Anda di halaman 1dari 15

Negosiasi Bisnis

Kelas A
Kelompok 12
Negosiasi Multi-pihak dan Multi-tim

Anggota :

1. Bagus Arief Aprilianto Hasibuan


2. Ezra Zhafran Giani Muhammad
3.Indra Pratama S.
4. Rendy Agung P.

Fakultas Ilmu Administrasi


Universitas Brawijaya
2014

(135030207111011)
(135030207111002)
(135030201111174)
(135030200111021)

Dalam bab ini, kita akan menganalisis dua situasi yang melibatkan banyak
pihak :
1. Banyak pihak yang bernegosiasi satu sama lain dan mencoba
untuk mencapai konsensus kolektif atau kelompok. Kita membahas
jenis pengambilan keputusan tim atau kelompok ini sebagai proses
negosiasi banyak pihak.
2. Banyak individu yang ada pada setiap sisi negosiasi-dengan kata
lain, pihak-pihak dalam sebuah negosiasi adalah tim dengan tim,
bukan individu dengan individu.
Sifat Negosiasi Multi-pihak
Ketika terdapat empat pihak yang saling mempengaruhi, maka
masing-masing pihak memiliki preferensinya dan prioritasnya sendiri.
Maka dari itu dibutuhkan keputusan kolektif mengenai apa yang dilakukan
selanjutnya.
Ketika pihak-pihak tersebut sepakat mengadakan pertemuan
untuk membahas berbagai pilihan dan mengambil keputusan kolektif, ini
adalah negosiasi multi pihak yang melibatkan dinamika unik dalam proses
pengambilan keputusan kolektif.
Perbedaan Antara Negosiasi Dua Pihak dan Negosiasi Multi-Pihak
Negosiasi multi-pihak berbeda dengan negosiasi dua pihak
dalam beberapa hal. Dalam setiap contoh, perbedaannya adalah
negosiasi multi-pihak lebih kompleks, menantang, dan sulit dikelola.
1. Jumlah Pihak
Perbedaan pertama adalah yang paling jelas : dalam negosiasi
multi-pihak, terdapat lebih banyak negosiator yang terlibat. Dengan
demikian, menjadi lebih besar. Hal ini menimbulkan tantangan
untuk pengelolaan beberapa perspektif yang berbeda dan
memastikan bahwa setiap pihak memiliki waktu yang cukup untuk
berbicara dan didengar. Setiap pihak dapat bertindak sebagai
principal, yakni yang memiliki kepentingannya sendiri.
2. Kompleksitas Informasional dan Komputasional
Perbedaan kedua dalam negosiasi multi-pihak adalah lebih banyak
isu, lebih banyak perspektif terhadap isu, dan lebih banyak
informasi yang disajikan. Salah satu konsekuensi yang paling
mendasar dari penambahan jumlah pihak adalah situasi negosiasi
tersebut cenderung, menjadi lebih kompleks, dan karena itu lebih
menuntut. Ketika ukurannya bertambah, akan ada lebih banyak

nilai, kepentingan, dan persepsi yang diintegrasikan atau


diakomodasi (Midgaard dan Underal, 1977, hlm. 332, seperti yang
dikutip oleh Kramer, 1991). Oleh karena itu, sangat penting bagi
negosiator untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk persiapan
sebelum negosiasi, bukan berfokus pada isu dan tarik-menarik (
trade-off ) ketika negosiasi berjalan.
3. Kompleksitas Sosial
Perbedaan ketiga dalam negosiasi multi-pihak adalah seiring
dengan bertambahnya jumlah pihak, lingkungan sosial berubah dari
dialog satu lawan satu menjadi diskusi kelompok kecil. Akibatnya,
semua dinamika kelompok kecil mulai memengaruhi perilaku
negosiator. Pertama, perkembangan proses tersebut akan
bergantung pada orientasi motivasional pihak terhadap masingmasing. Salah satu penelitian ,menunjukkan bahwa pihak yang
memilih orientasi motivasional kooperatif ( versus individualistic )
lebih cenderung mencapai hasil kualitas tinggi dalam deliberasinya
dan pihak yang termotivasi secara kooperatif lebih percaya dan
tidak terlalu banyak terlibat dalam argumentasi dibandingkan oihak
individualistic ( Weingart, Bennet, dan Brett, 1993 ). Orientasi ini
juga
tampak
memengaruhi
cara
pihak-pihak
tersebut
mendiskusikan isu.
4. Kompleksitas Prosedural
Perbedaan keempat yang menyebabkan negosiasi multi-pihak lebih
kompleks adalah dalam prosesnya yang harus diikuti lebih rumit.
Dalam negosiasi satu lawan satu, pihak yang terlibat bergantian
menyampaikan isu dan perspektif mereka, menentang perspektif
orang lain, atau melanjutkan negosiasi dari satu tahap ke tahap
yang lainnya. Ketika terdapat lebih banyak pihak yang terlibat,
aturan procedural pun akan semakin rumit. Terdapat beberapa
konsekuensi dari kompleksitas procedural ini. Pertama, negosiasi
akan berjalan lebih lama sehingga lebih banyak waktu yang harus
dialokasikan. Kedua, semakin banyak jumlah pihak yang terlibat,
prosesnya semakin kompleks dan semakin sulit dikontrol. Ketiga,
sebagai akibat dari dua elemen pertama, negosiator mungkin harus
menyediakan waktu khusus untuk membahas bagaimana mereka
mengelola proses tersebut untuk mencapai solusi atau
kesepakatan yang mereka inginkan. Terakhir, pihak-pihak yang
terlibat harus memutuskan bagaimana mereka melakukan
pendekatan terhadap banyak isu yang ada.
5. Kompleksitas Strategis
Dalam negosiasi kelompok, kompleksitas bertambah secara
signifikan. Negosiator harus mempertimbangkan strategi semua
pihak lain dan memutuskan apakah menghadapi setiap pihak
secara terpisah atau sekaligus. Proses aktual menghadapi masingmasing pihak biasanya berkembang menjadi sejumlah negosiasi
satu lawan satu, namun dilakukan dalam pandangan semua

anggota kelompok lain. Dari sudut pandang ini, sejumlah negosiasi


satu lawan satu memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut :
1. Negosiasi-negosiasi ini menjadi subjek pengawasan. Dalam
konteks ini, negosiator akan peka terhadap pengamatan dan
mungkin merasa harus kuat untuk menunjukkan ketegasan dan
tekadnya (baik kepada pihak lain atau kepada pengamat).
Akibatnya, lingkungan sosial akan membuat negosiator
mengadopsi strategi dan taktik distributif meskipun ia tidak
berniat melakukannya.
2. Negosiator yang memiliki cara untu mengendalikan jumlah
pihak yang terlibat dalam negosiasi akan mulai bertindak secara
strategis, menggunakan kendalinya untuk mencapai tujuan
mereka. Taktik yang digunakan akan ditentukan oleh
kepentingan strategis yang akan dicapai dengan menambah
pihak lain. Pihak tambahan dapat digunakan untuk menambah
dukungan atau kepercayaan untuk posisi negosiator, untuk
mendukung sudut pandang, atau hanya untuk unjuk kekuatan.
Negosiator dapat menambah pihak secara strategis pada
negosiasi, baik untuk meningkatkan kekuatan melalui jumah
atau gengsi pendukung atau untuk menunjukkan ancaman yang
kredibel mengenai konsekuensi yang akan muncul jika
negosiator tidak mendapatkan keinginannya.
3. Negosiator dapat bergabung dalam pembangunan koalisi
sebagai cara untuk menjaga dukungan. Dua pihak atau lebih
dapat menyadari bahwa mereka memiliki pandangan yang
sama dan sepakat untuk saling membantu dalam mencapai
tujuan masing-masing setelah tujuan kelompok tercapai.
Anggota koalisi dapat menggunakan kekuatannya dalam
negosiasi multi-pihak dengan beberapa cara: dengan
menunjukkan solidaritas satu sama lain, dengan bersepakat
untuk saling membantu dalam mencapai tujuan bersama atau
tujuan individu, dengan mendominasi waktu diskusi, dan
dengan bersepakat untuk saling mendukung satu sama lain
ketika solusi tertentu dan kesepakatan yang dinegosiasikan
muncul.
Murninghan (1986) menyatakan bahwa kemunculan consensus
dalam kelompok pengambil keputusan berjalan sebagai koalisi
bola salju. Jadi koalisi dibangun satu per satu. Dengan
demikian, dalam diskusi kelompok, ketika pihak-pihak yang
terlibat berbagi informasi dan kemudian merundingkan solusi,
beberapa orang akan muncul dengan perspektif yang sama dan
kemudian dengan diam-diam atau secara terang-terangan
sepakat untuk mendukung pandangan masing-masing.

Ringkasan Bagian
Terdapat lima cara dimana kompleksitas meningkat ketika tiga
pihak atau lebih terlibat dalam negosiasi. Pertama, terdapat
lebih banyak pihak yang terlibat dalam negosiasi, tuntutan untuk
waktu diskusi, dan jumlah peranan yang dimainkan oleh pihakpihak yang telribat. Kedua, lebih banyak pihak yang membawa
isu dan posisi pada meja negosiasi, sehingga banyak perspektif
yang harus disajikan dan didiskusikan. Ketiga, negosiasi
menjadi lebih kompleks secara sosial. Keempat, negosiasi
menjadi lebih kompleks secara procedural, dan pihak-pihak
yang terlibat mungkin harus menegosiasikan proses baru yang
membuat mereka dapat mengkoordinasikan tindakan mereka
secara lebiih efektif. Terakhir, negosiasi menjadi lebih kompleks
secara strategis karena pihak-pihak yang terlibat harus
memonitor pergerakan dan tindakan beberapa pihak lain dalam
menentukan apa yang akan dilakukan oleh masing-masing
pihak selanjutnya.
Kelompok yang efektif
Menurut Schwartz (1994) menyatakan bahwa kelompok dan anggotanya
yang efektif melakukan hal-hal berikut :
1. Menguji asumsi dan interfensi. Dalam kelompok yang
efektif, setiap anggota membuat asumsi dan inferensinya
dengan mengartikulasikan asumsi dan inferensi tersebut
dan membahasanya dengan anggota lain.
2. Berbagi informasi yang relevan sebanyak mungkin. Dalam
negosiasi kompetitif, pihak-pihak yang terlibat seringnya
menggunakan informasi secara strategis ( berusaha
memeberikan informasi sesedikit mungkin, namun berusaha
mendapat informasi sebanyak mungkin ). Namun kelompok
yang efektif memerlukan jenis pembagian informasi yang
muncul
dalam
negosiasi
integrative
agar
dapat
memaksimalkan informasi yang tersedia bagi kelompok
untuk menemukan solusi yang memenuhi keinginan semua
pihak.
3. Berfokus pada kepentingan, bukan posisi. Dalam negosiasi
integrative, deliberasi kelompok harus menggunakan
prosedur yang mengemukakan kepentingan dasar setiap
anggota.
4. Menjelaskan alasan di balik pernyataan, pertanyaan, dan
jawaban. Menunjukkan kepentingan mengharuskan kita
untuk menjelaskan apa yang paling penting kepada orang
lain dan mengindikasikan alasan mengapa hal hal tersebut
sangat penting.

5. Menyatakan sesuatu secara spesifik. Pihak pihak yang


terlibat harus mencoba berbicara secara spesifik mengenai
perilaku, orang orang, tempat, dan peristiwa yang dapat
diamati secara langsung.
6. Bersepakat mengenai makna kata kata panjang. Partisipan
harus lebih berhati hati menjelaskan kata kunci atau bahasa
yang merupakan bagian dari kesepakatan. Misalnya, jika
anggota kelompok sepakat bahwa semua keputusan akan
diambil secara consensus.
7. Menunjukkan ketidaksetujuan secara terbuka kepada setiap
anggota kelompok. Jika pihak yang terlibat menahan
ketidaksetujuannya, konflik tidak akan terlihat jelas, yang
dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk mencapai
consensus atau mengimplementasikan rencana yang
mungkin akan disetujui oleh kelompok.
8. Membuat pernyataan, dan kemudian mengundang orang
lain untuk bertanya dan berkomentar. Perbedaan sudut
pandang tidak hanya harus dipertahankan untuk tidak
bersepakat dengan orang lain, tetapi harus didorong dari
orang lain.
9. Bersama sama merancang cara untuk menguji ketidak
setujuan dan solusi. Kembangkan proses konfirmasi fakta,
verifikasi interpretasi peristiwa dan pengemukaan alasan
atau ketidak setujuan sehingga pemecahan masalah dapat
dilanjutkan.
10. Membahas isu isu yang tidak dapat dibahas. Kelompok
sering kali memiliki sejumlah isu yang tidak dapat
didiskusikan. Membawa isu isu tersebut dalam meja diskusi
akan sangat penting agar kelompok tersebut menjadi
produktif.
11. Menjaga diskusi agar tetap fokus. Pemimpin tim harus
memastikan bahwa pembicaraan tetap pada jalurnya hingga
semua orang telah berbicara. Kembangkan agenda, dan
minta ketua untuk mengelola prosesnya untuk memastikan
bahwa diskusi tidak keluar dari jalurnya.
12. Jangan mengambil kesempatan yang mudah atau
mengalihkan perhatian kelompok. Walaupun beberapa hal
seperti sarkasme, cerita yang tidak relevan, dan humor
mungkin tidak dapat dihindari, baik dalam kelompok yang
anggota-anggotanya saling menyukai satu sama lain dan
dalam kelompok yang memiliki konflik, kelompok yang
efektif mencoba untuk meminimalkan gangguan.
13. Berharap semua anggota berpartisipasi dalam semua fase
proses. Semua anggota kelompok harus mau berkontribusi
dalam semua fase proses kelompok, bekerja sama untuk

memperoleh solusi, atau membantu mengelola proses


tersebut.
14. Bertukar informasi yang relevan dengan anggota-anggota
nonkelompok. Jika pihak luar diundang sebagai ahli atau
sumber informasi penting, mereka harus diberi pengarahan
mengenai aturan kelompok terkait operasi dan meminta
mereka untuk mentaatinya.
15. Mengambil keputusan dengan konsensius. Walaupun
kelompok tidak selalu dapat mengambil keputusan sepakat,
kelompok
harus
mengupayakan
konsensius
jika
memungkinkan.
16. Melakukan kritik mandiri. Kelompok harus meluangkan
waktu dalam sebuah postmortem yang mengevaluasi
proses dan efektivitasnya. Secara paradox, kelompok yang
tidak bekerja sama dengan baik jarang meluangkan waktu
untuk mengevaluasi prosesnya, mungkin karena mereka
berharap menghindari konflik yang mungkin muncul karena
membahas disfungsionalis.
Mengelola Negosiasi Multi-Pihak
Menurut Touval (1988), yang meneliti banyak negosiasi dan perjanjian
multi-pihak dalam diplomasi internasional, merangkup tiga tahap utama
yang menjadi ciri negosiasi multirateral: tahap pranegosiasi, mengelola
negosiasi aktual, dan mengelola tahap kesepakatan.
a. Tahap Pranegosiasi
Tahap ini dicirikan dengan banyaknya kontak informal diantara
pihak-pihak yang terlibat. Pada tahap ini, pihak-pihak yang terlibat
cenderung membahas sejumlah isu yang penting: siapa yang
bernegosiasi, apakah koalisi dapat dibentuk, peranan apa yang
dimainkan oleh kelompok, memahami konsekuensi tidak adanya
kesepakatan, dan membangun agenda.
1. Partisipan
Pihak-pihak harus menyepakati siapa yang akan diundang pada
pembicaraan tersebut.
Isu-isu mengenai partisipan dapat diputuskan berdasarkan halhal berikut :
A. Siapa yang harus diiukutsertakan jika kesepakatan akan
dicapai (anggota koalisi kunci)?
B. Siapa yang dapat merusak kesepakatan jika mereka tidak
diikutsertakan (kemungkinan pemain veto)?
C. Siapa yang mungkin dapat membantu pihak lain mencapai
tujuannya (anggota koalisi yang diinginkan)?
D. Siapa yang mungkin menghalangi pencapaian tujuan
(penghalang koalisi kunci)?

E. Status siapa yang akan lebih tinggi jika ikut serta dalam
negosiasi?
2. Koalisi
Merupakan hal yang tidak lazim apabila koalisi muncul sebelum
negosiasi dimulai. Koalisi akan terbentuk untuk menghambat
agenda tertentu.
3. Mendefinisikan Peran Anggota Kelompok
Jika kelompok telah memiliki struktur, maka peranan pemimpin,
mediator, pencatat, dan lain-lain telah diterapkan. Namun, jika
kelompok belum bertemu sebelumnya maka berbagai pihak
akan mulai mengisi peranan-peranan kunci. Tiga jenis peranan
yang dapat dimainkan oleh anggota yaitu, peranan tugas, yang
menggerakan kelompok ke arah keputusan; peranan hubungan,
yang mengelola dan menjaga hubungan baik antaranggota
kelompok; dan peranan berorientasi diri, yang bertujuan
mengarahkan perhatian pada anggota individu, sering kali
mengorbankan efektivitas kelompok.
4. Memahami Konsekuensi Tidak Adanya Kesepakatan
Breet (1991) menyatakan bahwa negosiator harus memahami
konsekuensi yang akan muncul jika kelompok tidak mencapai
kata sepakat.
5. Mempelajari Isu dan Membentuk Agenda
Pihak-pihak yang terlibat akan meluangkan banyak waktu untuk
embiasakan diri dengan isu, menerap informasi, dan mencoba
untuk memahami kepentingan orang lain. Terdapat banyak
alasan mengapa agenda dapat menjadi alat yang efektif dalam
mengambil keputusan:
a. Agenda dapat menentukan isu-isu yang akan didiskusikan
b. Bergantung pada penyampaian isu, agenda tersebut juga
dapat menentukan bagaimana setiap isu ditentukan dan
dibatasi
c. Agenda dapat menetapkan urutan isu yang akan dibahas
d. Agenda dapat digunakan untuk memperkenalkan isu-isu
proses (aturan keputusan, norma diskusi, peranan
anggota, dinamika diskusi), serta isu-isu substansif, hanya
dengan mencakupkannya.
e. Agenda dapat menentukan batasan waktu terhadap
berbagai item, sehingga mengindikasikan pentingnya isuisu yang berbeda.
b. Mengelola Negosiasi Aktual
Banyak proses negosiasi multi-pihak yang merupakan kombinasi
diskusi kelompok, negosiasi bilateral, dan aktivitas pembangunan
koalisi. Proses tersebut juga menggabungkan strukturisasi diskusi
kelompok untuk mencapai hasil yang efektif dan didukung.

Pendekatan berikut ini akan memastikan keputusan kelompok


berkualitas tinggi:
1. Tunjuk Pemimpin Yang Tepat
Negosiasi multipartai akan berlangsung lebih lancar jika
negosiasi dipimpin oleh orang yang tepat. Sering kali
ketua terserat ke dalam lingkaran partai yang
berkepentingan. Jika seorang pemimpin mendukung
posisi tertentu atau berorientasi pada hasil tertentu,
orang tersebut akan sulit bersikap netral karena solusi
yang
diinginkan
oleh
orang
tersebut
akan
membahayakan netralitas atau objektivitas yang terkait
dengan fasilitasi proses.
2. Menggunakan dan Merestrukturisasi Agenda
Cara mengontrol aliran dan arah negosiasi adalah
melalui agenda. Ketua dan pihak yang terlibat dalam
negosiasi dapat memperkenalkan dan mengkoordinasi
agenda tersebut. Sebuah agenda menambahkan
struktur, organisasi, dan koordinasi dalam diskusi. Cara
pembuatan agenda dan siapa yang membuatnya akan
berdampak besar terhadap aliran negosiasi. Negosiator
yang terlibat dalam negosiasi multi-pihak dimana agenda
tersebut terbuka untuk didiskusikan atau diubah. Dengan
kata lain, pastikan bahwa modifikasi agenda tersebut
merupakan bagian dari agenda.
3. Memastikan Keberagaman Informasi dan Perspektif
Untuk memastikan bahwa kelompok tersebut menerima
beragam perspektif mengenai tugas dan sumber
informasi. Karena sifat informasi berubah bergantung
pada tugas kelompok misalnya, merancang dan
mengimplementasikan perubahan, mencari solusi terbaik
suatu masalah, atau hanya mencari solusi secara politik
yang dapat diterima oleh beberapa konstituen, sangat
sulit untuk menentukan informasi apa yang penting dan
bagaimana memastikan kelompok tersebut menerima
informasi tersebut. Manajemen proses yang efektif dalam
berbagai pandangan yang berbeda mengenai suatu
tugas, sangat penting agar berbagai pandangan dan
perspektif yang berbeda-beda terhadap masalah menjadi
efektif.
4. Memastikan Semua informasi yang Tersedia Telah
Dipertimbangkan
Salah satu cara untuk memastikan bahwa kelompok
telah mendiskusikan semua informasi yang ada adalah
dengan memonitor norma diskusi. Norma diskusi
mencerminkan cara kelompok berbagi dan mengevaluasi
informasi yang diberikan (Breet, 1991).

Beberapa norma kelompok dapat merusak diskusi yang


efektif :
A. Keengganan menoleransi titik-titik konflik pandangan
dan perspektif. Terdapat banyak alasan untuk hal ini:
satu anggota atau lebih tidak suka dengan konflik,
dan takut jika konflik tersebut tidak terkendali dan
merusak
kekompakan
kelompok.
Namun
kenyataannya,
ketiadaan konflik juga dapat
menghasilkan
keputusan
yang
membawa
malapetaka.
B. Perbincangan sampingan. Perbincangan antara dua
atau tiga anggota kelompok terkadang membawa
manfaat dan kerugian. Ketika sebuah keputusan
terbantu oleh perspektif unik dan masukan kreatif,
perbincangan sampingan akan bermanfaat; namun
ketika ketika kelompok harus tetap padu dan secara
kolektif
mendukung
hasilnya,
perbincangan
sampingan dapat menciptakan perpecahan (Swaab,
Phillips, Diermeier, dan Medvec, 2008).
C. Tidak ada cara untuk meredam diskusi yang penuh
emosi. Semakin pihak-pihak yang terlibat peduli akan
suatu isu tertentu, semakin besar emosi yang akan
terlibat. Harus ada wadah untuk menyalurkan emosi
tersebut secara efektif.
D. Menghadiri pertemuan tanpa persiapan. Sayangnya,
sebelum menghadiri pertemuan sering kali persiapan
tidak dilakukan.
Bazerman, Mannix, dan Thompson (1988) meninjau
beberapa teknik pengambiln keputusan kelompok dan
curah gagasan yang sering digunakan untuk
mencapai tujuan ini.
1. Teknik Delphi
Seorang moderator membuat kueisioner awal dan
mengirimkannya kepada semua pihak, untuk
meminta masukan. Pihak-pihak yang terlibat
memberikan masukannya dan mengirimkannya
kembali kepada moderator. Moderator merangkum
masukan tersebut lalu mengirimkannya kembali
kepada pihak-pihak yang terlibat. Setelah
beberapa putaran, melalui pertanyaan dan
permintaan yang dibuat oleh moderator, pihakpihak yang terlibat dapat bertukar banyak
informasi dan berbagai perspektif yang berbeda.
Kesepakatan dengan teknik ini, cenderung

menghasilkan kesepakatan kompromi, bukannya


solusi yang benar-benar kreatif dan integratif.
2. Brainstorming (curah gagasan)
Pihak-pihak yang terlibat diinstruksikan untuk
merumuskan
masalah
dan
kemudian
menghasilkan solusi sebanyak mungkin tanpa
mengkritiknya.
3. Teknik Kelompok Nominal
Teknik ini biasanya dilakukan setelah curah
gagasan. Setelah pilihan solusi brainstorming
selesai
dibuat,
anggota
kelompok dapat
menggolongkan, menilai, atau mengevaluasi
sejauh mana alternatif-alternatif tersebut dapat
memecahkan masalah. Pemimpin mengumpulkan,
mengumumkan, dan mencatat penilaian ini,
sehingga semua anggota kelompok memiliki
kesempatan secara formal untuk mengevaluasi
dan memilih solusi yang paling tepat.
4. Mengelola Konflik secara Efektif.
Dalam penelitian yang terkait Benfar, Peterson,
Mannix, dan Trochim (2008) meneliti prosedur
penyelesaian konflik dalam tim yang efektif dan
tidak efektif. Mereka menemukan bahwa kelompok
yang mempertahankan atau meningkatkan kinerja
dari waktu ke waktu memiliki strategi penyelesaian
konflik yang sama: (1) mereka berfokus pada
konten interkasi dengan pihak lain, (2) mereka
secara eksplisit mendiskusikan alasan dibalik
keputusan yang dicapai dalam menerima dan
mendistribusikan tuga kerja, dan (3) membagi
tugas berdasarkan suka rela.
5. Meninjau dan Mengelola Aturan Keputusan
Selain memonitor norma diskusi dan mengelola
proses konflik secara efektif, pihak-pihak yang
terlibat juga perlu mengelola aturan keputusan
yakni, cara kelompok memutuskan apa yang
harus dilakukan (Breet, 1991).
6. Mengupayakan Kesepakatan Pertama
Jika tujuannya adalah consensus atau solusi
terbaik, negosiator tidak boleh berusaha
mencapainya sekaligus. Melainkan mereka harus
mengupayakan kesepakatan pertama yang dapat
direvisi, diperbaiki, dan ditingkatkan. Kesepakatan
pertama dapat berperan sebagai jangkar, yang
mungkin akan menyulitkan kelompok untuk

a.
b.
c.

d.

e.

f.

mencari solusi yang berbeda setelah kesepakatan


pertama telah tercapai.
7. Mengelola Anggota Tim yang bermasalah
Manz dkk. (1997) memberikan taktik berikut untuk
menghadapi anggota tim yang bermasalah:
Anda harus spesifik mengenai perilaku bermasalah
dengan memberi contoh yang jelas dan spesifik.
Menjelaskan masalah sebagai hal yang mempengaruhi
seluruh tim.
Fokus pada perilaku yang dapat dikontrol oleh orang
lain. Tujuannya adalah bukan untuk mengkritik, namun
untuk berfokus pada perilaku spesifik individu yang
dapat dikontrol.
Tahan kritik yang konstruktif sehingga individu yang
bersangkutan dapat benar-benar mendengar dan
menerimanya.
Bicaralah
dengan
orang
yang
bermasalah tersebut empat mata, ketika ia tidak
tertekan atau menghadapi masalah yang besar.
Usahakan agar umpan baik yang anda berikan tetap
bersifat professional. Gunakan nada yang biasa dan
jelaskan perilaku yang bermsalah serta dampaknya
secara spesifik.
Pastikan orang lain mendengar dan memahami
komentar anda, sehingga anda tahu bahwa perkataan
anda telah didengar.

c. Tahap Kesepakatan
Tahap ketiga dan terakhir dalam mengelola negosiasi multi-pihak
adalah tahap kesepakatan. Selama tahap kesepakatan, pihak-pihak
yang terlibat harus memilih alternatif yang ada. Mereka juga akan
menemukan masalah dan isu di menit-menit akhir, seperti tekanan
tenggat waktu, penemuan isu baru yang tidak dibahas sebelumnya,
kebutuhan akan lebih banyak informasi mengenai masalah tertentu,
dan kecenderungan beberapa pihak untuk mengancam kekuatan
veto sambil melobi untuk mendapatkan ide atau proyek tertentu
untuk dimasukkan ke dalam kesepakatan akhir kelompok.
Empat langkah utama pemecahan masalah muncul dalam fase ini
(Schwartz, 1994):
1. Memilih solusi terbaik. Kelompok harus menimbang alternatif
yang telah mereka pertimbangkan dan memilih satu alternatif
atau menggabungkan beberapa alternatif ke dalam satu
kemasan yang akan memuaskan anggota sebanyak mungkin.
2. Mengembangkan rencana tindakan. Hal ini akan menngkatkan
kemungkinan bahwa solusi tersebut akan diimplementasikan
secara penuh, efektif, dan tepat waktu. Misalnya, rencana
tindakan yang baik dapat meliputi daftar langkah utama, tujuan

untuk dicapai pada setiap langkah, kapan langkah tersebut harus


dimulai dan diselesaikan, sumber daya apa yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan siapa yang
bertanggung jawab menyelesaikan masalah tersebut.
3. Mengimplementasikan rencana tindakan. Hal ini dilakukan
setelah kelompok bubar atau berada di luar jaringan kelompok,
namun perlu mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh
kelompok.
4. Mengevaluasi hasil dan proses. Melakukan evaluasi proses dan
hasil akan sangat penting untuk menemukan data mengenai
efektivitas kerja kelompok. Evaluasi ini tidak perlu dilakukan
bersamaan atau pada pertemuan keputusan, namun boleh
ditunda atau dihilangkan.
Apa yang Dapat Ketua Lakukan Untuk Membantu
1. Membawa kelompok ke tahap pemilihan satu opsi atau lebih.
Gunakan aturan proses yang kita bahas sebelumnya, serta
beragam teknik mencapai kesepakatan integrative. Jika
keputusan sarat dengan konflik, upayakan kesepakatan
pertama dengan pemahaman bahwa kelompok tersebut akan
berhenti sejenak kemudian kembali untuk menegosiasikan
kesepakatan tersebut setelahnya.
2. Membentuk dan membuat draf kesepakatan tentative. Tulislah
kesepakatan tersebut, perhatikan bahasanya, tulislah susunan
katanya pada whiteboard, flip chart, atau proyektor yang dapat
dilihat oleh seluruh kelompok.
3. Diskusikan apapun implementasi dan perkembangan atau
langkah selanjutnya yang harus dilakukan. Pastikan bahwa
individu yang memiliki peran dalam proses memahami apa yang
mereka harus lakukan. Buat tugas bagi individu untuk
memastikan bahwa tindakan kunci diciptakan dan dilaksanakan.
4. Berterimakasihlah kepada kelompok atas partisipasi, kerja
keras, dan upaya mereka. Jika diskusi yang dilakukan
merupakan diskusi yang sulit atau memerlukan komitmen waktu
yang panjang, perayaan kecil dan pesan terima kasih formal
atau hadiah dapat diberikan pada anggota anggota kelompok.
5. Mengorganisasi dan memfasilitasi hasil akhir (postmortein).
Mintalah kelompok untuk mendiskusikan proses dan hasilnya
dan lakukan evaluasi terhadap apa yang dapat diperbaiki di lain
waktu.
Negosiasi Antar-tim
Di bagian akhir bab ini, kita akan membahas negosiasi pihak pihak yang
terlibat bekerja dalam tim bukan sebagai individu. Kita menggunakan
istilah negosiasi antar-tim untuk menggambarkan situasi berikut: dua ko-

