Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KONSEP DASAR PERJANJIAN KONTRAK II

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perjanjian dan Teknik Perancangan
Kontrak

Dosen pengampu : Fawaidurrahman, SHI., MH.

Disusun Oleh Kelompok 1 :

1. Novita Devi Safitri (205102020039)


2. M. Nurul Fatoni (205102020038)
3. Riski Firmansyah (204102020037)

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI KH. ACHMAD SIDDIQ JEMBER

FAKULTAS SYARIAH

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

TAHUN AJARAN 2022

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah,Taufik dan
Hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Konsep
Dasar Perjanjian Kontrak" dengan tepat waktu. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam kehidupan sehari-
hari.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Fawaidurrahman, SHI., MH. selaku dosen Mata Kuliah Hukum Perjanjian dan Teknik
Perancangan Kontrak. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, kami
mengharapkan saran dan kritik khususnya dari rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi yang
bersifat membangun guna menyempurnakan makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga segala
daya dan upaya yang kami lakukan dapat bermanfaat, amin.

Jember, 02 Oktober 2022

Kelompok 1

2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ............................................................................................... 4

B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................... 5

C. TUJUAN ..................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Asas Perjanjian ............................................................................................................ 6

B. Syarat Sah Perjanjian ................................................................................................. 9

C. Pihak-Pihak dalam Perjanjian ................................................................................. 13

D. Pembatalan Perjanjian ............................................................................................ 14

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN .......................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah Negara Hukum oleh karenanya di dalam dunia hukum,
setiap perkataan atau perbuatan orang (person) berarti menjadi pendukung hak dan
kewajiban yang juga disebut subjek hukum, tidak hanya orang (person) yang dapat sebut
subjek hukum, termasuk didalamnya adalah badan hukum (recht person). Dengan
demikian boleh dikatakan bahwa setiap manusia baik warga Negara maupun orang asing
adalah pembawa hak yang mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan
hukum termasuk melakukan perjanjian dengan pihak lain. Meskipun setiap subjek hukum
mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan
tersebut harus didukung oleh kecakapan dan kewenangan hukum yang lazim disebut
dengan rechtsbekwaamheid (kecakapan hukum) dan rehtsbevoegdlheid (kewenangan
hukum). Setiap orang/subjek hukum mempunyai kecakapan hukum untuk melakukan
perbuatan hukum seperti melakukan perjanjian, menikah dan lain sebagainya sepanjang
dianggap cakap hukum oleh undang-undang.
Dalam kehidupan bermasyarakat sebagai subjek hukum, yang paling sering dilakukan
oleh orang maupun badan hukum adalah melakukan suatu perjanjian dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup atau dalam rangka menperoleh keuntungan. Terlebih lagi
dalam buku III KUH Perdata menganut system terbuka (open system), artinya bahwa para
pihak bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan syarat-syaratnya,
pelaksanaannya dan bentuk kontrak, biak berbentuk lisan maupun tertulis. Disamping itu
View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE
provided by E-Journals Universitas Negeri Gorontalo diperkenankan untuk membuat
kontrak baik yang telah dikenal dalam KUH Perdata maupun di luar KUH Perdata.
Perjanjian-perjanjian yang telah diatur dalam KUH Perdata, seperti jual beli, tukar
menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai,
pinjam meminjam, pemberian kuasa, penangguhan utang, perjanjian untunguntungan, dan
perdamaian. Di luar KUH Perdata kini telah berkembang berbagai perjanjian baru seperti
leasing, beli sewa, franchise, joint venture, dan lain sebagainya.(Ridwan Khaerandy,1992:
2) Walaupun perjanjian tersebut telah berkembang dalam masyakat, namun peraturan
yang berbentuk undang-undang belum ada. Yang ada hanya dalam bentuk Peraturan
Menteri.

