Anda di halaman 1dari 75

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JAMBI
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

Kewenangan Notaris Dalam Menerapkan Konsep Cyber


Notary Di Indonesia
Notary Authority To Electronically Legalize Transaction (Cyber Notary)

MAKALAH

ADY PRABOWO
P2B219026

UNIVERSITAS JAMBI
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
JAMBI
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................1

B. Perumusan masalah........................................................................10

BAB II PENERAPAN KONSEP CYBER NOTARY BERDASARKAN

PERATURAN PERUNDNAG-UNDANGAN.....................................11

A. Bagaimana Kewenangan Notaris Dalam Penerapan Konsep

Cyber notary di Indonesia ?...........................................................11

B. Bagaimana Keabsahan Akta Notaris Yang Dibuat Secara

Elektronik (Cyber notary)?.............................................................28

BABIII PENUTUP...............................................................................................62

A. Kesimpulan......................................................................................62

B. Saran................................................................................................63

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................64
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara

hukum.Negara berdasarkan atas hukum ditandai dengan beberapa asas

diantaranya adalah bahwa semua perbuatan atau tindakan seseorang baik

individu maupun kelompok, rakyat maupun pemerintah harus didasarkan

pada ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang sudah ada

sebelum perbuatan atau tindakan itu dilakukan atau didasarkan pada peraturan

yang berlaku. Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan

perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.Kepastian,

ketertiban dan perlindungan hukum menuntut bahwa dalam kehidupan

masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak

dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.1

Indonesia yang berada dalam era globalisasi yang ditandai dengan

perkembangan TIK tersebut yakin bahwa peran informasi berperan untuk

memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya.

Selain itu, kemajuan teknologi informasi juga mempengaruhi kondisi sosial

pada masa yang akan datang, seperti sistem pelayanan medis, sistem

pelayanan pendidikan, sistem pelayanan administrasi pemerintahan dan

berbagai aspek kehidupan lainnya. Kemajuan teknologi informasi juga akan

1
Abdul Ghofur Anshori, 2016, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum
Dan Etika, UII Press, 2016, Yogyakarta, hlm 13.

1
2

berdampak pada kinerja notaris yang perlahan-lahan akan berubah di masa

depan, sesuai dengan tuntutan masyarakat modern dan kemajuan zaman yang

berkembang pesat

Kemajuan teknologi informasi membawa dampak positif bagi

peningkatan perekonomian suatu bangsa.Transaksi elektronik adalah salah

satu bukti dari kemajuan teknologi informasi yang sangat dirasakan oleh

masyarakat.Internet merupakan suatu media komunikasi dan bertukar fikiran

yang memiliki sifat ilmiah dapat menyatukan semua jaringan yang ada pada

saat ini menjadi suatu sistem jaringan informasi tunggal di seluruh dunia

sehingga dapat dijadikan sebagai wadah internasional yang dapat menyatukan

semua fungsi-fungsi telekomunikasi, informasi, dan elektronik.Kesemua

fungsi ini dapat menghasilkan data, video, gambar, suara, ataupun faks dan

telepon dengan kecepatan yang luar biasa.Informasi di dalam fasilitas internet

sangat luas. Hampir seluruh aspek kehidupan, perdagangan, pendidikan,

sampai hiburan ada di dalam internet.Di dalam internet juga terdapat

informasi yang menawarkan beberapa produk barang ataupun jasa yang

dibutuhkan.Kegiatan inilah yang dikenal dengan kegiatan transaksi yang

dilakukan secara elektronik (electronic commerce atau online contract) atau

transaksi elektronik.

Transaksi yang dilakukan secara elektronik pada dasarnya dilakukan

dengan tidak mempertemukan secara langsung (face to face) para pihak,

seperti dalam pembuatan akta oleh notaris yang pada umumnya.Hal ini

menunjukkan bahwa penggunaan internet bisa dikatakan sangat kompleks


3

karena lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan transaksi konvensional

biasa.Hadirnya metode transaksi secara elektronik ini tentunya harus

diimbangi oleh peraturan-peraturan yang dapat menjamin kepastian hukum

bagiunsur-unsur yang ada dalam transaksi yang dilakukan secara elektronik

yang saat ini menjadi bagian kehidupan sehari hari.

Peran notaris dituntut untuk bisa turut serta dalam perkembangan

teknologi dan informasi tersebut, karena di dalam suatu transaksi elektronik

tersebut sangat dimungkinkan adanya campur tangan notaris sebagai pihak

ketiga yang dipercaya layaknya peran notaris dalam transaksi konvensional.

Sangat tidak tepat apabila notaris masih menggunakan cara konvensional

dalam pelayanan jasa di bidang transaksi elektronik, karena kecepatan,

ketepatan waktu dan efesiensi sangatlah dibutuhkan oleh para pihak.

Perkembangan fungsi dan peran notaris dalam suatu transaksi elektronik

tersebut kemudian dipopulerkan dengan istilah Cyber notary.2Notaris dituntut

untuk bisa dan mampu menggunakan konsep cyber notary agar tercipta suatu

pelayanan jasa yang cepat, tepat dan efesien, sehingga mampu mempercepat

laju pertumbuhan ekonomi.

Berkembangnya wacana cyber notary menjadikan seorang notaris

dapat menjalankan fungsi serta kewenangan jabatannya dengan berbasis

teknologi, seperti membuat akta secara elektronik. Konsep akta elektronik

dimaksudkan untuk mempermudah serta mempercepat tugas dan kewenangan

notaris dalam membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian

2
Edmon Makarim, 2011, Kajian Hukum Terhadap Kemungkinan Cyber notary Di
Indonesia’, Jurnal Hukum Dan Pembangunan, Vol 41 (2011),hlm 468.
4

serta ketetapan yang diharuskan Undang-Undang atau yang dikehendaki oleh

para pihak berkepentingan agar dinyatakan dalam akta otentik. Cyber notary

merupakan suatu konsep notaris pada umumnya yang menjalankan fungsi

notaris dengan mengaplikasikannya ke dalam transaksi atau hubungan secara

elektronik melalui internet sebagai media utama dalam kinerjanya untuk

membuat suatu akta notaris dan mengarah kepada bentuk akta yang awalnya

sah apabila tertuang dalam kertas, menuju ke akta secara elektronik (akta

elektronik) atau dalam bentuk dokumen elektronik.

Berdasarkan penjelasan Pasal 15 ayat (3) tersebut dapat diketahui

bahwa Notaris memiliki kewenangan lain salah satunya adalah kewenangan

mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary).

Cyber notary merupakan konsep yang memanfaatkan kemajuan teknologi

dalam menjalankan tugas dan kewenangan Notaris.3 Penggunaan media

elektronik sebagai salah satu bentuk perkembangan teknologi informasi

dewasa ini telah banyak memberi kemudahan bagi notaris di dalam

menunjang tugas dan pekerjaannya seperti penggunaan email dan fax dalam

berkomunikasi, penggunaan komputer untuk pembuatan akta dan salinannya,

pembuatan laporan bulanan notaris, perkembangan terakhir adalah

penggunaan jaringan internet untuk akses ke situs administrasi hukum umum

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia guna pendaftaran pendirian atau

pemberitahuan perubahan anggaran dasar suatu Badan Hukum, serta

pendaftaran Fidusia.

3
R.A. Emma Nurita, 2012, Cyber notary Pemahaman Awal Dalam Konsep
Pemikiran, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm 47.
5

Ketentuan Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang Jabatan Notaris maka

konsep cyber notary dapat dimaknai sebagai notaris yang menjalankan tugas

atau kewenangan jabatannya dengan berbasis teknologi informasi yang

berkaitan dengan tugas dan fungsi notaris, khususnya dalam pembuatan akta,

atau secara sederhana konsep cyber notary ingin memberi bingkai hukum

yaitu agar tindakan menghadap para pihak atau penghadap dan notarisnya

tidak lagi harus bertemu secara fisik di suatu tempat tertentu, dalam hal ini

bisa saja para pihak berada di suatu tempat yang berbeda dengan tempat

kedudukan atau wilayah jabatan notaris, di sisi lain para pihak berada pada

tempat yang berbeda pula. Hadirnya kewenangan notaris dibidang cyber

notary dapat dipandang sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan

teknologi saat ini.

Suatu kenyataan sosial menunjukkan perkembangan teknologi

informasi yang begitu pesat telah mengubah pola dan perilaku masyarakat,

diantaranya dalam transaksi bisnis telah terjadi pergeseran dari pola

konvensional dengan cara bertatap muka atau kontrak offline ke arah era

kontrak elektronik dengan cara online. Dengan teknologi informasi transaksi

bisnis tidak lagi dilakukan dengan cara berhadap-hadapan antara para pihak,

tapi bisa dilakukan melalui pemanfaatan teknologi informasi dimana para

pihak tidak bertemu langsung secara fisik.

Perkembangan tersebut tentunya akan membawa pengaruh terhadap

pelaksanaan kewenangan notaris yang memiliki kewenangan utama untuk

membuat akta otentik. Pranata cyber notary merupakan suatu terobosan


6

hukum yang dilakukanguna memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat,

khususnya terhadap Notaris dalam era globalisasi.4 Dengan adanya ketentuan

Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Jabatan Notaris yang dalam penjelasannya

menyebutkan bahwa notaris memiliki kewenangan di bidang cyber notary

memberikan peluang dibuatnya akta notaris dengan menggunakan media

elektronik, dalam hal ini notaris berperan dalam memberikan kepastian

hukum (aspek legal) atas suatu kontrak elektronik yang berlangsung. Namun

demikian hingga dengan saat ini belum ada penjabaran lebih lanjut serta

belum adanya peraturan yang mengatur secara khusus tentang teknis

pelaksanaan kewenangan notaris tersebut mengakibatkan ketidakjelasan

dalam implementasinya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik, “Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum

yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer,

dan/atau media elektronik lainnya.” Transaksi elektronik bukan lagi

merupakan sesuatu yang bersifat konvensional yang mana dapat dilakukan

dimana saja tidak menutup kemungkinan bersifat lintas batas negara

sebagaimana halnya dalam penjelasan pasal 2 Undang-Undang ITE tersebut

diterangkan bahwa jangkauan Undang-Undang ITE tidak mengenal batas

teritorial mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi

Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas territorial atau

Abdul Rachmad Budiono dan Cyndiarnis Cahyaning Putri, 2019, Konseptualisasi


4

Dan Peluang Cyber notary Dalam Hukum, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan, hlm 30.
7

universal. Namun di sisi lain notaris memiliki apa yang disebut sebagai

wilayah jabatan notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang

Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat

kedudukan di daerah Kabupaten atau Kota dan Notaris mempunyai wilayah

jabatan meliputi seluruh wilayah Provinsi dari tempat kedudukannya.

Pasal 17 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris mengatur bahwa

bahwa Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya.

Dalam penjelasan pasal 17 huruf a tersebut menyatakan bahwa larangan

tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada

masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar

notaris dalam menjalankan jabatannya.Artinya bahwa notaris hanya memiliki

kewenangan atas perbuatan hukum yang dilakukan dalam wilayah kerjanya,

yang meliputi seluruh provinsi di tempat kedudukan notaris yang

bersangkutan.

Ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 02 Tahun

2014 yang mengatur bahwa notaris juga mempunyai kewenangan lain yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini telah dijabarkan pada

penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 02 Tahun 2014 yang

salah satunya adalah tentang cyber notary. Apabila seorang notaris membuat

akta menggunakan cyber notary, maka berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-

undang Nomor 02 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa kewenangan lain

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain: kewenangan

mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary),


8

membuat akta ikrar wakaf dan hipotik pesawat terbang. Tidak demikian

dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang nomor 02 Tahun 2014

yang menyatakan bahwa notaris harus hadir untuk membacakan dan

menandatangani akta, selain itu akta yang dibuat tersebut masih memiliki

tanda tanya apakah sudah memenuhi keotentikan akta yang telah diatur dalam

Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau tidak

karena ketentuan dalam Pasal 1868 KUH Per merupakan syarat otensitas akta

yang menyatakan bahwa suatu akta otentik adalah akta yang dibuat dalam

bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta

dibuatnya.

