Anda di halaman 1dari 13

PERBANDINGAN PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PERDATA (BW) DENGAN HUKUM ADAT


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkawinan sebagai perbuatan hukum yang mana merupakan suatu perbuatan
yang mengandung hak dan kewajiban bagi individu-individu yang melakukannya.
Seorang pria dengan seorang wanita setelah melakukan perkawinan akan menimbulkan
akibat akibat hukum yaitu antara lain mengenai hubungan hukum antara suami istri dan
mengenai harta benda perkawinan serta penghasilan mereka.
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan setiap manusia.
Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita akan menimbulkan
akibat lahir maupun batin antara mereka, terhadap masyarakat dan juga hubungannya
dengan harta kekayaan yang diperoleh di antara mereka baik sebelum, selama maupun
sesudah perkawinan berlangsung.
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu akibat hukum dari
perkawinan adalah terciptanya harta benda perkawinan yang terbagi menjadi harta asal
atau harta bawaan, yaitu harta yang dipunyai oleh masing-masing suami isteri sebelum
perkawinan. Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan,
tidak termasuk hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha
mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Konsep harta bersama
merupakan harta kekayaan yang dapat ditinjau dari segi ekonomi dan segi hukum.
Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya tinjauan
dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.
Perkawinan menimbulkan akibat hukum antara kedua pasangan suami istri.
Apabila terjadi suatu perceraian permasalahan yang timbul adalah anak dan harta.
Namun dalam hal ini, penulis membatasi meneliti tentang masalah harta. Sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur
harta kekayaan, pada Bab VII dalam judul harta benda dalam perkawinan. Pasal 35 ayat
(1) berbunyi, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Selanjutnya ayat (2) menjelaskan, harta bawaan dari masingmasing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat
terhadap hubungan-hubungan keperdataan seperti hak dan kewajiban suami istri, harta
bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua tetapi juga menyangkut
hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan
ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Perbandingan Perkawinan Menurut KUHP dengan Hukum Adat?
2. Apa Saja Dasar Hukum Tentang Perkawinan Menurut KUHP dan Hukum Adat?
BAB II

