Anda di halaman 1dari 11

TUGAS Resume

MATAKULIAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Oleh:

ARINDRA PURNAMA

( 1810111018 )

DOSEN PENGAMPUH:

Drs. ALI AMRAN, SH., MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS
Materi kelompok 5

A. Harta Perkawinan Akibat Sengketa Yang Terjadi Setelah Perceraian

Harta bersama dalam perkawinan (gonogini) diatur dalam hukum positif, baik UU
Perkawinan, KUHPerdata. Dengan demikian, segala urusan yang berkenaan dengan
harta bersama perlu didasari kedua sumber hukum positif tersebut.

Ketentuan umum harta bersamamerupakan pengembangan dari dasar hukum positif


tentang harta bersama, yaitu bagaimana memperlakukan harta bersama sebelum harta
ini dibagi. Atau dengan kata lain, ketentuan umum mencakup pengaturan hukum bagi
suami istri yang 3 masih memiliki hubungan perkawinan terhadap harta bersama
mereka.

1. Pengurusan Harta Bersama Dalam Perkawinan.

Di bagian ini akan dijabarkan bagaimana ketentuan hukum tentang pengurusan harta
bersama. Menurut ketentuan KUHPerdata, suami sendirilah yang berhak mengurus
harta bersama, termasuk berwenang melakukan berbagai perbuatan terhadap harta
tersebut. Istri tidak berhak mencampuri kewenangan suami. Dasar dari ketentuan ini
adalah bahwa suami merupakan kepala rumah tangga yang bertanggung jawab
terhadap segala urusan yang berkenaan dengan kehidupan rumah tangga, termasuk
dalam hal pengurusan harta bersama. Ketentuan tersebut diatur dalam KUHPerdata
Pasal 124 ayat 1, kecuali dalam hal yang diatur dalam Pasal 140”. Namun, suami
tidak diperbolehkan mengurus sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 140 ayat 3.

Suami ternyata dibatasi oleh dua hal sebagai berikut:

a. Dibatasi oleh Undang-undang.

Kekuasaan suami dalam mengurus harta bersama dibatasi oleh undang-undang. Hal
ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 124 ayat 3. Suami dan istri juga boleh
menghibahkan secara bersama-sama. Pasal 124 ayat 3 di atas memberikan
pengecualian terhadap hibah yang difungsikan untuk memerhatikan kedudukan anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka.

b. Dibatasi dengan Kesepakatan Suami Istri dalam Perjanjian Perkawinan.


Dalam perjanjian perkawinan dapat ditentukan bahwa suami tanpa bantuan istri tidak
dapat memindahtangankah atau membebani:

▪ Benda-benda bergerak, dan

▪ Surat-surat pendaftaran dalam buku besar perutangan umum, surat-surat berharga


lain, piutang-piutang atas nama (benda-benda bergerak atas nama). Yang dimaksud
benda-benda bergerak atas nama, misalnya atas nama istri dan dibawa masuk dalam
perkawinan, atau barang-barang yang diperoleh sang istri sepanjang perkawinan.

2. Hak Istri dalam Harta Bersama Dalam Perkawinan.

Sebagaimana telah dibahas bahwa suami mempunyai kekuasaan yang begitu besar
atas harta bersama, baik dalam pengurusan (beheren) maupundalam perbuatan-
perbuatan yang sifatnya memutus (beschikken) tanpa bantuan dan bahkan tanpa
sepengetahuan istri. Meskipun demikian, istri mempunyai sejumlah hak yang
didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu.Istri diperbolehkan membebani atau
memindahtangankan barang-barang persatuan dengan kondisi sebagaimana
ditentukan dalam KUHPerdata Pasal 125.

3. Penggunaan Harta Bersama Dalam Perkawinan.

Oleh karena adanya kebersamaan harta kekayaan antara suami istri, maka harta
bersama menjadi hak milik keduanya. Untuk menjelaskan hal ini sebenarnya ada
duamacam hak dalam harta bersama, yaitu hak milik dan hak guna. Harta bersama
suami dan istri memang telah menjadi hak milik bersama, namun jangan dilupakan
bahwa di sana juga terdapat hak gunanya. Artinya, mereka berdua sama-sama berhak
menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapat persetujuan dari
pasangannya. Jika suami yang akan menggunakan harta bersama, dia harus mendapat
izin dari istrinya. Demikian hal sebaliknya, istri harus mendapat izin suaminya jika
akan menggunakan harta gono-gini. UU Perkawinan Pasal 36 ayat 1 menyebutkan,
“Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak”.
4. Harta Bersama Dalam Perkawinan dalam Perkawinan Poligami.

