Disusun Oleh:
Nurul Farazila/2030711046
Dosen Pengampu:
Dine Meigawati,.M.Si
2022
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1
Implemantasi kebijakan bersifat interaktif dengan kegiatan-kegiatan
kebijakan yang mendahuluinya. Implemantasi mungkin dapat dipandang
sebuah proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang
mampu meraihnya,dengan demikian implementasi menjadi suatu jaringan
yang tak tampak, tetapi memiliki kemampuan untuk membentuk hubungan-
hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan
tindakan dengan tujuan. Masalah yang penting dalam implementasi kebijakan
adalah memindahkan suatu keputusan ke dalam kegiatan atau pengoperasian
dengan cara tertentu. Dan cara tersebut adalah, bahwa apa yg dilakukan
memiliki kemiripan nalar dengan keputusan tersebut, serta berfungsi dengan
baik didalam lingkup lembaganya.
Namun, untuk menjalankan implementasi kebijakan publik tentunya aka
nada model-model proses dalam pengimplementasiannya. Model
implementasi kebijakan publik pada dasarnya merupakan abstraksi yang
bersifat penyederhanaan dari fenomena implementasi kebijakan publik di
dunia nyata. Walaupun para ilmuan tertarik mengkaji kebijakan publik
semakin meningkat, namun relatif sedikit yang diketahui orang mengenai
proses implementasi kebijakan. Keadaan ini akan berdampak negatif dalam
dua hal. Pertama, hal ini tentu saja merupakan kekurangan yang tidak
menguntungkan dalam usaha memahami proses kebijakan Kedua,kondisi ini
akan lebih mendorong terjadinya kesempatan/peluang untuk memberi saran
yang kurang baik pada para pembentuk kebijakan. Hal itu juga berpengaruh
pada studi implementasi yakni dimana ada beberapa alasan mengapa studi
mengenai implementasi kebijakan sering diabaikan oleh ilmuan politik.
Pertama, pengabaian studi implementasi kebijakan sebagaian disebabkan
oleh asumsi yang naif yang tersirat dalam banyak studi kebijakan. Mereka
mempunyai asumsi bahwa sekali kebijakan itu dibuat oleh pemerintah, maka
kebijakan itu akan diimplementasikan dan hasil-hasil yang diinginkan akan
mendekati hasil-hasil yang diharapkan oleh para pembentuk kebijakan. Proses
implementasi dianggap merupakan serangkaian keputusan-keputusan dan
interaksiinteraksi biasa yang tidak layak mendapatkan perhatian.
Kedua pada tahun 1960-an di negara maju Penyusunan Program dan
Perencanaan hanya memberikan konsentrasinya kepada para pembuat
keputusan pada pilihan-pilihan antara metodemetode yang berbeda untuk
mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dipilih dengan
mengesampingkan esalon-esalon bawahan dari badan yang bertanggung jawab
bagi implementasi. Ketiga sulitnya mengkaji secara rinci proses implementasi
kebijakan karena sangat kompleks dan para sarjana seringkali dihambat oleh
pertimbangan-pertimbangan metodologi, batas kajian dan membatasi aktor-
aktor yang relevan, sehingga untuk melengkapi studi implementasi
membutuhkan banyak variabel dan sangat sulit untuk mengukurnya.
Implementasi yang dirancang oleh pemerintah pusat (federal government)
cenderung gagal ketika diimplementasikan oleh pemerintah negara bagian
(state govermant), namun sampai hari ini fenomena kegagalan tersebut masih
terus saja berulang. Berbagai kebijakan dan program pembangunan yang
dirancang secara baik oleh pemerintah ketika dilapangan pada proses
implementasi ternyata hasil pencapaiannya jauh dari apa yang diharapkan.
Fakta yang ada dapat menunjukkan bahwa berbagai kondisi ideal yang
tercantum di dalam dokumen kebijakan, misalnya undang-undang,peraturan
pemerintah,regulasi yang setingkat dengan menteri dan program
pembangunan tahunan yang rutin ternyata ketika harus berhadapan dengan
kenyataan atau realitas lapangan menjadi mandeg atau dengan kata lain sulit
untuk direalisasikan.
