NAMA KELOMPOK 4 :
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Proses birokrasi dan para birokrat diyakini akan dapat menerapkan kebijakan
publik seperti yang diharapkan oleh pembuat kebijakan publik tersebut. Padahal,
sebenarnya kebijakan publik bersifat kompleks dan saling tergantung, sehingga hanya
sedikit kebijakan publik yang bersifat selfexecuting atau dapat langsung diterapkan, tanpa
prasyarat lainnya.
Pada praktiknya, implementasi kebijakan publik tidak selalu sejalan dengan apa
yang sudah direncanakan dalam tahap formulasi kebijakan publik, atau antara visi dengan
realitas. Hampir selalu terjadi distorsi antara hal-hal yang ingin dicapai dengan hal-hal
yang tercapai atau terealisasikan. Banyak faktor yang dapat menimbulkan distorsi
tersebut, misalnya sumber dana minimal yang dibutuhkan ternyata tidak tersedia,
sementara pelaksanaan kebijakan publik itu tidak bisa ditunda. Demikian pula dengan
kualitas pelaksana yang sebetulnya tidak memenuhi kriteria minimal yang dibutuhkan.
Karena itu, Grindle (1980) menyebutkan 3 (tiga) hambatan besar yang acapkali muncul
dalam pelaksanaan suatu kebijakan publik, yakni: (1) ketiadaan kerjasama vertikal, antara
atasan dengan bawahan; (2) hubungan kerja horisontal yang tidak sinergis; dan (3)
masalah penolakan terhadap perubahan yang datang dari publik maupun kalangan
birokrasi sendiri. Untuk mengatasi hambatan ini, maka pelaksana kebijakan publik perlu
memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi yang berkembang. Berbeda
dengan formulasi kebijakan publik yang mensyaratkan rasionalitas dalam membuat suatu
keputusan, keberhasilan implementasi kebijakan publik kadangkala tidak hanya
memerlukan rasionalitas, tapi juga kemampuan pelaksana untuk memahami dan
merespon harapan-harapan yang berkembang di masyarakat, di mana kebijakan publik
tersebut akan dilaksanakan.
Sehubungan hal itu Paul A. Sabatier mengemukakan bahwa sintesis dari dua
posisi (model top-down dan bottom-up) tersebut dimungkinkan dengan mengambil
pemikiran dari Hjern dan Porter untuk dipakai pada dinamika implementasi inter-
organisasi dalam bentuk network (jaringan). Model rasional (top-down) memfokuskan
perhatiannya pada institusi dan kondisi sosial ekonomi yang menekankan perilaku.
Sintesis ini disempurnakan melalui pemakaian konteks policy subsystem, yaitu semua
aktor terlibat secara interaktif satu sama lain dalam proses politik dan kebijakan.
Parameter relative stabil serta kejadian diluar subsistem, menurut M. Irfan Islamy
(2001)65 menyatakan bahwa policy subsystem adalah aktor-aktor kebijakan yang berasal
dari organisasi publik maupun privat secara aktif mengkaji dan mengkritisi suatu
kebijakan tertentu. Terpenting dari model implementasi ini adalah kedudukannya sebagai
bagian kesinambungan dari pengambil kebijakan (engonging part of policy making)
dalam acs (advocacy coalitions) atau pendampingan para aktor kebijakan dengan
berbagai elemen yang ada di masyarakat. Dengan kata lain advocacy coalitions adalah
aktor-aktor dari berbagai organisasi publik dan privat yang memiliki serangkaian sistem
kepercayaan yang berusaha merealissikan tujuan bersama sepanjang waktu.
2.3 Model-model Implementasi Kebijakan Publik
Model implementasi kebijakan publik itu tidak hanya satu, dus ada berbagai
macam sesuai dengan kerangka berfikir pembuat model tersebut. Dalam uraian berikut ini
tidak akan dibahas semua macam model, tetapi beberapa saja yang dianggap cukup
penting untuk diperkenalkan Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni
model proses atau alur Smith (1973). Menurut Smith, dalam proses implementasi ada
empat variabel yang perlu diperhatikan.
Model kedua adalah model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn
(1975) yang disebut sebagai A Model of the Policy Implementation Process. Model ini
menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas yang
saling berkaitan, variabel-variabel tersebut yaitu :
Model ketiga adalah model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan
Lewis A. Gunn (1978;1984). Model ini disebut sebagai “The top down approach”. Dalam
suatu artikel yang berjudul “Mengapa implementasi begitu sulit”, Gunn (1978)
mempergunakan analisis Hood (1976) dan mengemukakan analisis-analisis dari Pressman
dan Wildavsky (1973), Etzioni (1976), Kaufman (1971), Bardach(1977), Van Meter dan
Van Horn (1975), dan King (1975 dan 1978), untuk memberikan pedoman singkat bagi
para pegawai negeri (Civil Service) terhadap beberapa alasan mengapa menurut perintis
tersebut di atas bahwa, implementasi yang sempurna pada dasarnya tak mungkin dapat
dicapai dalam praktek (Why perfect implementation is unaltainble).
