Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

PEMBUATAN KONTRAK BISNIS


DALAM ASPEK TEORI DAN PRAKTIK PEMBUATAN

Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester


pada mata kuliah Kapita Selekta Hukum Bisnis

Disusun Oleh:

Nama : Setiyana Ahmad Supangkat


NPM : 178040060
Konsentrasi : Hukum Ekonomi
Semester : II

Yang diampu oleh :

Dr. H. Aang Achmad, SH., MH., MM.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2019
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Permasalahan


b. Identifikasi Permasalahan
c. Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN KONTRAK BISNIS

a. Pengertian dan unsur Kontrak


b. Fungsi Kontrak
c. Pengaturan Kontrak
d. Sistem Pengaturan Kontrak
e. Bagian-bagian dari Kontrak
f. Asas-asas Kontrak
g. Syarat Sahnya Kontrak
h. Hapus dan berakhirnya suatu kontrak
i. Ketentuan Umum pada Kontrak
j. Jenis-Jenis Kontrak
k. Penyelesaian sengketa pada Kontrak

BAB III PERANCANGAN SUATU KONTRAK BISNIS

l. Pengertian perancangan Kontrak


m. Prinsip-prinsip perancangan Kontrak
n. Tahapan perancangan Kontrak
o. Anatomi Kontrak
p. Beberapa faktor penting dalam perancangan Kontrak

BAB IV PENUTUP

a. Kesimpulan
b. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN – Contoh Kontrak Bisnis


BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Permasalahan

Perkembangan bisnis yang semakin maju mempunyai peranan dalam memajukan


tingkat ekonomi masyarakat, dalam dunia bisnis seringkali memerlukan kesepakatan yang
tentunya saling menguntungkan secara ekonomi. Kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh
para pelaku bisnis selain adanya faktor manfaat juga diharapkan adanya kepastian. Karena
dengan kepastian bisnis dapat berjalan sebagaimaan mestinya tanpa menimbulkan hambatan
yang berarti. Hukum berperan dalam mengatur hubungan pada pelaku bisnis tersebut yang
seringkali dilembagakan dalams sebuah perjanjian atau kontrak.

Peran sentral hukum kontrak dalam merangkai pola hubungan hukum bisnis para
pelaku bisnis semakin disadari pentingnya. Hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada satu
aktivitas bisnis yang mempertemukan pelaku bisnis dalam pertukaran kepentingan mereka
tanpa didasarkan atas kontrak. Jadi, kontrak mempunyai daya jangkau yang sangat luas,
dalam arti menjangkau sangat luas hubungan masyarakat, khususnya hubungan para pelaku
bisnis. Kontrak juga sebagai jembatan aktivitas bisnis yang menghubungkan hak dan
kewajiban dari masing-masing pelaku bisnis sebagai upaya menciptakan kepastian hukum
dalam mencapai sasaran bisnis.

Pengaturan kontrak dalam praktik bisnis adalah untuk menjamin pertukaran


kepentingan yang berupa hak dan kewajiban berlangsung secara proporsional bagi para
pihak yang membuat kontrak, sehingga dengan demikian terjalin hubungan kontraktual yang
adil dan saling menguntungkan. Bukan sebaliknya, merugikan salah satu pihak atau bahkan
pada akhirnya justru merugikan para pihak yang berkontrak.

Di dalam menjalankan bisnis, seringkali orang melupakan betapa pentingnya kontrak


yang harus dibuat sebelum bisnis itu sendiri berjalan di kemudin hari. Baik di Indonesia
maupun di dunia internasional, kerja sama bisnis di antara para pihak dirasakan lebih
mempunyai kepastian hukum contohnya dengan suatu kontrak secara tertulis. Sebelum
kontrak dibuat, biasanya akan didahului dengan pembicaraan pendahuluan seterusnya
pembicaraan berikutnya (negosiai/komunikasi) untuk mematangkan kemungkinan yang
terjadi, sehingga kontrak yang akan ditandatangani telah betul-betul matang (lengkap dan
jelas). Sekalipun demikian selengkap-lengkapnya suatu kontrak (perjanjian), selalu saja ada
kekurangan-kekurangan di sana-sini. Demikian Pula halnya dengan si pembuat kontrak,
selalu ada pihak-pihak yang beritikad tidak baik, yang mengakibatkan terjadinya sengketa
para pihak.
b. Identifikasi Permasalahan

Berdasarkan pemaparan tersebut diatas penulis mengindentifikasi permasalahan yang


diangkat pada makalah ini adalah:

1. Bagaimana aspek hukum dan teori tentang suatu kontrak bisnis?


2. Bagaimana mekanisme perancangan suatu kontrak bisnis?

c. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian dalam makalah ini adalah untuk mengkaji aspek-aspek yang
penting untuk diperhatikan dalam sebuah kontrak serta unutk mengkasji mekanisme
perangan suatu kontrak bisnis pada praktiknya.

d. Kegunaan Penelitian

Atas penelitian dalam makalah ini diharapkan dapat berkontribusi menambah


referensi terkait dengan bidang hukum perjanjian atau kontrak bisnis.

e. Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian denngan Spesifikasi penelitian ini berupa


deskriptif analitis, yaitu penelitian yang menggambarkan berbagai peraturan perundangan
yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif
dengan permasalah yang diteliti. Dengan metode pendekatan secara yuridis normatif yang
berusaha menggambarkan masalah-masalah yang dikaji dengan memberikan serangkaian
pemahaman baik secara yuridis melalui abstraksi pemikiran dalam bentuk kalimat maupun
secara normatif, dengan memadukan teori-teori dengan perundang undangan yang relevan
dengan makalah ini sehingga diharapkan dapat menghasilkan masukan yang bermanfaat
untuk menjawab permasalahan yang telah diuraikan pada Identifikasi Permasalahan
dimaksud, pendekatan ini berupa penelitian kepustakaan yang dominasi dengan
menggunakan data-data sekunder, baik yang berupa bahan hukum sekunder, maupun bahan
hukum tersier1, cara yang dipakai dalam metode ini menggunakan metode riset kepustakaan,
yaitu dengan membaca buku-buku ilmu pengetahuan hukum yang relevan dengan Tugas ini,
bahan presentasi, dokumentasi, berita online dan sumber lain yang dianggap relevan dengan
judul.

f. Sistematika Penulisan

Penulis menyusun makalah ini dalam 4 (empat) BAB dengan sistematika sebagai
berikut:

• DAFTAR ISI
1
Koentjaraningrat, metode-Metode Penelitian, PT Gramedia, jakarta, 1985. Hlm. 10.
• BAB I PENDAHULUAN
• BAB II PEMBAHASAN KONTRAK BISNIS
• BAB III PERANCANGAN SUATU KONTRAK BISNIS
• BAB IV PENUTUP
• DAFTAR PUSTAKA
BAB II

PEMBAHASAN KONTRAK BISNIS

a. Pengertian dan Unsur Kontrak

Istilah Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of
law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomstrecht, di
Indonesia sendiri dikenal dengan istilah “Perjanjian”.