PEMBAHASAN

A. PERBANDINGAN PERKAWINAN MENURUT KUHP DENGAN HUKUM ADAT


1. PERKAWINAN MENURUT KUHP
a. Pengertian Perkawinan
Didalam Bab ke empat Pasal 26 KUH Perdata di sebutkan bahwa Undang-
Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata jadi sah atau
tidaknya suatu perkawinan menurut hukum perdata. Perkawinan menurut KUH
Perdata adalah perbuatan hukum dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan
yang dilangsungkan menurut cara-cara sebagai mana ditentukan dalam Undang-
Undang dengan maksud untuk hidup bersama.
Perkawinan harus dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatatan Sipil
(burgelijke stand) dan memenuhi beberapa persyaratan seperti batas umur maupun
kesepakatan bersama antara para pihak.
Seorang laki-laki hanya diperbolehkan kawin dengan seorang perempuan saja
(monogami) demikian pula sebaliknya. Menurut KUH Perdata ini masalah
keagamaan diabaikan sama sekali, bahkan dikatakan tidak ada upacara keagamaan
sebelum kedua belah pihak dapat membuktikan bahwan mereka telah melangsungkan
perkawinannya dihadapan Pegawai Pencatatan Sipil (Pasal 81 KUH Perdata). Bahkan
ada sanksi pidana yang berupa denda bagi pejabat agama yang melakukan
pelanggaran atas Pasal tersebut (Pasal 530 ayat 1 KUHP).
Dengan telah dilangsungkannya perkawinan dihadapan Pegawai Pencatatan
Sipil, bagi suami adalah menjadi kepala persatuan suami istri dan istri harus tunduk
kepadanya. Atas dasar hal tersebut diatas:
- Suami tanggung jawab terhadap rumah tangga
- Suami istri harus memelihara dan mendidik anak-anak mereka
- Istri harus bertempat tinggal bersama dengan suami
- Dari ikatan keluarga tersebut tumbuh kewajiban untuk memberi nafkah
(alimentasi):
 Suami terhadap istri
 Keluarga dalam garis lurus yang bersifat timbal-balik.
b. Syarat dan Rukun Perkawinan
Pada dasarnya tidak semua laki-laki dan wanita dapat melangsungkan
perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan pernikahan adalah mereka-
mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh peraturan
perundangundangan.
Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi menjadi
dua macam adalah : (1) syarat materiil dan (2) syarat formil. Syarat materiil, yaitu
syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan pernikahan.
Syarat ini dibagi dua macam, yaitu :
1. Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi
seseorang yang harus di indahkan untuk melangsungkan perkawinan pada
umumnya. Syaratnya meliputi:
a. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri,
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (pasal 27 BW);
b. Persetujuan antara suami isteri (pasal 28 KUH Perdata);
c. Terpenuhinya batas umur minimal. Bagi laki-laki berumur 19 tahun
dan wanita berumur 16 tahun (pasal 29 KUH Perdata);
d. Harus ada izin sementara dari orang tua atau walinya bagi anak-anak
yang belum dewasa dan belum pernah kawin (pasal 35 sampai dengan
pasal 49 KUH Perdata).
Syarat-syarat diatas adalah bagian pokok dari proses berlangsungnya
pernikahan. Maksud dari poin (a) yaitu pasal 27 BW adalah dalam waktu yang
sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan
sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai
suaminya. Poin (b) yaitu pasal 28 KUHPerdata menjelaskan bahwa asas
perkawinan mengehendaki adanya kebebasan kata sepakat antara calon suami
istri. Poin (c) yaitu pasal 29 KUHPerdata mengartikan bahwa seorang pemuda
atau pemudi yang umurnya belum mencapai yang telah disebutkan didalamnya
tidak diperbolehkan mengikat dirinya dengan ikatan perkawinan. Maksud dari
poin (d) atau pasal 35 KUHPerdata adalah untuk mengikat diri dalam
perkawinan, anak-anak kawin yang belum dewasa harus memperoleh izin dari
kedua orang tuanya.
2. Syarat materill relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang
untuk kawin dengan orang tertentu. Larang itu ada dua macam, yaitu:
a. Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan
sedarah dan karena dalam perkawinan;
b. Larangan kawin karena zina;
c. Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya
perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.
Syarat formal adalah syarat-syarat yang berkaitan dengan formalitas-
formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua tahapan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan adalah:
1. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud
kawin (pasal 50 sampai dengan 51 KUH Perdata). Permberitahuan tentang
maksud kawin untuk dilakukan kepada Pegawai Catatan Sipil.
Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkan
perkawinan, dengan jalan menempelkan pada pintu utama dari gedung
dimana register-register catatan sipil diselenggarakan, dan jangka
waktunya selama 10 hari. Maksud pengumuman ini adalah untuk
memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan untuk mencegah
maksud dari perkawinan tersebut karena alasan-alasan tertentu. Sebab,
dapat saja terjadi bahwa suatu hal yang menghalangi suatu perkawinan
lolos dari perhatian Pegawai Catatan Sipil. Pengumuman itu sebagai
pengawas yang dilakukan oleh masyarakat;
2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya
perkawinan. Apabila kedua syarat di atas, baik itu syarat intern, ekstern,
maupun syarat materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu
dapat dilangsungkan.
a. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
undangundang, yaitu untuk seorang laki-laki 19 tahun dan untuk
seorang perempuan 16 tahun;
b. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak;
c. Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300
hari dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertama;
d. Tidak ada larangan undang-undang bagi kedua pihak;
e. Untuk pihak yang masih di bawah umur, harus ada izin dari orang tua
atau walinya.
2. PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT
a. Pengertian Perkawinan
Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan bukan saja merupakan
perikatan perdata tapi juga merupakan perkawinan adat dan sekaligus merupakan
perikatan kekerabatan dan ketetanggan.
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai,
tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga
mereka masing-masing.
Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting
bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa
yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatina dan diikuti oleh
arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.
Dalam perkawinan menurut hukum adat, masing-masing pihak calon
pengantin harus melakukan tata tertib adat yang sesuai dengan sistem yang
berlaku dalam masyarakat dal arti terserah kepada selera dan nilai-nilai budaya
yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan asal tidak bertentangan dengan
kepentingan umum.
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis
kebapakan, keibuan atau keibuan-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga
keluarga atau kerabat untuk memperoleh kewarisan oleh karena sistem keturunan
dari kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda
termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut juga berbeda-beda maka
tujuan perkawinan adat bagi masyarakat hukum adat berbeda diantara suku
bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain, daerah yang satu juga berbeda
dengan daerah lainnya, serta akibat hukum dan upacara perkawinannya juga
berbeda.
b. Sifat Perkawinan
Perkawinan dalam hukum adat sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada susunan
kekeluargaan. Susunan kekeluargaan dikenal ada beberapa macam, yaitu:
1. Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilinier
 Corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”.
 Pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan
hubungan keluarga si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
 Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
 Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal dirumah suaminya
dengan saudara muda dari almarhum seolah-olah seorang isteri itu
diwarisi oleh adik almarhum.
2. Perkawinan dalam keluarga matrilinier:
 Dalam upacara perkawinan mempelai laki-laki dijemput.
 Suami berdiam dirumah isterinya, tetapi suaminya tetap dapat
keluarganya sendiri.
 Anak-anak masuk dalam klan isterinya dan si ayah tidak mempunyai
kekuasaan terhadap anak-anaknya.
3. Perkawinan dalam keluarga parental:
 Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami
maupun keluarga isteri.
Dengan demikian dalam susunan keluarga parental suami dan isteri masing-
masing mempunyai dua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri.

