1. Manakah manusia itu telah dapat dikatakan menjadi subjek hukum dan kapan pula
kedudukannya sebagai subjek hukum itu berakhir?
Jawab :
Setiap manusia mempunyai wewenang hukum, akan tetapi ia belum tentu cakap
hukum. Seseorang bisa dikatakan cakap hukum, apabila ia telah dianggap cukup cakap
untuk mempertanggung jawabkan sendiri atas segala tindakan-tindakannya.
Contohnya,seorang yang sudah dewasa normal berarti cakap hukum. Seseorang
yang sudah dewasa apabila ia gila, di letakkan di bawah pengampuan, anak-anak
tidak cakap hukum. Di antara subyek hukum tidak hanya manusia yang menjadi
subyek hukum melainkan terdapat subyek hukum selain manusia yaitu Badan
Hukum.
Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang
agama maupun kebudayaan, sejak dilahirkan sampai meninggal dunia itu
merupakan subjek hukum. Bahkan dalam sistem civil law dikenal ungkapan
nasciturus pro iam nato habetur yang artinya anak yang belum dilahirkan yang
masih dalam kandungan dianggap telah dilahirkan apabila kepentingannya
diperlukan. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUH Perdata yang berbunyi
sebagai berikut; Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap
telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya.
2. Apakah seorang Bayi yang masih dalam kandungan ibunya memiliki hak-hak tertentu,
mengingat bahwa ia belum berkedudukan sebagai subyek hukum? Buktikanlah
jawaban anda secara yuridis!
Jawab :
Ya. Seorang bayi yang masih dalam kandungan ibunya memiliki hak-hak tertentu
walaupun belum berkedudukan sebagai subyek hukum. Karena, dengan hak
tersebut dapat memberikan perlindungan hukum kepada seorang anak yang masih
dalam kandungan seorang wanita terhadap hak-hak yang akan dinikmatinya kelak
manakala ia dilahirkan. Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal 2
KUHPer yang berbunyi: Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan,
dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak
menghendakinnya. Mati sewaktu dilahirkan, dianggap tidak pernah ada.
Contoh: Seorang wanita yang sedang mengandung, namun tiba-tiba suaminya
meninggal dunia. Pada saat itu, warisan yang didapatkan antara suami-istri
menjadi terbuka. Sejak saat itulah anak/janin tersebut berhak untuk mendapatkan
warisan dari ayahnya. Syaratnya, anak yang dilahirkan itu harus tetap hidup.
Bahkan dalam sistem civil law dikenal ungkapan (maxim) nasciturus pro iam
nato habetur yang artinya anak belum dilahirkan yang masih dalam kandungan
dianggap telah dilahirkan apabila kepentingannya memerlukan. Maxim demikian
tertian did lam pasal 2 BW yang menetapkan bahwa Anak dalam kandungan
seorang wanita dianggap telah lahir setiap kali kepentinganya menghendakinya.
Bila telah menunggal waktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernak ada. Pada saat
ini, terdapat persamaan nilai yang fundamental bagi semua orang sehingga tidak
boleh adanya perlakuan yang berbeda atas jenis kelamin, ras kepercayaan, dan
status sosial.
3. Apa yang dimaksud dengan konsepsi perkawinan menurut BW dan menurut UU No. 1
Tahun 1974 buktikan melalui pasal-pasal yang menjadi dasar hukumnya?
Jawab :
Konsepsi perkawinan menurut KUHPer, hanya dipandang dari segi keperdataannya saja.
Artinya, UU melihat perkawinan itu sah dan syarat syaratnya menurut UU dipenuhi.
Yang dilihat hanya faktor yuridis sesuai dengan Pasal 26 KUHPer.dan menurut UU No. 1
Tahun 1974 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang laki laki dan seorang wanita
sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dasar hukum konsepsi perkawinan adalah:
BW Bab IV pasal 26 tentang Perkawinan. Didalamnya terdapat Bagian 1 (Pasal
27 -sd- Pasal 49) yang mengatur tentang Syarat-syarat dan segala sesuatu yang
harus dipenuhi untuk dapat melakukan pernikahan. Bagian 2 (Pasal 50 -sd- 58)
Acara yang harus mendahului perkawinan. Bagian 3 (Pasal 59 -sd- 70) Mencegah
perkawinan. Bagian 4 (Pasal 71 sd- 82) Pelaksanaan perkawinan. Bagian 5
(Pasal 83 dan Pasal 84) Perkawinan-perkawinan yang dilakukan diluar negeri.
