Anda di halaman 1dari 25

MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN LETTER OF

INTENT APLIKASI DAN KONTROVERSINYA DALAM


PRAKTEK HUKUM BISNIS NASIONAL

Ari Wahyudi Hertanto S.H., M.H.l


Dewi Lestari, S.H.2
Abstrak
Commonly under Indonesian law had not clearly legislated either regarding
memorandum of understanding (MoU), or letter of intent (LoI) . Both of them
are customarily categorized not as contract that has legal binding, but later
if they have sealed any rights and duty by the parties then had changed in to
contract law competency under Indonesian Civil Code. The authors analysis
then under those substances MoU or LoI would be considered become or not
become a contract category. In more practice needs those common law
models are become familiar by global impact in business activity in
Indonesia and then adopted much by local practitioners and legal
caunsellors.

I. Pendahuluan

Memorandum of Understanding (MoU) dan Letter of Intent (LoI)


merupakan produk hukum pada negara-negara yang menganut sistem
common law. Konsep tersebut kemudian berkembang dalam praktek di
Indonesia dalam hampir setiap bentuk kerjasama, baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun pihak swasta. Dapat dipastikan bahwa produk hukum
terse but tidak lagi asing maupun baru. Namun, beberapa kalangan masih
meragukan tentang kekuatan mengikat dari MoU maupun LoI itu sendiri
dalam implementasinya. Kesan ambigu dan ketidakpastian terse but
menimbulkan suatu polemik, tetapi ada juga beberapa kalangan yang justru
sarna sekali tidak menganggap hal terse but sebagai suatu permasalahan.
Selayaknya proses asimilasi, MoU dan LoI juga mengalami proses
yang sarna. Proses tersebut mungkin tepat bila disebut dengan istilah

I PenuJis adalah pengajar Mata Kuliah I1mu Negara dan Mata KlIliah Pancasila pada
Fakultas Hukllm Universitas Indonesia dan pengajar Mata Kuliah-Mata KlIliah I1mll Negara,
Hukum Perusahaan, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Hukum Perdata pada
Fakultas Hukum Universitas AI Azhar Indonesia.

2 Asisten PenuJis adalah konsuItan hukum yang bekerja pada Kantor HlIkum IKS &
Partners Attorneys at Law.
MoU dan Lol: Aplikasi dan Kontroversi dalam Praktek Hukum Bisnis 222

Indonesiasi sebuah produk hukum. Contoh konkrit dari bentuk asimilasi


tersebut utamanya dalam pemberian istilah dari konsep ataupun produk
hukum dimaksud. Oleh karenanya tidak jarang dijumpai antara lain istilah-
istilah, nota kesepahaman, nota kesepakatan, memorandum kesepahaman,
kesepakatan bersama dan lain sebagainya. Seperti halnya Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) juga menerapkan pola yang sarna terhadap para
obligornya daJam rangka penyeJesaian upaya penyelesaian hutang-hutangnya
atau bahkan pemerintah yang juga telah menandatangani MoO ataupun LoI
dengan negara-negara lain dipelbagai bidang.
Polemik timbul seputar kekuatan mengikat dari MoV dan Lol tersebut,
sehingga pertanyaan terse but merupakan pemicu dari berbagai macam
pertanyaan lainnya. Seperti jikalau tidak terdapat kekuatan mengikat
mengapa perlu dibuat MoO ataupun LoI tersebut. Mengingat bahwa
Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, yaitu dengan
menggunakan pola-pola dogmatis, dimana daJam sebuah transaksi dapat
seger a dibuat perumusan kehendak para pihak dalam sebuah perjanjian.
Dengan kata lain tidak diperlukan adanya suatu kendaraan perantara sebelum
dirumuskannya kehendak para pihak sebelum dibuatnya perjanjian. Hal mana
tidak lain dikarenakan segal a sesuatu hal yang belum atau tidak diatur dalam
perjanjian akan dikembalikan pada bagaimana ketentuan perundang-
undangan yang lebih tinggi, khususnya terhadap peristiwa(-peristiwa) yang
terjadi dalam secara formal belum diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh
para pihak yang bersangkutan.
Berbeda halnya dengan sistem common law, dimana dalam sebuah
perjanjian harus telah mengatur secara terinci segal a sesuatu hal yang akan
diatur termasuk segala kemungkinan yang akan terjadi akibat dari
ditandatanganinya sebuah perjanjian. Atas dasar pemikiran yang demikian,
maka diperlukan adanya suatu kendaraan sebagai perantara yang secara
umum mengatur tentang komitmen bersama dari para pihak untuk mengatur
kehendak maupun pertemuan pemikiran antara para pihak didalamnya
(meeting of the minds among the parties thereto). MoV maupun Lol
memfasilitasi para pihak dalam merumuskan butir-butir pokok tentang
kerangka kerjasama yang akan dibangun untuk kemudian akan dirumuskan
secara lebih komprehensif dalam sebuah perjanjian.
MoV dan Lol sangat diperlukan dalam sistem common law,
dikarenakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut harus memuat
segala sesuatunya secara terinci, bahkan tidak tertutup kemungkinan terhadap
aspek-aspek yang termasuk dalam kategori potensial untuk terjadi. Salah
satunya adalah hal-hal yang memiliki potensi sebagai pencetus konflik
ataupun perselisihan.
223 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

Saat ini MoU dan LoI sepertinya sudah menjadi tren yang umum
berlaku di Indonesia. Namun demikian berbagai penafsiran yang mengemuka
menurut hemat penulis juga penting untuk senantiasa diperhatikan. Terutama
berkaitan dengan pemahaman seseorang atau siapapun juga terhadap MoU
dan LoI itu sendiri. Apakah kedudukannya hanya sekedar komitmen awal
(preliminary engagement) atau sudah dianggap sebagai bentuk alternatif dari
perikatan atau bahkan sudah dianggap sebagai suatu bentuk perikatan.
Dengan demikian diperlukan adanya suatu penjelasan yang sifatnya tidak
hanya sekedar memadai tetapi tujuannya agar lebih dapat mempertegas
tentang kedudukan MoU dan LoI.

II. Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pembahasan tentang MoU dan LoI dalam perspektif keperdataan


adalah relevan apabila kajiannya turut didahului dengan tinjauan tentang
perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPer") yang
ada dan berlaku di Indonesia saat ini. Pertimbangannya adalah dikarenakan
pengaturan tentang perikatan dan perjanjian secara tegas diatur dalam Buku
III KUHPer. Melalui pemaparan ini harapannya dapat memberikan suatu
kajian dan benang merah akan kedudukan MoU dan LoI, dengan tidak
bermaksud untuk melahirkan pertentangan atau bahkan kontroversi baru.
Ada berbagai macam pengertian mengenai perjanjian, diantaranya
yang bersumber dari berbagai pendapat dari para ahli hukum yang berupaya
untuk memberikan definisi mengenai pengertian perjanjian dan disamping itu
juga pengertian perjanjian menurut KUHPer. Dalam ilmu hukum ada
pendapat yang mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum
dibidang hukum kekayaan, sebagai terjemahan istilah bahasa Belanda
"verbintenis", jadi merupakan pengertian Perikatan, namun ada pula ahli
hukum yang mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum atau
peristiwa hukum yang menerbitkan perikatan, jadi sebagai terjemahan istilah
bahasa Belanda "overeenkomst", yakni mengartikan perjanjian sebagai salah
satu sumber perikatan, selain undang-undang.
Dalam KUHPer perjanjian merupakan "suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih3,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 I 3 KUHPer.
Dalam ilmu hukum, definisi tersebut dikatakan pada satu sisi dianggap
terlalu luas, namun pada sisi yang lain dianggap terlalu sempit. Dari

3 Prof. R. Subekti dan R Tjtrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,


(Jakarta: PT Pradnya Paramitha, 1996), hal. 282.
MoU dan Lo!: Aplikasi dan Kontroversi da/am Praktek Hukum Bisnis 224

perkataan perbuatan dalam definisi perjanjian menurut pasal 1313 KUHPer,


dikatakan definisi perjanjian terlalu luas, karena dapat mencakup perbuatan
melawan hukum dan pengurusan kepentingan orang lain secara sukarela.
Seharusnya di dalam pasal 1313 KUHPer perjanjian dirumuskan sebagai
perbuatan hukum. Perkataan mengikatkan diri, diartikan melakukan
kewajiban tertentu kepada pihak yang lain. Dalam hal ini ilmu hukum
berpendapat bahwa rumusan perjanjian tersebut telalu sempit, karena hanya
meliputi perjanjian sepihak saja. Perjanjian tidaklah hanya meliputi
perjanjian sepihak, melainkan terdapat perjanjian timbal balik, dimana hak
dan kewajiban ada pada kedua belah pihak.
Perjanjian dalam Buku III KUHPer dimaksudkan hanya meliputi
perjanjian dibidang hukum kekayaan saja. Kata "perjanjian" secara umum
dapat mempunyai arti luas dan sempit dalam arti luas suatu perjanjian berarti
setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana dikehendaki
(dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan,
perjanjian perkawinan, dan lain-lain. Sedangkan dalam arti sempit
"perjanjian" disini hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum
dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III
KUHPer 4 •
Perjanjian menurut Prof. Subekti, S.H.,s merupakan "suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal". Dari peristiwa itu
menimbulkan suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan. Perjanjian merupakan sumber perikatan disamping sumber-sumber
lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena kedua belah pihak
setuju untuk melaksanakan sesuatu.
Dalam Pasal 1233 KUHPer mengatur mengenai sumber perikatan
dimana selain perjanjian adalah juga undang-undang. Perikatan yang lahir
dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang
membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir karena undang-
undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang
bersangkutan.

4 J. Satrio, "Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya)", (Bandung, PT Citra


Aditya Bakti, 1992), hal. 23.

5 Prof. Subekti, "Hukum Perjanjian", (Jakarta, PT Intermasa, 1996), hal. I.


225 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

Pengertian perikatan menurut Prof. Subekti S.H.,6 adalah suatu


hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yaitu
memberi hak pada yang satu untuk menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Obyek perikatan adalah prestasi, prestasi dalam perjanjian ada 3
sebagaimana diatur di dalam pasal1234 KUHPer, yaitu:
I. Memberikan atau menyerahkan sesuatu, misalnya: jual-beli,
tukar-menukar, sewa-menyewa, dan sebagainya.
2. Perikatan atau perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya:
perjanjian untuk membuat lukisan, perjanjian membangun garasi,
perjanjian pemborongan kerja menjahit baju seragam sekoJah,
perjanjian kerja dan perjanjianjasa dan sebagainya.
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya: perjanjian untuk
tidak mendirikan perusahaan sejenis, perjanjian untuk tidak
membangun tembok pemisah, dan sebagainya.
Pemaparan di atas setidaknya dapat menjelaskan tentang konstruksi
umum perjanjian berdasarkan pengaturannya dalam KUHPer. Lebih lanjut
lagi beberapa aspek umum yang dapat dipergunakan sebagai faktor
mempertegas prinsip-prinsip hukum perjanjian dalam menelaah MoU dan
Lol.
1. Syarat Sahnya Perjanjian
Lebih lanjut lagi dalam tulisan ini akan dipaparkan tentang aspek
syarat sahnya perjanjian. Tinjauan yang bersifat umum ini dapat
dipergunakan sebagai suatu dasar pendekatan terhadap MoU dan Lol.
Dengan kata lain perIu untuk ditelaah secara sederhana tentang as as-
asas yang prinsip dalam perjanjian. Asas yang dianut dalam Buku III
KUHPer adalah asas "kebebasan" dalam hal membuat perjanjian. Asas
ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang menerangkan
bahwa:
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya ".
Sebenarnya apa yang dimaksud dalam Pasal 1338 KUHPer tidak
lain bahwa setiap perjanjian itu "mengikat" kedua belah pihak,

6 Prof. Subekti, "Pokok-Pokok Hukum Perdata", (Jakarta: PT Intermasa, 1996), hal.


122-123 .
MoU dan Lo1: Aplikasi dan Kontroversi da/am Praktek Hukum Bisnis 226

sehingga seseorang leluasa untuk menentukan isi perjanjian, sepanjang


perjanjian dibuat dengan tidak melanggar ketertiban umum dan
kesusilaan, serta perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas
ini bia..<;a disebut asas kebebasan berkontrak.
Pasal 1320 KUHPer menentukan syarat-syarat lIntuk sahnya
perjanjian dimana pasal tersebut menyatakan lIntuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yakni an tara lain adal ah:
1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan
dirinya.
"Suatu perjanjian ilu baru timbul apabi/a ada kata
sepakat kedua belah pihak mengenai hal-hal yang
pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian.
Sepakat disini maksudnya adalah suatu persesuaian
paham dan kehendak an tara dua pihak tersebut 7. Dan
apabi/a dalam pemberian kala sepakat terdapat
kekhilafan atau paksaan maka p erjanjian tersebut
dapat dibatalkan. Kata sepakat juga dikatakan caca!
apabi/a sepakat itu diberikan karena:
1. KekhilajeJn
lalah gambaran yang salah. yang diperoleh salah satu
pihak mengenai objek perjanjian atau mengenai diri
pihak lain.
2. Penipuan
Penipuan dapat terjadi bilamana terdapat gambaran
yang salah (kekhilafan) ditimbulkan dengan sengaja
oleh tipu muslihat pihak lain. Tipu muslihat itu dapat
berupa rangkaian kebohongan ataupun mendiamkan
sesuatu sehingga menimbulkan kekeliruan dari
kehendaknya.
3. Paksaan
Yang dimaksud dengan paksaan disini adalah bukan
paksaanfisik tetapi berupa paksaan psikis (ancaman).
Jika seseorang di bawah paksaan dalam suatu
perjanjian, maka perjanjian terse but dapal dibatalkan.
2. Cakap untuk membuat sllatu perjanjian
Pada dasarnya semlla orang cakap untuk membuat suatu
perjanjian. Yang dimaksud dengan cakap disini adalah cakap

