Anda di halaman 1dari 9

Nama : Afifah Tasya Miladya

NPM : 110110190144
Dosen : Linda Rachmainy, S.H., M.H
HUKUM ADAT DALAM PERKEMBANGAN – A

KEABSAHAN PERKAWINAN DI INDONESIA MENURUT HUKUM POSITIF


Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dikatakan sah dihadapan hukum
oleh Negara apabila memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Untuk memenuhi
keabsahannya maka perlu dilakukan pencatatan nikah agar tercapai ketertiban
administrasi. Peraturan PerUndang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan yang
berlaku di Indonesia yakni:1
I. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya UU RI Tanggal 21
November 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
di seluruh daerah luar Jawa dan Madura.

II. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
III. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun
1974.
IV. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil
V. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan,
menyebutkan perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

1
Akhmad Munawar, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia”, Jurnal Al’ Adl, Vol. 7,
No. 13, 2015, hlm 22.
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang mana
tujuan dari perkawinan ialah :
(1) menyatukan dua pribadi yang berbeda untuk mencapai satu tujuan sebagai
keluarga yang bahagia,
(2) melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan menyambung cita-
cita
(3) menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Tuhan, dan
(4) menimbulkan rasa cinta antara suami dan isteri.2
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan juga tercantum
asas-asas yang dapat diringkas sebagai berikut :3
1. Asas Kesepakatan, yakni keharusan terdapatnya kata sepakat antara calon suami
dan isteri (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan)
2. Asas Monogami (Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan) pada prisnripnya seorang pria
hanya boleh mempunyai satu istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai
satu suami, namun terdapat pengecualian (Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan)
dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5 UU Perkawinan.
3. Perkawinan merupakan ikatan lahiriah dan batiniah.
4. Keabsahan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
Undang-undang (Pasal 2 UU Perkawinan).
5. Perkawinan memiliki akibat terhadap pribadi suami istri.
6. Perkawinan memiliki akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinna tersebut.
7. Perkawinan memiliki akibat terhadap harta suami dan istri tersebut.

A. Syarat Sahnya Suatu Perkawinan


1) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Untuk mewujudkan tujuan dari perkawinan yang tertuang pada Undang-Undang
Perkawinan tentunya perkawinan harus melalaui mekanisme dan syarat-syarat
sebagaimana diatur dalam Undang-undang perkawinan. Perkawinan yang sah akan
2
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019
3
Ibid.
memberikan kepastian hukum dan kepentingan hukum orang yang melangsungkan
perkawinan akan terlindungi.
Pada prinsipnya, perkawinan itu dilaksanakan atas dasar suka rela dari kedua
calon mempelai, dan perkawinan ialah tidak sah jika dilaksanakan karena adanya tekanan
dari salah satu pihak atau dengan terpaksa.
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 menegaskan terkait
sahnya perkawinan, yaitu :
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian dalam penjelasan pasal 2 tersebut secara tegas dinyatakan :
Dalam Pasal 2 ayat (1) ini , tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.4
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
undang-undang ini.
Dari ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tersebut tidak mungkin dapat dilangsungkan
perkawinan yang terdapat perbedaan agama antara kedua calon mempelai. Sebagaimana
dalam Islam, orang yang beragama Islam tidak sah melaksanakan perkawinan diluar
syariat agama Islam, begitu juga sebaliknya bagi agama Kristen juga tidak sah apabila
dilakukan tidak sesuai dengan ajaran agama dasarnya.5
Selanjutnya dalam Undang-Undang yang sama, yakni Pasal 6 sampai dengan Pasal
12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaima yang telah diubah dengan Undang-
Undang No. 16 Tahun 2019, syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan sebagai
berikut :6
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)).

4
Ibid.
5
Akhmad Munawar, op.cit., hlm 24.
6
Akhmad Munawar, op.cit., hlm 25.
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21
tahun (Pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) ).
3. Usia calon mempelai sudah 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah
mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)).
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tdak dalam hubungan
darah/keluarga yang tidak boleh kawin (Pasal 8).
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9).
6. Bagi suami isteri yang bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka
untuk kawin ketiga kalinya (Pasal 10).
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah
sebagai berikut:
1. Perkawinan yang putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung
sejak kematian suami.
2. Perkawinan yang putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang
bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak
jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap.
3. Perkawinan yang putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas
suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.
Selanjutnya, mengenai syarat perkawinan formil tertuang dalam Pasal 12 UU No. 1
Tahun 1974 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019
direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Secara
singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

 Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan


kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana
perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari
sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis
oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat:
nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)
 Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah
sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk
hal tersebut (Pasal 6-7).
 Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat
pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang
memuat antara lain:
1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
2. hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal
8-9)
 Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai
menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh
dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan
dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada
Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan
akta perkawinan (pasal 10-13).

2) Menurut Kompilasi Hukum Islam


Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan “ Perkawinan menurut
hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Mengenai
syarat sahnya perkawinan, di dalam KHI diatur dalam Pasal 4 – 6, yaitu :7
 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam;
 Perkawinan harus dicatatkan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
 Perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawas Pegawai
Pencatat Nikah, dan jika tidak dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah
perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum;

7
Kompilasi Hukum Islam
 Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
Rukun dan syarat perkawinan dalam Pasal 14 KHI :
 Calon Suami
 Calon Isteri
 Wali nikah
 Dua orang saksi
 Ijab dan qobul

B. Perkawinan Menurut Hukum Adat


Dari Ketentuan pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, dapat dilihat bahwa
pengaturan aspek materiil dari perkawinna tentunya akan diserahkan keoada Hukum
Agama dan kepercayaan masing-masing. Akan tetapi, disamping hukum agama, hukum
adat merupakan daya pengikat daripada masyarakat serta memberikan arah dan petunjuk
dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat.8
Menurut hukum adat, Umumnya perkawinan di Indonesia bukan hanya sebatas
“perikatan perdata” saja, melainkan merupakan “perikatan adat” juga, sekaligus
merupakan “perikatan kekerabatan ketetanggaan”. Sehingga, suatu ikatan perkawinan
bukan hanya membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan
kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua,
tetapi juga menyangkut hubungan-nubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan,
kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. 9
Dalam hukum adat, perkawinan di Indonesia itu dapat berbentuk dan bersistem
“perkawinan jujur”, dimana dalam system ini pelamaran dilakukan oleh pihak pria
kepada pihak wanita dan setelah perkawinan istri mengikuti tempat kedudukan dan
kediaman suami. Perkawinan semacam ini biasanya dilakukan masyarakat di Batak,
Lampung, Bali. Selanjutnya “perkawinan semanda” di mana pelamaran dilakukan oleh
pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat

8
Abdurrahman, “Beberapa Catatan Mengenai Kedudukan Hukum Adat dalam undang-Undang Perkawinan”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, 1983, hlm 396.
9
Santoso, “Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan”, Hukum Islam Dan Hukum Adat”, Yudisia,
Vol. 7, No. 2, 2016, hlm 430.
kedudukan dan kediaman istri, perkawinan semacam ini biasanya dilakukan oleh
masyarakat Minangkabau, Sumendo Sumatera Selatan. Dan juga terdapat “perkawinan
bebas” yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa, dimana pelamaran dilakukan oleh
pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan tempat
kedudukan dan kediaman mereka, menurut kehendak mereka. Yang terakhir ini banyak
berlaku di kalangan masyarakat keluarga yang telah modern.10
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tidak mengatur mengenai tata tertib adat
yang harus dilakukan oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan menurut
bentuk dan system perkawinan yang berlaku dalam masyarakat. Yang mana berarti
mengenai hal ini diserahkan sepenuhnya kepada selera dan nilai-nilai budaya dari
masyarakat bersangkutan, asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum, Pancasila
dan UUD 1945. Berdasarkan pasal 131 ayat (2) b IS, yang masih dapat dipakai sebagai
referensi dalam praktek, menyatakan, “sedangkan untuk hal-hal lain yang belum diatur di
situ, bagi mereka berlaku peraturan hukum yang bertalian dengan agama dan adat
kebiasaan mereka, yang hanya dapat menyimpang dari itu, apabila ternyata kepentingan
umum atau kebutuhan masyarakat menghendakinya”.

C. Lembaga Perkawinan di Indonesia


Lembaga perkawinan ialah lembaga yang mulia dan memiliki kedudukan yang
terhormat dalam hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia. Lembaga yang
berwewenang di Indonesia dalam hal perkawinan ialah Kantor Urusan Agama (KUA).
Diuraikan pada Bab II Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur
mengenai pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut
agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan
dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, menggunakan dasar hukum
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Pencatatan perkawinan
dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan

10
Ibid, hlm 431.
kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan
pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan
mengenai pencatatan perkawinan”.
Pelaksanaan perkawinan memberikan tambahan hak dan kewajiban pada
seseorang, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat.
Salah satu prinsip yang terkandung didalam Undang-Undang Perkawinan adalah
perlindungan bagi calon sekaligus pendewasaan usia individu yang akan melaksanakan
perkawinan, artinya bahwa calon suami dan isteri harus matang secara kejiwaan. Asas
kematangan tersebut tercermin pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang
menyebutkan perkawinan hanya diijinkan jika pihak laki-laki telah berusia usia 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah berusia 16 (enam belas) tahun, hal ini
menjadi syarat usia minimal yang harus dipenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. (1983). Beberapa Catatan Mengenai Kedudukan Hukum Adat dalam Undang-
Undang perkawinan . Hukum dan Pembangunan , 396.
Munawar, A. (2015). Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia .
Al' Adl , 22-25.
Santoso. (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan
Hukum Adat. Yudisia, 430-431.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 16 Tahun 2019
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Kompilasi Hukum Islam

Anda mungkin juga menyukai