Anda di halaman 1dari 10

Tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan Dan Kekeluargaan

PERJAJIAN PERKAWINAN

Dosen Pengampu:
Andang Sari, SH, MH

Miftahulvi Dwi Ashari


201710115243
4A4

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
BEKASI
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodratnya, manusia mempunyai naluri untuk untuk selalu ingin hidup
bersama, saling berinteraksi, serta mempertahankan keturunan. Untuk itu manusia melakukan
perkawinan. Perkawinan dilakukan antara dua jenis kelamin manusia yang berbeda yakni laki-
laki dan perempuan yang bisanya didahului dengan saling ketertarikan satu sama lain untuk
hidup bersama. Tambahan pula, bahwa dalam kehidupan sosial, manusia berinteraksi dan
interaksi tersebut merupakan perbuatan hukum yang melahirkan hak dan dan kewajiban. Sebagai
perbuatan hukum, perkawinan memerlukan ketentuan yang mengatur agar perkawinan dan
keturunan yang dilahirkan dikatakan sah menurut hukum (syariah).

Perbuatan hukum dikelompokan menjadi dua; pertama perbuatan hukum sepihak, yakni
perbuatan yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu
pihak pula, seperti pemberian surat wasiat, pemberian hibah dan lain sebagainya; kedua perbutan
hukum dua pihak, yakni perbuatan yang dilakukan dua pihak yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi keduanya, sepertipembuatan perjanjian perkawinan, perjanjian jual-beli dan lain-
lain.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan


pengertian mengenai perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Atas dasar ini, perkawinan diharapkan dapat
membentuk keluarga bahagia dan kekal, serta diharapkan berjalan lancar, tanpa hambatan, dan
bahagia selama-lamanya sesuai dengan prinsip atau azas dari suatu perkawinan.

Pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1974 sebenarnya sekaligus merupakan upaya untuk


melaksanakan unifikasi hukum keluarga, khususnya dalam bidang perkawinan dan aspek lain
yang terkait dengan perkawinan, tetapi unifikasi yang dimaksudkan belum sesempurna seperti
yang diharapkan.16 Untuk mengatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 belum mengatur semua
aspek-aspek yang terkait dengan hukum keluarga, maka perlu dilihat substansi UU No. 1 Tahun
1974, yang secara garis besarnya mengatur tentang: (1) dasar perkawinan; (2) syarat-syarat
perkawinan; (3) pencegahan perkawinan; (4) batalnya perkawinan; (5) perjanjian perkawinan,
(6) hak dan kewajiban suami isteri, (7) harta benda dalam perkawinan, (8) putusnya perkawinan
serta akibatnya; (9) kedudukan anak; (10) hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, (11)
perwalian, (12) pembuktian asal usul anak; (13) perkawinan di luar Indonesia; dan (14)
perkawinan campuran.

Pada kajian ini akan dibahas lebih dalam mengenai perjanjian perkawinan, yag akan
dijelaskanb pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksdu dengan perjanjian perkawinan?
2. Apa saja isi dari Perjanjian Perkawinan?
3. Apa akibat hukum Perjanjian perkawinan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan merupakan istilah ynag diambilkan dari judul Bab V UU Nomor 1
tahun 1974 yang berisi satu pasal, yaitu pasal 29. Sedangkan mengenai pengertian perjanjian
perkawinan ini tidak diperoleh penjelasan, hanya mengatur tentang kapan perjanjian kawin itu
dibuat, hanya mengatur tentang keabsahanya, tentang saat berlakunya dan tentang dapat
diubahnya perjanjian itu. Jadi sama sekali tidak mengatur tentang materi perjanjian seperti yang
diatur dalam KUH Perdata.

Perjanjian kawin ialah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami isteri,
sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian perkawinan tidak hanya sebatas memperjanjikan
masalah keuangan/harta, ada hal lain yang juga penting diperjanjikan, misalnya tentang
kekerasan dalam rumah tangga, memperjanjikan salah satu pihak untuk tetap melanjutkan kuliah
meski sudah menikah dan sebagainya.

Perjanjian Perkawinan umumnya mengatur ketentuan bagaimana harta kekayaan mereka


akan dibagi jika terjadi perpisahan hubungan antar keduanya, baik itu karena perceraian maupun
kematian. Perjanjian Perkawinan juga memuat hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan masa
depan rumah tangga mereka. Hal ini seperti tercantum dalam pasal 29 undang-undang No.1
tahun 1974. Pasal 29 UU No.1 tahun 1974 mengatur tentang Perjanjian perkawinan disebutkan:

Ayat (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan , kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan, setelah masuk isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.

