Anda di halaman 1dari 9

BAB III

HUKUM KELUARGA

1. PENDAHULUAN
Di dalam bab ini membahas tentang hukum keluarga yang menekankan di undang-
undang perkawinan No. 1 Tahun 1974. Di dalam bab ini membahas tentang hukum
keluarga yang didalamnya meliputi hubungan keluarga, perkawinan, turunan,
kekuasaan orang tua, harta benda perkawinan, perwalian dan perceraian.
2. HUBUNGAN KELUARGA DAN HUBUNGAN DARAH
a. Pengertian Keluarga
Yaitu kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami, istri, anak yang berdiam
di dalam satu tempat tinggal. Sedangkan hubungan keluarga adalah hubungan
dalam kehidupan keluarga yang terjadi karena hubungan perkawinan dan adanya
hubungan darah.
b. Hubungan Darah
Yaitu hubungan darah antara orang yang satu dan orang lain karena berasal dari
leluhur yang sama. Ada 3 macam hubungan darah yaitu hubungan darah menurut
garis lurus keatas “ leluhur”, hubungan darah garis lurus ke bawah “ keturunan”,
hubungan darah ke samping antar saudara.
c. Arti Penting Hubungan Darah
Jauh dekatnya hubungan darah mempunyai arti yang sangat penting dalam hal
perkawinan, pewarisan, dan perwalian dalam sebuah keluarga.
d. Hubungan Darah Dilihat dari Garis Keturunan
Ada 3 macam hubungan darah dilihat dari garis keturunannya, yaitu :
1. Patrilineal, dalam hubungan darah yang mengutamakan garis ayah.
2. Matrilineal, dalam hubungan yang mengutamakan garis ibu.
3. Patental, bilateral, dalam hubungan yang didalamya mengutamakan garis
ayah, ibu.
e. Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Dalam Undang-Undang ini menitikberatkan pada hubungan darah yang dimana
mengutamakan garis kedua-duanya. Ketentuannya didalam UU :
1) Dalam Perkawinan
a. Anak yang belum mencapai 21 Tahun ketika hendak melangsungkan
pernikahan harus mendapatkan izin dari kedua orang tua dahulu diatur
dalam pasal 6 ayat 2.
b. Larangan perkawinan dikarenakan terlalu dekat hubungan darahnya
( diatur dalam pasal 8.
c. Perkawinan tidak mengenal sistem jujur tidak diatur didalam UU.
d. Rumah kediaman ditentukan oleh suami istri dengan kesepakatan bersama
diatur didalam pasal 32.
e. Hak dan juga kedudukan suami istri harus seimbang dalam kehidupan
rumah tangga dan juga pergaulan hidup didalam bermasyarakat diatur
didalam pasal 31.
2) Kekuasaan Orang Tua
a. Orang tua harus wajib mendidik anaknya dengan sebaik-baiknya, diatur di
dalam pasal 45 ayat 1.
b. Anak yang belum berumur 18 tahun belum menikah berada didalam
kekuasaan atau pengawasan dari orang tua pasal 47.
c. Orang tua dilarang dengan tegas untuk memindahkan hak ataupun
menggadaikan barang anak yang belum berumur 18 tahun dan juga belum
menikah pasal 48.
3) Kekuasaan Terhadap Harta
a. Harta yang diperoleh secara bersama menjadi harta bersama, dengan pasal
25 ayat 1.
b. Sejak terjadinya perkawinan harta disatukan dan juga dikuasai bersama
apabila sebelumnya dibuat perjanjian, dengan pasal 35 ayat 2.
4) Perwalian
a. Wali dapat diwakilkan dati keluarga anak tersebut dari pihak ayah atau
pihak ibu, pasal 51 ayat 2.
3. ASAS – ASAS PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN
1) Asas – Asas Perkawinan
Asas ini mendasari ketentuan dalam undang-undang perkawinan dan juga
peraturan pelaksanya, diantaranya yaitu : perkawinan monogamy, kebebasan
kehendak, pengakuan kelamin secara kodrati, tujuan perkawinan, perkawinan
keka;, perkawinan menurut hukum agama, perkawinan terdaftar, kedudukan
suami istri seimbang, poligami sebagai pengecualian, batas minimal usia kawin,
membentu keluarga sejahtera, larangan dan perceraian, pembeda anak sah dan
tidak sah, perkawinan campuran, perceraian dipersulit, hubungan dengan
pengadilan.
2) Pengertian Perkawinan
Dalam UU No.1 Tahun 1974 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan wanita sebagai suami istri. Suami istri adalah fungsi masing-masing
pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Jika tidak ada ikatan lahir batin
tidak pula ada fungsi sebagai suami istri.
3) Tujuan Perkawinan
Didalam pasal I UUP tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan tuhan yang maha esa. Dalam pasal I
UUP rumusan perkawinan sekaligus mencakup tujuan lengkapnya adalah “
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasar tuhan
YME. ”
4. SYARAT – SYARAT PERKAWINAN
1) Pengertian Syarat dan Syarat Perkawinan
Syarat dan Syarat Perkawinan adalah segala hal yang harus dipenuhi berdasarkan
peraturan perundang-undang. Ada 2 macam syarat-syarat perkawinan, yaitu syarat
material dan syarat formal. Syarat material adalah syarat yang ada pada diri pihak
perkawinan sedangkan syarat formal adalah tata cara melangsungkan perkawinan
menurut hukum agama dan Undang-Undang.
2) Syarat Perkawinan Monogami
a. Persetujuan kedua calon mempelai diatur dalam (pasal 6 ayat 11 UUP)
b. Pria sudah berumur 19 tahun wanita berumur 16 tahun daitur dalam (pasal 7
ayat 1 UUP)
c. Izin orang tua atau pengadilan jika belum berumur 21 tahun menurut
ketentuan (pasal 6 ayat 2 UUP)
d. Tidak masih terikat satu perkawinan diatur dalam (pasal 9 UUP) kecuali
dalam (pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 UUP) tentang poligami.
e. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami/istri yang sama yang hendak
dikawini diatur dalam (pasal 10 UUP)
f. Bagi janda sudah lewat waktu tunggu, menurtu ketentuan (pasal 11 ayat 1
UUP). Megenai waktu tunggu wanita diatur dalam peraturan pemerintah No. 9
Tahun 1975 pasal 39.
g. Sudah memberi tahu kepada pegawai pencatat perkawinan 10 hari sebelum
dilangsungkan perkawinan, menurut ketentuan pasal 3 P.P. No.9 Tahun 1975.
Pemberitahuan diberitahukan secara lisan / tertulis oleh mempelai atau orang
tua atau wakil (pasal 4 P.P. No. 9 Tahun 1975)
h. Tidak ada yang mengajukan pencegahan menurut (pasal 13 UUP) perkawinan
dapat dicegah apabila tidak memenuhi syarat.
i. Tidak ada larangan perkawinan (pasal 8 UUP)

