NPM : 110110190144
Dosen : Linda Rachmainy, S.H., M.H
HUKUM ADAT DALAM PERKEMBANGAN – A
II. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
III. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun
1974.
IV. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil
V. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan,
menyebutkan perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
1
Akhmad Munawar, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia”, Jurnal Al’ Adl, Vol. 7,
No. 13, 2015, hlm 22.
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang mana
tujuan dari perkawinan ialah :
(1) menyatukan dua pribadi yang berbeda untuk mencapai satu tujuan sebagai
keluarga yang bahagia,
(2) melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan menyambung cita-
cita
(3) menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Tuhan, dan
(4) menimbulkan rasa cinta antara suami dan isteri.2
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan juga tercantum
asas-asas yang dapat diringkas sebagai berikut :3
1. Asas Kesepakatan, yakni keharusan terdapatnya kata sepakat antara calon suami
dan isteri (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan)
2. Asas Monogami (Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan) pada prisnripnya seorang pria
hanya boleh mempunyai satu istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai
satu suami, namun terdapat pengecualian (Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan)
dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5 UU Perkawinan.
3. Perkawinan merupakan ikatan lahiriah dan batiniah.
4. Keabsahan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
Undang-undang (Pasal 2 UU Perkawinan).
5. Perkawinan memiliki akibat terhadap pribadi suami istri.
6. Perkawinan memiliki akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinna tersebut.
7. Perkawinan memiliki akibat terhadap harta suami dan istri tersebut.
4
Ibid.
5
Akhmad Munawar, op.cit., hlm 24.
6
Akhmad Munawar, op.cit., hlm 25.
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21
tahun (Pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) ).
3. Usia calon mempelai sudah 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah
mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)).
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tdak dalam hubungan
darah/keluarga yang tidak boleh kawin (Pasal 8).
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9).
6. Bagi suami isteri yang bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka
untuk kawin ketiga kalinya (Pasal 10).
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah
sebagai berikut:
1. Perkawinan yang putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung
sejak kematian suami.
2. Perkawinan yang putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang
bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak
jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap.
3. Perkawinan yang putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas
suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.
Selanjutnya, mengenai syarat perkawinan formil tertuang dalam Pasal 12 UU No. 1
Tahun 1974 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019
direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Secara
singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
7
Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
Rukun dan syarat perkawinan dalam Pasal 14 KHI :
Calon Suami
Calon Isteri
Wali nikah
Dua orang saksi
Ijab dan qobul
8
Abdurrahman, “Beberapa Catatan Mengenai Kedudukan Hukum Adat dalam undang-Undang Perkawinan”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, 1983, hlm 396.
9
Santoso, “Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan”, Hukum Islam Dan Hukum Adat”, Yudisia,
Vol. 7, No. 2, 2016, hlm 430.
kedudukan dan kediaman istri, perkawinan semacam ini biasanya dilakukan oleh
masyarakat Minangkabau, Sumendo Sumatera Selatan. Dan juga terdapat “perkawinan
bebas” yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa, dimana pelamaran dilakukan oleh
pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan tempat
kedudukan dan kediaman mereka, menurut kehendak mereka. Yang terakhir ini banyak
berlaku di kalangan masyarakat keluarga yang telah modern.10
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tidak mengatur mengenai tata tertib adat
yang harus dilakukan oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan menurut
bentuk dan system perkawinan yang berlaku dalam masyarakat. Yang mana berarti
mengenai hal ini diserahkan sepenuhnya kepada selera dan nilai-nilai budaya dari
masyarakat bersangkutan, asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum, Pancasila
dan UUD 1945. Berdasarkan pasal 131 ayat (2) b IS, yang masih dapat dipakai sebagai
referensi dalam praktek, menyatakan, “sedangkan untuk hal-hal lain yang belum diatur di
situ, bagi mereka berlaku peraturan hukum yang bertalian dengan agama dan adat
kebiasaan mereka, yang hanya dapat menyimpang dari itu, apabila ternyata kepentingan
umum atau kebutuhan masyarakat menghendakinya”.
10
Ibid, hlm 431.
kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan
pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan
mengenai pencatatan perkawinan”.
Pelaksanaan perkawinan memberikan tambahan hak dan kewajiban pada
seseorang, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat.
Salah satu prinsip yang terkandung didalam Undang-Undang Perkawinan adalah
perlindungan bagi calon sekaligus pendewasaan usia individu yang akan melaksanakan
perkawinan, artinya bahwa calon suami dan isteri harus matang secara kejiwaan. Asas
kematangan tersebut tercermin pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang
menyebutkan perkawinan hanya diijinkan jika pihak laki-laki telah berusia usia 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah berusia 16 (enam belas) tahun, hal ini
menjadi syarat usia minimal yang harus dipenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. (1983). Beberapa Catatan Mengenai Kedudukan Hukum Adat dalam Undang-
Undang perkawinan . Hukum dan Pembangunan , 396.
Munawar, A. (2015). Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia .
Al' Adl , 22-25.
Santoso. (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan
Hukum Adat. Yudisia, 430-431.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 16 Tahun 2019
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Kompilasi Hukum Islam