4
Masyarakat di Indonesian dalam melakukan perjanjian masih banyak yang melakukan
dengan perjanjian lisan, walaupun perjanjian lisan tidak dilarang oleh KUH Perdata
namun, perjanjian lisan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dibandingkan
perjanjian dalam bentuk tertulis. Menurut Sudikno Mertokusumo perjanjian yang dibuat
secara tertulis dihadapan notaris atau pejabat pemerintahan memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna (Sudikno Mertokusumo, 1999: 43). Hal ini dikarenakan
kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya melakukan perjanjian tertulis.
Banyak pula masyarakat yang melakukan perjanjian tertulis namun perjanjian tersebut
tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yang terkandung dalam pasal 1320 KUH
Perdata. Oleh karenanya, penulis mencoba membahas mengenai seluk beluk perjanjian.
Agar dapat dijadikan pembelajaran bagi masyarakat menegenai suatu perjanjian atau
kontrak.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja Asas Perjanjian?
2. Apa saja Syarat Sah Perjanjian ?
3. Siapa saja Pihak-Pihak dalam Perjanjian?
4. Apa Penyebab Pembatalan Perjanjian ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Asas Perjanjian
2. Untuk mengetahui Syarat Sah Perjanjian
3. Untuk mengetahui Pihak-Pihak dalam Perjanjian
4. Untuk mengetahui Penyebab Pembatalan Perjanjian

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian


Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain
untuk melakukan suatu prestasi. Perjanjian menimbulkan perikatan bagi keduanya untuk
memenuhi apa yang menjadi kesepakatan tersebut. Dan dalam membuat suatu perikatan
dalam bentuk perjanjian para pihak harus mengindahkan asas-asas dan unsur-unsur
sebagai suatu prinsip-prinsip dalam hukum perikatan. Kitab Undang-undang Hukum
Perdata memberikan berbagai asas-asas umum yang merupakan pedoman atau patokan
serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan
dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak. Adapun
asas-asas Hukum Perjanjian berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5
(lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah:
asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism),
asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith), dan asas
kepribadian (personality). Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Prinsip bahwa orang terikat pada persetujuan-persetujuan menerangkan adanya suatu


kebebasan tertentu di dalam masyarakat untuk dapat turut serta di dalam lalu lintas yuridis
dan hal ini mengimplikasikan pula prinsip kebebasan berkontrak. Jika antara para pihak
telah diadakan sebuah persetujuan maka diakui bahwa telah terdapat kebebasan
berkehendak ini diasumsikan adanya suatu kesetaraan minimal. Pada intinya suatu
kesetaraan minimal. Pada intinya suatu kesetaraan ekonomis antara para pihak sering tidak
ada, akibatnya jika kesetaraan antara para pihak tidak ada, maka nampaknya tidak pula ada
kebebasan untuk mengadakan kontrak.1

Berlakunya asas kebebasan berkontrak ini pada kenyataannya ternyata tidaklah berlaku
mutlak. KUH Perdata memberikan pembatasan mengenai berlakunya asas kebebasan
berkontrak, seperti yang dimaksudkan dalam ketentuan: Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata

1
Ibid

6
yang menerangkan bahwa perjanjian tidak sah apabila dibuat tanpa adanya kata sepakat
dari para pihak yang membuatnya. Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata yang bias
disimpulkan bahwa kebebasan untuk membuat suatu perjanjian dibatasi oleh suatu
kecakapan. Pasal 1320 ayat (4) dan Pasal 1337 menerangkan bahwa para pihak tidak
bebas membuat perjanjian yang menyangkut kuasa yang dilarang oleh Undang- Undang
atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau bertentangan dengan ketentuan umum.2

Pasal 1332 KUH Perdata memberikan arah mengenai kebebasan para pihak untuk
membuat perjanjian sepanjang menyangkut objek perjanjian. Menurut ketentuan ini adalah
tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apapun, hanya barang- barang yang
mempunyai nilai ekonomis saja yang dapat dijadikan objek perjanjian.3

2. Asas Konsensualitas

Dalam perjanjian hal utama yang harus ditonjolkan ialah bahwa umumnya
berpegangan pada asas Konsensualitas, yang merupakan syarat mutlak bagi hukum
perjanjian modern dan bagi terciptanya kepastian hukum.4 Asas Konsensualitas
mempunyai arti yang penting, bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan
tercapainya sepakat mengenai hal- hal pokok mengenai perjanjian tersebut dan perjanjian
itu (dan perikatan yang ditimbulkan karena nya) sudah dilahirkan pada saat atau detik
tercapainya konsensus atau kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila
hal- hal pokok sudah disepakati dan tidak diperlukan sebagai suatu formalitas.5

