Anda di halaman 1dari 10

DCA RI-Singapura: Tinjauan Negosiasi

Nurul Farazila (2030711046)


Program Studi Ilmu Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Administrasi Dan Humaniora
Universitas Muhammadiyah Sukabumi

Problematika Negosiasi
Sejak reformasi 1998, diplomasi Indonesia menurun. Perundingan sengketa
wilayah antara Indonesia dengan berbagai pihak menghasilkan pembebasan wilayah
dari tangan Indonesia. Negosiasi antarprovinsi Timor Timur berujung pada
referendum yang mengakibatkan provinsi terbengkalai. Peristiwa ini dipandang
sebagai tindakan politik yang dipandang sebagai bentuk kegagalan politik luar
negeri Indonesia (lihat Gani dalam Sudrajat, 2003: 62). Perselisihan antara
Indonesia dan Malaysia atas pulau Sipadan dan Ligitan menghasilkan kesepakatan
untuk membawa perselisihan tersebut ke Mahkamah Internasional, yang
mengakibatkan lepasnya kedua pulau tersebut dari lutut Indonesia dan
penyerahannya ke Malaysia. Perundingan pemerintah Indonesia dengan GAM
(Gerakan Aceh Merdeka) menghasilkan kesepakatan untuk memasukkan
penyelesaian masa depan Aceh yang melibatkan GAM dan Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE). Singkat cerita, kesulitan mulai muncul ketika pemimpin GAM
terpilih dalam pemilihan kepala daerah sebagai Gubernur Aceh, yang membuat
seluruh kekuatan politik Indonesia, termasuk kekuatan politik Muslim beragama
seperti PPP, yang memiliki pengaruh kuat di Aceh, dan nasionalis.

