Anda di halaman 1dari 83

MODUL PRAKTIKUM

PERANCANGAN KONTRAK

Oleh:
Safarni Husain

PROGRAM STUDI S1
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020

1
MATA KULIAH : PERANCANGAN KONTRAK
STATUS MATA KULIAH : WAJIB
KODE MATA KULIAH : MKK
NOMOR MATA KULIAH : 114092
SKS :3
PRASYARAT : HUKUM PERDATA
SEMESTER :V
DOSEN PEMBINA : Safarni Husain, SH., M.Kn

1. Deskripsi Praktikum
Praktikum Perancangan Kontrak merupakan kegiatan yang mendukung mata
kuliah Perancangan Kontrak yang membahas tentang berbagai macam jenis
kontrak, contoh kontrak nominaat dan kontrak innominaat, prinsip-prinsip
penyusunan kontrak, tahapan penyusunan kontrak, anatomi kontrak dan
teknik perancangan kontrak.

2. Manfaat Praktikum
Setelah mempraktikkan teknik perancangan kontrak sebagaimana yang telah
dipelajari pada mata kuliah Perancangan Kontrak, mahasiswa diharapkan
secara mandiri mampu merancang atau membuat kontrak dalam bentuk
sederhana.

3. Tujuan pelaksanaan praktikum


a. Memberikan pengetahuan tentang hukum kontrak secara praktik
b. Memberikan pengetahuan tentang tahapan-tahapan penyusunan kontrak
c. Memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip penyusunan kontrak
bawah tangan
d. Memberikan pengetahuan tentang anatomi kontrak

2
e. Memberikan pengetahuan tentang cara menganalisa kapasitas atau
kewenangan para pihak untuk dituangkan dalam komparisi perjanjian
f. Memberikan pengetahuan tentang klausula-klausula penting yang harus
dituangkan di dalam bagian isi suatu perjanjian
g. Mahasiswa mampu untuk membuat suatu perjanjian dalam berbagai kasus
yang disajikan.

4. Metode
1. Presentasi
2. Diskusi
3. Tanya jawab
4. Latihan/Praktek
5. Asistensi

BAB I
PENDAHULUAN

A. PERISTILAHAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONTRAK DAN PENGERTIAN


KONTRAK
Dalam praktek, istilah kontrak atau perjanjian kadang masih dipahami
secara rancu. Burgelijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan
istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Pengertian ini
juga didukung pendapat banyak sarjana, antara lain: Hofmann 1, J. Satrio2,
Tirtodiningrat3.

1
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 19.
2
Ibid.
3
R.M. Suryodinigrat, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, 1985, hal. 72.

3
Subekti4 mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah “perjanjian
atau persetujuan” dengan “kontrak”. Menurut Subekti, istilah kontrak
mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau
persetujuan yang tertulis.
Pasal 1313 BW memberikan rumusan tentang “kontrak atau perjanjian”
yaitu: suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Subekti5
memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji pada seorang lain atau dimana kedua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.
Selain hal tersebut diatas, arti penting suatu kontrak antara lain: 6
 Untuk mengetahui perikatan apa yang dilakukan dan kapan serta dimana
kontrak tersebut dilakukan;
 Untuk mengetahui secara jelas siapa yang mengikatkan dirinya tersebut
dalam kontrak dimaksud;
 Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak;
 Untuk mengetahui syarat-syarat berlakunya kontrak tersebut;
 Untuk mengetahui cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan perselisihan
dan pilihan domisili hukum yang dipilih bila terjadi perselisihan antara para
pihak;
 Untuk mengetahui kapan berakhirnya kontrak, atau hal-hal apa saja yang
mengakibatkan berakhirnya kontrak tersebut;
 Sebagai alat untuk memantau para pihak, apakah pihak lawan masing-
masing telah menunaikan prestasinya atau belum, atau bahkan malah telah
melakukan wanprestasi;

4
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 1.
5
Ibid.
6
Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 3.

4
 Sebagai alat bukti bagi para pihak, apabila terjadi perselisihan di kemudian
hari, termasuk apabila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak dalam
kontrak dimaksud.
B. ASAS-ASAS HUKUM DALAM KONTRAK

Asas Kebebasan Berkontrak

Asas-asas Hukum Asas Konsensualisme


dalam KontrakAsas Pacta Sunt Servanda

Asas itikad baik = te goeder trouw = in good faith

1. Asas Kebebasan Berkontrak


Asas Kebebasan Berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi
sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan
menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat
dalam hubungan kontraktual para pihak.
Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya hukum
memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola
hukumnya. Sistem terbuka buku III KUH Perdata ini tercermin dari
substansi Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa,
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.” Pasal ini seolah-olah membolehkan kita
membuat perjanjian apa saja dan mengikat kita sebagaimana mengikatnya
undang-undang.
Menurut Sutan Remi Sjahdeini7, asas ini memberi kebebasan pada
para pihak untuk:
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

7
Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak
dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 47. Periksa
juga Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2003, hal. 9.

5
b. Kebebasan untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun atau
memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
c. Kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan
persyaratannya;
d. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian;
e. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
Yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak
sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 (1) KUH Perdata tidaklah
berdiri sendiri. Asas tersebut berada dalam satu sistem yang utuh dan padu
dengan ketentuan lain,8 yaitu:
a. Pasal 1320 KUH Perdata, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak);
b. Pasal 1335 KUH Perdata, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa,
atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang,
dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan;
c. Pasal 1337 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum;
d. Pasal 1338 (3), yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan
dengan itikad baik;
e. Pasal 1339 KUH Perdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat,
kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud
dalam Pasal 1339 KUH Perdata bukanlah kebiasaan setempat, akan
tetapi ketentuan-ketentuanyang dalam kalangan tertentu selalu
diperhatikan;
f. Pasal 1347 KUH Perdata mengatur mengenai hal-hal yang menurut
kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan
dalam kontrak.

8
Periksa Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,
2003, hal. 339-342.

6
2. Asas Konsensualisme
Asas di mana persetujuan dapat terjadi sesuai dengan kehendak
(persesuaian pendapat) kedua belah pihak. Ini terdapat dalam pasal 1320
KUH Perdata. Dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling
mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak
terhadap pemenuhan perjanjian. Asas ini mempunyai hubungan erat
dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang
terdapat di dalam pasal 1338 (1) KUH Perdata. Hal ini sedasar dengan
pendapat Subekti9 yang menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat
dalam Pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata. Pelanggaran terhadap ketentuan
ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat
sebagai undang-undang.
Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 (1),
kesepakatan mana yang menurut asas ini, kesepakatan tersebut telah lahir
cukup dengan adanya kata sepakat. Namun tidak serta merta asas ini
dipahami secara gramatikal. Pemahaman asas konsensualisme yang
menekankan pada pemikiran bahwa para pihak dalam kontrak itu adalah
orang yang menjunjung tinggi komitmen, tanggung jawab, dan orang yang
beritikad baik.

3. Asas Daya Mengikat Kontrak atau Asas Mengikat sebagai UU (Pacta Sunt
Servanda)
Asas daya mengikat kontrak dipahami sebagai mengikatnya
kewajiban kontraktual (terkait isi perjanjian atau prestasi) yang harus
dilaksanakan para pihak. Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt
servanda) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk

9
Mariam Darus Badrulzaman et al., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001, hal. 37.

7
memberikan kekuatan daya berlaku atau daya mengikatnya, maka kontrak
yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai
kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-
undang. Kekuatan mengikat kontrak pada dasarnya hanya menjangkau
sebatas para pihak yang membuatnya.
Dalam perspektif KUH Perdata, daya mengikat kontrak dapat
dicermati dalam rumusan Pasal 1338 (1) KUH Perdata yang menyatakan
bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukkan bahwa
undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak
dalam kontrak sejajar dengan pembuat undang-undang.10
Selanjutnya, para pihak yang berkontrak dapat secara mandiri
mengatur pola hubungan-hubungan hukum diantara mereka. Kekuatan
perjanjian yang dibuat secara sah (vide Pasal 1320 KUH Perdata)
mempunyai daya berlaku seperti halnya undang-undang yang dibuat oleh
legislator dan karenanya harus ditaati oleh para pihak, bahkan jika
dipandang perlu dipaksakan dengan bantuan sarana penegakan hukum
(hakim, juru sita).
Ketentuan tersebut diatas pada dasarnya memberikan pengakuan
terhadap kebebasan dan kemandirian para pihak dalam membuat
perjanjian, misalnya bebas menentukan isi, berlakunya syarat-syarat
perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak, dan bebas memilih undang-
undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu. Kebebasan dan
kemandirian para pihak ini tidak lain merupakan perwujudan otonomi para
pihak yang dijunjung tinggi.

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003,
10

hal. 10.

8
Namun, pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak
mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan
oleh adanya cacat kehendak yang mempengaruhi timbulnya perjanjian,
atau dapat diartikan asas ini menjadi tidak ada dalam 3 hal yang diatur
dalam Pasal 1321 KUH Perdata, yaitu:11
a. Ada paksaan (dwang)
b. Ada kekhilafan/kesesatan (dwaling)
c. Ada penipuan (bedrog)
Selanjutnya, Niewenhuis12 menyatakan bahwa kekuatan mengikat
dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak
yang memberikan kebebasan dan kemandirian kepada para pihak, pada
situasi tertentu daya berlakunya dibatasi oleh 2 (dua) hal, yaitu:
a. Daya mengikat perjanjian itu dibatasi oleh itikad baik sebagaimana
diatur dalam Pasal 1338 (3) KUH Perdata, bahwa perjanjian itu harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
b. Adanya keadaan memaksa atau overmacht atau force majeure juga
membatasi daya mengikatnya perjanjian terhadap para pihak yang
membuat perjanjian itu. Dimana pada prinsipnya perjanjian harus
dipenuhi oleh para pihak, bila salah satu pihak tidak memenuhi maka
telah timbul wanprestasi dan pihak kreditur berhak mengajukan
gugatan, berupa tuntutan ganti rugi ataupun pembubaran perjanjian.
Namun dengan adanya keadaan memaksa atau overmacht atau force
majeure, maka gugatan kreditur akan dikesampingkan, mengingat
ketiadaan prestasi tersebut terjadi di luar kesalahan debitur (vide Pasal
1444 KUH Perdata).

11
Periksa Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 2003, hal. 339.
12
JH. Niewenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan (Terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya, 1985,
hal. 86-107.

9
4. Asas Itikad Baik = te gouder trouw = in good faith
Pasal 1338 (3) KUH Perdata menyatakan bahwa : “perjanjian-
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Namun perundang-
undangan tidak memberikan defenisi tentang “itikad baik” yang tegas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia13, itikad baik diartikan sebagai
kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik).
Sementara itu, P.L. Werry menerjemahkan kata “redelijkheid en bilijkheid”
dengan istilah “budi dan kepatutan”, beberapa terjemahan lain
menggunakan istilah “kewajaran dan keadilan” atau “kepatutan dan
keadilan”. Redelijkheid artinya rasional, dapat diterima oleh nalar dan akal
sehat, bilijkheid artinya patut dan adil, yang meliputi semua yang dapat
dirasakan dan dapat diterima nalar dengan baik, wajar dan adil, yang
diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan
berasal dari subjektivitas para pihak.14
Itikad baik yaitu suatu sikap batin atau kejiwaan manusia yang jujur,
terbuka dan tulus ikhlas. Sedangkan jika dihubungkan dengan pasal 1338
(3) dapat disimpulkan bahwa itikad baik harus digunakan pada saat
pelaksanaan kontrak. Hal tersebut berarti bahwa selain ketentuan yang
telah disepakati dalam kontrak yang wajib dilaksanakan oleh para pihak,
juga ketentuan yang tidak tertulis yang berfungsi sebagai penambah dari
ketentuan atau kontrak tersebut.
Pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 (3) KUH Perdata bersifat
dinamis, artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus
berjalan dalam hati sanubari seorang manusia, kedua belah pihak tidak
boleh memanfaatkan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri
sendiri. Itikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual,
yaitu pada pra kontraktual, kontraktual dan pelaksanaan kontraktual.

www.KamusBahasaIndonesia.org, diakses pada 30 Mei 2011


13

Subekti, Op. cit., hal. 139.


14

10
C. UNSUR-UNSUR KONTRAK

Unsur yang mutlak harus ada bagi


Essensialia terjadinya perjanjian. Tanpa unsur ini
perjanjian tidak mungkin ada.
Unsur yang tanpa diperjanjikan secara
khusus dalam perjanjian secara diam-diam
dengan sendirinya dianggap ada dalam
Unsur-unsur Naturalia perjanjian karena sudah merupakan
dalam Kontrak pembawaan atau melekat pada perjanjian.
Unsur yang nantidiatur
ini sudah ada/mengikat para pihak
dalam Undang-
Accidentalia
jika para namun
undang, pihak memperjanjikannya
dapat disimpangi oleh
Terkait isi
para pihak.
kontrak, kepustakaan hukum kontrak
membaginya dalam 3 (tiga) unsur15, sebagai berikut:
1. Unsur Essensialia
Unsur esensiali merupakan unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian,
karena tanpa adanya kesepakatan tentang hal ini, maka tidak ada kontrak.
Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai
barang dan harga, karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga
dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum karena tidak
ada hal tertentu yang diperjanjikan.

2. Unsur Naturalia
Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang,
sehingga apabila para pihak tidak mengaturnya dalam kontrak, maka
undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2007,
15

hal 31-32. Periksa juga J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 57-58.

11
merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Namun
demikian dapat disimpangi oleh para pihak. Sebagai contoh, jika dalam
kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis
berlaku ketentuan dalam KUH Perdata bahwa penjual yang harus
menanggung cacat tersembunyi (Penanggungan atau vrijwaring).
3. Unsur Accidentalia
Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para
pihak jika para pihak memperjanjikannya atau unsur yang ditambahkan
oleh para pihak dalam hal undang-undang tidak mengaturnya. Sebagai
contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa
apabila pihak debitur lalai membayar utangnya, dikenakan denda dua
persen per bulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar
selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik
kembali oleh kreditur tanpa melalui pengadilan.

