Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH METODOLOGI PENELITIAN HUKUM

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEGIATAN DAN


KEJAHATAN E-COMMERCE DALAM SISTEM HUKUM
POSITIF DI INDONESIA

DANIEL PANCA PUTRA


08341002

FAKULTAS ILMU HUKUM

UNIVERSITAS KRISTEN CIPTA WACANA


(UKCW)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komputer sebagai alat bantu manusia dengan didukung
perkembangan teknologi informasi, telah membantu akses ke
dalam jaringan-jaringan publik (public network) dalam melakukan
pemindahan data dan informasi, dengan kemampuan komputer
dan

akses

yang

semakin

berkembang,

maka

transaksi

perdagangan pun dilakukan di dalam jaringan komunikasi


tersebut. Jaringan publik mempunyai keunggulan dibandingkan
dengan jaringan privat dengan adanya efisiensi biaya dan waktu,
hal ini membuat perdagangan dengan transaksi elektronik
(electronic Commerce) menjadi pilihan bagi para pelaku bisnis
untuk melancarkan transaksi perdagangannya, karena sifat
jaringan publik yang mudah untuk diakses oleh setiap orang
ataupun

perusahaan

yang

dilaksanakan

dengan

sistem

elektronik.
Sistem
keberadaan

elektronik,
sistem

digunakan

informasi

yang

untuk
merupakan

menjelaskan
penerapan

teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan


media

elektronik,

menganalisis,

yang

berfungsi

menampilkan,

merancang,

dan

memproses,

mengirimkan

atau

menyebarkan informasi elektronik. Sistem informasi secara


teknis

dan

manajemen,

sebenarnya

adalah

perwujudan

penerapan produk teknologi informasi ke dalam suatu bentuk

organisasi

dan

manajemen

sesuai

dengan

karakteristik

kebutuhan pada organisasi tersebut dan sesuai dengan tujuan


peruntukkannya. Pada sisi lain, sistem informasi secara teknis
dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia dan
mesin, yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat
lunak, prosedur, sumber daya manusia, dan substansi informasi
yang dalam pemanfaatanya mencakup fungsi input, process,
output,

storage,

memberikan

dan

communication

informasi

tentang

).Setiap

segala

hal,

orang

dapat

termasuk

juga

pemberian informasi terhadap penjualan suatu barang atau jasa


dengan menggunakan teknologi informasi ini, dari informasi
tersebut, apabila seseorang tertarik untuk memiliki suatu produk
barang atau jasa yang ditawarkan tersebut, maka akan terjadi
suatu transaksi elektronik.
E-commerce bersifat non face (tanpa bertatap muka), non
sign (tidak memakai tanda tangan asli) dan tanpa batas wilayah
(seseorang

dapat

melakukan

jual

beli

dengan

pihak

lain

walaupun mereka berada di Negara yang berbeda) dengan


menggunakan

teknologi

informasi.Dalam

perkembangannya,

aspek keamanan dalam informasi sudah mulai diperhatikan.


Ketika informasi ini menjadi rusak atau maka akan terdapat
resiko resiko yang harus ditanggung oleh orang-orang baik yang
mengirim,

membutuhkan,

ataupun

sekedar

melihatnya,

dikarenakan penggunaan informasi elektronik ini, menggunakan


jaringan publik, dimana setiap orang dapat mengetahui informasi
elektronik tersebut , atau apabila salah satu pihak tidak
melaksanakan prestasi dari jual beli elektronik yang telah
disepakati dengan pihak yang lain, hal ini merugikan pihak yang
berkepentingan yang menggunakan teknologi informasi untuk
penjualan suatu barang atau jasa.

Dengan berkembangnya pula E-commerce berkembang


pula kejahatan dalam tindakan transaksi elektronik tersebut.
mulai

dengan

keabsahan

dari

transaksi

elektronik

serta,

penipuan terhadap konsumen dan masih banyak yang lain.


Dalam

melakukan

kegiatan

e-commerce,

tentu

saja

memiliki payung hukum, terutama di negara Indonesia. UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi
Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan mencakup atau
memayungi segala perbuatan atau kegiatan di dunia maya,
namun telah cukup untuk dapat menjadi acuan atau patokan
dalam melakukan kegiatan cyber tersebut.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian
latar belakang, maka permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:

1. Bagaimana

ketentuan

hukum

dalam

kejahatan

e-

commerce?
2. Bagaimana Penegakan Hukum terhadap pelaku kejahatan
e-commerce?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun beberapa tujuan penelitian ini yaitu :
1. Pembaca dapat mengetahui apa saja ketentuan hukum
dalam

kejahatan

e-commerce

hukum positif yang mengatur.

serta

undang-undang

2. Dapat mengetahui penegakan hukum yang dilakukan


terhadap kegiatan dan kejahatan di dalam transaksi ecommerce.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan paper ini
yaitu :
1. Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji dan
mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan dan peraturan perundangundanganserta dari bahan-bahan media online yang berlaku dan berkaitan dengan
penelitian.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ketentuan Hukum Dalam Kejahatan E-Commerce


Hak dan kewajiban tidak ada artinya jika tidak dilindungi
oleh hukum yang dapat menindak mereka yang mengingkarinya.
Sebuah dokumen untuk dapat diajukan ke depan pengadilan
harus mengikuti tiga aturan utama:
1. The rule of authentification;
2. Hearsay rule; dan
3. The Best Evidence rule.
Pengadilan modern telah dapat mengadaptasi ketiga jenis
aturan ini di dalam sistem E-commerce. Masalah autentifikasi
misalnya telah dapat terpecahkan dengan memasukkan unsurunsur origin dan accuracy of storage jika email ingin dijadikan
sebagai barang bukti (sistem email telah diaudit secara teknis
untuk membuktikan bahwa hanya orang tertentu yang dapat
memiliki email dengan alamat tertentu, dan tidak ada orang lain
yang dapat mengubah isi email ataupun mengirimkannya selain
yang bersangkutan). Termasuk pula untuk proses autentifikasi
dokumen digital yang telah dapat diimplementasikan dengan
konsep digital signature. Aspek hearsay yang dimaksud adalah
adanya pernyataan-pernyataan di luar pengadilan yang dapat
diajukan sebagai bukti. Di dalam dunia maya, hal?hal semacam

email, chatting, dan teleconference dapat menjadi sumber


potensi entiti yang dapat dijadikan bukti.
Namun tentu saja pengadilan harus yakin bahwa berbagai
bukti

tersebut

benar-benar

dapat

dipertanggungjawabkan

kebenarannya. Faktor best?evidence berpegang pada hirarki


jenis bukti yang dapat dipergunakan di pengadilan untuk
meyakinkan pihak?pihak terkait mengenai suatu hal, mulai dari
dokumen tertulis, rekaman pembicaraan, video, foto, dan lain
sebagainya. Hal?hal semacam tersebut di atas selain secara
mudah telah dapat didigitalisasi oleh komputer, dapat pula
dimanipulasi tanpa susah payah; sehubungan dengan hal ini,
pengadilan

biasanya

berpegang

pada

prinsip

originalitas

(mencari bukti yang asli).


Dalam

melakukan

kegiatan

e-commerce,

tentu

saja

memiliki payung hukum, terutama di negara Indonesia. UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi
Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan mencakup atau
memayungi segala perbuatan atau kegiatan di dunia maya,
namun telah cukup untuk dapat menjadi acuan atau patokan
dalam melakukan kegiatan cyber tersebut.
Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan
Transaksi Elektronik yang berperan dalam e-commerce adalah
sebagai berikut :
Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan
hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di
wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang

memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah


hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus
menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,
produsen, dan produk yang ditawarkan.
Pasal 10
1. Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat
disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
2. Ketentuan

mengenai

pembentukan

Lembaga

Sertifikasi

Keandalan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18
1. Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik
mengikat para pihak.
2. Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi
Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
3. Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi
Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas
Hukum Perdata Internasional.
4. Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang
berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi
Elektronik internasional yang dibuatnya.

5. Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud


pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada
asas Hukum Perdata Internasional
Pasal 20
1. Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada
saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan
disetujui Penerima.
2. Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara
elektronik.

Pasal 21
1. Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri,
melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
2. Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sebagai berikut:
o jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang
bertransaksi;

o jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum


dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab
pemberi kuasa; atau
o jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum
dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab
penyelenggara Agen Elektronik.
3. Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen
Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem
Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara
Agen Elektronik.
4. Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen
Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat
hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal
dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau
kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Pasal 22
1. Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada
Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya
melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30

1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan
cara apa pun.
2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
3. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.
Pasal 46
1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah).
Selain mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronika di atas, ada beberapa peraturan
atau perundangan yang mengikat dan dapat dijadikan sebagai payung hukum
dalam kegiatan bisnis e-commerce, diantaranya adalah :

10

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
5. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen
Perusahaan
7. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia
Dagang
8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas
9. Undang-Undang

Nomor

36

tahun

1999

Tentang

Telekomunikasi
10.

Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli


dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
11.

Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.


12.

Peraturan

Pemerintah RI Nomor 48 Tahun 1998 Tentang Pendirian


Perusahaan Perseroan dibidang Perbankan.

11

Serta undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait


dengan kejahatan e-commerce ini.

B. Penegakan Hukum terhadap kegiatan dan kejahatan ECommerce Dalam Sistem Hukum Positif Di Indonesia.
Pembentukan peraturan perundang-undangan di dunia
cyber

berpangkal

mendapatkan

pada

jaminan

keinginan

keamanan,

masyarakat

keadilan

dan

untuk

kepastian

hukum. Sebagai norma hukum cyber atau cyberlaw akan menjadi


langkah general preventif atau prevensi umum untuk membuat
jera para calon-calon penjahat yang berniat merusak citra
teknologi informasi Indonesia dimana dunia bisnis indonesia dan
pergaulan bisnis internasional.
Penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan dalam
menghadapi merebaknya cybercrime khususnya kejahatan ecommerce. Banyak faktor yang menjadi kendala, oleh karena itu
aparatur

penegak

hukum

harus

benar-benar

menggali,

menginterpretasi hukum-hukum positif yang ada sekarang ini


yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan ecommerce.
Penyelidikan dan penyidikan selalu mengalami jalan buntu
dan atau tidak tuntas dikarenakan beberapa hal, yang terutama
adalah terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh
penegak hukum, karena penanganan kejahatan ini memerlukan
keterampilan khusus dari penegak hukum.

12

Dalam

menghadapi

perkembangan

di

masyarakat,

yangdidalamnyatermasuk juga tenologi, RUU KUHP tampak


menyadari, hal ini ternyata dalam ketentuan pasal 1 Ayat (3).
Dalam konsep RUU KUHP 1991/1992 Pasal 1 ayat (1) masih
mempertahankan asas legalitas. Pada ayat (3) bunyinya :
ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum
yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur
dalam

peraturan

perundang-undangan.

Dari hal tersebut, maka dapatlah dilihat bahwa ada kejahatan


yang dapat dijerat dan ada yang tidak, maka diperlukan adanya
keberanian hakim untuk menafsirkan undang-undang, walaupun
hakim selalu dibayang-gayangi oleh pasal 1 KUHP, namun hakim
tidak boleh menolak setiap perkara yang telah masuk ke
pengadilan.
Dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman, tertera
jelas bahwa hakim sebagai penegak hukum wajib menggali,
mengikuti

dan

memahami

nilai-nilai

hukum

yang

hidup

dimasyarakat. Dari ketentuan ini sesungguhnya mendorong


bahkan memberikan justifikasi untuk interpretasi atau penafsiran
terhadap ketentuan undang-undang, bahkan ada ancaman bila
menolak dapat dituntut (dihukum). Dalam mengisi kekosongan
Hukum, hakim untuk sementara dapat melakukan interpretasi.
Mengingat kejahatan e-commerce merupakan salah satu
kejahatan baru dan canggih, maka wajar saja dalam penegakan
hukumnya masih mengalami beberapa kendala yang apabila
tidak segera ditangani maka akan memberikan peluang bagi
pelaku

kejahatan

mengembangkan

bisnis
bakat

yang

canggih

ini

untuk

selalu

kejahatannya

di

dunia

maya

13

khususnya kejahatan e-commerce. Beberapa kendala tersebut


antara lain :
1. Pembuktian (bukti elektrik)
Persoalan yang muncul adalah belum adanya kebulatan
penafsiran

terhadap

dikarenakan

alat

kepastian

bukti

ini

dari

mudah

alat

bukti

sekali

elektrik

untuk

di

ini

copy,

digandakan atau bahkan dipalsukan, dihapus atau dipindahkan.


Walaupun mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang ITE telah jelas
menyebutkan mengenai alat bukti ini, namun masih saja aparat
penegak hukum susah untuk mendapatkan alat bukti yang
otentik.
2. Perbedaan Persepsi
Perbedaan

persepi

yang

dimaksud

adalah

bahwa

terjadinya perbedaan antara penegak hukum dalam menafsirkan


kejahatan yang terjadi dengan penerapan pasal-pasal dalam
hukum

positif

yang

belaku

sehingga

menimbulkan

ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.


3. Lemahnya penguasaan komputer
Kurangnya kemampuan dan keterampilan aparat penegak hukum
dibidang komputer yang mengakibatkan taktis, teknis penyelidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di pengadilan tidak dikuasai karena menyangkut sistem yang
ada didalam komputer.
4. Sarana dan prasarana
Fasilitas komputer mungkin memang ada di setiap kantor-kantor para
penegak hukum, namun hanya sebatas berfungsi untuk mengetik saja, sedangkan
kejahatan e-commerce ini dilakukan dengan menggunakan komputer yang

14

berjaringan dan berkapasitas teknologi yang lumayan maju sehingga pihak aparat
sulit untuk mengimbangi kegiatan para pelaku kejahatan tersebut.
5. Kesulitan Menghadirkan korban
Terhadap kejahatan yang korbannya berasal dari loar negeri umumnya
sangat sulit untuk melakukan pemeriksaan yang mana keterangan saksi korban
sangat dibutuhkan untuk membuat sebuah berita acara pemeriksaan.
Terkait dengan penentuan hukum yang berlaku, dikenal adanya beberapa
asa yang biasa digunakan, yaitu :
a) Subjective territoriality, Yang menekankan bahwa keberlakuan hukum pidana
ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak
pidananya dilakukan di negara lain.
b) Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah
dimana akibat utamanya perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang
sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
c) Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk
menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana.
d) Passive
nationality,
yang
menekankan
yurisdiksi
berdasarkan
kewarganegaraan dari korban kejahatan.
e) Protective principle, yang menyatakan bahwa belakunya hukum didasarkan
atas keinginnan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan
yang dilakukan diluar wilayahnya. Azas ini pada umumnya diterapkan apabila
korbannya adalah negara atau pemerintah.
f) Universalitity, bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum
pelaku kejahatan.

15

BAB III
PENUTUP

A.

Kesimpulan
Kasus-kasus dalam bidang e-commerce sebenarnya banyak sekali terjadi,

namun ditengah keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia aparat hukum
dibidang penyelidikan dan penyidikan, banyak kasus-kasus yang tidak
terselesaikan bahkan tidak sempat dilaporkan oleh korban, sehingga sangat
dibutuhkan sekali kesigapan sistem peradilan kita untuk menghadapi semakin
cepatnya perkembangan kejahatan dewasa ini khususnya dalam dunia cyber.
Diharapkan aparat penegak hukum di Indonesia lebih memahami dan
mempersenjatai diri dengan kemamampuan penyesuaian dalam globalisasi
perkembangan teknologi ini sehingga secanggih apapun kejahatan yang
dilakukan,

maka

aparat

penegak

hukum

akan

dengan

mudah

untuk

menanggulanginya dan juga tidak akan terjadi perbedaan persepsi mengenai


penerapan suatu undang-undang ataupun peraturan yang telah ada, dan dapat
tercapainya suatu kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

16

DAFTAR PUSTAKA

Balian Zahab, S.H. 2009. Diskusi dan Konsultasi Masalah Hukum,.


(Online). (http://balianzahab.wordpress.com)

Undang-undang no 11 Tahun 2008 mengenai internet dan Transaksi Elektronik

17

Anda mungkin juga menyukai