian W.Hogwood dan Lewis A.Gunn (1978) yang
dalam pemetaan kita beri label “MS” yang terletak di kuadran “puncak bawah”
dan berada di “mekanisme paksa” dan “mekanisme pasar”. Pada model Top
Down Approach, Wahab (1997 : 13) mengemukkakan bahwa untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan publik secara sempurna atau perfect
implementation maka diperlukan 10 persyaratan, yaitu :
“Pertama, kondisis eksternal yang dihadapi instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan yang serius. Kedua, untuk pelaksanaan program
tersedia waktu dan sumber-sumber daya yang cukup memadai. Ketiga,
perpaduan sumbersumber yang diperlukan benar-benar tersedia. Keempat,
kebijakan yang akan dimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas
yang handal. Kelima, hubungan kausalitas yang bersifat langsung dan hanya
sedikit mata rantai penghubungnya. Keenam, hubungan saling ketergantungan
harus kecil. Ketujuh, Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap
tujuan. Kedelapan, tugastugas terperinci dan ditempatkan dalam urutanyang
tepat. Kesembilan, komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Kesepuluh,
pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna.”
Model pendekatan implementasi kebijakan dari atas ke bawah di atas,
menunjukkan persyaratan-persyaratan yang harus di miliki oleh suatu studi
implementasi kebijakan. Keunggulan dari pendekatan ini terletak pada kejelasan
persyaratan-persyaratan implementasi kebijakan. Kelemahan dari pendekatan
tersebut adalah 1) tidak menunjukkan variabel-variabel atau dimensi-dimensi
dari implementasi kebijakan; dan 2) tidak menunjukkan kejelasan-kejelasan
hubungan antar variabelvariabel atau dimensi-dimensi implementasi kebijakan.
4.Model Goggin,Bowman, dan Lester
MalcomGoggin,Ann Bowman, dan James Lester mengembangkan apa yang
disebut sebagai “communication model” untuk implementasi kebijakan, yang
disebutnya sebagai generasi ketiga model implementasi kebijakan (1990).
Goggin, dan kawan-kawan bertujuan mengembangkan model implementasi
kebijakan yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan metode
penelitian dengan menggunakan Variabel-Variabel Proses Implementasi
Kebijakan oleh Mazmanian dan Sabatier (independen, intervening, dependen)
dan meletakkan faktor komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi
kebijakan. Modelnya digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3
Model Goggin
Sumber: (Goggin, dkk)

5.Model Grindle
Model Merilee S. Grindle (1980), model ini ditentukan oleh isi kebijakan dan
konteks implementasinya. Dalam model implementasi kebijakan, Grindle (1980 :
11) menamakan modelnya “Implementation as a Political and Administratif
Process”. Pada model ini, menunjukkan adanya keterkaitan antara tujuan
kebijakan, program-program tindakan dan proyek-proyek individual telah
tersusun dan dibiayai, aktivitas-aktivitas pelaksanaan kebijakan, dan hasil dari
kebijakan.
Menurut Grindle (1980 : 11), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan adalah “content” dan “context” dari kebijakan tersebut.
1) Content atau isi kebijakan, terdiri dari :
(1) Interest affected (Minant Pengaruh)
Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan sangat tergantung pada
kepentingan-kepentingan yang ada pada kebijakan tersebut.Dalam hal
ini, apakah kebijakan itu mewakili kepentingan orang-orang tertentu
saja atau mewakili kepentingan-kepentingan masyarakat luas. Suatu
kebijakan akan berhasil apabila mendapat dukungan luas dari
masyarakat sebagai kelompok sasaran dari. Suatu kebijakan akan
mendapat dukungan yang luas dari kelompok sasarannya kalau
kebijakan tersebut mewakili kepentingankepentingannya, demikian pula
sebaliknya.
(2) Type of benefits (Jenis Manfaat)
Keberhasilan suatu kebijakan kalau kebijakan tersebut memberikan
manfaat yang banyak terhadap kelompok sasarannya dan kebijakan
tersebut akan mendapat dukungan yang luas dari kelompok sasarannya.
Hal ini juga terjadi sebaliknya, kalau suatu kebijakan hanya memberikan
manfaat yang sedikit kepada kelompok sasarannya.
(3) Extent of change evisoned (Tingkat perubahan yan terlihat)
Suatu kebijakan yang menginginkan perubahan yang besar, maka
semakin sulit dalam implementasinya.Dalam hal ini, perubahan yang
besar yang merupakan tujuan dari suatu kebijakan maka terdapat
kesulitan dalam mencapai tujuannya.
(4) Site of decision making (Pengambilan Keputrusan)
Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan diimplementasikan sangat
tergantung pada tempat pengambilan keputusan.Semakin jauh lokasi
pengambilan keputusan, maka semakin besar kemungkinan
implementasi kebijakan tidak berhasil dan demikian pula sebaliknya
(5) Program implementors (Pelaksanaan program)
Salah satu yang menentukan keberhasilan atau kegagalan implementasi
kebijakan adalah para pelaksananya.Implementor yang memiliki
kemampuan dan komitmen yang kuat tentunya kebijakan tersebut
berhasil.
(6) Resources commited (sumber Daya Komitmen)
Ketersedian sumber-sumber daya pendukung implementasi kebijakan
akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kebijakan tersebut.
Tentunya, kekurangan sumber-sumber daya pendukung akan
menyulitkan keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan.
2) Context atau lingkungan kebijakan, terdiri dari :
(1) Power, interests, and strategies of actor involved Keberhasilan suatu
kebijakan kalau aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan
tersebut mempunyai kekuatan, kepentingan, dan strategi-strategi dalam
pelaksanaan suatu kebijakan.
(2) Institution and regime characteristics Keberhasilan kebijakan akan
ditentukan pula oleh dukungan institusi dan rezim yang berkuasa.
Dukungan ini bervariasi tergantung dari karakteristik rezim berkuasa.
(3) Compliance and reponsiveness Kebijakan akan berhasil apabila ada
kesesuain tujuan dan bentuk program. Hal yang sama pula kalau para
implementor bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan.

