Anda di halaman 1dari 7

Pengertian Memorandum of Understanding (M.O.

U) - Memorandum adalah suatu peringatan,


lembar peringatan, atau juga suatu lembar catatan.Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum, CV.
Aneka Ilmu, Semarang, 1977, hal. 594. Memorandum juga merupakan suatu nota/ surat
peringatan tak resmi yang merupakan suatu bentuk komunikasi yang berisi antara lain mengenai
saran, arahan dan penerangan. Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986,
hal. 319.

Terhadap suatu M.O.U, selain istilah M.O.U yang sering dipakai sebagai singkatan dari
Memorandum of Understanding, juga banyak dipakai istilah-istilah lain misalnya nota
kesepahaman atau terkadang disebut sebagai nota kesepakatan. Tetapi, walaupun begitu istilah
M.O.U tetap merupakan istilah yang paling populer dan lebih bersifat internasional dibandingkan
dengan istilah-istilah lainnya.

Definisi Memorandum of Understanding (M.O.U) Menurut Para Ahli

Istilah lain yang sering juga dipakai untuk M.O.U ini, terutama oleh negara-negara Eropa adalah
apa yang disebut dengan Head Agreement, Cooperation Agreement, dan Gentlement
Agreement yang sebenarnya mempunyai arti yang sama saja dengan arti yang dikandung oleh
istilah M.O.U. Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT. Citra
Aditya Bakti Bandung 2002, (Selanjutnya disebut Munir Fuadi III), hal. 90.

Dalam perbendaharaan kata-kata Indonesia, istilah M.O.U diterjemahkan ke dalam berbagai


istilah yang bervariasi, yang tampak belum begitu baku. Sebut saja misalnya istilah seperti “Nota
Kesepakatan atau Nota Kesepahaman”.

Sebenarnya M.O.U itu sama saja dengan kesepahaman-kesepahaman lainnya. Bidangnya juga
bermacam-macam, bisa mengenai perdagangan, jual-beli, perjanjian antar negara, penanaman
modal, ataupun bidang-bidang lainnya. Bahkan paling tidak secara teoritis, M.O.U dapat dibuat
dalam bidang apapun. Ibid

Ada beberapa alasan mengapa dibuat M.O.U terhadap suatu transaksi bisnis, yaitu : Ibid

Karena prospek bisnisnya belum jelas benar, sehingga belum bisa dipastikan apakah deal kerja
sama tersebut akan ditindaklanjuti atau tidak.
Karena dianggap penandatanganan kontrak masih lama dengan negosiasi yang alot. Karena itu,
daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, dibuatlah M.O.U
yang akan berlaku untuk sementara waktu.

Karena masing-masing pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan masih perlu waktu untuk
pikir-pikir dalam hal menandatangani suatu kontrak, sehingga untuk pedoman awal dibuatlah
M.O.U.

M.O.U dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif (direktur) dari suatu perusahaan tanpa
memperhatikan hal detail terlebih dahulu dan tidak dirancang dan dinegoisasi khusus oleh staf-
stafnya yang lebih rendah tetapi lebih menguasai teknis.

Ciri - Ciri Memorandum of Understanding

Adapun yang merupakan ciri-ciri dari suatu M.O.U adalah sebagai berikut : Ibid., hal. 92

Isinya ringkas, bahkan sering satu halaman saja

Berisikan hal yang pokok saja

Hanya berisikan pendahuluan saja, yang akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci.

Mempunyai jangka waktu berlakunya, misalnya 1 bulan, 6 bulan atau setahun.

Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan penandatanganan suatu
perjanjian yang lebih rinci, maka M.O.U tersebut akan batal, kecuali diperpanjang dengan para
pihak.

Biasanya dibuat dalam bentuk di bawah tangan saja tanpa adanya materai.

Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk membuat suatu
perjanjian yang lebih detil setelah penandatanganan M.O.U

Jadi berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian M.O.U secara
umum merupakan suatu nota dimana masing-masing pihak melakukan penandatanganan M.O.U
sebagai suatu pedoman awal tanda adanya suatu kesepahaman diantara mereka. M.O.U sengaja
dibuat dan tidak formal karena biasanya hanya dilakukan di bawah tangan saja. M.O.U sengaja
dibuat ringkas karena pihak yang menandatangani M.O.U tersebut merupakan pihak-pihak masih
dalam negosiasi awal, akan tetapi daripada tidak ada ikatan apa-apa maka dibuatlah M.O.U.