Bagaimana dengan ketentuan hukum terhadap perkawinan poligami (beristri lebih


dari seorang)? KUHPerdata Pasal 180 mengatur bahwa, “juga dalam perkawinan
kedua dan berikutnya, menurut hukum ada harta benda menyeluruh antara suami istri,
jika dalam perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”. Artinya, ketentuan
tentang harta bersama juga berlaku untuk perkawinan secara poligami, asalkan tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan yang dibuat pasangan suami istritersebut
Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari
seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Berdasarkan ketentuan ini, harta
bersama dalam perkawinan poligami tetap ada, tetapi dipisahkan antara milik istri
pertama, kedua, dan seterusnya.

5. Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Setelah Perceraian.

Harta bersama umumnya dibagi dua sama rata di antara suami dan istri. Hal ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 128 KUHPerdata.Pembagian harta bersama
bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara
mana yang merupakan hak suami dan mana hak istri. Bagaimana jika terjadi
perselisihan di antara mereka? tentang hal ini, apabila terjadi perselisihan antara
suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
pengadilan.

B. Persoalan Keadilan Dalam Pengaturan Harta Bersama dan Manfaat


Perjanjian Kawin Jika Terjadi Perceraian.

1. Persoalan Keadilan Dalam Pengaturan Harta Bersama.

Pembagian harta bersama dalam perkawinan perlu didasarkan pada aspek keadilan
untuk semua pihak yang terkait keadilan yangdimaksud mencakup pada pengertian
bahwa pembagian tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak. Kepentingan
masing-masing pihak perlu diakomodasi asalkan sesuai dengan kenyataan yang
sesungguhnya.Dalam persoalan harta milik dan harta bersama serta nafkah di dalam
dan setelah bubarnya perkawinan, pihak perempuan kerap menjadi pihak yang
dirugikan. Hal itu lagi-lagi disebabkan pasangan yang menikah biasanya tidak pernah
memikirkan harta bawaannya masing-masing serta harta bersama dan harta milik
yang didapat setelah perkawinan.

2. Manfaat Perjanjian Kawin

a. Manfaat Perjanjian Perkawinan Bagi Kehidupan Pribadi Masing-masing Suami-


istri.

Dalam ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, ditemukan suatu


rumusan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin yang bertujuan untuk
menciptakan kehidupan rumah tangga yang harmonis dan suci. Namun tidak jarang
terjadi, kesucian ramah tangga tersebut diracuni oleh gesekan-gesekan yang
dipantulkan oleh kesalahpahaman dan atau kecemburuan dalam hal pemanfaatan harta
bersama. Dalam kaitan ini, maka manfaat Perjanjian Perkawinan antara lain sebagai
berikut:

1. Kebebasan Bertindak.

2. Penegakkan Rasa Keadilan.

3. Peningkatan Kualitas Kerja.

4. Peningkatan Taraf Ekonomi Negara.

b. Manfaat Perjanjian Perkawinan dalam Hal Penyelesaian Kasus Perkawinan Pada


Lembaga Peradilan.

Telah menjadi suatu asumsi umum bahwa berperkara pada Lembaga Peradilan tidak
hanya akan menelan waktu yang relatif lama akan tetapi juga dibutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Dalam konteks berperkara pada Lembaga Peradilan ditemukan suatu
adegium “Tidak ada biaya, tidak ada perkara”. Dengan adanya Perjanjian Perkawinan
setidak-tidaknya diperoleh dua hal utama kemanfaatan, yaitu:

1. Penghematan Waktu.

2. Penghematan Biaya
Ada dua bentuk penyelesaian sengketa harta bersama di Lembaga Peradilan, yaitu:

1. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Melalui Cara Damai dengan Dibuat Akta
Perjanjian Bersama Antara Pihak-pihak yang Bersengketa.

2. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Melalui Putusan Hakim Bukan Karena Hasil
Perdamaian/Kesepakatan Para Pihak.

Resume kelompok 6

LI’AN

Menurut istilah Hukum Islam, li’an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika
ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk
orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima
disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam
tuduhannya itu.

Terdapat beberapa rukun dan syarat li’an, antara lain:

1. Rukun Li’an

Rukun li’an adalah sebagai berikut:

a. Suami, tidak akan jatuh li’an apabila yang menuduh zina atau yang mengingkari
anak itu laki-laki lain yang tidak mempunyai ikatan pernikahan (bukan suaminya).

b. Istri, tidak akan jatuh li’an apabila yang dituduh tersebut bukan istrinya.

c. Shighat atau lafadz li’an, yaitu lafadz yang menunjukkan tuduhan zina atau
pengingkaran kandungan kepada istrinya.

d. Kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah.

