Anda di halaman 1dari 16

A.

Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk yang berkebudayaan memiliki aktifitasaktifitas

tertentu yang hasilnya akan dirasakan oleh generasi-generasi penerus kemudian.

Berkat warisan kebudayaan, manusia dapat mengatasi masalah – masalah yang terjadi

dalam hidupnya. Pewarisan kebudayaan ini terjadi lewat bahasa, oleh karena ruang

lingkup kebudayaan itu luas sekali. Dalam hal ini bahasa tidak hanya meliputi bahasa

dalam arti sempit, melainkan meliputi segala macam simbol dan lambang yang dapat

mencatat kebudayaan dari generasi satu kepada generasi lain pada umumnya,

sehingga hasil budaya manusia makin hari makin sempurna. Jadi, pada dasarnya

kebudayaan itu merupakan suatu proses belajar-mengajar yang menghasilkan bentuk-

bentuk baru dengan menimba pengetahuan dan kepandaian dari kebudayaan

sebelumnya. Kebudayaan sebagai proses belajar tidak menjamin kemajuan dan

perbaikan sejati. Dengan berguru pada kesalahan dan kekeliruan, manusia mungkin

akan menjadi lebih bijaksana. Kekeliruan dan kesalahan ada manfaatnya bagi

perkembangan kebudayaan, walaupun tidak sepenuhnya demikian.

Perkawinan menurut Pasal 1Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai

berikut :

Pasal 1

Perkawinan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

1
Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan

kekal selamanya. Untuk membentuk suatu keluarga yang harmonis dan sejahtera serta

penuh dengan kebahagiaan yang kekal seperti yang dicita – citakan itu, masing –

masing pihak yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya telah dewasa baik

secara psikologis mau pun secara biologis, serta mampu untuk bertanggung jawab

atas keluarga yang dibentuknya itu.

Pemerintah telah mengeluarkan Undang – Undang Perkawinan Nasional yang

telah lama dicita – citakan oleh seluruh bangsa Indonesia, yaitu Undang – Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang kemudian demi kelancaran

pelaksanaannya dikeluarkan suatu Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang

– Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975.

Salah satu syarat dalam Undang – Undang Perkawinan yaitu mengatur tentang

batasan umur terendah dalam melangsungkan perkawinan. Hal tersebut tertuang

dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi :

Pasal 7 ayat (1)

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19


(sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.

Dalam pasal tersebut mengatur prinsip bahwa calon suami istri harus masak

jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan

2
perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan

yang baik dan sehat.

Perkawinan merupakan hal yang bukan main-main yang harus dijalankan

dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, undang-undang benar-benar mengatur

siapa saja orang yang berhak memasuki jenjang perkawinan. melalui Undang –

Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Hukum membatasi bolehnya melaksanakan

perkawinan bagi calon suami istri yang sudah berumur 19 tahun bagi laki-laki dan 16

tahun bagi perempuan. Hal tersebut berarti bahwa perkawinan di bawah umur-umur

tersebut dilarang kecuali ada penyimpangan yang sifatnya darurat. Undang-undang

tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kerusakan rumah tangga akibat umur para

calon mempelai yang masih terlalu dini yang notabene masih berjiwa labil dan juga

untuk menjaga kesehatan reproduksi mereka.

Sesuai dengan ketentuan di atas, pengadilan dalam hal ini Pengadilan Agama

dapat memeriksa permohonan dispensasi kawin. Hakim dapat megabulkan atau

menolak permohonan dispensasi kawin tersebut, tetapi terlebih dahulu harus

memperoleh keputusan mengenai benar tidaknya permasalahan yang dijadikan sebagai

alasan permohonan dengan mendasarkan alat bukti. Seperti halnya yang terjadi di

Pengadilan Agama Cilacap dalam Penetapan No.43/Pdt.G/2013/PA.Clp dimana

Slamet alias Tarjo Slamet Alias Sutarjo Slamet bin Cokro sebagai Pemohon

mengajukan dispensasi umur untuk kawin karena anak Pemohon yang bernama

3
Wahyudi bin Slamet berumur 17 tahun 7 bulan hendak menikah dengan sorang

perempuan bernama Walmi yang berumur 19 tahun 11 bulan.

