PERJAJIAN PERKAWINAN
Dosen Pengampu:
Andang Sari, SH, MH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
BEKASI
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan kodratnya, manusia mempunyai naluri untuk untuk selalu ingin hidup
bersama, saling berinteraksi, serta mempertahankan keturunan. Untuk itu manusia melakukan
perkawinan. Perkawinan dilakukan antara dua jenis kelamin manusia yang berbeda yakni laki-
laki dan perempuan yang bisanya didahului dengan saling ketertarikan satu sama lain untuk
hidup bersama. Tambahan pula, bahwa dalam kehidupan sosial, manusia berinteraksi dan
interaksi tersebut merupakan perbuatan hukum yang melahirkan hak dan dan kewajiban. Sebagai
perbuatan hukum, perkawinan memerlukan ketentuan yang mengatur agar perkawinan dan
keturunan yang dilahirkan dikatakan sah menurut hukum (syariah).
Perbuatan hukum dikelompokan menjadi dua; pertama perbuatan hukum sepihak, yakni
perbuatan yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu
pihak pula, seperti pemberian surat wasiat, pemberian hibah dan lain sebagainya; kedua perbutan
hukum dua pihak, yakni perbuatan yang dilakukan dua pihak yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi keduanya, sepertipembuatan perjanjian perkawinan, perjanjian jual-beli dan lain-
lain.
Pada kajian ini akan dibahas lebih dalam mengenai perjanjian perkawinan, yag akan
dijelaskanb pada bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksdu dengan perjanjian perkawinan?
2. Apa saja isi dari Perjanjian Perkawinan?
3. Apa akibat hukum Perjanjian perkawinan?
BAB II
PEMBAHASAN
Perjanjian perkawinan merupakan istilah ynag diambilkan dari judul Bab V UU Nomor 1
tahun 1974 yang berisi satu pasal, yaitu pasal 29. Sedangkan mengenai pengertian perjanjian
perkawinan ini tidak diperoleh penjelasan, hanya mengatur tentang kapan perjanjian kawin itu
dibuat, hanya mengatur tentang keabsahanya, tentang saat berlakunya dan tentang dapat
diubahnya perjanjian itu. Jadi sama sekali tidak mengatur tentang materi perjanjian seperti yang
diatur dalam KUH Perdata.
Perjanjian kawin ialah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami isteri,
sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian perkawinan tidak hanya sebatas memperjanjikan
masalah keuangan/harta, ada hal lain yang juga penting diperjanjikan, misalnya tentang
kekerasan dalam rumah tangga, memperjanjikan salah satu pihak untuk tetap melanjutkan kuliah
meski sudah menikah dan sebagainya.
Ayat (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan , kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan, setelah masuk isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
Ayat (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama
dan kesusilaan.
Sebenarnya UU No.1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang perjanjian
perkawinan, hanya dinyatakan bahwa kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis
yaitu Perjanjian Perkawinan. Dalam ketentuan ini tidak disebutkan batasan yang jelas, bahwa
Perjanjian Perkawinan itu mengenai hal apa. Sehingga dapat dikatakan bahwa Perjanjian
Perkawinan UU ini mencakup banyak hal. Disamping itu UU perkawinan tidak mengatur lebih
lanjut tentang bagaimana hukum Perjanjian Perkawinan yang dimaksud.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan tidak mengatur lebih lanjut bagaimana tentang Perjanjian Perkawinan
dimaksud, hanya disebutkan bahwa kalau ada Perjanjian Perkawinan harus dimuat di dalam akta
perkawinan (Pasal 12 h). Ketentuan tentang Perjanjian Perkawinan juga diatur dalam KUH
Perdata Pasal 139, yang menetapkan bahwa dalam perjanjian kawin itu kedua calon suami isteri
dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam harta bersama, asal saja
penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum.
1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada
pihak yang lain.
2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup besar.
3. Masing-masing mempunyai usaha sendirisendiri sehingga andaikata salah satu jatuh pailit
yang lain tidak tersangkut.
4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung
gugat sendiri-sendiri.
Pasal 47 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat nikah, mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Pasal 47
ayat (2) perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan
pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangn dengan hukum
islam.
Dalam Pasal 147 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyebutkan bahwa perjanjian
perkawinan tersebut harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Pasal ini berhubungan erat
dengan Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa setelah
perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak dapat
diubah.
Ketentuan tersebut merupakan penjabaran dari asas yang terdapat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yaitu bahwa selama perkawinan berlangsung termasuk kalau
perkawinan tersebut disambung kembali setelah terputus karena perceraian, bentuk harta
perkawinan harus tetap tidak berubah. Hal tersebut dimaksudkan demi perlindungan terhadap
pihak ketiga (kreditur) supaya tidak dihadapakan kepada situasi yang berubah-ubah, yang dapat
merugikan dirinya (dalam arti jaminan harta debitur atas piutang kreditur).
Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu
pada Pasal 29 ayat (1), menentukan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum
perkawinan dilangsungkan atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Dengan demikian
mengenai waktu pembuatan perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan ditentukan lebih luas dengan memberikan dua macam waktu untuk membuat
perjanjian perkawinan, yaitu sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan (Soetojo
Prawirohamidjojo, 1994: 61).
Maka demikian, dengan telah adanya atau ditentukannya saat pembuatan perjanjian
perkawinan tersebut maka tidak diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan setelah
perkawinan berlangsung apabila sebelum atau pada saat perkawinan tidak telah diadakan
perjanjian perkawinan.
Dari segi tujuan dan manfaat dibuatnya Perjanjian perkawinan masih sedikit calon
pengantin yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang positif. Hal ini dikarenakan masih
dianggap tabu dan pamali di masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang dapat menerima konsep
pemikiran tentang pembuatan Perjanjian Perkawinan, tetapi lebih banyak masyarakat yang
belum menerimanya, disebabkan adanya pandangan negatif yang menganggap Perjanjian
Perkawinan sebagai sesuatu yang tidak umum, tidak etis, kecurigaan, egois, tidak sesuai dengan
budaya orang timur yang penuh etika.
Mengenai isi yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, dalam ilmu hukum
dapat dikemukakan pendapat antara lain sebagai berikut :
a. Perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum
(Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
b. Perjanjian itu tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh Kitab Undang Hukum
Perdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan
bahwa isteri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat (1).
c. Dalam perjanjian itu suami isteri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi harta
peninggalan anak-anak mereka (Pasal 141).
d. Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung hutang
lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142). Pitlo berpendapat
sebagaimana dikutip oleh Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin dalam bukunya : bahwa janji
yang demikian harus dianggap tidak ada karena bertentangan dengan undangundang. Dengan
demikian suami isteri masing-masing menanggung setengah bagian dari hutang maupun
keuntungan (Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1987: 80).
e. Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang
berlaku dalam suatu negara asing (Pasal 143). Yang dilarang bukanlah mencantumkan isi
hukum asing dengan perincian pasal demi pasal, tetapi menunjuk secara umum pada hukum
asing itu. Larangan ini dimaksudkan agar terdapat kepastian hukum mengenai hak-hak suami
istri, terutama untuk kepentingan pihak ketiga yang mungkin tidak menguasai hukum negara
asing yang ditunjuk.
f. Janji itu tidak boleh dibuat dengan kata-kata umum bahwa kedudukan mereka akan diatur
oleh hukum adat dan sebagainya (Pasal 143 Kitab UndangUndang Hukum Perdata).
C. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh calon
suami isteri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat
perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian ini tidak hanya sebatas memperjanjikan
masalah keuangan, namun hal lainnya dapat pula diperjanjikan.