Hal tersebut menimbulkan konflik norma yang terjadi pada Pasal 15

ayat (3) dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 02 Tahun

2014. Sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary merupakan

penjelasan dari Pasal 15 ayat (3) Undang-undang nomor 02 Tahun 2014

dirasa kurang begitu dimengerti, kalaupun memang diartikan sebagai

pengesahan atas suatu transaksi yang dibuat secara cyber notary sehingga

mengakibatkan transaksi tersebut dianggap sebagai akta notaris maka hal

tersebut jelas telah bertolak belakang dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m

Undang-undang Nomor 02 Tahun 2014. Di mana hal itu tidak sesuai dengan

cara pembuatan akta notaris sebagai akta otentik yang telah diatur dalam

ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 02 Tahun 2014

menjelaskan bahwa notaris wajib membacakan akta dihadapan penghadap


9

dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Sedangkan cyber notary di sini

posisi penghadap tidak langsung di hadapan notaris namun melalui alat

elektronik seperti teleconference atau Video Call. Pengesahan akta notaris

yang dibuat dengan caracyber notary sebenarnya rawan untuk disalahgunakan

oleh para pihak yang beritikad tidak baik. Apabila timbul suatu sengketa, para

pihak dapat memungkiri proses pembacaan yang tidak dilakukan dengan

benarbenar menghadap kepada Notaris.

Cyber notary dapat mengandung pengertian bahwa akta notaris yang

dibuat dengan melalui alat elektronik atau Notaris hanya mengesahkan suatu

perjanjian yang pembacaan dan penandatanganan aktanya tidak dilakukan di

hadapan Notaris.Transaksi elektronik tersebut merupakan suatu perjanjian

yang pembacaan dan penandatanganan aktanya tidak dilakukan di hadapan

notaris. Hal tersebut akan mengakibatkan apakah akta notaris tersebut telah

memenuhi ketentuan sebagai akta otentik jika dikaitkan dengan Pasal 16 ayat

(1) huruf m Undang-undang Nomor 02 Tahun 2014 dan Pasal 1868 KUH

Perdata.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka penulis

tertarik untuk mengangkat judul tentang “Kewenangan Notaris Dalam

Mengesahkan Transaksi Secara Elektronik (Cyber notary)”.


10

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan konsep cyber notary berdasarkan peraturan

perundang-undangan?

2. Bagaimana keabsahan akta yang dibuat oleh notaris yang dilakukan secara

elektronik (cyber notary)?


BAB II

A. Bagaimana Kewenagan Notaris Dalam Penerapan Cyber Notary di


Indonesia

Konsep cyber notary di Indonesia pertama kali termaktub dalam

Undang-Undang Jabatan Notaris yang disebutkan mengenai kewenangan-

kewenangan dari Notaris sebagaimana tercantum dalam pasal 15

UUJN.Kewenangan lainya dalam Pasal 15 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris terdapat ketentuan yang

menjelaskan wewenang Notaris yaitu:

Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua


perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris

berwenang pula:

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal


surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus,
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus,
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan,
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya,
12

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan


Akta,
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan,
g. membuat Akta risalah lelang.

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan. Pemerintah juga memberi wewenang baru bagi Notaris untuk

melakukan sertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik melalui

penjelasan Undang-undang No. 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris pasal 15

ayat (3). Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan Notaris ini berisi tentang kewenangan lain dari notaris yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan, untuk lebih jelasnya berikut isi

dari Pasal 15 ayat (3) dan penjelasannya yaitu “Selain kewenangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai

kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.‟

Dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN disebutkan mengenai kewenangan

notaris, “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2), Notaris mempunyai kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan”.

Penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “kewenangan

lainnya” terdapat dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) yang berbunyi: “Yang

dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan


13

perundangundangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang

dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan

hipotek pesawat terbang.” Namun demikian, dalam UU Jabatan Notaris,

masih belum terdapat definisi normatif dari cyber notary.Sehingga dalam hal

ini, konsep cyber notary dapat merujuk kepada pengertian dari para ahli.

Konsep cyber notary menurut R.A. Emma Nurita, yaitu: “Konsep cyber

notary untuk sementara dapat dimaknai sebagai notaris yang menjalankan

tugas dan kewenangan jabatannya dengan berbasis teknologi informasi yang

berkaitan dengan tugas dan fungsi notaris, khususnya dalam pembuatan

akta.”5

Kaitannya terhadap Teori Kepastian Hukum, salah satu aspeknya

adalah terdapat adanya aturan yang bersifat umum membuat individu

mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Dalam hal

ini, agar tercipta dan tercapainya salah satu tujuan hukum, yakni kepastian

hukum, diperlukan adanya suatu pemaknaan dalam rumusan cyber notary

sebagaimana termaktub dalam UU Jabatan Notaris, guna Notaris dapat

mengetahui apakah perbuatan (kewenangan Notaris dalam cyber notary)

tersebut boleh dilakukan dan sampai sejauh mana Notaris dapat

melaksanakannya, serta mengetahui batasan-batasan pengaplikasian cyber

notary dalam rangka pembuatan akta autentik. Teori Kepastian Hukum

menyatakan bahwa kepastian hukum merupakan adanya aturan yang bersifat

umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
5
R.A. Emma Nurita, Op. Cit. hlm 4.
14

boleh dilakukan. Dengan berlandaskan kepada Teori Kepastian Hukum, maka

pemaknaan terhadap kewenangan Notaris terhadap cyber notary yang semula

tidak diketahui apakah perbuatan tersebut boleh atau tidak boleh dilakukan

menjadi jelas batasannya, yakni berlaku secara limitatif terhadap sertifikasi

transaksi elektronik.

Seiring dengan perkembangan serta kemajuan teknologi, kewenangan

Notaris dalam era digital pun memiliki probabilitas terhadap kewenangannya

membuat akta. Salah satunya dapat ditinjau dalam UndangUndang Nomor 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut “UU PT”) yang

memberikan kemungkinan untuk dilakukannya Rapat Umum Pemegang

Saham (selanjutnya disebut “RUPS”) secara remote. Organ-organ Perseroan

Terbatas terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan

Komisaris yang di mana ketiga organ tersebut memiliki fungsi, tugas, dan

tanggungjawab masing-masing, sebagaimana telah diatur di dalam pasal 1

butir 4, 5, dan 6 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Ketiga organ Perseroan

tersebut di atas kekuasaan tertinggi ada pada Rapat Umum Pemegang Sama

yang di mana RUPS tidak dapat dipisahkan dari perseroan, melalui RUPS

para pemegang saham sebagai pemilik Perseroan melakukan kontrol terhadap

kepengurusan yang dilakukan direksi maupun terhadap kekayaan serta

kebijakan keengurusanyang dijalankan manajemen perseroan. Hasil risalah

RUPS merupakan akta Notaris berupa akta pejabat (relaas acten).

Dalam kaitannya dengan kewenangan notaris di bidang cyber notary


15

hal ini menimbulkan permasalahan jika dihadapkan dengan. Pasal 17 huruf a

dan Pasal 18 UUJNdimana notaris memiliki apa yang disebut sebagai wila

yah ja batan notaris. Adapun Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa :

1) Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah Kabupaten atau Kota

2) Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah Provinsi dari

tempat kedudukannya.

Selanjutnya dalam Pasal 17 huruf a UUJN diatur bahwa Notaris

dilarang menjalankan jabatan di luar wila yah jabatannya. Dalam penjelasan

pasal 17 huruf a tersebut men yatakan bahwa larangan tersebut dimaksudkan

untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus

mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar notaris dalam menjalankan

jabatannya. Artinya bahwa notaris hanya memiliki kewenangan atas perbuatan

hukum yang dilakukan dalam wila yah kerjanya, yang meliputi seluruh

provinsi di tempat kedudukan notaris yang bersangkutan. 17 Dari uraian

ketentuan tersebut dapat dilihat adanya pertentangan norma, di satu sisi UU

ITE tidak membatasi wila yah untuk dapat dilakukannya transaksi elektronik

dan di sisi lain UUJN mengatur pembatasan wilayah jabatan notaris. Melihat

pada jenis peraturan perundang-undangan yang mengalami konflik norma

maka dapat disimpulkan telah terjadi konflik norma yang bersifat horizontal.

Berdasarkan jenis pertentangan perundang-undangan yang terjadi

maka adapun asas yang dapat digunakan untuk menentukan peraturan

perundang-undangan mana yang berlaku adalah asas lex specialis derogat legi
16

generali, yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang lebih khusus

melumpuhkan peraturan yang umum. Dengan diberlakukannya asas ini maka

ketentuan yang berlaku dari adanya konflik norma yang sedang berlangsung

adalah peraturan perundang –undangan yang memiliki kedudukan yang lebih

khusus yaitu UU ITE, dengan berlakunya substansi dari peraturan perundang-

undangan trsebut maka notaris dapat membuatkan akta terhadap transaksi

elektronik yang dilakukan di luar wilayah jabatan notaris.

Kehadiran cyber notary di Indonesia semakin dipicu dengan

penjelasan di dalam Pasal 77 Undang-Undang 40 Tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas (UUPT), yang menentukan bahwa selain penyelenggaraan

RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan

melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana melihat dan

mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. Dengan rumusan

sedemikian rupa, maka salah satu kendala bagi pemegang saham untuk

mengikuti rapat dari jarak jauh tanpa kehadiran fisik sudah diakomodir oleh

UUPT.

Hal lain juga harus diperhatikan dalam UUPT adalah Pasal 76 ayat (1)

UUPT yang menyatakan bahwa: “RUPS diadakan di tempat kedudukan

perseroan atau tempat perseroan tersebut melakukan kegiatan usahanya yang

utama, sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.” Pasal 76 ayat (2)

UUPT juga menyatakan bahwa: “RUPS Perseroan terbuka dapat diadakan di

tempat kedudukan bursa di mana saham perseroan dicatatkan.” Pasal 76 ayat


17

(3) UUPT menyatakan bahwa : “Tempat RUPS sebagaimana dim aksud pada

ayat (1) dan ayat (2) harus terletak di wilayah negara Republik Indonesia.”

Ketentuan UUPT diatas masih dibatasi lagi oleh ketentuan lain dalam Pasal

77 ayat (4) UUPT yang menyatakan bahwa: “Setiap penyelenggaraan RUPS

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang

disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.”

Berdasarkan UUPT dapat dilihat bahwa bagaimana pun cara RUPS

nya, tapi RUPS dilakukan di tempat kedudukan PT yang bersangkutan

(kantor pusat). Jadi, walaupun RUPS dilakukan dengan menggunakan salah

satumedia yang dipilih, tapi RUPS harus dilakukan di tempat kedudukan PT

yang bersangkutan. Artinya yang menjadi pusat komunikasi adalah di kantor

pusat (tempat kedudukannya), dna risalah rapat harus disetujui dan

ditandatangani oleh semua peserta RUPS.

Hal yang terakhir inilah yang belum diatur lebih lanjut dalamUUPT,

yaitu tentang tata cara persetujuan dan penandatangan peserta RUPS,

sehingga tandatangan konvensional atau tradisional. Pelaksanaan RUPS,

hanya dapat dilakukan di luar tempat kedudukannya dan dibursa di mana

sahamnya tercatat jika Pasal 76 ayat (4) UUPT dianggap mengecualikan

Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UUPT. Pasal 76 ayat (4) menentukan bahwa:

“Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan

semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda

tertentu, RUPS dapat diadakan di manapun dengan memperhatikan ketentuan


18

sebagaimana dimaksud ayat (3).”

Pada Undang-Undang tersebut dilakukan perubahan atas ketentuan

yang menyangkut penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan

perkembangan teknologi. Dengan demikian, penyelenggaraan RUPS dapat

dilakukan melalui media elektronik seperti telekonferensi, video konferensi,

atau sarana media elektronik lainnya.Ketentuan tersebut dapat dikatakan

merupakan salah satu terobosan hukum yang memanfaatkan kemajuan

teknologi dalam pengimplementasiannya.Mekanisme pembuatan akta RUPS

secara telekonferensi adalah dimulai dengan Mekanisme pembuatan akta dari

hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang dilakukan secara telekonferensi

terdiri atas pembuatan akta oleh Notaris, kemudian dibacakan secara

telekonferensi agar para pihak yang mengikuti RUPS dapat mengetahui isi

akta.

Mekanisme Pembuatan Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham

yang dilakukan melalui media telekonferensi berdasarkan UUPT, UUJN, dan

UU ITE dapat dijelaskan sebagi berikut. Dalam hal pembuatan Akta Berita

AcaraRUPS maka terhadap hasil rapatyang dilakukan dengan telekonferensi

harus dihadiri secara langsung oleh Notaris sejak awal hingga berakhirnya

RUPS untuk mencatat segala sesuatu tindakan hukum yang terjadi selama

pelaksanaan RUPS. RUPS dihadiri oleh direksi, pemegang saham dan

Notaris, dimana RUPS dilakukan dengan tatap muka secara langsung, namun

untuk RUPS telekonferensi unsur tatap muka dipenuhi dengan bukan bertatap
19

muka langsung secara fisik namun dengan dengan menggunakan layar

monitor.

Pelaksanaan RUPS dengan telekonferensi yang melibatkan peran

Notaris dan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal

38, Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 44 UUJN. Ketentuan tersebut antara lain

mengenai kehadiran peserta rapat, pada tempat tertentu, pada tanggal tertentu,

benar memberikan keterangan dalam rapat sebagaimana tercantum dalam

akta. Ketentuan kehadiran peserta rapat dalam pelaksaaan RUPS

dengantelekonferensi dapat disamakan dengan telah hadirnya direksi,

pemegang saham dan Notaris dalam satu ruangan telekonferensi, dalam kata

lain tatap muka secara langsung antara direksi, pemegang saham dan Notaris

dapat diartikan bahwa kehadiran peserta rapat telah hadir secara langsung

dihadapan Notaris.

Begitu halnya dengan syarat pada tempat dan waktu tertentu dapat

disamakan bahwa tempat dan tanggal adalah dengan menggunakan tempat

dan tanggal pelaksanaan telekonferensi. Sedangkan benar memberikan

keterangan dalam rapat sebagaimana tercantum dalam akta akan dibuat oleh

Notaris yang secara langsung hadir dan bertatap muka dengan peserta rapat,

yang akan mendengarkan secara langsung hasil keputusan-keputusan RUPS.

Berita Acara RUPS merupakan Akta relaas (amtelijke akten) dalam

prosespembuatannya Notaris juga wajib membacakan Akta di hadapan para


20

pihak dalam hal ini para peserta rapat dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua)

orang saksi berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) point (l) jo Pasal 40

UUJN. Pembacaan akta oleh Notaris sebagaimana yang dimaksudkan dalam

pasal di atas, wajib dilakukan, Pembacaan Akta ini merupakan bagian yang

dinamakan verlijden (pembacaan dan penandatanganan) dari akta.Setelah

akta dibacakan oleh Notaris kepada seluruh peserta rapat maka

untukpenandatangan akta Berita Acara RUPS hanya ditandatangani oleh

Notaris secara langsung dalam hal ini karena Notaris hadir secara langsung

dalam RUPS dan melihat serta mendengarkan secara langsung hasil

keputusan-keputusan RUPS sehingga peserta rapat tidak perlu untuk

menandatangani akta Berita Acara RUPS. Dalam Akta Berita Acara RUPS,

terdapat perbedaan redaksi awal akta yang biasanya digunakan sebagai

standar awal akta pembuatan berita acara, karena dalam pembuatan berita

acara yang dilakukan melalui media telekonferensi harus dijelaskan dalam

awal akta bahwa dilakukan melalui telekonferensi.

Notaris wajib menerangkan bahwa pelaksanaan RUPS

diselenggarakan melalui telekonferensi, menerangkan waktu pelaksanaan

RUPS, tempat diselenggarakan RUPS, peserta rapat RUPS dan hasil-hasil

keputusan rapat RUPS yang diselenggarakan melalui telekonferensi.Apabila

terdapat peserta rapat yang meninggalkan ruangan RUPS melalui

telekonferensi maka Notaris wajib menerangkan dalam Akta Berita Acara

yang dibuatnya bahwa terdapat peserta yang meninggalkan rapat RUPS


21

dengan menguraikan berbagai alasan. Kewajiban seluruh peserta RUPS

adalah harus tetap menandatangani daftarhadir RUPS yang menerangkan

bahwa benar telah dihadiri oleh seluruh peserta RUPS dan telah memenuhi

ketentuan kuorum sesuai Pasal 86 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa

RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari ½ (satu perdua) dari

jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali undang-

undang dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih

besar. Daftar hadir ini akan dilekatkan pada dalam Akta Berita Acara RUPS

yang dibuat oleh Notaris.

Penandatanganan akta ini tidak dibutuhkan tanda tangan dari seluruh

pemegang saham seperti yang disyaratkan dalam pasal 77 ayat (4) namun

cukup dengan ditandatangani oleh Notaris sebab Akta ini merupakan Akta

relaas akta yang menjadi tanggungjawab penuh Notaris. Berita Acara

merupakan akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, maka

penandatanganan Berita Acara ini tidak dapat dilakukan secara elektronik

sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (4) UU ITE yang menyatakan

bahwa: “Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau Dokumen

elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk surat

yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dansurat

beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam

bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan analisis terhadap UUPT,


22

UUJN dan UUITE maka mekanisme dalam RUPS secara teleconference yang

dapat dilakukan yaitu apabila berbentuk Berita acara RUPS, dilakukan

dengan cara Notaris hadir secara langsung di tempat pelaksanaan

telekonferensi kemudian mengikuti telekonferensi dalam hal ini kehadiran

Notaris dan pemegang saham walaupun tidak terdapat di tempat yang sama

namun tetap memenuhi unsur kehadiran yang difasilitasi melalui peralatan

telekonferensi yaitu layar monitor yang memungkinkan untuk saling melihat

secara langsung, kemudian Notaris mengikuti RUPS telekonfernsi hingga

selesai dan membuatkan Akta serta membacakan dan menandatangani akta,

pembuatan Akta belum dapat dilakukan dalam bentuk Dokumen elektronik

namun masih secara konvensional.

Akta RUPS yang termasuk dalam akta relaas.Akta yang dibuat “oleh”

(door) Notaris atau yang dinamakan relaas akta atau akta pejabat, merupakan

suatu akta yang menguraikan secara autentik suatu tindakan yang dilakukan

atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni

Notaris sendiri didalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Termasuk

dalam relaas akta ini, antara lain yaitu berita acara rups, berita acara

pembukaan undian dan akta-akta lain sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 46 UUJN, “dimana dalam akta itu notaris menerangkan dalam

jabatannya sebagai pejabat umum atas kesaksian dari semua apa yang dilihat,

disaksikan dan dialaminya, yang dilakukan oleh pihak lain.”

Tanda tangan para penghadap tidak dipermasalahkan dalam relaas


23

akta.Contohnya dalam berita acara rups jika para penghadap hadir dalam

rapat namun kemudin meninggalkan rapat sebelum penandatanganan akta,

maka Notaris cukup menerangkan bahwa para penghadap hair dan telah

meninggalkan rapat. Dalam hal ini, akta tersebut tetap merupakan akta

otentik, sehingga isi akta tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh akan

kepalsuannya dan dapat dibuktikan.

Akta RUPS yang termasuk akta relaas, maka keterangan notaris dalam

bentuk teleconference dapat dipastikan keabsahannya walaupun para pihak

tidak membubuhkan tandatangannya pada akta, tetapi notaris yang membuat

berita acaranya sehingga menjadi akta otentik dan memiliki kekuatan

pembuktian yang sempurna. Berita acara RUPS merupakan akta relaas,

sehingga memungkinkan tidak ditandatangani oleh para pihak tetapi wajib

ditandatangani oleh notaris sebagai pembuat akta tersebut. Akta relaas, berisi

uraian notaris yangdilihat dan disaksikan sendiri oleh notaris tersebut melalui

video call atas permintaan para pihak yang dikuatkan dalam bentuk akta

notaris. Hal ini dapat terjadi apabila telah memenuhi unsur otentitas suatu

akta notariil, dimana notaris harus menghadiri RUPS dengan teleconference

tersebut, menyaksikan jalannya rapat, RUPS tersebut berada di dalam wilayah

notaris tang bersangkutan, disaksikan para saksi, serta waktu pelaksanaan

RUPS harus sama dengan waktu notaris yang bersangkutan, kemudian

menuangkan jalannya rapat tersebut ke dalam sebuah akta yang dikenal

dengan Berita Acara RUPS. Jadi yang harus diperhatikan adalah dimana
24

pernyataan keputusan RUPS tersebut harus dibuuktikan bahwa apa yang

dibicarakan dalam rapat adalah benar-benar sama dengan notulen rapat,

sehingga yang sah adalah akta yang dibuat secara tertulis oleh notaris yang

tidak melanggar Undang-Undang serta tetap berpedoman kepada UUJN.

Hal ini berbeda untuk akta partij,Akta yang dibuat “dihadapan” (ten

overstaan) Notaris atau yang dinamakan akta pihak (partij akten) merupakan

suatu akta yang berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan

yang dilakukan pihak lain dihadapan Notaris. Dalam artian bahwa para pihak

yang hadir ke hadapan Notaris menerangkan keperluannya yang keemudian

Notaris membuatnya dalam suuatuu akta otentiik.

Dalam hubungannya dengan hal tersebut di atas, maka yang pasti

secara otentik pada partij akta terhadap pihak lain/pihak ketiga, ialah:

1. Tanggal dari akta itu;


2. Tanda tangan-tanda tangan yang ada dalam akta;
3. Identitas dari orang yang hadir (comparaten);

Bahwa apa yang tercantum dalam akta itu adalah sesuai dengan apa

yang diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris untuk dicantumkan

dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri

hanya pasti antara pihak-pihak yang bersangkutan sendiri.6

Untuk akta partij dimana masih tidak dimungkinkannya untuk

6
Ibid.
25

dilakukan secara online/ teleconference.Hal ini disebabkan dalam aktapartij

notaris tersebut harus melihat secara langsung (dihadapan), membacakannya,

menandatanganinya, serta memerlukan tandatangan para pihak untuk

dituangkan dalam suatu akta. Salah satu contohnya mengenai perubahan

anggaran dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4), (5) dan (6)

UUPTsebagai berikut Pasal 21 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa:

“Perubahan anggaran dasar sebagimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)

dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia.” Pasal 21

ayat (5) menyatakan bahwa: “Perubahan anggaran dasar yang tidak dimuat

dalam akta berita acara rapat yang dibuat notaris harus dinyatakan dalam akta

notaris paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusam

RUPS.” Pasal 21 ayat (6) menyatakan bahwa: “Perubahan anggaran dasar

tidak boleh dinyatakan dalam akta notaris setelah lewat batas waktu 30 (tiga

puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Selain itu, penggunaan komputer dalam pembuatan akta dan pada saat

proses pendaftaran badan hukum melalui Sistem Administrasi Badan Hukum

(sisminbakum) merupakan suatu tanda bahwa notaris di Indonesia sudah

mulai menggunakan sistem komputer dan internet dalam pelaksaan tugas

jabatannya. Sisminbankum itu sendiri adalah sutau sistem komputerisasi yang

dibuat oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan

sejumlah transaksi antara lain pelaporan wasiat, pendaftaran badan hukum

dan pendaftaran untuk diangkat sebagai notaris itu sendiri.


26

Adapun prosedur pembuatan akta notaris secara cyber notary menurut

penulis mempunyai prosedur yang sama dengan pembuatan akta notaris yang

telah dilaksanakan selama ini. Akan tetapi, yang membedakan dari kedua

prosedur tersebut adalah dalam hal menghadap, di mana selama ini

menghadap disini dilakukan dengan cara hadir secara fisik tetapi menghadap

dalam kaitannya dengan cyber notary dilakukan dengan cara menggunakan

alat-alat elektronik, misalnya teleconference atau video call. Prosedur

pembuatan akta notaris dengan menggunakan cyber notary adalah Para pihak

hadir di hadapan notaris dengan menggunakan teleconference atau video call

untuk menyampaikan maksud dan tujuan menghadap notaris dan

menyampaikan akta yang akan dibuat, para pihak harus menunjukkan

identitas mereka secara jelas kepada notaris dengan mengirimkan identitas

mereka melalui alat elektronik misalnya faximile dan notaris mencocokkan

identitas tersebut dengan orang yang berada dalam teleconference atau video

call, setelah itu, notaris membuatkan akta sesuai dengan bentuk yang telah

ditentukan oleh undang-undang yang kemudian dibacakan di hadapan para

pihak di mana dalam pembacaan akta tersebut baik notaris, saksi maupun

para pihak menggunakan teleconference atau video call dalam waktu yang

bersamaan, dan setelah selesai akta tersebut dibacakan dan dipahami oleh

para pihak yang bersangkutan, akta tersebut ditandatangani oleh para pihak,

saksi dan notaris dengan menggunakan tanda tangan digital.

Untuk pembuatan akta secara elektronik masih belum memungkinkan


27

karena berkaitan dengan latar belakang sejarah, masalah pembuktian dan

pertimbangan akan bertentangan dengan peraturan lainnya. 7Mengacu pada

penjelasan pasal diatas, pembuatan akta secara elektronik oleh pejabat notaris

untuk saat ini belum dimungkinkan.Hal ini didasari belum adanya kepastian

hukum yang menjadi landasan berpijak bagi notaris terkait dengan

kewenangannya dalam membuat akta secara elektronik.Hasil penelitian

Wardani Rizkiani bahwa “masih terdapat ketidakharmonisasian pengaturan

perundang-undangan mengenai pembuatan akta rups melalui media

telekonferensi dan kekuatan pembuktiannya.”8

Selanjutnya hasil penelitian dari Yahya Agung Putra bahwa

“Pengaturan tentang persyaratan rapat umum pemegang saham melalui video

konferensi belum diatur secara jelas dan lengkap dalam UUPT karena

ketentuan yang ada dalam UUPT mengenai video konverensi hanya terkait

kuorum dan pengambilan keputusan menegnai prosedur tidaklahnya tidak

diatur.”9Teranglah bahwasanya UU Jabatan Notaris walaupun telah

menghadirkan konsep cyber notary dalam kewenangan Notaris, namun pada

UU Jabatan notaris masih belum memberikan peluang terhadap penerapan

konsep cyber notary di Indonesia.10

7
Luthvi Febryka Nola, ‘Peluang Penerapan Cyber notary Dalam Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia’, Jurnal Negara Hukum, 2011, hlm 98.
8
wardani Rizkianti, ‘Akta Otentik Rapat Umum Pemegang Saham (Rups) Melalui
Media Telekonferensi (Mekanisme Pembuatan Dan Kekuatan Pembuktiannya)’, Jurnal
Yuridis, 2016, hlm 97.
9
Yahya Agung Putra, Annalisa Yahanan, and Agus Trisaka, ‘Video Konferensi
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang Perseroan
Terbatas’, Repertorium Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan, 2019, hlm. 47.
10
Cyndiarnis Cahyaning Putri, Op. Cit. hlm 35.
28

Undang-Undang ITE telah mengatur lebih lengkap dan menyebutkan

siapa saja yang dapat terlibat dalam kegiatan sertifikasi transaksi elektronik

termasuk Notaris sebagai otoritas registrasi yang diatur dalam Peraturan

Menteri Komunikasi dan Informatika sebagai peraturan turunan dari

UndangUndang ITE. Kewenangan Notaris dalam mensertifikasi transaksi

elektronik tersebut sebagai kewenangan tambahan yang muncul karena faktor

kemajuan teknologi dan kebutuhan akan kepastian hukum guna adanya suatu

bukti yang autentik. Konsep cyber notary di Indonesia telah dimungkinkan

dalam hal pembuatan akta hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

namun dalam UU Jabatan Notaris masih belum membuka peluang terhadap

kemungkinan dilakukannya konsep cyber notary karena terkendala oleh

kewajiban Notaris sebagaimana dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m UU Jabatan

Notaris.
B. Keabsahan Akta Notaris Yang Dibuat Secara Elektronik (Cyber notary)

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Jabatan Notaris, menyebutkan

bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

UndangUndang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Notaris

merupakan pejabat umum yang diangkat oleh negara untuk melaksanakan

sebagian wewenang dari kekuasaan negara khusus membuat alat bukti tertulis

dan otentik dalam bidang hukum perdata.Sebagaimana wewenang yang

diberikan kepada notaris oleh negara merupakan wewenang atribusi yaitu

wewenang yang diberikan langsung oleh Undang-undang Jabatan Notaris,

maka jabatan notaris bukanlah jabatan struktural dalam organisasi

pemerintahan.

Notaris memiliki arti yang penting dalam kehidupan masyarakat

dikarenakan Notaris secara khusus dalam pembuatan akta otentik yang telah

diharuskan oleh undang-undang untuk kepentingan perorangan maupun

badan usaha. R. Soegondo Notodisoerjo menyebutkan bahwa:

Fungsi dan wewenang yang diemban Notaris di dalam lalu lintas


hubungan hukum sehari-hari dalam kehidupan masyarakat di
Indonesia pada khususnya, adalah:
1. Membuat akta-akta otentik, seperti akta untuk mendirikan
perusahaan, perihal pemisahaan harta warisan, pinjam uang di
bank, akta jual beli hipotik atas sebidang tanah dengan rumah
yang ada di atasnya dan lain-lainnya;
2. Melegalisir akta-akta di bawah tangan dan sekaligus
mendaftarkan akta-akta di bawah tangan tersebut kepada
pengadilan wilayah setempat;
30

3. Mensyahkan photo copy dari berbagai keprluan seperti photo


copy ijazah untuk program sarjana, sarjana muda, diploma dan
lain-lainnya;
4. Membantu melaksanakan program pemerintahan cq
Departemen Kehakiman, dalam memeberikan penyuluhan-
penyuluhan hukum kepada warga masyarakat agar dapat
mentaati segala hak-hak dan kewajibannya di dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.11

Ketentuan Pasal 15 UUJN, disebutkan wewenang Notaris adalah:

Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa:

Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua


perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang.

Pasal 15 ayat (2) menyatakan bahwa:

Notaris berwenang pula:


a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Mebukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
c. Membuat kopi dari aslisurat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan
dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat
aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.

11
Soegondo Notodisoerjo, Op. Cit, hlm 47.
31

Pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa “Selain kewenangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai

kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.”

Meskipun Notaris mempunyai kewenangan dalam pelaksanaan

jabatannya, tetapi juga dibebankan kewajiban dan larangan.Pasal 16 ayat

(1) UUJN terkait dengan kewajiban Notaris, yaitu:

Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:


a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan
hukum;
b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari Protokol Notaris ;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
Minuta Akta;
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya
dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta
sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain
g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi
buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan
jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta
tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan
mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya
pada sampul setiap buku;
h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau
tidak diterimanya surat berharga;
i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut
urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;
j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i
atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar
wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada
minggu pertama setiap bulan berikutnya;
32

k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat


pada setiap akhir bulan;
l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya
dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan;
m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi
khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan
Notaris ; dan
n. menerima magang calon Notaris .

Kemudian larangan bagi Notaris adalah sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 17 UUJN, yaitu:

Notaris dilarang:
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari
kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha
swasta;
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan
Notaris ;
h. menjadi Notaris Pengganti;
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma
agama,kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi
kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

Berkaitan dengan diangkatnya notaris sebagai pejabat umum, telah

diatur tersendiri tentang pengangkatan dan pemberhentian notaris yang

dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.Hal tersebut telah

tercantum dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014. Begitu juga


33

mengenai persyaratan untuk dapat diangkat menjadi notaris, telah diatur

dalam Pasal 3 Undang-undang Jabatan Notaris yang berbunyi:

a. Warga Negara Indonesia;

b. Bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa;

c. Berumur paling sedikit 27 tahun;

d. Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat

keterangan dokter dan psikiater;

e. Berijasah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang strata dua

kenotariatan;

f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja pada

kantor notaris dalam waktu 24 bulan berturut-turut pada kantor

notaris atas prakarsa sendiriatau atas rekomendasi organisasi

notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat

atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-

undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris dan

h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5

(lima) tahun atau lebih.”

Apabila semua syarat pengangkatan telah terpenuhi, seorang notaris

sebelum menjalankan tugas jabatannya secara nyata harus mengucapkan janji


34

tugas/jabatannya di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu, dalam hal ini

adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.Sehubungan dengan

pengucapan sumpah/janji jabatan tersebut tidak dilaksanakan dalam waktu

maksimal 2 bulan maka pengangkatan sebagai pejabat notaris dapat

dibatalkan oleh Menteri. Sehingga pengucapan sumpah/janji merupakan hal

yang sangat prinsipal bagi seseorang yang akan menjalankan tugas jabatannya

sebagai notaris. Berkaitan dengan hal tersebut, akta yang dibuat notaris

memiliki peranan dalam menciptakan kepastian hukum di dalam setiap

hubungan hukum.Selain akta notaris bersifat otentik, akta tersebut juga dibuat

sebagai alat bukti yang sempurna dalam setiap permasalahan yang terkait

dengan akta notaris tersebut.Kekuatan akta notaris sebagai alat bukti terletak

pada kekhasan karakter pembuatnya, yaitu notaris yang ditunjuk oleh

undangundang sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat

akta.12

R. Soegondo Notodisoerjo, menyebutkan bahwa:

Notaris diartikan sebagai pejabat umum yang secara khusus


merupakan satu-satunya diberi kekuasaan dan wewenang penuh untuk
membuat akta-akta otentik yang dibutuhkan oleh masyarakat, baik
untuk individu (perorangan) maupun untuk badan hukum (perseroan
komanditer, dagang) dan lain-lainnya.13

Ibid. hlm 5.
12

R. Soegondo Notodisoerjo, 2002, Hukum Notarial Di Indonesia Suatu Penjelasan,


13

CV. Rajawali, Jakarta, hlm 28.


35

Menurut Soegondo Notodisoerjo yang memberikan pengertian

mengenai pejabat umum sebagai seorang yang diangkat dan diberhentikan

oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik

dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan

yang bersumber pada kewibawaan dari pemerintah. Dalam jabatannya

tersimpul suatu sifat dan ciri khas yang membedakannya dari jabatan-jabatan

lainnya dalam masyarakat.14

Pejabat umum yang dituangkan dalam Pasal 1868 KUH Perdata

belum dijabarkan secara jelas dan lengkap. Akan tetapi, dalam ketentuan

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dicantumkann bahwa

notaris merupakan satu-satunya pejabat umum yang mempunyai kewenangan

membuat akta otentik yang terkait dengan semua perbuatan, perjanjian dan

penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang

berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,

menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan minuta akta,

memberikan grosse akta, salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang

memberikan pembuatan akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan

kepada pejabat atau orang lain oleh peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan kewenangan, kewajiban dan larangan yang harus

dijalankan oleh notaris seperti yang telah disebutkan di atas, antara Pasal 15

ayat (3) dan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomer 2 Tahun 2014

14
Notodisoerjo,Ibid. hlm 44.
36

memiliki konflik norma, di mana dalam pasal 15 ayat (3) memberikan

kewenangan lain kepada notaris. Kewenangan lain tersebut disebutkan dalam

penjelasan pasal 15 ayat (3) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara

lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik

(cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.

Sedangkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m menyatakan bahwa notaris harus

membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2

(dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta

wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh

penghadap, saksi, dan Notaris.

Cyber notary mempunyai peran untuk mengotentifikasi dokumen

yang berbasis elektronik, yang mana dari otentifikasi dokumen tersebut dapat

di print out di manapun berada dan kapan saja.Cyber notary juga mempunyai

peran untuk memberikan kepastian kepada pihak-pihak yang berada di lain

negara apakah di saat melakukan transaksi di suatu negara benar-benar atas

kesadaran sendiri dan tanpa ada paksaan maupun ancaman agar

menandatangani dokumen yang berbasis elektronik tersebut.

Cyber notary memiliki fungsi utama yaitu untuk melakukan sertifikasi

dan autentifikasi dalam lalu linstas transaksi elektronik. Sertifikasi itu sendiri

memiliki pengertian bahwa notaris mempunyai kewenangan untuk bertindak

sebagai Certification Authority (trusted third party) sehingga notaris dapat


37

mengeluarkan digital certificate kepada para pihak yang berkepentingan.

Lain halnya dengan fungsi autentifikasi yang berkaitan dengan aspek hukum

yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan transaksi elektronik.

Berkaitan dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah

cyber notary yang digunakan dalam tesis ini menunjuk pada seorang pejabat

notaris sebagai pejabat umum yang diangkat secara resmi berdasarkan

peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan kewenangannya yang

tercantum dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN bukan merupakan Certification

authority yang merupakan lembaga teknis non hukum yang prinsipnya

mempunyai kesamaan dengan cyber notary. Berdasarkan teori konflik norma

dalam penulisan tesis ini, maka teori tersebut tidak dapat digunakan karena

terjadinya konflik di antara Pasal 15 dan 16 ayat (1) Undang-undang Nomor

2 Tahun 2014 merupakan dua pasal yang berada dalam satu undang-undang.

Pasal 15 UUJN merupakan kewenangan yang diberikan notaris untuk

melakukan sertifikasi transaksi secara cyber notary dan Pasal 16 UUJN telah

sejalan dengan unsur-unsur keotentikan akta yang tercantum dalam pasal

1868 KUH Per. Cyber notary telah dilaksanakan oleh notaris seperti

pelaksanaan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas yang

mana aktanya merupakan jenis akta relaas. Hal ini dikarenakan dalam

Undang-undang Perseroan Terbatas khususnya Pasal 77 Undang-undang

Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa

penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapat dilakukan


38

melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik

lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS melihat dan mendengar

serta secara langsung berpartisipasi dalam rapat. Selain itu, penggunaan

komputer dalam pembuatan akta dan pada saat proses pendaftaran badan

hukum melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (sisminbakum)

merupakan suatu tanda bahwa notaris di Indonesia sudah mulai menggunakan

sistem komputer dan internet dalam pelaksaan tugas jabatannya.

Sisminbankum itu sendiri adalah sutau sistem komputerisasi yang dibuat oleh

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan sejumlah

transaksi antara lain pelaporan wasiat, pendaftaran badan hukum dan

pendaftaran untuk diangkat sebagai notaris itu sendiri.

Akta Partij tidak memungkinkan untuk dilakukan dengan caracyber

notary. Hal ini dikarenakan notaris harus melihat dan mendengar secara

langsung dalam pembacaan dan penandatanganan yang dilakukan oleh para

pihak, saksi dan notaris itu sendiri (Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2014). Akan tetapi, apabila dimungkinkan untuk membuat

akta partij dengan caracyber notary seperti yang telah dilakukan dalam

penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham, penulis menyimpulkan

agar di akhir akta diberikan klausula bahwa pembacaan akta dan

penandatanganannya dilakukan di lebih dari satu kota sesuai dengan tempat

para pihak yang bersangkutan dengan cara menggunakan alat elektronik

(teleconference atau videocall). Misalnya: Dibuat, ditandatangani dan


39

diresmikan di Kota Malang dan Kota Surabaya melalui Teleconference, pada

hari dan tanggal seperti tersebut pada permulaan akta ini.

Keterangan atau penjelasan para pihak atau hasil tanya jawab dengan

para pihak dan bukti-bukti yang diberikan kepada notaris yang kemudian

dituangkan ke dalam bentuk akta notaris merupakan bahan dasar untuk

membanguan struktur akta notaris. Beberapa hal yang dapat dijadikan dasar

untuk membangun struktur notaris yaitu: latar belakang yang akan

diperjanjikan, identifikasi para pihak/ subyek hukum, identifikasi obyek yang

akan diperjanjikan, membuat kerangka akta dan merumuskan substansi akta

yang berisi mengenai kedudukan para pihak, batasan-batasan yang boleh dan

tidak boleh dilakukan menurut aturan hukum, hal-hal yang dibatasi dalam

pelaksanaannya, pilihan hukum dan pilihan pengadilan, klausula penyelesaian

sengketa dan kaitannya dengan akta lain (jika ada).15

Selanjutnya kebatalan atau ketidakabsahan dari suatu akta dalam

kedudukannya sebagai akta otentik meliputi lima bagian yaitu 16: Dapat

dibatalkan, Batal demi hukum, Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai

akta dibawah tangan, Dibatalkan oleh para pihak sendiri, dan dibatalkan oleh

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena

penerapan asas Praduga Sah. Alasan penulis agar akta partij juga dapat

dilakukan dengan menggunakan cyber notary karena notaris yang merupakan

15
Habib Adjie, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, Reflika Aditama,
Bandung, 2011, hlm 37.
16
Ibid, hlm 81.
40

pejabat publik mempunyai peran untuk membuat perjanjian perdata secara

otentik sangat dibutuhkan apalagi memasuki era yang dinamakan sistem

perdagangan bebas.

Ketentuan pasal 1 ayat (4) Undang-undang ITE memberikan

pengertian mengenai dokumen elektronik yaitu setiap informasi elektronik

yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, disimpan dalam bentuk analog,

digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat,

ditampilkan dan didengar melalui komputer atau sistem elektronik tetapi tidak

terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya,

huruf, tanda, angka, kode akses, atau simbol yang mempunyai makna dan

dapat dipahami oleh orang yang mempu memahaminya. Dokumen elektronik

dapat dijadikan alat bukti yang sah.Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU

ITE.

Berkaitan dengan kewenangan lain yang diberikan kepada notaris

yaitu untuk mensertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary, maka

hasil print out dari sertifikasi tersebut dapat juga dikategorikan ke dalam

dokumen elektronik. Hal mana dokumen elektronik tersebut juga harus

memenuhi unsurunsur dalam pasal 1868 KUH Perdata mengenai keotentikan

akta.

Pasal 1868 BW menyebutkan bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu

akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau
41

dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat

dimana akta itu dibuat.”Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otensitas akta

Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-

syarat sebagai berikut :

a. akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan)
seorang pejabat Umum.
b. akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang,
c. Pejabat Umum oleh - atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

Bahwa akta Notaris bisa dibuat karena ada permintaan para penghadap

(mereka)yang datang ke hadapan Notaris. Penghadap yang meminta

dibuatkan akta harus menghadap dan menyatakan kehendaknya di hadapan

Notaris. Tahapan dalam pembuatan akta secara konvensional, yakni para

penghadap/ pihak mendatangi kantor notaris kemudian menghadap kepada

notaris dengan tujuan untuk menyampaikan keinginan mereka agar dituangkan

dalam akta notaris, setelah notaris mendengarkan maksud dan tujuan para pihak,

maka notaris harus bisa mengambil perbuatan hukum apa yang dinginkan oleh

para pihak sekaligus memberikan penyuluhan hukum mengenai akta yang akan

dibuat apakah telah sesuai dengan undangundang atau tidak, setelah notaris

mengetahui perbuatan hukum yang diinginkan oleh para pihak, selanjutnya

notaris membuat akta dengan bentuk dan cara yang telah tercantum dalam pasal

38 Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu:

(1) Setiap Akta terdiri atas:


a. awal Akta atau kepala Akta;
42

b. badan Akta; dan


c. akhir atau penutup Akta.
(2) Awal Akta atau kepala Akta memuat:
a. judul Akta;
b. nomor Akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan Akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan,
pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para
penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak
yang berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan,
jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
pengenal.
(4) Akhir atau penutup Akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan
atau penerjemahan Akta jika ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam
pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta
jumlah perubahannya.
(5) Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, selain
memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan
pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.

Bentuk dan tata cara pembuatan akta notaris dapat dikatakan sah

apabila telah memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 Undang-

Undang Jabatan Notaris di atas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

kewenangan notaris untuk mensertifikasi transaksi dengan menggunakan

cyber notary memiliki akibat bahwa akta tersebut sah untuk disebut sebagai
43

akta otentik.Adapaun terkait dengan pembacaan akta oleh notaris merupakan

kewajiban dalam pembuatan akta otentik. Hal tersebut telah diatur dalam

ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang Jabatan Notaris

sehingga pembacaan akta merupakan bagian dari verlijden atau peresmian

dari pembacaan dan penandatanganan terhadap akta yang bersangkutan.

Apabila akta tersebut dibuat oleh notaris, maka harus dibacakan pula oleh

notaris yang bersangkutan bukan dibacakan oleh pihak ketiga, misalnya

pegawai notaris.

Apabila pembacaan di atas dihubungkan dengan fungsi akta otentik

dalam pembuktian, maka dapat dilihat jika dalam pembuatan akta notaris

pembacaan akta merupakan hal yang wajib dilakukan oleh notaris dalam

pelaksanaan tugas jabatannya. Adapun pelanggaran yang dilakukan jika

pembacaan akta tidak dilakukan oleh notaris maka akta tersebut akan

mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana akta di bawah tangan atau

dengan kata lain akta tersebut telah kehilangan keotentisitasnya. Hal tersebut

telah diatur dalam Pasal 16 ayat (9) Undang-Undang Jabatan Notaris yang

berbunyi: “Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai

kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan”.

Adanya Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Jabatan Notaris dapat

mengakibatkan persepsi berbeda di mana tidak ada keharusan bagi notaris

untuk melakukan pembacaan akta dikarenakan akta tersebut dibaca sendiri


44

oleh para pihak atas kehendak/keinginan para pihak itu sediri. Tetapi hal

tersebut telah di jelaskan lagi dalam pasal 16 ayat (8) Undang-undang Nomor

2 Tahun 2014 bahwa walaupun para pihak menghendaki aktanya dibaca

sendiri, notaris tetap mempunyai kewajiban untuk membacakan kepala Akta,

komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup

Akta.

Notaris tetap harus membacakan akta yang dibuatnya walaupun para

pihak menghendaki untuk membaca akta yang bersangkutan agar akta

tersebut tetap menjadi akta otentik atau tidak kehilangan keotentisitasnya

karena tidak dibacakannya akta oleh notaris. Selain hal tersebut, dengan

memperhatikan manfaat dari pembacaan akta maka notaris wajib

membacakan akta yang dibuatnya karena jabatan notaris merupakan jabatan

kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Pembacaan akta itu sendiri

merupakan salah satu dari wujud kepercayaan masyarakat yang diwakili oleh

para pihak yang membuat akta.

Pejabat umum dalam hal ini notaris, dalam membuat akta harus

memiliki kewenangan sesuai dengan yang telah dicantumkan dalam

UndangUndang Jabatan Notaris, Notaris hanya berwenang membuat akta

seperti yang telah ditentukan Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris hanya

berwenang membuat akta sepanjang akta tersebut dibuat bukan untuk

kepentingan sendiri, kawan kawin, atau orang lain yang mempunyai


45

hubungan kekeluargaan dengan notaris, Notaris hanya berwenang apabila

melakukan praktek notaris diwilayah jabatannya.

Mekanisme pembuatan akta notaris berdasarkan teori kewenangan

yaitu pihak penghadap datang dan hadir dihadapan notaris dan

menyampaikan maksud para pihak untuk membuat kesepakatan dalam bentuk

tertulis dan memiliki kekuatan hukum, kemudian setelah notaris

mendengarkan kehendak dan keinginan para pihak, maka akan ditentukan

apakah akta yang dibuat adalah akta relaas atau akta partij, Notaris membuat

akta sesuai dengan ketentuan pasal 38 Undang-undang Jabatan Notaris dan

setelah akta selesai dibuat maka diakhiri dengan pembacaan dan

penandatanganan akta di hadapan saksi-saksi oleh para penghadap, saksi dan

juga notaris.

Selain itu, pembacaan akta bukan hanya bermanfaat bagi notaris

namun bermanfaat pula bagi para penghadap. Berikut ini beberapa manfaat

dari pembacaan akta yang dilakukan oleh notaris: notaris masih memiliki

kesempatan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sebelumnya tidak

terlihat. Pembacaan akta adalah kemungkinan terakhir bagi seorang notaris

untuk memeriksa akta yang telah dibuat, namun manfaat ini bukanlah satu-

satunya, Para penghadap mendapat kesempatan untuk bertanya tentang hal-

hal yang kurang jelas di dalam isi akta dan pembacaan akta memberi

kesempatan kepada notaris dan para penghadap pada detik-detik terakhir,

sebelum akta selesai diresmikan dengan tanda tangan para pihak, saksi dan
46

notaris untuk melakukan pemikiran ulang dengan kata lain revisi isi

perjanjian sehingga tidak terjadi permasalahan dikemudian hari.

Berdasarkan teori kewenangan dalam aspek kewenangan, notaris

mempunyai kewenangan atribusi, di mana notaris diberikan kewenangan

langsung oleh undang-undang untuk membuat akta termasuk di dalamnya

membacakan akta dan selama obyek dari perjanjian tersebut masih di dalam

wilayah kerja notaris, maka notaris tetap mempunyai kewenangan untuk

membuatkan akta sekalipun pembacaan dan penandatangan dengan

menggunakan cyber notary dan akta tersebut tetap sah selama bentuk dari

akta sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris dan

pasal 1868 KUH Perdata.

Berkaitan dengan Pasal 15 ayat (3) UUJN dan penjelasannya bahwa

notaris mempunyai kewenangan lain yang salah satunya adalah mensertifikasi

transaksi dengan menggunakan alat elektronik (cyber notary). Ketentuan dari

pasal 1868 KUH Perdata yang di dalamnya mengatur akta otentik termasuk

juga akta notaris, wajib dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh

undang-undang dan akta tersebut dibuat oleh atau dibuat di hadapan pejabat

umum yang berwenang di tempat di mana akta itu dibuat, sehingga apabila

akta yang dibuat tersebut telah sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang dan pejabat umum yang membuat akta tersebut sesuai dengan

kewenangannya maka akta tersebut dapat digolongkan sebagai akta otentik.

Namun akan menjadi masalah apabila dalam proses pembacaan dan


47

penandatangan aktanya menggunakancyber notary atau dengan kata lain

menggunakan alat-alat elektronik misalnya teleconfirence atau video call .

Hal ini dikarenakan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN

menyatakan bahwa pembacaan akta harus dilakukan di hadapan para

penghadap dan paling sedikitdihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, dan dalam

penjelasannya dinyatakan bahwaNotaris harus hadir secara fisik dan

menandatangani Akta di hadapan penghadapdan saksi. Kata Hadir secara

fisik, jika dijabarkan kata demi kata yaitu hadir dansecara fisik.Hadir artinya

ada atau datang sedangkan kata fisik mempunyai arti badan/jasmani, sehingga

maksud hadir secara fisik yaitu ada secara jasmanidengan kata lain berwujud

atau terlihat secara fisik. Penjelasan tentang hadir secara fisik menimbulkan

konflik norma dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, karena cyber notary

sebagai bagian dari kemajuan teknologi dapat mempertemukan dua pihak

atau lebih di tempat yang berbeda dengan fasilitas suara dan gambar yang

senyatanya, sehingga bentuk wajah, suara dan keadaan nyata dapat terlihat.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba menganalisa mengenai

sertifikasi yang dimaksudkan dalam penulisan tesis ini.Seperti yang telah

disebutkan sebelumnya notaris mempunyai kewenangan untuk bertindak

sebagai pejabat publik bukan sebagai Certification Authority (trusted third

party) namun notaris juga dapat mengeluarkan digital certificate kepada para

pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain, notaris dapat mengeluarkan

sertifikat secara elektronik dengan jaminan notaris tersebut dapat memberikan


48

kepastian hukum kepada pihak yang bersangkutan. Akan tetapi, hal tersebut

bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang Jabatan

Notarisyang menyatakan bahwa pembacaan dan penandatanganan akta harus

dilakukan di hadapan para penghadap dan para saksi. Ketentuan ini akhirnya

membatasi kinerja notaris untuk lebih efektif, karena harusnya dalam

menjalankan prakteknya notaris harus memanfaatkan teknologi yang ada agar

mempermudah kinerjanya dan meningkatkan layanan jasa yang diberikan

kepada masyarakat.

Hal ini berarti bahwa diperlukan adanya pembaharuan Undnag-

Undang Jabatan Notaris khususnya yang berkaitan dengan proses pembuatan

akta dalam arti yang seluasnya dan pembuatan akta secara cyber notary pada

khususnya. Selain itu, diperlukan pula penjabaran pengertian tentang

sertifikasi dengan menggunakan cyber notary atau pembuatan akta dengan

menggunakan cyber notary sama dengan pembuatan akta notaris. Hal ini

dimaksudkan agar dalam pelaksanaan tugas jabatannya notaris dapat

menggunakan kecanggihan teknologi tanpa harus melanggar undang-undang

yang mengatur pelaksanaan tugas jabatannya dan undang-undang lain yang

berkaitan dengan hal tersebut. Adapun prosedur pembuatan akta notaris

secara cyber notary menurut penulis mempunyai prosedur yang sama dengan

pembuatan akta notaris yang telah dilaksanakan selama ini. Akan tetapi, yang

membedakan dari kedua prosedur tersebut adalah dalam hal menghadap, di

mana selama ini menghadap disini dilakukan dengan cara hadir secara fisik
49

tetapi menghadap dalam kaitannya dengan cyber notary dilakukan dengan

cara menggunakan alat-alat elektronik, misalnya teleconference atau video

call.

Menurut penulis prosedur pembuatan akta notaris dengan

menggunakan cyber notary adalah Para pihak hadir di hadapan notaris

dengan menggunakan teleconference atau video call untuk menyampaikan

maksud dan tujuan menghadap notaris dan menyampaikan akta yang akan

dibuat, para pihak harus menunjukkan identitas mereka secara jelas kepada

notaris dengan mengirimkan identitas mereka melalui alat elektronik

misalnya faximile dan notaris mencocokkan identitas tersebut dengan orang

yang berada dalam teleconference atau video call, setelah itu, notaris

membuatkan akta sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan oleh undang-

undang yang kemudian dibacakan di hadapan para pihak di mana dalam

pembacaan akta tersebut baik notaris, saksi maupun para pihak menggunakan

teleconference atau video call dalam waktu yang bersamaan, dan setelah

selesai akta tersebut dibacakan dan dipahami oleh para pihak yang

bersangkutan, akta tersebut ditandatangani oleh para pihak, saksi dan notaris

dengan menggunakan tanda tangan elektronik

Dalam perspektif legalitas setidaknya ada 2 (dua) hal penting dalam

transaksi elektronik yang perlu dicermati yaitu memastikan identitas para

pihak, danmemastikan keamanan dan otentisitas pesan yang

dikomunikasikan.Secara teknis, kedua hal tersebut dapat diatasi dengan


50

menggunakan tanda tangan elektronik (e-signatures) yang didukung oleh

Sertifikat Elektronik(e-certificate).

Berdasarkan Pasal 12 UU ITE, “Tanda Tangan Elektronik adalah

tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan,

terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan

sebagai alat verifikasi dan autentikasi.”Tanda Tangan Elektronik adalah tanda

tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau

terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat

verifikasi dan autentikasi (Pasal 1 butir 12 UU ITE). Dalam

perkembangannya saat ini tanda tangan elektronik dapat dikenal dalam

berbagai jenis sesuai dengan perkembangan teknologi yaitu:

1. penggunaan kata kunci (passwords) ataupun kombinasinya (hybrid

method);

2. tanda tangan yang dipindai secara elektronik (scanned signatures)

atau pengetikan nama pada suatu informasi;

3. penggunaan fitur tombol tanda persetujuan atau tanda penerimaan

secara elektronik (OK button atau Accept button) yang ditunjang

dengan saluran komunikasi yang aman (secure socket layer);

4. penggunaan tanda unik pada anggota badan (biometric) seperti:

a. sidik jari (fingerprint);

b. retina mata (iris);


51

c. telapak tangan (hand);

d. suara (voice);

e. wajah (face)

f. DNA

Pembentukan tanda tangan digital menggunakan semacam sidik jari

yang dihasilkan dari dokumen dan kunci privat dan verifikasi tanda tangan

digital yang merupakan suatu proses pengecekan tanda tangan digital dengan

mereferensikan ke dokumen asli dan kunci publik yang telah diberikan,

sehingga dengan demikian dapat ditentukan apakah tanda tangan digital

tersebut dibuat untuk dokumen yang sama yang menggunakan kunci privat.

Apabila kedua proses tersebut telah terpenuhi maka suatu tanda

tangan digital juga dapat memenuhi unsur yuridis seperti yang tertuang di

dalam tanda tangan secara konvensional. Seseorang yang membubuhkan

tanda tangan digitalnya dianggap mengakui semua yang ditulisnya dalam

dokumen elektronik yang bersangkutan. Dengan demikian, tanda tangan

digital mempunyai sifat “one signature document” yang mana apabila terjadi

perubahan sedikit saja pada tulisan yang dikirim maka tanda tangan

digitalnya juga akan berubah dan akan menjadi tidak valid lagi. Berdasarkan

teori kewenangan dalam aspek prosedur pembuatan akta notaris maka


52

terhadap keabsahan dari sertifikasi transaksi menggunakan cyber notary yang

dilakukan oleh notaris mempunyai 3 (tiga) kesimpulan.

Pertama, Akta notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat

(7) Undnag-Undang Jabatan Notaris yaitu Akta Notaris yang selanjutnya

disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini,

Kedua, Apabila sertifikasi yang tercantum dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3)

Undang-Undang Jabatan Notaris disamakan dengan surat di bawah tangan

yang disahkan oleh notaris (legalisasi), maka sertifikasi yang dimaksud

bukanlah akta otentik. Hal ini dikarenakan dalam legalisasi, notaris harus

memberikan kepastian tanggal dan tanda tangan para pihak/ penghadap,

dengan kata lain surat di bawah tangan dibuat sendiri oleh para pihak tetapi

surat tersebut harus dibacakan dan ditanda tangani di hadapan notaris maupun

para pihak. Di hadapan di sini diartikan hadir secara fisik bukan melalui alat

elektronik.Sehingga notaris mempunyai tanggung jawab untuk memberikan

kepastian tanggal dan tanda tangan yang dilakukan oleh para pihak/

penghadap.

Ketiga, sedangkan jika sertifikasi memiliki arti yang sama dengan

surat di bawah tangan yang didaftar oleh notaris (warmeking). Apabila

memang hal ini yang dimaksudkan maka sertifikasi itu sendiri bukanlah akta

otentik sehingga walaupun dilakukan dengan menggunakan cyber notary

tidak akan menimbulkan masalah karena notaris tidak memiliki tanggung


53

jawab baik terhadap kepastian tanggal, waktu maupun isinya serta bentuk dari

surat yang dibuat oleh para pihak/ penghadap.

Perbuatan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perbuatan hukum

bukan perbuatan menurut kenyataannya.Sehingga perbuatan hukum adalah

perbuatan yang mempunyai tujuan untuk menciptakan sesuatu hak atau

merubah sesuatu hak yang ada atau mengakhirinya berdasarkan pernyataan

atau kemauan pihak yang berkepentingan.17isi dari sertifikasi transaksi itu

sendiri harus memuat perbuatan hukum, perjanjian dan ketetapan yang tidak

dilarang oleh undang-undang. Mengenai perbuatan hukum yang dilarang oleh

undangundang adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain

atau perbuatan yang melanggar hukum. Perbuatan yang dimaksud tunduk

pada Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan tentang tanggung gugat yang

harus berdasarkan kesalahan.Jadi, dalam pasal tersebut mensyaratkan adanya

unsur kesalahan dan unsur kesalahan tersebut harus dibuktikan oleh pihak

yang menderita kerugian. Sedangkan perbuatan melanggar hukum oleh

notaris, tidak hanya perbuatan melanggar hukum saja, melainkan juga

perbuatan yang melanggar peraturan lain di mana perbuatan tersebut berada

dalam lapangan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat.

Perjanjian juga harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata.Jadi,

apabila syarat 1 (satu) dan 2 (dua) tidak terpenuhi perjanjian tersebut menjadi

17
Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Refika
Aditama, Bandung, hlm 78.
54

batal demi hukum. Begitu pula terhadap syarat 3 (tiga) dan 4 (empat) tidak

terpenuhi maka dapat dibatalkan. Sehingga isi dari sertifikasi atas transaksi

yang dilakukan oleh notaris juga harus memenuhi unsur-unsur perjanjian

yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata.isi dari sertifikasi itu sendiri

tidak boleh mengandung perbuatan hukum yang dilarang, perjanjian yang

dilarang dan juga harus memenuhi unsur-unsur 1320 KUH Perdata. Bukan

hanya ketiga hal tersebut di atas, substansi itu sendiri juga meliputi bentuk

dari sertifikasi transaksi itu sendiri.Di mana bentuk tersebut juga harus sesuai

dengan yang diatur dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun

2014.Apabila bentuk tersebut tidak sesuai, maka sertifikasi transaksi yang

menggunakan cyber notary menjadi tidak sah untuk dikategorikan sebagai

akta otentik.

Walaupun dalam hukum pembuktian telah diakomodasi informasi

elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, namun tidak

berlaku untuk semua hal, karena UUITE sendiri membatasi penggunaannya.

Halini dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (4), yang menentukan bahwa:

“Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Surat yang menurut

Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan Surat beserta

dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta

notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuatakta.”


55

Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (4) huruf a UUITE, bahwa surat

yang menurut undnag-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak

terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan

dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi

negara. Wewenang notaris ini apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5

ayat (4) huruf b UUITE yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak berlaku untuk surat beserta dokumennya yang menurut

undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat

oleh pejabat pembuat akta, maka ketentuan tersebut tidak akan mencapai

maksud dan tujuan dari UUITE yaitu dokumen elektronik dan tanda tangan

elektronik tidak dapat menggantikan kedudukan akta otentik yang dibuat

dihadapan atau oleh Notaris/ Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan

kata lain, UUITE membatasi bahwa dokumen elektronik tidak berlaku

terhadap dokumen atau akta notaris atau akta yang dibuat oleh PPAT.

Manfaat yang diberikan oleh akta otentik dapat disimpulkan dari

ketentuan Pasal 1870 KUH Perdata yang menyatakan bahwa akta otentik

memberikan kekuatan bukti lengkap dan mengikat bagi para pihak, ahli

warisnya dan penerima haknya mengenai apa yang dimuat dalam

aktatersebut. Berdasarkan Pasal 1867 KUH Perdata menentukan bahwa

pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik, maupun

dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.Jadi, akta sebagai bukti (bentuk)


56

terdiri dari akta otentik dan akta di bawah tangan.Akta di bawah tangan

merupakan akta yang ditandatangani, seperti surat-surat, register-register,

surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa

perantaraan seorang pegawai umum (Pasal 1874 KUH Perdata).Jadi, akta di

bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh para pihak sendiri

dan tidak dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat

akta yang oleh para pihak dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya

suatu perbuatan hukum.Dengan demikian kekuatan pembuktian akta tersebut

hanya sebatas pihak-pihak yang membuatnya saja.Hal ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para

pihak yang membuatnya.

Berdasarkan uraian terdahulu, maka penulis memberikan kesimpulan

bahwa sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary tetap sah selama

memenuhi unsur-unsur otentisitas akta dan bentuk akta yang telah diatur

dalam undang-undang yang berkaitan dengan jabatan notaris. Akan tetapi,

tidak semua kewajiban dan kewenangan notaris tersebut dapat dilaksanakan

dengan menggunakan cyber notary.

Berdasarkan hasil penelitian Fahma Rahman Wijanarko, bahwa

Kekuatan pembuktian akta notaris terhadap pemberlakuan cyber notary

berdasarkan UUJN dan hukum positif di Indonesia adalah tidak memiliki

pembuktian yang sempurna layaknya akta otentik, hal tersebut karena akta
57

notaris terhadap pemberlakuan cyber notary dimana akta notaries berbentuk

elektronik (akta elektronik) tersebut tidak memenuhi syarat keotentikan suatu

akta, selain itu UUJN-P dan UU ITE juga belum mengakomodir.18

Berdasarkan UU PT terdapat dua cara penyelenggaraan RUPS yaitu

RUPS biasa atau konvensional diatur pada pasal 76 UU PT dan RUPS

melalui media elektronoik diatur pada pasal 77 ayat (1) UU PT, dimana para

peserta RUPS tidak harus hadir secara fisik di tempat yang sama dimana

RUPS diselenggarakan namun peserta yang tidak hadir ini tetap dapat

mengikuti jalannya rapat dengan cara mendengar, melihat dan menyaksikan

apa yang dibahas dalam RUPS, melalui teknologi yang disebut

teleconference, video conference atau media elektronik lainnya.

Teleconference dapat diartikan sebagai sebuah pertemuan yang

dilaksanakan menggunakan fixed telepon (telepon rumah) atau telepon seluler

(handphone) yang tidak mewajibkan pesertanya hadir secara fisik di tempat

pertemuan yang sama. Teleconference biasa digunakan dalam urusan bisnis

dan menggunakan fasilitator atau pemimpin rapat. Teleconference ini sangat

bermanfaat bagi perusahaan yang beroperasi di beberapa tempat di berbagai

Negara dimana tidak semua peserta dapat hadir secara fisik di tempat yang

sama. Teleconference ini menggunakan jaringan internet dengan

menggunakan teknologi 3G dimana para peserta rapat dapat saling melihat,

Fahma Rahman Wijanarko, Mulyoto Mulyoto, and Supanto Supanto, ‘Tinjauan


18

Yuridis Akta Notaris Terhadap Pemberlakuan Cyber notary Di Indonesia Menurut Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014’, Repertorium, 2.2 (2015), hlm. 18-19.
58

mendengar dan menyaksikan dengan bantuan alat kamera dan speaker.

Terdapat dua macam teleconference yaitu audio conference dimana para

peserta hanya dapat mendengar suara peserta lain tanpa melihat rupa peserta

lainnya, dan video conference dimana para peserta dapat mendengar suara

sekaligus melihat rupa peserta lainnya. Dengan teleconference, para peserta

dapat menggunakan whiteboard yang sama dan para peserta memegang

kendali terhadapnya, selain itu para peserta dapat berbagi aplikasi lainnya

melalui teleconference. Produk yang pertama kali mendukung pelaksanaan

teleconference adalah Net Meeting yang diproduksi oleh Microsoft.

Dengan demikian RUPS yang dilaksanakan melalui Video conference

dapat mempertemukan para peserta seperti halnya dalam satu tempat

walaupun pada kenyataannya para peserta berada di tempat yang berbeda

namun masih dapat mendengar dan melihat peserta lainnya secara langsung

(live) sebagaimana pelaksanaan RUPS secara konvensional. Terkait materi

RUPS, terdapat kewajiban membuat akta Notaris bila materi RUPS adalah

mengenai perubahan anggaran dasar perusahaan. Hal ini dinyatakan dalam

Pasal 21 ayat (4) UU PT, yaitu : “Perubahan anggaran dasar sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dimuat atau dinyatakan dalam akta

notaris dalam bahasa Indonesia.”

Dalam hal ini, hasil keputusan RUPS yang materi rapatnya adalah

perubahan anggaran dasar harus dibuatkan akta notaris. Oleh karenanya

apabila RUPS dengan materi perubahan anggaran dasar ini dilaksanakan


59

melalui video conference maka harus dibuatkan akta notaris. Terkait dengan

pelaksanaan RUPS melalui video conference ini juga, UU PT pasal 77 ayat

(4) mengatur bahwa: “Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani

oleh semua peserta RUPS.”

Berdasarkan UU PT penjelasan pasal 77 ayat (4) jo. pasal 77 ayat (4),

dalam RUPS biasa atau konvensional akta risalah RUPS ditandatangani oleh

penghadap di hadapan notaris secara langsung atau ditandatangani secara

fisik. Sedangkan dalam RUPS secara video conference pendandatanganan

secara langsung dapat dimungkinkan digantikan dengan tanda tangan

elektronik. Dalam pelaksanaan RUPS melalui video conference ini yang perlu

digarisbawahi adalah adanya perbedaan dengan pelaksanaan RUPS secara

konvensional yaitu pada RUPS secara konvensional para peserta RUPS hadir

secara fisik pada waktu dan tempat yang sama dimana RUPS diselenggarakan

sedangkan pada RUPS melalui veideo conference ada peserta yang tidak

hadir di tempat yang sama namun pada waktu yang sama dapat mengikuti

jalannya RUPS dari awal hingga selesai.

Terkait hasil RUPS yang harus dibuatkan dalam bentuk akta, sebuah

akta dapat disebut sebagai akta otentik jika memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut: a. Bentuk akta tersebut sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-

undang. Dalam hal ini Undang-undang yang menentukan mengenai bentuk

akta adalah UU JN. Sehingga bentuk akta yang otentik harus mengikuti UU
60

JN pasal 38. b. Akta otentik dibuat di hadapan pejabat umum yang diangkat

oleh Menteri. Dalam hal ini Notaris adalah salah satu pejabat umum yang

mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik (sesuai dengan pasal

1868 KUH Perdata). c. Akta otentik dibuat oleh pejabat umum yang

berwenang. Seorang notaris yang sedang cuti atau sedang diberhentikan

sementara tidak berwenang untuk membuat akta otentik. Demikian juga

dengan seorang Notaris yang belum disumpah tidak dapat membuat sebuah

akta otentik (aktanya menjadi akta di bawah tangan).

Berdasarkan pasal 1 angka 1 dan pasal 15 ayat (1) UUJN jelas bahwa

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik

mengenai perbuatan, perjanjian dan penetapan. RUPS dapat dikatakan sebuah

perjanjian atau persetujuan antar para peserta RUPS berkaitan dengan

perseroan, oleh karenanya akta hasil keputusan RUPS yang dibuat oleh

Notaris dapat dikatakan sebagai akta otentik. Hal ini sesuai dengan pasal

1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, akta otentik adalah : “suatu akta

yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh/atau di

hadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud itu, di tempat di mana

akta itu dibuat.

Berdasarkan pasal 38 UU JN bahwa pada akhir akta harus disebutkan

uraian tentang pembacaaan akta terkait Pasal 16 ayat (1) huruf m UU JN serta

uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan, maka terkait

dengan risalah RUPS yang dilaksanakan melalui elektronik harus disebutkan


61

dengan tegas di akhir akta tentang hal penandatanganan melalui elektronik

dan tempat penandatanganan. Hal ini bertujuan agar akta yang dibuat dapat

menjadi otentik dengan memenuhi ketentuan mengenai bentuk akta tersebut

pada pasal 38 UU JN.

