Anda di halaman 1dari 41

URGENSI PENGATURAN CYBER NOTARY

DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

PROPOSAL TESIS

Untuk Memenuhi Tugas Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Karya


Ilmiah Hukum

OLEH:

WAHYU CIPTANING TYAS

NIM: 226010200111002

PROGAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2023
1. Judul
URGENSI PENGATURAN CYBER NOTARY DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN
NOTARIS

2. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan informasi dan teknologi elektronik telah merubah


berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya hukum. Produk hukum yang dihasilkan
berkembang seiring kemajuan teknologi karena kebutuhan untuk mengisi kekosongan
hukum. Notaris di era revolusi industri tidak luput dari cyber notary yang diharapkan
dapat menawarkan kemudahan dalam menjalankan tugas dan fungsi pejabat pembuat
akta autentik. Selama ini konsepsi cyber notary dapat diartikan sebagai notaris yang
melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya dengan menggunakan teknologi
informasi terutama dalam membuat akta.1

Salah satu konsep elektronik yang dapat digunakan dalam pelayanan hukum untuk
membuat akta Notaris adalah dikenal dengan konsep cyber notary. Konsep cyber notary
hanya disebutkan dalam Penjelasan Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Jabatan Notaris,
masih belum adanya pengaturan mengenai cyber notary secara lebih jelas, sehingga
Notaris menjadi ragu untuk menggunakan konsep cyber notary, hal tersebut pun
berdampak pada hambatan perkembangan profesi kenotariatan dalam melayani
kebutuhan masyarakat.2

Pada saat seorang Notaris menggunakan alat bantu berupa teleconference


terhadap pemegang saham yang tidak dapat hadir secara langsung, maka dia disebut
Notaris Pengguna Cyber (NPC) karena surat kuasa dan penerima kuasa tetap

1
Putri, C. C., Yahanan, A., & Trisaka, A. (2019). Penyimpanan Protokol Notaris Secara Elektronik dalam
Konsep Cyber Notary (Doctoral dissertation, Sriwijaya University), h.3-4.
2
Handriyanto Wijaya, “Problematika Hukum Pelaksanaan Cyber Notary Dalam Masa Pandemi Covid-19,”
in Conference on Law and Social Studies (Madiun: Fakultas Hukum Universitas PGRI Madiun bekerja sama dengan
Universitas Sebelas Maret, Universitas Bung Hatta Padang, Universitas Kuningan, Komisi Pemlihan Umum (KPU)
Kota Madiun, dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), 2021), 2, http://prosiding.unipma.ac.id/index.
php/COLaS/article/view/1859.
berkewajiban diperlihatkan dan hadir di hadapan Notaris tersebut.3 Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya
disebut Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik), penggunaan teknologi
online memang memiliki manfaat yang menguntungkan Notaris karena proses
pembuatan Akta menjadi lebih cepat, mudah dan efisien.

Pelayanan dengan konsep cyber notary ini menyebabkan permasalahan belum


terpenuhinya syarat formil guna mendukung keabsahan dari suatu akta Notaris yang
berlandaskan pada Undang-Undang Jabatan Notaris, sedangkan keabsahan suatu
pembuatan akta dapat dilihat dari Empat aspek yakni,

 Pertama Akta dibuat dihadapan pejabat yang berwenang (Pasal 16 ayat (1)
Undang-Undang Jabatan Notaris).
 Kedua Akta harus dihadiri oleh para pihak baik klien maupun Notaris pembuat akta
(Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris)
 Ketiga, Kedua belah pihak dikenal dan dikenalkan kepada Notaris (Pasal 39
Undang-Undang Jabatan Notaris);
 Keempat, Akta harus dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 40 Undang-Undang
Jabatan Notaris).

Kemudian adapun konsekuensi secara hukum dapat dikatakan terjadi suatu


pelanggaran oleh Notaris jika tidak menyesuaikan aturan ketentuan sebagaimana
beberapa pasal diatas, hal ini untuk menghindari degradasi akta yang mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan mungkin saja bisa menjadi
alasan bagi beberapa pihak yang merasa dirugikan untuk menuntut penggantian biaya,
ganti rugi dan bunga kepada Notaris jika pelaksanaan perjanjian akta Notaris tidak sesuai
dengan prosedur hukum yang berlaku.4

Oleh karena itu kepastian hukum dengan melalui perlindungan hukum bagi Notaris
diharapkan mampu menghindarkan Notaris dari jeratan sengketa dalam pembuatan akta

4
Andi Suci Wahyuni, “Urgensi Kebutuhan Akta Autentik Di Masa Pandemi Covid-19,” Jurnal Ilmiah Hukum Dan
Dinamika Masyarakat 18, no. 1 (2020): 9, http://jurnal.untagsmg.ac.id/index.php/hdm/article/view/1748
saat menggunakan konsep cyber notary, hanya saja pada beberapa fakta peraturan
belum sepenuhnya menjadi pendukung bagi Notaris untuk melaksanakan konsep cyber
notary tersebut. Hal ini berarti Notaris membutuhkan aturan baru ataupun konsep yang
dapat mendukung Notaris dalam melakukan pembuatan aktanya secara cyber notary.

Berdasarkan kekosongan norma tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan


penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam bentuk Tesis dengan judul :
“URGENSI PENGATURAN CYBER NOTARY DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN
NOTARIS”.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada subbab sebelumnya pembahasan masalah atau isu hukum
dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah kedudukan Akta Notaris yang dibuat berdasarkan konsep Cyber


Notary ditinjau dari Undang-Undang Jabatan Notaris?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi notaris yang membuat akta
berdasarkan konsep Cyber Notary?

4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan ini adalah :

1. Untuk menganalisa kedudukan akta yang dibuat berdasarkan konsep cyber


notary.
2. Untuk mengkaji perlindungan hukum notaris terhadap akta yang dibuat
berdasarkan konsep cyber notary?

5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai peneniliti dalam penelitian ini yaitu :

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitin ini dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi
pemikiran dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum keperdataan
pemikiran dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum keperdataan
khususnya akta yang dibuat secara elektronik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Dengan adanya penelitian ini diharapkan menambah wawasan ilmu
pengetahuan peneliti dalam bidag akta notariil yang dibuat secara elektronik.
b. Bagi Masyarakat
Melalui penelitian ini peneliti mengharapkan agar masyarakat dapat memiliki
wawasan dan pemahaman tentang akta notariil yang dibuat secra elektronik.

6. Orisinalistas Penelitian
Berkaitan dengan orisinalitas penelitian dalah thesis ini, penulis menemukan
beberapa Karya ilmiah yang memiliki kesamaan atau keterkaitan secara sistematis
dengan permasalahan yang akan dianalisa. Berikut beberapa penelitian mengenai
Cyber Notary yang diteliti oleh penulis sebelumnya, diantaranya adalah:
Tabel 1.Orisinalitas Penelitian
No. Judul Rumusan Masalah Perbedaan dan
Pembaharuan
1. Tesis 1. Bagaimana landasan Fokus penulis
Keabsahan Akta Notaris hukum keberadaan akta dalam penelitian
Secara Elektronik dalam notaris secara hukum? hukum ini adalah
E-Commers 2. Apakah notaris dapat membahas
Oleh: membuat akta secara keurgensian
Prayudicia Tantra elektronik? pengaturan cyber
Atmaja notary dalam UUJN
NIM: S351702016 yang memang
Universitas Sebelas belum ada
Maret Surakarta 2019 aturnnya.
2. Tesis 1. Bagaimana penyelesaian
Keabsahan Akta Notaris konflik norma antara
yang Menggunakan Pasal 15 ayat (3) dengan
Cyber Notary Sebagai Pasal 16 ayat (1) huruf m
Akta Otentik Undang-undang Nomor
Oleh: 02 Tahun 2014?
ZAINATUN ROSALINA 2. Apakah sertifikasi
NIM: 136010200111109 transaksi yang dilakukan
Universitas Brawijaya secara cyber notary sah
Malang 2016 sebagai akta otentik?

7. Kerangka Teoritik dan Konseptual


Teori hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang dalam struktur ilmu
hukum letaknya berada di bawah filsafat hukum dan diatas hukum positif. Oleh karena
itu teori hukum mendasari hukum positif dan berfungsi untuk menjelaskan dan
menerangkan hukum positif. Sedangkan penertian dari teori hukum itu sendiri adalah
keseluruhan pern yataan yang saling berkaitan dengan sostem konseptual mengenai
aturan-aturan hukum dan keputusan hukum untuk memperoleh bentuk dalam hukum
positif.5
Berikut adalah teroti hukum yang digunakan penulis sebagai pedoman analisis
dalam penelitian :
1. Teori Kepastian

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama
untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna
karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang.

5
J.J.J.H Bruggigk, dialih Bahasa oleh Arief, Refleksi Tentang Hukum, Bandung PT.Citra Aditya Bhakti, 1996,
hlm.2-3
Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Apabila dilihat
secara historis, perbincangan mengenai kepastian hukum merupakan
perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan
dari Montesquieu.

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum,


karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan
menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan
kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Guna
memahami secara jelas mengenai kepastian hukum itu sendiri, berikut akan
diuraikan pengertian mengenai kepastian hukum dari beberapa ahli.

Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang


berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu :

Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah
perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya
didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara
yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah
dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa


kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum
merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.
Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum
positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus
selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.

Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto


sebagaimana dikutip oleh Sidharta (2006 : 85), yaitu bahwa kepastian hukum
dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut :
1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu
menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum; dan
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa


kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah
hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum
yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya
(realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara
dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo (2007 : 160), kepastian hukum adalah


jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian
hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan
keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak
menyamaratakan.

Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya


sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam
memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu
mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan
negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif (Fernando M. Manullang,
2007 : 95).

Nusrhasan Ismail (2006 : 39-41) berpendapat bahwa penciptaan kepasian


hukum dalam peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang
berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri.

Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, kejelasan konsep


yang digunakan. Norma hukum berisi deskripsi mengenai perilaku tertentu yang
kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula. Kedua, kejelasan hirarki
kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Kejelasan
hirarki ini penting karena menyangkut sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya
peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan hirarki akan memberi
arahan pembentuk hukum yang mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu
peraturan perundang-undangan tertentu. Ketiga, adanya konsistensi norma
hukum perundang-undangan. Artinya ketentuan-ketentuan dari sejumlah
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan satu subyek tertentu tidak
saling bertentangan antara satu dengan yang lain.

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam


perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,
sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya
kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law (1971 : 54-58) mengajukan 8
(delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi,
maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain
harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut
:

1) Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan


putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
2) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
3) Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas system.
4) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
7) Tidak boleh sering diubah-ubah;
8) Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara
peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi,
perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif
dijalankan.

Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian dapat


mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan
multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus
berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun
dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan
yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber
keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang
mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan
kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban
setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.

2. Teori Perlindungan Hukum

Dengan hadirnya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berguna untuk


mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang biasa
bertentangan antara satu sama lain. Maka dari itu, hukum harus bisa
mengintegrasikannya sehinggabenturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan
seminimal mungkin. Pengertian terminologi hukum dalam Bahasa Indonesia
menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat,
yang dikukuhkan oleh penguasa ataupun pemerintah, undang-undang, peraturan,
dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan atau
kaidah tentang peristiwa alam tertentu, keputusan atau pertimbangan yang
ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan, atau vonis 6.Dengan kata lain
perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep
dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian,
kemanfaatan dan kedamaian. Adapun pendapat yang dikutip dari beberapa ahli
mengenai perlindungan hukum sebagai berikut :

Menurut Satjito Rahardjo perlindungan hukum adalah adanya upaya


melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi
Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya
tersebut.

Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk


melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmat martabatnya
sebagai manusia.

Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi


individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah - kaidah yang
menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam
pergaulan hidup antara sesama manusia.

Menurut Philipus M. Hadjon Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua


kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan
kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang
diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan
kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi

6
Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua,
cet. 1,(Jakarta: Balai Pustaka, 1991) Hal.595
si lemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi
pekerja terhadap pengusaha.7

Pada dasarnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria


maupun wanita. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila haruslah
memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya karena itu
perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak
asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk social
dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan
demi mencapai kesejahteraan bersama.

Pendapat mengenai pengertian untuk memahami arti hukum yang


dinyatakan oleh Dr. O. Notohamidjojo, SH Hukum ialah keseluruhan peraturan
yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya beersifat memaksa untuk kelakuan
manusia dalam masyarakat negara serta antara negara yang berorientasi pada
dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata dan damai dalam masyarakat. 8

Menurut Prof. Mahadi, SH pengertian hukum seperangkat norma yang


mengatur laku manusia dalam masyarakat. Menurut Soedjono Dirdjosisworo
bahwa pengertian hukum dapat dilihat dari delapan arti, yaitu hukum dalam arti
penguasa, hukum dalam arti parapetugas, hukum dalam arti sikap tindakan,
hukum dalam arti sistem kaidah, hukum dalam arti jalinan nilai, hukum dalam arti
tata hukum, hukum dalam arti ilmu hukum, hukum dalam arti disiplin hukum.
Berbagai definisi yang telah di kemukakan dan di tulis oleh para ahli hukum, yang
pada dasarnya memberikan suatu batasan yang hampir bersamaan, yaitu bahwa
hukum itu memuat peraturan tingkah laku manusia 9.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata lindung
yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi.

7
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta. Sinar Grafika, 2009, hlm 10
8
Syamsul Arifin, Pengantar Hukum Indonesia, Medan:Medan area University Press, 2012, Hal 5-6.
9
Ibid. Syamsul Arifin
Sedangkan Perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan, penjagaan, asilun, dan
bunker. Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang
berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang.
Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh
seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Dengan demikian, perlindungan
hukum dapat diartikan Perlidungan oleh hukum atau perlindungan dengan
menggunakan pranata dan sarana hukum. Namun dalam hukum Pengertian
perlindungan hukum adalah Segala daya upaya yang di lakukan secara sadar oleh
setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan
pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesehjahteraan hidup sesuai dengan
hak - hak asasi yang ada sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 10 Pada dasarnya perlindungan hukum
tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita. Indonesia sebagai negara
hukum berdasarkan pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum
terhadap warga masyarakatnya karena itu perlindungan hukum tersebut akan
melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang
menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan
bersama.

3. Teori Keabsahan

Menurut Kamus hukum Keabsahan dijelaskan dalam berbagai Bahasa antara


lain adalah convalesceren, convalescentie, yang memiliki makna sama dengan to
validate, to legalize, to ratify to acknowledge yaitu yang artinya mengesahkan,
atau pengesahan suatu hal sebagai contoh adanya pengesahan rancangan ndang-
undang yang diajukan oleh DPR yang tidak disyahkan oleh presiden maka tidak

10
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum/ di akses pada tanggal 29 April 2023.
boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat pada masa
(tahun) itu.11

Keabsahan menurut Kamus hukum di atas keabsahan berarti sesuatu yang


pasti. Pengertian keabsahan perlu dikutip dalam tulisan ini untuk melengkapi
pengertian keabsahan hukum. Apabila diketahui pengertian keabsahan, maka
akan mudah menghubungkan dengan pengertian keabsahan hukum yang menjadi
salah satu kajian dalam tulisan ini. Keabsahan hukum, jika diterjemahkan dalam
Bahasa inggris akan berbunyi Legal Validity. Dalam kamus Oxford Legal Validity
dimaknai sebagai berikut:

For a rule to become a legal rule, it has to be legally valid. For a law to become
a legal law, it has to be legally valid. Similarly, a valid rule is a rule and an invalid
rule is not a rule. This chapter discusses the legal validity of rules. The first
section explains the nature of legal validity and the validity of rules. The chapter
also discusses systemic validity, wherein it is shown that the justification view
of legal validity is compatible with the dependence on factual sources. It
furthermore examines the other difficulties of the justification view found in the
interpretation of detached legal systems, and includes a discussion of legal
validity within the context of positivism. 12

Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia akan memiliki arti sebagai berikut :

Untuk sebuah aturan menjadi aturan hukum, maka itu harus menjadi benar-benar
sah. Untuk suatu hukum menjadi aturan hukum yang sah, maka itu harus menjadi
hukum yang sah atau pasti. Persamaannya, sebuah kesahan aturan adalah aturan
adan sebuah kesahan bukan merupakan sebuah aturan. Bab ini mendiskusikan
kesahan aturan-aturan. Seksi pertama menjelaskan keaslian dari kepastian hukum
dan kesahan aturan-aturan. Bab ini juga mendiskusikan validitas secara sistemik,
dimana itu menunjukkan bahwa pembenaran pandangan mengenai

11
Van Pramodya Puspa, 1977, Kamus Hukum, Semarang, Aneka Ilmu, hlm. 252.
12
Joseph Raz, Legal Validity, Oxford Scholarship online, diakses melalui www.OxfordScholarship.com pada
tanggal 29 April 2023.
kesahan/kepastian hukum sesuai dengan kepercayaan pada sumber-sumber nyata
/ factual. Lebih jauh lagi menguji kesulitan-kesulitan lain dari pembenaran
pandangan yang ditemukan pada intepretasi sistem-sistem hukum, dan termasuk
pada pembicaraan kesahan hukum dengan konteks positivis.

Melihat terjemahan dari kamus hukum dan kamus oxford, keabsahan hukum
memiliki makna yang hampir sama dengan kepastian hukum. Keabsahan hukum
sangat dekat dengan teori positivis yang dianut di Indonesia. Bahwa Hukum yang
berlalu dan dinyatakan sah adalah hukum yang telah ada, dituangkan dalam
Undang-undang atau aturan tertulis. Meskipun di Indonesia terdapat hukum tidak
tertulis seperti hukum adat juga diakui.

Keabsahan hukum lebih menekankan pada kepercayaan masyarakat pada


sumber-sumber nyata, yang dapat dilihat dan dibuktinya secara kasat mata.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa keabsahan merupakan suatu
yang pasti, yang telah ada dan berlaku. Sedangkan keabsahan hukum adalah
aturan hukum yang telah berlaku, nyata dan pasti. Keabsahan hukum di Indonesia
bermakna telah dituangkan dalam suatu aturan tertulis seperti aturan
perundangundangan, Peraturan pemerintah, Surat edaran dan beberapa aturan
hukum tertulis lainnya. Pengertian tentang keabsahan hukum penting untuk
dimaksukkan dalam penelitian ini karena yang menjadi objek penelitian pada
tulisan ini adalah keabsahan, kesahan suatu alat bukti yang sifatnya elektronik dan
diterapkan dalam tindak pidana umum. Sedangkan alat bukti elektronik dalam
beberapa Undang-Undang yang sifatnya khusus, hanya diatur untuk tindak pidana
khusus. Untuk itu keabsahan atau kesahan alat bukti elektronik dalam tindak
pidana umum perlu untuk ditinjau. Sebelum masuk pada pembahasan, maka
pertama kali yang harus dikaji adalah pengertian keabsahan itu sendiri.

4. Teori Konseptual
 Cyber Notary
Suatu konsep untuk memanfaatkan teknologi di era modrn khususnya bagi
notaris dengsan tujuan mempermudah sekaligus mempercepat
pelaksanaan tugas berbasis teknologi informs yang dilakukan oleh notaris
dalam hal pembuatan akta auteentik terkait segala perbuatan hukum sesuai
dengan yang ditetapkan dalam undang-undang.
 Akta Notariil
Adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang memuat
atau menguraikan suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang
dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum, yang memuat perjanjian dan di
kehendaki oleh dua orang pihak berdasarkan undang-undang bagi mereka
untuk dilaksanakan.
 Akta Elektronik
Adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang terdiri atas informasi
perjanjian elerktronik oleh dua orang pihak yang dilekatkan, terasosiasi
atau terkait informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat bukti
yang sah menurut undang-undang yang berlaku.

8. Kajian Pustaka
A. Tinjauan Umum Tentang Notaris Notaris
Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN-P) mengatur bahwa: Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagimana dimaksud dalam undang-undang ini atau
berdasarkan undangundang lainnya. Berdasarkan pasal tersebut, dapat dikatakan
bahwa: Notaris bertugas untuk mengkonstantir hubungan hukum antara para
pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta
autentik.13 Oleh karenanya, seringnya Notaris disebut sebagai pembuat dokumen
yang kuat dalam suatu proses hukum.14 Notaris merupakan suatu jabatan yang
keberadaannya dikehendaki guna mewujudkan hubungan hukum diantara subyek-

13
Tan Thong Kie, Studi Notariat: Serba-Serbi Praktik Notaris, Buku I, PT. Ichtar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002, hal.
159.
14
Ibid.
subyek hukum yang bersifat perdata. Notaris sebagai pejabat umum memiliki
peranan yang penting untuk membantu pemerintah dalam melayani masyarakat
untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum melalui akta
autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Terlebih karena akta autentik
yang dibuatnya bernilai sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang
esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan
bermasyarakat.15 Dalam Pasal 2 UUJN-P mengatur bahwa: “Notaris diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri”. Dengan syarat untuk menjadi seorang Notaris
sebagaimana dalam Pasal 3 UUJN-P yang mengatur bahwa:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat
dari dokter dan psikiater;
e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata bekerja sebagai karyawan Notaris
dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada
Kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris
setelah lulus strata dua kenotariatan;
g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris; dan
h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Notaris sebagai pejabat publik memilik karakteristik sebagai berikut:16

15
Ibid.
16
Habieb Adjie, Hukum Notaris Indonesia-Tafsir Tematik UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Bandung,
Reflika Aditama, 2008, hal. 14-16.
 Sebagai jabatan, UUJN-P merupakan unifikasi dibidang pengaturan jabatan
Notaris yang menjadi satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-
undang yang mengatur jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang
berkaitan dengan Notaris di Indonesia mengacu pada UUJN-P. Jabatan Notaris
merupakan lembaga yang diciptakan oleh Negara dan menempatkan Notaris
sebagai jabatan pada suatu bidang pekerjaan yang sengaja dibuat oleh aturan
hukum untuk keperluan dan fungsi atau kewenangan tertentu yang
berkesinambungan.
 Notaris mempunyai kewenangan yang harus dilandasi aturan hukum sebagai
batasan agar jabatannya dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan
dengan wewenang jabatan lain. Notaris dalam bertindak atau melakukan
perbuatan hukum di luar dari kewenangannya, maka produk atau akta
tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan.
 Diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dalam UUJN-P. Meskipun secara
administrasi diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, tidak berarti Notaris
menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya. Dengan demikian,
Notaris menjalankan tugas dan jabatannya bersifat mandiri, tidak memihak
siapapun, tidak bergantung pada siapapun dan dalam menjalankan tugas
jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya ataupun
pihak lain.
 Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya. Notaris hanya
menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat
memberikan pelayanan cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu.
 Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat sebagaimana kehadiran
Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen
hukum (akta) autentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris
mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat yang dapat
menggugat secara hukum, baik terkait biaya ganti rugi dan bunga jika
ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan
hukum yang seharusnya.
 Notaris mempunyai tempat dan kedudukan di daerah kabupaten atau kota
yang wilayah jabatannya meliputi seluruh wilayah provinsi tempat
kedudukannya.
 Notaris dalam tempat kedudukannya harus memiliki satu kantor saja dan tidak
berwenang secara teratur menjalankan jabatannya di luar tempat
kedudukannya.

Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Notaris Kewenangan Notaris dalam


menjalankan jabatannya sebagaimana Pasal 15 UUJN-P yang mengatur bahwa:
Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse akta, salinan akta dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
laib yang ditetapkan oleh undang-undang.

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang


pula:

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di


bawah tangan dengan mendaftaran dalam buku khusus;
b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambar dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau
g. Membuat akta risalah lelang.

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Adapun kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya
sebagaimana dalam Pasal 16 UUJN-P yang mengatur bahwa:

(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:


 Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
 Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari protokol Notaris;
 Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari dari penghadap pada
Minuta akta;
 Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta
berdasarkan minuta akta;
 Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
 Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan
lain;
 Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi
lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan
tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
 Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
 Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan akta setiap bulan;
 Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat
pada kementerian di bidang hukum dalam waktu 5(lima) hari pada
minggu pertama bulan berikutnya;
 Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
setiap akhir bulan;
 Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,
jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
 Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2(dua) orang saksi, atau 4(empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada
saat itu juga oleh penghadap, saksi, Notaris dan
 Menerima magang calon Notaris.
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Akta penawaran pembayaran tunai;
c. Akta protes terhadap tiak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga;
d. Akta kuasa
e. Akta keterangan kepemilikan; dan
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewajiban menyimpan minuta akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta in originali;
(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi:
(4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat lebih
dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang
sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “BERLAKU
SEBAGAI SATU DAN SATU BERLAKU UNTUK SEMUA”;
(5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa
hanya dapat dibuat dalam 1(satu) rangkap;
(6) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
(7) Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib
dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena
penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya,
dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta
serta pada setiap halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan
Notaris;
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap
pembacaan kepala akta, komparisi, penjelasan pokok akta secara singkat
dan jelas, serta penutup akta;
(9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan
ayat (7) tidak terpenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan;
(10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk
pembuatan akta wasiat;
(11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenakan sanksi berupa:
 Peringatan tertulis;
 Pemberhentian sementara;
 Pemberhentian dengan hormat; atau
 Pemberhentian dengan tidak hormat.
(12) Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11),
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi
alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian
biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris; dan
(13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.

Selanjutnya tentang larangan terhadap Notaris dalam menjalankan


jabatannya pada Pasal 17 UUJN-P mengatur bahwa:

(1) Notaris dilarang:


 Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;
 Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah
 Merangkap sebagai pegawai negeri;
 Merangkap sebagai pejabat negara;
 Merangkap jabatan sebagai advokat;
 Merangkap jabatan sebagau pemimpin atau pegawai badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik
swasta;
 Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau
Pejabat Lelang kelas II dilaur tenpat kedudukan Notaris;
 Menjadi Notaris Pengganti, atau
 Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan
dan martabat jabatan Notaris.
(2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikenai sanksi berupa:
 Peringatan tertulis;
 Pemberhentian sementara;
 Pemberhentian secara hormat; atau
 Pemberhentian secara tidak hormat.

B. Akta Notaris

Akta menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah surat tanda bukti berisi
pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dan sebagainya) tentang peristiwa
hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku dan disaksikan dan disahkan
oleh pejabat resmi.17 Sementara menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat
sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi

17
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari: http://kbbi.web.id/kata, pada Tanggal 29 April 2023.
dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dan sengaja untuk
pembuktian.18 Akta Notaris dalam Pasal 1 angka (7) UUJN-P mengatur bahwa: “Akta
Notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau
dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-
undang ini”. Mengenai bentuk akta Notaris sendiri diatur dalam Pasal 38 UUJN-P yang
terdiri dari: awal akta atau kepala akta, badan akta, dan akhir atau penutup akta.

1. Awal akta atau kepala akta memuat:


 Judul akta;
 Nomor akta;
 Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
 Nama lengkap dan kedudukan Notaris;
2. Badan akta memuat:
 Nama lengkap, tempat, dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang
mereka wakili;
 Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
 Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan, dan;
 Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan,
dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
3. Akhir atau penutup akta memuat:
 Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);
 Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemah akta jika ada
 Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta, dan;

18
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. I, Liberty, Jakarta, 2009, hal. 51.
 Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta
atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan,
pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.
4. Akta Notaris pengganti dan pejabat sementara Notaris, selain memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor
dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya. Selain
itu, dikatakan akta tersebut sebagai akta autentik apabila memenuhi kriteria
sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek, yakni: “suatu akta
autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”. Lebih lanjut dalam Pasal 1869
Burgerlijk Wetboek diatur bahwa: Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau
tidak cakapnya pegawai dimaksud di atas atau karena suatu cacat dalam
bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik, namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh
para pihak. Hal ini juga diatur dalam Pasal 16 ayat (9) yang mengatur bahwa:
“Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7)
tidak terpenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan”. Beranjak dari padal tersebut, ayat (1) huruf
mengatur bahwa akta harus dibacakan di hadapan penghadap dengan dihadiri
oleh paling sedikit 2(dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga
oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Sementara untuk Pasal 16 ayat (7) mengatur
bahwa pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib
dilakukan jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan yang
dikemudian hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap
halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Sebagai alat bukti umumnya dapat dikatakan akta Notaris dibedakan menjadi
3 (tiga) macam kekuatan pembuktian, yaitu:19
 Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht) Merupakan
kekuatan pembuktian dalam artian kemampuan dari akta itu sendiri untuk
membuktikan dirinya sebagai akta autentik. Kemampuan ini berdasarkan
Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan. Akta yang
dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang benar-benar
berasal dari pihak, terhadap siapa akta dipergunakan, apabila yang
menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau
dengan cara yang sah menurut hukum telah diakui oleh yang bersangkutan.
Sementara akta autentik membuktikan sendiri keabsahannya.20
 Kekuatan Pembuktian Formal (Formale Bewijskracht) Merupakan kepastian
bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan
oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap. Dalam
arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat, akta itu membuktikan
kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar, dan juga
dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan
jabatannya. Pada akta di bawah tangan, kekuatan pembuktian ini hanya
meliputi kenyataan bahwa keterangan itu diberikan, apabila tanda tangan
yang tercantum dalam akta di bawah tangan itu diakui oleh yang
menandatanganinya atau dianggap telah diakui menurut hukum. Dalam arti
formal, maka terjamin kebenaran/kepastian tanggal dari akta autentik,
kebenaran tanda tangan, identitas dari orang-orang yang hadir, demikian
juga tempat akta dibuat.21 Pada akta autentik berlaku terhadap setiap orang
yakni apa yang ada dan terdapat di atas tanda tangan mereka. Namun
terdapat pengecualian atau pengingkaran atas kekuatan pembuktian formal

19
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2009, hal. 19-23.
20
Ibid.
21
Ibid.
ini. Pertama, pihak penyangkal dapat langsung tidak mengakui bahwa
tanda tangan yang dibubuhkan dalam akta tersebut adalah tanda
tangannya. Kedua, pihak penyangkal dapat menyatakan bahwa Notaris
dalam membuat akta melakukan suatu kesalahan atau kekhilafan namun
tidak menyangkal tanda tangan yang ada di dalam akta tersebut. Artinya,
pihak penyangkal tidak mempersoalkan formalitas akta namun
mempersoalkan substansi akta.22
 Kekuatan Pembuktian Material (Materiale Bewijskracht) Merupakan
kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian
yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang
mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian
sebaliknya. Artinya, tidak hanya kenyataan yang dibuktikan oleh suatu akta
autentik, namun isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar
terhadap setiap orang, yang menyuruh membuatkan akta itu sebagai tanda
bukti terhadap dirinya. Akta autentik dengan demikian mengenai isi yang
dimuatnya berlaku sebagai yang benar, memiliki kepastian sebagai
sebenarnya maka menjadi terbukti dengan sah diantara para pihak oleh
karenanya apabila digunakan di muka pengadilan adalah cukup dan bahwa
hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya
disamping akta autentik tersebut.23

C. Cyber Notary
Istilah cyber notary dipopulerkan oleh ahli hukum yang menganut common
law.28 Berdasarkan konsep dari ABA (American Bar Association, Information
Security Commite) yang awalnya mempopulerkan istilah cyber notary. 24
Penggunaan istilah ini merujuk pada fungsi dan peran dari CA/CSP yang dianggap

22
Ibid.
23
Edmon Makarim, Op.Cit. hal. 10.
24
Andi Nur Annisa Meilany, Cyber Notary: Protokol Notaris yang Disimpan Dalam Bentuk Elektronik, Pena Persada,
Banyumas, 2020, hal. 29
sebagaimana Notaris dalam cyberspace, oleh karena itu disebutlah cyber notary. 25
Di Indonesia sendiri cyber notary sudah muncul sejak Tahun 1995, akan tetapi
kemunculannya terhambat karena tidak adanya dasar hukum. Barulah sejak
diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang saat ini telah berubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Wacana cyber notary kembali bergulir seiring
dengan perkembangan masyarakat terkait transaksi elektronik dalam berbagai
bidang. Sehingga Notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak lepas pula
dari kemajuan teknologi sebagai perkembangan di masyarakat. Konsep cyber
notary mulai menunjukkan kemajuan setelah diundangkannya UUJN-P yang
mengatur kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik,
walaupun hanya tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3), yakni yang
dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan antara lain kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara
elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat
terbang.
CA/CSP yang dianggap sebagaimana Notaris dalam cyberspace, oleh karena
itu disebutlah cyber notary. 30 Di Indonesia sendiri cyber notary sudah muncul
sejak Tahun 1995, akan tetapi kemunculannya terhambat karena tidak adanya
dasar hukum. Barulah sejak diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang saat ini
telah berubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Wacana cyber notary
kembali bergulir seiring dengan perkembangan masyarakat terkait transaksi
elektronik dalam berbagai bidang. Sehingga Notaris dalam menjalankan tugas dan

25
Ibid
fungsinya tidak lepas pula dari kemajuan teknologi sebagai perkembangan di
masyarakat. Konsep cyber notary mulai menunjukkan kemajuan setelah
diundangkannya UUJN-P yang mengatur kewenangan mensertifikasi transaksi
yang dilakukan secara elektronik, walaupun hanya tercantum dalam Penjelasan
Pasal 15 ayat (3), yakni yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan antara lain kewenangan mensertifikasi
transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar
wakaf, dan hipotek pesawat terbang.
Apabila dilihat dari filosofinya, transaksi elektronik bukan merupakan sesuatu
yang bersifat konvensional yang mana dapat dilakukan dimana saja dan tidak
menutup kemungkinan bersifat lintas batas negara sebagaimana halnya dalam
penjelasan Pasal 2 UU ITE.26 Dimana dalam pasal tersebut diterangkan bahwa
jangkauan UU ITE tidak mengenal batas teritorial mengingat pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas territorial atau
universal.27
Konsep Cyber Notary di Indonesia Konsep cyber notary ingin memberi bingkai
hukum, yaitu agar tindakan menghadap para pihak atau penghadap di hadapan
Notaris dan Notarisnya tidak lagi harus bertemu secara fisik (face to face) di suatu
tempat tertentu.28 Dalam hal ini para pihak bisa saja berada ditempat yang
berbeda. Cyber notary yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan atau
mempercepat suatu pelaksanaan tugas dankewenangan Notaris dalam membuat
dan menyusun suatu akta autentik.29 Edmon Makarim sendiri berpendapat bahwa
konsep cyber notary masih dalam perdebatan walapun teknologi memungkinkan
peranan Notaris secara online dan remote, namun secara hukum hal tersebut tidak

26
Dewa Ayu Widya Sari, R.A Retno Murni, I Made Udiana, Kewenangan Notaris di Bidang Cyber Notary
Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Udang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Jurnal Ilmiah Prodi Magister
Kenotariatan, Volume 2 Nomor 2, 2017, hal. 220.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Ibid.
dapat dilakukan.30 Sama halnya yang disampaikan oleh Tegas Hari Krisyanto, dkk
bahwa:31 Even so, by the existence of regulations and even legislation that opens
wide opportunities for the application of Cyber Notary in carrying out the duties
and authorities of Notaries such as the above, it must be admitted that shifting
roles towards the Cyber Notary era is certainly not as easy as turning the palm.
Sekalipun demikian, pada dasarnya cyber notary adalah konsep yang
memanfaatkan kemajuan teknologi bagi para notaris dalam menjalankan tugasnya
sehari-hari, seperti: digitalisasi dokumen, penandatanganan akta secara
elektronik, pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) secara
telekonferensi, dan hal-hal lain yang sejenis. Selanjutnya Edmon Makarim
berpendapat bahwa antara cyber notary dan cyber space memiliki persamaan
yakni, salah satu metode bagi notaris dengan mempergunakan media cyberspace,
yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan dalam menjalankan jabatannya. 32
Sementara menurut Emma Nurita, konsep cyber notary untuk sementara dapat
dimaknai sebagai notaris yang menjalankan tugas atau kewenangan jabatannya
dengan berbasis teknologi informasi, yang berkaitan dengan tugas dan fungsi
notaris, khususnya dalam pembuatan akta. 33 Dengan kata lain dapat dikatakan
pula bahwa dari segi konsep cyber notary diartikan sebagai metode/cara bekerja
Notaris yang memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada. 34 Istilah ini
merupakan perubahan cara kerja Notaris yang konvensional (tatap muka) menuju
cara kerja yang modern (tanpa tatap muka) dengan memanfaatkan teknologi yang

30
Cyndiarnis Cahyaning Putri, Abdul Rachmad Budiono, Konseptualisasi dan Peluang Cyber Notary Dalam Hukum,
Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Volume 4 Nomor 1, Universitas Negeri Malang, Juni
2019, hal. 32
31
Tegas Hari Krisyanto, Zainul Daulay, Benny Betrix, Strength Of Evident Of Notary Deed in the Perspective Of
Cyber Notary in Indonesia, International Journal Of Multicultural and Multireligious Understanding, Volume 6,
Number 3, Juni 2019, hal. 776.
32
Cyndiarnis Cahyaning Putri, Abdul Rachmad Budiono, Op.Cit. hal. 32.
33
RA. Emma Nurita, Cyber Notary: Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran, Refika Aditama, Bandung, 2012,
hal. Xii
34
R. A Emma Nurita dalam Habib Adjie, Konsep Notaris Mayantara Menghadapi Tantangan Persaingan Global,
Jurnal Hukum Republika, Volume 16, Nomor 2, 2017, hal. 201-218
ada.35 Akta autentik yang dibuat oleh Notaris mengenai semua perbuatan atau
perjanjian atau ketetapan yang diharuskan oleh undang-undang atau apa yang
dikehendaki para pihak yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam bentuk akta
autentik. Adapun manfaat dari cyber notary adalah mempermudah transaksi
antara Notaris dan para pihak yang tinggalnya berjauhan sehingga jarak bukan
lagi menjadi masalah. Dalam keberlakuan cyber notary dibutuhkan beberapa
aspek penting seperti kriptografi dan certification authority. Kriptografi secara
terminologi berarti ilmu dan seni menjaga keamanan pesan ketik pesan dari suatu
tempat ke tempat yang lain.36 Pada kriptografi, Public Key Infrastructure (PKI)
adalah cara untuk autentikasi, pengaman data dan perangkat anti sangkal.37
Secara teknis PKI merupakan implementasi dari berbagai teknis kriptografi yang
bertujuan untuk mengamankan data, memastikan keaslian data maupun
pengirimannya dan mencegah penyangkalan. 38 Lebih lanjut, kriptografi
menjaminan keamanan pada suatu data baik berupa gambar, suara, video,
ataupun dokumen. Aspekaspek keamanan tersebut sebagai berikut:39
 Confidentiality (Kerahasiaan) Aspek kerahasiaan bertujuan untuk melindungi
akta elektronik dari pihak yang tidak berhak mengetahuinya. Kerahasiaan
menjadi hal yang penting dan melekat pada diri seorang notaris, tidak hanya
pada dokumen atau akta. Seorang notaris sesuai dengan sumpahnya harus
mampu menjaga kerahasiaan mengenai transaksi-transaksi apapun yang
hanya boleh diketahui oleh orang yang berhak. Untuk menjamin kerahasiaan
biasanya menggunakan algoritma simetrik seperti AES, DES, Blowfish, dan
yang lainnya dengan varian yang berbeda-beda.

35
Muhammad Farid Alwajdi, Urgensi Pengaturan Cyber Notary Dalam Mendukung Kemudahan Berusaha Di
Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Volume 9 Nomor 2, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2020, hal. 206.
36
Dony Ariyus, Pengantar Ilmu Kriptografi Teori Analisis dan Implementasi, Penerbit ANDY, Yogyakarta, 2008, hal.
13.
37
Andi Nur Annisa Meilany, Op.Cit. hal. 30
38
Ibid.
39
Mulyadi, S.S.T.TP, Analisis Keamanan Akta Elektronik Pada Cyber Notary Sesuai UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris (UUJN), Diakses melalui: https://docplayer.info/72 205450 -Analisis-keamanan-akta-elektronik-
pada-cyber-notarysesuai-uu-nomor-2-tahun-2014-tentang-jabatan-notaris-uujn.html, pada tanggal 29 April 2023
 Integrity (Keutuhan) Aspek keutuhan bertujuan untuk melindungi terjadinya
perubahan pada akta elektronik. Akta yang dapat dijadikan alat bukti yang sah
adalah akta yang keutuhannya terjaga. Akta yang keutuhannya tidak bisa
dipastikan, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah, karena teridikasi telah
terjadi modifikasi di dalamnya. Untuk menjamin keutuhan data menggunakan
metode one way hash function (OWHF) atau yang dikenal hash function, antara
lain SHA dan variannya, MD5, Kecak, dan lain-lain.
 Authentication (Keaslian) Aspek keaslian bertujuan untuk menjamin keaslian
pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan akta elektronik. Apabila suatu akta
tidak dapat dibuktikan keaslian tanda tangan notarisnya, maka akta tersebut
tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Keaslian seseorang terhadap
dokumen elektronik dapat dibuktikan dengan digital certificate yang
ditandatangani oleh certrificate authority (CA) yang terpercaya.
 Non-Repudiation (Nir-Penyangkalan). Aspek Non-Repudiation bertujuan untuk
menjamin bahwa seseorang yang sudah menandatangani suatu Akta
elektronik, maka orang tersebut tidak dapat lagi menyangkal bahwa orang
tersebut sudah menandatanganinya. Hal ini menjadi sangat penting untuk
menjadikan akta elektronik sebagai alat bukti yang sah. Aspek ini dapat dijamin
dengan menggunakan digital certificate karena didalamnya terdapat identitas
pemilik sertifikat, dengan begitu seseorang tidak dapat menyangkal bahwa dia
telah menandatangani akta. Sementara certification authority adalah sebuah
Lembaga yang bertugas mensertifikasi jati subscriber/subject agar subscriber
itu dikenali di dunia digital, dengan menerbitkan Sertifikat Digital (SD) untuk
setiap subscribernya.40

Di Indonesia, lembaga ini diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan


Informatika Nomor: 29/PERM/M. KOMINFO/11/2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Certification Authority (CA). Certification Authority sendiri
merupakan badan hukum yang berperan sebagai pihak ketiga terpercaya yang

40
Ibid.
menerbitkan Sertifikat Digital dan menyediakan keamanan yang dapat dipercaya
oleh para pengguna dalam menjalankan pertukaran informasi secara elektronik
dengan menjamin:41 Pertama, informasi yang dipertukarkan hanya bisa dibaca
oleh penerima yang berhak; Kedua, identitas pihak yang dikaitkan dapat diketahui
atau dijamin otentitasnya; Ketiga, Informasi yang dikirim dan diterima tidak
berubah; dan Keempat, pihak yang terkait tidak dapat menyangkal telah
melakukan transaksi. Akan tetapi, wacana penerapan cyber notary ini sendiri bagi
sebagian kalangan bertentangan dengan asas yang selama ini dipegang sebagai
Notaris yakni asas tabellionis officium fideliter exercebo yang artinya Notaris harus
bekerja secara tradisional.42 Lebih lanjut disampaikan bahwa tujuan utama
dipertahankannya penerapan asas tersebut dalam menjalankan jabatan Notaris
tidak lain agar terjaganya kebenaran formil yang memang menjadi tanggung
jawab dari jabatan Notaris,43 yang menjadi dasar tindakan hukum yang dilakukan
notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Hal ini juga berkaitan
dengan tujuan dari akta Notaris itu sendiri yakni sebagai alat bukti yang
digunakan untuk melindungi kepentingan hukum para penghadapnya. Untuk
melindungi kepentingan penghadap, maka ada kewajiban Notaris yang diatur
secara jelas dalam UUJN-P yakni berupa kewajiban bahwa notaris itu sendiri harus
datang, melihat dan mendengar dalam setiap pembuatan akta dan ditanda-
tangan oleh notaris itu sendiri dan para penghadap masingmasing langsung di
tempat dibacakannya akta itu oleh Notaris. Selain itu, tanda tangan yang
ditorehkan, harus tanda tangan asli dari Notaris dan para penghadap bukanlah
tanda tangan elektronik yang bisa ditorehkan di dalam akta tersebut.

Alat Bukti Elektronik Bukti menurut Subekti adalah “sesuatu untuk meyakinkan
akan kebenaran suatu dalil atau pendirian”. 44 Sementara alat bukti adalah “alat

41
Ibid.
42
Eddy O.S. Hiariej, Telaah Kritis Konsep Cybernotary Dalam Sudut Pandang Hukum Pembuktian, Disampaikan
dalam Seminar Nasional “Membangun Hukum Kenotariatan Di Indonesia”, yang diselenggarakan Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis 27 Februari 2014
43
Ibid.
44
Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, hal. 17.
yang digunakan untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak di pengadilan,
misalnya bukti tertulis, kesaksian, sumpah dan lainnya.”45 Seiring dengan
perkembangan teknologi yang diikuti dengan semakin beragamnya aktivitas
berbasis elektronik menjadikan alat pembuktian yang dapat digunakan secara
hukum yang meliputi informasi atau dokumen elekteronik. Selanjutnya hasil cetak
dari dokumen elektronik harus pula dapat dijadikan sebagai alat bukti sah secara
hukum yang kemudian saat ini lebih dikenal dengan bukti elektronik. 46 Terdapat
perdebatan diantara para ahli hukum dan ahli teknologi. Dimana ahli hukum
mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 1867 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 164
Herziene Indonesisch Reglement yang lebih autentik adalah akta Notaris jika
dibandingkan dengan bukti elektronik yang dapat diragukan secara hukum. 47
Sebagaimana hukum acara perdata membedakan alat bukti tulisan sebagai surat
(yang tidak bertanda tangan) dan akta (yang terdapat tanda tangan) baik yang
dibuat oleh para pihak sebagai akta dibawah tangan maupun yang dibuat di
hadapan pejabat umum yang berwenang. Sementara oleh ahli teknologi
mengatakan bahwa yang dipandang lebih autentik adalah informasi dari black
box pesawat. Sebab bagi ahli teknologi sangat naif jika hanya memandang
keautentikan hanya dari sudut pandang formalitas saja dengan mempercayakan
keautentikan secara materil sepenuhnya pada seorang pejabat umum yang
menjalankan tugasnya di bawah sumpah. Sementara tidak ada informasi lain
yang dapat menjelaskan atau membuktikan bahwa memang benar pejabat umum
yang bersangkutan dalam membuat akta telah menjalankan semua formalitas
sebagaimana mestinya. Pada dasarnya suatu informasi elektronik adalah berasal
dari suatu sistem elektronik yang bekerja dengan baik dan akuntabel sehingga
suatu informasi elektronik yang dapat dipercaya adalah karena sistem elektronik
yang layak dipercaya. Oleh karenanya, suatu informasi yang autentik secara
materil adalah karena berasal dari suatu sistem elektronik yang terjamin

45
Ibid.
46
Efa Laela Fakhirah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, Alumni, Bandung, 2009, hal. 16.
47
Edmon Makarim, Op.Cit. hal. 27.
reabilitasnya sehingga terjaga keautentikannya secara formil, yakni andal, aman,
dan dioperasikan secara bertanggung jawab.

Adapun alat bukti elektronik dalam perkembangan hukum di Indonesia saat ini
berdasar pada UU ITE. Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa informasi
elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Lanjut
dalam ayat (2) nya mengatur bahwa mencantumkan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di
Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (3) UU ITE mengatur bahwa “informasi
elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sitem
elektronik sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang ini. Adapun yang
dimaksud adalah Pasal 1 angka (5) UU ITE yaitu serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan,
dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Dalam Pasal 5 ayat (4) mengatur
bahwa: Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. Surat yang menurut
undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. Surat beserta
dokumen yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril
atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta Namun terdapat pengecualian
bagi ayat (4) tersebut, yakni diatur dalam Pasal 6 bahwa: Dalam hal terdapat
ketentuan lain selain selain diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan
bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum
di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

9. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian
yang dan mengumpulkan bahan-bahan bacaan yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas dalam tesis ini seperti Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku,
makalah-makalah, dan hasil-hasil Penelitian yang relevan. Penelitian ini bersifat
preskriptif analisis yaitu mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas
aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum.48 Dimana dalam hal
ini peneliti akan memberikan kritisi serta solusi hukum atas permasalahan yang dikaji
dan di analisa dalam penelitian hukum ini. Jenis bahan hukum yang digunakan sebagai
sumber bahan hukum dalam penulisan ini adalah:
a. Bahan hukum primer, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek voor Indonesie,
(Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23)
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
5) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
6) Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
61 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penjatuhan Sanksi Administratif Terhadap
Notaris
b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa karya-karya ilmiah buah
pikiran para pakar hukum baik dalam bentuk literatur-literatur, jurnal hukum, hasil
Penelitian, bahan seminar, artikel-artikel hukum ataupun bentuk karya-karya
ilmiah lainnya termasuk yang dipublikasikan dalam internet yang berkaitan dengan
pokok permasalahan dalam penulisan ini.
c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yang terdiri dari kamus hukum, kamus
Bahasa Indonesia, kamus Bahasa Inggris dan ensiklopedia yang ada relevansinya
dengan pokok bahasan dalam Penelitian ini.

48
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008, hlm.20
10. Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini adalah kuantitatif non-eksperimen yaitu metode
penelitian yang tidak menggunakan eksperimen atau percobaan (Saam & wahyuni,
2013). Azwar (2014) mengatakan bahwa jenis penelitian ini merupakan kuantitatif
deskriptif, yaitu penelitian dengan menggunakan analisis hanya sampai pada tahap
deskripsi, menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih
mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Penelitian deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karateristik mengenai
populasi atau mengenai bidang tertentu.

URGENSI PENGATURAN CYBER NOTARY


DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

Latar Belakang Rumusan Masalah Kerangka Teori Metode


Penelitian
Dan Konseptual
Salah satu konsep 1. Bagaimanakah
elektronik yang kedudukan Akta
dapat digunakan Notaris yang dibuat 1. Kerangka Teori - Jenis Penelitian
dalam pelayanan berdasarkan konsep - Teori Kepastian - Pendekatan
hukum untuk Cyber Notary ditinjau - Teori - Data dan Sumber
membuat akta dari Undang-Undang Data
Perlindungan
Notaris adalah Jabatan Notaris? - Teknik
dikenal dengan Hukum
konsep cyber 2. Bagaimanakah - Teori Keabsahan Pengumpulan dan
notary. Konsep perlindungan hukum 2. Konseptual Pengolahan Data
cyber notary hanya bagi notaris yang - Cyber Notary - Teknik Analisa
disebutkan dalam membuat akta
- Akta Notariil
Penjelasan Pasal 15 berdasarkan konsep
Ayat (3) Undang- Cyber Notary? - Akta Elektronik
Undang Jabatan
Notaris, masih
belum adanya
pengaturan
mengenai cyber
notary secara lebih
jelas, sehingga HASIL PENELITIAN
Notaris menjadi
ragu untuk
menggunakan
konsep cyber
notary.
SARAN DAN KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2009.

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Telematika, Banjarmasin, P3AI Unlam, 2012.

Andi Nur Annisa Meilany, Cyber Notary: Protokol Notaris yang Disimpan Dalam Bentuk Elektronik,
Pena Persada, Banyumas, 2020.

Andi Suci Wahyuni, “Urgensi Kebutuhan Akta Autentik Di Masa Pandemi Covid-19,” Jurnal Ilmiah
Hukum Dan Dinamika Masyarakat 18, no. 1 (2020): 9,
http://jurnal.untagsmg.ac.id/index.php/hdm/article/view/1748

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta. Sinar Grafika, 2009.

Chastra, “Kepastian Hukum Cyber Notary Dalam Kaidah Pembuatan Akta Autentik Oleh Notaris
Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris”.
Cyndiarnis Cahyaning Putri, Abdul Rachmad Budiono, Konseptualisasi dan Peluang Cyber Notary
Dalam Hukum, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Volume 4
Nomor 1, Universitas Negeri Malang, Juni 2019.

Dedy Pramono, “Kekuatan Pembuktian Akta Yang Dibuat Oleh Notaris Selaku Pejabat Umum
Menurut Hukum Acara Perdata Di Indonesia,” Lex Jurnalica 12, no. 3 (2015): 254,
https://ejurnal.esaunggul.ac.idndex.php/Lex/ article/view/1225.

Dewa Ayu Widya Sari, R.A Retno Murni, I Made Udiana, Kewenangan Notaris di Bidang Cyber
Notary Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Udang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, Volume 2 Nomor 2,
2017

Dony Ariyus, Pengantar Ilmu Kriptografi Teori Analisis dan Implementasi, Penerbit ANDY,
Yogyakarta, 2008.

Eddy O.S. Hiariej, Telaah Kritis Konsep Cybernotary Dalam Sudut Pandang Hukum Pembuktian,
Disampaikan dalam Seminar Nasional “Membangun Hukum Kenotariatan Di Indonesia”,
yang diselenggarakan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Kamis 27 Februari 2014.

Efa Laela Fakhirah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, Alumni, Bandung, 2009.
Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum Tentang Cyber Notary atau
Electronic Notary, Edisi Kedua, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013

Habieb Adjie, Hukum Notaris Indonesia-Tafsir Tematik UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, Bandung, Reflika Aditama, 2008.

Handriyanto Wijaya, “Problematika Hukum Pelaksanaan Cyber Notary Dalam Masa Pandemi
Covid-19,” in Conference on Law and Social Studies (Madiun: Fakultas Hukum Universitas
PGRI Madiun bekerja sama dengan Universitas Sebelas Maret, Universitas Bung Hatta
Padang, Universitas Kuningan, Komisi Pemlihan Umum (KPU) Kota Madiun, dan Badan
Pengawas Pemilu (BAWASLU), 2021), 2, http://prosiding.unipma.ac.id/index.
php/COLaS/article/view/1859.

J.J.J.H Bruggigk, dialih Bahasa oleh Arief, Refleksi Tentang Hukum, Bandung PT.Citra Aditya
Bhakti, 1996.

Muhammad Farid Alwajdi, Urgensi Pengaturan Cyber Notary Dalam Mendukung Kemudahan
Berusaha Di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Volume 9 Nomor 2, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2020, hal. 206.

Mulyadi, S.S.T.TP, Analisis Keamanan Akta Elektronik Pada Cyber Notary Sesuai UU Nomor 2
Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), Diakses melalui: https://docplayer.info/72
205450 -Analisis-keamanan-akta-elektronik-pada-cyber-notarysesuai-uu-nomor-2-tahun-
2014-tentang-jabatan-notaris-uujn.html, pada Tanggal 24 Juni 2021, pukul 08:25 WITA

Nurul Muna Zahra Prabu, Endang Purwaningsih, and Chandra Yusuf, “Problematika Penerapan
Cyber Notary Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,” Jurnal Surya
Kecana Dua: Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan 6, no. 2 (2019): 886–87,
http://openjournal.unpam.ac.id/index.php/SKD/article/view/3995

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.

Putri, C. C., Yahanan, A., & Trisaka, A. (2019). Penyimpanan Protokol Notaris Secara Elektronik
dalam Konsep Cyber Notary (Doctoral dissertation, Sriwijaya University.

R. A Emma Nurita dalam Habib Adjie, Konsep Notaris Mayantara Menghadapi Tantangan
Persaingan Global, Jurnal Hukum Republika, Volume 16, Nomor 2, 2017.
RA. Emma Nurita, Cyber Notary: Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran, Refika Aditama,
Bandung, 2012.

Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2003.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. I, Liberty, Jakarta, 2009.

Syamsul Arifin, Pengantar Hukum Indonesia, Medan: Medan area University Press, 2012.

Tan Thong Kie, Studi Notariat: Serba-Serbi Praktik Notaris, Buku I, PT. Ichtar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2002.

Tegas Hari Krisyanto, Zainul Daulay, Benny Betrix, Strength Of Evident Of Notary Deed in the
Perspective Of Cyber Notary in Indonesia, International Journal Of Multicultural and
Multireligious Understanding, Volume 6, Number 3, Juni 2019.

Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi kedua, cet. 1, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi kedua, cet. 1,(Jakarta: Balai Pustaka, 1991).

Van Pramodya Puspa, 1977, Kamus Hukum, Semarang, Aneka Ilmu.

Internet :
Joseph Raz, Legal Validity, Oxford Scholarship online, diakses melalui www.Oxford
Scholarship.com pada tanggal 29 April 2023.

http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum/ di akses pada tanggal 29 April 2023.

http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum/ di akses pada tanggal 29 April 2023.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari: http://kbbi.web.id/kata, pada tanggal 29 April 2023.
11. JADWAL PENELITIAN

Tabel 2. Jadwal Penelitian

No Uraian Kegiatan Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
2023 2023 2023 2024 2024 2024 2024 2024 2024 2014

1. Penyusunan
Proposal
Tesis
2. Pengajuan
Proposal
3. Pengajuan
Surat Izin
Penelitian
4. Pengumpulan
Data
5. Pengolahan
Data
6. Penyusunan
Data
7. Sidang

Anda mungkin juga menyukai