3) Syarat – Syarat Perkawinan Monogami


Diatur didalam pasal 3 UUP, Asasanya suami hanya boleh memiliki satu istri
tetapi jika dikehendaki oleh kedua pihak pengadilan bisa memberikan izin suami
untuk poligami.

5. TATA CARA MELANGSUNGKAN PERKAWINAN


a. Penelitian, Pengumuman
Menurut ketentuan pasal 6 P.P. No. 9 tahun 1975 pegawai pencatat menerima
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat
perkawinan terpenuhidan tidak terdapa halangan menurut Undang – Undang.
b. Tata Cara Perkawinan
Menurut ketentuan pasal 10 P.P. No. 9 tahun 1975 perkawinan dilangsungkan 10
hari sejak pengumuman kehendak perkawinan yang dilakukan oleh pegawai
pencatat dan dalam pasal 11 P.P. No.9 Tahun 1975 penandatanganan oleh kedua
saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan serta wali nikah.
c. Pelanggaran Dalam Pelangsungan Perkawinan
Undang - Undang perkawinan no. 1 tahun 1974 memberikan hukuman kedua
mempelai atau pegawai pencatat yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan pelangsungan peraturan.
1. Hukuman bagi mempelai
Bagi mempelai yang tidak meberikan pemberitahuan untuk melaksanakan
perkawinan tidak dihadapan pegawai diancam dengan pidana denda setinggi-
tingginya Rp. 7.500.00. ( pasal 45 ayat 1 (a) P.P. No.9 tahun 1975). Pegadilan
yang berwenang memeriksa dan memutus dengan menjatuhkan pidana denda
dalam hal ini adalah pengadilan negeri.
d. Perjanjian Perkawinan

Mempelai laki-laki dan perempuan yang melangsungkan perkawinan dapat


membuat perjanjian perkawinan sesuai pasal 29 UUP . dalam perjanjian
perkawinan tidak termasuk taklik talak isi perjanjian perkawinan dapat
mengenai segala hal asal saja tidak melanggar batas-batas hukum agama dan
kesusilaan. Akibat hukum adanya perjanjian perkawinan antara suami dan istri
sebagai berikut:
1. Perjanjian mengikat pihak suami dan istri.
2. Perjanjian mengikat pihak ketiga yang berkepentingan
3. Perjanjian hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua pihak suami
dan istri, dan tidak merugikan kepentingan pihak ketiga serta disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan.