BAB II
LAHIRNYA KONTRAK

A. PARA PIHAK DALAM KONTRAK


Para pihak yang dimaksud disini adalah pihak-pihak yang langsung terlibat
dalam suatu kontrak. Para pihak tersebut lazimnya dibagi atas 2 kelompok,
yaitu:16
1. Perorangan/Usaha Perorangan
2. Badan Usaha, yang terbagi dalam:
a. Badan Usaha Berbadan Hukum

Hasanuddin Rahman, Op. cit., hal. 59


16

12
b. Badan Usaha yang tidak berbadan Hukum

1. Perorangan atau Usaha Perorangan


Yang dimaksud dengan perorangan adalah setiap individu yang dalam
melakukan perbuatan hukum bertindak untuk dan atas namanya sendiri,
sedangkan usaha perorangan dalam melakukan perbuatan hukum ia
diwakili oleh pemiliknya yang hanya seorang – bertindak untuk dan atas
namanya sendiri, juga untuk dan atas nama usahanya.17Yang menjadi
pertanyaan, apakah berbeda antara perorangan dan usaha perorangan?.
Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan, karena keduanya tidak ada
pemisahan harta kekayaan, artinya harta kekayaan pribadi juga merupakan
harta kekayaan usahanya, demikian sebaliknya, harta kekayaan usahanya
juga merupakan harta pribadi pemiliknya. Contoh dari usaha perorangan
adalah UD atau Usaha Dagang.
Selanjutnya, apakah semua golongan orang bisa menjadi para pihak
dalam kontrak?. Ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata menentukan beberapa
golongan orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum:
1. Orang yang masih dibawah umur (vide Pasal 330, 419, 1006, dan 1446
KUH Perdata);
2. Orang yang ditaruh dibawahpengampuan (vide Pasal 433, 446, 452 dan
1446 KUH Perdata);
3. Perempuan dalam status perkawinan (vide Pasal 105, 108 dan 110 KUH
Perdata).
Untuk lebih jelasnya mengenai para pihak dalam kontrak ini,
selanjutnya dapat dicermati pada penjelasan mengenai kecakapan pada
sub 2 bagian Syarat Sahnya Kontrak pada BAB II Diktat ini.

2. Badan Usaha

Ibid., hal. 59-60.


17

13
Badan Usaha adalah suatu badan yang menjalankan kegiatan
perusahaan. Badan usaha adalah kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan
ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Badan usaha
seringkali disamakan dengan perusahaan, walaupun pada kenyataannya
berbeda.Perbedaan utamanya, badan usaha adalah lembaga atau institusi,
sementara perusahaan adalah tempat dimana badan usaha itu mengelola
faktor-faktor produksi atau jenis usaha atau kegiatan dari badan usaha.
Dari aspek hukumnya, badan usaha terbagi 2, yaitu:
a. Badan usaha yang berbadan hukum.
Bentuk atau jenis-jenis badan usaha yang berbadan hukum antara lain:
1) Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas adalah suatu persekutuan untuk menjalankan


usaha yang memiliki modal terdiri dari saham-saham, yang
pemiliknya memiliki bagian sebanyak saham yang dimilikinya.
Karena modalnya terdiri dari saham-saham yang dapat
diperjualbelikan, perubahan kepemilikan perusahaan dapat
dilakukan tanpa perlu membubarkan perusahaan.Perseroan
terbatas merupakan badan usaha dan besarnya modal perseroan
tercantum dalam anggaran dasar.Kekayaan perusahaan terpisah
dari kekayaan pribadi pemilik perusahaan sehingga memiliki harta
kekayaan sendiri.Setiap orang dapat memiliki lebih dari satu saham
yang menjadi bukti pemilikan perusahaan.Pemilik saham
mempunyai tanggung jawab yang terbatas, yaitu sebanyak saham
yang dimiliki.Apabila utang perusahaan melebihi kekayaan
perusahaan, maka kelebihan utang tersebut tidak menjadi tanggung
jawab para pemegang saham.Apabila perusahaan mendapat
keuntungan maka keuntungan tersebut dibagikan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan. Pemilik saham akan memperoleh

14
bagian keuntungan yang disebut dividen yang besarnya tergantung
pada besar-kecilnya keuntungan yang diperoleh perseroan terbatas.

Selain berasal dari saham, modal PT dapat pula berasal dari


obligasi.Keuntungan yang diperoleh para pemilik obligasi adalah
mereka mendapatkan bunga tetap tanpa menghiraukan untung
atau ruginya perseroan terbatas tersebut.

2) Koperasi

Koperasi adalah jenis badan usaha yang beranggotakan orang-orang


atau badan hukum. Koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas
kekeluargaan. Koperasi menurut UUD 1945 pasal 33 ayat 1
merupakan usaha kekeluargaan dengan tujuan mensejahterakan
anggotanya. Pengertian Koperasi menurut Pasal 1 angka 1 Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian adalah badan
usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum
Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar
atas asas kekeluargaan. Adapun tujuan Koperasi adalah memajukan
kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Fungsi dan peran Koperasi adalah:


a. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan
ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada

15
umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan
sosialnya;
b. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas
kehidupan manusia dan masyarakat;
c. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan
dan ketahanan perekonomian nasional dengan Koperasi
sebagai sokogurunya;
d. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan
perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Koperasi terbagi kedalam 2 (dua) jenis, yaitu:
1. Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan orang-seorang yang dibentuk oleh sekurang-
kurangnya 20 (duapuluh) orang, dan
2. Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan Koperasi yang dibentuk oleh sekurang-kurangnya
3 (tiga) Koperasi.

3) Yayasan

Yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan


tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan
dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam
undang-undang. Di Indonesia, yayasan diatur dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Pendirian yayasan
dilakukan dengan akta notaris18 dan mempunyai status badan

Standar akte yayasan dapat dilihat pada buku terbitan Yayasan Kesejahteraan Dirjen Administrasi
18

Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Standar Akte Yayasan dan Undang-Undang
Yayasan, Jakarta, 2004.

16
hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau pejabat yang
ditunjuk.Permohonan pendirian yayasan dapat diajukan kepada
Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan
yayasan. Yayasan yang telah memperoleh pengesahan diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

b. Badan usaha yang tidak berbadan hukum.


Jenis-jenis badan usaha yang tidak berbadan hukum antara lain:
1. Persekutuan Komanditer (commanditaire vennootschap atau CV)
adalah suatu persekutuan yang didirikan oleh seorang atau
beberapa orang yang mempercayakan uang atau barang kepada
seorang atau beberapa orang yang menjalankan perusahaan dan
bertindak sebagai pemimpin.Dari pengertian di atas, sekutu dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:19
a. Sekutu aktif atau sekutu komplementer, adalah sekutu yang
menjalankan perusahaan dan berhak melakukan perjanjian
dengan pihak ketiga. Artinya, semua kebijakan perusahaan
dijalankan oleh sekutu aktif. Sekutu aktif sering juga disebut
sebagai persero kuasa atau persero pengurus.
b. Sekutu pasif atau sekutu komanditer, adalah sekutu yang hanya
menyertakan modal dalam persekutuan. Jika perusahaan
menderita rugi, mereka hanya bertanggung jawab sebatas
modal yang disertakan dan begitu juga apabila untung, uang
mereka memperoleh terbatas tergantung modal yang mereka
berikan. Status Sekutu Komanditer dapat disamakan dengan
seorang yang menitipkan modal pada suatu perusahaan, yang
Rudhi Prasetya, Maatschap, Firma dan Persekutuan Komanditer, Citra Aditya Bakti, Bandung,
19

2002, hal. 3-4.

17
hanya menantikan hasil keuntungan dari inbreng yang
dimasukan itu, dan tidak ikut campur dalam kepengurusan,
pengusahaan, maupun kegiatan usaha perusahaan. Sekutu ini
sering juga disebut sebagai persero diam. Persekutuan
komanditer biasanya didirikan dengan akta dan harus
didaftarkan. Namun persekutuan ini bukan merupakan badan
hukum (sama dengan firma), sehingga tidak memiliki kekayaan
sendiri.

2. Firma
Firma (Fa) adalah badan usaha yang didirikan oleh dua orang atau
lebih dimana tiap-tiap anggota bertanggung jawab penuh atas
perusahaan.Modal firma berasal dari anggota pendiri seta laba atau
keuntungan dibagikan kepada anggota dengan perbandingan sesuai
akta pendirian. Dalam Firma hanya dikenal satu jenis sekutu, yaitu
semua sekutu bertanggung jawab tanggung menanggung secara
pribadi untuk seluruhnya bagi perikatan-perikatan persekutuan 20
(vide Pasal 18 KUH Dagang).

B. SYARAT SAHNYA KONTRAK

Kesepakatan Akibat hukum tdk


mereka yang Syarat
dipenuhinya à
mengikatkan subyektif
kontrak dpt
diri karena
dibatalkan
menyang
Kecakapan (vernietigbaar) =
kut
mereka yang akan dibatalkan
subyek
membuat atau tdk terserah
pembuat
SYARAT SAHNYA pihak yang
kontrak kontrak
PERJANJIAN berkepentingan
20
Ibid. Jika tidak
PS.1320 BWhal
Suatu Syarat
terpenuhi maka
tertentu obyektif,
kontrak itu batal
karena 18
demi hukum,
menyang
artinya kontrak itu
kut
sejak semula
obyek
dianggap tidak
kontrak
pernah ada.
Suatu sebab
yang halal

Perangkat aturan hukum yang mengatur mengenai syarat sahnya kontrak


yang diatur dalam sistematika Buku III KUH Perdata, yaitu:
a. Diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata; dan
b. Diatur diluar Pasal 1320 KUH Perdata (vide Pasal 1335, 1337, 1339 dan
1347).
Pasal 1320 KUH Perdata merupakan instrumen pokok untuk menguji
keabsahan kontrak yang dibuat para pihak. Dalam pasal tersebut terdapat 4
(empat) syarat yang harusdipenuhi untuk sahnya suatu kontrak, yaitu:
1. Kesepakatan/Sepakatnya mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan.21
Sehubungan dengan keempat syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata
tersebut di atas terdapat penjelasan lebih lanjut terkait dengan konsekuensi
tidak dipenuhinya masing-masing syarat dimaksud. Pertama, syarat
kesepakatan dan kecakapan, merupakan unsur subjektif karena berkenaan
dengan diri orang atau subjek yang membuat kontrak. Kedua, syarat objek
tertentu dan kausa yang diperbolehkan merupakan unsur objektif. Suatu
kontrak yang tidak memenuhi syarat sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal

Periksa Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
21

Jakarta, 2003, hal. 341.

19
1320 KUH Perdata, baik syarat subjektif maupun syarat objektif akan
mempunyai akibat-akibat, sebagai berikut:22
1. “noneksistensi”  apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul
kontrak;
2. “vernietiegbaar” dapat dibatalkan, apabila kontrak tsb lahir karena
adanya cacat kehendak atau karena ketidakcakapan.
(Pasal 1320 KUH Perdata syarat 1 dan 2 ini berkaitan dengan syarat
subjektif, sehingga berakibat kontrak tersebut dapat dibatalkan);
3. “nietig” batal demi hukum, apabila terdapat kontrak yang tidak
memenuhi syarat tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya
tidak diperbolehkan.
(Pasal 1320 KUH Perdata syarat 3dan 4), berarti hal ini terkait dengan unsur
objektif, sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi hukum.

1. Kesepakatan
Pasal 1320 KUH Perdata syarat 1 mensyaratkan kesepakatan sebagai salah
satu syarat keabsahan kontrak. Kesepakatan mengandung pengertian bahwa
para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu
perjanjian atau pernyataan pihak yang satu bersesuaian dengan pernyataan
pihak lain. Pernyataan kehendak tidak harus selalu harus dinyatakan secara
tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan
pernyataan kehendak para pihak. Kesepakatan yang merupakan pernyataan
kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu unsur penawaran dan
penerimaan.23
Syarat kesepakatan yang merupakan pencerminan asas konsensualisme,
dimana dengan adanya kata sepakat telah lahir kontrak. Kontrak yang lahir dari
kesepakatan (karena bertemunya penawaran dan penerimaan), pada kondisi
22
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil,
Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 160-161.
23
Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Jakarta, 1987, hal 50.

20
normal adalah bersesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun demikian,
tidak menutup kemungkinan kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cacat
kehendak yang mempunyai akibat hukum kesepakatan tersebut dapat
dibatalkan. Dalam KUH Perdata tiga hal yang dapat dijadikan alasan
pembatalan kontrak berdasarkan cacat kehendak, yaitu: 24
1. Kesesatan atau dwaling (vide Pasal 1322 KUH Perdata)
Terdapat kesesatan apabila terkait dengan “hakikat bentuk atau
orang” dan pihak lawan harus mengetahui atau setidak-tidaknya
mengetahui bahwa sifat atau keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi
pihak lain sangat menentukan. Dengan demikian, mengenai kesesatan
terhadap hakikat benda yang dikaitkan dengan keadaan akan datang,
karena kesalahan sendiri atau karena perjanjian atau menurut pendapat
umum menjadi risiko sendiri, tidak dapat dijadikan alasan pembatalan
kontrak.
2. Paksaan atau dwang (vide Pasal 1323-1327 KUH Perdata)
Paksaan timbul apabila seseorang tergerak untuk menutup kontrak
(memberikan kesepakatan) di bawah ancaman yang bersifat melanggar
hukum. Ancaman bersifat melanggar hukum in meliputi dua hal, yaitu:
a. Ancaman itu sendiri sudah merupakan perbuatan melanggar hukum
(pembunuhan, penganiayaan);
b. Ancaman itu merupakan perbuatan melanggar hukum, tetapi ancaman
itu dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat menjadi hak
pelakunya.
3. Penipuan atau bedrog (vide Pasal 1328 KUH Perdata)
Penipuan merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir, 25 artinya
ada penipuan bila gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan-

Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 171-172.


24

Maksud ‘dikualifisir’ adalah: memang terdapat kesesatan salah satu pihak, namun kesesatan ini
25

disengaja oleh pihak lain. Jadi persamaan antara kesesatan dan penipuan adalah adanya pihak yang
sesat, sedang perbedaannya terletak pada unsur kesengajaan untuk menyesatkan pada penipuan.

21
keadaan (kesesatan) ditimbulkan oleh tingkah laku yang sengaja
menyesatkan dari pihak lawan.

2. Kecakapan.
Kecakapan yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat 2 adalah
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum yang diartikan sebagai
kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang
mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat. kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum pada person perorangan pada umumnya diukur dari standar
usia dewasa atau cukup umur (bekwaamheid atau minderjarig).
Dalam Pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan
tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan, dalam hal ditetapkan oleh undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu (substansi ini dihapus dengan
SEMA Nomor 3 Tahun 1963 dan Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan).
Selanjutnya Pasal 330 KUH Perdata menyatakan bahwa:
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh
satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap duapuluh
satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.