2. Syarat Li’an :

a) Syarat wajib

b) Syarat pelaksanaan
Menurut mazhab Hanafi, syarat wajib li’an ada tiga:

a. Adanya ikatan perkawinan dengan seorang wanita, meski si suami belum


mencampurinya.

b. Hukum nikahnya sah (mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali menolak syarat ini). Dan
bukanlah pada nikah fasid (nikah tanpa wali atau nikah tanpa saksi)13 .

c. Suami dan istri memiliki kelayakan atau kecakapan untuk bersaksi atas lainnya,
yaitu mereka berdua merdeka, berakal, baligh, muslim, bisa berbicara dan tidak
dibatasi dalam menuduh. Mazhab Maliki menolak keIslaman pada diri istri dan
hanya mensyaratkan Islam pada diri suami.

Tentang syarat pelaksanaan, Mazhab Hanafi menyebutkan enam syarat:

a. Di hadapan hakim atau wakilnya

b. Dilakukan setelah diperintahkan hakim

c. Mengucapkan lima lafal li’an

d. masing-masing keduanya mengucapkan lafal-lafal itu seperti saling melaknat,


sebagaimana yang sudah disebutakan dalam al-Qur’an.

e. Lafal-lafal li’an diucapkan secara berurutan. Suami juga harus memulai sumpah
dan setelahnya istri yang mengucapkannya.

f. Masing-masing dari keduanya menunjuk pihak lain bila dia ada (hadir) atau
menyebut namanya bila dia tidak ada.

Syarat-syarat Sah Li’an :

a. Syarat-syarat penuduh zina (suami)

Li’an diperbolehkan dan dianggap sah jika penuduh (suami), tidak bisa menunjukkan
bukti atas perzinahan yang ia tuduhkan pada istrinya. Sebab Allah SWT mensyaratkan
hal tersebut dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 6-9. Adapun jika ia dapat
menghadirkan saksi yang menyatakan bahwa istrinya telah berzina, maka li’an tidak
diperbolehkan dan sebagai gantinya pelaksanaan hukuman zina atas dirinya. Jika
suami mampu menghadirkan bukti, maka ia berhak untuk tidak mengajukan bukti
(empat saksi) dan menuntut li’an saja. Hal itu diperbolehkan baginya karena bukti
(empat saksi) dan li’an merupakan dua bukti (yang memiliki kekuatan yang sama)
dalam menetapkan hak suami, sehingga ia pun boleh memilih salah satunya meskipun
mampu melaksanakan yang lain.

b. Syarat-syarat tertuduh zina (istri)

 Istri menyangkal tudingan zina atas dirinya

Jika ia mengakui perzinaannya, maka ia langsung dikenai hukuman zina karena


terbuktinya perbuatan zina dengan pengakuannya dan tidak perlu dilakukan li’an.
Sebab li’an berstatus sebagai bukti yang hanya boleh dilakukan jika ada penyangkalan
dari pihak istri.

 Istri dikenal sebagai pribadi yang konsisten menjaga kehormatannya dan bersih
dari perzinaan.

c. Syarat-syarat bersama kedua belah pihak

1. Adanya jalinan perkawinan antara mereka

Allah mengkhususkan ketentuan li’an bagi pasangan suami istri, dan menjadikan
li’an mereka sebagai bukti atas apa yang dituduhkan suami terhadap istrinya.

Alasan dibolehkannya melakukan li’an dalam kondisi pernikahan yang tidak sah
(fasid) adalah karena li’an bertujuan untuk menyangkal anak, mengingat nasab
dalam pernikahan yang fasid tetap diakui (sebagai anak suami) sebagai halnya dalam
pernikahan yang sah, sehingga dari sisi ini li’an bisa diberlakukan di dalamnya.