Dalam kasus Indonesia, kita sering membaca di media cetak,melihat di
TV, atau bahkan menyaksikan secara langsung berbagai kejadian kegagalan
implementasi kebijakan,program, dan proyek pembangunan yang
dilaksanakan oleh pemerintah (baik pemerintah pusat, provinsi, maupun
daerah). Pada tingkat pemerintah pusat kita sering menyaksikan kegagalan
implementasi berbagai kebijakan dan program pembangunan yang dirancang
oleh kementerian /lembaga. Implementasi kegagalan pemerintah Indonesia
dalam mengimplemantasikan berbagai kebijakan dan program pembangunan
adalah masih belum mampu mewujudkan aganda pemerintah untuk mengatasi
berbagai persoalan pelik, seperti: peningkatan kualitas pelayanan pendidikan,
kesehatan, sanitasi dan air bersih, peningkatan kesempatan kerja, dan
pembangunan infrastruktur. Akhirnya suatu studi implementasi yang
komprehensif memerlukan perhatian yang besar terhadap banyak tindakan
dalam kurun waktu yang panjang. Hal ini akan berakibat pada kebutuhan
alokasi waktu yang lama dan sumber-sumber yang besar untuk melakukan
studi implementasi kebijakan.
Berdasarkan dari latar belakang diatas, adapun persoalan yang akan
dibahas dan ingin diketahui oleh penulis ialah “Teori dan Model-model
Implementasi Kebijakan Publik”
Berdasarkan model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh van Meter dan van
Horn di atas, terlihat bahwa mereka berusaha memperbaiki atau melengkapi kelemahan
yang dimiliki oleh pendekatan implementasi kebijakan dari atas ke bawah (Top-Down
Approach), dan sekaligus merupakan kelebihan yang dimiliki oleh model implentasi ini,
yaitu: 1) kejelasan variabel-variabel implementasi kebijakan; dan 2) kejelasan hubungan
saling mempengaruhi antara variabel-variabel tersebut. Kelemahan yang dimiliki oleh
model implementasi ini adalah adanya tumpang tindih antara indikator dan dimensi dari
variabel performance (kinerja kebijakan).Hal ini terlihat dalam penjelasan hipotesis yang
dibangun, standar dan tujuan kebijakan, dan sumber daya berubah menjadi variabel
antara.
Gambar 4
Berdasarkan model implementasi ini, terlihat bahwa keunggulan dari model ini adalah
kemampuannya mengidentifikasi dan menjelaskan proses implementasi kebijakan,
mulai dari output kebijakan sampai pada dampak dari kebijakan tersebu, yang
ditunjukkan sebagai variabel tergantung dan dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas
yang teridentifikasi sebagaimana pada gambar model di atas. Kelemahannya adalah
model proses implementasi ini yang relatif rumit, yang tidak hanya terletak pada
birokrasi sebagai implementor, tetapi juga faktor-faktor di luar birokrasi.
5.Model Grindle
Model Merilee S. Grindle (1980), model ini ditentukan oleh isi kebijakan dan
konteks implementasinya. Dalam model implementasi kebijakan, Grindle (1980 :
11) menamakan modelnya “Implementation as a Political and Administratif
Process”. Pada model ini, menunjukkan adanya keterkaitan antara tujuan
kebijakan, program-program tindakan dan proyek-proyek individual telah
tersusun dan dibiayai, aktivitas-aktivitas pelaksanaan kebijakan, dan hasil dari
kebijakan.
Menurut Grindle (1980 : 11), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan adalah “content” dan “context” dari kebijakan tersebut.
1) Content atau isi kebijakan, terdiri dari :
(1) Interest affected (Minant Pengaruh)
Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan sangat tergantung pada
kepentingan-kepentingan yang ada pada kebijakan tersebut.Dalam hal
ini, apakah kebijakan itu mewakili kepentingan orang-orang tertentu
saja atau mewakili kepentingan-kepentingan masyarakat luas. Suatu
kebijakan akan berhasil apabila mendapat dukungan luas dari
masyarakat sebagai kelompok sasaran dari. Suatu kebijakan akan
mendapat dukungan yang luas dari kelompok sasarannya kalau
kebijakan tersebut mewakili kepentingankepentingannya, demikian pula
sebaliknya.