7 Prof. Subekti, Op. Cit., hal. 26.


227 JlIrna! Hukllm dan Pembangunan Tahlln Ke-37 No.2 April-JlIni 2007

menurut hukum. Artinya setiap orang yang sudah dewasa dan


sehat akal pikirannya, pad a hakekatnya adalah cakap untuk
membuat peljanjian, kecuali orang-orang yang dinyatakan tidak
cakap oleh undang-undang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1330 KUHPer, yaitu:
1. Orang-orang yang beltl1n dewasa
Menuru! Pasal 330 KUHPer tentang kebelum
dewasaan sese orang dapat dikatakan belum dewasa
apabi/a orang terse but belum genap berumur
duapuluh satu (21) tahun dan tidak lebih dahulu telah
kawin.
2. Mereka yang di bawah pengampuan
Dalam Pasal 433 KUHPer mengenai orang-orang
yang berada di bawah pengampuan adalah setiap
orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan
dungu, saki! otak atau mata gelap harus ditaruh di
bawah pengampuan. Sese orang dapat juga ditaruh di
bawah pengampuan karena ta pemboros.
3. Seorang istri.
Menurul KUHPer seorang istri dilarang membuat
perjanjian karena dianggap tidak cakap melakukan
perbuatan hukum, tetapi sejak di keluarkannya Sural
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 tahun 1963
tanggal 4 Agustus 1963, maka Mahkamah Agung
menyatakan tidak berlaku lagi Pasal 108 dan 110
Kilab Undang-Undang Hukum Perdata tentang
wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan
hukum dan un!uk menghadap di muka pengadi/an
tanpa ijin atau bantuan suaminya. Dengan demikian
seorang istri dapa! dinyatakan cakap untuk melakukan
perbuatan hukum. Undang-Undang Perkawinan,
Undang-undang No.1 tahun 1974 yang menentukan
bahwa seorang isteri cakap untuk melakukan
perbuatan hukum. Pada asasnya suami dan isteri
mempunyai kedudukan yang seimbang baik dalam
keluarga maupun dalam pergaulan kemasyarakatan
mereka, isteri cakap untuk melakukan perbuatan
hukum.(pasaI31 Undang-Undang No.1 tahun 1974).
3. Adanya suatu hal tertentu
Maksud dari suatu hal tertentu secara umum adalah hal-hal yang
dipe~janjikan yang didalamnya meliputi hak-hak dan kewajiban
MoU dan LoJ: Aplikasi dan Kontroversi da/am Praktek Hukum Bisnis 228

kedua belah pihak jika di kemudian hari timbul sengketa, semisal


objek dari persengketaan terse but adalah berupa barang, maka
sudah seharusnya barang yang dimaksudkan terse but telah
disebutkan dalam perjanjian dan setidaknya telah diketahui
jenisnya. Bahwa katakan barang terse but sudah tidak berada di
tangannya si berutang pada waktu perjanjian itu dibuat, tidak
diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu
disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung dan ditetapkan.
Misalnya suatu perjanjian mengenai panen tembakau dari suatu
ladang dalam tahun yang akan datang adalah sah, tetapi suatu
perjanjian jual beli teh untuk seratus rupiah dengan tidak memakai
penjelasan yang lebih terang lagi, harus dianggap tidakjelas.
4. Adanya sebab yang halal dalam perjanjian
Di dalam perjanjian terse but harus memuat klausula atau sebab
yang halal bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jika terdapat
suatu perjanjian tanpa sebab, maka kehendak yang ingin dicapai
oleh para pihak tidak ada sehingga perjanjian terse but akan
menimbulkan perjanjian tanpa dasar yang patut. Misalnya
perjanjian yang terjadi karena kekhilafan, dan juga jika suatu
perjanjian dibuat dengan sebab yang palsu, artinya sebab yang
disimulasi dimana kedua pihak dalam perjanjian dengan sengaja
menyebut kausal yang bertentangan dengan kebenaran tujuan dan
pihak ketiga percaya akan sebab tersebut. Dalam hal ini pihak
ketiga yang beritikad baik harus dilindungi oleh hukum.
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 syarat, yaitu
adanya kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang
halal.antara mereka yang mengikatkan dirinya.
Syarat yang pertama dan kedua yaitu kata sepakat dan kecakapan
untuk membuat perjanjian disebut sebagai syarat subyektif karena
mengenai para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian
atau subyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Jika syarat
subyektiftidak terpenuhi maka perjanjiannya bukan batal demi hukum
melainkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut mempunyai hak
untuk meminta perjanjian tersebut dibatalkan. Salah satu pihak yang
dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum misalnya
mereka yang masih di bawah umur atau di bawah pengampuan.
Perjanjian demikian disebut voidable yaitu karena selalu diancam
dengan bahaya pembatalan.
229 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut
sebagai syarat obyektif. Jika syarat obyektif tidak terpenuhi maka
perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula perjanjian itu
dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dilahirkan, hal ini biasa
disebut sebagai null and void.
2. Vnsur-unsur Perjanjian
a) Vnsur-Vnsur perjanjian, beberapa unsur yang harus dipenuhi
dalam perjanjian yaitu :
1. Vnsur Essensialia, merupakan unsur perjanjian yang
selalu harus ada dalam suatu perjanjian atau dengan kata
lain merupakan suatu unsur mutlak, dimana tanpa
adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada,
misalnya: unsur kata sepakat, un sur "sebab yang halal"
merupakan un sur essensialia untuk adanya suatu
perjanjian, seperti : harga barang yangjelas.
2. Vnsur Naturalia, merupakan unsur perjanjian yang oleh
para pihak dapat disingkirkan atau diganti, misalnya
kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan
(levering) dan untuk menjamin (Pasal 1476 jo 1492
KVHPer) dapat dikesampingkan atas kesepakatan kedua
belah pihak. Vnsur naturalia pada hakekatnya unsur
yang merupakan hukum pelengkap yang diatur di dalam
Buku III KVHPer.
3. Vnsur Accidentalia, merupakan unsur perjanjian yang
ditambahkan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut,
misalnya: untuk benda-benda tertentu dapat dikecualikan
dalam perjanjian. Vnsur accidentalia merupakan unsur
yang secara khusus diperjanjikan dan mengikat para
pihak yang membuatnya, misalnya dalam perjanjian
diperjanjikan bahwa risiko tetap ada pad a pihak penjual,
meskipun barang masih ada pada pihak penjual. Hal ini
merupakan pengaturan yang secara khusus diperjanjikan,
menyimpang dari pasal 1460 KVHPer.
b) Pelaksanaan suatu perjanjian, dalam pelaksanaan perjanjian
periu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Suatu
perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada seseorang lain untuk melaksanakan
sesuatu yang diperjanjikan. Dalam pelaksanaan suatu
perjanjian terdapat hal yang harus dilaksanakan yang
disebut prestasi.
MoU dan Lol: Ap/ikasi dan Kontroversi da/am Praktek Hukum Bisnis 230