Bagian 6 (Pasal 85 sd- 99a) Batalnya pernikahan. Bagian 7 (Pasal 100 sd- Pasal
102) Bukti adanya suatu perkawinan.
UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut: adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anakanak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak
ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Pasal 28B ayat (1) Perubahan II UUD 1945
BW : Hanya dipandang dari segi keperdataan saja, artinya undang-undang melihat
perkawinan itu sah dan syarat-syaratnya menurut undang-undang apabila
dipenuhi. Yang dilihat faktor yuridis sesuai pasal 26 KUHPer
Menurut UU No. 1/1974, dapat dilihat dalam pasal 1 UU No. 1/1974. Yang berisi
Perkawinan adalah :
1. Ikatan laki-laki dan wanita sebagai suami istri
2. Ikatan lahir dan batin
3. Membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
7. Dapatkah seorang WNI yang tunduk pada hukum Perdata/BW tetapi dia beragama
islam, beristri lebih dari satu orang. Jelaskan jawaban dengan argumentasi yang kuat!
Jawab :
Pada hukum Perdata/BW pasal 27. Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh
terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan seorang perempuan hanya
dengan satu orang lelaki saja. Substansi pasal pasal di atas terkandung maksud bahwa
perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana
ditetapkan dalam KUHPer. Jadi syarat serta peraturan agama di kesampingkan. Poligamy
dilarang, larangan ini termasuk ketertiban umum artinya bila dilanggar maka diancam
dengan pembatalan perkawinan.
8. Kasus :
Rosita,WNI hidup bersama tanpa nikah dengan seorang Pria Bule Fritz Van Hanzen
WNA (Warga Negara Belanda). Setelah 2 (dua) tahun hidup bersama rosita melahirkan
anak laki-laki di Negara Belanda.
Pertanyaan.
a. Bagaimana Status hukum anak yang dilahirkan oleh Rosita tersebut?
b. Apakah dalam hal ini Fritz berhak mengklaim anak tersebut sebagai anaknya?
c. Di Indonesia menganut asas apa bagi kedudukan anak di luar nikah?
Jawab :
a. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum
kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
dalam ketentuan UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
b. Dalam sistem hukum indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya
pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anakanak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orangtua terhadap anak
mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongannya ini sesuai
dengan pinsip dalam UU Kewargnegaraan NO. 62 Tahun 1958. Kecondongan pada
sistem hukum ayah demi kesatuan hukum,memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan
dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbed dari ayah, lalu trjadi
perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan
membesarkan anaknya yang berbeda kewrganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut
masih dibawah umur.
c. 3 asas hukum yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan dan kepastian hukum. Menurut aliran
Utilitarian, keadilan dapat diukur dari seberapa besar suatu dampak bagi kesejahteraan
manusia (human welfare). Keadilan bagi sang anak dapat diperoleh dengan suatu
perlakuan yang adil tanpa diskriminasi untuk memperoleh hak-hak yang sewajarnya
diperoleh bagi anak-anak lain yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dalam hal
nafkah bagi kelangsungan hidup, pendidikan dan masa depannya, termasuk juga hak
waris. Asas kemanfaatan, dengan berdasar pada putusan ini bagi sang anak akan
mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan adanya tanggung jawab ayahnya baik itu
berupa nafkah, waris maupun ketenangan psikologis yang berdampak pada kehidupan
sosialnya karena statusnya sebagai seorang anak yang mempunyai ayah dan ibu. Asas
kepastian hukum dapat dijelaskan bahwa asal-usul anak jelas dapat diketahui siapa ayah
biologisnya, bahwa anak tersebut dilahirkan dari sebuah hubungan biologis laki-laki dan
perempuan, karena tidak mungkin seorang perempuan tiba-tiba hamil tanpa melakukan
hubungan biologis dengan seorang laki-laki.