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan
asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan
asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

2
Pasal 1320 KUH Perdata ayat (2) dan (4) dan Pasal 1337 KUH Perdata
3
Pasal 1332 KUH Perdata: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu
perjanjian”
4
Subekti, “Aspek- aspek hukum Perikatan Nasional”. Bandung; Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 5.
5
Subekti, “Hukum Perjanjian”; Jakarta; Intermasa, 1984. Hlm. 15

7
Asas Kepastian Hukum landasannya ada di dalam ketentuan Pasal 1374 ayat (1) BW
(lama) atau Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.6 Di dalam pasal 1339 KUH Perdata7juga
dimasukkan prinsip bahwa di dalam sebuah persetujuan orang menciptakan sebuah
kewajiban hukum dan bahwa ia terikat pada janji- janji kontraktualnya serta harus
memenuhinya, dipandang sebagai sesuatu yang patut dan bahkan orang tidak lagi
mempertanyakan mengapa hal itu demikian. Suatu pergaulan hidup dimungkinkan bila
seseorang dapat mempercayai kata- kata orang lain.8

4. Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata
dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta
dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif.

5. Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk
dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian,
orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud
bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana
diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan

6
Pasal tersbut berisi: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi
mereka yang membuatnya”
7
Isi Pasal 1339 KUHPerdata: “Suatu Perjanjian tidak hanya mengikat untuk halhal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau undang- undang”
8
P. Lindawaty S. Sewu, Op.Cit. hlm. 90.

8
untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau
suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/ kontrak


untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan
di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri,
melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh
hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu, maka Pasal 1317 KUHPer mengatur
tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk
kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari
yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang
pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.

B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Pasal 1320 KUHPeradata menentukan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu perjanjian,
yakni:9

1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya


2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab (causa) yang halal

Persyaratan tersebut diatas berkenan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian.
Persyaratan yang pertama dan kedua berkenan dengan subjek perjanjian atau syarat subjektif.
Persyaratan yang ketiga dan keempat berkenan dengan objek perjanjian atau syarat objektif.
Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya
(nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar = voidable) suatu
perjanjian. Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut
batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap
perjanjian tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian
tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan
pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.

9
Subekti dan Tjitrosudibio. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita. al.330

9
1. Kata Sepakat

Kata sepakat didalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian
kehendak antara para pihak didalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan
persetujuannya atau kesepakatannya (Toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang
disepakati. Mariam Darus Budrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan
kehendak yang disetujui (Overeenstemande Wilsverklaring) antar para pihak-pihak.
Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (Offerte). Pernyataan pihak yang
menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).10 J.Satrio menyebutkan ada beberapa
cara mengemukakan kehendak tersebut, yakni: Pertama, Secara tegas. 1) Dengan akte
otentik. 2) Dengan akte di bawah tangan. Kedua, Secara diam-diam. Sekalipun undang-
undang tidak secara tegas mengatakan, tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada, antara lain
pasal 1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa pada asasnya, kecuali
diterntukan lain, undangundang tidak menentukan cara orang menyatakan kehendak.

Suatu perjanjian dapat mengandung cacat hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada
jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu:

1. Paksaan (dwang)
Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan kehendak
para termasuk dalam tindakan pemaksaan. Di dalam hal ini, setiap perbuatan atau
ancaman melanggar undang-undang jika perbuatan tersebut merupakan
penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan membuat suatu ancaman, yaitu
setiap ancaman yang bertujuan agar pada akhirnya pihaklain memberikan hak,
kewenangan ataupun hak istimewanya. Paksaan dapat berupa :
a. kejahatan atau ancaman kejahatan,
b. hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara
c. penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah atau ancaman penyitaan atau
kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan
d. tindakan melanggar undang-undang, seperti tekanan ekonomi, penderitaan
fisik dan mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-lain.
2. Penipuan (bedrog)
Penipuan adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata dengan
tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian. Dalam
10
Ridwan, Khaerandy. 2004, Hukum Alih Teknologi, Modul II, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta. hal.11

