Disusun Oleh:
Kelompok 7
Agnes Nur Alifah 110110180161
Nabila Tuffahati 110110180162
Dhea Annisa Jasmine 110110180163
Yusmiati 110110180164
Farrel Hadinata 110110180165
Dosen Pembimbing:
Dr. Ranti Fauza Mayana, S.H., M.H.
Pupung Faisal, S.H., M.H.
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2001), hlm 67.
pedagang Indonesia dengan pedagang Indonesia.2 Maraknya perdagangan
dengan menggunakan sistem franchise ini disebabkan karena sistem ini lebih
menguntungkan baik bagi pemberi franchise maupun penerimanya.
Perjanjian waralaba atau franchise salah satunya dilaksanakan oleh Aziz
Sudaryanto yang melakukan kerja sama dengan Lembaga Pendidikan dan
Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I). sayangnya hubungan bisnis antara
LP3I dengan para investor tidak berjalan lancar, LP3I digugat oleh Aziz
Sudaryanto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dugaan wanprestasi.
Gugatan wanprestasi dilayangkan kepada pihak LP3I karena dianggap tidak
menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan.
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada
debitor yang melibatkan pernjaminan. Fidusia merpakan bagian dari perjanjian
jaminan kebendaan selain gadai dan hak hipotek. Objek tanggungan fidusia
berupa benda tetap, benda bergerak, benda berwujud maupun yang tidak
berwujud, namun objek jaminannya tetap ada di tangan debitur. Perjanjian
fidusia salah satunya dilakukan oleh A yang berprofesi sebagai tukang becak
yang membeli motor Kawasaki hitam di PT. AF. Masalah yang dihadapi pada
perjanjian ini adalah A tidak dapat membayar cicilan ketujuh dan terjadi upaya
penarikan oleh PT. AF, merasa dirugikan A mengadu kepada Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Bojonegoro.
Dikarenakan tidak mampu melakukan pembayaran A menitipkan motornya
kepad LPKSM. Akibatnya A dilaporkan oleh PT. AF dengan dakwaan
melakukan penggelapan dan ketua LPKSM didakwa melakukan penadahan.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi tersebut menyebabkan, maka
kelompok kami akan membahasnya melalui makalah ini dengan judul “Analisis
Kasus Penyelesaian Sengketa Perjanjian Tidak Bernama (Perjanjian Waralaba
(franchise) dan Perjanjian Fidusia)”.
2
Norman Syahdar Idrus, Aspek Hukum Perjanjian Waralaba (Franchise) Dalam Perspektif
Hukum Perdata dan Hukum Islam, Jurnal Yuridis Vol. 4 No.1, Juni 2017, hlm 29.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, terdapat
beberapa identifikasi masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimanakah kedudukan hukum terhadap perjanjian waralaba
(franchise) dalam hukum perdata indonesia?
2. Bagaimana penyelesaian masalah yang dapat dilakukan terhadap
permasalahan tuduhan wanprestasi atas perjanjian waralaba (franchise)
LP3I?
3. Bagaiamanakah kedudukan hukum terhadap perjanjian fidusia dalam
hukum perdata Indonesia?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
3
Mariam Darus Badrulzaman I, op. cit., hal. 67.
membuatnya. Hal ini disebut sebagai asas pacta sunt servanda. Perjanjian yang
dibuat secara sah artinya yang dibuat sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk membuat
perjanjian, adanya hal tertentu atau obyek perjanjian, dan adanya kausa halal,
harus terpenuhi agar perjanjian tersebut sah secara hukum. Beberapa contoh
perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian sewa beli, fidusia, franchise, leasing,
konsinyasi, dan masih banyak lagi perjanjian tidak bernama yang dikenal dalam
praktek perekonomian dan bisnis di Indonesia.
1) Perjanjian tidak bernama yang diatur secara khusus dan dituangkan dalam
brntuk undang-undang dan diatur dalam pasal-pasal tersendiri.
2) Perjanjian tidak bernama yang diatur dalam peraturan pemerintah.