M.O.U sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional kita, sehingga banyak yang
mempertanyakan bagaimana sesungguhnya kedudukan dari M.O.U itu sendiri, apakah itu
merupakan suatu kontrak atau hanya suatu dokumen sederhana mengenai kesepahaman-
kesepahaman yang terjadi antar pihak.

Kedudukan M.O.U

Sebelum membahas lebih detail mengenai kedudukan M.O.U. dapat dikatakan sebagai
kontrak atau bukan, maka disini akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai asas-asas yang
berlaku dalam hukum kontrak. Asas-asas tersebut antara lain : Munir Fuady I, Op.Cit.,hal 29-32.

Hukum kontrak bersifat mengatur

Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :

Hukum memaksa (dwingend recht, mandatory law)

Hukum mengatur (aanvullen recht, optional law)

Hukum tentang kontrak pada prinsipnya tergolong kepada hukum yang mengatur. Artinya bahwa
hukum tersebut baru berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain. Jika para pihak
dalam kontrak mengaturnya secara lain dari yang diatur dalam hukum kontrak, maka yang
berlaku adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak tersebut kecuali undang-undang
menentukan lain.

Asas kebebasan berkontrak

Salah satu asas dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract).
Artinya adalah bahwa para pihak bebas membuat kontrak dan mengaturnya sendiri isi kontrak
tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :

Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak

Tidak dilarang oleh undang-undang

Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku

Adanya suatu itikad baik


Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum
kontrak tersebut.

Asas pacta sun servanda

Asas pacta sun servada (janji itu mengikat) ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat
secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. KUH Perdata kita juga menganut prinsip
dengan melukiskan bahwa suatu kontrak berlaku seperti undang-undang bagi para pihak.

Asas konsensual dari suatu kontrak

Hukum kita juga menganut asas konsensual. Maksudnya asas konsensual ini adalah bahwa suatu
kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kesepakatan, tentunya selama syarat sahnya
kontrak lainnya sudah terpenuhi. Jadi, dengan adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada
prinsipnya sudah mengikat dan sudah punya akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah
timbul hak dan kewajiban di antara para pihak.

Asas obligator dari suatu kontrak

Menurut hukum kontrak, suatu kontrak bersifat obligator. Maksudnya adalah setelah sahnya
suatu kontrak, maka kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak
dan kewajiban di antara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak milik belum berpindah ke
pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik, dipergunakan kontrak lain yang disebut dengan
kontrak kebendaan. Perjanjian kebendaan inilah yang sering disebut dengan “penyerahan”
(levering).

Mengenai sifat kontrak yang berkaitan dengan saat mengikatnya suatu kontrak dan saat
peralihan hak milik ini, berbeda-beda dari masing-masing sistem hukum yang ada, yang
terpadu ke dalam 2 (dua) teori sebagai berikut :

Kontrak bersifat riil

Teori yang mengatakan bahwa suatu kontrak bersifat mengajarkan dimana suatu kontrak baru
dianggap sah jika telah dilakukan secara riil. Artinya, kontrak tersebut mengikat jika telah
dilakukan kesepakatan kehendak dan telah dilakukan levering sekaligus. Kata sepakat saja belum
punya arti apa-apa menurut teori ini. Prinsip transaksi yang bersifat “terang” dan “tunai” dalam
hukum adat Indonesia merupakan perwujudan dari prinsip kontrak riil ini.