10
hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai
dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja
diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang
seandainya tidak ada penipuan, merupakan tindakan yang benar. Tindakan penipuan
tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama pihak dalam kontrak. Seseorang yang
melakukan tindakan tersebut haruslah mempunyai maksud atau niat untuk menipu,
tindakan itu harus merupakan tindakan yang mempunyai maksud jahat. Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penipuan terdiri dari 4 (empat) unsur
yaitu:
1. merupakan tindakan yang bermaksud jahat , kecuali untuk kasus kelalaian
dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda
2. sebelum perjanjian tersebut dibuat
3. dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani perjanjian
4. tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat. Ketiga,
Kesesatan atau Kekeliruan (dwaling)

Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang
salah terhadap objek atau sebjek yang terdapat dalam perjanjian. Ada 2 (dua) macam
kekeliruan :

1. Error in person, yaitu kekeliruan pada orangnya, misalnya, sebuah perjanjian


yang dibuat dengan artis terkenal tetapi kemudian perjanjian tersebut dibuat
dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai nama yang
sama.
2. error in subtantia yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan kerakteristik suatu
benda, misalnya seseorang yang membeli lukisan Basuki Abdullah, tetapi
setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan yang di belinya
tadi adalah lukisan tiruan dari Basuki Abdullah.

3. Kecakapan untuk Mengadakan Perikatan


Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah
kecakapan untuk membuat perikatan (om eene verbintenis aan te gaan). Di sini terjadi
percampuradukan penggunaan istilah perikatan dan perjanjian. Dari kata “membuat”
perikatan dan perjanjian dapat disimpulkan adanya unsur “niat” (sengaja). Hal yang
demikian itu dapat disimpulkan cocok untuk perjanjian yang merupakan tindakan

11
hukum. Apalagi karena unsur tersebut dicantumkan sebagai ubsur sahnya perjanjian,
maka tidak mungkin tertuju kepada perikatan yang timbul karena undang-undang.
Menurut J. Satrio, istilah yang tepat untuk menyebut syaratnya perjanjian yang kedua
ini adalah : kecakapan untuk membuat perjanjian.
Pasal 1329 KUHperdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap. Kemudian
Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang tidak cakap untuk membuat
perjanjian, yakni: Pertama, orang yang belum dewasa; Kedua, mereka yang ditaruh di
bawah pengampuan; dan Ketiga, orang-orang perempuan dalam pernikahan, (setelah
diundangkannya Undang-undang no 1 tahun 1974 pasal 31 ayat 2 maka perempuan
dalam perkawinan dianggap cakap hukum). Seseorang di katakan belum dewasa
menurut pasal 330 KUHPerdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang
dikatakan dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun,
tetapi telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50 UU No. 1
Tahun 1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah
kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun.

4. Suatu Hal Tertentu


Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een
bepaald onderwerp). Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian
harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu. Suatu perjanjian haruslah
mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa yang
diperjanjiakan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Istilah barang
dimaksud di sini apa yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam
bahasa belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang
lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya
berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa.
J. Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam
perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau
paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. KUHPerdata menentukan bahwa barang
yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan.
Misalnya mengenai perjanjian “panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun

12
berikutnya”adalah sah. Perjanjian jual beli “teh untuk seribu rupiah” tanpa penjelasan
lebih lanjut, harus dianggap tidak cukup jelas.