Keterkaitan konsep-konsep yang berpengaruh terhadap implementasi


kebijakan,sebagaimana yang dikemukakan oleh Grindle, Berdasarkan model proses
implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Grindle di bawah ini, terlihat
keunggulan yang dimilikinya adalah kemampuannya mengidentifikasi dan menjelaskan
bukan saja karakteristik birokrasi sebagai pelaksana, tetapi juga kekuasaan dan
kelompok-kelompok kepentingan yang berkaitan dengan implementasi kebijakan
tersebut. Kelemahannya adalah ketidak jelasan mana variabel yang berpengaruh secara
langsung dan variabel yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap hasil kebijakan.
Gambar 4

Keterkaitan Antara Variabel-Variabel yang Berpegaruh Terhadap Implementasi


Kebijakan

Sumber: grindle (1980: 11)

6. Model Elmore
Model keenam adalah model yang dikembangkan secara terpisah oleh Richard
Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjern & David O’Porter (1981).
Mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan
menanyakan kepada mereka seperti tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-
kontak yang mereka miliki, menjadi awal dari model ini. Model implementasi ini
didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk
melaksanakan sendiri implementasi kebijakannya atau mengikut sertakan
pejabat birokrat namun hanya pada tataran rendah. Maka dari itu kebijakan
yang dibuat harus sesuai dengan harapan,keinginan publik yang menjadi target
group atau kliennya.Kebijakan ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik
secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan
(LSM).
7.Model Edward
George Edward III (1980:1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi
publik adalah Lack of attention to implementation. Dikatakannya, without
effective implementation the decision of policy makers will not be carried out
successfully. Selanjutnya, Edward III (1980 : 148) menamakan model
implementasi kebijakannya adalah “direct and indirect impact on
implementation”. Dalam model memperlihatkan dampak langsung dan tidak
langsung terhadap implementasi kebijakan, yaitu komunikasi dan struktur
birokrasi berpengaruh langsung dan tak langsung terhadap implementasi,
sumber-sumber daya dan disposisi berpengaruh langsung terhadap
implementasi kebijakan.Kemudian, diatara keempat faktor berpengaruh
tersebut (komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi) terjadi
hubungan timbal balik.Pengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap
implementasi kebijakan dan hubungan timbal balik diantara keempat faktor
tersebut dapat divisualisasikan melalui model implementasi kebijakan,seperti
pada gambar di bawah ini.
Berdasarkan model implementasi kebijakan Edward di bawah ini, bahwa
kelebihan yang dimilikinya adalah kemampuannya menyederhanakan
fenomenafenomena yang kompleks menjadi suatu model implementasi
kebijakan yang tidak rumit. Kelemahnnya adalah tidak mengidentifikasi dan
menjelaskan faktor-faktor di luar organisasi pelaksana, birokrasi pemerintahan.
Gambar 5

Keterkaitan Konsep-Konsep Implementasi Kebijakan

Sumber: Implementing Public Policy, Edward III, 1980: 148

8.Model Nakamura & Smallwood


Nakamura dan Smallwood mengemukakan bahwa proses kebijakan adalah
proses yang rumit. Maka mereke mencoba mengembangkan model
implementasi kebijakan yang disebut “environments influencing
implementation” yang terdiri atas tiga elemen dan masing-masing memiliki
actors and arenas, yaitu:

Tabel 1

Actors and Arenas

Konsep ini menautkan pembentukan kebijakan dalam implementasi kebijakan secara


praktikal. Konsep ini menjadi magnet yang besar terhadap para praktisi kebijakan, yang
justru mendekatkan antara ilmuan kebijakan dan praktisi kebijakan. Kedekatan
pengaruh lingkungan menjadikan pengetahuan implementasi kebijakan semakin
mampu mengkontribusikan nilai bagi kehidupan bersama. Konsekuensinya adalah
pengetahuan implementasi tidak lagi menjadi monopoli para professor kebijakan
publik, tetapi juga para praktisinya dibirokrasi dan lembaga administrasi publik lainya
Model pengaruh lingkungan terhadap implementasi kebijakan digambarkan sebagai
berikut:

Gambar 6

Environment Influencing Implementations

Sumber: Nakamura & Smallwood (1980: 27)


9.. Model Jaringan
Model jaringan memahami bahwa proses implementasi kebijakan adalah
sebuah complex of interaction processes di antara sejumlah aktor yang berada
dalam Environment I Policy Formulation Arenas and Actors Environment II Policy
Formulation Arenas and Actors Environment III Policy Formulation Arenas and
Actors suatu jaringan (network) aktor-aktor yang indepeden. Interaksi di antara
para aktor dalam jaringan tersebutlah yang akan menentukan bagaimana
implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-permasalahan yang harus
dikedepankan, dan diskresidiskresi yang diharapkan menjadi bagian penting
didalamnya. Dalam pemahaman ini diantara aktor yang berada pada sentral
jaringan menjadi penentu implementasi kebijakan dan keberhasilannya. Pada
gambar berikut, bita dapat melihat pada aktor A,B,C,D,E
Gambar 7

Model Jaringan

1.4 Pemetaan Model dan Pemilihan Model

1) Pemetaan Model

Memahami model-model implementasi pada penjelasan sebelumnya, dapat dilakukan


pemetaan model-model implementasi kebijakan dalam dua kategori penilaian. Pertama
yaitu implementasi kebijakan yang berpola “dari atas ke bawah” (top-bottomer) lawan
dari pola “bawah ke atas” (bottom-topper), dan pemilihan implementasi yang berpola
paksa (command-and-control) dan mekanisme pasar (economic inventives). Model
pemetaan implementasi kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 10
Pemetaan Model Implementasi
Keterangan Angka pada gambar:
1. Donald Vam Meter & Carl Van Horn
2. Daniel Mazmanian & Paul A. Sabatier
3. Brian W.Hoogwood dan Lewis A. Gunn
4. Malcolm Goggin, Ann Bowman, and James Lester
5. Merilee S. Grindle
6. Richard Elmero, M. Lipsky, Benny Hjern, and David O’Porter
7. George Edward III
8. Robert T. Nakamura and Frank Smallwood
9. Network

Dari pemetaan tersebut tampak bahwa sebagian besar model implementasi kebijakan
berada pada model top-to-down, satu model ditengah,satu model yang bottom-to-up,
dan satu model kombinasi atara bottom-up dan pasar. Model Enforced mechanism atau
mekanisme paksa merupakan model yang mengedepankan arti penting lembaga publik
sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanasime paksa dalam
negara,tidak ada mekanisme reward bagi yang menjalani tetapi ada punishment atau
sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau melanggarnya. Model ini juga dikenal
sebagai model “Zero-MinusModel’ yang ada hanya nilai “nol” dan minus.

Model Market mechanism adalah sebuah model yang mengutamakan mekanisme


insentif bagi yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalani tidak mendapatkan sanksi,
tetapi juga tidak mendapatkan insentif. Model ini juga dikenal sebagai model “Zero-Plus
Model”. Pemahaman ini berarti bahwa nilai “nol” adalah tidak ada sanksi bagi yang tidak
menjalankan kebijakan, nilai “plus” adalah sebuah insentif bagi yang menjalankan
kebijakan tersebut. Model top-down sebuah pola yang dijalankan pemerintah untuk
masyarakat, partisipasi masyarakat berdasarkan pada mobilisasi. Sebaliknya Model
bottom-up lebih pada sebuah kebijakan yang dibuat pemerintah,tetapi pelaksanaannya
tetap oleh rakyat.

