Anda di halaman 1dari 23

Analisis Kasus Penyelesaian Sengketa Perjanjian Tidak

Bernama (Perjanjian Waralaba atau Franchise dan


Perjanjian Fidusia)

Disusun Oleh:
Kelompok 7
Agnes Nur Alifah 110110180161
Nabila Tuffahati 110110180162
Dhea Annisa Jasmine 110110180163
Yusmiati 110110180164
Farrel Hadinata 110110180165

Dosen Pembimbing:
Dr. Ranti Fauza Mayana, S.H., M.H.
Pupung Faisal, S.H., M.H.

UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Berkembangnya perekonomian Indonesia diikuti dengan
berkembangnya bentuk hukum perjanjian. Penyebab berkembangnya hukum
perjanjian di Indonesia salah satunya difaktori oleh kegiatan bisnis masyarakat
yang melaju pesat. Salah satu bentuk perkembangan dari hukum perjanjian itu
adalah adanya perjanjian tidak bernama. Perjanjian tidak bernama (onbenoemde
overeenkomst/innominaat) merupakan perjanjian yang tidak diatur dalam kitab
undang-undang hukum perdata (KUHPer), tetapi berkembang di dalam
masyarakat. Perjanjian tidak bernama lahir dimungkinkan karena sifat dari
Buku III KUH Perdata yang memiliki sistem terbuka dan asas kebebasan
berkontrak yang diatur pada Pasal 1338 KUH Perdata.1
Pada pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian
yang dibuat berdasarkan persetujuan atau kesepakatan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian
yang dibuat secara sah tersebut harus sesuai dengan ketentuan pada pasal 1320
KUH Perdata yaitu terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak, kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek, dan memiliki sebab yang
halal. Beberapa bentuk perjanjian tidak bernama yang berkembang
dimasyarakat adalah perjanjian fidusia, franchise, leasing dan masih banyak
perjanjian lainnya.
Beberapa bentuk perjanjian yang banyak digunakan oleh para pelaku
usaha di Indonesia saat ini adalah perjanjian franchise dan fidusia. Perjanjian
franchise atau waralaba merupakan sebuah perjanjian kerjasama perdagangan
barang dan jasa antara pengusaha Indonesia dengan pengusaha asing atau antara

1
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2001), hlm 67.
pedagang Indonesia dengan pedagang Indonesia.2 Maraknya perdagangan
dengan menggunakan sistem franchise ini disebabkan karena sistem ini lebih
menguntungkan baik bagi pemberi franchise maupun penerimanya.
Perjanjian waralaba atau franchise salah satunya dilaksanakan oleh Aziz
Sudaryanto yang melakukan kerja sama dengan Lembaga Pendidikan dan
Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I). sayangnya hubungan bisnis antara
LP3I dengan para investor tidak berjalan lancar, LP3I digugat oleh Aziz
Sudaryanto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dugaan wanprestasi.
Gugatan wanprestasi dilayangkan kepada pihak LP3I karena dianggap tidak
menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan.
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada
debitor yang melibatkan pernjaminan. Fidusia merpakan bagian dari perjanjian
jaminan kebendaan selain gadai dan hak hipotek. Objek tanggungan fidusia
berupa benda tetap, benda bergerak, benda berwujud maupun yang tidak
berwujud, namun objek jaminannya tetap ada di tangan debitur. Perjanjian
fidusia salah satunya dilakukan oleh A yang berprofesi sebagai tukang becak
yang membeli motor Kawasaki hitam di PT. AF. Masalah yang dihadapi pada
perjanjian ini adalah A tidak dapat membayar cicilan ketujuh dan terjadi upaya
penarikan oleh PT. AF, merasa dirugikan A mengadu kepada Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Bojonegoro.
Dikarenakan tidak mampu melakukan pembayaran A menitipkan motornya
kepad LPKSM. Akibatnya A dilaporkan oleh PT. AF dengan dakwaan
melakukan penggelapan dan ketua LPKSM didakwa melakukan penadahan.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi tersebut menyebabkan, maka
kelompok kami akan membahasnya melalui makalah ini dengan judul “Analisis
Kasus Penyelesaian Sengketa Perjanjian Tidak Bernama (Perjanjian Waralaba
(franchise) dan Perjanjian Fidusia)”.