3) Perjanjian tidak bernama yang belum diatur atau belum ada dalam undang-
undang yang mengaturnya.
B. Asas Kebebasan Berkontrak Sebagai landasan Lahirnya Perjanjian
Tak Bernama
Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga
disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang
oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Penegasan mengenai
adanya kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga
dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan
yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada
semua perjanjian yang dibuat secara sah.
Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak
(beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekan-kan pada
perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa
Pasal 1338 ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan
(proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu
akan mengikat kita. sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan
terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum
dan kesusilaan".4
Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata pada
hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya
masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-
ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat kontrak tidak
sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang tidak
sama.8
7
Sutan Remy Sjandeini, ibid
8
Sutan Remy Sjandeini, ibid: 4
Tidak ada peraturan baru yang mengaturnya. Akan tetapi, dalam
Keputusan Menteri Perdagangan Dan Koperasi Nomor 34/KP/II/80 Tahun 1980
tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purchase) Jual Beli Dengan
Angsuran, dan Sewa (Renting) (“Kepmen 34/1980”) yang telah dicabut oleh
Peraturan Menteri Perdagangan Republik IndonesiaNomor 21/M-
DAG/PER/10/2005 Tahun 2005 tentang Pencabutan Beberapa Perizinan Dan
Pendaftaran Di Bidang Perdagangan, memberikan pengertian mengenai sewa
beli.
Sewa Beli (hire purchase) adalah jual beli barang di mana penjual
melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap
pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang
yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak
milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah
jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.9
Sewa Beli adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).Akan tetapi karena Buku III
KUHPer menganut sistem terbuka, maka para pihak boleh membuat perjanjian
yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPer.10
9
Pasal 1 huruf a Kepmen 34/1980
10
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 64-65
Sewa Guna Usaha (Leasing) menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun
2009 tentang Lembaga Pembiayaan (“Perpres 9/2009”) adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna
Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak
opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee)
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.11
Sewa guna usaha adalah istilah yang dipakai untuk menggantikan istilah
leasing. Istilah leasing berasal dari bahasa Inggris, yaitu to lease yang berarti
menyewakan, tetapi berbeda pengertiannya dengan rent. Dalam bahasa
Belandanya istilah ini adalah financieringshuur.12
11
Pasal 1 angka 5 Perpres 9/2009
12
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1996), hal. 214
Pengertian menurut Equipment Leasing Association, leasing adalah
perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal
tertentu yang dipilih oleh lessee. Hak kepemilikan atas barang modal tersebut
ada pada lessor sedangkan lessee hanya menggunakan barang modal tersebut
berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam jangka waktu
tertentu.
CONTOH KASUS
13
Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary, Sixth Edition, St.Paul, Minn : West Publishing
C,1992, hlm. 658
14
Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, pasal 27 huruf d.
1 angka 1, yaitu “waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang
perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha
dalam rangka memasarkan barang dan atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba.”.
Apabila kita selaraskan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
atau KUHPerdata, ketentuan pasal 1 angka 1 pada peraturan pemerintah nomor
42 tahun 2007 yang menyatakan bahwa waralaba berdasarkan perjanjian
waralaba, tidak ditemukan pengaturannya dalam KUHPerdata. Seperti yang kita
ketahui, perjanjian telah diatur dalam KUHPerdata pada pasal 1313 yang
menyatakan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadao satu orang atau lebih lainnya.15”.
Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata disebut sebagai perjanjian bernama,
sedangkan perjanjian yang tidak terdapat dalam pasal-pasal KUHPerdata
disebut sebagai perjanjian tidak bernama. Menurut pendapat Salim H.S.,
komtrak terbagi menjadi 2 jenis, yaitu kontrak nominaat dan innominaat.
Kontrak nominaat adalah kontrak atau perjanjian yang telah diatur dalam
KUHPerdata, atau yang kita sebut tadi sebagai perjanjian yang bernama.