3. PERSAMAAN PERKAWINAN MENURUT KUHP DENGAN HUKUM ADAT


Adapun persamaan perkawinan menurut KUH Perdata dan Hukum Adat, yaitu:
1. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan
karena dalam perkawinan.
3. Perkawinan yang sah yaitu harus seorang laki-laki dan perempuan. Hal ini
dimaksud agar tidak terjadi perkawinan sejenis di era modern ini.

4. PERBEDAAN PERKAWINAN MENURUT KUHP DENGAN HUKUM ADAT


Menurut KUH Perdata, perkawinan adalah perbuatan hukum dari seseorang
laki-laki dan seorang perempuan yang dilangsungkan menurut cara-cara sebagai
mana ditentukan dalam Undang-Undang dengan maksud untuk hidup bersama.
Perkawinan harus dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatatan Sipil (burgelijke
stand) dan memenuhi beberapa persyaratan seperti batas umur maupun kesepakatan
bersama antara para pihak. Pada dasarnya tidak semua laki-laki dan wanita dapat
melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan pernikahan adalah
mereka-mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan misalnya seorang laki-laki hanya diperbolehkan
kawin dengan seorang perempuan saja (monogami) demikian pula sebaliknya.
Sedangkan Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan bukan saja
merupakan perikatan perdata tapi juga merupakan perkawinan adat dan sekaligus
merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggan.
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi
juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka
masing-masing.
Perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang
masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti
serta yang sepenuhnya mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur
kedua belah pihak.

