harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Hal
yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, jadi mereka
Orang yang mengadakan suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya
setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut
hukum. Menurut KUH Perdata, yang dimaksud dewasa adalah mereka yang telah berusia 21
Orang-orang yang tidak cakap menurut hukum sehingga tidak cakap membuat suatu
2. Mereka yang berada dibawah pengampuan, misalnya orang-orang yang sakit igatan
yang masih bersuami dalam pasal 108 KUH Perdata) dan semua orang kepada siapa
Mengenai pint ketiga sejak dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 3 Tahun 1963 tidak berlaku lagi, yaitu seorang perempuan yang sudah bersuami telah
dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan
menghadap dimuka pengadilan tanpa seizin suami, maka sejak saat itu beberapa pasal dalam
KUH Perdata sudah dinyatakan tidak berlaku lagi, antara lain pasal 108, 110, 284 ayat (3)
barang dalam perjanjian itu. Mengenai barang sudah ada atau sudah berada ditangan pihak
yang berkepentingan pada waktu perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh undang-undang,
Suatu sebab yang halal yang dimaksud disini adalah isi atau tujuan dari perjanjian itu
sendiri. sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan undang-undang kesusilaan dan
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-
perjanjian dapat dijumpai?Sebab perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi.
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif,yaitu syarat mengenai orang-orang atau
penilaian tersebut telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orang
atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan
syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan
Keempat syarat tersebut merupakan sesuatu yang mutlak dan harus dipenuhi dalam
mengadakan suatu perjanjian. Tidak dipenuhinya salah satu syarat maka akan berakibat
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas hukum yang berkaitan dengan lahirnya suatu
perjanjian, isi perjanjian, kekuatan mengikatnya perjanjian serta pelaksanaan dari suatu
a. Asas konsensualisme
3. 1. Asas konsensualisme
berasal dari bahasa latin "consensus" yang berarti sepakat. Asas konsensualisme terjadi
karena adanya kata sepakat atau kehendak yang bebas dari para pihak yang membuat
Persetujuan yang dibuat secara sah berdasar Pasal 1338 KUH Perdata tersebut menunjuk
pada Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian, terutama
pada butir 1, yaitu sepakat mereka mengikatkan dirinya (konsensus). Dengan demikian
berdasar asas konsesualisme, perjanjian itu terjadi atau lahir pada saat tercapainya kata
sepakat atau konsensus dari para pihak yang mengikatkan dirinya. Dengan perkataan lain,
1
Subekti, ibid, hal. 17
perjanjian itu sudah sah apabila sudah disepakati mengenai hal-hal pokok dan tidaklah
Asas kebebasan berkontrak ini erat kaitannya dengan isi, bentuk dan jenis dari perjanjian
yang dibuat. Asas kebebasan berkontrak ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (l)
KUH Perdata yaitu pada intinya semua persetujuan yang dibuat secara sah adalah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari asas tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa :
perjanjian
5). Setiap orang bebas menentukan hukum yang berlaku bagi perjanjian
yang dibuat
Menurut asas ini masyarakat diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk membuat
ketentuan sendiri atau mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan dengan siapa saja,
namun para pihak tidak diperbolehkan mengadakan perjanjian yang bertentangan dengan
Dengan adanya asas kebebasan berkontrak maka dapat disimpulkan bahwa sistem hukum
perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya para pihak boleh mengadakan perjanjian apa
saja meskipun belum atau tidak diatur dalam KUH Perdata. Dengan demikian KUH Perdata
memberikan kemungkinan untuk lahirnya perjanjian jenis baru, diluar yang telah disebutkan
dalam KUH Perdata. Konsekuensi dari adanya sistem terbuka dari hukum perjanjian maka
sifat dari ketentuan hukum perjanjian adalah sebagai hukum pelengkap (aanvullend recht)
yang berarti bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam Buku III KUH Perdata tersebut dapat
disimpangi berlakunya oleh para pihak apabila mereka sudah menentukan sendiri ketentuan
perjanjian diantara mereka. Akan tetapi apabila para pihak tidak menentukan sendiri maka
Asas pacta sunt servanda berhubungan dengan akibat perjanjian. Akibat dari asas ini
para pihak harus mentaati perjanjian yang telah mereka buat sebagaimana layaknya mentaati
undang-undang. Para pihak tidak boleh menarik kembali kesepakatan yang telah disepakati
selain dengan kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini ditegaskan melalui Pasal 1338 ayat (1)
dan (2) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (1) menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat
secara sah adalah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Memperkuat pernyataan ayat (1), Pasal 1338 ayat (2) menyatakan bahwa suatu perjanjian
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan
Asas itikad baik berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian sehingga suatu perjanjian
haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat
(3) KUH Perdata yang menentukan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
Itikad baik dalam arti obyektif yaitu itikad baik dalam pelaksanaan
dan kesusilaan.