Kontrak bersifat final

Teori yang menganggap suatu kontrak bersifat final ini mengajarkan bahwa jika suatu kata
sepakat telah terbentuk, maka kontrak telah mengikat dan milik sudah berpindah tanpa perlu
kontrak khusus.
Untuk mengetahui apakah suatu M.O.U bisa dikatakan kontrak atau bukan ada beberapa hal
yang harus diperhatikan, yaitu antara lain mengenai:

Materi/ substansi dalam M.O.U

Mengetahui materi atau substansi apa saja yang diatur dalam pasal- pasal M.O.U sangat penting,
karena apakah dalam materi yang termaktub dalam M.O.U tersebut terdapat unsur-unsur yang
akan membuat salah satu pihak dirugikan apabila ada salah satu materi dalam M.O.U tersebut
yang diingkari. Misalkan dalam M.O.U disebutkan mengenai kerjasama untuk membangun suatu
proyek, dimana kedua belah pihak menyetujui untuk saling bekerja sama dalam
pembangunan proyek tersebut. Tetapi di tengah perjalanan salah satu pihak ingin
membatalkan kerja sama tersebut dengan dalil proyek tersebut tidak berprospek bagus. Dengan
adanya pembatalan sepihak tersebut jelas merugikan pihak lain yang bersangkutan, karena salah
satu pihak tersebut merasa telah menyiapkan segalanya termasuk anggaran- anggaran yang
dibutuhkan. Maka dalam hal ini berdasarkan teori mengenai wanprestasi yaitu tentang hilangnya
keuntungan yang diharapkan, dimana salah satu pihak merasa rugi dan merasa kehilangan suatu
keuntungan yang besar dari pembatalan M.O.U tersebut, maka M.O.U yang telah dibuat tersebut
dapat dikategorikan suatu kontrak atau setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338
KUHPerdata. Dalam Teori kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theori) juga telah dinyatakan
dengan jelas bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah
menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang
menerima janji tersebut karena kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu
tidak terlaksana. Ibid., hal. 92Akan tetapi lain halnya jika dalam materi M.O.U tersebut hanya
mengatur mengenai ulasan-ulasan pokok saja dimana dalam pasal M.O.U disebutkan bahwa
kerjasama mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan antar pihak akan ditentukan dalam
perjanjian pelaksanaan yang akan ditentukan oleh masing-masing pihak. Dan jika ditentukan
pula dalam salah satu pasal lain bahwa untuk pembiayaan akan diatur pula dalam perjanjian lain
yang lebih detil. Apabila substansi dalam M.O.U mengatur hal-hal yang demikian, maka
berdasarkan asas hukum kontrak bahwa dapat disebut kontrak apabila suatu perjanjian itu
bersifat final, maka M.O.U semacam ini berdasarkan asas obligator tidak bisa dikatakan suatu
kontrak, karena belum final dalam pembuatannya. Ibid., hal. 32

Ada tidaknya sanksi

Untuk menentukan suatu M.O.U itu suatu kontrak atau bukan maka harus dilihat apakah M.O.U
tersebut telah memuat sanksi atau tidak. Kalau dalam M.O.U tidak memuat suatu sanksi yang
tegas maka M.O.U tersebut tidak dapat dikatakan suatu kontrak. Dan kalau hanya memuat sanksi
moral maka M.O.U tidak bisa dikatakan suatu kontrak berdasarkan Teori Holmes yang
menyatakan bahwa tidak ada sanksi moral dalam suatu kontrak. Ibid., hal. 11
Karena adanya bermacam-macam pendapat mengenai kedudukan dari M.O.U, maka dikenal dua
macam pendapat sebagai berikut : Munir Fuady III, Op.Cit., hal. 92-94.

1. Gentlemen Agreement

Pendapat ini mengajarkan bahwa M.O.U hanyalah merupakan suatu gentlement agreement saja.
Maksudnya kekuatan mengikatnya suatu M.O.U tidak sama dengan perjanjian biasa, sungguh
pun M.O.U dibuat dalam bentuk yang paling kuat seperti dengan akta notaris sekalipun
(tetapi dalam praktek jarang M.O.U dibuat secara notarial). Bahkan menurut pendapat golongan
ini menyatakan bahwa M.O.U mengikat sebatas pada pengakuan moral belaka, dalam arti tidak
punya daya ikat secara hukum.