Baru-baru ini, negosiasi pertahanan antara pemerintah Indonesia dan


Singapura menghasilkan kesepakatan yang menimbulkan kontroversi luas di
kalangan politik Indonesia. Bahkan, beberapa anggota DPR RI mengancam tidak
akan meratifikasi hasil perundingan tersebut. Isu utama yang disoroti adalah
bahwa konsesi yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia dianggap berlebihan,
yaitu berupa pemberian hak kepada pihak Singapura untuk melakukan latihan
perang di wilayah Indonesia jika terjadi konflik, keterlibatan pihak ketiga, bahkan
dengan persetujuan Indonesia. .
Transisi politik Indonesia dari Orde Baru telah membawa perubahan
signifikan dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan media. Selama
transisi politik yang tidak stabil, banyak pergolakan sosial politik di tingkat
nasional dan lokal terjadi seiring dengan proses konsolidasi politik yang tidak
lengkap. Pasca gerakan reformasi, Indonesia berada dalam periode
ketidakstabilan, karena sistem otoriter lama telah kehilangan legitimasi dan
landasan moralnya, sedangkan konsensus tentang sistem politik baru (demokrasi)
belum berhasil. Periode ini penting diperhatikan karena arah geraknya yang tidak
menentu (lihat Denny J.A., 1999: 32-39).
Dalam situasi seperti itu, seharusnya para politisi dan negarawan menyadari
bahwa semua produk politik yang dihasilkan, termasuk kesepakatan dengan
negara lain, dapat berdampak sangat luas, sehingga dapat merugikan negara
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kita sering dikejutkan dengan
dampak yang begitu cepat setelah menandatangani kesepakatan. Kemerdekaan
Timor Timur, pemilihan gubernur Aceh dari bekas GAM, dan pembebasan
beberapa pulau adalah kasus besar dan tak terlupakan dalam negosiasi politik
dan diplomatik pasca reformasi. Terkait dengan IR-Singapore Defence
Cooperation Agreement (DCA), ada beberapa pihak yang mengkritik
kesepakatan tersebut. Yusron Ihza1, anggota Komite Pertahanan I yang
membidangi Pertahanan Nasional DPR RI, berpendapat bahwa kesepakatan itu
diselimuti misteri karena Indonesia memberikan konsesi kepada Singapura
untuk menggunakan sebagian wilayahnya untuk latihan perang. Bagi Ihza,
kesepakatan itu menunjukkan bahwa Indonesia tidak melihat Singapura sebagai
ancaman, bahkan memberikan fasilitas yang memungkinkan Singapura
membentengi diri secara militer. Ihza juga mengkritisi argumentasi Menteri
Pertahanan Juwono Sudarsono yang menjelaskan bahwa dalam kesepakatan
"ruang untuk uang", yang melibatkan DCA, melibatkan Ri-Singapura untuk
mengekstradisi penjahat.Korupsi lari dari Indonesia ke Singapura. Menurut Ihza,
pernyataan Menhan tidak benar karena sulitnya mengembalikan uang hasil
korupsi dari dana hasil korupsi, sehingga lebih tepat mengatakan "ruang ditukar
dengan barang". Bagi Ihza, motivasi Singapura membangun pertahanan yang
melebihi kebutuhannya dan sikap pemerintah Indonesia yang salah perhitungan
membuat DCA menjadi misteri. Siswono Yudohusodo berpendapat bahwa DCA
IR-Singapura tidak biasa dalam kerjasama militer konvensional karena apa yang
diabadikan dalam perjanjian menyerupai perjanjian pertahanan-pertahanan.
Argumentasi yang dikemukakan oleh Yudo Husodo adalah bahwa
Indonesia telah mengizinkan sebagian wilayah Indonesia di darat, laut dan udara
sebagai lokasi permanen pelatihan militer Singapura, sesuatu yang belum pernah
dilakukan Indonesia dengan negara manapun sebelumnya. Ia juga berpendapat
bahwa Singapura sebenarnya tidak perlu memperkuat pertahanannya dengan
cara seperti itu karena hanya ada Malaysia dan Indonesia. Kekhawatiran lain
yang dikemukakan Wirasmo Wiroto menyangkut DCA, karena dalam perjanjian
tersebut, Singapura diberikan hak untuk melakukan latihan dengan militer
negara lain setelah mendapat izin dari Indonesia3. Hak yang diberikan kepada
Singapura untuk mengundang pasukan dari negara lain untuk berpartisipasi
dalam latihan bersama dipandang oleh para kritikus sebagai ancaman terhadap
kedaulatan negara. Beberapa analisis dan pendapat yang dikutip di atas
merupakan bagian dari wacana yang saat ini sedang berkembang dalam
menanggapi DCA RI-Singapura secara keseluruhan bahwa pemerintah Indonesia
sedang terburu-buru untuk menandatanganinya.
Sebelum mempelajarinya dengan seksama. Artikel ini bertujuan untuk
menganalisis penandatanganan Defense Cooperation Agreement (DCA) antara
pemerintah Indonesia dan Singapura dari sudut pandang negosiasi, khususnya
dari teori BATNA (better alternative to the Negotiated Agreement). ), sebuah
teori negosiasi tentang bagaimana untuk merencanakan negosiasi yang berhasil
untuk mencapai kesepakatan terbaik dan paling menguntungkan.
Menghindari terjadinya kesepakatan yang merugikan para pihak yang
berunding. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan
permasalahan yang menjadi topik artikel ini, “Bagaimana DCA antara
pemerintah Indonesia dan Singapura dilihat dari sudut pandang negosiasi,
terutama dari sudut pandang teori BATNA? "
1. Tinjauan Teori
Menyelenggarakan kegiatan yang baik tidak lepas dari perencanaan.
Karena perencanaan adalah cara untuk mengatur sebelum peristiwa terjadi.
Rencana koneksi saat ini dan masa depan. Seperti yang dikatakan pakar
manajemen, "perencanaan menjembatani kesenjangan antara di mana kita berada
dan di mana kita ingin berada" (Koontz dan Weihrich, 1988: 58). Hal yang sama
terjadi selama negosiasi. Agar negosiasi berjalan lancar dan sukses sebagaimana
mestinya, seorang negosiator harus mengembangkan rencana negosiasi yang
baik. Salah satu yang dapat direncanakan dengan baik adalah BATNA
(Alternatif Terbaik untuk Perjanjian Negosiasi).
BATNA adalah rencana negosiasi dari beberapa alternatif yang dapat
dilakukan oleh negosiator untuk mengadakan atau tidak mencapai kesepakatan
dengan pihak lain sesuai dengan tujuan negosiasi yang ingin dicapai (lihat
Kennedy, 1993: 35). BATNA menawarkan sejumlah alternatif pengaturan yang
dapat dicapai serta berbagai alternatif untuk keluar dari kesepakatan jika
kesepakatan tidak dapat dicapai. BATNA memberikan gambaran tentang area