2.1. Kecakapan dan kewenangan bertindak dalam hukum


Kecakapan berasal dari kata “cakap” yang berarti sanggup
melakukan sesuatu; mampu; dapat; mempunyai kemampuan dan

22
kepandaian untuk mengerjakan sesuatu. 26 Kecakapan memiliki makna
yang erat kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk
memperhitungkan konsekuensi atau akibat hukum dari perbuatan yang
dilakukannya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis maupun
fisiologis.
Sangat sulit untuk menentukan kecakapan secara nyata yang
melekat pada seorang individu, mengingat kondisi masing-masing orang
berbeda. Namun demikian, guna memberikan kepastian hukum, harus
dapat ditetapkan standar yang digunakan untuk menilai batasan
kecakapan. Salah satu standar yang sering digunakan untuk menilai
batas kecakapan, khususnya yang terkait dengan perikatan dan kontrak,
adalah buku III Pasal 1330 KUH Perdata sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bagian 2 mengenai kecakapan diatas.
Berdasarkan uraian tersebut, batasan umur menjadi salah satu
landasan yang digunakan untuk menentukan ukuran dewasa atau
belum dewasa, yang kemudian menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kecakapan.27

3. Suatu hal tertentu


Yang dimaksud dengan suatu hal atau objek tertentu dalam Pasal 1320 KUH
Perdata syarat 3 adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang
bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan-
pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak. Mengenai hal atau objek
tertentu ini dapat dirujuk dari substansi Pasal 1332, 1333 dan 1334 KUH
Perdata, sebagai berikut:
a. Pasal 1332 KUH Perdata, menyatakan:

www.KamusBahasaIndonesia.org, diakses pada 2 Juni 2011


26

Ade Maman Suherman & J. Satrio, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur, Gramedia, Jakarta,
27

2010, hal. 122.

23
Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok
persetujuan.
b. Pasal 1333 KUH Perdata, menyatakan:
Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang
sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu
pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
c. Pasal 1334 KUH Perdata, menyatakan:
Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi
pokok suatu persetujuan. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk
melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk
menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu,
sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan
yang menjadi pokok persetujuan itu; hal ini tidak mengurangi ketentuan
pasal-pasal 169, 176, dan 178.
Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa dalam
berkontrak harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Hal ini dimaksudkan agar
sifat dan luasnya kewajiban para pihak (prestasi para pihak) dapat dilaksanakan
oleh para pihak.
Selanjutnya mengenai objek dalam kontrak sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1333 KUH Perdata bahwa objek kontrak berkenaan dengan pokok
perikatan yang justru menjadi isi dari kontrak. Pokok (objek) berupa sesuatu
barang atau hal yang ditentukan jenisnya, adapun mengenai jumlahnya dapat
ditentukan pada waktu dibuat perjanjian. Kata ‘barang’ berasal dari kata ‘zaak’
yang dalam kamus umum Belanda-Indonesia dapat diartikan: 28
1. Benda (barang)
2. Usaha (perusahaan)
3. Sengketa atau perkara
4. Pokok persoalan

Hasanuddin Rahman, Op. cit., hal. 7-8.


28

24
5. Sesuatu yang diharuskan (keharusan)
Bila dihubungkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata, maka salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah “hal” yang tertentu.Kata “hal” berasal dari Bahasa
Belanda ‘onderwerp’ pokok uraian atau pokok pembicaraan atau pokok
persoalan.Maka kata zaak lebih tepat bila diterjemahkan sebagai pokok
persoalan (arti nomor 4), karena kata ‘Pokok Persoalan’ dapat berupa barang
atau benda dan juga dapat berupa jasa, misalnya perjanjian kerja.

4. Sebab yang halal atau causa yang diperbolehkan.


Yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata
syarat 4 harus dihubungkan dengan konteks Pasal 1335 dan 1337 KUH Perdata.
Meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang
dimaksud dengan causa atau sebab, namun yang dimaksudkan disini menunjuk
pada adanya hubungan tujuan, yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak untuk
menutup kontrak atau apa yang hendak dicapai para pihak untuk menutup
kontrak. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata ditegaskan:
Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang
palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.
Adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa yang
hendak dicapai para pihak dalam perjanjian atau kontrak tersebut harus
disertai itikad baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam Pasal 1337 KUH Perdata
ditegaskan:
Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang
atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban
umum.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, suatu kontrak tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat (batal) bila kontrak tersebut:29

J. Satrio, Op. cit., hal. 321-353.


29

25
a. Tidak mempunyai causa;
b. Causanya palsu;
c. Causanya bertentangan dengan undang-undang;
d. Causanya bertentangan dengan kesusilaan;
e. Causanya bertentangan dengan ketertiban umum.

C. JENIS-JENIS KONTRAK
Berikut beberapa jenis kontrak, antara lain:
1. Kontrak menurut sumber hukumnya.30
Kontrak menurut sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak
yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan, yaitu:
a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga;
b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan;
c. Perjanjian obligatoir;
d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara;
e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.
2. Perjanjian menurut namanya.31
a. Perjanjian bernama (Kontrak Nominaat)
Jenis-jenis perjanjian ini diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata. Kontrak
Nominaat adalah kontrak yang dikenal dalam KUHPerdata, misal: jual
beli, tukar menukar, sewa menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam
pakai, pemberian kuasa, perdamaian, dan lain-lain.
b. Perjanjian tidak bernama (Kontrak Innominaat)
Kontrak Innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat dan belum dikenal dalam KUHPerdata,
misal: leasing, franchise, kontrak karya, dan lain-lain.

30
Salim H.S., Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003,
hal. 27.
31
Ibid, hal. 28.

26
3. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.32
Perjanjian timbal balik dapat dibagi menjadi:
a. Perjanjian timbal balik yang benar-benar timbal balik, adalah perjanjian
yang memberikan kepada masing-masing pihak imbalan yang sama
harga atau nilainya.
Misalnya pada sebuah perjanjian jual beli: seorang penjual memiliki
sebuah rumah senilai Rp. 100 juta, yang oleh pihak pembeli juga dinilai
sama yaitu Rp. 100 juta.
b. Perjanjian timbal balikyang tidak sempurna timbal balik, adalah
perjanjian yang memberi kepada satu pihak suatu kewajiban utama dan
kepada pihak lain suatu imbalan yang tidak sesuai, atau setiap pihak
mempunyai kewajiban yang tidak seimbang.
Misalnya pada perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata),
mengandung kewajiban bagi pihak pertama untuk menyerahkan suatu
barang dengan cuma-cuma kepada pihak kedua dengan ketentuan
bahwa pihak kedua, setelah memakainya, akan mengembalikan barang
tersebut.
4. Perjanjian Riil dan Perjanjian Konsensual.33
a. Kontrak Konsensual adalah suatu perjanjian yang hanya memerlukan
persetujuan (consensus) dari para pihak.
b. Kontrak Riil adalah perjanjian yang memerlukan penyerahan suatu
benda, misal: perjanjian penitipan barang (Pasal 1697 KUH Perdata),
perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata) dan perjanjian pinjam
pakai habis (Pasal 1754 KUH Perdata), dimana semuanya memerlukan
penyerahan barang.
Jika dalam hal tersebut diatas antara para pihak tercapai suatu perjanjian
penitipan atau pinjam pakai atau pinjam pakai habis yang tidak disusul
32
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2007, hal. 402-403.
33
Ibid, hal. 405.

27
dengan penyerahan barang, maka perjanjian untuk menitipkan atau
perjanjian untuk pinjam pakai atau perjanjian untuk pinjam pakai habis
adalah bukan perjanjian riil, karena perjanjian riil baru terjadi pada
penyerahan barang yang dimaksud.
8. Kontrak tanpa pamrih dan Kontrak dengan beban.34
a. Kontrak tanpa pamrih atau perjanjian cuma-cuma (Pasal 1314 KUH
Perdata) adalah jika suatu pihak memberi suatu keuntungan kepada
pihak lain tanpa imbalan apapun, misal: perjanjian hibah (Pasal 1666
KUH Perdata), perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata).
b. Kontrak dengan beban adalah perjanjian yang memberatkan, terjadi
apabila suatu pihak ingin mendapat sesuatu yang langsung ada
hubungannya dengan suatu pengorbanan (prestasi) dari pihak lain.
Misal: jual beli, sewa menyewa.

7. Kontrak menurut bentuknya.35


a. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat oleh para pihak cukup dengan
lisan atau kesepakatan para pihak secara lisan. Dengan adanya
konsensus (kesepakatan), maka perjanjian telah terjadi (Pasal 1320
KUHPerdata).
b. Kontrak tertulis adalah kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan, misal perjanjian hibah yang harus dalam bentuk akta
notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). Kontrak jenis ini dibagi 2 bentuk, yaitu
Akta dibawah tangan dan Akta Notaris.

D. MOMENTUM TERJADINYA KONTRAK

Ibid, hal. 404.


34

Salim H.S., Op. cit., hal. 28.


35

28
Kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan tentang hal pokok atau
unsur esensiali dalam suatu kontrak.Hal pokok atau unsur esensiali adalah
unsur yang harus ada dalam suatu kontrak, karena tanpa adanya kesepakatan
tentang hal pokok ini, maka tidak ada kontrak.
Mengenai momentum terjadinya kontrak, dikenal beberapa teori:36
1. Teori Pengiriman.
Teori ini menyatakan bahwa lahirnya kesepakatan adalah pada saat
pengiriman jawaban yang isinya berupa penerimaan atas penawaran yang
diterima oleh satu pihak dari pihak lain. Kelemahan teori ini adalah pihak
yang menawarkan tidak tahu bahwa ia telah terikat dengan penawarannya
sendiri.37
2. Teori Penerimaan.
Teori ini menyatakan bahwa kesepakatan terjadi manakala jawaban atas
penawaran yang berisi tentang penerimaan penawaran tersebut telah
diterima oleh pihak yang menawarkan.
3. Teori Pengetahuan.
Teori ini menyatakanbahwa terjadinya kesepakatan pada saat pihak yang
mengajukan penawaran mengetahui adanya penerimaan penawaran
tersebut. Kelemahan teori ini adalah jika surat penerimaan itu meskipun
telah sampai ditempatnya ternyata tidak segera dibaca. 38
4. Teori Dugaan.
Teori ini menyatakanbahwa terjadinya kesepakatan pada saat pihak yang
menerima penawaran sudah menduga bahwa suratnya yang berisi
penawaran sudah diterima oleh pihak yang menawarkan.
Pada dasarnya, teori-teori tersebut yang masih agak relevan dengan
kondisi praktek dewasa ini adalah teori pengiriman dan teori penerimaan.

36
Ahmadi Miru, Op. cit., hal. 32-35.
37
Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 169.
38
Ibid.

29
Hanya saja dengan semakin majunya perkembangan teknologi komunikasi,
teori-teori tersebut hanya relevan untuk kasus-kasus tertentu.
Dalam praktek dewasa ini, suatu kesepakatan yang dilakukan oleh
para pihak yang melakukan kontrak melalui perantaraan surat menyurat
misalnya, adalah bukan kesepakatan mengenai unsur esensiali dari kontrak
tersebut, karena unsur esensialnya sudah disepakati secara lisan melalui
telepon. Jadi yang disepakati melalui surat menyurat hanyalah klausul-
klausul aksidentalianya, misalnya salah satu pihak mengirimkan naskah
kontrak lengkap dengan klausulnya (yang sudah ditandatangani oleh pihak
pengirim) kepada pihak lain agar pihak lain tersebut menandatangani
naskah kontrak tersebut. Hal ini berarti bahwa dengan ditandatanganinya
naskah kontrak tersebut oleh pihak yang menerima kiriman naskah kontrak
berarti kontrak tersebut telah ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Meski demikian, teori-teori tersebut penting untuk menentukan
saat dan tempat lahirnya kontrak. Hal ini penting untuk menentukan kapan
para pihak mulai memikul kewajiban dan memiliki hak, serta hukum apa
yang berlaku jika terdapat perbedaan antara hukum di daerah pihak yang
menawarkan dan hukum di daerah yang ditawari.

E. INTERPRETASI KONTRAK
Interpretasi atau penafsiran tentang kontrak diatur dalam Pasal 1342–1351
KUH Perdata. Pada dasarnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus
dapat dimengerti dan dipahami isinya. Namun, dalam kenyataannya banyak
kontrak yang isinya tidak dimengerti oleh para pihak.
Isi kontrak terutama ditentukan oleh apa yang saling diperjanjikan oleh
para pihak. Dengan menafsirkan pernyataan-pernyataan tertentu, dalam hal ini
untuk menentukan maknanya, akan jelas terhadap apa para pihak
mengikatkan diri. Mengapa penafsiran diperlukan?. Fakta di lapangan
memberikan pelajaran berharga, betapa banyak sengketa justru muncul ketika

30
pelaksanaan kontrak. Sengketa ini berawal manakala para pihak mempunyai
pengertian berbeda mengenai klausula yang mereka gunakan dalam kontrak.
Selanjutnya, interpretasi diperlukan karena isi kontrak yang memuat
klausula-klausula yang umumnya dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis.
Bahasa sebagai sarana bagi para pihak untuk saling berkomunikasi, seringkali
terkendala dengan keterbatasan kemampuan para pihak ketika menuangkan
maksud maupun peristilahan yang digunakan ke dalam struktur bahasa kontrak
yang tepat. Kendala tersebut antara lain terkait kata-kata atau istilah yang
digunakan bermakna ganda, kabur bahkan kontradiksi satu dengan lainnya.
Interpretasi adalah sebuah metode untuk mencari atau menemukan makna
yang hakiki (sesungguhnya) dari suatu ketentuan, peraturan, pernyataan dan
lain-lain.
Secara umum Isi perjanjian, terbagi dalam 2 (dua), yaitu:39
a. Kata-katanya jelas;
b. Kata-katanya tidak jelas dan menimbulkan bermacam-macam penafsiran.
Mengenai interpretasi, KUH Perdata mengaturnya dalam Pasal 1342 sampai
dengan 1351 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:
1. Jika kata-kata suatu perjanjian berbunyi jelas, para pihak tidak
diperkenankan menyimpang daripadanya (vide Pasal 1342 KUH Perdata);
2. Jika kata-katanya dalam kontrak memberikan berbagai penafsiran atau
multiinterpretasi, maka selidiki maksud dari para pihak yang membuat
perjanjian (vide Pasal 1343 KUH Perdata);
3. Jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran atau jika suatu janji dapat
diberi dua makna, maka selidiki pengertian yang memungkinkan perjanjian
itu agar dapat dilaksanakan atau pilih makna yang memungkinkan janji
tersebut dapat dilaksanakan (vide Pasal 1344 KUH Perdata);
4. Jika kata-kata dalam perjanjian dapat diberi arti dua macam, maka pilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian atau tafsirkan

Salim H.S., Op. cit., hal. 44.


