Anda di halaman 1dari 3

Memahami Nota Kesepahaman

(Memorandum of Understending) dalam


Hukum Perjanjian/Kontrak

doktorhukum.com – Memorandum of Understanding (“MoU”) berasal dari dua kosa


kata yaitu Memorandum dan Understanding. Secara gramatikal Memorandum of
Understanding diartikan sebagai suatu “nota kesepahaman”. Sedangkan, di
dalam Black’s Law Dictionary “Memorandum” dapat diartikan sebagai dasar untuk
memulai penyusunan kontrak secara formal pada masa datang dan “Understanding”
diartikan sebagai pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap hubungan
dengan persetujuan lain, baik itu secara lisan maupun tertulis. Dari terjemahan itu
disimpulkan bahwa pengertian MoU adalah dasar penyusunan kontrak pada masa
datang yang didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis
maupun lisan.  Dalam arti lain, MoU adalah persetujuan pendahuluan untuk membuat
perjanjian/kontrak.
Apabila dilihat dari aspek hukum, MoU tidak dikenal dan tidak diatur dalam
KUHPerdata. Akan tetapi, perkembangan yang terjadi dalam praktek menunjukkan jika
MoU sudah menjadi kebiasaan bagi para pelaku bisnis untuk membuatnya sebelum
melakukan penandatanganan perjanjian/kontrak jangka Panjang dalam suatu bisnis.
Oleh karena tidak diatur dalam KUHPerdata serta tidak ada larangan untuk membuat
MoU, maka dalam hukum perdata pembuatan MoU memiliki sifat fakultatif. Artinya,
dapat dibuat dan dapat juga tidak dibuat, tergantung kesepakatan para pihak yang akan
melakukan perjanjian/kontrak.
Sebenarnya terdapat suatu undang-undang yang mengenal istilah “MoU” tersebut
adalah UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dikarenakan di dalam
penjelasan umumnya disibutkan isitilah “MoU” dan Letter of Intent (“LoI”). Namun,
apabila mencermati UU No. 24 Tahun 2000 tersebut, maka dapat diartikan MoU atau
LoI tersebut ditujukan untuk persetujuan pendahuluan sebelum melakukan perjanjian
internasional dalam hukum publik yang diatur dalam hukum Internasional.
Setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa suatu subjek hukum (orang pribadi atau
badan hukum) sebelum melakukan penandatanganan perjanjian/kontrak terlebih dahulu
membuat MoU, yaitu sebagai berikut:
1. Karena prospek bisnisnya belum jelas benar, sehingga belum bisa dipastikan
apakah deal kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti;
2. Karena penandatanganan kontrak masih lama dengan negosiasi yang alot.
Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatanganinya
kontrak tersebut, maka dibuatlah MoU yang akan berlaku untuk sementara
waktu;
3. Karena masing- masing pihak dalam perjanjian masih ragu- ragu dan masih
perlu waktu untuk berfikir dalam hal menandatangani suatu kontrak, sehingga
untuk pedoman awal dibuatlah MoU;
4. MoU dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif (Direktur) dari suatu
perusahaan tanpa memperhatikan hal detail terlebih dahulu dan tidak dirancang
dan dinegosiasi khusus oleh staf-stafnya yang lebih rendah tetapi lebih
menguasai teknis;
5. Untuk mengikat para pihak lainnnya terhadap berbagai persoalan, untuk
menemukan dan mempelajari tentang beberapa persoalan;
6. Untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan. Jika para pihak belum terlalu
yakin terhadap pokok- pokok yang disepakati.
7. Untuk membuat perjanjian atau kontrak yang terperinci ada kemungkinan
diperlukan waktu yang lama, oleh karena itu dibuatlah Memorandum of
understanding yang berlaku untuk sementara waktu.
Selain itu, adapun ciri-ciri dari MoU tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bentuk dan isinya terbatas;
2. Untuk mengikat pihak lainnya terhadap berbagai persoalan;
3. Untuk menemukan dan mempelajari beberapa persoalan;
4. Bersifat sementara dengan batas waktu tertentu yang ditentukan ;
5. Dapat digunakan sebagai dasar untuk mendatangkan keuntungan selama
tercapainya kesepakatan;
6. Menghindari timbulnya tanggung jawab;
7. Sebagai dasar untuk membuat perjanjian bagi kepentingan berbagai pihak, baik
itu kreditur, investor, pemerintah, pemegang saham dan lainlain;
8. Mempunyai jangka waktu berlakunya, misalnya satu bulan, enam bulan, atau
satu tahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan
penandatanganan suatu perjanjian yang lebih rinci, maka perjanian tersebut
akan batal, kecuali diperpanjang oleh para pihak;
9. Biasanya dibuat dalam bentuk perjanjian bawah tangan saja;
10. Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk
harus membuat suatu perjanjian yang lebih detail setelah penandatanganan
MoU, walaupun secara reasonable kedua belah pihak tidak punya rintangan
untuk membuat dan menandatangani perjanjian yang detail tersebut.
Untuk mengetahui sejauhmana kekuatan hukum dari pemberlakukan suatu MoU
tersebut, maka dapat dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu :
1. Gentlemen Agreement
Pendapat ini mengajarkan bahwa MoU hanyalah suatu gentlement agreement.  Artinya,
kekuatan mengikat dari suatu MoU tidak memiliki kekuatan yang sama dengan
perjanjian biasa, walapun MoU tersebut dibuat dalam bentuk yang paling kuat  (akta
otentik) seperti dengan akta notaris sekalipun. Bahkan MoU diartikan mengikat sebatas
pada pengakuan moral belaka yang berarti tidak punya daya ikat secara hukum.
2. Greement is Agreement
Ada juga pihak yang berpendapat bahwa sekali suatu perjanjian dibuat, apapun
bentuknya, Lisan atau tertulis, Panjang atau pendek, lengkap atau detail ataupun hanya
pokok-pokoknya saja,  maka tetap saja merupakan perjanjian dan karenanya
mempunyai kekuatan hukum mengikat layaknya suatu perjanjian, sehingga seluruh
ketentuan pasal-pasal tentang hukum perjanjian telah bisa diterapkan kepadanya.
Menurut pendapat ini, alasan yuridis yang tepat bagi penggunaan MoU terdapat dalam
pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa “seluruh persetujuan yang dibuat sesuai
Undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Artinya,  MoU yang telah disepakati  bersama merupakan undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.  

Anda mungkin juga menyukai