negosiator atau lebih yang memiliki kepentingan dan prioritas yang sama
bernegosiasi dengan dua ko-negosiator atau lebih di pihak lain yang
memiliki kepentingan dan prioritas yang sama ( Shapiro dan Von Glinow,
1999).
Di sini, kita akan membahas sejumlah pertanyaan yang lebih luas
mengenai proses negosiasi yang melibatkan tim.
Apakah perilaku tim berbeda dengan perilaku individu?
Bagaimana keberadaan dua orang atau lebih mengubah cara satu
pihak berinteraksi dengan pihak lain dan memajukan
kepentingannya?
Apakah tim lebih cenderung bertindak secara kompetitif, atau
apakah mereka lebih cenderung mengupayakan strategi kooperatif
yang akan mendorong hasil hasil integrative?
Kesepakatan Integratif Akan Lebih Mungkin Dicapai Ketika Ada Tim
yang Dilibatkan. Penelitian yang dilakukan oleh Thompson, Peterson,
dan Brodt (1996) membandingkan negosiasi antar tim, negosiasi antar
individu, dan negosiasi campuran, dimana satu tim bernegosiasi dengan
satu individu. Mereka menemukan bahwa keuntungan yang diperoleh dua
pihak lebih besar ketika setidaknya salah satu pihak berbentuk tim.
Alasannya adalah bahwa tim bertukar lebih banyak informasi
dibandingkan satu negosiator, yang meningkatkan kemungkinan potensi
integratif dapat ditemukan dan dieksploitasi. Walaupun tim bernegosiasi
dengan satu orang negosiator, ada manfaat positif negosiasi tim yang
muncul.
Tim Terkadang Lebih Kompetitif Dibandingkan Individu dan Dapat
mengklaim Nilai yang Lebih Tinggi. Tradisi penelitian substansial dalam
teori permainan menunjukkan bahwa kelompok cenderung sangat
kompetitif dalam menghadapi kelompok lain. Polzer (1996) menemukan
bahwa ketika tim terlibat dalam negosiasi, aka nada lebih banyak
perdebatan dan lebih sedikit kepercayaan diantara pihak pihak yang
terlibat. Namun, penelitian lain tidak dapat menemukan perbedaan antara
daya saing tim yang bernegosiasi dengan individu (OConnor,
1997;Thompson dkk., 1996).
Disamping daya saing, apakah tim lebih baik dibandingkan individu pada
komponen negosiasi distributive, yang mengklaim nilai yang telah ddibuat
oleh pihak pihak yang terlibat? Penelitian hingga saat ini menunjukkan
manfaat bagi tim. Dalam satu penelitian mengenai negosiasi tim
(Thompson, dkk., 1996), tim mengklaim lebih banyak nilai dibanding
dengan negosiator tunggal dalam sebuah percobaan, tetapi tidak dalam
percobaan lain yang melibatkan tugas negosiasi yang sama.
Tekanan Akuntabilitas Berbeda bagi Tim Dibandingkan Individu.
Negosiator tunggal cenderung lebih berperilaku kompetitif ketika
merekabertanggung jawab terhadap konstituen dibanding ketika tekanan

akuntabilitas tidak ada. Ini muncul karena negosiator merasa perlu untuk
menunjukkan keuletan ketika orang orang yang mereka wakili
mengamati kinerja mereka.
Hubungan Antara Anggota Tim Memengaruhi Proses dan Hasil
Negosiasi. Peterson dan Thompson (1997) meneliti apa yang terjadi
ketika tim terdiri dari teman yang bernegosiasi dengan tim yang
anggotanya tidak saling mengenal. Tidak heran mereka menemukan
bahwa tim yang beranggotakan teman lebih kompak dan focus dalam
mempertahankan hubungannya dibanding tim yang anggotanya tidak
saling mengenal. Bagi tim yang anggotanya tidak saling mengenal, tingkat
kekompakan yang meningkat berarti kinerja negosiasi yang meningkat.
Peterson dan Thompson menemukan bahwa hubungan anata anggota tim
memengaruhi bagaimana informasi digunakan untuk mencapai hasil yang
dinegosiasikan. Khususnya ketika individu dalam tim memiliki informasi
unik mengenai kepentingan dan preferensi tim, tim yang tidak saling
mengenal mampu mengklaim lebih banyak keuntungan bersama
dibandingkan tim yang beranggotakan teman. Tim yang tidak saling
mengenal bertanggung jawab atas kinerja negosiasi mereka kepada
atasan, mereka bekerja lebih baik dibandingkan tim yang beranggotakan
teman dengan tanggung jawab yang sama. Secara keseluruhan, ini
mengindikasikan bahwa hubungan diantara anggota tim merumitkan cara
tim menggunakan informasi dan taktik untuk mengupayakan kesepakatan.
Secara umum tim yang tidak saling mengenal lebih unggul dibandingkan
tim yang beranggotakan teman pada beberapa kondisi.

Anda mungkin juga menyukai