Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KEMAHIRAN MERANCANG DAN MEMBUAT KONTRAK BISNIS

PRAKTEK PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG KONTRAK BISNIS


PERUSAHAAN

Disusun Oleh:
Shinta Safitri 2140050206

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa senantiasa penulis panjatkan berkat
Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah dengan judul Praktek Penyelesaian Sengketa Di Bidang Kontrak Bisnis Perusahaan
ini. Makalah ini disusun selaku syarat dan tugas sebelum UAS (Ujian Akhir Semester) mata
kuliah hukum kemahiran merancang dan membuat kontrak bisnis.
Di dalam makalah ini penulis selaku penyusun hanya menuangkan sebatas ilmu yang
diketahui yang dapat penulis sajikan dalam topik Praktek Penyelesaian Sengketa Di Bidang
Kontrak Bisnis Perusahaan di Indonesia. Dimana di dalam topik tersebut ada beberapa hal
yang mudah-mudahan dapat kita pelajari khususnya untuk menambah ilmu wawasan bagi
mahasiswa/mahasiswi dan masyarakat lainnya. Penyusunan makalah ini dimasudkan untuk
memberi wawasan bagi pihak-pihak yang terkait, baik untuk kepentingan kami penulis
maupun pembaca kelak.
Demikian makalah ini dapat terselesaikan dengan baik berkat Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis ucapkan terimakasih atas dorongan serta motivasi dari berbagai pihak yang terlibat
khususnya keluarga dan rekan-rekan sekalian. Tidak lupa penulis mengharapkan saran serta
kritik sehingga penulis dapat memperbaiki kesalahan serta kekurangan dalam makalah lain
kedepannya.

Bekasi, 30 Desember 2023

Penulis

i
ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum
dalam pembuatan suatu kontrak bisnis perusahaan dan bagaimana penyelesaian
sengketa di bidang kontrak bisnis perusahaan. Berdasarkan penelitian hukum
normatif disimpulkan bahwa: 1. Pengaturan hukum dalam pembuatan suatu
kontrak bisnis mengacu kepada suatu bentuk perjanjian formal yang diakui secara
sah menurut hukum, dan secara umum tidak diatur secara jelas dan tegas terhadap
formalitas dari suatu perjanjian. Asas kebebasan berkontrak berdasarkan pada
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yaitu: “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Dalam praktik, pada umumnya para pihak dari suatu perjanjian (kontrak) bisnis
menginginkan perjanjian dibuat setidak-tidaknya dalam bentuk tertulis dan
dilegalisir oleh notaris atau dalam suatu bentuk akta notaris (akta otentik); dalam
rangka memperkuat kedudukan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak
apabila terjadi sengketa. 2. Penyelesaian sengketa di bidang kontrak bisnis
perusahaan dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan KUH Perdata
yang menetapkan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian; akan tetapi jika
pihak yang melakukan wanprestasi tidak bersedia menyelesaikannya secara
musyawarah, maka gugatan dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri yang
berwenang dan setelah keputusan diperoleh,

Kata kunci: kontrak, bisnis Perusahaan

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan dunia usaha saat ini begitu pesat. Tingkat
persaingan yang tinggi dan aktivitas dunia usaha saat ini tidak dapat
dipungkiri cenderung bergerak dan berkembang ke arah yang lebih
kompleks dan variatif. Perkembangan ini terus berlangsung, sehingga
transaksi bisnis tersebut tidak terlepas dari bentuk-bentuk kontrak
(perjanjian) terbaru sesuai dengan ragam kepentingan dan tujuan-tujuan
dari para pelaku bisnis.
Apabila dikaji aspek pasar tentunya kita akan mengkaji dari
berbagai aktivitas bisnis yang hidup dan berkembang dalam sebuah pasar
(market). Di dalam berbagai market tersebut maka akan menimbulkan
berbagai macam kontrak yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Ada
pelaku usaha yang mengadakan perjanjian jual beli, sewa menyewa, beli
sewa, dll. Hal ini bila tidak diatur secara formal akan memunculkan
berbagai perbedaan persepsi, dan konflik kepentingan antara para pembuat
kontrak sehingga potensi sengketa akan menjadi terbuka. Melihat
pentingnya pembuatan suatu kontrak dalam kegiatan bisnis, terutama
untuk penyelesaian sengketa di bidang kontrak bisnis perusahaan, maka
menarik kiranya untuk dilakukan penelitian mengenai pembuatan kontrak
bisnis serta upaya-upaya penyelesaian hukum yang dapat dilakukan
terhadap suatu kontrak yang telah disepakati bersama dan bermasalah yang
akan dituangkan dalam bentuk makalah.

B. Rumusan Masalah
Menurut latar belakang permasalahan diatas maka rumusan
masalah pembuatan makalah ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan hukum dalam pembuatan suatu kontrak bisnis
perusahaan ?

2
2. Bagaimana penyelesaian sengketa di bidang kontrak bisnis
perusahaan?

C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini sebagai beriku :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum dalam pembuatan
suatu kontrak bisnis perusahaan.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa di bidang kontrak
bisnis Perusahaan.
3. Untuk melengkapi tugas sebelum UAS (Ujian Akhir Semester), mata
kuliah Kemahiran Merancang Dan Membuat Kontrak Bisnis.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hukum Dalam Pembuatan Kontrak Bisnis


Sebelum membahas lebih dalam mengenai kontrak, perlu diketahui
terlebih dahulu definisi dari kontrak itu sendiri. Dalam Pasal 1313 KUH
Perdata, kontrak didefinisikan sebagai suatu perbuatan dimana satu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Lebih
lanjut, Subekti juga berpendapat bahwa kontrak atau yang biasanya
disebut perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji
kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kontrak
merupakan suatu produk kesepakatan antara pihak yang terikat
didalamnya.
Sedangkan hukum kontrak menurut Michael D. Bayles adalah aturan
hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.
Pengaturan hukum dalam pembuatan kontrak bisnis sebenarnya tidak
terlepas dari bentuk-bentuk perjanjian secara formal yang diakui secara
sah menurut hukum. Sedangkan secara umum tidak diatur secara jelas dan
tegas mengenai formalitas suatu perjanjian. Perjanjian dapat dilakukan
secara lisan atau tertulis, atau dengan suatu akta otentik. Setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau untuk menguatkan
haknya sendiri maupun menyangkal suatu hak orang lain, menunjuk pada
suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa
tersebut. Namun demikian, KUH Perdata menentukan pengecualian
terhadap ketentuan umum ini. Beberapa perjanjian khusus harus dibuat
secara tertulis dengan suatu akta otentik yang dibuat di hadapan notaris,
seperti misalnya hibah, akta pendirian suatu perseroan dapat mengikat

4
hanya dengan penyerahan dari objek yang diperjanjikan sehingga bentuk
pertanggungjawaban secara tertulis melalui akta notariel dapat dibuktikan.
Salah satu asas yang berlaku dalam hukum kontrak adalah asas
kebebasan berkontrak, yaitu asas yang memberikan kebebasan kepada para
pihak dalam kontrak untuk membuat, menentukan isi maupun bentuk dari
perjanjian tersebut. Hal tersebut tercermin dalam Pasal 1338 KUH
Perdata, yang menegaskan bahwa semua kontrak yang dibuat sesuai
dengan undang-undang akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang. Selain itu, persetujuan juga harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Akan tetapi, walaupun telah terdapat asas
kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk membuat kontrak, suatu kontrak wajib memenuhi syarat keabsahan
kontrak, agar kontrak tersebut dapat dikatakan sah secara hukum.
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, supaya terjadi persetujuan yang
sah, perlu dipenuhi 4 syarat sebagai berikut:
1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) suatu pokok persoalan tertentu;
4) suatu sebab yang tidak terlarang.
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sementara syarat ketiga dan
keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.
Syarat subjektif merupakan suatu syarat yang apabila tidak terpenuhi dapat
mengakibatkan kontrak/perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan syarat
objektif merupakan suatu syarat yang apabila tidak terpenuhi dapat
mengakibatkan kontrak/perjanjian batal demi hukum.
a) Kesepakatan Para Pihak
Salah satu syarat agar suatu perjanjian dinyatakan sah adalah
adanya kesepakatan para pihak. Dalam hal ini, kesepakatan berarti
telah adanya kehendak serta persetujuan dari kedua belah pihak untuk

5
membuat perjanjian. Dengan adanya kesepakatan oleh para pihak,
perjanjian menjadi mengikat bagi para pihak yang membuatnya.
Sebaliknya, perjanjian menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum
dalam terdapat unsur paksaan maupun tekanan dalam pembuatannya.
Sebagaimana yang dipertegas pula dalam Pasal 1321 KUH Perdata,
bahwa tidak ada suatu persetujuan pun yang mempunyai kekuatan
dalam hal diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan
atau penipuan.
b) Kecakapan Dalam Membuat Suatu Perikatan
Mengenai kecakapan, Pasal 1329 KUH Perdata menerangkan
bahwa setiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali
dalam hal orang tersebut dinyatakan tidak cakap. Pada dasarnya, setiap
orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya adalah
cakap menurut hukum
c) Adanya Objek Tertentu
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1332 KUH Perdata, bahwa hanya
barang yang dapat diperdagangkan sajalah yang dapat menjadi pokok
persetujuan. Selanjutnya, Pasal 1333 KUH Perdata juga mengatur
bahwa suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang
yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya.
Suatu hal tertentu juga dapat diartikan sebagai prestasi, misalnya
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu
seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata. Singkatnya,
prestasi adalah apa yang jadi kewajiban debitur dan apa yang jadi hak
kreditur dalam suatu perjanjian.
d) Adanya Sebab Yang Halal
Dalam hal ini sebab yang halal diartikan sebagai sebab yang tidak
terlarang. Berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, suatu sebab adalah
terlarang apabila sebab tersebut dilarang oleh undang-undang atau
apabila sebab tersebut bertentangan dengan kesusilaan maupun
ketertiban umum.

6
Hal-hal yang seminimal mungkin diatur dalam suatu kontrak
adalah hal-hal yang termasuk kedalam unsur esensialia. Namun,
pengaturan terhadap hal-hal yang tergolong unsur esensialia saja tidaklah
cukup. Berdasarkan praktik kami, suatu kontrak dapat dikatakan telah
sesuai dengan best practice pembuatan kontrak baik secara nasional
maupun internasional apabila kontrak tersebut telah memuat:

1) Judul yang mencerminkan jenis perjanjian yang dibuat ;


2) Pembukaan yang berisi tanggal pembuatan dan penandatanganan
perjanjian;
3) Identitas dan keterangan mengenai kedudukan para pihak dalam
kontrak;
4) Premis yang berisi latar belakang dan alasan pembuatan kontrak;
5) Kata-kata kesepakatan sebagai pengantar yang akan menjembatani
pembukaan dan isi kontrak;
6) Isi yaitu syarat dan ketentuan yang mencakup hak dan kewajiban
para pihak yang unsur-unsurnya terdiri dari.
a. Esensialia, yaitu hal-hal pokok yang harus ada dalam suatu
kontrak. Contohnya seperti pihak, objek (barang), harga, dan
jangka waktu.
b. Naturalia, yaitu hal-hal penunjang yang mana apabila tidak
diatur dalam kontrak, atau apabila para pihak tidak
diperjanjikan lain dari apa yang diatur oleh peraturan
perundangan-perundangan, maka akan mengikuti peraturan
perundang-undangan. Contohnya seperti kewajiban
pembayaran, mekanisme penyerahan barang, instalasi, dan
sebagainya.
c. Aksidentalia, yang merupakan hal-hal yang akan mengikat para
pihak apabila diperjanjikan. Contohnya seperti pengaturan
terkait pernyataan dan jaminan, kekayaan intelektual,
kerahasiaan informasi, pelanggaran dan teguran, hukum yang
berlaku, penyelesaian sengketa, korespondensi, force majeure,

7
pemutusan dan pengakhiran, pengalihan, pengesampingan,
keterpisahan, serta keseluruhan perjanjian.
7) Penutup yang menyatakan pemahaman dan kesadaran para pihak
dalam menandatangani kontrak yang dibuat serta penyebutan
terkait jumlah rangkap perjanjian ditandatangani;
8) Meterai dan tanda tangan,
B. Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang Kontrak Bisnis Perusahaan
Kenyataan menunjukkan bahwa lebih mudah para pihak untuk
membuat dan menandatangani suatu kontrak daripada melaksanakannya.
Kita dapat mengatur sanksi bagi tiap-tiap pelanggaran ketentuan dalam
suatu kontrak, namun pelaksanaannya tetap tergantung dari itikad baik
para pihak yang membuat dan melaksanakan suatu kontrak. Pada dasarnya
setiap kontrak (perjanjian) yang dibuat para pihak harus dapat
dilaksanakan dengan sukarela atau itikad baik, namun dalam kenyataannya
kontrak yang dibuatnya seringkali dilanggar.
Penyelesaian sengketa di bidang kontrak dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu (1) melalui pengadilan, dan (2) di luar pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaian
sengketa yang terjadi antara para pihak yang diselesaikan oleh pengadilan.
Putusannya bersifat mengikat.
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian
sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian
di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi
atau penilaian ahli (Pasal 1 ayat (10) Undang-undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Pilhan Penyelesaian Sengketa).
Apabila mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-undang No.
30 Tahun 1999 maka cara penyelesaian sengketa melalui ADR dibagi
menjadi lima cara, yaitu :
1. Konsultasi
2. Negosiasi
3. Konsiliasi, atau

8
4. Penilaian ahli.
Dalam literatur juga disebutkan dua pola penyelesaian sengketa,
yaitu the binding adjudicative procedure dan the nonbinding adjudicative
procudere. The binding adjudicative procedure, yaitu suatu prosedur
penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim
mengikat para pihak.
Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat dibagi menjadi empat
macam, yaitu litigasi, arbitrase, mediasi-arbitrase, dan hakim partikelir.
Sementara, the non binding adjudicative procedure, yaitu suatu proses
penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim atau
orang yang ditunjuk tidak mengikat para pihak. Penyelesaian sengketa
dengan cara ini dibagi menjadi enam macam, yaitu konsiliasi, mediasi,
mini-trial, summary jury trial, neutral expert fact-finding, dan, early
expert neutral evaluation.
Kedua penyelesaian sengketa itu berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Perbedaannya terletak pada kekuatan mengikat dari putusan yang
dihasilkan oleh institusi tersebut. Kalau the binding adjudicative
procedure, putusan yang dihasilkan oleh institusi yang memutuskan
perkara adalah mengikat para pihak, sedangkan dalam the nonbinding
adjudicative procedure, putusan yang dihasilkan tidak mengikat para
pihak. Artiny dengan adanya putusan itu para pihak dapat menyetujui atau
menolak isi putusan tersebut. Persamaan dari kedua pola penyelesaian
sengketa tersebut adalah sama-sama memberikan putusan atau pemecahan
dalam suatu kasus.
KUH Perdata telah menetapkan sanksi apabila terjadi wanprestasi
dalam perjanjian (kontrak); akan tetapi jika pihak yang melakukan
wanprestasi tidak bersedia menyelesaikannya secara musyawarah, maka
gugatan harus diajukan melalui Pengadilan Negeri yang berwenang dan
setelah keputusan diperoleh, masih harus dilanjutkan dengan pelaksanaan
keputusan (eksekusi), hal mana memerlukan waktu yang lama dan biaya
yang besar. Sehingga penyelesaian sengketa di bidang kontrak bisnis
perusahaan dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan

9
KUHPerdata yang menetapkan apabila terjadi wanprestasi dalam
perjanjian; akan tetapi jika pihak yang melakukan wanprestasi tidak
bersedia menyelesaikannya secara musyawarah, maka gugatan dapat
diajukan melalui Pengadilan Negeri yang berwenang dan setelah
keputusan diperoleh, dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan keputusan
(eksekusi).
Hal yang sangat penting dilakukan oleh para pihak yang
mengajukan sengketa kontrak ke Pengadilan adalah para pihak harus dapat
membuktikan tentang apa yang dituntut. Misalnya, yang dituntut adalah
menghentikan kontrak yang dibuat antara kreditor dan debitor. Permintaan
penghentian kontrak ini disebabkan debitor tidak melaksanakan prestasi
sebagaimana mestinya. Berdasarkan apa yang diajukan oleh para pihak
maka pengadilan dapat memutuskan untuk mengakhiri kontrak yang
dibuat oleh para pihak, berdasarkan alat bukti yang disampaikannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berakhirnya kontrak karena
putusan pengadilan, yaitu tidak berlakunya kontrak yang dibuat oleh para
pihak, yang disebabkan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Penyelesaian sengketa di kalangan pengusaha
jarang mengajukan gugatan ke pengadilan karena untuk mengajukan
perkara ke pengadilan membutuhkan biaya yang besar, waktu yang lama,
dan timbulnya konflik yang terus-menerus di kalangan mereka. Untuk
menghindari hal itu, mereka menggunakan cara-cara yang dianggap
menguntungkan kedua belah pihak. Walaupun di dalam kontrak yang
dibuat oleh para pihak telah ditentukan cara penyelesaian sengketa, yaitu
melalui pengadilan, namun dalam kenyataannya para pihak jarang
menyelesaikan sengketa tersebut ke pengadilan.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengaturan hukum dalam pembuatan suatu kontrak bisnis mengacu
kepada suatu bentuk perjanjian formal yang diakui secara sah menurut
hukum, dan secara umum tidak diatur secara jelas dan tegas terhadap
formalitas dari suatu perjanjian. Asas kebebasan berkontrak berdasarkan
pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yaitu: “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
membuatnya”. Dalam praktik, pada umumnya para pihak dari suatu
perjanjian (kontrak) bisnis menginginkan perjanjian dibuat setidak-
tidaknya dalam bentuk tertulis dan dilegalisir oleh notaris atau dalam suatu
bentuk akta notaris (akta otentik); dalam rangka memperkuat kedudukan
para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak apabila terjadi sengketa.
Penyelesaian sengketa di bidang kontrak bisnis perusahaan dapat
dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan KUH Perdata yang
menetapkan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian; akan tetapi jika
pihak yang melakukan wanprestasi tidak bersedia menyelesaikannya
secara musyawarah, maka gugatan dapat diajukan melalui Pengadilan
Negeri yang berwenang dan setelah keputusan diperoleh, dapat dilanjutkan
dengan pelaksanaan keputusan (eksekusi).

B. Saran

11
Sebaiknya para pihak dalam membuat suatu kontrak berupaya
untuk mematuhi isi dari kontrak tersebut untuk menjaga kepercayaan dan
citra mereka dalam berusaha dan berhubungan dengan pihak lain, dan
apabila salah satu pihak mengalami hambatan atau lalai dalam memenuhi
isi dari kontrak maka bagi pihak yang lalai terlebih dahulu diberi surat
peringatan untuk mengingatkan yang dimaksudkan untuk memberi
tenggang waktu agar si lalai dapat memenuhi kewajibannya.

DAFTAR PUSTAKA

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-


persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1985.
Salim, H. S, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet.
Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Sudargo Gautama, Hukum Dagang Internasional, Alumni, Bandung,
1985. KUH Perdata, Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, Cet. 1, Pustaka Mahardika, Jakarta, 2010.

12

Anda mungkin juga menyukai