yang aman dan dapat dinegosiasikan serta area berbahaya yang tidak dapat
disentuh dan dinegosiasikan. BATNA memberikan kriteria zona penolakan
ketika seorang pedagang tidak dapat lagi berdagang dengan alasan apa pun.
Memahami BATNA lebih mudah dengan ilustrasi dapat menggambarkan
kegiatan transaksional kedua pihak yang berunding. Dalam contoh negosiasi,
negosiator terlebih dahulu harus menetapkan tujuan dan sasaran negosiasi yang
jelas, sehingga berdasarkan hal tersebut negosiator dapat menyusun berbagai
alternatif pengaturan yang dapat dicapainya. BATNA akan berisi nilai minimum
yang disepakati yang disebut preset atau run point. WP (walking point)
memberikan garis pemisah yang mendefinisikan zona aman di mana negosiator
dapat membuat kesepakatan dan zona yang melarangnya melakukan kesepakatan
dengan alasan apapun. BATNA juga memberikan rincian nilai setinggi mungkin
yang akan disepakati dengan pihak lain. Nilai tertinggi yang dapat dicapai dalam
suatu negosiasi disebut sebagai target. Negosiator sering mendapatkan
momentum untuk menawarkan kesepakatan yang paling menguntungkan.
Suasana perdagangan menawarkan banyak peluang untuk mendapatkan
keuntungan potensial yang berbeda. Peluang menghasilkan keuntungan yang
diciptakan oleh faktor eksternal akan berubah menjadi keuntungan nyata jika
pedagang dalam dapat mengubahnya menjadi keuntungan nyata.
Tujuannya adalah untuk menggabungkan peluang bagus yang diciptakan
secara eksternal dan bakat negosiator untuk menghasilkan rencana bisnis yang
berbeda yang memberinya manfaat maksimal. Selain itu, tujuan yang ingin
dicapai menggambarkan aspirasi negosiator, apakah termasuk dalam regulator
dengan aspirasi tinggi atau rendah. Nilai tinggi atau rendah (tetapi masih dalam
kisaran kesepakatan yang dapat diterima) akan disebutkan dalam tawaran
negosiator kepada pihak lain. Uraian tentang tawaran yang bernilai tinggi atau
rendah relatif terhadap tujuan yang ingin dicapai hanya diketahui oleh negosiator
dan bersifat rahasia serta tidak diketahui oleh pihak lain. Nilai penawaran
diumumkan kepada pihak lain sebagai penawaran pertama (opening offer) ketika
masing-masing pihak diminta untuk mengambil posisi atas suatu masalah yang
akan dirundingkan.
Tawaran pertama yang baik tidak boleh lebih rendah dari nilai yang akan
diterima dalam target. Seni penawaran ini adalah taktik negosiasi dasar yang
mengajarkan para negosiator untuk "meminta lebih dari yang Anda harapkan".
Dengan demikian, negosiator cenderung mendapatkan hasil yang maksimal
(Dawson, 2002:5). Sebaliknya, jika negosiator lelang pertama tidak berani
meminta lebih dari yang diharapkan diperolehnya dengan memilih membuat
penawaran pembukaan mendekati nilai yang telah ditentukan, maka sejak awal
Negosiasi menyia-nyiakan peluang. hasil maksimal, kondisi buruk dapat terjadi
untuk mendapatkan nilai dalam langkah. Pada titik yang sulit, situasi negosiasi
bahkan dapat memburuk karena pihak lain ditekan oleh angin sehingga jika tidak
segera dilakukan, negosiator dapat dipaksa untuk menandatangani perjanjian
yang tidak menguntungkan karena pelanggaran BATNA sendiri. . Misalnya,
seseorang yang ingin menjual rumah karena suatu kebutuhan, harus terlebih
dahulu menentukan apa tujuan menjual rumah tersebut. Misalnya, ia memiliki
satu keinginan yang membuatnya menjual rumahnya, yaitu berpenghasilan
minimal Rp 500 juta. Dengan tujuan yang sangat jelas, ia mampu dengan cepat
menciptakan BATNA. Batasan terpenting dalam menilai rumah adalah dia bisa
melakukan kesepakatan harga rumah apa pun kecuali di bawah Rp 500 juta. Nilai
apa pun yang lebih tinggi diterima sebagai transaksi, tetapi nilai apa pun yang
lebih rendah, berapa pun harganya, merupakan alternatif yang harus ditolak.
2. Faktanya, negosiasi tidak sesederhana itu. Negosiator harus
mempertimbangkan banyak faktor, terutama jika masalah yang dinegosiasikan
tidak dapat diukur dalam istilah moneter. Pengalaman dalam menangani
banyak jenis kasus negosiasi, ditambah pengetahuan negosiator yang luas
tentang negosiasi, akan membantunya mencapai kesepakatan yang
menguntungkan dirinya sendiri dan orang lain yang terlibat dengannya. Dalam
negosiasi politik, konsesi yang dipertukarkan terutama bukanlah uang
(walaupun fenomena kebijakan moneter tidak dapat disangkal), tetapi posisi
politik dan dukungan politik. Karena skala kuantitatif yang lebih kecil, adalah
umum untuk meniadakan atau mendistorsi makna dari apa yang disepakati.
Oleh karena itu, perlu sangat waspada agar negosiator tidak mudah terjerumus
ke dalam jebakan membuat kesepakatan yang tidak menguntungkan. Menurut
Mills (2005: 14-15), sebelum melanjutkan negosiasi, negosiator harus
merencanakan BATNA mereka terlebih dahulu, untuk menemukan beberapa
alternatif terbaik untuk mencapai kesepakatan dan mencari jalan keluar jika
kesepakatan tidak dapat terjadi. meraih. . Menurut Mills, BATNA yang kuat
meningkatkan kepercayaan dan otoritas negosiator. Mills menyarankan bahwa
negosiator tidak hanya harus memiliki BATNA yang kuat, tetapi juga
memahami BATNA pihak lain. Dengan pemahaman ini, peluang untuk
mencapai kesepakatan meningkat. Menurut Fisher dkk. (1999: 115-126),
BATNA yang baik juga akan meningkatkan kekuatan negosiator dalam
bernegosiasi, karena dengan BATNA yang baik, seorang negosiator
mengetahui kekuatan dan kelemahannya, dan kapan harus membuat
kesepakatan dan kapan harus meninggalkan meja perundingan. . . Menurut
Fisher dan rekan-rekannya, BATNA dapat dikembangkan dalam tiga langkah
atau tindakan: (1) mendokumentasikan tindakan yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan persetujuan; (2) mengembangkan ide dan mengubahnya
menjadi alternatif praktis; (3) dan memilih alternatif terbaik untuk mencapai
atau tidak mencapai kesepakatan. Negosiator yang baik tidak akan terobsesi
untuk selalu mencapai kesepakatan dalam setiap negosiasi yang mereka
lakukan, tetapi mereka akan tetap berpegang pada BATNA yang
dikembangkan dan akan selalu mengukur langkah-langkah yang telah mereka
ambil sejak BATNA.

