Anda di halaman 1dari 7

Nama : Alya Dhaviya Leviza

NIM : 200200131
Grup : A
Mata Kuliah : Hukum Ekonomi
Dosen : Tommy Aditia Sinulingga S.H., M.H

a. Hukum yang berlaku dalam transaksi bisnis dengan E-Commerce.


HUKUM BISNIS DAN PERANNYA DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE
Kewajiban dan Hak Pembeli Barang maupuan Jasa dalam transaksi e-commerce Beberapa
Kewajiban pembeli dalam transaksi jual beli menurut Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen
adalah sebagai berikut:
a) Membaca informasi dan mengikuti prosedur atau petunjuk tentang penggunaan dan atau jasa
yang dibelinya.
b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi jual beli barang atau jasa tersebut.
c) Membayar harga pembelian sesuai dengan yang telah disepakati.
d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut apabila timbul sengketa dari proses jual beli
tersebut.
Selain kewajiban , ada beberapa hak pembeli dalam transaksi jual beli:
a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa.
b) Hak memilih serta mendapatkan barang dan atau jasa dengan kondisi yang sesuai dengan yang
diperjanjikan.
c) Mendapatkan informasi secara benar, jujur, dan jelas mengenai barang atau jasa yang
diperjualbelikan.
d) Mendapatkan pelayanan dan perlakuan secara benar dan tidak diskriminatif.
e) Didengarkan pendapatnya atau keluhannya atas kondisi barang dan atau jasa yang dibelinya.
f) Mendapatkan perlindungan hukum secara patut apabila dari proses jual beli tersebut timbul
sengketa.
g) Mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila barang dan atau jasa yang dibelinya tidak
sesuai dengan apa yang dijanjikan.
h) Mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen1

b.Efektivitas UU ITE dalam Perdagangan Elektronik E-Commerce.


Salah satu tujuan diterbitkannya UU ITE memang untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan bagi para pelaku di sektor e-commerce. Namun, banyak anggapan bahwa undang-
undang ini belum mampu mewujudkan tujuannya tersebut, sebagaimana akan dibahas dalam
artikel ini.

Pembahasan mengenai ketidakmampuan tersebut dapat dimulai dari fakta bahwa tidak adanya
definisi khusus untuk e-commerce dalam kerangka UU ITE, sebab kegiatan perdagangan yang
dilakukan secara elektronik tersebut dipahami sebagai “transaksi elektronik”. Padahal, definisi
“transaksi elektronik” yang diberikan oleh Pasal 1 ayat (2) UU ITE begitu luas, yaitu perbuatan

1
https://jurnal.um-palembang.ac.id/doktrinal/article/download/2913/2080
hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan computer, dan/atau media
elektronik lainnya.

Sebagai perbandingan, UU Perdagangan memahami e-commerce sebagai “perdagangan melalui


sistem elektronik”, yaitu perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat
dan prosedur elektronik (Pasal 1 nomor 24 UU Perdagangan).

Selain itu, banyak ketentuan dalam UU ITE yang masih “kosong” dan oleh karenanya
memerlukan peraturan pelaksana. Beberapa di antaranya sangat berkaitan dengan perkembangan
kegiatan e-commerce, seperti:

1. Ketentuan mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik


Terlepas dari adanya ketentuan-ketentuan lain tentang transaksi elektronik dalam Bab V, UU ITE
tetap mengamanatkan diterbitkannya peraturan pemerintah untuk mengatur penyelenggaraan
transaksi elektronik dalam ringkup publik ataupun privat. Walau demikian, UU ITE tidak
menjelaskan cakupan ketentuan penyelenggaraan yang dapat diatur dalam peraturan pemerintah
tersebut (Pasal 17 dan penjelasannya dalam UU ITE).

2. Ketentuan mengenai lembaga sertifikasi keandalan dan penyelenggara sertifikasi elektronik


UU ITE mengatur bahwa setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik dapat
disertifikasi oleh lembaga sertifikasi keandalan. Lembaga tersebut merupakan lembaga
independen yang dibentuk oleh para profesional untuk mengaudit dan mengeluarkan sertifikat
keandalan dalam transaksi elektronik, di mana kegiatannya harus disahkan dan diawasi oleh
pemerintah (Pasal 10 UU ITE).

Sertifikat keandalan adalah bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara
elektronik layak melakukan usahanya tersebut, setelah melalui penilaian dan audit dari badan
yang berwenang (penjelasan Pasal 10 UU ITE). Keberadaan lembaga sertifikat keandalan jelas
penting untuk memberikan ukuran kelayakan pelaku usaha di bidang e-commerce dan pada
akhirnya meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam bertransaksi melalui sistem elektronik.

Sejalan dengan ketentuan di atas, UU ITE juga mengamanatkan penerbitan peraturan pemerintah
mengenai penyelenggara sertifikasi elektronik, yaitu badan hukum yang memberikan dan
mengaudit sertifikat elektronik. Sertifikat ini memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang
menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik. Sama halnya dengan
sertifikat keandalan, sertifikat elektronik juga penting untuk meningkatkan kepastian dalam
melakukan transaksi e-commerce dan mencegah penyalahgunaan data dari para pelaku dalam
kegiatan perdagangan elektronik.2

c. Informasi elektronik pada transaksi E-Commerce dalam hukum pembuktian perdata dan
UU ITE.
. Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara, karena dari hasil
pembuktian dapat diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan tersebut. Hal itu
berarti, bahwa apabila penggugat dapat membuktikan dalil-dalilnya dalam gugatannya maka
hakim akan mengabulkan gugatan dari penggugat, sedangkan apabila Penggugat tidak
2
https://dailysocial.id/post/mampukah-uu-ite-menjawab-tantangan-perkembangan-e-commerce-di-indonesia
dapat membuktikan dalil-dalil dalam gugatannya atau tergugat dapat membuktikan dalil-dalil
bantahannya dalam jawabannya atau dupliknya maka Hakim akan menolak gugatan dari
Penggugat. Dalam tahapan pembuktian terdapat 2 (dua) unsur yang memegang peranan penting,
yaitu: Pertama, Unsur-unsur alat bukti. Para pihak dalam tahapan pembuktian harus
menggunakan alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian, dan tidak boleh menggunakan alat
bukti yang tidak diatur dalam peraturan perundangan. Berkenaan dengan macam alat bukti yang
sah, menurut pasal 164 HIR jo. Pasal 1866 BW ada 5 macam alat bukti: bukti tulisan/surat; bukti
saksi; bukti persangkaan; bukti pengakuan; dan, bukti sumpah. Kedua, Peraturan pembuktian.
Bahwa kelima macam alat bukti di atas dianggap sebagai alat bukti yang sah dan dapat
dipergunakan sebagai alat bukti di persidangan, hal tersebut dikarenakan di dalam peraturan
perundang-undangan (HIR/Rbg dan HIR) mengatur cara pembuatan, penggunaan dan kekuatan
pembuktiannya sebagai alat bukti. Makna pembuktian dalam persidangan adalah memberikan
dasar-dasar yang sah atas suatu gugatan atau bantahan, sebagaimana ditentukan dalam asas
pembuktian dalam hukum acara perdata, yang diatur di dalam Pasal 163 HIR jo. 1865 BW.
Disamping itu pembuktian harus dilakukan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah.
Adapun alat-alat bukti dalam hukum acara perdata dan alat-alat bukti dalam hukum acara pidana,
adalah sebagai berikut:
Berdasarkan pengaturan macam-macam alat bukti di atas, maka dapat dikatakan bahwa urutan-
urutan penyebutan alat bukti di dalam hukum acara pidana berbeda dengan pengaturan macam
alat bukti di dalam hukum acara perdata. Di dalam hukum acara pidana, pembuktian lebih
diutamakan dengan menggunakan alat bukti berupa saksi, hal ini bermakna bahwa suatu
perbuatan pidana menurut pembentuk undang-undang hanya dapat diketahui oleh seorang saksi
yang secara langsung mengetahui atas perbuatan pidana tersebut. Sedangkan di dalam hukum
acara perdata, pembuktian lebih diutamakan dengan menggunakan alat bukti tulisan atau surat,
hal ini bermakna bahwa suatu hubungan hukum keperdataan menurut pembentuk undang-undang
dapat dipersiapkan terlebih dahulu oleh para pihak dengan membuat suatu perjanjian dalam
bentuk tulisan atau surat. Selanjutnya perlu dipahami bahwa dalam rangka penilaian keabsahan
penggunaan alat bukti di dalam hukum acara pidana, terdapat prinsip yang sama baik di dalam
Pasal 294 ayat 1 HIR dan Pasal 183 KUHAP, yang pada asasnya mengatur tentang:
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya” Sedangkan, di dalam hukum
acara perdata dalam rangka penilaian keabsahan penggunaan alat bukti tidak terdapat ketentuan
semacam di atas, dan hanya mengenal prinsip pembuktian sebagaimana ditentukan dalam pasal
163 HIR jo. 1865 BW yang menyatakan bahwa:
“Barangsiapa menyatakan mempunyai hak atas suatu barang, atau menunjuk suatu peristiwa
untuk meneguhkan haknya, ataupun menyangkal hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikannya” Dengan demikian, berdasarkan rumusan Pasal 163 HIR jo. 1865 BW tersebut,
maka keduabelah pihak baik itu penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan beban
pembuktian oleh hakim. Hal tersebut bermakna bahwa hakim wajib memberikan beban
pembuktian kepada penggugat untuk membuktikan dalil atau peristiwa yang dapat mendukung
dalil tersebut, yang diajukan oleh penggugat, sedangkan bagi tergugat, hakim wajib memberikan
suatu beban pembuktian untuk membuktikan bantahannya atas dalil yang diajukan oleh para
penggugat. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian
pula sebaliknya tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan
oleh penggugat. Dengan demikian, jika penggugat tidak bisa membuktikan dalil atau peristiwa
yang diajukannya, ia harus dikalahkan, sedangkan jika tergugat tidak dapat membuktikan
bantahannya, ia harus dikalahkan (Sudikno Mertokusumo, 1998:114). Namun demikian, hakim
hendaknya tidak begitu saja secara harfiah melaksanakan asas pembuktian, tetapi
hakim harus bijaksana dan pantas, yaitu hendaknya hakim meletakkan keharusan membuktikan
kepada pihak yang paling gampang untuk membuktikan,
dan tidak membebani kepada pihak yang paling sulit untuk membuktikan, terkhusus pada perkara
yang didasarkan pada suatu hubungan hukum yang timbul tanpa adanya alat bukti tulisan atau
surat (dilakukan secara lisan) oleh para pihak. Hakim dalam rangka memberikan suatu beban
pembuktian, dalam beberapa peristiwa khusus, telah diatur di dalam BW tentang beban
pembuktiannya, yaitu misalnya:
1. Adanya keadaan memaksa dalam suatu perikatan (hubungan hukum) harus dibuktikan oleh
debitur, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1244 BW.
2. Barangsiapa menguasai barang bergerak, dianggap sebagai pemilik, sebagaimana ditentukan
pada Pasal 1977 ayat 1 BW. Sehingga, apabila pihak lawan mendalilkan sebaliknya, maka pihak
lawan tersebut harus membuktikan dalilnya.
3. Peristiwa notoir atau yang umum diketahui, tidak perlu pula dibuktikan misalnya:
a. peristiwa bencana alam yang telah diberitakan secara luas;
b. peristiwa yang oleh masyarakat umum telah diketahui;
c. peristiwa yang terjadi di dalam persidangan.
4. Keseluruhan dalil yang telah diakui secara penuh atau bulat di dalam persidangan tidak perlu
dibuktikan lagi. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa alat bukti yang paling diutamakan
dalam hukum acara perdata adalah alat bukti tulisan atau surat, yang dibedakan menjadi dua
yaitu:
1. Akte yang dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: Akte otentik; dan Akte di bawah
tangan; dan
2. Surat atau tulisan lain. Yang dimaksud dengan akte ialah tulisan yang dengan sengaja dibuat
untuk dijadikan alat bukti adanya hubungan hukum dan ditandatangani. Dengan demikian unsur
unsur dalam pembuatan akte meliputi: Tulisan; Dengan sengaja dibuat; Untuk alat bukti;
Adanya hubungan hukum; Ditandatangani. Dari kelima unsur-unsur dalam pembuatan akte itu,
unsur yang paling penting terkait dengan pembuktian adalah tanda tangan, yang dalam asas-asas
hukum dinyatakan bahwa barangsiapa yang menandatangani suatu surat dianggap telah
mengetahui isinya dan bertanggungjawab. Adapun syarat penandatanganan dalam pembuatan
akte diatur di dalam Pasal 1874 BW atau Pasal 1 Stbl 1867 No. 29. Terkait dengan pembuatan
dan penggunaan akte sebagai alat bukti di Pengadilan, maka perlu dipahami adanya beberapa
pengaturan yaitu sebagai berikut:
Pertama, Pasal 1867 BW yang menentukan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan
tulisan otentik maupun dengan tulisan di bawah tangan.
Kedua, Pasal 1868 BW yang menentukan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akte yang di dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibuatnya.
Ketiga, Pasal 1869 BW yang menentukan bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak
cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat
diperlakukan sebagai akta otentik, namun mempunyai kekuatan pembuktian sebagai tulisan di
bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak.
Keempat, Pasal 1877 BW, yang menentukan bahwa jika suatu akta otentik, yang berupa apa saja,
dipersangkakan palsu, maka dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglement Acara
Perdata.
Selanjutnya, terkait dengan pengunaan alat bukti akte di bawah tangan, maka ditentukan bahwa
suatu tulisan di bawah tangan yang telah diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak
dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dapat dianggap sebagai diakui,
memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya
dan orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta
otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 BW untuk tulisan itu (penuturannya
harus berhubungan langsung dengan pokok isi akta, jika tidak hanya jadi bukti permulaan) (vide
pasal 1875 BW) (Edmon Makarim, 2012:8). Selanjutnya, di dalam Pasal 1877 BW juga
ditentukan pula bahwa jika seseorang yang memungkiri tulisan atau tandatangannya atau pun jika
para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya menerangkan tidak
mengakuinya, maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada tulisan atau tanda-
tangan tersebut diperiksa dihadapan pengadilan (Edmon Makarim, 2012:8). Adanya peraturan
yang demikian sangat diperlukan guna dapat menyingkapi maraknya berbagai macam
transaksi elektronik di masyarakat, yang seringkali dipersamakan dengan suatu pembuatan bentuk
akte di bawah tangan.
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1 angka 2 UU ITE, yang dimaksud dengan transaksi elektronik
adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan dan menggunakan komputer dan/atau media
elektronik lainnya. Dalam rangka melakukan transaksi elektronik tersebut, maka para pihak akan
selalu menggunakan suatu dokumen elektronik sebagai landasan bagi mereka untuk melakukan
hubungan hukum. Terkait dengan adanya transaksi elektronik yang di dalamnya
menggunakan dokumen elektronik, di dalam UU ITE terdapat suatu prinsip yang menentukan
bahwa setiap orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak
orang lain (Prinsip yang sama ada di dalam Pasal 163 HIR jo. 1865 BW) berdasarkan adanya
informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik harus memastikan bahwa informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang ada padanya berasal dari sistem elektronik yang
memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundangundangan. Adapun persyaratan yang
ditentukan di dalam UU ITE adalah bahwa syarat-syarat adanya transaksi elektronik dan/atau
dokumen elektronik adalah baik subyek dan sistemnya sudah harus bersertifikasi yang dilakukan
oleh (Minanoer Rachman, 2012:10):
Pertama, Lembaga Sertifikasi Keandalan, yang akan melakukan fungsi administrasi yaitu dapat
mencakup:
Registrasi; Otentikasi fisik terhadap pelaku usaha; Pembuatan dan pengelolaan sertifikat
keandalan; serta Membuat daftar sertifikat yang telah dibekukan.Sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 10 UU ITE. Kedua, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, yang melakukan fungsi
administrasi yaitu dapat mencakup:Registrasi; Otentikasi fisik terhadap si pemohon;Pembuatan
dan pengelolaan kunci publik maupun kunci privat; Pengelolaan sertifikat elektronik; serta
Daftar sertifikat yang telah dibekukan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU
ITE.3

d. Bentuk perlindungan hukum bagi konsumen dalam penyelesaian transaksi elektronik


internasional menurut UU ITE.
Perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan konsumen agar terwujudnya tujuan perlindungan konsumen di Indonesia
(Endang Sri Wahyuni 2003: 91). Adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen memberikan
dampak ekonomi yang positif bagi dunia usaha, dunia usaha dipacu untuk meningkatkan
kualitas/mutu produk barang dan jasa sehingga produknya memiliki keunggulan kompetitif di
3
http://jurnal-perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/101
dalam dan luar negeri.Di Indonesia, dalam UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik dapat
dituangkan dalam kontrak elektronik. Dalam kontrak elektronik tersebut dapat ditentukan pilihan
hukum mana yang digunakan dalam menyelesaikan perselisihan (dispute). Jika pilihan hukum
tidak dilakukan, maka yang berlaku adalah hukum yang didasarkan pada asas hukum perdata
internasional. Begitupun dengan pilihan forum pengadilan mana yang berhak. Para pihak dalam
transaksi e-commerce dapat menentukan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya mana yang dipilih dalam e-contract. Dan jika tidak dilakukan
pemilihan forum, maka penyelesaian sengketa akan kembali pada asas dalam Hukum Perdata
Internasional.
Cara-cara penyelesaian sengketa dapat ditempuh jika terjadi sengketa atau konflik yang
bersumber dari adanya perbedaan pendapat atau ketidaksesuaian di antara para pihak. Apabila
pihak-pihak tidak berhasil menemukan bentuk penyelesaian yang tepat, maka perbedaan pendapat
ini dapat berakibat buruk bagi kelangsungan hubungan di antara keduanya. Oleh karena itu, setiap
menghadapi perbedaan pendapat (sengketa), para pihak selalu berupaya menemukan cara-cara
penyelesaian yang tepat. Persoalan ini tidak bisa diatasi hanya dengan upaya upaya di level
nasional, dan jika ada masyarakat yang melakukan upaya hukum, mereka hanya diwajibkan
menghitung kerugian yang diderita. Sementara yangmembuktikan penyebab kecelakaan dan
kesalahan yang terjadi adalah tanggung jawab pelaku usaha .Ketentuan Pasal 23 UUPK
menyebutkan pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi dan/tidak memenuhi ganti rugi
atas tuntutan konsumen dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan ataupun diluar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa (Pasal 45 UUP). Sehingga jika terjadi sengketa/konflik
antara pelaku usaha dan konsumen dalam suatu perdagangan maka terdapat beberapa cara yang
dapat membantu penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, proses
penyelesaian sengketa tersebut adalah:
a. Melalui jalur pengadilan
Litigasi (melalui jalur pengadilan) pada umumnya akan menimbulkan suasana permusuhan yang
dapat berkepanjangan bagi para pihak yang berperkara, litigasi untuk pelaku ekonomi atau
masyarakat bisnis internasional juga membawa dampak lain, misalnya mengenai system hukum
yang berbeda, penentuan tempat berlitigasi, hubungan bisnis yang menjadi buruk serta pertanyaan
mengenai penegakan serta pelaksanaan keputusan. Di samping itu litigasi juga memerlukan
waktu, biaya, ditambah dengan alasan teknis yaitu penumpukan jumlah perkara dipengadilan,
maka peluang alternatif untuk penyelesaian sengketa sangat diperlukan (Ningrum Natasya Sirait
2008).
Sengketa-sengketa di Indonesia dan juga negara lainnya yang diajukan melalui jalur pengadilan
(litigasi) ternyata memiliki beberapa kelemahan, di antaranya (Ahmad M. Ramli 2004: 56):
1) litigasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim memerlukan pembelaan;
2) litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak
untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahankelemahan pihak lainnya;
3) proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal; dan
4) hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.
b. Alternatif penyelesaian sengketa
Penyelesaian sengketa melalui Alternative Dispute Resolution adalah penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli (Ningrum
Natasya Sirait 2008).
Usaha-usaha untuk menemukan bentuk penyelesaian sengketa alternatif terjadi pada saat Warren
Burger (mantan Chief Justice) diundang pada suatu konferensi yaitu Roscoe Pound Conference
on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice (Pound Conference)
di Saint Paul, Minnesota. Para akademisi, pengamat hukum, serta pengacara yang menaruh
perhatian pada masalah sengketa/konflik berkumpul bersama pada konferensi tersebut. Beberapa
makalah yang disampaikan pada saat konferensi, akhirnya disusun menjadi suatu pengertian
dasar (basic understanding) tentang penyelesaian sengketa saat itu (Ningrum Natasya Sirait
2008).4

4
http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/delegalata/article/view/803

Anda mungkin juga menyukai