Dalam pelaksanaan asas itikad baik ini, hakim diberi kekuasaan untuk
2
Subekti, op. cit, hal. 41
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, Wanprestatie yang berarti : prestasi
“Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia
melakukan “wanprestasi’. Ia alpa atau “lalai” atau ingkar janji. Ia melanggar perjanjian, bila
Dalam menghadapi debitur yang wanprestasi tersebut kreditur dapat menuntut salah satu dari 5
kemungkinan sebagai berikut :
1. Dapat menuntut pembatalan / pemutusan perjanjian.
2. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
3. Dapat menuntut pengganti kerugian.
4. Dapat menuntut pembatalan dan pengganti kerugian.
5. Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.
Dalam hubungannya dengan akibat wanprestasi, yaitu masalah ganti kerugian Subekti
menyatakan bahwa :
“Ganti kerugian sering diperinci dalam tiga unsur yaitu : biaya, rugi dan bunga. Biaya
adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh
satu pihak. Rugi adalah satu kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan
kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.” 24
23 Subekti, Op. Cit., hal 53.
24 Subekti, Op.Cit.hal. 47
Pada dasarnya ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur hanyalah kerugian yang berupa
sejumlah uang, oleh karena itu bentuk atau wujud dari penggantian kerugian tersebut juga harus
berbentuk uang.25
Lebih lanjut R. Setiawan menentukan ukuran ganti rugi, yaitu sebagai berikut :
1. Ukuran obyektif, yaitu harus diteliti berapa kerugian pada umumnya dari seorang
kreditur dalam keadaan yang sama seperti kreditur yang bersangkutan.
2. Keuntungan yang akan diperoleh disebabkan karena adanya perbuatan wanprestasi. 26
Wanprestasi tidak selalu terjadi dengan sendirinya, teutama pada perikatan yang tidak
dengan ketentuan waktu, sehingga tidak ada kepastian kapan ia betul-betul wanprestasi. Jalan
keluar untuk mendapatkaan kapan debitur itu wanprestasi, maka undang-undang memberikan
upaya hukum dengan suatu pernyataan lalai (sommasi, ingebrekstelling), yang menurut Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada
tergugat dapat dianggap sebagai pernyataan lalai.
"Jika barang yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan maka barang itu sejak
saat pembelian adalah tanggungan si pembeli meskipun penyerahannya belum dilakukan dan
si penjual berhak menuntut harganya". Oleh karena itu dalam jual beli apabila barang tersebut
musnah meskipun belum diserahkan maka menjadi tanggung jawab pembeli atau kreditur.
Pasal 1460 KUH Perdata ini dirasakan tidak adil karena pembeli harus menanggung
risiko padahal pembeli belum menjadi pemilik karena belum ada penyerahan barang yang
dibelinya. Pasal ini rnerupakan sisa pengaruh Code Civil Perancis. Di dalam Code Civil
Perancis penyerahan barang (levering) jatuh bersamaan dengan saat lahirnya perjanjian.
Setelah dirasakan ternyata tidak adil dan tidak cocok dengan asas hukum di Indonesia maka
Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3
Tahun 1963 yang isinya tentang anjuran kepada seluruh hakim di Indonesia agar tidak
memberlakukan beberapa pasal tertentu dalam KUH Perdata diantaranya adalah Pasal 1460
KUH Perdata.
