PEMERINTAHAN,SENI,OLAHRAGA,
DAN SOSIAL
Talkshow I.T
Pengadilan modern telah dapat mengadaptasi ketiga jenis aturan ini di dalam sistem e-
commerce. Masalah autentifikasi misalnya telah dapat terpecahkan dengan memasukkan
unsur-unsur origin dan accuracy of storage jika email ingin dijadikan sebagai barang bukti
(sistem email telah diaudit secara teknis untuk membuktikan bahwa hanya orang tertentu
yang dapat memiliki email dengan alamat tertentu, dan tidak ada orang lain yang dapat
mengubah isi email ataupun mengirimkannya selain yang bersangkutan). Termasuk pula
untuk proses autentifikasi dokumen digital yang telah dapat diimplementasikan dengan
konsep digital signature. Aspek hearsay yang dimaksud adalah adanya pernyataan‐
pernyataan di luar pengadilan yang dapat diajukan sebagai bukti. Di dalam dunia maya, hal‐
hal semacam email, chatting, dan tele‐conference dapat menjadi sumber potensi entiti yang
dapat dijadikan bukti.
Dalam melakukan kegiatan e-commerce, tentu saja memiliki payung hukum, terutama di
negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan
Transaksi Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan mencakup atau memayungi
segala perbuatan atau kegiatan di dunia maya, namun telah cukup untuk dapat menjadi acuan
atau patokan dalam melakukan kegiatan cyber tersebut.
Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik yang berperan
dalam e-commerce adalah sebagai berikut :
1. Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia
maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
2. Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan
informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan.
3. Pasal 10
1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh
Lembaga Sertifikasi Keandalan.
2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.. Pasal 22
1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik
yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi
yang masih dalam proses transaksi.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.Pasal 30
1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
9.Pasal 46
1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Penyelidikan dan penyidikan selalu mengalami jalan buntu dan atau tidak tuntas
dikarenakan beberapa hal, yang terutama adalah terbatasnya sumber daya manusia yang
dimiliki oleh penegak hukum, karena penanganan kejahatan ini memerlukan keterampilan
khusus dari penegak hukum.
Dari hal tersebut, maka dapatlah dilihat bahwa ada kejahatan yang dapat dijerat dan ada
yang tidak, maka diperlukan adanya keberanian hakim untuk menafsirkan undang-undang,
walaupun hakim selalu dibayang-gayangi oleh pasal 1 KUHP, namun hakim tidak boleh
menolak setiap perkara yang telah masuk ke pengadilan.
Mengingat kejahatan e-commerce merupakan salah satu kejahatan baru dan canggih,
maka wajar saja dalam penegakan hukumnya masih mengalami beberapa kendala yang
apabila tidak segera ditangani maka akan memberikan peluang bagi pelaku kejahatan bisnis
yang canggih ini untuk selalu mengembangkan “bakat” kejahatannya di dunia maya
khususnya kejahatan e-commerce. Beberapa kendala tersebut antara lain :
1. Pembuktian (bukti elektrik)
Persoalan yang muncul adalah belum adanya kebulatan penafsiran terhadap kepastian dari
alat bukti elektrik ini dikarenakan alat bukti ini mudah sekali untuk di copy, digandakan atau
bahkan dipalsukan, dihapus atau dipindahkan. Walaupun mengacu pada Pasal 5 Undang-
Undang ITE telah jelas menyebutkan mengenai alat bukti ini, namun masih saja aparat
penegak hukum susah untuk mendapatkan alat bukti yang otentik.
2. Perbedaan Persepsi.
Perbedaan persepsi yang dimaksud adalah bahwa terjadinya perbedaan antara penegak
hukum dalam menafsirkan kejahatan yang terjadi dengan penerapan pasal-pasal dalam
hukum positif yang belaku sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari
keadilan.
3. Lemahnya penguasaan komputer
Kurangnya kemampuan dan keterampilan aparat penegak hukum dibidang komputer yang
mengakibatkan taktis, teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan tidak
dikuasai karena menyangkut sistem yang ada didalam komputer.
4. Sarana dan prasarana
Fasilitas komputer mungkin memang ada di setiap kantor-kantor para penegak hukum,
namun hanya sebatas berfungsi untuk mengetik saja, sedangkan kejahatan e-commerce ini
dilakukan dengan menggunakan komputer yang berjaringan dan berkapasitas teknologi yang
lumayan maju sehingga pihak aparat sulit untuk mengimbangi kegiatan para pelaku kejahatan
tersebut.
5. Kesulitan menghadirkan korban
Menurut Ahmad P. Ramli (2005: 55-56) Terkait dengan penentuan hukum yang
berlaku, dikenal adanya beberapa asa yang biasa digunakan, yaitu :
1. Subjective Territoriality
Subjective Territoriality menekankan bahwa keberlakuan hukum pidana ditentukan
berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di
negara lain.
2. Objective Territoriality
Objective Territoriality menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah dimana akibat
utamanya perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara
yang bersangkutan.
3. Nationality
Nationality menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum
berdasarkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana.
4. Passive Nationality
Passive Nationality menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan dari korban
kejahatan.
5. Protective Principle
Protective Principle menyatakan bahwa belakunya hukum didasarkan atas keinginnan negara
untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya. Azas
ini pada umumnya diterapkan apabila korbannya adalah negara atau pemerintah.
6. Universalitity
Universalitity maksudnya adalah setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum
pelaku kejahatan.
D. Kasus Pornografi
Sumber utama kasus pornografi ini adalah keterbukaan internet. Permasalahannya adalah
masyarakat dunia toleran terhadap kehadiran situs porno.
Tabel Kasus Pornografi di beberapa negara di dunia
Negara Usia Keterangan
Indonesia Semua Online, karena tidak diawasi
Eropa 8-17 tahun Online, karena tidak diawasi
Korea Selatan Semua 10 juta pengunjung
Taiwan Semua 2,5 juta ke web unique user
Yunani Anak-anak Mengunjungi situs asmara
G. Perjudian Online
Banyak situs-situs dunia yang menawarkan perjudian online. Masalahnya para peserta
tidak mengenal negara, suku, umur, jenis kelamin, agama, dll.
Pasal 45 UU ITE
“ Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pasal 27 ayat 1, ayat 2,
ayat 3 dan atau ayat 4 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau
denda paling banyak 1 milyar rupiah.