Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak


dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi
yang melakukan kegiatan ekonomi melalui jasa financial perbankan. Bank
merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang strategis dimana
kegiatan utama dari perbankan adalah menyerap dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali kepada masyarakat.
bank berfungsi tidak hanya sebagai perantara pihak-pihak surplus of funds
(kelebihan dana) dan pihak luck offunds (memerlukan dana), namun juga
berfungsi sebagai agent of development yaitu sebagai alat pemerintah dalam
membangun perekonomian bangsa melalui pembiayaan semua jenis usaha
pembangunan yaitu berfungsi sebagai financial intermediary (perantara keuangan)
yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara.1
Dalam proses penghimpunan dana maupun penyaluran dana Bank Syariah
menerapkan prinsip bagi hasil. Penerapan prinsip bagi hasil dalam pembiayaan
terhadap nasabah Bank Muamalat mempunyai legalitas institusional dengan
diberlakukannya PP No. 72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi
hasil, dimana PP No. 72 tahun 1992 telah dicabut dan diganti dengan PP No. 30
tahun 1999.
Di dalam prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) secara otomatis risiko
kesulitan usaha ditanggung bersama oleh pemilik dana dan pengguna dana.
Prinsip bagi hasil yang diterapkan Bank Syariah mengandung beberapa prinsip
penerapan yang perlu dikaji untuk menyelesaikan permasalahan yang mungkin
timbul, yang akan di bahas pada makalah ini adalah penggunaan prinsip

1
Rastono, Penerapan Prinsip Bagi Hasil dalam Pembiayaan Terhadap Nasabah Bank
Syariah, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas diponegoro, 2008, hlmn. 1

1
mudharabah yang mana kendala dalam penggunaan prinsip ini adalah ketidak
terbukaan atau ketidak jujuran oleh pengelola atau mudharib kepada shohibul
maal atau pemilik harta, yang disebut dengan asymetric information2, untuk
mengatasi maslah ini bank kemudian menerapkan incentive compatible
constraint, yang dapat mengurangi resiko bank, namun apakah tindakan bank
yang menggunakan konsep Incentive Compatible Constraint ini sesuai dengan
syariat. Oleh karena itu penulis tertarik meneliti lebih lanjut dengan mengangkat
judul “Incentive Compatible Constraint dalam mudharabah”.

B. RUMUSAN MASALAH
Dengan berlakunya sistem hukum perbankan yang mendasarkan pada
prinsip Syariah (hukum Islam) dimana prinsip bagi hasil dimungkinkan untuk
dilakukan di Indonesia setelah diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (pasal 6 huruf m) yang selanjutnya diikuti dengan ditetapkannya
ketentuan pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992,
diharapkan akan dapat memberikan kontribusi, menciptakan kehati-hatian dan
keharmonisan bagi bank dan nasabah serta dapat berfungsi lebih efektif dan
efisien.
Sistem perbankan yang mendasarkan pada syariah (hukum Islam) dengan
penerapan prinsip bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah terhadap nasabah,
dikaji dari aspek hukum privat merupakan hubungan hukum antara bank dengan
nasabah yang didahului adanya suatu kontrak (contractual agreement) atau akad
antara investor pemilik dana atau shahibul maall dengan investor pengelola dana
atau mudharib yang bekerjasama untuk melakukan usaha yang produktif dan
berbagi keuntungan secara adil (mutual investment relationship).3
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana pembiayaan mudharabah dengan prinsip bagi
hasil itu ?

2
Ibid, hlmn. 6
3
Ibid, hlmn. 10-11

2
2. Apa kendala yang dihadapi bank sehingga diperlukan
penggunaan incentive compatible constraint ?
3. Apa isi incentive compatible constraint itu ?
4. Bagaimana penerapan incentive compatible constraint pada
bank syariah ?
5. Apakah Incentive Compatible Constraint bertentangan
dengan syariat ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PEMBIAYAAN MUDHARABAH
a. Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Pengertian al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua
pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%)
modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan
apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat
kelalaian pengelola. Apabila kerugian tersebut akibat dari kelalaian atau
kecurangan pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian
tersebut.
Mudharabah dapat juga diartikan sebagai suatu bentuk kemitraan
(hubungan berserikat) antara dua pihak, dimana disatu pihak akan
menyediakan dananya saja (shahibulmal), sedangkan dipihak lain memiliki
keahlian dalam melakukan pengelolaan usaha (Mudharib). Dalam perjanjian
ini pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek atau usaha
dan pengusaha untuk mengelola proyek tersebut dengan pembagian hasil
sesuai dengan perjanjian. Pemilik modal tidak dibenarkan ikut dalam
mengelola usaha, tetapi dibolehkan membuat usulan dan melakukan
pengawasan. Apabila usaha mengalami kerugian, maka kerugian tersebut
sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali apabila kerugian tersebut
terjadi karena penyelewengan atau penyalahgunaan oleh pengusaha.
Pengertian Mudharabah dapat diartikan sebagai suatu bentuk kontrak
yang lahir sejak zaman jahiliyah atau sebelum Islam dan Islam menerimanya
dalam bentuk bagi hasil dari investasi. Dalam Bahasa Arab ada tiga istilah
yang digunakan terhadap bentuk organisasi bisnis ini : Qirodh, Muqarabah,

4
Mudharabah. Dari ketiga istilah ini tidak ada perbedaan prinsip. Perbedaan
istilah ini mungkin disebabkan oleh faktor geografis. Imam Abu Hanifah dan
Ahmad Ibnu Hambali, tinggal di Irak, dan mereka menggunakan istilah
Mudharobah, sebaliknya Imam Maliki dan Hanafi menggunakan istilah
Mudharabah, sebaliknya Imam Maliki dan Hanafi menggunakan istilah
Qiradh atau Muqaradah, mengikuti kebiasaan di Hijaz.4

b. Landasan Syariah
Landasan dasar syariah Al-Mudharabah mencerminkan anjuran untuk
melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat Al-Quran dan Al Hadits,
berikut ini :5
a) Al-Qur’an
 Al-Qur’an Surat Al-Muzammil (73) ayat 20 yang artinya “Dan
sebagian dari mereka orang-orang yang berjalan dimuka bumi
mencari sebagian karunia Allah SWT”.
 Al-Qur’an Surat Al-Jumuah (10) yang artinya “Apabila telah
ditunaikan shalat maka bertebaran kamu dimuka bumi dan carilah
karunia Allah SWT”.

b) Hadis Rasulullah
 Hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,
bahwasanya Sayyidina Abbas, jikalau memberikan danakepada
mitra usahanya secara mudharabah ia menyaratkan agar dananya
tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang
berbahaya, atau memberi ternak yang berparu-paru basah. Jikalau
menyalahi peraturan, maka yang bersangkutan bertanggungjawab
atas dana tersebut. Di sampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada
Rasulullah SAW dan memperkenankannya”.

4
Sahalah Ash-Shawi dan Abdullah Al-Mushlih, Fiqh ekonomi keuangan Islam (Jakarta :
2008) hal 168.
5
Rastono, Op.Cit., hlmn. 86-87

5
 Dalam Hadits lain Rasulullah SAW menyatakan “Dari Suhaib r.a,
bahwa Rasulullah bersabda :”tiga perkara didalamnya terdapat
keberkatan (1) menjual dengan pembayaran kredit; (2) Muqaradhah
(Mudharabah); (3) Mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah dan bukan untuk dijual ; (HR. Ibnu Majah
N0.2280, Kitab At-Tijarah).
c) Ijma
Imam Zaelani’ telah menyatakan bahwa para sahabat telah
berkonsensus terhadap legitimasi pengelolaan harta yatim secara
Mudharbah.

c. Jenis-Jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu:6
Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
1) Mudharabah Muthlaqah
Transaksi Mudharabah Muthlagah adalah bentuk kerjasama
antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan
tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan
dengan ungkapan if al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul
maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
2) Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut istilah restricted
mudharabah/ specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah
muthlagah. Dalam hal ini mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha,
waktu, atau tempat usaha.

Mahmoud al-Anshari, membedakan prinsip mudharabah ini


dalam beberapa jenis, yaitu :

6
Ibid, hlmn. 87-88

6
 Mudharabah Khusus, yaitu pemberian dana oleh seseorang sementara
itu usaha mudharabah dilakukan oleh seseorang, sebagai individu atau
badan hukum ;
 Mudharabah Berserikat, yaitu dalam hal ini bank-bank menerima dana
dari berbagai sumber untuk kemudian dipergunakan dalam bentuk
mudharabah.
 Mudharabah mutlak, yaitu penerima dana (mudharib) memiliki
kebebasan untuk menggunakan dana yang diterimanya, ada
persyaratan-persyaratan tertentu dari pemilik dana, misalnya bentuk
perdagangan atau usaha lainnya, waktu lainnya dan tempat pelaksanaan
kegiatan, mudharib dalam hal ini menjamin pemeliharaan dan
keamanan dana yang dikelolanya di samping mendapat keuntungan.
 Mudharabah bersyarat, yaitu kebalikan dari mudharabah mutlak dimana
pemilik dana menentukan syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh
mudharib dalam pengelolaan dana yang diterimanya.

B. KENDALA BANK SYARIAH TERHADAP PEMBIAYAAN


MUDHARABAH

Dalam wacana keuangan konvensional, hubungan kontrak keuangan


seperti dalam mudharabah ini biasanya dikenal dengan nama hubungan agency
(agency contractual). Akan tetapi dalam kerangka teori agensi, kontrak risk and
profit sharing yang ideal berkaitan dengan kedua belah pihak, yang memiliki
kemungkinan kepercayaan yang identik dengan penghormatan kepada bentuk
asal. Pihak yang satu merupakan the insider (yang aktif) yang diidentifikasi
sebagai agen (pengusaha). Agen memiliki pengetahuan mengenai proyek investasi
yang beresiko tetapi menguntungkan. Agen berharap untuk terjun di dalamnya,
tetapi dia tidak memiliki dana awal untuk membiayai proyek tersebut. Pihak the
outsider (yang pasif) diinterpretasikan sebagai pemberi dana (bank), yang
menyediakan seluruh dana awal bagi pendirian proyek tersebut.

7
Gambaran di atas, merupakan suatu mekanisme keuangan yang ideal,
namun realitasnya kontrak keuangan tersebut tidak banyak menarik bagi para
pelaku sistem keuangan syari’ah, seperti bank syari’ah. Dengan kata lain, ada
kesenjangan antara teori dengan realitas mekanisme operasi produk yang berbasis
profit and loss sharing (PLS) pada lembaga keuangan syari’ah atas produk
tersebut. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh banyak sebab atau faktor.
Faktor ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: faktor internal lembaga
keuangan syari’ah (baca: bank syari’ah) dan faktor eksternal lembaga keuangan.
Secara internal perbankan syari’ah, mungkin belum dipahami secara baik oleh
kalangan internal perbankan mekanisme kerja produk mudharabah; pihak bank
bersifat risk-averse atas pembiayaan mudharabah, karena di dalamnya sarat
risiko, utamanya risiko yang berkaitan dengan masalah agensi.
Alasan ini dapat muncul karena disebabkan oleh faktor eksternal bank,
yaitu kondisi masyarakat pengguna jasa pembiayaan bank syari’ah untuk jenis
mudharabah. Yangdimaksud kondisi masyarakat adalah keadaan tingkat
kejujuran dan keamanahan masyarakat dalam menjalankan produk mudharabah.
Sebab pembiayaan mudharabah harus didukung dengan kondisi masyarakat
seperti itu. Dengan kata lain, disamping persyaratan teknik administratif, kontrak
mudharabah akan berjalan jika terdapat keterbukaan (transparansi).
Kontrak mudharabah adalah kontrak menanggung untung dan rugi antara
pemilik dana (bank/principals) dengan nasabah (agents). Pada hubungan kontrak
bisnis seperti ini diperlukan saling keterbukaan antara kedua belah pihak (pemilik
dana dengan nasabah) dalam hal untung dan rugi bisnis yang dijalankan. Jika
salah satu pihak (utamanya nasabah) tidak menyampaikan secara transparan
tentang hal-hal yang berhubungan dengan perolehan hasil, sehingga dapat terjadi
aktivitas adverse selection dan moral hazard. Dalam transaksi keuangan, masalah
adverse selection dan moral hazard merupakan masalah asymmetric information.
Kontrak mudharabah adalah kontrak keuangan yang sarat dengan aktivitas
asymmetric information.
Asymmetric information merupakan sesuatu yang pasti terjadi dalam
kontrak mudharabah. Penyimpangan ini diminimalisasi dalam rangka

8
mengoptimalkan hasil. Hal ini dapat terjadi jika ada penetapan struktur insentif.
Presley & Session (1994) menunjukkan cara-cara untuk mengendalikan
asymmetrict information dalam kontrak mudharabah, yang dikenal dengan
incentive-compatible constraint.7

C. INCENTIVE COMPATIBLE CONSTRAINT

Menurut Presley dan Session dalam Muhammad incentive compatible


constraints adalah cara-cara untuk mengendalikan assymetric informations dalam
kontrak mudharabah.

Incentive compatible constraints adalah suatu cara yang disyaratkan


kepada mudharib untuk mengurangi risiko-risiko pembiayaan mudharabah.8

Penyimpangan-penyimpangan berupa asymmetric information dalam


kontrak mudharabah dapat diminimalisasikan, sehingga dapat mengoptimalkan
hasil investasinya. Dalam kaitan ini Presley & Session menunjukkan cara-cara
untuk mengendalikan asimetrik informasi dalam kontrak mudharabah, yang
dikenal dengan istilah “incentive-compatible constraint (1994: 584-596).”
Incentive-compatible constraint yang diajukan oleh Presley & Session
mencakup empat aspek, yaitu: (1) modal pengusaha lebih besar dari pada
pinjaman atau menggunakan jaminan; (2) melakukan bisnis yang risiko
operasinya rendah; (3) melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan; dan (4)
melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrolnya rendah.9

7
Muhammad, Penyesuaian Masalah Agency (Agency Problem), dalam kontrak
pembiayaan mudharabah, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ekonomi Islam. Hlmn. 2-3
8
insentive compatible constraints/PENGARUH INCENTIVE-COMPATIBLE
CONSTRAINTS TERHADAP KEPUTUSAN PENGAJUAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH
OLEH USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM) DI BANK MUAMALAT INDONESIA
CABANG SOLO _ Askaagues's Blog.htm
9
Muhammad, Op.Cit., hlmn. 15

9
D. APLIKASI INCENTIVE COMPATIBLE CONSTRAINT PADA
PERBANKAN

Model yang disarankan oleh Presley dan Session tersebut kemudian


diadopsi oleh Karim untuk mengendalikan penerapan pembiayaan mudharabah di
Bank Muamalat Indonesia. Karim menjelaskan, bahwa: Untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya risiko asimetrik informasi (moral hazard), maka bank
syari’ah (BMI) menerapkan sejumlah batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan
pembiayaan kepada mudharib, yaitu:
1. Menerapkan batasan agar porsi modal dari pihak mudharibnya lebih besar
dan/atau mengenakan jaminan.
2. Menerapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang risiko
operasinya lebih rendah (Kim dan Sorensen,1986:131-144).
3. Menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang
transparan (Chang,1978:133).
4. Menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak
terkontrolnya rendah (Yoon Suh,1988:154-168).

Batasan atau syarat tersebut di atas merupakan bagian dari proses


monitoring dan supervisi bank syari’ah atas pembiayaan mudharabah yang
disalurkan. Hasil penelitian Sadr dan Iqbal menyimpulkan, bahwa: dengan
meningkatkan pengawasan dan pemantauan, minimalisasi informasi asimetrik
dapat memperkecil terjadinya masalah agensi. Sementara Ahmed menawarkan
tiga cara untuk mengendalikan masalah agensi pada kontrak mudharabah, yaitu:
(1) fungsi pengembalian pembiayaan; (2) aturan-aturan auditing; dan (3) fungsi
penghargaan atau hukuman.10

10
Ibid, hlmn. 15-16

10
E. KONSEP INCENTIVE COMPATIBLE CONSTRAINT TERHADAP
SYARIAT ISLAM

Penggunaan konsep Incentive Compatible Constraint tidak bertentangan


dengan Islam, karena hal seperti ini pernah juga dilakukan pada masa Rasulullah
Saw. Sebagaimana Hadis Nabi, bahwa “Abbas bin Abdul Muthalib jika
menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya
agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli
ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung
risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah,
beliau membenarkannya” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).

11
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Setelah membaca uraian di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa
dalam praktek pembiayaan mudharabah sering terjadi masalah. Pada hubungan
kontrak bisnis seperti mudharabah diperlukan saling keterbukaan antara kedua
belah pihak (pemilik dana dengan nasabah) dalam hal untung dan rugi bisnis yang
dijalankan. Jika salah satu pihak (utamanya nasabah) tidak menyampaikan secara
transparan tentang hal-hal yang berhubungan dengan perolehan hasil, sehingga
dapat terjadi aktivitas adverse selection dan moral hazard. Dalam transaksi
keuangan, masalah adverse selection dan moral hazard merupakan masalah
asymmetric information. Kontrak mudharabah adalah kontrak keuangan yang
sarat dengan aktivitas asymmetric information. Dengan adanya maslah seperti itu
maka kemudian Presley & Session mengajukan sebuah konsep dengan nama
Incentive Compatible Constraint yang mencakup empat aspek yaitu: (1) modal
pengusaha lebih besar dari pada pinjaman atau menggunakan jaminan; (2)
melakukan bisnis yang risiko operasinya rendah; (3) melakukan bisnis dengan
arus kas yang transparan; dan (4) melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrolnya
rendah.
Konsep itu kemudian di adopsi oleh Karim untuk kemudian diterapakan
pada pembiayaan di bank muamalat indonesia dengan menerapkan batasan-
batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib.
Konsep tersebut juga tidak bertentangan dengan syariat Islam karena hal
yang serupa dengan tersebut juga pernah terjadi pada masa Rasulullah saw, dan
beliau membenarkannya.

B. SARAN – SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis dapat memberikan saran-
saran sebagai berikut:

12
1. Kepada nasabah yang akan melakukan pengajuan pembiayaan
mudharabah agar dapat mempersiapkan hal-hal yang berkaitan
dengan empat aspek dalam Insentive Compatible Constraint,
karena ia dapat mempengaruhi keputusan pengajuan pembiayaan
mudharabah.
2. Kepada perbankan syariah kami menyarankan agar sosialisasi atas
penggunaan Insentive Compatible constraint terus dilakukan, agar
tingakat penggunaan pembiayaan mudharabah semakin banyak.
3. Kepada pembaca kami sarankan agar tidak hanya membaca
makalah kami tetapi juga dari sumber-sumber lain, karena pada
makalah kami mungkin saja banyak kekurangan atau kekeliruan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Rastono, Penerapan Prinsip Bagi Hasil dalam Pembiayaan Terhadap Nasabah


Bank Syariah, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas
diponegoro, 2008.
Ash-Shawi, Sahalah dan Al-Mushlih, Abdullah, Fiqh ekonomi keuangan Islam
(Jakarta : 2008).
Muhammad, Penyesuaian Masalah Agency (Agency Problem), dalam kontrak
pembiayaan mudharabah, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ekonomi Islam.

insentive compatible constraints/PENGARUH INCENTIVE-COMPATIBLE


CONSTRAINTS TERHADAP KEPUTUSAN PENGAJUAN
PEMBIAYAAN MUDHARABAH OLEH USAHA MIKRO KECIL
MENENGAH (UMKM) DI BANK MUAMALAT INDONESIA CABANG
SOLO _ Askaagues's Blog.htm

14

Anda mungkin juga menyukai