Pengertian kontrak atau perjanjian diatur Pasal 1313 KUH Perdata. Pasal 1313 KUH
Perdata berbunyi: "Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih."

Kelemahan definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah

1. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian,


2. tidak tampak asas konsensualisme, dan
3. bersifat dualisme.

Lawrence M. Friedman mengartikan hukum kontrak adalah : Perangkat hukum yang


hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu." (Lawrence
M. Friedman, 2001:196) Lawrence M. Friedman tidak menjelaskan lebih lanjut aspek
tertentu dari pasar dan jenis perjanjian tertentu. Apabila dikaji aspek bisnis, tentunya kita
akan mengkaji dari berbagai aktivitas bisnis yang hidup dan berkembang dimasyarakat.

Di dalam berbagai aspek bisnis tersebut maka akan menimbulkan berbagai macam
kontrak yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Ada pelaku usaha yang mengadakan
perjanjian jual beli, sewa-menyewa, beli sewa,leasing, dan lain-lain. ‘

Michael D Bayles mengartikan contract of law atau hukum kontrak adalah Might
then be taken to be the law pertaining to enporcement of promise or agreement. (Michael D.
Bayles, 1987:143) Artinya, hukum kontrak adalah sebagai aturan hukum yang berkaitan
dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.

Menurut Munir Fuady2 banyak definisi tentang kontrak telah diberikan dan masing-
masing bergantung kepada bagian-bagian mana dari kontrak tersebut yang dianggap sangat
penting, dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi tersebut. Salah satu definisi
kontrak yang diberikan oleh salah satu kamus, bahwa kontrak adalah suatu kesepakatan
2
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Cetakan Pertama, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1999. hal.4
yang diperjanjikan (promissory agreement) di antara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat
menimbulkan. memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum.3Selanjutnya ada juga
yang memberikan pengertian kepada kontrak sebagai suatu perjanjian, atau serangkaian
perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi terhadap kontrak
tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu
tugas4

Perjanjian (kontrak) adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata.
Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya
diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh
masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-
meminjam.

Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu
pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu
peristiwa.

Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan kontrak/contract adalah:

“ An agreement between two or more persons not merely a shared belief, but
common understanding as to something that is to be done in the future by one or
both of them “ (Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal, 1993: 2).

Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih tidak hanya
memberikan kepercayaan, tetapi secara bersama saling pengertian untuk melakukan sesuatu
pada masa mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka. Pendapat ini tidak hanya
mengkaji definisi kontrak, tetapi ia juga menentukan unsur-unsur yang harus dipenuhi
supaya suatu transaksi dapat disebut kontrak. Ada tiga unsur kontrak, yaitu

1. The agreement fact between the parties (adanya kesepakatan tentang fakta
antara kedua belch pihak);
2. The agreement as writen (persetujuan dibuat secara tertulis);

3
Black, Henry Campbell, 1968: 394
4
Gifis, Seteven H., 1984: 94.
3. The set of rights and duties created by (1) and (2) (adanya orang yang berhak
dan berkewajiban untuk membuat: (1) kesepakatan dan (2) persetujuan
tertulis).

Definisi lain yang mengngkapkan usnur dari kontrak dikutipd ari pendapat R.
Subekti yang mengemukakan perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.” sedangkan Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek
yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang
satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk
melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.” 5 Dari pengertian-
pengertian di atas dapat dilihat beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu :

1. Adanya hubungan hukum.


Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat
hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
2. Adanya subjek hukum.
Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek dalam hukum
perjanjian termasuk subyek hukum yangdiatur dalam KUH Perdata, Sebagaimana
diketahui bahwa Hukum Perdata mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari
dua bagian yaitu manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk
perjanjian menurut Hukum Perdata bukan hanya manusia secara individual
ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan,
Koperasi dan Perseroan Terbatas.
3. Adanya prestasi.
Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk memberi sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu.
4. Di bidang harta kekayaan.
Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau lebih pelaku bisnis
dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda tangani oleh para
pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai “Kontrak Bisnis” atau “Kontrak
Dagang”.

b. Fungsi Kontrak

Fungsi kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi Yuridis dan fungsi
Ekonomis. Fungsi yuridis kontrak adalah fungsi dapat memberikan kepastian hukum bagi
para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari
nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi. Kontrak berdasarkan

5
Salim MS, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2008. h. 27.
pasal 1338 KUH Perdata maka kontrak sebagai hukum yang berlaku bagi para pihaknya
harus bermanfaat bagi pihaknya. Kontrak dikatakan memberikan manfaat apabila
berdasarkan kontrak tersebut pihak-pihaknya mampu melakukan prediksi mengenai
kemungkinan-kemungkinan apa yang terjadi yang ada kaitannya dengan kontrak yang
disusun, para pihak mampu mengantisipasi terhadap kemungkinan yang akan terjadi, serta
memberikan perlindungan hukum.

Peter Mahmud Marzuki 6 menyebutkan bahwa fungsi kontrak di dalam bisnis adalah
untuk mengamankan transaksi. Tidak dapat disangkal bahwa hubungan bisnis dimulai dari
kontrak. Tanga adanya kontrak, tidak mungkin hubungan bisnis dilakukan. Kontrak dapat
dilakukan secara lisan maupun tertulis. Bahkan, dalam Convention on International Sale of
Goods tahun 1980 kontrak secara lisan juga diakui. Akan tetapi, mengingat bahwa fungsi
kontrak adalah untuk mengamankan transaksi bisnis, jika kontrak secara lisan oleh para
pihak dapat dipandang aman karena integritas masing-masing pihak memang dapat dijamin,
mereka tidak perlu membuat kontrak tertulis. Hanya saja apabila ada pihak ketiga yang
mungkin keberatan dengan kontrak itu dan menantang kedua belah pihak harus
membuktikan adanya kontrak itu dengan bukti lainnya.