Meskipun peraturan mengenai risiko tersebut saling bertentangan yaitu antara Pasal 1460
dengan 1545 dan Pasal 1553 KUH Perdata, akan tetapi yang digunakan sebagai asas yang
berlaku umum untuk perjanjian timbal balik adalah Pasal 1545 dan Pasal 1553 KUH Perdata
yang menentukan, bahwa risiko ditanggung oleh pemilik barang atau debitur. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya segala sesuatu mengenai risiko ini adalah tergantung kesepakatan para
perjanjian. Akan tetapi ada kalanya suatu perjanjian berakhir tidak sesuai dengan apa yang
telah diperjanjikan.
Berakhirnya perjanjian harus dibedakan dengan berakhirnya suatu perikatan, sebab dengan
berakhirnya perikatan belum tentu perjanjian menjadi berakhir. Ada kemungkinan suatu
perikatan telah hapus sedangkan perjanjian yang merupakan sumbernya masih tetap ada,
misalnya perjanjian sewa menyewa, dengan dibayarnya uang sewa oleh penyewa tidak
Apabila dalam suatu perjanjian semua perikatan-perikatan telah berakhir, maka berakhir
pulalah seluruh perjanjian tersebut. Dalam hal demikian berakhirnya seluruh perikatan yang
berakhirnya suatu perjanjian dapat mengakibatkan berakhirnya seluruh perikatan yang ada
dalam perjanjian tersebut. Hal ini dapat terjadi pada perjanjian yang berakhir karena
perikatan-perikatan yang ada berakhir. Perikatan-perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi
dan segala apa yang telah dipenuhi harus berakhir. Akan tetapi dapat juga terjadi suatu
perjanjian berakhir untuk waktu selanjutnya dan kewajiban yang telah ada tetap ada.
Suatu perjanjian berakhir pada saat yang telah ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian.
2. Batas berlakunya suatu perjanjian ditentukan oleh undang-undang, misalnya hak untuk
membeli kembali suatu barang yang telah dijual tidak boleh diperjanjikan lebih dari 5 (lima)
3. Apabila terjadi suatu peristiwa tertentu yang oleh para pihak atau undang-undang telah
ditentukan sebagai sebab yang akan mengakibatkan berakhirnya perjanjian, misalnya apabila
salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian akan menjadi hapus (pasal 1603
KUHPerdata).
Apabila ada pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging). Hal ini dapat dilakukan oleh
kedua belah pihak, dengan memperhatikan tenggang waktu. Opzegging ini hanya ada pada
5. Berakhirnya perjanjian karena putusan hakim. Hal ini terjadi apabila ada tuntutan (yang
1. Pengertian Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere yang artinya percaya.
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan pinjam meminjam
antara pihak yang meminjamkan dengan pihak lain dalam hal dimana pihak peminjam
demikian dasar dari kredit adalah kepercayaan.3 Dilihat dari sudut ekonomi, kredit
dan atau suatu barang tidak dilakukan bersamaan pada saatnya penerimaan, melainkan
yakni H.M.A. Savelberg menyatakan bahwa kredit merupakan dasar setiap perikatan
(verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain sebagai
jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan
untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu. 4 Menurut Mr. J.A. Levy
merumuskan arti hukum dari kredit yakni menyerahkan secara sukarela sejumlah uang
untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit, penerima kredit berhak
3
Mgs. Edy Putra, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 1.
4
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, 1991, hlm. 24.