Berdasarkan uraian di atas yang sekaligus juga melatarbelakangi masalah,

penulis ingin mengetahui lebih jauh mengenai: “TINJAUAN YURIDIS

DISPENSASI UMUR UNTUK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN”(Study

Putusan No. 43/Pdt.P/2013/PA.Clp)

B. Perumusan Masalah

Dari hal – hal yang penulis uraikan di atas, maka penulis mencoba

mengemukakan masalah sebagai berikut;

Bagaimana dasar pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan

permohonan dispensasi umur pada penetapan Nomor. 43/Pdt.P/2013/PA.Clp?

C. Tinjauan Pustaka

Perkawinan sering diartikan sebagai ikatan suami istri yang sah, menurut

ensiklopedia Indonesia diartikan sebagai perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi

suami istri. Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, yang

dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Sudarsono,

1994 : 18)

4
Indonesia memiliki beberapa sistem hukum dalam masyarakat selain Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 , ada Hukum Adat dan Hukum Islam, sehingga istilah

perkawinan yang digunakannya berbeda. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 , menentukan:

Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

Syarat yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :

1. Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon suami isteri ( Pasal 6 ayat 1);

2. Harus mendapat izin dari kedua orang tua/wali dalam hal calon suami isteri

sebelum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2);

3. Calon suami harus telah berumur 19 tahun, calon isteri harus telah berumur 16

tahun (Pasal 7), dalam hal akan menyimpangi ketentuan batas umur diperlukan

adanya izin (dispensasi) dari Pengadilan;

4. Calon suami isteri atau salah satunya tidak terikat tali perkawinan dengan orang

lain, dan penyimpangan terhadap ketentuan ini hanya dimungkinkan bagi seorang

calon suami yang telah terikat perkawinan dengan orang lain dapat melakukan

perkawinan lagi setelah mendapat izin dari Pengadilan untuk melakukan

perkawinan poligami (Pasal 9);

5. Apabila suami isteri telah bercerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka

5
tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum agama masing-

masing dan kepercayaannya tidak menentukan lain (Pasal 10);

6. Tidak dalam waktu tunggu bagi calon isteri dikarenakan perkawinan yang telah

putus dengan pihak lain (Pasal 11);

7. Antara kedua calon suami isteri tidak terdapat larangan kawin dalam Pasal 8:

yaitu:

a. Mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah;

b. Mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu

antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tuanya, dan antara

seseorang dengan saudara neneknya;

c. Mempunyai hubungan semenda, yaitu mertua dengan anak tiri, menantu dan

bapak/ibu tiri

d. Mempunyai hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara

susuan dan bibi/paman susuan;

e. Berhubungan saudara dengan isteri (ipar) atau sebagai bibi atau kemenakan

isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang (poligami);

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku

dilarang kawin. (Ramulyo, 1986 : 70)

Pernikahan di bawah umur atau Dispensasi Nikah ialah pernikahan yang

terjadi pada pasangan atau salah satu calon yang ingin menikah pada usia di bawah

standar batas usia nikah yang sudah ditetapkan oleh aturan hukum perkawinan.