2. Mengingkari Kandungan

Jika suami mengingkari kandungan dan ia mengaku bahwa ia telah


mengistibrakkan istrinya dan tidak menggaulinya sesudah istibrak.

a. Waktu mengingkari kandungan

Jumhur ulama berpendapat bahwa suami boleh mengingkari kandungan sewaktu


istrinya hamil dan dalam ikatan perkawinan. Abu Hanifah berpendapat, suami tidak
boleh mengingkari anak sampai istrinya melahirkan. Karena kandungan itu kadang-
kadang mengalami keguguran. Oleh karena itu, hanya keyakinan yang menjadi alasan
terkuat untuk melakukan li’an. Abu Hanifah juga berpendapat bahwa suami boleh
berli’an sekalipun ia tidak mengingkari kandungan, kecuali pada waktu melahirkan
dan menjelang saat melahirkan. Tetapi Abu Hanifah tidak memberikan batasan waktu
untuk pengingkaran tersebut.

b. Pengingkaran Kandungan Setelah Talak Segolongan fuqaha berpendapat bahwa


suami tidak boleh mengingkari kandungan kecuali pada masa iddah saja. Jika ia
mengingkarinya selain pada masa iddah, maka ia terkena hukuman hadd, dan anak
yang dalam kandunga dinasabkan pada suami22 .

c. Masa Berlangsungnya Hukuman Li’an Jumhur ulama berpendapat bahwa li’an

berlangsung hingga akhirnya masa mengandung yang panjang. Fuqaha Zhahiri


berpendapat bahwa batasan pendek masa hamil yang wajib hukum li’an adalah
seperti lumrahnya masa hamil, yaitu Sembilan bulan dan mendekati Sembilan bulan

Tata cara li’an sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 127 Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau mengingkari anak
tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila
tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”.

2. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali
dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar” diikuti sumpah
kelima denagn kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut benar;

3. Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan;

4. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap
tidak terjadi li’an.
Seorang suami yang menuduh istrinya telah berbuat zina, tidak boleh dipaksa untuk
mengucapkan sumpah li’an , demikian juga dalam hal seorang istri yang dili’an oleh
suaminya, tidak boleh dipaksa untuk melakukan sumpah balasan atas sumpah yang
diangkat oleh suaminya. Dalam sebagian besar kasus, terkadang terdapat kesulitan
untuk mendapatkan saksi-saksi yang diperlukan untuk pembuktian. Dalam hal li’an,
apabila suami tidak dapat mendatangkan saksi dan bukti maka ia akan mendapatkan
had atau hukuman. Oleh karena itu suami harus mengangkat sumpah li’an didalam
pengadilan agama atau pengadilan syari’ah. Pelaksanaan li’an sebagai mana yang
telah diatur dalam Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan penerapan
pelaksanaan perceraian li’an di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:

1. Majelis Hakim memerintahkan kepada pemohon atau pihak suami untuk


mengucapkan sumpah li’an dihadapan sidang Pengadilan.

Pemohon atau pihak suami mengangkat sumpah sebanyak empat kali sebagai
berikut :“Wallahi, Demi Allah saya bersumpah bahwa istri saya telah berbuat
zina”.Dan apabila terjadi penolakan terhadap anak yang dikandung ataupun yang
telah dilahirkan oleh istrinya, maka sumpah yang diucapkan oleh pemohon atau pihak
suami sebanyak empat kali, sebagai berikut: “Wallahi, Demi Allah saya bersumpah
bahwa istri saya telah berbuat zina dan anak yang dikandung oleh istri saya
adalah bukan anak saya.”Dan pihak suami atau pemohon mengangkat sumpah yang
kelima sebanyak satu kali, sebagai berikut :“Saya siap menerima laknat Allah
apabila saya berdusta.”

2. Majelis Hakim memerintahkan kepada termohon atau pihak istri untuk mengangkat
sumpah li’an dihadapan sidang Pengadilan Agama.

Termohon atau pihak istri mengucapkan sumpah balik (nukul) sebanyak empat kali,
sebagai berikut: “Wallahi, Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak berbuat
zina.”. Dan apabila terjadi penolakan terhadap anak yang dikandung atau yang
dilahirkan oleh termohon atau pihak istri, maka termohon atau pihak istri mengangkat
sumpah balik (nukul) sebanyak empat kali, sebagai berikut:“Wallahi, Demi Allah
saya bersumpah bahwa saya tiak berbuat zina dan anak yang ada didalam
kandungan saya adalah anak suami saya.”. Dan pihak istri mengucapkan sumpah
yang kelima sebanyak satu kali, sebagai berikut:“Saya siap menerima murka Allah
apabila saya berdusta.”.
Perkara li’an adalah proses penyelesaian dari perceraian atas alasan zina. Berdasarkan
Pasal 87 dan 88 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo Undang-Undang No.3
Tahun 2006 jo Undang-Undang No.50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka
proses li’an adalah sebagai bukti terakhir dari perkara zina, setelah hakim
menganggap bahwa alat bukti yang diajukan pemohon itu belum mencukupi.

Anda mungkin juga menyukai