2
Norman Syahdar Idrus, Aspek Hukum Perjanjian Waralaba (Franchise) Dalam Perspektif
Hukum Perdata dan Hukum Islam, Jurnal Yuridis Vol. 4 No.1, Juni 2017, hlm 29.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, terdapat
beberapa identifikasi masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimanakah kedudukan hukum terhadap perjanjian waralaba
(franchise) dalam hukum perdata indonesia?
2. Bagaimana penyelesaian masalah yang dapat dilakukan terhadap
permasalahan tuduhan wanprestasi atas perjanjian waralaba (franchise)
LP3I?
3. Bagaiamanakah kedudukan hukum terhadap perjanjian fidusia dalam
hukum perdata Indonesia?
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi Perjanjian Tak Bernama

Perjanjian tak bernama merupakan perjanjian yang belum diatur dalam


KUHPerdata dan KUHD. Lahirnya perjanjian ini didasarkan pada asas
kebebasan berkontrak yang menyatakan setiap orang bebas mengadakan
perjanjian dengan siapapun atau partij otonomi. Pengaturan perjanjian tidak
bernama dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu yang
mendefinisikan semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun
yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum
yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain.

Di luar KUHPerdata dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint


venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya dan lain
sebaginya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat (perjanjian tak
bernama), yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam
praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat (perjanjian
bernama) maupun innominaat (perjanjian tak bernama) tidak terlepas dari
adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri. Perjanjian tak
bernama menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah perjanjian yang belum
diatur di dalam KUHPerdata ataupun KUHD, namun dijumpai di tengah
masyarakat.

Adanya perjanjian tidak bernama mengikat dalam Buku III KUHPerdata


menganut sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak, yang diatur dalam
Pasal 1338 KUHPerdata.3 Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengatur bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang

3
Mariam Darus Badrulzaman I, op. cit., hal. 67.
membuatnya. Hal ini disebut sebagai asas pacta sunt servanda. Perjanjian yang
dibuat secara sah artinya yang dibuat sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk membuat
perjanjian, adanya hal tertentu atau obyek perjanjian, dan adanya kausa halal,
harus terpenuhi agar perjanjian tersebut sah secara hukum. Beberapa contoh
perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian sewa beli, fidusia, franchise, leasing,
konsinyasi, dan masih banyak lagi perjanjian tidak bernama yang dikenal dalam
praktek perekonomian dan bisnis di Indonesia.

Perjanjian tidak bernama berdasarkan aspek pengaturan hukumnya


dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :

1) Perjanjian tidak bernama yang diatur secara khusus dan dituangkan dalam
brntuk undang-undang dan diatur dalam pasal-pasal tersendiri.
2) Perjanjian tidak bernama yang diatur dalam peraturan pemerintah.
3) Perjanjian tidak bernama yang belum diatur atau belum ada dalam undang-
undang yang mengaturnya.
B. Asas Kebebasan Berkontrak Sebagai landasan Lahirnya Perjanjian
Tak Bernama

Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga
disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang
oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Penegasan mengenai
adanya kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga
dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan
yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada
semua perjanjian yang dibuat secara sah.
Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak
(beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekan-kan pada
perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa
Pasal 1338 ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan
(proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu
akan mengikat kita. sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan
terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum
dan kesusilaan".4

Menurut Mariam Darus Badrulzaman "Semua" mengandung , Arti


meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak
dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contract-vrijheid)
berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan
"siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal
1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat.5

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di


dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak
bebas, pancaran hak asasi. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum
perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:6

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.


2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian.
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang
akan dibuatnya.
4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
4
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet-boek), Cetakan Keenam Belas,
Jakarta: Pradnya Para-mita, 1983. hal.5
5
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Cetakan Pertama, Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2001, hal.84
6
Hasanuddin Rahman, op.cit.: 138 dan Sutan Remy Sjandeini, Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di
Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: Institut Bahkir Indonesia, 1993. hal.47
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullend, optional).