2) Memilih Model

Sebagaimana lazimnya diskusi meta-toeri yang dilakukan oleh Michael Hill dan Peter
Hupe (2006) dalam pengembangan diskusi yang komprehensif tentang teoriteori
implementasi dalan Implementing Public Policy (2006) menjelaskan bahwa dasar
metodenya adalah skeptik, dan menjelaskan bahwa antara satu teori dan teori lainya
saling mengungguli. Hasil persaingan terkini adalah bahwa model yang top-down
semakin tergeser oleh yang bottom-up dengan berkembangnya demokrasi. Karena itu,
model yang dijelaskan sebagai “sintesis” adalah model yang bersifat bottom-up dan
jaringan. Model implementasi kebijakan digunakan lebih cenderung pada isu yang
relevan dari kesesuaian implementasi dengan kebijakan itu sendiri, sehingga tidak
terdapat sebuah kompetisi ataupun kontestasi ketika sebuah model akan diterapkan.
Perlu dipahami dalam mempelajari model-model implementasi kebijakan akan lahir
sebuah pertanyaan penting yaitu model manakah yang terbaik yang hendak dipakai,
jawabannya adalah tidak ada model terbaik, dikarenakan setiap jenis kebijakan publik
memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan publik yang
perlu diimplementasikan secara top-down seperti kebijakan perang. Kebijakan-kebijakan
yang bersifat top-downer yaitu kebijakan yang bersifat sangat strategis dan
berhubungan dengan keselamatan negara. Beda halnya dengan kebijakan yang sifatnya
lebih efektif jika diimplementasikan secara bottom-upper, yang biasanya kebijakan yang
tidak berkenaan langsung dengan keamanan negara. Namun, sebenarnya pilihan yang
paling efektif adalah jika mampu membuat sebuah implementasi kebijakan yang
menggabungkan dua implementasi kebijakan publik yang partisipatif, artinya bersifat
top-downer dan bottom-upper. Model seperti ini biasanya lebih efektif jalannya,murah
dan berkesinambungan. Bahkan bisa juga diterapkan untuk kebijakan dalam hal
keamanan negara. Dalam pemetaan model implementasi dibahas mengenai jenis
kebijakan yang efektif yaitu model mekanisme paksa seperti kebijakan yang berkenaan
dengan penggunaan obat-obatan terlarang (Narkotika dan sejenisnya).dan model
mekanisme pasar seperti ikut serta dalam program wajib belajar, program KB. Ada juga
yang menggabungkan model keduanya contohnya berkenaan dengan kebijakan
lingkungan hidup. Para perusak akan menerima hukum, namun mereka akan mendapat
insentif/penghargaan apa bila mereka berpartisipasi menyelamatkan lingkungan. Untuk
menegaskan jawaban diatas bahwa memang tidak ada pilihan model yang terbaik dalam
mengimplementasikan kebijakan tetapi pilihan-pilihan model yang kita pilih haruslah
secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan kebijakan itu sendiri. Namun harus dicatat
dan merupakan hal yang penting bahwa implementasi kebijakan haruslah menampilkan
keefektifan kebijakan itu sendiri. Untuk menentukan efektif atau tidaknya suatu
implementasi kebijakan, salah satu model yang bisa digunakan adalah model dari
Richard Matland yang disebut Matriks-Konflik yang dikembangkan oleh Matland (1995)

Gambar 11

Matriks Ambiguitas-Konflik

Implementasi secara administrasi adalah implementasi yang dilakukan dalam keseharian


birokrasi pemerintahan. Kebijakan di sini mempunyai ambiguitas atau kemenduaan yang
rendah dan konflik yang rendah. Implementasi secara politik adalah implementasi yang
perlu dilaksanakan secara politik, karena, walaupun ambiguitasnya rendah, tingkat
konfliknya tinggi. Implementasi secara eksperimen dilakukan pada kebijakan yang
mendua, namun tingkat konfliknya rendah. Implementasi secara simbolik dilakukan
pada kebijakan yang mempunyai ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi. Pelaksanaan
kebijakan senantiasa diawali dari dari aktor negara atau pemerintah yang biasa disebut
agensi eksekutif. Yang perlu dicermati adalah pilihan pelaksana atau aktor kebijakan.
Dapat dilihat bahwa ada empat pilihan aktor implementasi yang sesungguhnya yaitu:

a. Pemerintah. Meliputi kebijakan-kebijakan yang masuk dalam kategori directed atau


berkenaan dengan eksistensi negara bangsa. Kebijakan di sini disebut exixtensial driven
policy. Pertahanan, keamanan, penegakan keadilan dan sebagainya. Meskipun
masyarakat dilibatkan, perannya sering kali dikategorikan sebagai peripheral

Anda mungkin juga menyukai