Anda di halaman 1dari 3

1.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berlaku di Indonesia


sejak Corpus Iuris Civilis di Romawi, Code Civil di Perancis, Burgerlijk Wetboek di
Belanda, yang akhirnya diresepsi ke dalam hukum nasional, menjadi KUHPer merupakan
proses yang panjang. Proses berlakunya satu sistem hukum suatu negara ke dalam sistem
hukum negara lain terjadi karena asas konkordansi (penyelarasan), yang dilegalkan oleh
negara yang bersangkutan. Berdasarkan pernyataan diatas lakukanlah analisis keterkaitan
antara Corpus Juris Civilis, Code Civil, dan Burgerlijk Wetboek!
Sumber pokok Hukum Perdata adalah Burgerlijk Wetboek (BW) yang sebagian
besar adalah Hukum Perdata Prancis, yaitu Code Napoleon tahun 1811-1838 sebagai
akibat pendudukan Prancis di Belanda sehingga Hukum Perdata Prancis berlaku di negeri
Belanda. Asal pembentukan Code Napoleon ini adalah Code Civil yang dalam
penyusunannya mengambil karangan pengarang-pengarang bangsa Prancis tentang
Hukum Romawi yang biasa disebut dengan istilah Corpus Juris Civilis yang pada zaman
dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Peraturan-peraturan yang belum
ada pada zaman Romawi tidak dimasukkan dalam Code Civil, tetapi dalam kitab
tersendiri yakni Code de Commerce. Setelah pendudukan Prancis berakhir oleh
pemerintah Belanda, kemudian dibentuk suatu panitia yang diketuai Mr. J.M. Kemper
dan bertugas membuat rencana kodifikasi Hukum Perdata Belanda dengan menggunakan
sumber sebagian besar Code Napoleon dan sebagian kecil hukum Belanda Kuno

2. Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPer) yang diberlakukan


oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia (saat itu Hindia Belanda) pada tanggal 16
Mei 1846 memiliki susunan dan isi yang serupa dengan BW Belanda. Berdasarkan
pernyataan diatas lakukanlah analisis sistematika hukum perdata yang digunakan
dalam Burgerlijk Wetboek!
1. Hukum Perorangan
Hukum perorangan adalah hukum yang mencakup peraturan-peraturan manusia
sebagai subjek dalam hukum, peraturan-peraturan mengenai perihal kecakapan
seseorang dalam hukum.
2. Hukum Keluarga
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan yang
timbul karena hubungan kekeluargaan, seperti perkawinan, hubungan antara
orang tua dan anak, perwalian, dan pengampuan.
3. Hukum Harta Kekayaan
Hukum harta kekayaan adalah hukum yang mengatur tentang hubungan-
hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hukum harta kekayaan
meliputi dua jenis hak, yaitu:
 Hak Mutlak: Hak-hak mutlak yang berlaku pada setiap orang, baik hak-
hak atas benda maupun hak-hak atas barang tidak berwujud, seperti hak
milik, hak usaha, hak cipta, dan hak paten.
 Hak relatif: Hak-hak yang timbul karena suatu peristiwa hukum di mana
satu pihak terikat dengan pihak lain. Contohnya perjanjian jual beli,
perjanjian sewa-menyewa, dan perjanjian kerja.
4. Hukum Waris: Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang tata cara
beralihnya harta kekayaan dari seorang yang telah meninggal dunia kepada orang
yang masih hidup atau para ahli warisnya.
3. Pada zaman dulu tidak semua manusia merupakan “orang” maka dari itu sebagai
konsekuensinya muncul segolongan manusia yang disebut budak. Manusia yang disebut
golongan budak ini hanya memiliki sejumlah kewajiban tetapi tidak mempunyai hak.
Tetapi pada masa kini semua manusia merupakan "orang" karena tidak dikenal lagi
adanya perbudakan dan setiap manusia telah menjadi subjek hukum. Berdasarkan
pernyataan diatas maka pada saat kapankah manusia disebut sebagai subyek hukum?
Berikan penjelasan anda!
Setiap manusia telah menjadi subjek hukum sejak ia dilahirkan, bahkan jika
kepentingannya menghendaki, sejak masih dalam kandungan pun ia telah menjadi subjek
hukum, kecuali jika meninggal saat dilahirkan (Pasal 2 BW). Berhentinya manusia
sebagai subjek hukum ialah ketika ia menginggal dunia. Ini berarti, tidak dikenal lagi
adanya “kematian perdata” yang berakibat dicabutnya hak-hak keperdataan seseorang
ketika ia masih hidup.
Sebagai subjek hukum, setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban, tanpa kecuali.
Inilah yang dinamai kewenangan hukum untuk mempunyai hak dan kewajiban. Jadi,
setiap manusia mempunyai kewenangan hukum untuk mempunyai hak dan kewajiban,
tetapi belum tentu memiliki kewenangan untuk bertindak melakukan sendiri hak dan
kewajibannya.

4. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan memiliki prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan yang telah disesuaikan
dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Berdasarkan pernyataan diatas jelaskan asas-
asas perkawinan yang tersurat dalam Undang-undang!
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki prinsip-
prinsip atau azas-azas perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan
tuntutan zaman.
Azas-azas atau prinsip-prinsip dalam UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk
itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil
dan materiil.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan
adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-
surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun
hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan
apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih
dibawah umur.
a. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang
wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk
kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi
pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal
dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan
tertentu serta harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan
diputuskan bersama oleh suami-isteri.

5. Jelaskan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dan dilakukan sebelum perkawinan


dilangsungkan!
Syarat perkawinan Pasal 6 s/d 11 UU No. I tahun 1974 yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah
satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah
meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada
ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

Anda mungkin juga menyukai