B. DASAR HUKUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT KUH PERDATA DAN


HUKUM ADAT
1. Dasar Hukum Perkawinan Menurut KUH Perdata
a. Pasal 26 KUHPerdata : Undang-undang memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan-hubungan perdata.
b. Pasal 28 KUHPerdata : Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas
dan calon suami dan calon istri.
c. Pasal 27 KUHPerdata : Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat
perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya
dengan satu orang lelaki saja.
d. Pasal 29 KUHPerdata : Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun
penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak
diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting,
Presiden dapat menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi.
e. Pasal 34 KUHPerdata : Seorang perempuan tidak diperbolehkan melakukan
perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak
pembubaran perkawinan yang terakhir.
f. Pasal 30 : Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai
hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena
kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena
perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah
atau tidak sah.
g. Pasal 31 : Juga dilarang perkawinan: 1. antara ipar laki-laki dan ipar perempuan,
sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya
periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si
istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk
melakukan perkawinan lain; 2. antara paman dan atau paman orang tua dengan
kemenakan perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua
dengan kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-
alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa menghapuskan
larangan yang tercantum dalam pasal ini.
h. Pasal 32 : Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan
melakukan zina, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinanya
itu.
i. Pasal 33 : Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai
dengan ketentuan Pasal 199 nomor 3° atau 4°, tidak diperbolehkan untuk kedua
kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak
pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar Catatan Sipil.
Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.
j. Pasal 35 : Untuk melaksanakan perkawinan, anak sah di bawah umur
memerlukan izin kedua orang tuanya. Akan tetapi bila hanya salah seorang dan
mereka memberi izin dan yang lainnya telah dipecat dan kekuasaan orang tua
atau perwalian atas anak itu, maka Pengadilan Negeri di daerah tempat tinggal
anak itu, atas permohonannya, berwenang memberi izin melakukan perkawinan
itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya menjadi
syarat beserta keluarga sedarah atau keluarga-keluarga semenda. Bila salah satu
orang tua telah meninggal atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dan orang tua yang lain.
k. Pasal 36 : Selain izin yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang
belum dewasa memerlukan juga izin dan wali mereka, bila yang melakukan
perwalian adalah orang lain daripada bapak atau ibu mereka; bila izin itu
diperbolehkan untuk kawin dengan wali itu atau dengan salah satu dan keluarga
sedarahnya dalam garis lurus, diperlukan izin dan wali pengawas. Bila wali atau
wali pengawas atau bapak atau ibu yang telah dipecat dan kekuasaan orang tua
atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan
kehendaknya, maka berlakulah alinea kedua pasal yang lalu, asalkan orang tua
yang tidak dipecat dan kekuasaan orang tua atau perwaliannya atas anaknya telah
memberikan izin itu.
l. Pasal 37 : Bila bapak atau ibu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendak mereka, maka mereka masing-masing harus
digantikan oleh orang tua mereka, sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam
keadaan yang sama. Bila orang lain daripada orang-orang yang disebut di atas
melakukan perwalian atas anak-anak di bawah umur itu, maka dalam hal seperti
yang dimaksud dalam alinea yang lalu, si anak memerlukan lagi izin dari wali
atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau wali pengawas, sesuai
dengan perbedaan kedudukan yang dibuat dalam pasal yang lalu. Alinea kedua
Pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea satu
atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau bila salah satu atau lebih
tidak menyatakan pendiriannya.
m. Pasal 38 : Bila bapak dan ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila
mereka semua berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka,
anak sah yang masih di bawah umur tidak boleh melakukan perkawinan tanpa
izin wali dan wali pengawasnya. Bila baik wali maupun wali pengawas, atau
salah seorang dari mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan
pendirian, maka Pengadilan Negeri di daerah tempat tinggal anak yang masih di
bawah umur, atas permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan
perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali, wali pengawas
dan keluarga sedarah atau keluarga semenda.
n. Pasal 40 : Anak tidak sah yang tidak diakui, tidak boleh melakukan perkawinan
tanpa izin wali atau wali pengawas, selama ia masih di bawah umur. Bila kedua-
keduanya, atau salah seorang, menolak untuk memberikan izin atau untuk
menyatakan pendirian, Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tinggal anak
yang masih di bawah umur itu, atas permohonannya, berkuasa memberikan izin
untuk itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali atau wali
pengawas si anak.
o. Pasal 42 : Anak sah yang telah dewasa, tetapi belum genap tiga puluh tahun, juga
wajib untuk memohon izin bapak dan ibunya untuk melakukan perkawinan. Bila
ia tidak memperoleh izin itu, Ia boleh memohon perantaraan Pengadilan Negeri
tempat tinggalnya dan dalam hal itu harus diindahkan ketentuan-ketentuan dalam
pasal-pasal berikut.
2. Dasar Hukum Perkawinan Menurut Hukum Adat
Lembaga Pernikahan Adat di Indonesia telah diakui sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 B ayat (2)
JO pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman yang menegaskan bahwa hakim dan hakim konstitusi berkewajiban untuk
memeriksa, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang ada
di masyarakat.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Didalam Bab ke empat Pasal 26 KUH Perdata di sebutkan bahwa Undang-Undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata jadi sah atau tidaknya suatu
perkawinan menurut hukum perdata. Perkawinan menurut KUH Perdata adalah
perbuatan hukum dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan yang dilangsungkan
menurut cara-cara sebagai mana ditentukan dalam Undang-Undang dengan maksud
untuk hidup bersama.
Perkawinan harus dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatatan Sipil (burgelijke
stand) dan memenuhi beberapa persyaratan seperti batas umur maupun kesepakatan
bersama antara para pihak. Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan
perkawinan dibagi menjadi dua macam adalah : (1) syarat materiil dan (2) syarat formil.
Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan bukan saja merupakan perikatan
perdata tapi juga merupakan perkawinan adat dan sekaligus merupakan perikatan
kekerabatan dan ketetanggan.
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi
juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-
masing.
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah
untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan, keibuan
atau keibuan-bapakan.
Perkawinan dalam hukum adat sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada susunan
kekeluargaan.

Anda mungkin juga menyukai