6. AKIBAT HUKUM ADANYA PERKAWINAN


Ada kemungkinan perkawinan yang sudah dilangsungkan justru tidak memenuhi salah satu
syarat perkawinan. Akibat hukumnya perkawinan yang memenuhi syarat dan tidak
memenuhi syarat diuraikan sebagai berikut :
a. Perkawinan sah dan tidak sah
Perkawinan dikatakan tidak sah relative apabila tidak dipenuhi salah satu syarat atau
( beberapa syarat material yang terdapat dalam nomor urut 1-8 syarat perkawinan
monogamy dan nomor urut 1-3 syarat perkawinan poligami)
1. Permohonan Pembatalan
Bagi mereka yang beragama islam permohonan pembatalan diajukan kepada
pengadilan agama, sedangkan bagi mereka yang bukan beragama islam
permohonan pembatalan diajukan kepada pengadilan negeri (pasal 25 jo.63 UUP)
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut ketentuan
pasal 23 dan 26 UUP.
a. Para keluarga dalam garis keturunan
b. Suami atau istri
c. Pejabat yang berwenang
d. Pejabat yang ditunjuk
2. Akibat hukum pembatalan
Menurut pasal 28 ayat 1 UUP, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Dalam pasal 28 ayat 2 UUP bahwa keputusan tidak
berlaku terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
3. Perkawinan yang sah
Memenuhi yang sah memenuhi syarat-syarat dinyatakan sebagai perkawinan yang
sah. Akibat adanya perkawinan yang sah ialah timbul hubungan hukum :
1. Antara suami dan istri
2. Antara orang tua dan anak
3. Antara wali dan anak
4. Mengenai harta benda dalam perkawinan.
b. Hukuman hukum antara suami dan istri
Dalam hubungan hukum antara suami dan istri tersimpul hak dan kewajiban masing-
masing pihak dalam fungsi sebagai suami dan fungsi istri :
1. Hak suami istri
 Suami dan istri mempunyai hak dan keududkan yang seimbang dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat (pasal 34 ayat
3 UUP)
 Suami dan istri sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum (pasal 31 ayat
2 UUP)
 Suami dan istri mempunyai kesempatan yang sama untuk mengajukan gugatan
kepada pengadilan apabila ada yang melalaikan kewajibannya (pasal 34 ayat 3
UUP)
2. Kewajiban suami istri
 Suami dan istri berkewajiban luhur menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar susunan masyarakat (pasal 30 UUP)
 Suami dan istri mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh
suami dan istri bersama (pasal 32 UUP)
 Suami dan istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, serta memberikan
kebutuhan lahir dan batin satu sama lain (pasal 33 UUP)
 Suami dan istri wajib memelihara, dan mendidik anak sebaik- baiknya sampai
anak itu dapat berdiri sendiri atau kawin (pasal 45 UUP)
3. Kewajiban dan kedudukan suami istri
 Suami wajib melindungi istri dan memberi nafkah hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuan (pasal 34 ayat 1 UUP)
 Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 2 UUP)
 Suami berkedudukan sebagai kepala dan istri sebagai ibu rumah tangga (pasal
31 ayat 3 UUP)
c. Hubungan Hukum Antara Orang Tua Dan Anak
Salah satu akibat dari perkawinan adalah lahirnya anak. Ada beberapa uraian yang
menjelaskan tentang anak sah dan anak tidak sah.
1. Anak sah
Anak sah diatur dalam pasal 42 UUP. Menurut ketentuan pasal tersebut ada dua
macam anak sah. Yaitu :
a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan ada dua kemungkinan, yaitu :

 Setelah perkawinan dilangsungkan, istri baru hamil dan melahirkan anak


 Sebelum perkawinan dilangsungkan istri sudah hamil lebih dulu, sesudah
dilangsungkan perkawinan istri melahirkan anak.

b. Anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan.