5. Kausa Hukum yang Halal


Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang
halal.Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan
terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Suatu kausa dikatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam
perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang, jika kausa
di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang
yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan
kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan ini
sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah atau
antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang
terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.11

C. Pihak-Pihak/ Subjek Dalam Perjanjian


Subjek dari perbuatan hukum adalah subjek hukum. Subjek hukum terdiri dari
manusia serta badan hukum. Maka dari pada itu semua manusia dan badan hukum
dapat melakukan perjanjian, dengan syarat manusia (orang) dan badan hukum
tersebut sudah dinyatakan cakap menurut hukum.
1. Subjek Perjanjian berupa Manusia (Orang)
R. Subekti berpendapat yang dikatakan subjek perjanjian adalah:12
a. Yang membuat perjanjian (orang) sudah cakap atau sanggup melakukan
perbuatan hukum tersebut.
b. Para pihak yang membuat perjanjian harus melaksanakan perjanjian
dengan dasar kebebasan menentukan kehendaknya. Artinya dalam
membuat perjanjian tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada
kehilafan, atau penipuan. Karena sepakat diantara keduanya akan mengikat
mereka.

11
Mariam Darus. Badrulzaman. 1980. Perjanjian Baku (Standar), perkembangannya di Indonesia. Bandung:
Alumni. hal.21
12
Subekti R, 1970, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Pembimbing Masa, hlm. 16.

13
2. Badan hukum
Badan hukum adalah badan-badan perkumpulan dari orang-orang yang diciptakan
oleh hukum. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak hukum (melakukan
perbuatan hukum) seperti halnya manusia. Karena badan hukum dapat melakukan
persetujuan-persetujuan. Persetujuan-persetujuan yang dilakukan oleh badan hukum
menggunakan perantara orang sebagai pengurusnya. Badan hukum dibedakan
menjadi dua:
a. Badan Hukum Publik (Publiek Recht Persoon)
Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan secara publik
dimana tujuan pendiriaanya untuk kepentingan publik atau orang banyak.
Dengan demikian badan hukum publik merupakan badan hukum negara
yang dibentuk oleh yang berkuasa (pemerintah) dengan dasar Undang-
Undang yang dijalankan secara fungsional. Contohnya adalah Bank
Indonesia dan Perusahaan Negara
b. Badan Hukum Privat (Privat Recht Persoon)
Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang
mana didirikan untuk kepentingan orang yang ada di dalam badan hukum itu
sendiri. Berbeda dengan badan hukum publik yang tidak mencari
keuntungan didalamnya, badan hukum privat didirikan karena untuk
mencari keuntungan sebuah kelompok, yang bergerak dibidang sosial,
pendidikan, ilmu pengerahuan, dan lain-lain dengan mengacu pada hukum
yang sah. Contohnya adalah Perserooan Terbatas, Koperasi, Yayasan, Badan
Amal.

D. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian sangat terkait dengan pihak yang melakukan perjanjian, dalam
arti apabila pihak yang melakukan perjanjian tersebut tidak cakap menurut hukum, baik
itu karena belum cukup umur 21 tahun atau karena dibawah pengampuan, maka
perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang tidak cakap hukum,
Demikian halnya apabila orang yang belum dewasa telah diwakili oleh walinya atau
orang yang dibawah pengampuan telah diwakili oleh pemgampunya untuk keperluan atau
kemanfaatan anak yang dibawah umur atau orang yang di bawah pengampuan tersebut,
dianggaplah ia melakukan perjanjian dalam keadaan cakap, sehingga apabila ia akan

14
menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami, ia hanya dapat menuntut kepada walinya
atau pengampunya, jika ada alasan untuk itu.
Di samping karena belum dewasa atau karena dibawah pengampuan, pihak yang
melakukan perjanjian juga dapat meminta pembatalan perjanjian atau kontraknya jika
kontrak tersebut dibuat karena adanya paksaan, kekhilafan/kesesatan, atau penipuan. Hal
ini berarti bahwa pembatalan kontrak itu berakibat dipulihkannya keadaan sebagaimana
sebelum terjadinya kontrak. Pembatalan perjanjian dan pengembalian kepada keadaan
semula bagi orang yang tidak cakap melakukan kontrak hanya dapat dilakukan selama
barang tersebut masih ada pada pihak lawan atau pihak lawan tersebut telah memperoleh
manfaat darinya atau berguna bagi kepentingannya. Pembatalan kontrak sebagaimana
disebutkan diatas, dapat pula disertai dengan tuntutan penggantian biaya rugi dan bunga
jika ada alasan untuk itu.