39

31
sedemikian rupa sehingga paling dekat sesuai dengan sifat perjanjian (vide
Pasal 1345 KUH Perdata);
5. Jika perikatan mempunyai dua makna atau kalimat dalam perjanjian tidak
jelas bahkan tidak diatur secara tegas, maka tafsirkan menurut kebiasaan
setempat atau tempat dibuatnya perjanjian (vide Pasal 1346 KUH Perdata);
6. Jika syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus
dianggap telah termasuk dalam kontrak, walaupun tidak ditegaskan dalam
kontrak (vide Pasal 1347 KUH Perdata);
7. Jika antara satu klausula dengan klausula lainnya dalam suatu kontrak
harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain (interpretasi
komprehensif atau menyeluruh) (vide Pasal 1348 KUH Perdata);
8. Jika ada keragu-raguan, maka penafsiran diarahkan pada kerugian bagi
orang yang meminta ditetapkannya suatu hak dan atas keuntungan orang
yang mengikatkan dirinya (vide Pasal 1349 KUH Perdata) maksudnya, jika
dalam kontrak terdapat keraguan-raguan tentang maksud kontrak, kontrak
itu diarahkan untuk mengurangi hak pihak yang satu yang berarti pula
mengurangi kewajiban pihak lainnya;
9. Jika kata-kata yang digunakan untuk menyusun suatu kontrak mempunyai
makna yang meluas, maka harus ditafsirkan sebatas hal-hal yang nyata-
nyata dimaksudkan para pihak pada saat membuat kontrak (vide Pasal
1350 KUH Perdata);
10. Jika dalam suatu kontrak terdapat penegasan tentang suatu hal, tidaklah
mengurangi atau membatasi daya berlaku kontrak terhadap hal-hal lain
yang tidak ditegaskan dalam kontrak tersebut (vide Pasal 1351 KUH
Perdata).

32
BAB III
KETENTUAN-KETENTUAN UMUM DALAM HUKUM KONTRAK

A. RISIKO
Menurut Subekti40, risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang
disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak
yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Singkatnya, risiko adalah
kerugian yang diderita oleh salah satu pihak, tetapi pembayaran ganti rugi
tidak dapat dibebankan kepada pihak yang lain, karena pihak lain tersebut
bukanlah penyebab timbulnya kerugian. Pertanyaan yang timbul adalah siapa
yang harus menanggung risiko?.
Dalam hal jual beli, terdapat 3 (tiga) ketentuan mengenai risiko, yaitu:41
1. Mengenai barang yang sudah ditentukan, atas barang yang
diperjualbelikan, apabila suatu peristiwa terjadi diluar kesalahan para
pihak, maka barang tersebut menjadi tanggungan pembeli (vide Pasal 1460
KUH Perdata) yang menyatakan sebagai berikut: “Jika barang yang dijual
itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian,
barang itu menjadi tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya
belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya”.
2. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (vide
Pasal 1461 KUH Perdata), maka risiko ada pada penjual, hingga barang
ditimbang.
3. Mengenai barang-barang yang dijual dalam bentuk tumpukan (vide Pasal
1462 KUH Perdata), maka risiko ada pada pembeli.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa selama barang belum
diserahkan (levering) oleh penjual kepada pembeli, maka risiko ada pada

R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 25


40

Ibid., hal. 25-27.


41

33
penjual, yang dalam hal ini masih merupakan pemilik sah barang tersebut,
sampai pada saat barang tersebut diserahkan kepada pembeli, sehingga secara
yuridis kepemilikan barang beralih (vide Pasal 1475 KUH Perdata).
Pengecualian untuk ketentuan yang pertama, risiko dapat saja ditanggung oleh
orang yang belum menjadi pemilik barang (Pasal 1460 KUH Perdata).
Adapun risiko dalam hal sewa menyewa, mengacu pada Pasal 1553 KUH
Perdata yang menyatakan: “Jika barang yang disewakan musnah sama sekali
dalam masa sewa karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka
persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barang yang bersangkutan hanya
sebagian musnah, maka penyewa dapat memilih, menurut keadaan, akan
meminta pengurangan harga sewa, atau akan meminta pembatalan
persetujuan sewa; tetapi dalam kedua hal itu ia tidak berhak atas ganti rugi”.
Catatan: yang dimaksud dengan gugur demi hukum adalah bahwa sejak awal
perjanjian sewa menyewa tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak
pernah lahir suatu perikatan. Oleh karena itu, satu pihaktidak dapat menuntut
apapun terhadap pihak lain, dengan kata lain, tidak mempunyai akibat hukum
apapun, tidak mengikat siapapun sehingga tidak menimbulkan hak dan
kewajiban (null and void).42

B. SOMASI
Istilah ‘somasi’ atau ‘pernyataan lalai’ diatur dalam Pasal 1238 dan 1243
KUH Perdata. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si
berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian
yang telah disepakati keduanya. Jika seorang debitur tidak memenuhi prestasi
atau perikatan pada waktunya, debitur tersebut dikatakan berda dalam
keadaan mora atau mora debitoris. Seseorang dikatakan mora debitoris jika
memenuhi ketentuan43:

Ibid., hal. 26-27.


42

Tan Thong Kie, Op. cit., hal. 389-390


43

34
1. Adanya tagihan yang segera dapat ditagih;
2. Debitur lalai dalam melaksanakan prestasi;
3. Kelalaian tersebut disebabkan karena kesalahan debitur;
4. Dalam banyak hal, debitur harus dinyatakan lalai terlebih dahulu.
Menurut Pasal 1238 KUH Perdata, debitur dinyatakan lalai:
1. Dengan surat perintah atau surat atau akta yang sejenis, sebuah akta yang
sejenis;
2. Berdasarkan kekuatan perikatan sendiri, yaitu apabila perikatan sendiri
mengakibatkan bahwa debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang telah ditentukan.
Yang berwenang mengeluarkan surat perintah tersebut adalah kreditur
atau pejabat yang berwenang untuk itu, yaitu juru sita, Badan Urusan
Piutang Negara, dan lain-lain. Selanjutnya surat teguran dilakukan paling
sedikit 3 kali, dengan mempertimbangkan jarak domisili kreditur dengan
domisili debitur.
Selanjutnya, ada 3 (tiga) cara terjadinya somasi:44
1. Debitur melaksanakan prestasi yang keliru;
2. Debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan;
3. Debitur memenuhi prestasi, namun tidak berguna lagi bagi kreditur,
karena telah lewatnya waktu yang diperjanjikan.
Adapun isi somasi memuat:45
1. Hal apa yang dituntut;
2. Dasar penuntutan;
3. Waktu final pelaksanaan prestasi (tanggal paling lambat pelaksanaan
prestasi).

Ibid., hal. 96.


44

Salim H.S., Op. cit., hal. 98


45

35
C. WANPRESTASI
Dalam hukum, seseorang disebut berprestasi jika ia memenuhi perikatan,
disebut wanprestasi jika ia tidak memenuhi perikatan. Kata tambahan “wan” di
depan sebuah kata dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang negatif. 46
Pelanggaran hak-hak kontraktual menimbulkan kewajiban ganti rugi
berdasarkan wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUH Perdata
(untuk prestasi memberikan sesuatu) dan Pasal 1239 KUH Perdata (untuk
prestasi berbuat sesuatu). Selanjutnya, terkait wanprestasi, Pasal 1243 KUH
Perdata menyatakan: “penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak
dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan bila debitur, walaupun telah
dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu
yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau
dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah
ditentukan”.
Dari isi pasal 1243 KUH Perdata tersebut di atas, debitur dinyatakan lalai,
jika:
a. Tidak memenuhi prestasi;
b. Terlambat berprestasi;
c. Berprestasi tapi tidak sebagaimana mestinya.
Namun demikian, wanprestasi baru terjadi setelah adanya pernyataan lalai
(in mora stelling) dari pihak kreditur kepada debitur. Pernyataan lalai ini pada
dasarnya bertujuan menetapkan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitur
untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang
dialami kreditur. Namun adakalanya dalam keadaan tertentu, untuk
membuktikan adanya wanprestasi debitur, tidak diperlukan lagi pernyataan
lalai, yaitu dalam keadaan sebagai berikut:47

Tan Thong Kie, Op. cit., hal. 385.


46

JH. Niewenhuis, Op. cit., hal. 70-71


47

36
a. Untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal (fatale
termijn);
b. Debitur menolak pemenuhannya;
c. Debitur mengakui kelalaiannya;
d. Pemenuhan prestasi tidak mungkin (diluar overmacht atau force majeure);
e. Pemenuhan tidak lagi berarti;
f. Debitur melaksanakan prestasi tidak sebagaimana mestinya.
Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditur yang dirugikan sebagai akibat
adanya kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur mempunyai hak
gugat dalam upaya menegakkan hak-hak kontraktualnya. Sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Pihak
yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih: memaksa pihak
yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan,
atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian
dan bunga”.
Hak kreditur tersebut dapat secara mandiri diajukan maupuan
dikombinasikan dengan gugatan lain, meliputi48:
a. Pemenuhan prestasi (nakoming);
b. Ganti rugi;
c. Pembubaran, pemutusan atau pembatalan kontrak;
d. Pemenuhan prestasi ditambah ganti rugi pelengkap;
e. Pembubaran ditambah ganti rugi pelengkap.
Adapun pembagian wanprestasi adalah sebagai berikut49:
1. Wanpestasi yang disengaja.
Wanprestasi yang disengaja yaitu apabila debitur berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu dalam keadaan sadar bahwa tindakannya tersebut
atau tidak bertindaknya ia mengakibatkan wanprestasi. Akibat dari

Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 263


48

Tan Thong Kie, Op. cit., hal. 385-387


49

37
wanprestasi yang disengaja yaitu mempengaruhi besarnya denda dan/atau
ganti rugi (vide Pasal 1247 & 1248, 1235 (1) & 1236 KUH Perdata);
2. Wanprestasi karena kesalahan.
Wanprestasi karena kesalahan adalah akibat dari sikap debitur yang justru
memilih melakukan perbuatan tidak bertanggungjawab atau memilih sikap
tinggal diam (tidak bertindak apa-apa);
3. Wanprestasi tanpa atau bukan karena kesalahan dan akibatnya.
a. Pasal 1391 KUH Perdata
Seorang debitur yang harus menyerahkan barang tertentu dibebaskan
dari ganti rugi jika ia menyerahkan kembali barang tersebut dalam
keadaan seperti pada waktu penyerahan, jika terdapat kekurangan
pada barang tersebut, maka asalkan kekurangan pada barang tersebut
itu tidak disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian debitur atau orang
yang menjadi tanggungannya (pegawai, pembantu, atau pekerja
seorang pemborong), ataupun kekurangannya itu timbul setelah
debitur terlambat menyerahkan barang itu.
b. Pasal 1709-1711 KUH Perdata
Menentukan bahwa pemilik hotel dan penginapan bertanggungjawab
atas barang yang dibawa tamu yang menginap, yaitu kerusakan atau
pencurian yang disebabkan oleh pegawai hotel atau penginapan atau
oleh orang lain, kecuali pencurian dengan kekerasan yang dilakukan
oleh orang yang diizinkan masuk oleh para tamu sendiri.
c. Pasal 1745 KUH Perdata
Seorang peminjam barang yang musnah karena hal yang tak disangka,
sedangkan ia dihadapkan pada pilihan kehilangan barangnya sendiri
atau barang yang dipinjam, memutuskan memilih kehilangan barang
yang dipinjam, maka ia harus bertanggungjawab atas musnahnya
barang yang dipinjam.

38
D. GANTI RUGI
Ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya
bersifat subsidair, artinya apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan
atau sudah tidak dapat diharapkan lagi, maka ganti rugi merupakan alternatif
yang dapat dipilih oleh kreditur. Dalam ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata,
ganti rugi meliputi:50
a. Biaya (konsten), yaitu pengeluaran nyata yang telah dikeluarkan sebagai
akibat wanprestasinya debitur, misal biaya perjalanan, biaya notaris;
b. Rugi (schaden) yaitu berkurangnya harta benda kreditur sebagai akibat
wanprestasinya debitur;
c. Bunga (interessen) yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh kreditur
seandainya tidak terjadi wanprestasi.
Adapun penyebab adanya penuntutan ganti rugi didasarkan pada 2 (dua)
hal, yaitu:
a. Ganti rugi karena wanprestasi, diatur dalam Pasal 1243-1252 KUH Perdata;
b. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, diatur dalam Pasal 1365 KUH
Perdata.
Selanjutnya, dalam menentukan besarnya ganti rugi, pada dasarnya harus
berpegang pada asas bahwa ganti rugi tersebut sedapat mungkin membuat
pihak yang dirugikan dikembalikan pada kedudukan semula seandainya tidak
terjadi kerugian. Pertanyaannya, bagaimana menentukan kerugian kreditur
sehingga menimbulkan hak baginya untuk memperoleh ganti rugi?. Dalam hal
ini harus dikaji ada atau tidak hubungan sebab akibat antara peristiwa yang
merupakan penyebab (wanprestasi) dengan akibat yang ditimbulkannya
(kerugian). Oleh karena itu, kunci keberhasilan gugatan ganti rugi terletak pada
pembuktian adanya hubungan sebab akibat antara wanprestasi dan kerugian.

Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 264.


50

39
Adapun bentuk ganti rugi yang dinyatakan dalam Pasal 1236 dan 1243 KUH
Perdata, yaitu:51
a. Sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi pokok;
b. Sebagai bagian dari kewajiban perikatan pokoknya;
c. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur oleh karena
keterlambatan prestasi dari kreditur;
d. Sebagai pengganti kewajiban prestasi pokok maupun sebagai ganti rugi
atas keterlambatan pemenuhan prestasi.

E. KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE ATAU OVERMACHT)


a. Pengertian
Istilah “keadaan memaksa” berasal dari istilah force majeure atau
overmacht. Ketentuan mengenai “keadaan memaksa” diatur dalam KUH
Perdata Pasal 1244 yang berbunyi: “Jika ada alasan untuk itu si berutang
harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga, bila tak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak
tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu
hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya,
walaupun ada itikad buruk padanya”.
Selanjutnya Pasal 1245 menyatakan: “Tidaklah biaya rugi dan
bunga harus digantinya bila keadaan memaksa atau lantaran kejadian
tidak disengaja si berutang berhalangan untuk memberikan atau berbuat
sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah
melakukan hal yang terlarang”.
Pengertian force majeure juga diakomodasi dalam pasal 1444-1445
KUH Perdata.Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa keadaan memaksa atau force majeure adalah suatu keadaan
dimana tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan karena hal-hal yang

J. Satrio, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1999, hal. 146-147.


51

40
sama sekali tidak dapat diduga dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa
terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tersebut.52

b. Unsur-unsur Force Majeure


Adapun unsur-unsur force majeure antara lain:
1. Terjadinya keadaan53/kejadian diluar kemauan, kemampuan atau
kendali para pihak;
2. Menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak;
3. Terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat,
terhalang54 atau tidak dilaksanakannya prestasi para pihak;
4. Para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari
peristiwa tersebut;
5. Kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian.

c. Ruang Lingkup Force Majeure


Ruang lingkup force majeure yg diatur dalam peraturan perundang-
undangan maupun dalam berbagai kontrak tidak sama, makna force
majeure disesuaikan dengan karakteristik setiap peraturan perundang-
udangan atau kontrak.
Berikut beberapa ruang lingkup force majeure yang diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan:
1. Peraturan Perbankan, ruang lingkup force majeure antara lain:
 Kebakaran;
 Kerusuhan massa;
 Perang;
 Sabotase;

52
Rachmat S.S. Soemadipraja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, Gramedia, Jakarta,
2010, hal. 72.
53
Lihat Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata.
54
Ibid

41
 Bencana alam, seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan
oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait daerah
setempat.
2. Peraturan Pertambangan Mineral dan Batu Bara55, ruang lingkup force
majeure antara lain:
 Perang;
 Kerusuhan sipil;
 Pemberontakan;
 Epidemik;
 Gempa bumi;
 Banjir;
 Kebakaran; dan
 Bencana alam diluar kemampuan manusia.
Selain itu, dalam peraturan pertambangan dan mineral dikenal juga
istilah “keadaan yang menghalangi”, yang terdiri atas :
 Blokade;
 Pemogokan;
 Perselisihan perburuhan diluar kesalahan pemegang IUP (Izin
Usaha Pertambangan) atau IUPK (Izin Usaha Pertambangan
Khusus), dan
 Peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh
Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha pertambangan
yang sedang dilaksanakan.