(2) Type of benefits (Jenis Manfaat)
Keberhasilan suatu kebijakan kalau kebijakan tersebut memberikan
manfaat yang banyak terhadap kelompok sasarannya dan kebijakan
tersebut akan mendapat dukungan yang luas dari kelompok sasarannya.
Hal ini juga terjadi sebaliknya, kalau suatu kebijakan hanya memberikan
manfaat yang sedikit kepada kelompok sasarannya.
(3) Extent of change evisoned (Tingkat perubahan yan terlihat)
Suatu kebijakan yang menginginkan perubahan yang besar, maka
semakin sulit dalam implementasinya.Dalam hal ini, perubahan yang
besar yang merupakan tujuan dari suatu kebijakan maka terdapat
kesulitan dalam mencapai tujuannya.
(4) Site of decision making (Pengambilan Keputrusan)
Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan diimplementasikan sangat
tergantung pada tempat pengambilan keputusan.Semakin jauh lokasi
pengambilan keputusan, maka semakin besar kemungkinan
implementasi kebijakan tidak berhasil dan demikian pula sebaliknya
(5) Program implementors (Pelaksanaan program)
Salah satu yang menentukan keberhasilan atau kegagalan implementasi
kebijakan adalah para pelaksananya.Implementor yang memiliki
kemampuan dan komitmen yang kuat tentunya kebijakan tersebut
berhasil.
(6) Resources commited (sumber Daya Komitmen)
Ketersedian sumber-sumber daya pendukung implementasi kebijakan
akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kebijakan tersebut.
Tentunya, kekurangan sumber-sumber daya pendukung akan
menyulitkan keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan.
2) Context atau lingkungan kebijakan, terdiri dari :
(1) Power, interests, and strategies of actor involved Keberhasilan suatu
kebijakan kalau aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan
tersebut mempunyai kekuatan, kepentingan, dan strategi-strategi dalam
pelaksanaan suatu kebijakan.
(2) Institution and regime characteristics Keberhasilan kebijakan akan
ditentukan pula oleh dukungan institusi dan rezim yang berkuasa.
Dukungan ini bervariasi tergantung dari karakteristik rezim berkuasa.
(3) Compliance and reponsiveness Kebijakan akan berhasil apabila ada
kesesuain tujuan dan bentuk program. Hal yang sama pula kalau para
implementor bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan.
6. Model Elmore
Model keenam adalah model yang dikembangkan secara terpisah oleh Richard
Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjern & David O’Porter (1981).
Mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan
menanyakan kepada mereka seperti tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-
kontak yang mereka miliki, menjadi awal dari model ini. Model implementasi ini
didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk
melaksanakan sendiri implementasi kebijakannya atau mengikut sertakan
pejabat birokrat namun hanya pada tataran rendah. Maka dari itu kebijakan
yang dibuat harus sesuai dengan harapan,keinginan publik yang menjadi target
group atau kliennya.Kebijakan ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik
secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan
(LSM).
7.Model Edward
George Edward III (1980:1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi
publik adalah Lack of attention to implementation. Dikatakannya, without
effective implementation the decision of policy makers will not be carried out
successfully. Selanjutnya, Edward III (1980 : 148) menamakan model
implementasi kebijakannya adalah “direct and indirect impact on
implementation”. Dalam model memperlihatkan dampak langsung dan tidak
langsung terhadap implementasi kebijakan, yaitu komunikasi dan struktur
birokrasi berpengaruh langsung dan tak langsung terhadap implementasi,
sumber-sumber daya dan disposisi berpengaruh langsung terhadap
implementasi kebijakan.Kemudian, diatara keempat faktor berpengaruh
tersebut (komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi) terjadi
hubungan timbal balik.Pengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap
implementasi kebijakan dan hubungan timbal balik diantara keempat faktor
tersebut dapat divisualisasikan melalui model implementasi kebijakan,seperti
pada gambar di bawah ini.
Berdasarkan model implementasi kebijakan Edward di bawah ini, bahwa
kelebihan yang dimilikinya adalah kemampuannya menyederhanakan
fenomenafenomena yang kompleks menjadi suatu model implementasi
kebijakan yang tidak rumit. Kelemahnnya adalah tidak mengidentifikasi dan
menjelaskan faktor-faktor di luar organisasi pelaksana, birokrasi pemerintahan.