Terkait dengan prosedur pembuatan sebuah akta otentik menurut UU

JN diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf m: “membacakan akta di hadapan

penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4

(empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan,

dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris”

Berdasarkan pasal 16 ayat (1) huruf m Notaris berkewajiban hadir secara

langsung membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh 2

(dua) orang saksi dan khusus untuk akta akta waris harus dihadiri oleh 4

(empat) orang saksi, artinya prosedur pembuatan akta risalah RUPS juga

harus dihadiri secara langsung oleh Notaris, para penghadap dan 2 (dua)

orang saksi. Apabila prosedur ini tidak dilaksanakan oleh Notaris dalam

artian Notaris tidak membacakan dan berhadapan secara fisik (langsung)

dengan para penghadap dan saksi maka sanksi nya adalah kedudukan akta

tersebut menjadi akta di bawah tangan. Dalam hal ini yang menjadi

permasalahan adalah mengenai otentik atau tidaknya sebuah akta risalah

RUPS yang dilaksanakan melalui video conference karena RUPS tersebut

tidak mewajibkan kehadiran para penghadap di satu tempat yang sama. Hal

ini tentu tidak sesuai dengan aturan pasal 16 ayat (1) huruf m UU JN maka
62

bila yang menjadi dasar acuan adalah pasal 16 ayat (1) huruf m akta RUPS

melalui video conference kedudukannya dapat menjadi akta di bawah tangan.

Dalam hal ini terjadi pertentangan antara UU PT dan UU JN khususnya

dalam hal prosedur pelaksanaan RUPS. UU PT membolehkan pelaksanaan

RUPS melalui video conference dimana dimungkinkan ada peserta rapat yang

mengikuti jalannya RUPS dari tempat lain namun masih dapat melihat dan

mendengar jalannya RUPS sehingga Notaris tidak berhadapan dengan para

peserta rapat. Sedangkan UU JN mewajibkan Notaris hadir berhadapan

langsung secara fisik dengan para penghadap dan saksi.

Pertentangan tersebut dapat dilihat menggunakan asas preferensi

perundang-undangan lex specialis derogate legi generali. Asas lex specialis

derogate legi generali adalah asas preferensi undang undang yang merujuk

kepada dua undang undang yang secara hierarkis memiliki kedudukan yang

sama, dan perbuatan hukum tersebut diperintahkan oleh undang-undang, dan

yang membuat undang-undang tersebut lembaga yang sama. Perbedaannya

terletak pada ruang lingkup atau substansi kedua peraturan perundang-

undangan tersebut. UU PT dan UU JN merupakan dua undang undang yang

secara hierarkis memiliki kedudukan yang sama yaitu sebagai Undang-

Undang bukan peraturan di atas atau di bawahnya, dan perbuatan hukum

tersebut diperintahkan oleh undang-undang dimana dalam UU PT terdapat

perintah mengenai pembuatan akta notaris (akta otentik) dan dalam UU JN

terdapat perintah mengenai bentuk dan tata cara pembuatan akta notaris (akta
63

otentik), dan yang membuat undang-undang tersebut lembaga yang sama

dalam hal ini yaitu lembaga Departemen Perwakilan Rakyat. Jika digunakan

asas lex specialis derogate legi generali terhadap pertentangan kedua

perundang-undangan tersebut maka yang menjadi lex generalis–nya adalah

pasal 16 ayat (1) huruf m UU JN , sedangkan lex specialisnya adalah Pasal 77

ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 77 ayat (4) UU PT. Dengan konstruksi hukum

seperti ini maka ketentuan sanksi yang terdapat pada pasal 16 ayat (9) tidak

berlaku dan ketentuan pada pasal 16 ayat (1) huruf m ini hanya berlaku pada

akta-akta selain akta RUPS sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 77 ayat

(1) jo. penjelasan pasal 77 (4) UU PT. Dalam pelaksanaan pasal 77 ayat (1)

jo. penjelasan pasal 77 ayat (4) UU PT perlu diperhatikan pula mengenai

bentuk akta terkait pasal 38 . Pada pembuatan akta biasa atau konvensional

bentuk akta terutama pada bagian penutup akta sudah tentu menunjukkan

bahwa para penghadap, saksi dan Notaris hadir di suatu tempat dan waktu

yang sama. Lain halnya dengan RUPS melalui video conference, tempat

peserta RUPS yang berbeda dengan peserta lainnya harus secara tegas

disebutkan agar tidak mengakibatkan akta tersebut menjadi akta di bawah

tangan. Dari uraian di atas maka kedudukan hukum akta risalah RUPS yang

dilaksanakan melalui media elektronik khususnya video conference dapat

disebut sebagai akta otentik apabila menggunakan asas perundang-undangan

lex specialis derogate legi generali dimana yang menjadi lex generalis–nya

adalah pasal 16 ayat (1) huruf m , sedangkan lex specialis-nya adalah Pasal

77 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 77 ayat (4) UU PT.


64

Konflik norma antara Pasal 15 ayat (3) dengan Pasal 16 ayat (1) huruf

m UUJN dapat diselesaikan dengan tetap menggunakan Pasal 15 ayat (3)

UUJN dan juga dapat membuat akta notaris pada umumnya sepanjang

pelaksanaan pasal tersebut sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal

38 UUJN serta juga harus memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1868 KUH

Perdata yang merupakan syarat otentisitas akta. Hal ini dikarenakan dalam

satu undang-undang dilarang untuk mengenyampingkan pasal yang lainnya

dan sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary adalah sah karena

telah diatur dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014

yang memberikan kewenangan kepada notaris untuk melakukan sertifikasi

transaksi secara cyber notary dengan tetap memperhatikan unsur-unsur akta

otentik. Sebagaimana diatur pula dalam UU ITE Ketentuan mengenai

informasi dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) tidak berlaku untuk: a) Surat yang menurut undang-undang harus dibuat

dalam bentuk tertulis; dan b) Surat beserta dokumennya yang menurut

undang-undang harus dibuat dalam akta notaril atau akta yang dibuat oleh

pejabat pembuat akta.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan

dalam bab-bab terdahulu untuk menjawab permasalahan dalam penulisan ini

dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan tentang sertifikasi transaksi elektronik oleh Notaris (Cyber

notary) dalam Peraturan perundang-undangan terutama UUJN kurang

lengkap/belum jelas karena belum diterbitkannya peraturan pelaksana

terkait dengan cyber notary, konsep cyber notary di Indonesia telah

dimungkinkan dalam hal pembuatan akta hasil Rapat Umum Pemegang

Saham (RUPS) namun dalam UU Jabatan Notaris masih belum membuka

peluang terhadap kemungkinan dilakukannya konsep cyber notary karena

terkendala oleh kewajiban Notaris sebagaimana termaktub dalam Pasal 16

ayat (1) huruf m UU Jabatan Notaris.

2. Keabsahan akta notaris dalam melakukan praktik cyber notary, sepanjang

akta tersebut berupa bentuk yang diatur dalam undang-undang jabatan

notaris, maka akta tersebut adalah sah. Konflik norma antara Pasal 15 ayat

(3) dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN dapat diselesaikan dengan

tetap menggunakan Pasal 15 ayat (3) UUJN dan juga dapat membuat akta
66

notaris pada umumnya sepanjang pelaksanaan pasal tersebut sesuai dengan

Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal 38 UUJN serta juga harus memenuhi

unsur-unsur dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang merupakan syarat

otentisitas akta.

B. Saran
1. Pemerintah perlu menerbitkan peraturan perundang-undangan baru yang

mengatur bagaimana konsep cyber notary dan pelaksanaan wewenang

notaris dalam mensertifikasi transaksi secara elektronik.

2. Pertegas kedudukan akta notaril dan penerapan cyber notary di Indonesia

jika hal tersebut memungkinkan untuk terlaksana. Karena dengan adanya

pasal-pasal yang berbenturan akan menciptakan ketidakpastian hukum.


67

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdul Ghofur Anshori. 2016. Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif


Hukum Dan Etika. Yogyakarta. UII Press.

Bahder Johan Nasution. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung. Mandar
Maju.
68

Bambang Marhijanto. 2004. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer.


Surabaya. Bintang Ilmu.

Habib Adjie. 2008. Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU


No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung. Reflika Aditama.

Habib Adjie. 2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta.


Bandung. Mandar Maju.

Habib Adjie. 2011. Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris. Bandung. Reflika
Aditama.

Habib Adjie. 2009. Sanksi Perdata Dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik. Bandung. PT. Refika Aditama.

Mochtar Kusumaatmadja di dalam Otje Salman dan Eddy Damian. 2002. Konsep-Konsep
Hukum  dalam Pembangunan. Bandung. Alumni.

Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Kencana Pranada
Media Group.
69

Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana Prenada


Media Grup.

R.A. Emma Nurita. 2012.Cyber notary Pemahaman Awal Dalam Konsep


Pemikiran. Bandung. PT. Refika Aditama.

R. Soegondo Notodisoerjo. 2002. Hukum Notarial Di Indonesia Suatu


Penjelasan. Jakarta. CV. Rajawali.

Ridwan, H.R. 2003. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta. UII Press.

Salim H.S., dan Erlies Septiani Nurbani. 2017. Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis Dan Disertasi. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Salim HS. 2016. Teknik Pembuatan Akta Satu. Jakarta. PT. Raja Grafindo
Persada.

Satjipto Rahardjo di dalam Abd. G. Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari. 1980.
Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia. Bandung. Alumni.
70

JURNAL HUKUM:

Cyndiarnis Cahyaning Putri, Abdul Rachmad Budiono. 2019. ‘Konseptualisasi


Dan Peluang Cyber notary Dalam Hukum’, Jurnal Ilmiah Pendidikan
Pancasila Dan Kewarganegaraan.Universitas Brawijaya. Malang

Desy Rositawati, I Made Arya Utama, dan Desak Putu Dewi Kasih. 2017.
‘Penyimpanan Protokol Notaris Secara Elektronik Dalam Kaitan Cyber
notary’, Acta Comitas, Acta Comitas. Universitas Udayana. Bali.

Dewa Ayu Widya Sari. 2017. ‘Kewenangan Notaris Di Bidang Cyber notary
Berdasarkan Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris’. Acta Comitas. Vol 2. Universitas Udayana. Bali.

Edmon Makarim. 2011. ‘Kajian Hukum Terhadap Kemungkinan Cyber notary Di


Indonesia’, Jurnal Hukum Dan Pembangunan, Vol 41.

Fahma Rahman Wijanarko, Mulyoto Mulyoto, danSupanto Supanto. 2015.


‘Tinjauan Yuridis Akta Notaris Terhadap Pemberlakuan Cyber notary Di
Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014’, Repertorium,
Vol 2.Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta.
71

Fatriansyah, Purwantoro. 2019. Peran Majelis Pengawas Notaris’, Recital Review,


Vol 1. Universitas Jambi. Jambi.

Habib Adjie. 2016. ‘Kuliah Umum: “Konsep Notaris Mayantara: Notaris


Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Persaingan Global,’ (Palembang:
Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya. Palembang.

Kartini Siahaan. 2019. ‘Kedudukan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Pada
Tindak Pidana Pemalsuan Surat Dalam Proses Peradilan Pidana’, Recital
Review. Universitas Jambi. Jambi.

Luthvi Febryka Nola. 2011. Peluang Penerapan Cyber notary Dalam Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia. Negara Hukum, Vol 2.

Syamsir, Elita Rahmi, dan Yetniwati. 2019. ‘Prospek Cyber notary Sebagai Media
Penyimpanan Pendukung Menuju Profesionalisme Notaris’, Recital
Review. Universitass Jambi. Jambi.

Wardani Rizkianti. 2016. ‘Akta Otentik Rapat Umum Pemegang Saham (Rups)
Melalui Media Telekonferensi (Mekanisme Pembuatan Dan Kekuatan
Pembuktiannya)’, Jurnal Yuridis. Vol 3.Universitas Pembangunan
Nasioanl “Veteran” Jakarta. Jakarta.
72

Yahya Agung Putra, Annalisa Yahanan, dan Agus Trisaka. 2019. ‘Video
Konferensi Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Berdasarkan Pasal 77
Undang-Undang Perseroan Terbatas’, Repertorium Jurnal Ilmiah Hukum
Kenotariatan, Vol 8. Universitas Sriwijaya. Palembang.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undnag-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Peraturan Pemerintah Nmor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan


Transaksi Elektronik
73

Anda mungkin juga menyukai