2. Agreement is Agreement

Ada juga pihak yang berpendapat bahwa sekali suatu perjanjian dibuat, apapun bentuknya. Lisan
atau tertulis, pendek atau panjang, lengkap/ detil ataupun hanya diatur pokok-pokoknya saja,
tetap saja merupakan suatu perjanjian, dan karenanya mempunyai kekuatan hukum mengikat
layaknya suatu perjanjian, sehingga seluruh ketentuan pasal-pasal tentang hukum perjanjian
telah bisa diterapkan kepadanya. Dan menurut pendapat ini untuk mencari alas yuridis yang
tepat bagi penggunaan M.O.U adalah terdapat dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang
artinya apapun yang dibuat sesuai kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang
berlaku baginya sehingga mengikat kedua belah pihak tersebut. Selain itu menurut asas
kebebasan berkontrak dan asas konsensual maka hal apa saja asalkan halal menurut hukum dan
telah secara bebas disepakati maka berlaku suatu perjanjian atau jika diterapkan secara tertulis
maka hal tersebut bisa dikatakan sebagai kontrak.

Pijakan lain dari pendapat diatas adalah dengan menggunakan suatu teori yang disebut teori
promissory estopel. Teori promissory estoppel atau disebut juga dengan detrimental reliance
mangajarkan bahwa dianggap ada kesesuaian kehendak di antara para pihak jika pihak lawan
telah melakukan sesuatu sebagai akibat dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap
merupakan tawaran untuk ikatan suatu kontrak. Munir Fuady I,Op.Cit., hal. 8.

Doktrin lainnya adalah Teori kontrak quasi (quasi contract atau implied in law). Teori ini
mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu, maka
hukum dapat menganggap adanya kontrak di antara para pihak dengan berbagai
konsekuensinya, sungguhpun dalam kenyataannya kontrak tersebut tidak pernah ada. Ibid
Suatu perjanjian jika yang diatur hanya hal-hal pokok saja, maka mengikatnya hanya
pun hanya terhadap hal-hal pokok tersebut. Sama halnya jika suatu perjanjian hanya berlaku
untuk suatu jangka waktu tertentu, maka mengikatnya pun hanya untuk jangka waktu tertentu
tersebut. Sungguh pun para pihak tidak dapat dipaksakan untuk membuat perjanjian yang lebih
rinci sebagai tindak lanjut dari M.O.U, paling tidak, selama jangka waktu perjanjian itu masih
berlangsung, para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang sama dengan pihak lain. Ini tentu
jika dengan tegas disebutkan untuk itu dalam M.O.U tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui
kedudukan dari M.O.U diperlukan suatu pengamatan yang jeli terhadap substansi yang terdapat
dalam M.O.U tersebut, apakah materinya mengandung unsur kerugian non moral atau kerugian
secara finansial apabila tidak dilakukannya pemenuhan prestasi dan apakah dalam M.O.U
mengandung sanksi atau tidak. Apabila menimbulkan suatu kerugian non moral yaitu material
dan mengandung suatu sanksi yang jelas bagi para pihak yang mengingkarinya, maka M.O.U
tersebut sudah berkedudukan sebagai kontrak dan dianggap sudah setingkat dengan perjanjian
berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak. Walaupun M.O.U tidak
pernah disebutkan dengan tegas bahwa itu merupakan suatu kontrak, akan tetapi kenyataannya
kesepakatan semacam M.O.U ini memang ada seperti yang ditegaskan dalam teori kontrak de
facto (implied in-fact), yakni sudah disebut sebagai kontrak, walaupun tidak pernah
disebutkan dengan tegas tetapi ada kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kontrak
yang sempurna.Ibid M.O.U dalam hal ini apabila dikaitkan dengan teori ini maka dapat disebut
sebagai suatu kontrak dengan segala macam konsekuensinya.

Tetapi apabila dalam M.O.U tersebut hanya mengenai suatu hal belum final dan masih
membutuhkan perjanjian lain sebagai pendukungnya dan dalam M.O.U tersebut tidak terdapat
sanksi yang jelas terhadap pihak yang mengingkarinya, maka M.O.U tersebut hanya
berkedudukan hanya sebagai “say hello” dalam hal kesepakatan mengenai suatu proyek-proyek
besar. Dan hal ini tentunya tidak mempunyai efek apapun terhadap kekuatan hukum suatu
M.O.U. Munir Fuady III.,Op.Cit., hal. 90.

Anda mungkin juga menyukai