Adapun contoh ruang lingkup force majeure yang diatur dalam


beberapa kontrak, sebagai berikut:
1. Kontrak Karya, ruang lingkup force majeure antara lain:

Pasal 113 ayat (1) huruf (a) dan (b) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
55

Bara.

42
 Peperangan;
 Pemberontakan;
 Kerusuhan sipil;
 Blokade;
 Sabotase;
 Embargo;
 Pemogokan dan perselisihan perburuhan lainnya;
 Gempa bumi;
 Keadaan-keadaan cuaca yang merugikan;
 Ledakan;
 Kebakaran;
 Perintah atau petunjuk pemerintah atau perangkatnya yang
merugikan;
 Kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar terhadap
kegiatan pengusahaan.
2. Sewa Menyewa Mobil, ruang lingkup force majeure antara lain:
 Gempa bumi;
 Perang;
 Angin topan;
 Huru hara;
 Moneter.
3. Sewa Menyewa Rumah, ruang lingkup force majeure antara lain:
 Bencana alam;
 Banjir;
 Gempa bumi;
 Keadaan darurat lain yang ditetapkan Pemerintah.
4. Kontrak Pengakutan Hasil Hutan, ruang lingkup force majeure antara
lain:
 Bencana Alam;

43
 Banjir;
 Peperangan;
 Keadaan darurat lain yang ditetapkan Pemerintah.
Adapun ruang lingkup force majeure yang tersirat dalam pasal-pasal
KUH Perdata, yaitu:
1. Peristiwa alam;
2. Kebakaran;
3. Musnah/hilangnya barang objek perjanjian.
Selanjutnya, secara garis besar, penyebab terjadinya force majeure
dikelompokkan menjadi 5 (lima):56
1. Force Majeure karena faktor alam.
Yaitu force majeure yang disebabkan oleh keadaan alam yang tidak dapat
diduga dan dihindari oleh setiap orang karena bersifat alamiah tanpa unsur
kesengajaan. Yang termasuk dalam force majeure ini adalah banjir, tanah
longsor, gempa bumi, badai guntur, gunung meletus, topan, cuaca buruk,
petir, gelombang pasang, takdir Tuhan, keadaan-keadaan cuaca lain yang
merugikan, bencana alam diluar kemampuan manusia, dan bencana alam
yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat.
2. Force Majeure karena kondisi sosial dan keadaan darurat.
Yaitu force majeure yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak
wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan
singkat tanpa dapat diprediksi sebelumnya, termasuk dalam hal ini antara
lain : peperangan, pemberontakan, operasi militer, sabotase, blokade,
pemogokan dan perselisihan perburuhan, terorisme, peledakan, ledakan
kebakaran, kerusuhan, keributan, pengrusakan massa (amukan massa),
bencana nuklir, radio aktif, wabah, kerusuhan buruh secara umum,
bencana nuklir, huru hara, keadaan-keadaan lain diluar kekuasaan manusia

Rachmat S.S. Soemadipraja, Op. cit., hal. 87-89.


56

44
yang langsung mempengaruhi jalannya pekerjaan, serta keadaan darurat
lain yang ditetapkan pemerintah.
3. Force Majeure karena keadaan ekonomi (moneter).
Yaitu force majeure yang disebabkan oleh adanya situasi ekonomi yang
berubah, ada kebijakan ekonomi tertentu, atau segala sesuatu yang
berhubungan dengan sektor ekonomi; timbulnya gejolak moneter yang
menyebabkan kenaikan biaya bank; embargo; perubahan di bidang politik,
pasar modal, ekonomi dan moneter; perubahan di bidang terkait dengan
usaha Perusahaan Terdaftar; terjadinya kegagalan sistem orientasi
perbankan yang bersifat nasional.
4. Force Majeure karena kebijakan atau peraturan yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Yaitu force majeure yang disebabkan oleh keadaan dimana terjadi
perubahan kebijakan pemerintah atau hapus atau dikeluarkannya
kebijakan baru, yang berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung.
Termasuk dalam hal ini adalah perdagangan efek di bursa efek yang
dihentikan sementara oleh instansi yang berwenang; terjadinya perubahan-
perubahan izin percetakan dan penerbitan dari instansi; perintah atau
petunjuk (adverse order or direction) pemerintahan “de jure” atau “de
facto” atau perangkatnya atau sub divisinya yang merugikan; peraturan
perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah menghambat
kegiatan usaha pertambangan yang sedang dilaksanakan.
5. Force Majeure keadaan teknis yang tak terduga.
Yaitu force majeure yang disebabkan oleh peristiwa rusaknya atau
berkurangnya fungsi peralatan teknis atau operasional yang berperan
penting bagi kelangsungan proses produksi suatu perusahaan, dan hal
tersebut tidak dapat diduga akan terjadi sebelumnya. Termasuk dalam hal
ini adalah terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat
nasional; keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkkan oleh

45
pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba;
kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar terhadap kegiatan
pengusahaan.

F. SAKSI-SAKSI
Mengapa saksi-saksi diperlukan dalam suatu pembuatan kontrak?. Karena
pada dasarnya bila terjadi sengketa antara para pihak yang berkontrak,
keberadaan saksi-saksi sangatlah diperlukan.Selain kontrak yang telah dibuat
tadi, saksi-saksi juga merupakan suatu alat bukti dalam perkara perdata.
Menurut Pasal 1866 KUH Perdata, alat pembuktian dalam perkara perdata,
terdiri atas:
1. Bukti tertulis (Pasal 1867-1894 KUH Perdata);
2. Bukti saksi (Pasal 1895-1912 KUH Perdata);
3. Persangkaan (Pasal 1915-1922 KUH Perdata);
4. Pengakuan (Pasal 1923-1928 KUH Perdata);
5. Sumpah (Pasal 1929-1945 KUH Perdata).
Dalam pembuktian sebuah kontrak (sebagai bukti tertulis) dan bukti saksi
diatur Pasal 1902 dan 1877 KUH Perdata.57
Beberapa ketentuan-ketentuan mengenai saksi, yaitu:58
1. Saksi-saksi, memberi kesaksian sebatas hanya pada peristiwa
penandatanganan suatu kontrak, yaitu mengenai waktu, tempat dan para
pihak yang menandatangani kontrak. Tidak termasuk apa yang dilakukan
para pihak sebelum dan sesudah penandatanganan berlangsung.
2. Bahwa ‘satu saksi bukanlah saksi’, sebagaimana diatur dalam Pasal 1905
KUH Perdata yang menyatakan:
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa alat pembuktian lain, dalam
pengadilan tidak boleh dipercaya”.
57
Periksa Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 2003, hal. 477 dan 482.
58
Hasanuddin Rahman, Op. cit., hal. 139.

46
3. Pasal 1910 KUH Perdata mengatur tentang orang-orang yang dianggap
tidak cakap menjadi saksi:
“Anggota keluarga sedarah dan semenda salah satu pihak dalam garis
lurus, dianggap tidak cakap untuk menjadi saksi; begitu pula suami atau
istrinya, sekalipun setelah perceraian”
“Namun demikian anggota keluarga sedarah dan semenda cakap untuk
menjadi saksi: 1. dalam perkara mengenai kedudukan keperdataan salah
satu pihak; 2. Dalam perkara mengenai nafkah yang harus dibayar
menurut Buku Kesatu, termasuk biaya pemeliharaan dan pendidikan
seorang anak belum dewasa”.
Selain hal tersebut, seyogianya saksi-saksi juga harus mengenal para
pihak yang melakukan kesepakatan dalam kontrak, sehingga salah satu
pihak tidak dapat dengan mudah melakukan pengingkaran atas kontrak
yang telah dibuat dan ditandatangani bersama. Kenalnya saksi-saksi
terhadap para pihak juga dapat mengurangi risiko pemalsuan identitas para
pihak.

47
BAB IV
BERAKHIRNYA ATAU HAPUSNYA KONTRAK

Berdasarkan Pasal 1381 KUH Perdata, hapusnya atau berakhirnya kontrak atau
perikatan adalah sebagai berikut:

A. PEMBAYARAN
Mengenai pembayaran, diatur dalam Pasal 1382 sampai dengan 1403KUH
Perdata. Kata ‘pembayaran’ diartikan oleh pembuat undang-undang sebagai
‘pemenuhan suatu perikatan, jangan diartikan sebagai ‘pembayaran dengan
uang’. Lalu siapa yang harus ‘membayar’?. Yang harus membayar disini adalah
Debitur; tapi pihak lain juga diperbolehkan atau diberi hak oleh undang-
undang untuk membayar, yaitu:59
1. Setiap orang yang berkepentingan, misalnya: teman debitur atau orang
yang menjadi penjamin atau penanggung utang;
2. Orang yang tidak berkepentingan, dengan syarat:
a. Ia membayar atas nama debitur dan untuk melunasi utang debitur;
b. Apabila ia memakai namanya sendiri, ia tidak minta digantikan dalam
hak kreditur (dalam istilah hukum: tidak disubrogasi).

B. PENAWARAN PEMBAYARAN TUNAI DIIKUTI DENGAN PENYIMPANAN ATAU


PENITIPAN
Diatur dalam Pasal 1404-1412 KUH Perdata. Ini adalah cara yang diberikan
oleh undang-undang kepada debitur yang ingin membayar, namun kreditur –
karena alasan tersendiri-tidak mau menerimanya. Dalam Pasal 1404 KUH
Perdata, “apabila kreditur menolak menerima pembayaran, debitur dapat
melakukan “penawaran pembayaran tunai” dan jika kreditur masih

Tan Thong Kie, Op. cit., hal. 426-427.


59

48
menolaknya, debitur dapat menitipkan uang/barang di kantor panitera
pengadilan negeri di.. “
Ayat 2 pasal ini menyatakan “bahwa debitur yang melakukan penitipan itu
dibebaskan dan apa yang ditulis diatas berlaku sebagai pembayaran, asalkan
dilakukan menurut undang-undang. Apa yang dititipkan menjadi tanggung
jawab kreditur”.
Selanjutnya Pasal 1405 KUH Perdata menetapkan 7 syarat pada penawaran
pembayaran tersebut, semuanya harus dilaksanakan dengan teliti agar
penawaran itu sah dan berlaku, yaitu:60
1. Penawaran harus dilakukan kepada kreditur atau orang yang berkuasa
menerimanya.
2. Penawaran harus dilakukan oleh orang yang berhak untuk membayar.
3. Yang ditawarkan harus sama dengan seluruh jumlah yang dapat dituntut,
ditambah dengan bunga, ongkos yang sudah dibayar dan ongkos yang
belum dibayar dengan ketentuan bahwa harus ada perhitungan kemudian.
4. Penetapan waktu pembayaran sudah tiba apabila ketentuan ini dalam
perjanjian dibuat untuk kepentingan kreditur.
5. Syarat yang menjadi beban utang telah dipenuhi.
6. Penawaran pembayaran telah dilakukan di tempat pembayaran sesuai
dengan perjanjian, dan apabila tidak ada perjanjian khusus tentang tempat
pembayaran atau kepada kreditur sendiri, atau di tempat tinggalnya, baik
di tempat tinggal yang benar maupun tempat tinggal yang dipilih.
7. Penawaran pembayaran telah dilakukan dengan seorang notaris atau
seorang juru sita dengan dua orang saksi.

C. PEMBARUAN UTANG

Tan Thong Kie, Op. cit., hal. 428.


60

49
Diatur dalam Pasal 1413-1424 KUH Perdata. Pembaruan utang pada
dasarnya merupakan penggantian objek atau subjek kontrak lama dengan
objek atau subjek kontrak yang baru.
Macam-macam pembaruan utang yang diatur dalam Pasal 1413 KUH
Perdata, yaitu:61
1. Penggantian objek kontrak.
Pembaruan utang yang berupa penggantian objek kontrak dapat terjadi jika
debitur membuat kontrak utang baru dengan kreditur yang dimaksudkan
untuk menghapuskan utang lama yang hapus karena adanya kontrak baru
tersebut.
2. Penggantian debitur.
Terjadi jika seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur
lama yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya (utangnya).
Pembaruan semacam ini dapat terjadi meskipun tanpa bantuan debitur
lama.
3. Penggantian kreditur.
Terjadi jika suatu kontrak baru mengakibatkan kreditur baru ditunjuk untuk
menggantikan kreditur lama yang telah membebaskan utang debitur.

D. PERJUMPAAN UTANG ATAU KOMPENSASI


Diatur dalam Pasal 1425-1435 KUH Perdata. Apabila dua orang saling
berutang, maka demi hukum terjadilah diantara mereka suatu perjumpaan
utang sejak saat terjadinya saling berutang sampai jumlah utang yang paling
kecil (Pasal 1425 KUH Perdata).
Selanjutnya dikatakan bahwa perjumpaan utang terjadi demi hukum,
bahkan tanpa diketahui oleh para pihak dan kedua utang saling menghentikan
satu dengan yang lain pada saat kedua utang sampai pada jumlah yang sama
besarnya (Pasal 1426 KUH Perdata). Namun apakah semua utang dapat

Ahmadi Miru, Op. cit., hal. 99.


61

50
diperjumpakan?. Rupanya tidak. Syaratnya harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:62
1. Kedua utang tersebut harus berpokok pada sejumlah uang atau sejumlah
barang sejenis yang dapat dihabiskan;
2. Utang harus segera dibayar; dan
3. Bahan makanan seperti beras, gandum dan hasil pertanian yang
penyerahannya tidak dibantah dan harganya diperoleh dari daftar harga
yang biasa di Indonesia.