Gambar 5
Tabel 1
Gambar 6
Model Jaringan
1) Pemetaan Model
Dari pemetaan tersebut tampak bahwa sebagian besar model implementasi kebijakan
berada pada model top-to-down, satu model ditengah,satu model yang bottom-to-up,
dan satu model kombinasi atara bottom-up dan pasar. Model Enforced mechanism atau
mekanisme paksa merupakan model yang mengedepankan arti penting lembaga publik
sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanasime paksa dalam
negara,tidak ada mekanisme reward bagi yang menjalani tetapi ada punishment atau
sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau melanggarnya. Model ini juga dikenal
sebagai model “Zero-MinusModel’ yang ada hanya nilai “nol” dan minus.
2) Memilih Model
Sebagaimana lazimnya diskusi meta-toeri yang dilakukan oleh Michael Hill dan Peter
Hupe (2006) dalam pengembangan diskusi yang komprehensif tentang teoriteori
implementasi dalan Implementing Public Policy (2006) menjelaskan bahwa dasar
metodenya adalah skeptik, dan menjelaskan bahwa antara satu teori dan teori lainya
saling mengungguli. Hasil persaingan terkini adalah bahwa model yang top-down
semakin tergeser oleh yang bottom-up dengan berkembangnya demokrasi. Karena itu,
model yang dijelaskan sebagai “sintesis” adalah model yang bersifat bottom-up dan
jaringan. Model implementasi kebijakan digunakan lebih cenderung pada isu yang
relevan dari kesesuaian implementasi dengan kebijakan itu sendiri, sehingga tidak
terdapat sebuah kompetisi ataupun kontestasi ketika sebuah model akan diterapkan.
Perlu dipahami dalam mempelajari model-model implementasi kebijakan akan lahir
sebuah pertanyaan penting yaitu model manakah yang terbaik yang hendak dipakai,
jawabannya adalah tidak ada model terbaik, dikarenakan setiap jenis kebijakan publik
memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan publik yang
perlu diimplementasikan secara top-down seperti kebijakan perang. Kebijakan-kebijakan
yang bersifat top-downer yaitu kebijakan yang bersifat sangat strategis dan
berhubungan dengan keselamatan negara. Beda halnya dengan kebijakan yang sifatnya
lebih efektif jika diimplementasikan secara bottom-upper, yang biasanya kebijakan yang
tidak berkenaan langsung dengan keamanan negara. Namun, sebenarnya pilihan yang
paling efektif adalah jika mampu membuat sebuah implementasi kebijakan yang
menggabungkan dua implementasi kebijakan publik yang partisipatif, artinya bersifat
top-downer dan bottom-upper. Model seperti ini biasanya lebih efektif jalannya,murah
dan berkesinambungan. Bahkan bisa juga diterapkan untuk kebijakan dalam hal
keamanan negara. Dalam pemetaan model implementasi dibahas mengenai jenis
kebijakan yang efektif yaitu model mekanisme paksa seperti kebijakan yang berkenaan
dengan penggunaan obat-obatan terlarang (Narkotika dan sejenisnya).dan model
mekanisme pasar seperti ikut serta dalam program wajib belajar, program KB. Ada juga
yang menggabungkan model keduanya contohnya berkenaan dengan kebijakan
lingkungan hidup. Para perusak akan menerima hukum, namun mereka akan mendapat
insentif/penghargaan apa bila mereka berpartisipasi menyelamatkan lingkungan. Untuk
menegaskan jawaban diatas bahwa memang tidak ada pilihan model yang terbaik dalam
mengimplementasikan kebijakan tetapi pilihan-pilihan model yang kita pilih haruslah
secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan kebijakan itu sendiri. Namun harus dicatat
dan merupakan hal yang penting bahwa implementasi kebijakan haruslah menampilkan
keefektifan kebijakan itu sendiri. Untuk menentukan efektif atau tidaknya suatu
implementasi kebijakan, salah satu model yang bisa digunakan adalah model dari
Richard Matland yang disebut Matriks-Konflik yang dikembangkan oleh Matland (1995)
Gambar 11
Matriks Ambiguitas-Konflik