Anda di halaman 1dari 17

TESIS MINOR

UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM SIBER DAN KENOTARIATAN (B)

KEAUTENTIKAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN MEKANISME


CYBER NOTARY DI INDONESIA

Oleh :

CHOLIDATUL RIZKY AMALIA


NIM. 032114253055

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
3. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 3
3.1 Keautentikan Akta Notaris ................................................................... 3
3.2 Mekanisme Cyber Notary Di Indonesia ............................................... 6
4. Analisa.......................................................................................................... 8
5. Kesimpulan ................................................................................................ 13
REFERENSI

ii
KEAUTENTIKAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN MEKANISME
CYBER NOTARY DI INDONESIA

1. Latar Belakang

Kemajuan teknologi dan informasi merupakan realitas perkembangan


peradaban dunia yang memberikan akses terhadap perubahan gaya hidup
masyarakat dalam berbagai disiplin ilmu. Teknologi komunikasi berkembang
sangat pesat dan mengglobal di seluruh dunia termasuk Indonesia. Istilah
“Borderless world”, “dunia tanpa batas” sering dikutip untuk menjelaskan betapa
pesatnya teknologi berkembang, terutama dalam teknologi komunikasi. pesatnya
teknologi itu berkembang serta memainkan peranan yang sangat penting terutama
dalam teknologi komunikasi seperti: menjadi penghubung antar individu,
kelompok komunitas juga korporasi dalam waktu yang amat cepat dan
spektakuler tanpa harus menghadirkan pihak-pihak yang berkomunikasi hadir
berhadapan secara face to face.1
Indonesia yang berada dalam era globalisasi ditandai dengan era teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) yang memperkenalkan dunia maya (cyberspace,
virtual world) melalui jaringan internet, komunikasi dengan media elektronik
tanpa kertas. Seseorang akan memasuki dunia maya yang bersifat abstrak,
universal, lepas dari keadaan tempat dan waktu melalui media elektronik ini.2
Pada kenyataannya, ada dua jenis pelayanan publik, yaitu pelayanan
pemerintah dan non pemerintah. Namun demikian, dalam jenis pelayanan non
pemerintah ini, wewenang dan fungsi secara jelas ditentukan oleh undang-undang
sebagai berikut, dan berkaitan erat dengan pelayanan publik dan penegakan
peraturan perundang-undangan contohnya jasa Notaris..3 Notaris merupakan

1
NK Supasti Dharmawan, Putu Tuni Cakabawa Landra and Ni Putu Purwanti, „Keberadaan
Pemegang Saham Dalam Rups Dengan Sistem Teleconference Terkait Jaringan Bermasalah
Dalam Perspektif Cyber Law‟ (2015) 4 Udayana Master Law.
2
Mariam Darus Badrulzaman, Mendambakan Kelahiran Hukum Saiber (Cyber Law) Di
Indonesia: Pidato Upacara Purna Bhakti Sebagai Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatra Utara (USU Press 2001).
3
Kadek Setiadewi and I Made Hendra Wijaya, „Legalitas Akta Notaris Berbasis Cyber Notary
Sebagai Akta Otentik‟ (2020) 6 Jurnal Komunikasi Hukum.

1
2

pihak pejabat umum atau orang yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
membuat akta otentik.4 Peraturan perundang-undangan terkait tugas dan
wewenang seorang Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang mewajibkan dilakukannya pembuatan akta
otentik guna menciptakan perlindungan dan kepastian hukum.5
Kegiatan pelayanan Notaris di era globalisasi telah bergerak menuju
pelayanan berbasis elektronik yang dikenal dengan Cyber Notary sehingga
seharusnya diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia. Hal ini guna menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum kepada para pihak dan Notaris terkait dengan Akta yang dibuatnya.
Perkembangan teknologi yang sangat cepat membuat masyarakat harus
dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Untuk menyesuaikan
perkembangan yang sedang berproses, maka hukum harus selalu mengimbangi
dengan melakukan perubahan-perubahan dalam hukum positifnya. Meskipun
bidang hukum terus mengalami perubahan karena perkembangan tersebut,
kenyataannya hukum terus mengalami ketertinggalan. Ketertinggalan ini pun juga
berdampak pada profesi hukum, khususnya bidang kenotariatan. Salah satunya,
yakni belum adanya kepastian hukum dalam Akta autentik yang dibuat oleh
Notaris secara elektronik. Ini karena belum adanya peraturan perundangundangan
yang mengatur secara khusus mengenai pembuatan Akta autentik oleh Notaris
secara elektronik.6
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (PUUJN) telah
diatur mengenai Cyber Notary dalam Pasal 15 ayat (3) yang menyatakan bahwa
berlakunya cyber notary hanya dalam kewenangan sertifikasi kegiatan transaksi
antara Notaris dan Penghadap, namun hal tersebut belum diimplementasikan
dalam kewenangan notaris secara menyeluruh seperti pembuatan akta. Hal inilah
yang menjadi titik perhatian bahwa cyber notary di Indonesia belum dilibatkan

4
Lumbuan Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Erlangga 1983).
5
ibid.
6
Denny Fernaldi Chastra, „Kepastian Hukum Cyber Notary Dalam Kaidah Pembuatan Akta
Autentik Oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris‟ (2021) 3 Indonesian Notary.
3

penuh dalam kehidupan hukum terkhusus layanan notaris, karena belum adanya
regulasi yang jelas mengatur cyber notary secara menyeluruh.
Untuk itu atas dasar latar belakang tersebut di atas, problematika sistem
kenotariatan yang banyak menjadi perdebatan di Indonesia terlebih dengan
munculnya Covid-19 yang mana semua sektor pemerintahan maupun pendidikan
dilaksanakan secara online dan terkait dengan perlindungan dan keautentikan akta
yang dibuat Notaris secara elektronik serta akibat hukumnya sangat diperlukan
adanya peraturan yang mengatur lebih spesifik mengenai hal ini. Penulis tertarik
untuk menulis analisa tesis minor dengan judul KEAUTENTIKAN AKTA
NOTARIS BERDASARKAN MEKANISME CYBER NOTARY DI
INDONESIA.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, permasalahan yang akan diangkat adalah
sebagai berikut :
1. Kesesuaian konsep Cyber Notary dengan pengaturannya di Indonesia
2. Kekuatan Hukum Akta Notaris jika dibuat dengan metode Cyber Notary

3. Tinjauan Pustaka
3.1 Keautentikan Akta Notaris
3.1.1 Akta
Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau
”akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act”atau“deed”. Akta menurut
Sudikno Mertokusumo merupakan surat yang diberi tanda tangan yang
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,
yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.7 Menurut
subekti, akta berbeda dengan surat, yaitu suatu tulisan yang memang dengan
sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan
ditandatangani.8 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud akta, adalah:
7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Liberty 2006).
8
Subekti, Hukum Pembuktian (Pradnya Paramitha 2005).
4

1. Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling)


2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan
hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian
sesuatu.
Fungsi suatu akta pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari tujuan
awal dibuatnya akta tersebut. Akta dibuat sebagai bukti bahwa para pihak
telah mengadakan suatu perjanjian secara tertulis, yang mana di dalam akta
tersebut telah tertulis tujuan dari dibuatnya perjanjian oleh para pihak. Tidak
hanya berkaitan dengan para pihak yang mengadakan perjanjian, akta juga
dapatdipergunakan sebagai bukti bagi pihak ketiga diluar dari perjanjian
tersebut bahwa memang pada saat itu terjadi perjanjian yang mengikat para
pihak yang terdapat di dalam akta.
Akta Otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan,
yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang
berkepentingan, akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat,
yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya.9
Berdasarkan jenisnya akta notaris memiliki dua bentuk yaitu:
1. Akta yang dibuat oleh Notaris/ relass acte/ akta pejabat pejabat adalah akta
yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu dengan menerangkan apa
yang dilihat, dialami dan didengar sendiri oleh pejabat tersebut. Ciri khas akta
pejabat yaitu tidak adanya komparisi dan notaris bertanggung jawab penuh
atas pembuktian akta ini. Notaris juga dilarang melakukan penilaian
sepanjang pembuatan akta pejabat. Contoh akta pejabat adalah akta berita
acara lelang, akta risalah rapat umum pemegang saham, akta penarikan
undian dan lain-lain.10