E. PERCAMPURAN UTANG
Diatur dalam Pasal 1436-1437 KUH Perdata. Dalam Pasal 1436 KUH Perdata
dinyatakan percampuran utang terjadi “apabila kedudukan kreditur dan
debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah suatu percampuran utang
yang menyebabkan piutang dihapuskan”.
Perbedaannya dengan kompensasi,63 adalah dalam kompensasi ada 2
perikatan yang saling menghapus, sedang dalam percampuran utang hanya
ada 1 perikatan yang hapus. Percampuran utang terhadap salah satu debitur
dengan kreditur yang tanggung menanggung tidak membebaskan para debitur
lain lebih dari jumlah yang terutang oleh debitur yang terkena percampuran
utang tsb.
Ilustrasi:
 A, B, C & D bersama-sama secara tanggung menanggung berutang kepada Z
Rp. 10 juta masing2 berturut-turut A Rp. 1 juta, B Rp. 2 juta, C Rp. 3 juta, D
Rp. 4 juta. D lalu menyerahkan barang kepada Z senilai Rp. 5 juta, dan D
menyetujui bahwa Rp. 4 juta diperjumpakan dengan utangnya kepada Z, Z
menyetujuinya. Sehingga A, B, C kini bersama-sama menjadi debitur

Tan Thong Kie, Op. cit., hal. 430.


62

Ibid., hal. 430-431.


63

51
tanggung menanggung untuk utang sejumlah Rp. 6 juta, sedangkan Z
membayar kepada D uang sejumlah 1 juta.

F. PEMBEBASAN UTANG
Diatur dalam Pasal 1438-1443 KUH Perdata. Pembebasan atau
penghapusan adalah suatu perjanjian yang membebaskan debitur.Pembebasan
mirip dengan hibah,64 namun penghapusan tidak melahirkan suatu perikatan
dan tidak ada penyerahan suatu barang atau hak. Pasal 1438 KUH Perdata
menyatakan “pembebasan utang tidak boleh diduga-duga, tapi harus
dibuktikan”. Selanjutnya, Pengembalian asli surat pengakuan utang dibawah
tangan dengan sukarela oleh kreditur kepada debitur adalah cukup sebagai
bukti dari penghapusan utang (Pasal 1439 KUH Perdata).

G. MUSNAHNYA BARANG YANG TERUTANG


Diatur dalam Pasal 1444-1445 KUH Perdata. Pasal 1444 ayat 1 KUH Perdata
menyatakan “jika barang yang diperjanjikan yang menjadi pokok perjanjian
musnah, tak dapat diperdagangkan lagi atau hilang maka perikatan hapus”.
Selanjutnya “bahkan meski debitur terlambat menyerahkannya, sedangkan ia
sebelumnya tidak menanggung hal-hal yang tidak terduga, maka perikatan
hapus, asalkan debitur dapat membuktikan bahwa barang tersebut akan
musnah juga meski sudah di tangan kreditur. Debitur wajib membuktikan hal
tak terduga tersebut (Pasal 1444 ayat 2 KUH Perdata).

H. KEBATALAN ATAU PEMBATALAN


Kebatalan (nietigheid) diartikan sebagai batal absolut atau batal demi
undang-undang atau batal demi hukum.Suatu tindakan yang batal absolut

Ibid., hal. 431.


64

52
tidak menyebabkan suatu akibat (contoh dalam Pasal 1469 KUH
Perdata).65Kebatalan atau batal demi hukum suatu kontrak terjadi jika
perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya kontrak.
Adapun pembatalan, terkait dengan pihak yang melakukan kontrak
(menyangkut kecakapan). Pembatalan juga dapat diminta jika dalam
pembuatan kontrak terdapat unsur paksaan, kekhilafan atau kesesatan atau
penipuan.

I. BERLAKUNYA SYARAT BATAL


Hapusnya perikatan yang diakibatkan oleh berlakunya syarat batal berlaku
jika kontrak yang dibuat oleh para pihak dibuat dengan syarat tangguh atau
syarat batal karena apabila kontrak tersebut dibuat dengan syarat tangguh dan
ternyata syarat yang dijadikan syarat penangguhan tersebut tidak terpenuhi,
kontrak tersebut dengan sendirinya menjadi batal. Demikian pula kontrak yang
dibuat dengan syarat batal, apabila syarat batal tersebut terpenuhi, kontrak
tersebut dengan sendirinya telah batal yang berarti mengakibatkan hapusnya
kontrak tersebut.66

J. KEDALUWARSA
Kedaluwarsa atau lewat waktu juga dapat mengakibatkan hapusnya
kontrak. Mengenai kedaluwarsa diatur dalam Pasal 1967-1993 KUH Perdata.

K. PEMUTUSAN KONTRAK
Pemutusan kontrak merupakan akibat hukum lanjutan dari peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban kontraktual.
Peristiwa tersebut pada umumnya dikaitkan dengan pelanggaran kewajiban
kontraktual salah satu pihak yang mengakibatkan kegagalan pelaksanaan

Ibid., hal. 432.


65

Ahmadi Miru, Op. cit., hal. 109-110.


66

53
kontrak, misalnya wanprestasi, sehingga mengakibatkan kontrak tersebut
diputus. Pemutusan kontrak sebagai akibat adanya pelanggaran kewajiban
kontraktual merupakan salah satu upaya bagi kreditur untuk menegakkan hak
kontraktualnya.67
Dalam ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata ditegaskan “Pihak yang
terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih: memaksa pihak yang
lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau
menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan
bunga”.Pasal tersebut menegaskan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi oleh
debitur maka kreditur dapat menuntut antara lain pemutusan kontrak
ditambah dengan ganti rugi.
Selanjutnya, Pasal 1266 KUH Perdata yang menyatakan “Syarat batal
dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal-balik, andaikata
salahsatu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian
persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan
kepada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat
batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka hakim dengan
melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu
jangka-waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh
lebih dari satu bulan”, Pasal ini menentukan 3 (tiga) syarat untuk berhasilnya
pemutusan kontrak, yaitu:68
1. Harus ada persetujuan timbal balik;
2. Harus ada wanprestasi, untuk itu pada umumnya sebelum kreditur
menuntut pemutusan kontrak, debitur harus dinyatakan lalai (pernyataan
lalai, in mora stelling);

Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 296.


67

Ibid., hal 301.


68

54
3. Putusan hakim (penekanan dari rumusan: ...pemutusan harus dimintakan
kepada Pengadilan...).
a
L. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Sengketa kontrak pada umumnya muncul sebagai akibat adanya
ketidaksepakatan, perbedaan, gangguan, kompetisi atau ketidakseimbangan
diantara para pihak. Jika pada akhirnya sengketa berkembang menjadi lebih
kompleks, maka upaya penyelesaian pada umumnya yang dilakukan atau
dipilih oleh para pihak berkisar pada opsi:
1. Penyelesaian melalui jalur litigasi (in court settlement);
2. Penyelesaian melalui jalur non litigasi (out of court settlement).

M. Yahya Harahap,69 mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa melalui


lembaga peradilan kurang efektif, karena:
a. Penyelesaian perkara yang lambat dan banyak membuang waktu;
b. Biaya mahal;
c. Peradilan tidak responsif terhadap kepentingan umum;
d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa;
e. Kemampuan hakim bersifat generalis;
f. Putusan pengadilan seringkali dijatuhkan tidak disertai dengan
pertimbangan yang cukup rasional.
Penyelesaian sengketa kontrak sebaiknya diupayakan melalui cara yang
cepat, efektif dan efisien. Maka alternatif penyelesaian sengketa kontrak
adalah melalui jalur non litigasi, yaitu melalui Alternative Dispute Resolution
(ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa, antara lain meliputi: negoisasi,
mediasi dan arbitrase.70
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 160.
69

Undang-undang Nomor. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
70

secara tegas menggunakan istilah “Alternatif Penyelesaian Sengketa”. Periksa juga Jimmy Joses
Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, Visi Media, Jakarta, 2011, hal. 12,
memasukkan Konsiliasi sebagai salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa.

55
ADR dipandang sebagai pilihan terbaik, karena:71
a. Bersifat “informal”;
b. Penyelesaian secara “kooperatif” oleh para pihak yang bersengketa;
c. Biaya “murah”;
d. Penyelesaian “cepat”;
e. Menyelesaikan sengketa serta memperbaiki hubungan “masa depan”;
f. Penyelesaian secara “kompromi”;
g. Hasil yang dicapai sama-sama “menang”;
h. Hubungan semakin “mesra”;
i. Tidak antagonistik serta tidak ada dendam;
j. Pemenuhan secara sukarela.
Pada umumnya, asas-asas yang berlaku pada alternatif penyelesaian sengketa
adalah sebagai berikut:72
1. Asas itikad baik, yaitu keinginan dari para pihak untuk menentukan
penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi;
2. Asas kontraktual, yaitu adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk
tertulis mengenai cara penyelesaian sengketa;
3. Asas mengikat, yaitu para pihak wajib untuk mematuhi apa yang telah
disepakati;
4. Asas kebebasan berkontrak, yaitu para pihak dapat menentukan apa saja yang
hendak diatur oleh para pihak dalam perjanjian tersebut selama tidak
bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan. Hal ini berarti pula
kesepakatan mengenai tempat dan jenis penyelesaian sengketa yang akan
dipilih;
5. Asas kerahasiaan, yaitu penyelesaian atau suatu sengketa tidak dapat
disaksikan oleh orang lain karena hanya pihak yang bersengketa yang dapat
menghadiri jalannya pemeriksaan atas suatu sengketa.

M. Yahya Harahap, Op. cit., hal. 169.


71

Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, Visi Media, Jakarta,
72

2011, hal. 11-12.

56
BAB V
PENYUSUNAN ATAU PERANCANGAN KONTRAK

A. PRINSIP-PRINSIP DALAM PENYUSUNAN KONTRAK


Tidak ada ketentuan undang-undang yang mengatur tentang format
kontrak.Yang paling penting untuk diperhatikan oleh para pihak yang
menyusun kontrak adalah terpenuhinya syarat sahnya kontrak (Pasal 1320
KUHPerdata), yaitu:
1. Kesepakatan.
Ini adalah hal yang paling dibutuhkan karena merupakan tumpuan utama
lahirnya kontrak.
2. Kecakapan.
Hal ini berkaitan dengan identitas para pihak yang dicantumkan dalam
kontrak:73
a. Untuk dan atas namanya sendiri;
b. Suami atau Istri yang bertindak berdasarkan persetujuan dari suami
atau istrinya.
c. Sebagai wali ayah atau wali ibu yang menjalankan kekuasaan orangtua
atas anaknya yang masih dibawah umur;
d. Sebagai wali pengampu untuk orang yang berada di bawah
pengampuan;
e. Dalam kedudukannya sebagai pengurus suatu badan hukum;
f. Sebagai kuasa dari orang lain atau badan atau perseroan (bertindak
untuk kepentingan orang atau badan lain yang diwakili);
g. Sebagai ahli waris.

Tan Thong Kie, Op. cit., hal. 674.


73

57
Penulisan identitas dalam kontrak harus dibuat selengkap mungkin untuk
mencegah terjadinya kesalahan dikemudian hari.
3. Adanya hal tertentu.
Yaitu bahwa objek kontrak harus jelas atau secermat mungkin sehingga
tidak keliru dalam menyerahkan atau menerima barang yang diperjanjikan.
4. Adanya sebab yang halal.
Dimana ada beberapa hal yang dilarang oleh undang-undang, apakah
mengenai isi/tujuan perjanjiannya dilarang.
Penjelasan lebih lengkap telah penulis jelaskan dalam BAB II bagian B yaitu
Syarat Sahnya Kontrak pada Diktat ini.

B. PRA PENYUSUNAN KONTRAK


1. Identifikasi para pihak
Para pihak dalam kontrak harus teridentifikasi dengan jelas, apa
kewenangannya sebagai pihak dalam kontrak tersebut, dan pihak dalam
kontrak tersebut tidak boleh bertindak melebihi kewenangan yang ada
pada padanya atau diberikan padanya.
2. Penelitian awal aspek terkait
Penyusunan kontrak harus menjelaskan hak dan kewajiban para
pihak, memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan isi kontrak, misal
unsur pembayaran, ganti rugi, perpajakan, dan lain-lain.
3. Pembuatan Memorandum of Understanding (MoU)
MoU adalah perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan
diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara
detail, karena itu, memorandum of understanding berisikan hal-hal yang
pokok saja. Mengenai kekuatan mengikat dari Mou, karena MoU hanya
merupakan suatu ikatan moral saja, maka tidak ada pengikatan juridis di
antara para pihak, sehingga tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa
kepada para pihak, akan tetapi para pihak dapat

58
menindaklanjuti atau melaksanakan Mou dalam bentuk kontrak supaya
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Negosiasi
Adalah sarana para pihak mengadakan komunikasi dua arah yang
dirancang untuk mencapai kesepakatan atas perbedaan pandangan
terhadap sesuatu hal karena ketidaksamaan kepentingan diantara
mereka.74

C. ANATOMI KONTRAK
Pada dasarnya Akta dibawah tangan memakai bahasa sederhana yang
dengan mudah dimengerti oleh para pihak, sedangkan Akta Notaris memakai
bahasa-bahasa standar yang memang diharuskan dalam pembuatan akta
notaris.
Tidak ada ketentuan undang-undang yang mengatur tentang format
kontrak dibawah tangan. Namun untuk kontrak yang berupa akta notariil
diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004.
Dalam pasal 38 Undang-undang Jabatan Notaris disebutkan: Setiap Akta
terdiri atas:
a. Awal Akta atau kepala Akta;
b. Badan Akta; dan
c. Akhir atau penutup Akta.

Awal Akta atau kepala Akta memuat:


a. Judul Akta;
b. Nomor Akta;
c. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

Salim H.S., Op. cit., hal. 123-126.


74

59
Badan Akta memuat:
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang
mereka wakili;
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan; dan
d. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

Akhir atau penutup Akta memuat:


a. Uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan Akta jika ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan,
dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan
Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa
penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.

Anatomi kontrak notariil sebagai mana yang diatur dalam Undang-undang


Jabatan Notaris tersebut dapat dijadikan acuan dalam pembuatan perjanjian atau
kontrak bawah tangan, sehingga anatomi kontrak bawah tangan pada dasarnya
dibagi ke dalam 3 bagian:
1. Bagian Awal atau Kepala Perjanjian
a. Judul;

60
b. Hari, tanggal, bulan, tahun dan tempat.
2. Bagian Badan Perjanjian
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal.
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan.
3. Bagian Penutup
Uraian tentang penandatanganan.