Menurut Erman Rajagukguk7, kontrak dalam berbagai sistem hukum yang modern
dianggap sebagai institusi hukum yang sangat menguntungkan, di mana:

1. mengizinkan para pihak menetapkan kepentingan yang sah, seperti menjamin diri
mereka dari pelaksanaan kontrak yang tidak memuaskan
2. memungkinkan individu-individu lainnya menunjukkan kepercayaan mereka
kepada pasar;
3. bekerjanya asas pacta sunt servanda untuk pelaksanaan kontrak yang efektif dan
4. dapat memilih peranan institusi lain untuk menghindari penyelesaian sengketa di
Pengadilan yang berlarut-larut dan mahal.

c. Pengaturan Kontrak

Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri atas 18 bab dan 631
pasal. Dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata.
Masing- masing bab dibagi dalam beberapa bagian. Di dalam NBW Negeri Belanda, tempat
pengaturan hukum kontrak dalam Buku IV tentang van Verbintenissen, yang dimulai dari
Pasal 1269 NBW sampai dengan Pasal 1901 NBW.

Hal-hal yang diatur di dalam Buku III KUH Perdata adalah sebagai berikut:

6
Peter Mahmud Marzuki, Kontrak Bisnis Internasional (Bahan Kuliah Magister Hukum Universitas Airlangga),
Surabaya, 2001. hal.1
7
1. Perikatan pada umumnya (Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1312 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1312 KUH Perdata,
meliputi: sumber perikatan; prestasi; penggantian biaya, rugi, dan bunga karena
tidak dipenuhinya suatu perikatan; dan jenis-jenis perikatan.
2. Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351
KUH Perdata) Hal-hal yang diatur dalam bab in i meliputi: ketentuan umum,
syarat-syarat sahnya perjanjian; akibat perjanjian, dan penafsiran perjanjian.
3. Hapusnya perikatan (Pasal 1381 sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata)
Hapusnya perikatan dibedakan menjadi 10 macam, yaitu karena pembayaran;
penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
pembaruan utang; perjumpaan utang atau kompensasi; percampuran utang;
pembebasan utang; musnahnya barang terutang; kebatalan atau pembatalan;
berlakunya syarat batal; kedaluwarsa.
4. Jual beli (Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata) Hal-hal yang
diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata, meliputi:
ketentuan umum; kewajiban si penjual; kewajiban si pembeli; hak membeli
kembali; jual beli piutang, dan lain-lain hak tak bertubuh.
5. Tukar-menukar (Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUH Perdata)
6. Sewa menyewa (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600KUH Perdata) Hal-hal
yang diatur dalam ketentuan sewa-menyewa ini meliputi: ketentuan umum;
aturan-aturan yang sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan penyewaan
tanah, aturan khusus yang berlaku bagi sewa rumah dan perabot rumah.
7. Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1617
KUH Perdata) Hal-hal yang diatur dalam ketentuan Pasal 1601 sampai dengan
Pasal 1617 KUH Perdata, meliputi: ketentuan umum; persetujuan perburuhan
pada umumnya; kewajiban majikan; kewajiban buruh; macam-macam cara
berakhirnya hubungan kerja yang diterbitkan karena perjanjian; dan pemborongan
pekerjaan;
8. Persekutuan (Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata) Hal-hal yang
diatur dalam ketentuan ini meliputi: ketentuan umum; perikatan antara para
sekutu; perikatan para sekutu terhadap pihak ketiga; dan macammacam cara
berakhirnya persekutuan.
9. Badan hukum (Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUH Perdata)
10. Hibah (Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 KUH Perdata) Hal-hal yang diatur
dalam ketentuan tentang hibah ini, meliputi: ketentuan umum; kecakapan untuk
memberikan hibah dan menikmati keuntungan dari suatu hibah; cara
menghibahkan sesuatu; penarikan kembali dan penghapusan hibah.
11. Penitipan barang (Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739 KUH Perdata) Hal-hal
yang diatur dalam penitipan barang, yaitu penitipan barang pada umumnya dan
macam penitipan; penitipan barang sejati; sekestarasi dan macamnya.
12. Pinjam pakai (Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1753 KUH Perdata) Yang diatur
dalam ketentuan ini meliputi: ketentuan umum; kewajiban orang yang menerima
pinjaman; dan kewajiban orang meminjamkan.
13. Pinjam-meminjam (Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata) Hal-hat
yang diatur dalam ketentuan pinjam-meminjam ini meliputi: pengertian pinjam-
meminjam; kewajiban orang yang meminjamkan; kewajiban si peminjam; dan
meminjam dengan bunga.
14. Bunga tetap atau abadi (Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUH Perdata)
15. Perjanjian untung-untungan (Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam perjanjian untung-untungan ini meliputi:
pengertiannya; persetujuan bunga cagak hidup dan akibatnya; perjudian dan
pertaruhan.
16. Pemberian kuasa (Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUH Perdata) Hal-hal
yang diatur dalam pemlierian kuasa meliputi: sifat pemberian kuasa, kewajiban
penerima kuasa, kewajiban pemberi kuasa, dan macam-macam cara berakhirnya
pemberian kuasa.
17. Penanggung utang (Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata) Hal-hat
yang diatur dalam ketentuan penanggungan utang ini meliputi: sifat
penanggungan akibat-akibat penanggungan antara si berpiutang dan si
penanggung, akibat-akibat penanggungan antara si berpiutang dan si penanggung,
dan antara para penanggung sendiri, dan hapusnya penanggungan utang.
18. 18. Perdamaian (Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata) Perjanjian
perdamaian ini merupakan perjanjian yang dibuat oleh paru pihak yang
bersengketa. Dalam perjanjian itu kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri
suatu konflik yang timbul di antara mereka. Perjanjian perdamaian baru dikatakan
sah apabila dibuat dalam bentuk tertulis

Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan, perkumpulan,


hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan, pemberian
kuasa, penanggung utang, dan perdamaian merupakan perjanjian yang bersifat khusus, yang
di dalam berbagai kepustakaan hukum disebut dengan perjanjian nominaat. Perjanjian
nominaat adalah peijanjian yang dikenal di dalam KUH Perdata. Di luar KUH Perdata
dikenal juga perjanjian lainya, seperti kontrak production sharing, kontrak joint venture,
kontrak karya,leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, dan lain-lain. Perjanjian jenis ini
disebut perjanjian innominaat, yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang
dalam praktik kehidupan masyarakat. Perjanjian innominaat ini belum dikenal pada saat
KUH Perdata diundangkan.

d. Sistem Pengaturan Kontrak


Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system). Artinya
bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun
yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: "Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk:

1. membuat atau tidak membuat perjanjian,


2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
4. menentukan bentuknya peijanjian, yaitu tertulis atau lisan (Salim H.S., 1993:
100).

Dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada mulanya menganut sistem


tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam undang-undang.
Ini disebabkan adanya pengaruh ajaran legisme yang memandang bahwa tidak ada hukum di
luar undang-undang. Hal ini dapat dilihat dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad
dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919. Putusan Hoge Raad yang paling penting adalah
putusan HR 1919, tertanggal 31 Januari 1919 tentang penafsiran perbuatan melawan hukum,
yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Di dalam putusan HR 1919 definisi perbuatan
melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang, tetapi juga melanggar hak-hak
subjektif orang lain, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Menurut HR 1919 yang diartikan dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat
atau tidak berbuat yang:

1. melanggar hak orang lain Yang dimaksud dengan hak orang lain, bukan
semua hak, tetapi hanya hakhak pribadi, seperti integritas tubuh, kebebasan,
kehormatan, dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut, seperti
hak kebendaan, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), dan sebagainya;
2. bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku Kewajiban hukum hanya
kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang-undang;
3. bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat;
4. bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat;
Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu (1) aturan-aturan
yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya, dan (2) aturan-aturan
yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyelenggarakan
kepentingannya sendiri (Nieuwenhuis, 1985:118). Putusan HR 1919 tidak
lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara bebas merumuskan
pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang dikemukakan di
atas. Sejak adanya putusan HR 1919, maka sistem pengaturan hukum kontrak
adalah sistem terbuka. Kesimpulannya, bahwa sejak tahun 1919 sampai
sekarang sistem pengaturan hukum kontrak adalah bersifat terbuka. Hal ini
didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dan HR 1919.

e. Bagian-bagian dari Kontrak

Suatu perjanjian terdiri dari beberapa bagian, yaitu bagian essentialia, bagian
naturalia dan bagian accidentalia. Beberapa literatur menyebut pembagian ini sebagai unsur-
unsur perjanjian, yaitu unsur essetialia, unsur naturalia dan unsur accidentalia. Penulis
mengikuti istilah yang digunakan oleh Herlien Budiono8, yaitu bagian-bagian perjanjian,
untuk membedakannya dari unsur-unsur perjanjian.

1. Bagian Essentialia

Merupakan bagian dari suatu perjanjian yang harus ada. Sehingga apabila bagian
tersebut tidak ada, maka perjanjian tersebut bukanlah perjanjian yang dimaksud
oleh pihak-pihak.

Contoh bagian essentialia adalah kata sepakat di antara para pihak dan suatu hal
tertentu. Sehingga tanpa keduanya tidak akan terdapat suatu perjanjian.

Contoh lain adalah barang dan harga barang yang harus ada pada perjanjian jual
beli. Apabila isi dari perjanjian tersebut hanya meliputi barang dan tidak terdapat
harga, maka perjanjian itu tidak dapat digolongkan sebagai jual beli, melainkan
memenuhi unsur tukar menukar

2. Bagian Naturalia

Adalah bagian dari suatu perjanjian yang menurut sifatnya dianggap ada tanpa
perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Bagian naturalia dapat kita
temukan di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat
mengatur. Sehingga apabila para pihak tidak mengatur, maka ketentuan peraturan-
perundang-undanganlah yang akan berlaku. Namun karena sifatnya tidak
memaksa, maka para pihak berhak untuk menyimpangi ketentuan tersebut.
Contoh bagian naturalia dapat ditemukan di dalam Pasal 1476 KUH Perdata yang
menentukan bahwa:

“ Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul


oleh si pembeli, jika tidak telah diperjanjikan sebaliknya. “
8
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra
Aditya, 2010, Hlm. 67.
3. Bagian Accidentalia

Menurut Herlien Budiono, bagian accidentalia adalah bagian dari perjanjian yang
merupakan ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak.
Sedangkan menurut Komariah bagian accidentalia adalah unsur perjanjian yang
ada jika dikehendaki oleh para pihak.9 Contoh bagian accidentalia adalah
mengenai jangka waktu pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum dan cara
penyerahan barang

f. Asas asas kontrak

Menurut pasal 1338 KUH Pdt menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut
sangat jelas terkandung asas :

1) Asas konsesualisme

Asas konsesualisme adalah perjanjian akan terjadi jika telah ada kesepakatan
antara pihak yang mengadakan kontrak. Berdasarkan pada ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata ayat 1, pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul
sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata kesepakatan.Berlakunya asas
konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia, memantapkan adanya
kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.

2) Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontak adalah seseorang bebas melakukan perjanjian, bebas


melakukan apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontak yang
akan dilakukan.Asas kebebasan berkontrak dasar hukumnya pada rumusan
Pasal 1320 ayat 4 KUH Perdata yang berbunyi “suatu sebab yang tidak
terlarang”.

Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan
mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat
kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan
sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu sebab yang
terlarang, ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Suatu
sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”. Sumber dari kebebasan
berkontrak adalah kebebasan individu, sehingga yang merupakan titik tolaknya
9
Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Hlm. 172.
adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.

3) Asas Pacta Sunt Servanda.

Asas Pacta sunt servanda adalah konrtak merupakan undang undang bagi orang
yang membuatnya (mengikat).Asas yang diatur dalam Pasal 1338 KUH
Perdata, ialah semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Merupakan konsekuensi logis
dari ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa setiap
perikatan dapat lahir karena undang-undang maupun karena perjanjian.Jadi
perjanjian adalah sumber dari perikatan.Sebagai perikatan yang dibuat dengan
sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang
telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak
sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam
perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak
untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang
berbeda

4) Asas Kepribadian/Personalia

Asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perorangaan. Yang mana dapat dilihat dalam
pasal 1315 dan pasal 1340 KUH perdata. Pasal 1315 KUH perdata berbunyi
pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian
selain untuk dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH perdata berbunyi: perjanjian
hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.. berarti bahwa perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Dalam
pasal 1317KUH perdata yang berbunyi : dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri , atau
suatu pemberian kepada orang lain. Sedan dalam pasal 1318 KUH perdata
tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk
kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orangyang memperoleh hak.

5) Asas Itikad Baik

Asas ini disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUHP perdata pasal 1338 ayat
(3) KUH perdata berbunyi :perjanjian harus dilaksanakan dengan etikad baik.
Asas itikadmerupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan dan keyakinan
yang teguh dan kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik dibagi menjadi
dua macam , yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik
nisbi , orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.
Pada itikad baik mutlak, penilainya terletak pada akal sehat dan keadilan ,
dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaiian tidak memihak)
menurut norma-norma yang objektif.

Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang


diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari
tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan
asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu: asas kepercayaan, asas persamaan
hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas
kebiasaan, dan asas perlindungan. Kedelapan asas itu berikut ini:

6) Asas kepercayaan

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan


mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan mereka
di belakang hari.

7) Asas persamaan hukum

Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum
yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang
sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama lain,
walaupun subjek hukum itu berbeda wama kulit, agama, dan ras.

8) Asas keseimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak


memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi
melalui kekayaan debitur; namun debitur memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.

9) Asas kepastian hukum

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum Kepastian


ini terungkap dan kekuatan mengikatnva perjanjian, yaitu seha"ri undang-
undang bagi yang membuatnya.

10) Asas moral

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela
dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari
pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwameniming yaitu seseorang
melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai
kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah
satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan
perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai
panggilan hati nuraninya.

11) Asas kepatutan

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan
dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

12) Asas kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang
menurut kebiasaan lazim diikuti.

13) Asas perlindungan (protection)

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur


harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu
adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah.
Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan
dan membuat kontrak.

g. Syarat sahnya Kontrak

Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak,
maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat sah nya suatu kontrak Mengenai syarat
sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, berikut syarat sahnya
kontrak berserta masing-masing penjelasannya:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu


perjanjian. Kesepakatan itu dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling
penting adalah penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Kata sepakat
atau konsensus tersebut menuntut para pembuatnya untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang menjadi isi kata sepakat atau konsensus. Namun
demikian menurut Nieuwenhuis dan Van Dunne , kekuatan normative tidak
berasal dari kehendak manusia tetapi semata-mata bersumberkan hukum positif.10

10
Sebagaiman dikutip Herlien Budiono,Asas Keseimbangan Dalam Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya Bakti
Bandung, 2006, hlm.385
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, sebagai cara terjadinya
kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan adalah:

a) Dengan cara tertulis;


b) Dengan cara lisan;
c) Dengan simbol-simbol tertentu; bahkan
d) Dengan berdiam diri11

Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, khususnya syarat


kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti
bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, tidak ada perjanjian. Akan tetapi,
walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat
kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami
kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak sehingga memungkinkan
perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh
perjanjian tersebut.
Cacat kehendak dalam hal ini dapat terjadi karena terjadinya hal-hal diantaranya:

a) Ancaman (bedreiging)

terjadi apabila seseorang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu


perbuatan hukum, dengan menggunakan cara yang melawan hukum
mengancam akan menimbulkan kerugian pada orang tersebut atau kebendaan
miliknya atau terhadap pihak ketiga dan kebendaan milik pihak ketiga.12

b) Penipuan (bedrog)

terjadi jika salah satu pihak secara aktif memengaruhi pihak lain sehingga
pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu.

c) Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden)

terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat dari segi ekonomi maupun
psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-
hal yang memberatkan baginya.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

11
Munir Fuady, Hukum Perjanjian, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. 2, 2001),
hal. 34.
12
4 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
(Citra Aditya, Bandung, 2010), hal. 98.
Untuk mengadakan perjanjian, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi
bahwa para pihak atau salah pihak yang mengadakan perjanjian adalah tidak
cakap menurut hukum. Seseorang dianggap cakap oleh hukum apabila ia paling
rendah telah berumur 18 atau ia telah kawin, seperti yang diatur dalam Pasal 39
UndangUndang Jabatan Notaris, 25 Pasal 1 Undang-Undang Perlindungan
Anak,26 dan Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan. Pengertian kecakapan dalam
hukum mengandung dua arti yaitu cakap melakukan perbuatan hukum (wenang
hukum) dan berkuasa melakukan perjanjian. Pada umumnya semua subyek
hukum dianggap cakap melakukan perbuatan hukum kecuali memang oleh hukum
dinyatakan tidak cakap.Secara umum subyek hukum yang dianggap tidak cakap
melakukan perbuatan hukum adalah anakanak dan orang-orang yang diletakkan di
bawah curatele seperti orang gila.

3) Suatu hal tertentu

Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat berwujud barang,
keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Dalam suatu perjanjian harus ada
obyeknya. Obyek perjanjian tersebut sama dengan obyek hukum, artinya hal
tertentu pada syarat tersebut adalah obyek hukum yang menjadi obyek perjanjian.
Apabila obyek tersebut harus tertentu artinya obyek perjanjian harus dapat
ditentukan, baik jumlahnya, ukurannya, letaknya, jenisnya, maupun harganya,
walaupun mungkin saja obyek tersebut pada saat diperjanjikan belum ada. Hal
lain yang harus terpenuhi dalam pengertian tertentu adalah bahwa obyek tersebut
harus mungkin untuk dilaksanakan oleh debitur.

Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat digunakan


berbagai cara seperti: menghitung, menimbang, mengukur, atau menakar.
Sementara itu, untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan
oleh salah satu pihak. Untuk menentukan hal tertentu yang berupa tidak berbuat
sesuatu juga harus dijelaskan dalam perjanjian seperti ”berjanji untuk tidak saling
membuat tembok pembatas permanen antara dua rumah yang bertetangga”.

4) Causa atau sebab yang halal

Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang


mendorong orang untuk membuat perjanjian, yang dimaksud dengan sebab yang
halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang
menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab
dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan
dicapai oleh pihak-pihak. Jadi, maknanya adalah causa finalis bukan causa efisien.
Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan
perjanjian, yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang ialah isi
perjanjian, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak,
apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak maupun bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak tujuan para pihak mengadakan
perjanjian harus diperkenankan (dihalalkan) oleh hukum.

Pengertian tujuan tersebut harus dipahami sebagai tujuan yang mudah


disimpulkan hanya dari perbuatan lahir para pihak. Dalam kaitan ini tujuan
berbeda dengan motif. Selanjutnya tentang pengertian halal yang melekat pada
sebab tersebut, hukum dalam Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan suatu sebab
adalah dilarang apabila dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan
kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum.

Dari keempat syarat sahnya suatu perjanjian dapat dibedakan atas adanya syarat-
syarat subjektif yang merupakan syarat yang berkenaan dengan orang atau subjek yang
mengadakan perjanjian, dan adanya syarat-syarat objektif yang berkenaan dengan objek dari
perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Pembedaan syarat perjanjian pada syarat subyektif dan obyektif mempunyai


konsekwensi dalam hukum. Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi dan kemudian salah
satu pihak menuntut pembatalan, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar,
voidable) . Artinya sepanjang para pihak tidak mengajukan tuntutan perjanjian tetap sah.
Sedangkan syarat obyektif tidak terpenuhi dan kemudian salah satu pihak menuntut
pembatalan, maka perjanjian tersebut oleh Hakim akan dinyatakan batal demi hukum
(nietig, null and void),. Artinya sejak semula dianggap tidak pernah terjadi perjanjian dan
dengan demikian kedudukan para pihak harus dikembalikan seperti semula sebelum ada
perjanjian.

h. Hapus dan Berakhirnya suatu Kontrak

Apabila, semua perikatan-perikatan daripada perjanjian telah hapus seluruhnya, maka


perjanjianpun akan berakhir. Dalam hal ini, hapusnya perjanjian, sebagai akibat hapusnya
perikatan-perikatannya. Sebaliknya hapusnya perjanjian, dapat pula mengakibatkan
hapusnya perikatanperikatannya yaitu apabila suatu perjanjian hapus dengan berlaku surut,
misalnya sebagai daripada akibat pembatalan berdasarkan wanprestasi (Pasal 1266
KUHPerdata), maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan-perikatan
tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan. Akan
tetapi, dapat terjadi bahwa harus pula berakhir atau hapus untuk waktu selanjutnya, jadi
kewajiban-kewajiban yang telah ada tetap ada. Dengan pernyataan mengakhiri perjanjian,
perjanjian sewa menyewa dapat diakhiri, akan tetapi perikatan untuk membayar uang sewa
yang telah dinikmati tidak menjadi hapus karenanya.13

Perjanjian dapat hapus, karena :

a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya perjanjian akan berlaku
untuk waktu tertentu;
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian;
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya
peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus;
d. Menyatakan menghentikan perjanjian (opzegging);
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim;
f. Tujuan perjanjian telah tercapai; dan
g. Dengan persetujuan para pihak (herrooeping)14

Hal-hal yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian dalam KUHPerdata, terdapat


dalam Pasal 1381, yaitu dapat berakhir karena :

a. Pembayaran;
b. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c. Pembaharuan utang;
d. Perjumpaan utang atau konpensasi;
e. Pencampuran utang;
f. Pembebasan utangnya;
g. Musnahnya barang yang terutang;
h. Kebatalan atau pembatalan;
i. Berlakunya syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini;
j. Lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.
k. Ketentuan Umum Pada Kontrak
l. Ketentuan Umum Pada Kontrak

13
R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987. Hal 68
14
Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung, 2014. Hal 69
Pembahasan terkait ketentuan umum pada kontrak meliputi beberapa hal yang
kiranya menjadi klausula pengaman pada kontrak yang diatur pada KUH Perdata, berikut
beberapa hal terkait dengan ketentuan yang umumnya terdapat pada suatu kontrak:

1) Somasi

Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingebrekestelling.


Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH Perdata.
Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur)
agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati
antara keduanya. Somasi timbul disebabkan debitur tidak memenuhi prestasinya
sesuai dengan yang diperjanjikan. Ada tiga cara terjadinya somasi itu, yaitu:

1) debitur melaksanakan prestasi yang keliru, misalnya kreditur menerima


sekeranjang jambu seharusnya sekeranjang apel;
2) debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan. Tidak
memenuhi prestasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelambatan
melaksanakan prestasi dan sama sekali tidak memberikan prestasi. Penyebab
tidak melaksanakan prestasi sama sekali karena prestasi tidak mungkin
dilaksanakan atau karena debitur terang-terangan menolak memberikan
prestasi.
3) prestasi yang dilaksanakan oleh debitur tidak lagi berguna bagi kreditur
setelah lewat waktu yang diperjanjikan.

Ada lima macam peristiwa yang tidak mensyaratkan pernyataan lalai, sebagai
mana dikemukakan berikut ini 15

a. Debitur menolak pemenuhan.

Seorang kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila debitur menolak


pemenuhan prestasinya, sehingga kreditur boleh berpendirian bahwa dalam
sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan menimbulkan suatu
perubahan

b. Debitur mengakui kelalaiannya.


Pengakuan demikian dapat terjadi secara tegas, akan tetapi juga secara
implisit (diam-diam), misalnya dengan menawarkan ganti rugi.

c. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.

15
J.H. Niewenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Terjemahan Djasadin Saragih), (Surabaya: Universitas
Airlangga, 1985)
Debitur lalai tanpa adanya somasi, apabila prestasi (di luar peristiwa
overmacht) tidak mungkin dilakukan, misalnya karena debitur kehilangan
barang yang harus diserahkan atau barang tersebut musnah. Tidak perlunya
pernyataan lalai dalam hal ini sudah jelas dari sifatnya (somasi untuk
pemenuhan prestasi).

d. Pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos)


Tidak diperlukannya somasi, apabila kewajiban debitur untuk memberikan
atau melakukan, hanya dapat diberikan atau dilakukan dalam batas waktu
tertentu, yang dibiarkan lampau. Contoh klasik, kewajiban untuk
menyerahkan pakaian pengantin atau peti mati. Penyerahan kedua barang
tersebut setelah. perkawinan atau setelah pemakaman tidak ada artinya lagi.

e. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.

2) Wanprestasi

Wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diterapkan


perikatan atau perjanjian, tidak dipenuhinya kewajiban dalam suatu perjanjian,
dapat disebabkan dua hal, yaitu kesalahan debitur baik disengaja maupun karena
kelalaian dan karena keadaan memaksa (Overmacht/Force Majure).16
Berdasarkan KUHPerdata, wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata
yang menjelaskan :

“ Penggantian biaya, rugi dan bunga tidak dipenuhinya suatu perkataan,


barulah mulai diwajibkan, apabila yang berutang, setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya tetap melalaikannya, atau jika yang harus diberikan
atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampaukan.”

Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu :17

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;


2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana
dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

16
Djaja S. Meliala, Hukum Perikatan dalam Prespektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012, hlm. 175.
17
Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 54.
Apabila debitur dalam keadaan wanprestasi, kreditur dapat memilih diantara
beberapa kemungkinan tuntutan sebagaimana disebut dalam Pasal 1267
KUHPerdata yaitu :6118

1) Pemenuhan prestasi;
2) Ganti kerugian;
3) Pemenuhan prestasi ditambah ganti rugi;
4) Pembatalan perjanjian;
5) Pembatalan perjanjian ditambah ganti rugi

3) Ganti Rugi

Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan
perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam Buku III
KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 124 KUH Perdata s.d. Pasal 1252 KUH
Perdata. Sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur hakim
Pasal 1365 KUH Perdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah
suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan
kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya
kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.

Di dalam Pasal 1249 KUH Perdata ditentukan bahwa penggantian kerugian yang
disebabkan wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang. Namun, dalam
perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi materiil, dan ganti rugi inmateriil
19
Kerugian materiil adalah suatu kerugian yang diderita kreditur dalam bentuk
uang/kekayaan/benda. Sedangkan kerugian inmateriil adalah suatu kerugian yang
diderita oleh kreditur yang tidak benilai uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat,
dan lain-lain.

4) Keadaan memaksa

Ketentuan tentang overmacht (keadaan memaksa) dapat dilihat dan di baca


dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH
Perdata berbunyi: "Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan
bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu
atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh
suatu hal yang tidak terduga, yang tak dapat dipertanggung jawabkan
kepadanya. walaupun tidak ada iktikad buruk padanya”. Selanjutnya dalam
Pasal 1245 KUH Perdata yang berbunyi: "Tidak ada penggantian biaya,
18
R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987. Hal 18
19
Mr. C. ASSER, Hukum Perdata (Jakarta: Dian Rakyat, 2001), Hal 274
kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang
terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat
sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang
olehnya." Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak
melakukan Penggantian biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur, oleh karena
suatu keadaan yang berada diluar kekuasaannya.

Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu


1) keadaan memaksa absolut, dan
2) keadaan memaksa yang relatif.

Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali
tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya
gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin membayar
utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran
utang, terjadi gempa bumi. Maka A sama sekali tidak dapat membayar utangnya
pada B.

Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur
masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Tetapi pelaksanaan prestasi itu
harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang
atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau
kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contoh keadaan
memaksa relatif, seorang penyanyi telah mengikat dirinya untuk menyanyi di
suatu konser, tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan, ia menerima kabar
bahwa anaknya meninggal dunia. Contoh lainnya, A telah meminjam kredit
usaha tani dari KUD dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi
sebelum panen, padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia
tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan
membayar pada musim panen mendatang.

5) Risiko

Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran
tentang risiko). Resicoleer adalah suatu ajaran, yaitu seseorang berkewajiban
untuk memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu
pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini timbul
apabila terdapat keadaan memaksa (overmacst).

Dari apa yang sudah diuraikan tentang pengertian risiko di atas, kita lihat
peristiwa risiko berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar
kesalahan satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain berpokok
pangkal pada kejadian yang dalm hukum perjanjian dinamakan : keadaan
memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagai
mana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi.

Bagaimana soal risiko itu diatur dalam hukum perjanjian? Dalam buku ke III
kitab undang-undang hukum perdata, sebenarnya kita hanya dapat menemukan
satu pasal, yaitu pasal 1237. Pasal ini berbunyi sebagai berikut : “ Dalam hal
adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu
semenjak perikatan dilahirkan, adalah tanggungan si berpiutang”. Perkataan
tanggungan dalam pasal ini sama dengan “risiko”. Dengan begitu, dalam
perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum
diserahkan, musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak,
kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang”, yaitu pihak yang menerima
barang itu. Suatu perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, adalah
suatu perikatan yang timbul karena perjanjian sepihak. Dengan kata lain,
pembuat undang-undang tidak memikirkan perjanjian timbal-balik, dimana pihak
yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu
kontraprestasi! Dia hanya memikirkan pada suatu perikatan secara abstrak,
dimana ada satu pihak yang wajib melakukan suatu prestasi dan suatu pihak lain
yang berhak atas prestasi tersebut. Pasal 1237 hanya dapat dipakai pada
perjanjian sepihak saja.

m. Jenis-jenis Kontrak

Terdapat banyak jenis kontrak atau perjanjian hal tersebut tergantung dari sudut
pandang mana perjanjian tersebut dibagi-bagi, Penulis hanya akan membatasi pada
perjanjian dari pengembangan pasal 1319 KUH Perdata, yang menyatakan sebagai berikut:

“ Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak
dikenal / terkenal dengan nama khusus / tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan
umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu. ”

Dari pasal tersebut dapat diketahui 2 (dua) jenis perjanjian sebagai berikut:

1) Perjanjian yang dikenal dengan nama khusus/Perjanjian Bernama


Perjanjian yang diatur secara khusus di dalam undang-undang dan diberi nama
resmi di dalam undang-undang, disebut juga perjanjian khusus. Contohnya:
Dalam KUH Perdata (Buku III Titel 5-18)dikenal adanya perjanjian berupa:
 Jual Beli
 Tukar Menukar
 Sewa menyewa
 Sewa Beli
 Perjanjian untuk melakukan pekerjaan
 Pengangkutan
 Persekutuan
 Perkumpulan
 Penghibahan
 Penitipan Barang
 Pinjam Pakai
 Pinjam Meminjam
 Perjanjian untung-untungan
 Pemberian Kuasa
 Penanggungan Utang
 Perdamaian
 Arbitrase
Dalam KUHD
 Jual Beli Perniagaan
 Persekutuan Perniagaan
 Perjanjian Perwakilan Khusus
 Asuransi/pertanggungan
 Pengangkutan
 Perjanjian dengan surat berharga
Dalam perundang-undangan Khusus, seperti perjanjian :
 Perseroan Terbatas
 Yayasan
 Koperasi
– Pengangkutan

2) Perjanjian yang tidak dikenal dengan nama khusus /perjanjian Tidak Bernama
(innominat kontrak)
Perjanjian yang belum diatur dalam UU dan belum diberi nama resmi, antara lain:
a) Perjanjian Campuran
Perjanjian yang didalamnya terkandung unsur dari berbagai perjanjian
bernama lain, contohnya:

 Perjanjian beli sewa


 BOT (pemerintah dengan investor)

b) Contractus Sui Generis (Perjanjian Mempunyai Sifat Khusus)


Terkandung unsur dari perjanjian lain tapi sudah bercampur sedemikian rupa
sehingga memberikan karakter yang khas.
Atas jenis-jenis kontrak tersebut jika dihubungkan dengan dinamika masyarakat yang
terus berkembang hal tersebut akan menyebabkan perjanjian tak bernama semakin banyak,
antisipasi banyaknya perjanjian tersebut ke depannya daapt ditentukan oleh hakim,
berdasarkan pada asas Re Bus Sic Stantibus yang artinya Suatu Perjanjian mengikat selama
keadaan yang mendasari terbentuknya perjanjian itu tetap sama. Kalau keadaan berubah,
terjadi kekosongan, maka diserahkan Hakim dengan Itikad Baik.

n. Penyelesaian sengketa pada Kontrak

Pada dasarnya setiap kontrak (perjanjian) yang dibuat para pihak harus dapat
dilaksanakan dengan sukarela atau itikad baik, namun dalam kenyataannya kontrak yang
dibuatnya seringkali dilanggar. Persoalannya yaitu beruhubungan dengan cara penyelesaian
sengket. Penyelesaian sengketa di bidang kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
(1) melalui pengadilan, dan (2) di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui
pengadilan adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang
diselesaikan oleh pengadilan. Putusannya bersifat mengikat. Sedangkan penyelesaian
sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli (Pasal 1 ayat (10) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Pilhan Penyelesaian Sengketa). Apabila mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (10)
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 maka cara penyelesaian sengketa melalui ADR dibagi
menjadi lima cara, yaitu :

1) Konsultasi
2) Negosiasi
3) Konsiliasi, atau
4) Penilaian ahli.20
Dengan masing-masing pengertian berikut:

Arbitrasi
Berdasarkan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa
Pasal 1 angka (1) Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa Perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa;
Mediasi

20
Salim, H. S, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.
140.
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa secara damai dimana ada keterlibatan pihak
ketiga yang netral (mediator) , yang secara aktif membantu pihak-pihak yang bersengketa
untuk mencapai suatu kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak;

Negosiasi
Negosiasi adalah penyelesaian sengekta dengan menggunakan komunikasi dua arah dari
kedua belah pihak yang bersengketa untuk merumuskan sebuah kesepakatan bersama

Konsiliasi
Upaya unutk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih untuk
mencapai persetujuan dan penyelesaian bersama.

Dalam literatur juga disebutkan dua pola penyelesaian sengketa, yaitu the binding
adjudicative procedure dan the nonbinding adjudicative procudere.

1) The binding adjudicative procedure,


yaitu suatu prosedur penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim
mengikat para pihak. Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat dibagi menjadi empat
macam, yaitu :
a) Litigasi
b) Arbitrase
c) Mediasi-Arbitrase, dan
d) Hakim Partikelir

2) The non binding adjudicative procedure,


yaitu suatu proses penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim atau
orang yang ditunjuk tidak mengikat para pihak. Penyelesaian sengketa dengan cara ini
dibagi menjadi enam macam, yaitu :
e) Konsiliasi
f) Mediasi
g) Mini-Trial
h) Summary Jury Trial,
i) Neutral Expert Fact-finding, dan
j) Early Expert Neutral Evaluation21

21
Roedjiono, Alternative Dispute Resolution (Pilihan Penyelesaian Sengketa), Makalah disajikan pada Penataran
Dosen Hukum Perdata, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1996, hlm. 3.
BAB III

PERANCANGAN SUATU KONTRAK BISNIS

a. Pengertian perancangan Kontrak

Istilah perancangan kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract drafting. Perancangan
adalah proses, cara, atau perbuatan merancang. Sedangkan kontrak adalah hubungan hukum antara
dua orang atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum hak dan kewajiban.
Jadi, perancangan kontrak merupakan proses atau cara merancang kontrak.

Merancang kontrak adalah mengatur dan merencanakan struktur, anatomi, dan substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak. Struktur kontrak adalah susunan dari kontrak yang akan dibuat
atau dirancang oleh para pihak. Anatomi kontrak adalah berkaitan dengan letak dan hubungan antara
bagian-bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Substansi kontrak merupakan isi yang akan
dituangkan dalam kontrak yang akan dirancang oleh para pihak. Substansi kontrak ada yang
dinegosiasi oleh para pihak dan ada yang telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak.
Kontrak semacam ini disebut dengan kontrak baku (standard contract). 22

b. Prinsip-prinsip perancangan Kontrak

Setiap perancangan kontrak, baik itu kontrak yang terdapat dalam KUHPerdata maupun
kontrak yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tentunya harus memperhatikan prinsip-
prinsip di dalam merancang kontrak. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dalam perancangan
kontrak adalah dasar atau asas yang harus diperhatikan dalam merancang sebuah kontrak. Erman
Rajaguguk mengemukakan ada sepuluh prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam kontrak-kontrak
yang lazim digunakan di Indonesia dan patut menjadi perhatian perancang kontrak dagang
internasional.23 Kesepuluh prinsip tersebut meliputi:

c. 1.    Penggunaan istilah,
d. 2.    Prinsip kebebasan berkontrak,
e. 3.    Prinsip penawaran dan penerimaan,
f. 4.    Iktikad baik,
g. 5.    Peralihan risiko,
h. 6.    Ganti kerugian,
i. 7.    Keadaan darurat,
j. 8.    Alasan pemutusan,
k. 9.    Pilihan hukum, dan
l. 10.     Penyelesaian sengketa.

22
Salim HS (et.al.), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
hal. 1.
23
Erman Rajaguguk, Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1994), hal. 3-8.
m. Di samping itu, Peter Mahmud mengemukakan dua prinsip yang harus diperhatikan
dalam mempersiapkan kontrak, yaitu beginselen der contractsvrijheid atau party
autonomy dan pacta sunt servanda. Beginselen der contractsvrijheid atau party
autonomy, yaitu para pihak bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan,
dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan. Langkah pertama yang mesti dilakukan oleh para pihak untuk menghindari
ketidakjelasan maksud para pihak ialah dengan menjelaskan sejelas-jelasnya kepada
mereka yang terlibat dan bertugas di dalam melakukan transaksi. Sementara itu,
kewajiban pertama perancang kontrak adalah mengomunikasikan kepada kliennya
apakah yang telah dirumuskannya tersebut sudah sesuai dengan keinginan kliennya.[4]

n. Tahapan perancangan Kontrak


o. Anatomi Kontrak
p. Beberapa faktor penting dalam perancangan Kontrak
BAB IV

PENUTUP

a. Kesimpulan
b. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ade Maman Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global,Ghalia, Indonesia, Jakarta,

Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1991.

Koentjaraningrat, metode-Metode Penelitian, PT Gramedia, jakarta, 1985.


Neny Sri Imaniyati, 2009, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Graha
Ilmu, Yogyakarta.

Ronny Hanitidjo Soemitro, 1982, Studi Hukum Dalam Masyarakat, Alumni, Bandung, hal.10.

Artikel

Zulfi Diane Zaini, Artikel “Kedudukan Hukum Ekonomi Indonesia Dalam Perspektif Globalisasi
Perdagangan”

Perundang-undangan

PBI Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial

UU nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia

Pranala Internet

https://www.researchgate.net/publication/
323629323_Teknologi_Keuangan_Fintech_Konsep_dan_Implementasinya_di_Indonesia
[diakses Aug 24 2018].

https://kbbi.web.id/finansial (diakses 24 Agustus 2018)

https://www.cnbcindonesia.com/fintech/20180110145800-37-1126/ini-dia-empat-jenis-fintech-
di-indonesia (diakses 24 agustus 2018)

http://www.jtanzilco.com/blog/detail/718/slug/financial-technology (diakses 24 agustus 2018)

Anda mungkin juga menyukai