Bentuk-Bentuk dari Pembatalan Perjanjian, yaitu :

1. Batal Karena Tidak Terpenuhinya Salah Satu Syarat Sah Perjanjian


Seperti telah dijelaskan, bahwa sahnya perjanjian harus memenuhi syaratsyarat yang
disebutkan dalam undang-undang. Syarat-syarat tersebut terdiri dari syarat subjektif, dan
syarat objektif. Tidak terpenuhinya syarat subjektif, yaitu kata sepakat dan kecakapan
para pihak pembuatnya, membuat perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh
salah satu pihak. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat objektif, yakni hal tertentu dan
kausa yang halal, menyebabkan perjanjiannya batal demi hukum. Dalam hal demikian
dari semula dianggap tidak ada perjanjian dan perikatan yang timbul tujuan para pihak
untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain telah gagal, tak
dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar
hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan karena jabatannya menyatakan bahwa tidak
pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.13
2. Batal Karena Terpenuhi Syarat Batal Dalam Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat merupakan salah satu bentuk perikatan yang dikenal dalam
masyarakat. Dalam KUH Perdata sendiri perikatan bersyarat didefinisikan sebagai
perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah peristiwa yang masih akan
datang dan masih belum tentu akan terjadi. Perikatan dengan syarat ini dibedakan

13
Ibid, hal. 22

15
menjadi dua, yakni perikatan dengan syarat tangguh dan perikatan dengan syarat batal.
Perikatan dengan syarat tangguh yakni menangguhkan lahirnya perikatan hingga syarat
yang dimaksud terjadi. Sedangkan perikatan dengan syarat batal, perikatan yang sudah
lahir justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi.
Pembatalan kontrak yang diatur dalam perjanjian (terminasi) dapat dilakukan dengan
penyebutan alasan pemutusan perjanjian, dalam hal ini dalam perjanjian diperinci alasan-
alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat memutus perjanjian. Maka
dalam hal ini tidak semua wanprestasi dapat menyebabkan salah satu pihak memutuskan
perjanjiannya, tetapi hanya wanprestasi yang disebutkan dalam perjanjian saja. Cara lain
pembatalan kontrak yang diatur dalam perjanjian yakni dengan kesepakatan kedua belah
pihak. Sebenarnya hal ini hanya penegasan saja, karena tanpa penyebutan tentang hal
tersebut, demi hukum, perjanjian dapat diterminasi jika disetujui oleh kedua belah pihak.
14

3. Pembatalan Karena Adanya Wanprestasi


Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Seseorang yang
berjanji, tetapi tidak melakukan apa yang dijanjikannya, ia alpa, lalai atau ingkar janji
atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak
boleh dilakukannya, maka ia dikatakan wanprestasi.15 Wanprestasi (kelalaian atau
kealpaan) dapat berupa empat macam:16
1. Tidak melakukan apa yang disanggupinya akan dilakukannya
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Terhadap kelalaian atau kealpaan seseorang, diancamkan beberapa sanksi atau


hukuman, yakni:17

1. Membayar kerugian yang diderita pihak lain yang mengalami kerugian, atau
dengan singkat dinamakan ganti rugi (pasal 1243 KUH Perdata)
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian melalui
pengadilan (pasal 1266 KUH Perdata)

14
Suharnoko, Op., Cit., hal. 63
15
Subekti, Op.Cit., hal 45.
16
Ibid
17
Djaja S. Meiliana, SH., MH., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Cet. 1
(Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal. 100.