Dengan rincian sebagai berikut:

JUDUL

KEPALA / PEMBUKAAN
KOMPARISI

ANATOMI KONTRAK PREMIS/PERTIMBANGAN

ISI KONTRAK
PENUTUP

TANDA TANGAN
61
Sehingga secara rinci, anatomi kontrak adalah sebagai berikut:75
1. Judul perjanjian adalah nama perjanjian sesuai dengan isinya. Judul harus
menyebutkan isi perjanjian secara umum atau judul menyiratkan isi
perjanjian;
Contoh:
PERJANJIAN JUAL BELI
PERJANJIAN SEWA MENYEWA
PERJANJIAN KERJA
PERJANJIAN WARALABA
2. Kepala Perjanjian memuat nama hari, tanggal, bulan, tahun, dan tempat
penandatanganan perjanjian;
Contoh:
Pada hari ini, Rabu, tanggal 27 April 2011, di Samarinda, kami yang
bertanda tangan di bawah ini:
3. Komparisi adalah bagian yang mencantumkan identitas para pihak,
meliputi nama, tempat tanggal lahir, pekerjaan, alamat para pihak, dimana
identitas yang dicantumkan adalah sesuai atau mengacu pada dokumen
identitas resmi misalnya KTP atau SIM, KK, Akta Kelahiran (untuk anak
dibawah umur) dan Buku Nikah untuk pihak yang berstatus Suami dan/atau
Istri. Pencantuman identitas harus selengkap-lengkapnya agar
memudahkan para pihak satu sama lain untuk mencari keberadaan pihak
yang lain jika sewaktu-waktu diperlukan. Selanjutnya para pihak yang
tercantum harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa dan dasar hukum
yang memberi kewenangan yuridis untuk bertindak (khususnya untuk
Badan Usaha, Badan Hukum, Ahli Waris, Pengampu/Wali, Orang Tua/wali
untuk anak dibawah umur, Suami – Istri, Kuasa). Bagian ini merupakan

R. Soeroso, Op. cit., hal. 54


75

62
bagian yang menerangkapan pendefinisian para pihak yang terlibat dalam
kontrak.76 Identitas para pihak berikut dasar kewenangan mereka harus
berdasarkan dokumen asli dan sah. Jika diperlukan dokumen-dokumen
tersebut di copy dan dilampirkan bersama perjanjian yang dibuat oleh para
pihak untuk kemudian masing-masing pihak memegang asli perjanjian
berikut lampiran dokumennya.

Contoh 1:
Bertindak Selaku Diri Sendiri
Nama : Safarni Husain
Pekerjaan : Swasta
Tempat dan Tanggal Lahir : Makassar, 20 Januari 1979
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda.
No. KTP : 53662472674722
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.
Selanjutnya disebut Pihak Pertama.

Contoh 2:
Bertindak berdasarkan persetujuan dari suami/istri
Nama : Cut Meutia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat dan Tanggal Lahir : Balikpapan, 2 Januari 1987
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda.
No. KTP : 683672567878923

Hasanuddin Rahman, Op. cit., hal. 80.


76

63
Dalam hal ini bertindak berdasarkan persetujuan dari suaminya, Suparman,
Swasta, lahir di Bontang, 9 Agustus 1985, bertempat tinggal sama dengan
istrinya tersebut di atas, No. KTP. 9087776002399.
Selanjutnya disebut Pihak Pertama.

Atau: (jika domisili suami istri berbeda)

Nama : Cut Meutia


Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat dan Tanggal Lahir : Balikpapan, 2 Januari 1987
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda.
No. KTP : 683672567878923
Dalam hal ini bertindak berdasarkan persetujuan dari suaminya, Suparman,
Swasta, lahir di Bontang, 9 Agustus 1985, bertempat tinggal Jl. Mahoni No.
9, RT. 02, RW. 01, Kelurahan Citra, Kecamatan Gading, Kabupaten Kutai
Timur., No. KTP. 9087776002399.
Selanjutnya disebut Pihak Pertama.
(contoh diatas jika alamat suami dan istri tersebut berbeda berdasarkan
KTP atau berbeda secara domisili).

Contoh 3:
Selaku wali Ayah atau wali Ibu untuk anaknya yang masih dibawah umur
Nama : Sri Retno
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat dan Tanggal Lahir : Tanjung Pinang, 3 Desember 1988
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan

64
Samarinda Utara, Kota Samarinda
No. KTP : 683672567878923
Dalam hal ini bertindak selaku orang tua dan menurut hukum sebagai wali
Ibu untuk mewakili anaknya yang masih dibawah umur, Ahmad Zidane,
Pelajar, ahir di Samarinda, 7 Juni 2008, bertempat tinggal sama dengan
ibunya tersebut di atas. Demikian berdasarkan Penetapan Pengadilan
Negeri Sangatta, Nomor: 13/WALI/PEN/V/2016, tertanggal 14 Oktober
2016.
Selanjutnya disebut Pihak Pertama.

Contoh 4:
Selaku wali pengampu untuk orang yang berada di bawah pengampuan
Nama : Joni Iskandar
Pekerjaan : Swasta
Tempat dan Tanggal Lahir : Denpasar, 6 Juni 1967
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda
No. KTP : 683672567878923
Dalam hal ini bertindak selaku wali pengampu untuk mewakili Siti
Maimunah, Ibu Rumah Tangga, lahir di Samarinda, 7 Juni 1989, bertempat
tinggal di Jl. Mahoni No. 9, RT. 02, RW. 01, Kelurahan Citra, Kecamatan
Gading, Kabupaten Kutai Timur, No. KTP. 6767342678234. Demikian
berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri Sangatta, Nomor:
13/WALI/PEN/V/2016, tertanggal 14 Oktober 2016.
Selanjutnya disebut Pihak Pertama.

Contoh 5:

65
Bertindak selaku kuasa dari orang lain berdasarkan surat kuasa bawah
tangan
Nama : Alex Chandra
Pekerjaan : PNS
Tempat dan Tanggal Lahir : Samarinda, 17 Agustus 1990
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda
No. KTP : 683672567878923
Dalam hal ini bertindak berdasarkan surat kuasa di bawah tangan,
bermeterai cukup, tertanggal 11 April 2011, demikian bertindak untuk dan
atas nama: Maryam Nurhuda, Swasta, lahir di Makassar, 1 Juni 1977,
bertempat tinggal di Jl. Mangga No. 3, RT. 01 RW. 10, Kelurahan Sempaja
Timur, Kecamatan Samarinda Selatan, Kota Samarinda, No. KTP.
56782816821.
Selanjutnya dalam perjanjian ini ini disebut Pihak Kedua.

Contoh 6:
Bertindak selaku kuasa dari orang lain berdasarkan surat kuasa notariil
Nama : Sukmawati
Pekerjaan : Swasta
Tempat dan Tanggal Lahir : Ambon, 5 Mei 1980
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda
No. KTP : 683672567878923
Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa, Nomor. 90, tertanggal 12
Januari 2010, yang dibuat dihadapan Safarni Husain, Notaris di Samarinda,
demikian bertindak untuk dan atas nama: Maryam Nurhuda, Swasta, lahir

66
di Ambon, 14 Mei 1980, bertempat tinggal di Jl. Mangga No. 3, RT. 01 RW.
10, Kelurahan Sempaja Timur, Kecamatan Samarinda Selatan, Kota
Samarinda, No. KTP. 56782816821.
Selanjutnya dalam perjanjian ini ini disebut Pihak Kedua.

Contoh 7:
Bertindak selaku ahli waris (satu-satunya)
Nama : Mulyadi
Pekerjaan : Swasta
Tempat dan Tanggal Lahir : Sangatta, 7 April 1977
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda
No. KTP : 683672567878923
Dalam hal ini bertindak sebagai ahli waris satu-satunya dari Almarhum
Rahman Bin Kasim, berdasarkan Surat Keterangan Ahli Waris, tertanggal 26
Juli 1999 Nomor. 474.3/01013/99-BAG.PEM, yang dikeluarkan Camat
Samarinda Utara.
Selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama atau Pihak Penjual.

Contoh 8:
Bertindak selaku ahli waris (seluruh ahli waris secara bersama-sama atau
keseluruhannya menandatangani perjanjian dan hadir saat perjanjian
ditandatangani)
I. 1. Nama : Lutfi Kasim
Pekerjaan : Swasta
Tempat & Tanggal Lahir : Padang, 10 September 1980
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan

67
Samarinda Utara, Kota Samarinda
No. KTP : 672367234762
2. Nama : Kevin Arjuna
Pekerjaan : Swasta
Tempat & Tanggal Lahir : Ternate, 24 April 1982
Alamat : Jl. Rahayu, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Hilir Rokan, Kecamatan
Samarinda Samarinda, Kota Samarinda
No. KTP : 4124531245132
3. Nama : Sutan Ahmad
Pekerjaan : Swasta
Tempat & Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 21 Mei 1984
Alamat : Jl. Rahayu, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Hilir Rokan, Kecamatan
Samarinda Samarinda, Kota Samarinda
No. KTP : 135126356564
Dalam hal ini kesemuanya bertindak sebagai ahli waris dari Almarhum
Rahman Bin Kasim, berdasarkan Surat Keterangan Ahli Waris, tertanggal 26
Juli 1999 Nomor. 474.3/01013/99-BAG.PEM, yang dikeluarkan Camat
Samarinda Utara.
Selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama atau Pihak Penjual.

Contoh 9:
Bertindak selaku ahli waris (tidak seluruh ahli waris menandatangani
perjanjian dan hadir saat perjanjian ditandatangani, ada ahli waris yang
memberikan kuasa pada ahli waris yang lain yang hadir saat
penandatanganan perjanjian)
I. 1. Nama : Lutfi Kasim
Pekerjaan : Swasta

68
Tempat/Tanggal Lahir : Padang, 10 September 1980
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda
No. KTP : 6778998034590
 Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri dan
selaku kuasa yang bertindak berdasarkan surat kuasa dibawah
tangan, bermeterai cukup, tertanggal 11 April 2011, demikian
bertindak untuk dan atas nama: Sutan Ahmad, Swasta, lahir di Ujung
Pandang, 21 Mei 1984, bertempat tinggal di Jl. Mangga No. 3, RT. 01
RW. 10, Kelurahan Sempaja Timur, Kecamatan Samarinda Selatan,
Kota Samarinda, No. KTP. 245125623456.
2. Nama : Kevin Arjuna
Pekerjaan : Swasta
Tempat/Tanggal Lahir : Ternate, 24 April 1982
Alamat : Jl. Rahayu, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Hilir Rokan, Kecamatan
Samarinda Samarinda, Kota Samarinda
No. KTP : 13451245312456
Dalam hal ini kesemuanya bertindak sebagai ahli waris dari Almarhum
Rahman Bin Kasim, berdasarkan Surat Keterangan Ahli Waris, tertanggal 26
Juli 1999 Nomor. 474.3/01013/99-BAG.PEM, yang dikeluarkan Camat
Samarinda Utara.
Selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama atau Pihak Penjual.

Contoh 10:
Bertindak selaku pengurus dari Badan Hukum (PT)
Nama : Lutfi Kasim
Pekerjaan : Swasta

69
Tempat/Tanggal Lahir : Padang, 10 September 1980
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda
No. KTP : 124565612546
Dalam hal ini bertindak dalam jabatannya sebagai Direktur mewakili untuk
dan atas nama perseroan terbatas PT. Buana Semesta berkedudukan di
Jakarta yang anggaran dasarnya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, tertanggal 22 Maret
1998, Nomor C2-1068. HT.01.01.TH.98, berdasarkan Akta Pendirian
Perseroan Terbatas tertanggal 5 Desember 1997, Nomor 11 yang dibuat
dihadapan Notaris Safarni Husain, Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan,
Notaris di Jakarta.
Selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua atau Pihak Penyewa.

Contoh 11:
Bertindak selaku pengurus dari Badan Hukum (Yayasan)
I. 1. Nama : Lutfi Kasim
Pekerjaan : Swasta
Tempat/Tanggal Lahir : Padang, 10 September 1980
Alamat : Jl. PM. Noor, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda
No. KTP : 5672345624356
2. Nama : Kevin Arjuna
Pekerjaan : Swasta
Tempat/Tanggal Lahir : Ternate, 24 April 1982
Alamat : Jl. Rahayu, No. 26, RT. 46 RW. 11,
Kelurahan Hilir Rokan, Kecamatan

70
Samarinda Samarinda, Kota Samarinda
No. KTP : 5672345624356
Dalam hal ini keduanya bertindak bersama-sama dalam jabatannya
sebagai Pengurus mewakili untuk dan atas nama Yayasan ”Insan Mulia”
berkedudukan di Jakarta yang anggaran dasarnya telah mendapat
pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, tertanggal 22 Maret 2008, Nomor C2-1068. HT.01.01.TH.98,
berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Terbatas tertanggal 5 Desember
1997, Nomor 11 yang dibuat dihadapan Notaris Safarni Husain, Sarjana
Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris di Jakarta.
Selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama atau Pihak Yang
Menyewakan.

4. Premis/recitals adalah penjelasan atau latar belakang mengapa para pihak


mengadakan kontrak atau biasa juga disebut sebagai bagian pertimbangan
dari kontrak.
Contoh:
Kedua belah pihak terlebih dahulu memberikan pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa agar kegiatan usaha Pihak Pertama dapat berdaya guna dan berhasil
guna serta berkembang secara baik, maka Pihak Pertama bersedia
menggunakan jasa Pihak Kedua selaku pihak yang berpengalaman dan
profesional dalam usaha pembiayaan.

Atau untuk ringkasnya dapat dibuat sebagai berikut:


Kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan Perjanjian Sewa Menyewa
dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:

71
5. Bagian Isi adalah bagian yang memuat pasal-pasal. Yang dimaksud dengan
pasal yaitu:
a. pengertian, fungsi, atau syarat-syarat dalam kontrak;
b. bagian dari kontrak yang terdiri dari sejumlah kalimat yang
menggambarkan kondisi dan informasi tentang apa yang disepakati.
Selanjutnya pasal-pasal harus memenuhi syarat-syarat, antara lain:77
1. Urutan.
Dibuat secara kronologis sehingga memudahkan menemukan dan
mengetahui hal-hal yang diatur oleh masing-masing pasal;
2. Ketegasan.
Bahasa yang digunakan sedapat mungkin menghindari kata-kata yang
dapat menimbulkan interpretasi. Bunyi pasal harus tegas dan tidak
mengambang;
3. Keterpaduan.
antara 1 ayat dgn ayat lainnya, antara 1 kalimat dgn kalimat lainnya
dalam satu pasal harus ada keterpaduan, ada hubungan satu sama lain;
4. Kesatuan.
Satu pasal mencerminkan satu kndisi, namun satu pasal dengan pasal
yang lain saling mendukung;
5. Kelengkapan.
Pasal-pasal dalam kontrak harus lengkap informasinya.
Bagian Isi, terdiri atas:
a. Klausul Defenisi adalah bagian memuat berbagai defenisi atau istilah
atau pengertian yang digunakan dalam seluruh kontrak;
b. Klausul Transaksi adalah bagian yang berisi tentang hal-hal yang
disepakati oleh para pihak atau transaksi yang sedang dilakukan;

Ibid., hal. 84-85.