Model keempat adalah model atau kerangka pemikiran yang dikemukakan oleh
Hoogewerf (1978). Menurut Hoogewerf sebab musabab yang mungkin menjadi dasar
dari kegagalan implementasi kebijakan, sangat berbeda-beda satu sama lain. Sebab-
musabab ini ada sangkut-pautnya berturutturut dengan isi (content) dari kebijakan yang
harus diimplementasikan, tingkat informasi dari aktor-aktor yang terlibat pada
implementasi, banyaknya dukungan bagi kebijakan yang harus diimplementasikan dan
akhirnya pembagian dari potensi-potensi yang ada (struktur organisasi, perbandingan
kekuasaan dan seterusnya)
Model kelima adalah model yang dikemukakan oleh Elmore (dalam Hill, 1993 :
314-345), ia mengemukakan bahwa, pada hakekatnya semua kebijakan publik
diimplementasikan oleh organisasi-organisasi publik yang besar, oleh karena itu
pengetahuan tentang organisasi-organisasi telah menjadi suatu unsur penting dari analisis
kebijakan. Kita tidak dapat berkata dengan banyak kepastian bagaimana suatu kebijakan
itu adanya, atau mengapa tidak diimplementasikan, tanpa mengetahui sebagian besar
tentang bagaimana organisasiorganisasi itu berfungsi.
Jika demikan, ada dua cara untuk menanggulanginya dari jalan buntu ini, pertama,
mensintesiskan semua teori organisasi ke dalam sehimpunan teratur persepsi-persepsi
analitik yang berguna dalam analisis implementasi. Kedua, setuju, dengan adanya
diversitas pemikiran yang ada tentang organisasi-organisasi dan berusaha mencoba
menjaring dari diversitas tersebut sejumlah model-model yang dapat dibedakan serta
dapat digunakan untuk menganalisis masalah implementasi tersebut. Beberapa model
pada dasarnya adalah normatif - modelmodel tersebut didasarkan atas opini-opini yang
telah dipertahankan dengan kuat tentang bagaimana organisasiorganisasi seharusnya
beroperasi. Kemudian, beberapa model adalah deskriptif - yakni berusaha mencoba
menyebut atributatribut objektif yang esensial dari organisas-organisasi tersebut. Dalam
beberapa hal adalah sulit untuk membedakan unsur normatif dengan unsur deskriptif.
Namun dalam semua hal model itu merupakan penyederhanaan realitas, bukan sebagai
pengganti untuk itu. Dengan demikian, tak ada model tunggal secara memadai mencakup
kompleksitas sepenuhnya dari proses implementasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
1. Dalam proses perumusan sebuah kebijakan pemerindah dalam hal ini eksekutif
maupun legislatif harus benar-benar memperhatikan tahapan atau proses dari
perumusan kebijakan publik itu sendiri mulai dari pemahaman tentang masalah
yang engeuka di masyarakat sampai dengan penetapan kebijakan itu sendiri.
2. Dalam hal implementasi sebuah kebijakan maka haruslah pula diperhadikan atau
dipenuhi elemen-elemen yang menunjang dalam pelaksanaan atau penerapan
kebijakan itu.
3. Daalam hal evaluasi kebijakan publik di harapkan dapat memberikan kontribusi
positif guna perbaikan kebijakan di masa yang akan datang
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.Sy. 1988. Perkembangan dan Penerapan Studi Implementasi (Action Research and
Case Studies). Jakarta : Lembaga Administrasi Negara.
Albrow, Martin. 1989. Birokrasi. Terjemahan M. Rusli Karim dan Totok Dayanto. Yogyakarta :
PT. Tiara Wacana.
Anderson, James E., David W. Brady, Charles S. Bullock III, & Joseph Stewart, Jr. 1984. Public
Policy and Politics in
America. California : Cole Publishing Company. Anderson, James E. 1978. Public Policy
Making. Chicago : Holt, Rinehart and Winston.
Anthony, Robert N., & Vijay Govindarajan. 1998. Management Control Systems. Ninth Edition.
Hanover : The Irwin McGraw-Hill Companies, Inc.
Bryant, Coralie, & Louise G. White. 1987. Manajemen Pembangunan Untuk Negara
Berkembang. Terjemahan Rusyanto L. Jakarta : LP3ES.
Edwards III, G.C. 1980. Implementing Public Policy. Washington: Congressional Quarterly
Press.