2. Menurut prestasinya perjanjian dibagi menjadi tiga


macam, yaitu 8 :
a. ~Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan
suatu barang.
b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.
c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
3. Eksekusi Riil, ialah dalam hal si berutang (debitur) tidak
dapat melaksanakan apa yang telah dijanjikan (tidak
menepati janjinya), maka si berpiutang (kreditur) dapat
mewujudkan sendiri prestasinya yang dijanjikan dengan
biaya debitur. Walaupun selalu ada kemungkinan
mendapatkan suatu ganti rugi, tetapi lebih memuaskan
bagi seseorang apabila mendapatkan apa yang telah
dijanjikan itu. Apa yang diperjanjikan itu disebut
prestasi primair sedangkan ganti rugi disebut prestasi
subsidair. Secara harfiah eksekusi riil berarti
pelaksanaan atau pemenuhan kewajiban debitur seperti
yang diperjanjikan 9 .
4. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan
perjanjian, yaitu untuk melaksanakan suatu perjanjian
terlebih dahulu harus memperhatikan secara cermat apa
isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja hak
dan kewajiban masing-masing pihakl o. Dan menurut
pasal l339 KUHPer bahwa suatu perjanjian tidak hanya
untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam
perjanjian, tetapi juga untuk segal a sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang.
Setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik
oleh masing-masing pihak. Karena ini merupakan salah
satu sendi yang paling penting dalam hukum perj anj ian.
Bila awalnya sudah tidak mempunyai niat yang tidak
baik bisa menimbulkan berbagai masalah, artinya
perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan

8 Subekti, Op. Cit., hal. 36.

9 J. Satrio, " Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya)"', (Bandung, Alumni,


1993), hal. 57.

10 Subekti, Op.Cit. , hal. 39.


231 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

mengindahkan norma-norma kepatutan, keadilan, dan


kesusilaan.
Menurut Pasal 1338 KUHPer menyatakan bahwa setiap
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam
hal ini hakim diberi kekuasaan untuk mengawasi
pelaksanaan perjanjian agar pelaksanaan perjanjian
tersebut tidak menyimpang dari kepatutan dan keadilan.
Maksud dari pasal 1338 KUHPer bila dipandang sebagai
suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum maka hukum
itu mengejar dua tujuan yaitu menjamin kepastian
(ketertiban) supaya apa yang diperjanjikan dapat
dipenuhi dan memenuhi tuntutan keadilan dengan tidak
meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan.
Suatu isi perjanjian terdiri dari serangkaian kata-kata
maka perlu lebih dahulu ditetapkan dengan cermat apa
yang dimaksudkan oleh para pihak, perbuatan ini
dinamakan menafsirkan perjanj ian II. Penafsiran
perjanjian ini mempunyai pedoman utama yaitu jika
kata-kata dalam perjanjian itu jelas, maka tidak
dibolehkan untuk menyimpang dari jalan penafsiran
tersebut, misalnya : dalam suatu perjanjian ditulis,
bahwa satu pihak akan memberikan seekor sapi, maka
tidak boleh ditafsirkan sebagai seekor kuda.
Disamping pedoman utama terdapat pula pedoman-
pedoman yang lain, yang penting dalam menafsirkan
perjanjian, adalah l2 :
a. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan
berbagai macam penajsiran, maka haruslah
diselidiki maksud kedua belah pihak yang
membuat perjanjian itu, daripada memegang
teguh arti kata-kata menurut hukum.
b. Jika sesuatu janji berisikan dua macam
pengertian, maka dipilih pengert ian yang
memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada
memberikan pengertian yang tidak
memungkinkan pelaksanaannya.J

1\ Subekti, Gp. Cit, hal. 43.

12 Subekti, Gp. Cit., hal. 44.


MoU dan LoJ: Ap/ikasi dan Kontroversi da/am Praktek Hukum Bisnis 232

c. Jika kala-kata dapa! memberikan dua macam


pengertian, maka harus dipilih pengertian yang
paling selaras dengan sifa! perjanjian.
d. Apa yang meragu-ragukan harus dUafi·irkan
menurut apa yang menjadi kebiasaan atau di
tempat di mana perjanjian itu diadakan.
e. Semua janji harus diarlikan da/am hubungan satu
sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam
rangka perjanjian seluruhnya.
f Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian
harus ditafsirkan alas kerugian orang yang telah
meminta diperjanjikan suatu hal dan untuk
keunlungan orang yang lelah mengikatkan
dirinya untuk itu.
3. Asas-Asas dalam Perjanjian
Didalam hukum perjanjian terdapat asas yang perlu diketahui
yaitu Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi) .13
Dalam hal ini perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian yang sah
yaitu undang-undang karena memuat pasal 1338 KUHPer:
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya ".
Di dalam istilah "semua" itu terkandung suatu asas yang dikenal
dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian yang artinya semua
orang dapat mengadakan perjanjian asalkan dapat memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan, dibuat menurut hukum atau secara sah
menurut undang-undang agar mengikat para pihak dan mempunyai
itikad baik dalam melaksanakan perjanjian.
1. Asas kebebasan berkontrak adalah as as yang
menyatakan bahwa orang be bas membuat perjanjian apa
saja, bebas menentukan syarat-syarat perjanjian, dan
bebas menentukan isi perjanjian, dengan bentuk tertentu
dan bebas memilih undang-undang yang akan dipakai
untuk perjanjian itu. Walaupun dikatakan semua orang

13 Mariam Darus, et.al. , "Kompilasi Hukum Perikatan", (Bandung, PT Citra Aditya


Bakti, 200 I), hal. 66.
233 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

bebas dalam membuat perjanjian apa saja tetapi dalam


hal ini tetap dibatasi oleh tiga hal yaitu:
a. Tidak dilarang o/ell Undang-Undang;
h. Tidak bertentangan dengan kesusilaan;
c. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Asas Konsensualisme memiliki arti bahwa pada
dasarnya perjanjian dan perikatan itu timbul karena
sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan l4 •
Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah
ada kata sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak
diperlukan sesuatu formalitas.
3. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPer
mengenai syarat sahnya suatu perjanjian yang
memerlukan empat syarat, yaitu antara lain:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
h. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang hala!.
4. Asas Kepercayaan, untuk mengadakan suatu perjanjian
dengan pihak lain, diperlukan menumbuhkan
kepercayaan di antara kedua belah pihak agar perjanjian
tersebut dapat berjalan baik. Tanpa adanya kepercayaan
maka perjanjian itu mungkin tidak akan diadakan oleh
para pihak karena adanya kepercayaan ini mengikat para
pihak dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sebagai undang-undang.
5. Asas Kekuatan mengikat adalah asas yang mengikat para
pihak dalam perjanjian tetapi tidak terbatas pada apa
yang diperjanjikan tetapi juga terhadap beberapa unsur
lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasan dan kepatutan
moral.
6. Asas Persamaan Hukum, asas ini menempatkan para
pihak di dalam persamaan derajat artinya tidak
membeda-bedakan warna kulit, bangsa, kekayaan, dan
lain-Iainnya. Para pihak dianggap sarna di muka hukum
dan sarna sebagai manusia ciptaan Tuhan.
7. Asas Keseimbangan, asas ini merupakan asas yang
mengehendaki para pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan menuntut

14 Subekti, Gp. Cit., hal. 15.


MoU dan Lof: Ap/ikasi dan Kontroversi do/am Praktek Hukum Bisnis 234

prestasi dari si debitur namun si kreditur harus


melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik,
jadi kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan
kewajibannya untuk memperhatikan itikadi baik,
sehingga kedudukan kreditur dan debitur menjadi
seimbang.
8. Asas kepastian hukum, dalam setiap perjanjian sebagai
figur hukum harus mengandung asas kepastian hukum
untuk mengikat perjanjian itu sebagai undang-undang
bagi para pihak.
9. Asas moral, maksudnya yaitu perbuatan sukarela dari
seseorang yang tidak menimbulkan hak baginya untuk
menggugat kontra prestasi dari si debitur. Dan dalam
melaksanakan perbuatan sukarelanya yang bersangkutan
mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan
menyelesaikan perbuatannya.
10. Asas Kepatutan, asas ini dituangkan dalam Pasal 1339
KUHPer, yang berkaitan dengan isi perjanjian. Asas
kepatutan harus dipertahankan untuk menjaga hubungan
dan rasa keadilan dalam masyarakat.
4. Pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian
Para pihak yang terkait dala suatu perjanjian paling sedikit
berjumlah dua orang. Para pihak dalam tersebut dapat terdiri dari
manusia atau badan hukum. KUHPer membedakan para pihak ke
dalam golongan yang tersangkut dalam perjanjian, yaitu l 5 :
Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri, yang
dimaksud para pihak disini ialah minimal dua pihak yang bersepakat
dalam suatu perjanjian dan mereka mempunyai hak dan kewajibannya
masing-masing sehingga umumnya perjanjian tersebut bersifat timbal
balik.
Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari
padanya. Menurut pasal 1318 KUHPer:
"jika seseorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap
itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak
dari padanya, kecuali dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan
dari sifat perjanjian, bahwa tidak demikian maksudnya".
Pihak ketiga, adalah pihak yang diberi kuasa oleh seseorang untuk
melakukan perjanjian atas nama orang lain bukan atas namanya

15 Mariam Darus, Op. Cit., hal. 70.


235 Jurnol Hukum don Pembangunon Tahun Ke-37 No . 2 April-Juni 2007

sendiri . Dalal11 suatll perjanjian tidak l11embawa rugi bagi pihal( ketiga,
dan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali apabila pihak ketiga
ingin mempergllnakannya.

VI. MoV dan LoI Secara Vmum

Pemahaman akan prinsip-prinsip dasar dari MoU dan LoI merupakan


faktor fundamental yang perlu untuk dipahami oleh khalayak ramai.
Ketidakkonsistenan pemahaman menimbulkan berbagai polemik terhadap
perspektifkeabsahaan MoU atau Lo!.
LoI menurut Black's Law adalah "customarily employed to reduce to
writing a preliminary understanding of parties who intend to enter into
contract". Menurut Vistopedia, LoI yang juga dikenal sebagai Memorandum
of Understanding dan Memorandum of Agreement biasanya digunakan
sebagai tanda kesepakatan awal para pihak dari negosiasi yang serius untuk
mencapai kesepakatan.
Pengertian lain yang diberikan dan juga bersumber dari sumber-
sumber tulisan lainnya, LoI adalah:
1. A Written statement detailing the preliminary
understanding of parties who plan to enter into
contract or some other agreement;
2. a non committal writing preliminary to' a contract.
3. MoUiLoI is not meant to be binding and does not
hinder the parties from bargaining with a third party.
4. Business people typically mean not to be bound by Lo!,
and courts ordinarily do not enforced one; but courts
occasionally find that a commital has been made.
Menurut Law and Business, LoI adalah dokumen yang merupakan
garis besar dari sebuah perjanjian antara dua pihak atau lebih, sebelum
finalisasi perjanjian. LoI menyerupai kontrak atau perjanjian tertulis, tetapi
biasanya tidak mengikat para pihak secara keseluruhannya. Tetapi dalam
praktiknya banyak juga LoI yang isinya mengatur bahwa LoI dan MoU
tersebut sifatnya mengikat, seperti perjanjian yang tidak dapat diabaikan
begitu saja oleh para pembuatnya. Masih menurut Law and Business, sebuah
LoI juga bisa diartikan mengikat para pihak yang artinya LoI menyerupai
kontrak formal atau perjanjian formal.
Sedangkan MoU sebagaimana telah dikatakan bahwa memiliki arti
yang hampir sarna dengan LoI. Menurut University Handbook, MoU
bukanlah suatu perjanjian (agreement). MoU tidak mengikat para
MoU dan Lol: Aplikasi dan Kontroversi da/am Praktek Hukum Bisnis 236

pembuatnya. MoU biasanya dianggap sebagai perjanjian pendahuluan yang


sifatnya tidak mengikat dan tidak memiliki akibat hukiim.
Menurut wikipedia, MoU adalah dokumen legal yang menggambarkan
perjanjian an tara kedua belah pihak. MoU sebagai tempat bertemunya
keinginan antara para pihak, yang menandakan garis besar dari tindakan,
lebih dari komitrnen hukum. MoU adalah perjanjian formal, tetapi secara
urnum kurang memiliki kekuatan hukum yang mengikat. MoU dalam hukum
perdata memiliki sinonim (persamaan kata) yaitu Letter ofIntent (LoI).
Masih menurut Wikipedia, MoU dilihat dalam konteks hubungan
internasional, salah satu keuntungan dari MoV adalah teks MoU tersebut
dapat dirahasiakan. Sebagai tambahannya, MoU dapat memberikan pengaruh
pada banyak negara tanpa membutuhkan ratifikasi (pengesahan). MoU lebih
mudah dimodifikasi dan diadaptasi daripada perjanjian yang membutuhkan
proses negosiasi yang lebih panjang. Keputusan mengenai ratifikasi,
bagaimanapun, adalah ditentukan oleh hukum masing-masing para pihak dan
tergantung pada keputusan-keputusan besar berdasarkan pada persetujuan.
Meskipun MoU dalam lapangan multilateral jarang terlihat, tapi perjanj ian
transnasional yang sebenarnya adalah MoU.
Di Indonesia MoU biasa digunakan sebagai perjanjian pendahuluan
sebelum mernasuki perjanjian yang sesungguhnya yang sifatnya lebih final.
MoV yang paling sering disebut adalah MoU antara Republik Indonesia
dengan Gerakan Separatis Aceh/Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki,
Finlandia. Dimana isi dari MoU ini juga masih dirahasiakan oleh para pihak.
MoU dan LoI berasal dari Common Law System. Sedangkan Indonesia
berada di bawah pengaruh penjajahan Belanda dengan sistem hukum Eropa
Kontinental/Civil Law System. Civil Law System berinteraksi dengan
Common Law System dan saling mempengaruhi satu sarna lain. Walaupun
LoIberasal dari Common Law System, tetapi praktik MoV dan LoI juga
banyak dilakukan di negara-negara yang menganut Civil Law System salah
satunya adalah Indonesia.
Tujuan dari MoU dan LoI antara lain adalah:
1) U ntuk memberikan pemaparan dan klarifikas i para pihak
yang membuatnya atau menjelaskan titik temu atau poin
kuncidari sebuah transaksi demi kenyamanan para pihak
dalam konteks isu komersil, isu legal ataupun isu-isu lainnya
yang akan dimuat dalam perjanjian nantinya;
2) Untuk rnendeklarasikan secara resrni mengenai kesepakatan
para pihak yang sedang bernegosisasi, seperti dalam proposal
merger ataupunjoint venture;
3) Untuk menyediakan keamanan jika ternyata tidak ditemui
kesepakatan selama negosiasi;
237 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