5
Loc.cit., Mgs. Edy Putra The’aman, 1986.
oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dari prestasi itu akan dikembalikan lagi pada
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian kredit yang
diberikan oleh Savelberg dan Muchdarsyah menunjukkan pada pengertian kredit pada
umumnya, yang dapat dilihat pada kata setiap perikatan dan kata pemberian prestasi
yang mengandung pengertian bahwa perikatan atau prestasi itu dapat terjadi atas uang,
barang atau kedua-duanya. Adapun pengertian kredit yang diberikan oleh Levy sudah
Tahun 1998 tentang Perbankan telah ditegaskan pengertian kredit, yakni penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga.
lain (debitur) dengan syarat-syarat dan kewajiban tertentu yang harus dipenuhi disebut
perjanjian kredit. Pada praktiknya, di dalam perjanjian kredit, penerima kredit tidak
bebas untuk menentukan sendiri tujuan dari penggunaan kredit. Penggunaan kredit juga
Dewasa ini kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit
mengangkat uang sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi
pinjam meminjam yang diatur dalam buku ketiga KUHPerdata sebagaimana diatur
perjanjian peminjaman pada umumnya. Oleh karena itu, segala ketentuan yang
berkaitan dengan perjanjian pinjam-meminjam barang yang habis dipakai berlaku juga
b. Peminjam berhak menuntut ganti rugi apabila barang jaminan rusak atau
harganya dalam hal mana harus diperhatikan waktu dan tempat dimana
KUHPerdata)
7
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, hlm. 45.
c. Apabila waktu dan tempat tidak ditentukan, maka peminjam diwajibkan
melakukan pelunasan menurut harga barang pinjaman pada waktu dan tempat
c. Jika telah diadakan perjanjian bahwa pihak yang telah meminjam suatu barang
atau sejumlah uang yang akan mengembalikannya bila ia mampu untuk itu,
Dalam suatu kehidupan masyarakat, hutang atau pinjam uang adalah suatu hal yang
dapat dikatakan juga bahwa setiap orang pernah melakukan perjanjian pinjam-
meminjam uang. Bagi debitur dalam memperoleh jaminan uang diisyaratkan untuk
menyerahkan barang miliknya atau atas namanya, yang dipakai sebagai jaminan atau
tanggungan. Maka dapat dinyatakan bahwa jaminan adalah suatu yang diberikan
kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi
kewajibannya yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. 8
kewajiban pokok pinjaman ialah mengembalikan pinjaman dalam jumlah dan keadaan
kredit tersebut yang berupa pemberian kredit investasi atau kredit modal kerja
kredit yang diberikan untuk pengadaan barang modal maupun jasa yang
bersangkutan. Sedangkan kredit modak kerja adalah kredit yang diberikan untuk
Dalam perjanjian ini diartikan bahwa pemberian kredit yang diberikan oleh
bank kepada nasabahnya hanya dibuat diantara mereka saja yakni antara debitur
dengan kreditur tanpa seorang Notaris. Dalam perjanjian kredit bank, akta di
bawah tangan yang dimaksud sudah dibuat dan disiapkan oleh pihak Bank
(kreditur) dan hanya tinggal disepakati oleh pihak nasabah (debitur) saja. Akta di
bawah tangan ini memiliki kekuatan hukum pembuktian seperti layaknya akta
notarill, bilamana tanda tangan yang terdapat dalam akta tersebut diakui oleh
yang menandatangani. Dalam hal pembuktian dihadapan hakim, jika salah satu
pihak mengajukan bukti akta di bawah tangan dan akta tersebut dibantah oleh
pihak lawan, maka pihak yang telah mengajukan bukti akta di bawah tangan
akta otentik atau notarill. Akta di bawah tangan diatur dalam Pasal 1874
KUHPerdata.
2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan seorang Notaris (Akta
Dalam perjanjian ini, pihak yang menyiapkan dan membuat perjanjian adalah
Notaris, akan tetapi dalam prakteknya semua ketentuan dalam perjanjian kredit
disiapkan oleh kreditur itu sendiri, yang kemudian diberikan kepada Notaris
untuk dirumuskan kedalam akta notarill. Dalam hal pembuktian akta notarill atau
otentik ini memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya bahwa akta
otentik dianggap benar dan sah tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki
bantahan dari pihak lawan dalam hal pembuktian didepan hakim, maka pihak
bantahannya tersebut.