6
Perkawinan di bawah umur tidak dapat diizinkan kecuali pernikahan tersebut

meminta izin nikah atau dispensasi nikah oleh pihak Pengadilan Agama untuk bisa

disahkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama (KUA), dan sebelum mengajukan

permohonan izin menikah di Pengadilan Agama terlebih dahulu kedua calon

pasangan yang ingin menikah harus mendapat izin dari kedua orang tua. (Syarifuddin,

2006 : 12)

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 7

disebutkan :

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak
pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Dalam batas usia pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama

dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 2 menegaskan bahwa untuk melangsungkan

perkawinan seorang yang belum mencapai batas usia 21 tahun harus mendapati izin

sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang

Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. (Soemiyati, 1999 : 53)

7
Keterangan di atas, memberikan petunjuk bahwa pasal di atas menjelaskan arti

dispensasi atau batasan umur dapat dilihat dari:

1. Bahwa umur 19 tahun bagi usia pria adalah batas usia pada masa SLTA,

sedangkan untuk wanita usia 16 tahun adalah batas usia pada masa SLTP, dari

masa di atas adalah masa dimana kedua pasangan masih sangat muda. Oleh sebab

itu peran orang tua sangat penting disini dalam membimbing, menolong dan

memberi arahan untuk masa depan bagi si anak.

2. Izin orang tua sangat diperlukan. Tanpa izin orang tua, perkawinan tidak dapat

dilaksanakan, khusus bagi calon wanita wali orang tua harus ada sebagai syarat

yang sudah ditentukan oleh aturan hukum perihal syarat pernikahan. (Soemiyati,

1999 : 54)

Dalam penjelasan umum Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan dijelaskan sebagai berikut: Prinsip Undang-undang ini bahwa

calon (suami isteri) itu harus siap jiwa raganya untuk dapat melangsungkan

perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir

pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. (Ramulyo, 1986 : 44)

Dari sisi lain, perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah

kependudukan. Terbukti bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita

untuk menikah, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan

dengan batas umur seseorang yang menikah pada usia yang lebih matang atau usia

yang lebih tinggi. Dalam hal permohonan dispensasi perkawinan ini harus dari orang

8
tua atau wali calon pengantin, jadi bukan calon pengantin itu seperti pada

permononan izin kawin bagi yang belum berumur. (Ramulyo, 1986 : 45)

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 ditetapkan ketentuan batas umur

bagi calon suami isteri, yaitu pria umur 19 tahun dan wanita umur 16 tahun,

Penyimpangan terhadap ketentuan tersebut, maka perkawinan baru dapat dilakukan

setelah mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama. Pencegahan perkawinan di

bawah umur menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan antara lain

dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan, serta mengarah

kepada kematangan jiwa / pemikiran. Menurut Satjipto Raharjo, dilihat dari proses

perkembangan masyarakat menuju kepada masyarakat industri, Undang-undang

nomor 1 tahun 1974 Perkawinan patut dicatat sebagai suatu kemajuan yang pesat.

(Raharjo, 1979 : 20)

Permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur diajukan oleh kedua orang

tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama dalam wilayah hukum Pemohon.

Dispensasi dari pengadilan diberikan karena memang benar-benar adanya keadaan

memaksa (darurat) sehingga perkawinan harus segera dilangsungkan walaupun calon

mempelai berada dibawah umur, misalnya wanita hamil sebelum perkawinan

dilangsungkan / hamil di luar nikah. Dalam hal demikian, KUA selaku lembaga

pencatatan perkawinan harus mengawinkan/menikahkan calon mempelai yang

berada dalam keadaan tersebut. (Raharjo, 1979 : 21)

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan permohonan

9
dispensasi nikah, antara lain:

1. Surat permohonan

2. Fotocopy akta nikah orang tua sebagai pemohon yang bermaterai

3. Surat pemberitahuan penolakan perkawinan dari KUA karena belum cukup umur

4. Fotocopy akta kelahiran calon mempelai laki-laki dan perempuan atau fotocopy

ijazah yang sah yang bermaterai

Setelah menerima surat permohonan Dispensasi kawin, Pengadilan Agama

memeriksa perkaranya dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Memanggil pihak-pihak yang berperkara