4) Upaya untuk tidak kehilangan peluang ataupun kesempatan


(loss opportunity);
5) Untuk memberikan suatu penjabaran teknis para pihak secara
terinci;
6) Upaya untuk meminimalisir dan menganalisis kerugian
maupun kerugian-kerugian potensial yang mungkin terjadi;
7) Untuk secara komprehensif menganalisis pengaturan upaya-
upaya pemulihan dari pelanggaran ataupun wanprestasi dari
perjanjian yang akan ditandatanginya perjanjian;
8) Dan lain sebagainya.
Sebuah LoI dapatjuga diartikan sebagai sebuah MoU, Term Sheet atau
Term Discussion yaitu sebuah lembaran untuk mendiskusikan sesuatu hal.
MoU dan LoI dapat digunakan dalam hampir semua bidang, antara lain
bidang pendidikan, bisnis, perwalian anak, perdagangan dan kegiatan
kerjasama antar negara dan sebagainya. Sebagai contoh, di Amerika Serikat
dalam bidang pendidikan, LoI merupakan suatu bagian dari proses aplikasi
(lamaran) untuk masuk dalam suatu lembaga pendidikan (sekolah). Di sana
Loljuga dikenal sebagai pernyataan tujuan. 16
LoI bukanlah sebuah kontrak atau perjanjian resmi sehingga tidak
dapat dipaksakan, LoI hanyalah sebuah dokumen yang menyatakan
keseriusan dan ketertarikan untuk mengadakan suatu aktivitas bisnis. Jika
sebuah LoJ diabaikan begitu saja, menurut sumber tersebut maka tidak akan
menimbulkan konsekuensi apapun bagi para pembuatnya. Oleh karen any a
LoI belum sampai pada titik telah lahir faktor-faktor dalam rangka
pemenuhan hak dan kewajiban oleh dan antara para pihak yang membuatnya.
LoI juga dapat menjadi alat untuk memulai kerjasama antar negara.
Sebagai contoh yaitu seperti yang terjadi dalam kunjungan Menteri
Perdagangan, Mari Elka Pangestu yang telah memimpin delegasi Indonesia
ke BeJanda pad a tanggal 27-28 Juni 2006 . Kunjungan bertujuan untuk
meningkatkan kerjasama bilateral antara kedua negara disamping
menindaklanjuti hasil pertemuan dengan Menteri Perekonomian Belanda Mr.
L.J. Brinkhorst pada akhir bulan Mei 2006. Salah satu hasil konkrit dari

16 Dari sebuah sumber juga disebutkan bahwa, definisi La! adalah sebuah surat dari
satll perusahaan ke perusahaan yang lain yang menyatakan keinginan dan kesanggupan untuk
melakukan bisnis. La! adalah alat yang paling sering muncul yang dijadikan sebagai
pengakuan dari sebuah merger an tara perusahaan-perusahaan atau sebuah akuisisi yang
dipertimbangkan secara serius. Terkadang, Lol juga bisa dikeluarkan/diterbitkan oleh
pemegang saham untuk menandakan bahwa dia akan menginvestasikan sejumlah uang dalam
satll jangka waktu yang ditetapkan. -
MoU dan Lol: Aplikasi dan Kontroversi dalam Praktek Hukum Bisnis 238

kunjungan Mendag tersebut adalah telah ditandatanganinya sebuah Letter of


intent mengenai Kerjasama Pelatihan dan Pendidikan pada tanggal 28 Juni
2006.
Lol tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas
SDM di Pemerintahan Indonesia sehingga dapat menciptakan kebijakan yang
tepat untuk kepentingan nasional, memberi pelayanan publik yang layak, dan
menerapkan good governance . Peningkatan kapasitas tersebut akan
dilakukan melalui program pasca sarjana, program pemagangan (internship)
dan pelatihan-pelatihan untuk pengetahuan dan ketramplian khusus, terutama
yang berkaitan dengan bidang perdagangan dan isu-isu terkait.
Kate Moss (TSBVI Outreach) dalam tulisannya yang berjudul Letter of
intent: A Way To Communicate Your Wishes Into The Future. Dikatakan
bahwa setiap orang tua yang peduli bahwa "Apa yang akan terjadi kepada
anaknya jika mereka tidak mampu untuk melindungi anak-anaknya?" Dalam
tulisannya tersebut Kate mengatakan bahwa, tantangan dari rencana orang
tua untuk melintasi masa depan seorang anak kelihatan begitu membanj ir.
Dalam satu kasus sebagai contoh, jika ada seseorang yang ingin
mengambil alih tanggung jawab untuk mengasuh seorang anak (menjadi
wali) dari sebuah keluarga baik yang dikenal maupun tidak dikenal.
Permasalahan yang kemudian akan timbul adalah, banyaknya pertanyaan dan
keraguan dari orang terse but yang membuatnya harus berpikir lagi. Banyak
faktor, antara lain mengingat tidak jelasnya sejarah anak yang akan diasuh
tersebut, hukum yang akan berubah dari waktu ke waktu, harus berurusan
dengan akuntan ataupun konsultan hukum, dan sebagainya. Pertimbangan-
pertimbangan tersebut yang akan memberatkan seseorang jika ingin
mengambil alih tanggung jawab dalam mengasuh seorang anak dari keluarga
lain. Lol bukanlah formal "legal" dokumen, tetapi pengadilan akan melihat
Lol terse but sebagai patokan dalam memahami anak tersebut dan keinginan
dari orang tua kandung atas masa depan anak tersebut. 17
Persamaan antara Lol dan MoV pad a dasarnya adalah sarna-sarna
tidak mengikat secara hukum. Sedangkan perbedaan antara keduanya adalah
Lol bisa dibuat dalam bentuk surat pernyataan yang ditandatangani para
pihak, yang isinya menyatakan ketertarikan atas sesuatu hal dan akan
menindaklanjutinya. Isinya bisa hanya satu lembar dan berupa rangkaian

17 Masih menurut Kate, LoI bukanlah surat tradisional. Tidak hanya dibuat dan
diIupakan begitu saja. Surat tersebut adalah dokumen hidup yang harus diperbarui. Berikut
adalah contoh pedoman umum untuk menu lis Lol dalam hal peralihan hak asuh seorang anak
yang dibuat oleh orang tua kandung. Ini diambil dari artikel yang dipublikasikan oleh "The
organization, Estate Planning for The Disabled".
239 Jurna/ Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

kalimat paragrap demi paragrap. Sedangkan MoU biasanya dibuat dalam


bentuk seperti perjanjian yang isinya pasal demi pasal mulai dari
menjelaskan para pihak, dimana para pihak dapat dihubungi baik melalui
korespondensi, telepon, fax dan email, apa maksud dan tujuan dari MoU
terse but sampai dengan kapan tindak lanjut dari MoU terse but akan
dilaksanakan. Secara umum MoU lebih detil dibandingkan dengan LoI.

VII. Kedudukan Yuridis MoU dan LoI di Indonesia

Sistem Civil Law dan Common Law memberikan warn a pada praktek
hukum di Indonesia, beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai latar
belakangnya adalah: '8
1. Indonesia berada di bawah pengaruh penjajahan Belanda dengan
sistem hukum Eropa KontinentaVCivil Law System.
2. Civil Law System berinteraksi dengan Common Law System dan
saling mempengaruhi satu sarna lain.
3. Para sarjana menganggap interaksi tersebut tidak menimbulkan
masalah.
4. Diperlukan adanya kiat dalam pencapaian sasaran yang maksimal
dalam konteks metoda pendekatan, dalam pendidikan maupun
pemecahan masalah.
Merujuk pada referensi tersebut di atas, maka berikut adalah pendapat
para sarjana dengan pendekatan pemikiran: 19
1. Prof. Asikin dengan pendekatan Common Law, yaitu melalui case
study.
2. Prof. Sardjono dengan pendekatan Civil Law, yaitu melalui
pendekatan pemahaman prinsip-prinsip.
3. Sutomo Ramelan, men gap a harus pendekatan Common Law
utamanya adalah bagaimana menjelaskan prinsip-prinsip dasar
dalam Buku III KUHPer.

18 Wahyono Darmabrata, Prof. S.H., M.H., "Hukum Perikatan Di Indonesia",


disampaikan di Lyman Group, Jakarta 23 Agustus 2006.

19 Ibid.
MoU dan Lol: Aplikasi dan Kontroversi da/am Praktek Hukum Bisnis 240

4. Prof. Subekti, tidak jallh beda pendapatnya dengan Slitomo


Ramelan.
5. Prof. Djokoslltono, ahli hukllm perdata tidak akan secara penuh
menguasai materi hllkum perdata karena bidang ini sangat
dinamis dan terus berkembang.
6. Ursula Lewenton, salah seorang mantan anggota hakim agung di
Jerman, berpendapat apakah anda yakin dengan pendekatan
Common Law System akan memecahkan masalah dan bukan
sebaliknya.
Artinya para sarjana telah menyikapi terjadinya perbauran sistem
hukum yang secara praktis tidak dapat dihindari. Oleh karenanya sebagai
bahan referensi perlu kiranya diperhatikan aspek-aspek yang hukum
perjanjian dalam koneksitasnya dengan implementasi MoU dan LoI, yaitu: 20
1. Istilah.
2. Asas kebebasan berkontrak.
3. Asas itikad baik.
4. Sumber perikatan.
5. Asas konsensualisme.
6. Asas kepribadian.
7. Asas mengikatnyaperjanjian.
8. Unsur kecakapan untuk membuat perjanjian.
9. Unsur ganti rugi daJam perjanjian.
10. Perjanjian khusus.
Selanjutnya mengenai kedudukan Yuridis MoU dan LoI, ada dua
pendapat, yaitu: 21
1. MoUlLoI merupakan Gentlement Agreement, pendapat 1111
mengajarkan bahwa MoUlLoI hanya merupakan salah satu bentuk
dari Gentlement Agreement saja, sehingga dianggap kekuatan

20 Ibid.

21 Rosa Agustina Pangaribuan, Dr., S.H. M.H., "Kedudukan Yuridis MoUlLof',


disampaikan di Lyman Group, Jakarta 23 Agustus 2006
241 Jurna/ Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 Apri/-Juni 2007

hukum yang tidak sama dengan perjanjian biasa walaupun


MoVlLoI tersebut dibuat secara notariil. Dalam hal ini kekuatan
hukum MoVlLoI hanya dianggap berkekuatan moral, (moral
obligation) saja sehingga tidak mempunyai enforcement secara
hukum dan pihak yang wanprestasi tidak dapat digugat di
pengadilan hanya dianggap tidak bermoral.
2. MoVlLoI merupakan Agreement, terdapat suatu anggapan bahwa
sekali suatu perjanjian dibuat dan ditandatangani, apapun
bentuknya, baik secara Iisan maupun tertulis, pendek atau
panjang, lengkap atau detail, di bawah tangan atau notariil tetap
dianggap suatu perjanjian dan karenanya mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat para pihak yang menandatanganinya
seperti layaknya suatu bentuk perjanjian sehingga seluruh pas al-
pasal tentang hukum perjanjian dapat diberlakukan kepadanya.
Dalam hal ini berarti jika terdapat pihak yang wanprestasi maka
pihak lainnya dapat menggugatnya di pengadilan menggunakan
hukum yang berlaku.
Pendapat lainnya juga mengatakan lazimnya MoV/LoI hanya
mengatur mengenai hal-hal yang bersifat umum, yang kemudian diikuti
dengan perjanjian yang mengatur secara rinci, dimana di dalam perjanjian
dimaksud akan dirumuskan dan dimuat seluruh hak dan kewajiban para
pihak. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat yang 'antara lain menyatakan
sebagai berikut:
Kesepakatan bersama bukan merupakan suatu perjanjian,
karena kesepakatan bersama adalah suatu wacana yang
dituangkan dalam suatu rencana. Sehingga dalam hal ini
kesepakatan bersama belum merupakan suatu kondisi yang
dapat dilaksanakan sepenuhnya, melainkan masih
memerlukan tindakan pelaksanaan yang tertuang dalam
suatu perjanjian, dan belum dapat menimbulkan
konsekuensi hukum bagi para pihak yang mengingkarinya.
Kesepakatan bersama merupakan suatu perjanjian
(agreement is agreement), apabi/a implikasi kesepakatan
bersama ini telah diwujudkan da/am tindakan hukum yang
menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang
menandatanganinya. Sehingga segala bentuk pengingkaran
terhadap kesepakatan bersama dapat dituntut ganti rugi
berdasarkan pengingkaran dari kewajiban yang
MoU dan LaI: Aplikasi dan Kontroversi da/am Praktek Hukum Bisnis 242