16
3. Meminta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan
pembatalan perjanjian disertai ganti rugi (pasal 1267 KUH Perdata)

Pembatalan perjanjian dengan alasan wanprestasi sudah sering terjadi, dan dianggap
wajar. Apalagi jika alasan itu dibenarkan dalam termination clause yang sudah disepakati
bersama kedua pihak. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi
salah satu pihak, dalam KUH Perdata, terdapat pengaturan pada pasal 1266, yaitu suatu
pasal yang terdapat dalam bagian kelima Bab I, Buku III, yang mengatur tentang
perikatan bersyarat. 18

Pasal 1266 KUH Perdata, menjadi dasar bahwa hakimlah yang menentukan apakah
telah terjadi wanprestasi atau tidak dalam suatu kontrak. Sebenarnya, pengakhiran
kontrak sepihak karena wanprestasi tanpa putusan dari hakim tidak menjadi masalah
kalau pihak lain juga menerima keputusan itu. Tetapi kalau salah satu pihak menolak
dituduh wanprestasi, maka para pihak sebaiknya menyerahkan keputusan kepada hakim
untuk menilai ada tidaknya wanprestasi. Jika hakim menyatakan perbuatan wanprestasi
terbukti dan sah, maka ingkar janji itu dihitung sejak salah salah satu pihak mengakhiri
perjanjian. Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada
keadaan sebelum perjanjian diadakan. Jika suatu pihak telah menerima sesuatu dari pihak
lainnya, baik uang ataupun barang, maka uang atau barang tersebut harus dikembalikan.

4. Pembatalan Perjanjian Secara Sepihak


Pembatalan sepihak atas suatu perjanjian dapat diartikan sebagai ketidaksediaan salah
satu pihak untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati kedua belah pihak dalam
perjanjian. Pada saat mana pihak yang lainnya tetap bermaksud untuk memenuhi prestasi
yang telah dijanjikannya dan menghendaki untuk tetap memperoleh kontra prestasi dari
pihak yang lainnya itu. Seperti yang kita ketahui bahwa perjanjian yang sah, dalam arti
memenuhi syarat sah menurut undang-undang, maka berlaku sebagai undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya. Seperti yang tercantum dalam pasal 1338 (1) KUH
Perdata. Sedangkan pada ayat (2) menyebutkan bahwa: “persetujuan-persetujuan itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu“19
Dari pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata tersebut, jelas bahwa perjanjian itu tidak dapat
dibatalkan sepihak, karena jika perjanjian tersebut dibatalkan secara sepihak, berarti
18
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [KUH Perdata], Op. Cit., Pasal 1266
19
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [KUH Perdata], Op. Cit., pasal 1338

17
perjanjian tersebut tak mengikat diantara orang-orang yang membuatnya. Jika dilihat dari
pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, maka jelas diatur mengenai syarat batal jika salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Pembatalan tersebut harus dimintakan ke
pengadilan, hal ini dimaksudkan agar nantinya tidak ada para pihak yang dapat
membatalkan perjanjian sepihak dengan alasan salah satu pihak lainnya tersebut tidak
melaksanakan kewajibannya (wanprestasi). Menurut pasal 1266 KUH Perdata, ada tiga
hal yang harus diperhatikan sebagai syarat supaya pembatalan itu dapat dilakukan. Tiga
syarat itu adalah:
a. perjanjian bersifat timbal balik
b. harus ada wanprestasi
c. harus dengan putusan hakim

Perjanjian timbal balik, seperti yang telah dijelaskan di atas dimana kedua pihak
memenuhi kewajibannya masing-masing, yakni prestasi. Jika salah satu pihak ingkar janji
atau wanprestasi mengenai syarat pokoknya dari perjanjian, maka dapat diajukan gugatan
permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim.20 Ada beberapa teori hukum yang terkait
dengan pembatalan perjanjian secara sepihak, yaitu repudiasi terhadap perjanjian. Repudiasi
(repudiation, anticepatory) adalah pernyataan mengenai ketidaksediaan atau ketidakmampuan
untuk melaksanakan perjanjian yang sebelumnya telah disetujui, pernyataan mana
disampaikan sebelum tiba waktu melaksanakan perjanjian tersebut.21

Konsekuensi yuridis dari adanya repudiasi atas suatu kontrak adalah dapat menunda
atau bahkan membebaskan pihak lain dari kewajiban melaksanakan prestasi dari perjanjian
tersebut; dan di sisi lain memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat segera
menuntut ganti rugi, sungguhpun kepada pihak yang melakukan repudiasi belum jatuh tempo
untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian.22 Suatu tindakan repudiasi atas
suatu perjanjian dapat diwujudkan dengan cara yaitu:23

a. Repudiasi secara tegas


Maksudnya pihak yang menyatakan repudiasi menyatakan kehendaknya dengan
tegas bahwa dia tidak ingin melakukan kewajibannya yang terbit dari perjanjian.