Sedangkan kontrak innominaat adalah kebalikan dari nominaat, yaitu perjanjian
atau kontrak yang tidak diatur dalam KUHPerdata atau dengan kata lain
muncul, tumbuh, serta berkembang dalam praktek16. Salim H.S. juga membagi
lagi kontrak innominaat menjadi 3 bagian, yaitu yang diatur dalam undang-
undang atau pasal-pasal tersendiri, yang daitur dalam peraturan pemerintah,
serta yang belum ada peraturannya di Indonesia. Berdasarkan pendapat dari
Salim H.S., dapat kita simpulkan bahwa kedudukan franchise atau waralaba
berada pada kontrak innominaat atau perjanjian tidak bernama yang diatur
dalam peraturan pemerintah.
15
Kitab undang-undang hukum perdata, pasal 1313.
16
Salim H.S. , Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta :Sinar Grafika,
2003, hlm. 1
2. Bagaimana Penyelesaian Masalah yang dapat Dilakukan Terhadap
Permasalahan Tuduhan Wanprestasi atas Perjanjian Waralaba LP3I?
Dalam kasus yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dapat kita ambil
beberapa poin yang akan kita jadikan sebagai pembahasan. Berdasarkan kasus
yang diilustrasikan, Presiden Direktur LP3I yang bernama Rizal melakukan
wanprestasi terhadap Aziz yang sebelumnys telah membuat perjanjian waralaba
(franchise) pada 9 Maret 2005. Bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh Rizal
adalah tidak melaksanakan kewajiban secara utuh, seharusnya Rizal akan selalu
menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan.
Namun, kewajiban tersebut tidak dipenuhi secara sempurna oleh Rizal, yang
menyebabkan Aziz merasa dirugikan karena wanprestasi yang dilakukan oleh
Rizal. Oleh karena itu Aziz menggugat Rizal selaku Presiden Direktur LP3I
dengan melampirkan sejumlah rincian kerugian yang dialaminya.
Asas yang berkaitan yang kedua adalah asas kekuatan mengikat, dimana
dalam asas ini setiap pihak diwajibkan untuk memenuhi apa yang telah
diperjanjikan. Seperti yang telah dijelaskan dalam kasus, yang menjadi akar
dari konflik ini adalah Rizal selaku Presiden Direktur LP3I tidak melaksanakan
kewajibannya dengan baik terhadap Aziz. Sehingga tindakan Rizal telah
dianggap melanggar asas kekuatan mengikat dan dianggap sebagai tindakan
wanprestasi.
Dalam penyelesaian kasus ini, permohonan gugatan yang dilakukan oleh
Aziz sudah merupakan tindakan yang tepat. Karena dalam perjanjian, yang
menandatangani perjanjian tersebut adalah Rizal selaku Presiden Direktur LP3I,
bukan ketua yayasan LP3I sebagaimana dimaksud oleh kuasa hukum tergugat.
Hal ini berdasarkan asas konsensualisme dan juga asas kekuatan mengikat
Istilah fidusia berasal dari kata fieds yang memiliki arti kepercayaan.
Kepercayaan yang dimaksud adalah pemberi jaminan memberikan kepercayaan
dalam menyerahkan hak miliknya kepada kreditur, namun tidak dimaksudkan
untuk benar-benar menjadikan kreditur sebagai pemilik atas benda yang
diserahkannya, dan apabila perjanjian pokok fidusia telah dilunasi, benda yang
diberikan kepada kreditur akan kembali menjadi milik pemberi jaminan17.
Apabila dijelaskan secara sederhana, fidusia adalah jaminan yang diberikan
kepada kreditur sebagai jaminan pelunasan yang telah diatur dalam perjanjian
pokok.
Selain dari sisi terminologi, definisi dari perjanjian fidusia juga dijelaskan
pada pasal 1 ayat (1 dan 2) UUJF nomor 42 tahun 1999, yang menjelaskan
bahwa:
17
Nazia Tunisa. “Peran Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Pendaftaran Jaminan
Fidusia” JURNAL CITA HUKUM *Online+, Volume 3 Number 2 (6 June 2015), h. 362
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor
lainnya.
Peraturan Perundang-undangan