UNIVERSITAS TERBUKA 1. a. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama Kasus 1 (Sewa-Menyewa Tanah dan Bangunan) Perjanjian sewa-menyewa tanah dan bangunan antara Santi dan Faizal dapat dikategorikan sebagai perjanjian bernama. Hal ini karena perjanjian tersebut dibuat secara tertulis, ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan disaksikan oleh dua orang saksi yang juga merupakan ahli hukum (Andin, S.H., dan Sapto, S.H.). Perjanjian ini memiliki ciri-ciri perjanjian bernama yang umumnya diatur secara jelas dan terinci dalam dokumen tertulis. Kasus 2 (Jual Beli Borongan Durian) Perjanjian jual beli borongan durian antara Bpk. Joni dan Bpk. Kardi dapat dikategorikan sebagai perjanjian tidak bernama. Meskipun terdapat kesepakatan harga dan pembayaran yang dibuat secara lisan, perjanjian ini tidak dibuat secara tertulis. Umumnya, perjanjian yang tidak dibuat tertulis dan dilakukan secara lisan diklasifikasikan sebagai perjanjian tidak bernama. Namun, penting untuk dicatat bahwa perjanjian ini tetap sah dan mengikat pihak-pihak yang terlibat, meskipun tidak ada bentuk tertulis.
b. Penyelesaian Hukum akibat Kejanggalan dari Perjanjian Sewa-Menyewa
Dalam kasus perjanjian sewa-menyewa antara Amirsyah dan Faizal, kejanggalan muncul karena tanah yang disewakan merupakan milik suami Santi (Amirsyah), tetapi perjanjian tersebut tidak mencantumkan izin dari Amirsyah sebagai pemilik tanah. Penyelesaian Hukum: 1) Pembaharuan Perjanjian Pihak-pihak yang terlibat dapat memutuskan untuk membaharui perjanjian dengan mencantumkan izin dari Amirsyah sebagai pemilik tanah. Pembaharuan ini harus dilakukan secara tertulis dan disetujui oleh semua pihak. 2) Penambahan Addendum atau Surat Persetujuan Pihak-pihak dapat membuat addendum atau surat persetujuan tambahan yang mencantumkan izin dari Amirsyah. Dokumen ini dapat ditambahkan sebagai lampiran atau bagian integral dari perjanjian yang sudah ada. 3) Mediasi atau Negosiasi Pihak-pihak dapat menjalani proses mediasi atau negosiasi untuk mencapai kesepakatan terkait izin dari Amirsyah. Notaris Kamal, sebagai pihak yang menangani perjanjian, dapat berperan sebagai mediator dalam proses ini. 4) Pemeriksaan dan Validasi Hukum Pihak yang terkena dampak kejanggalan dapat meminta penilaian dan validasi hukum dari ahli hukum atau kantor notaris untuk memastikan keabsahan perjanjian. Pemeriksaan ini dapat membantu mengidentifikasi langkah-langkah konkret yang perlu diambil. 2. a. Dalam kasus tersebut, perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT. X mengenai Reklamasi Pulau G di DKI Jakarta disebut sebagai Nota Kesepahaman (MoU). MoU biasanya mencerminkan hasil negosiasi antara pihak- pihak yang terlibat. Meskipun istilah "nota kesepahaman" mungkin tidak secara eksplisit menyiratkan negosiasi, namun proses penyusunannya kemungkinan melibatkan diskusi dan perundingan antara pihak-pihak terkait. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perjanjian ini merupakan hasil dari negosiasi.
b. Dampak Perjanjian Hasil Negosiasi dan Perjanjian Tanpa Negosiasi
1) Perjanjian Hasil Negosiasi Keuntungan • Memungkinkan pihak-pihak terlibat untuk menyatukan kepentingan dan memperoleh kesepakatan yang dapat diterima bersama. • Menciptakan rasa saling menguntungkan. • Memungkinkan inklusi berbagai perspektif dan kebutuhan dari masing-masing pihak. Kerugian • Proses negosiasi dapat memakan waktu dan sumber daya. • Tergantung pada keahlian dan ketrampilan negosiasi dari pihak yang terlibat. 2) Perjanjian Tanpa Negosiasi Keuntungan • Proses yang lebih cepat karena tidak melibatkan tahap negosiasi yang rumit. • Dapat diimplementasikan dengan lebih cepat. Kerugian • Risiko kesalahpahaman atau ketidaksetujuan di masa depan karena mungkin tidak mencerminkan kebutuhan dan harapan semua pihak. • Potensial untuk merugikan salah satu pihak jika tidak semua kepentingan diakomodasi.