2. Memeriksa kebenaran alasan permohonan pemohon

3. Memeriksa alat-alat bukti

4. Mendengarkan keterangan para saksi atau keluarga dekat

5. Mempertimbangkan maslahat dan mudharat

6. Mengadili dan memutus perkaranya

Permohonan dispensasi kawin adalah bersifat voluntair dan produk pengadilan

berupa penetapan. Salinan penetapan ini dibuat dan diberikan kepada Pemohon untuk

memenuhi persyaratan melangsungkan perkawinan. Jika pemohon tidak puas atas

putusan pengadilan, maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke mahkamah

agung. (Mangkunegara, 2003 : 89)

Salinan penetapan dispensasi nikah akan diserahkan kepada orang tua sebagai

pemohon yang nantinya digunakan sebagai pelengkap persyaratan nikah bagi calon

10
mempelai yang masih di bawah umur. Tanpa dispensasi tersebut, perkawinan anak

yang masih di bawah umur 19 tahun bagi laki-laki dan umur 16 tahun bagi

perempuan akan di tolak oleh PPN KUA. (Manan, 2002 : 90)

D. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan

permohonan dispensasi umur pada penetapan Nomor. 43/Pdt.P/2013/PA.Clp.

E. Metode Penelitian :

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan data sekunder, atas dasar

disiplin ilmu yang normatif sebagai sistem kaidah.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi Penelitian ini adalah clinical legal research yaitu suatu penelitian

yang bertujuan menemukan hukum in abstracto dalam perkara yang in concreto.

3. Sumber Data

Dalam penulisan ini menggunakan data sekunder yaitu, Putusan PN Cilacap

perkara Nomor : 43/Pdt.P/2013/PA.Clp, peraturan Perundang – undangan, Buku

literatur yang berhubungan dengan penelitian, doktrin hukum Perdata yang ada

kaitannya dalam penelitian.

11
4. Metode Pengumpulan Data

Metode Pengumpulan Data dilakukan dengan mempelajari data skunder baik

yang berupa bahan hukum primer, skunder maupun tertier.

5. Metode Penyajian data.

Data yang diperoleh selanjutnya akan disajikan dalam bentuk uraian yang

tersusun secara sistematis.

6. Metode Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisa secara “normatif kualitatif” yaitu analisa yang

berupa menjabarkan dan menafsirkan data berdasarkan doktrin hukum dan teori –

teori khususnya hukum Perkawinan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty


Yogyakarta, 1999

Mahkamah Agung RI. 2009. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama,
Buku II. Jakarta: Mahkamah Agung RI.

Prabu, Mangkunegara Anwar. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya


Manusia. Bandung,: Refika Aditama.

Raharjo, Satjipto. 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung : Alumni.

Ramulyo, Moh. Idris. 1986. Tinjauan beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 dari Segi
Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind. Hillco.

Hadikusuma, Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Cet. I,


Bandung

Manan, Abdul dan M. Fauzan, 2002 Pokok-Pokok Hukum Perdata : Wewenang


Peradilan Agama, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Nasir, Muhammad, 2003, Hukum Acara Perdata, Djambatan, Jakarta.

Syarifuddin, Amir, 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media, Cet. I,
Jakarta

Soemiyati, 1999, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty,


Yogyakarta.

Sudarsono, 1994, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Cet. II, Jakarta.

13
Peraturan Perundang – undangan

Kompilasi Hukum Islam. 2005. Bandung: Fokus Media.

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.

Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

Undang-undang RI No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Atas Undang – undang

No. 7 Tahun 1989 Tentang Pngadilan Agama

14
SISTEMATIKA SKRIPSI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Perumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Metodologi Penelitian

BAB II : TINJAUAN UMUM

A. Perkawinan

1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan

2. Syarat – syarat Perkawinan

3. Azas – azas Perkawinan

15
B. Dispensasi Perkawinan

1. Pengertian Dispensasi Perkawinan

2. Syarat – syarat Dispensasi Perkawinan

3. Prosedur Dispensasi Perkawinan

BAB III : HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

B. Analisis Data

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

16

Anda mungkin juga menyukai