Anda di halaman 1dari 16

A.

Urgensi Peranan Notaris dalam Transaksi Elektronik


Adalah suatu fakta bahwa transaksi konvensional yang menggunakan kertas seakan telah
berubah menjadi bentuk transaksi yang menggunakan sistem elektronik. Hal tersebut sejalan
dengan kesepakatan global dalam forum UNCITRAL yang telah lama memberikan
rekomendasi tentang perlunya pengakuan terhadap nilai hukum pada suatu informasi dan/atau
dokumen elektronik. UNCITRAL telah menggulirkan Model Law on E-Commerce (1996),
dan Model Law on E-Signatures (2001), yang dapat digunakan oleh semua negara dalam
mengembangkan sistem hukum nasionalnya untuk mengakomodir dinamika perniagaan
secara elektronik dan pengaturan tentang tanda tangan elektronik.
Dalam perkembangannya kemudian lahir konvensi internasional tentang e-commerce dalam
lingkup antara pelaku usaha (B2B) yakni United Convention on the Use of E-Communication
in International Contracts (2005). Konvensi ini telah diratifikasi ataupun diakses oleh banyak
negara sehingga dapat dikatakan menjadi standar pengaturan dalam perdagangan secara
elektronik lintas negara.
Selanjutnya, demi interoperabilitas antara negara, UNCITRAL juga membuat kajian tentang
Promoting Confidence in E-Commerce: Legal Issues on International Use of Electronic
Authentication and Signature Methods (2009). Dalam kajian tersebut dikemukakan
pentingnya harmonisasi untuk menyelesaikan isu metode autentikasi secara global agar
tercipta suatu kepercayaan dalam berniaga secara elektronik (e-commerce). Kajian tersehut
menyinggung peranan notaris publik dalam mencapai efektivitas e-commerce dan
memperlihatkan pentingnya perhatian terhadap perkembangan Hague Agreement 1961
tentang The Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public
Documents, yang mengarahkan setiap otoritas publik yang berkompeten (termasuk notaris)
untuk melakukan simplifikasi dan format standar (Apostille) dalam mensertifikasi
keautentikan suatu dokumen publik menjadi bentuk yang elektronik (electronic apostille).
Sehubungan dengan itu, urgensi fungsi dan peran notaris secara elektronik telah mengemuka
pada International Congress XXIV dari Latin Notaris tahun 2004 yang sempat dibahas dalam
Working Group untuk Theme II (The Notary and Electronic Contracts), pada pokoknya
menyadari untuk membuka diri dengan mengakomodasi semua perkembangan tersebut
dengan baik dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana mestinya Konferensi ini telah
menyadari adanya kemungkinan pembuatan akta autentik secara elektronik.
Seiring dengan dinamika tersebut, dalam perkembangannya beberapa negara telah
menerapkan electronic-notary ataupun cyber-notary dalam sistem hukum nasionalnya,
terutama dalam konteks kebutuhan akan jaminan keautentikan suatu informasi elektronik,
khususnya dalam dukungan penyelenggaraan tanda tangan digital. Amerika Serikat dan
Prancis adalah dua negara yang merepresentasikan dua tradisi hukum yang berbeda, namun
keduanya telah menyelenggarakan cybernotary ataupun e-notary pada sistem hukum
nasionalnya. Sementara beberapa negara lainnya baru mulai mengarah untuk menjalankan
sistem yang hampir serupa. Ironisnya, Indonesia tampaknya masih harus berjuang untuk
mengikuti dinamika itu. Oleh karena itu, kajian ini menjadi suatu kebutuhan dalam rangka
mereformasi hukum nasional agar dapat mengakomodasi dinamika teknologi telematika
sebagaimana yang diharapkan dengan baik.
Saat ini, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diundangkan sejak 21 April 2008 lalu.
Berdasarkan UU ITE, setiap orang dapat menggunakan Tanda Tangan Elektronik (e-
signature) yang didukung oleh suatu jasa layanan penyelenggara sertifikasi elektronik
(Certification Service Provider/CSP). Pada dasarnya, suatu tanda tangan elektronik berikut
sistem sertifikasi elektroniknya, diselenggarakan untuk memperjelas identitas subjek hukum
dan melindungi keamanan serta otentisitas informasi elektronik yang dikomunikasikan
melalui sistem elektronik. Esensinya, keberadaan suatu tanda tangan elektronik adalah
keberadaan suatu metode verifikasi dan autentikasi berikut akuntabilitas atau reliabilitas
sistem elektroniknya sesuai lingkup tujuan penggunaannya.
Sementara itu, notaris sebagai pejabat umum berdasarkan UU No.30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (UU Notaris) mempunyai fungsi dan peran yang penting dalam legalitas
transaksi di Indonesia, bahkan notaris juga dipahami menjadi pihak ketiga terpercaya
(Trusted-Third-Party/TTP) dalam kehidupan sehari-hari. Jasa notaris telah menjadi
kebutuhan masyarakat, tidak hanya dalam pembuatan akta (contoh: pendirian Badan Hukum
dan Jual Beli Tanah), melainkan juga untuk menjadi penengah atau saksi dari transaksi
(contoh: penarikan undian).
Konsep Cybernotary tampaknya di Indonesia masih dalam perdebatan dan dirasakan sebagai
suatu wacana saja, belum dirasakan sebagai kebutuhan. Walaupun teknologi memungkinkan
peranan notaris secara online dan remote, namun secara hukum hal tersebut seakan belum
dapat dilakukan karena paradigma yang melandasi UU Notaris dibangun dengan mekanisme
konvensional. Oleh karena itu, fungsi dan peran notaris dalam konteks transaksi elektronik
menjadi sangat penting untuk dikaji secara mendalam, agar notaris Indonesia dapat berperan
secara global.
Tidak dapat ditampik, bahwa dalam kehidupan dan transaksi sehari-hari, notaris telah diakui
dan dihargai sebagai pihak ketiga yang layak dipercaya oleh masyarakat. Notaris adalah
pejabat atau profesional hukum yang disumpah untuk bertindak sesuai hukum yang
semestinya sehingga dapat dikatakan notaris sangat diperlukan untuk kepastian legalitas
perbuatan maupun untuk mencegah adanya perbuatan melawan hukum (contoh: penipuan).
Kualifikasi dan kriteria sebagai notaris adalah dilandaskan kepada etika yang tinggi dan
tingkat kepercayaan berlaku jujur di bawah hukum yang berlaku. Berbeda dengan pengacara,
notaris dianggap berperan dan berlaku netral karena tidak bertindak atas kepentingan klien
melainkan bertindak atas hukum yang semestinya berlaku. Oleh karena itu, terhadap setiap
kegiatan dan aktenya, notaris dapat dikatakan bertanggung jawab penuh sehingga mutu
dokumennya dikategorikan sebagai akta autentik dan mempunyai kekuatan eksekutorial.