Lebih lanjut Sutan Remy Sjandeini mengemukakan, dari mempelajari


hukum perjanjian negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan
berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum perjanjian
negara-negara lain, mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga ruang
lingkup asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia.7

Kebebasan berkontrak atau freedom of contract harus dibatasi bekerjanya


agar kontrak yang dibuat berlandaskan asas itu tidak sampai merupakan
perjanjian yang berat sebelah atau timpang. Apakah memang asas kebebasan
berkontrak dapat bekerja secara bebas mutlak? Bila kita mempelajari pasal-
pasal KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas
mutlak. Ada beberapa pem-batasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH
Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak
tidak terbatas, antara lain Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan ayat (4). Pasal 1332,
Pasal 1337 dan Pasal 1338 ayat (3).

Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata pada
hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya
masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-
ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat kontrak tidak
sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang tidak
sama.8

C. Contoh Perjanjian Tak Bernama


1) Sewa beli ( Huurkoop )

7
Sutan Remy Sjandeini, ibid
8
Sutan Remy Sjandeini, ibid: 4
Tidak ada peraturan baru yang mengaturnya. Akan tetapi, dalam
Keputusan Menteri Perdagangan Dan Koperasi Nomor 34/KP/II/80 Tahun 1980
tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purchase) Jual Beli Dengan
Angsuran, dan Sewa (Renting) (“Kepmen 34/1980”) yang telah dicabut oleh
Peraturan Menteri Perdagangan Republik IndonesiaNomor 21/M-
DAG/PER/10/2005 Tahun 2005 tentang Pencabutan Beberapa Perizinan Dan
Pendaftaran Di Bidang Perdagangan, memberikan pengertian mengenai sewa
beli.

Sewa Beli (hire purchase) adalah jual beli barang di mana penjual
melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap
pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang
yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak
milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah
jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.9

Sewa Beli adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).Akan tetapi karena Buku III
KUHPer menganut sistem terbuka, maka para pihak boleh membuat perjanjian
yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPer.10

Menurut ketentuan Pasal 1319 KUHPer, setiap perjanjian nominat


maupun perjanjian innominat tunduk pada ketentuan umum hukum perjanjian.
Dengan demikian perjanjian beli-sewa sebagai suatu perjanjian innominat juga
tunduk kepada ketentuan umum tentang perjanjian seperti misalnya syarat
sahnya perjanjian dan tentang wanprestasi.

2) Sewa Guna Usaha ( Leasing )

9
Pasal 1 huruf a Kepmen 34/1980
10
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 64-65
Sewa Guna Usaha (Leasing) menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun
2009 tentang Lembaga Pembiayaan (“Perpres 9/2009”) adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna
Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak
opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee)
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.11

Sewa guna usaha adalah istilah yang dipakai untuk menggantikan istilah
leasing. Istilah leasing berasal dari bahasa Inggris, yaitu to lease yang berarti
menyewakan, tetapi berbeda pengertiannya dengan rent. Dalam bahasa
Belandanya istilah ini adalah financieringshuur.12

Menurut Surat Keputusan (SK) Bersama Perindustrian Perdagangan


122/MK/32/M/SK/2/1974, 30/Kpb/l/1974 Tentang Perizinan Usaha Leasing,
Pengertian Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam
bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu
perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-
pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) dari perusahaan
tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau
memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah
disepakati bersama.

Menurut Kepmenkeu RI No. 1169/KMK.01/1991 Tentang Kegiatan Sewa


Guna Usaha, Pasal 1 huruf a, leasing diartikan sebagai suatu kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna
usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi
(operating lease) untuk dipergunakan oleh lessee selama jangka waktu
berdasarkan pembayaran secara berkala.