3. Pembahasan

Pemerintah Indonesia telah menandatangani kesepakatan kerjasama dalam


bidang pertahanan (Defence Cooperation Aggreement - DCA) dengan pemerintah
Singapura. Dari sudut pandang Indo- nesia, perjanjian ini akan berlaku efektif
apabila diratifikasi oleh DPR-RI. Pada level pemerintah sendiri dijelaskan bahwa
kesepakatan ini baru dapat berjalan apabila pemerintah telah membuat petunjuk
teknis implementasinya. Di seberang sana, pemerintah Singapura berpandangan,
DCA tidak memerlukan pengaturan lagi untuk diimplementasikan karena sifat
perjanjian itu telah mengatur segi teknis pelaksanaannya.

Kesepakatan ini terus mendapat sorotan dari berbagai kalangan sejak


dikemukakan ke publik sampai saat tulisan ini dibuat karena dipandang
mengandung beberapa kelemahan yang merugikan Indonesia. Supaya tidak
mengulang berbagai kritik yang telah dikemukakan oleh berbagai pihak,
pembahasan dalam tulisan ini difokuskan kepada dimensi negosiasi dari
perundingan yang dilihat dari perlunya tim negosiasi memiliki BATNA sebagai
rencana negosiasi. Agar mudah melakukan analisis pembahasan mengikuti
masalah yang dinegosiasikan.