77

72
c. Klausul Spesifik adalah bagian yang berisi tentang hal-hal khusus sesuai
dengan karakteristik kontrak. Klausul spesifik masing-masing kontrak
berbeda;
d. Klausul Ketentuan Umum adalah bagian yang berisi tentang hal-hal
yang menyangkut kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selama
berlangsungnya atau selama masa berlakunya kontrak, seperti: domisili
hukum, penyelesaian sengketa, dan lain-lain.
Namun, penggunaan klausul-klausul tersebut diatas adalah tergantung
pada jenis dan kebutuhan perjanjian yang dibuat.

6. Bagian Penutup
Setidaknya ada 4 (empat) hal yang perlu diingat mengenai bagian ini,
yaitu:78
a. Sebagai penekanan bahwa kontrak ini adalah alat bukti;
Contoh: “Perjanjian ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) masing-masing
bermeterai cukup yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, untuk
masing-masing pihak.”
b. Sebagai bagian yang menyebutkan tempat pembuatan dan
penandatanganan;
Contoh: “Demikian perjanjian ini, ditandatangani oleh kedua belah
pihak di Samarinda, pada hari .. dan seterusnya.”
c. Sebagai ruang untuk menyebutkan saksi-saksi dalam kontrak;
Contoh: ..... serta Ahmad Yani dan Ahmad Dani masing-masing sebagai
saksi-saksi dalam perjanjian ini, ...dan seterusnya.
Namun, untuk penempatan nama saksi pada akta dibawah tangan pada
umumnya cukup ditempatkan pada ruang tanda tangan dibawah ruang
tanda tangan para pihak.

Ibid., hal. 91
78

73
d. Sebagai ruang untuk menempatkan tanda tangan para pihak yang
berkontrak.
Contoh 1: Jika Pihak Pertama dan Pihak Kedua masing-masing hanya
terdiri dari 1 orang, berikut 2 (dua) orang saksi.

Pihak Pertama, Pihak Kedua,

Irfan Bachdim Bambang Pamungkas

Saksi-saksi:
1. Raisa _________________
2. Isyana _________________

Contoh 2: Jika salah satu pihak yang mengadakan perjanjian berstatus


dalam pernikahan misalnya dalam hal ini adalah Pihak Kedua, berikut 2
(dua) orang saksi.
Pihak Pertama, Pihak Kedua,

Irfan Bachdim Bambang Pamungkas


Persetujuan Istri,

Susi Susanti

Saksi-saksi:
1. Raisa _________________

74
2. Isyana _________________

Contoh 3: Jika salah satu pihak yang mengadakan perjanjian berjumlah


lebih dari 1 (satu) orang (bisa jadi karena mereka berkedudukan sebagai
ahli waris, mewakili perusahaan, dll) misalnya dalam hal ini adalah
Pihak Pertama, berikut 2 (dua) orang saksi.
Pihak Pertama, Pihak Kedua,

1. Bambang Pamungkas Irfan Bachdim

2. Chica Koeswoyo

3. Rinto Harahap

4. Katon Bagaskara

Saksi-saksi:
1. Raisa _________________
2. Isyana _________________

D. PRAKTEK PENYUSUNAN ATAU PERANCANGAN KONTRAK


Contoh:
PERJANJIAN SEWA MENYEWA

Pada hari ini, Selasa, 16 Desember 2011, di Samarinda, yang bertanda tangan di
bawah ini:
1. Nama : Irfan Bachdim
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

75
Tempat dan Tanggal Lahir : Samarinda, 9 Maret 1989
Alamat : Jl. Sungai Mahakam No. 26, RT. 09 RW. 01,
Kelurahan Baru, Kecamatan Baru Jadi, Kota
Samarinda
No. KTP : 10000292765
Dalam hal ini bertindak sebagai ahli waris satu-satunya dari Almarhum
Rahman Bin Kasim, berdasarkan Surat Keterangan Ahli Waris, tertanggal 26
Juli 1999 Nomor. 474.3/01013/99-BAG.PEM, yang dikeluarkan Camat
Samarinda Utara.
Selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.

2. Nama : Bambang Pamungkas


Pekerjaan : Swasta
Tempat dan Tanggal Lahir : Buton, 12 Januari 1980
Alamat : Jl. Sungai Mahakam No. 26, RT. 09 RW. 01,
Kelurahan Baru, Kecamatan Baru Jadi, Kota
Samarinda
No. KTP : 17889899998764
Dalam hal ini bertindak dalam jabatannya sebagai Direktur dari dan selaku
demikian sah mewakili untuk dan atas nama perseroan terbatas PT. Arta Mitra
berkedudukan di Samarinda yang anggaran dasarnya telah mendapat
pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia, tertanggal 22-03-
1998, Nomor. C2-1068.HT.01.01.TH.98, berdasarkan akta pendirian Perseroan
Terbatas tertanggal 5-12-1996, Nomor 11, yang dibuat dihadapan Notaris
Badrul Zaman, Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris diSamarinda.
Selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.

76
Kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan Perjanjian Sewa Menyewa dengan
ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:
PASAL 1
OBJEK SEWA
Pihak Pertama dengan ini menyewakan kepada Pihak Kedua sebuah bangunan
Rumah Toko (RUKO) yang berdiri diatas sebidang Tanah Hak Guna Bangunan
Nomor: 524/Desa/Kelurahan Mahakam Selatan, seluas 126 m2, terletak di Provinsi
Kalimantan Timur, Kota Samarinda, Kecamatan Samarinda Timur, Kelurahan
Mahakam Selatan, diuraikan dalam Surat Ukur, tanggal 04-09-2007, Nomor:
00618/SPJS/2007, yang dikeluarkan oleh Kepala BPN Kota Samarinda, tertanggal
02-10-2007, terdaftar atas nama: RAHMAN SUAIB, setempat dikenal sebagai
Komplek Toko dan Perkantoran Jl. Bumi Asri No. 100, RT. 01, RW. 02, Kelurahan
Mawar, Kecamatan Melati, Kota Samarinda.
Bangunan RUKO tersebut dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas sebagai berikut:

77
a. Fasilitas listrik dari PT. PLN sebesar 2400 Voltage.
b. Fasilitas sambungan pesawat telepon dari PT.TELKOM nomor 0541 220225.
c. Fasilitas air bersih dari PDAM Tirta Mahakam.
d. 2 buah Air Conditioner 2 PK, Merk Samsung

PASAL 2
MASA SEWA
Perjanjian sewa menyewa ini berlangsung untuk jangka waktu 10 tahun, terhitung
mulai tanggal 17 Maret 2011 dan akan berakhir pada tanggal 16 Maret 2021.

PASAL 3
HARGA SEWA
Perjanjian Sewa Menyewa ini disepakati oleh kedua belah pihak dengan harga Rp.
450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah). Jumlah mana akan dibayar
oleh Pihak Kedua secara angsuran sebanyak 3 (tiga) tahap ke BNI Cabang Univ.
Mulawarman, No. Rekening 091233 4567 atas nama: Irfan Bachdim, dengan
rincian sebagai berikut:
a. Angsuran tahap pertama akan dibayar pada tanggal 17-03-2011 sebesar Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
b. Angsuran tahap kedua akan dibayar pada tanggal 17-03-2012 sebesar Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
c. Angsuran tahap ketiga akan dibayar tanggal 17-03-2013 sebesar Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Jumlah uang sewa tersebut telah sama-sama disetujui oleh kedua belah pihak,
sehingga masing-masing pihak selama berlangsungnya sewa menyewa ini tidak
berhak menaikkan atau menurunkan jumlah uang sewa dengan dalih apapun.

PASAL 4
PERUNTUKAN

78
Pihak Kedua hanya boleh mempergunakan bangunan tersebut sesuai
peruntukannya yaitu sebagai kantor.

PASAL 5
PEMELIHARAAN DAN PERBAIKAN
a. Pihak Kedua berkewajiban untuk memelihara bangunan yang disewanya itu
sebaik-baiknya.
b. Pihak Kedua berkewajiban memperbaiki kerusakan atas bagian-bagian pada
bangunan yang disewanya tersebut jika kerusakan diakibatkan oleh Pihak
Kedua.
c. Segala biaya pemeliharaan dan perbaikan tersebut diatas menjadi tanggung
jawab dan dipikul oleh Pihak Kedua.

PASAL 6
PERUBAHAN OBJEK SEWA
Pihak Kedua diperbolehkan melakukan perubahan terhadap interior bangunan
dengan persetujuan Pihak Pertama dengan biaya ditanggung oleh Pihak Kedua
serta Pihak Kedua berkewajiban mengembalikan kembali ke bentuk semula
sebelum masa sewa berakhir.

PASAL 7
JAMINAN
a. Pihak Pertama menjamin bahwa bangunan ruko yang disewakan tersebut
adalah benar milik Pihak Pertama.
b. Pihak Pertama menjamin bahwa bangunan ruko yang disewakan tersebut tidak
sedang menjadi objek sengketa, tidak sedang dijaminkan atau dalam
penguasaan pihak lain.
c. Pihak Pertama menjamin bahwa selama perjanjian sewa menyewa ini berlaku
Pihak Kedua tidak akan mendapat gangguan dari Pihak Pertama, demikian juga

79
dari pihak-pihak lain yang menyatakan dan mengakui (turut) memiliki apa yang
disewakan menurut Perjanjian ini.

PASAL 8
PERALIHAN SEWA
Sewa menyewa ini tidak dapat dialihkan oleh Pihak Kedua kepada pihak lain,
kecuali setelah mendapat izin tertulis terlebih dahulu dari Pihak Pertama.

PASAL 9
FORCE MAJEURE
a. Kerusakan bangunan yang dikarenakan kesalahan struktur bangunan, bencana
alam, huru hara, kebakaran serta keadaan diluar kekuasaan (force majeure)
yang bukan merupakan kesalahan dari Pihak Kedua, maka Pihak Kedua
terbebas dari ganti rugi dan segala tuntutan Pihak Pertama atas kerusakan
tersebut.
b. Bila terjadi keadaan diluar kekuasaan (force majeure) yang mengakibatkan
rusaknya keseluruhan bangunan maka perjanjian sewa menyewa ini berakhir
demi hukum.
c. Adapun kebakaran yang dapat dibuktikan timbul akibat kesalahan dan
kelalaian Pihak Kedua, maka Pihka Kedua berkewajiban membayar ganti rugi
atau menanggung biaya atas perbaikan kerusakan akibat kebakaran tersebut.
d. Namun apabila keadaan diluar kekuasaan (forcemajeure) terjadi hanya
mengakibatkan rusaknya sebagian atas bangunan yang disewa dan masih layak
ditempati dan dipergunakan maka penyewa diperbolehkan untuk memilih
untuk meneruskan masa sewanya atau meminta pengakhiran perjanjian sewa
menyewa dan tidak berhak meminta sisa uang masa sewa.

PASAL 10
PERPANJANGAN SEWA

80
Apabila Pihak Kedua bermaksud untuk memperpanjang masa sewa maka Pihak
Kedua harus memberitahukan kepada Pihak Pertama paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum masa sewa berakhir .

PASAL 11
BERAKHIRNYA SEWA
Perjanjian sewa menyewa ini tidak akan berakhir karena meninggalnya salah satu
pihak, demikian pula dalam hal jika terhadap bangunan yang disewakan tersebut
dijual.

PASAL 12
PENYERAHAN KEMBALI
a. Pada saat perjanjian ini sebagaimana termaksud dalam pasal 2 perjanjian ini
berakhir, Pihak Kedua berjanji dan oleh karenanya berkewajiban menyerahkan
kembali secara langsung tanpa perantara kepada pihak Pertama, segala
sesuatu yang disewa ini dalam keadaan baik dan siap untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya paling lambat 7 (tujuh) hari setelah berakhirnya masa
sewa.
b. Bila perjanjian sewa menyewa ini terhenti disebabkan oleh musnah karena
kebakaran, gempa bumi atau karena sebab lainnya, dan segala sesuatu yang
disewa ini terbukti tidak layak lagi untuk ditempati maka Pihak Kedua wajib
mengembalikan kepada Pihak Pertama, Pihak Kedua diharuskan untuk
mengembalikan bangunan tersebut dalam keadaan kosong, sedangkan Pihak
Pertama tidak berkewajiban untuk mengembalikan sisa uang harga sewa untuk
masa sewa yang masih belum berjalan.

PASAL 13
PAJAK

81
Pihak Pertama berkewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh) adapun Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) dibayar oleh Pihak Kedua.

PASAL 14
PENYELESAIAN SENGKETA
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian ini, maka akan diselesaikan
secara musyawarah mufakat, namun jika mufakat tidak tercapai maka para pihak
memilih domisili hukum di Pengadilan Negeri di Samarinda.

PASAL 15
KETENTUAN LAIN
Segala perubahan atas perjanjian ini dan hal-hal lain yang belum atau tidak cukup
diatur dalam Perjanjian ini, akan ditetapkan dan disepakati secara musyawarah
oleh kedua belah pihak dan akan dituangkan dalam suatu Addendum atau
Amandemen yang berlaku efektif setelah ditandatangani para pihak yang menjadi
satu kesatuan dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Perjanjian ini.

Demikian Perjanjian Sewa Menyewa ini dibuat dalam 2 (dua) rangkap untuk
masing-masing pihak dan ditandatangani diatas meterai secukupnya serta masing-
masing mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang
saksi sebagai berikut:
1. Raisa Adriana, Swasta, lahir di Samarinda, 20 Agustus 1978, bertempat tinggal
di Jl. Mahakam No. 11, RT. 01, RW. 12, Kelurahan Mahakam, Kecamatan
Mahakam Hulu, Kota Samarinda.
2. Isyana Sarasvati, Swasta, lahir di Balikpapan, 7 Juli 1985, bertempat tinggal di
Jl. Bakti No. 12, RT. 09, RW. 07, Kelurahan Bunga Melati, Kecamatan Matahari,
Kota Samarinda.

Pihak Pertama, Pihak Kedua,

82
Irfan Bachdim
Bambang Pamungkas

Saksi, Saksi,

Raisa Adriana Isyana Sarasvati

Atau:

Pihak Pertama, Pihak Kedua,

Irfan Bachdim Bambang Pamungkas

Saksi-saksi:
1. Raisa _________________

2. Isyana _________________

83

Anda mungkin juga menyukai