11
Pasal 1 angka 5 Perpres 9/2009
12
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1996), hal. 214
Pengertian menurut Equipment Leasing Association, leasing adalah
perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal
tertentu yang dipilih oleh lessee. Hak kepemilikan atas barang modal tersebut
ada pada lessor sedangkan lessee hanya menggunakan barang modal tersebut
berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam jangka waktu
tertentu.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka terdapat beberapa unsur


mengenai sewa guna usaha, yaitu:

a. Adanya suatu perusahaan pembiayaan (lessor);


b. Adanya calon penyewa guna usaha (lessee);
c. Penyediaan barang modal;
d. Keterbatasan jangka waktu;
e. Pembayaran secara berkala;
f. Hak opsi bagi lessee;
g. Ada nilai sisa (residu).

Leasing dalam praktik hukum mempunyai pengertian sebagai kegiatan


pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk
digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu,
berdasarkan pembayaran-pembayaran secara sukarela yang disertai dengan hak
pilih (optie) bsgi perusahaan tersebut, untuk membeli barang-barang modal
yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai
sisa yang telah disepakati.
BAB III

CONTOH KASUS

1. Tuduhan Wanprestasi atas perjanjian waralaba LP3I ( Franchise)

Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I)


dikenal sebagai lembaga pendidikan yang menjanjikan lulusannya bisa
langsung kerja. Dengan trademark ini, LP3I pun terus berkembang pesat.
Cabang-cabang LP3I mulai menjamur di sejumlah daerah di Indonesia melalui
skema bisnis franchise (waralaba). Namun, hubungan bisnis LP3I dengan para
investor pewaralabanya tidak selalu berjalan mulus. Saat ini, LP3I tengah
tersangkut gugatan wanprestasi yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.

Gugatan dilayangkan oleh Aziz Sudaryanto penerima waralaba LP3I


untuk cabang Surabaya terhadap Presiden Direktur LP3I, Rizal Diansyah. Aziz
menuding Rizal telah melakukan wanprestasi atas perjanjian waralaba.
Berdasarkan berkas gugatan, hubungan hukum antara Aziz dan Rizal berawal
dari perjanjian waralaba yang ditandatangani pada 9 Maret 2005. Perjanjian itu
memberikan hak kepada Azis untuk menjalankan usaha dengan menggunakan
nama LP3I, dengan disertai hak dan kewajiban. Aziz mengaku tertarik untuk
investasi Waralaba LP3I karena keuntungan yang ditawarkan. Sebagaimana
tercantum dalam brosur yang dikeluarkan LP3I, investasi type B akan
memberikan keuntungan sebesar Rp2.091.241.300 dalam jangka waktu lima
tahun.

Aziz pun menyepakati perjanjian waralaba dengan Rizal melalui


perjanjian No.13/FRC-LP3I/03-05. Berdasarkan perjanjian tersebut, Rizal
memiliki kewajiban untuk menyediakan dukungan konsultasi operasional yang
berkesinambungan. Namun, Rizal tidak melaksanakan kewajiban seperti yang
ditentukan. Rizal tidak memberikan materi ajaran sepenuhnya. Rizal juga tidak
pernah mengundang Aziz dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang
merupakan forum untuk membahas evaluasi, rencana, dan strategi pendidikan.

Aziz telah menyampaikan masukan, namun tidak pernah mendapat


tanggapan. Baru pada 5 Mei 2010, Rizal melalui kuasa hukumnya memberikan
tanggapan. Rizal menawarkan kompensasi berupa perpanjangan perjanjian
waralaba selama satu periode (lima tahun) tanpa dikenakan biaya waralaba.
Namun, tawaran ditampik Aziz.

Akibat wanprestasi yang dilakukan Rizal, kualitas pendidikan dan siswa


LP3I di tempat Aziz menjadi berkurang. Hal itu jelas menyimpang dari maksud
dan tujuan dibuat dan ditandatanganinya perjanjian. Selain itu, wanprestasi
yang dilakukan Rizal menyebabkan Aziz tidak dapat melaksanakan program
pendidikan sebagaimana paket yang ditawarkan. Aziz juga tidak dapat
melaksanakan pembahasan evaluasi, rancana dan strategi pendidikan LP3I ke
depan yang seharusnya difasilitasi Rizal setiap tahunnya melalui Rakernas.

