Anda di halaman 1dari 10

1. Apakah yang dimaksud dengan memorandum of understanding?

Apakah
Indonesia sistem hukumnya mengenal MoU? Jelaskan pendapat saudara!
JAWAB :
Istilah memorandum of understanding berasal dari dua kata, yaitu memorandum dan
understanding. Secara gramatikal, memorandum of understanding diartikan sebagai nota
kesepahaman..
Pengertian MoU merupakan suatu dokumen legal yang mana isinya menjelaskan tentang
perjanjian pendahuluan antara dua belah pihak serta juga merupakan dasar dalam
menyusun kontrak di masa mendatang. Pada dasarnya MoU dibuat ialah sebagai langkah
awal didalam membuat kontrak kerjasama atau juga perjanjian yang lebih mengikat antara
dua (2) belah pihak. Namun, isi MoU ini lebih kearah penawaran, pertimbangan,
penerimaan, serta juga niat untuk terikat dengan secara hukum.
Pengertian MoU Menurut Para Ahli
Untuk lebih jelas mengenai pengertain MoU ini maka akan dipaparkan beberapa pengertian
MoU yang dikemukakan oleh beberapa para ahli, diantaranya sebagai berikut

 MoU Menurut Erman Rajagukguk


Pengertian MoU merupakan suatu dokumen yang isinya memuat saling pengertian
di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari Memorandum of
Understanding ini harus dimasuk-kan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai
kekuatan mengikat.
 MoU Menurut Munir Fuady
Pengertian MoU merupakan suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan
diikuti serta juga dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara
lengkap/detail, oleh sebab itu, memorandum of understanding ini berisikan hal-hal
yang inti atau pokok saja. Adapun mengenai aspek lain-lain dari MoU ini relatif sama
dengan perjanjian lainnya.
Dari penjelasan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa MoU ini bukanlah sebuah kontrak
dan juga masih merupakan pra kontrak. Oleh sebab itu, di dalam MoU ini biasanya
dicantumkan “intention to create legal relation” oleh kedua pihak tersebut.
MoU tidak dikenal dalam hukum perjanjian di Indonesia. Hukum perjanjian di Indonesia,
tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur MoU. MoU dapat diberlakukan di
Indonesia berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Perjanjian di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia selanjutnya disebut KUHPer diatur di dalam
Buku III Tentang Perikatan, Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864. KUHPer tidak
mengenal dan tidak mengatur Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan
kesepakatan awal dalam kontrak yang dibuat berdasarkan sistem hukum Common Law.
Kontrak yang dibuat memiliki sifat yang tidak berbeda dengan perjanjian, yaitu ikatan yang
memiliki akibat hukum. Kontrak merupakan kesepakatan para pihak yang mempunyai akibat
hukum yang mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang sesuai dengan asas Pacta
Sunt Servanda.
Kedudukan Memorandum of Understanding dalam Hukum Perjanjian Indonesia, yakni untuk
Memorandum of Understanding yang sifatnya bukan merupakan suatu perjanjian, maka
tidak ada sanksi apapun bagi yang mengingkarinya kecuali sanksi moral yaitu misalnya
adanya black list bagi pihak yang mengingkari isi dari Memorandum of Understanding.
Suatu Memorandum of Understanding yang tidak mempunyai suatu kekuatan hukum yang
memaksa bisa mempunyai sanksi. Kekuatan Mengikat Memorandum of Understanding
menurut hukum perjanjian di Indonesia sesuai dengan KUHPer, yakni menyamakan
Memorandum of Understanding dengan perjanjian. Pasal 1338 KUHPer mengatakan bahwa
setiap perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya (Pacta Sunt Servanda), akan tetapi apabila unsur-unsur sahnya
perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPer tidak terpenuhi, maka Memorandum of Understanding
tersebut batal demi hukum, dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

2. Apakah yang dimaksud dengan perjanjian pengikatan jual beli? Jelaskan dengan
turut memberikan definisi sekurang-kurangnya 3!
JAWAB:
PPJB adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli suatu
tanah/bangunan sebagai pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli
(“AJB”) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).  Biasanya PPJB akan dibuat para
pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih
dahulu oleh Para Pihak sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian PPJB
tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas
tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli.

PPJB dibuat untuk melakukan pengikatan sementara sebelum pembuatan AJB resmi di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Secara umum, isi PPJB adalah
kesepakatan penjual untuk mengikatkan diri akan menjual kepada pembeli dengan disertai
pemberian tanda jadi atau uang muka berdasarkan kesepakatan. Umumnya PPJB dibuat di
bawah tangan karena suatu sebab tertentu seperti pembayaran harga belum lunas. Di
dalam PPJB memuat perjanjian-perjanjian, seperti besarnya harga, kapan waktu pelunasan
dan dibuatnya AJB.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dihadapan notaris merupakan akta
otentik (vide: Pasal 1868 KUH Perdata). Dalam kaitannya dengan akta otentik tersebut,
Pasal 1870 KUH Perdata telah memberikan penegasan bahwa akta yang dibuat dihadapan
notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Adapun, kutipannya sebagai berikut,
Pasal 1870 KUH Perdata (Terjemahan R. Subekti)
“Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau
orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang
dimuat didalamnya.”
Sebagai informasi, PPJB adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon penjual dan calon
pembeli suatu tanah/bangunan sebagai pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta
Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Biasanya PPJB akan
dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus
dilaksanakan terlebih dahulu oleh Para Pihak sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT.
Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti
pengalihan hak atas tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli.

3. Jelaskan oleh saudara tipe-tipe negosiasi! Berikan contohnya!


JAWAB :
Jenis-jenis atau tipe-tipe Negosiasi
Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya negosiasi mempunyai jenis-jenis atau tpe-tipe yang
berbeda. Perbedaan negosiasi ini terjadi dari adanya jumlah negosiator atau pihak-pihak
yang melakukan negosiasi, keuntungan atau kerugian, serta situasinya.
1. Berdasarkan Situasi
Bila dinilai berdasarkan situasu, maka negosiasi akan terbagi menjadi dua jenis, yaitu
negosiasi formal dan negosiasi non formal.
Negosiasi formal adalah kegiatan negosiasi yang dilakukan untuk mendapatkan
kesepakatan dengan menempuh jalur hukum. Sedangkan negosiasi informal adalah jenis
negosiasi yang bisa dilakukan dimana saja tanpa memerlukan jalur hukum.
2. Berdasarkan Jumlah Negosiator
Untuk negosiasi yang dinilai berdasarkan jumlah negosiator, maka negosiasi dibedakan
menjadi negosiasi dengan pihak penengah dan tanpa pihak penengah.
Negosiasi yang dilakukan dengan pihak penengah biasanya dilakukan oleh dua atau lebih
pihak negosiator, sehingga setiap keputusan dan proses negosiasi akan memerlukan pihak
penengah yang sifatnya netral. Sedangkan negosiasi tanpa pihak pengenah adalah
kegiatan negosiasi yang dilakukan tanpe membutuhkan bantuan pihak penengah dan
umumnya hanya terjalin antar dua pihak saja.
3. Berdasarkan Keuntungan dan Kerugian
Untuk jenis negosiasi yang dinilai berdasarkan keuntungan dan kerugian, maka terbagi
menjadi jenis negosiasi kolaborasi, dominasi, akomodasi, dan lose-lose.
Jenis negosiasi kolaborasi adalah jenis yang melibatkan seluruh pihak untuk menyuarakan
pendapat dan keinginannya, sehingga akan terjalin kolaborasi kepentingan dan keinginan
untuk bisa mendapatkan solusi terbaik. Sedangkan jenis nogosiasi dominasi, sesuai
namanya, jenis negosiasi ini akan mengentungkan salah satu pihak saja dan pihak lainnya
tidak banyak mendapatkan keuntungan.
Untuk negosiasi akomodasi, setiap pihak yang melakukan negosiasi hanya akan
mendapatkan keuntungan yang sedikit, bahkan bisa saja pihak lawan mendapatkan
keuntungan yang banyak. Disisi lain, negosiasi lose-lose adalah negosiasi yang dilakukan
untuk tidak melanjukan konflik atau konflik baru. Jadi, setiap pihak akan memilih untuk
menyelasaikan masalah dengan kepala dingin.
4. Apakah negosiasi dalam prakteknya dapat dilakukan setelah perjanjian
ditandatangani? Berikan contohnya!
JAWAB :
Pengertian negosiasi adalah suatu bentuk kegiatan diskusi yang melibatkan dua pihak atau
lebih untuk memperoleh kepakatan yang disetujui oleh setiap pihak yang terlibat di
dalamnya.
Dalam pelaksanaannya, salah satu pihak akan menerangkan sudut pandangnya, dan pihak
lain akan menerima kondisi yang ditawarkan ataupun menolaknya dengan mengeluarkan
sudut pandangnya sendiri. Proses ini akan terus berlanjut hingga kedua belah pihak yang
bernegosiasi bisa mendapatkan kesepakatan.
Perjanjian yang dibuat secara lisan/tidak tertulis pun tetap mengikat para pihak, dan tidak
menghilangkan, baik hak dan kewajiban dari pihak yang bersepakat. Namun, untuk
kemudahan pembuktian, acuan bekerja sama dan melaksanakan transaksi, sebaiknya
dibuat secara tertulis. Hal ini juga dimaksudkan, agar apabila terdapat perbedaan pendapat
dapat kembali mengacu kepada perjanjian yang telah disepakati.
Perlu dipahami bahwa suatu persetujuan wajib dilakukan dengan iktikad baik bagi mereka
yang melakukannya, dan karenanya sifat mengikat dari persetujuan tersebut adalah pasti
dan wajib. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPer dan Pasal 1339 KUHPer, yang
menyatakan:
Pasal 1338
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pasal 1339
Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya,
melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan
keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa negosiasi dalam prakteknya tidak
dapat dilakukan setelah perjanjian ditandatangani, jadi negosiasi dapat dilakukan sebelum
perjanjian yang dibuat telah ditandatangani.
Negosiasi atau yang biasa disebut sebagai proses tawar-menawar adalah hal yang umum
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya terjadi pada lingkungan bisnis dan
pekerjaan, negosiasi juga kerap terjadi pada organisasi dan komunitas masyarakat pada
umumnya. Contoh kasus negosiasi jual beli yang kerap terjadi adalah pada saat terjadi
tawar-menawar sebelum melakukan transaksi pembelian suatu barang. Hal yang umum
terjadi adalah adanya negosiasi penurunan harga atas barang tertentu. Seorang pembeli
tentu umumnya melakukan negosiasi harga terlebih dahulu kepada penjual agar bisa
mendapatkan harga yang terendah. Tentu proses negosiasi harga ini hanya dapat terjadi di
tempat-tempat yang lebih fleksibel dan tidak menerapkan fixed price seperti contohnya di
pasar-pasar tradisional. Namun apabila transaksi terjadi di sebuah toko atau swalayan yang
menerapkan fixed price, tentu proses negosiasi tidak dapat terjadi.

5. Apakah pengadilan dapat membatalkan perjanjian? Jelaskan oleh saudara dengan


turut menyebutkan dasar hukumnya!
JAWAB :
Menurut pendapat para ahli hukum, untuk membatalkan sebuah perjanjian harus dilakukan
dengan pengajuan gugatan (bukan permohonan) sehingga pengadilan akan mengeluarkan
suatu putusan (bukan penetapan) yang konstitutif untuk membatalkan perjanjian tersebut.
Dailil ini dapat dilhat dalam beberapa doktrin hukum sebagai benkut:
Pof.R. Subekti, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata, Penerbit
Binacipta, Bandung, tahun 1989 halaman 127 yang menyatakan: “Putusan Kontitutif yaitu
suatu putasan yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru, misalnya untuk
membatalkan suatu  perjanjian”.

6. Apabila suatu perjanjian tidak menyebutkan jangka waktu berakhirnya, maka apa
yang anda harus lakukan!
JAWAB :
Ketentuan Berakhirnya Perjanjian
Dalam membuat perjanjian maka harus menuliskan ketentuan berakhirnya perjanjian yang
telah Anda buat. Biasanya perjanjian akan berakhir otomatis ketika hak dan kewajiban telah
terpenuhi oleh masing-masing pihak. Menurut Pasal 1381 KUHPerdata terdapat beberapa
hal yang mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian yaitu:
1. Karena pembayaran;
2. Karena penawaran;
3. Karena pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpangan atau penitipan;
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Karena percampuran utang;
6. Karena pembebasan utang;
7. Karena musnahnya barang yang terutang;
8. Karena kebatalan dan pembatalan;
9. Karena berlakunya syarat batal;
10. Karena lewat waktu (kedaluwarsa).
7. Apakah komisaris secara hukum diperbolehkan menandatangani perjanjian?
Jelaskan secara lengkap!
JAWAB :
Perseroan Terbatas (PT), dulu disebut juga Naamloze Vennootschaap (NV), adalah suatu
persekutuan untuk menjalankan usaha yang modalnya terdiri dari saham-saham.
Karena modalnya terdiri dari saham-saham yang dapat diperjualbelikan, maka perubahan
kepemilikan perusahaan dapat dilakukan tanpa perlu membubarkan perusahaan.
Perseroan Terbatas merupakan Badan Usaha dan Badan Hukum yang besarnya
modal perseroan tercantum dalam anggaran dasar, kekayaan perusahaan terpisah dari
kekayaan pribadi pemilik perusahaan. Setiap orang dapat memiliki lebih dari satu saham
dan pemilik saham mempunyai tanggung jawab yang terbatas, sebanyak saham yang
dimiliki.
Pihak yang berhak mewakili suatu Perseroan
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Direksi adalah Organ Perusahaan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar adalah Direksi. Sedang yang berhak mewakili Perseroan
diatur lebih lanjut menurut UU No. 40 Tahun 2007, sebagai berikut:
1. Pasal 98 menyatakan :
a. Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan;
b. Dalam hal anggota Direksi lebih dari 1 (satu) orang, maka yang berwenang mewakili
Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar.
Artinya bahwa dalam pengambil keputusan Direksi menganut sistem perwakilan kolegial,
yang berarti tiap-tiap anggota Direksi berwenang mewakili perseroan. Akan tetapi anggaran
dasar perusahaan dapat menentukan bahwa perseroan dalam melakukan perbuatan hukum
di luar atau di dalam pengadilan diwakili oleh anggota Direksi tertentu, misalnya oleh
Direktur Utama;
c. Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan di dalam maupun di luar pengadilan tidak
terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain oleh UU ini (UU No. 40 Tahun 2007),
anggaran dasar, atau keputusan RUPS; Namun
d. Keputusan RUPS tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UU No. 40 Tahun 2007
dan/atau anggaran dasar Perseroan.

2. Pasal 99 menyatakan :
a. Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila:
• Terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang
bersangkutan; atau
• Anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.
b. Dalam hal anggota direksi tidak berwenang mewakili, maka yang berhak mewakili
Perseroan adalah :
• Anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan;
• Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan
dengan Perseroan; atau
• Pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan
Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.
B. Pihak yang berhak menandatangani perjanjian/kontrak untuk kepentingan Perseroan

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Penjelasannya, tidak menyebutkan
dengan jelas dan tegas mengenai siapa yang berhak mewakili Perseroan dalam hal
menandatangani perjanjian atau kontrak.
Menunjuk Pasal 1 angka 5 dan Pasal 98 UU No. 40 Tahun 2007 menyatakan, bahwa
Direksi merupakan organ perusahaan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan dan untuk kepentingan perseroan, mewakili perseroan, di dalam
atau di luar pengadilan, dan dalam mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan
Direksi mempunyai kewenangan tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain
oleh anggaran dasar atau keputusan RUPS. Selanjutnya Pasal 92, menyatakan bahwa
Direksi mempunyai tugas menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan
sesuai maksud dan tujuan perseroan. Dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberi
kewenangan menjalankan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat dalam batas
yang ditentukan oleh UU tentang Perseroan Terbatas dan/atau Anggaran Dasar Perseroan.
Dengan demikian sepanjang tidak ditentukan lain dalam anggaran dasar dan keputusan
RUPS, maka yang berhak menandatangani perjanjian/kontrak adalah Direksi.
Dalam Pasal 1 angka 6 UU Perseroan Terbatas dinyatakan bahwa Dewan Komisaris
adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum
dan/atau khusus, sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada
Direksi.
Berdasarkan ketentuan di atas, UU Perseroan Terbatas sudah memberikan batasan tugas
dan wewenang yang jelas antara Direksi dan Dewan Komisaris, sebagaimana pendapat
dari Fred B.G Tumbuan dalam makalah yang disampaikan pada acara Sosialisasi Undang-
Undang Tentang Perseroan Terbatas, yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia
pada 22 Agustus 2007.
“Dewan Komisaris tidak mempunyai peran dan Fungsi Eksekutif. Sekalipun AD (Anggaran
Dasar) menentukan bahwa perbuatan-perbuatan Direksi tertentu memerlukan persetujuan
Dewan Komisaris, persetujuan dimaksud bukan pemberian kuasa dan pula bukan
perbuatan pengurusan.”
Sesuai dengan hal-hal yang uraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa memang tidak
ada ketentuan dalam UU Perseroan Terbatas yang secara tegas menyebutkan bahwa
Dewan Komisaris tidak diperbolehkan ikut dalam penandatanganan perjanjian, namun
dalam Pasal 15 ayat (2) UU Perseroan Terbatas telah diatur bahwa Anggaran Dasar suatu
Perseroan Terbatas dapat memuat/mengatur mengenai ketentuan lain, yang tidak
bertentangan dengan UU Perseroan Terbatas.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam
Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas dapat diatur bahwa Dewan Komisaris dapat ikut
menandatangani perjanjian setelah sebelumnya Direksi menandatangani perjanjian
tersebut. Dengan syarat, tanda tangan Dewan Komisaris tersebut dilakukan sebagai sarana
pengawasan dan bukan merupakan perbuatan pengurusan Direksi yang bertindak
sebagai persona standi in judicio  dari suatu Perseroan Terbatas.
Sebagai catatan penting, dalam melakukan pengaturan di Anggaran Dasar, jangan sampai
kita memberikan kewenangan yang berlebihan bagi Dewan Komisaris, yang terlalu strict.
Melakukan pembatasan, sehingga menghambat peran dan kemandirian Direksi dalam
mengemban kepercayaan dari Perseroan (Fiduciary Duties).
Selain itu, apabila Dewan Komisaris melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
menjalankan tugas pengawasan dan memberi nasihat untuk Direksi, atau dengan kata lain
melakukan perbuatan di luar kewenangannya (Ultra Vires), misalnya sampai mengambil
tugas dan wewenang Direksi, maka Dewan Komisaris dapat bertanggung jawab secara
pribadi dan tanggung renteng atas kerugian Perseroan tersebut ( Pasal 114 ayat [2] dan
ayat [3] UU Perseroan Terbatas).   

8. Apa yang dimaksud dengan subjek hukum berbentuk badan hukum! Jelaskan!
JAWAB :
Badan hukum disebut sebagai subjek hukum karena memiliki hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu timbul dari hubungan hukum yang dilakukan oleh
badan hukum tersebut. Badan hukum juga memiliki kekayaan tersendiri yang terpisah dari
kekayaan anggotanya, turut serta dalam lalu lintas hukum, serta dapat digugat dan
menggugat di muka pengadilan.
Badan hukum sebagai subjek hukum layaknya manusia, dapat melakukan perbuatan
hukum seperti mengdakan perjanjian, manggabungkan diri dengan perusahaan lain
(merger), melakukan jual beli, dan lain sebagainya. Dengan demikian badan hukum diakui
keberadaannya sebagai pendukung hak dan kewajiban (subjek hukum) karena turut serta
dalam lalu lintas hukum.
Badan hukum tidak lain adalah badan yang diciptakan oleh manusia dan tidak berjiwa. Oleh
sebab itu dalam melaksanakan perbuatan hukumnya, badan hukum diwakili oleh pengurus
atau anggotanya.
Untuk dapat ikut serta dalam lalu lintas hukum dan diakui sebagai subjek hukum, ada
sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh badan hukum. Syarat-syarat tersebut adalah:
1)      Dibentuk dan didirikan secara resmi sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur
perihal pembentukan/pendirian badan hukum. Syarat pembentukan badan hukum ini sesuai
dengan bentuk/jenis badan hukum yang akan didirikan. Syarat pembentukan badan hukum
ini berbeda antara satu bentuk/jenis badan hukum dengan bentuk/jenis badan hukum yang
lain. Contoh: syarat/cara pembentukan badan hukum  partai politik berbeda dengan
syarat/cara pembentukan badan hukum perseroan terbatas (PT). Syarat/cara pembentukan
kedua jenis badan hukum itu diatur dalam undang-undang yang berbeda dan dengan
prosedur yang berbeda pula.
2)      Memiliki harta kekayaan yang terpisah dari harta kekayaan anggotanya.
3)      Hak dan kewajiban hukum yang terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya.

Dalam hukum dikenal adanya dua macam badan hukum, yaitu:


1)      Badan hukum publik: yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik
dan bergerak di bidang publik/yang menyangkut kepentingan umum. Badan hukum ini
merupakan  badan negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan peraturan
perundang-undangan, yang dijalankan oleh pemerintah atau badan yang ditugasi untuk itu.
Contoh:
a.    Negara Indonesia, dasarnya adalah Pancasila dan UUD 1945
b.   Daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota, dasarnya adalah Pasal 18, 18 A, dan 18 B
UUD 1945 dan kemudian dielaborasi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda ini telah dirubah sebanyak dua kali)
c.    Badan Usaha Milik Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
d.   Pertamina, didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971

2)      Badan Hukum Privat; yaitu badan hukum yang didirkan berdasarkan hukum perdata
dan beregrak di bidang privat/yang menyangkut kepentingan orang perorang. Badan hukum
ini merupakan badan swasta yang didirikan oleh sejumlah orang untuk tujuan tertentu,
seperti mencari laba, sosial/kemasyarakatan, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
lain sebagainya. Contoh:
a.       Perseroan terbatas (PT), pendiriannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
b.      Koperasi, pendiriannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Koperasi
c.       Partai Politik, pendiriannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perpol jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008.

Berkenaan dengan badan hukum, terdapat beberapa teori yang dikemukakan para
ahli tentang badan hukum, yaitu:
1)      Teori fiksi
Badan hukum di anggap buatan negara saja, sebenarmya badan hukum itu tidak ada,
hanya orang menghidupkan bayangannya sebagai subjek hukum yang dapat melakukan
perbuatan hukum seperti manusia. Teori ini di kemukakan F. Carl Von Savigny.

2)      Teori harta kekayaan bertujuan (Doel vermogenstheorie)


Hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Adanya badan hukum di beri
kedudukan sebagai orang disebabkan badan ini mempunyai hak dan kewajiban, yaitu hak
atas harta kekayaan dan dengannya itu memenuhi kewajiban-kewajiban kepada pihak ke
tiga. Penganut teori ini ialah Brinz dan Van der Heijden dari Belanda.

3)      Teori organ (Organnen theory)


Badan hukum ialah sesuatu yang sungguh-sungguh ada dalam pergaulan yang
mewujudkan kehendaknya dengan perantaraan alat-alatnya (organ) yang ada padanya
(pengurusnya). Jadi bukanlah sesuatu fiksi tapi merupakan makhluk yang sungguh-sungguh
ada secara abstrak dari konstruksi yuridis. Teori ini dikemukakan oleh Otto von Gierke dan
Z. E. Polano.

4)      Teori milik bersama (Propriete collectif theory)


Hak dan kewajiban pada badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para
anggota secara bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama para
anggota. Pengikut teori ini adalah Star Busmann dan Kranenburg.

5)      Teori kenyataan yuridis (Juridische realiteitsleer)


Badan hukum merupakan suatu realitet, konkret, riil, walaupun tidak bisa di raba, bukan
khayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori ini di kemukakan oleh Mejers.

Anda mungkin juga menyukai