seharusnya dilaksanakan danlatau yang tidak sesuai


dengan kesepakatan bersama yang telah ditandatangani.
MoVlLoI tidak dikenal dalam sistem hukum konvensional Indonesia,
karenanya tidak ada pengaturan hukum tentang MoV/Loi. KVH Perdata
yang merupakan dasar hukum dari setiap perjanjian tidak mengecualikan
beriakunya hukum perjanjian terhadap suatu MOV. Pasal 1338 KVH Perdata
menyatakan:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
un dang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan memberikan penekanan pad a kata 'semua' pasal ini
memberikan kebebasan pada seluruh masyarakat untuk membuat perjanjian
macam apapun (asalkan dibuat secara sah) dan perjanjian ini akan mengikat
mereka yang membuatnya. Pasal ini dikenal sebagai pasal yang menganut
asas kebebasan berkontrak.
Berdasarkan pasal 1338 KVH Perdata tersebut maka walaupun
MoUlLoI hanya dibuat secara sederhana, tidak detail, tidak notariil (di bawah
tangan) sebagaimana ciri-ciri MoV/LoI, MoV/LoI tersebut mengikat
sebagaimana perjanjian.
Maka menurut KVHPerdata, MoVlLoI juga dapat dikatakan sebagai
sebuah perjanjian apabila perjanjian tersebut dibuat secara sah sebagaimana
diatur dalam PasaI 1320 KUHPerdata tersebut di atas, yaitu apabila
didalamnya telah diatur dan ditentukan secara jelas tentang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari masing-masing pihak dalam MoU/LoI dimaksud.
Karena seharusnya dalam MoUlLoI tidak diatur tentang ketentuan hak dan
kewajiban dari para pihak yang membuatnya, melainkan terbatas pad a
kesepahaman bersama (common understanding) terhadap suatu hal yang
kemudian akan dirumuskan dalam perjanjian.
Apabila Pasal 1320 KUHPerdata tersebut telah terpenuhi maka secara
otomatis MoU/LoI (yang di dalamnya telah diatur tentang hak dan kewajiban
para pihak) terse but mengikat para pembuatnya seperti tersebut dalam Pasal
1338 KUHPerdata. Walaupun MoV/LoI tersebut dibuat secara sederhana,
tidak detail, tidak notariil (di bawah tangan) sebagaimana ciri-ciri MoV/LoI,
maka MoUiLoI tersebut mengikat sebagaimana perjanjian. Asas yang
terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata ini disebut sebagai Pacta Sun!
Servanda yang artinya "janji itu mengikat".
Jika telah ada kekuatan hukum maka akan ada akibat hukum dari
MoU/LoI tersebut. Akibat hukumnya adalah disamakan dengan perjanjian
pada umumnya. Yaitu, apabila MoVlLoI tidak dibuat berdasarkan
kesepakatan para pihak dan para pihak yang membuat dikategorikan tidak
cakap, maka MoV/LoI tersebut dapat dibatalkan (voidable), sedangkan kalau
syarat "suatu hal tertentu" dan "suatu sebab yang halal ", jika tidak
243 .furnal Hukum dan Pe.mbangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

terpenuhi maka dinyatakan batal demi hukum (null and void). Tapi apabila
semuanya terpenuhi, maka akibat hukumnya adalah MoUlLoI terse but
mengikat sah para pihaknya. Artinya para pihak harus melaksanakan isi dari
tersebut.

VIII. Penutup

MoU/LoI secara umum bukan merupakan perJanJlan yang sifatnya


mengikat para pihak, tetapi apabila ternyata dalam MoUlLoI telah diatur dan
ditentukan hak dan kewajiban para pihak didalamnya, maka sudah barang
tentu berubah kedudukannya layaknya perjanjian menurut KUHPer. Dengan
kata lain prinsip-prinsip hukum perjanjian dalam KUHPer Konsep
sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian awal tulisan ini merupakan
dasar pertimbangan apakah MoUlLoI terse but masih dalam tatanannya atau
sudah berubah bentuk menjadi sebuah perjanjian. MoU/Loi memang sulit
untuk tidak diterapkan di Indonesia dikarenakan derasnya informasi dan
globalisasi, meskipun Secara umum sistem hukum Indonesia tidak mengenal
konsep MoUlLoI, melainkan konsep tersebut lahir dan diadopsi oleh para
praktisi maupun konsultan hukum Indonesia dari Common Law System.
Sistem hukum Indonesia yang berasal dari Eropa Kontinental bersifat
dogmatis, dimana apabiJa suatu ketentuan hukum yang telah dibuat dan
ternyata terdapat hal-hal yang tidak termuat di dalamnya akan tunduk pada
ketentuan yang lebih tinggi tingkatan hierarkhinya. Oleh karenanya terhadap
suatu perjanjian yang tidak memberikan suatu penafsiran yang lengkap
maupun terdapat hal-hal yang tidak diatur, maka terhadap perjanjian
dimaksud akan merujuk dan menundukan diri pada ketentuan hukum yang
lebih tinggi, yaitu dalam hal ini adalah Undang-Undang.
TerJepas dari aspek yuridis mengikatnya MoUlLoI ada beberapa
kalangan praktisi yang berpendapat, bahwa apabila ternyata
ditandatanganinya MoUlLoI tersebut memberikan suatu manfaat bisnis, yaitu
dengan adanya prospektif usaha maupun keuntungan finansial yang
signifikan, maka tidak ada salahnya apabila siapapun juga menandatangani
MoUlLoI dimaksud.
MoUlLoI dalam perkembangannya di negara-negara yang menganut
sistem Common Law tetap berpedoman sebagai suatu agreement yang tidak
mengikat sebagai kontrak akan tetapi dengan doktrin promissory estoppel,
janji dalam MoU/LoI dapat dianggap sebagai janji pra kontrak yang
mempunyai akibat hukum. Selanjutnya melalui pendekatan obyektif dalam
menafsirkan kontrak, maka kontrak yang dibuat setelah MoUlLol dianggap
sebagai final and complete expression dari para pihak yang tidak dapat
MoU dan LoJ: Aplikasi dan Kontroversi dalam Praktek Hukum Bisnis 244

dipertentangkan dengan MoU/LoI. Bahkan, doktrin statute of frauds dan


parol evidence rule mengalami erosi, sehingga dalam hukum internasional
MoU/LoI dapat dijadikan pedoman untuk menafsirkan kontrak. 22 Sehingga
pertanyaannya apakah para praktisi Indonesia juga akan mengadopsi konsep-
konsep dimaksud sebagai ikutan dari implementasi MoUlLoI.

22 Suharnoko, S.H. , M.LI., "Memorandum of Understanding/ Letter of intent dan


Doktrin-Doktrin Hukum Kontrak Common Law ", disampaikan di Lyman Group, Jakarta 23
Agustus 2006.
245 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

DAFTAR PUSTAKA

Darmabrata, Wahyono, Prof., S.H., M.H. , Hukum Perikatan Di Indonesia,


disampaikan di Lyman Group, JakaJ1a: 23 Agustus 2006.
Darus, Mariam, et.a!' Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2001 .
Fee, Richard. The life planning approach, New Ways, Fall: 1990.
Guidelines for Preparing a Letter of Intent, Estate Planning for the Disabled,
Publication L5503.
Pangaribuan, Rosa Agustina, Dr., S.H. M.H., Kedudukan Yuridis MoU/LoI,
disampaikan di Lyman Group, Jakarta: 23 Agustus 2006
Subekti, Prof. , Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 1996.
R Subekti, Prof dan R Tjtrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Jakarta: PT Pradnya Paramitha, 1996.
Russell, L. Mark. Writing Your Letter O/Intent, New Ways, Fall: 1990.
Satrio, J, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1992.
Satrio, J., Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Bandung: Alumni,
1993.
Subekti, Prof., Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, 1996.
Suharnoko, S.H., M.LI., Memorandum 0/ Understanding/Letter 0/ Intent dan
Doktrin-Doktrin Hukum Kontrak Common Law, disampaikan di
Lyman Group, Jakarta 23 Agustus 2006.

Anda mungkin juga menyukai