Anda di halaman 1dari 8

Kepastian Hukum Dokumen Elektronik (E-mail) sebagai Alat

Bukti dalam Perspektif Hukum Acara Perdata

Oleh:
Ni Putu Yeni Kusuma Dewi
1904551332
Dosen: I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati

Fakultas Hukum
Universitas Udayana
Tahun 2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teknologi informasi dan komunikasi mengalami kemajuan yang sangat pesat seiring
dengan perkembangan zaman. Hal ini memberikan dampak yang positif bagi masyarakat luas
yakni kemudahan dalam mengakses informasi maupun menunjang banyak bidang kehidupan
diantaranya politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial, budaya, dan lainnya. Pada
khususnya dalam bidang hukum acara perdata, salah satu prosesnya adalah pembuktian, yang
dapat dillakukan dan sah alat buktinya ketika diaturnya mengenai hal tersebut dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Perkembangan era globalisasi ini melalui pemanfaatan elektronik membuat alat bukti
tulisan/surat semakin meningkat, dengan penggunaan surat elektronik (Electronic Mail).
Surat elektronik (email) merupakan salah satu sarana teknologi informasi yang populer di
dunia karena tingkat kemudahan dan proses yang cepat meskipun dengan jarak yang sangat
jauh dibandingkan dengan surat pada umumnya. Sehingga masyarakat lebih memilih
menggunakan surat elektronik (email) yang sudah tentu lebih efisien dan efektif waktu.
Pembuktian dalam perkara perdata, merupakan tahap yang spesifik dan menentukan.
Dikatakan spesifik, karena pada tahap pembuktian ini para pihak diberikan kesempatan untuk
menunjukkan kebenaran terhadap fakta-fakta hukum yang menjadi titik pokok sengketa.
Sedangkan disebut sebagai tahap menentukan, karena hakim dalam rangka proses mengadili
dan memutus perkara bergantung kepada pembuktian para pihak di persidangan. 1
Di dalam hukum acara perdata terdapat asas pembuktian, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 163 Herziene Indonesische Reglement (HIR) jo. 283 Rechtsreglement Voor De
Buitengewesten (RBg) jo. 1865 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang
menentukan bahwa: Barangsiapa menyatakan mempunyai hak atas suatu barang, atau
menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, ataupun menyangkal hak orang lain,
maka orang itu harus membuktikannya.2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana eksistensi alat bukti elektronik dalam hukum acara perdata?

1
Lilik Mulyadi, 2009, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif,Teoritis,Dan Praktik Peradilan, PT Alumni, Bandung,
h. 255.
2
Johan Wahyudi, 2012, Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Pada Pembuktian Di Pengadilan, Vol. XVII No.2
Mei 2012, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya
1.2.2 Bagaimana kekuatan dan keabsahan E-mail sebagai alat bukti elektronik dalam hukum
acara perdata?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Eksistensi alat bukti elektronik dalam hukum acara perdata
Hukum pembuktian perdata di Indonesia, sebelum berlakunya UU ITE secara yuridis
formal belum mengatur dokumentasi atau informasi elektronik sebagai alat bukti di
pengadilan. Menurut Edmon Makarim dokumen elektronik adalah data/informasi yang diolah
oleh sistem informasi secara elektronis tentunya akan tersimpan dala suatu media tertentu
secara elektronis.3 Sebagaimana berdasarkan ketentuan pada pasal 164 HIR dan 284 RBg
serta Pasal 1866 KUH Perdata, terdapat 5 (lima) alat bukti dalam pembuktian perkara perdata
di Indonesia yakni, alat bukti saksi, bukti persangkaan, bukti pengakuan, dan bukti sumpah.
Seiring perkembangan zaman, alat bukti mulai berbentuk digital. Kemudian menurut Pasal 6
UU ITE, suatu informasi elektronik atau dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan
alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan.
Adapun persyaratan yang ditentukan di dalam UU ITE adalah bahwa syarat-syarat
adanya transaksi elektronik dan/atau dokumen elektronik adalah baik subyek dan sistemnya
sudah harus bersertifikasi yang dilakukan oleh:4
Pertama, Lembaga Sertifikasi Keandalan, yang akan melakukan fungsi administrasi
yaitu dapat mencakup: Registrasi; Otentikasi fisik terhadap pelaku usaha; Pembuatan dan
pengelolaan sertifikat keandalan; serta Membuat daftar sertifikat yang telah dibekukan.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 UU ITE.
Kedua, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, yang melakukan fungsi administrasi
yaitu dapat mencakup: Registrasi; Otentikasi fisik terhadap si pemohon; Pembuatan dan
pengelolaan kunci public maupun kunci privat; Pengelolaan sertifikat elektronik; serta Daftar
sertifikat yang telah dibekukan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU
ITE
Eksistensi bukti elektronik sudah dikenal dan diatur dalam Undang-Undang yang
antara lain:

3
Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. h, 90.
4
Minanoer Rachman. 2012. Bahan Seminar Penggunaan Informasi atau Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti
dalam Proses Litigasi. Surabaya: FH.UNAIR. 10.
a. Undang-Undang No.8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Dokumen
perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik, untuk
diamankan melalui penyimpanan dalam bentuk microfilm.
b. Undang Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sekalipun
bukan dalam lingkup penyelesaian sengketa perdata, didalam UU ini juga
menyisipkan aturan tentang hukum acaranya sebagaimana diatur dalam Pasal 36
ayat (1) mengenai alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian di
persidangan Mahkamah Konstitusi.
c. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Pasal 8 ayat (1).
d. Undang Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
pasal 5.
2.2 Kekuatan dan Keabsahan E-mail sebagai alat bukti elektronik
Dengan diberlakukannya UU ITE maka terdapat suatu pengaturan yang baru
mengenai alat-alat bukti dokumen elektronik. E-mail dapat dikatakan sebagai bentuk
informasi elektronik. Informasi elektronik menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU
19/2016”) adalah:
“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah
yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUITE telah mengatur dengan jelas
kedudukan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti yang sah
dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia. Frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau
institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan UU sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 31 ayat (1) UUITE (Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016). Dengan demikian,
bahwa UU ITE telah menentukan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan suatu alat bukti yang sah dan merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai
dengan hukum acara yang telah berlaku di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai alat
bukti di muka persidangan.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 UU ITE ditentukan bahwa
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan
suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU ITE.5
Dengan demikian penggunaan dokumen elektronik sebagai suatu alat bukti yang dianggap
sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 UU ITE, yang menentukan bahwa dokumen elektronik dianggap sah
sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menerangkan suatu keadaan.
Namun, Pasal 5 ayat 4 UU ITE yang menentukan bahwa ada beberapa jenis dokumen
elektronik yang tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila terkait dengan pembuatan:
Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan Surat beserta
dokumen yang menurut undang-undang harus dibuat dalam suatu bentuk akta notariil atau
akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Maka apabila para pihak hendak membuat suatu
perjanjian yang bersifat formil dianggap belum sah apabila belum dituangkan dalam bentuk
tertulis secara manual, baik dalam bentuk akte di bawah tangan maupun akte otentik. Adapun
contoh perjanjian yang bersifat formil diantaranya adalah. Perjanjian Perdamaian, vide Pasal
1851 BW; Perjanjian Hibah, vide Pasal 1682 BW; serta, Perjanjian jual-beli dengan obyek
tanah, semisal, Akta jual-beli sebidang tanah, vide Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
Keabsahan suatu dokumen elektronik tersebut di dalamnya juga harus memuat sebuah
tandatangan dalam bentuk elektronik, hal ini sesuai dengan pengaturan tentang unsur-unsur
terpenting dalam pembuatan akte, yang diatur di dalam Pasal 1867 BW jo. Pasal 1874 BW,
dan syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 BW. Selanjutnya, ditentukan
bahwa sebuah Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang
sah selama memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 UU ITE, yaitu:6
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada para Penanda
Tangan;
b. data pada pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan
elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;

5
Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU ITE
6
Pasal 11 ayat 1 UU ITE
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan
Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa
Penandatangannya;
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah
memberikan suatu persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.
Berkenaan dengan keotentikan suatu tandatangan elektronik, maka dapat diperbedakan
sesuai dengan faktanya sebagai berikut:12 Pertama, jika tandatangan elektronik belum
terpercaya, namun para pihak telah sepakat untuk mengakui, maka dapat langsung diakui
keasliannya. Selanjutnya, ditentukan dalam Pasal 12 ayat 2 UU ITE bahwa setiap orang yang
terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda
tangan elektronik yang digunakan. Jadi, pasal 12 ayat (2) UU ITE, jika kedua belah pihak
sepakat dan menandatanganinya adalah sah menurut hukum.
Dengan demikian, dalam rangka penggunaan dokumen elektronik, maka yang perlu
dipahami adalah bahwa UU ITE melarang perbuatan-perbuatan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 27 sampai dengan Pasal 37, yang menentukan bahwa jika terjadi
penyalahgunaan dalam penggunaan teknologi informasi, terkhusus dokumen elektronik, yang
merugikan bagi pihak lain, dapat digugat atau dituntut baik secara keperdataan maupun
kepidanaan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38, Pasal 39, serta Pasal 45 sampai dengan
Pasal 52 UU ITE.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan persidangan perkara perdata maka alat bukti berupa e-mail tersebut dapat
digunakan di dalam prsidangan. Mengenai aspek hukum penerapan e-mail dalam
menegakkan hukum dengan adanya perkembangan teknologi sekarang ini melalui media
komunikasi yang dikenal dengan internet telah mengubah cara berfikir dan bertindak yang
kemudian berdampak pada hukum, sehingga perlu adanya pengertian yang jelas mengenai
alat bukti dalam proses persidangan. Setelah diberlakukannya UU ITE terdapat penambahan
macam alat bukti, dan diakuinya dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2.
Kekuatan alat bukti e-mail sebagai proses pembuktian dalam persidangan bila
dikaitkan dengan Pasal 164 HIR mengenai alat bukti yang sah, maka kekuatan e-mail bila
dicetak dianggap sama dengan surat asli dan mempunyai kekuatan yang sama pula dengan
akta otentik. Persyaratan utama agar dokumen elektronik itu dapat dinyatakan sebagai alat
bukti yang sah adalah penggunaan sistem elektronik yang telah mendapatkan sertifikasi
elektronik dari pemerintah (Pasal 13-16 UU ITE). Persyaratan yang lain, harus
membubuhkan tanda tangan elektronik, menuangkannya dalam kontrak elektronik yang baku,
dll. Dengan demikian kedudukan dokumen elektronik sesungguhnya merupakan perluasan
dari alat bukti tertulis sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1866 BW. Terhadap kekuatan
pembuktian dokumen tertulis dalam hukum pembuktian perkara perdata sangatlah
bergantung pada bentuk dan maksud dari dokumen itu dibuat, dokumen elektronik dapat
disebut sebagai akta otentik apabila sudah mendapatkan sertifikasi dari pemerintah dan
memenuhi persyaratan sebagai sebuah kontrak elektronik yang sah.
DAFTAR PUSTAKA
Lilik Mulyadi, 2009, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif,Teoritis,Dan Praktik Peradilan,
PT Alumni, Bandung, h. 255.
Johan Wahyudi, 2012, Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Pada Pembuktian Di
Pengadilan, Vol. XVII No.2 Mei 2012, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya
Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
h, 90.
Minanoer Rachman. 2012. Bahan Seminar Penggunaan Informasi atau Dokumen Elektronik
Sebagai Alat Bukti dalam Proses Litigasi. Surabaya: FH.UNAIR. 10.

Anda mungkin juga menyukai