Ayat (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama
dan kesusilaan.

Ayat (3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.


Ayat (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali dari
kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Sebenarnya UU No.1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang perjanjian
perkawinan, hanya dinyatakan bahwa kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis
yaitu Perjanjian Perkawinan. Dalam ketentuan ini tidak disebutkan batasan yang jelas, bahwa
Perjanjian Perkawinan itu mengenai hal apa. Sehingga dapat dikatakan bahwa Perjanjian
Perkawinan UU ini mencakup banyak hal. Disamping itu UU perkawinan tidak mengatur lebih
lanjut tentang bagaimana hukum Perjanjian Perkawinan yang dimaksud.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan tidak mengatur lebih lanjut bagaimana tentang Perjanjian Perkawinan
dimaksud, hanya disebutkan bahwa kalau ada Perjanjian Perkawinan harus dimuat di dalam akta
perkawinan (Pasal 12 h). Ketentuan tentang Perjanjian Perkawinan juga diatur dalam KUH
Perdata Pasal 139, yang menetapkan bahwa dalam perjanjian kawin itu kedua calon suami isteri
dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam harta bersama, asal saja
penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum.

Pada umumnya perjanjian kawin dibuat:

1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada
pihak yang lain.
2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup besar.
3. Masing-masing mempunyai usaha sendirisendiri sehingga andaikata salah satu jatuh pailit
yang lain tidak tersangkut.
4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung
gugat sendiri-sendiri.

Perjanjian sebagaimana tersebut haruslah dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan


dan haruslah dibuat dalam bentuk akta otentik dimuka notaris, akta otentik itu sangat penting
karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta
bawaan masing-masing. Jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan
dilaksanakan maka semua harta suami dan isteri terjadi perbauran. Tentang Perjanjian kawin ini
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan
ketentraman umum yang berlaku dalam masyarakat.

Pasal 47 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat nikah, mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Pasal 47
ayat (2) perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan
pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangn dengan hukum
islam.

Dalam Pasal 147 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyebutkan bahwa perjanjian
perkawinan tersebut harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Pasal ini berhubungan erat
dengan Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa setelah
perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak dapat
diubah.

Ketentuan tersebut merupakan penjabaran dari asas yang terdapat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yaitu bahwa selama perkawinan berlangsung termasuk kalau
perkawinan tersebut disambung kembali setelah terputus karena perceraian, bentuk harta
perkawinan harus tetap tidak berubah. Hal tersebut dimaksudkan demi perlindungan terhadap
pihak ketiga (kreditur) supaya tidak dihadapakan kepada situasi yang berubah-ubah, yang dapat
merugikan dirinya (dalam arti jaminan harta debitur atas piutang kreditur).

Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu
pada Pasal 29 ayat (1), menentukan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum
perkawinan dilangsungkan atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Dengan demikian
mengenai waktu pembuatan perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan ditentukan lebih luas dengan memberikan dua macam waktu untuk membuat
perjanjian perkawinan, yaitu sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan (Soetojo
Prawirohamidjojo, 1994: 61).

Maka demikian, dengan telah adanya atau ditentukannya saat pembuatan perjanjian
perkawinan tersebut maka tidak diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan setelah
perkawinan berlangsung apabila sebelum atau pada saat perkawinan tidak telah diadakan
perjanjian perkawinan.

Dari segi tujuan dan manfaat dibuatnya Perjanjian perkawinan masih sedikit calon
pengantin yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang positif. Hal ini dikarenakan masih
dianggap tabu dan pamali di masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang dapat menerima konsep
pemikiran tentang pembuatan Perjanjian Perkawinan, tetapi lebih banyak masyarakat yang
belum menerimanya, disebabkan adanya pandangan negatif yang menganggap Perjanjian
Perkawinan sebagai sesuatu yang tidak umum, tidak etis, kecurigaan, egois, tidak sesuai dengan
budaya orang timur yang penuh etika.

B. Isi Perjanjian Perkawinan

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak menjelaskan


hal-hal apa saja yang dapat diatur dalam suatu perjanjian perkawinan. Batasan yang diberikan
hanyalah perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan. Dengan demikian perjanjian perkawinan menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun
1974 tidak terbatas pada masalah harta perkawinan saja, tetapi dapat juga mengatur mengenai hal
lain.