Dalam gugatannya, Aziz mengklaim telah mengalami kerugian tidak


kurang dari Rp2,5 Miliar. Kerugian itu terdiri dari kerugian riil sebesar
Rp1.078.233.665 kerugian waktu Rp405.565.354 dan kerugian moral sebesar
Rp1,5 Miliar. Dalam sidang yang digelar Kamis (30/9/2010), kuasa hukum
tergugat, Suhaimin Imran menjelaskan bahwa gugatan Aziz salah alamat.
Menurutnya, gugatan seharussnya dilayangkan ke ketua Yayasan LP3I.
Suhaimin juga beranggapan materi gugatan Aziz mengada-ngada dan tidak
memiliki dasar hukum.

2. Perjanjian Tidak bernama (Fidusia)

A yang berprofesi sebagai tukang becak membeli kendaraan sepeda


motor Kawasaki hitam, selanjutnya B meminjamkan identitasnya untuk
kepentingan A dalam mengajukan pinjaman pembayaran motor tersebut dengan
jaminan Fidusia kepada PT.AF. Hal ini bisa terjadi karena fasilitas yang
diberikan oleh C sebagai sales perusahaan motor tersebut. Kemudian konsumen
telah membayar uang muka sebesar Rp.2.000.000,- kepada PT.AF dan telah
mengangsur sebanyak 6 kali (per-angsuran sebesar Rp.408.000,-).

Namun ternyata pada cicilan ke tujuh, konsumen terlambat melakukan


angsuran akibatnya terjadi upaya penarikan sepeda motor dari PT.AF. Merasa
dirugikan, konsumen mengadukan masalahnya pada Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Bojonegoro. Kemudian karena
tidak mampu melakukan pembayaran, maka A menitipkan objek sengketanya
kepada LPKSM disertai dengan berita acara penyerahan. Akibatnya A/B
dilaporkan oleh PT.AF dengan dakwaan melakukan penggelapan dan ketua
LPKSM didakwa melakukan penadahan.
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Kedudukan Hukum Perjanjian Waralaba (franchise) dalam Hukum


Perdata Indonesia
Seperti yang sudah dijelaskan pada tinjauan pustaka, istilah waralaba atau
franchise adalah perpaduan dari kata “wara” dan “laba”. “wara” artinya adalah
lebih atau istimewa, serta “laba” artinya adalah untung, jadi waralaba adalah
usaha yang memberikan laba atau keuntungan lebih atau dapat dikatakan juga
istimewa. Sedangkan menurut Black’s Law Dictionar, secara garis besar
franchise adalah suatu hak istimewa untuk melakukan hal tertentu yang
diberikan oleh pemerintah pada individu maupun perusahaan, serta hak itu tidak
dimiliki oleh penduduk pada umumnya, atau secara lebih sederhananya,
franchise atau waralaba adalah lisensi yang diberikan oleh pemilik merek
dagang yang mengizinkan orang lain untuk menjual produk atau jasanya di
bawah nama merek tersebut13.
Istilah waralaba baru pertamakali muncul pada undang-undang nomor 9
tahun 1995 tentang usaha kecil, pasal 27 huruf d yang menyatakan bahwa
“waralaba adalah salah satu pola kemitraan yang didalamnya pemberi waralaba
memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi
perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan
manajemen”14. Namun pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan peraturan
pemerintah yang mengatur secara khusus tentang waralaba, yang menjadikan
undang-undang nomor 9 tahun 1995 sebagai salah satu dasar dikeluarkannya
peraturan pemerintah tersebut. Akan tetapi, definisi yang dijelaskan pada
Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2007 tentang waralaba memuat isi yang
jauh berbeda dengan yang dijelaskan pada undang-undang nomor 9 tahun 1995.
Definisi yang dijelaskan pada peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2007 pasal