9
Hadyan Iman Prasetya, „Memaknai Implementasi Konsep Cyber Notary Dalam Pelaksanaan
Lelang‟ (2020) <https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13397/Memaknai-Implementasi-
Konsep-Cyber-Notary-Dalam-Pelaksanaan-Lelang.html> accessed 9 June 2022.
10
Yuli Kristina, Masruchin Ruba‟i and Haryanto Susilo, „Analisis Yuridis Terhadap Akta Notaris
Yang Dicatat Dalam Sela-Sela Kosong Diantara Akta Notaris Yang Telah Dicatat Dalam Buku
Daftar Akta Notaris‟ (2015).
5

Berkaitan dengan akta pejabat/relaas akte, maka dapat diketahui ciriciri dari
akta tersebut adalah:
- Notaris membuat akta berdasarkan apa yang dilihat, dialami dan didengar
sendiri di hadapan notaris tersebut pada saat itu.
- Akta yang dibuat sesuai dengan kewenangannya sebagai pejabat umum.
- Notaris mempunyai tanggung jawab terhadap kebenaran dari isi dan bentuk
akta.
- Akta yang dibuat tetap menjadi akta otentik walaupun para pihak tidak
membubuhkan tandatanganya. Hal ini dikarenakan akta tersebut merupakan
akta pejabat dan tidak dapat digugat kecuali telah dinyatakan palsu.
- Pada akhir akta dinyatakan bahwa para pihak meninggalkan tempat atau
tidak membubuhkan tanda tangan sebelum akta tersebut selesai dibuat
2. Akta yang dibuat dihadapan notaris/partij acte adalah akta yang dibuat
dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu dan akta itu dibuat atas
pemintaan atau kehendak para pihak yang berkepentingan. Ciri khas akta ini
adalah adanya komparisi atas para pihak yang menyebutkan kewenangan para
pihak dalam melakukan perbuatan hukum yang dimuat dalam akta. Contoh:
akta jual beli, sewa menyewa, pendirian prseroan terbatas, pengakuan hutang
dan lain-lain. Perbedaan dari kedua akta tersebut adalah :11
- Dalam akta pihak akan menimbulkan akibat lain, yaitu jika salah satu pihak
tidak menandatangani aktanya maka salah satu pihak tersebut dapat diartikan
ia tidak menyetujui perjanjian tersebut kecuali ada alasan yang kuat mengenai
hal penandatanganan tersebut. Misalnya karena tangannya sakit atau menaruh
cap jempol. Tapi alasan tersebut tetap harus dicantumkan dengan jelas dalam
akhir akta yang berangkutan.
- Dalam akta pejabat masih dianggap sah sebagai suatu alat bukti apabila ada
satu atau lebih di antara penghadapnya tidak menandatangani akta sepanjang
notaris menyebutkan alasan para pihak tidak menandatangani akta tersebut
Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

11
Habib Adjie, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris (Refika Aditama 2011).
6

Jabatan Notaris (UUJN) yang menyatakan bahwa akta notaris adalah akta
otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Sehingga terjadi
suatu pertentangan ketika akan menerapkan konsep cyber notary sebagai
salah satu layanan jasa notaris. Hal tersebut dikarenakan dalam konsep cyber
notary dalam proses pembuatan akta dilakukan secara elektronik, mulai dari
penghadapan para pihak, pertukaran informasi secara transaksi elektronik,
dan penggunaan tanda tangan digital, sementara yang dimaksud dalam Pasal
1 angka 7 UUJN-P, penggunaan kata menghadap, penghadap, berhadapan,
dan hadapan dalam UUJN-P terjemahan dari kata verschijnen yang berarti
datang menghadap yang dimaksud dalam artian yuridis adalah kehadiran
nyata.12
Kemudian dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa Pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi
dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat; meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pelayanan publik;
c. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan
pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung
jawab;
d. dan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna
dan penyelenggara Teknologi Informasi.

3.2 Mekanisme Cyber Notary Di Indonesia


3.2.1 Cyber Notary
Cyber notary merupakan suatu konsep notaris pada umumnya yang

12
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris. (3rd edn, Refika Aditama 2011).
7

menjalankan fungsi notaris dengan mengaplikasikannya ke dalam transaksi


atau hubungan secara elektronik melalui internet sebagai media utama dalam
kinerjanya untuk membuat suatu akta notaris dan mengarah kepada bentuk
akta yang awalnya sah apabila tertuang dalam kertas, menuju ke akta secara
elektronik (akta elektronik) atau dalam bentuk dokumen elektronik. Didalam
hukum positif Indonesia, ada beberapa peraturan yang memberikan peluang
terwujudnya konsep cyber notary, diantaranya adalah Pasal 5 ayat (2) dan
ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berbunyi:13
“(2). Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia;
(3). Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah
apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini.”
dan beberapa peraturan lain diantaranya adalah Pasal 77 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) yang
berbunyi: “Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video
konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua
peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta
berpartisipasi dalam rapat.”
Menurut Surya Jaya, cyber notary adalah penggunaan atau
pemanfaatan teknologi informasi misalnya komputer, jaringan komputer, dan
atau media elektronik lainnya misalnya telekonferensi atau video konferensi
dalam pelaksanaan tugas kewenangan notaris.14 Pengertian tersebut juga
memberikan gambaran bahwa dalam penerapan cyber notary, akta yang
dibuat dapat berbentuk akta elektronik. Akta elektronik digambarkan dengan
notaris dalam membuat akta otentik dengan memanfaatkan media elektronik.
13
Anonim, Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik. (2nd edn, Kesindo Utama 2010).
14
Surya Jaya, „Cyber Notary Dalam Perspektif Hukum Pembuktian‟ (2012).
8

3.2.2 Informasi Elektronik


Menurut pasal 1 ayat (1) UU No 11 Thn 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik menyatakan informasi elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Berdasarkan psl tersebut maka dapat dikatakan bahwa segala informasi
yang berbentuk elektronik Jonner Hasugian dalam artikelnya berpendapat bahwa
dalam era saat ini berbagai sumber daya informasi yang berbasis pada kertas telah
tersedia dalam format elektronik.15

4. Analisa
1. Kesesuaian konsep Cyber Notary dengan pengaturannya di Indonesia
Penerapan cyber notary merupakan suatu keniscayaan, tidak boleh tidak
harus terwujud untuk menghadapi persaingan global. Harus diakui bahwa
pergeseran peran notaris berkaitan tugas dan kewenangan menuju pada era yang
dinamakan dengan cyber notary, tidaklah mudah. Para notaris harus siap
menyambut era elektronik, di mana konsep cyber notary atau ada juga yang
menyebutnya notary by digital, akan merambah masuk ke Indonesia.16
Asal-usul konsep cyber notary dapat dilacak pada dua sistem hukum, yaitu
pada sistem common law dan civil law. Berdasarkan pembagian tersebut,
diketahui bahwa terdapat dua istilah hukum yang sering dipersamakan, yaitu
“Electronic Notary” (E-Notary) dan “Cyber Notary”. Istilah yang pertama,
pertama kali dikenalkan oleh delegasi Perancis dalam sebuah forum legal
workshop yang diselenggarakan oleh Uni Eropa pada tahun 1989 di Brussel,
Belgia. Esensinya, konsep E-Notary menjadikan notaris sebagai suatu pihak yang

15
Jonner Hasugian, „Urgensi Literasi Informasi Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi Di
Perguruan Tinggi.‟ (2008) 4 Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi.
16
Fahma Rahman Wijanarko, Mulyoto Mulyoto and Supanto Supanto, „Tinjauan Yuridis Akta
Notaris Terhadap Pemberlakuan Cyber Notary Di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014‟ (2015) 2 Repertorium 7.
9

menyajikan independent record terhadap suatu transaksi elektronik yang


dilakukan para pihak.17
Sedangkan, istilah cyber notary dikenalkan pertama kali oleh American
Bar Association (ABA) pada tahun 1994. Konsep ini mengandung makna bahwa
seseorang yang melaksanakan kegiatan cyber notary adalah seseorang yang
mempunyai spesialisasi kemampuan dalam bidang hukum dan komputer. Lebih
lanjut, dalam konsep ini dipersepsikan bahwa fungsinya dipersamakan layaknya
notaris latin dalam memfasilitasi suatu transaksi internasional, dapat melakukan
otentikasi dokumen secara elektronik, dan diharapkan dapat memverifikasi
kapasitas hukum dan tanggung jawab keuangan.18
Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah diklasifikasikan bahwa konsep
E-Notary yang diusulkan oleh Perancis mewakili cara pandang sistem hukum civil
law atau Eropa Kontinental, sedangkan usulan ABA tentang cybernotary
merupakan perspektif sistem common law atau Anglo-Amerika. Dengan
demikian, Indonesia sebagai negara yang pada prinsipnya menganut sistem civil
law lebih tepat mengadopsi konsep E-Notary, namun kenyataannya pada
penjelasan pasal 15 ayat (3) UUJN justru secara eksplisit mencantumkan istilah
cyber notary. Berdasarkan fakta tersebut, terdapat pendapat yang menyatakan
bahwa Indonesia seharusnya tidak mengadopsi konsep cyber notary secara apa
adanya, dan menyarankan untuk mengkonsepsikan sendiri apa yang dimaksud
dengan cyber notary itu dalam konteks Indonesia.19
Ketentusn Pasal 15 ayat (3) pada batang tubuh UUJN mengatur mengenai
adanya kewenangan-kewenangan lain yang dimiliki oleh notaris selain yang telah
diatur dalam UUJN itu sendiri. Pada bagian Penjelasan Pasal tersebut barulah
kemudian menerangkan bahwa kewenangan-kewenangan lain tersebut adalah
“kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber
notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.” Bunyi

17
Edmon Makarim, „Modernisasi Hukum Notaris Masa Depan: Kajian Hukum Terhadap
Kemungkinan Cybernotary Di Indonesia‟, (2011) 4 Jurnal Hukum dan Pembangunan.
18
ibid.
19
Andes Willi Wijaya, „Konsep Dasar Cyber Notary : Keabsahan Akta Dalam Bentuk Elektronik‟
(2018) <https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/11/29/konsep-dasar-cyber-notary-keabsahan-akta-
dalam-bentuk-elektronik/> accessed 9 June 2022.
10

Penjelasan tersebut dianggap sebagai pintu masuk berlakunya konsep cyber


notary dalam sistem hukum Indonesia. Namun demikian, belum ditemukan
adanya pengaturan lebih lanjut mengenai hal tersebut dan bagaimana tata cara
pelaksanaan kewenangan cyber notary tersebut dalam tataran implementasi.
Sejatinya UUJN mempunyai semangat yaitu menghendaki bahwa yang
dilakukan secara elektronis itu merupakan transaksinya. Sehingga bisa dipahami
bahwa proses sertifikasi tidak secara elektronik, tetapi sertifikasi itu dilaksanakan
terhadap sebuah transaksi yang dilakukan secara elektronik. Hal ini berdasarkan
dalam pengaturan pada Pasal 16 ayat (1) huruf “c” UUJN yang mengatur bahwa
para penghadap harus melekatkan surat & dokumen sidik jari dalam minuta akta,
ialah pengaturan tadi menghendaki adanya kehadiran fisik para penghadap secara
pribadi dihadapan notaris. Hal tadi tentu tidak bisa dilakukan apabila prosesnya
dilaksanakan secara elektronik. Pengaturan pada UUJN tadi bisa sebagai cerminan
semangat undang-undang itu, & sinkron menggunakan asas keselarasan pada
materi muatan peraturan perundang-undangan maka haruslah diketengahkan
asumsi bahwa antara Pasal 16 ayat (1) huruf “c” UUJN menggunakan Penjelasan
Pasal 15 ayat (3) UUJN tidaklah terjadi pertentangan, tetapi lantaran Penjelasan
tidak mengandung kebiasaan yg mengikat, maka ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf
“c” lebih mempunyai kekuatan yang mengikat untuk sebagai dasar argumen.
Namun jika kembali pada hakikat notaris yang kewenangan pokoknya
untuk membuat akta otentik, maka maksud dari sertifikasi dalam penjelasan pasal
15 ayat (3) UUJN tersebut adalah proses penuangan transaksi elektronik ke dalam
akta otentik sehingga transaksi elektronik dapat dibuktikan keabsahannya.

2. Kekuatan Hukum Akta Notaris jika dibuat dengan metode Cyber Notary
Ketentuan pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
memberikan pengertian mengenai dokumen elektronik yaitu setiap informasi
elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, disimpan dalam bentuk
analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat,
ditampilkan dan didengar melalui komputer atau sistem elektronik tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
11

tanda, angka, kode akses, atau simbol yang mempunyai makna dan dapat
dipahami oleh orang yang mempu memahaminya. Dokumen elektronik dapat
dijadikan alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU ITE.20
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, sangatlah penting bagi notaris untuk mengetahui
mengenai perkembangan wacana cyber notary di Indonesia. Karena peluang untuk
mengimplementasikan cyber notary tersebut sangatlah terbuka, terlebih adanya
pasal 15 ayat (3) UUJN-P yang mengatur kewenangan mensertifikasi transaksi
yang dilakukan secara elektronik.
Berkaitan dengan kewenangan lain yang diberikan kepada notaris yaitu
untuk mensertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary, maka hasil print
out dari sertifikasi tersebut dapat juga dikategorikan ke dalam dokumen
elektronik. Hal mana dokumen elektronik tersebut juga harus memenuhi
unsurunsur dalam pasal 1868 KUH Perdata mengenai keotentikan akta.21
Sehubungan dengan perkembangan TIK yang memanfaatkan internet tersebut,
tentu saja berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang bagi notaris.
Notaris selaku pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik yang
pada awalnya menggunakan cara-cara konvensional (masih terpaku dengan cara
harus bertemu secara langsung dihadapan notaris dan data-data penghadap
diberikan secara langsung kepada notaris dengan akta yang dibuat dan disahkan
dalam kertas) dalam pembuatan akta otentik dan memiliki kekuatan hukum yang
sempurna oleh pihak-pihak yang membutuhkannya dalam fungsi pembuktian,
menuju ke arah jasa pelayanan notaris secara elektronik atau memanfaatkan ruang
maya/cyber space dalam menjalankan fungsi notaris yang dikenal dengan cyber
notary.
Berkaitan dengan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014
dan penjelasannya bahwa notaris mempunyai kewenangan lain yang salah satunya
adalah mensertifikasi transaksi dengan menggunakan alat elektronik (cyber
notary), yang mana sertifikasi itu sendiri tidak dijelaskan pengertiannya sehingga
menimbulkan pengertian yang ambigu. Akan tetapi, Emma Nurita memberikan
20
Zainatun Rossalina, „Keabsahan Akta Notaris Yang Menggunakan Cyber Notary Sebagai Akta
Otentik‟ (Universitas Brawijaya 2016).
21
ibid.
12

pengertian dari sertifikasi adalah prosedur dimana pihak ketiga memberikan


jaminan tertulis bahwa suatu produk, proses atas jasa telah memenuhi standar
tertentu, berdasarkan audit yang dilaksanakan dengan prosedur yang disepakati.
Pada praktiknya konsep yang memanfaatkan kemajuan teknologi dalam
menjalankan tugas-tugas dan kewenangan notaris mengalami hambatan yaitu
mengharuskan kehadiran pengguna jasa notaris untuk hadir dihadapan notaris dan
tentunya berbeda dengan konsep cyber notary yang justru menghilangkan aspek
pertemuan fisik.
Ketentuan dari pasal 1868 BW yang di dalamnya mengatur akta otentik
termasuk juga akta notaris, wajib dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh
undang-undang dan akta tersebut dibuat oleh atau dibuat di hadapan pejabat
umum yang berwenang di tempat di mana akta itu dibuat, sehingga apabila akta
yang dibuat tersebut telah sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang dan pejabat umum yang membuat akta tersebut sesuai dengan
kewenangannya maka akta tersebut dapat digolongkan sebagai akta otentik.
Namun akan menjadi masalah apabila dalam proses pembacaan dan
penandatangan aktanya menggunakan cyber notary atau dengan kata lain
menggunakan alat-alat elektronik misalnya teleconfirence atau video call . Hal ini
dikarenakan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 2 Tahun
2014 menyatakan bahwa pembacaan akta harus dilakukan di hadapan para
penghadap dan paling sedikitdihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, dan dalam
penjelasannya dinyatakan bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan
menandatangani Akta di hadapan penghadap dan saksi. Kata Hadir secara fisik,
jika dijabarkan kata demi kata yaitu hadir langsung dan secara fisik. Hadir artinya
ada atau datang.22 Sedangkan kata fisik mempunyai arti badan/jasmani, sehingga
maksud hadir secara fisik yaitu ada secara jasmanidengan kata lain berwujud atau
terlihat secara fisik. Penjelasan tentang hadir secara fisik menimbulkan konflik
norma dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2014, karena cyber notary sebagai
bagian dari kemajuan teknologi dapat mempertemukan dua pihak atau lebih di

22
R Soeroso, Perjanjian Di Bawah Tangan (Sinar Grafika 2010).
13

tempat yang berbeda dengan fasilitas suara dan gambar yang senyatanya, sehingga
bentuk wajah, suara dan keadaan nyata dapat terlihat.
Terhambatnya pelayanan cyber notary disebabkan adanya syarat formil
yang harus dipenuhi untuk mendukung keabsahan Akta Notaris sebagaimana
diatur dalam UUJN. Syarat-syarat formil tersebut adalah :
1. dibuat dihadapan pejabat yang berwenang (Pasal 15 ayat (1) UUJN)

2. dihadiri para pihak (Pasal 16 ayat (1) huruf I)

3. kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada Notaris (Pasal 39


UUJN-P)

4. dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 40 UUJN)

Bahwa syarat formil kehadiran para pihak tersebut bersifat kumulatif dan bukan
bersifat alternative, artinya satu syarat saja tidak dipernuhi maka mengakibatkan
akta notaris tersebut mengandung cacat formil dan berarti akibatnya tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum pembuktian.23 Berdasarkan penjelasan tersebut
diatas dasar hukum UUJN merupakan peraturan yang tidak dapat dikesampingkan
oleh peraturan ataupun kedaruratan atas permasalahan covid-19.

5. Kesimpulan
1. Perlunya adanya pembaharuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014
khususnya yang berkaitan dengan proses pembuatan akta dalam arti yang
seluasnya dan pembuatan akta secara cyber notary pada khususnya. Selain itu,
diperlukan pula penjabaran pengertian tentang sertifikasi dengan menggunakan
cyber notary atau pembuatan akta dengan menggunakan cyber notary sama
dengan pembuatan akta notaris. Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan
tugas jabatannya notaris dapat menggunakan kecanggihan teknologi tanpa harus
melanggar undang-undang yang mengatur pelaksanaan tugas jabatannya dan
undang-undang lain yang berkaitan dengan hal tersebut

23
Fabian Falisha, „Masalah Hukum Cyber Notary‟ (Kenny Wiston Law Offices, 2020)
<https://www.kennywiston.com/masalah-hukum-cyber-notary/> accessed 10 June 2022.
14

2. Sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary tetap sah selama


memenuhi unsur-unsur otentisitas akta dan bentuk akta yang telah diatur dalam
undang-undang yang berkaitan dengan jabatan notaris. Akan tetapi, tidak semua
kewajiban dan kewenangan notaris tersebut dapat dilaksanakan dengan
menggunakan cyber notary. Misalnya kewenangan notaris untuk membuat surat di
bawah tangan yang disahkan. Notaris tetap harus membacakan akta yang
dibuatnya walaupun para pihak menghendaki untuk membaca akta yang
bersangkutan agar akta tersebut tetap menjadi akta otentik atau tidak kehilangan
keotentisitasnya karena tidak dibacakannya akta oleh notaris. Selain hal tersebut,
dengan memperhatikan manfaat dari pembacaan akta maka notaris wajib
membacakan akta yang dibuatnya karena jabatan notaris merupakan jabatan
kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.

REFERENSI
Adjie H, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris. (3rd edn, Refika Aditama 2011)
——, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris (Refika Aditama 2011)
Anonim, Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik. (2nd edn, Kesindo Utama 2010)
Badrulzaman MD, Mendambakan Kelahiran Hukum Saiber (Cyber Law) Di
Indonesia: Pidato Upacara Purna Bhakti Sebagai Guru Besar Tetap Pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara (USU Press 2001)
Chastra DF, „Kepastian Hukum Cyber Notary Dalam Kaidah Pembuatan Akta
Autentik Oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris‟ (2021) 3
Indonesian Notary
Dharmawan NKS, Landra PTC and Purwanti NP, „Keberadaan Pemegang Saham
Dalam Rups Dengan Sistem Teleconference Terkait Jaringan Bermasalah Dalam
Perspektif Cyber Law‟ (2015) 4 Udayana Master Law
Falisha F, „Masalah Hukum Cyber Notary‟ (Kenny Wiston Law Offices, 2020)
<https://www.kennywiston.com/masalah-hukum-cyber-notary/> accessed 10 June
2022
15

Hasugian J, „Urgensi Literasi Informasi Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi


Di Perguruan Tinggi.‟ (2008) 4 Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi
Jaya S, „Cyber Notary Dalam Perspektif Hukum Pembuktian‟ (2012)
Kristina Y, Ruba‟i M and Susilo H, „Analisis Yuridis Terhadap Akta Notaris
Yang Dicatat Dalam Sela-Sela Kosong Diantara Akta Notaris Yang Telah Dicatat
Dalam Buku Daftar Akta Notaris‟ (2015)
Makarim E, „Modernisasi Hukum Notaris Masa Depan: Kajian Hukum Terhadap
Kemungkinan Cybernotary Di Indonesia‟, (2011) 4 Jurnal Hukum dan
Pembangunan
Mertokusumo S, Hukum Acara Perdata Indonesia (Liberty 2006)
Prasetya HI, „Memaknai Implementasi Konsep Cyber Notary Dalam Pelaksanaan
Lelang‟ (2020) <https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13397/Memaknai-
Implementasi-Konsep-Cyber-Notary-Dalam-Pelaksanaan-Lelang.html> accessed
9 June 2022
Rossalina Z, „Keabsahan Akta Notaris Yang Menggunakan Cyber Notary Sebagai
Akta Otentik‟ (Universitas Brawijaya 2016)
Setiadewi K and Wijaya IMH, „Legalitas Akta Notaris Berbasis Cyber Notary
Sebagai Akta Otentik‟ (2020) 6 Jurnal Komunikasi Hukum
Soeroso R, Perjanjian Di Bawah Tangan (Sinar Grafika 2010)
Subekti, Hukum Pembuktian (Pradnya Paramitha 2005)
Tobing L, Peraturan Jabatan Notaris (Erlangga 1983)
Wijanarko FR, Mulyoto M and Supanto S, „Tinjauan Yuridis Akta Notaris
Terhadap Pemberlakuan Cyber Notary Di Indonesia Menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014‟ (2015) 2 Repertorium 7
Wijaya AW, „Konsep Dasar Cyber Notary : Keabsahan Akta Dalam Bentuk
Elektronik‟ (2018) <https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/11/29/konsep-dasar-
cyber-notary-keabsahan-akta-dalam-bentuk-elektronik/> accessed 9 June 2022

Anda mungkin juga menyukai