Anda di halaman 1dari 18

PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA

YANG BATAL DEMI HUKUM AKIBAT DILANGGARNYA


KEWAJIBAN NOTARIS (Studi Putusan MA Nomor 2604 K/Pdt/2019)

ARTIKEL ILMIAH

DISUSUN OLEH :
SAKA PUTRA GRAH HUTAMA
E2B023013

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2023
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM NOTARIS TERHADAP AKTA
YANG BATAL DEMI HUKUM AKIBAT DILANGGARNYA KEWAJIBAN
NOTARIS (Studi Putusan Ma Nomor 2604 K/Pdt/2019”)

Saka Putra Grah Hutama


E2B023013
Magister Kenotariatan, Universitas Jenderal Soedirman
Email : saka.putra.g@mhs.unsoed.ac.id

ABSTRAK

Salah satu tugas utama seorang notaris adalah membuat sebuah akta
otentik. Akta otentik merupakan alat bukti yang kuat dan jika terjadi suatu
sengketa maka akta yang dibuat oleh dan dihadapannya tidak mudah dibatalkan
kecuali dapat dibuktikan kesalahannya.Membuat akta otentik yang kuat seorang
notaris haruslah bertindak yang amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak,
dan menjaga kepentingan pihak yang terkait. Penulis, dalam penelitian ini
mengangkat permasalahan mengenai akta pendirian CV yang dibuat oleh seorang
Notaris dibatalkan oleh pengadilan, seperti pada kasus dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 2604 K/Pdt/2019.
Adapun tujuan penelitian ini yang pertama adalah untuk menganalisis
akibat hukum notaris yang lalai menjalankan kewajibannya dalam pembuatan
akta, dan yang kedua untuk menganalisis bentuk pertanggungjawaban hukum
seorang notaris terhadap akta yang dibatalkan oleh pengadilan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Sumber data dalam
penelitian ini menggunakan data sekunder serta pengumpulan data dilakukan
dengan studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis
dengan metode normatif kualitatif kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif.
Berdasarkan Hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan yang
pertama, Majelis hakim dalam Putusan MA Nomor 2604 K/Pdt/2019 yang
mengabulkan permohonan kasasi dari Berlian Mariska Marbun selaku Pemohon
Kasasi II sudah tepat, karena Notaris telah melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1)
huruf m, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 44 jo. Pasal 16 ayat (9),Pasal 41, dan Pasal
44 ayat (5) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris.Kedua
Notaris yang telah terbukti lalai yang menimbulkan kerugian pada klientnya dapat
diminta pertanggungjawabannya berupa tanggung jawab perdata, pidana dan
administratif.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban Hukum, Akta, Batal Demi Hukum,


Kewajiban Notaris

1
LEGAL RESPONSIBILITY OF A NOTARY FOR DEEDS WHICH ARE
VOID BY LAW DUE TO BREACH OF THE NOTARY'S OBLIGATIONS
(STUDY OF SUPREME COURT RULING: Number 2278 K/Pdt/2020)

Saka Putra Grah Hutama


E2B023013

Master of Notary Affairs, Jenderal Soedirman University


Email: saka.putra.g@mhs.unsoed.ac.id

ABSTRACT

One of the main duties of a notary is to make an authentic deed. An


authentic deed is a strong piece of evidence and if a reconstruction occurs, the
deed made by and before him cannot be easily canceled unless the error can be
proven. To make a strong authentic deed, a notary must act in a trustworthy,
honest, thorough, independent, impartial and protective manner. related
interested parties. The author, in this research, raises the issue of the deed of
establishment of a CV made by a Notary being annulled by the court, as in the
case in Supreme Court Decision Number 2604 K/Pdt/2019.
The first aim of this research is to analyze the legal consequences of
notaries who fail to carry out their obligations in making deeds, and secondly to
analyze the form of legal responsibility of a notary for deeds that are annulled by
the court.
The research method used in this research is normative juridical with
analytical descriptive research specifications. The data source in this research
uses secondary data and data collection is carried out using literature study. The
data obtained was then processed and analyzed using qualitative normative
methods and then presented in the form of narrative text.
Based on the results of the research and discussion, it can be concluded
that first, the Panel of Judges in Supreme Court Decision Number 2604
K/Pdt/2019 which granted the cassation petition from Berlian Mariska Marbun
as Petitioner of Cassation II was correct, because the Notary had limited the
provisions of Article 16 paragraph (1) letter m , Article 38, Article 39, and Article
44 jo. Article 16 paragraph (9), Article 41, and Article 44 paragraph (5) of Law
Number 2 of 2014 concerning the Position of Notaries. Both Notaries who have
been proven negligent in causing losses to their clients can be held accountable in
the form of civil, criminal and administrative responsibilities.
Keywords: Legal Liability, Deed, Nullified by Law, Notary Obligations

2
A. Latar Belakang

Terciptanya sebuah negara yang adil, aman, dan tenteram untuk


masyarakat tentu saja pemerintah harus dapat memberikan kepastian hukum
bagi rakyatnya. Kepastian hukum akan terwujud jika pemerintah dapat
menciptakan sebuah aturan hukum yang tegas untuk mengatur setiap perbuatan
warga negaranya, contohnya seperti menciptakan peraturan perundang-
undangan. Indonesia sendiri dikenal sebagai sebuah negara hukum
(rechtstaat). Prinsip negara hukum adalah menjamin kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut antara lain bahwa kehidupan
masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak
dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.1
Di Indonesia masih sangat banyak masyarakat yang kurang akan
kesadaran hukum, untuk itu pemerintah hadir untuk menangani permasalahan
tersebut yaitu dengan membentuk atau menciptakan beberapa profesi hukum
salah satunya adalah Notaris-PPAT. Dengan adanya profesi hukum ini
diharapkan akan membantu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan
hukum serta dapat menciptakan tingkat kesadaran bagi warga negara dan para
pihak akan hukum.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris. Notaris diangkat dan diberhentikan oleh negara yang
dalam hal ini diwakili oleh pemerintah melalui menteri yang bidang tugas dan
tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan yaitu oleh Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia. Notaris menjalankan tugas negara dan membuat akta
yang merupakan dokumen negara sehingga tugas utama seorang Notaris yaitu
membuat akta-akta otentik guna melayani masyarakat.2 Pasal 16 ayat (1) huruf
(a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris berbunyi:
1
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum Dan Etika,
cetakan pertama, UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 13
2
Budi Untung, Karakter Pejabat Umum (Notaris dan PPAT), Andi Offset, Yogyakarta, 2015,
hlm. 25

3
“Notaris wajib bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan
hukum”.
Hal ini mengandung makna bahwa Notaris dalam menjalankan tugas dan
jabatannya harus dapat dipercaya. Notaris mempunyai kewajiban merahasiakan
segala sesuatu mengenai akta yang dibuat dan segala keterangan yang
diperolehnya guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatan,
kecuali Undang-Undang menentukan lain, seperti yang disebutkan dalam Pasal
16 ayat (1) huruf e tentang Undang-Undang Jabatan Notaris. Ditegaskan pula,
bahwa untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan
surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang
terkait dengan akta tersebut.3 Notaris yang dalam profesinya sesungguhnya
merupakan instansi yang dengan akta-aktanya menimbulkan alat-alat
pembuktian tertulis dan mempunyai sifat otentik. Arti penting dari profesi
Notaris ialah bahwa Notaris karena Undang-Undang diberi wewenang
menciptakan alat pembuktian yang mutlak dalam pengertian bahwa apa yang
tersebut di dalam akta otentik adalah benar.4
Notaris memberikan jaminan kepastian hukum pada masyarakat
menyangkut pembuatan akta otentik yang dibutuhkan di aktivitas masyarakat
baik dalam hal ekonomi, sosial atau politik. Jasa yang diberikan oleh Notaris
dalam hal ini adalah akta otentik tersebut dapat diterima oleh semua pihak yang
bersangkutan serta memiliki kepastian hukum. Akta merupakan suatu tulisan
yang dengan sengaja dibuat untuk dapat dijadikan bukti bila terjadi suatu
peristiwa dan ditandatangani.5
Pengaturan mengenai akta sudah diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang berbunyi:
“Pengertian akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”.

3
Habib Adji, Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris & PPAT, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2014, hlm. 12
4
Raden Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali Press,
Jakarta, 1982, hlm.7-9
5
Raden Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 48

4
Notaris menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum
melalui akta otentik yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris, maka akta
otentik merupakan alat bukti yang kuat dan apabila terjadi sengketa di
Pengadilan tidak mudah untuk dibatalkan kecuali dapat dibuktikan
ketidakbenarannya sehingga akta Notaris memberikan suatu pembuktian yang
sempurna seperti yang disebutkan di dalam Pasal 1870 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata kepada para pihak yang membuatnya. Walaupun demikian,
apabila terjadi suatu sengketa terhadap akta otentik tersebut, maka akta dapat
dibatalkan atau batal demi hukum.6
Akta Notaris bisa dikatakan dapat dibatalkan oleh suatu putusan hakim,
dapat dilihat dari akibat yang timbul karenanya. Apabila pembatalan (baik itu
yang dapat dibatalkan maupun yang batal demi hukum) mengakibatkan
kerugian bagi para pihak yang meminta bantuan kepada Notaris dalam
pembuatan akta tersebut (termasuk penerimaan haknya), maka Notaris tersebut
dapat dihukum untuk membayar penggantian kerugian tersebut (sepanjang
kesalahan tersebut terletak pada Notaris yang bersangkutan).
Dalam suatu gugatan yang menyatakan bahwa akta Notaris terdapat cacat
hukum dan tidak sah, maka harus dibuktikan kecacatan hukumnya pada akta
yang disengketakan dan ketidakabsahannya baik dari aspek lahiriah, formal,
dan materiil. Jika tidak dapat membuktikannya, maka akta yang bersangkutan
tetap sah mengikat bagi para pihak yang berkepentingan atas akta tersebut. Jika
akta tersebut dapat dibuktikan di persidangan, maka ada salah satu aspek yang
menyebabkan cacatnya akta sehingga akta tersebut dapat menjadi akta yang
terdegradasi atau akta di bawah tangan, bahkan menjadi dapat dibatalkan
maupun batal demi hukum. Berdasarkan Pasal 1870 KUH Perdata mengenai
kekuatan pembuktian mengikat dan sempurna, suatu akta otentik yang
mengikat berarti hakim terikat untuk percaya atas akta.7

6
Lidya Christina Wardhani, Tanggung Jawab Notaris/PPAT terhadap Akta yang Dibatalkan oleh
Pengadilan, Lex Renaissance, Vol. 2 No. 1, 2017, hlm. 52
7
Ahmad Reza Andhika, Pertanggungjawaban Notaris dalam Perkara Pidana Berkaitan dengan
Akta yang Dibuatnya Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, Premise Law Journal 1 (2016): hlm. 9-10

5
Hakim secara ex officio pada dasarnya tidak dapat membatalkan akta
Notaris jika tidak dimintakan pembatalan karena hakim tidak boleh
memutuskan yang tidak diminta.8 Apabila dimintakan pembatalan oleh pihak-
pihak yang bersangkutan, pada dasarnya akta otentik tersebut dapat dibatalkan
oleh hakim asal pihak lawam dapat membuktikan kesalahan pada akta tersebut.
Pengambilan keputusan seorang hakim tergantung dari keadaan akta notaris
yang dijadikan bukti tersebut sebab tidak semua akta notaris yang dipandang
salah oleh hakim harus dinyatakan batal demi hukum atau dapat dibatalkan,
bahkan ada juga yang cukup dinyatakan bahwa akta notaris tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum.9
Salah satu kasus yang menunjukkan bahwa akta yang dibuat oleh Notaris
menjadi batal demi hukum yaitu kasus pada putusan nomor 2604 K/Pdt/2019
di mana Raden Roro Suryo Probowati (Tergugat I/Pembanding/Turut
Termohon Kasasi) menghadap ke Notaris Herminda Br. Ginting (Tergugat
III/Turut Terbanding II/Turut Termohon Kasasi) untuk membuat akta yang
memasukkan dirinya menjadi Wakil Direktur atau pesero pengurus dalam akta
pendirian CV. Putra Jaya, akan tetapi Berlian Mariska Marbun
(Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi II/Termohon Kasasi I) selaku pesero
komanditer merasa tidak diikutsertakan dalam prosesnya karena pada saat
pembuatan akta tersebut, Penggugat tidak hadir menghadap ke notaris dan
tidak menandatangani akta tersebut. Hal tersebut dibenarkan oleh Asharuddin
Marbun selaku Direktur atau pesero pengurus (Tergugat II/Turut Terbanding
I/Pemohon Kasasi I/Termohon Kasasi II) bahwa Penggugat tidak hadir dalam
menandatangani akta tersebut dan Notaris sebagai Tergugat III hanya
menerima KTP Penggugat dan (alm.) Marulam Marbun serta Tergugat I tidak
dapat membuktikan bantahannya bahwa Penggugat telah memberikan kuasa
lisan kepada (alm.) Marulam Marbun sehingga Penggugat menuntut kepada
Pengadilan untuk menyatakan akta tersebut batal dan/atau batal demi hukum.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian untuk menyusun tugas akhir penulisan hukum tesis dengan judul

8
Budi Untung. Op. Cit.
9
Brainer Livingstone, Aspek Yuridis Pembatalan Akta Notaris Berdasarkan UU No. 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris, Lex Administratum, Vol.V No.1, 2017, hlm. 6-7

6
“PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG
BATAL DEMI HUKUM AKIBAT DILANGGARNYA KEWAJIBAN
NOTARIS (STUDI PUTUSAN MA NOMOR 2604 K/PDT/2019)”

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah akibat hukum dari dilanggarnya kewajiban notaris dalam
Putusan MA Nomor 2604 K/PDT/2019 ?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban notaris terhadap akta yang batal demi
hukum akibat dilanggarnya kewajiban notaris dalam Putusan MA Nomor
2604 K/PDT/2019 ?

C. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan : Yuridis Normatif
2. Spesifikasi Penelitian : Deskriptif Analits
3. Sumber Data : Data Sekunder
4. Metode Pengumpulan Data : Studi Kepustakaan
5. Metode Penyajian Data : Teks Naratif
6. Metode Analisis Data : Normatif Kualitatif

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Akibat Hukum dari Dilanggarnya Kewajiban Notaris dalam Putusan
MA Nomor 2604 K/PDT/2019
Jabatan Notaris di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN-P), di mana dijelaskan dalam Pasal 1
Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau
berdasarkan undang-undang lainnya. Notaris memiliki kewenangan dalam
membuat akta otentik untuk menjamin kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum. Akta tersebut dapat dijadikan sebagai alat
pembuktian.

7
Notaris dalam pembuatan aktanya, harus memperhatikan isi, jenis,
dan cara pembuatannya. Hal ini karena akta notaris terbentuk dari/karena
kehendak para pihak. Berkaitan dengan akta Notaris mengenai perjanjian,
berbagai kesepakatan para pihak terhadap suatu objek tertentu merupakan
isi akta yang bersifat mengikat para pihak itu sendiri. 10 Sebagaimana diatur
pada Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat perjanjian dinyatakan sah
yaitu “(1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (2) Kecakapan
bertindak dalam hukum dari pada pihak; (3) Suatu hal tertentu; (4) Suatu
sebab yang halal”, wajib menjadi filter pembuatan akta.
Selain harus memenuhi syarat materiil di mana perjanjian yang
dibuat harus sah, suatu akta Notaris juga harus memenuhi syarat formil
sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan terkait. Pada
Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris telah diatur bahwa setiap akta
terdiri dari awal/kepala akta, badan akta, dan akhir/penutup akta. Akta
yang telah memenuhi syarat formil dan materiil menjadikan akta notaris
telah dapat dianggap sah, namun dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
juga mengatur ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban seorang Notaris
dalam menjalankan tugas dan jabatannya dalam pembentukan suatu akta
otentik yang mana tercantum dalam Pasal 16 Undang-Undang Jabatan
Notaris. Salah satu kewajiban yang dimiliki Notaris adalah membacakan
akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua)
orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta
wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh
penghadap, saksi, dan Notaris (Pasal 16 ayat 1 huruf m UUJN-P). Apabila
kewajiban ini tidak dilaksanakan, maka akta Notaris tersebut dapat
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan.
Akta autentik mengalami degradasi menjadi akta di bawah tangan
yaitu akta autentik mengalami penurunan mutu atau kemunduran atau

10
S. Suyanto & A. S. Ningsih, Pembatalan Perjanjian Sepihak Menurut Pasal 1320 Ayat (1) Kuh.
Perdata Tentang Kata Sepakat Sebagai Syarat Sahnya Perjanjian, Jurnal Pro Hukum: Jurnal
Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik, Vol. 7 No. 2, 2018, hlm. 3-4. Url:
http://journal.unigres.ac.id/index.php/JurnalProHukum/article/view/702 dikutip dari
Mariafranseska Christiani Nawang dan I Putu Rasmadi Arsha Putra, Akibat Hukum Pembatalan
Salinan Akta Notaris Oleh Pengadilan, Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No.
03, 2021, hlm. 582

8
kemerosotan status, dalam arti posisinya lebih rendah dalam kekuatan
sebagai alat bukti, dari kekuatan bukti lengkap dan sempurna menjadi
permulaan pembuktian seperti akta di bawah tangan. Perbedaan degradasi
dengan kebatalan akta autentik sebagaimana yang diputuskan oleh majelis
hakim dalam putusan nomor 2604 K/Pdt/2019 adalah jika dinyatakan batal
demi hukum oleh hakim, maka akta autentik (perjanjiannya) dinyatakan
tidak pernah ada. Terkait pembatalan suatu akta otentik ini pada dasarnya
dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu dapat dibatalkan dan batal demi
hukum. Akibat hukumnya perlu dibedakan antara akibat hukum yang
timbul dari akta yang dinyatakan dapat dibatalkan (syarat subyektif yang
dinyatakan tidak sah atau terpenuhi) dengan akibat hukum yang timbul
dari akta yang batal demi hukum (syarat objektif yang dinyatakan tidak
sah atau terpenuhi) 11.
Berdasarkan Staadblad Nomor 3 Tahun 1860, tepatnya pada Pasal
28 dan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P, “Pembacaan ini merupakan
bagian dari verlijden atau peresmian akta (pembacaan dan
penandatanganan)”.12 Pembacaan akta oleh notaris dimaksudkan untuk
memastikan bahwa penghadap telah mengetahui dan memahami dari isi
akta tersebut di mana akta itu menjelaskan mengenai hal-hal yang
diinginkan oleh para pihak yang bersepakat sehingga tidak ada kekeliruan
dan kesalahpahaman. Oleh karena itu, notaris, saksi maupun penghadap
wajib hadir saat proses penandatanganan akta otentik. Akan tetapi,
berdasarkan Pasal 16 ayat (7) menjelaskan bahwa “Pembacaan Akta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika
penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap
telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan
ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada
setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.”

11
Fikri Ariesta Rahman, Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Notaris Dalam Mengenal Para
Penghadap, UII Renaissance, Vol. 3 No. 2, 2018, hlm. 434
12
M. Alfatah, A. Gunawati, & W. Pranciska, Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Yang
Tidak Dibacakan, Jurnal Nuansa Kenotariatan 3 No. 1, 2017, hlm. 11-22 dikutip dari Ketut
Arianta & I Gede Yusa, Akibat Hukum Terhadap Notaris Yang Menandatangani Akta Tanpa
Dibacakan Terlebih Dahulu, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 11 No. 11, 2023, hlm. 2604

9
Penghadap yang dimaksud merupakan para pihak yang terlibat
dalam perjanjian kesepakatan yang mengajukan permohonan pembuatan
akta di mana para pihak tersebut dengan jelas tercantum dalam akta yang
dibuat. Apabila Pasal 16 ayat (1) huruf m dan/atau ayat (7) UUJN-P tidak
terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 16 ayat (9) akta yang bersangkutan
hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Pada kasus posisi telah terjadi pelanggaran oleh notaris terkait
Pasal 16 ayat (1) huruf m dan ayat (7) Undang-Undang Jabatan Notaris di
mana Berlian Mariska Marbun/Penggugat sebagai sekutu komanditer tidak
hadir dalam penandatanganan akta CV. Putra Jaya di mana di dalam akta
dicantumkan sebagai penghadap. Dalam proses penandatanganan akta
disebutkan bahwa Penggugat telah memberikan kuasa lisan kepada (Alm.)
Marulam Marbun, namun kekuatan pembuktian kuasa lisan tersebut sulit
dan dianggap memiliki kekuatan hukum yang lemah karena pemegang
kuasa tersebut juga sudah tidak dapat dimintakan keterangannya terhadap
perbuatan hukum yang dilakukan.
Pada kasus posisi diketahui terdapat pelanggaran terhadap Pasal 38,
Pasal 39, dan Pasal 40 UUJN-P yang berdasarkan pada Pasal 41
mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
di bawah tangan. Terdapat pelanggaran pada Pasal 38 mengenai bagian
dari akta di mana saling bersinggungan dengan Pasal 39 dan Pasal 40.
Terhadap Pasal 39 tidak terpenuhi dikarenakan penghadap yang hadir
dalam penandatanganan dengan hanya kuasa lisan bukan yang tertera
dalam akta sehingga syarat penghadap tidak terpenuhi. Ketentuan
mengenai pengecualian terhadap ketidakhadiran penghadap yang terdapat
pada Pasal 44 ayat (1) dan (2) UUJN-P bahwa setelah akta dibacakan
maka akta ditanda tangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris,
kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda
tangan dengan menyebutkan alasannya di mana alasan dinyatakan jelas
dalam akta. Namun, dalam kasus posisi Penggugat hanya memberi kuasa
kepada (Alm.) Marulam Marbum secara lisan dan tidak ditemukan alasan

10
kuat yang dinyatakan pada akta. Selain itu, syarat saksi penghadap juga
tidak terpenuhi sebagaimana pada Pasal 40 UUJN-P.
Akibat hukum terhadap perjanjian dan/atau akta yaitu terdapat dua
kemungkinan, dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Ketetapan batal
karena hukum atau batal demi hukum (nietigheid van rechtswege)
berakibat suatu perbuatan untuk sebagian atau keseluruhan bagi hukum
dianggap tidak pernah ada (dihapuskan) tanpa diperlukan suatu keputusan
hakim atau keputusan suatu badan pemerintahan batalnya sebagian atau
seluruh akibat ketetapan itu.13 Ketetapan untuk dapat dibatalkan
(vernietigbaar) berarti bagi hukum bahwa perbuatan yang dilakukan dan
akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh
suatu badan pemerintah lain yang berkompeten (pembatalan itu diadakan
karena perbuatan tersebut mengandung sesuatu kekurangan). 14 Dalam hal
ini notaris melihat dari kebenaran formil akta sehingga pelanggaran pada
ketentuan pasal-pasal dalam UUJN-P merupakan tidak terpenuhinya syarat
subjektif dan objektif perjanjian serta tidak memenuhi syarat formil akta,
oleh karena itu akta dan perjanjian dalam kasus posisi yaitu batal demi
hukum.

2. Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Batal Demi Hukum


Akibat Dilanggarnya Kewajiban Notaris dalam Putusan MA Nomor
2604 K/PDT/2019
Seorang Notaris merupakan pejabat umum yang diangkat untuk
melakukan tugas negara dalam hal pelayanan hukum kepada masyarakat
yang bertujuan tercapainya kepastian hukum dengan produk hukumnya
yang berupa akta otentik sehingga Notaris dituntut untuk memiliki
integritas dan bertindak secara profesional. Baik pada saat mengucapkan
sumpah jabatannya maupun dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan
Kode Etik Notaris, Notaris wajib menjalankan tugas dan jabatannya
dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak serta menjaga

13
Ketut Arianta & I Gede Yusa, Akibat Hukum Terhadap Notaris Yang Menandatangani Akta
Tanpa Dibacakan Terlebih Dahulu, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 11 No. 11, 2023, hlm. 2608
14
Ibid.

11
sikap, tingkah laku, dan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode
etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab. Walaupun
demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak Notaris, baik itu
disengaja atau tidak, dalam melaksanakan jabatannya melakukan perbuatan
yang melanggar peraturan perundang-undangan dan kode etik.15
Kesalahan Notaris dalam menjalankan tugas dan kewajibannya
untuk membuat akta otentik membawa akibat hukum akta otentik yang
bersangkutan menjadi batal demi hukum sebagaimana kasus putusan
nomor 2604 K/Pdt/2019. Karena dalam kasus terbukti adanya kesalahan
dari pihak Notaris yang tidak dapat menghadirkan para penghadap secara
bersama-sama serta kuasa lisan yang diberikan oleh Penggugat selaku
penghadap yang tidak ikut hadir dan menandatangani akta tersebut tidak
dapat dibuktikan lagi sebab si penerima kuasa telah meninggal dunia dan
tidak ada bukti lainnya yang menunjukkan bahwa si Penggugat
memberikan kuasanya kepada orang lain untuk hadir atas namanya dan
menandatangani akta yang dibuat oleh si Notaris tersebut. Maka dari itu,
hakim dalam putusannya menyatakan bahwa Tergugat III atau si Notaris
dihukum untuk menarik/mencoret/menghapus akta yang dibuatnya dari
minuta/daftar buku/register yang digunakannya untuk itu.
Menurut Dr. Sukamto, S.H., M.Hum. bahwa dalam Undang-
Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik tidak terdapat aturan khusus
tentang kelalaian Notaris dalam memangku jabatan, namun Notaris tetap
memungkinkan untuk mendapat sanksi dari Undang-Undang Jabatan
Notaris. Apabila Penggugat atau pihak yang dirugikan ingin meminta
pertanggungjawaban atau ganti rugi dari Notaris akibat akta yang
dikeluarkannya kemudian menjadi batal demi hukum, maka Notaris dapat
dimintai pertanggungjawaban baik dari segi perdata, pidana, atau
administratif sebagai berikut.

Pertanggungjawaban Notaris secara Perdata

15
Inka Kharizma Candra, Protokol Dan Pertanggungjawaban Notaris Atas Akta Notariil yang
Batal Demi Hukum, Laporan Penelitian Tesis, Universitas Islam Indonesia, 2022, hlm. 70

12
Notaris yang merupakan pejabat umum yang berwenang dalam
membuat akta otentik, dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya
dalam membuat akta otentik yang tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku atau dibuat secara melawan hukum. Tanggung jawab menurut
KUHPerdata sendiri merupakan tanggung jawab dengan unsur kesalahan
atau kesengajaan atau kelalaian sebagaimana yang terdapat pada pasal
1365 KUHPerdata yang berbunyi, “Tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Lalu tanggung jawab dengan unsur kesalahan kelalaian sebagaimana diatur
dalam pasal 1336 KUHPerdata, “Setiap orang yang bertanggung jawab
tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi juga
disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya” dan tanggung jawab
mutlaknya sebagaimana terdapat dalam pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata,
“Seorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap perbuatan orang yang
menjadi tanggungannya atau barang-barang yang berada dalam
pengawasannya.” Selain itu, dalam Pasal 65 Undang-Undang Jabatan
Notaris, Notaris mempunyai pertanggungjawaban kepada akta yang
diterbitkannya meski pun protokol Notaris sudah diserahkan ke penerima
protokol.
Dapat kita simpulkan bahwa apabila Notaris melakukan kelalaian
dan mengakibatkan suatu akta batal demi hukum, maka Notaris tersebut
harus bertanggung jawab untuk mengikuti proses hukum yang berlaku
dalam batalnya akta tersebut. Selain itu, dalam menjalankan tugasnya,
notaris sebagai pejabat umum tidak dapat lepas dari etika profesi Notaris.
Etika profesi Notaris yang tersusun menjadi Kode Etik Notaris ini
bertujuan agar Notaris dapat menjalankan tugasnya dengan profesional,
bermoral serta terampil dalam argumentasi yang rasional, sehingga tidak
merusak harkat dan martabat seorang Notaris.
Melalui konstruksi penjelasan Undang-Undang Jabatan Notaris
menunjukkan bahwa Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas

13
kebenaran materiil suatu akta yang dibuatnya bila ternyata Notaris tidak
memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang berkaitan dengan
akta yang dibuatnya sehingga salah satu pihak yang terkait merasa tertipu
atas ketidaktahuannya.16 Dalam hal Notaris kemudian terbukti memenuhi
unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana Pasal 1365 KUHPerdata
dalam membuat aktanya dan merugikan salah satu pihak, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi terhadap Notaris tersebut.

Pertanggungjawaban Notaris secara Pidana

Mengenai ketentuan pidana tidak diatur di dalam Undang-Undang


Jabatan Notaris maupun dalam Kode Etik Notaris, namun tanggung jawab
Notaris secara pidana dikenakan jika Notaris tersebut melakukan perbuatan
pidana yang melanggar hukum. Perkara pidana yang berkaitan dengan
aspek formal akta Notaris, pihak penyidik, penuntut umum, dan hakim
akan memasukkan Notaris telah melakukan tindakan hukum: a. Membuat
surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu yang dipalsukan
(Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP); b. Melakukan pemalsuan (Pasal 264
KUHP); c. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik
(Pasal 266 KUHP); d. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta
melakukan (Pasal 55 jo. Pasal 263 ayat (1) dan (92) atau 264 atau 266
KUHP; e. Membantu membuat surat palsu atau yang dipalsukan dan
menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2)
jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP).
Atas pasal-pasal tersebut di atas, apabila Notaris terbukti
melanggar ketentuan pidana tersebut, Notaris dapat dikenai pidana penjara
minimal 6 (enam) tahun dan maksimal selama 8 (delapan) tahun.

Pertanggungjawaban Notaris secara Administratif

Dari segi administratif dapat dikatakan bahwa dalam menjalankan


tugasnya seorang Notaris seharusnya melakukan pembuatan akta dengan
baik dan benar yang sesuai dengan kehendak dan permintaan dari para
pihak yang berkepentingan karena jabatannya. Selain itu, Notaris juga
16
Lidya Christina Wardhani. Op. Cit., hlm. 58-59

14
dituntut menghasilkan akta yang bemutu yang dibuat sesuai dengan aturan
hukum dan kehendak para pihak yang berkepentingan.
Apabila Notaris dalam membuat suatu akta otentik telah terbukti
melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode
Etik Notaris, maka Notaris tersebut dapat dikenai sanksi administratif
sebagaimana termuat dalam Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris,
yakni berupa: 1) Teguran lisan; 2) Teguran tertulis; 3) Pemberhentian
sementara; 4) Pemberhentian dengan hormat; 5) Pemberhentian dengan
tidak hormat. Sedangkan terhadap aktanya apabila melanggar ketententuan
tertentu, maka akan terdegradasi nilai pembuktiannya menjadi kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

E. Kesimpulan
1. Majelis hakim dalam Putusan MA Nomor 2604 K/Pdt/2019 yang
mengabulkan permohonan kasasi dari Berlian Mariska Marbun selaku
Pemohon Kasasi II yang awalnya merupakan Penggugat dan
menyatakan batal dan/atau batal demi hukum Akta Notaris Herminda
Br. Ginting, S.H., Nomor 02, tanggal 2 Desember 2008, sudah tepat.
Hal ini dikarenakan Notaris telah terbukti melanggar ketentuan Pasal 16
ayat (1) huruf m, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 44 jo. Pasal 16 ayat (9),
Pasal 41, dan Pasal 44 ayat (5) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014
(Undang-Undang Jabatan Notaris) di mana Penggugat tidak turut hadir
dan menandatangani akta tersebut. Notaris juga tidak membacakan
aktanya di hadapan Penggugat serta kuasa lisan dari Penggugat juga
tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
2. Seorang Notaris yang telah terbukti melakukan kelalaian atau
pelanggaran yang mengakibatkan timbulnya kerugian pada salah satu
pihak, dapat dimintakan pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban
secara perdata yaitu apabila Penggugat mengajukan gugatan atas dasar
perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata), maka Notaris
dapat dituntut ganti kerugian. Untuk pertanggungjawaban dalam hal
pidana, apabila Notaris terbukti melanggar ketentuan-ketentuan

15
sebagaimana diatur dalam KUHP, maka diancama hukum pidana
penjara. Sementara itu, untuk pertanggungjawaban secara administratif,
dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris telah
diatur bahwa Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana kasus
putusan 2604 K/Pdt/2019, dapat dikenai sanksi administratif berupa
teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian
dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat.

F. Saran
Seharusnya sebagai seorang Notaris yang merupakan pejabat umum dalam
menjalankan profesinya lebih memperhatikan dan menaati ketentuan hukum
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dan kode
etik Notaris sehingga dalam pembuatan akta di kemudian hari tidak akan keliru
dan menimbulkan suatu masalah. Selain itu, dengan menerapkan prinsip
kehati-hatian diharapkan permasalahan pada Putusan ini tidak akan terulang
kembali.

G. Daftar Pustaka
Buku
Adji, Habib, Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris & PPAT, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2014.
Anshori, Abdul G.,Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum Dan
Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009.
Notodisoerjo, Raden S., hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan,
Rajawali Press, Jakarta, 1982.
Subekti, Raden, Hukum Pembuktian. Pradnya Paramita, Jakarta,1991.
Untung, Budi, Karakter Pejabat Umum (Notaris dan PPAT), Andi Offset,
Yogyakarta, 2015.
Jurnal
Andhika, Ahmad R., Pertanggungjawaban Notaris Dalam Perkara Pidana
Berkaitan Dengan Akta yang Dibuatnya Menurut Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004, Premise Law Journal, Vol. 1, 2016.
Arianta, Ketut & Yusa, I G., Akibat Hukum Terhadap Notaris Yang
Menandatangani Akta Tanpa Dibacakan Terlebih Dahulu, Jurnal Kertha
Semaya, Vol. 11 No. 11, 2023.

16
Ariesta, Rahman F., Penerapan Prinsip Kehati-hatian Notaris Dalam Mengenal
Para Penghadap, UII Renaissance, Vo. 3 No. 2., 2018.
Gunawati, A., M. Alfatah, & W. Pranciska, Pertanggungjawaban Notaris
Terhadap Akta Yang TIdak Dibacakan, Jurnal Nuansa Kenotariatan, Vol.
3 No 1., 2017.
Livingstone, Brainer, Aspek Yuridis Pembatalan Akta Notaris Berdasarkan UU
No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, Lex Administratum, Vol. V
No.1, 2017.
Suyanto, S. & A.S Ningsih, Pembatalan Perjanjian Sepihak Menurut Pasal
1320 Ayat (1) Kuh. Perdata Tentang Kata Sepakat Sebagai Syarat Sahnya
Perjanjian, Jurnal Pro Hukum: Jurnal Penelitian Bidang Hukum
Universitas Gresik, Vol. 06 No. 03, 2021.
Wardhani, Lidya C., Tanggung Jawab Notaris/PPAT terhadap Akta yang
Dibatalkan oleh Pengadilan, Lex Renaissance, Vol. 2 No. 1., 2017.
Tesis
Kharizma, Inka C., Protokol Dan Pertanggungjawaban Notaris Atas Akta
Notariil yang Batal Demi Hukum, Tesis, Universitas Islam Indonesia,
2022.

17

Anda mungkin juga menyukai