Dalam hal ini, istri hamil setelah perkawinan dilangsungkan kemudian terjadi
perceraian atau kematian suami. Setelah terjadi peristiwa itu istri baru melahirkan.
Akibat hukum dari kelahiran anak anak sah ini ialah timbulnya hubungan hukum
antara orang tua dan anak.
2. Anak Tidak Sah
Menurut ketentuan pasal 43 ayat 1 UUP anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Dan suami
berhak membantah sahnya anak yang dilahirkan istri bilamana iya dapat
membuktikan istrinya berzina dan anak dari hasil perzinahan tersebut dalam pasal
44 ayat 1 UUP. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan pasal 44 ayat 2.
3. Kekuasaan Orang Tua

Kekuasaan orang tua terhadap anak berlangsung hingga anak itu mencapai
umur 18 tahun atau anak itu kawin, atau ada pencabutan kekuasaan orang tua
oleh pengadilan pasal 47 ayat 1 UUP. Kekuasaan orang tua meliputi

a. Kekuasaan terhadap pribadi anak pasal 45 ayat 1 UUP.

b. Kekuasaan terhadap perbuatan anak pasal 47 ayat 2 UUP.

c. Kekuasaan terhadap harta benda anak pasal 48 UUP.

4. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua


Apabila orang tua melalaikan kewajibannya dan berkelakuan buruk sekali maka
salah satu keduanya dapat dicabut kekuasaannya terhadap anak. Yang mengajukan
permintaan tersebut adalah pasal 49 ayat 1 UUP :
a. Orang tua apabila salah satunya dimintakan pencabutan
b. Keluarga anak dalam garis lurus ke atas
c. Saudara kandung yang telah dewasa
d. Penjabat yang berwenang

5. Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua

Menurut ketentuan pasal 46 UUP anak wajib menghormati orang tua dan
mentaati kehendak mereka yang baik. dalam pasal 46 UUP kewajiban
memelihara itu ada apabila orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas
itu memerlukan bantuan. Sedangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 215
pembatasan itu tidak ada, diminta atau tidak diminta anak wajib memberi
nafkah terhadap orang tua.

d. Hubungan Hukum Antara Wali Dan Anak

Menurut ketentuan pasal 50 ayat 1 UUP, anak yang berumur 18 tahun dan belum pernah
mlangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah
kekuasaan wali.

1. Perwalian dan wali


Perwalian adalah kewajian hukum untuk melakukan pengawasan dan pengurusan
mengenai pribadi anak yang belum dewasa dan harta bendanya (pasal 50 ayat 2 UUP)orang
yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali.
2. Cara penunjukkan wali
Menurut ketentuan pasal 51 penunjukkan wali dapat dtunjuk oleh satu orang tua yang
menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum meninggal dengan surat wasiat atau dengan
lisan di hadapan dua orang sanksi. Dalam pasal 53 ayat 2 UUP ditentukan bahwa dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut, oleh pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

3. Wali dan syarat-syaratnya

Menurut ketentuan pasal 51 ayat 2 UUP, yang dapat ditunjuk sebagai wali adalah
keluarga anak tersebut atau orang lain. Dalam pasal 49 ayat 1 UUP mengenai orang
yang dapat mengajukan permohonan pencabutan kekuasaan orang tua. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan keluarga itu adalah

a. Keluarga anak dalam garis lurus ke atas misalnya kakek baik dari pihak bapak
maupun dari pihak ibu.

b. Saudara kandung yang telah dewasa yaitu kakak anak tersebut.

Menurut pasal 51 ayat 2 UUP Syarat-syarat wali adalah :

a. Orang yang sudah dewasa


b. Orang yang berpikir sehat
c. Orang yang berbuat adil
d. Orang yang jujur
e. Orang yang berkelakuan baik
4. Kekuasaan Wali
Kekuasaan wali meliputi kekuasaan mengenai pribadi anak dan harta bendanya (pasal 50
ayat 2 UUP) seperti berikut ini :
 Kekuasaan terhadap pribadi anak (pasal 51 ayat 3 UUP)
 Kekuasaan terhadap harta benda anak (pasal 51 ayat 3 dan 4 pasal 52 UUP)

5. Tanggung jawab dan Sanksi Terhadap Wali

Menurut ketentuan pasal 51 ayat 5 UUP, wali bertanggung jawab atas pengurusan
harta benda anak serta kerugian yang timbul karena kesalahan atau kelalainnya. Wali
dapat diwajibkan membayar ganti kerugian berdasarkan keputusan pengadilan,
sebagai akibat dari pengurusan harta benda anak dibawah perwaliannya (pasal 54
UUP)

6. Berakhirnya Perwalian

Perwalian dapat berakhir dalam hal-hal berikut ini :

a. Anak dibawah perwalian sudah berumur 18 tahun atau sudah kawin.

b. Kekuasaan wali dicabut oleh pengadilan.

c. Wali atau anak dibawah perwalian meninggal dunia.

e. Harta Benda Dalam Perkawinan

Menurut pasal 53 UUP, dibedakan menjadi 3 macam yaitu :


1. Harta bersama, harta benda yang diperoleh selama perkawinan ( pasal 36 ayat 1 UUP). Menurut
ketentuan pasal 37 UUP apabila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut
hukumnya masing- masing.

2. Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing (pasal 36 ayat 2 UUP)

3. Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah atau
warisan.

7. Perkawinan Campuran

a. Pengertian perkawinan campuran


Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia (pasal 57 UUP). Dari definisi pasal 57 UUP ini dapat
diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut :
1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita
2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan
3. Karena perbedaan kewarganegaraan
4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
b. Syarat – syarat dan pelangsungan perkawinan campuran
Pernikahan campuran dapat dilangsungkan diluar maupun di Indonesia, jika pernikahan
campuran dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilakukan menurut undang-
undang perkawinan ini (pasal 59 ayat 2 UUP). Mengenai syaratsyarat untuk melangsungkan
perkawinan harus dipenuhi syarat- syarat perkawinan yang berlaku menurut hukum
masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1 UUP). Pejabat yang berwenang memberikan
keterangan tentang dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut (pasal 60 ayat 2 UUP). Jika
pejabat pecantat menolak memberikan surat, kedua pihak mengajukan kepada pengadilan
dan pengadilan menyatakan bahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan pengadilan
itu menjadi pengganti surat keterangan tersebut (pasal 60 ayat 3 dan 4 UUP). Jika
pernikahan dilakukan di Negara lain, maka berlakulah ketentuan tata cara menurut hukum
di Negara yang bersangkutan (pasal 56 ayat 1 UUP). Dan jika setelah surat keputusan
pengadilan keluar tetapi kedua pihak tidak segera menikah selam 6 bulan maka surat
tersebut tidak berlaku lagi (pasal 60 ayat 5 UUP).
c. Pencatatan perkawinan campuran
Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai yang berwenang ( pasal 61 ayat 1 UUP).
Apabila pernikahan campuran dilakukan tanpa memperlihatkan kepada pegawai surat
keterangan atau putusan pengadilan makan kedua pihak akan dihukum sekurang-
kurangnya 1 bulan lamanya (pasal 61 ayat 2 UUP). Dan jika pegawai pencatat mengetahui
bahwa surat keterangan atau putusan pengadilan tidak ada maka kedua pihak dihukum
kurungan 3 bulan dan dihukum jabatan (pasal 61 ayat 3 UUP).
d. Kewarganegaraan akibat perkawinan campuran
Bagi orang yang melakukan pernikahan campuran mereka akan memperoleh
kewarganegaraan dari salah satu pihak dana dapat pula kehilangan kewarganegaraannya
yang telah berlaku (pasal 58 UUP).Undang-undang yang mengatur kewarganegaraan UU
No. 62 Tahun 1958. Menurut ketentuan pasal 7 ayat UU No. 62 tahun 1958 seorang
perempuan asing yang kawin dengan seorang warga Negara R.I. memperoleh keluarga
negaraan R.I.
Dalam Pasal 8 ayat 1 UU No. 62 Tahun 1958 dinyatakan bahwa seorang perempuan warga
Negara R.I. yang kawin dengan orang asing kehilangan kewarganegaraan R.I. seorang
(Pria/Wanita) dari perkawinannya kehilangan kewarganegaraan R.I. iya dapat memperoleh
WNI jika setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan dalam waktu satu tahun.
Setelah perkawinan itu terputus, dengan ketentuan setelah kembali memperoleh WNI nya
itu ia tidak mempunyai kewarganegaraan rangkap atau (pasal 11 UU No. 62 Tahun 1958).
Seorang perempuan yang disebabkan oleh atau sebagai akibat perkawinannya
memperoleh kewarganegaraan R.I. Jika setelah perkawinannya terputud menyatakan
keterangan itu dalam waktu satu tahun setelah perkawinan terputus (pasal 12 UU No. 62
Tahun 1958). Pernyataan keterangan dalam pasal-pasal 7,8,11,12 tersebut diatas ini
diajukan kepada pengadilan negeri atau perwakilan R.I. dari tempat tinggalnya. Dalam
pasal 59 ayat 1 UUP dinyatakan bahwa kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat
perkawinan atau putusnya perkawinan menetukan hukum yang berlaku baik mengenai
hukum public maupun hukum perdata.

Anda mungkin juga menyukai