Mengenai isi yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, dalam ilmu hukum
dapat dikemukakan pendapat antara lain sebagai berikut :

a. R. Sardjono berpendapat bahwa sepanjang tidak diatur di dalam peraturan perundang-


undangan, dan tidak dapat ditafsirkan lain, maka lebih baik ditafsirkan bahwa perjanjian
perkawinan sebaiknya hanya meliputi hak-hak yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
dibidang hukum kekayaan.
b. Nurnazly Soetarno berpendapat bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat memperjanjikan
hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan, dan hal itu
hanya menyangkut mengenai harta yang benarbenar merupakan harta pribadi suami isteri
yang bersangkutan, yang dibawa ke dalam perkawinan.
Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengandung suatu asas bahwa calon suami
istri bebas untuk menentukan isi perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Akan tetapi kebebasan
tersebut dibatasi oleh beberapa larangan yang harus diperhatikan oleh calon suami-isteri yang
akan membuat perjanjian perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan
beberapa larangan tentang isi perjanjian perkawinan yaitu:

a. Perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum
(Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
b. Perjanjian itu tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh Kitab Undang Hukum
Perdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan
bahwa isteri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat (1).
c. Dalam perjanjian itu suami isteri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi harta
peninggalan anak-anak mereka (Pasal 141).
d. Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung hutang
lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142). Pitlo berpendapat
sebagaimana dikutip oleh Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin dalam bukunya : bahwa janji
yang demikian harus dianggap tidak ada karena bertentangan dengan undangundang. Dengan
demikian suami isteri masing-masing menanggung setengah bagian dari hutang maupun
keuntungan (Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1987: 80).
e. Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang
berlaku dalam suatu negara asing (Pasal 143). Yang dilarang bukanlah mencantumkan isi
hukum asing dengan perincian pasal demi pasal, tetapi menunjuk secara umum pada hukum
asing itu. Larangan ini dimaksudkan agar terdapat kepastian hukum mengenai hak-hak suami
istri, terutama untuk kepentingan pihak ketiga yang mungkin tidak menguasai hukum negara
asing yang ditunjuk.
f. Janji itu tidak boleh dibuat dengan kata-kata umum bahwa kedudukan mereka akan diatur
oleh hukum adat dan sebagainya (Pasal 143 Kitab UndangUndang Hukum Perdata).
C. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan

Perjanjian Perkawinan atau perjanjian pranikah (prenuptial agreement) dalam Kitab


UndangUndang Hukum Perdata maupun UndangUndang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan merupakan suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan
mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang – Undang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang


Perkawinan, Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatatan
Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut, berarti perjanjian itu harus diadakan sebelum dilangsungkannya perkawinan.
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan apabila melanggar batas – batas hukum, agama dan
kesusilaan (pasal 29 ayat 2) serta dalam pasal 29 ayat 3 menyebutkan bahwa perjanjian
perkawinan tersebut mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung.

Terakhir dalam pasal 29 ayat 4 menyatakan bahwa selama perkawinan berlangsung


perjanjian tidak boleh ditarik kembali atau diubah selama berlangsungnya perkawinan kecuali
adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. Selain itu,
menurut Pasal 73 Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil, perjanjian perkawinan juga harus dilaporkan
kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.
Perjanjian perkawinan ini haruslah dibuat dengan akta notaris, selain itu dapat dibuat dengan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pengawas Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan itu
berlangsung dan mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan.
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh calon
suami isteri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat
perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian ini tidak hanya sebatas memperjanjikan
masalah keuangan, namun hal lainnya dapat pula diperjanjikan.

Perjanjian Perkawinan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW), Undang-Undang Nomor 1 tahun l974 tentang
Perkawinan disertai dengan Peraturan Pelaksanaan Nomor 9 Tahun 1975, dan Inpres Nomor 1
Tahun 1974 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, maka di Indonesia telah terjadi
unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan. Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata atau
Burgerlijk Wetboek (BW) masih tetap berlaku, sepanjang masalah yang berkaitn dengan tersebut
tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun l974, dan Inpres Kompilasi
Hukum Islam Nomor 1 Tahun 1974.

Perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung berakibat bahwa


perjanjian tersebut batal demi hukum karena tidak sesuai dengan peraturan perundang–undangan
mengenai perjanjian perkawinan serta tidak memenuhi syarat objektif sahnya suatu perjanjian
yaitu suatu sebab yang halal. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif maka disebut
batal demi hukum. Batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Anda mungkin juga menyukai