Akta notariil atau akta otentik ini diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang
menyatakan suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang
Syarat sah suatu perjanjian kredit sama halnya dengan syarat sah perjanjian dalam
1. Sepakat
2. Kecakapan
Perjanjian kredit tunduk pada ketentuan hukum perjanjian. Hal ini didasarkan pada
Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu bahwa semua perjanjian baik mempunyai nama khusus
maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama khusus, tunduk pada peraturan-
peraturan umum.
Pada umumnya perjanjian dibuat agar tujuan dari perjanjian dapat berjalan sesuai
dengan kesepakatan para pihak. Apabila tujuan dari perjanjian telah tercapai, maka hal
tersebut dapat menjadi alasan berakhirnya perjanjian kredit. Salah satunya yang
menjadi dasar dari berakhirnya suatu perjanjian kredit adalah karena tujuan dari
perjanjian telah tercapai. Bahwa masing-masing pihak dalam perjanjian kredit telah
Perjanjian dan perikatan mempunyai hubungan yang sangat erat. Lahirnya perjanjian
karena perjanjian, maka pada saat perjanjian itu telah berakhir akan menyebabkan
tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi sebab berakhirnya perikatan dalam
a. Pembayaran
Pembayaran merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik berupa
wajib dibayar lunas oleh debitur secara sukarela. Dalam arti yang sangat luas,
tidak hanya dari pihak pembeli saja yang membayar uang harga pembelian,
“melever” barang yang dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan
hanya si berutang (debitur) tetapi juga seorang kawan berutang dan seorang
dipenuhi juga oleh pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, selama
pihak ketiga yang bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si
seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan
karenanya.
memegang surat piutang yang bersangkutan adalah sah. Dan pembayaran yang
dilakukan kepada si berpiutang, jika ia tidak cakap adalah tidak sah, melainkan
barang berada sewaktu perjanjian ditutup adalah sama dengan ketentuan dalam
Pasal 1477 KUHPerdata dalam jual beli, dimana tempat tersebut ditunjuk
dimana yang dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu, jadi uang atau barang
yang berupa uang. Dengan demikian utang-utang yang berupa uang pada
b. Subrogasi
1400 sampai dengan Pasal 1403 KUHPerdata. Subrogasi dapat terjadi baik
berpiutang, maka agar subrogasi itu sah baik perjanjian pinjam uang
maupun tanda pelunasan harus dibuat dengan akta otentik dan dalam surat
perjanjian pinjam uang harus diterangkan, bahwa uang itu dipinjam untuk
c. Novasi
dihapuskan karenanya.
3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk
dari perikatannya.
dua dan tiga dinamakan novasi subyektif. Karena yang diperbaharui adalah
dua maka novasi itu dinamakan subyektif passif, sedangkan apabila yang
d. Kompensasi
dan kedua utang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat
sama.
Agar dua utang tersebut dapat diperjumpakan, perlu dua utang itu seketika
dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Kalau
yang satu dapat ditagih sekarang tetapi yang lainnya baru satu bulan lagi, maka
dua utang itu tidak dapat diperjumpakan. Kedua utang itu harus sama-sama
mengenai uang atau barang yang dapat dihabiskan dari jenis dan kualitas yang
sama.
dipinjamkan
3. Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah
dinyatakan tidak dapat disita. Dalam Pasal 1429 KUHPerdata dijelaskan jika
berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum.
yang demikian. Pada dasarnya kompensasi yang dimaksud dalam Pasal 1425
KUHPerdata adalah suatu keadaan dimana dua pihak yang saling berhutang
menjadi berakhir.
Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat berkaitan dengan rumusan yang ada
de overheid, dan dalam kepustakaan berbahasa Inggris legal protection of the individual in
2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Yang Berat adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun
mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau
peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Menurut
pendapat R. Soeroso, hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang
dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri
memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi
hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan
subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang
bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan
hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat
hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif. Pada perlindungan hukum
(inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
karena didasarkan kepada kebebasan bertindak, dengan adanya perlindungan hukum yang
preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil suatu keputusan
Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan bertumpu dan
bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi