I. PENDAHULUAN
Dalam pelaksanaan usaha bisnis, sering terlupakan betapa pentingnya perjanjian atau
kontrak yang seharusnya dibuat secara jelas dan tegas sebelum bisnis atau usaha itu di
jalankan. Bahkan berbagai aspek hukum dan kelegalitasannya sering kali diabaikan.
Seharusnya hal itu, telah mendapat perhatian pada waktu akan dan menjalankan bisnis,
kenyataannya yang terpenting adalah usahanya dijalankan terlebih dahulu, sedangkan
masalah hukum sebagai akibat dilaksanakannya bisnis atau kegiatan usaha, toch nanti
dapat diselesaikan melalui berbagai cara, seperti melibatkan jasa penasehat hukum dan
lain-lainnya.
Banyak usaha yang telah berjalan bermasalah dari segi hukum, karena telah terbiasa
dengan adaqium tersebut yang penting adalah adanya modal atau uang, masalah lain
diurus belakangan apalagi masalah hukum dan kelegalitasannya, nanti dapat juga
diselesaikan. Prinsip atau adaqium itu sebenarnya tidak bendasar atau keliru, apalagi jika
dikaitkan dengan konsep ketatanegaraan kita yang berasaskan pada hukum, dalam arti
semua tatanan kehidupan termasuk kegiatan usaha harus tidak boleh bertentangan dengan
hukum. Termasuk dalam hal mengadakan kerjasama dengan orang lain, diabaikannya hal
tersebut, dapat menimbulkan permasalahan yang berakibat kerugian dikemudian hari,
bahkan untuk mengatasinya menimbulkan biaya yang cukup tinggi dan waktu yang
panjang. Artinya dalam berusaha, mengenai keberadaan kontrak atau perjanjian dengan
segala aspek hukum dan kelegalitasannya mutlak mendapat perhatian, setidak-tidaknya
risiko usaha dapat diminimalisir.
Dalam kaitannya dengan itu, untuk melaksanakan berbagai kegiatan usaha,
patokan awal yang perlu mendapat perhatian, apakah kegiatan yang dilaksanakan tersebut
dimungkinkan oleh ketentuan yang berlaku, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1337
KUHPerdata; “tiada causa yang halal, jika causa itu dilarang oleh undang-undang,
bertentang dengan kesusilaan dan atau ketertiban umum”. Tiada causa sebagaimana
dimaksudkan, diartikan “bahwa tujuan dari diadakan dan dilaksanakannya kegiatan usaha
tersebut benar-benar sesuai dengan ketentuannya atau prosedurnya atau tidak ada suatu
aturan pun yang melarang dan atau yang bertentangan. Sebagai contoh dalam hal jual beli
senjata api, obat-obat terlarang, perdagangan wanita, jual beli gambar yang
mempertontonkan bagian-bagian yang sensitif dari wanita, termasuk dalam pengadaan
barang dan jasa yang telah ditentukan dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 jo
Perpres No. 70 Tahun 2012. Oleh karenannya, kontrak dengan lawan bisnis, haruslah
dibuat dengan jelas dan tegas pada waktu akan melaksanakan kerjasama serta tetap
mempedomani ketentuan yang ada.
Berkaitan dengan kontrak atau perjanjian sebagaimana dimaksudkan, sebelum
kontrak dibuat dan ditanda tangani, terkadang suatu kontrak didahului dengan adanya
pembicaraan pendahuluan yang dilanjutkan dengan pembicaraan lanjutan ketingkat
berikutnya yang dikenal dengan negosiasi dan saling pengertian (MoU). Gunanya adalah
untuk mematangkan kesepakatan yang akan direalisasikan nantinya dalam bentuk
kontrak. Oleh karenanya, sebelum kontrak ditanda tangani, para pihak harus yakin bahwa
kesepakatan yang dibuat itu benar-benar telah dimengerti dan dikehendakinya sehingga
kontrak yang akan ditanda tangani betul-betul matang , lengkap dan jelas. Dalam
pelaksanaannya, walaupun kontrak dibuat telah selengkap-lengkapnya, tetap
dimungkinkan ada saja kekurangannya, baik disebabkan kedudukan para pihak dalam
negosiasi dan merealisasikan kontrak yang tidak seimbang maupun disebabkan faktor
pemahaman tentang kontrak serta menafsirkan klausula kontrak yang tidak jelas sehingga
menimbulkan kerugian setelah kontrak berjalan. Hal ini juga harus diselesaikan, baik
dengan format litigasi (peradilan umum) maupun non litigasi (penyelesaian diluar
pengadilan) yang merupakan alternatif penyelesaian sengketa atau perselisihan di luar
pengadilan.
III. Pembahasan
1. Pengertian Perjanjian/Kontrak
Sebelum membahas apa yang dimaksudkan dengan kontrak dan perjanjian di
atas, terlebih dahulu perlu adanya penegasan pemakaian istilah dari kontrak dan
perjanjian tersebut, karena dalam konsep teoritis dan prakteknya, kedua istilah
dimaksud terkadang digunakan secara bersamaan. Sebagai contoh, dalam kontrak yang
diadakan oleh para pihak, sering juga terdapat kata-kata perjanjian demikian juga kata
kontrak itu sendiri. Biasanya dalam suatu kontrak, kalimat akhirnya/klausulanya
berbunyi ”demikian perjanjian ini dibuat dengan sesungguhnya dan mempunyai
kekuatan mengikat setelah ditanda tangani oleh kedua pihak, dst”. Pada hal kepala atau
judul kontraknya juga berbunyi tentang ”Kontrak Sewa Menyewa Rumah” dan lain-
lain.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa kata-kata atau istilah kontrak dalam
prakteknya digunakan bersamaan dengan istilah perjanjian, hal ini terkadang
membingungkan, untuk itu diperlukan pemahaman lebih mendalam, baik secara
teoritisnya maupun praktisnya. Dalam arti, apakah terminologi yang akan digunakan,
pembatasan demikian sangat diperlukan untuk menyamakan persepsi tentang
penggunaan istilah yang tepat dalam pembahasan dan pemahamannya. Menurut Munir
Fuady dalam salah satu tulisannya menegaskan, bahwa :
“Istilah kontrak dalam hukum kontrak berasal dari padanan bahasa Inggris yang
dikenal dengan istilah “contract”. Istilah kontrak ini sebenarnya bukanlah hal yang
asing dalam prakteknya, dikatakan demikian, karena istilah ini sudah cukup lama
dikenal, seperti adanya kata-kata “kebebasan berkontrak dan bukan penggunaan
istilah “kebebasan berperjanjian atau berperikatan”. Dalam perakteknya masyarakat
sering mengunakan berbagai penempatan istilah ini, seperti dikenalnya kata-kata
“kuli kontrak, kawin kontrak dan sebagainya”. (M.Fuady, 1999; 3)
hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur yang terletak dalam lapangan
hukum harta kekayaan. Demikian juga rumusannya tidak menyebutkan tujuan,
sedangkan para pihak mengadakan perjanjian itu jelas melahirkan akibat hukumnya
yakni adanya keterikatan untuk melaksanakan prestasi, dalam arti, lahirlah hubungan
hukum bagi kedua belah pihak.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang dikemukakan di atas, maka dapat
dikatakan, bahwa suatu perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan diri atau saling mengikatkan dirinya untuk
melaksanakan sesuatu hal dengan tujuan melahirkan akibat hukum/hubungan hukum
antara para pihak”.
Sementara itu, mengenai pengertian kontrak itu sendiri jika dilihat dari
terminologinya dalam KUHPerdata dan ketentuan lainnya tidak dirumuskan secara
tegas, kecuali adanya pemakaian istilah kontrak, seperti yang terdapat dalam Pasal
1338 ayat (1) yang mengggunakan kata-kata kontrak untuk penggunaan azas
kebebasan berkontrtak dan bukan berperjanjian.
Berkaitan dengan itu, Munir Fuady menegaskan; “Istilah kontrak dalam hokum
kontrak, merupakan kesepadanan dari istilah “contract” dalam bahasa Inggris,
walaupun istilah kontrak itu sendiri dalam bahasa Indonesia sudah ada dan bukan
merupakan istilah asing, seperti adanya kata-kata kawin kontrak, buruh kontrak dan
lain-lain. Hanya saja kata Munir Fuady; “dengan memakai istilah “kontrak” adanya
konotasi sebagai berikut : (Munir Fuady, 1999; 3)
1) Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-
perjanjian tertulis semata-mata, sehingga orang sering menanyakan “mana
kontraknya”. Hal ini berarti yang ditanyakan adalah kontrak yang tertulis”;
2) Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-
perjanjian dalam dunia bisnis;
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Munir Fuady di atas, Henry Black
menegaskan, bahwa kontrak pada dasarnya adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan
(promissory agreement) diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan,
memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum”. (Hendry Black Campbell, 1968;
394). Demikian juga dalam Blacks Law Cictionary menegaskan; “kontrak adalah suatu
perjanjian antara dua atau lebih yang menimbulkan kewajiban untuk melakukan atau
tidak melakukan suatu hal tertentu”. Blacks Law Dictionary, 1979; 291). Selanjutnya
Soedjono Dirdjosisworo memberikan rumusan; bahwa kontrak adalah suatu janji atau
seperangkat janji-janji dan akibat pengingkaran atau pelanggaran atasnya, hukum
memberikan pemulihan atau menetapkan kewajiban bagi yang ingkar janji disertai
sanksi untuk pelaksanaannya”. Oleh karenanya setiap kontrak setidak-tidaknya
melibatkan dua pihak. (Soedjono D, 2003; 29)
Beranjak dari beberapa rumusan kontrak di atas, maka dapat dikatakan bahwa
suatu kontrak, setidak-tidaknya terkandung beberapa unsure, anatara lain :
1) Adanya kesepakatan tentang fakta antara para pihak;
2) Di buat secara tertulis;
3) Adanya orang yang berhak dan berkewajiban untuk melaksanakan;
4) Adanya akibat hukum yang ditimbulkan.
Dari beberapa pengertian perjanjian dan kontrak sebagaimana dikemukakan di
atas, dapat dikatakan bahwa kedua pengertian tersebut pada prinsipnya tidak jauh
berbeda, karena pengertian perjanjian dan kontrak dimaksud sama-sama dilahirkan
dengan adanya kesepakatan dan pada akhirnya menimbulkan dan melahirkan hubungan
hukum atau perikatan, namun dalam pelaksanaannya perjanjian dapat saja dilakukan
secara lisan dan tertulis, sebaliknya kontrak lebih cenderung dalam bentuk tertulis.
5
Sementara itu, dalam konsep hukum perdata, bahwa perikatan atau hubungan
hukum sebagaimana dimaksudkan di atas, tidak saja dilahirkan karena adanya suatu
perjanjian dan atau kontrak, tetapi juga disebabkan karena undang-undang telah
menyatakan bahwa suatu peristiwa dan atau perbuatan seseorang tanpa didahului adanya
perjanjian/kontrak telah mengikat seseorang untuk melaksanakan hak dan kewajibannya
yang diharuskan oleh undang-undang. Seperti adanya perbuatan melawan hukum atau
melanggar hukum yang dinyatakan oleh undang-undang (Pasal 1365 dan 1367). Artinya
orang yang melanggar hukum terikat menanggung beban kerugian akibat kesalahannya.
Mengenai Memorandum of Understanding (MoU) tidak dikenal dalam termonologi
hukum konvensional Indonesia. Namun saat ini terminologi MoU sangat memasyarakat
dikalangan pengusaha maupun eksekutif. Dinegara Eropah istilah lain dari MoU inilah
Head Agrement atau BA. MoU sendiri mengandung makna sebagai perjanjian
pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti oleh dan dijabarkan perjanjian lain yang
mengaturnya lebih rinci. Oleh karena itu dalam suatu MoU hanya memuat hal pokok
saja. Meskipun MoU belum merupakan suatu kontrak, namun yang jelas MoU
merupakan pencatatan dan pendokumentasian hasil suatu negoasiasi awal dalam bentuk
tertulis. Oleh karena itu MoU sangat penting sekali baik sebagai bahan dalam
melakukan negosiasi berikutnya, maupun sebagai dasar untuk melakukan studi
kelayakan dan atau pembuatan kontrak. Makanya suatu MoU bercirikan sebagai berikut :
1. Bersifat pendahuluan dan akan diikuti oleh suatu perjanjian yang lebih rinci;
2. Isinya ringkas dan memuat hal-hal pokok saja serta dibuat dalam bentuk
perjanjian di bawah tangan;
3. Mempunyai jangka waktu berlaku, biasanya antara 6 (enam) bulan sampai 1 (satu)
tahun. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak ada tindak lanjut maka MoU itu
akan batal, kecuali diperpanjang;
4. Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk
harus menindak lanjutinya dalam sautu perjanjian;
Mengingat hal tersebut, maka dalam terminologi hukum di Indonesia MoU
sering juga diterjemahkan dengan istilah “Nota Kesepakatan” , “Perjanjian
Kerjasama” atau “Perjanjian Pendahuluan”. Sedangkan kalau kita lihat dari segi
kekuatan mengikatnya terdapat dua pandangan yaitu :
menyatakan bahwa : “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan
karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
2). Kecakapan untuk membuat perikatan.
Secara umum setiap orang yang sudah dewasa dan berpikiran sehat adalah
cakap secara hak untuk membuat perjanjian. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
1329 KUHPerdata yang berbunyi : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.
Perundang-undangan tidak memberikan pengertian secara jelas mengenai
pengertian cakap. Hanya saja pada Pasal 1330 KUHPerdata ditegaskan mengenai
kelompok-kelompok orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yang
terdiri dari :
a. Orang-orang yang belum dewasa;
a. Mereka yang berada dibawah pengampuan;
b. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan
semua orang kepada siapa undang-undang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Ketiga kelompok orang yang dianggap tidak cakap diatas, dalam hal membuat
suatu perjanjian memerlukan wakil untuk melakukan perbuatan hukumnya. Dalam hal
anak dibawah umur, maka yang membantu atau mewakilinya adalah orangtua atau
walinya Secara acontrario, Pasal 330 KUHPerdata dapat ditafsirkan mengenai
pengertian orang yang belum dewasa yaitu bahwa dewasa adalah mereka yang telah
cukup umur 21 tahun dan telah kawin sebelum umur 21 tahun. Jadi yang belum
dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin.
Sedangkan bagi orang yang berada dibawah pengampuan, yang dapat
mewakilinya adalah pengampunya sendiri atau orangtuanya. Menurut Pasal 433
KUHPerdata yang berada dalam pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu
berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Sehingga
pembentuk Undang-undang menganggap bahwa yang bersangkutan tidak mampu
menyadari tanggung jawabnya, oleh karena itu ia dianggap tidak cakap bertindak
dalam mengadakan perjanjian.
Sementara itu mengenai kecakapan seorang wanita, setelah dikeluarkannya
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 yang mencabut ketentuan pasal
108 dan 110 KUHPerdata, maka secara langsung ketidakcakapan seorang wanita yang
bersuami dicabut pula, dalam arti kata seorang wanita yang telah bersuami berwenang
untuk melakukan perbuatan hukum dan berwenang untuk menghadap kemuka
pengadilan serta tidak lagi memerlukan bantuan suaminya dalam melakukan perbuatan
hukumnya. Kecakapan juga erat kaitannya dengan kompetensi para pihak dalam suatu
kontrak yang akan di adakan, artinya, benarkah para pihak tersebut memiliki
kompetensi secara hukum sebagai para pihak.
3). Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu merupakan pokok atau objek dari perjanjian, maksudnya
adalah bahwa suatu hal tertentu merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu
perjanjian atau keseluruhan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang
diadakan. Objek dari suatu perjanjian haruslah tertentu atau sekurang-kurangnya dapat
ditentukan. Apa yang diperjanjikan haruslah cukup jelas, ditentukan jenisnya dan
mengenai jumlahnya boleh tidak disebutkan asalkan dapat dihitung atau ditetapkan.
Hal ini berguna dalam menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul
perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian nantinya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal
1333 KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok
suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa
10
jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau
dihitung.” Jika prestasinya tidak jelas, dapat dikatakan perjanjian dimaksud tidak dapat
dilaksanakan dan dianggap tidak ada objek perjanjian, maka perjanjian demikian batal
demi hukum.
4). Suatu sebab yang halal.
Suatu sebab yang halal diatur lebih lanjut dalam Pasal 1335, 1336, dan 1337
KUHPerdata. Pengertian “sebab” disini tidak diberikan oleh Undang-undang, dan
“sebab” disini bukanlah sebab yang berhubungan dengan hubungan sebab akibat.
Menurut pasal 1320 KUHPerdata sebab yang halal bukanlah sebab yang menyebabkan
atau mendorong orang untuk melakukan perjanjian, akan tetapi mengenai isi perjanjian
yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Sedangkan menurut
Yurisprudensi yang menafsirkan bahwa sebab disini maksudnya adalah isi atau maksud
ataupun tujuan perjanjian dibuat, yaitu apa yang dikehendaki oleh para pihak dalam
membuat perjanjian.
Didalam Pasal 1335 KUHPerdata ditegaskan bahwa suatu perjanjian yang tanpa
sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau perjanjian yang dibuat karena
sebab yang terlarang maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Sebab terlarang yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-
Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Hal di
atas dapat diartikan, bahwa sebab seperti dimaksudkan dalam Pasal 1337 KUHPerdata
yang demikianlah yang disebut dengan sebab yang tidak halal.
2) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru. Dalam hal ini debitur
melaksanakan/memenuhi apa yang telah diperjanjikan atau apa yang telah
ditentukan oleh Undang-undang, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut
kualitas yang ditentukan oleh Undang-undang atau menurut kualitas yang
telah ditentukan dalam perjanjian.
3) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya. Dalam hal ini
debitur memenuhi prestasinya tetapi terlambat dari waktu yang telah
ditetapkan dalam perjanjian.
4) R.Subekti menambahkan satu keadaan lagi mengenai wanprestasi yaitu:
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
(R.Subekti, 1990; 20).
Sementara itu, overmacht sebagaimana dimaksudkan merupakan suatu keadaan
tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadinya peristiwa yang bukan merupakan
kesalahan dari debitur dimana peristiwa itu tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga
akan terjadi ketika membuat suatu perjanjian. Dalam keadaan overmacht ini debitur tidak
dapat dipersalahkan karena keadaan ini timbul diluar kemauan dan kemampuan pihak
debitur selain itu jika debitur dapat membuktikan peristiwa-peristiwa atau keadaan yang
timbul tersebut bukan karena kesalahannya dan terjadi setelah perjanjian disepakati, maka
terhadap debitur tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Overmacht atau suatu keadaan memaksa dapat terjadi dikarenakan :
1. Benda yang menjadi objek perjanjian itu binasa atau lenyap baik itu menimbulkan
kerugian total ataupun sebagian.
2. Perbuatan debitur untuk berprestasi menjadi terhalang baik itu bersifat sementara
ataupun bersifat tetap. Overmacth yang bersifat sementara mengakibatkan hubungan
hukum itu menjadi tertunda sedangkan overmacht yang bersifat tetap mengakibatkan
hubungan hukum itu akan terputus dan berakhir sehingga tidak dapat dilaksanakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam
overmacht atau keadaan memaksa itu terdiri dari :
1. Suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan barang yang menjadi objek
dari suatu perjanjian, hal ini selalu bersifat tetap.
2. Tidak dipenuhinya suatu peristiwa tersebut menghalangi perbuatan debitur, hal ini
bisa bersifat tetap ataupun bersifat sementara.
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat
suatu perjanjian, baik oleh debitur maupun oleh kreditur.
Jika dihubungkan antara keadaan memaksa (overmacht) dengan wanprestasi maka
diantara keduanya terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu bahwa kedua-
duanya menyangkut soal tidak dipenuhinya kewajiban yang telah diperjanjikan,
sedangkan perbedaannya terletak pada ada atau tidaknya unsur kesalahan/kesengajaan
oleh debitur. Hal ini berarti, bahwa dengan adanya overmacht ini dapat dikatakan
peristiwa itu merupakan landasan hukum dalam memaafkan kesalahan debitur.
Hal-hal mengenai keadaan memaksa itu terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang
mengatur ganti rugi yakni dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Menurut
pembentuk undang-undang keadaan memaksa merupakan suatu alasan pembenar untuk
membebaskan seseorang dari kewajiban membayar ganti rugi. Pasal 1244 KUHPerdata
menyatakan bahwa :
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga,
apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat
dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak
dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah
ada pada pihaknya”.
12
Dengan melihat kedua pasal tersebut diatas dapat dikatakan bahwa keadaan
memaksa (overmacht) merupakan suatu kejadian yang tidak dapat terduga dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan dan tidak disengaja oleh debitur. Jika dikaji lebih
mendalam/secara yuridis, pada dasarnya antara wanprestasi dengan overmacht sama-
sama menimbulkan kerugian, namun terjadinya wanprestasi disebabkan adanya faktor
kesengajaan dan atau kelalaian sehingga menimbulkan kerugian, sebaliknya pada
peristiwa overmacht kerugian yang terjadi bukan merupakan faktor yang disengaja dan
dengan keadaan tersebut dapat membebaskan debitur dari tuntutan ganti rugi kecuali
overmacht terjadinya pada saat wanprestasi. Ganti kerugian sebagai akibat wanprestasi
ditentukan dalam Pasal 1243 yang dapat berbentu tuntutan biaya atau cost yang telah
dikeluarkan, bunga atau keuntungan yang diharapkan serta kerugian yang diderita oleh
kreditur.
hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan perjanjian yang
merupakan sumbernya masih tetap ada. Hal tersebut bisa ditemukan dalam perjanjian
jual beli, dimana apabila harga sudah dibayar maka perikatan mengenai pembayaran
sudah hapus, tetapi perjanjiannya belum hapus karena perjanjian penyerahan barang
belum terlaksana.
Berkaitan dengan berakhirnya suatu kontrak atau perjanjian sebagai akibat dari
berakhirnya semua perikatan ini tidaklah berlaku secara mutlak, karena ada suatu
kontrak atau perjanjian tidak menyebabkan suatu perikatan hapus atau berakhir. Hal
tersebut dapat kita temui dalam suatu perjanjian yang berlaku surut, misalnya saja
akibat dari pembatalan yang disebabkan oleh salah satu pihak melakukan wanprestasi
(Pasal 1266 KUHPerdata) maka segala perikatan yang telah terlaksana menjadi hapus.
Sementara itu, mengenai hapusnya perjanjian dimaksud, dalam prakteknya disebabkan
beberapa hal, antara lain :
1. Ditentukan terlebih dahulu dalam persetujuan oleh para pihak
Sebagai contoh, perjanjian yang dibuat ditentukan untuk batas waktu tertentu, bila
perjanjian sampai pada batas waktu yang ditentukan, maka perjanjian akan berakhir;
2. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu persetujuan
Waktu tertentu tersebut dijelaskan lagi dalam pasal 1066 ayat (4) yang berbunyi :
“Persetujuan yang sedemikian hanyalah mengikat untuk selama lima tahun, namun
setelah lewatnya tenggang waktu ini, dapatlah persetujuan itu diperbaharui”;
3. Oleh para pihak atau oleh Undang-undang ditentukan bahwa dengan terjadinya
peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus, sebagai contoh; “jika salah satu
pihak meninggal dunia maka persetujuan menjadi hapus;
4. Salah atu pihak atau kedua belah pihak memberikan pernyataan menghentikan atau
mengakhiri perjanjian (opzegging). Opzegging ini hanya ada pada persetujuan–
persetujuan yang bersifat sementara, seperti pada perjanjian kerja dan perjanjian
sewa menyewa;
5. Adanya putusan hakim untuk mengakhiri suatu persetujuan yang diadakan.
6. Telah tercapainya tujuan diadakannya persetujuan.
7. Adanya kesepakatan dari para pihak untuk mengakhiri persetujuan.
Dalam perakteknya, mengenai berakhirnya perjanjian, melihat tentang cara-cara
berakhirnya perjanjian sebagaimana dimaksudkan di atas, yang sering diperaktekan dan
rumuskan dalam bentuk klausula adalah mengenai berakhirnya perjanjian yang
disebabkan telah ditentukan batas waktunya yang diwujudkan dalam bentuk hari, tanggal
dan tahun tertentu pada kontrak yang diadakan, walaupun dapat saja diakhir saat
pelaksanaan kontrak oleh kedua belah pihak berdasarkan berbagai pertimbangan.
Sebaliknya sebagai perbandingan, untuk berakhirnya perikatan atau hubungan hukum
diatur secara tegas dalam Pasal 1381 KUHPerdata, yakni ada 10 cara untuk hapusnya
perikatan :
1. Karena pembayaran;
2. Karena penawaran pembayaran tunai; diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3. Karena pembaharuan utang;
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Karena pencampuran utang;
6. Karena pembebasan utang;
7. Karena musnahnya barang yang terutang;
8. Karena kebatalan atau pembatalan;
9. Karena berlakunya suatu syarat batal; yang diatur dalam Bab I KUHPerdata; dan
10. Karena lewatnya waktu yang ditentukan.
14
Pasal 21 : Para Pihak sepakat bahwa perjanjian berakhir jika semua proses penangan
perkara berakhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta semua
kewajiban pembayaran telah dilakukan dengan adanya pembuktian-
pembuktian sesuai dengan ketentuan yang berlaku
6. Jenis-jenis Kontrak
Dari studi literatur yang telah dilakukan terdapat beragamnya bentuk kontrak
tersebut, namun menurut perakteknya, Syahmin AK mengemukakan bahwa, pada
dasarnya terdapat tiga bentuk dari kontrak tersebut, antara lain :
1. Kontrak Baku atau Standar
2. Kontrak Bebas
3. Kontrak Tertulis dan Tidak Tertulis. (Syahmin AK, 1999; 14)
ad. 1. Kontrak Baku atau standar
Secara sederhana kontrak baku ini dapat diartikan sebagai suatu kontrak di
mana hampir semua dari klausul atau ketentuan yang dibuat telah dipersiapkan
oleh salah satu pihak yang umumnya di tawarkan dalam bentuk formulir.
Disamping tujuan utamanya adalah untuk kelancaran proses perjanjian dengan
mengutamakan prinsip efisiensi, ekonomis dan peraktis, tetapi juga adanya
keuntungan lainnya terutama bagi salah satu pihak yaitu melindungi kemungkinan
terjadinya kerugian sebagai akibat perbuatan debitur karena dimungkinkan
melakukan wanprestasi serta adanya kepastian hukum bagi pembuat atau penawar
dari kontrak baku atau standar. Kontrak baku atau standar ini, biasanya ditawarkan
oleh pelaku usaha, misalnya kalangan perbankan, asuransi, jasa angkutan,
pengelola objek wisata, penawaran barang/jasa oleh pemerintahan, notaris dan lain-
lain.
Ad. 2. Kontrak Bebas
Keberadaan kontrak bebas ini pada dasarnya dapat dipedomani dari
ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, namun mengingat ketentuan pada Pasal 1338
ayat (3) nya yang terkandungnya asas keadilan serta ketentuan undang-undang,
maka prinsip dasar kebebasan berkontrak itu masih harus memperhatikan
perinsip-prinsip kepatutan, kebiasaan dan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana halnya ditentukan dalam Pasal 1337 KUHPerdata.
Ad.3. Kontrak Tertulis dan Tidak Tertulis
Kontrak dan atau perjanjian tertulis dapat diartikan bahwa perjanjian
yang diadakan tersebut oleh para pihak diwujudkan dalam bentuk tulisan atau
tertulis sehingga jelas dan dapat dibaca apa saja keinginan kedua belah. Sementara
15
itu perjanjian tidak tertulis atau lisan di mana para pihak cukup menyatakannya
saja dalam wujud lisan atas kesepakatan antara mereka. Dalam perkembangannya,
di mana bentuk perjanjian jenis ini tidak mengalami perkembangan karena kurang
memberikan kepastian hukum, dalam arti tidak adanya pedoman yang jelas bagi
kedua belah pihak untuk melihat kembali apa saja yang telah disepakati tersebut.
Berkaitan uraian di atas, dalam perakteknya, kontrak tersebut jika ditinjau dari
pembuatnya terdiri atas :
1. Kontrak di bawah tangan;
2. Kontrak dengan saksi Notaris untuk melegalisasikan tanda tangan para pihak;
3. Kontrak yang dibuat di hadapan dan oleh Notaris dalam bentuk akta Notariel. Akta
notariel ini merupakan akta yang dibuat di hadapan dan dimuka pejabat yang
berwenang untuk itu seperti notaris, camat, PPAT dan lain-lain, di mana jenis
dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang
bersangkutan maupun pihak ketiga.
Beranjak dari bentuk-bentuk kontrak yang dikenal dalam perakteknya tersebut,
jika dikaitkan dengan jenis kontrak dengan mempedomani Pasal 1319 KUHPerdata,
maka kontrak tersebut dapat dibagi atas dua macam, yakni; “kontrak/perjanjian bernama
dan kontrak/perjanjian tidak bernama”. Istilah kontrak bernama atau perjanjian bernama
tersebut merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yakni “nominaat contract” dan
bahasa Belandanya “benoemde Overeenkomst”. Berkaitan dengan itu, maka dapat
dikatakan, bahwa perjanjian bernama :
1. Perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata;
2. Perjanjian bernama diatur dalam Bab I, II, IV, V sampai dengan Bab XVIII;
3. Perjanjian bernama jumlahnya masih terbatas yang terdiri atas 15 jenis perjanjian atau
kontrak, antara lain :
1) Jual Beli;
2) Tukar Menukar;
3) Sewe Menyewa;
4) Persekutuan;
5) Hibah;
6) Penitipan Barang;
7) Pinjam Pakai;
8) Pinjam Meminjam;
9) Bunga Tetap atau Bunga Abadi;
10) Perjanjian Untung-untungan;
11) Pemnberian Kuasa;
12) Penanggungan;
13) Perdamaian;
14) Asuransi atau Pertanggungan;
15) Perjanjian Pengangkutan
Hal di atas, selanjutnya jika di kaji lebih jauh keberadaan kontrak atau perjanjian
tidak bernama sebagaimana dimaksudkan Pasal 1319 KUHPerdata, dalam peraktek
kehidupan masyarakat di mana jenis kontrak ini berkembang pesat, disamping karena
fartor kebutuhan masyarakat yang terus berkembang juga dipengaruh perdagangan
internasional yang melintasi berbagai negara termasuk Indonesia, sehingga dikenal
adanya kontrak yang sifatnya internasional yang mempengaruhi sistem hukum kontrak
dan jenis kontrak yang ada dalam masyarakat. Kontrak-kontrak bisnis yang berkembang
16
saat ini ditengah-tengah masyarakat tersebut pada dasarnya termasuk kontrak tidak
bernama, karena disamping tidak di atur dalam KUHPerdata pengaturannya juga belum
adanya undang-undang khusus yang memberikan pengaturannya.
Dalam pada itu, mengenai format kontrak pun baik secara teoritisnya maupun
praktek ditengah-tengah masyarakat, masih terdapat ketidak seragaman pendapat dan
prakteknya, hal ini wajar karena mengingat azas universal dari kontrak ityu sendiri yang
dimaknai dari azas kebebasan berkontrak (setiap orang bebas mengadakan kontrak
dengan siapa saja, bebas mengadakan kontrak atau tidak mengadakan kontrak serta
bebas menentukan bentuk, format maupun isi dari kontrak yang akan mereka adakan.
Sebagai contoh; ada kontrak yang pakai nomor kontrak ada yang tidak, ada juga
kontrak yang memulai kalimat pembuka; ”pada hari ini, senin tanggal 3 Agustus Tahun
2009 selanjutnya kami yang bertanda tangan di bawah ini atau ada juga yang
memulainya dengan kalimat; saya yang bertanda tangan di bawah ini yang selanjutnya
diikuti oleh identitas para pihak”. Hal ini berarti, bahwa bentuk dan format suatu
kontrak itu masih terjadi keaneka ragaman, sebagaimana dikemukakan, bahwa ini
merupakan hal yang wajar, karena mengingat azas kebebasan berkontrak dan juga
belum adanya suatu ketentuanpun yang menegaskan bahwa suatu kontrak harus
formatnya begini atau begitu, jika tidak, maka kontrak itu tidak sah.
8. Penyelesaian Perselisihan
Pada dasarnya perselisihan atau sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara,
antara lain dengan cara litigasi (melalui peradilan umum) dan upaya non litigasi
(penyelesaian diluar pengadilan). Penyelesaian melalui forum litigasi tersebut terdiri
dari 2 tingkat, yakni apa yang dikenal dengan upaya hukum biasa dan upaya hukum luar
biasa. Upaya hukum biasa terdiri atas beberapa tingkatan yakni verzet (perlawanan)
pada tingkatan pertama seperti di Pengadilan Negeri, Banding di Pengadilan Tinggi dan
kasasi di Mahkamah Agung. Upaya hukum lain juga dapat dilakukan jika putusan
pengadilan juga telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkracht melalui
Mahkamah Agung. Dalam perkembangan penyelesaian perselisihan antara para pihak
ataupun ditengah masyarakat, dapat juga dilakukan melalui forum non litigasi atau
penyelesaian perselisihan atau sengketa diluar pengadilan dengan cara melibatkan pihak
lain atau pihak ketiga. Penyelesaian perselisihan tersebut dapat dilakukan dengan cara
konsiliasi, mediasi dan atau arbitrase. Pola penyelesaian konsiliasi dan mediasi, pada
dasarnya penyelesasian perselisihan atau sengketa melibatkan pihak ketiga sebagai
penengah yang pada akhirnya pihak penengah tersebut memberikan solusi dan
rekomendasi pada para pihak yang bersengketa tentang perselisihan atau sengketa
tersebut. Sebaliknya dengan pola arbitrase pihak arbiter memberikan putusan tentang
perselisihan atau sengketa, dalam arti menentukan putusan siapa yang kalah atau
menang dalam perkaranya.
DAFTAR PUSTAKA
17
Topik.1
PEMAHAMAN DASAR-DASAR KONTRAK
Oleh
MUHAMMAD HASBI