13
Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary, Sixth Edition, St.Paul, Minn : West Publishing
C,1992, hlm. 658
14
Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, pasal 27 huruf d.
1 angka 1, yaitu “waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang
perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha
dalam rangka memasarkan barang dan atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba.”.
Apabila kita selaraskan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
atau KUHPerdata, ketentuan pasal 1 angka 1 pada peraturan pemerintah nomor
42 tahun 2007 yang menyatakan bahwa waralaba berdasarkan perjanjian
waralaba, tidak ditemukan pengaturannya dalam KUHPerdata. Seperti yang kita
ketahui, perjanjian telah diatur dalam KUHPerdata pada pasal 1313 yang
menyatakan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadao satu orang atau lebih lainnya.15”.
Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata disebut sebagai perjanjian bernama,
sedangkan perjanjian yang tidak terdapat dalam pasal-pasal KUHPerdata
disebut sebagai perjanjian tidak bernama. Menurut pendapat Salim H.S.,
komtrak terbagi menjadi 2 jenis, yaitu kontrak nominaat dan innominaat.
Kontrak nominaat adalah kontrak atau perjanjian yang telah diatur dalam
KUHPerdata, atau yang kita sebut tadi sebagai perjanjian yang bernama.
Sedangkan kontrak innominaat adalah kebalikan dari nominaat, yaitu perjanjian
atau kontrak yang tidak diatur dalam KUHPerdata atau dengan kata lain
muncul, tumbuh, serta berkembang dalam praktek16. Salim H.S. juga membagi
lagi kontrak innominaat menjadi 3 bagian, yaitu yang diatur dalam undang-
undang atau pasal-pasal tersendiri, yang daitur dalam peraturan pemerintah,
serta yang belum ada peraturannya di Indonesia. Berdasarkan pendapat dari
Salim H.S., dapat kita simpulkan bahwa kedudukan franchise atau waralaba
berada pada kontrak innominaat atau perjanjian tidak bernama yang diatur
dalam peraturan pemerintah.

15
Kitab undang-undang hukum perdata, pasal 1313.
16
Salim H.S. , Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta :Sinar Grafika,
2003, hlm. 1
2. Bagaimana Penyelesaian Masalah yang dapat Dilakukan Terhadap
Permasalahan Tuduhan Wanprestasi atas Perjanjian Waralaba LP3I?

Dalam kasus yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dapat kita ambil
beberapa poin yang akan kita jadikan sebagai pembahasan. Berdasarkan kasus
yang diilustrasikan, Presiden Direktur LP3I yang bernama Rizal melakukan
wanprestasi terhadap Aziz yang sebelumnys telah membuat perjanjian waralaba
(franchise) pada 9 Maret 2005. Bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh Rizal
adalah tidak melaksanakan kewajiban secara utuh, seharusnya Rizal akan selalu
menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan.
Namun, kewajiban tersebut tidak dipenuhi secara sempurna oleh Rizal, yang
menyebabkan Aziz merasa dirugikan karena wanprestasi yang dilakukan oleh
Rizal. Oleh karena itu Aziz menggugat Rizal selaku Presiden Direktur LP3I
dengan melampirkan sejumlah rincian kerugian yang dialaminya.

Apabila kita analisis, kasus ini berkaitan dengan beberapa asas-asas


perjanjian waralaba, diantaranya adalah asas konsensualisme. Dalam asas ini
dijelaskan pada pasal 1320 KUHPerdata yang mengandung arti adanya
kemauan dari masing-masing pihak untuk mengikatkan dirinya kepada suatu
perjanjian untuk saling berpartisipasi. Berdasarkan kasus diatas, dapat
dikatakan bahwa Rizal selaku salah satu pihak yang membuat perjanjian
waralaba telah mengikatkan dirinya pada perjanjian yang dibuat bersama
dengan Aziz. Oleh karena itu Rizal seharusnya melaksanakan kewajibannya
kepada Aziz sesuai dengan isi perjanjian.