20
Abdulkadir Muhammad SH., Op. Cit., hal. 130.
21
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 105.
22
Ibid.
23
Ibid., Hal 107-109

18
b. Repudiasi secara inklusif
Di samping secara tegas-tegas, maka tindakan repudiasi dapat juga dilakukan
tidak secara tegas, tetapi secara inklusif. Maksudnya dari faktafakta yang ada
dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu pihak telah tidak akan melakukan
kewajibannya yang terbit berdasarkan perjanjian. Kriteria utama terhadap adanya
repudiasi inklusif adalah bahwa pihak yang melakukan repudiasi menunjukkan
tindakan atau maksudnya secara logis dan jelas (reasonably clear) bahwa dia tidak
akan melaksanakan kewajibannya yang terbit dari perjanjian.

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam konsep dasar perjanjian kontrak terdapat beberapa Asas Perjanjian yang diatur
dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata mengenai pembagian asas - asas umum
yang dijadikan suatu pedoman dalam mengatur serta membentuk perjanjian yang akan
dibuat hingga menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak. Asas - asas yang dimaksud
yakni , pertama adalah Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Konsensualitas, Asas Kepastian
Hukum, Asas Itikad Baik kemudian asas terakhir Asas Kepribadian.
Selain asas asas mengenai perjanjian ada syarat sah didalam melakukan suatu
perjanjian yang telah diatur dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata pasal 1320.
Dalam syarat sah perjanjian diperlukan yang pertama kata sepakat bagi mereka yang
mengikatkan dirinya dan para pihak harus melakukan pertemuan atau persesuaian
kehendak untuk melakukan sebuah kesepakatan perjanjian. Kedua diperlukannya
kecakapan dari para pihak untuk membuat suatu perikatan yang telah diatur dalam Pasal
1320 KUHPerdata, syarat ketiga yang diperlukan yakni suatu hal tertentu yang
diperjanjikan mengenai hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Dan terakhir adanya
kausa hukum yang halal. Pada syarat sah perjanjian terakhir ini telah diatur dalam Pasal
1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pihak atau subjek Perjanjian dari suatu perbuatan hukum terbagi menjadi dua
pembahasan yakni manusia dan badan hukum. Manusia dijadikan subjek perjanjian
karena yang membuat perjanjian sudah cakap atau sanggup melakukan perbuatan hukum
tersebut serta para pihak ( manusia ) yang membuat perjanjian harus melaksanakan
perjanjian dengan dasar kebebasan menentukan kehendaknya.
Pembatalan perjanjian terjadi karena pihak yang melakukan perjanjian dikatakan tidak
cakap menurut hukum, selain terjadi karena ketidak cakapan hukum, pembatalan
perjanjian tersebut terjadi karena pihak yang melakukan perjanjian meminta untuk
pembatalan perjanjian jika perjanjian tersebut dibuat berdasarkan keterpaksaan, kehilafan
serta penipuan. Bentuk pembatalan perjanjian yang pertama Batal Karena Tidak
Terpenuhinya Salah Satu Syarat Sah Perjanjian, kedua Batal Karena Terpenuhi Syarat
Batal Dalam Perikatan Bersyarat, ketiga Pembatalan Karena Adanya Wanprestasi dan
yang terakhir Pembatalan Perjanjian Secara Sepihak.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Lampung: Citra Aditya Bakti, 2010.

Jonaedi Efendi, Sejarah Hukum, Surabaya: Jagad Publishing, 2019.

Muhammad Sadi Is, Hukum Perusahaan Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2016.

Ramlan, Hukum Dagang, Malang: Setara Press, 2016.

Tuti Rastuti, Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan, Bandung; PT. Refika
Aditama, 2015.

Zainal Asikin dan L. Wira Pria Suhartana, Pengantar Hukum Perusahaan, Depok:
Prenadamedia Group, 2018.

21

Anda mungkin juga menyukai