Sementara fungsi dan peran sebagaimana layaknya notaris, dalam konteks transaksi
elektronik secara teknis dijalankan oleh pelaku penyelenggara Sertifikat Elektronik
(CA/CSP). Lembaga ini mengemban amanat (trust) masyarakat terhadap keberadaan
informasi identitas (identity) seseorang yang disampaikannya. Sayangnya hal tersebut masih
dalam perspektif dan kinerja teknis semata, oleh karena itu(secara hukum sangat diperlukan
peranan notaris untuk mendukung perannya agar informasi yang disampaikan oleh CA/CSP
tersebut substansinya dapat dikatakan sebagaimana layaknya suatu akta autentik, khususnya
apabila tidak ada penyangkalan dari pihak yang terkait daripadanya.
B. Tujuan dan Manfaat
Secara umum adalah kebutuhan bagi setiap orang untuk mendapatkan perlindungan hukum
terhadap setiap transaksi yang dilakukannya secara elektronik. Perlindungan tersebut tidak
hanya dalam bentuk pengakuan terhadap nilai pembuktian terhadap suatu informasi
elektronik melainkan juga terhadap kepastian pemenuhan unsur subjektif dari syarat
hubungan kontraktual yang menjadi penentu terhadap legalitas suatu transaksi. Unsur
subjektif tersebut akan terpenuhi jika ada kejelasan tentang identitas hukum para pihak
berikut kapasitas hukumnya. Guna menjamin hal tersebut, maka keberadaan notaris adalah
menjadi pencegah adanya kemungkinan penipuan dalam transaksi elektronik.
Selain secara teknis riset ini adalah untuk menjawab permasalahan tersebut di atas, namun
secara teoretis dan akademis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan khazanah
pemikiran hukum tentang batasan keautentikan suatu informasi berikut nilai kekuatan
pembuktian hukumnya secara elektronik.
Sementara itu, secara praktis riset akan memberikan manfaat kepada para pemangku
kepentingan (stakeholders) ant lain, yaitu; (i) bagi penyelenggara jasa sertifikasi elektronik
(CA/CSP) dapat menjadi ukuran kualitatif dalam menentukan standar penyelenggaraan
sistem elektronik yang baik, khususnya dalam legal risk management, (ii) bagi notaris, dapat
menjadi tinjauan ilmiah tentang praktik penyelenggaraan jasa kenotariatan dalam lingkup
transaksi elektronik; (ii) bagi masyarakat, dapat mengetahui kekuatan pembuktian hukum
dari penggunaan sertifikat elektronik yang didukung oleh notaris; (iv) bagi pemerintah, dapat
menjadi petunjuk dalam mengharmoniskan UU Notaris dengan UU ITE; (v) bagi pihak yang
bertransaksi, dapat mengetahui kepastian hukum dalam bertransaksi; dan (vi) bagi para
penegak hukum (Hakim, Jaksa, dan Pengacara, Arbiter/Mediator), dapat berguna untuk
menjelaskan validitas dan kekuatan pembuktian dari alat bukti digital atau elektronik.
Dalam prakteknya nanti, apabila gagasan Cyber-notary ataupun E-notary dapat
diimplementasikan di Indonesia, maka kekuatan pembuktian informasi dan transaksi
elektronik yang selama ini dipersepsikan sering kali mempunyai nilai pembuktian yang
lemah, maka akan menjadi lebih kuat kedudukannya karena dapat dipersepsikan sebagaimana
layaknya akta autentik. Hal tersebut akan meningkatkan kepercayaan dan keamanan
masyarakat terhadap transaksi elektronik. Meskipun peluang notaris untuk berperan secara
elektronik seakan tak terlihat dalam UU Notaris, namun sekiranya ada peraturan perundang-
undangan lain yang memberikan peluang itu (contoh: PP yang diamanatkan UU-ITE
memberikan peluang bagi Notaris untuk memberikan dukungan jasa layanan sertifikasi
elektronik),8 maka hal tersebut sesungguhnya masih sangat relevan dengan ketentuan Pasal
15 ayat (2) butir (a) dan ayat (3) UU Notaris yang telah memberikan adanya kewenangan lain
bagi notaris sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, beberapa permasalahan hukum yang terkais dengan penyelenggaraan kerja notaris
secara konvensional selama ini, juga akan terselesaikan dengan baik. Tidak hanya terkait
dengan keberadaan sistem pemberkasan yang semakin baik karena electronic filing
melainkan juga sistem pencatatan dan standar penyelenggaraan jasa yang semakin efisien dan
lingkup peluang transaksi yang semakin global. Notaris juga akan dipermudah dan diperkaya
dengan fasilitas sistem elektronik yang menunjang bukti-bukti dari dipenuhinya syarat-syarat
suatu keautentikan baik terhadap syarat objektif maupun syarat subjektif, seperti antara lain;
sistem penelusuran tentang validitas informasi subjek hukum, sistem pendaftaran perusahaan,
sistem pengecekan dan pendaftaran akta tanah, sistem pelaporan/penyampaian salinan
elektronik, dan lain sebagainya.

A. Perkembangan Notaris dan Transaksi


Elektronik di Indonesia sangat jelas terlihat bahwa tentunya persepsi fungsi dan peran notaris
publik dibangun dengan paradigma yang sangat konservatif, sehingga ia layak diakui sebagai
pihak yang mempunyai hasil keluaran dengan mutu keautentikan yang terjamin sehingga
outputnya adalah suatu akta autentik. Kejujuran dan kehati-hatian yang tertinggi adalah
menjadi amanat utamanya. Namun pada sisi lain, transaksi elektronik kini juga telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari baik melalui saluran komunikasi konvensional maupun
saluran komunikasi global yang berbasiskan sistem Komputer (Internet). Dalam pekerjaannya
sehari-hari dalam pembuatan akta, notaris pun sekarang telah menggunakan sistem komputer
di kantor mereka, hanya saja paradigma keautentikannya tetap dilihat dari bentuk akhirnya
(hasil cetak yang ditandatangani dan disegel oleh notaris) bukandalam bentuk dasarnya yang
elektronik.
Meskipun sudah banyak harapan untuk lebih dinamis dalam menyikapi perkembangan TIK,
namun masih banyak juga yang masih mengkhawatirkan akan keefektifan fungsi dan peran
notaris dalam mendukung suatu transaksi elektronik. Penilaian mereka sedari awal adalah
sepertinya tidak mungkin berperan dalam suatu transaksi elektronik karena persyaratan
adanya kewajiban atau persyaratan kehadiran fisik di hadapan notaris dan jaminan kecakapan
bersikap tindak para pihak yang menghadap. Bahkan lebih jauh daripada itu, belum lagi
sampai medium elektronik dengan media kertas saja sudah banyak problematika yang harus
dihadapi oleh notaris, tidak hanya kemungkinan kenakalan notaris, tetapi juga notaris dapat
menjadi objek eksploitasi dari kesalahan pihak lain. Penelitian ini melihat bahwa berbagai
problematika notaris konvensional tersebut hanya dapat dengan penggunaan TIK yang baik,
yang tidak hanya mengefisiensikan kinerja notaris melainkan juga mengamankan notaris dari
kerentanan eksternal sistem yang sesungguhnya terjadi di luar lingkup kewenangan notaris.
B. Problematika Notaris Konvensional
Meskipun jabatan notaris telah berjalan sejak lama, bahkan sejak masa Hindia Belanda dulu,
namun dalam praktiknya masih dijumpai beberapa kendala dihadapi oleh notaris dalam
menjalankan tugasnya kepada publik, antara lain sebagai berikut.
1. keterbatasan ruang penyimpanan akta dan jurnal notaris;
2. pelanggaran profesionalitas notaris terkait syarat keautentikan;
3. lemahnya bukti pendukung keautentikan identitas subjek hukum;
4. benturan kepentingan notaris dalam pembuatan akta;
5. pelanggaran kerahasiaan
6. pertanggungjawaban pajak;
7. lemahnya kendali penelusuran dan pembinaan instansi terkait.
1. Keterbatasan Ruang Penyimpanan Akta dan Jurnal
Tak dapat ditampik bahwa berdasarkan Pasal15ayat (1), Pasal 16 ayat (1) huruf (b), Pasal58,
59, dan 63 UU Jabatan Notaris, notaris bertanggung jawab menyimpan akta dan protokol
notarisnya sepanjang hayat jabatannya dan akan diteruskan oleh notaris berikutnya yang
menggantikannya. Dalam paradigma yang masih digantungkan atas media kertas, maka
tentunya akan dibutuhkan perawatan/pemeliharaan yang relatif cukup mahal untuk dapat
mengamankan berkas tersebut. Sementara, notaris sendiri tentunya cukup mempunyai
keterbatasan dana, sehingga tidak dapat diasumsikan bahwa mereka memiliki pustakawan
atau arsiparis yang dapat mendukung mereka dengan baik.
Begitu banyaknya arsip akta (minuta) yang harus tetap disimpan dan dijaga oleh notaris, telah
membuat permasalahan tersendiri bagi notaris, tidak hanya notaris yang masih dalam masa
tugasnya namun juga sampai dengan kepada notaris penerus berikutnya. Mewarisi arsip
tersebut tentunya akan berdampak kepada biaya penyelenggaraan kantor notaris yang cukup
besar dan relatif mahal, padahal warisan tersebut tidak dengan serta merta berarti mewarisi
klien itu sendiri. Boleh jadi yang terjadi justru sebaliknya, halmana justru malah akan
merugikan mereka. Hal ini menjadi buah simalakama bagi notaris yang bersangkutan.
Tidak hanya itu, dalam menjawab permintaan untuk penemuan dokumen, khususnya untuk
membuat salinan akta yang lama, hal tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi notaris,
karena mencari dan menemukan kembali dokumen jadi tidak mudah. Apalagi jika akta yang
lama dari notaris sebelumnya tidak terpelihara dengan baik. Sementara pihak departemen
hukum yang menjadi pengawas dan mitra notaris, tidak juga melakukan deposit terhadap
dokumen akta notaris dengan baik. Mereka juga tentunya terkendala ruang dan biaya yang
terbatas. Akhirnya, semua potensi risiko atas ketidakjelasan itu menjadi tanggung jawab
notaris yang bersangkutan.
Berkenaan dengan permasalahan itu, penerapan produk teknologi informasi (komputer)
adalah menjadi suatu keniscayaan. Menjadi suatu kejanggalan apabila Pasal 68 ayat (1) UU
No.43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (UU Arsip) telah memperkenankan pencipta arsip
dan/atau lembaga kearsipan dapat membuat arsip dalam berbagai bentuk dan atau melakukan
alih media meliputi media elektronik dan atau media lain, namun notaris ternyata masih ragu
atau belum melakukan penerapannya, meskipun dengan UU Notaris menyatakan notaris
wajib membuat dan menyimpan sendiri akta notarisnya.
2. Pelanggaran Syarat-syarat Keautentikan
Dalam penjelasan umum U0 Notaris jelas dinyatakan bahwa akta autentik mempunyai bobot
kekuatan pembuktian vang terkuat dan paling penuh (sempurna) sehingga apa yang
dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak vang berkepentingan dapat
membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan.
Jelas dinyatakan bahwa akta autentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai
dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Notaris mempunyai kewajiban
untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah
dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya
sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi,
termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penanda
akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan tangan dengan bebas untuk menyetujui
atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.
Dalam batang tubuh, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf (I) dinyatakan bahwa notaris
berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit
dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris.
Berikutnya dinyatakan dalam penjelasan bahwa notaris harus hadir secara fisik dan
menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi.
Selanjutnya juga dinyatakan pada ayat (7) pasal yang sama menyatakan eksepsional bahwa
pembacaan akta tersebut menjadi tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar
akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami
isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap
halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan notaris. Akibat hukumnya, dalam
ayat (8) pasal yang sama dinyatakan bahwa jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, maka akta
yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Demikian pula terdapat Pasal 39 dan Pasal 40 yang pada esensinya menyatakan bahwa
penghadap dan saksi-saksi harus dikenal oleh notaris dan diketahui cakap melakukan
perbuatan hukum, di mana berdasarkan Pasal 41, pelanggaran terhadap hal tersebut
mengakibatkan bahwa akta tersebut hanya mempunyai status sebagai akta bawah tangan.
Dari keberadaan beberapa pasal tersebut di atas, maka yang menentukan batasan keautentikan
suatu akta, paling tidak dapat diringkaskan sebagai berikut.
1. Kehadiran fisik pihak secara langsung penghadap dengan notaris (Pasal 16 ayat (1) huruf l)
2. Pembacaan akta di hadapan para pihak dan para pihak emengerti, kecuali bila para pihak
tidak minta untuk dibacakan (Pasal 16 ayat (7).
3. Kehadiran dan tanda tangan para saksi-saksi yang tidak mempunyai hubungan darah atau
perkawinan, kecuali bila ditentukan lain oleh UU (Pasal 39 dan 40).
4. Paraf para pihak, saksi, dan notaris pada setiap halaman sebagai tindakan persetujuan.
Diteliti lebih lanjut, meskipun memang selama in berdasarkan UU Notaris, pembuktian unsur
tersebut dianggap cukup dipenuhi dengan hanya adanya penulisan dalam penutup akta oleh
notaris, namun secara teknis, keautentikan tersebut secara formal masih layak dipertanyakan.
Jika memang hukum menyatakan bahwa akta autentik mengandung kebenaran formal maka
selayaknya ada bukti yang sesuai untuk menjelaskan kebenaran formal tersebut. UU Notaris
masih memberikan ruang yang begitu besar terhadap potensi terjadinya suatu penyimpangan.
Apa yang menjadi bukti empirisnya bahwa hal tersebut memang benar-benar telah dilakukan
oleh notaris yang bersangkutan? Di tengah kenyataan dan kritisi masyarakat sekarang ini
terhadap kinerja pejabatnya yang meskipun sudah berada di bawah sumpah tetap saja masih
tidak bertindak sebagaimana mestinya, maka selayaknya syarat-syarat keautentikan materiil
dan formal juga dapat dibuktikan dengan baik secara empiris. Apalagi jika di dalam
praktiknya para notaris juga sudah banyak yang tidak lagi membacakan aktanya kepada para
pihak.
Kehadiran dan pembacaan akta selayaknya secara materiil dan formal dapat dibuktikan
dengan adanya rekaman elektronik yang terkait, tidak hanya dengan menggantungkan suatu
tulisan yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini jelas menjadi pertanyaan besar demi
kepentingan publik, khususnya terhadap amanat (trustworthiness) itu telah dijalankan oleh
pejabatnya untuk menjalankan upaya yang terbaiknya (best effort) berdasarkan praktik
penyelenggaraan pekerjaan terbaik yang selayaknya terus disempurnakan dari waktu ke
waktu (best-practices) berdasarkan perkembangannya. Di tengah semakin murahnya produk
teknologi digital sekarang ini, maka penggunaan kamera digital (gambar diam/still images)
untuk memotret kehadiran para pihak atau penggunaan CCTV akan lebih memperlihatkan
unsur-unsur tersebut dilakukan oleh notaris yang bersangkutan. Karakteristik teknologi yang
dipakai juga akan menjelaskan informasi yang dibutuhkan, contohnya adalah bahwa
keberadaan gambar diam (photo) cuma menunjukkan adanya kehadiran para pihak,
sementara rekaman video bisa menunjukkan adanya kehadiran, suara bukti pembacaan, dan
juga gerakan para pihak sebagai bukti bahwa para pihak telah mengerti setelah dibacakan.
Kesemua hal itu, dalam praktiknya tidak dapat hanya disampaikan dalam informasi tertulis
melainkan dengan bentuk informasi elektronik.
Meskipun UU Notaris tidak menentukan secara tegas bahwa keautentikan didasarkan atas
pencantuman waktu pada akta, namun terdapat ketentuan Pasal 38 ayat (2) butir (c) yang
menyatakan bahwa awal akta atau kepala akta harus memie jam, hari, tanggal, bulan, dan
tahun. Secara tidak langsung hal ini selayaknya juga menjadi syarat dari kebenaran formal
dari suatu akta. Namun dengan kondisi yang sekarang yang berbasiskan medium kertas,
sesungguhnya tidak ada jaminan terhadap validitas data tersebut, apalagi jika notaris tidak
mempunyai sistem pencatatan yang menjamin data historikal yang baik. Secara teknis hal
tersebut selayaknya dapat dibuktikan, karena informasi elektronik mempunyai catatan waktu
dan perubahan dalam meta datanya. Berdasarkan hal ini jelas terlihat bahwa keautentikan
materiil dari waktu yang terja dicantumkan sesungguhnya tidak dapat diterangkan dengan
hanya mengandalkan pernyataan terrtulis saja, melainkan hanya dapat dijawab dengan sistem
elektronik.
Selain itu, sangat mungkin terjadi bahwa notaris ke luar dari wilayah hukumnya untuk
mendatangi klien di luar wilayah hukumnya, kecuali bila penghadap yang mendatang notaris
di wilayahnya. Menjadi ironis terhadap jaminan kebenaran formal jika beberapa akta yang
fakta alamiahnya tidak mungkin dapat terjadi, tetapi secara dokumen bisa saja terjadi. Hal
tersebut dapat terlihat dari penelusuran terhadap informasi waktu (hari, jam) dan tempat, di
mana begitu dekatnya transisi waktu dalam melakukan pembuatan dan pembacaan akta,
padahal akta tersebut cukup paniang untuk dibacakan atau cukup jauh transisi letak
transaksinya satu sama lain. Pelanggaran terhadap hal ini sangat mungkin luput dari
pemeriksaan majelis pengawas kecuali dilakukan pemeriksaan pada komputer notaris yang
bersangkutan. Hal tersebut akan menjadi keanehan manakala suatu akta ternyata bersifat
back-dated dari penyimpanan originalnya secara elektronik.
Demikian pula halnya dengan kejelasan kecakapan bersikap-tindak berikut persetujuan dari
penghadap dan saksi dengan perwujudan tanda tangan atau parafnya, para dengan keberadaan
teknologi tanda tangan elektronik, maka dapat dikatakan secara teknis bahwa setiap orang
yang
menandatangani tidak hanya berarti telah membaca per halaman melainkan telah membaca
setiap karakter yang dalam dokumen tersebut.
Secara garis besar dapat terlihat bahwa sistem yang tidak terakreditasi dan tidak terkoneksi
dengan sistem eksternal untuk pengawasannya, mempunyai ruang yang lebih besar untuk
terjadinya penyimpangan. Untuk mengeliminasi peluang itu, maka penyelenggaraan Sistem
Elektronik terakreditasi untuk mendukung kinerja notaris yang baik adalah suatu keniscayaan
demi menjaga harkat dan martabat profesi jabatan notaris itu sendiri secara hukum.
3. Pemalsuan Identitas Penghadap
Selama ini, notaris masih sangat menggantungkan asumsi bahwa KTP seseorang terjamin
keautentikannya sebagaimana mestinya. Namun, pada praktiknya sudah bukan rahasia lagi
bahwa di Indonesia, seseorang dapat memiliki lebih dari satu buah KTP. Seseorang dapat
dengan mudah memperoleh KTP dan melakukan penyalahgunaan dari KTP tersebut. Masih
buruknya sistem data kependudukan berikut keterbatasan akses kepada sistem tersebut,
berakibat permasalahan tersendiri bagi notaris di belakang hari. Khususnya jika orang yang
menghadapnya adalah orang yang mempunyai nama lain dari yang semestinya, atau dengan
kata lain menggunakan identitas palsu. Hal tersebut terbukti dengan adanya tuntut dari pihak
yang dicuri indentitasnya tersebut kepada notaris yang bersangkutan dengan tuntutan adanya
pemalsuan yang dilakukan oleh notaris. Padahal dalam konteks ini justru notaris menjadi
korban dari penipuan, tetapi isu hukumnya bisa menjadi lain dari yang semestinya akibat
penegakan hukum masih belum baik di Indonesia. Yang seharusnya jadi korban malahan bisa
dianggap menjadi pelaku di negeri ini.
Dalam praktiknya sekarang ini, notaris mencoba melakukan upaya preventif dengan cara
mengabadikannya dengan kamera ataupun dengan Videocam ataupun dengan CCTV
sekiranya ada. Namun sayang hal tersebut tetap tidak memperjelas validitas identitas subjek
hukum itu sendiri. Untuk menjaga kepentingan notaris, tentunya diperlukan suatu sarana
sistem elektronik untuk penelusuran data autentik pribadi seseorang yang seharusnya dapat
diakses oleh notaris selaku Pejabat Umum. Banyak negara di Eropa telah mengembangkan
sistem e-ID management dengan baik dan telah memfasilitasi akses notaris untuk menelusuri
validitas orang yang menghadapnya (contoh: Belgia). Hal serupa juga tengah terjadi di
Indonesia, dengan proyek e-KTP yang dibangun oleh Kementerian Dalam Negeri
berdasarkan Perpres No.26 Tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis
Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (Perpres e-KTP) yang kemudian diperbaiki
dengan Perpres No.35 Tahun 2010 (Perpres revisi e-KTP) Oleh karena itu, mutlak diperlukan
koordinasi baik teknis maupun manajemen dari segenap instansi yang terkait agar tidak
terjadi multiplikasi data dari setiap orang di komputer dalam mengakses suatu layanan
publik. Seharusnya interoperabilitas dan kompatibilitas sistem yang dikembangkan harus
terjamin antara instansi, sebagai konsekuensi adanya satu pemerintahan pada satu negara.
Dalam pembangunannya sesuai Pasal 6 ayat (1) Perpres revisi e-KTP dinyatakan bahwa KTP
berbasis NIK memuat kode keamanan dan rekaman elektronik sebagai alat verifikasi dan
validasi data jati diri penduduk (sebelumnya jati diri dalam pelayanan publik). Sementara
berdasarkan Pasal 1 angka (8) Perpres e-KTP dinyatakan bahwa Kode keamanan adalah alat
identifikasi jati diri yang menunjukkan identitas diri penduduk secara tepat dan akurat
sebagai autentikasi diri yang memastikan dokumen kependudukan sebagai milik orang
tersebut. Selanjutnya pada ayat (2) Perpres revisi 2010 dinyatakan bahwa Rekaman
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi biodata, tanda tangan, pas foto, dan
sidik jari tangan penduduk yang bersangkutan.
Berdasarkan pasal tersebut jelas terlihat bahwa TTE yang dipakai adalah belum berbasiskan
PKI, melainkan berbasiskan biometrik (sidik jari, foto, dan tanda tangan di atas notepad).
Beberapa hal tampaknya sebagai identifikasi hal tersebut sangat baik, namun dari sisi
pengamanan hal tersebut mempunyai pekerjaan yang rumit karena berdasarkan atas IE/DE
yang bersifat statis. Jika data publik tersebut bocor atau berhasil diterobos, maka
pengungkapan jati diri seseorang menjadi ancaman yang besar.
4. Benturan Kepentingan
Untuk menjaga tidak adanya benturan kepentingan yang memengaruhi independensi notaris,
berdasarkan Pasal 52 UU Notaris dinyatakan bahwa notaris tidak diperkenankan melakukan
pembuatan akta terhadap diri sendiri, suami/istri atau orang yang terikat dalam hubungan
keluarga dengan notaris tersebut. Akibat pelanggaran ketentuan ini, akta hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta bawah tangan.
Untuk menjamin hal tersebut, sistem e-ID selayaknya juga dapat menjadi sarana untuk
menjamin adanya kebenaran formal dari suatu akta autentik. Sistem e-ID dapat membuktikan
tidak adanya benturan kepentingan tersebut, karena dukungan akses kepada sistem
kependudukan akan dapat ditelusuri sejauh mana hubungan kekeluargaan dari notaris dengan
penghadap dan saksi-saksinya (khususnya herdasarkan penelusuran pada basis biodata).
5. Perlindungan Kerahasiaan
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) butir (e) dan Pasal 54 UU Notaris, dinyatakan bahwa notaris
berkewajiban menjaga kerahasiaan dalam aktenya (kecuali UU menentukan lain). dan notaris
hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta,
Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli
waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan. Untuk meneguhkan hak tersebut hak ingkar notaris dilindungi berdasarkan Pasal
170 KUHAP. Dalam paradigma media kertas, menjaga kerahasiaan tampaknya terlihat
mudah, hal itu hanya cukup dilakukan dengan menutup akses dari pihak-pihak yang tidak
berkepentingan dan mencatat dalam buku khusus jika ada pengungkapannya kepada pihak
lain. Namun tetap saja tidak ada jaminan, apakah tidak ada akses lain selain yang telah
dicatatkan karena pembatasan akses ke ruang arsip masih dilakukan dengan metode
konvensional. Padahal sangat mudah terjadi pembukaan akses yang tidak selalu dicatatkan,
karena tidak ada sistem untuk melakukan penelusuran beberapa kali suatu file telah diakses
oleh setiap orang baik internal maupun eksternal. Kepentingan tersebut hanya terjawab
dengan penyelenggaraan sistem pengamanan secara elektronik (security system) yang
memberikan level otorisasi dan penelusuran akses yang dilakukan (trakcing system atau
usage management).
Terkait dengan kerahasiaan, dalam praktiknya terlihat bahwa penegak hukum (penyidik)
mempunyai kepentingan untuk masuk langsung dan melakukan penyitaan demi melakukan
pengamanan barang bukti. Hal tersebut berpotensi tindakan dan akses yang berlebihan dari
aparat, karena keberadaan file yang sudah berada dalam satu muskil untuk dipisahkan
kembali, yang berarti penyidik malahan akan memperoleh bukti relevan dengan kasusnya.
Selain mengganggu kinerja notaris hal tersebut juga melanggar kaidah privasi dari para piha
dan kaidah relevansi pencarian bukti dalam penyidik berdasarkan KUHAP. Untuk menjawab
hal tersebut, kembali penyelenggaraan sistem elektronik adalah keniscayaan untuk menjaga
kepentingan semua pihak sebagaimana mestinya. Relevansi dan preservasi data yang terkait
tindak pidana menjadi lebih jelas penerapannya tanpa harus mengganggu privasi dan
kelancaran layanan publik.
6. Pertanggungjawaban Pajak
Berdasarkan Pasal 36 UU Notaris dinyatakan bahwa notaris berhak menerima honorarium
atas jasa hukum yang diberikannya sesuai nilai ekonomis dan sosiologis dari setiap akta yang
dibuatnya. Nilai ekonomis telah ditentukan oleh UU Notaris dari maksimum persentase 2,5%
(100jt), 1,5 % (100jt-1M), 1,5% ( >1M ), dan maksimum Rp 5.000.000,00 untuk nilai
sosiologis. Konsekuensi atas suatu penghasilan tentunya adalah pajak penghasilan dan/atau
keberadaan pajak lain yang terkait dengan transaksi. Dengan keberadaan sistem perpajakan
yang sudah komputerisasi, maka laporan perpajakan akan lebih efektif jika sistem elektronik
notaris dapat berhubungan dengan sistem dari instansi perpajakan.
Selain itu, dalam praktiknya notaris mempunyai peluang untuk memberikan jasa lain kepada
kliennya, antara lain permintaan bantuan dari penghadap untuk dak perlu melakukan
pembayaran pajak atas transaksinya, dan sangat mungkin terjadi bahwa notaris sengaja
melakukan penundaan pembayaran pajak tersebut demi mengambil sedikit keuntungan
bunga. Hal tersebut berindikasi adanya penggelapan pajak. Untuk menjawab hal tersebut,
penyelenggaraan sistem elektronik adalah suatu keniscayaan karena semua record dari
catatan pekerjaan dapat ditelusuri dengan baik.
Terkait dengan itu, berdasarkan Pasal 37 UU Notaris, notaris juga diwajibkan memberikan
jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu.
Untuk menjamin pelaksanaan pekerjaan ini, maka sistem e-ID management menjadi sarana
bagi notaris untuk melihat apakah seseorang yang menghadapnya memang dalam kondisi
tidak mampu. Jika tidak ada fasilitas ini, notaris rentan akan penipuan dari orang yang
mengaku tidak mampu.
7. Pengawasan dan Pembinaan KUMHAM dan Majelis Pengawas
Terkait dengan Pasal 67 ayat (1) UU Notaris, pengawasan dari menteri dengan pembentukan
Majelis Pengawas (baik daerah, wilayah, maupun pusat), perolehan data laporan yang tidak
bersifat online dan real-time akan memberikan kendala dalam melakukan pengawasan.
Keterlambatan dan penerimaan yang bertumpuk secara manual akan akta. Belajar dari negara
lain, maka penyampaian salinan akta secara elektronik yang dipusatkan akan lebih
memudahkan dalam melakukan pengawasan. Dengan stukrur data yang bersifat teks ataupun
XML, maka sistem dapat melakukan penelusuran dengan lebih baik (searching) terhadap
konten dokumen yang dilaporkan. Proses pembacaan dan penemuan data adalah hal yang
sangat penting dilakukan, dan itu hanya dapat terjawab dengan sistem komputerisasi yang
terhubung antara pengawas dengan pihak yang diawasinya.
Pada sisi yang lain, notaris juga akan menjadi lebih terlindungi karena institusi terkait juga
menyimpan salinan sesuai waktunya satu sama lain. Pada kondisi yang sekarang ini, peneliti
tidak menemukan adanya suatu ketentuan larangan tentang penyampaian salinan dalam
bentuk elektronik kepada instansi pengawas.
Dalam perkembangannya, peneliti juga mencermati pembangunan situs www.ini-san.com
yang dikembangkan oleh INI bersama mitra usahanya. Secara gamblang jelas terlihat bahwa
problematika yang akan timbul tidak akan jauh berbeda dengan hal yang dialami oleh
SISMINBAKUM.com.
Banyak isu permalasahan yang seharusnya dapat dipelajari jika sistem yang dikembangkan
tidak dibangun dengan penerapan Tata Kelola TIK yang baik. Dalam penelitian ini, peneliti
membatasi diri untuk tidak melakukan assessment yang lebih mendalam.
Dengan mempertimbangkan semua permasalahan tersebut di atas, maka dengan kehadiran
electronic notary atau pemanfaatan sistem elektronik untuk menyelenggarakan pekerjaan
notaris, dapat dikatakan menjawab semua permasalahan tersebut di atas.
C. Reformasi yang Diperlukan
1. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan tentang Bukti Elektronik dan Transaksi
Elektronik
Melihat apa yang terjadi di Prancis dan Belanda sebagai sumber original dari KUHPerdata
Indonesia, maka jelas terlihat adanya revisi ketentuan tentang hukum pembuktian, khususnya
tentang kriteria bukti tulisan (akta bawah tangan/ private instrument for normal transaction
dan akta autentik/authentic deeds). Mereka telah menyatakan secara tegas bahwa bukti
Informasi Elektronik mempunyai kekuatan pembuktian dan dipersamakan secara fungsional
dengan bukti tulisan berikut keberadaan tanda tangannya yang dipersamakan dengan suatu
tanda tangan basah sekiranya memenuhi syarat ditentukan.
Hal serupa sebenarnya sudah tercantum dalam UU-ITE khusus dalam Pasal 5 yang
menyatakan bahwa suatu IE/DE adalah alat bukti hukum yang sah. Namun, masih terdapat
pengecualian dalam UU-ITE jika suatu UU secara tegas meminta formatnya secara tertulis di
atas kertas dan dibuat oleh notaris atau pejabat pembuat akta. Secara historis, pada saat
pembahasannya di DPR dahulu peneliti telah menyatakan keberatan adanya pasal
pengecualian tersebut, karena cenderung akan ternihilkan dan dibaca dalam persepsi yang
lain oleh para pemangku kepentingan, namun sayangnya wakil rakyat memandang untuk
tahap pertama masih diperlukan adanya suatu pengecualian secara tegas.
Selanjutnya dalam praktek, sering kali keberadaan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 44, bagi
beberapa ahli hukum dirasakan sebagai suatu kerancuan, karena menyatakan bahwa suatu
IE/DE dikatakan sebagai perluasan dari alat bukti yang sah sesuai Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia. Sesungguhnya maksud dari keberadaan pasal ini adalah untuk
menjawab perbedaan pendapat terhadap keberadaan suatu informasi elektronik, yakni (1)
sebagian ahli menyatakan kehadiran bukti elektronik adalah merupakan cakupan dari alat
bukti petunjuk semata (contoh UU Tindak Pidana Korupsi pun memposisikan alat bukti lain
sebagai petunjuk), (2) sebagian ahli lainnya justru mengatakan bahwa kehadiran IE/DE dapat
dipersamakan dengan alat bukti surat, dan (3) sebagian ahli lainnya lagi menyatakan bahwa
IE/DE selayaknya adalah suatu kategori alat bukti baru terlepas dari alat bukti dalam KUHAP
Peneliti melihat bahwa ketidaktegasan pengaturan tersebut pada UU yang ada sebelumnya,
maka mengakibatkan UU ITE mau tidak mau harus mengakomodasi kesemua perbedaan
pendapat tersebut.
Dalam perkembangannya sekarang ini, terhadap Pasal ayat (2) diusulkan revisi untuk
menyatakan secara tegas bukti elektronik adalah alat bukti tersendiri sehingga dapat lepas
dari paradigma pembuktian sebelumnya dan hadir sebagai lex-specialist dari debat pemikiran
yang tak berujung. Terkait dengan pasal 5 ayat (4) juga berkembang usulan bahwa
pengecualiannya bukan hanya untuk akta notariil saja melainkan untuk semua akte yang
dibuat di hadapan pejabat yang berwenang saja.
2. Penandatanganan Secara Elektronik dalam Proses Sisminbakum
Sebelum UU ITE, terdapat ketentuan dalam Pasal 10 ayat (6) UU Perseroan Terbatas yang
mengatur tentang penandatanganan secara elektronik oleh Menteri Hukum d HAM terhadap
pengesahan badan hukum secara elektronik. Dinyatakan dalam penjelasan bahwa yang
dimaksud dengan tanda tangan secara elektronik adalah tanda tangan vano dilekatkan atau
disertakan pada data elektronik oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan
keautentikan data yang berupa gambar elektronik dari tanda tangan pejabat yang berwenang
tersebut yang dibuat melalui media komputer.
Mencermati penjelasan Pasal 10 ayat (6) tersebut, jelas terlihat bahwa paradigma yang dianut
dalam pengertian tanda tangan elektronik hanya digantungkan kepada bentuk virtual suatu
tanda tangan saja. Dengan kata lain adalah bentuk scanned dari tanda tangan pejabat yang
bersangkutan. Hal tersebut jelas tidak secara tepat merepresentasikan apa yang dimaksud
dengan suatu tanda tangan elektronik yang sesungguhnya, yaitu suatu cara ataupun metode
teknis untuk melakukan verifikasi dan autentikasi atas validitas suatu Informasi Elektronik.
Sehubungan dengan itu terdapat juga ketentuan dalam Pasal 77 UU PT yang membuka
kemungkinan pembuatan risalah rapat secara elektronik, namun hal tersebut ternyata sulit
akan mendapatkan bentuk akta yang notariil jika UU Notaris tidak membuka kemungkinan
tersebut. Dengan kata lain, risalah rapat hanya terbatas untuk substansi berakibat kepada
perubahan Anggaran Dasar Perseroan.
Pandang dengar (video-conference) bukan konteks telekomunikasi secara suara (telephone-
conference). Sebenarnya pembatasan teknologi seperti itu bukan merupakan hal yang tepat
karena baik video maupun audio, yang terpenting justru seharusnya adalah adanya jaminan
validitas bahwa proses tele-conference tersebut dilakukan sebagaimana mestinya. Dengan
kata lain, haru dapat dijamin oleh pimpinan PT bahwa proses teleconference tersebut adalah
riil bukan suatu hasil rekayasa. Hal tersebut dapat dibuktikan adanya pernyataan dari
Penyedia Jasa Telekomunikasi yang digunakan.
Perlu dicatat bahwa harapan tersebut seakan menjadi kandas peluangnya untuk mendapatkan
bentuk akta notaris, karena Pasal 16 ayat (1) mempersyaratkan adanya suatu kehadiran secara
fisik dari pihak yang menghadap notaris. Menurut penulis harapan tersebut tidak dapat
dikatakan sepenuhnya kandas karena masih terbuka kemungkinan bahwa yang menjadi
terbatas hanyalah kepada akta yang dibuat di hadapan notaris bukan akta yang dibuat oleh
notaris. Dengan kata lain, dengan adanya jaminan pernyataan da penghadap yang
bersangkutan dalam meminta risalah rapar untuk dinotariilkan, selayaknya notaris masih
berkenan untuk membuatkan akta.

3. Pemberdayaan Fungsi dan Peran Notaris Secara Elektronik


Terkait dengan UU Notaris, pemberdayaan untuk bertindak secara elektronik juga dapat
disebutkan dalam revisi UU Notaris, sebagaimana yang telah dinyatakan di Prancis Belgia,
Belanda, Jerman, Inggris, dan AS (lihat tabel). Hal tersebut cukup menambahkan ayat pada
kewenangan notaris di mana perlu dicantumkan ketentuan bahwa (1) notaris juga dapat
berperan untuk mendukung transaksi elektronik melakukan kegiatan jasanya secara
elektronik, dan (2) notaris mempunyai privilege khusus untuk melakukan akses data publik
sesuai kewenangannya terkait dengan akte yang dibuatnya. Ketentuan detail tentang hal itu
dapat didelegasikan kepada peraturan di bawah UU di mana teknis penyelenggaraannya dapat
didelegasikan kepada peraturan menteri.
Selain itu, terkait dengan pengaturan tentang formal pembuatan akta autentik, maka unsur-
unsur suatu akta autentik selayaknya dikategorikan dalam subbab tersendiri agar jelas formal
prosedurnya. Sekiranya ingin membuka kemungkinan pembuatan minuta akta secara
elektronik, maka dapat dipersyaratkan bahwa sistem yang dipakai harus dequivalen dengan
persyaratan tersebut satu per satu.
Sementara terkait dengan pengawasan dari instansi alterkait, maka perlu dicantumkan
kemungkinan komunikasi elektronik antara notaris dengan instansi yang bersangkutan.
Sekiranya demi keseragaman akan dibuatkan satu sistem penyelenggaraan, maka sebaiknya
Himpunan Notaris membuatnya sendiri tanpa harus digantungkan peranan swasta. Hal ini
akan sangat berdampak strategis jika dilakukan oleh swasta, karena penguasaan data publik
akan sangat riskan jika dipegang oleh swasta.
4. Kualifikasi dan Peningkatan Kemampuan Teknis Notaris
Terkait dengan perlu tidaknya peningkatan pengetahuan bagi notaris untuk dapat mendukung
atau menyelenggarakan Jasa kenotariatan secara elektronik, pada dasarnya terdapat dua jenis
kebijakan, (1) ada negara yang mensyaratkan kualifikasi khusus untuk menjalankan e-Notary,
dan (2) ada negara yang tidak mempersyaratkan kualifikasi khusus Di Belgia, RFBN tidak
membuat suatu ketentuan atau persyaratan khu sus untuk menjadi cybernotary, karena secara
sistem mereka percaya bahwa pekerjaan pembuatan akta pada praktiknya secara teknis
diselenggarakan oleh asisten notaris. Notaris hanya melakukan pembacaan dan
penandatanganan secara elektronik dengan Sertifikat Digitalnya. Oleh karena itu, mereka
memandang bahwa yang terpenting sesungguhnya adalah SOP penggunaan sistem elektronik
yang harus dijamin diterapkan sebagaimana mestinya oleh para Asisten Notaris dan
Notarisnya itu sendiri. Berbeda dengan Belgia, Amerika justru meminta kualifikasi tertentu
untuk dapat melakukan e-notary dan menyediakan fitur dan perlakuan yang berbeda.
Berdasarkan perkembangan tersebut, maka sesuai karakteri stik Indonesia, khususnya karena
kurikulum pendidikan notaris masih belum memberikan cukup pengetahuan tentang
Komputer dan Komunikasinya, maka peneliti berpendapat bahwa masih diperlukan adanya
kualifikasi khusus atau tambahan bagi notaris Indonesia untuk menjalankan cybernotary.
A. Kesimpulan
1. Konsep dan praktik penyelenggaraan transaksi elektronik yang menggunakan tanda tangan
elektronik dan sertifikasi elektronik di beberapa negara secara umum mengacu kepada
UNCITRAL Model on E-signatures. Meskipun negara-negara Eropa (termasuk Inggris)
mengenal pendekatan dua tingkat dengan kategorisasi Ordinary E-sign dan Advanced E-sign,
namun mereka tetap memberikan ruang bagi penerapan pendekatan minimalis yang
didasarkan atas kesetaraan fungsional. Demikian pula halnya dengan negara Common Law
seperti Australia dan Amerika. Meskipun pada beberapa negara bagian di AS terdapat
pendekatan teknologi yang spesifik (contoh UTAH Digital Act), namun dengan keberadaan
UETA dan E-sign, mereka tetap memberikan ruang untuk pendekatan minimalis. Terhadap
penyelenggaraan PKI, pada beberapa negara pemerintahnya tetap berperan aktif untuk
mengembangkan Government CA, paling tidak untuk melaksanakan layanan publik,
sedangkan sebagjan lagi belum membangun Government CA.
2. Melihat sejarah dan praktek perkembangan penyelenggaraan fungsi dan peran serta
penyelenggaraa jasa notaris dalam transaksi elektronik, baik pada negara-negara yang
mewarisi Common Law maupun negara-negara yang mewarisi Civil Law pada dasarnya
mereka memberikan ruang untuk peranan notaris dalam penyelenggaraan sertifikat
elektronik. Dalam konteks dukungan penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik, fungsi dan
peran dapat dilakukan oleh Notaris Publik adalah (i) sebagai pihak yang menjadi Registration
Authority (RA) atau (ii) menjadi sub penyelenggara bagi pelanggan atau kliennya (sub-CA).
Hal ini dikembalikan kepada dinamika hukum yang berlaku pada negara masing- masing.
Selain itu, beberapa negara bahkan memfasilitasi penyelenggaraan jasa notaris secara
elektronik. Secara teknis, fungsi-fungsi pada sistem elektronik yang dibutuhkan untuk
penyelenggaraan tugas notaris, antara lain sebagai berikut:
a. bentuk protokol elektronik yang digunakan oleh notaris pada umumnya (electronic seal,
electronic journal,dsb)
b. bentuk penyimpanan berkas jangka panjang (Long Term Archive and Notary
Services/LTANS), berikut penggunaan kriptografinya;
c. Evidence Record Syntax (ERS) yg mencakup "Trusted Timestamp Management and
Security"
d. penggunaan saluran komunikasi yang baik atau dedicated.
Kemungkinan pemberdayaan fungsi dan peran Pejabat Umum Notaris dalam mendukung
transaksi elektronik di Indonesia dalam konteks sekarang, adalah dengan menjadi RA
ataupun menjadi pihak yang dapat menyampaikan salinan aktenya secara elektronik. Lebih
dari itu, keberadaan sistem elektronik untuk Kenotariatan dapat mengatasi beberapa
permasalahan hukum dalam penyelenggaraan jasa notaris. Pemerintah perlu menstimulus
revisi UU Notaris ke arah yang memungkinkan untuk meningkatkan peranannya sesuai
perkembangan zaman. Namun kemungkinan untuk memberikan kewenangan pembuatan akta
secara elektronik adalah program tahapan jangka panjang, karena harus mengubah terlebih
dahulu syarat-syarat suatu akta autentik dan juga penyiapan infrastruktur yang baik. Dalam
jangka menengah dan panjang reformasi hukum yang perlu dilakukan tidak hanya pada UU
Notaris melainkan juga UU lain yang terkait dengan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan notaris secara elektronik.

B. Saran
1. Belajar dari Eropa, meskipun mereka memiliki EC Directive sebagai satu platform
pengembangan dan penyelenggaraan baik secara teknis maupun hukum, namun dalam
praktiknya isu harmonisasi sistem antara mereka (cross-border certification) ternyata masih
belum selesai, karena dalam praktiknya hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Meskipun
sudah ada kesepakatan secara hukum untuk saling menerima keberadaan Qualified Certificate
dari para negara anggota, namun secara teknis masih belum terjadi. Yang dapat mereka
lakukan adalah penyampaian data secara manual tentang daftar CA pada masing-masing
negara yang memenuhi kriteria dalam Qualified Certificate. Setelah berdiskusi dengan
mereka tampaknya Root CA Pemerintah dengan Root CA swasta perlu dijembatani (Bridging
CA) sebagaimana dibahas dalam dokumen UNCITRAL promoting e-signatures:
2. Terkait dengan hal tersebut, dalam rangka proses harmonisasi EC telah
menghamornisasikan sistem e-ID mereka. Selanjutnya mereka mengikuti pola e-payment
system dalam pemanfaatan ekonomis dari e-ID mereka
3. Belajar dari perkembangan Hague Convention dengan e-apostille-nya, maka keberadaan
longtime-archives menjadi kata kunci dari e-system untuk notaris;
4. Belajar dari Belgia, perlu diharmonisasikan pembangunan e-KTP akan menjadi sumber
autentik tentang keberadaan seseorang secara hukum. Dengan fasilitas ini notaris dapat
melakukan pencegahan terhadap penipuan terhadapnya karena pencurian identitas atau
penggunaan identitas palsu;
5. Belajar dari Belanda, pemerintah perlu membangun National Root CA ataupun CA
Pemerintah (PKI Overheid);
6. Untuk penelitian selanjutnya, Karena keterbatasan waktu dan biaya yang ada, kami tidak
dapat menjangkau lebih jauh teknis mekanisme sistem ataupun software yab telah mereka
kembangkan. Untuk melakukan assessment atau melihat lebih jauh sistem tersebut, mau tidak
mau diperlukan suatu kunjungan khusus bersama orang teknis atau team pengembang
(sekiranya ada) dengan konsekuensi rentang waktu yang relatif cukup panjang.

Anda mungkin juga menyukai