c. Tips Negosiasi yang Baik untuk Kasus Reklamasi:
1) Persiapkan dengan Baik • Mengetahui dengan baik kepentingan, kebutuhan, dan batasan masing-masing pihak. • Memahami secara mendalam aspek hukum, tata ruang, dan ekonomi terkait reklamasi. 2) Tentukan Prioritas dan Kompromi • Identifikasi prioritas utama dan siap untuk melakukan kompromi pada aspek- aspek yang mungkin tidak kritis. 3) Komunikasi Terbuka • Jalin komunikasi yang terbuka dan jujur antara pihak-pihak yang terlibat. • Diskusikan secara terbuka semua isu dan kekhawatiran yang mungkin timbul. 4) Gunakan Mediator atau Fasilitator • Jika perundingan menjadi sulit, pertimbangkan untuk melibatkan mediator atau fasilitator yang dapat membantu mencapai kesepakatan. 5) Rencanakan Pemantauan dan Evaluasi • Tentukan mekanisme pemantauan dan evaluasi untuk memastikan bahwa perjanjian dapat dijalankan dengan baik dan memenuhi harapan semua pihak. 6) Pastikan Payung Hukum yang Jelas • Pastikan adanya payung hukum yang jelas dan mengikat untuk perjanjian tersebut agar dapat memberikan kepastian hukum dan mencegah perselisihan di masa depan. 3. a. Dalam pertimbangan kasus ini, kemungkinan pertimbangan majelis hakim terkait penggunaan Bahasa Inggris dalam perjanjian Loan Agreement dapat melibatkan dua aspek utama : 1) Pemenuhan Persyaratan Formal Perjanjian harus memenuhi persyaratan formal yang diatur dalam undang-undang. Dalam konteks ini, Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan menyatakan bahwa penggunaan Bahasa Indonesia adalah kewajiban dalam perjanjian yang berlaku di Indonesia. Jika perjanjian menggunakan Bahasa Inggris tanpa adanya terjemahan resmi ke dalam Bahasa Indonesia, maka dapat dianggap melanggar persyaratan formal. 2) Kesulitan Penafsiran dan Keterbacaan Penggunaan Bahasa Inggris dalam perjanjian di Indonesia dapat menciptakan kesulitan dalam penafsiran, terutama jika para pihak atau hakim yang menilai tidak memahami Bahasa Inggris dengan baik. Ini dapat memengaruhi kejelasan dan keterbacaan isi perjanjian, sehingga bisa dianggap melanggar prinsip-prinsip hukum kontraktual yang membutuhkan kesepakatan yang jelas dan dapat dimengerti oleh semua pihak yang terlibat.
b. Penerapan Pasal 1320 KUHPerdata
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak sah jika tidak ada persetujuan yang bebas, kesalahan, paksaan, atau larangan undang-undang. Dalam konteks ini, pembatalan perjanjian Loan Agreement oleh majelis hakim dapat didasarkan pada beberapa pertimbangan: 1) Ketidakpatuhan Terhadap Persyaratan Formal Penggunaan Bahasa Inggris tanpa terjemahan resmi ke dalam Bahasa Indonesia dapat dianggap sebagai pelanggaran persyaratan formal yang diatur dalam undang-undang. Hal ini dapat menyebabkan kesimpulan bahwa persetujuan yang bebas tidak sepenuhnya terpenuhi. 2) Pelanggaran Undang-Undang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan mensyaratkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian yang berlaku di Indonesia. Pelanggaran terhadap undang-undang tersebut dapat dianggap sebagai larangan undang-undang yang menjadi dasar pembatalan perjanjian. 3) Kesulitan Penafsiran dan Keterbacaan Penggunaan Bahasa Inggris tanpa terjemahan dapat menciptakan kesulitan dalam penafsiran isi perjanjian, yang dapat diartikan sebagai ketidakjelasan yang menjadi dasar pembatalan berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata.