Anda di halaman 1dari 9

Analisis Yuridis Terhadap Dispensasi Perkawinan Anak

Di bawah Umur Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan


Undang–Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
(Studi Kasus Putusan Pengadilan PA BITUNG Nomor
38/Pdt.P/2020/PA.Bitg)

DOVANA GIFANTI
010001700127

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2021

1
2

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pernikahan dan perkawinan di Indonesia merupakan suatu bagian dari hukum
perdata secara umum yang ketetentuannya mengatur dan membatasi manusia
dalam perikatan tentang kehidupan memenuhi kepentingannya terutama berkaitan
dengan kepentingan perseorangan. Akan tetapi dalam perspektif Islam lebih
spesifik diatur dalam Hukum Perdata Islam yang mana hukum atau ketentuan
Islam yang didalamnya mengatur hubungan kekeluargaan dan perorangan diantara
masyarakat bangsa Indonesia yang menganut hukum Islam.1
Pada Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
mengatur bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.2
Sedangkan dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskannya bahwa
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat
atau mīṫ āqan galīḍan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.3 Untuk menjembatani antara kebutuhan kodrati manusia
dengan pencapaian esensi dari suatu perkawinan, Undang-undang Perkawinan
telah menetapkan dasar dan syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan.
Bagi perkawinan tersebut tentu harus dapat diperbolehkan bagi mereka yang
telah memenuhi batasan usia untuk melangsungkan perkawinan seperti dalam
Undang-Undang Nomor.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1), perkawinan hanya
diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)

1
Wasman & Wardah Nuroniyah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandingan Fiqih
dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Teras, 2011), h.29.
2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1
3
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2.
3

tahun. 4 Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didefinisikan bahwa
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.5 Maka apabila melangsungkan perkawinan
tegas dikatakan perkawinan tersebut adalah perkawinan dini atau perkawinan
dibawah umur.
Meskipun telah ditetapkan batasan umur namun masih terdapat penyimpangan
dengan melakukan perkawinan di bawah umur. Hal ini jelas bertentangan dengan
prinsip dan syarat perkawinan yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor.16
Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Terhadap penyimpangan ini, Undang-Undang Nomor.16 Tahun 2019
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
memberikan jalan keluar berupa dispensasi dari pengadilan. Ketentuan Pasal 7
ayat (1) Undang-undang perkawinan mengakibatkan banyaknya kasus pemaksaan
perkawinan anak, mengancam kesehatan reproduksi anak perempuan, mengancam
hak anak atas pendidikan dan mendiskriminasikan pemenuhan hak antara anak
laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hasil penelitian, kelahiran yang terjadi pada
perempuan usia anak atau belum mencapai usia 18 tahun beresiko mengalami
sakit fisik maupun psikis, cacat dan kematian, sedangkan pada si ibu akan
beresiko mengalami kekurangan gizi, depresi hingga kematian. Hal ini
mengancam hak setiap orang, khususnya perempuan dan anak anak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya maupun hak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang.6
Di Indonesia, batas usia perkawinan yang ditetapkan adalah 19 tahun bagi
laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, batasan ini dapat disimpangi dengan
mengajukan dispensasi perkawinan ke Pengadilan Agama. Tidak adanya kriteria
atau indikator standar dalam Undang-Undang Perkawinan membuka peluang bagi

4
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat 1
5
Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
6
Gatot Supramono, 1998, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta: Djambatan, h. 17
4

majelis hakim untuk memberikan putusan berdasarkan inisiatifnya sendiri, yang


cenderung mengacu pada teks-teks fikih. Implikasinya, sebagian besar
permohonan dispensasi selalu dikabulkan, sehingga sebagai faktor penyebab
perkawinan di bawah umur.7
Dalam Islam, memang tidak pernah secara spesifik membahas tentang usia
perkawinan. Al-Qur’an hanya menetapkan dengan tandatanda dan isyarat terserah
kepada kaum muslimin untuk menetunkan batas umur yang ideal, yang sesuai
dengan syarat dan tanda-tanda yang telah ditentukan, serta disesuaikan dengan
dimana hukum itu akan diundangkan. Demikian juga dalam hukum adat tidak ada
ketentuan batas umur untuk melakukan pernikahan. “Biasanya kedewasaan
seseorang dalam hukum adat diukur dengan tanda-tanda bagian tubuh, apabila
anak wanita sudah haid (datang bulan), buah dada sudah menonjol berarti ia sudah
dewasa. Bagi laki-laki ukurannya dilihat dari perubahan suara, postur tubuhdan
sudah mengeluarkan mani atau sudah mempunyai nafsu seks.8 Dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 15 ayat (1) menjelaskan bahwa: “Untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai
yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1
Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon
istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Sebagaimana telah diubah dalam
Undang-Undang Nomor.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1), perkawinan hanya
diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun. Adapun secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan
kepada metode mashlahat mursalah. Namun demikian karena sifat yang ijtihady,
yang kebenarannya relative, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya,
apabila karena sesuatu dan lain hal perkawinan dari mereka yang usianya dibawah
21 tahun atau sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria maupun wanita, undang-

7
Ramadhita, Diskresi Hakim: Pola Penyelesaian Kasus Dispensasi Perkawinan. Artikel
dalam “de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum”, Volumen 6 Nomor 1 Tahun 2014, h. 59
8
Dwi Idayanti, Pemberian Dispensasi Menikah Oleh Pengadilan Agama (Studi Kasus di
Pengadilan Agama KotaAmbogu), Artikel dalam “Jurnal Lex Privatum”, Vol. 11 No. 2 Tahun
2014, h. 7
5

undang tetap memberi jalan keluar. Pasal 7 ayat (2) menegaskan:9 “Dalam hal
penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita”.10
Adanya pengaturan ini secara tidak langsung dapat memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk dapat melangsungkan perkawinan di bawah umur.
Alasan dari permasalahan ini terjadi karena berbagai latar belakang yang
menyebabkan perkawinan tersebut dilakukan. Sebagian orang memang ingin
malakukan perkawinan di usia muda, dan sebagian lagi memang harus melakukan
perkawinan tersebut sebelum seseorang mencapai usia yang sesuai sebagaimana
telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Menimbang bahwa jika perkawinan tersebut tidak dilakukan maka akan
berdampak negatif atau merugikan bagi kedua belah pihak atau pihak terkait
lainnya dalam menjaga nama baik. Memang terdapat berbagai alasan perkawinan
tersebut harus segera dilakukan, seperti calon pengantin yang telah hamil dulu,
atau pria dan wanita sudah sering bersama-sama (berpacaran). Oleh sebab itu,
apabila perkawinan tidak segera dilangsungkan maka kedua belah pihak tidak bisa
memperoleh keturunan dari perkawinan tersebut, sehingga dalam pelaksanaan
tersebut perlu mendapatkan dukungan atau dispensasi dari berbagai pihak
termasuk pengadilan agama.
Dispensasi nikah merupakan salah satu kewenangan absolut yang diberikan
oleh undang-undang kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara permohonan izin menikah bagi orang-orang yang memiliki
halangan menikah. Kewenangan ini tercantum pada Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa: “Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a)

9
Ahmad Rofiq, 2013, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
h. 60.
10
Ibid., h. 4
6

Perkawinan; b) Waris; c) Wasiat; d) Hibah; e) Wakaf; f) Zakat; g) Infak; h)


Shadaqah; dan Ekonomi syariah”.11
Seperti yang telah diketahahui bahwa dalam Undang-Undang Perkawinan
tidak mengizinkan perkawinan anak di bawah umur. Namun, disamping itu
Undang-Undang Perkawinan telah memberikan opsi untuk menangani masalah
ini. Dengan demikian, perlu dipahami bagaimana mereka yang melakukan
perkawinan tersebut mendapat izin dari pihak yang berwenang sehingga bisa
memberikan izin untuk dapat melakukan perkawinan di usia muda. Akan tetapi
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bertolak belakang dengan
Undang-Undang Perlindungan Anak terkait ketentuan batas usia perkawinan
untuk wanita yang dirasa melanggar hak konstitusionalnya serta dikatakan
diskriminatif sebab dengan pembedaan batas usia minimum perkawinan yang
termuat di dalamnya telah menyebabkan perempuan menjadi diperlakukan
berbeda dengan laki-laki dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya dan tidak
konsistennya legal policy (kebijakan hukum) terkait usia anak mengingat
terdapatnya perbedaan beberapa undang-undang yang di dalamnya mengatur batas
usia anak, yang tidak dapat dipisahkan dengan usia kawin dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam hal ini terhadap Undang-Undang
Perlindungan Anak.
Oleh karena itu, dalam hal ini bahwa perkawinan anak di bawah umur diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan, dimana anak di bawah umur dapat
melakukan perkawinan apabila telah memperoleh dispensasi perkawinan.
Pembolehan perkawinan anak dibawah umur melalui upaya “dispensasi kawin”
menurut hukum Negara merupakan sebuah terobosan hukum untuk memberikan
status hukum yang jelas kepada anak. Kebolehan tersebut diatur dalam beberapa
syarat tertentu, hal yang sama juga diatur dalam Hukum Islam khususnya dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI).

11
Ibid.
7

Kemudian dalam perkara ini, hakim mengesampingkan Pasal 7 ayat (1)


Undang-Undang Nomor.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana dalam pasal tersebut mengatur
bahwa batas usia untuk melaksanakan perkawinan adalah 19 tahun untuk laki-laki
dan perempuan. Dalam hal ini, hakim dapat memberikan dispensasi perkawinan
dengan mengesampingkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor.16 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dan dalam hal ini hakim dapat memberikan dipsensai perkawinan
dengan mengesampingkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor.16 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, sebab dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48
Tahun 2009, hakim tidak dapat menolak untuk mengadili suatu perkara dan hakim
harus mendasar putusannya dalam megadili suatu perkara. Pada pasal 10 ayat 1
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman “pengadilan dilarang meolak untuk
memeriksa, megadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadili”.12 Maka dari itu hakim mempunyai kekuasaan untuk
mengesampingkan suatu pasal demi keadilan untuk memutuskan suatu perkara
yang dalam hal ini memberikan dispensasi perkawinan dengan mengesampingkan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Sebagai contoh kasus penulis menggunakan Putusan PA BITUNG Nomor
38/Pdt.P/2020/PA.Bitg yang terkait dengan pemberian dispensasi perkawinan dini
pada anak usia 15 th. Dimana dalam kasus tersebut pada tanggal 8 April 2020
Rahman Rahim sebagai pemohon yang merupakan orang tua dari Rita Rahim
mengajukan permohonan dispensasi kawin terhadap anaknya ke Pengadilan
Agama Bitung. Dalam hal tersebut Rita Rahim berusia 15 th dan pemohon hendak
menikahkan anak kandungnya dengan calon suaminya yang bernama Zakaria
Amana. Dimana, dalam hal ini syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan
tersebut baik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundang-

12
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009
8

undangan yang berlaku telah terpenuhi yaitu antara Rita Rahim dan Zakaria
Amana tidak terdapat larangan menikah disebabkan hubungan nasab, semenda
atau sesusuan, serta tidak sedang terikat status pernikahan dengan orang lain dan
Rita Rahim untuk mau menikah dengan Zakaria Amana bukan karena paksaan
orang tua atau pihak manapun, tetapi murni atas keinginannya sendiri, kecuali
tidak terpenuhinya syarat usia bagi anak Pemohon belum mencapai umur 19
tahun, yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu perkawinan
hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun, namun pernikahan tersebut sangat mendesak untuk tetap dilangsungkan,
serta alasan Pemohon bermaksud segera menikahkan anaknya dengan calon
suaminya dikarenakan keduanya telah menjalin hubungan sejak bulan Desember
tahun 2018 sampai sekarang, dimana anak Pemohon dengan calon suaminya
tersebut telah melakukan hubungan badan yang mengakibatkan anak Pemohon
telah hamil 4 Bulan. Untuk kepentingan proses pernikahan, Pemohon dan
keluarga calon suami anak telah mengurus administrasi dan pendaftaran rencana
pernikahan anak Pemohon dengan calon suaminya ke instansi terkait, akan tetapi
pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan Matuari Kota Bitung belum dapat
menyelenggarakan pencatatan pernikahan keduanya dengan alasan anak Pemohon
belum mencapai batas minimal usia perkawinan seorang perempuan yakni 19
tahundan disarankan untuk mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan. Dengan
demikian tanpa menunggu sampai umur diperbolehkannya menikah, Rahman
Rahim sebagai orang tua Rita Rahim, langsung mengajukan permohonan
Penetapan Dispensasi Kawin ke Pengadilan Agama Bitung agar dapat
dilaksakannya perkawinan tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik mengkaji
lebih lanjut mengenai :“ Analisis Yuridis Terhadap Dispensasi Perkawinan
Anak Di bawah Umur Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
Undang–Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. (Studi Kasus
Putusan Pengadilan PA BITUNG Nomor 38/Pdt.P/2020/PA.Bitg)”.
9

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan
permaslahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Mengenai Dispensasi Perkawinan Terhadap Anak


di Bawah Umur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang–
Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?
2. Apakah Akibat Hukum Yang Ditimbulkan Terhadap Pemberian
Dispensasi Perkawinan Anak Di bawah Umur ?
3. Bagaimana Pertimbangan Hakim Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor
38/Pdt.P/2020/PA.Bitg dalam Mengabulkan Permohonan Izin Perkawinan
Bagi Anak di Bawah Umur ?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana analisis yuridis
terhadap dispensasi perkawinan anak di bawah umur berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan Undang–Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
(Studi Kasus Putusan Pengadilan PA BITUNG Nomor 38/Pdt.P/2020/PA.Bitg).

Anda mungkin juga menyukai