Dalam perundingan pemerintah Indonesia dan pemerintah Singapura,


disepakati beberapa hal antara lain:
(1) Pemerintah Indonesia sepakat dengan Singapura mengaitkan
perjanjian tentang ekstradisi (yang oleh pihak Indonesia
diharapkan dapat mengembalikan dana yang dikuasai para koruptor
yang sebagian melarikan diri ke Singapura) dengan DCA.
(2) Pemerintah Indonesia sepakat dengan Singapura untuk
memberikan izin beberapa wilayah di Indonesia untuk digunakan
sebagai daerah latihan militer Singapura. Dalam pengaturan daerah
latihan militer ini, militer Singapura dapat melibatkan militer negara
lain setelah memperoleh izin dari pemerintah In- donesia.
Pengaitan perjanjian ekstradisi dengan DCA merupakan satu perjanjian
yang seolah memberikan satu solusi menang-menang (win-win solution) dengan
harapan Singapura mengembalikan dana-dana milik Indonesia dengan
memulangkan para koruptor Indonesia yang bersembunyi di Singapura. Sebagai
imbalannya, Indonesia memberikan ruang latihan militer bagi Singapura yang
tidak memiliki lahan cukup untuk keperluan itu.
Namun dalam hal ini, sebagaimana telah diungkapkan olep para
pengkritik, izin dari pemerintah Indonesia kepada militer Singapura untuk
menggunakan laut, darat, dan udara Indo- nesia di wilayah tertentu merupakan
konsesi yang nyata dan dapat langsung digunakan Singapura untuk keperluan
latihan militer. Sebaliknya, perjanjian ekstradisi yang diharapkan dapat
mengembalikan dana yang cukup besar yang dikorup oleh para kriminal dan
sebagian melarikan diri ke Singapura merupakan satu konsesi yang dapat berujud
sebagai ‘pepesan kosong’. Meskipun ada dugaan sejumlah koruptor Indone- sia
bersembunyi di Singapura, tidak ada jaminan ketika mereka akan diekstradisi
masih akan berada di sana. Mereka juga belum tentu dapat benar- benar dibawa ke
Indonesia untuk diadili. Kalau pun mereka dapat diadili, tidak ada jaminan uang
mereka korup masih berada di tangan mereka.
Sedangkan konsesi dari Indonesia kepada pihak Singapura begitu n yata
dan sangat Signifikan. Indonesia memberikan izin kepada pihak Singapura untuk
menggunakan beberapa wilayah di pulau Sumatra untuk digunakan sebagai daerah
militer Singapura yang berjangka waktu cukup lama. Bahkan, salah seorang
pengamat mengatakan, dengan konsesi yang diberikan Indonesia Singapura
akan dapat semakin mengontrol lalu lintas perdagangan di Selat Malaka.
Dari sudut negosiasi, performa tim negosiator Indonesia memberi kesan
bahwa mereka tidak memiliki BATNA yang jelas. BATNA yang mereka gunakan
tidak dapat mendefinisikan keadaan secara akurat sehingga tidak dapat disusun
strategi pemberian konsesi yang memadai.
Lebih buruk lagi, apabila keadaan ini terjadi justru karena pemerintah
Indonesia tidak memiliki BATNA sama sekali, sehingga tidak dapat diketahui
apa saja yang boleh dan tidak boleh dinegosiasikan oleh tim negosiasi Indonesia.
Menurut Fischer, kekalahan yang dialami tim negosiasi umumnya diawali oleh
ketiadaan rencana yang jelas mengenai apa yang akan dilakukan. Apa yang ingin
diperoleh dan dengan apa dicapainya.

4. Kesimpulan
Pemikiran dalam artikel ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
(1) Negosiasi yang baik harus diawali dengan rencana negosiasi yang baik
pula. Salah satu yang dapat disiapkan adalah merumuskan BATNA sebelum
negosiasi dimulai sebagai bagian dari persiapan negosiasi.
(2) Perjanjian yang dibuat oleh pemerintah Indo- nesia dengan Singapura tentang
pertahanan yan g dikenal dengan DCA seharusnya didasarkan pada
BATNA yang didasarkan pada kebijakan politik Indonesia dalam bidang
pertahanan yang menjunjung kedaulatan RI. Pemberian konsesi dari
pemerintah Indonesia kepada pemerintah Singapura untuk menggunakan
beberapa wilayah Indonesia secara relatif permanen berpotensi
mengganggu kedaulatan Indonesia. Konsesi itu melampaui batas yang
seharusnya telah ditetapkan sejak semula tentang apa yang boleh dan tidak
boleh dinegosiasikan. DCA yang telah disepakati pemerintah RI dan
Singapura, memperlihatkan berbagai kelemahan yang memungkin salah
satu di antara dua hal telah terjadi. Pertama, Indone- sia sama sekali tidak
memiliki BATNA sebelum perundingan dimulai, sehingga tim negosiator
tidak tahu batasan mana yang boleh dan tidak boleh. Kedua, tim negosiator
pemerintah RI mempunyai BATNA yang jelas tetapi karena hal tertentu
terpaksa dilanggar. Jika hal kedua terjadi perlu dilakukan penyelidikan
mengapa hal itu dapat terjadi dan kekuatan apa yang mampu mengarahkan
tim negosiasi sehingga melanggar BATNA yang telah ditetapkan.

REFERENSI

https://media.neliti.com/media/publications/157193-ID-dca-ri-singapura-
tinjauan-negosiasi.pdf

Anda mungkin juga menyukai