Asas yang berkaitan yang kedua adalah asas kekuatan mengikat, dimana
dalam asas ini setiap pihak diwajibkan untuk memenuhi apa yang telah
diperjanjikan. Seperti yang telah dijelaskan dalam kasus, yang menjadi akar
dari konflik ini adalah Rizal selaku Presiden Direktur LP3I tidak melaksanakan
kewajibannya dengan baik terhadap Aziz. Sehingga tindakan Rizal telah
dianggap melanggar asas kekuatan mengikat dan dianggap sebagai tindakan
wanprestasi.
Dalam penyelesaian kasus ini, permohonan gugatan yang dilakukan oleh
Aziz sudah merupakan tindakan yang tepat. Karena dalam perjanjian, yang
menandatangani perjanjian tersebut adalah Rizal selaku Presiden Direktur LP3I,
bukan ketua yayasan LP3I sebagaimana dimaksud oleh kuasa hukum tergugat.
Hal ini berdasarkan asas konsensualisme dan juga asas kekuatan mengikat

3. Kedudukan Hukum Perjanjian Fidusia dalam Hukum Perdata


Indonesia.

Istilah fidusia berasal dari kata fieds yang memiliki arti kepercayaan.
Kepercayaan yang dimaksud adalah pemberi jaminan memberikan kepercayaan
dalam menyerahkan hak miliknya kepada kreditur, namun tidak dimaksudkan
untuk benar-benar menjadikan kreditur sebagai pemilik atas benda yang
diserahkannya, dan apabila perjanjian pokok fidusia telah dilunasi, benda yang
diberikan kepada kreditur akan kembali menjadi milik pemberi jaminan17.
Apabila dijelaskan secara sederhana, fidusia adalah jaminan yang diberikan
kepada kreditur sebagai jaminan pelunasan yang telah diatur dalam perjanjian
pokok.

Selain dari sisi terminologi, definisi dari perjanjian fidusia juga dijelaskan
pada pasal 1 ayat (1 dan 2) UUJF nomor 42 tahun 1999, yang menjelaskan
bahwa:

1. Menyatakan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu


benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda;
2. Menyatakan bahwa Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda
bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak
bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

17
Nazia Tunisa. “Peran Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Pendaftaran Jaminan
Fidusia” JURNAL CITA HUKUM *Online+, Volume 3 Number 2 (6 June 2015), h. 362
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor
lainnya.

Berdasarkan dasar hukum yang dijelaskan diatas, dapat kita simpulkan


bahwa kedudukan perjanjian fidusia adalah sebagai perjanjian tidak bernama.
Karena apabila mengacu pada pendapat Salim H.S., yang menyatakan bahwa
perjanjian innominaat atau perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang
tidak diatur dalam KUHPerdata namun muncul dan berkembang dari prakter.
Seperti perjanjian fidusia ini, yang tidak diatur dalam KUHPerdata, melainkan
diatur pada undang-undang tersendiri dan juga peraturan pemerintah.
BAB V
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas, diambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum
perjanjian waralaba (franchise) dalam hukum perdata Indonesia dapat dilihat
dari istilah waralaba itu sendiri, baik secara umum maupun secara khusus dan
sederhana. Istilah ini pertama kali muncul pada UU No. 9 Tahun 1995 Tentang
Usaha Kecil, kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan lebih lanjut secara
khusus yaitu PP No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. Secara umum,
waralaba lebih dikenal sebagai usaha yang memberikan laba atau keuntungan
atau dikatakan juga usaha yang istimewa. Lebih khususnya seperti yang dibahas
dalam Black’s Law Dictionar, yakni franchise adalah suatu hak istimewa yang
diberikan oleh pemerintah pada individu maupun perusahaan yang
berkepentingan untuk melakukan hal tertentu, atau secara lebih sederhana
franchise yaitu lisensi yang diberikan oleh pemilik merek dagang sebagai
bentuk dari pemberian izin bagi orang lain untuk menjual produk atau jasanya
dibawah nama merek tersebut.

Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata dikenal dengan perjanjian


bernama, sedangkan perjanjian diluar KUH Perdata dikenal dengan perjanjian
tak bernama. Seperti pendapat Salim H.S., kontrak terbagi menjadi dua jenis,
yaitu kontrak nominaat yang diatur dalam KUH Perdata dan kontrak
innominaat yang diatur diluar KUH Perdata (undang-undang atau pasa-pasal
tersendiri, peraturan pemerintah) atau yang berkembang dalam masyarakat.
Maka dapat dikatakan bahwa franchise atau waralaba berkedudukan sebagai
kontrak innominaat atau perjanjian tak bernama yang pengaturannya terdapat
dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba.

Terkait dengan kasus wanprestasi atas perjanjian waralaba LP3I, yang


dilakukan oleh Presdir LP3I bernama Rizal kepada Aziz terhadap perjanjian
waralaba yang telah mereka buat pada 9 Maret 2005. Wanprestasi oleh Rizal
adalah tidak melaksanakan kewajibannya secara utuh yakni tidak selalu
memberi dukungan konsultasi operasional yang seharusnya dilakukan secara
terus menerus. Oleh sebab itu Aziz mengalami kerugian dan menggugat Rizal
dengan bukti berupa sejumlah rincian kerugian yang dialaminya. Kasus ini
berkaitan dengan beberapa asas seperti asas konsensualisme dan asas kekuatan
mengikat. Dalam pasal 1320 KUH Perdata terkandung asas konsensualisme,
yaitu adanya kemauan untuk berpartisipasi oleh para pihak dalam rangka
mengikatkan dirinya terhadap suatu perjanjian. Sedangkan asas kekuatan
mengikat memiliki arti bahwa setiap pihak mempunyai kewajiban untuk
memenuhi isi dari suatu perjanjian. Rizal selaku Presdir LP3I telah
mengikatkan dirinya kepada perjanjian waralaba dengan Aziz, sudah
semestinya Rizal memenuhi kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian tersebut.
Namun, Rizal ternyata tidak melaksanakan secara penuh kewajibannya
sehingga dianggap telah melakukan wanprestasi. Maka tindakan yang diambil
Aziz dengan mengajukan gugatan kepada Rizal adalah tepat berdasarkan asas
konsesualisme dan asas kekuatan mengikat.

Selanjutnya terdapat fidusia yang merupakan suatu jaminan pelunasan


yang diberikan kepada kreditur hingga perjanjian pokok fidusia telah dilunasi
dan diatur dalam perjanjian pokok. Perjanjian fidusia diatur dalam Undang-
undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia pada pasal 1
ayat (1) dan ayat (2). Berdasarkan undang-undang tersebut dikatakan bahwa
kedudukan hukum perjanjian fidusia dalam hukum perdata Indonesia adalah
sebagai perjanjian tidak bernama karena tidak diatur dalam KUH Perdata
melainkan diatur baik dalam undang-undang, peraturan pemerintah, maupun
berkembang dalam praktek.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU

 Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung:


PT. Citra Aditya Bakti.
 Idrus, Norman Syahdar. 2017. Aspek Hukum Perjanjian Waralaba
(Franchise) Dalam Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam. Jurnal
Yuridis : Vol. 4 No.1.
 Subekti. 1983. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wet-boek). Jakarta: Pradnya Para-mita.
 Sjandeini, Sutan Remy. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan
Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di
Indonesia. Jakarta: Institut Bahkir Indonesia.
 Suharnoko. 2004. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta:
Kencana.
 Djumhana, Muhamad. 1996. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.
 Black, Henry Campbell. 1992. Black‟s Law Dictionary Sixth Edition.
St.Paul, Minn : West Publishing C.
 H. Sidik, Salim. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di
Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
 Nazia Tunisa. 2015. Peran Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan
Pendaftaran Jaminan Fidusia. Jurnal Cita Hukum : Volume 3 Number 2.

Peraturan Perundang-undangan

 Keputusan Menteri Perdagangan Dan Koperasi Nomor 34 KP/II/80 Tentang


Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purchase) Jual Beli Dengan
Angsuran, Dan Sewa (Renting).
 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan.
 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil
 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba
 Undang-undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia

Anda mungkin juga menyukai